BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1.
Sikap Peduli Lingkungan a.
Pengertian Sikap Peduli Lingkungan Sikap merupakan cerminan jiwa seseorang sebagai suatu cara untuk mengkomunikasikan perasaan kepada orang lain melalui perilaku. Sikap merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Pembentukan sikap yang paling efektif adalah melalui pengalaman sendiri. Pengalaman yang dimiliki akan berperan dalam membentuk kognisi dan perasaan seseorang terhadap objek sikap tertentu yang dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan perilaku seseorang (Hutagalung, 2007). Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Elsa, dkk. (2014) bahwa sikap merupakan kecenderungan pada tingkah laku manusia untuk melakukan tindakan dengan cara dan pola tertentu yang menunjukkan perilaku seseorang. Sikap merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan lingkungan sosial. Berbagai faktor seperti hakikat stimulus, latar belakang pengalaman individu, motivasi dan sebagainya ikut berperan dalam menentukan reaksi seseorang terhadap stimulus lingkungan dan sosial (Azwar, 2013). Sikap merupakan organisasi dari pendapat dan keyakinan terhadap suatu objek yang relatif tetap disertai dengan perasaan yang menjadi dasar seseorang untuk membuat respon atau berperilaku tertentu (Walgito, 1999). Berdasarkan beberapa uraian definisi sikap di atas dapat disimpulkan bahwa sikap peduli lingkungan merupakan kesatuan dari pendapat dan keyakinan seseorang dalam memperhatikan kelestarian lingkungan alam sebagai dasar respon untuk berperilaku ramah lingkungan. Hutagalung (2007) menjelaskan bahwa ciri khas dari sikap adalah mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, benda) dan 9
10 mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka). Sikap mengandung tiga bagian yaitu kognitif (keyakinan, kesadaran), afektif (perasaan) dan konatif (perilaku). Komponen kognitif adalah komponen yang berisikan apa yang diyakini dan diperkirakan seseorang mengenai objek tertentu. Komponen afektif terdiri atas seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek. Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Heberlein (1997) mengatakan bahwa sikap terdiri atas dua komponen yaitu dimensi emosional yang melibatkan perasaan dan aspek kognitif yang mengacu pada fakta dan keyakinan seseorang. Sikap merupakan hasil interaksi dan pengalaman. Sikap dinyatakan sebagai hasil belajar karena sikap dapat mengalami perubahan. Sikap ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar. Faktor eksternal yaitu keadaan diluar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap melalui pengaruh sosial, kebudayaan serta informasi yang diterima individu (Widyastuti, 2014). Perolehan informasi melalui pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sikap. Pendidikan memberikan pengetahuan yang mampu mengubah nilai dan keyakinan seseorang yang berakhir pada perubahan sikap positif (Arbuthnott, 2009). b. Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1991) menjelaskan bahwa perilaku ramah lingkungan dapat muncul karena adanya dorongan kesiapan untuk berperilaku/ behavioral intention. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan berperilaku adalah sikap peduli lingkungan/ behavioral attitude. Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (intention) dipengaruhi oleh tiga penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior). Kedua, berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu persepsi seseorang terhadap tanggapan orang lain terhadap tingkah laku yang
11 ditampilkan (subjective norms). Ketiga, berhubungan dengan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang mendukung dan menghalangi individu untuk melakukan suatu perilaku (percieved behavior control). c. Teori Konsistensi Afektif-Kognitif Rosenberg Teori Rosenberg dikenal dengan Teori Affective-Cognitive Consistency dalam teori organisasi sikap dan teori tersebut juga kadangkadang disebut teori dua faktor karena didalamnya memusatkan perhatian pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif. Rosenberg memandang bahwa pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan mengenai objek sikap, melainkan juga mencakup kepercayaan tentang hubungan antara objek sikap dengan nilai yang ada dalam diri individu. Komponen afektif didefinisikan sebagai perasaan dalam diri seseorang baik bersifat negatif atau perasaan positif terhadap objek sikap (Azwar, 2013). Rosenberg berpendapat bahwa hubungan antara komponen afektif dengan komponen kognitif dalam organisasi sikap digambarkan bahwa apabila komponen afektif dan kognitif saling konsisten satu sama lain maka sikap akan berada dalam keadaan stabil, sebaliknya apabila kedua komponen termasuk tidak konsisten maka sikap akan mengalami ketidakstabilan dan mengalami reorganisasi. Sikap akan mengalami perubahan ketika terdapat kekuatan eksternal yang mempengaruhi salah satu komponen afektif atau kognitif. Perubahan sikap dapat dilakukan dengan memberikan tekanan-tekanan yang menggiring pada perubahan sikap ke arah yang dikehendaki secara terus-menerus. 2.
Teori Belajar a.
Teori Behavioristik Teori behavioristik adalah sebuah teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori tersebut lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
12 pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar (Suardi, 2015). Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-respon. Respon atau perilaku dapat dipelajari melalui pembiasaan. b. Teori Perkembangan Kognitif Piaget Piaget mengemukakan bahwa tahapan perkembangan intelektual anak terdiri atas empat tahapan yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret dan tahap operasional formal (Rahyubi, 2014). 1) Tahap Sensorimotor Tahap sensorimotor terjadi pada usia 0-2 tahun. Ciri pokok perkembangannya anak mendapatkan pengalaman awal akan dunianya melalui gerak dan rasa. Intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungan. 2) Tahap Pra-operasional Tahap pra-operasional terjadi pada usia 2-7 tahun. Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan simbol/ bahasa tanda. Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dilihat di lingkungannya saja. 3) Tahap Operasional Konkret Tahap operasional konkret terjadi pada usia 7-11 tahun. Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadiankejadian konkret/ nyata. Anak telah dapat mengetahui simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tidak berwujud). 4) Tahap Operasional Formal Tahap operasional formal terjadi pada anak usia > 11 tahun. Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara hipotesis, abstrak dan logis. Anak mulai cakap berpikir dan berargumentasi mengenai hal-hal yang abstrak.
13 3.
Skala New Ecological Paradigm (NEP) Skala NEP digunakan untuk mengukur sikap dan kesiapan berperilaku peduli lingkungan. Skala NEP versi revisi mencakup pandangan yang lebih lengkap dan terperinci dalam mengukur sikap kepedulian lingkungan. NEP hasil revisi memaksimalkan nilai validitas konten yang dimiliki dan terbukti konsisten sebagai alat ukur (Dunlap, et al., 2000). NEP didesain untuk mengidentifikasi 5 dimensi ekologi meliputi dimensi balance of nature, limit to growth, anti anthropocentrism, anti-exemptionalism dan eco-crisis. Lima dimensi ekologi tersebut dijabarkan ke dalam 15 item pernyataan yang diukur menggunakan skala Likert (Ogunbode, 2013). Penjelasan dari lima dimensi ekologi berdasarkan Dunlap (2008) dan Amburgey & Thoman (2011) adalah sebagai berikut. a.
Balance of nature Dimensi balance of nature mengukur keyakinan bahwa keseimbangan alam sangat rentan. Alam rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia.
b.
Limit to growth Dimensi limit to growth mengukur keyakinan bahwa sumber daya yang ada di bumi memiliki keterbatasan.
c.
Anti-anthropocentrism Dimensi anti-anthropocentrism mengukur keyakinan bahwa manusia memiliki hak untuk mengubah dan menguasai lingkungan alam.
d.
Anti-exemptionalism Dimensi anti-exemptionalism mengukur keyakinan bahwa kehidupan manusia tidak terbebas dari aturan alam/ hukum alam.
e.
Eco-crisis Dimensi eco-crisis mengukur keyakinan bahwa manusia menyebabkan kerusakan yang merugikan bagi lingkungan fisik, contohnya perubahan iklim. Dimensi eco-crisis melihat pandangan individu mengenai krisis ekologi dan kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas manusia.
14 4.
Education for Sustainable Development (EfSD) Upaya kultural untuk membentuk karakter peduli lingkungan melalui pendidikan telah menjadi perhatian secara global. Upaya tersebut telah dirumuskan dalam Agenda 21 sebagai hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Pada Bab 36 bagian IV rumusan Agenda 21 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan bersama mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui pembangunan karakter peduli lingkungan secara kultural. Rumusan tersebut diwujudkan dalam langkah operasional yang dikenal dengan istilah Education for Sustainable Development/ EfSD. Pendidikan sebagai salah satu pengembang sumber daya manusia juga ikut andil dalam menciptakan pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan. Education for Sustainable Development merupakan suatu paradigma baru dimana pendidikan menjadi suatu sarana yang memberi kesadaran dan kemampuan kepada semua orang utamanya generasi muda untuk
berkontribusi
secara
nyata
bagi
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development) (Priyanto, dkk., 2013). EfSD memberikan konsep yang memungkinkan orang untuk mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki dalam pengambilan keputusan mengenai cara bersikap untuk meningkatkan kualitas hidup masa depan (Ali, 2009). EfSD adalah sebuah pandangan baru dimana pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas dan kemampuan generasi muda dalam mewujudkan pembangunan tanpa merusak dan merugikan lingkungan demi generasi masa depan. EfSD merupakan salah satu langkah operasional dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini dengan mempertimbangkan kelanjutan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan sendiri mencakup tiga pilar yaitu ekonomi, sosial budaya dan pengelolaan lingkungan/ ekologi (Fauzi & Oxtavianus, 2014). EfSD diterapkan salah satunya melalui pendidikan lingkungan untuk meningkatkan pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan
15 yang mempertahankan keberlangsungan lingkungan alam untuk generasi masa depan. 5.
Subject Spesific Pedagogy (SSP) a.
Pengertian SSP Subject Spesific Pedagogy (SSP) merupakan pengemasan materi bidang studi menjadi seperangkat pembelajaran yang mendidik berisi tentang kompetensi, materi, metode, strategi, media dan evaluasi. Menurut Susilowati, dkk (2013) Subject berkaitan dengan materi yang akan disampaikan yaitu materi pencemaran dan kerusakan lingkungan pada mata pelajaran IPA Terpadu. Spesific berlaku khusus pada materi yang akan diberikan. Pedagogy merupakan cara mengajarkan materi tersebut. SSP diartikan sebagai pembelajaran spesifik pada materi yang telah ditentukan. CalTPA (2014) menyebutkan bahwa setiap SSP terdiri dari empat prinsip yang perlu dikembangkan yaitu pengembangan pedagogi yang sesuai, penyesuai isi materi, cara mengajar dan karakteristik peserta didik dan menyesuaikan isi materi dan cara mengajar dengan kebutuhan spesifik siswa. SSP yang dibuat berdasarkan pada materi pelajaran IPA memuat komponen kompetensi, materi, metode, strategi, media serta evaluasi yang
diwujudkan
dalam
seperangkat
pembelajaran.
Perangkat
pembelajaran tersebut meliputi silabus, RPP, modul, LKS dan evaluasi Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa SSP merupakan seperangkat pengajaran spesifik pada materi tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. b. Komponen SSP 1) Silabus Silabus merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang dijabarkan
ke
dalam
materi
pokok
pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi pembelajaran (Bani, 2015). Silabus merupakan pengembangan kurikulum yang
16 menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai dan uraian materi yang perlu dipelajari siswa (Sagala, 2008). Silabus merupakan salah satu perangkat pengembangan kurikulum yang menjabarkan kompetensi dasar yang hendak dicapai ke dalam materi pembelajaran siswa. Majid (2013) mengungkapkan bahwa penyusunan silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran, sumber pokok dalam penyusunan perencanaan
pembelajaran,
pedoman
dalam
perencanaan
pengelolaan kegiatan belajar baik secara individu maupun kelompok serta berperan dalam mengembangkan sistem penilaian. Pengembangan silabus dilakukan sesuai dengan prinsipprinsip tertentu. Beberapa prinsip yang mendasari pengembangan silabus dalam Majid (2013) meliputi ilmiah, memperhatikan perkembangan dan kebutuhan siswa, sistematis serta relevansi, konsistensi dan kecukupan. Prinsip ilmiah memiliki arti bahwa materi pelajaran yang disajikan dalam silabus harus memenuhi kebenaran ilmiah dengan melibatkan para pakar bidang keilmuan masing-masing pelajaran. Penyajian materi juga disesuaikan dengan karakteristik perkembangan siswa. Prinsip sistematis menunjukkan bahwa silabus merupakan satu kesatuan yang mempunyai tujuan terdiri
atas
komponen-komponen
yang
saling
berhubungan
membentuk sebuah sistem. Relevansi, konsistensi dan kecukupan berarti bahwa penyusunan silabus disesuaikan dengan masingmasing komponen silabus. Pengembangan silabus dilakukan melalui beberapa tahapan. Martiyono (2012) menjelaskan bahwa tahapan pengembangan silabus meliputi pengisian identitas silabus, menuliskan standar kompetensi, menuliskan kompetensi dasar, mengidentifikasi materi pokok pembelajaran, mengembangkan kegiatan pembelajaran, merumuskan indikator serta menentukan sistem penilaian.
17 2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) RPP
merupakan
rencana
pembelajaran
sebagai
pengembangan yang lebih rinci dari suatu materi pokok mengacu pada silabus (Hariyanto, 2014). RPP merupakan implementasi program pembelajaran berdasarkan silabus yang berisi rancangan prosedur pembelajaran sebagai pegangan guru selama aktivitas pembelajaran dalam rangka mencapai suatu kompetensi dasar (Martiyono, 2012). RPP merupakan rencana pembelajaran yang disusun berdasarkan silabus sebagai pedoman guru selama aktivitas pembelajaran. RPP
dikembangkan
berdasarkan
prinsip-prinsip
yang
menjadi acuan dasar. Prinsip-prinsip pengembangan RPP yang dikemukakan oleh Martiyono (2012) meliputi kejelasan, relevan, utuh dan menyeluruh, koordinatif serta kesederhanaan, fleksibilitas dan keterlaksanaan. Kejelasan berarti bahwa kompetensi yang dirumuskan dalam RPP memiliki kejelasan mengenai objek yang diamati dan diukur. Relevan, artinya RPP disusun sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Utuh dan menyeluruh, artinya RPP harus mencerminkan langkah-langkah utuh dalam upaya mencapai kompetensi. Prinsip koordinatif mengandung arti bahwa RPP harus mencerminkan langkah-langkah koordinasi dengan komponenkomponen pembelajaran lain dan saling bersinergi untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Prinsip kesederhanaan, fleksibilitas dan keterlaksanaan berarti bahwa RPP yang disusun harus dapat dilaksanakan dalam pembelajaran. Penyusunan RPP dilakukan dalam beberapa tahapan. Trianto (2013) menyebutkan bahwa tahapan penyusunan RPP meliputi pengisian kolom identitas, penentuan alokasi waktu pertemuan, penentuan KD dan indikator, perumusan tujuan sesuai KD dan indikator, pengisian materi standar, penentuan pendekatan, model dan metode pembelajaran, penentuan langkah-langkah
18 pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti dan akhir, penentuan sumber belajar dan penyusunan kriteria penilaian. 3) Buku Siswa Buku siswa yang dimaksud disini adalah modul. Modul adalah sebuah perangkat yang akan membantu efektivitas dari kegiatan pembelajaran yang penyusunannya berpijak pada rencana kegiatan belajar-mengajar (Widodo & Jasmadi, 2008). Modul adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasanbatasan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Modul memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing (Susilana & Riyana, 2009). Modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis yang disusun secara sistematis, memuat materi dan tujuan pembelajaran berdasarkan indikator pencapaian kompetensi yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri (Hamdani, 2011). Modul merupakan sarana pembelajaran yang memuat materi pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa belajar mandiri untuk mencapai kompetensi sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penyusunan modul dilakukan berdasarkan beberapa prinsip. Prinsip-prinsip penyusunan modul menurut Hamdani (2011) meliputi penyusunan materi dari yang mudah dan konkret menuju materi yang sulit dan abstrak, pengulangan untuk memperkuat pemahaman, umpan balik positif yang memberikan penguatan kepada siswa, pemberian motivasi serta pemberian latihan dan tugas untuk menguji diri sendiri. 4) Lembar Kerja Siswa (LKS) LKS merupakan media stimulus dan bimbingan guru dalam pembelajaran yang disajikan secara tertulis (Fannie & Rohati, 2014). LKS merupakan perangkat pembelajaran sebagai sarana pendukung
19 pelaksanaan rencana pembelajaran yang menggalakkan keterlibatan siswa dalam belajar (Majid, 2013). LKS merupakan perangkat pendukung pembelajaran secara tertulis sebagai rangsangan kepada siswa untuk melakukan aktivitas pembelajaran. Komponen LKS terdiri atas informasi/ konteks permasalahan dan pertanyaan/ perintah. Informasi yang ditulis dalam LKS memiliki ciri yang dapat menginspirasi siswa untuk menjawab dan mengerjakan tugas serta mampu mengasah kreativitas siswa dengan memperhatikan aspek kejelasan. Pernyataan masalah dalam LKS mampu menuntut siswa untuk menemukan solusi permasalahan. Komponen pertanyaan dalam LKS memiliki ciri yang mampu merangsang siswa untuk menyelidiki, menemukan dan memecahkan masalah serta mengkreasi. Pertanyaan tersebut dapat bersifat terbuka atau membimbing. 5) Evaluasi Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris Evaluation, dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses menentukan nilai pembelajaran seseorang dengan menentukan patokan tertentu guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan (Suardi, 2015). Evaluasi merupakan
kegiatan
pengumpulan
data
untuk
mengukur
ketercapaian tujuan (Aunurrahman, 2013). Evaluasi merupakan suatu proses kegiatan pengumpulan data dalam rangka menentukan nilai pembelajaran seseorang untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara umum evaluasi bertujuan untuk melihat ketercapaian tujuan yang telah ditentukan pada suatu program atau kegiatan. Evaluasi bermanfaat untuk mengetahui taraf kesiapan siswa, kualitas pembelajaran, efisiensi metode yang digunakan dalam pembelajaran serta sebagai sumber informasi dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran (Aunurrahman, 2013).
20 6.
Model Pembelajaran Problem Based Learning Model pembelajaran adalah cara yang sederhana untuk melihat hubungan beberapa variabel
pembelajaran
yang diwujudkan secara
operasional dalam pembelajaran (Martiyono, 2012). Model pembelajaran merupakan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan sebagai pedoman guru dalam aktivitas pembelajaran yang tersusun secara sistematis (Majid, 2013). Model pembelajaran merupakan prosedur/ cara yang digunakan guru untuk mencapai tujuan yang diwujudkan dalam aktivitas pembelajaran di kelas. Tan (2004) mengatakan bahwa PBL dikenal sebagai pembelajaran aktif progresif dengan pendekatan yang berpusat pada siswa (student center) dimana permasalahan ill-structure dalam kehidupan nyata digunakan sebagai titik awal dan dasar dalam proses pembelajaran. PBL sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan tim yang menekankan pada pembentukan keterampilan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, diskusi dan kerja tim (Wulandari & Surjono, 2013). Model PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran (Husna, dkk., 2013). Duch, Groh dan Allen menggambarkan bahwa PBL dapat mengembangkan keterampilan khusus meliputi kemampuan menganalisa dan memecahkan masalah kompleks, permasalahan dunia nyata, menemukan, mengevalusai dan memanfaatkan sumber daya secara tepat, serta menggunakan pengalaman intelektual yang dimiliki untuk menjadi seorang pembelajar (Savery, 2006). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa model PBL merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai titik awal pembelajaran sehingga dapat menggembangkan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah. Model PBL terdiri atas lima langkah dalam proses pembelajaran. Kelima langkah dalam pembelajaran PBL tampak pada tabel 2.1.
21 Tabel 2.1. Sintaks Pembelajaran Model Problem Based Learning Sintaks Problem Based Learning Tahap 1 Meeting the Problem
Tahap 2 Problem Analysis and Learning Issues
Tahap 3 Discovery Reporting
and
Tahap 4 Solution Presentation and Reflection Tahap 5 Overview, Integration and Evaluation
Kegiatan Pembelajaran Siswa menemukan permasalahan berdasarkan pengamatan fenomena yang memunculkan masalah nyata sebagai stimulus aktivitas siswa dalam pembelajaran. Siswa menyampaikan pendapat berdasarkan fakta-fakta yang dapat diidentifikasi menjadi dasar permasalahan. Siswa menganalisis permasalahan untuk merangsang pengetahuan dasar, membangkitkan gagasan yang mendukung pengetahuan lebih lanjut dan mengidentifikasi permasalahan berdasarkan pokok pembelajaran. Siswa menemukan informasi dan alternatif solusi pemecahan masalah dari berbagai sumber dan melaporkan setiap informasi yang ditemukan kepada kelompok. Siswa mempresentasikan hasil peenyelesaian masalah. Siswa berinteraksi melalui penemuan dari pembelajaran, pelaporan dan tanya jawab. Siswa meninjau kembali proses pembelajaran, melakukan penarikan kesimpulan dengan mengintegrasi konsep penting dari pengetahuan yang diperoleh serta mengevaluasi setiap fase yang telah dilakukan selama pembelajaran
(Sumber: Tan, 2003)
Setiap model memiliki karakteristik yang membedakannya dengan model yang lain. Menurut Tan (2003) karakteristik dari pembelajaran PBL yaitu masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran. Masalah tersebut merupakan masalah pada dunia nyata yang muncul secara tidak terstruktur (ill-structure) dan membutuhkan berbagai perspektif disiplin ilmu dalam penyelesaiannya. Kegiatan pembelajaran
dalam PBL mampu
menantang pengetahuan siswa, dimana siswa dituntut untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada. Pembelajaran PBL juga menuntut siswa belajar
22 mandiri secara berkelompok dalam menemukan pengetahuan sehingga membentuk keterampilan penyelidikan dan pemecahan masalah. Model PBL memiliki kelebihan dan kelemahan dalam pembelajaran. Kelebihan dari model PBL yaitu menantang kemampuan siswa serta memberikan
kepuasan
untuk
menemukan
pengetahuan
baru
siswa,
meningkatkan motivasi dan keaktifan siswa dalam pembelajaran, membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan untuk memahami permasalahan di dunia nyata, membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya, mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri hasil dan proses belajarnya, mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis serta memudahkan siswa untuk menguasai konsep yang dipelajari guna memecahkan masalah di dunia nyata. Kelemahan dari model PBL yaitu siswa yang tidak memiliki minat dan kepercayaan diri akan kesulitan dalam proses pembelajaran karena kesulitan memecahkan masalah, keberhasilan model pembelajaran
PBL
membutuhkan
waktu
yang
lebih
banyak
serta
pembelajaran PBL membutuhkan pemahaman diri tentang pentingnya pembelajaran untuk menumbuhkan minat belajar siswa. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dan berkaitan dengan pengembangan SSP berbasis PBL untuk penguatan sikap peduli lingkungan dalam pembelajaran cukup banyak dilakukan di berbagai jenjang pendidikan dan berbagai bidang ilmu. Penelitian yang menjadi dasar bahan pertimbangan dalam penelitian ini yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain: Priadi, dkk. (2012) melakukan penelitian tentang pembelajaran biologi menggunakan model problem based learning melalui metode eksperimen laboratorium dan lapangan ditinjau dari keberagaman kemampuan berpikir analitis dan sikap peduli lingkungan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh metode terhadap hasil prestasi belajar afektif, ada pengaruh sikap peduli lingkungan terhadap prestasi belajar kognitif dan psikomotorik siswa, ada interaksi antara kemampuan berpikir analitis dengan sikap peduli lingkungan
23 terhadap prestasi belajar serta ada interaksi antara metode, kemampuan analitis dengan sikap peduli lingkungan terhadap prestasi belajar kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Husna, dkk. (2013) melakukan penelitian tentang penerapan model problem based learning pada konsep perusakan dan pencemaran lingkungan untuk meningkatkan sikap peduli lingkungan siswa SMA Negeri 1 Sabang. Penelitian tersebut menyatakan bahwa pembelajaran model PBL pada konsep perusakan dan pencemaran lingkungan dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan siswa dimana terjadi peningkatan sikap peduli lingkungan secara signifikan sebesar 26,37% dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 13,52%. Khanafiah & Yulianti (2013) melakukan penelitian tentang model problem based instruction pada perkuliahan fisika lingkungan untuk mengembangkan sikap kepedulian lingkungan. Penelitian tersebut mengatakan bahwa pembelajaran fisika lingkungan dengan model PBI dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan dan kemampuan pemecahan masalah. Handriani (2014) melakukan penelitian tentang implementasi kurikulum 2013 dengan model problem based learning untuk meningkatkan sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA materi lingkungan kelas VII H SMP Negeri 1 Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan PBL mampu mengoptimalkan sikap peduli lingkungan siswa dan prestasi belajar. Hebel, et al. (2014) melakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi sikap lingkungan siswa usia 15 tahun di Perancis. Penelitian dilkukan dengan membagikan angket kepada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sikap lingkungan siswa dengan minat siswa terhadap pembelajaran dengan topik lingkungan secara spesifik serta aktivitas ekstrakurikuler alam siswa berkaitan dengan nilai siswa akan lingkungan. Rosita, dkk. (2014) melakukan penelitian tentang perangkat pembelajaran problem based learning berorientasi green chemistry materi hidrolisis garam untuk mengembangkan soft skill konservasi siswa. Penelitian tersebut menggunakan model pengembangan yang terdiri dari tiga tahap yaitu define
24 (pendefinisian), design (perancangan) dan develop (pengembangan). Produk penelitian pengembangan tersebut berupa silabus, RPP, LKS dan alat evaluasi. Hasil menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran problem based learning berorientasi green chemistry mampu mengembangkan soft skill konservasi (cinta lingkungan, peduli lingkungan, tanggung jawab, objektif dan jujur) dan meningkatkan penguasaan konsep siswa. Teodorescu, et al. (2014) melakukan penelitian tentang pengembangan kurikulum dalam meningkatkan sikap dan keterampilan pemecahan siswa pada materi fisika. Hasil penelitian menujukkan adanya peningkatan sikap dan keterampilan pemecahan masalah siswa melalui pembelajaran berbasis masalah.
25 C. Kerangka Berpikir Kerusakan lingkungan sebagai permasalahan lingkungan secara global muncul akibat perilaku manusia, dimana setiap aktivitas manusia akan berdampak pada lingkungan (Stern, 2000)
Menurut Theory of Planned Behavior yang dikemukakan oleh Ajzen (1991) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah sikap
Sikap peduli lingkungan perlu ditanamkan sejak dini
Sikap peduli lingkungan dapat ditanamkan melalui pendidikan sesuai dengan program EfSD. Pendidikan mampu merubah sikap seseorang terhadap lingkungan (Arbuthnott, 2009)
Hasil angket skala NEP dari Dunlap (2000) menunjukkan sikap peduli lingkungan siswa kelas VII SMP N 1 Banyudono dalam kategori cukup
Sikap peduli lingkungan siswa kelas VII SMP dapat ditanamkan melalui pembelajaran pada materi pencemaran dan kerusakan lingkungan
Pembelajaran sesuai materi dapat dikembangkan menjadi pembelajaran spesifik
Pembelajaran materi pencemaran dan kerusakan lingkungan sesuai dengan karakteristik model PBL
Pengembangan SSP berbasis PBL Penguatan Sikap Peduli Lingkungan Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Banyudono Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir