BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka ini menjelaskan dua hal, yaitu (a) pendapat para ahli tentang tindak tutur mengkritik beserta seluk-beluknya melalui kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, baik berdasarkan latar belakang budaya Jawa maupun latar belakang budaya lain di dunia, (b) gambaran mengenai posisi penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu. 2.1.1 Kajian Tindak Tutur Mengkritik Terdahulu Sampai penelitian ini dilaksanakan, kajian tentang tindak tutur mengkritik dalam konteks masyarakat Jawa atau etnik-etnik lain di Indonesia (yang berbeda-beda latar belakang budayanya) tampaknya belum banyak dilakukan oleh para ahli. Hal ini terbukti dari tulisan-tulisan mereka yang secara kuantitatif menunjukkan angka yang tidak signifikan. Dari penelusuran pustaka yang dilakukan, pakar yang pernah mengkaji tindak tutur mengkritik dalam konteks masyarakat Jawa ( namun tidak dikhususkan pada subkultur tertentu dan tidak ditekan pada fungsinya sebagai sarana kontrol sosial) adalah Gunarwan (1996). Pakar lain selain Gunarwan tidak ditemukan. Bahkan, kajian tentang tindak tutur mengkritik yang dilakukan terhadap etnik-etnik lain di Indonesia (Madura, Batak, dan lain-lain) juga tidak ditemukan. Yang ditemukan adalah kajian tentang tindak tutur mengkritik dalam masyarakat Vietnam, China, dan lain-lain sebagaimana yang dilakukan oleh Tracy, et.al. (1987), Tracy dan Eissenberg (1990), Wajnryb (1993), Toplak dan Katz (2000), Nguyen (2005), dan Hoang Thi Xuang Hoa (2007). Bagaimana pandangan para pakar tersebut tentang kritik, berikut dipaparkan secara garis besar. Gunarwan (1996) mengkaji tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa dalam bentuk makalah. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan dalam masyarakat Jawa, strategistrategi seperti apa yang pada umumnya digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna terhadap pemilihan strategi kritik. Metode yang digunakan oleh Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Dilihat dari jenis kelaminnya,
16
17
dari 142 responden itu, 63 perempuan dan 79 laki-laki. Dilihat dari usianya, usia 20 ke bawah =14 orang, usia 21-30 48= orang, usia 31-40= 50 0rang, usia 41-50= 14 0rang, dan usia di atas 50= 16 0rang. Dilihat dari segi pendidikan, 35 orang SMA, 34 diploma, 54 orang S1, dan 19 orang master atau doktor. Dilihat dari segi dialek, 31 penutur dari Jawa Timur dan 111 penutur dari Jawa tengah. Parameter yang digunakan ada tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas. Ketiga parameter ini kemudian dijabarkan menjadi delapan situasi hipotesis, yaitu (1) +P-S+F, (2) +P+S+F, (3) –P-S+F, (4) –P+S+F, (5) +P-S-F, (6) +P+S-S, (7) –P-S-F, (8) –P+S-F. Teori utama yang diacu oleh Gunarwan adalah teori Brown dan Levinson (1987) tentang strategi bertutur. Berdasarkan kajiannya itu, Gunarwan memperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, strategi kritik yang paling tinggi skornya di antara kelima strategi yang ada-berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa-- adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan yang paling rendah skornya adalah strategi bertutur dalam hati. Skor yang dimaksud adalah skor rata-rata untuk semua situasi. Terhadap gradasi ini, Gunarwan menilai strategi kritik dalam hati, strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, dan strategi samar-samar mendapat angka yang kecil barangkali karena situasi yang disodorkan adalah situasi hipotesis, bukan situasi yang nyata atau konkret. Kedua, dari segi usia, ada kecenderungan kelompok usia muda lebih suka menggunakan strategi kritik yang langsung (strategi terus terang, tanpa upaya penyelamatan muka (bald on record) daripada kelompok usia tua. Kecenderungan ini tampak jelas apabila perbedaan usia itu kita lihat dalam rentang waktu kurang lebih satu generasi, misalnya usia 20 tahun ke bawah dan usia 41 tahun ke atas. Kecenderungan ini, menurut Gunarwan, menunjukkan adanya pergeseran nilai sosiokltural (termasuk nilai kesantunan) yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa. Ketiga, dari segi pendidikan, ada kecenderungan di kalangan masyarakat Jawa semakin tinggi pendidikan, semakin jarang menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka. Hal ini terlihat jelas dari perbandingan kelompok pendidikan SMA dan kelompok pendidikan S2 atau S3. Kelompok pendidikan SMA
18
cenderung menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, sedangkan kelompok pendidikan S2/S3 cenderung menghindari strategi tersebut. Keempat, dari segi dialek, Gunarwan memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok penutur dari Jawa Timur dan kelompok penutur dari Jawa Tengah dalam hal pemilihan strategi. Perbedaannya hanyalah terletak pada skor penggunaan strategi terus terang dengan kesantunan negatif dan strategi terus terang dengan kesantunan positif, penutur dari Jawa Tengah skornya lebih tinggi daripada penutur dari Jawa Timur. Implikasinya adalah penutur dari Jawa Tengah cenderung lebih santun daripada penutur dari Jawa Timur. Tracy et.al (1987) mengungkapkan penelitiannya tentang karakteristik kritik yang baik dan yang tidak baik dalam latar belakang budaya yang berbeda-beda. Penelitiannya itu menggunakan kuesioner yang bersifat terbuka. Menurutnya, ada lima hal yang menandai sebuah kritik yang baik. Pertama, kritik yang baik hendaknya dikemukakan dengan bahasa yang positif dan cara yang baik. Kedua, perubahanperubahan yang disarankan hendaknya cukup spesifik dan pelaku kritik hendaknya menawarkan bantuan untuk membuat perubahan itu menjadi mungkin. Ketiga, Alasan mengapa kritik itu disampaikan harus dapat dibenarkan dan dibuat eksplisit. Keempat, kritik itu hendaknya dikompensasikan dengan pesan positif yang lebih besar. Kelima, kritik yang baik menggunakan strategi yang tepat dan tidak mengganggu hubungan harmonis antara pelaku kritik dan penerima kritik. Sementara itu, Wajnryb (1993) mengemukakan kritik yang efektif di antara guru guru dan murid. Menurutnya, kritik yang efektif di antara guru-murid di kelas hendaknya dikemukakan secara sederhana, spesifik, berlatarbelakangkan pelajaran, berkaitan dengan strategi perbaikan, dan disampaikan sebagai upaya berbagi pengalaman. Kritik yang efektif juga perlu diperlunak dengan sejumlah strategi. Strategi ini di antaranya adalah „mengukur kata-kata yang digunakan‟ untuk menghindari sesuatu yang terlalu negatif, berpijak pada kata-kata yang lunak (soft-pedaling), misalnya menggunakan modifikasi internal dan eksternal untuk mengurangi ketajaman kritik, menggunakan bahasa yang bernada setuju, seperti pesan yang menyenangkan, menjaga jarak dan bersikap netral (tidak menyebut nama dalam kritik), dan menggunakan bahasa yang negosiatif untuk menghindari paksaan terhadap petutur. Untuk menyelamatkan muka murid, seorang guru hendaknya menyampaikan kritik itu
19
secara tidak langsung dan didekati melalui orang ketiga. Menariknya adalah apa yang dikemukakan Wajnryb itu ternyata bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh murid. Hal ini diketahui dari studi kasus yang dilakukan Wajnryb sendiri tahun 1995. Murid-murid justru lebih suka kritik itu disampaikan secara langsung dan ekonomis daripada disampaikan secara tidak langsung, berputar-putar, dan menghabiskan waktu. Tracy & Eissenberg (1990) mengkaji preferensi kejelasan pesan dan kesantunan di dalam memberikan kritik dalam konteks lokasi kerja di antara orang-orang dari ras dan gender yang berbeda. Mereka menemukan bahwa orang-orang yang statusnya superior cenderung memberikan kritik secara lebih jelas daripada orang-orang yang termasuk kategori subordinat. Akan tetapi, preferensinya bervariasi menurut gender dan ras. Misalnya, perempuan pada umumnya lebih memperhatikan muka daripada laki-laki. Dari segi ras, orang-orang kulit putih pada umumnya lebih memperhatikan muka positif (keinginannya disetujui atau diterima oleh yang lain) daripada orang-orang bukan kulit hitam. Nguyen (2005) melakukan penelitian tentang tindak tutur kritik dan respon terhadap kritik dalam bahasa Inggris sebagai bahasa kedua bagi mahasiswa-mahasiswa Vietnam yang sedang melakukan studi di universitas di Australia. Nguyen ingin memahami apakah pelajar-pelajar Vietnam tersebut melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik dengan cara-cara yang berbeda bila dibandingkan dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia. Karena yang menjadi sasaran kajian adalah mahasiswa, maka latar kajiannya dikhususkan pada latar akademik (academic setting). Ada empat masalah yang ingin dijawab oleh Nguyen dalam penelitiannya itu, yaitu (a) menyangkut perbedaan dalam hal melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik antara mahasiswa Vietnam dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia, (b) perkembangan pragmatik para mahasiswa dari berbagai level dalam melakukan kritik dan respon terhadap kritik, (c) pragmatik transfer yang terlihat ketika para mahasiswa Vietnam tersebut melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik, dan (d) faktor-faktor yang memengaruhi para mahasiswa Vietnam memilih strategi kritik dan respon terhadap kritik. Berdasarkan analisis data yang dilakukan Nguyen, ditemukan bahwa pelajarpelajar Vietnam di Australia ternyata melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik dengan cara-cara yang sangat berbeda dengan penutur asli bahasa Inggris di
20
Australia. Pelajar-pelajar Vietnam itu cenderung mengemukakan kritik secara tidak langsung,
sedangkan
penutur
asli
bahasa
Inggris
di
Australia
cenderung
mengungkapkan kritik secara langsung dan sedikit sekali yang mengungkapkan scara tidak langsung. Yang menarik adalah kritik yang diungkapkan secara tidak langsung oleh mahasiswa Vietnam itu tidak berarti lebih santun menurut norma budaya Australia. Hal ini disebabkan mahasiswa Vietnam sering menerapkan kritik tidak langsung itu secara ofensif seperti “menuntut”, yang memberikan kesan bahwa penutur mendikte perilaku petutur. Di samping menuntut, kritik yang diungkapkan juga terkesan “menasihati”yang menekankan ruang pribadi. Dalam hal perkembangan pragmatik, Nguyen menemukan bahwa para mahasiswa Vietnam cenderung memitigasi kritiknya dengan internal modifier untuk memperlunak daya sengat kritik. Penggunaan modifier ini sangat tinggi khususnya oleh mahasiswa dari kelas advance melebihi mahasiswa dari kelas intermediate dan pemula. Akan tetapi, penggunaan modifier ini tidak banyak ditemukan ketika mereka memberikan respon terhadap kritik. Ketika memberikan respon terhadap kritik, mahasiswa Vietnam lebih sering mengekspresikan ketidaksetujuan dan sedikit sekali yang mengekspresikan persetujuan terhadap kritik yang disampaikan atas dirinya. Hal ini berbeda dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia yang lebih sering mengekspresikan persetujuan daripada ketidaksetujuan. Ketika mahasiswa Vietnam itu mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kritik yang disampaikan, ternyata ketidaksetujuan itu juga diungkapkan dengan cara yang tidak sama dengan penutur asli di Australia. Mahasiswa Vietnam cenderung mengungkapkan secara langsung bahwa kritik yang disampaikan itu tidak benar. Mereka percaya pada pendapatnya sendiri, mengklaim kebebasan berpikir, menentang kritik, dan bahkan mempertanyakan validitas kritik yang disampaikan. Di samping itu, mahasiswa Vietnam tidak banyak menggunakan
modifier dan pagar untuk
mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap kritik, tidak seperti yang dilakukan oleh penutur asli di Australia. Dalam hal penggunaan strategi kritik dan formula semantik kritik, ketiga kelompok mahasiswa tersebut tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Hanya saja, mahasiswa dari level advance lebih bisa menggunakan alat-alat linguistik yang bervariasi untuk merealisasikan strategi dan formula semantik kritik. Menurut Nguyen,
21
betapapun para mahasiswa itu memiliki perkembangan pragmatik yang sangat bagus, tetapi mereka tidak akan bisa memiliki kompetensi pragmatik seperti penutur asli. Dalam hal pragmatik transfer, Nguyen menemukan bahwa terdapat pengaruh dalam hal strategi untuk merealisasikan kritik dan respon terhadap kritik. Contoh, karena menurut budaya Vietnam, menasihati (advice) atau menuntut (demand) sering digunakan untuk menunjukkan perhatian, ketulusan, dan keramahan, maka para mahasiswa Vietnam itu cenderung menerapkan kedua formula tersebut ketika melakukan kritik. Karena memberikan argumentasi juga sah-sah saja dalam budaya Vietnam, maka para mahasiswa juga cenderung menolak kritik secara penuh tanpa sadar bahwa perilakunya itu menyebabkannya menjadi mitra tutur yang tegas apabila dilihat dari perspektif budaya Barat. Pengaruh itu juga ditemukan dalam hal penggunaan modifier sintaktis seperti modal dan past tense. Mahasiswa Vietnam jarang menggunakan modifier ini karena dua hal. Pertama, Mereka sangat percaya bahwa argumentasi yang dikemukakan itu lebih meyakinkan daripada pemberian pagar dan karena itu mereka sering tidak memagari pendapat-pendapatnya. Kedua, bahasa Vietnam tidak memiliki modalitas sebagaimana dalam bahasa Inggris. Sebagai akibatnya, modalitas diganti dengan bentuk leksikal yang mirip dengan kata Inggris appealer. Itulah sebabnya, mahasiswa Vietnam cenderung tidak menggunakan modifier sintaktis sebagaimana penutur asli bahasa Inggris. Hal terakhir yang ditemukan Nguyen dalam penelitiannya adalah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi kritik dan formula semantiknya. Pertama, pemilihan strategi itu dipengaruhi oleh pengetahuan pragmatik bahasa kedua mereka yang belum lengkap. Mereka beranggapan bahwa melakukan kritik dengan nada menuntut dan menasihati itu secara pragmatik tepat untuk bahasa kedua. Mereka juga beranggapan bahwa sikap tidak setuju yang dikemukakan secara langsung itu cocok untuk bahasa kedua karena penutur asli bahasa Inggris biasanya lebih menyukai sesuatu yang langsung. Padahal, meskipun langsung, penutur asli banyak menggunakan modalitas, sedangkan mahasiswa Vietnam mengabaikan modalitas. Faktor kedua yang mempengaruhi pemilihan strategi adalah pengaruh kaidah pragmatik bahasa pertama kepada bahasa kedua. Mengapa mahasiswa Vietnam cenderung menggunakan formula menuntut dan menasihati ketika melakukan kritik dan mengapa mereka cenderung menolak kritik secara penuh adalah karena dipengaruhi
22
oleh kaidah pragmatik bahasa pertama. Faktor ketiga yang mempengaruhi strategi terjadi dalam komunikasi yang sifatnya spontan. Dalam komunikasi yang spontan seperti itu, mereka lebih berpikir tentang kejelasan pesan. Faktor lain yang juga memengaruhi pemilihan strategi kritik adalah faktor seperti instruksi dosen, percakapan dosen, buku teks, dan berbagai sumber seperti media atau teman sekelas. Semua itu bisa mempengaruhi pemilihan strategi atau realisasi struktur. Mereka sering menyampaikan ungkapan “You should” untuk nasihat, di samping dipengaruhi oleh bahasa pertama, juga diperkuat oleh instruksi dosen. Para dosen sering menggunakan ungkapan ini untuk melakukan kritik atau memberikan umpan balik atau mengoreksi kesalahan teman sekelas mereka. Penggunaan kata must untuk melakukan tuntutan juga dipengaruhi oleh buku teks. Menyatakan tidak setuju secara langsung dipengaruhi oleh teman sekelas mereka. MIN Chang-chao (2008) mengkaji perbedaan tindak tutur kritik dalam masyarakat Cina dan masyarakat penutur bahasa Inggris. Dalam kajiannya itu dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik dapat mengandung berbagai macam tipe tindakan seperti deklarasi, representatif, dan ekspresif. Hal ini menyiratkan bahwa tindak tutur mengkritik juga dipandang sebagai tindak tutur kompleks. Dia membedakan tindak tutur mengkritik menjadi dua kategori, yaitu kritik langsung dan kritik tidak langsung. Kritik langsung disebutnya sebagai ekspresi langsung tentang evaluasi negatif tanpa reservasi. Penutur langsung menunjukkan kesalahan petutur dan langsung menuntut perbaikan. Kritik langsung bersifat sangat eksplisit, maksud kritik terlihat jelas sehingga tidak menimbulkan salah pengertian. Kritik langsung sangat mencoreng muka positif petutur. Kritik langsung ini disebutnya on record criticism. Sementara itu, kritik tidak langsung berarti daya ilokusi kritik itu diungkapkan melalui performansi tindak tutur yang lain. Maksud kritik yang sebenarnya disembunyikan sehingga muka petutur dapat diselamatkan beberapa derajat. Kritik tidak langsung ini dipandang sebagai kritik yang efektif dan berterima dengan hasil yang positif. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kritik tidak lansung daya ilokusinya lebih rendah dibandingkan dengan kritik langsung. Kadang-kadang kritik tidak langsung justru lebih tinggi daya ilokusinya daripada kritik langsung. Dalam kajiannya itu MIN Chang-chao berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan sarjana sebelumnya, yaitu WU Shu-qiong (2004) dan ZHU Xiang-yan (2004).
23
WU Shu-qiong menemukan bahwa lebih dari 50% orang Cina menggunakan strategi kritik tidak langsung seperti depersonalisasi, isyarat, subjektiviser, dan strategi kebijaksanaan yang merakyat (folk wisdom strategies). Sementara itu, ZHU Shiang-yan menemukan bahwa lebih dari 57.14% orang asing (barat) menerapkan strategi kritik langsung. Dari hasil penelitian dua orang ini, MIN Chang-chao mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Cina cenderung menggunakan strategi kritik tidak langsung, sedangkan orang Barat cenderung menggunakan strategi kritik langsung. Mulac, et.al. (2000) mengkaji kritik di kalangan para profesional dan manager laki-laki dan perempuan. Kajian ditekankan pada perbedaan penggunaan bahasanya dan efeknya. Dalam kajiannya itu, kritik dikonseptualisasikan sebagai evaluasi negatif tentang berbagai aspek dari seorang individu yang disampaikan oleh pihak lain. Kritik yang diekspresikan sangat bergantung pada beberapa hal, yaitu hubungan antara pelaku kritik dan penerima kritik, konteks, sifat masalah (the nature of the problem), atau topik kritik (topic of the criticism), dan gender dari pelaku kritik. Hasil kajiannya itu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari kalangan profesional dan manager menengah pada umumnya menggunakan ciri-ciri bahasa yang mirip dengan ciri-ciri bahasa kaum laki-laki, yaitu lebih langsung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Tracy dan Eisenberg, 1990/1991) bahwa kaum laki-laki pada umumnya melakukan kritik dengan strategi yang lebih langsung daripada kaum perempuan. Akan tetapi, kaum perempuan yang menempati posisi superordinat pada umumnya melakukan kritik dengan strategi yang lebih langsung daripada ketika mereka menempati posisi subordinat. Hoang Thi Xuang Hoa (2007) mengkaji dan membandingkan perilaku kritik dalam masyarakat Vietnam dan Amerika. Kajian ditekankan pada berbagai faktor sosial yang memengaruhi strategi kritik, topik kritik, dan frekuensi kritik. Berdasarkan kajiannya itu, ditemukan bahwa dalam masyarakat Vietnam, faktor yang sangat penting dan menjadi pertimbangan utama dalam melakukan kritik adalah faktor tujuan kritik. Mereka tidak ragu-ragu melakukan kritik kepada siapa pun. Mereka juga tidak perduli dengan efek buruk yang timbul akibat kritik. Yang penting bagi mereka adalah kritik itu dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu memperbaiki kesalahan. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan penting dalam melakukan kritik adalah umur atau usia. Menurut kepercayaan masyarakat tradisional Vietnam, umur diyakini memiliki kaitan dengan
24
pengalaman, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Oleh karena itu, umur harus ditempatkan pada derajat kehormatan tertentu. Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan penting adalah bobot pelanggaran (severity of offence). Bagaimana orang Vietnam melakukan kritik bergantung pada bobot pelanggarannya. Urutan keempat yang menjadi pertimbangan adalah faktor tempat (setting). Bagi orang Vietnam, faktor tempat ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena hanya menempati urutan keempat. Orang Vietnam tidak terlalu menaruh perhatian di mana kritik itu dikemukakan. Yang menarik adalah faktor power dan social distance hanya menempati urutan kelima dan keenam. Hal ini berarti bahwa orang Vietnam tidak begitu memiliki beban untuk melakukan kritik kepada orang yang power-nya lebih tinggi atau kepada orang yang tidak dikenal. Faktor terakhir yang menjadi pertimbangan adalah faktor efek kritik. Faktor efek ini menempati urutan terendah sehingga orang Vietnam tidak merasa khawatir akan efek buruk yang timbul akibat kritik. Sebaliknya,
dalam
masyarakat
Amerika,
faktor
yang
justru
menjadi
pertimbangan sangat penting ketika melakukan kritik adalah faktor tempat kritik (setting of criticism). Privasi diyakini memiliki nilai yang sangat penting. Oleh karena itu, ketika melakukan kritik, mereka lebih suka menyampaikannya secara pribadi dan tidak di tempat publik. Bagi orang Amerika, mengkritik di tempat publik sangat mengancam muka penerima kritik. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan adalah faktor distance. Bagaimana orang Amerika melakukan kritik sangat dipengaruhi oleh social distance antara pelaku kritik dan penerima kritik. Sementara itu, efek kritik dan bobot kritik menempati urutan ketiga dan keempat. Urutan berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah umur, di bawahnya lagi adalah status petutur, dan pertimbangan yang paling rendah adalah gender. Sementara itu, berkenaan dengan topik kritik diperoleh perbandingan sebagai berikut. Dalam masyarakat Vietnam, yang paling sering menjadi topik kritik adalah (a) perilaku di rumah, (b) perilaku di tempat publik, (c) perilaku di tempat kerja, (d) hasil pekerjaan rumah, (e) penampilan, (f) pilihan dalam hidup sehari-hari, (g) sikap hidup, (h) pandangan politik. Dalam pada itu, dalam masyarakat Amerika, yang paling sering menjadi topik kritik adalah (a) perilaku di tempat publik, (b) pilihan dalam hidup seharihari, (c) sikap hidup, (d) penampilan, (e) perilaku di tempat kerja, (f) hasil pekerjaan rumah, dan (g) hasil kerja.
25
Berkenaan dengan frekuensi kritik, terdapat kesamaan antara orang Vietnam dan orang Amerika. Pertama, dalam kedua kelompok tersebut yang paling sering menjadi sasaran kritik adalah teman dekat dan anggota keluarga, menyangkut berbagai topik yang disebutkan di atas. Sementara itu kenalan, kolega di kantor, bos dan superordinat frekuensinya lebih rendah. Hal ini dapat dipahami, mengkritik orang yang memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat resikonya lebih besar, karena itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, dalam kedua kelompok masyarakat tersebut, mengkritik orang yang posisinya lebih tinggi relatif jarang dilakukan. Di samping kesamaan, terdapat juga perbedaan. Pertama, perbedaan itu menyangkut frekuensi secara umum. Orang Vietnam secara umum lebih sering melakukan kritik daripada orang Amerika. Kedua, orang Vietnam lebih sering mengkritik istri atau suami daripada mengkritik saudara kandung. Sementara orang Amerika, lebih sering mengkritik saudara kandung daripada mengkritik istri atau suami. 2.1.2 Posisi Penelitian Ini dalam Kaitannya dengan Penelitian Terdahulu Seksi ini menjelaskan bagaimana posisi penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar sebelumnya. Sebagaimana dapat disimak pada seksi 2.1.1 di atas, penelitian tentang tindak tutur mengkritik yang sedang dilaksanakan ini bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan, tetapi sebelumnya tindak tutur ini sudah pernah dikaji oleh sejumlah pakar. Walaupun demikian, penelitian yang sedang dilaksanakan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengulangi penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya karena penelitian ini memiliki sejumlah perbedaan penekanan atau pun perbedaan aspek kajian bila dibandingkan dengan penelitianpenelitian terdahulu. Dalam kaitannya dengan penelitian Gunarwan (1996), misalnya, meskipun memiliki kemiripan dalam hal latar belakang budaya masyarakat yang diteliti, yaitu masyarakat Jawa, namun penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian Gunarwan tersebut. Perbedaan itu menyangkut beberapa hal. Pertama, perbedaan itu menyangkut metode penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan Gunarwan menggunakan metode kuantitatif. Perbedaan metodologi ini tentu membawa implikasi terhadap proses pelaksanaan penelitian di lapangan. Kedua, penelitian Gunarwan mencakup wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Cakupan ini dipandang terlalu luas dan mengabaikan berbagai macam latar belakang subkultur yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Akibatnya adalah hasil penelitian kurang spesifik dan kurang
26
mendalam, di samping tidak dapat mencerminkan representasi subkultur yang ada dalam masyarakat Jawa. Berdasarkan hal ini, penelitian ini hanya dikhususkan pada masyarakat Jawa Timur dengan subkultur budaya Arek. Dengan cakupan wilayah yang spesifik ini diharapkan, penelitian ini dapat dilaksanakan dengan hasil yang lebih komprehensif dan mendalam. Ketiga, konteks yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian Gunarwan. Penelitian ini menggunakan konteks yang ditentukan atas dasar parameter ± Power, ± Social Distance, dan ± Public, sedangkan Gunarwan menggunakan parameter ± Kekuasaan, ± Solidaritas, dan ± Formal. Perbedaan konteks ini tentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemilihan strategi-strategi kritik. Keempat, perbedaan itu menyangkut penekanan masalah penelitian. Gunarwan menekankan kajian pada apakah realisasi tindak tutur (strategi) kritik ada kaitannya dengan atau dipengaruhi oleh variabel umur, pendidikan, gender, dan dialek (Jawa Timur dan Jawa Tengah). Gunarwan tidak melihat bahwa kritik itu merupakan bentuk kontrol sosial. Padahal, melakukan kritik berarti melakukan kontrol. Oleh karena itu, kritik dalam penelitian ini dilihat atau dikaji sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana kontrol sosial. Di samping itu, penelitian ini juga mencoba memahami aspek lain yang belum disentuh sebelumnya oleh Gunarwan, yaitu bahwa kritik dapat dikaji dari segi formula sematiknya, modifiernya, dan alat-alat kesantunan kritik yang lain. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh pakar lain seperti Tracy, et.al. (1987), Tracy dan Eissenberg (1990), Wajnryb (1993), Toplak dan Katz (2000), Nguyen (2005), dan Hoang Thi Xuang Hoa (2007) jelas berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan yang paling penting adalah menyangkut latar belakang sosial dan budayanya. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan latar belakang masyarakat budaya Arek, sedangkan penelitian para ahli tersebut dilaksanakan berdasarkan latar belakang budaya China, Vietnam, Amerika, atau pun masyarakat penutur bahasa Inggris di Australia. Budaya kritik dalam berbagai masyarakat tersebut tentu berbeda dengan budaya kritik dalam masyarakat budaya Arek. Di samping itu, dalam berbagai kajian di atas, tidak terdapat satu pun yang mengkaji kritik dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial dan tidak ada satu pun yang menekankan kajiannya pada aspek strateginya (berdasarkan parameter ±P, ±D, dan ±Pu), formula semantiknya, modifiernya, alat-alat kesantunan kritik lainnya.
27
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penelitian ini memiliki posisi yang jelas dalam kaitannya dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini mengkaji kritik dari perspektif yang berbeda. Kritik dikaji dan ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana kontrol sosial. Di samping itu, penelitian ini juga memiliki sejumlah aspek yang belum terjamah oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada atau bahkan dalam aspek tertentu memperdalam penelitian yang sudah ada. Namun demikian, harus diakui bahwa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya itu telah memberikan wawasan dan dasar-dasar teoretis yang sangat berharga dalam proses pelaksanaan penelitian ini. 2.2 Landasan Teori Bagian ini menjelaskan berbagai konsep teoritis penting yang relevan dengan penelitian ini, yaitu (1) Pragmatik, Sosiopragmatik, dan Pragmalinguistik (2) teori tindak tutur, (3) teori tentang kritik, (4) prinsip kerja sama, (5) implikatur percakapan, dan (6) teori kesantunan. 2.2.1 Pragmatik, Pragmalinguistik, dan Sosiopragmatik Pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa untuk berkomunikasi (Levinson, 1983: 5; Parker, 1986: 11; Leech, 1993: 1; Verschueren, 1999: 1). Kajian tentang bagaimana kritik itu diekspresikan merupakan kajian pemakaian bahasa untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, kajian kritik dalam penelitian ini termasuk dalam wilayah kajian pragmatik. Pragmatik
mempunyai
dua
sisi,
yaitu
(a)
pragmalinguistik
dan
(b)
sosiopragmatik. Pragmalinguistik merupakan satu sisi pragmatik yang lebih banyak mengkaji aspek-aspek linguistik. Pragmalinguistik mengkaji sumber-sumber linguistik tertentu yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu. Pragmalinguistik banyak berhubungan dengan tata bahasa dalam bahasa tertentu (Leech, 1993: 15). Sebuah bahasa bisa menyediakan sumber linguistik yang khas yang mungkin agak berbeda dengan sumber-sumber linguistik dalam bahasa lainnya. Dalam bahasa Inggris, misalnya, terdapat modifier sintaktis yang berupa bentuk past tense dengan makna present tense untuk mengekspresikan kesantunan. Dalam bahasa Indonesia atau Jawa, sumber linguistik seperti itu tidak tersedia. Dalam
28
masyarakat budaya Arek, sumber linguistik yang digunakan untuk mengekspresikan kritik pada umumnya bersumber atau berasal dari bahasa Jawa Suroboyoan atau bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tradisi komunikasi mereka dalam kehidupan seharihari. Dalam
bukunya
yang mutakhir,
Leech (2014)
menambahkan
bahwa
pragmalinguistik berorientasi pada realisasi kesantunan linguistik yang bebas dari konteks
(context-free).
Pragmalinguistik
mengkaji
bagaimana
kesantunan itu
dimanifestasikan secara linguistik. Kesantunan request, misalnya, dalam bahasa Inggris bisa dimanifestasikan atau diekspesikan dengan menggunakan pertanyaan, modal auxiliaries (can/could), dan bentuk past tense (could alih-alih can). Pertanyaan, modal auxiliaries, dan bentuk past tense (could alih-alih can) ini merupakan sumber linguistik yang tersedia dalam bahasa Inggris untuk menyatakan kesantunan request. Sebaliknya, sosiopragmatik merupakan sisi lain dari pragmatik yang mengkaji aspek-aspek pragmatik yang dikaitkan dengan atau didasarkan pada kebudayaankebudayaan tertentu dan masyarakat bahasa tertentu serta kondisi-kondisi sosial tertentu. Sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik (Leech, 1993). Dalam Leech (2014) dijelaskan bahwa sosiopragmatik berorientasi pada kesantunan sosial atau kesantunan kultural yang sensitif terhadap konteks (contextsensitive). Sosiopragmatik mempertimbangkan berbagai skala nilai yang membuat derajat kesantunan tertentu tampak tepat dan normal dalam latar sosial tertentu. Menurut Leech (2014), terdapat tiga skala nilai yang penting, yaitu (a) skala horizontal distance (social distance/solidarity) antara penutur dan petutur, (b) skala vertical distance (power) antara penutur dan petutur, dan (c) weightiness of transaction (rank of imposition). Ketiga skala ini akan memberikan pengaruh terhadap derajat kesantunan. Variasi seperti umur, gender, kelas sosial, dan lokalitas juga berpotensi berpengaruh terhadap kesantunan. Jadi, sosiopragmatik tidak banyak mengkaji sumber-sumber bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kesantunan, tetapi lebih banyak berbicara mengenai skala nilai yang menyebabkan sebuah budaya menetapkan transaksi tertentu secara sosial lebih penting daripada yang lain. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang cenderung bersifat sosiopragmatik karena kajian (kritik) didasarkan pada kondisi sosial tertentu, yaitu masyarakat Jawa dan didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma budaya tertentu,
29
yaitu budaya Arek di Surabaya. Di samping itu, kesantunan dalam penelitian ini lebih berorientasi pada kesantunan sosial atau kesantunan kultural yang sensitif terhadap konteks (context-sensitive). Walaupun demikian, seperti dikatakan Leech (2014) kajian sosiopragmatik tidak terpisahkan dengan kajian pragmalinguistik. Hal ini disebabkan keduanya merupakan aspek dari pragmatik: satu aspek mengenai bahasanya dan satu aspek lainnya mengenai masyarakatnya. Kunci dari kajian mengenai kesantunan adalah menginvestigasi bagaimana kedua aspek pragmatik tersebut berinterkoneksi. Bagaimana sumber-sumber pragmalinguistik suatu bahasa diekspresikan sesuai dengan nilai budaya. 2.2.2 Teori Tindak Tutur Teori tindak tutur yang penting dikemukakan meliputi (a) konsep tindak tutur, (b) tindak tutur performatif dan konstatif, (c) kondisi kelayakan tuturan performatif, (d) dekomposisi tindak tutur, dan (e) klasifikasi tindak tutur. Berikut dipaparkan satu per satu. 2.2.2.1 Konsep Tindak Tutur Konsep tindak tutur bermula dari pandangan Austin dalam bukunya How to Do Thing with Words (1969). Dalam bukunya itu, Austin menjelaskan bahwa pada saat orang berbicara, orang tersebut sesungguhnya tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. To say something is to do something. Untuk membuktikan pendapatnya itu, Austin (1962: 5) mengemukakan contoh seperti (1) berikut. (1) a. Yes I do. b. I name the ship the Queen Elizabeth Tuturan (1a) di atas diucapkan oleh seorang calon pengantin pria dalam suatu upacara perkawinan. Ketika mengucapkan tuturan (1a) itu, pria tersebut tentu tidak sekedar menginformasikan kepada semua hadirin bahwa pada hari itu dirinya menikah, tetapi dengan ucapan itu dia juga melakukan suatu tindakan, yaitu tindakan menikah. Demikian juga halnya pada contoh (1b), penutur tidak sekedar menginformasikan bahwa ia telah memberi nama sebuah kapal, melainkan juga melakukan tindakan, yaitu tindakan memberi nama kapal. Inilah konsep dasar tindak tutur yang dikemukakan Austin bahwa mengatakan sesuatu sesungguhnya adalah juga melakukan sesuatu.
30
Sebelum Austin mengemukakan pendapatnya itu, para filosof, yang dipelopori oleh kaum neo-positivist, pada umumnya berpandangan bahwa mengatakan sesuatu hanyalah menginformasikan sesuatu. To say something is simply to state some factual information. Menurut Searle (1971: 39), tindak tutur, sebagaimana yang dikemukakan Austin di atas, adalah unit minimal dalam komunikasi linguistik (Searle, 1971: 39). Dengan demikian, tindak tutur ini menjadi unit analisis terkecil dalam kajian pragmatik. Perlu ditegaskan bahwa tindak tutur tidak sama dengan kalimat. Tindak tutur bukanlah satuan lingual, sedangkan kalimat merupakan satuan lingual. Tindak tutur bukan merupakan bagian dari sistem bahasa, sedangkan kalimat merupakan bagian dari sistem bahasa. Kalimat dapat dianalisis menurut teori gramatika, sedangkan tindak tutur, menurut Searle (1969: 17), hanya dapat dianalisis berdasarkan teori tindakan. Teori tindak tutur merupakan bagian dari teori tindakan. 2.2.2.2 Tuturan Performatif dan Konstatif Berkenaan dengan konsep tindak tutur, penting juga dikemukakan apa yang oleh Austin disebut sebagai tuturan performatif dan tuturan konstatif. Tuturan performatif adalah tuturan yang tidak sekedar digunakan untuk menyampaikan informasi faktual, melainkan juga digunakan untuk melakukan suatu tindakan. Karena digunakan untuk melakukan suatu tindakan, tuturan performatif tidak dapat dinilai benar atau salah. Tuturan pada (1a-b) di atas adalah contoh tuturan performatif (performative utterance). Kata kerja yang terkandung dalam tuturan performatif disebut kata kerja performatif. Tuturan performatif oleh Austin dibedakan menjadi dua macam, yaitu performatif eksplisit dan performatif implisit (Austin mengguunakan istilah primary performative untuk performatif implisit). Performatif eksplisit adalah ujaran performatif yang mengandung verba performatif yang menggambarkan jenis tindakan yang dilakukan. Sebaliknya, performatif implisit adalah ujaran performatif yang tidak mengandung verba performatif. Tuturan (2 a-c) berikut merupakan tuturan performatif eksplisit, sedangkan tuturan (3 a-c) merupakan tuturan performatif implisit. (2) a. I sentence you to ten years in prison. b. I promise to come to your talk tomorrow afternoon. c. I command you to surrender immediately. (3) a. I ll come to your talk tomorrow afternoon.
31
b. How about going to New York on Saturday. c. Leave me alone, or I ll call the police. Sementara itu, yang dimaksud tuturan konstatif adalah tuturan yang hanya digunakan untuk membut statemen atau menyampaikan informasi faktual, tidak untuk melakukan suatu tindakan. Tuturan (4a-b) berikut adalah contoh tuturan konstatif (dikutip dari Huang, 2007: 95). (4) a. My daughter is called Elizabeth. b. The children are Chasing squirrels in the park. c. Maurice Garin won the first Tour de France in 1903. Karena tuturan konstatif hanya berisi statemen atau informasi faktual, maka tuturan konstatif harus dapat diverifikasi kebenarannya berdasarkan logika atau bukti empiris. Dalam tuturan (4a), misalnya, kalau saya pada kenyataannya memang mempunyai anak perempuan (daughter) dan anak perempuan saya itu bernama Elizabeth, maka tuturan (4a) di atas adalah tuturan yang benar. Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, maka tuturan (4a) di atas tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Pembedaan tuturan menjadi performatif dan konstatif sebagaimana diuraikan di atas merupakan proses berpikir Austin di dalam upaya mengembangkan teori tindak tutur. Sebagai proses, gagasan Austin tentu tidak berhenti sampai di situ dan belum selesai hingga akhirnya Austin menemukan bukti bahwa ternyata pembedaan tuturan menjadi performatif dan konstatif tidak dapat dipertahankan. Dia menegaskan bahwa setiap tuturan, apa pun maknanya, pada dasarnya menyatakan suatu tindakan melalui daya komunikatif dari sebuah ujaran. Hal ini berarti bahwa semua tuturan pada dasarnya adalah performatif. 2.2.2.3 Kondisi Kelayakan Tuturan Performatif Karena digunakan untuk melakukan suatu tindakan, tuturan performatif tidak dapat dinilai dengan benar atau salah. Tuturan performatif, menurut Austin (1962: 1415), hanya dapat dinilai berdasarkan kondisi kelayakan tertentu yang dia sebut falicities conditions. Yang dimaksud falicities conditions adalah kondisi yang memungkinkan kata-kata digunakan dengan selayaknya untuk melakukan tindakan. Dalam kaitan ini, Searle mengemukakan empat kategori dasar untuk menentukan falicities conditions tindak tutur. Keempat kategori dasar tersebut adalah (a) isi proposisi (propositional content), (b) kondisi persiapan (preparatory condition), (c) kondisi ketulusan (sincerity
32
condition), dan (c) kondisi esensial (essential condition). Berkenaan dengan empat kategori Searle ini, Huang (2007: 105) menjelaskan sebagai berikut. The propositional content condition is in essence concerned with what is speech act abaout. That is, it has to do with the specifying the restrictions on the content of what remains as the core of the utterence after the illocutionary act part is removed. Preparatory conditions state the real-world prerequisites for the speech acts. Sincerity conditions must be satisfied if the act is to be performed sincerely. The essensial condition defines the act being performed in the sense that the speaker has the intension that his or her utterence will count as the identifiable act, and that this intension is recognized by the addressee. (Kondisi isi proposisi pada dasarnya berkenaan dengan tentang apa tindak tutur tersebut. Isi proposisi berhubungan dengan pembatasan yang spesifik mengenai isi yang tersisa sebagai inti ujaran setelah bagian tindak ilokusi dihilangkan. Kondisi preparatori menyatakan prasyarat dunia nyata untuk tindak tutur yang dilakukan. Kondisi ketulusan menyatakan bahwa tindakan itu harus dilakukan secara tulus. Kondisi esensial menentukan bahwa maksud penutur dapat diidentifikasi dan dikenali oleh petutur). Searle memberikan contoh falicities conditions untuk tindak tutur berjanji (promise) dan memohon (request) seperti berikut. Tindak tutur berjanji (a) Isi proposisi
: Tindakan yang mengacu pada peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu merupakan tanggung jawab penutur.
(b) Preparatori
: (a) Petutur lebih suka bila tindakan itu dilaksanakan oleh penutur daripada tidak dilaksanakan, dan penutur mengetahui hal itu, (b) tidak jelas baik bagi penutur sendiri maupun bagi petutur bahwa penutur akan melakukan tindakan yang dijanjikan itu
(c) Ketulusan
: Penutur harus memiliki ketulusan dan sungguh-sungguh bermaksud melakukan tindakan A yang dijanjikan.
(d) Esensial
: Dengan ucapan berjanji itu, penutur bermaksud menciptakan keharusan untuk melaksanakan sesuatu yang dijanjikan.
Tindak tutur memohon (a) Isi proposisi
: Tindakan yang mengacu pada peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu merupakan tanggung jawab petutur.
(b) Preparatori
: (a) Penutur percaya bahwa petutur memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu yang diminta, (b) tidak jelas bagi penutur
33
bahwa petutur akan melakukan tindakan yang diinginkan penutur tanpa diminta. (c) Ketulusan
: Penutur ingin agar petutur melakukan tindakan yang diminta penutur.
(d) Esensial
: Dengan ucapan memohon itu, penutur melakukan usaha agar petutur melakukan tindakan yang diminta.
2.2.2.4 Dekomposisi Tindak Tutur Tindak tutur, menurut Austin, sesungguhnya mengandung tiga jenis tindakan sekaligus yang secara serempak dilakukan oleh penutur ketika mengatakan sesuatu. Ketiga jenis tindakan tersebut adalah (a) tindak lokusionari (lokusi), (b) tindak ilokusionari (ilokusi), dan tindak perlokusionari (perlokusi). Setiap tindak tutur dapat didekomposisi menjadi tiga jenis tindakan tersebut. Menurut Parker (1986: 15), yang dimaksud tindak lokusi adalah tindak mengatakan sesuatu (the act of saying something), tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu (the act of doing something), dan tindak perlokusi adalah tindak mempengaruhi petutur (the act of affecting someone (listener)). Senada dengan Parker, Thomas (1996: 49) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah tindak mengujarkan kata-kata yang aktual (the actual words uttered), tindak ilokusi adalah daya atau maksud yang ada di balik kata-kata (the force or intention behind the words), tindak perlokusi adalah efek dari tindak ilokusi terhadap petutur ( the effect of the illocution on the hearer). Sementara itu, menurut Huang (2007: 102), tindak lokusionari (lokusi) adalah produksi ekspresi linguistik yang bermakna (the production of meaningful linguistic expression), tindak ilokusionari (ilokusi) adalah tindakan yang dilakukan penutur melalui ekpresi linguistik yang diucapkan berdasarkan daya konvensional ujaran tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, tindak perlokusionari (perlokusi): adalah akibat atau efek yang ditimbulkan oleh ekspresi linguistik yang diujarkan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai pengertian tentang tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang dikemukakan oleh para ahli di atas ternyata memiliki inti sari yang sama. Tindak lokusi adalah tindak mengatakan kata-kata yang bermakna. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu melalui ekspresi linguistik yang diungkapkan. Tindak perlokusi adalah akibat atau efek yang ditimbulkan oleh
34
ekspresi linguistik yang diujarkan. Di antara ketiga jenis tindakan tersebut, tindakan yang dipandang paling penting dalam kajian pragmatik adalah tindak ilokusi. 2.2.2.5 Klasifikasi Tindak Tutur Sebagaimana disinggung di atas, tindakan yang dianggap paling penting dalam kajian pragmatik adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi ini merupakan unit terkecil dalam kajian pragmatik. Dalam perkembangannya tindak ilokusi inilah yang sering disebut sebagai speech act atau tindak tutur meskipun pada faktanya ilokusi hanyalah merupakan bagian dari tindak tutur. Dengan kata lain, istilah tindak tutur dalam pengertiannya yang sempit sering digunakan untuk mengacu tindak ilokusi (Thomas, 1995: 51; Yule, 1996: 49; Huang, 2007: 103; Jinsha, 2009: 1). Tindak tutur (ilokusi) dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Dalam kaitan ini, para ahli membuat klasifikasi yang agak berbeda-beda. Searle, misalnya, membuat klasifikasi yang agak berbeda dengan Austin. Selanjutnya, Ahli lain seperti Fraser (1975), Bach dan Harnish (1979), Kreidler (1999), Allan (2001) masing-masing juga membuat klasifikasi yang tidak sama. Menurut Huang (2007: 106), di antara klasifikasi tindak tutur yang ada, klasifikasi yang dipandang paling berpengaruh setakat ini adalah klasifikasi tindak tutur yang dikemukakan Searle. Dia mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan empat kriteria, yaitu (i) poin ilokusi (illocutionary point), (ii) arah kesesuaian (direction of fit), (iii) keadaan psikologis (psychological state), dan (iv) isi proposisi (propositional content). Berdasarkan keempat kriteria itu, Searle kemudian mengemukakan lima kelompok tindak tutur, yaitu (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan (e) deklarasi. Representatif (atau disebut juga asertif atau konstatif menurut dikotomi Austin) adalah kelompok tindak tutur yang menuntut komitmen penutur atas kebenaran proposisi yang diekspresikan. Tindak tutur representatif ini membawa nilai kebenaran (truth-value). Tindak tutur ini mengekspresikan kepercayaan atau keyakinan penutur. Kata kerja-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ini adalah asserting, claiming, concluding, reporting, and stating. Di dalam melakukan tindak tutur representatif ini, penutur merepresentasikan dunia sebagaimana yang dia yakini. Oleh karena itu, penutur membuat kata-kata sesuai dengan dunia yang diyakini. Dengan kata lain, agar proposinya benar, kata-kata yang dibuat harus sesuai dengan realitas dunia (direction of fit = words to. world).
35
Direktif merupakan tindak tutur yang merepresentasikan upaya penutur agar petutur melakukan suatu tindakan. Tindak tutur ini mengekspresikan keinginan atau kehendak penutur agar petutur melakukan suatu tindakan. Kata-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ini adalah advice, command, order, questions, and request. Di dalam tindak tutur direktif ini, penutur bermaksud membuat petutur melakukan suatu tindakan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, penutur membuat dunia sesuai dengan kata-kata melalui petutur (direction of fit = world to words). Komisif merupakan tindak tutur yang menuntut komitmen penutur terhadap pelaksanaan suatu tindakan yang akan datang. Komisif mengekspresikan niat/maksud penutur untuk melakukan suatu tindakan. Kata kerja-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur komisif adalah offers, pledges, promises, refusals, dan threats. Dalam tindak tutur komisif ini, realitas dunia disesuaikan dengan kata-kata melalui penutur sendiri (direction of fit = world to words). Ekspresif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur seperti kegembiraan, kesedihan, suka/tidak suka. Kata-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ekspresif ini antara lain apologizing, blaming, congratulating, praising, dan thanking. Dalam tindak tutur ekspresif ini, tidak ada arah kesesuaian antara kata-kata dan dunia (direction of fit = tidak ada). Deklarasi merupakan tindak tutur yang dapat memberikan efek perubahan segera terhadap suatu keadaan. Karena tindak tutur ini cenderung bersandar pada institusi yang bersifat ekstralinguistis demi keberhasilan performansinya, maka tindak tutur deklarasi ini disebut performatif yang diinstitusionalisasikan. Dalam melakukan tindak tutur ini, penutur membawa perubahan terhadap dunia. Penutur mempengaruhi korespondensi atau kesesuaian antara isi proposisi dengan dunia. Kata kerja-kata kerja yang termasuk dalam tindak tutur ini misalnya bidding in bridge, declaring war, excommunicating, firing from employment, nominating a candidate. Berkenaan dengan arah kesesuaian, deklarasi mempunyai dua arah, yakni kata-kata terhadap dunia atau dunia terhadap katakata (words to world or world to words). Berdasarkan uraian di atas, poin ilokusi, arah kesesuaian, dan keadaan psikologis yang diekspresikan yang merupakan dasar klasifikasi ilokusi Searle dapat disimpulkan sebagai berikut (Huang, 2007: 108).
36
Poin Ilokusi
Arah Kesesuaian
Keadaan Psikologis
Representatif
Kata terhadap dunia
Keyakinan (Penutur)
Direktif
Dunia terhadap kata
Keinginan (Penutur)
Komisif
Dunia terhadap kata
Niat/Maksud (Penutur)
Ekspresif
Tidak ada arah
Variabel (Penutur)
Deklarasi
Dua arah
Tidak ada (Penutur)
2.2.2.6 Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung Tindak tutur oleh para ahli sering dibedakan menjadi tindak tutur langsung (direct speech act) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act). Akan tetapi, dasar yang digunakan untuk menentukan kedua jenis tindak tutur tersebut tampaknya berbeda-beda di antara para pakar pragmatik. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, perbedaan itu tampaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, adalah kelompok pakar yang menggunakan dasar bentuk sintaktis (sintactic form) atau tipe kalimat (sentence type) atau modus kalimat untuk menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Yang termasuk kelompok yang pertama ini di antaranya adalah pakar seperti Parker (1986: 17); Yule (1995: 54); Wijana (1996: 30); dan Huang (2007: 109). Menurut mereka sebuah tindak tutur dapat dikatakan sebagai tindak tutur langsung apabila terdapat kesesuaian antara bentuk sintaktisnya atau tipe kalimatnya atau modus kalimatnya dengan daya ilokusinya (illocutionary force). Hal ini dapat dijelaskan melalui contoh (5) berikut. (5) a. Hari ini aku ulang tahun. b. Kamu kemarin dapat arisan ya? c. Pakailah kendaraan saya selama kamu di Surabaya! Bentuk sintaktis tuturan (5a) di atas adalah deklaratif, tuturan (5b) interogatif, dan tuturan (5c) imperatif. Sebagaimana dipahami, secara konvensional, kalimat yang berbentuk deklaratif atau berita digunakan untuk memberitakan atau menginformasikan sesuatu, kalimat interogatif atau tanya digunakan untuk menanyatakan sesuatu, dan kalimat imperatif atau perintah digunakan untuk menyuruh, mengajak, atau memohon. Jika penutur bermaksud memberitakan sesuatu (tanpa ada maksud lain) melalui kalimat deklaratif sebagaimana dalam (5a), bertanya tentang sesuatu melalui kalimat tanya sebagaimana dalam (5b) dan menyuruh melakukan sesuatu melalui kalimat imperatif sebagaimana (5c) di atas, maka dapat dikatakan bahwa penutur sedang menggunakan
37
tindak tutur langsung. Dikatakan demikian karena bentuk sintaktis tuturan yang digunakan sama atau sesuai dengan maksud penuturnya atau sama dengan daya ilokusinya. Bentuk deklaratif/berita (sintactic form) dimaksudkan untuk menyampaikan berita (illocutionary force), bentuk interogatif/tanya (syntactic form) digunakan untuk menyampaikan pertanyaan (illocutionary force), dan bentuk imperatif/perintah (sintactic form) digunakan untuk menyampaikan perintah (illocutionary force). Selanjutnya, sebuah tindak tutur juga dapat ditentukan sebagai tindak tutur langsung manakala tindak tutur tersebut mengandung verba performatif yang diungkapkan secara eksplisit dalam klausa matriks pada bentuk kalimat deklaratif. Mengapa demikian, karena verba performatif yang muncul secara eksplisit seperti itu dapat menggambarkan jenis illocutionary force dari tindak tutur yang bersangkutan. Tindak tutur tidak langsung jenis ini dapat disimak pada contoh (6) berikut (diambil dari Cruse (2004). (6) a. I promise you I wiil leave in five minutes. b. I beg you not to leave so soon. c. I thank you for staying. Dalam tuturan (6) itu terdapat verba performatif yang dimunculkan secara eksplisit dalam klausa matriksnya, yaitu promise (6a), beg (6b), dan thank (6c). Munculnya verba performatif secara eksplisit ini otomatis menggambarkan jenis illocutionary force dari masing-masing tuturan. Oleh karena itu, tindak tutur yang mengandung verba performatif seperti itu dapat disebut juga sebagai tindak tutur langsung. Dalam hal ini petutur dapat segera memahami illocutionary force dari tuturan melalui verba performatif yang muncul dalam struktur lahir. Selanjutnya, menurut kelompok pakar yang pertama ini, sebuah tindak tutur dapat dikatakan sebagai tindak tutur tidak langsung apabila tidak terdapat kesesuaian antara bentuk sintaktisnya (atau tipe kalimatnya atau modus kalimatnya) dengan daya ilokusinya (illocutionary force). Misalnya, penutur bermaksud melakukan perintah kepada petutur, tetapi diungkapkan melalui bentuk kalimat deklaratif, atau diungkapkan melalui bentuk kalimat introgatif. Penutur dalam (5b) di atas, misalnya, dalam konteks tertentu, bisa saja tidak bermaksud bertanya, tetapi bermaksud meminjam uang. Jika demikian halnya, maka terdapat ketidaksesuaian antara bentuk kalimat yang digunakan (kalimat tanya) dengan daya ilokusinya (meminjam uang). Wijana (1996); (cf. Parker,
38
2004) menggambarkan modus kalimat dalam kaitannya dengan tindak tutur langsung dan tidak langsung dalam bentuk tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1 Modus Kalimat dan Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung Tindak Tutur
Modus
Langsung
Tidak Langsung
Berita
Memberitakan
Menyuruh
Tanya
Bertanya
Menyuruh
Perintah
Memerintah
-
Kelompok pakar berikutnya adalah kelompok yang menggunakan dasar makna untuk menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Para pakar yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah Brown dan Levinson (1987); Thomas (1995); dan Searle (1996). Menurut Searle (1996), strategi langsung terjadi manakala maksud penutur (speaker‟s meaning) sama dengan makna linguistik (linguistic meaning) atau makna kalimat (sentence meaning). Sementara itu, Thomas (1995) mengemukakan bahwa tindak tutur langsung terjadi jika makna yang diekspresikan sesuai atau sama dengan makna yang diimplikasikan. Tidak berbeda dengan ini adalah pandangan Brown dan Levinson (1987) yang menyatakan bahwa tindak tutur langsung (on record) adalah tindak tutur yang dikemukakan secara transparan, jelas, terus terang, dan tidak ambigu. Tindak tutur langsung, yang ditentukan atas dasar makna ini, kira-kira dapat dijelaskan melalui contoh (7) berikut. (7) a. Makalah Anda bagus sekali. b. Mengapa Anda membuang sampah di sini? c. Habiskan saja kuenya! Jika disimak dengan baik, makna linguistik dari tuturan (7a) adalah memuji, makna linguistik dari tuturan (7b) adalah bertanya, dan makna linguistik dari tuturan (7c) adalah memerintah. Jika penutur memang betul-betul bermaksud memuji pada (7a), bermaksud menanyakan sesuatu pada (7b), dan bermaksud menyuruh pada (7c), maka hal itu berarti speaker‟s meaning sama dengan linguiastik meaning/ sentence meaning. Atau, menurut Cruce sesuatu yang diekspresikan sama dengan yang diimplikasikan. Maksud memuji dalam (7a) dikemukakan secara jelas melalui makna linguistik, maksud
39
bertanya dalam (7b) dikemukakan secara jelas melalui kalimat tanya, dan maksud menyuruh dalam (7c) dikemukakan secara jelas melalui kalimat perintah atau imperatif. Jika demikian halnya, maka menurut pandangan para ahli dalam kelompok kedua di atas, tindak tutur dalam (7a), (7b), dan (7c) di atas dapat ditentukan sebagai tindak tutur langsung. Lalu, bagaimana pandangan para ahli dalam kelompok kedua ini mengenai tindak tutur tidak langsung. Searle (1996) berpandangan bahwa dalam tindak tutur tidak langsung, penutur tidak menyampaikan maksudnya melalui makna linguistik. Menurut Searle (1987), tindak tutur tidak langsung memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act dan primary illocutionary act. Yang pertama itu bersifat literal dan yang kedua bersifat nonliteral. Penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Pendapat Searle ini tampaknya selaras dengan pendapat Thomas yang menyatakan bahwa tindak tutur tidak langsung terjadi manakala makna yang diekspresikan tidak sama dengan makna yang diimplikasikan. Jika primary illocutionary act dikemukakan melalui secondary act dan makna yang diekspresikan tidak sesuai dengan makna yang diimplikasikan, maka hal itu berarti bahwa penutur tidak mengemukakan maksudnya secara jelas dan transparan (off record). Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan Brown dan Levinson (1987). Pandangan kelompok pakar yang kedua ini mengenai tindak tutur tidak langsung barangkali dapat diperjelas melalui contoh (8) berikut. (8) a.Yem, kamu kalau nyapu bersih sekali ya. ( Dengan maksud kamu kalau nyapu masih kotor) b. Din, tolong radionya lebih dikeraskan lagi! ( Dengan maksud radionya jangan keras-keras) c. Mengapa Anda selalu datang terlambat? ( Dengan maksud menyuruh petutur jangan terlambat) Jika dianalisis menurut pandangan Searle, tuturan (8a-c) di atas memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act (bersifat literal) dan primary illocutionary act (bersifat nonliteral). Dalam (8a-c) di atas tuturan yang terdapat di dalam kurung merupakan primary illocutionary act karena bersifat nonliteral, sedangkan tuturan yang tidak berada di dalam kurung merupakan secondary illocutionary act karena bersifat literal. Penutur mengemukakan primary illocutionary
40
act (tuturan yang ada di dalam kurung) melalui secondary illocutionary act (tuturan yang tidak berada di dalam kurung). Selaras dengan pandangan Searle ini, jika tuturan (8a-c) di atas dilihat dari pandangan Thomas, akan diketahui bahwa tuturan yang diekspresikan (yang tidak berada di dalam kurung) tidak sesuai dengan tuturan yang diimplikasikan (tuturan yang ada di dalam kurung). Jika dilihat dari pandangan Brown dan Levinson, penutur mengemukakan maksudnya secara tidak transparan atau ambigu. Perlu dikemukakan, sebuah tuturan apabila dianalisis menurut pandangan kelompok pertama dan kelompok kedua, hasilnya mugkin sama, mungkin juga berbeda. Tuturan (8c) di atas, misalnya, jika dianalisis baik menurut pandangan kelompok pertama maupun kedua, hasilnya akan tetap sama, yaitu sebagai tuturan tidak langsung. Menurut pandangan kelompok pertama, dalam tuturan (8c) di atas, penutur bermaksud melakukan perintah (yang seharusnya dikemukakan melalui kalimat perintah), tetapi dikemukakan melalui kalimat tanya. Menurut pandangan kelompok kedua, penutur dalam (8c) di atas menyampaikan primary illocutionary act ( menyuruh petutur supaya tidak terlambat) melalui secondary illocutionary act (dengan pertanyaan). Jadi, hasilnya tetap sama, yaitu tuturan tidak langsung meskipun dilihat dari perspektif yang berbeda. Namun demikian, cukup banyak juga data yang apabila dianalisis dari sudut bentuk akan menghasilkan jenis tindak tutur yang sangat berbeda dengan apabila dianalisis dari sudut pandang makna. Tuturan (8a) dan (8b) di atas, misalnya, apabila dianalisis dari sudut bentuk sintaktisnya (kelompok pertama), akan menghasilkan tindak tutur langsung. Penutur dalam (8a) di atas bermaksud memberitakan sesuatu kepada petutur melalui bentuk kalimat deklaratif atau berita. Demikian juga halnya tuturan (8b). Penutur dalam (8b) bermaksud menyuruh petutur melakukan sesuatu dan maksud menyuruh itu dikemukakan melalui bentuk kalimat imperatif. Jadi, ada kesesuaian antara bentuk sintaktisnya dan daya ilokusinya. Oleh karena itu, hasilnya adalah tuturan langsung. Menurut Wijana (1996) dan Parker (2004), tuturan (8a) dan (8b) di atas akan ditentukan sebagai tindak tutur langsung tidak literal. Dikatakan langsung karena ada kesesuaian antara bentuk sintaktis kalimat dengan daya ilokusinya. Dikatakan tidak literal karena makna kalimatnya tidak sama dengan maksud penuturnya. Akan tetapi, jika tuturan (8a) dan (8b) di atas dianalisis dari sudut maknanya (pandangan kelompok kedua), maka hasilnya akan sangat berbeda, yaitu menjadi tuturan tidak langsung. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam tuturan (8a) dan (8b) di
41
atas, penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Dalam (8a) penutur melakukan kritik kepada petutur (nyapu masih kotor) (primary illocutionary act) melalui sebuah pujian (nyapu bersih sekali) (secondary illocutionary act). Demikian juga, dalam tuturan (8b), penutur bermaksud menyuruh mengecilkan suara radio yang terlalu keras (primary illokutionary act) melalui sebuah ironi dengan cara menyuruh lebih mengeraskan lagi (secondary illocutionary act). Berdasarkan analisis seperti inilah, para pakar dari kelompok kedua, menentukan tuturan seperti (8a) dan (8b) sebagai tuturan tidak langsung. Perlu dikemukakan juga, bahwa para ahli yang menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung berdasarkan makna tampaknya tidak mengenal klasifikasi tindak tutur langsung tidak literal dan tindak tutur tidak langsung literal sebagaimana yang dikemukakan Wijana (1996) dan Parker (2004). Kedua jenis tindak tutur itu dipandang tidak mungkin ada karena semua tindak tutur langsung bersifat literal dan semua tindak tutur tidak langsung bersifat nonliteral. Berkenaan dengan analisis tindak tutur kritik ini, penulis tampaknya lebih cocok dengan pandangan kedua bahwa semua tindak tutur langsung bersifat literal dan semua tindak tutur tidak langsung bersifat nonliteral. Penulis berpandangan, rasanya kurang masuk akal jika kritik yang disampaikan melalui pujian dikatakan sebagai kritik langsung meskipun disampaikan melalui kalimat deklaratif. 2.2.3 Teori Tentang Kritik Teori tentang kritik yang penting dikemukakan mencakup (a) pengertian kritik, (b) mengkritik vs menghina, (c) bagian-bagian kritik, (d) kritik sebagai tuturan performatif, (e) kondisi kelayakan kritik , (f) kritik sebagai tindak tutur kompleks (complex speech act), (g) kritik dan ancaman terhadap muka, (h) strategi kritik, (i) formula semantik kritik, (j) kritik sebagai kontrol sosial. 2.2.3.1 Pengertian Kritik Sampai sejauh ini, terdapat beberapa ahli yang mencoba memberikan pengertian tentang kritik. Mulac, et.al.(2000: 390), misalnya, mengemukakan bahwa criticism has been conceptualized as negative evaluation of some aspect of an individual that is communicated by others (kritik dikonseptualisasikan sebagai evaluasi negatif terhadap seorang individu yang dikemukakan oleh orang lain). Pendapat Mulac, et.al ini senada
42
dengan pendapat MIN Shang-chao (2008: 75) bahwa kritik berkenaan dengan evaluasi negatif terhadap perilaku petutur. Sementara itu, Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 144) menyatakan bahwa criticizing is sometimes performed to vent the speaker,s negative feeling or attitude to the hearer or the hearer‟s work, choice, behaviour, etc. (kritik diungkapkan untuk menyatakan perasaan negatif atau sikap negatif penutur terhadap petutur atau terhadap kinerja, pilihan, perilaku petutur, dan sebagainya). Menurutnya, kritik mempunyai dua fungsi utama, yaitu menunjukkan perilaku yang dianggap negatif yang dilakukan petutur dan meminta supaya petutur melakukan perbaikan. Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Nguyen (2005: 110) (yang mengadaptasi dari pendapat Wierzbicka (1987). Dia menjelaskan bahwa kritik dapat didefinisikan sebagai berikut. A criticsm is defined as an illocutionary act whose illocutionary point is to give negative evaluation on H‟s actions, choice, words, and products for which he or she may be held responsible. This act is performed in hope of influencing H‟s future actions for the better for his or her own benefids as viewed by S or to communicate S‟s dissatisfaction/ discontent with or dislike regarding what H has done but without the implicature that H has done brings undesirable qonsequences to S. (Kritik dapat didefinisikan sebagai tindak ilokusi yang poin ilokusinya adalah memberikan evaluasi negatif terhadap tindakan, pilihan, katakata, dan produk yang menjadi tanggung jawab petutur. Kritik itu dilakukan dengan harapan tindakan petutur menjadi lebih baik pada masa yang akan datang dan bermanfaat bagi petutur sendiri. Kritik bisa juga dilakukan sekedar mengemukakan perasaan tidak puas atau perasaan tidak suka terhadap apa yang dilakukan oleh petutur tanpa memperhatikan bahwa yang dilakukan oleh petutur itu membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi penutur). Berdasarkan pengertian kritik yang dikemukakan para ahli di atas, ada dua hal penting yang dapat dicatat. Pertama, kritik selalu berkenaan dengan evaluasi negatif atau perasaan negatif atau sikap negatif terhadap perbuatan dan perilaku petutur. Kedua, kritik dilakukan dengan harapan perbuatan petutur menjadi lebih baik pada waktuwaktu yang akan datang. Dua hal ini tampaknya merupakan inti sari dari pengertian kritik. Oleh karena itu, kritik dalam disertasi ini didefinisikan sebagai tindak ilokusi yang poin ilokusinya adalah memberikan evaluasi negatif terhadap tindakan, hal, perbuatan, kata-kata, dan sikap petutur. Evaluasi negatif itu dikemukakan dengan
43
harapan petutur mawas diri, instropeksi diri, dan kemudian melakukan koreksi diri sehingga perbuatan petutur menjadi lebih baik pada masa-masa yang akan datang. 2.2.3.2 Tindak Tutur Mengkritik VS Tindak Tutur Menghina Tindak tutur mengkritik dalam penelitian ini dibedakan dengan tindak tuturtindak tutur lain yang agak mirip seperti tindak tutur menghina ( termasuk menghujat, memaki, mencaci, dan sejenisnya). Dalam masyarakat kita dewasa ini makna mengkritik sering dirancukan dengan makna menghina atau makna menghina sering dirancukan dengan makna mengkritik. Akibatnya adalah orang sering salah menilai, mengkritik dikatakan menghina atau menghina dikatakan mengkritik. Memang harus diakui kedua tindak tutur tersebut memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memberikan penilaian negatif (buruk) terhadap perilaku petutur. Namun demikian, harus digarisbawahi bahwa kedua tindak tutur tersebut juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Menurut hemat penulis, perbedaan tindak tutur mengkritik di satu pihak dan tindak tutur menghina di pihak lain (termasuk menghujat, memaki, mencaci, dan sejenisnya) dapat dijelaskan melalui sejumlah ciri atau fitur seperti tampak pada tabel 2 berikut. Tabel 2 Perbedaan Fitur Mengkritik dan Menghina/Memaki Fitur-Fitur Mengkritik
Fitur-Fitur Menghina/Memaki
(a) bersifat kompetitif: tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial (mempunyai tujuan sosial: memberi manfaat bagi penerima kritik atau publik) (b) Dasar: penyimpangan nilai/norma sosial yang dilakukan oleh petutur. (c) Mempertimbangkan strategi kesantunan sesuai dengan konteks dan nilai sosiobudaya yang berlaku. (d) Menghindari penggunaan kata-kata kotor dan umpatan. (e) Merupakan bentuk kontrol sosial (mendorong penerima kritik untuk introspeksi diri dan koreksi diri) (f) Tidak mempunyai dampak yuridis.
(a) Bersifat konfliktif: tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial (tidak mempunyai tujuan sosial: tidak memberi manfaat sosial apa pun) (b) Dasar: rasa tidak suka/ ungkapan kebencian. (c) Cenderung tidak menghiraukan strategi kesantunan. (d) Penggunaan kata-kata kotor dan umpatan mungkin bertaburan. (e) Bukan bentuk kontrol sosial (tidak bertujuan untuk mendorong seseorang agar memperbaiki diri, lebih mengarah pada character assassination) (f) Bisa mempunyai dampak yuridis.
44
Berdasarkan fitur-fitur di atas dapat dipahami bahwa tuturan (9a) berikut lebih cenderung dapat dikatakan sebagai hinaan atau makian daripada kritik, sedangkan tuturan (9b) lebih cenderung merupakan sebuah kritik. (9) a. Anda itu bodoh dan dungu seperti kerbau. Kalau bekerja lamban dan tidak cepat mengambil keputusan (ditulis di kertas dan ditempelkan di badan kerbau dan ditunjukkan kepada petutur). (Dituturkan oleh seorang demonstran kepada seorang pejabat negara ketika sedang melakukan unjuk rasa) b. Banyak pakar pragmatik di Indonesia yang mengkaji teori kesantunan. Mereka kalau berbicara tentang kesantunan sungguh sangat canggih. Tapi ironisnya dalam praktik pergaulan sehari-hari mereka sering berlaku tidak santun. Untuk apa mereka belajar teori kesantunan kalau tidak dipraktikkan? (Dituturkan oleh seorang mahasiswa dalam sebuah seminar. Tuturan itu ditujukan kepada beberapa pakar pragmatik yang hadir dalam seminar tersebut yang notabene adalah dosen mahasiswa yang bersangkutan. Mahasiswa ini heran mengapa teori kesantunan yang sangat mereka kuasai tidak dipraktikkan dalam berinteraksi sehari-hari, termasuk ketika berinteraksi dengan mahasiswa) Jika diamati dengan teliti, tuturan (9a) cenderung bersifat konfliktif daripada kompetitif. Tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial. Sifat konfliktif itu tak terelakkan akibat dari penggunaan kata umpatan. Petutur disamakan dengan binatang yang memiliki sifat bodoh, dungu, dan lamban seperti kerbau. Fakta ini jelas menunjukkan bahwa tuturan (9a) di atas mengabaikan nilai-nilai kesantunan dan cenderung hanya untuk memenuhi kepuasan emosional penutur. Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan bahwa tuturan (9a) di atas lebih mengarah pada hinaan atau makian atau hujatan daripada kritik. Tuturan (9a) bisa mempunyai dampak yuridis. Sebaliknya, tuturan (9b) bukan merupakan hinaan, tetapi merupakan kritik. Penutur mengemukakan evaluasi negatif atau sikap negatif terhadap ahli pragmatik yang hadir dalam seminar itu (petutur) yang notabene adalah dosen-dosennya sendiri. Penutur melihat ada pelanggaran nilai yang dilakukan oleh petutur, yaitu petutur ahli kesantunan tetapi melanggar kesantunan. Akan tetapi, evaluasi negatif itu diungkapkan dengan strategi kesantunan tertentu (strategi tidak langsung karena penutur menyebutnya ahli kesantunan secara umum di Indonesia dan tidak terdapat penggunaan kata-kata umpatan) sehingga tuturan (9b) di atas tidak bersifat konfliktif. Evaluasi negatif itu dikemukakan dengan harapan petutur melakukan perbaikan sebagaimana yang dikehendaki penutur. Jika petutur (ahli pragmatik yang hadir dalam seminar itu)
45
melakukan perbaikan atas kesalahannya itu, maka manfaat yang timbul bukan dirasakan oleh penutur (pelaku kritik, mahasiswa), melainkan cenderung dirasakan oleh petutur sendiri (ahli kesantunan yang hadir dalam seminar) atau masyarakat pada umumnya. Karena tuturan (9b) itu dimaksudkan agar petutur melakukan koreksi diri, maka tuturan (9b) merupakan bentuk kontrol sosial. Tuturan (9b) tidak mempunyai dampak yuridis. Tuturan (9b) dapat dijadikan sebagai data penelitian, sedangkan tuturan (9a) tidak dapat. 2.2.3.3 Bagian-Bagian Kritik Elemen-elemen linguistik yang membentuk tindak tutur kritik dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (a) head act (bagian inti) dan (b) modifier. Head act adalah unit minimal yang digunakan untuk merealisasikan tindak tutur kritik ( cf. Blum-Kulka, et al, 1989: 275). Dengan kata lain, head act adalah bagian esensial kritik dan merupakan inti kritik (criticism core, criticism proper). Sebagai inti kritik, head act mencerminkan penggunaan strategi kritik dan formula semantik kritik. Oleh karena itu, berbagai strategi kritik dan formula semantik kritik dapat diidentifikasi berdasarkan head act ini. Modifier adalah elemen-elemen linguistik yang digunakan untuk membantu memperlunak daya sengat kritik atau justru meningkatkan kekerasan kritik (severity of criticism). Elemen-elemen linguistik yang berfungsi sebagai modifier bersifat periferal. Kehadirannya tidak bersifat wajib dan keberadaannya hanya menemani head act. Oleh karena itu, jika dihilangkan tidak berpengaruh terhadap head act (crititicm core). Perhatikan kritik (10) dan (11) berikut! (10) a. Anda merokok dalam ruang ber-AC? (Udaranya pengap dan mengganggu kesehatan). b. Anda merokok dalam ruang ber-AC? (11) a. (Tampaknya) merokok di ruang ber-AC bisa mengganggu banyak orang. b. Merokok di ruang ber-AC bisa mengganggu banyak orang. (Kritik (10) dan (11) dituturkan seorang mahasiswa kepada mahasiswa lainnya di ruang perpustakaan. Hubungan mereka tidak akrab) Bagian yang bergaris bawah dalam kritik (10a) dan (11a) di atas adalah head act atau inti kritik, sedangkan bagian yang berada dalam tanda kurung merupakan modifier. Seperti dijelaskan di atas, modifier bersifat periferal. Oleh karena itu, jika dihilangkan, unsur-unsur yang berada di dalam tanda kurung di atas tidak berpengaruh terhadap identitas head act (sebagai tindak tutur kritik). Hal itu terbukti pada (10b) dan (11b).
46
Selanjutnya, modifier dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu modifier internal (internal modifier) dan modifier eksternal (external modifier). Modifier internal berada di dalam head act, sedangkan modifier eksternal berada di luar head act. Modifier dalam contoh (10a) adalah modifier eksternal, sedangkan modifier dalam contoh (11a) adalah modifier internal. 2.2.3.4 Kritik sebagai Tuturan Performatif Sebagai tuturan performatif, kritik tidak sekedar merupakan sebuah tuturan yang berisi informasi mengenai berbagai pelanggaran nilai/norma yang dilakukan petutur, melainkan juga merupakan sebuah tindakan yang dilakukan penutur, yaitu tindakan mengkritik. Sebagai tuturan performatif, kritik dapat diungkapkan dengan menggunakan performatif eksplisit, dapat juga diungkapkan dengan menggunakan performatif implisit. Kritik dalam (12a) berikut diungkapkan dengan performatif eksplisit karena verba kritik, yang menggambarkan jenis tindakan yang dilakukan penutur, dimunculkan dalam struktur lahir. Sementara itu, kritik dalam (12b) diekspresikan dengan performatif implisit. (12) a. Dalam hal ini, mohon maaf, saya harus mengkritik Bapak, bahwa Bapak tidak konsisten dengan ucapan Bapak sendiri. Bapak selalu mengingatkan kami agar disiplin, tetapi Bapak sendiri tidak memberikan contoh disiplin yang baik. b. Mohon maaf, Bapak tidak konsisten dengan ucapan Bapak sendiri. Bapak selalu mengingatkan kami agar disiplin, tetapi Bapak sendiri tidak memberikan contoh disiplin yang baik. (Dituturkan oleh seorang pegawai di sebuah kantor. Kritik itu ditujukan kepada atasannya dalam sebuah rapat kantor yang dihadiri oleh banyak pegawai lainnya.) 2.2.3.5 Kondisi Kelayakan Tindak Tutur Mengkritik Sebagai tuturan performatif, kritik tidak dapat dinilai benar atau salah, tetapi kritik hanya dapat dilihat berdasarkan kondisi kelayakannya atau falicities condition. Berdasarkan empat kategori dasar yang dikemukakan Searle, falicities condition tindak tutur kritik dapat dijelaskan sebagai berikut. (i) Isi Proposisi : Tindakan yang mengacu pada peristiwa yang telah atau sedang dilakukan dan tindakan itu menjadi tanggung jawab petutur. (ii) Persiapan
: (a) Tindakan petutur dinilai melanggar norma atau tidak sesuai dengan nilai/norma yang berlaku menurut kriteria evaluasi penutur
47
dan hal itu bisa membawa konkuensi yang tidak menguntungkan bagi petutur sendiri atau bagi publik. (b) Tidak jelas bagi penutur maupun petutur bahwa petutur akan memperbaiki perilaku. (iii) Ketulusan
: Penutur memberikan evaluasi negatif terhadap perilaku petutur agar petutur melakukan introspeksi diri dan mawas diri.
(iv) Esensial
: Tindakan yang dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki perilaku petutur sehingga menjadi lebih baik pada masa-masa yang akan datang.
2.2.3.6 Kritik sebagai Tindak Tutur Kompleks Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Searle mengklasifikasikan tindak tutur menjadi lima kelompok, yaitu (a) representatif (asertif), (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan (e) deklarasi. Pertanyaannya adalah termasuk kategori yang manakah tindak tutur kritik ini? Menurut Brown dan Levinson (1987: 66); Gunarwan (1992:185; 1994: 48); dan Rustono (1999: 39) tindak tutur mengkritik termasuk kategori ekspresif. Sebagaimana dijelaskan Searle, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur seperti kegembiraan, kesedihan, suka/tidak suka. Kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ini antara lain adalah congratulating, apologizing, blaming, praising. Karena termasuk kategori tindak tutur ekspresif, maka Brown dan Levinson (1987: 66) memasukkan kritik sebagai tindak tutur yang mengancam muka positif. Berbeda dengan pakar-pakar di atas, Nguyen (2005: 13-14) dan MIN Changchao (2008) justru berpandangan bahwa tindak tutur mengkritik cenderung merupakan tindak tutur kompleks (complex speech act). Di dalam tindak tutur mengkritik bisa terdapat tindakan ekspresif, representatif, direktif atau yang lain. Tindak tutur mengkritik, menurut Nguyen, tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi yang dibuat oleh siapa pun, termasuk klasifikasi Searle di atas. Selengkapnya, pendapat Nguyen dapat dijelaskan sebagai berikut. The speech act of criticizing may be composed of different acts, each of which carries a different illocutionary force and none of which is the head act. For example, a criticism can be a compilation of an expression of disapproval, an expression of negative evaluation, a statement of the act of wrongdoing, and a suggestion for change.
48
Sesuai dengan kutipan di atas, tindak tutur mengkritik, menurut Nguyen, dapat terbentuk dari berbagai tindak tutur yang berbeda-beda yang masing-masing membawa daya ilokusi yang berbeda-beda pula dan tidak ada satu pun yang merupakan tindakan utama (inti). Tindak tutur mengkritik dapat merupakan kompilasi dari ekspresi ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan yang salah, dan saran untuk perbaikan. Tindak tutur lain yang juga merupakan tindak tutur kompleks adalah tindak tutur mengeluh. Menurut Newell dan Shutman (1989) yang dikutip oleh Nguyen (2005), tindak tutur mengeluh bisa merupakan kompilasi dari ekspresi kejengkelan atau ketidaksenangan (ekspresif), statemen tentang tindakan yang tidak menyenangkan (representatif), permohonan akan perbaikan dari sesuatu yang tidak menyenangkan itu (direktif), dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya untuk menempatkan tindak tutur mengeluh ke dalam salah satu klasifikasi Searle atau yang lain juga akan menemui kesulitan. Menurut hemat penulis, tindak tutur mengkritik mirip sekali dengan tindak tutur memuji, yaitu sama-sama memberikan evaluasi terhadap tindakan atau perilaku petutur. Hanya saja di dalam tindak tutur memuji evaluai itu bersifat positif, sedangkan di dalam tindak tutur mengkritik evaluasi itu bersifat negatif. Karena sama-sama memberikan evaluasi yang mencerminkan keadaan psikologis penutur, maka tindak tutur memuji dan mengkritik seharusnya termasuk dalam kategori yang sama, yaitu ekspresif. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa di dalam tindak tutur memuji, penutur semata-mata mengekspresikan evaluasi (positif) kepada petutur dan sama sekali tidak ada maksud untuk mendorongan agar petutur melakukan sesuatu sehingga tindak tutur memuji semata-mata ekspresif. Sebaliknya, di dalam tindak tutur mengkritik, penutur tidak semata-mata memberikan evaluasi (negatif), tetapi juga ada maksud untuk mendorong agar petutur melakukan sesuatu, yaitu melakukan introspeksi diri dan kereksi diri. Dengan demikian, di dalam tindak tutur mengkritik, tidak saja terkandung tindakan ekspresif sebagaimana memuji, tetapi juga terkandung tindakan direktif. Berdasarkan hal ini, tampaknya lebih tepat jika tindak tutur mengkritik ditentukan sebagai tindak tutur kompleks (complex speech act) seperti yang dikemukakan oleh Nguyen (2005) dan Newell dan Shutman (1989) di atas karena secara serempak mengandung dua jenis tindakan sekaligus, yaitu ekspresif dan direktif.
49
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan data seperti (13a) berikut di mana kritik dikemukakan dalam bentuk perintah. Apakah hal ini berarti kritik (13a) berikut semata-mata mengandung tindakan direktif dan tidak mengandung ekspresif? (13) a. Tolong Pak sampahnya dibuang pada tempatnya. (dituturkan oleh seorang petugas kebersihan kepada seorang pegawai di sebuah kantor pemerintah dalam konteks (+P+D-Pu)) Perlu dikemukakan bahwa inti dari tindak tutur mengkritik adalah memberikan evaluasi negatif (lihat pengertian kritik). Tidak ada kritik tanpa adanya evaluasi negatif. Yang perlu dipahami adalah evaluasi negatif itu bisa dikemukakan secara on record (eksplisit), bisa juga dikemukakan secara off record (implisit, melalui implikatur). Evaluasi negatif dalam kritik (13a) di atas jelas dikemukakan oleh penuturnya secara off record sehingga evaluasi negatif itu seolah-olah menjadi tidak ada, padahal tetap ada. Bila evaluasi itu dimunculkan secara on record, maka kritik (13a) di atas akan tampak seperti kritik (13b) berikut. (13) b. (Bapak tidak mengerti kebersihan, membuang sampah sembarangan). Tolong Pak sampahnya dibuang pada tempatnya. Dalam kritik (13b) di atas, evaluasi negatif itu dikemukakan secara eksplisit (dalam tanda kurung) yang dalam kritik (13a) tidak dimunculkan. Pertanyaannya adalah mengapa evaluasi negatif dalam kritik (13a) di atas tidak dimunculkan secara eksplisit sebagaimana dalam (13b)? Tujuannya tentu adalah untuk mendapatkan efek kesantunan. Kritik (13a) jelas lebih santun daripada kritik (13b). Kesimpulannya adalah kritik (13a) di atas tidak saja mengandung tindakan direktif, tetapi juga mengandung tindakan ekspresif meskipun hanya dikemukakan secara implisit. Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana dengan data kritik seperti (14) berikut yang secara on record hanya mengekspresikan evaluasi negatif? (14) Bapak tidak mengerti kebersihan, membuang sampah sembarangan. Apakah hal ini berarti kritik (14) di atas semata-mata mengandung tindakan ekspresif, dan tidak mengandung tindakan direktif? Perlu dikemukakan bahwa tidak ada kritik yang dikemukakan dengan tujuan yang kosong. Mengapa demikian, karena evaluasi negatif yang dikemukakan di dalam kritiknya itu memang dimaksudkan untuk mendorong agar penerima kritik melakukan koreksi diri meskipun dorong itu tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan demikian, kritik (14) di atas tidak saja
50
mengandung tindakan ekspresif, tetapi juga mengandung tindakan direktif meskipun tindakan direktif itu tidak dinyatakan secara eksplisit. 2.2.3.7 Kritik dan Ancaman terhadap Muka Penerima Kritik Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kritik merupakan tindak tutur yang rawan mengancam muka petutur. Yang dimaksud muka adalah “the public self-image that every member wants to claim for himself” (citra diri yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat) (Brown dan Levinson, 1987: 61). Setiap orang yang rasional mempunyai muka dan muka itu dalam setiap interaksi tidak boleh sampai terancam, karena itu harus dijaga dan dipelihara. Konsep penjagaan muka yang dikemukakan Brown dan Levinson ini tampaknya cukup relevan dengan budaya komunikasi dan interaksi dalam masyarakat budaya Arek atau masyarakat Jawa pada umumnya. Hal ini terbukti dari berbagai ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat, misalnya ungkapan “Dia kehilangan muka”, “Mau ditaruh di mana mukaku ini?”, “Mukanya jatuh”, dan sebagainya (Gunarwan, 1992: 184). Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan muka dalam masyarakat Jawa juga merupakan sesuatu yang sangat penting. Brown dan Levinson membedakan muka menjadi dua jenis, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu pada keinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini dihargai orang lain dan diakui sebagai sesuatu yang baik, yang menyenangkan, dan sebagainya. Muka negatif mengacu pada keinginan agar dirinya bebas melakukan suatu tindakan dan bebas dari keharusan melakukan suatu tindakan (freedom of action and freedom from imposition). Berkenaan dengan dua jenis muka di atas, pertanyaan yang muncul adalah: apakah tindak tutur kritik mengancam muka positif atau muka negatif, ataukah keduaduanya? Brown dan Levinson (1987: 66) cenderung berpandangan bahwa kritik mengancam muka positif. Hal ini disebabkan kritik berkenaan dengan pemberian evaluasi negatif terhadap diri petutur (ekspresif). Pendapat Brown dan Levinson ini diamini oleh Gunarwan (1992: 185; 1994: 86) dan Rustono (1999: 99) bahwa kritik mengancam muka positif petutur. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam disertasi ini tindak tutur kritik diyakini sebagai tindak tutur kompleks. Tindak tutur kritik tidak saja mengandung evaluasi negatif terhadap petutur (ekspresif), tetapi juga mengandung implikasi adanya dorongan atau saran kepada petutur untuk
51
melakukan perbaikan (direktif). Atas dasar ini, kritik, khususnya sebagai sarana kontrol sosial, bisa mengancam, baik muka positif petutur maupun muka negatif petutur. Mengancam muka positif karena penutur tidak menghargai sesuatu yang dimiliki petutur. Mengancam muka negatif karena petutur didorong atau didesak untuk melakukan perbaikan. 2.2.3.8 Strategi-Strategi Kritik Dalam kaitannya dengan aktivitas kontrol sosial, strategi kritik dalam masyarakat budaya Arek secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam strategi yang dalam penelitian ini disebut sebagai (1) strategi Melakukan Kritik secara Verbal ( strategi MKV) dan (2) strategi Melakukan Kritik dalam Hati (strategi MKH). Yang dimaksud dengan strategi MKV adalah strategi di mana kritik diekspresikan atau diungkapkan secara verbal dengan menggunakan bentuk-bentuk linguistik tertentu dalam konteks tertentu sehingga maksud kritik tersebut dapat dipahami atau dimengerti oleh penerima kritik (PnK). Sementara itu, strategi MKH adalah strategi di mana kritik hanya diungkapkan dalam hati. Artinya, PK bermaksud melakukan kritik kepada PnK, namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu atau kendala-kendala budaya tertentu (misalnya karena sungkan, pakewuh, menghindari konflik, dan lain-lain) maksud kritik tersebut tidak diekspresikan secara verbal, tetapi hanya diungkapkan dalam hati (PK diam saja). Perlu ditegaskan bahwa Melakukan Kritik dalam Hati (MKH) tidak sama dengan tidak melakukan kritik. Melakukan Kritik dalam Hati sesungguhnya adalah melakukan kritik juga, namun karena terdapat kendala-kendala tertentu, maka kritik tersebut tidak memungkinkan dikemukakan secara verbal sehingga hanya dikemukakan dalam hati. Oleh karena itu, Melakukan Kritik dalam Hati adalah sebuah strategi kritik juga yang bisa dipilih ketika orang hendak melakukan kritik. Sebaliknya, tidak melakukan kritik berarti tidak ada kritik yang hendak dikemukakan. Penutur tidak ada niat untuk melakukan kritik, baik secara verbal maupun dalam hati, baik ada kendala maupun tidak. Perbedaan antara Melakukan Kritik dalam Hati dan tidak melakukan kritik akan tampak semakin jelas manakala ditampilkan dalam diagram 1 seperti berikut.
52
Diagram 1 Perbedaan Strategi Melakukan Kritik dalam Hati dan Tidak Melakukan Kritik
Penyimpangan Perilaku/ Pelanggaran Norma
(1)
(2)
Tidak Melakukan Kritik
Melakukan Kritik
(A)
(B)
MKV (a) KL
MKH (b) KTL
Diagram 1 di atas menjelaskan bahwa ketika seorang penutur melihat penyimpangan perilaku/pelanggaran norma, orang tersebut bisa mengambil sikap seperti (1), bisa juga mengambil sikap seperti (2). Apabila penutur tersebut mengambil sikap seperti (1), hal ini berarti tidak ada kritik yang hendak dikemukakan, baik secara verbal maupun dalam hati, baik ada kendala maupun tidak. Sebaliknya, apabila penutur tersebut mengambil sikap seperti (2), hal ini berarti ada tuturan kritik yang hendak dikemukakan. Dalam hal ini ada dua strategi yang bisa dipilih oleh penutur. Pertama, kritik dikemukakan secara verbal (A). Kedua, kritik hanya dikemukakan dalam hati (B). Strategi mana yang akan dipilih, tentu sangat bergantung pada kendala yang dihadapi oleh penutur. Berdasarkan diagram 1 di atas jelaslah bahwa Melakukan Kritik dalam Hati merupakan bagian dari strategi kritik sebagaimana Melakukan Kritik secara Verbal. Sebaliknya, tindakan tidak melakukan kritik bukan merupakan bagian dari strategi kritik. Disertasi ini hanya mungkin mengkaji kritik pada penutur yang mengambil sikap seperti (2) dan tidak mungkin membahas hal-hal dari penutur yang mengambil sikap seperti (1) dalam diagram di atas.
53
Selanjutnya, diagram 1 di atas menjelaskan bahwa strategi MKV dapat dibedakan lagi menjadi dua macam substrategi, yaitu strategi kritik langsung (KL) dan strategi kritik tidak langsung (KTL). Strategi kritik langsung atau strategi KL adalah strategi di mana kritik diungkapkan secara transparan, jelas, eksplisit, dan tidak ambigu. Strategi langsung dimungkinkan apabila maksud penutur (speaker‟s meaning) sama dengan makna linguistik (linguistic meaning) atau makna kalimat (sentence meaning) (Searle, 1996). Strategi langsung, menurut Blum-kulka, et. al (1989: 18) bisa ditandai oleh indikator-indikator linguistik atau bisa juga ditandai oleh semantic content. Strategi langsung, menurut istilah Brown dan Levinson (1987) pada umumnya termasuk strategi on record. Kritik pada (17-a-c) di bawah merupakan contoh kritik dengan strategi langsung karena kritik diungkapkan secara transparan dengan memberikan evaluasi negatif terhadap perbuatan petutur. Kritik langsung bisa juga dilakukan dengan menggunakan verba performatif yang dimunculkan dalam struktur lahir. Strategi tidak langsung atau strategi KTL terjadi manakala kritik diungkapkan secara tidak transparan, implisit, atau ambigu. Strategi tidak langsung mengandaikan bahwa penutur menyampaikan maksudnya tidak melalui makna linguistik. Menurut Searle (1987), strategi tidak langsung memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act dan primary illocutionary act. Yang pertama bersifat literal dan yang kedua bersifat nonliteral. Penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Strategi tidak langsung, menurut istilah Brown dan Levinson (1987), termasuk strategi off record. Dilihat dari Prinsip Kerja Sama Grice, stratregi tidak langsung melanggar maksim cara, khususnya submaksim “hindari ketidakjelasan dan hindari ambiguitas”. Kritik (18a-c) di bawah merupakan contoh kritik dengan strategi tidak langsung karena kritik dikemukakan secara tidak transparan dengan menggunakan formula semantik saran. Sebagaimana dikemukakan di atas, berdasarkan penelusuran terhadap berbagai kajian pustaka, diketahui bahwa paling tidak terdapat dua dasar yang pada umumnya digunakan oleh para pakar untuk menentukan strategi langsung dan strategi tidak langsung. Dasar yang pertama berupa bentuk sintaksis, tipe kalimat, atau modus kalimat. Dasar yang kedua berupa semantik atau makna tuturan. Pakar seperti Parker (1986) dan Wijana (1996) cenderung menggunakan dasar yang pertama (modus kalimat) untuk menentukan strategi langsung dan tidak langsung. Menurut kedua pakar
54
tersebut, masalah modus kalimat (berita, tanya, suruh) merupakan dua hal yang berbeda dengan makna tuturan (literal-nonliteral) sehingga kalau kedua hal tersebut diinteraksikan, maka akan diperoleh tuturan yang bersifat (a) langsung literal, (b) langsung tidak literal, (c) tidak langsung literal, dan (d) tidak langsung tidak literal. Sementara itu, pakar seperti Searle (2004), Thomas (1995), dan Brown dan Levinson (1987) cenderung menggunakan dasar yang kedua (semantik) untuk menentukan strategi langsung dan tidak langsung. Dalam disertasi ini, penulis lebih condong mengikuti dasar yang kedua (semantik) untuk menentukan strategi langsung dan tidak langsung. Menurut hemat penulis, penggunaan dasar yang pertama agak sulit dipahami. Sebab, bagaimana mungkin tuturan yang bermakna literal itu dipahami sebagai tuturan tidak langsung. Bagaimana mungkin tuturan yang bermakna tidak literal itu dipahami sebagai tuturan langsung. Jadi, sebagai konsekuensi dari penggunaan dasar makna ini, maka dalam disertasi ini tidak dikenal strategi kritik langsung tidak literal dan strategi kritik tidak langsung literal sebagaimana yang dikemukakan Parker (1986) dan Wijana (1996). Kedua jenis strategi tersebut secara berturut-turut termasuk strategi kritik tidak langsung dan strategi kritik langsung. Berikut sekedar contoh bahwa apa yang disebut sebagai strategi langsung tidak literal bagi pakar yang menggunakan dasar modus kalimat sesungguhnya merupakan strategi tidak langsung. (15) Suaramu sudah bagus kok. (Dituturkan oleh seseorang kepada temannya setelah selesai latihan menyanyikan lagu yang berjudul “Goyang Dombret” untuk persiapan lomba nyanyi di RT 1, RW 3) Tuturan (15) di atas dimaksudkan oleh penuturnya untuk melakukan kritik kepada petutur bahwa suara petutur masih belum bagus alias masih gembret, dengan mengatakan hal yang sebaliknya, yaitu suara petutur sudah bagus. Tuturan seperti ini, menurut hemat penulis, merupakan tuturan tidak langsung karena maksud penutur diungkapkan dengan mengatakan yang sebaliknya (off record/ironi) meskipun modus kalimat yang digunakan (berita) sama dengan maksud penutur, yaitu menyampaikan berita atau informasi. Jadi, maksud penutur diungkapkan secara tidak transparan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa secara semantik, yang dimaksud strategi kritik langsung adalah strategi di mana kritik diungkapkan secara
55
transparan, jelas, eksplisit, literal, dan tidak ambigu. Strategi langsung, menurut istilah Brown dan Levinson (1987) termasuk strategi on record. Strategi langsung dimungkinkan apabila maksud penutur (speaker‟s meaning) sama dengan makna linguistik (linguistic meaning) atau makna kalimat (sentence meaning) (Searle, 1996). Strategi langsung, menurut Blum-Kulka, et. al (1989: 18) bisa ditandai oleh indikatorindikator linguistik atau bisa juga ditandai oleh semantic content. Menurut Thomas (1995), strategi kritik langsung terjadi apabila terdapat kesesuaian antara makna yang diekspresikan dan makna yang diimplikasikan. Kritik pada (19-ac) di bawah merupakan contoh kritik dengan strategi langsung karena kritik diungkapkan secara transparan dan jelas. Makna yang diekspresikan (kritik) sama dengan makna yang diimplikasikan (kritik). Kritik yang diungkapkan dengan menggunakan verba performatif yang dimunculkan dalam struktur lahir dalam klausa matriks dalam disertasi ini juga ditentukan sebagai strategi kritik langsung. Hal ini disebabkan verba performatif tersebut dapat menandai jenis illocutionary force dari tuturan yang bersangkutan. Sementara itu, strategi kritik tidak langsung (KTL) terjadi manakala kritik diungkapkan secara tidak transparan, implisit, tidak literal, dan ambigu. Strategi tidak langsung, menurut istilah Brown dan Levinson (1987), termasuk strategi off record. Menurut Thomas (1995) strategi kritik tidak langsung terjadi jika makna yang diekspresikan tidak sama dengan makna yang diimplikasikan. Hal ini berarti bahwa penutur dalam strategi tidak langsung menyampaikan maksudnya tidak melalui makna linguistik. Dilihat dari Prinsip Kerja Sama Grice, stratregi tidak langsung melanggar maksim cara, khususnya submaksim “hindari ketidakjelasan dan hindari ambiguitas”. Menurut Searle (1996), strategi tidak langsung memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act dan primary illocutionary act. Yang pertama bersifat literal dan yang kedua bersifat nonliteral. Penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Apa yang disebut oleh Searle sebagai secondary illocutionary act di atas tampaknya mirip sekali dengan apa yang oleh Clark (1979), Blum-Kulka, et. al. (1989), dan Nguyen (2005) disebut sebagai formula semantik (semantic formulae). Mengapa tuturan (18a-c) di bawah disebut sebagai kritik tidak langsung karena memiliki dua daya ilokusi, yaitu saran (sebagai secondary illocutionary act) dan kritik (sebagai primary illocutionary act). Saran menurut Clark (1979), Blum-
56
Kulka, et. al. (1989), dan Nguyen (2005) merupakan formula semantik kritik. Jadi, kritik diungkapkan dengan menggunakan formula semantik saran. 2.2.3.9 Formula Semantik Kritik Setiap kritik selalu diekspresikan dengan menggunakan strategi tertentu. Yang dimaksud strategi kritik adalah “the pragmalinguistic conventions of usage by which criticisms
are
realized”
(konvensi
pragmalinguistik
yang
digunakan
untuk
merealisasikan tindak tutur kritik). Menurut Clark (1979), Blum-Kulka, et. al. (1989), dan Nguyen (2005), konvensi pragmalingistik terbentuk dari dua macam konvensi, yaitu (a) konvensi makna (conventions of means) dan (b) konvensi bentuk (conventions of forms). Konvensi makna mengacu pada formula semantik yang digunakan untuk merealisasikan tindak tutur. Formula semantik kritik adalah struktur semantik yang telah memperoleh daya ilokusi yang merepresentasikan kritik. Konvensi bentuk mengacu pada penggunaan kata-kata yang tepat (wording) untuk mengungkapkan tindak tutur kritik. Yang penting dikemukakan adalah kritik dapat direalisasikan dengan menggunakan formula semantik yang berbeda-beda. Misalnya, kritik dapat diungkapkan melalui statemen yang berisi evaluasi negatif. Kritik juga bisa diungkapkan melalui formula semantik yang berupa saran, pertanyaan, dan lain-lain. Tuturan (16), (17), dan (18) berikut merupakan kritik yang diungkapkan dengan formula semantik yang berupa evaluasi negatif untuk (16), saran untuk (17), dan pertanyaan untuk (18). (16) Anda jorok membuang sampah sembarangan. (17) Sebaiknya Bapak tidak membuang sampah sembarangan. (18) Mengapa Bapak membuang sampah sembarangan? Jadi, intinya adalah kritik dapat diungkapkan dengan formula semantik yang bermacam-macam. Selanjutnya, tiap-tiap formula semantik kritik dapat juga diekspresikan dengan menggunakan bentuk pengungkapan (wording) yang bermacammacam pula. Formula semantik kritik yang berupa evaluasi negatif, misalnya, tidak hanya dapat diungkapkan melalui bentuk pengungkapan seperti (16) di atas, tetapi dapat juga diungkapkan melalui beberapa bentuk yang lain seperti (19a-c) di bawah ini: (19) a. Anda tidak tahu kebersihan, membuang sampah sembarangan. b. Kepedulian Anda terhadap kebersihan lingkungan tampaknya rendah. c. Anda tampaknya tidak mengerti tentang pentingnya kebersihan.
57
Demikian juga, formula semantik kritik yang berupa saran dan pertanyaan tidak hanya dapat diungkapkan melalui bentuk seperti (17) dan (18) di atas, tetapi dapat juga diungkapkan melalui berbagai bentuk pengungkapan yang lain seperti (20a-c) untuk (17) dan (21a-b) untuk (18). (20) a. Apakah tidak sebaiknya Bapak membuang sampah pada tempatnya? b. Saya sarankan Bapak membuang sampah pada tempatnya. c. Barangkali lebih baik kalau Bapak tidak membuang sampah sembarangan. (21) a. Apakah Bapak tidak bisa membuang sampah pada tempatnya? b. Bapak kok membuang sampah sembarangan? 2.2.3.10 Kritik Sebagai Sarana Kontrol Sosial Kritik dalam disertasi ini dilihat dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial. Sebagaimana dijelaskan di atas yang dimaksud kontrol sosial adalah suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan norma dan tata nilai yang berlaku. Kontrol sosial ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu koersif dan persuasif. Kontrol sosial koersif adalah kontrol sosial yang berupa tindakan yang bersifat represif bisa berupa hukuman, paksaan, atau bahkan tindakan-tindakan fisik yang bersifat kekerasan. Seorang pencuri yang tertangkap tangan dan kemudian dibawa ke pengadilan dan divonis selama dua tahun merupakan bentuk kontrol sosial koersif. Demikian juga, seorang anak yang dipukul orang tuanya karena sering meninggalkan shalat lima waktu juga merupakan bentuk kontrol sosial koersif. Sebaliknya, kontrol sosial persuasif merupakan kontrol sosial yang lebih lunak, menghindari kekerasan, dan biasanya berwujud atau berbentuk tindakan verbal. Salah satu bentuk kontrol sosial yang bersifat persuasif itu adalah kritik. Jadi, kritik merupakan tindakan linguistik yang berfungsi sebagai sarana kontrol sosial. Sebagai sebuah bentuk kontrol sosial, kritik berkenaan dengan adanya pelanggaran nilai/norma yang dilakukan oleh petutur. Norma yang dimaksud dapat berupa norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, atau norma-norma yang lain. Kritik itu dimaksudkan untuk mengendalikan dan meluruskan keadaan yang sudah terlanjur menyimpang dan diharapkan keadaan yang menyimpang itu bisa pulih kembali menjadi normal.
58
Target dari sebuah kritik, khususnya dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, adalah adanya perubahan perilaku dari penerima kritik. Perubahan perilaku itu tercermin dari respon positif terhadap kritik yang disampaikan. Diagram 2 berikut memperlihatkan bagaimana kritik bekerja dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial. Diagram 2 Kritik sebagai Sarana Kontrol Sosial Strategi Kritik
Kritik
Konteks danNorma Sosio-kultural
Penerima Kritik
Perubahan Perilaku
Manfaat/ Keuntungan
Publik
Diagram 2 di atas mengilustrasikan bahwa kritik sebagai sarana kontrol sosial diekspresikan
dengan
strategi
tertentu.
Pemilihan
strategi
kritik
itu
harus
mempertimbangkan konteks dan norma sosio-kultural yang berlaku. Selanjutnya, kritik yang telah diekspresikan dengan strategi tertentu itu diterima oleh penerima kritik. Target yang diharapkan adalah adanya perubahan perilaku dari penerima kritik. Perubahan perilaku itu bermanfaat bukan untuk pelaku kritik, tetapi untuk penerima kritik atau publik. 2.2.4 Prinsip Komunikasi Dalam praktik berkomunikasi, selain dibutuhkan prinsip kerja sama, juga diperlukan prinsip kesantunan. Kedua prinsip komunikasi ini memiliki kedudukan yang sejajar dan dalam praktik berkomunikasi kedua prinsip tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain.
59
2.2.4.1 Prinsip Kerja Sama Gagasan tentang Prinsip Kerja Sama ini dikemukakan oleh Grice (1975). Dia berpandangan bahwa agar sebuah komunikasi dapat berlangsung secara efektif, efisien, dan rasional, penutur perlu menaati Prinsip Kerja Sama. Setiap partisipan hendaknya memberikan kontribusi sesuai dengan yang dibutuhkan pada tingkat di mana komunikasi tersebut berlangsung, sesuai dengan maksud dan tujuan di mana pertisipan komunikasi itu terlibat. Prinsip Kerja Sama ini, menurut Grice terdiri atas empat maksim, yaitu (a) maksim kualitas, (b) maksim kualitas, (c) maksim relevansi, dan (d) maksim cara. Prinsip kerja sama dan maksim-maksim percakapan Grice secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut (Huang, 2007: 26). A. Prinsip Kerja Sama Bekerja samalah! B. Maksim Percakapan (1) Kualitas: katakan yang benar! (a) Jangan mengatakan yang tidak benar! (b) Jangan mengatakan sesuatu tanpa bukti! (2) Kuantitas: (a) Jangan mengatakan sesuatu kurang dari yang diperlukan! (b) Jangan mengatakan sesuatu lebih dari yang dibutuhkan! (3) Relevansi: katakan sesuatu yang relevan saja! (4) Cara: Katakan yang mudah dipahami! (a) Hindari ketidakjelasan! (b) Hindari ambiguitas! (c) Katakan yang singkat saja! (d) Katakan yang sistematis!
2.2.4.2 Prinsip Kesantunan Dalam praktik berkomunikasi, seorang penutur bisa patuh terhadap Prinsip Kerja Sama Grice beserta maksim-maksimnya. Penutur yang patuh atau taat seperti ini terutama bila penutur ingin berkomunikasi secara efektif dan efisien untuk mencapai interaksi yang rasional dalam praktik berkomunikasi (Levinson, 1983: 102; Huang, 2007: 25). Efektivitas, efisiensi, dan rasionalitas komunikasi itu bisa dicapai manakala
60
penutur betul-betul patuh pada maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara seperti yang dikemukakan Grice. Akan tetapi, dalam praktik berkomunikasi, penutur tidak selamanya taat pada Prinsip Kerja Sama Grice. Penutur adakalanya melanggar Prinsip Kerja Sama Grice. Melanggar Prinsip Kerja Sama bukan berarti penutur tidak bekerja sama, melainkan penutur sedang menerapkan prinsip lain, yaitu Prinsip Kesantunan. Jadi, melanggar maksim berarti penutur ingin mendapatkan efek kesantunan atau sedang menerapkan prinsip kesantunan dalam berkomunikasi. Penerapan Prinsip Kesantunan ini sering harus dicapai dengan melanggar prinsip kerja sama Grice. Karena Prinsip Kerja Sama itu terdiri atas empat maksim, maka pelanggaran itu pun dapat berkenaan dengan keempat maksim tersebut. 2.2.4.3 Implikatur, Prinsip Kesantunan, dan Prinsip Kerja Sama Istilah implikatur pertama kali dikemukakan oleh Grice. Istilah ini memiliki kaitan dengan Prinsip Kesantunan dan Prinsip Kerja Sama. Kaitannya dengan Prinsip Kerja Sama, implikatur, menurut para ahli, bersumber dari pelanggaran maksim kerja sama Grice ( Koktova, 1998: 371; Rustono, 1999: 82; Gunarwan, 2007: 88). Kaitannya dengan kesantunan, implikatur itu dimaksudkan untuk mendapatkan efek kesantunan. Untuk memperlunak daya sengat kritik atau agar kritik yang disampaikan kedengaran lebih santun, misalnya, kritik dapat dikemukakan melalui implikatur. Apakah
yang
dimaksud
dengan
implikatur
(percakapan)
itu?
Grice
mengemukakan bahwa sebuah ujaran dapat memiliki implikasi yang berupa proposisi yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran tersebut. Proposisi semacam itulah yang oleh Grice disebut sebagai implikatur. Selaras dengan Grice, Gazdar (1979: 38) juga mengemukakan bahwa implikatur adalah proposisi yang diimplikasikan oleh ujaran dalam sebuah konteks dan proposisi tersebut tidak merupakan entailment dari apa yang sebenarnya dikatakan. Sementara itu, Gunarwan (1994: 52) dan Tomas (1995: 57) menjelaskan bahwa implikatur merupakan makna tambahan di luar makna semantik kata-kata yang diujarkan. Levinson (1983: 97; Yule (1996: 61); Cummings (2007: 16) menjelaskan bahwa implikatur berkenaan dengan penyampaian informasi yang lebih banyak daripada apa yang sebenarnya dikatakan.
61
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur (percakapan) mempunyai sejumlah ciri ( cf. Parker, 1986: 21; Gunarwan, 1994: 52), yaitu (a) implikatur merupakan makna tambahan di luar makna semantik, (b) implikatur berkenaan dengan penyampaian informasi yang lebih banyak daripada apa yang dikatakan/ informasi disampaikan tetapi tidak dikatakan, (c) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan, (d) implikatur bukan merupakan implikasi logis dari sebuah tuturan yang dalam semantik disebut entailmen, dan (e) sebuah ujaran bisa memiliki lebih dari satu implikatur dan hal itu bergantung pada konteksnya. 2.2.5 Teori Kesantunan Teori kesantunan muncul bermula dari kesadaran para ahli bahwa dalam praktik berkomunikasi, orang tidak cukup hanya mengejar efektivitas komunikasi. Hal yang juga sangat penting dalam praktik berkomunikasi adalah pemeliharaan nilai-nilai kesantunan. Komunikasi yang hanya dimaksudkan untuk mencapai efektivitas informasi dan mengabaikan nilai-nilai kesantunan tidak mungkin dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Hal ini berarti bahwa kesantunan juga menentukan keberhasilan komunikasi. Nilai kesantunan sama pentingnya dengan nilai informasi. Berkenaan dengan fakta inilah, para ahli prragmatik kemudian menawarkan beberapa perspektif atau model teori kesantunan berbahasa yang tujuannya tidak lain adalah menjaga agar praktik berkomunikasi dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Berikut ini dipaparkan beberapa model teori kesantunan tersebut. Kemudian, dilanjutkan dengan paparan mengenai teori kesantunan dalam kaitannya dengan kondisi sosio-budaya masyarakat budaya Arek. 2.2.5.1 Beberapa Model Teori Kesantunan Para ahli pragmatik (Fraser, 1990: 219; Marquez Reiter, 2000: 5-6; Nguyen, 2005: 20; Huang, 2007: 116) berpandangan bahwa dewasa ini terdapat empat model teori utama tentang kesantunan. Keempat model tersebut adalah (a) model penyelamatan muka (face-saving), (b) model maksim percakapan (conversationalmaxims), (c) model kontrak percakapan (conversational-contracts), dan (d) model norma sosial (social norms). Di antara berbagai model yang ada, menurut mereka,
62
model yang paling berpengaruh dan komprehensif adalah model penyelamatan muka(meskipun beberapa aspeknya banyak dikritik orang). 2.2.5.1.1 Model Penyelamatan Muka Teori kesantunan dengan model penyelamatan muka atau pengaturan muka ini dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987, 1978) dan Scollon dan Scollon (2001). Bagi keempat pakar tersebut masalah kesantunan adalah masalah penyelamatan muka atau pengaturan muka. Berikut dipaparkan pendapat mereka secara garis besar. A. Kesantunan Menurut Brown dan Levinson Yang dimaksud muka adalah citra diri yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu muka positif dan muka negatif. Maka kesantunan pun kemudian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kesantunan positif (kesantunan afirmatif) dan kesantunan negatif (kesantunan deferensial). Kesantunan positif dimaksudkan untuk menunjukkan keakraban, kedekatan, dan hubungan baik antara penutur dan petutur, sedangkan kesantunan negatif dimaksudkan untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur dan petutur. Menurut Brown dan Levinson, muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak tutur tertentu. Artinya, ada tindak tutur yang karena isi dan atau cara mengungkapkannya, menyebabkan muka terancam, apakah itu muka penutur atau petutur. Tindak tutur semacam ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai face threatening act (FTA). Adanya FTA inilah yang menyebabkan penutur harus memilih strategi untuk menjaga, memelihara, atau melindungi muka petutur. Dalam kaitan ini, Brown dan Levinson menawarkan sejumlah strategi yang dapat dipilih seperti tampak dalam diagram 3 berikut.
63
Diagram 3 Strategi Tindak Tutur Pengancam Muka 1. tanpa upaya penyelamatan muka terus terang (tidak ambigu) Lakukan FTA
2. kesantunan positif dengan penyelamatan muka
4. samar-samar (ambigu)
3. kesantunan negatif
5. Jangan lakukan FTA Diagram
3
di
atas
menggambarkan
bahwa
penutur
ketika
hendak
mengemukakan FTA berhadapan dengan dua pilihan, yaitu lakukan FTA atau jangan lakukan FTA. Jika penutur mengambil keputusan melakukan FTA, penutur masih berhadapan dengan dua pilihan lagi, yaitu FTA disampaikan dengan terus terang (tidak ambigu) atau FTA disampaikan dengan samar-samar (ambigu). Selanjutnya, jika penutur memilih menyampaikan FTA dengan terus terang, penutur pun masih memiliki dua pilihan lagi, yaitu dengan penyelamatan muka atau tanpa penyelamatan muka. Terakhir, jika penutur memilih menyampaikan FTA dengan penyelamatan muka, penutur dapat memilih kesantunan positif atau kesantunan negatif. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa ketika penutur mau melakukan tindak tutur pengancam muka sekurang-kurangnya terdapat lima macam strategi yang dapat dipilih, yaitu: 1. Strategi terus terang tanpa penyelamatan muka (on record without redressive action) (bald on record) 2. Strategi terus terang dengan kesantunan positif (on record plus positive politeness) 3. Strategi terus terang dengan kesantunan negatif (on record plus negative politeness) 4. Strategi samar-samar (off record) 5. Strategi jangan lakukan FTA (don‟t do the FTA) Perlu dikemukakan bahwa urutan strategi 1 sampai dengan strategi 5 di atas tidak bersifat acak, tetapi bersifat hierarkhis. Semakin tinggi angkanya semakin tinggi
64
juga tingkat keterancamannya. Kita menggunakan strategi 5 jika ancaman itu sangat tinggi, kita menggunakan strategi 1 jika ancaman itu sangat rendah, dan seterusnya. Menurut Brown dan Levinson, setiap FTA memiliki bobot (weightness) yang berbedabeda. Yang dimaksud bobot FTA adalah “the seriousness in terms of face-lost”. Untuk mengetahui bobot FTA, kita bisa membuat kalkulasi berdasarkan tiga faktor sosiologis, yaitu (a) jarak sosial (social distance), (b) kekuasaan relatif (relative power), dan (c) derajat imposisi (rank of imposition) dengan formula sebagai berikut. Wx = D(S,H) + P(S,H) + Rx D dalam formula di atas melambangkan jarak sosial (the degree of familiarity and solidarity) antara S (speaker) dan H (hearer). P melambangkan kekuasaan relatif (the degree to which S can impose wants on H) antara S dan H. R melambangkan derajat imposisi tindak tutur pengancam muka (how „threatening‟ the performed FTA is perceived to be within a particular culture) dan x melambangkan tindak tutur pengancam muka yang diperformansikan. Berdasarkan ketiga faktor itulah, yakni D(S,H) + P(S,H) + Rx, bobot ancaman dari sebuah tindak tutur (Wx) dapat diketahui dan berdasarkan Wx yang sudah diketahui itu penutur kemudian dapat menentukan pilihan strategi mana yang dipandang cocok, apakah strategi bald on record, strategi on record plus positive politeness, strategi off record, atau yang lain.
(a) Strategi Terus Terang Tanpa Penyelamatan Muka (Bald on Record) Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan FTA secara jelas, lugas, ringkas, tidak ambigu, apa adanya, tanpa basa basi, dan tanpa adanya upaya penyelamatan muka. tindak tutur pengancam muka diungkapkan secara langsung, tanpa memberikan opsi kepada petutur. Penutur lebih mementingkan komunikasi yang efektif daripada penyelamatan muka petutur. Mengingat karakteristiknya yang demikian ini, strategi bald on record cenderung mematuhi maksim-maksim prinsip kerja sama Grice (1975), yakni maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara. Sesuai dengan tabel 4 di atas, strategi ini digunakan manakala tingkat keterancaman terhadap muka petutur sangat rendah. Secara lebih spesifik, Brown dan Levinson mengemukakan konteks penggunaan srtategi bald on record sebagai berikut.
65
1. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau bahaya. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan hal-hal yang berkaitan dengan muka ditangguhkan terlebih dahulu. Perhatikan tuturan (22 a-c) berikut. (22) a. Lari! (dalam konteks petutur dikejar binatang buas) b. Minggir! ( dalam konteks petutur akan tertabrak mobil) c. Ambil air! (dalam konteks sebuah kebakaran) 2. Ancaman terhadap muka petutur sangat kecil. Misalnya tindakan yang terkait dengan penawaran, permintaan, saran, dan lain-lain yang jelas-jelas mengacu kepada kepentingan petutur dan tidak memerlukan pengorbanan yang besar bagi penutur. (23) a. Pakai saja mobil saya! (dalam konteks petutur membutuhkan mobil) b. Bapak istirahat saja! (dalam konteks petutur dalam keadaan capek) c. Duduk di sini, Pak! (dalam konteks petutur lama berdiri di suatu tempat dan memerlukan tempat duduk) 3. Penutur mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan petutur dan penutur mempunyai dukungan luas untuk melakukan tindakan yang mengancam muka petutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri. (24) a. Belikan rokok di toko sebelah! (dalam konteks orang tua-anak) b. Kalau nyapu yang bersih, Nem! (dalam konteks majikan-pembantu) c. Jangan parkir di situ! (dalam konteks guru-murid) (b) Strategi Terus Terang dengan Kesantunan Positif Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan TPM secara jelas, tidak ambigu, dan tidak multitafsir, tetapi disertai dengan kesantunan positif. Kesantunan positif adalah kesantunan untuk melindungi muka positif. Sebagaimana dijelaskan di atas, muka positif berkenaan dengan keinginan agar apa yang dilakukan, apa yang dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini dihargai orang lain dan diakui sebagai sesuatu yang baik, yang menyenangkan, dan sebagainya. Strategi kesantunan positif menekankan segi kedekatan, keakraban, solidaritas, persahabatan, dan hubungan baik antara penutur dan petutur. Menurut Brown dan Levinson (1978, 1987), strategi terus terang dengan kesantunan positif ini dapat dilakukan melalui lima belas macam strategi seperti berikut.
66
Strategi 1: Memberikan perhatian terhadap minat, keinginan, perilaku, atau barangbarang milik petutur. Strategi 1 ini dilakukan dengan cara penutur memberikan perhatian terhadap kondisi petutur, misalnya perubahan fisik yang menonjol yang ada pada diri petutur, barang-barang istimewa yang menjadi milik petutur, dan lain-lain. Tuturan (25 a-b) berikut menggunakan strategi 1. (25) a. Kelihatanya siang ini Anda sudah lapar. Bagaimana kalau makan siang dulu. b. Wah, baju Anda baru ya. Bagus sekali. Tapi, kayaknya kurang pas kalau dipakai dalam acara seperti ini. Strategi 2: Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap petutur. Strategi 2 ini dilakukan dengan cara penutur melebih-lebihkan rasa tertarik, persetujuan, dan rasa simpati terhadap petutur. Dalam bahasa Inggris ungkapan yang berlebih-lebihan itu bisa ditandai dengan kata-kata seperti really, exactly, absolutely. Tuturan (26 a-b) berikut mengaplikasikan strategi 2. (26) a. Rumah Anda betul-betul luar biasa, sangat nyaman. b.Kemampuan bahasa Inggris Anda sudah sangat bagus, hanya listeningnya yang masih kurang. Strategi 3: Meningkatkan rasa tertarik terhadap petutur. Strategi 3 ini dilakukan dengan cara petutur meningkatkan rasa tertarik kepada petutur. Rasa tertarik ini, menurut Browm dan Levinson, dapat dilakukan dengan membuat cerita yang baik (making good story) kepada petutur. Di samping itu, strategi 3 ini juga dapat dilakukan dengan lebih melibatkan petutur ke dalam proses percakapan. Dalam bahasa Inggris, hal itu dapat dilakukan dengan penggunaan tag questions atau ungkapan seperti you know? see what I meant?, dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut kira-kira sejajar dengan iya „kan?, betul „kan? bisa dimengerti „kan?, dan lain-lain. (27) a. Aturan itu sudah kita setujui bersama, „kan Pak? b. Kemarin „kan sudah diumumkan bahwa hari ini kita harus memakai baju batik. Betul „kan Pak?
67
Strategi 4 : Menggunakan penanda yang menunjukkan identitas kelompok. Strategi 4 ini dapat dilakukan dengan (a) penggunaan bentuk-bentuk sapaan (address forms) yang menunjukkan bahwa penutur adalah “orang dalam” (in-group membership), (b) penggunaan bahasa atau dialek yang menunjukkan orang dalam, (c) penggunaan jargon atau slang, dan (d) kontraksi dan elipsis. Penggunaan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Inggris misalnya Mac ( Bung/Bang), mate (kawan), buddy (sobat), honey (sayang), dear (sayang), Mom( Bu), brother (Mas), sister (mbak), guys (cowok), sweethearts (kasih), darling (sayang), dan lain-lain. Penggunaan bahasa atau dialek yang menunjukkan “orang dalam” berkenaan dengan fenomena alih kode (code-swiching). Alih kode adalah pergantian bahasa atau dialek dalam suatu peristiwa komunikasi. Dalam situasi diglosia, pergantian itu bisa terjadi antar variasi atau antar dialek dalam sebuah bahasa: satu variasi dianggap lebih tinggi dan yang lain lebih rendah. Dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual, pergantian itu bisa terjadi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Menurut Brown dan Levinson, peristiwa alih kode ini bisa memberikan kesan bahwa penutur adalah “orang dalam” dan berpotensi menyelamatkan muka positif. Brown dan Levinson memberikan contoh dari Gumperz bahwa alih kode yang terjadi di antara orang California Chicanos, dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Spanyol dapat menandai keterlibatan personal atau rasa malu, sedangkan bahasa Inggris digunakan untuk membuat pernyataan umum dan terpisah. Hal ini berarti bahwa bahasa Spanyol digunakan untuk kesantunan positif, sedagkan bahasa Inggris digunakan untuk kesantunan negatif. Contoh lain adalah bahasa Inggris orang kulit hitam digunakan untuk menekankan atau menunjukkan keterlibatan penutur (penekanan pada kita), sedangkan bahasa Inggris standard digunakan untuk menekankan suatu yang terpisah (penekanan pada mereka). Hal ini berarti bahwa bahasa Inggris orang hitam berkenaan dengan kesantunan positif, sedangkan bahasa Inggris standard berkenaan dengan kesantunan negatif. Sementara itu, penggunaan jargon dan slang mengacu pada objek dengan istilah atau terminologi slang-nya. Penggunaan jargon atau slang ini diharapkan juga dapat menyelamatkan muka positif petutur. Sebagai contoh, penggunaan nama merek barang dalam sebuah permohonan dapat menekankan bahwa penutur dan petutur berada dalam satu kelompok. Perhatikan contoh berikut.
68
(28) a. Got any Winstons? b. I come to borrow some Allinson if you‟ve got any. Kontraksi dan elipsis, menurut Brown dan Levinson , juga dapat berpotensi menyelamatkan muka positif. Ujaran (29) berikut hanya dapat ditafsirkan maksudnya manakala penutur dan petutur memiliki background knowledge yang sama, misalnya keduanya sedang bekerja sama dalam membangun sebuah rumah dan penutur bermaksud minta tolong kepada petutur untuk mengambilkan paku. Kesamaan background knowledge ini dapat mengindikasikan bahwa penutur dan petutur berada dalam satu kelompok. (29) Paku! Strategi 5: Mencari persetujuan dengan petutur. Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan membicarakan topik-topik yang aman seperti cuaca, kebun yang indah, atau birokrasi yang tidak kompeten. Membicarakan topik-topik yang aman pada awal berjumpa ini memungkinkan penutur memberikan tekanan persetujuannya kepada petutur, dan karena itu dapat memuaskan keinginan petutur. Dalam banyak budaya, FTA permohonan seringkali didahului dengan percakapan-percakapan ringan pada awal bertemu, misalnya tentang cuaca, penyakit, atau kejadian-kejadian yang terjadi dewasa ini. Percakapan ringan seperti ini dapat digunakan sebagai suatu cara untuk tidak semata-mata
melakukan
permohonan,
tetapi
juga
untuk
menjaga
hubungan
persahabatan. Mencari persetujuan kepada petutur juga dapat dilakukan dengan mengulang sebagian atau seluruh tuturan yang dikemukakan petutur untuk menunjukkan bahwa penutur menyetujui dan mengikuti informasi apa saja yang dituturkan petutur. Tuturan B dalam dialog berikut dapat ditafsirkan sebagai upaya B mencari persetujuan. (30) A: John went to London this weekend! B: To London! (31) A: I have a flat tyre on the way home. B: Oh God, a flat tyre!
69
Strategi 6: Menghindari pertentangan dengan petutur. Strategi ini, menurut Brown dan Levinson, dapat dilakukan dengan ungkapan “Yes, but...untuk menghindari ungkapan “No” secara terang-terangan. Perhatikan dialog (32) berikut. (32) A: What is she, small? B: Yes, yes she is small, not really small but certainly not vary big. Strategi ini juga dapat dilakukan sepeti dialog (33) dan (34) berikut. Tuturan B dimaksudkan untuk menghindari pertentangan dengan A. (33) A: That‟s where you live, Florida? B: That‟s where I was born. (34) A: You hate your Mom and Dad. B: Oh, sometimes. Strategi 7: Mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan petutur. Strategi ini, salah satu diantaranya, dapat dilakukan dengan memberikan empati kepada petutur. Penutur memahmai apa yang dirasakan petutur. Dalam dialog (35) berikut B mencoba memahami apa yang dirasakan A. (35) A: Oh, this cut hurts awfully, Mum. B: Yes dear, it hurts terribly, I know. Strategi 8: Berkelakar. Berkelakar dimungkinkan bilamana penutur dan petutur memiliki background knowledge yang sama. Berkelakar ini dapat digunakan sebagai teknik untuk melakukan kesantunan positif. Dalam hal TPM memohon, misalnya, berkelakar bisa memperlunak permohonan, seperti contoh bahasa Inggris (36 a-b) berikut. (36) a: OK if I tackle those cookies now? b. How about lending me this old heap of junk? (H‟s new cadillac) Strategi 9: Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan petutur. Realisasi dari strategi 9 ini dapat dicontohkan seperti (37 a-b) berikut. (37) a. I know you can‟t bear parties, but this one will really be good. Do come! (permohonan).
70
b. I know you love roses, but the the florist did‟n have any more, so I brought you geraniums insteads. (permohonan). Strategi 10: Membuat penawaran dan janji. Membuat janji dan penawaran kepada petutur juga dapat merupakan perwujudan dari kesantunan positif. (38) I‟ll drop sometime next week. Strategi 11: Menunjukkan rasa optimisme. Bersikap optimis juga dapat digunakan untuk menunjukkan kesantunan positif. Realisasi strategi 11 ini dapat diilustrasikan seperti berikut. (39) a. You will land me your lawnmower for the weekend, I hope. b. Look, I‟m sure you won‟t mind if I remind you to do the dishes tonight. Strategi 12: Berusaha melibatkan penutur dan petutur dalam suatu aktivitas tertentu. Melibatkan penutur dan petutur dalam suatu aktivitas dilakukan dengan menggunakan kata ganti persona pertama jamak inklusif we, yang berarti you atau me. Berikut contoh yang diberikan Brown dan Levinson. (40) a. Let‟s have a cookie then. (i.e. me) b. Let‟s get on with dinner, eh. (i.e. you) c. Give us a break. (i.e. me) Strategi 13: Memberi atau meminta alasan. Strategi ini dilakukan jika penutur memberi saran kepada petutur yang dilakukan secara tidak langsung (indirect suggestion). Perhatikan contoh berikut. (41) a. Why not lend me your cottage for the weekend? b. Why don‟t we go to the seashore? Jika petutur diminta memberi alasan mengapa dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tetapi dia tidak sanggup memberi alasan yang memuaskan, maka TPM yang dikemukakan penutur bisa merupakan sebuah kritik. Hal ini seperti contoh (42) berikut. (42) Why don‟t you do the dishes? Strategi 14: Menawarkan suatu tindakan timbal balik, yaitu jika petutur melakukan X maka penutur akan melakukan Y. Brown dan Levinson memberi gambaran strategi ini melalui ilustrasi berikut. (43) a. I ll do X for you if you do Y for me. b. I did X for you las week, so you do Y for me this week.
71
Strategi 15: Memberikan hadiah kepada petutur. Pengertian hadiah di sini tidak harus beruapa suatu benda yang dapat diraba atau dirasa, tetapi bisa juga berupa hubungan kemanusiaan yang diinginkan petutur seperti keinginan untuk disenangi, dikagumi, diperhatikan, dipahami, didengarkan, dan lainlain. Brown dan Levinson tidak memberikan contoh untuk strategi ini. Namun, contoh yang dimaksud kira-kira seperti berikut. (44) a. Saya memahami kesulitan Anda. b. Jika Anda membutuhkan bantuan, saya siap membantu.
(c) Strategi Terus Terang dengan Kesantunan Negatif Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan TPM secara jelas, tidak ambigu, dan tidak multitafsir, tetapi disertai dengan kesantunan negatif. Kesantunan negatif adalah kesantunan untuk melindungi muka negatif. Sebagaimana dijelaskan di atas, Muka negatif mengacu pada keinginan agar dirinya bebas melakukan suatu tindakan dan bebas dari keharusan melakukan suatu tindakan (freedom of action and freedom from imposition). Strategi kesantunan negatif dikenal sebagai kesantuan yang bersifat formal atau resmi Brown dan Levinson, 1987: 62; Thomas, 1995: 172; Yule, 1996: 115). Thomas (1995: 172), juga Yule (1996: 115) dan Huang (2007: 116) menjelaskan bahwa strategi kesantunan negatif menekankan segi penghormatan (deference) terhadap petutur. Sementara menurut Yumanto (2008: 40), kesantunan negatif digunakan untuk menunjukkan jarak sosial. Strategi terus terang dengan kesantunan negatif, menurut Brown dan Levinson (1987), dapat dilakukan melalui sepuluh macam strategi seperti berikut. Strategi 1: Ungkapkan TPM secara tidak langsung sesuai dengan konvensi. Secara lintas budaya, TPM yang dikemukakan secara tidak langsung pada umumnya dinilai lebih santun daripada dikemukakan secara langsung. TPM yang dikemukakan secara tidak langsung ini dapat dipandang sebagai upaya penutur melakukan kesantunan negatif. TPM memohon atau meminta, misalnya, dapat dikemukakan secara tidak langsung dan santun seperti (45a), alih-alih dikemukakan secara langsung seperti (45b). (45) a. Can you pass the salt please? b. Pass the salt!
72
Stategi 2: Gunakan bentuk-bentuk berpagar. Bentuk-bentuk berpagar yang sangat produktif dalam bahasa Inggris, menurut Brown dan Levin (1987) adalah penggunaan if clause. Dalam bahasa Indonesia, keadaannya tampaknya tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris. Berikut merupakan contoh TPM yang dikemukakan dengan bentuk berpagar. (46) a. Close the window, if you can! b. Would you close the window if you don‟t mind? c. If we‟re already, I declare the meeting open. Strategi 3: Bersikaplah pesimistis. Strategi ini dilakukan dengan mengekspresikan keragu-raguan secara eksplisit untuk menyelamatkan muka negatif petutur. Keragu-raguan penutur ini menunjukkan sikap pesimistis penutur. Sikap pesimistis ini bisa ditunjukkan dengan penggunaan ungkapan negatif seperti (47a), bisa juga ditunjukkan dengan penggunaan bentuk berpagar yang menunjukkan keragu-raguan itu (perhaps) seperti 47b). (47) a. You don‟t have any manilla envelopes, do you by any hence? b. Perhaps you‟d care to help me. Strategi 4: Minimalkan imposisi terhadap petutur. Strategi ini dapat direalisasikan dengan penggunaan kata just dalam bahasa Inggris, atau hanya dalam bahasa Indonesia. Tuturan (48) berikut dimaksudkan untuk meminimalkan imposisi terhadap petutur. (48) a. I just want to ask you if you could lend me a single sheet of paper. b. Saya hanya ingin Anda datang tepat waktu besok. Strategi 5: Berikan penghormatan kepada petutur. Menurut Brown dan Levinson (1987), ada dua sisi untuk merealisasikan penghormatan, yaitu penutur merendahkan dirinya sendiri, dan penutur meninggikan status sosial petutur. Dalam banyak bahasa, penghormatan ini ditunjukkan melalui sistem honorifik. Dalam bahasa Inggris, penggunaan kata dine lebih menunjukkan rasa hormat daripada eat, gentlemen lebih hormat daripada man, Dr. Snuggs lebih hormat daripada Snuggs, bestow lebih hormat daripada give. Contoh (49a) berikut terasa lebih hormat daripada (49b). (49) a. We look forward very mauch to dining with you. b. We look forward very mauch to eating with you.
73
Penggunaan kata sir juga dapat menunjukkan rasa hormat seperti (50) berikut. (50) Excuse me ,sir, but would you mind if I close the window? Merendahkan diri juga merupakan bentuk penghormatan, seperti contoh (51) berikut. (51) I think I must be absolutely stupid,but I simply can‟t understand this map. Strategi 6: Gunakan permohonan maaf. Strategi ini dapat direalisasikan melalui empar cara. Pertama, penutur mengakui bahwa TPM yang dikemukakan dapat mengganggu petutur. Pengakuan ini dikemukakan secara eksplisit dalam tuturannya, seperti dalam (52) berikut. (52) a. I am sure you must be vary busy, but... b. I hope this is‟t going to bother you too much: Kedua, penutur berusaha menunjukkan bahwa dirinya sesungguhnya merasa enggan mengganggu petutur. (53) a. I don‟t want to bother you, but... b. I hate to intrude, but... c. I hesitate to trouble you, but... Ketiga, penutur memberikan alasan yang berlimpah. (54) a. I can‟t understand a word of this language, do you know where the Amerecan Express is? b. Can you possibly help me with this because there‟s no one else I could ask. Keempat, penutur meminta maaf kepada petutur. (55) a. I am sorry to bother you... b. I hope you will forgive me... c. I beg your indulgence... Strategi 7: Impersonalisasi penutur dan petutur. Strategi ini bisa direalisasikan dengan bentuk pasif. Tuturan (56b) dan (57b) berikut lebih menyelamatkan muka daripada (56a) dan (57a). (56) a. I would appreciate if... b. It would be appreciated if... (57) a. I expect b. It is expected
74
Dalam kontruksi datif, impersonalisasi penutur dan petutur juga dipandang lebih menyelamatkan muka, seperti tuturan (58) berikut. (58) a. That letter must be type immediately (by you for me). b. Further details should have been sent (to us by you). Strategi 8: Kemukakan TPM sebagai sebuah umum (general rule) Salah satu cara untuk membebaskan penutur dan petutur dari beban TPM adalah dengan mengemukakan TPM sebagai sebuah ketentuan umum. TPM dalam (59a) berikut diungkapkan sebagai sebuah ketentuan umum, sedangkan (59b) tidak. (59) a. Passengers will please refrain from flushing toilets on the train. b. You will please refrain from flushing toilets on the train. Tuturan (60) berikut juga diungkapkan sebagai sebuah ketentuan umum. (60) a. We don‟t sit on tables, we sit on chairs, Jhonny. b. I‟m sorry, but late-comer cannot be seated till the next interval. Strategi 9: Kemukakan pernyataan dalam bentuk nominal (nominalize) Strategi ini berkenaan dengan aspek formalitas atau tingkat keresmian. Nominalisasi berkenaan dengan tingkat formalitas. Semakin formal, semakin menyelamatkan muka. Berikut contoh dalam bahasa Inggris. (61) a. You performed well on the examinations and we were favourably impressed. b. Your performing well on the examinations impressed us favourably. c. Your good performance on the examination impressed us favourably. Menurut Brown dan Levinson, tuturan (61c) lebih formal daripada (61b). Tuturan (61c) kelihatan seperti surat bisnis. Sementara itu, tuturan (61b) lebih formal daripada tuturan (61a). Tuturan (61a) tampak seperti bahasa percakapan. Strategi 10: Nyatakan bahwa penutur berhutang budi kepada petutur. Strategi ini dilakukan dengan cara penutur mengemukakan secara eksplisit bahwa penutur mempunyai hutang budi kepada petutur. Tuturan (62) berikut menerapkan strategi ini. (62) a. I‟d be eternally grateful if you would... b. I‟ll never be able to repay you if you...
75
(d) Strategi Samar-Samar (Off Record) Strategi ini pada umumnya dilakukan dengan cara mengemukakan TPM secara ambigu. Artinya TPM yang dikemukakan itu sengaja dibuat sedemikian rupa aga dapat diinterpretasikan lebih dari satu makna. Petutur dibiarkan menafsir-nafsirkan sendiri apa sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur dengan tuturannya itu. Dengan demikian, strategi ini cenderung dikemukakan dengan menggunakan tuturan tidak langsung sebab hanya tuturan tidak langsung yang memungkinkan dapat memberikan makna yang ambigu. Yang menarik digarisbawahi adalah strategi ini pada umumnya dilakukan manakala penutur tidak mau mengambil risiko untuk bertanggung jawab terhadap TPM yang dikemukakan. Menurut Brown dan Levinson, strategi off record ini dapat dilakukan melalui lima belas cara, yaitu (1) pemberian isyarat, (2) petunjuk asosiatif, (3) presuposisi, (4) understate, (5) overstate, (6) tautologi, (7) kontradiksi, (8) ironi, (9) metafor, (10) pertanyaan retoris, (11) ungkapan ambigu, (12) ungkapan samar-samar, (13) generalisasi yang berlebihan, (14) tidak mengacu ke petutur secara langsung, dan (15) ungkapan tidak lengkap/elipsis. Kelima belas strategi ini, menurut Brown dan Levinson, merupakan hasil pelanggaran dari maksim-maksim prinsip kerja sama Grice. Strategi (1 –3) merupakan pelanggaran dari maksim relevansi, strategi (4- 6) merupakan pelanggaran dari maksim kuantitas, strategi (7-10) merupakan pelanggaran dari maksim kualitas, dan strategi (11-15) merupakan pelanggaran dari maksim cara. Berikut ini, tiap-tiap strategi tersebut dipaparkan secara ringkas sesuai dengan yang dikemukakan Brown dan Levinson. Strategi 1: Pemberian Isyarat Strategi ini direalisasikan dengan memberikan isyarat. Isyarat itu dinyatakan dengan menyampaikan motif atau alasan mengapa penutur melakukan tindakan A. TPM (63) berikut adalah contoh penggunaan strategi ini. (63) a. It‟s cold in here. b. What a boring movie! Tuturan (63a) mengandung implikatur “Tutuplah pintunya supaya tidak dingin”, sedangkan tuturan (63b) mengandung implikatur “Mari kita tinggalkan saja bioskop ini”. Tentu konteks yang membalut tuturan tersebut sangat penting dipertimbangkan.
76
Strategi 2: Petunjuk Asosiasi Strategi ini direalisasikan dengan memberikan petunjuk asosiasi kepada petutur. Petunjuk asosiasi ini didasarkan pada pengalaman yang dimiliki bersama sebelumnya atau pun tanpa ada pengalaman sebelumnya. Tuturan (64) berikut memberikan petunjuk asosiasi kepada petutur yang mengandung implikatur “Datanglah ke rumah saya!”. (64) Rumah saya di Jalan Dr. Sutomo. Tidak jauh dari sini dan tidak sulit mencarinya. Pokoknya di depan BPR Jatim. Strategi 3: Presupposisi Strategi ini dilakukan dengan memberikan presuposisi. Perhatikan contoh tuturan (65) berikut. (65) Wah, hari ini aku ngepel lagi ya. Tuturan (65) itu mempresuposisikan bahwa penutur sebelumnya sudah melakukan perbuatan ngepel. Penggunaan kata lagi dalam (65) memperjelas presuposisi itu. Tuturan (65) itu bisa jadi merupakan kritik kepada petutur bila sebelumnya terdapat kesepakatan bahwa penutur dan petutur melakukan kegiatan ngepel secara bergantian. Namun hari itu, petutur tidak melakukan kegiatan ngepel itu sehingga penutur harus ngepel lagi. Strategi 4: Understatement Yang dimaksud dengan understatement adalah menyampaikan ungkapan secara lebih halus daripada keadaan yang sebenarnya. Perhatikan contoh tuturan (66) berikut. (66) a. She is some kind of idiot. b. Robert kurang pandai di sekolah. Penutur dalam (66a) sesungguhnya hendak mengatakan bahwa dia memang idiot, sedangkan dalam (66b) penutur ingin menyampaikan bahwa Robert bodoh. Agar lebih halus, penutur menggunakan strategi understatemen. Strategi 5: Overstatement Strategi ini dilakukan dengan cara melebih-lebihkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, strategi ini dikatakan melanggar maksim kuantitas. Dalam tuturan (67) berikut, penutur bermaksud minta maaf dengan menggunakan strategi overstatement. (67) a. There were a million people in the Co-op tonight. b. I tried to call a hundred times, but there was never any answer. Strategi overstatement bisa juga untuk menyampaikan kritik, seperti tuturan (68) berikut.
77
(68) a. You never do the washing up. b. Why are you always smoking? Strategi 6: Tautologi Tautologi adalah pengulangan kata atau kelompok kata yang sesungguhnya tidak diperlukan. Tautologi sebagai sebuah strategi dimaksudkan untuk mendorong petutur mencari interpretasi informatif tentang tuturan yang tidak informatif. Tuturan (69) berikut menggunakan strategi tautologi. (69) a. War is war. b. Boys will be boys. Strategi ini dapat juga digunakan untuk mengungkapkan sebuah kritik, seperti (70) berikut. (70) Your clothes belong where your clothes belong, my clothes belong where my clothes belong. Look upstairs! Strategi 7: Menggunakan Kontradiksi Strategi kontradiksi melanggar maksim kualitas. Dengan membuat statemen tentang dua hal yang kontradiktif, penutur bermaksud tidak mengatakan yang sebenarnya. Dalam hal ini, penutur mendorong petutur mencari interpretasi yang mempertemukan dua proposisi yang kontradiktif. (71) a. Well, John is here and he isn‟t here. b. Saya nggak apa-apa. Kecewa tidak. Nggak kecewa juga tidak. Strategi 8: Menggunakan Ironi Strategi ironi dilakukan dengan mengemukakan ujaran yang artinya berlawanan (opposite) dengan apa yang dimaksudkan penutur. Oleh karena itu, penggunaan strategi ini melanggar maksim kualitas. Strategi ini mengindikasikan bahwa penutur mengemukakan maksudnya secara tidak lagsung. Perhatikan ujaran (72) berikut. (72) a. Lovely neighbourhood (dalam perumahan yang padat dan kotor). b. Rumahmu bersih sekali ya (sangat kotor dan tidak pernah disapu) c. Beautiful weather isn‟t it (kepada tukang pos yang sedang diguyur hujan dan badai. Strategi 9: Menggunakan Metafor Strategi metafora juga merupakan strategi yang melanggar maksim kualitas. Srategi metafor adalah strategi yang direalisasikan dengan penggunaan kata atau
78
ungkapan yang artinya berbeda dengan arti yang sebenarnya untuk menunjukkan persamaan dengan sesuatu yang lain. Dalam tuturan (73) berikut Harry dimetaforakan dengan ikan (fish), sedangkan Hasan dimetaforakan dengan kuda. (73) a. Harry is a real fish (pandai berenang seperti ikan). b. Hasan betul-betul kuda (kuat berlari tanpa kenal lelah). Strategi 10: Menggunakan Pertanyaan Retoris Pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Sebagai sebuah strategi, pertanyaan retoris ini melanggar maksim kualitas karena maksim kualitas mensyaratkan adanya kujujuran atau ketulusan. Pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang tidak tulus. Pertanyaan retoris bisa merupakan ungkapan kritik seperti (74) berikut. (74) a. How many times do I have ti tell you...? (sudah berkali-kali) b. Aku harus ngomong apa lagi? (Sudah aku jelaskan panjang lebar, tetapi kamu masih tidak mengerti) Strategi 11: Menggunakan Ungkapan Ambigu Ungkapan ambigu dapat dicapai melalui metafor seperti (75) berikut. (75) John‟s pretty sharp cookie. Tuturan (75) itu bisa merupakan pujian (compliment), bisa juga merupakan penghinaan (insult) bergantung pada konotasi yang diberikan kepada sharp. Ambiguitas juga dapat dicapai melalui berbagai macam implikatur percakapan seperti (76) berikut. (76) Aku mau beli rambutan, tapi dompetku ketinggalan. Tuturan (76) itu ambigu karena bisa menyiratkan lebih dari satu implikatur. Penutur mungkin bermaksud meminjam uang kepada petutur, tetapi mungkin juga penutur bermaksud menyuruh petutur mengambil dompet yang ketinggalan. Strategi 12: Menggunakan Ungkapan yang Samar-Samar Ungkapan samar-samar dapat disimak pada tuturan (77) berikut. Ungkapan ini bisa merupakan sebuah kritik. (77) a. Perhaps someone did something naughty. b. Looks like someone may have had too much to drink (understatement yang samar).
79
Strategi 13: Membuat Generalisasi yang Berlebihan Dalam strategi ini, penutur membuat generalisasi secara berlebihan. Dalam tuturan (78) berikut, penutur bermaksud melakukan kritik kepada petutur dengan membuat generalisasi yang berlebihan. Dalam (78a) petutur yang sudah dewasa itu mudah menangis, dalam (78b) petutur yang laki-laki itu penakut, dan (78c) petutur sebagai suami kurang bertanggung jawab terhadap keluarganya. (78) a. Orang dewasa tidak boleh mudah menangis. b. Laki-laki seharusnya tidak boleh penakut. c. Di mana-mana yang namanya suami harus bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Strategi 14: Tidak Mengacu ke Petutur secara Langsung Dalam strategi ini, penutur mengarahkan tuturannya tidak secara langsung kepada petutur. Penutur seolah-olah menyampaikan tuturannya itu kepada X, padahal sesungguhnya tuturan itu ditujukan kepada Y. Dalam tuturan (79a) berikut, penutur tidak bermaksud menyuruh Tito, anaknya yang masih kecil, tetapi menyuruh istri penutur untuk membawakan koper. Demikian juga, dalam (79b), penutur tidak bermaksud melakukan kritik kepada teman, tetapi kepada pimpinan yang tidak disiplin. (79) a. Tito, bawakan koper Ayah, ya! b. Teman-teman, seharusnya kita bisa memberi contoh disiplin yang baik terhadap teman yang lain. Strategi 15: Menggunakan Ungkapan yang Tidak Lengkap atau Elipsis. Strategi ini direalisasikan dengan membuat ungkapan yang tidak lengkap atau ada bagian ungkapan yang diilangkan. Ungkapan yang tidak lengkap seperti ini bisa memberikan implikatur yang „tergantung di udara‟ (hanging in the air). Tuturan (80) berikut dibuat tidak lengkap. (80) a. Well, if one leaves one‟s tea on the wobbly table... b. Jika kamu meninggalkan anakmu selama tiga bulan...
(e) Strategi Tidak Melakukan Tindak Tutur Strategi ini merupakan terjemahan dari strategi Don‟t Do the FTA. Gunarwan menyebut strategi ini sebagai strategi bertutur dalam hati. Strategi ini digunakan manakala ancaman terhadap muka petutur sangat tinggi. Untuk menghindari sesuatu
80
yang tidak menyenangkan atas diri petutur dan bahkan bisa menimbulkan disharmoni hubungan antara penutur dan petutur, maka penutur memilih strategi Bertutur dalam Hati. Hal ini berarti bahwa keinginan penutur atas diri petutur tidak dapat dikomunikasikan karena hanya dipendam dalam hati. B. Kesantunan Menurut Scollon dan Scollon Scollon dan Scollon (2001) lebih banyak berbicara mengenai konsep face (muka) dalam masyarakat Asia. Menurut mereka konsep face dalam masyarakat Asia bukan merupakan sesuatu yang baru. Dalam bahasa Mandarin dikenal istilah mianzi, dalam bahasa Kanton dikenal istilah minji, dalam bahasa Jepang dikenal istilah mentsu, dan dalam bahasa Korea dikenal istilah chae myon. Semuanya mengacu pada makna dasar yang sama, yaitu „honor‟. Istilah face ini diperkenalkan oleh seorang antropolog China, Hu in, pada tahun 1944 meskipun dalam bahasa Inggris istilah ini sudah digunakan selama beberapa abad sebelumnya. Seorang Antropolog Amereka Ervin Goffman banyak berbicara mengenai hubungan interpersonal berdasarkan konsep face ini. Menurut Scollon dan Scollon (2001), dalam sosiolinguistik dan sosiologi, konsep face didefinisikan sebagai “ Face is the negotiated public emage, mutually granted each other by participants in a communikative event” (Face atau muka adalah citra publik yang dinegosiasikan yang diakui satu sama lain oleh partisipan dalam peristiwa komunikasi). Pengertian ini agak berbeda dengan pengertian face yang dikemukakan Brown dan Levinson, yakni “the public self-emage that every member wants to claim for himself (citra diri yang diinginkan oleh setiap anggota masyarakat). Menurut Scollon dan Suzanne Wong Scollon (2001), konsep self (diri) yang dikemukakan Brown dan Levinson harus diberi pengertian yang agak berbeda antara masyarakat Barat dan Asia. Konsep self dalam masyarakat Barat bersifat individualistik, bermotivasi pribadi (self-motivated), dan terbuka untuk melakukan negosiasi. Sebaliknya, konsep self dalam masyarakat Asia lebih bersifat kolektivistik, lebih berkenaan dengan keanggotaannya dalam kelompok tertentu seperti keluarga atau kelompok kerja seseorang (one‟s working group). Selanjutnya, Scollon dan Scollon (2001) berpandangan bahwa konsep face itu bersifat paradoksikal. Di satu sisi, kita perlu menunjukkan keterlibatan (involvement) kita kepada petutur. Di sisi lain, kita juga harus menjaga dan menghormati independensi
81
(independence) petutur. Kedua aspek ini, involvement dan independence, menghasilkan situasi paradoksikal dalam komunikasi, tetapi keduanya harus diproyeksikan secara serentak dalam setiap komunikasi. Sisi involvement dari face oleh Scollon dan Susanne Wong Scollon disebut positive face dan kesantunannya dapat disebut kesantunan solidaritas (solidarity politeness). Menurut Scollon dan Scollon (2001), sisi involvement dari face dapat ditunjukkan dengan menggunakan berbagai strategi sebagai berikut. 1. Notice or attend to H (Are you feeling better today?). 2. Exaggerate (interest, approval, sympathy with H (Please be careful on the steps, they are very slippery). 3. Claim-ingroup membership with H (All of us here at City Polytechnic....). 4. Claim common point of view, oponions, attitude, knowledge, empathy (“I know just what you feel. I had a cold like that last week”). 5. Be optimistic (I think we should be able to finish that annual report very quickly”). 6. Indicate S knows H‟s want and is taking them into account (“I‟m sure you will all want to know when this meeting will be over”). 7. Assume or assert reciprocity (I know you wnat to do well in sales this year as much as I want you to do well”). 8. Use given name and nickname (“Bill, can you get that report to me by tomorrow?”) 9. Be voluble 10. Use H‟language or dialect. Aspek independence dari face menekankan individualitas partisipan. Aspek ini menekankan hak partisipan untuk tidak didominasi oleh kelompok atau nilai/norma sosial, dan keinginan untuk bebas dari imposisi orang lain. Aspek independence ini menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bertindak secara otonomi dan sekaligus menghormati hak orang lain yang juga mempunyai otonomi. Kesantunan dari sisi indenpendence ini disebut kesantunan negatif (negative politeness). Aspek independence ini, menurut Scollon dan Scollon, dapat ditunjukkan melalui beberapa strategi berikut. 1. Make minimal assumtions about H‟s wants (“I don‟t know if you will want to send this by air mail or by speedpost”).
82
2. Give H the option not to do the act (“It would be nice to have tea togather, but I‟m sure you are very busy”). 3. Minimize treat (“ I just need to borrow a little peace of paper, any scrap will do”). 4. Apologize (“I‟m sorry to trouble you, could you tell me the time”). 5. Be pessimistic (“I don‟t suppose you would know the time, would you?”). 6. Dissociate S, H from the discourse (“This is to inform our employees that...”). 7. State a general rule (“company regulations require an examination...”). 8. Use family name and title (“Mr. Lee, there is a phone call for you”). 9. Be taciturn 10. Use own language or dialect. Selanjutnya, Scollon dan Scollon berpandangan bahwa terdapat tiga sistem kesantunan, yaitu (1) deference politeness system, (2) solidarity politeness system, dan (3) hierarchical politeness system. Ketiga jenis kesantunan ini ditentukan atas dasar perbedaan fitur pada faktor Power (+P atau –P) dan faktor Social Distance (+D atau – D). Deference politeness system disimbolkan dengan (–P, +D). Solidarity politeness system dilambangkan dengan ( –P, -D). Hierarchical politeness system dicirikan dengan (+P,+/-D). Dalam deference politeness system, penutur memperlakukan petutur secara sejajar atau sederajat dan penutur menggunakan strategi kesantunan independence untuk menghormati satu sama lain. Penutur memperlakukan petutur secara sejajar dan egaliter, tetapi di antara penutur dan petutur terdapat jarak sosial. Dengan demikian, karakteristik deference politeness system adalah (1) symmetrical (-P), yaitu penutur memperlakukan petutur sederajat secara sosial, (2) distance (+D), yaitu penutur menggunakan strategi kesantunan independence. Sistem kesantunan ini oleh Scollon dan Suzanne Wong Scollon diskemakan atau didiagramkan sebagai sebagai berikut. Diagram 4 Deference Politeness System Penutur ........
Independence
Petutur
[+D = Jarak di antara penutur dan petutur]
Dalam solidarity politeness system, penutur dan petutur memiliki hubungan yang akrab seperti teman dekat dan cenderung menggunakan strategi kesantunan
83
involvement. Tidak ada perbedaan power (-P) dan jarak sosial (-D) di antara penutur dan petutur. Dengan demikian, karakteristik solidarity politeness system adalah (1) symmetrical (-P), yaitu penutur dan petutur sederajat secara sosial, (2) close (-D), yaitu penutur cenderung menggunakan strategi kesantunan involvement. Secara skematis, sistem kesantunan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Diagram 5 Solidarity Politeness System Penutur < = involvement = > Penutur [-D = distansi minimal di antara penutur dan petutur] Dalam hierarchical politeness system, partisipan memahami dan menghormati perbedaan sosial yang menempatkan seorang partisipan dalam posisi superordinat dan yang lain dalam posisi subordinat. Karakteristik utama dari sistem ini adalah kesadaran akan perbedaan status, yang dilambangkan dengan +P. Dalam sistem ini perbedaan jarak sosial tidak begitu signifikan. Yang penting adalah +P atau –P. Dalam sistem kesantunan ini, hubungan antara petutur dan petutur bersifat asimetris. Hal ini berarti bahwa penutur dan petutur tidak menggunakan strategi kesantunan yang sama dalam berkomunikasi satu sama lain. Penutur yang dalam posisi superordinat menggunakan strategi involvement ketika berkomunikasi ke bawah, sedangkan penutur yang dalam posisi subordinat menggunakan strategi independence ketika berkomunikasi ke atas. Memanggil petutur dengan nama keluarganya dan dengan titel merupakan bentuk strategi kesantunan independence, sedangkan memanggil petutur dengan nama yang sebenarnya (given name) tanpa titel adalah bentuk kesantunan involvement. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik hierarchical politeness system adalah (1) asymmetrical, yaitu penutur dan petutur dalam posisi sosial yang tidak sederajat, (2) menggunakan strategi kesantunan yang berbeda. Penutur yang superordinat menggunakan strategi involvement, penutur yang subordinat menggunakan strategi independence. Skema berikut dapat memperjelas penggunaan strategi dalam hierarchical politeness system.
84
Diagram 6 Hierarchical Politeness System Penutur (involvement strategies)
Petutur (independence strategies) Selanjutnya, Scollon dan Scollon menjelaskan bahwa menurut survei sosiolinguistik tentang perbedaan sistem komunikasi, faktor Power (hierarchy) dan Social Distance bisa muncul karena berbagai alasan. Dalam masyarakat tertentu, perbedaan power (+P) bisa disebabkan oleh perbedaan usia, gender, kekayaan, keahlian, pendidikan, kemampuan entertain, kekuatan dan keindahan fisik, anggota dalam keluarga tertentu, warna kulit atau rambut. Soal Distance (+D) tampaknya juga disebabkan oleh faktor yang kurang lebih sama. Di antara anggota keluarga mungkin memiliki hubungan yang dekat (-D), sementara dengan keluarga lain mungkin memiliki hubungan yang jauh (+D). Anggota keluarga yang memiliki kesamaan gender mungkin memiliki hubungan yang lebih dekat (-D), sementara perbedaan gender menyebabkan hubungan agak jauh (+D). 2.2.5.1.2 Model Maksim Percakapan Teori kesantunan dengan model maksim percakapan dikembangkan oleh Lakoff (1973), Leech (1993), dan Leech (2014). Teori kesantunan ini dikembangkan atas dasar prinsip kerja sama Grice (1967, diterbitkan 1975). Sebagaimana dijelaskan di atas, prinsip kerja sama Grice dijabarkan menjadi empat maksim. Maksim-maksim ini menjelaskan bahwa dalam setiap praktik berkomunikasi, penutur hendaknya selalu berkata benar (maksim kualitas) , memberikan informasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan (maksim kuantitas) , relevan (maksim relevansi), dan jelas (maksim cara). Jika salah satu maksim ini dilanggar, maka penutur dikatakan menyampaikan maksudnya secara tersembunyi. Oleh karena itu, diharapkan petutur dapat
85
menyimpulkan sendiri maksud yang disampaikan secara tersembunyi tersebut. Menurut pandangan teori kesantunan model maksim percakapan ini, kesantunan itu timbul karena adanya pelanggaran terhadap maksim-maksim percakapan Grice tersebut. Sebagaimana dijelaskan di atas, ahli pragmatik yang mengemukakan teori kesantunan dengan model maksim percakapan ini adalah Lakoff (1973, 1990) dan Leech (1993). A. Kesantunan menurut Lakoff Lakoff (1973) adalah orang pertama yang mengadopsi Prinsip Kerja Sama Grice dalam upaya menjelaskan teori kesantunan. Dia mengusulkan apa yang disebut kaidah pragmatik (pragmatic rules) yang dikatakan paling sering berkompetisi dengan maksim kejelasan (maxim of clarity) Grice. Pertama-tama dia membuat perbedaan antara kejelasan (clarity) (sesuai dengan Prinsip Percakapan Grice) dengan kesantunan (politeness) dengan memformulasikan kaidah kompetensi pragmatik sebagai berikut. 1. Be clear. 2. Be politeness. (lakoff, 1973: 296) Menurut Lakoff (1973: 305), kaidah pragmatik tersebut merupakan bagian dari kaidah linguistik sebagaimana kaidah sintaksis dan kaidah semantik. Kaidah pragmatik diperlukan untuk memahami apakah sebuah ujaran itu terbentuk secara apik (wellformed) atau tidak (lakoff, 1973: 296). Kesantunan, menurut Lakoff, harus dipahami sebagai upaya untuk menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengganti ungkapan yang jelas dengan ungkapan yang kurang jelas. Selanjutnya, Lakoff (1973: 298) memformulasikan kaidah kesantunan sebagai berikut. 1. Don‟t impose 2. Give options 3. Make (the addressee) feel good be friendly Menurut Lakoff, kaidah kesantunan 1 biasanya diaplikasikan dalam situasi yang formal dan impersonal sehingga kesantunan 1 dapat disebut formal/impersonal politeness. Kesantunan formal/impersonal menyarankan agar dalam melakukan tindak tutur janganlah memaksa (Don‟t impose). Untuk menciptakan suasana yang santun, penutur dan petutur harus senantiasa menjaga keformalan berkomunikasi, yaitu dengan menjaga jarak (distance) secara wajar.
86
Kaidah kesantunan 2 biasanya diaplikasikan dalam situasi yang informal sehingga kesantunan 2 dapat disebut informal politeness. Kesantunan informal menyarankan agar dalam melakukan tindak tutur, penutur memberikan pilihan dengan bebas kepada petutur (Give options). Untuk menciptakan suasana yang santun, penutur dan petutur harus saling menunjukkan rasa hormati (deference). Kaidah kesantunan 3 biasanya digunakan dalam situasi yang akrab sehingga kesantunan 3 dapat disebut intimate politeness. Kesantunan akrab ini menyarankan bahwa untuk menciptakan suasana yang santun, penutur harus menunjukkan rasa simpati kepada petutur. Penutur harus menganggap petutur sebagai sesama yang memiliiki derajat dan martabat yang sama. Penutur hendaknya juga berusaha membuat petutur merasa senang, ramah, dan bersahabat (camaraderie). Menurut Lakoff (1973: 304), meskipun kaidah kesantunan sebagaimana dijelaskan di atas itu bersifat universal, namun secara lintas kultural terdapat variasi tekanan tentang bagaimana ketiga kaidah itu diaplikasikan. Variasi tekanan itu pada gilirannya akan menentukan bagaimana kesantunan itu dipandang secara lintas kultural. Pada karya yang berikutnya, Lakoff (1990) menyatakan bahwa dalam budaya Eropa kesantunan cenderung dipahami sebagai distance (kaidah kesantunan 1), dalam budaya Asia kesantunan cenderung dipahami sebagai deferential (kaidah kesantunan 2), dan dalam budaya Amerika modern kesantunan cenderung dipahami sebagai camaraderie (kaidah kesantunan 3). B. Kesantunan menurut Leech Seperti halnya Lakoff, Leech (1993) juga mengadopsi dan mengembangkan prinsip percakapan Grice untuk menjelaskan teori kesantunan. Leech mencoba menjelaskan mengapa orang sering menyampaikan maksudnya secara tidak langsung dalam berkomunikasi. Jawabannya adalah untuk mendapatkan efek kesantunan. Menurut Leech, ketidaklangsungan adalah kunci fenomena pragmatik untuk memperoleh kesantunan dan hal ini menjadi salah satu alasan mengapa orang tidak mematuhi Prinsip Kerja Sama Grice dalam praktik berkomunikasi. Leech (1993) berpandangan bahwa di dalam praktik berkomunikasi, selain dibutuhkan Prinsip Kerja sama, juga diperlukan Prinsip Kesantunan. Kedua macam prinsip ini memiliki kedudukan yang sejajar dan dalam praktik berkomunikasi kedua prinsip tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Prinsip Kerja Sama digunakan untuk
87
menjelaskan bagaimana sebuah ujaran itu ditafsirkan sebagai ujaran tidak langsung, sedangkan Prinsip Kesantunan digunakan untuk menjelaskan mengapa ujaran tidak langsung itu digunakan. Menurut Leech (1993), kesantunan itu sesungguhnya memiliki derajat dan skala yang tidak sama. Oleh karena itu, Leech mengusulkan apa yang disebutnya sebagai skala pragmatik. Skala pragmatik ini terdiri atas tiga macam skala, yaitu (a) skala untung-rugi, (b) skala ketidaklangsungan, dan (c) skala keopsionalan. Ketiga skala ini dapat digunakan untuk mengukur atau menghitung derajat kesantunan sebuah tindak tutur. Skala untung rugi digunakan untuk menghitung kerugian dan keuntungan dari suatu tindakan dalam kaitannya dengan penutur dan petutur. Itulah sebabnya mengapa tuturan seperti ”Nimatilah hidangannya!” kedengaran lebih santun daripada ujaran ”Sapulah lantainya!” meskipun sama-sama menggunakan strategi langsung. Skala ketidaklangsungan dipakai untuk mengukur ketidaklangsungan tindak tutur: seberapa panjang jarak yang ditempuh oleh daya ilokusi sampai pada tujuan ilokusi. Selanjutnya, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung seberapa banyak penutur memberikan opsi kepada petutur dalam melaksanakan suatu tindakan. Sebagaimana Prinsip Kerja Sama, Prinsip Kesantunan, menurut Leech, juga dapat dijabarkan menjadi sejumlah maksim, yaitu (a) maksim timbang rasa (kearifan), (b) maksim kemurah-hatian, (c) pujian, (d) kerendah-hatian, (e) kesetujuan, dan (f) kesimpatian. Tiap-tiap maksim tersebut oleh Leech dijabarkan lagi menjadi beberapa submaksim. Selengkapnya, maksim-maksim Prinsip Kesantunan Leech beserta berbagai submaksimnya dapat dipaparkan sebagai berikut. 1. Maksim ketimbangrasaan (Kearifan) (tact maxim) a)
Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
b)
Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
2. Maksim kemurah-hatian (generosity maxim) a)
Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.
b)
Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
3. Maksim pujian (approbation maxim) a)
Kecamlah orang lain sesedikit mungkin.
b)
Pujilah (praise) orang lain sebanyak mungkin.
88
4. Maksim kerendah-hatian (modesty maxim) a)
Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
b)
Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) a)
Minimalkan ketidaksepakatan antara din sendiri dan orang lain.
b)
Maksimalkan kesepakatan antara din sendiri dan orang lain.
6. Maksim kesimpatian (sympahty maxim) a)
Minimalkan antipati antara diri sendiri dan orang lain.
b)
Maksimalkan simpati antara diri sendiri dan orang lain.
Sebagaimana dapat diamati bahwa maksim 1 dan 2 di atas melibatkan skala berkutub dua (berpasangan), maksim 3 dan 4 juga melibatkan skala berkutub dua, sedangkan maksim 5 dan 6 masing-masing hanya melibatkan satu kutub. Maksim 1 dan 2 melibatkan skala untung-rugi, maksim 3 dan 4 melibatkan skala pujian-kecaman, maksim 5 dan 6 berturut-turut melibatkan skala kesepakatan dan skala kesimpatian. Dalam bukunya yang paling mutakhir, Leech (2014) menambahkan beberapa perbedaan konsep penting tentang kesantunan, yaitu (a) bivalent politeness vs trivalent politeness, (b) neg-politeness vs pos-politeness, (c) pragmalinguistic politeness vs sociopragmatic politeness.
(a) Bivalent Politeness vs Trivalent Politeness Bivalent politeness (kesantunan bivalent) adalah kesantunan di mana bentukbentuk honorifik diseleksi atau ditentukan berdasarkan dua demensi sosiopragmatik, yaitu (a) vertical social distance (power) dan (b) horizontal social distance (distance/solidarity). Misalnya, untuk menggunakan bentuk honorific seperti Sir atau Dr. Smith kepada seorang petutur, penutur hanya perlu mempertimbangkan kedua demensi tersebut, yaitu vertical social distance (power) dan horizontal social distance (distance/solidarity). Kesantunan bivalen ini pada umumnya terdapat pada bahasabahasa yang memiliki sistem honorific seperti Jepang dan Korea yang memungkinkan penutur menunjukkan rasa hormat atau deference kepada petutur atau pihak ketiga. Sebaliknya, trivalent politeness (disebut juga transactional politeness) adalah kesantunan yang ditentukan berdasarkan tiga demensi sociopragmatic, yaitu (a) vertical social distance (power) dan (b) horizontal social distance (distance/solidarity), dan (c)
89
weightiness of the transaction. Demensi weightiness of the transaction mengacu pada the cost-benefit scale. Jadi, demensi ini merepresentasikan derajat untung-rugi dari apa yang ditransaksikan pada setiap ujaran. Sebagaimana Brown dan Levinson (1987) yang menggunakan Power (P), Distance (D), dan Rank of imposition (R) untuk mengukur derajat kesantunan dari sebuah ujaran, Leech juga menggunakan ketiga skala (demensi) tersebut untuk mengukur derajat kesantunan sebuah ujaran. Selanjutnya, Leech menjelaskan bahwa perbedaan antara kesantunan bivalen (penggunaan honorifik) dengan kesantunan trivalen ada dua hal. Pertama, keantunan trivalen cenderung hanya terjadi pada tindak-tindak tutur yang melibatkan tansaksi nilai (value transaction), sedangkan kesantunan bivalen cenderung terjadi pada semua tindak tutur, termasuk pada tindak tutur-tindak tutur yang bersifat netral seperti laporan mengenai cuaca. Kedua, kesantunan trivalen cenderung berorientasi pada tujuan (goaloriented), sedangkan kesantunan bivalen tidak berorientasi pada tujuan, tetapi lebih bergantung pada konvensi dan dikendalai oleh faktor-faktor social yang konstan. Walaupun kesantunan traivalen dan bivalen berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan sebab penggunaan honorific merupakan salah satu sumber pragmalinguistik dalam bahasa Korea, Jepang, dan bahasa-bahasa lainnya untuk mengekspresikan kesantunan trivalent atau transaksional. Kesantunan bivalen juga tidak bisa bebas dari kesantunan trivalent. Hal ini dapat dilihat pada tindak tutur approbation (persetujuan) dan modesty (kesopanan). Dalam kedua jenis tindak tutur tersebut terjadi sebuah transaksi nilai di mana petutur diberi nilai yang lebih tinggi daripada penutur sendiri.
(b) Pos-Politeness vs Neg-Politeness Brown dan Levinson (1987) membedakan istilah positive politeness dan negative politeness. Leech tidak menggunakan istilah seperti yang dikemukakan Brown dan Levinson tersebut, tetapi menggunakan istilah pos-politeness dan neg-politeness dengan pengertian yang agak berbeda dengan yang dikemukakan Brown dan Levinson. Menurut Leech, Neg-politeness berfungsi untuk memitigasi atau mengurangi serangan (offence). Kesantunan request, misalnya, merupakan kesantunan dalam pengertian negative karena dimaksudkan untuk mengurangi serangan. Neg-politenees ini secara khusus melibatkan indirectness, hedging, dan understatement.
90
Pos-politeness adalah kesantunan yang dilakukan dengan cara memberikan nilai positif (positive value) terhadap petutur (addressee). Berbagai tindak tutur seperti offer, invitation, compliment, dan congratulations merupakan contoh-contoh pos-politeness. Tindak tutur mengucapkan terima kasih dan apologi juga termasuk pos-politeness karena A dianggap mempunyai hutang sesuatu terhadap B. Menurut Leech, neg-politeness pada umumnya lebih penting daripada pospoliteness sebab kegagalan untuk menunjukkan neg-politeness bisa menyebabkan orang lain mengeluh atau bahkan tersinggung dan bisa mengarah pada disharmoni social. Sebaliknya, kegagalan untuk menunjukkan pos-politeness, misalnya gagal memberikan ucapan selamat kepada petutur, tidak menimbukan konsekuensi yang mengganggu. Cara yang paling mudah untuk membedakan antara neg-politeness dan pospoliteness adalah sebagai berikut. Dalam hal neg-politeness, untuk meningkatkan derajat kesantunan, kita mengurangi atau memperlunak ekspresi nilai negatif dalam transaksi. Dalam ungkapan direktif berikut, semakin ke kanan semakin berkurang atau semakin lunak ekspresi nilai negatifnya. Lend me your pen Could you lend me your pen? would be kind enough as to lend me your pen
I wonder whether you
Sebaliknya, dalam hal pos-politeness, kita justru meningkatkan atau memperkuat ekspresi nilai positif. Nilai positif pada ungkapan rasa terima kasih berikut, semakin ke kanan semakin meningkat atau semakin kuat. Thanks Thanks a lot Thank you very much much indeed, dan sebagainya.
Thank you very
(c) Pragmalinguistik Politeness vs Sosiopragmatic politeness Dalam Leech (1993) dijelaskan adanya dua jenis kesantunan, yaitu absolute politeness dan relative politeness. Kedua istilah tersebut dalam Leech (2014) ternyata tidak digunakan lagi dan diganti oleh Leech dengan istilah pragmalinguistic politeness dan sosiopragmatic politeness. Yang dimaksud pragmalinguistic politeness (kesantunan pragmalinguistik) adalah kesantunan yang dinilai berdasarkan makna ujaran di luar konteks. Misalnya di dalam bahasa Inggris (dalam kasus pos-politeness) dikenal ungkapan Thanks untuk mengungkapkan gratitude. Ungkapan Thanks ini ternyata memiliki derajat kesantunan yang berbeda dengan ungkapan Thanks a lot dan berbeda juga derajat kesantunannya apabila dibandingkan dengan ungkapan Thank you very
91
much, dan seterusnya. Bila disimak dengan baik, derajat kesantunan yang berbeda-beda tersebut ternyata hanya ditentukan oleh faktor semantik di luar konteks. Mengapa Thanks a lot terasa lebih santun daripada Thanks karena secara semantic ada intensifier a lot. Mengapa Thank you very much terasa lebih santun daripada Thanks a lot karena secara semantic ada intensifier yang berupa very much. Demikian juga halnya (dalam kasus neg-politeness) mengapa ungkapan seperti I wonder if I could just borrow your pen for a moment dipandang lebih santun daripada ungkapan Could I borrow your pen? Dan mengapa ungkapan Could I borrow your pen? dipandang lebih santun daripada ungkapan Lend me your pen, hal ini semata-mata juga karena ditentukan oleh faktor semantik dan bebas konteks. Kesantunan pragmalinguistik, menurut Leech (2014), skalanya satu arah (unidirectional scale), semakin kekanan semakin santun. Hal ini digambarkan Leech pada diagram seperti berikut. Diagram 7 Skala Unipolar Kesantunan Pragmalinguistik NON-POLITE O
MORE POLITE
EVEN MORE POLITE
Pada diagram 7 di atas, tanda O menunjukkan nonpoliteness. Dalam hal ucapan terima kasih (thanking), O terjadi manakala ucapan terima kasih itu tidak terjadi. Sementara itu, skala kesantunan pada ujung kanan tidak terbatas (sebagaimana konsep maximum politeness). Akan tetapi, kesantunan pragmalinguistik satu ujaran dengan ujaran lainnya selalu dapat dibanding-bandingkan secara konsisten. Selanjutnya, sociopragmatic politeness (relative politeness) adalah kesantunan yang dinilai di dalam konteks. Misalnya A meminjam sesuatu kepada B dengan nilai yang kecil, katakanlah meminjam pen untuk tanda tangan. Bandingkan dengan A meminjam sesuatu kepada B dengan nilai yang cukup besar, katakanlah meminjam vila untuk liburan keluarga selama satu bulan. Untuk kasus yang pertama, A mungkin dianggap sudah cukup santun bila hanya mengucapkan Thanks kepada B. Tetapi, untuk kasus yang kedua, A mungkin dianggap tidak cukup santun bila hanya mengucapkan Thanks. Sebaliknya, untuk kasus yang pertama, A mungkin dianggap terlalu santun (overpoliteness) bila mengucapkan Thank you very much indeed, tetapi dianggap santun untuk kasus yang kedua. Berdasarkan contoh ini jelaslah bahwa kesantunan sosiopragmatik tidak saja bergantung pada kata-kata dan artinya, tetapi juga bergantung
92
pada konteksnya. Kesantunan sosiopragmatik adalah kesantunan relatif terhadap situasi dan
dapat
dievaluasi
berdasarkan
skala
bipolar.
Skala
bipolar
kesantunan
sosiopragmatik ini digambarkan oleh Leech (2014) seperti tampak dalam diagram berikut.
POLITE
Diagram 8 Skala Bipolar Kesantunan Sosiopragmatik IMPOLITE O
Dalam diagram 8 di atas terlihat semakin menuju ke kutup negatif (negative pole) semakin rendah derajat kesantunannya. Sebaliknya, semakin menuju ke kutup positif (positive pole), semakin tinggi derajat kesantunannya. 2.2.5.1.3 Model Kontrak Percakapan Fraser dan Nolen (1981) mengkaji aspek kesantunan dalam pragmatik dari sudut pandang kontrak percakapan (conversational contract), yaitu kontrak yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan. Kontrak percakapan ini berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terkait. Kontrak percakapan itu didahului dengan negosiasi, yaitu negosiasi apa yang menjadi hak dan kewajiban penutur dan petutur. Bagi partisipan komunikasi yang belum saling kenal, negosiasi itu terjadi selama proses percakapan itu berlangsung. Bagi partisipan komunikasi yang sudah saling kenal, negosiasi itu sudah lama dilakukan, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya negosiasi ulang, khususnya bila terjadi perubahan peran. Hak dan kewajiban partisipan komunikasi, menurut Fraser, didasarkan pada beberapa dimensi, yaitu (1) konvensional, (2) institusional, (3) situasional. Dimensi konvensional adalah hal yang umum dan ada dalam semua bentuk interaksi. Demensi konvensional ini menurut Fraser jarang sekali dinegosiasikan, misalnya aturan giliran bicara, aturan tentang keras/lembutnya suara, penggunaan bahasa yang bisa saling dimengerti, dan berbicara secara serius. Dimensi institusional mencakupi hak dan kewajiban yang diatur oleh institusi sosial. Hak dan kewajiban dalam demensi institusi sosial ini jarang sekali mengalami negosiasi ulang, misalnya ketika khotbah di gereja berlangsung, diharapkan orang hanya berbicara secara bisik-bisik, sorang saksi di pengadilan diharapkan berbicara hanya kalau ditanya, setiap orang diharapkan menyapa U.S. Chief Executive sebagai ‟Mr. Presiden‟. Dimensi situasional mencakupi faktor-
93
faktor yang terkait dengan peran, status, dan kekuasaan relatif dari penutur dan petutur. Demensi ini sering mengalami negosiasi ulang terutama jika terjadi perubahan peran di antara pertisipan komunikasi. Menurut demensi ini, seorang anak tidak mempunyai hak untuk memerintahkan orang tuanya melakukan sesuatu. Seorang karyawan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan kritik kepada pimpinannya. Dua orang yang bersahabat tidak dapat melakukan perintah satu sama lain. 2.2.5.1.4 Model Norma Sosial Teori kesantunan model norma sosial berpandangan bahwa setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma sosial tertentu yang mengatur bagaimana seharusnya berperilaku dalam suatu konteks tertentu. Norma sosial ini berbeda-beda dalam suatu konteks budaya yang berbeda-beda. Sebuah perilaku dikatakan santun manakala kongruen dengan norma sosial. Sebaliknya, sebuah perilaku dikatakan tidak santun atau kasar apabila tidak kongruen dengan norma sosial. Kesantunan model norma sosial ini sering dikaitkan dengan perilaku yang baik (good manner) dan etika (ettiquette). Makna muka dalam model norma sosial ini tidak lagi diartikan sebagai one‟s plublic self-image sebagaimana yang dikemukakan Brown dan Levinson. Ancaman terhadap muka juga tidak dikaitkan dengan keinginan individu. Sebaliknya, makna muka dalam model norma sosial dikaitkan dengan harapan atau keinginan sosial dan muka penutur terancam manakala penutur gagal memenuhi keinginan masyarakat. Pendekatan norma sosial ini secara empiris didasarkan pada sejumlah kajian tentang kesantunan oriental (oriental politeness), di antaranya adalah Ide (1989), dan Gu (1990). Di dalam negeri, dikenal Poedjosoedarmo (1978), Gunarwan (2003), dan Pranowo (2009). A. Kesantunan menurut Gu dan Ide Teori kesantunan Gu didasarkan pada nilai-nilai kesantunan dalam masyarakat Cina. Dengan mengacu pada kesantunan model Leech, Gu mengusulkan model kesantunannya yang mengindikasikan bagaimana orang seharusnya berperilaku sesuai dengan nilai dan norma sosio-kultural yang berlaku dalam masyarakat Cina. Dia mengusulkan empat maksim yang harus dipahami, yaitu (a) maksim denigrasi diri (selfdenigration), (b) maksim sapaan (address), (c) maksim kearifan (tact), dan (d) maksim kemurah-hatian (generosity). Maksim denigrasi diri mengajarkan agar kita senantiasa bersikap rendah hati dan suka memuji atau menyanjung orang lain. Maksim sapaan
94
menggariskan agar kita menyapa petutur dengan sapaan yang sesuai dengan peran, status sosial, dan hubungan antara penutur dan petutur. Maksim kearifan dan maksim kemurah-hatian mirip dengan maksim yang dikemukakan oleh Leech, yakni berkenaan dengan submaksim untung-rugi. Sementara itu, teori kesantunan Ide (1989) didasarkan pada konsep kesantunan dalam masyarkat Jepang. Sebagaimana diulas oleh Jumanto (2005) bahwa dalam masyarakat Jepang penggunaan bentuk-bentuk honorifik sangat penting. Tidak ada ujaran-ujaran dalam bahasa Jepang yang bersifat netral secara sosial. Penutur harus selalu menggunakan ujaran yang honorifik atau nonhononifik, sehingga dapat memberikan informasi tentang hubungan penutur-petutur, bahkan dalam pernyataan faktual yang paling tidak menyenangkan (banal) sekalipun. Ide (1989) menyatakan „penggunaan bentuk verba hononifik merupakan padanan sosio-pragmatis dari kesesuaian (concord) gramatikal, sehingga dapat diberi istilah kesesuaian sosiopragmatis‟ (Ide dalam Eelen, 2001: 11). Penggunaan bentuk honorifik bersifat mutlak, tidak tergantung pada kemauan bebas penutur dan menunjukkan ciri-ciri sosiostruktural dari penutur dan petutur. Penggunaan mutlak bentuk honorifik ini didukung oleh pandangan atas kesantunan yang ditentukan oleh konvensi sosial yang dalam istilah Jepang disebut wakimae. Ide (1989) menyatakan „berperilaku menurut wakimae adalah untuk menunjukkan secara verbal sikap seseorang terhadap tempat atau peranan dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial‟ (Ide dalam Eelen, 2001: 11). Terdapat empat konvensi sosial yang harus dipatuhi: (1) „bersikaplah santun kepada orang dengan kedudukan sosial yang lebih tinggi, (2) „bersikaplah santun kepada orang yang memiliki kuasa (power)‟, (3) „bersikaplah santun kepada orang yang lebih tua‟, dan (4) bersikaplah santun dalam situasi formal yang ditentukan oleh faktor-faktor partisipan, acara (occasions), atau topik‟. Dalam bahasa Jepang (dan juga dalam bahasa lain dengan sistem honorifik yang kuat) aturan kesantunan terkait erat dengan aturan gramatikal. Aturan kesantunan adalah bagian dan kaidah bahasa, dan bergantung kepada ciri-ciri sosio-kultural penutur dan petutur dan juga kepada ciri-ciri situasi, yang harus tercermin dalam bahasa penutur. B. Kesantunan menurut Gunarwan Teori kesantunan Gunarwan (2003) didasarkan pada konsep budaya Jawa. Dalam menyusun teorinya itu, Gunarwan mendapatkan inspirasi dari Magnis-Suseno
95
(1988) tentang prinsip yang menentukan pola pergaulan masyarakat Jawa, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan dalam masyarakat Jawa mengajarkan agar setiap anggota masyarakat senantiasa menjaga keseimbangan sosial. Prinsip hurmat mengajarkan agar setiap anggota masyarakat senantiasa menunjukkan rasa hormat kepada orang lain sesuai dengan status dan kedudukan masing-masing di dalam masyarakat. Akan tetapi, menurut Gunarwan, yang paling utama adalah prinsip kerukunan, sedangkan prinsip hormat hanya merupakan bagian dari prinsip kerukunan. Untuk bisa hidup rukun, salah satu di antaranya adalah orang harus bisa menunjukkan rasa hormat kepada orang lain. Gunarwan menjabarkan prinsip kerukunan dalam masyarakat Jawa menjadi beberapa maksim (bidal menurut istilah Gunarwan), yaitu (1) bidal kurmat (hormat), (2) andhap asor (rendah hati), (3) empan-papan (sadar akan tempat), dan (4) tepa slira (tenggang rasa). Bidal kurmat itu berisi nasihat agar orang selalu menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, sesuai dengan kedudukan masing-masing menurut tangga sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Di dalam penggunaan bahasa (bahasa Jawa), bunyi bidal ini kira-kira adalah : pakailah bahsa sedemikian rupa sehingga si petutur (the addressee) tahu bahwa anda menghormatinya sesuai dengan kedudukannya. Subbidalnya adalah : (1) janganlah menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa tidak ditempatkan sebagaimana layaknya dan (2) pilihlah tingkat tutut (speech level) (dan pakailah honorifik jika perlu) sesuai dengan kedudukan si petutur serta jarak sosial di antara anda dan petutur. Bidal yang kedua, andhap- asor, berasal dar kata andhap (rendah) dan asor (berada di bawah). Secara harafiah, frasa ini bermakna sangat rendah dan bidal ini berisi nasihat agar orang selalu berperilaku (sangat) rendah hati, tidak congkrak, tidak tinggi hati, dan sebagainya. Di dalam perilaku bahasa, bunyi bidal ini ialah : pakailah bahsa (dalam arti pilihlah kata-kata) sedemikian rupa sehingga si petutur tahu bahwa anda rendah tai atau tidak congkak. Petutur yang tahu bahwa penutur rendah hati akan merasa bahwa ia sedang dipuji; makin rendah hati si penutur, makin tinggilah pujiannya Subbidalnya adalah : (1) pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa bahwa ia diipuji (secara maksimal) dan (2) janganlah pakai honorifik untuk mengacu ke diri sendiri.
96
Bidal yang ketiga, empan papan, berasal dari kata papan itu sendiri, yang bermakna “tempat atau posisi”. Bidal ini berisi nasihat agar kita pandai-pandai membahwa diri atau agar kita selalu menyadari tempat atau kedudukan kita di dalam konstelasi masyarakat yang kita adalah anggotanya. Menurut pandangan Jawa tradisional, tempat seseorang di dalam semesta ini sudah ditentukan dari “sana “. Selama ia menempati kedudukan yang sudah ditetapkan itu. Keseimbangan akan terjada. Jika orang berpindah kedudukan, ada kemungkinan ia akan bertabrakan dengan orang lain, dan kalau ini terjadi keseimbangan dapat terusik. Dalam skala yang lebih kecil, bidal ketiga itu dapat ditafsirkan sebagai bermakna sadarilah di mana anda sedang berada. Suatu bentuk perilaku mungkin patutpatut saja di dalam suatu ujaran mungkin baik dan beterima di dalam suatu peristiwa tutur, di dalam peristiwa tutur yang lain, ia mungkin tidak patut, dan bahkan kurang sopan, diujarkan. Jadi di dalam penggunaan bahsa, bidal ini berisi nsihat agar seseorang menggunakan bahasa sesuai dengan hal-hal yang ada di dalam peristiwa tutur (siapa peerta tutur, di mana peristiwa tutur terjadi, apa topiknya, dsb). Subbidalnya adalah : (1) pilihlah tingkat tutur sesuai dengan status sosial anda serta status sosial peserta tutur yang lain, dan (2) susunlah ujaran Anda dan pilihlah kata-kata dengan menimbangkan komponen-komponen peristiwa tutur. Bidal keempat, yakni tepa slira, berasal dari kata tepa, yang bervarian dengan tepak (kena) dan kata slira (tubuh). Dapat juga tepa diartikan sebagai ukuran, sehingga tepa slira dapat diartikan sebagai: ukurlah tubuh sendiri. Parafrasanya kira-kira berbunyi: jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang anda tidak mau orang lain melakukan kepada anda. Di dalam hal penggunaan bahasa, kira-kira bunyinya adalah jangan gunakan bahasa yang tidak patut kepada orang lain sebagaimana anda tidak mau orang lain menggunakan bahsa yang tidak patut kepada Anda dan (2) hindari penggunaan bahsa yang tidak patut. C. Kesantunan menurut Poedjosoedarmo Teori kesantunan yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1978) lebih didasarkan pada kesantunan dalam menggunakan bahasa Indonesia. secara ringkas teori kesantunan Poedjosoedarmo dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kendalikan emosi Anda dan jangan sampai Anda lepas kontrol pada saat berbahasa Indonesia. Penutur yang dapat mengendalikan emosinya akan berbicara dengan tenang, penggunaan kata-katanya
97
sangat selektif, runtut, jelas dan tuturnya enak diterima. Perilaku tutur yang demikian menimbulkan citra positif pada penuturnya, yaitu bahwa penuturnya dalah orang yang santun dalam berbahasa Indonesia. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya akan berbicara meledak-ledak, pemakaian kata-katanya tidak selektif, aksar, menyakitkan, cengeng, dan meremehkan. Perilaku tutur yang demikian akan menimbulkan citra negatif penuturnya, yaitu bahwa penututurnya adalah orang yang tidak santun dalam berbahasa Indonesia. Dengan demikian, keadaan emosi penutur sangat menentukan kesantunan dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menentukan gaya berbicara, tingkat tutur, dan penggunaan kata-katanya. Kedua, tunjukkan sikap bersahabat dengan menampakkan kesiapsediaannya untuk berkomunikasi dengan mitra tutur. Di Indonesia seperti juga pada komunitas tutur yang lain, persahabatan atau kekeluargaan adalah sesuatu yang bagus. Salah satunya adalah persahabatan dalam berkomunikasi. Dalam situasi yang demikian, penutur bersedia mendengarkan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan kepadanya oleh orang lain dan juga siap menyampaikan apa yang memang perlu disampaikan kepada oang lain. Setiap partisipan harus selalu senang berinisiatif berkontrak dan merespon tuturan. Ketiga, pilihlah satuan bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat untuk hubungan antara penutur dengan mitra tutur, dan cocok dengan peristiwa dan situasi tutur. Berbahasa dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur sungguh-sungguh bisa dipahami oleh mitra tutur. Selain itu, kode bahasa yang dipilih harus disesuaikan dengan hubungan antara penutur dengan mitra tutur, yaitu (i) tuturnya lengkap, (ii) tuturannya logis, (iii) sungguh-sungguh verbal dengan meminimalkan interjeksi, alih kode, pembalikan urutan kata, dan sebagainya, (iv) menggunakan ragam bahasa baku. Ditambah lagi, kode bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan situasi tutur, yaitu situasi formal atau situasi informal. Keempat, pilihlah topik yang disukai oleh mitra tutur dan yang cocok dengan situasi. Kesantunan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan. Tunturan dengan topik yang menyenangkan mitra mitra tutur adalah tuturan yang santun. Selain itu, hindari pula hal-hal yang tidak menyenangkan mitra tutur lainnya seperti mengkritik mitra tutur. Pada masyarakat Indonesia, kritik atau sejenis ketidaksetujuan lainnya dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang pada mitra tutur. Tuturan yang tidak
98
menyenangkan mitra tutur ini merupakan tuturan yang tidak santun dari sudut pandang mitra tutur. Kelima, ungkapkan tujuan atau arah pembicaraan dengan jelas. Biasanya penutur berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki tujuan tertentu. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Lebih –lebih bila tujuan tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur. Keenam, ucapkan kalimat-kalimatnya dengan enak. Penutur hedaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan ucapkanlah dengan enak sehingga dterima oleh mitra tutur dengan enak pula. Hidarilah gaya pengungkapkan yang menggurui, lebihlebih kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi. Usahakan berbicara jangan terlalu keras, tetapi juga jangan terlalu lembut. Janganlah berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat. Ketujuh, perhatikanlah norma tidak tutur yang lain, seperti urutan tindak tutur dan gestur yang menyertai tindak tutur. Mengenai urutan tindak tutur, lazimnya orang yang status sosialnya lebih tinggi dan untuk merespon tuturnya harus menanti hingga tindak tutur penutur selesai. Menyela pembicaraan dianggap tidak sopan. Jika ingin menyela, katakan maaf. Mengenai gestur, pada saat berbicara tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra bicara. Tunjukkan sikap badan dan tangan yang santun pada saat berbicara. D. Kesantunan menurut Pranowo Teori kesantunan yang dikemukakan Pranowo (2009) lebih banyak didasarkan pada kebudayaan Jawa. Dalam banyak hal teori kesantunan Pranowo mirip sekali dengan teori kesantunan Gunarwan. Teori kesantunan Pranowo secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Penutur mampu mengenali komponen tutur 2) Penutur mampu mengembangkan sikap rendah hati 3) Penutur bersedia belajar mengalah tanpa harus kalah 4) Penutur mampu menjaga martabat mitra tutur (menghindari berbicara hal yang kurang baik mengenai mitra tutur, menghindari ungkapan rasa senang atas kemalangan mitra tutur) 5) Penutur mampu menggunakan kata-kata santun
99
6) Jika ingin menyatakan ketidaksetujuan, penutur mampu menyampaikan secara halus 7) Penutur mampu menghindari pujian untuk diri sendiri 8) Penutur mampu memahami yang dimaksudkan di balik yang dikatakan 9) Penutur bersikap bijaksana dalam bertutur maupun berperilaku 10) Penutur bersikap dermawan dalam bertutur maupun berperilaku 11) Penutur suka memberikan persetujuan kepada mitra tutur 12) Penutur suka mengungkapkan rasa simpati atas sesuatu yang dialami oleh mitra tutur 13) Penutur suka mengungkapkan rasa simpati atas sesuatu yang dialami oleh mitra tutur 14) Penutur suka mengungkapkan rasa senang kepada mitra tutur 15) Penutur mampu membaca suasana perasaan mitra tutur (menjaga perasaan, mempertemukan perasaan dengan mitra tutur) 16) Penutur mampu menempatkan diri (empan papan) dalam bertutur terhadap mitra tutur 17) Penutur mampu bersikap hormat kepada mitra tutur 18) Penutur mampu bersikap tenggang rasa terhadap mitra tutur 19) Penutur mampu memilih kata hormat yang beraura santun (tolong, terima kasih, beliau, berkenan, Bapak/Ibu) 20) Penutur mau berkorban demi mitra tutur 21) Penutur selalu mau mawas diri 22) Penutur mau menjaga kerukunan (belajar hidup rukun) dan keharmonisan hubungan dengan mitra tutur 23) Penutur merasa malu berbuat salah 24) Penutur mampu memahami nilai yang berkaitan dengan perilaku santun (aja kebat keliwat „jangan kelewatan‟, alon-alon waton kelakon „perlahan tapi pasti‟, ajining dhri gumantung obahing lathi „harga diri bergantung pada lidah‟, berjalan pelihara langkah bertutur pelihara lidah, dsb) 25) Jika ingin mengkritik, hendaknya menyampaikan secara tidak langsung (guyon pari kena „maksud yang disampaikan secara bercanda, tetapi mengena‟, kenoa
100
iwake ora buthek banyune „yang diinginkan tercapai, tetapi tidak sampai menimbulkan masalah‟) 26) Penutur mampu mengembangkan sikap kehati-hatian dengan menghindari halhal negatif (aja dumeh „jangan mentang-mentang‟, sepi ing pamrih rame ing gawe „bekerja dengan tulus tanpa pamrih‟, wani ngalah luhur wekasane „bersikap mengalah akan menimbulkan kebaikan pada ujungnya‟, yen wani aja wedi-wedi yen wedi aja wani-wani „kalau berani jangan merasa takut, kalau takut jangan sok berani, sok kumawasa „sok berkuasa‟, kumingsun membanggakan diri‟, mulat salira hangrasa wani „mawas diri‟, bisa rumangsa aja rumangsa bisa‟bisa merasa jangan merasa bisa) 27) Penutur belajar mengungkapkan maksud yang berbeda dengan yang dikatakan (implikatur) 2.2.5.2 Teori Kesantunan dan Kritik dalam Masyarakat Budaya Arek Norma kesantunan adalah norma yang timbul dan diadakan oleh sekelompok masyarakat tertentu untuk mengatur pergaulan di antara mereka. Hakikat dari norma kesantunan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Yang penting dicatat adalah bahwa norma kesantunan biasanya tidak berlaku bagi seluruh masyarakat di dunia, tetapi bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap santun oleh segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Pertanyaannya kemudian adalah apakah berbagai teori kesantunan yang dipaparkan di atas berlaku dan sesuai dengan kondisi sosiokultural masyarakat budaya Arek? Relevansi teori kesantunan yang diajukan oleh Gunarwan dan Pranowo barangkali tidak perlu dipersoalkan dalam penelitian ini karena teori tersebut didasarkan pada nilai-nilai budaya Jawa. Akan tetapi, relevansi teori kesantunan yang dikemukakan Poedjosoedarmo perlu dilihat secara hati-hati karena kesantunan Poedjosoedarmo didasarkan pada penutur bahasa Indonesia pada umumnya. Menurut Pranowo, kesantunan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia agak sulit diwujudkan karena kesantunan dalam bahasa Indonesia cenderung dipengaruhi oleh nilai budaya lokal. Apa yang dinilai santun oleh orang Batak belum tentu dinilai santun pula oleh orang Jawa. Tampaknya apa yang sampaikan Pranowo itu ada benarnya.
101
Sementara itu, teori kesantunan yang dikemukakan Brown dan Levinson, meskipun tidak didasarkan pada budaya tertentu, serta teori kesantunan Scollon dan Scollon, yang didasarkan pada budaya Asia, tampaknya cukup relevan dengan budaya dan masyarakat Jawa, termasuk masyarakat budaya Arek. Konsep penjagaan muka yang ditawarkan melalui berbagai strategi bertutur tampaknya tidak bertentangan dengan budaya komunikasi dan interaksi dalam masyarakat budaya Arek atau masyarakat Jawa atau bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini terbukti dari berbagai ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat, misalnya ungkapan “Dia kehilangan muka”, “Mau ditaruh di mana mukaku ini?”, “Mukanya jatuh”, dan sebagainya (Gunarwan, 1992: 184). Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan muka dalam masyarakat Jawa juga merupakan sesuatu yang sangat penting. Selanjutnya, teori kesantunan yang dikemukakan Leech, Lakoff, Fraser dan Nolen, serta Gu dan Ide, meskipun menggunakan sudut pandang yang berbeda, tetapi pada dasarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Dalam teori Leech, misalnya, terdapat maksim kerendah-hatian. Maksim ini selaras dengan maksim andhap ashor dalam teori Gunarwan. Dalam teori Gu, ada maksim denigrasi diri yang juga mengajarkan agar kita bersikap rendah hati dan suka memuji orang lain. Di samping itu, maksim sapaan dari Gu juga sangat sesuai dengan budaya Jawa karena mengajarkan agar kita menyapa petutur dengan sapaan yang sesuai dengan peran, status sosial, dan hubungan antara penutur dan petutur. Sementara itu, dalam teori Lakoff terdapat kaidah ketaktegasan. Kaidah ini menyarankan untuk memberikan pilihan dengan bebas kepada petutur. Tuturan seperti “Kalau Anda ada waktu, Anda bisa datang dalam pertemuan itu” dipandang lebih santun daripada tuturan “Anda harus datang dalam pertemuan itu”. Teori kesantunan Fraser dan Nulen tampaknya juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Kontrak percakapan yang berisi hak dan kewajiban yang didasarkan pada demensi konvensional, institusional, dan situasional sangat mungkin menjadi pertimbangan penting dalam kultur masyarakat Jawa. Dalam demensi situasional, misalnya, orang Jawa juga harus betul-betul memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan peran yang dimilikinya. Seorang anak memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang tua. Seorang pegawai biasa memiliki hak dan kewajiban yang berbeda juga dengan pimpinan. Perbedaan hak dan kewajiban ini tentu berpengaruh terhadap cara mereka berkomunikasi.
102
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai teori kesantunan yang dikemukakan para ahli di atas pada dasarnya berpotensi dan relevan untuk menjelaskan kritik dalam konteks masyarakat budaya Arek. Hanya saja kadar relevansinya barangkali tidak sama: ada yang sangat relevan dan ada yang kurang relevan. Sebagai ilustrasi, perhatikanlah kritik (81) berikut. (81) Pakaian Ibu baru ya. Bagus sekali. Tapi kayaknya kurang cocok kalau digunakan dalam situasi seperti ini. Kritik (81) di atas diungkapakan dengan strategi langsung. Dilihat dari perspektif teori Brown dan Levinson (1987), kritik (81) di atas termasuk kritik dengan strategi on record plus positive politeness. Kritik disampaikan secara terang-terangan (dengan mengekspresikan evaluasi negatif: kurang cocok), namun evaluasi negatif itu didahului dengan ungkapan yang menyenangkan sebagai bentuk perhatian dari penutur kepada petutur ( pakaian Ibu baru ya, bagus sekali). Menurut Brown dan Levinson, perhatian penutur ini dimaksudkan untuk memperlunak daya sengat kritik dan melindungi muka petutur. Dilihat dari teori kesantunan Leech, kritik (81) di atas sesuai dengan maksim pujian, yakni merupakan keseimbangan antara submaksim (a) kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan (b) pujilah orang lain sebanyak mungkin. Penutur tidak hanya menyampaikan kecaman (pakaian Ibu kurang cocok), tetapi juga pujian (pakaian Ibu bagus). Tujuannya tidak lain adalah untuk memperlunak daya sengat kritik dan mendapatkan efek kesantunan. Kritik yang lunak dan santun ini, menurut persektif teori Gunarwan dan Pranowo, diharapkan tidak merusak atau setidak-tidaknya tidak mengganggu kerukunan di antara penutur dan petutur. 2.3 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir dalam disertasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam masyarakat budaya Arek, dan juga masyarakat-masyarakat lain di dunia ini, kritik sering difungsikan sebagai sarana untuk melakukan kontrol terhadap berbagai penyimpangan norma sosial. Kontrol itu tidak dilakukan secara represif-koersif, tetapi dilakukan secara persuasif, yakni menggunakan kata-kata verbal. Karena kritik rawan mengancam muka penerima kritik (PnK), maka kritik dalam suatu masarakat cenderung diungkapkan dengan strategi kesantunan tertentu. Strategi kesantunan itu dimaksudkan untuk memperlunak daya sengat kritik dan menghindari disharmoni hubungan antara pelaku kritik dan penerima kritik. Yang penting digarisbawahi adalah strategi-strategi kesantunan tersebut tidak dapat dipilih secara acak, tetapi harus mempertimbangkan
103
berbagai parameter atau variabel seperti social distance, relative power, dan tempat pengungkapan kritik (publik/nonpublik). Berdasarkan variabel-variabel tersebut, pelaku kritik (PK) kemudian menentukan strategi kritik yang dipandang tepat dan sesuai dengan penerima kritik (PnK). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode elisitasi, baik melalui wawancara dengan informan maupun melalui DCT. Analisis data dilakukan dengan prosedur sebagaimana yang dikemukakan Spradley (1997), yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis cultural value. Penelitian ini termasuk dalam ranah linguistik pragmatik karena yang dikaji adalah penggunaan bahasa untuk berkomunikasi. Pragmatik mempunyai dua sisi, yaitu pragmalinguistik dan sosio-pragmatik. Pragmalinguistik lebih banyak berbicara tentang aspek-aspek linguistik dan sumber-sumber linguistik yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu. Sebaliknya, sosio-pragmatik lebih menekankan kajian pada aspek-aspek pragmatik yang dikaitkan dengan atau didasarkan pada kebudayaan-kebudayaan tertentu dan masyarakat bahasa tertentu serta kondisikondisi sosial tertentu. Penelitian ini lebih mengarah pada ancangan sosio-pragmatik karena kajian (kritik) didasarkan pada kondisi sosial tertentu, yaitu masyarakat Jawa dan didasarkan pada kondisi kultural tertentu, yaitu budaya Arek. Secara diagramatis, kerangka pikir penelitian ini dapat dijelaskan dalam diagram 9 berikut.
104
Diagram 9 Kerangka Pikir Penelitian
Masyarakat Budaya Arek
Ranah Penelitian Pragmatik
Kritik
Kontrol Sosial
Lokasi Penelitian Surabaya
Strategi Kesantunan Kritik
(±P), (±D), (±Pu)
Masalah Penelitian
Ancangan Teoretis: Sosiopragmatik
Analisis Data
Tujuan Penelitian
Pengumpulan Data: DCT& Wawancara
Data Penelitian
Hasil Analisis Data: ……..Pola pemakaian strategi kritik, Formula semantik kritik, Modifier dan alat kesantunan kritik, Intensitas kritik, Persepsi terhadap kritik