II. LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Widyatama (2009) menyatakan dalam pengembangan komoditas sukun di Kabupaten Cilacap menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process), diketahui terdapat enam kriteria dan delapan subkriteria. Enam kriteria tersebut, yaitu produksi, modal, teknologi, harga, tenaga kerja dan jaringan. Untuk delapan subkriteria yang mempengaruhi pengembangan komoditas sukun, yaitu lahan, budidaya, cuaca dan sifat buah yang merupakan bagian dari kriteria produksi; harga bahan baku dan harga pendukung yang merupakan bagian dari kriteria harga; mitra bisnis dan organisasi pendukung yang merupakan bagian dari kriteria jaringan. Terdapat lima alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan komoditas sukun di Kabupaten Cilacap dengan urutan prioritas sebagai berikut: 1. Memperbaiki dan memperluas jaringan pemasaran baik dalam bentuk buah maupun produk olahan sukun melalui program pengenalan produk unggulan lokal kepada pihak luar Kabupaten Cilacap. 2. Meningkatkan kapasitas produksi buah melalui pemanfaatan lahan potensial sebagai areal penanaman pohon sukun. 3. Pengembangan sentra agroindustri berbahan dasar sukun. 4. Meningkatkan kerjasama antara petani, produsen dan pedagang dengan pihak pemerintah atau dinas terkait dalam hal penyediaan bibit atau bahan baku produksi, permodalan dan pemasaran serta ketrampilan dalam hal teknik budidaya, analisis usaha dan pengelolaan pasca panen. 5. Meningkatkan kerjasama antar petani, produsen dan pedagang melalui pendirian organisasi gabungan atau KOPERASI dalam ruang lingkup Kabupaten Cilacap. Wibowo (2011) menyatakan sektor ekonomi basis di Kabupaten Jombang terdiri dari sektor pertanian dengan nilai LQ sebesar 1,81; sektor perdagangan hotel dan restoran dengan nilai LQ sebesar 1,17; dan sektor jasajasa sebesar 1,36. Sektor pertanian mempunyai nilai LQ terbesar sehingga
10
11
dalam penelitian ini dipilih sebagai sektor basis yang akan dicari subsektor pertanian untuk dikembangkan di Kabupaten Jombang. Berdasarkan analisis AHP dan SWOT subsektor pertanian yang dipilih atau diprioritaskan untuk dikembangkan
adalah
subsektor
tanaman
bahan
makanan.
Strategi
pengembangan subsektor tanaman bahan makanan adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, sebagai berikut: 1. Menggunakan luas lahan yang tersedia dengan menanam komoditi strategis. 2. Menggunakan keanekaragaman dan penyerapan kerja. 3. Menggunakan saprodi serta lahan subur dengan memanfaatkan kebutuhan dan harga komoditi yang semakin meningkat. 4. Memanfaatkan surplus produksi tanaman pangan agar investor di bidang agrobisnis bisa tertarik untuk masuk. 5. Memanfaatkan dan menggunakan sumber daya lokal dan memanfatkan tenaga kerja. 6. Memanfaatkan ketentraman serta mengakses informasi dan memanfaatkan Kabupaten Jombang sebagai simpul distribusi. Prihati (2013) menyatakan komoditas pertanian yang menjadi komoditas pertanian basis di sebagian besar kecamatan di Kabupaten Karanganyar dengan pendekatan Location Quotient dan Shift Share Analysis adalah subsektor tabama yaitu padi sawah, jagung, kacang tanah, petai, pepaya, mangga, ketela pohon, ketela rambat, rambutan, kubis, cabe, melinjo, buncis, durian, belimbing, jambu biji dan sukun; subsektor tanaman perkebunan yaitu jahe, kencur, tebu, kunyit, cengkeh, kapuk, mete dan kelapa; subsektor kehutanan yaitu jati dan mahoni; subsektor peternakan yaitu ayam kampung, ayam ras petelur, sapi potong, domba, kambing, itik, kelinci; subsektor perikanan yaitu nila, tawes, gurami dan lele. Kecamatan yang memiliki komoditas pertanian basis paling banyak adalah Kecamatan Jenawi dengan 47 komoditas. Kecamatan yang mempunyai komoditas pertanian basis paling sedikit adalah Kecamatan Karanganyar dan Kebakkramat yaitu dengan enam komoditas. Purnomo (2014) menyatakan bahwa klasifikasi komoditas tanaman bahan makanan di Kabupaten Pacitan berdasarkan Tipologi Klassen diperoleh
12
komoditas prima yaitu padi (sawah dan ladang), kacang tanah, cabai merah dan pisang; komoditas berkembang yaitu ubi jalar, kacang hijau, bawang putih, tomat dan semangka; komoditas potensial yaitu jagung, kedelai dan ubi kayu; komoditas terbelakang yaitu cabai rawit, kentang, bawang merah, pepaya, salak, nanas dan belimbing. Alternatif strategi pengembangan komoditas tanaman bahan makanan unggulan di Kabupaten Pacitan berdasarkan analisis SWOT bagi komoditas prima padi adalah memperluas jaringan pemasaran padi dan memanfaatkan secara optimal dukungan pemerintah pada usahatani padi. Bagi komoditas prima kacang tanah, alternatif strategi pengembangan meliputi perluasan pasar untuk mendorong penyerapan hasil produksi dan melakukan budidaya kacang tanah secara intensif untuk meningkatkan hasil produksi. Alternatif strategi pengembangan komoditas prima cabai merah adalah meningkatkan kapasitas produksi dan mutu cabai merah untuk memenuhi permintaan pasar dan membangun kerjasama yang terarah dan terpadu lintas instansi dan petani guna penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi kelangsungan dan kelancaran kegiatan agribisnis di lokasi sentra produksi. Sedangkan alternatif strategi pengembangan komoditas prima pisang adalah dengan melakukan peningkatan diversifikasi produk olahan pisang dan optimalisasi peran PPL untuk meningkatkan kualitas SDM petani. Alasan penggunaan beberapa penelitian di atas sebagai referensi dalam penelitian ini adalah: 1. Kesamaan alat analisis pengembangan yang digunakan dalam penelitian Widyatama (2009) yaitu AHP (Analytical Hierarchy Process). 2. Alat analisis pemetaan dan pengembangan yang digunakan dalam penelitian Wibowo (2011) sama dengan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. 3. Alat analisis pemetaan yang digunakan dalam penelitian Prihati (2013) sama dengan alat analisis pemetaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu LQ (Location Quotient).
13
4. Dalam penelitian Purnomo (2014), sub sektor dan lokasi penelitian sama dengan penelitian ini yaitu subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Pacitan. B. Tinjauan Pustaka 1. Pembangunan Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial termasuk percepatan atau akselerasi ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan dan pemberantasan kemiskinan absolut (Todaro, 1987). Pembangunan memiliki arti ganda. Makna pertama adalah pembangunan yang lebih memberikan perhatian pada pertumbuhan ekonomi. Makna pertama ini lebih memfokuskan pada jumlah (kuantitas) produksi dan penggunaan sumbersumber. Keberhasilan pembangunan dari perspektif ini dilihat dari tingginya angka Produk Domestik Bruto (PDB). Makna kedua adalah bahwa pembangunan itu lebih memusatkan kepada perubahan dalam distribusi barang-barang dalam esensi hubungan sosial. Dalam perspektif ini fokus perhatian adalah pada pembangunan sosial (social development) dimana fokusnya pada pembangunan distribusi kualitatif dalam struktur masyarakat melalui penghapusan diskriminasi, eksploitasi dan penciptaan dan jaminan untuk memperoleh kesempatan yang sama dan distribusi yang adil dari manfaat pertumbuhan ekonomi di antara masyarakat. Prinsipnya adalah bahwa masyarakat harus diberikan kesempatan untuk mengidentifikasi masalah mereka sendiri, serta merumuskan pemecahan masalah dan menerapkan solusi yang mereka pilih (Sudharto, 2001). Pembangunan yang dilaksanakan berhasil agar mencapai sasarannya, harus ditunjang oleh penyusunan rencana yang komprehensif dan terarah. Penyusunan rencana atau perencanaan itu merupakan suatu alat atau cara untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan dengan baik. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan dan pedoman pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan pembangunan. Dengan perencanaan dilakukan suatu perkiraan (forecasting) mengenai
14
potensi, prospek, hambatan dan resiko yang dihadapi. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif yang terbaik (the best alternative) dan memilih kombinasi yang terbaik (the best combination) (Adisasmita, 2006). Perencanaan pembangunan yaitu suatu usaha pemerintah untuk mengkoordinasikan semua keputusan ekonomi dalam jangka panjang untuk mempengaruhi secara langsung serta mengendalikan pertumbuhan variabelvariabel ekonomi yang penting (penghasilan, konsumsi, lapangan kerja, investasi, tabungan, ekspor-impor dan lain sebagainya). Rencana ini bisa bersifat komprehensif (multi sektoral), bisa bersifat parsial (lokal). Rencana yang bersifat komprehensif targetnya semua aspek penting yang menyangkut perekonomian nasional, sedangkan yang parsial meliputi sebagian dari ekonomi nasional seperti pertanian, perindustrian, sektor pemerintah, sektor swasta dan lain sebagainya (Suryana, 2000). 2. Pembangunan Ekonomi Daerah Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi (Arsyad, 2009). Saragih (2001), menyampaikan untuk mengatasi masalah ekonomi yang begitu kompleks diperlukan strategi pembangunan ekonomi yang mampu memberi solusi. Strategi pembangunan yang dimaksud harus memiliki karakteristik sebagai berikut, 1) memiliki jangkauan kemampuan memecahkan masalah ekonomi dan ketika strategi ini diimplementasikan maka persoalan ekonomi akan dapat diatasi,; 2) strategi yang dipilih harus dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga pembangunan sebelumnya tidak menjadi sia-sia; 3) strategi yang dipilih
15
harus mampu membawa perekonomian Indonesia yang lebih cerah dan menjadi sinergis (interdepency economy) dengan perekonomian dunia. Di antara pilihan strategi pembangunan ekonomi yang ada, strategi pembangunan yang memenuhi karakteristik tersebut adalah Pembangunan Agribisnis (agribusiness led development) yaitu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan pertanian berkelanjutan (perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) dengan pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di dalamnya. Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman
mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah,
yang
dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah (Darwanto, 2013). Kuncoro (2004) menyatakan setidaknya terdapat dua kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan pembangunan daerah yaitu tekanan yang berasal dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan perekonomiannya dan kenyataan bahwa perekonomian daerah dalam suatu negara dipengaruhi oleh setiap sektor secara berbeda-beda. 3. Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan
sosial.
Implementasinya
tidak
hanya
ditujukan
untuk
meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata. Pembangunan pertanian melalui implementasinya dimaksudkan untuk mengembangkan
16
potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008). Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari perencana pembangunan di negara yang sedang berkembang. Jika semula industrialisasi diandalkan sebagai suatu model
pembangunan
yang
akan
mampu
memecahkan
masalah
keterbelakangan negara-negara yang sedang berkembang, setelah krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru dalam pembangunan di negara dunia ketiga. Meskipun telah terbukti bahwa sektor pertanian mampu menjadi tumpuan hidup masyarakat yang sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi untuk menjadikan sektor pertanian sebagai suatu leading sector dalam proses pembangunan bukanlah suatu hal yang mudah (Soetrisno, 2002). Pada masa orde baru, pembangunan pertanian diletakkan pada skala prioritas teratas. Pertanian telah dijadikan dasar pembangunan nasional yang menyeluruh. Disadari bahwa perkembangan pertanian merupakan prasyarat industrialisasi yang akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional yang tangguh. Konsep ini mengakhiri perdebatan dan kontroversi pandangan tentang strategi pembangunan dan pemikiran mengenai strategi pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang (Rahardjo, 2000). Pembangunan pertanian di Indonesia ke depan menurut Syafa’at dan Supena (2000), harus selalu diarahkan agar mampu memanfaatkan secara maksimal keunggulan sumberdaya wilayah secara berkelanjutan. Oleh karena itu kebijaksanaan pembangunan pertanian mesti dirancang dalam perspektif ekonomi wilayah. Pembangunan pertanian dalam konteks ekonomi wilayah semakin relevan dengan berlakunya UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999, yang kemudian dijabarkan dalam PP Nomor 2 tahun 2000. Hal ini berarti bahwa pemerintah pusat hanya berperan dalam merancang perencanaan yang bersifat makro, sedangkan pemerintah daerah merancang pelaksanaan pencapaian target sesuai dengan kondisi wilayah.
17
4. Teori Ekonomi Basis Inti dari model ekonomi basis adalah arah pertumbuhan suatu daerah akan ditentukan oleh sektor-sektor yang mengekspor produknya ke daerah atau bahkan ke negara lain. Oleh karena itu seringkali model ekonomi basis disebut juga model basis ekspor. Model basis ekonomi dalam perencanaan pembangunan daerah sebenarnya diambil atau diadopsi dari model ekonomi makro atau model pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti diketahui ada dua model pertumbuhan ekonomi nasional secara makro yaitu model yang menganggap
faktor-faktor
dari
dalam
(internal)
sebagai
pemacu
pertumbuhan dan model yang menganggap faktor-faktor dari luar (eksternal) sebagai pemacu (Nugroho, 2004). Teori
basis
ekonomi
(economic
base
theory)
mendasarkan
pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basis
yang
dapat
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
(Tarigan, 2012). 5. Pengembangan Komoditas Tanaman Obat Tanaman obat atau biofarmaka didefinisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zatzat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya (Herdiani, 2012) Penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka) cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obatobat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat dari bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Saat ini sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, namun baru sekitar 200
18
spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri obat tradisional dan dari jumlah tersebut baru sekitar 4% yang dibudidayakan. Salah satu upaya pemerintah melalui Ditjen POM dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri tanaman obat Indonesia adalah dengan menetapkan 13 komoditi unggulan tumbuhan obat yaitu temulawak, jati belanda, sambiloto, mengkudu, pegagan, daun ungu, sanrego, pasak bumi, daun jinten, kencur, pala, jambu mete dan tempuyung dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar dan potensi produksi yang tinggi serta berpeluang dalam pengembangan teknologi. Peluang pengembangan obat tradisional Indonesia masih terbuka lebar karena permintaan pasar yang terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi dan menyadari mahalnya obat sintetik saat ini (BBPP Lembang, 2012). Masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan tanaman obat untuk pelayanan kesehatan formal, sebagai sumber devisa dan PDB di Indonesia adalah: (1) belum ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan tanaman obat sebagai obat resmi dan salah satu sumber kesejahteraan rakyat; (2) belum ada program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan dan pemanfaatan TO nasional; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program antar instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; (4) Undang-undang kesehatan yang ada belum kondusif bagi pemanfatan tanaman obat dalam pelayanan kesehatan formal (Departemen Pertanian, 2005). 6. Analisis LQ (Location Quotient) Menurut Budiharsono (2001) penentuan basis atau tidaknya suatu sektor dapat diperoleh dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ). Metode Quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional.
19
Penghitungan LQ > 1 menunjukkan bahwa peranan sektor i cukup menonjol di daerah tersebut dan seringkali sebagai petunjuk bahwa daerah tersebut surplus akan produk sektor i dan mengekspornya ke daerah lain. Daerah itu hanya mungkin mengekspor produk ke daerah lain atau luar negeri karena mampu menghasilkan produk tersebut secara lebih murah atau efisien. Atas dasar itu LQ > 1 secara tidak langsung memberi petunjuk bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk sektor i tersebut. Sedangkan, apabila LQ < 1 maka peranan sektor tersebut lebih kecil daripada peranan sektor tersebut secara nasional (Tarigan, 2012). Metode Koefisien Lokasi (Location Quotient) dapat digunakan untuk mengukur dan menentukan potensi pembangunan daerah secara relatif terhadap daerah lainnya. Mengingat dewasa ini tingkat persaingan antar daerah maupun dengan dunia internasional sudah semakin tajam, maka sesuai dengan prinsip dalam Teori Ekonomi Regional, maka potensi utama suatu daerah seharusnya dilihat dari sudut pandang Keuntungan Komperatif (Comperative Advantage) dari sektor, subsektor dan komoditi tertentu secara relatif terhadap daerah lain. Secara teoritis, koefisien lokasi ini pada dasarnya merupakan ukuran dari Revealed Comperative Advantage yang lazim muncul dalam Ilmu Ekonomi Regional dan Perdagangan Internasional (Sjafrizal, 2014). Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari Miller and Wright (1991), Isserman (1977) dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi
yang
lebih
sederhana
dengan
segala
kelebihan
dan
keterbatasannya. Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
20
7. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) Pada dasarnya, proses pengambilan keputusan adalah memilih suatu alternatif. Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman, pengetahuan, emosi dan rasa untuk dioptimasi dalam suatu proses yang sistematis, serta mampu membandingkan secara berpasangan hal-hal yang tidak dapat diraba maupun yang dapat diraba, data kuantitatif maupun yang kualitatif. Peralatan utama AHP (Analytical Hierarchy Process) adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Keberadaan hirarki memungkinkan dipecahkannya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub-sub bab masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu hirarki (Kusrini, 2007). Ada beberapa prinsip yang harus dipahami untuk memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu: (1) prinsip menyusun hirarki; (2) prinsip menetapkan prioritas; (3) prinsip konsistensi logis. Prinsip-prinsip alami pemikiran ini mendasari AHP (Analytical Hierarchy Process): a. Prinsip Menyusun Hirarki Dalam menyusun hirarki, perusahaan berusaha untuk menggambarkan dan menguraikan permasalahan atau realitas secara hirarki. Untuk memperoleh pengetahuan terinci, realitas yang kompleks disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya. Kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagian lain, dan seterusnya secara hirarki. Dengan kata lain persoalan yang kompleks, dipecahkan menjadi unsur-unsur yang terpisah. b. Prinsip Menetapkan Prioritas Penetapan prioritas yang dimaksud adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya.
21
c. Prinsip Konsistensi Logis Konsistensi logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsistensi, sesuai dengan suatu kriteria yang logis. AHP dapat menangani masalah yang elemen-elemennya saling tergantung dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. AHP memberikan suatu skala untuk menunjukkan hal-hal, mewujudkan metode
penetapan
prioritas
dan
melacak
konsistensi
logis
dari
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan prioritas tersebut. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah elemen-elemen suatu sistem ke dalam berbagai tingkat berlainan, mengelompokkan unsur serupa dalam setiap tingkat dan memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk berbagai permasalahan yang tak terstruktur. AHP menuntun ke suatu perkiraan menyeluruh tentang kebaikan-kebaikan dan keburukan setiap alternatif, mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dan berbagai faktor, dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan organisasi dalam pengambilan keputusan. Hal-hal tersebut menjadikan metode AHP sebagai cara yang efektif dalam pengambilan keputusan dan dapat digunakan secara luas (Iryanto, 2008). Menurut David (2001), ada beberapa pendekatan yang mungkin dilakukan dengan menggunakan AHP terkait pemberian pendapat. Model AHP yang terpisah dapat distrukturisasi secara bebas oleh masing-masing pengambil keputusan dan digabung dalam satu level pengambil keputusan. Teknik pengkombinasian beberapa pendapat dilakukan dengan satu pendekatan, setiap pengambil keputusan membuat perbandingan pendapat terkait kepentingan relatif yang selanjutnya nilai tersebut diratakan dengan menggunakan rata-rata ukur (geometic mean). Ada dua perhatian penting dalam menggunakan rata-rata. Pertama, dasar dari pengevaluasian dari AHP adalah pembentukan dari skala rasio, dan mungkin penggunaan rata-rata ukur lebih baik apabila dibandingkan dengan menggunakan rata-rata hitung
22
yang masih harus terkonsepkan lebih konsisten. Kedua, rata-rata hitung mungkin tidak menyediakan perkiraan baik yang kebanyakan konsumen dengan pertimbangan kuat mengusulkan pendapatnya terutama jika rataratanya terpengaruh oleh sejumlah kecil konsumen dengan pendapat yang ekstrim. C. Kerangka Berpikir dan Pendekatan Masalah Penelitian ini akan dimulai dengan melakukan peninjauan terhadap pembangunan wilayah di Kabupaten Pacitan yang ditopang melalui sektor perekonomian dan sektor non perekonomian. Sektor perekonomian terdiri atas sektor pertanian dan delapan sektor non pertanian. Sektor pertanian kemudian terbagi atas lima subsektor yaitu subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor kehutanan dan subsektor perikanan. Fokus utama penelitian ini berpusat pada subsektor tanaman bahan makanan yang besaran kontribusinya didukung oleh komoditas tanaman pangan dan komoditas tanaman hortikultura. Komoditas tanaman hortikultura terdiri atas tanaman sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat. Terdapat 15 jenis tanaman yang melingkupi kegiatan budidaya tanaman obat di Kabupaten Pacitan yaitu jahe, laos, lempuyang, temulawak, dringo, kapulaga, sambiloto, mahkota dewa, kencur, kunyit, temu ireng, keji beling, kunci, mengkudu dan lidah buaya. Penelitian ini akan mengklasifikasikan 15 jenis tanaman obat di Kabupaten Pacitan menjadi komoditas basis dan komoditas non basis dengan menggunakan alat analisis pemetaan LQ (Location Quotient). Komoditas tanaman obat basis dinilai dengan kriteria LQ ≥ 1, dimana komoditas dengan nilai LQ basis yang konsisten selama 3 tahun berturut-turut pada 2011-2013 akan dijadikan sebagai komoditas tanaman obat yang akan dicari alternatif strategi pengembangannya melalui analisis pengembangan AHP (Analytical Hierarchy Process). AHP dipilih karena dapat membantu menentukan pilihan terbaik yang melibatkan banyak kriteria berdasarkan intuisi dan persepsi para ahli yaitu responden yang terdiri dari para stakeholder dalam pengembangan tanaman obat di Kabupaten Pacitan dengan tetap memperhatikan konsistensi.
23
Pembangunan Wilayah Kabupaten Pacitan
Sektor Non Perekonomian
Sektor Perekonomian
Sektor Pertanian Subsektor Pertanian: 1. Tanaman Bahan Makanan 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Kehutanan 5. Perikanan Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Sektor Non Pertanian: 1. Pertambangan dan Penggalian 2. Industri Pengolahan 3. Listrik, Gas dan Air Bersih 4. Bangunan 5. Perdagangan, Hotel dan Restoran 6. Pengangkutan dan Komunikasi 7. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 8. Jasa-Jasa
Teori Ekonomi Basis Tanaman Pangan : 1. Padi 2. Palawija 3. Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian
Tanaman Hortikultura : 1. Sayur-Sayuran 2. Buah-Buahan 3. Tanaman Hias 4. Tanaman Obat
Pengukuran Langsung
Pengukuran Tidak Langsung Metode LQ (Location Quotient)
Tanaman Obat : 1. Jahe 2. Laos 3. Lempuyang 4. Temulawak 5. Dringo 6. Kapulaga 7. Sambiloto 8. Mahkota Dewa 9. Kencur 10. Kunyit 11. Temu Ireng 12. Keji Beling 13. Kunci 14. Mengkudu 15. Lidah Buaya
: Objek yang dianalisis
LQ ≥ 1 Komoditas Basis
LQ < 1 Komoditas Non Basis
Strategi Pengembangan Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) Alternatif dan Prioritas Strategi Pengembangan Komoditas Tanaman Obat Basis
: Objek yang tidak dianalisis
Gambar 1. Kerangka Berpikir Analisis Pemetaan dan Pengembangan Komoditas Tanaman Obat di Kabupaten Pacitan
24
D. Asumsi-Asumsi Asumsi-asumsi yang digunakan untuk analisis pemetaan komoditas tanaman obat di Kabupaten Pacitan dalam penelitian ini adalah: 1. Kebutuhan akan suatu barang dipenuhi oleh produksi daerah sendiri atau lokal terlebih dahulu yang kekurangannya akan dipenuhi dengan membeli dari daerah atau Kabupaten lain yang berada baik di dalam wilayah Provinsi Jawa Timur maupun di luar Provinsi Jawa Timur. 2. Terdapat pola permintaan yang sama antara wilayah Kabupaten dan Provinsi. E. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data runtun waktu (time series), yaitu: a. Data produksi komoditas tanaman obat tingkat produsen yang mencakup 15 komoditas yaitu jahe, laos, lempuyang, temulawak, dringo, kapulaga, sambiloto, mahkota dewa, kencur, kunyit, temu ireng, keji beling, kunci, mengkudu dan lidah buaya pada tahun 2011-2013 di Kabupaten Pacitan dan Provinsi Jawa Timur. b. Data harga komoditas tanaman obat tingkat produsen yang mencakup 15 komoditas yaitu jahe, laos, lempuyang, temulawak, dringo, kapulaga, sambiloto, mahkota dewa, kencur, kunyit, temu ireng, keji beling, kunci, mengkudu dan lidah buaya pada tahun 2011-2013 di Kabupaten Pacitan dan Provinsi Jawa Timur. 2. Informan kunci dalam penelitian ini adalah stakeholder dan lembaga pendukung
yang
berkompeten
terkait
dengan
segala
bentuk
keberlangsungan input, proses dan output subsektor tanaman bahan makanan komoditas tanaman obat yang berada di wilayah Kabupaten Pacitan. 3. Komoditas tanaman obat basis sebagai objek penelitian mencakup semua bentuk input, proses dan output berupa bibit, hasil panen dan hasil olahan komoditas tersebut di Kabupaten Pacitan.
25
F. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel 1. Sektor perekonomian merupakan lingkungan usaha yang lebih menekankan pada bidang ekonomi, dimana terdapat sembilan sektor perekonomian di Kabupaten Pacitan. 2. Sektor pertanian adalah kegiatan perekonomian yang mendasarkan proses produksi pertumbuhan dan perkembangan. Sektor pertanian terdiri dari lima subsektor yaitu subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor kehutanan dan subsektor perikanan. 3. Subsektor tanaman bahan makanan adalah subsektor jenis tanaman yang dibudidayakan guna memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai sumber makanan yang mencakup tanaman pangan dan tanaman hortikultura. 4. Komoditas adalah produk yang dihasilkan oleh suatu usaha atau kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia di Kabupaten Pacitan. 5. Komoditas tanaman obat adalah komoditas yang dihasilkan oleh suatu kegiatan usaha budidaya tanaman obat di Kabupaten Pacitan yang mencakup 15 komoditas yaitu jahe, laos, lempuyang, temulawak, dringo, kapulaga, sambiloto, mahkota dewa, kencur, kunyit, temu ireng, keji beling, kunci, mengkudu dan lidah buaya. 6. Nilai produksi komoditas tanaman obat merupakan hasil yang diterima suatu komoditas tanaman obat, yang diperoleh dari perkalian antara jumlah produksi suatu komoditas tanaman obat dalam satu tahun dengan harga ratarata komoditas tanaman obat ditingkat produsen dalam satu tahun di Kabupaten Pacitan yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). 7. Analisis adalah penyelidikan terhadap data-data untuk mengetahui keadaan sebenarnya. 8. Analisis pemetaan adalah sebuah metode untuk mengelompokkan atau menyusun data secara sistematis menurut beberapa aturan atau kaidah yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini, analisis pemetaan dilakukan pada komoditas tanaman obat di Kabupaten Pacitan dengan alat analisis LQ (Location Quotient) yang akan memetakan komoditas tanaman obat menjadi komoditas basis dan komoditas non basis.
26
9.
Komoditas basis adalah komoditas yang nilai produksinya mampu untuk memenuhi kebutuhan di wilayah sendiri serta mampu mengekspor ke luar wilayah Kabupaten Pacitan, yaitu komoditas dengan nilai LQ ≥ 1.
10. Komoditas basis yang dicari alternatif dan prioritas pengembangannya dalam penelitian ini adalah komoditas tanaman obat basis yang memiliki nilai LQ ≥ 1 selama tahun 2011-2013 di Kabupaten Pacitan. 11. Komoditas non basis adalah komoditas yang nilai produksinya tidak dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri sehingga memerlukan pasokan impor dari luar wilayah Kabupaten Pacitan, yaitu komoditas dengan nilai LQ < 1. 12. Analisis pengembangan adalah serangkaian rencana yang ditujukan untuk mengembangkan komoditas tanaman obat basis di Kabupaten Pacitan. Penelitian ini menggunakan alat analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) untuk menentukan alternatif dan prioritas strategi pengembangan komoditas tanaman obat di Kabupaten Pacitan dengan tiga tahapan penerapan yaitu dekomposisi masalah, penilaian atau pembandingan elemen dan sintesis penilaian. 13. Dekomposisi masalah merupakan suatu proses penguraian masalah ke dalam bentuk yang lebih sederhana, dimana dalam analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) dekomposisi masalah terdiri atas tujuan (goal) dari suatu kegiatan, perumusan kriteria (criteria) untuk memilih prioritas dan identifikasi pilihan-pilihan (options) dalam pengembangan komoditas tanaman obat basis. 14. Tujuan (goal) adalah arah atau haluan yang hendak dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tujuan dalam penelitian ini adalah strategi pengembangan komoditas tanaman obat basis di Kabupaten Pacitan. 15. Kriteria adalah kadar atau usulan atau patokan yang digunakan untuk mempertimbangkan atau menentukan sesuatu, dalam hal ini mencakup segala aspek utama kriteria pengembangan komoditas tanaman obat basis. Kriteria pengembangan komoditas tanaman obat basis yang digunakan mengacu
pada
Bank
Indonesia
(2007)
dan
penelitian
dari
27
Widyatama (2009) yaitu produksi, modal, teknologi, harga dan jaringan pasar yang disesuaikan dengan kondisi lapang. 16. Identifikasi pilihan-pilihan (options) adalah hasil penentuan atau penetapan dari berbagai alternatif yang sesuai dengan tujuan pelaksanaan suatu kegiatan dengan dasar tujuan dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya bagi pengembangan komoditas tanaman obat basis. Hasil identifikasi pilihan ini berupa beberapa alternatif strategi yang akan dinilai bobot kepentingannya untuk diprioritaskan. 17. Penilaian atau pembandingan elemen adalah suatu proses untuk menentukan bobot masing-masing kriteria, melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria dan menilai seberapa penting suatu pilihan dilihat dari kriteria tertentu dalam pengembangan komoditas tanaman obat basis. 18. Sintesis penilaian merupakan tahap akhir analisis berupa penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut, dimana prioritas dapat disusun berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya, dan sebaliknya.