BAB II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: kajian pustaka, landasan teori, dan kerangka berpikir A. Kajian Pustaka Penelitian stilistika memiliki keterkaitan erat dengan pemahaman terhadap penggunaan diksi, gaya bahasa, gaya wacana, citraan dalam karya sastra. Terkait dengan penelitian stilistika ini dapat dideskripsikan aneka penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian pustaka ini sebagai bentuk penjabaran keterkaitan dan relevansi penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dikaji dengan pendekatan stilistika dalam antologi cerpen pilihan Kompas 2014. Penelitian dengan kajian stilistika diantaranya dilakukan oleh Hartono (2003: 1) berjudul ”Stilistika Genetik: Studi Kasus Penggunaan Gaya Bahasa dalam cerpen Godlob Karya Danarto”. Dalam penelitian tersebut, Hartono meneliti cerpen “Godlob” karya Danarto. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan penggunaan piranti stilistika berupa bahasa kiasan yang terdiri dari metafora, simile, personifikasi, sinekdoke, dan metonimia, serta citraan yang terdiri dari citraan penglihatan, pendengaran, gerak, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah samasama mengkaji cerpen dengan pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaannya, dalam penelitian tersebut hanya dianalisis satu cerpen dan tidak dikaitkan dengan pengajaran sastra, sedangkan penelitian ini mengkaji antologi cerpen dan direlevansikan dengan pengajaran sastra, khususnya di SMK. Dengan demikian, hasil penelitian ini memiliki nilai kebermanfaatan untuk menjadi alternatif materi ajar pembelajaran cerpen di SMK sehingga penelitian ini akan semakin melengkapi penelitian sebelumnya dalam bidang stilistika. Penelitian Pradopo (1999: 95) yang berjudul “Analisis Stilistika Genetik terhadap Gaya Bahasa pada Puisi Balada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk 10
11
Bonnie karya WS. Rendra” mengkaji penggunaan gaya bahasa dalam puisi. Hasil penelitian tersebut dijelaskan mengenai penggunaan gaya bahasa Rendra yang khas. Sarana retorika silepsis tidak begitu nampak pada kumpulan cerpen yang diteliti namun muncul pada kumpulan cerpen yang lain. Silepsis adalah sarana retorika yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan mempergunakan sebuah kata dengan dua buah kata yang lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang memiliki hubungan dengan kata pertama. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis karya sastra dengan pendekatan
stilistika. Sementara itu, perbedaan penelitian tersebut mengkaji
puisi, sedangkan penelitian ini mengkaji cerpen. Selain itu, Pradopo secara khusus meneliti gaya bahasa yang digunakan oleh penyair sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap diksi, gaya bahasa, gaya wacana, dan citraan. Selain itu, penelitian ini juga melihat relevansinya dengan pembelajaran di SMK. Dengan demikian, penelitian ini akan saling melengkapi untuk penguatan penelitian stilistika dengan objek karya sastra. Hasil penelitian Khusnin (2012: 45) berjudul “Analisis Stilistika pada Novel
Ayat-ayat
Cinta
(AAC)
Karya
Habiburahman
El
Shirazy
dan
Implementasinya terhadap Pengajaran Sastra di Sekolah”. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa terdapat gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi, hiperbola, silepsis, aliterasi, litotes, asonansi, eufemisme, pleonasme, paradoks, retoris, personifikasi, ironi, sarkasme, metafora, perumpamaan/simile, dan metonimia. Gaya bahasa yang dominan dalam novel AAC, yaitu gaya bahasa hiperbola. Implikasi gaya bahasa dalam novel AAC terhadap pengajaran sastra di SMA menitikberatkan pada sumber bahan ajar. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan analisis
karya sastra dan implementasinya terhadap pengajaran sastra,
perbedaannya dalam penelitian tersebut menganalisis novel dan penelitian ini menganalisis antologi cerpen. Selain itu dalam penelitian ini kajian stilistika tidak hanya gaya bahasa, namun juga diksi, gaya wacana, dan citraan. Selain itu juga dalam penelitian ini melibatkan relevansi hasil penelitian ini terhadap
12
pembelajaran sastra di SMK. Oleh karena itu, penelitian ini akan saling melengkapi dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian Rahmawati (2012: 1) yang berjudul “Gaya Bahasa dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. Hasil penelitian menunjukkan ciri khas Andrea Hirata terlihat pada kemampuannya memadupadankan pilihan leksikal yang bersifat teknis dengan leksikal lainnya sehingga melahirkan pengucapan yang puitis. Penggunaan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna meliputi gaya bahasa retoris dan dan gaya bahasa kiasan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis stilistika pada karya sastra. Sementara itu perbedaannya, penelitian tersebut menganalisis novel dan penelitian ini menganalisis antologi cerpen dan merelevansikannya dengan pengajaran sastra di SMK. Dengan demikian, penelitian ini akan semakin melengkapi hasil penelitian sebelumnya mengenai penelitian stilistika dalam karya sastra. Hasil penelitian Azhar (2010: 23) berjudul “Style Bahasa SMS”. Azhar meneliti tentang stilistika pada wacana nonsastra berupa wacana pesan singkat. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat style yang berhubungan dengan gramatika, leksikon, dan grafologi. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian dengan kajian stilistika, namun perbedaannya penelitian tersebut menganalisis wacana nonsastra dan penelitian ini menganalisis wacana sastra. Dengan demikian penelitian ini dapat memberikan deskripsi terhadap penelitian stilistika dengan dengan sudut pandang wacana sastra. Penelitian bidang stilistika memiliki aneka perspektif dari berbagai negara. Terkait dengan hal tersebut untuk memperkuat penelitian ini, hasil penelitian Khan (2015: 23) melakukan penelitian dengan tajuk “Stylistic Analysis of Anna Swell’s Black Beauty: A Poetic Prose”. Khan menemukan bahwa dalam novel tersebut digunakan gaya bahasa anthropomorphism yang memperindah narasi penceritaan. Perbedaan penelitian Khan dengan penelitian ini adalah subjek kajiannya. Khan fokus meneliti gaya bahasa yang digunakan oleh penyair
13
sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap diksi, gaya bahasa, gaya wacana, dan citraan serta relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMK. Sementara itu, penelitian Batool (2015: 194) berjudul “Stylistic Analysis of Alfread Tennyson's Poem, Tears Idle Tears” dalam International Journal of Multidisciplinary Research and Development 2015; vol. 2 no. 3 melakukan penelitian stilistika terhadap puisi Alfred Tennyson yang berjudul “Tears, Idle Tears”. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa gaya bahasa yang digunakan dalam puisi bertujuan untuk mempengaruhi emosi pembaca. Persamaan penelitian Batool dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji karya sastra melalui pendekatan stilistika. Perbedaannya adalah penelitian tersebut terfokus pada puisi, dan penelitian ini pada antologi cerpen serta relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMK. Sejalan dengan penelitian di atas, Cunanan (2011: 25) melakukan penelitian dengan tajuk “Using Transitivity as a Framework in a Stylistic Analysis of Virginia Woolf’s Old Mrs. Grey” dalam Asian EFL Journal Professional Teaching Articles. Vol. 54 Agustus 2011. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa kerangka berpikir transitivitas dapat membantu pembaca untuk menangkap gaya pikiran yang sulit dipahami dan subjektif dari penulis atau persona dengan memperhatikan pilihan bahasa penulis. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sastra dapat juga memberikan informasi linguistik dengan menggunakan sistem kategorisasi kosa kata, sintaksis, dan semantik. Persamaan penelitian ini sama-sama meneliti gaya bahasa yang digunakan penulis dalam berkarya. Sementara itu, perbedaannya dengan penelitian ini bahwa penelitian ini menegaskan diksi, gaya bahasa, gaya wacana, dan gaya citraan yang digunakan pengarang dalam menuliskan karya sastranya serta relevasinya dengan pembelajaran sastra Indonesia. Penelitian lain dengan kajian stilistika adalah penelitian Yeibo (2012: 180) bertajuk “Figurative Language and Stylistic Function in J. P. Clark-Bekederemo's Poetry” yang dimuat di Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3, No. 1, Januari 2012. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa bahasa figuratif yang digunakan berfungsi untuk meningkatkan nilai estetik, terkait dengan situasi
14
dan fungsi tekstual. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji stilistika dalam sebuah karya sastra. Perbedaannya, penelitian tersebut terfokus pada bahasa figuratif yang digunakan, sedangkan dalam
penelitian ini turut dikaji pula mengenai diksi dan citraan serta
relevansinya dalam pengajaran sastra. Dengan demikian, penelitian ini saling melengkapi. Sementara itu, Aslam (2014: 56) menganalisis stilistika dengan judul “Stylistics Analysis of The Poem Bereft by Robert Frost” dalam European Journal of Research and Reflection in Arts and Humanities Vol. 2 No. 1, 2014. Dalam jurnal tersebut dikemukakan bahwa puisi “Bereft” yang diteliti menceritakan tentang perasaan kesendirian seseorang. Orang tersebut merasa sendiri tidak hanya di rumahnya, namun juga di dunia ini. Semuanya bahkan tampak memusuhinya, tapi dia mempunyai iman yang kuat pada Tuhan. Penyair menggunakan metafora dan personifikasi untuk menunjukkan kekejaman alam. Ada juga sinar harapan dalam puisi ini. Puisi tersebut menyiratkan bahwa meskipun dibayang-bayangi dengan rasa takut dan kesepian, jika seseorang masih beriman maka ia tidak akan pernah merasakan ketakutan tersebut. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji stilistika dalam sebuah karya sastra. Perbedaannya, penelitian tersebut terfokus pada gaya bahasa yang digunakan, sedangkan dalam penelitian ini turut dikaji pula mengenai diksi dan citraan serta relevansinya dalam pengajaran sastra di SMK. Oleh karena itu, penelitian ini akan sangat melengkapi penelitian sebelumnya bidang stilistika dalam karya sastra. Penelitian lain dilakukan oleh Pakri (2014: 40) yang bertajuk “A stylistic analysis of a Selected Short Story in Agnes Newton Keith’s Land below the Wind: Narratorial shift, Ambivalence and Mimicry in Colonial Writing”. Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 134 tahun 2014. Gaya bahasa dalam cerita pendek digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan karakter dan penggambaran setting cerita pendek tersebut. Analisis gaya bahasa juga bisa digunakan untuk menunjukkan sikap pengarang yang tercermin dalam karyanya. Penelitian yang dilakukan oleh Pakri menganalisis biografi Agnes Keith dengan
15
judul Land Below the Wind yang salah satu artikelnya berjudul A Man of the River Goes Home dengan pendekatan stilistika. A Man of the River Goes Home merupakan salah satu cerita fiksi dari masa penjajahan di Kalimantan Utara yang ditulis oleh Agnes Keith. Pakri menganalisis tulisan Keith tersebut dengan analisis stilistika. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti karya sastra dengan pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaaanya penelitian ini tidak medeskripsikan gaya citraan, dan gaya wacana dalam karya sastra secara detail. Selain itu, penelitan tersebut tidak melihat relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMK. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan semakin melengkapi penelitian sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah ada penelitian sebelumnya mengenai stilistika. Penelitian tersebut terdapat dalam berbagai jurnal nasional maupun internasional. Penelitian stilistika yang dilakukan meliputi kajian mengenai teks sastra yang berupa cerpen, novel, maupun puisi, serta teks nonsastra yang berupa penggunaan bahasa dalam pesan singkat. Hasil penelitian menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa tertentu pada masing-masing teks. Penelitian yang dilakukan sebagian besar belum direlevansikan dengan pembelajaran sastra, khususnya di SMK. Dengan demikian, penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya yakni melakukan kajian stilistika dalam teks sastra. Perbedaannya, penelitian ini secara khusus mengkaji sebuah antologi cerpen yang berasal dari surat kabar dan direlevansikan dengan pembelajaran sastra di SMK. B. Landasan Teori 1. Hakikat Cerpen a. Pengertian Cerpen Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang dapat berwujud novel atau cerpen. Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kosasih (2012: 431) yang
16
menjelaskan bahwa cerpen adalah penceritaan tentang tokoh yang dikisahkan secara runtut dan dengan konteks peristiwa yang beraneka ragam, baik menyenangkan maupun mengharukan dalam kehidupan. Edgar Alan Poe dalam Nurgiyantoro (2007: 10), mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Selain itu dijelaskan pula bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek, akan tetapi berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya. Dalam hal ini kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuan mengemukakan masalah yang kompleks dalam bentuk (dan waktu) yang sedikit (Nurgiyantoro, 2007: 10). Sementara itu, Sumardjo (2007: 14) menjelaskan bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek, hanya mengisahkan satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi menyelesaikan semua tema dan persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita (opening) ditulis secara menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian, pada bagian akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise). Pendapat yang lain menyatakan bahwa cerita pendek, sesuai dengan namanya, memperlihatkan ciri bahasa yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyanti, 2010: 5). Mengacu beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa pendek. Cerpen habis dibaca dalam sekali duduk, dan berisi sepenggal kehidupan tokoh. Selain itu, cerpen berkonflik tunggal dan persoalan yang muncul diselesaikan secara tuntas dan utuh. b. Unsur Intrinsik Cerpen Cerpen adalah salah satu karya rekaan (fiksi), merupakan satu kesatuan yang terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur ini saling berkaitan, tidak terpisahkan satu sama lain, dan bersama-sama membentuk cerita (Rusyana, 2001: 65). Unsur intrinsik adalah isi dari sebuah karya sastra yang berkaitan dengan kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu hadir (Nurgiyantoro 2007: 23). Unsur intrinsik terdiri dari tema, amanat,
17
tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Bagian-bagian tersebut saling berkaitan karena merupakan satu rangkaian struktur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebuah cerita yang baik tentu mempunyai tema. Menurut Zulfahnur (dalam Wahid, 2010: 74) tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Tema merupakan salah satu dimensi yang amat penting dalam suatu cerita. Karena dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Hendy (2003: 31) menjelaskan bahwa tema adalah pokok pengisahan dalam sebuah cerita. Cerita atau karya sastra yang bermutu tidak lain karya sastra yang bermutu baik, yaitu mampu menggugah pandangan dan perilaku negatif menjadi positif. Nurgiyantoro (2007: 80) menjelaskan bahwa tema adalah sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna. Makna yang mengikat keseluruan unsur cerita sehingga itu hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu. Berbagai unsur fiksi seperti alur, tokoh sudut pandang, latar dan sebgainya berkaitan secara sinergis untuk bersama-sama mendukung eksistensi tema. Dalam sebuah cerita tema jarang diungkap secara eksplisit, tetapi tema mampu menjiwai keseluruhan cerita. Mengacu beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tema dalam sebuah cerita adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, merupakan gagasan dasar umum yang menopang karya sastra. Tema menjadi dasar pengembangan sebuah cerita dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Oleh karena itu, untuk menentukan sebuah tema karya sastra haruslah disimpulkan dari seluruh cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu. Unsur intrinsik yang kedua adalah amanat. Amanat pengarang ini terdapat secara implisit dan eksplisit di dalam karya sastra. Implisit misalnya disiratkan melalui tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Eksplisit, bisa di dalam, di tengah, dan di akhir cerita pengarang menyampaikan pesan, saran, nasihat, dan pemikiran. Sutedjo (2010: 28) menyatakan bahwa pesan atau amanat dapat berupa pesan moral yang ingin disampaikan, pesan religiusitas, nilai dari kritik sosial, dan sebagainya. Dari paparan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa amanat cerita adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang.
18
Unsur instrinsik yang ketiga adalah tokoh. Tokoh merupakan unsur cerita yang sangat penting, sebab tidak ada cerita tanpa kehadiran tokoh. Tokoh-tokoh dalam cerita berrsifat unik, tokoh yang satu selalu berbeda dengan yang lainnya. Tokoh inilah yang mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah cerita karena tanpa kehadiran tokoh, cerita menjadi tidak hidup. Nurgiyantoro (2007: 74) mengemukakan bahwa istilah tokoh dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Dalam cerita tokoh bisa berupa manusia, binatang atau makhluk atau objek lain. Sutedjo (2010: 12) menjelaskan bahwa tokoh merujuk pada apa yang disebut karakter atau perwatakan. Secara garis besar perwatakan tokoh atau penokohan dapat diungkap lewat dua macam cara: (1) cara langsung (ekspositorik) yakni cara langsung atau uraian (telling), mengungkapkan karakter tokoh secara langsung dan diuraikan oleh pengarang. Pengarang secara jelas menguraikan atau mendepskripsikan watak tokoh dan (2) cara tidak langsung (dramatik) yakni mengungkapkan karakter tokoh-tokoh secara tidak langsung lewat alur cerita. Jadi watak tidak diuraikan dan didepskripsikan secara serta merta begitu saja, melainkan diungkap secara terselubung lewat cerita (Nurgiyantoro, 2005: 79). Senada dengan hal tersebut, Wahid (2004: 77) menjelaskan bahwa ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh cerita, yaitu: tuturan pengarang terhadap karakteristik perilakunya; gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaiannya; menunjukkan bagaimana perilakunya; melihat bagaimana tokoh itu berbicara sendiri; memahami bagaimana jalan pikirannya; melihat bagaimana tokoh lain berbicara. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah aktor utama dalam cerita yang memiliki karakter tertentu dan mengalami peristiwa di dalam cerita pendek. Unsur intrinsik yang keempat adalah alur. Saxby (Nurgiyantoro, 2007: 68) menjelaskan bahwa alur merupakan aspek utama dan utama yang harus
19
dipertimbangkan karena aspek inilah yang menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total mengikuti cerita. Alur membuar segala sesuatu yang dikidahkan bergerak dan terjadi.
Alur
menghadirkan cerita, dan cerita itulah yang dicari untuk dinikmati oleh pembaca. Alur berkaitan dengan masalah, urutan penyajian cerita. Menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2007: 68) alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya. Pembicaraan alur akan melibatkan peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditimpakan kepada tokoh cerita. Misalnya, peristiwa atau aksi apa saja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita atau sebaliknya yang ditimpakan kepada tokoh cerita, baik peristiwa atau aksi yang hebat, menarik, menegangkan, menjengkelkan, menakutkan, mengharukan, maupun untuk kategori yang lain, baik untuk dan oleh tokoh protagonis maupun antagonis. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2007: 72) kesederhanaan alur cerita dapat dilihat dari tiga hal yakni masalah dan konflik yang dikisahkan sederhana berkisar pada permasalahan yang masih bias dijangkau pembaca; hubungan antara peristiwa harus jelas (misalnya hubungan sebab akibat); urutan peristiwa linear dan runtut. Sementara itu, Sutedjo (2010: 17) menjelaskan bahwa alur adalah keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerita. Dari pemaparan yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang direka atau diungkapkan dalam sebuah cerita. Alur tersebut berguna untuk mengharapkan pembaca terhadap jalannya cerita. Semakin jelas alurnya, semakin menarik juga cerita tersebut. Tetapi sebaliknya, ketidakjelasan alur cerita yang diuraikan dan pembaca makin tidak paham dengan apa yang dikisahkan. Unsur berikutnya adalah latar cerita. Pada dasarnya, setiap karya sastra yang membentuk cerita selalu memiliki latar. Latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Dalam hal ini, penggunaan latar sangat mendukung terciptanya karya sastra dan menarik perhatian para pembaca atau pemikat cerita (sastra). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, mengarahkan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Wahid, 2004: 80). Dalam
20
prosa fiksi, biasanya latar dibedakan empat tipe, yaitu latar alam (geographic setting), latar waktu (temporal setting), latar social (social setting) dan latar ruang (spatial setting). Unsur berikutnya adalah sudut pandang. Sutedjo (2010: 22) menjelaskan bahwa sudut pandang adalah sebuah cara cerita itu dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan menurut Wahid (2004:38) sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungannya dengan cerita, dari aspek sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam yaitu: 1) Pengarang terlibat (other participant), pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atu tokoh lama, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya) 2) Pengarang sebagai pengamat (other obsevant), posisi pengarang sebagai pengamat dan mengisahkan pengamatan di samping sebagi tokoh. Pengarang berada di luar cerita, dan menggunakan kata orang ketiga (ia atau dia) dalam ceritanya. 3) Pengarang serba tahu (other omniscient), pengarang berada di luar cerita (impersonal), tetapi serna tahu tentang apa yang di rasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisah pengarang memakai nama-nama orang lain (orang ketiga). Mengacu pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan strategi, teknik, dan siasat yang sengaja dipilih pengarang. Strategi tersebut dipergunakan untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya dalam menampilkan pandangan hidup tokoh. Selain itu sudut pandang juga berfungsi sebagai tafsiran terhadap kehidupan melalui sudut pandang tokoh. 2. Hakikat Stilistika a. Pengertian Stilistika Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis memiliki
21
cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya serta gaya bahasa untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Stilistika sering dikaitkan dengan bahasa sastra meskipun Chapman menyatakan bahwa kajian ini dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa (Nurgiyantoro, 2007: 279). Adapun Pradopo (2000: 264) mengartikan stilistika sebagai ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Sementara itu Nurgiyantoro (2014: 74) menyatakan bahwa stilistika berkaitan erat dengan stile. Bidang garapan stilistika adalah stile yakni bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam bahasa tertentu. Melalui kajian stilistika dapat dibedakan tandatanda linguistik, ciri khas, atau tanda khusus dalam bahasa sastra dan nonsastra. Ratna (2014: 3-5) memaparkan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa secara umum. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian dari stilistika budaya. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan. Sedangkan Sutedjo (2010: 5) menjelaskan bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari tentang style. Pengertian style dalam hal ini adalah gaya bahasa termasuk di dalamnya pilihan gaya pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan apa yang dimaksudkan yang bersifat individual dan kolektif. Style berkaitan dengan keunikan pengarang dalam memilih bahasa sebagai sarana estetis penulisan karyanya. Sementara itu, Satoto (2012: 35) menyatakan bahwa stilistika adalah cabang ilmu sastra yang meneliti style atau gaya. Dalam hal ini style yang dimaksud adalah cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek kebahasaan yakni diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa pigura (figurative language), struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana dan sarana retorika yang lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa stilistika adalah ilmu tentang style atau gaya bahasa sebagai pilihan yang digunakan oleh pengarang sebagai sarana estetis penulisan karyanya. Dalam hal
22
ini, gaya bahasa yang digunakan dapat menunjukkan keunikan atau ciri khas masing-masing pengarang dalam berkarya. b. Bidang Kajian Stilistika Menurut Abrams dalam Ratna (2014: 28), stilistika kesusastraan merupakan metode analisis karya sastra. Stilistika dimaksudkan untuk menggantikan kritik sastra yang subjektif dan impresif dengan analisis style teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Fitur stilistika (stylistic features) adalah fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang meliputi karaktertistik penggunaan diksi, gaya wacana, bahasa figuratif, citraan, dan sebagainya. Leech & Short dalam Nurgiyantoro (2014: 75) berpendapat bahwa unsur stilistika (stylistic categories) meliputi unsur leksikal, gramatikal, figure of speech serta kontak dan kohesi. Sementara itu menurut Keraf (2007: 112), gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frase, klausa dan kalimat, serta wacana. Pradopo (2004: 9-14) mengatakan unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi intonasi, bunyi, kata, kalimat, dan wacana. Sudjiman (1995: 12) mengartikan style sebagai gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan seorang pengarang yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Terkait dengan hal di atas, Sayuti (2000: 174) menjelaskan bahwa unsurunsur yang membangun gaya bahasa seorang pengarang dalam karya sastranya pada dasarnya meliputi diksi, citraan, dan sintaksis. Sedangkan Aminuddin (1995: 44) menjelaskan bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Merujuk beberapa pendapat tersebut, kajian stilistika karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda-tanda linguistik yang digunakan dalam struktur
lahir
karya
sastra
sebagai
media
ekspresi
pengarang
dalam
mengemukakan gagasannya. Unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda linguistik itu dapat berupa diksi (diction), gaya kalimat atau bentuk sintaksis, gaya wacana (discourse), bahasa figuratif (figurative language atau figure of speech) dan
23
citraan
(imagery)
meliputi
citraan
penglihatan,
pendengaran,
perabaan,
penciuman, gerak, pengecapan, dan intelektual. c. Jenis Kajian Stilistika Stilistika memiliki berbagai jenis kajian yang digunakan sebagai pendekatan dalam pengungkapan penggunaan bahasa. Satoto (2012: 37) menjelaskan bahwa stilistika sebagai cabang ilmu sastra yang meneliti style atau gaya dibedakan ke dalam stilistika deskriptif dan stilistika genetis. Stilistika deskriptif adalah pengkajian stilistika sebagai keseluruhan ungkapan psikis yang terkandung dalam suatu bahasa, dan meneliti nilai-nilai ekspresif khusus yang terkandung dalam suatu bahasa, yakni secara morfologis, sintaksis, dan semantis. Pengarang membangkitkan beberapa kemungkinan yang terkandung dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Stilistika genetis adalah pengkajian stilistika individual sastrawan yang memandang gaya atau style sebagai suatu ungkapan yang khas, atau pribadi. Melalui analisis terinci mengenai motif dan pilihan kata, dapat dilacak visi batin seorang pengarang. Sementara itu, Nurgiyantoro (2014: 80-82) menyampaikan bahwa dalam stilistika moderen, terdapat dua penggolongan yakni kajian stilistika tekstualitas dan kajian stilistika kontekstualitas. Kajian tekstualitas stilistika menjadikan teks yang dikaji sebagai satu-satunya fokus kajian. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam kajian sebuah teks, tidak perlu mengaitkan hal lain di luar teks itu sendiri. Kajian stilistika
kontekstualitas
memandang
sebaliknya,
bahwa
secara
umum
pembicaraan tentang bahasa tidak dapat dilepaskan dari faktor konteks, yakni dalam konteks apa bahasa tersebut dipergunakan. Dijelaskan pula bahwa konteks akan memengaruhi bentuk bahasa yang dipakai oleh pengarang. Sedangkan Ratna (2014: 21) menyampaikan bahwa ruang lingkup sastra amat luas, untuk itu ruang lingkup tersebut dibedakan menjadi dua macam, yakni ruang lingkup kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, dan ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Ruang lingkup yang paling luas adalah keseluruhan khasanah sastra,
24
sebab akibat yang ditimbulkan oleh usaha untuk menciptakan bahasa yang khas, baik sastra lama maupun modern. Pada bagian yang lain, Sutedjo (2010: 5-8) menjelaskan bahwa dalam kajian stilistika dikemukakan tiga pendekatan utama dalam memahaminya, yakni pendekatan pragmatik, pendekatan sintagmatik, dan pendekatan semantik. Pendekatan pragmatik menyampaikan kajian stilistika dalam pelibatan semiosis yang penting untuk memperhatikan pengkodean style yang digambarkan dalam kategori, penyeleksian, dan pemilihan. Pendekatan sintagmatik memahami ciriciri stilistika dari sebuah kalimat didefinisikan atas dasar aturan transformasional dalam menjalankan struktur batin yang netral secara stilistika. Pendekatan semantik menjelaskan bahwa pendekatan ini merupakan sebuah studi tentang mode-mode alternatif dalam pengekspresian isi yang sama. Pendapat lain disampaikan oleh Aminuddin dalam Sutedjo (2010: 6-7) yang menjelaskan bahwa kajian stilistika memuat tiga pendekatan, yakni monisme, dualisme, dan pluralisme. Pendekatan monisme berupa penyikapan wujud penggunaan sistem tanda sebagai suatu kesatuan antara bentuk dan isi. Dalam proses reproduksi sastra, pengolahan bentuk dan gagasan terjadi secara bersamaan. Pendekatan dualisme memandang antara unsur bentuk dan isi merupakan sesuatu yang berbeda, sehingga pengkajian terhadap aspek bentuk harus dibedakan dengan aspek yang menjadi isi dan makna karya. Pendekatan pluralisme beranggapan bahwa mendekati gejala penggunaan bahasa dengan menggunakan fungsinya. Fungsi penggunaan bahasa ini yang merujuk pada penggunaan bahasa itu sendiri dalam berbagai fungsi estetis yang dilakukan oleh pengarang. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disampaikan bahwa penelitian ini menggunakan kajian stilistika deskriptif pada konsep tekstualitas dalam khasanah sastra. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pluralis karena meneliti bahasa yang digunakan dalam cerpen secara tekstual. Selain itu, penelitian ini merujuk pada penggunaan bahasa dalam fungsi estetis yang dilakukan oleh pengarang.
25
3. Stilistika dalam Kajian Sastra a. Pilihan Kata (Diksi) Keterbatasan kosakata yang dimiliki seseorang dalam kehidupan seharihari dapat membuat seseorang tersebut mengalami kesulitan mengungkapkan maksudnya kepada orang lain. Sebaliknya, jika seseorang terlalu berlebihan dalam menggunakan kosa kata, dapat mempersulit diterima dan dipahaminya maksud dari isi pesan yang hendak disampaikan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal demikian, seseorang harus mengetahui dan memahami bagaimana pemakaian kata dalam komunikasi. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata . Menurut Scott dalam Al Ma’ruf (2010: 29) diksi adalah pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan. Pendapat lain dikemukakan oleh Widyamartaya (1990: 45) yang menjelaskan bahwa diksi atau pilihan kata adalah kemampuan seseorang membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikannya. Kemampuan tersebut hendaknya disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki sekelompok masyarakat dan pendengar atau pembaca. Sementara itu, Sudjiman (2002: 21) menyampaikan bahwa diksi adalah pemilihan kata untuk menyampaikan gagasan. Diksi yang baik akan berhubungan dengan pemilihan kata yang tepat dan selaras, sesuai dengan pokok pembicaraan, peristiwa, dan khalayak pembaca. Sedangkan pendapat lain disampaikan oleh Aminuddin (1995: 21) yang menjelaskan bahwa diksi atau pemilihan kata merupakan cara penggunaan kata-kata dalam sebuah teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan serta nilai estetis tertentu. Diksi atau pilihan kata selalu mengandung ketepatan makna dan kesesuaian situasi dan nilai rasa yang ada pada pembaca atau pendengar. Pendapat lain dikemukakan oleh Keraf (2004: 24) yang menurunkan tiga kesimpulan utama mengenai diksi, antara lain sebagai berikut: a). Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat. b). Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan bentuk yang
26
sesuai atau cocok dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. c). Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan dan pemakaian kata oleh pengarang dengan mempertimbangkan aspek makna kata yaitu makna denotatif dan makna konotatif sebab sebuah kata dapat menimbulkan berbagai pengertian. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa diksi atau pemilihan kata adalah pemilihan kata sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan secara tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Selain itu pemilihan kata juga digunakan sebagai sarana estetika dan penyampaian nilai-nilai dalam sebuah tulisan secara lebih selaras. Diksi yang akan diteliti dalam antologi Cerpen pilihan Kompas 2014 terdiri dari kata konkret, kata konotatif, kata serapan dari bahasa asing, dan sapaan khas dan nama diri. 1) Kata Konkret Salah satu jenis pilihan kata yang digunakan oleh pengarang adalah kata konkret. Kata ini dijumpai pada hampir seluruh jenis karangan. Waluyo (2010: 94) menyatakan bahwa untuk membangkitkan imaji pembaca, kata-kata harus diperkonkret. Apabila pengarang mengkonkretkan kata-kata, pembaca akan dapat melihat, mendengar, atau merasakan apa yang disampaikan oleh pengarang. Sedangkan menurut Keraf (2007: 91) kata konkret adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat atau diindera secara langsung oleh satu atau lebih dari pancaindera. Kata konkret menunjuk kepada barang yang aktual dan spesifik dalam pengalaman. Kata konkret digunakan untuk menyajikan gambaran yang hidup dalam pikiran pembaca melebihi kata-kata yang lain. Pendapat lain dikemukakan oleh Kridalaksana (2008: 132) yang menyatakan bahwa kata konkret adalah kata dengan makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah sesuai dengan konvensi tertentu. Merujuk pada beberapa pendapat tersebut, dapat
27
disimpulkan bahwa kata konkret adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat langsung, bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada pembaca. 2. Kata Konotatif Pilihan kata lain yang digunakan dalam teks sastra adalah kata konotatif. Kata konotatif digunakan untuk memberikan penguatan imajinasi pada pembaca atau untuk memberikan nilai rasa tertentu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Keraf (2007: 29) yang menyampaikan bahwa konotatif adalah suatu jenis makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi atau nilai rasa tertentu. Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotasi mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Sementara itu, Al Ma’ruf (2010: 33) menyatakan bahwa kata konotatif adalah kata dengan makna komunikatif. Makna tersebut terlepas dari makna harfiah yang didasarkan pada perasaan, pikiran, atau persepsi pengarang mengenai sesuatu yang dibahasakan. Sedangkan Leech dalam Keraf (2007: 23) menjelaskan bahwa arti konotatif adalah nilai komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi isinya yang murni konseptual. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata konotatif merupakan suatu jenis makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi atau nilai rasa tertentu. Konotatif merupakan kesan-kesan atau asosiasiasosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotatif mengacu pada makna kias atau bukan makna sebenarnya. 3) Kata Serapan dari Bahasa Asing Kata serapan asing banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, baik pada teks sastra maupun nonsastra. Hal ini disebabkan oleh salah satu sifat bahasa Indonesia yakni terbuka terhadap bahasa lain, baik asing maupun daerah. Terkait dengan hal ini, Muslich (2010: 223) berpendapat bahwa kata serapan asing dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan peng-Indonesiaan istilah.
28
Ada beberapa cara yang dilakukan, yang pertama adalah pungutan utuh (adopsi) seperti pada kata semester, pilot, radio, dan sebagainya. Cara yang kedua melalui penyesuaian (adaptasi), seperti yang berlaku pada kata ekspor (export), pensil (pencil), telepon (telephone), dan sebagainya. Al Ma’ruf (2012: 56) menyampaikan bahwa kata serapan adalah kata yang dipungut dari bahasa lain, baik secara langsung maupun mengalami penyesuaian. Kata serapan merupakan kata dari bahasa asing yang telah disesuaikan dengan wujud atau struktur bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata serapan adalah kata yang dipungut dari bahasa asing, secara utuh (adopsi), maupun telah mengalami penyesuaian (adaptasi). 4) Kata Sapaan Khas dan Nama Diri Kata sapaan khas dan nama diri banyak digunakan dalam teks sastra, sebab dalam teks sastra banyak terdapat tokoh yang mendukung alur cerita. Untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain, digunakan sapaan khas maupun nama diri agar cerita yang disajikan lebih mudah dipahami pembaca. Terkait dengan hal ini, Keraf (2007: 90) menyampaikan bahwa nama diri adalah istilah yang paling khusus sehingga kata-kata tersebut tidak akan menimbulkan salah paham. Sedangkan Uhlenbeck dalam Al Ma’ruf (2010: 34) menjelaskan bahwa nama diri yang semata-mata hanya berfungsi sebagai penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak bermotivasi. Sedangkan nama diri berfungsi sebagai simbol identik dengan nama diri yang bermotivasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Subroto (1999: 74) menyatakan bahwa kata sapaan dapat berupa kata atau frasa yang digunakan untuk menyapa atau menyebut seseorang. Penyapaan dapat didasarkan pada hubungan kekerabatan, gelar kebangsawanan, gelar akademik, jabatan, kepangkatan, serta status sosial di masyarakat. Pemakaian kata sapaan dapat memberikan gambaran sifat hubungan atau kedudukan sosial dan peranan antartokoh dalam sebuah karya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa kata sapaan khas dan nama diri adalah kata yang digunakan untuk menyapa yang
29
didasarkan pada hubungan kekerabatan atau hubungan sosial tertentu untuk menyebut diri seseorang dan menghindarkan dari kesalahpahaman. b. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Terkait dengan hal tersebut, Keraf (2004: 6) menyampaikan bahwa dengan penggunaan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap kita dan keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi bahasa, di samping sebagai alat komunikasi, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dari pengalaman tersebut. Pradopo (2000: 62) mengemukakan bahwa jenis majas meliputi perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimia, sinekdoke (synecdoche), dan alegori. Fananie (2000; 37-40) menyatakan bahwa jenis majas meliputi persamaan atau simile, metafora, personifikasi, alusio, eponim, epitet, alegori, sinekdoke, metonimia, hipalase, inuenda, antifrasis, paranomasia, ironi, sinisme, dan sarkasme. Klasifikasi ini seperti klasifikasi majas menurut Keraf (2007: 138-145) tetapi masih ada jenis lain yang dikategorikan Keraf sebagai jenis majas yang tidak terdapat pada klasifikasi majas menurut Fananie, yaitu antonomasia, parabel dan fabel, serta satire. Nurgiyantoro
(2007:
298-300)
menyatakan
bahwa
bentuk-bentuk
pemajasan yang banyak digunakan pengarang adalah simile, metafora, dan personifikasi. Selain itu, gaya pemajasan lain yang kerap ditemui dalam berbagai karya sastra adalah metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Berdasarkan klasifikasi jenis majas menurut para ahli di atas dapat diketahui bahwa jenis majas ada bermacam-macam dan masing-masing ahli membuat klasifikasi yang
30
berbeda-beda. Jenis majas yang akan digunakan dalam kajian teori ini meliputi simile, metafora, personifikasi, paradoks, dan hiperbola. Berikut pembahasan mengenai jenis majas tersebut. a.
Simile Salah satu bagian dari majas perbandingan adalah simile. Simile adalah
perbandingan antara dua hal yang berbeda tetapi sengaja dianggap sama atau menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding yang lain (Pradopo, 2000). Majas simile yang berupa perbandingan, majas yang secara jelas menunjukkan antara kedua hal yang diperbandingkan. b. Metafora Bagian lain dari majas perbandingan adalah metafora. Metafora langsung menggantikan hal yang dibandingkan dengan pembandingnya, selain itu metafora memberi arti yang lebih luas dan memberi gambaran yang lebih hidup daripada majas simile (Pradopo, 2000: 66). Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit (Nurgiyantoro, 2007: 299). Oleh karena itu, metafora disebut sebagai perbandingan antara dua hal yang berbeda secara implisit dengan menggunakan kalimat yang singkat dan padat. Metafora merupakan gaya bahasa yang berisi ungkapan secara langsung berupa perbandingan analogis. Metafora merupakan pemakaian kata bukan dengan arti sebenarnya yang digunakan dalam persamaan dan perbandingan. c. Personifikasi Bagian berikutnya dari majas perbandingan adalah personifikasi. Majas personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa atau disebut penginsanian, yaitu menyamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Dengan kata lain, majas yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa, seolah-olah memiliki sifat-sifat insani (Pradopo, 2000: 75). Bentuk majas ini hampir serupa dengan metafora dan simile, hanya saja dalam
31
personifikasi perbandingannya langsung dan tertentu, yaitu pemberian sifat-sifat atau ciri-ciri manusia kepada benda-benda mati, binatang, atau suatu ide. d. Paradoks Salah satu bagian dari majas pertentangan adalah paradoks. Paradoks adalah majas yang menggunakan dua perkataan yang bertentangan. Paradoks merupakan majas yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya hal itu tidak sungguh-sungguh bila kita pikirkan atau rasakan atau dengan kata lain paradoks merupakan penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya e. Hiperbola Bagian lain dari majas pertentangan adalah hiperbola. Hiperbola adalah majas yang mengandung pernyataan yang berlebih lebihan, baik dalam jumlah, ukuran maupun sifatnya. Hiperbola adalah cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya (Nurgiyantoro, 1995: 300). Menurut Keraf (2007: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Hiperbola termasuk jenis majas karena hiperbola tidak mengandung makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan menunjuk makna yang tersirat. Hiperbola digunakan untuk memperbesar kenyataan atau emosi dan merupakan suatu cara uatuk menunjukkan pentingnya suatu masalah. f. Metonimia Salah satu bagian dari majas pertautan adalah metonimia. Menurut Nurgiyantoro (2014: 243) metonimia adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-kata yang disebut dengan makna yang sesungguhnya. Pengungkapan yang dimaksud dapat berupa penggunaan nama benda yang lain seperti merek, atribut, atau ciri khas. g. Sinekdoke Bagian lain dari majas pertautan adalah sinekdoke. Nurgiyantoro (2014: 244) menyampaikan bahwa majas sinekdoke adalah sebuah ungkapan dengan cara menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu sendiri. Dalam majas sinekdoke terdapat dua kategori penyebutan yang berkebalikan.
32
Pertama, pernyataan yang hanya menyebut sebagian atau bagian tertentu dari sesuatu, tetapi itu dimaksudkan untuk menyatakan keseluruhan sesuatu tersebut, dan majas itu disebut pars pro toto. Kedua, penyebutan kebalikannya, yaitu pernyataan yang menyebut sesuatu secara keseluruhan, namun sebenarnya itu untuk sebagian dari sesuatu tersebut dan dinamakan totem pro parte. h. Idiom Idiom dikenal dengan ungkapan. Idiom memiliki makna yang tidak dapat dijelaskan menurut kaidah umum yang berlaku dalam suatu bahasa. Terkait dengan hal ini, Keraf (2007: 109) menyatakan bahwa yang disebut idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya. Sementara itu, Djajasudarma (2009: 20) mengungkapkan bahwa makna idiomatik adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata–kata yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna yang berlainan. Dengan kata lain gabungan kata tersebut sudah memiliki makna tersendiri yang berlainan dengan makna kata pembentuknya dan jika digabung dengan kata lain maka maknanya akan berubah. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa idiom merupakan satuan-satuan bahasa yang yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut, dan memunculkan makna yang baru. i. Peribahasa Peribahasa merupakan kalimat atau kelompok kata yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu. Terkait dengan hal ini, Kridalaksana (2008: 189) menyampaikan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun temurun, digunakan untuk penguatan maksud, memberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Sedangkan Sudjiman (1993: 62) berpendapat bahwa peribahasa merupakan ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas, padat, yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, dan aturan tingkah laku.
33
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peribahasa adalah kalimat yang bentuknya tetap, ringkas, dan berisi perumpamaan, perbandingan, nasihat, dan aturan tingkah laku. c. Gaya Wacana Wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dalam hirarki gramatikal sehingga menarik untuk dikaji dari sudut pandang stilistika. Wacana (discourse) merupakan ungkapan pikiran yang beruntun baik lisan maupun tulisan mengenai suatu pokok. Al Ma’ruf (2012: 58) menyampaikan bahwa gaya wacana adalah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Pendapat lain disampaikan oleh Pradopo (dalam Al Ma’ruf, 2012: 59) yang menjelaskan bahwa yang termasuk gaya wacana dalam wacana sastra adalah pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan gaya wacana alih kode serta campur kode. Gaya wacana campur kode dan alih kode itu sendiri digunakan untuk memperoleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan. Sedangkan Kridalaksana (2008: 40) menyatakan bahwa campur kode adalah penggunaan satuan bahasa yang satu ke satuan bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Ada kalanya penggunaan bahasa campuran itu menganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahuan bahasanya terbatas. Akan tetapi, dalam karya sastra campur kode tersebut kadang-kadang diperlukan atau berfungsi untuk mencapai efek tertentu. Wacana alih kode (code switching) adalah variasi penggunaan bahasa lain dalam satu peristiwa kebahasaan sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi yang lain. Gaya alih kode digunakan untuk menciptakan efek atau setting lokal, nasional, dan universal atau gagasan dalam bidang ilmu tertentu sesuai dengan gagasan dalam karya sastra. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa gaya wacana adalah gaya yang digunakan dalam beberapa kalimat yang meliputi sarana retorika yakni repetisi, klimaks, antiklimaks, campur kode, dan alih kode.
34
d. Citraan Karya sastra banyak memanfaatkan kekuatan citraan untuk melukiskan sesuatu agar mudah diimajinasikan oleh pembaca atau pendengar. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005: 345) menjelaskan bahwa istilah citraan (pencitraan) dapat dipakai secara bergantian dengan imajian (pengimajian); citraan atau imajian (imagery) berkaitan dengan citra atau imaji (image). Imaji itu sendiri dapat dipahami sebagai gambaran pengalaman indera secara konkret yang dibangkitkan lewat kata, sedang citraan atau imajian adalah kumpulan citra, imaji. Jadi, dengan adanya lukisan imaji tersebut kita seolah-olah dapat melihat dan mendengar sesuatu secara konkret lewat rongga imajinasi, dan bukannya melihat dan mendengar lewat mata telanjang. Imaji adalah kata-kata yang sengaja dipergunakan pengarang untuk mengonkretkan pelukisan yang membantu pembaca untuk melihat, mendengar, merasakan, dan menyentuh berbagai pengalaman yang diungkapkan. Citraan sebagai salah satu unsur karya sastra menduduki peranan yang sangat penting. Bahkan karena pentingnya anggapan bahwa bahasa dan karya sastra selalu berupa majas. Tentu saja tidaklah demikian. Menurut Abrams (melalui Nurgiyantoro, 2007: 304) dalam dunia kesastraan dikenal dengan istilah citra (image) dan pencitraaan (imagery) yang keduanya mengarah pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan merupakan kumpulan cerita (the collection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra berkaitan dengan indera sedangkan citraan adalah representasi gambaran pikiran dalam bahasa, citra adalah gambaran pikiran dan citraan merupakan gambaran-gambaran pikiran yang dilukiskan melalui bahasa. Menurut Sayuti (2003: 169-170) munculnya pencitraan merupakan bagian dari pengalaman keinderaan seorang pembaca dengan ditandai adanya suatu kesan yang terbentuk dalam rongga imajinasi yang ditimbulkan oleh
35
sebuah kata atau serangkaian kata dan munculnya pencitraan merupakan bentuk bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyampaikan pengalaman inderanya. Melengkapi pendapat di atas, Waluyo (2010: 78) mengemukakan bahwa pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Ungkapan pengalaman penyair itu dapat dijelmakan ke dalam gambaran konkret mirip musik atau gambar sehingga pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaannya.
Penggunaan citraan dimaksudkan untuk
mengkonkretkan gagasan yang abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan tanggapan imajinasi, sehingga akan memudahkan pembaca dalam memahami karya sastra sekaligus untuk memperindah penuturan (Nurgiyantoro, 2007: 305). Di samping itu juga untuk menimbulkan suasana yang khusus membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, dan juga untuk menarik perhatian (Pradopo, 2000: 79). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa istilah citra sama artinya dengan imaji dan citraan sama dengan pengimajian. Ada perbedaan yang tersirat antara citra dengan citraan yaitu citra artinya bayangan atau gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkaian kata (kalimat). Sedangkan citraan adalah upaya penyair untuk membentuk kombinasi kata atau rangkaian kata yang dapat menimbulkan bayangan atau gambaran angan terhadap pembaca. Citraan dapat diwujudkan dengan panca indera, yaitu melalui indera penglihatan, indera pendengaran, indera perasaan, dalam hal ini pembaca dengan pengalamannya menganggap seolah-olah melihat, mendengar atau merasakan objek yang diungkapkannya. Adapun macam pencitraan itu sendiri meliputi, citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan gerak (kinesthetic imagery), citraan perabaan (tactile imagery), citraan penciuman (olfactory imagery), citraan pencecapan (gustatory imagery), dan citraan perasaan (feeling imagery). Uraian mengenai citraan akan dijelaskan sebagai berikut.
36
(1) Citraan Penglihatan Citraan penglihatan adalah citraan yang ditimbulkan atau dihasilkan oleh indera penglihatan. Citraan ini memberikan rangsangan kepada indera penglihatan, sehingga hal-hal yang tidak terlihat, dengan citraan tersebut seolaholah dapat dilihat (Pradopo, 2000: 81). Citraan penglihatan dapat memberikan gambaran kejadian, peristiwa, latar, dan sebagainya untuk memperkuat gambaran mengenai kisah yang disajikan oleh pengarang. (2) Citraan Pendengaran Citraan pendengaran berkaitan dengan bunyi atau suara yang ditangkap oleh indera pendengaran. Citraan pendengaran merupakan kategori citraan dari satuan ungkapan yang bercirikan adanya potensi membangkitkan pengalaman indera pendengaran sehingga seolah-olah kita mendengarkan sesuatu melalui citraan itu (Pradopo, 2000: 87). Citraan itu dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, sehingga pembaca seolah-olah mendengar sendiri peristiwa yang digambarkan. (3) Citraan gerak Citraan gerak adalah citraan yang menggambarkan sesuatu yang seolaholah bergerak nyata. Pradopo (2000: 83) menyatakan bahwa citran gerak ditimbulkan oleh adanya gerak. Citraan ini menimbulkan gambaran yang dinamis dan hidup. Pada dasarnya jenis citraan ini dapat ditampilkan dalam dua bentuk. Pertama, citraan yang menggambarkan gerak sesuatu yang memang dapat bergerak, kedua citraan yang menggambarkan gerak sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi digambarkan dapat bergerak. (4) Citraan Perabaan Citraan perabaan adalah citraan yang dihasilkan oleh tanggapan indera peraba. Citraan perabaan erat dengan citraan gerak. Citraan ini membangkitkan pengalaman sensoris indera peraba. Citraan ini berhubungan dengan indera peraba, rnisal kasar, keras, halus, panas, dingin, basah dan sebagainya (Badrun, 2002: 19).
37
(5) Citraan penciuman Citraan penciuman berkaitan erat dengan penggambaran yang ditangkap oleh indera penciuman manusia. Nurgiyantoro (2014: 283) menyatakan bahwa citraan penciuman (olfaktori) menunjuk pada pelukisan penciuman secara konkret. Citraan penciuman adalah citraan yang dihasilkan oleh tanggapan indera penciuman. Citraan ini merupakan citraan yang membangkitkan pengalaman sensoris indera penciuman. Citraan penciuman ini berkaitan dengan bau, misalnya: harum, wangi, busuk, dan sebagainya. (6) Citraan Pencecapan Citraan pencecapan berkaitan dengan indera perasa manusia. Menurut Al Ma’ruf (2012: 85) citraaan pencecapan adalah penggambaran imajinasi yang ditimbulkan oleh indera pencecapan dalam hal ini lidah. Menurut Sayuti (2000: 111) citraan pencecapan adalah gambaran yang dihasilkan oleh tanggapan indera pencecapan, sehingga pembaca olah-olah merasakan sesuatu yang terasa pahit, manis, asin dan sebagainya. Dengan demikian dapat disintesiskan bahwa citraan pencecapan merupakan penggambaran yang menunjukkan hasil olah rasa indera lidah, misalnya manis, pahit, asam, dan sebagainya. 4. Stilistika dalam Pembelajaran Sastra Kajian stilistika memiliki keterkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dapat diindikasikan pada materi pembelajaran yang berupa pemahaman terhadap struktur teks sastra. Pemahaman struktur teks sastra tersebut mencakup pemahaman terhadap unsur intrinsik sastra, salah satunya mengenai penggunaan gaya bahasa. Pemahaman mengenai penggunaan gaya bahasa akan mempermudah siswa menginterpretasi teks sastra yang sedang dipelajari. Sejalan dengan hal di atas, Widdowson (1975: 148) menyampaikan gagasannya bahwa stilistika merupakan sarana yang penting untuk belajar bahasa karena menciptakan kesadaran tentang bagaimana sebuah bahasa difungsikan dan digunakan. Dijelaskan pula bahwa pemahaman terhadap penggunaan gaya bahasa dapat menghindarkan pembaca dari subyektivitas sebagaimana yang biasa ditemui dalam kritik sastra. Pendapat tersebut diperkuat oleh Simpson (2004: 3) yang
38
menyampaikan bahwa pemahaman terhadap penggunaan gaya bahasa merupakan praktik linguistik untuk studi sastra. Stilistika telah memberikan kemudahan dalam
pemahaman
kritik
sastra,
serta
memunculkan
obyektivitas
dan
menghindarkan dari kekakuan analisis dalam karya sastra. Pendapat yang lain dikemukakan oleh Satoto (2012: 153) yang menyatakan bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa adalah agar siswa terampil berbahasa. Keterampilan berbahasa menuntut serta membutuhkan kosakata yang cukup. Kekayaan kosakata akan menentukan mutu keterampilan berbahasa seseorang. Dengan demikian, upaya pengembangan kosakata bagi para penutur bahasa sangat penting, dan hal itu dapat ditempuh salah satunya dengan membelajarkan stilistika menggunakan teks sastra kepada siswa. Sementara itu, Sutedjo (2010: 203) menyampaikan bahwa dalam pembelajaran sastra, stilistika dapat digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kemenarikan gaya bahasa sastra dalam berkomunikasi. Selain itu, dapat disampaikan pula manfaat bahasa sastra tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, setelah dipahami dengan baik, bahasa sastra yang telah dipelajari melalui stilistika dapat digunakan untuk praktik komunikasi. Melengkapi pendapat tersebut, Sarumpaet (2002: 30) menjelaskan bahwa kebahasaan dalam sastra dapat memperkaya pengetahuan kebahasaan anak didik. Hal tersebut merupakan hal yang penting, sebab bukan hanya berkaitan dengan pikiran dan penalaran, bahasa juga memegang kunci penting dalam berkomunikasi. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian stilistika yang dipergunakan dalam pembelajaran sastra sangat penting. Pemahaman penggunaan bahasa dalam teks sastra dapat mempermudah seseorang dalam menginterpretasi teks sastra secara objektif. Selanjutnya, pemahaman kebahasaan tersebut dapat memperkaya kosakata seseorang dan berikutnya akan mempengaruhi kemampuan dalam berkomunikasi. 5. Pembelajaran Sastra di SMK Pada tataran SMK, materi pembelajaran sastra termuat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Kurikulum tahun 2013 telah mengakomodasi pembelajaran
39
sastra dengan memberikan alokasi waktu yang cukup banyak dalam pembagian jam tatap muka. Hal ini terlihat melalui pertambahan jumlah jam pelajaran yakni 4 jam pelajaran per minggu dari kurikulum sebelumnya (KTSP) yang hanya 2 jam pelajaran per minggu. Selain itu pada kelas XI, dua materi awal secara berturutturut berkaitan dengan sastra yakni cerpen dan pantun. Dalam Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/ MAK halaman 64-65 dijelaskan mengenai kompetensi dasar memahami cerita pendek. Kompetensi Dasar tersebut diuraikan pada KD 3.1-3.5, dan KD 4.1-4.5. Kompetensi Dasar tersebut dijabarkan melalui tabel berikut ini. Tabel 1. Kompetensi Dasar Kelas XI SMK No. KD 3.1
Kompetensi Dasar Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan
3.2
Membandingkan teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan
3.3
Menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan
3.4
Mengidentifikasi teks cerpen baik secara lisan maupun tulisan
3.5
Mengevaluasi teks cerita pendek, berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan maupun tulisan
4.1
Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan
4.2
Memproduksi teks cerita pendek, yang koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan
4.3
Menyunting teks cerita pendek, sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan
40
4.4
Mengabstraksi teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan
4.5
Mengonversi teks cerita pendek, ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan
C. Kerangka Berpikir Hakikat cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa yang berisi sekitar lima ribu kata dan berisi sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian dan peristiwa yang diselesaikan secara tuntas dan utuh. Cerpen berbentuk prosa pendek, habis dibaca dalam sekali duduk, berisi sepenggal kehidupan tokoh, dan berkonflik tunggal. Cerpen terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik tersebut di antaranya adalah gaya bahasa. Pembelajaran sastra di SMK memuat materi tentang cerita pendek, dan salah satu unsur di dalamnya adalah mempelajari struktur cerita pendek. Dalam struktur cerita pendek, terdapat materi pembelajaran mengenai gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen. Dalam ilmu linguistik, kajian mengenai gaya bahasa dapat dilakukan melalui analisis stilistika. Dalam
perkembangan
cerpen
Indonesia,
Kompas
secara
rutin
membukukan cerpen-cerpen terbaik yang pernah dimuat sepanjang kurun waktu satu tahun. Pada tahun 2015 Kompas kembali meluncurkan buku antologi cerpen pilihannya yang kali ini bertajuk Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon. Tajuk tersebut diambil dari sebuah cerpen yang dianggap terbaik dari cerpen pilihan yang dimuat. Buku ini memuat 24 cerpen yang dipilih dari cerpen yang pernah dimuat dalam edisi Minggu surat kabar Kompas sepanjang tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan kajian stilistika untuk mengetahui penggunaan bahasa yang terdapat dalam buku antologi Cerpen Pilihan Kompas 2014. Kajian stilistika pada buku antologi cerpen Kompas ini menitikberatkan pada penggunaan diksi, gaya bahasa, gaya wacana dan citraan guna mendapatkan bukti-bukti yang jelas tentang kajian stilistika yang terdapat dalam antologi cerpen tersebut, serta memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai pentingnya
41
stilistika dalam dunia sastra serta relevansinya dengan pengajaran sastra di SMK. Berikut disampaikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Buku Antologi Cerpen Kompas 2014
Analisis Stilistika
Diksi
Gaya Bahasa
Gaya Wacana
Relevansi dengan Pembelajaran Sastra di SMK Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Citraan