7
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan bahasa melalui perilaku struktural berdasarkan kekhasan bahasa tersebut. Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap struktur bahasa, dengan mempertimbangkan ciri yang paling dominan bahasa itu. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai. Greenberg (dalam Mallinson dan Blake, 1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba. Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebut tipologi urutan dasar yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Kedua bahasa ini memiliki keberterimaan fungsi verba yang leluasa menduduki keenam pola kalimat tersebut. Hal ini ditandai dengan adposisi dan pengaruh FN pembentuknya. Bahasa yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO dan VSO. Tinjauan urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter tipologi dapat ditafsirkan dari urutan tersebut.
8
Artawa (1998), dalam disertasinya, menggunakan pendekatan tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional (Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky). Artawa membahas empat pokok masalah, yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Menurutnya, analisis ergatif sangat tepat dalam mempelajari morfosintaksis bahasa-bahasa Melayu-Polonesia Barat. Temuan Artawa ini bermanfaat dalam kajian BBT terutama dalam penelusuran relasi dan aliansi gramatikal BBT dan analisis dan ketransitifan BBT secara tipologis. Sedeng (2000) dalam tesisnya Prediket Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka menggunakan pendekatan tipologi bahasa dan teori sintaksis formal, yaitu tata bahasa leksikal fungsional. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Menurutnya, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini memiliki pola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Temuan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bahan perbandingan untuk meneliti tipologi BBT. Kosmas (2000) dalam penelitiannya Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya; struktur argumen yang digunakannya berdasarkan
pendekatan
tipologis,
sedangkan
teorinya
didasarkan
pada
Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Kosmas menemukan bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai merupakan pasif secara
9
sintaksis tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan ini sangat diperlukan dalam menganalisis tipologi BBT terutama dalam membahas predikasi dan struktur argumen dalam sintaksis BBT. Masalah pentipologian bahasa Buna dikaji oleh Partami (2001) dalam tesis Relasi Gramatikal dan Perelatifan Bahasa Buna. Hasil kajiannya menyatakan bahwa bahasa Buna termasuk kelompok bahasa isolatif yang sangat jarang ditemukan proses morfologisnya. Bahasa Buna merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dengan tata urutan dasar SVO. BBT dan bahasa Buna adalah dua bahasa yang sangat berbeda dalam morfologisnya, tetapi penelitian ini dapat dijadikan rujukan silang dalam penelitian BBT. Jufrizal (2004) meneliti bahasa Minangkabau dalam disertasi Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau dan menyimpulkan bahwa tata urutan kata yang lazim dalam kalimat dasar Minangkabau adalah SVO. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya, berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek, sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A berdasarkan uji pivot yang dilakukan pada tataran sintaksis bahasa tersebut. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau ini menjadi masukan yang penting dalam penelitian BBT, khususnya dalam penggunaan sistem pivot.
10
Basaria (2012) dalam disertasinya Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi, menyimpulkan bahwa tata urutan kata yang lazim dalam Bahasa Pakpak-Dairi (BPD) adalah VOS. Secara tipologi gramatikal BPD termasuk tipe akusatif. Namun terdapat juga indikasi bahwa BPD mempunyai sistem S-terpilah dan S-alir, sehingga bahasa ini mempunyai keakusatifan yang tidak murni karena masih memiliki sebagian ciri bahasa ergatif. BPD juga mengenal diatesis aktifpasif yang dimarkahi oleh predikat verba berafiks. Temuan tipologi BPD ini menjadi masukan yang penting dalam penelitian BBT disebabkan berada dalam rumpun bahasa yang sama, yakni bahasa Batak.
2.2 Landasan Teori Penelitian ini didasarkan pada ancangan tipologi sintaksis. Dalam kajian tipologi sintaksis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaksis yakni, S (subjek), A (agen), dan P (pasien). Relasi unsur-unsur ini akan mengarahkan kerangka kerja teoretis, sehingga dapat menemukan tipologi bahasa.
2.2.1 Kajian Tipologi Sintaksis 2.2.1.1 Parameter Tipologi Bahasa Kesemestaan dan kekhasan tatabahasa secara lintas bahasa menjadi hal yang menarik dan penting untuk ditelaah. Menurut Van Valin, Jr. dan Lapolla (2002:2 – 3), pendeskripsian fenomena kebahasaan merupakan salah satu tujuan penting dalam linguistik. Para ahli bahasa berasumsi pendeskripsian fenomena kebahasaan tersebut merupakan tujuan utama dalam linguistik. Pendeskripsian itu dapat meliputi deskripsi bahasa-bahasa secara sendiri-sendiri, mendeskripsikan
11
apa yang umum dimiliki oleh seluruh bahasa (kesemestaan bahasa), atau mendeskripsikan bagaimana bahasa-bahasa berbeda satu sama lain (tipologi bahasa). Mallison dan Blake (1981: 6-7), menyatakan bahwa penelitian semesta lintas bahasa atau kesemestaan bahasa (language universal) dikenal luas sebagai bentuk kajian tipologi skala besar. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara lintas bahasa seluas mungkin. Kajian tipolinguistik dan kajian kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan dan saling memperkuat. Secara etimologis, tipologi berarti pengelompokan ranah (classificasion of domain). Mallison dan Blake (1981:3) mengatakan bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Tipologi bahasa adalah cabang linguistik yang meneliti corak atau tipe semua bahasa yang ada di dunia. Bahasa yang coraknya sama, atau setidak-tidaknya mirip, dikelompokkan menjadi satu golongan atau dalam satu kelas yang sama. Setiap unsur dalam suatu bahasa dapat diperlakukan sebagai sebuah tipe atau sebuah tanda dalam tipologi bahasa. Sebuah unsur yang berperilaku sebagai tipe merupakan objek yang terus-menerus dan berulang kali dipakai dalam sebuah bahasa. Di antara kajian tipologi linguistik pada periode awal, yang terkenal adalah word order typology atau tipologi tataurut kata yang dilakukan oleh Greenberg (dalam Comrie 1989:89). Kajian ini mencermati fitur-fitur dan ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik
12
sebagai kajian tipologi linguistik (linguistic typology). Hasil kajian ini merumuskan pengelompokan bahasa dengan sebutan tertentu. Klasifikasi bahasa berdasarkan tipologinya didasarkan pada kriteria leksikal dan kriteria struktural. Kriteria leksikal, yang merupakan dasar tipologi genealogis, menganalisis persamaan-persamaan bunyi (korespondensi fonologis) yang terdapat pada sebuah kata yang mempunyai makna yang sama dengan kata dalam berbagai bahasa lain. Kriteria lain yang menjadi dasar dalam tipologi bahasa adalah kriteria struktural dan sistemis. Kriteria ini membahas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik berbagai bahasa. Kriteria struktural dan sistemis ini mempunyai tiga ciri, yakni arbitrer, tuntas, dan unik. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tipologi bahasa adalah cabang linguistik bandingan yang mengelompokkan bahasa berdasarkan tipe-tipe yang paling banyak terdapat dalam sekelompok bahasa. Keanekaragaman bahasa yang ada di dunia ini masih dapat dicari kesamaannya, sehingga dihasilkan klasifikasi atau pengelompokan bahasa. Pengklasifikasian bahasa dilakukan untuk memudahkan kerja analisis dan memahami analisis karakeristik kalimat sebagai dasar penentuan tipologi bahasa. Song (2001: 40-41), menyatakan tipologi sintaksis sebuah bahasa pada dasarnya dibentuk oleh tiga parameter gramatikal, Dixon (1989) menyebutnya dengan tiga relasi inti dasar. Song (2001:40-41), menjelaskan ketiga parameter tersebut terdiri atas subjek (S) klausa intransitif, agen (A) atau subjek logis klausa transitif, dan pasien (P) atau objek logis klausa transitif. Ketiga parameter ini berguna dalam pemarkah kasus terutama untuk penentuan profil sebuah bahasa. Song (2001:40-41), mengusulkan bahwa keberadaan S, A, dan P dapat
13
menghasilkan lima kemungkinan logis dalam pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yaitu, nominatif, akusatif, ergatif-absolutif, tripartite, AP/S, dan netral. Arah kajian tipologi dalam periode awal linguistik ini adalah tipologi tataurutan kata (word order tylopogy), seperti yang dilakukan oleh Greenberg (Mallinson dan Blake, 1981). Dalam tulisannya yang berjudul Some Universals of Grammar with Particular Reference to the Order of Meaningful Elements (dalam Universals of Language, 1966), Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya Tipologi Urutan Dasar (Basic Order Tipology). Tipologi urutan dasar ini ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu; (1) Urutan relatif antara Subjek-Verba-Objek dalam sebuah kalimat berita, yang dilambangkan dengan S (subject) V (Verb), O (Object). (2) Adanya adposisi, yaitu preposisi lawan postposisi dalam suatu bahasa, yang dilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postpreposition). (3) Posisi Adjektif atributif terhadap nomina. Bila Adjektif mendahului nomina maka urutan ini dilambangkan dengan A, dan bila nomina mendahului Adjektif maka urutan ini dilambangkan dengan N. Berdasarkan hasil penalaran atas kriteria tersebut, kajian tipologi ini telah menunjukkan bahwa bahasa dapat dikelompokkan menurut enam urutan potensial, yaitu: SVO,SOV,VSO,VOS,OSV, dan OVS. Akan tetapi, dari keenam pola urutan dasar, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, ada tiga pola urutan dasar yang dominan, yaitu SVO, SOV, dan VSO. Greenberg menyebutkan pola tersebut berturut-turut menurut posisi unsur V, yaitu: Tipe I: VSO (V menduduki posisi awal kalimat) Tipe II: SVO (V menduduki posisi kedua)
14
Tipe IIII: SOV (V menduduki posisi ketiga) Pengamatan analisis secara morfologis dan sintaksis sangat penting dalam kajian tipologi bahasa. Hal ini dikarenakan ada bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie, 1989: 104-107). Hal ini mengisyaratkan bahwa posisi S (subjek) sebagai patokan penentuan tipologi bahasa dapat digunakan dalam pengetesan morfologis dan sintaksis. Pengetesan ini memperlihatkan apakah kedudukan agen atau pasien yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan subjek ataukah berbeda. Akhirnya, suatu bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam tipe bahasa tertentu. Song (2001:4), dari kajian tipologi yang dilakukannya, menemukan empat tahapan analisis tipologi tersebut. Tahap pertama adalah penentuan fenomena yang akan dikaji. Dalam hal ini diperlukan pembatasan dan kejelasan gejala variasi struktural bahasa yang akan dikaji. Langkah ini sangat penting karena begitu rumitnya pertautan antar unsur bahasa, baik dalam bahasa itu sendiri maupun antar bahasa. Tahap kedua adalah pengelompokkan tipologis fenomena yang sedang diteliti. Tahap ini memerlukan kecermatan dan penelaahan data secara sungguh-sungguh, disertai pemahaman teori yang memadai. Tahap ketiga adalah perumusan generalisasi terhadap pengelompokan tersebut. Tahap ini memerlukan kepekaan dan kejelian linguistik untuk dapat merumuskan simpulansimpulan teoretis yang bersesuaian dengan keadaan dan watak data. Tahap terakhir adalah penjelasan atas tiap generalisasi atau rumusan teoretis yang dibuat. Tahap ini menjadi ukuran dan penentu akan kebermaknaan temuan yang diperoleh.
15
2.2.1.2 Ragam Tipologi Bahasa Berdasarkan tipologi morfologi Comrie (1989:39) menyebutkan bahasabahasa di dunia dapat dikelompokkan beberapa tipe bahasa, yaitu: (i) tipe bahasa aglutinatif yaitu tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya dan struktur katanya dinyatakan dengan kombinasi unsur-unsur bahasa secara bebas; (ii) tipe bahasa fleksi, yaitu tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya tidak dinyatakan dengan urutan kata, tetapi dinyatakan dengan infleksi; (iii) tipe bahasa isolatif, yaitu tipe bahasa yang dalam menyatakan hubungan gramatikalnya dinyatakan dan bergantung pada urutan kata, sedangkan bentuk katanya tidak mengalami perubahan kata secara morfologis melainkan perubahan yang ada hanya karena perbedaan nada. Tipe bahasa ini disebut juga bahasa Tonis; (iv) tipe bahasa polisintesis ialah tipe bahasa yang untuk menyatakan hubungan gramatikalnya dinyatakan dengan cara melekatkan beberapa morfem yang diimbuhkan secara berturut-turut kepada bentuk dasarnya. Secara morfologis, bahasa tipe ini lebih kompleks dari tipe aglutinatif. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, memper-kan dalam mempersatukan, diper-i dalam dipersenjatai. Pentipologian bahasa-bahasa, terutama pada tataran sintaksis, berkaitan dengan sistem aliansi gramatikal (grammatical alliance). Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis; apakah persekutuan itu S = A, ≠ P, atau S = P, ≠ A, atau Sa = A, Sp = P atau sistem yang lainnya (lihat Dixon, 1994). Dixon (1994) mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin
16
untuk membahas bahasa di dunia dapat dibagi tiga, yaitu sistem akusatif, sistem ergatif, dan sistem S-terpilah (bahasa aktif). Tiga sistem aliansi gramatikal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini (lihat Jufrizal, 2004).
S S
Sa
Sp
P A
P
Sistem Akusatif
A
Sistem Ergatif
A
P
Sistem S-Terpilah
a. Tipe Akusatif Dixon (1994) mengemukakan bahwa perubahan struktur cenderung terdapat pada bahasa-bahasa yang tergolong dalam bahasa yang mempunyai pemarkah sintaksis, dibandingkan dengan bahasa yang menunjukkan pemarkah semantis. Apabila argumen A berperilaku sama dengan argumen S dan berbeda dengan argumen P, bahasa itu digolongkan bertipe akusatif. Sistem aliansi gramatikal seperti ini pada umumnya ditentukan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa karena kebanyakan bahasa – bahasa tersebut mempunyai pemarkah kasus dan perilaku gramatikal secara sintaksis serta bersesuaian dengan sistem tersebut. Contoh klausa bahasa Inggris berikut memperlihatkan kenyataan ini melalui kasus bentuk pronomina orang ketiga tunggal laki-laki, baik untuk S maupun A. Sementara itu, bentuk yang berbeda him digunakan untuk P (lihat Payne, 2002:134). (a) He (S) left (b) He (A) hit him (P)
17
Kedua contoh menunjukkan argumen A dan P diperlakukan dengan cara yang sama, yaitu nominatif dan berada sebelum kata kerja. Bahasa-bahasa Quechuan (kelompok bahasa di Pegunungan Andes, Amerika Selatan) mempunyai sistem pengelompokkan yang sama untuk pemarkah kasus morfologis pada frasa nomina bebas. Berikut ini adalah contohnya (dari Webel (1989) dalam Payne, 2002:134). (a) Juan – 0 aywan Juan – NOM pergi S ‘Juan pergi’ (b) Juan – 0 Pedro – ta maqau Juan – NOM Pedro – AKU pukul A P ‘Juan memukul Pedro’
Pada contoh di atas, pemarkah kasus yang sama, 0 (nol) diberikan untuk S dan A, sementara pemarkah kasus yang berbeda, yaitu –ta diberikan untuk frasa nomina Pedro yang berperan sebagai P. Sistem pengelompokan S, A, P (sistem aliansi gramatikal) seperti dikemukakan di atas disebut sistem nominatif-akusatif (sering disebut sebagai bahasa akusatif). Dengan demikian, bahasa yang cenderung mempunyai sistem aliansi gramatikal seperti ini disebut sebagai bahasa bertipologi akusatif. Jika ada permarkah kasus morfologis pada peran S dan A, itu dinamakan kasus nominatif, sementara kasus yang hanya menandai peran P disebut kasus akusatif. Sistem aliansi gramatikal seperti ini umum ditemukan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa karena kebanyakan bahasa-bahasa tersebut mempunyai pemarkah kasus (morfologis) dan perilaku gramatikal secara sintaktis juga bersesuaian dengan sistem tersebut.
18
b. Tipe Ergatif Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif jika S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sistem seperti ini tidak lazim bagi penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa karena sangat jarang ditemukan kelompok bahasa itu. Keergatifan merupakan sistem aliansi gramatikal dasar bahasa-bahasa asli di Australia, Asia Tengah, dan bahasa di Amerika. Sistem ini juga banyak ditemukan di sebagian Asia Selatan (Nepal, Tibet, India, Pakistan, Banglades, Bhutan). Misalnya, dalam bahasa Kalkatungu (salah satu bahasa Aborigin-Australia), yaitu: (a). Kalpin (S) inka (b). Marapai-thu nanya kalpin (P)
(Lelaki itu pergi) (Wanita itu melihat lelaki itu)
Berdasarkan kedua contoh di atas, S dan P diperlakukan dengan cara yang sama (tidak bermarkah), sedangkan A ditandai dengan sufiks –thu (Mallison dan Blake, 1981). Sistem pengelompokan relasi-relasi gramatikal yang berbeda ditunjukkan oleh bahasa Yup’ik Eskimo (Alaska). Contoh dan penjelasan berikut diambil dari Payne (2002:135). (a) Doris-aq ayallmuq Doris-ABS berpergian S ‘Doris berpergian’ (b) Tom-am Doris-aq cingallrua Tom-ERG Doris-ABS menyapa A P ‘Tom menyapa Doris’ Pada contoh di atas, pemarkah kasus –aq terjadi pada argumen S klausa intransitif (a) dan pada argumen P klausa transitif (b). Jika ada kasus morfologis memarkahi A berbeda sendiri maka disebut kasus ergatif. Dengan cara yang serupa, setiap
19
kasus morfologis yang memarkahi baik S maupun P distilahkan sebagai kasus absolutif (S = P, ≠ A). Sistem aliansi gramatikal seperti inilah yang dinamakan sistem ergatif-absolutif (bahasa bertipologi ergatif). Sistem seperti ini tidak lazim bagi penutur bahasa-bahasa Indo-Eropa karena sangat jarang ditemukan bahasa dalam kelompok bahasa tersebut.
c. Tipe S- Terpilah (Bahasa Aktif). Sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa Aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa kelompok S berperilaku sama dengan A dan sekelompok S yang berperilaku sama dengan P dalam satu bahasa. Perlakuan sama atau berbeda dalam hal ini dapat terjadi pada tataran sintaksis. Sistem terpilah ini berkaitan dengan sifat-periaku gramatikal dan sifat-perilaku semantis verba yang menjadi poros utama klausa, baik intransitif maupun transitif (Dixon, 1994). Gejala tipe S- Terpilah dapat merujuk pada sistem ergatif-absolutif dan nominatif-akusatif untuk pemarkah kasus pada FN bebas. Bahasa ini juga memperlihatkan sistem aliansi untuk menyusun relasi-relasi gramatikal untuk pemarkah persona verba. Dapat diperhatikan dari contoh berikut ini (Payne, 2002: 136). (a) Away-u Pergi-3TG ‘Dia pergi’ (b) Aywa-a Pergi-1TG ‘Saya pergi’ (c) Maqa- ma-u Memukul-1TG-3TG ‘Dia memukul saya’
20
Terlihat bahwa sistem aliansi gramatikal yang berdasarkan contoh di atas adalah S=A,≠P sebagai bahasa akusatif. Terdapat juga sistem aliansi gramatikal yang menunjukkan sistem ergatif-absolutif untuk pemarkah persona yang berterima dalam bahasa Yup’ik tersebut. Dapat diperihatkan dalam contoh berikut ini (Payne, 2002:136)
(a) Ayallrum-nga Bepergian-1TG ‘Saya bepergian’ (b) Ayallrum-q Bepergian-3TG ‘Dia bepergian’ (c) Cingallrum-a-nga menyapa-3TG-1TG ‘Dia menyapa saya’ Berdasarkan contoh-contoh di atas, terlihat bahwa secara morfosintaksis bahasa ini mempunyai sistem aliansi gramatikal S = P, ≠ A (bahasa ergatif), sehingga tipe bahasa tersebut merupakan tipe bahasa S-Terpilah (bahasa aktif).
2.2.2 Struktur Kalimat dan Peran Semantis Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap sebagai tatanan gramatikal dasar, yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang sering disebut tatabahasa atau gramatika (Lyons, 1987). Perkembangan linguistik sering sekali yang dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis, bahkan ada sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika hanya merujuk ke sintaksis saja. Hal ini disebabkan sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa yang berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa
21
serta hubungan antara unsur-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan makna (Lyons, 1987:170-171). Berdasarkan fokus kajian dalam penelitian ini, yakni menganalisis karakteristik sintaksis BBT, maka dipaparkan struktur kalimat BBT berikut ini.
2.2.2.1 Struktur Kalimat BBT Sibarani (1997), dalam Sintaksis Bahasa Batak Toba, memberikan pemaparan yang lebih mendalam mengenai sintaksis BBT dengan membagi kalimat berdasarkan 8 (delapan) tipe pengklasifikasian. Kalimat ini dapat dipilah berdasarkan: 1. Sruktur klausa dalam kalimat Berdasarkan struktur klausa yang mendasari suatu kalimat, kalimat dapat dipilah menjadi dua yaitu, kalimat sempurna dan kalimat taksempurna. 2. Jumlah dan jenis klausa yang terdapat dalam kalimat Berdasarkan jumlah dan jenis klausanya, kalimat, dapat dipilah menjadi dua bagian besar, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. (a) Kalimat tunggal adalah kalimat sempurna yang hanya terdiri atas satu klausa bebas. Kalimat tunggal sedikitnya memiliki satu subjek dan satu predikat dengan atau tanpa konstituen lain. Dalam BBT, predikat dapat berkategori verba, nomina, adjektiva, numeralia, dan adverbia berupa frase preposisional. (b) Kalimat majemuk adalah kalimat sempurna yang terdiri atas lebih dari satu klausa. Kalimat mejemuk masih dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu kalimat mejemuk bertingkat, kalimat mejemuk setara, dan kalimat
22
majemuk campuran. Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat sempurna yang terdiri atas satu klausa bebas dan satu klausa terikat. Dalam definisi lain, dapat juga dikatakan bahwa kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa superordinatif dan satu klausa subordinatif. Memperlihat hubungan klausa superordinatif dan subordinatif dalam kalimat majemuk bertingkat, dapat diperhatikan bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 77).
Bagan 1 KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT Klausa Superordinatif
P (2) Nunga hea mangusung
O sipanganon
S hami
Pel tu ibana
K
Klausa Subordinatif
konjungsi di tingki
P S marsahit ibana (DRS)
Kalimat majemuk setara adalah kalimat sempurna yang terdiri atas dua klausa bebas atau lebih. Hubungan antara klausa bebas itu adalah setara atau koordinatif, dan dapat diperhatikan dalam bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 96).
23
Bagan 2 KALIMAT MAJEMUK SETARA klausa koordinatif
klausa koordinatif
(3) Mangkuling ma ronggur huhut humasiksak silam (DRS)
Kalimat majemuk campuran adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas dengan beberapa klausa terikat, yang terdiri atas beberapa klausa bebas dengan satu klausa terikat. Istilah kalimat majemuk campuran, di sini, dimaksudkan untuk menunjukkan terdapatnya penggabungan kalimat majemuk setara dengan kalimat mejemuk bertingkat. Relasi penggabungan tersebut dapat diperhatikan dalam bagan berikut ini (lihat Sibarani, 1997: 116).
Bagan 3 KALIMAT MAJEMUK CAMPURAN KLAUSA SUPERORDINATIF (4)Mangalamar ma imana tu Jakarta
KLAUSA SUBORDINATIF
KLAUSA SUBORDINATIF
Ala disan do ibotona, laena, dohot ala hurang lomo rohana dohot abangna konjungsi koordinatif karejo di Medan (DRS)
3.
Kalimat Berdasarkan Jenis Tanggapan yang Diharapkan Jika penyapa mengungkapkan sebuah kalimat kepada pesapa, kalimat itu akan menimbulkan efek atau pengaruh tertentu kepada pesapa. Dengan demikian, berdasarkan jenis tanggapan yang diharapkan dari pesapa,
24
kalimat dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: ( i) kalimat berita, (ii) kalimat perintah, dan (iii) kalimat tanya. 4.
Hubungan Subjek dengan Predikat Dalam sebuah kalimat sempurna, unsur inti yang harus dimilikinya adalah subjek dan predikat. Hal ini dikarenakan subjek dan predikat memegang peranan yang sangat penting dalam pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi karena makna kalimat tersebut dapat diketahui dengan jelas tanpa bantuan konteks yang mendahului dan mengikutinya (lihat Sibarani, 1997: 154). Dalam BBT, terdapat dua jenis verba, yaitu: verba transitif umum (verba yang dapat digunakan di dalam semua jenis kalimat berdasarkan tanggapan yang diharapkan) verba transitif itu adalah verba yang menggunakan afiks di bawah ini (lihat Sibarani, 1997: 155) : maN
mandanggur
‘melempar’
maN-hon
manaruhon
‘mengantarkan’
maN-i
manggotili
‘mencubiti’
masi-
masiboan
‘membawa (masing-masing)’
masi-hon
masipeakhon
‘meletakkan(masing-masing)’
masi-i
masigadisi
‘menjual (masing-masing)’
pa-
pabara
‘masuk ke kandang’
pa-hon
paganjanghon
‘membuat (menjadi) panjang’
mampar-hon
mamparrohahon
‘konsentrasi (menyimak)’
mampar-i
mamparbadiai
‘ membuat kudus (suci)’
mangha-hon
manghalashon
‘bergembira atas’
mangha-i
manghaholongi
‘menyayangi’
25
-um-
sumuru
‘(yang) menyuruh’
-um-hon
sumarihon
‘mengacuhkan’
-um-i
sumombai
‘menyembah’
Predikat kalimat yang memiliki verba dengan menggunakan afiks di atas akan memperlihatkan subjek sebagai pelaku dan objek sebagai penderita. Hal semacam itu dapat diperhatikan dalam kalimat di bawah ini. (5) Manumpahi do hita tu nasida. (DLA) AKT-memberi bantuan (uang) T kita kepada mereka ‘Kita memberikan uang kepada mereka’ Kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita. Istilah penderita dimaksudkan untuk menyatakan bahwa subjek dikenai tindakan sebagaimana yang dinyatakan oleh predikat kalimat itu. Jika dibandingkan penggunaan kalimat pasif dan aktif, BBT lebih sering menggunakan kalimat pasif, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulisan. Kalimat pasif dapat dinyatakan dengan pemarkah pasif yang diterangkan dalam bagan berikut ini. Bagan 4 PEMARKAH PASIF Afiks (di-, ni-, -in-, tar-, ha-an, -on/-an) Pamarkah Pasif
Proklitik (hu-, ta-, dan hami) Kata (tu+N, hona +Vt &N, dohot/jumpang
5.
Wacana Percakapan Dalam wacana percakapan, pembicara saling menyampaikan pesan atau informasi. Seorang dapat bertindak sebagai penyapa dan rekannya bertindak sebagai pesapa, dan sebaliknya. Mereka bergantian untuk
26
menciptakan dan menghidupkan wacana percakapan. Dengan demikian, berdasarkan percakapan ini, kalimat dapat dibagi atas enam bagian, yaitu: kalimat awal, kalimat tumpuan, kalimat tambahan, kalimat sambungan, kalimat jawaban, dan kalimat ujung. 6.
Kalimat Berdasarkan Fungsi Pembicara menggunakan bahasanya untuk menyampaikan maksud dan tujuannya melalui kalimat-kalimat yang disusunnya. Dalam hal ini konteks pemakaian bahasa sangat berpengaruh dalam penyampaian kalimat untuk maksud dan tujuan tertentu. Fungsi kalimat tersebut dapat berupa: (1) kalimat salam-selamat, (2) kalimat basa-basi, (3) kalimat panggilan, (4) kalimat usir, (5) kalimat seru, (6) kalimat maaf, (7) kalimat tagih, (8) kalimat suguh, (9)kalimat pandu, (10) kalimat ejek, (10) kalimat sesal, (11) kalimat sumpah, (12) kalimat maki, (13) kalimat mohon, (14) kalimat berkat, dan (15) kalimat kutuk (lihat Sibarani, 1997: 212).
7.
Penekanan Unsur Penekanan unsur biasanya digunakan si pembicara untuk mendapatkan perhatian atau menegaskan unsur kalimat itu. Penekanan salah satu fungsi sintaksis ini ada kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sehingga dapat dimengerti sebaik-baiknya. Berdasarkan penekanan unsurnya, kalimat BBT dapat dibagi atas: (1) kalimat tematik, (2) kalimat topik, (3) kalimat pancang, (4) kalimat pemerkuat dengan partikel Na, (5) kalimat perbandingan, (6) kalimat berjejer, (7) kalimat sungguh, (8) kalimat negatif.
8.
Tipe Kalimat Berdasarkan Kelengkapan Unsur
27
Dalam konteks berbahasa, terkadang kehadiran unsur sintaksis dapat utuh tetapi ada juga yang hanya menghadirkan sebagian saja dari unsur kalimat tersebut sebagai wakil dari keseluruhan kalimat itu. Dengan demikian, berdasarkan kelengkapan unsur, sebuah kalimat dapat dipilah atas: kalimat elipsis, kalimat marginal, kalimat kohesif, dan kalimat utuh (lihat Sibarani, 1997: 241-247).
2.2.2.2 Peran Semantis Peran semantis merupakan generalisasi tentang peran partisipan dalam peristiwa yang ditunjukkan oleh verba (Booij 2007:191). Peran semantis diberikan pada argumen predikat yang secara tipikal verba. Menurut Levin (2007:3) representasi peran semantis akan mereduksi makna verba melalui seperangkat peran yang diberikan kepada argumennya. Peran semantis berguna dalam menggolongkan argumen verba. Teori Peran Semantis Rampatan (Mulyadi, 2009) merupakan generalisasi dari sejumlah ancangan teoretis tentang peran semantis. Teori ini dikembangkan dari teori Peran Umum yang diusulkan pertama kali oleh Foley dan Van Valin (1984) dalam Tata Bahasa Peran dan Acuan. Dalam teori ini diproyeksikan gagasan aktor dan penderita pada struktur klausa, baik pada klausa intransitif maupun pada klausa transitif. Istilah aktor merujuk kepada generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan peran-peran lain, sedangkan penderita adalah generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari karakter morfologis dan sintaktis masing-masing. Bagi Van Valin dan LaPolla (dalam Mulyadi, 1998),
28
relasi tematis prototipe ialah agen dan pasien; artinya, agen adalah prototipe untuk aktor dan pasien adalah prototipe untuk penderita. Pelaku dan penderita merupakan peran umum (macroroles) yang di dalamnya terlibat peran-peran khusus, seperti agen, pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh. Sebuah hierarki tematis yang dikemukakan oleh Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998:29) menerangkan seluruh peran yang kemungkinan terlibat dalam pemetaan argumen. Adapun hierarkinya adalah sebagai berikut:
Bagan 5
PELAKU
HIERARKI PELAKU DAN PENDERITA : Agen Pemengaruh Lokatif Tema
PENDERITA : Pasien Sumber: Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998)
Hierarki pelaku dimulai dari atas ke bawah, sedangkan hierarki penderita dari bawah ke atas. Hal mengidentifikasikan bahwa pilihan pertama untuk pelaku adalah agen, sementara untuk penderita adalah pasien. Peran semantis yang lain terletak di antara keduanya. Pelaku dan penderita juga mempunyai relasi turunan. Pelaku sebagai relasi dasar dapat menduduki peran agen, pemengaruh, lokatif, pemengaruh tetapi tidak dapat menduduki peran pasien, sedangkan penderita menduduki peran pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh, tetapi tidak dapat menduduki peran agen. Bentuk peran semantis verba tersebut antara lain:
29
1. Agen Peringkat pertama pada hierarki pelaku dan penderita seperti yang diajukan oleh Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi 1998:68) adalah agen. Agen merupakan pelaku dan pelaksana dari sebuah tindakan. Agen selalu pemberi dampak secara semantis, dan ini berarti bahwa agen adalah pemberi dampak atas yang lain, lebih sebagai hubungan tematis dasar. Agen selalu dihubungkan dengan kegiatan struktur logis, dan oleh karena itu hanya verba yang mempunyai predikat yang menunjukkan kegiatan dalam struktur logisnya yang dapat mempunyai argumen agen. Agen adalah pemicu yang sengaja, berdaya, dan aktif dari predikat; terutama sekali adalah pelaku. Biasanya agen adalah manusia dan oleh karena itu keagenan sering dikaitkan dengan kesengajaan, kemauan, niat, dan tanggungjawab. Sifat-perilaku agen yang khas adalah bahwa agen tidak pernah sebagai penderita, tetapi hanya dapat menduduki sebagai pelaku (Lihat Mulyadi, 1998; Jufrizal, 2007). Contoh : (a) Anton melemparkan bola itu Pel: A
V
Pend: tema
(b) Bapak memukul anjing Pel: A
V
Pend: Ps
Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘Anton’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan suatu tindakan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘bola itu’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, sebab pada partisipan ini dikenai tindakan oleh pelaku sehinga mengalami penderitaan pada yang dikenainya. Pada
30
contoh (b), menjelaskan ‘bapak’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini melakukan suatu tindakan dengan sengaja terhadap objeknya, sedangkan ‘anjing’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini dikendalikan oleh si pelaku sehingga pasien tersebut mengalami penderitaan akibat perbuatan si pelaku. 2. Pemengaruh Pemengaruh merupakan setingkat di bawah agen. Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) mengatakan bahwa pemengaruh (effector) adalah semua entitas yang mempunyai karakteristik yang sama dengan agen. Perbedaannya terletak pada agen bertindak secara langsung mengenai penderita, sedangkan pemengaruh
tidak.
Sifat-perilaku
pemengaruh
yang
khas
adalah
mengidentifikasikan sifat yang tidak bernyawa. Misalnya: (a) Kecelakaan itu menewaskan tujuh orang anak. Pel: Pem
V
Pend: Ps
Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘kecelakaan’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai pemengaruh, sebab partisipan ini yang mempengaruhi yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘tujuh orang anak’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini yang dipengaruhi oleh pelakunya secara keseluruhan.Verba ’menewaskan’ menyatakan tindakan yang dilakukan secara tidak langsung oleh partisipannya. Partisipan yang melakukan itu adalah entitas yang tidak bernyawa, akan tetapi dapat memberikan pengaruh yang buruk sehingga menyebabkan kematian.
31
3. Tema Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) mengemukakan bahwa tema adalah semua entitas yang dapat ditempatkan dan mengalam perubahan lokasi, Perubahan yang terjadi pada tema bukan atas kehendak dari entitas itu sendiri. Tema dapat disebut juga sebagai pokok pikiran/inti dari sesuatu topik yang dibicarakan. Contoh : (a) Kakak merangkai bunga Pel: A
V Pend: tema .
Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘kakak’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang melakukan suatu tindakan pada bendanya, sedangkan ‘bunga’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, karena bunga tersebut mengalami perubahan yaitu terjadi perangkaian dari ragam bunga menjadi sekumpulan bunga dalam satu ikatan/tempat. Hal ini disebabkan karena adanya tindakan agen yang melakukan perangkaian sehingga posisi bunga berpindah, maka kalimat di atas digolongkan sebagai verba tindakan. 4. Lokatif Foley dan Van Valin (dalam Mulyadi, 1998) menyatakan bahwa lokatif semua entitas yang menerangkan tempat atau lokasi di mana sebuah peristiwa terjadi. Misalnya: (a) Aku Pel: Lok
mengetahui V
kejadian itu. Pend: tema
32
Contoh (a), menjelaskan bahwa ‘aku’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai lokatif, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘kejadian itu’ berperan sebagai penderita dan tema, sebab partisipan ini tidak melakukan tetapi dipengaruhi oleh pelakunya. Maka verba ‘mengetahui’ di atas digolongkan sebagai verba keadaan. 5. Pasien Mempunyai pengertian yang terbalik dari agen, pasien merupakan sasaran yang dikenai oleh agen sebagai pelaku (Foley dan Van Valin, dalam Mulyadi, 1998). Entitas ini tidak mengawali dan mengendalikan peristiwa justru dipengaruhi pelaku dengan berbagai cara. Contoh : (a) Ban mobilnya Pend: Ps
pecah V
Contoh (a) di atas, menjelaskan bahwa ‘ban mobilnya’ berperan sebagai penderita karena adanya suatu peristiwa verbal keadaan ‘pecah’ yang terjadi dan peristiwa itu terjadi secara tidak disengaja.
2.2.3 Relasi dan Aliansi Gramatikal 2.2.3.1 Relasi Gramatikal Konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie (1989:65), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat yang dikategorikan sebagai Subjek (S), Objek Langsung (OL), dan Objek Tak-Langsung (OTL). Tiga relasi gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis, dan ada relasi yang bersifat semantis,
33
yaitu: lokatif, benefaktif, dan instrumental, yang secara kolektif disebut relasi oblik Blake (dalam Artawa, 2000:490). Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya, maupun bahasa-bahasa tertentu. Comrie (1989), menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Sementara itu, objek adalah argumen yang mengalami tindalakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar, 1999; Jufrizal, 2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif, misalnya verba beri dalam bahasa Indonesia (Jufrizal, 2007:51). a) Kesubjekan Li (ed) (dalam Jufrizal, 2007:33) menyatakan subjek secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat-perilaku yang khas. Sifat-perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi empat sifat, yaitu: (i) sifat perilaku otonomi; (ii) sifatperlaku kasus; (iii) peran semantis; dan (iv) dominasi langsung. Keempat sifat ini memiliki karakter kesubjekan yang berbeda-beda pengungkapannya, yang dijelaskan di bawah ini. Sifat perilaku otonomi subjek meliputi: (a) keberadaanya bebas (independent
existence);
(b)
ketidaktergusuran/
sangat
diperlukan
(indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat perilaku pemarkah kasus meliputi: (a) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi
34
jika setiap FN dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (b) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (c) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pasien) dari subjek diperkirakan menjadi bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan meliputi: (a) subjek jika hanya satu biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan); (b) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) dalam bentuk imparatif; (c) subjek biasanya memperlihatkan posisi pemarkah kasus yang berkesesuaian dengan verba yang sama dengan FN penyebab dalam kalimat kausatif. Pengujian sifat-perilaku subjek didasari oleh sifat-perilaku gramatikal yang telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya, karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikalnya sendiri. Berdasarkan hal ini, kesubjekan dapat dilihat berdasarkan pengertian: (1) pronominal tidak-terang (PRO), (2) pengembangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation). Sehingga, temuan data kesubjekan BBT dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan pengujian yang dilakukan Artawa (1998).
(1) Frasa nomina tidak-terang (PRO) Teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory) yang dikembangan oleh Chomsky menyatakan bahwa subjek klausa dengan verba tak terbatas dinukilkan sebagai FN tidak-terang (noun-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO (dalam Artawa, 1998:14). Dalam bahasa Inggris ditemukan perbedaan antara verba terbatas (finite-verbs) dan verba tak-terbatas
35
(non-finite verbs). Verba terbataas menghendaki subjek, yang dapat diungkapkan sebagai persona/jumlah persesuaian rujuk-silang terhadap verba dengan FN, atau dengan persesuaian FN. Verba terbatas biasanya tidak menghendaki subjek, baik secara morfologis maupun sintaksis.
(2) Pengambangan Penjangka Moussay (dalam Jufrizal 2007: 37) menyatakan bahwa pengambangan penjangka adalah kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif yang merupakan penentu penunjuk jumlah. Penjangka tak takrif dalam BBT pada umumnya dipakai dalam menyatakan (i) jumlah tidak pasti, sedikit; bermacam-macam, berjenis-jenis ‘marragam’ (ii) jumlah distributif: tiap, setiap, tiap-tiap ‘ganup’ (iii) jumlah kolektif: semua,segala, segenap ‘sudena’. Penjangka yang menunjukkan jumlah tidak pasti dan distributif ( i) dan (ii) dalam kalimat BBT digunakan pada posisi sebelum FN. Sedangkan pejangka yang menunjukkan jumlah kolektif, dapat diletakkan sebelum atau sesudah FN.
(3) Perelatifan Dalam menganalisis perelatifan BBT, strategi perelatifan dihubungkan dengan kesubjekan dalam klausa transitif dengan verba dasarnya. Berbeda dengan bahasa Inggris yang merelatifkan semua relasi gramatikalnya (Artawa, 1998:15).
36
(b) Objek dan Oblik Struktur Objek (OL dan OTL) Cole (ed) dalam Jufrizal (2007:51), menyatakan bahwa O dalam bahasabahasa Bantu ditentukan dengan tiga perilaku dasar, yakni: (1). O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (2). O adalah FN (sekurangkurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (3). O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses penafsiran. Selain itu, Butt (1999: 49-51) menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini disebut O. Objek merupakan argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah S (Verhaar, 1999). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif. Butt (1999: 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Lebih lanjut Butt menafsirkan bahwa melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif; S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Dalam bahasa Inggris, pemasifan klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu: S, OL, dan OTL. Baik OL maupun OTL masing-masing dapat menjadi subjek kalimat pasif. Hal ini menyebabkan posisi merupakan pembeda antara OL dan OTL; OTL berada
37
langsung setelah verba, diikuti OL. Butt (1999: 49) memperlihatkannya dalam contoh berikut ini. (a) She gave him the book. (AKT) ‘Dia memberinya buku itu.’ (b) He was given the book (PAS) ‘Dia diberi buku itu.’ (c) The book was given him (PAS) ‘Buku itu diberikan kepadanya.’
Struktur Oblik (OBL) Relasi oblik (OBL) merupakan kelompok argumen yang bukan subjek dan juga tidak sesuai dengan bentuk objek. Oblik tidak mengalami proses sintaksis yang mempengaruhi objek sebagai pemasifannya. Oblik umumnya berupa frasa preposisonal (Butt, 1999:50). Dari segi bentuknya, oblik umumnya berupa frasa preposisional yang menyerupai adjung (adjunct) atau keterangan. Perbedaan oblik dan adjung terletak pada kehadiran predikatnya. Oblik lazimnya menghendaki adanya kehadiran predikat verba, sedangkan adjung merupakan fungsi gramatikal yang tidak memiliki verba. Dalam penelitian ini pengujian sifat perilaku subjek, objek, dan oblik BBT didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Hal ini disebabkan relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasa-bahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa.
38
2.2.3.2 Aliansi Gramatikal Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis (Jufrizal, 2004). Sistem aliansi gramatikal merupakan sistem pengelompokan peran sintaksis-semantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan (Payne, 2002:129). Aliansi gramatikal memiliki hubungan antara argumen-argumen dengan predikat pada tataran struktur yang bebas dari pengaruh semantis dan pragmatis. Aliansi gramatikal ini mempunyai fungsi-fungsi semesta (universal) dalam berkomunikasi dengan menganalisis sifat-perilaku formal yang khas pada bahasa tersebut. Payne (2002-132) lebih lanjut menerangkan bahwa sifat-perilaku gramatikal yang paling banyak secara langsung menentukan aliansi gramatikal tersebut adalah: (1) pemarkah kasus; (2) pemarkah referensi pelibat pada verba; dan (3) tataurutan konstituen. Sebuah bahasa yang mempunyai sistem aliansi gramatikal akusatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi akusatif; S (satu-satunya argumen pada klausa intransitif) diperlakukan sama secara gramatikal dengan argumen A(agen) klausa transitif, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P(pasien) klausa transitif. Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif; S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa sekelompok S berprilaku sama dengan A (Sa) dan sekelompok S yang berprilaku sama dengan P (Sp) dalam satu bahasa. Perlakuan yang sama (atau berbeda) dalam hal ini dapat terjadi pada tataran morfologi dan/atau sintaksis. Perlu diingat bahwa tidak semua bahasa bertipologi
39
ergatif secara morfologis juga ergatif secara sintaktis, dan begitu pula pada tipologi yang lainnya (lihat Artawa, 2004, 2005). Menurut Payne (2002:140), berdasarkan kemungkinan logis sistem pengelompokan S, A, dan P bahasa-bahasa di dunia, menyebutkan ada lima kemungkinan yang ada, yaitu: (1). S = A, ≠ P (2). S = P, ≠ A (3). S ≠ A, ≠ P (4). A = P, ≠ S (5). S = A, = P Sistem pengelompokan (1) dan (2) dimiliki oleh banyak bahasa, sistem seperti (3) dan (5) sangat jarang adanya, dan sistem seperti (4) tidak ada ditemukan (lihat juga Dixon, 1994). Pengujian tipologis yang dilakukan untuk memperoleh sebuah simpulan bahwa BBT memiliki satu tipe bahasa tertentu, dilakukan dengan mencermati struktur klausa/kalimat BBT. Pencermatan klausa tersebut dilakukan dengan mengamati struktur verba, struktur koordinatif, subordinatif, dan superordinatif dalam kalimat. Pengujian tipologis lebih lanjut dilakukan melalui uji pivot melalui penganalisisan keberterimaan konstituen agen atau pasien pada rujuk silang subjek. Hal ini menjadi arah temuan penelitian tipologi BBT tersebut.
2.2.4 Predikasi dan Struktur Argumen Analisis predikasi dan argumen dalam struktur sebuah bahasa sangat erat kaitannya dengan peran semantis bahasa tersebut. Hal ini dikarenakan sebuah
40
kalimat terdiri atas predikator dengan satu argumen atau lebih. Dalam kajian tipologi, keberadaan predikator dan argumen dimarkahi dalam fitur-fitur gramatikal, baik pemarkah agen (pelaku) dan pasien (penderita). Keberadaan pemarkah-pemarkah ini merupakan kajian penting dalam tipologi bahasa (lihat Comrie, 1989). Kajian predikasi dan struktur argumen ini mengacu pada analisis peran semantis sebagai penentu peran umum pada sebuah predikat yang didasarkan pada struktur logisnya (Van Valin dan Lapolla, 1999:151).
2.2.4.1 Predikasi Lyons (1987: 270-337), menyebutkan bahwa di antara unsur-unsur yang membangun/membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat (predicate); dan ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Menurut Alsina (1996:4-7) bahwa sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah klausa. Pelibat (partisipan) itulah yang disebut argumen predikat. Masing-masing predikat, baik verba maupun nonverbal mempunyai hubungan logis dengan argumen-argumennya. Secara lintas bahasa, para ahli memperkenalkan bentuk predikat dengan istilah predikat sederhana (simple predicate) dan predikat kompleks (complex predicate). Predikat sederhana ialah predikat yang hanya terbentuk dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) yang menjadi induk (head), sedangkan predikat kompleks ialah predikat dengan banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun lebih dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) (lihat Ackerman dan Webelhuth, dalam Jufrizal, 2007: 78). (6) Madabu au (DLW) AKT-jatuh aku
41
‘Aku jatuh’ (7) Matonu au (DLP) Basah aku ‘Aku basah’ (8)Manuhor boras au disuru uma. (DLP) AKT-beli beras aku PAS-suruh ibu ‘Ibu menyuruhku membeli beras.’
Predikat dalam klausa (6) dan (7) hanya terdiri atas satu unsur gramatikal yang menjadi induk (single headed), yaitu madabu, matonu. Sedangkan dalam konstruksi (8) terdiri atas lebih dari satu unsur gramatikal sebagai induk (multi headed) yaitu disuru, manuhor. Predikasi BBT dapat berupa satu predikat bukan verbal dan satu argumennya menempati posisi di belakang predikat, berfungsi sebagai subjek. Predikat bukan verbal menghendaki satu argumen (subjek) untuk membentuk
predikasi.
Unsur-unsur
bukan
argumen
diperkirakan
dapat
ditambahkan pada predikasi tersebut.
2.2.4.2 Struktur Argumen Van Valin, Jr dan La Polla (1999:28) menyebutkan bahwa istilah argumen sebenarnya merujuk keargumen semantis (argumen yang didasarkan atas sebab dan faktor semantis), sementara argumen inti (core argument) merupakan pengertian yang merujuk ketataran sintaksis. Alsina (1996:4-7) menyebutkan sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah klausa. Hubungan fungsi-fungsi gramatikal (S, O, OBL) dengan argumen tidak bersifat acak atau tak terduga melainkan ditentukan oleh semantis predikat. Setiap verba harus sesuai dengan argumennya, sehingga keterkaitan argumen predikat
42
dengan predikat itu sendiri membentuk sebuah struktur, yang disebut struktur argumen. Struktur ini diperlukan untuk menunjukkan kerangka sintaktisnya. Kehadiran argumen inti dalam suatu klausa memerlukan verba dan tidak dimarkahi oleh preposisi/posposisi maupun konjungsi. (9) Manuhor miak uma di onan. (DLP) AKT-beli minyak ibu di pasar ‘Ibu membeli minyak di pasar.’
Klausa di atas memiliki dua argumen inti. Argumen uma dan miak disebut argumen inti karena kehadirannya sangat diperlukan oleh verba manuhor. Namun, di onan bukanlah argumen karena kehadirannya bersifat mana suka dan memiliki pemarkah preposisi di.
2.2.5 Pentopikalan Li dan Thomson (dalam Jufrizal 2007:151) memperkenalkan tipologi bahasa berdasarkan pada derajat penonjolan; subjek atau topik. Menurutnya, sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa yang menonjolkan subjek jika kalimat dasarnya paling baik diungkapkan melalui struktur ‘subjek-predikat’. Bahasa yang menonjolkan topik akan mempunyai struktur kalimat dasar melalui struktur ‘topik-komen’. Li dan Thomson juga mengusulkan pengelompokan bahasa menjadi empat kelompok, yaitu: (a) bahasa yang menonjolkan S (misalnya, bahasa Inggris dan Jerman) (b) bahasa yang menonjolkan topik (misalnya, bahasa Cina) (c) bahasa yang sama-sama menonjolkan S dan P (misalnya, bahasa Jepang dan Korea)
43
(d) bahasa yang tidak menonjolkan S maupun topik (misalnya, bahasa Tagalog) Pengelompokan ini didasarkan pada tuntutan tipologis bahwa ada sejumlah bahasa yang dapat diperkirakkan dengan baik berdasarkan topik, dan ada juga sekelompok bahasa yang diperikan berdasarkan pengertian subjek (Li (ed), dalam Jufrizal 2007: 150-151). Pentopikalan (topicalization) digunakan untuk merujuk konstruksi sintaksis; FN berada pada konstruksi dasar (kanonis) yang berada pada posisi sesudah verba dan muncul pada posisi awal sebelum S. Pentopikalan menempatkan suatu konstituen yang normalnya mengikuti verba, dipindahkan ke depan mendahului FN subjek (Mallison dan Blake, 1981). Comrie (1989:64), menyatakan bahwa topik kalimat adalah tentang apa kalimat itu, atau apa yang menjadi pembicaraan kalimat itu. Blake (1994) memberikan batasan mengenai topik, yaitu apa yang dibicarakan sebagai lawan dari sebutan/komen. Gundel (dalam Artawa, 1998:98) mengemukakan bahwa sejumlah fitur dari bahasa yang menonjolkan topik, antara lain: (a) topiknya ditandai dalam struktur lahir; (b) topik tersebut cenderung mengontrol kereferensialitasan; (c) kaidah penciptaan subjek seperti pemasifan jarang ditemukan; (d) konstruksi subjek ganda yang berorientasi topik merupakan struktur kalimat dasar. Jika frasa berelasi oblik yang ditempatkan di awal kalimat, hal ini bukanlah pentopikalan tetapi hanya proses pengedepan (fronting). Contoh sedehana pengedepanan yang dikutip dari Artawa (1998:70) berikut ini: (1a) Jhon bought some fruit in the market (1b) In the market, Jhon bought some fruit
44
(2a) Tiang ngaba buku-ne ento 1TG AKT-bawa buku-DEF itu ‘Saya membawa buku itu’ (2b)Buku-ne ento tiang ngaba Buku-DEF itu 1 TG bawa ‘Buku itu saya bawa’
Lokatif in the market pada contoh (1a) bahasa Inggris di atas dikedepankan pada (1b). Artawa (1998:71) menyebutkan bahwa contoh (2a) adalah sebuah proses pentopikalan dalam bahasa Bali, karena pelengkap pasien ditopikkan. Hal ini terlihat dari argumen inti buku-ne ento dikedepankan; unsur awal dari klausa itu adalah agumen inti.
2.2.6 Sistem Pivot Menetapkan tipologi sebuah bahasa dalam ancangan sintaktis tidaklah mudah. Hal ini disebabkan adanya ciri-ciri bahasa yang bercampur antara tipologi ergatif dengan akusatif. Pada tataran sintaksis, menentukan sebuah bahasa berciri ergatif (P diperlakukan sama dengan S secara sintaksis) atau sebagai bahasa akusatif (A diperlakukan sama dengan S secara sintaksis) mengharuskan peneliti mempertimbangkan perilaku gramatikal konstruksi sintaksisi yang berbeda-beda (lihat Artawa, 1998: 133). Pengujian tipologi sintaksis BBT dalam penelitian ini dilakukan dengan uji pivot. Uji Pivot (Lihat Dixon, 1994; Jufrizal, 2004) adalah suatu sistem uji yang mengaitkan S dan A; S dan P; S, A dan P. Pivot merupakan FN paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi sebagai pivot mempunyai kemampuan mengkoordinasikan, mengontrol pelesapan yang dihilangkan dalam sistem kontrol. Misalnya, pada bahasa bertipologi akusatif, pivot adalah subjek
45
gramatikal, sedangkan pada bahasa bertipologi ergatif, pivot adalah FN yang merupakan pasien. Pada dasarnya ada dua variasi pivot, yaitu: (1) pivot S/A- FN yang berujuk-silang pada fungsi S atau A turunan pada masing-masing klausa yang digabungkan. Contoh: Jhon saw Marry and [ ] sat down A P FN Konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua, berupa FN adalah S yang ditafsirkan berkoreferensi dengan A pada klausa pertama, bukan dengan P.
(2) pivot S/P- FN yang
berujuk-silang pada fungsi S atau P turunan pada
masing-masing klausa yang digabungkan. Contoh: Marry Jhon-nggu bura-n nyina-nyu (bahasa Dyirbal- Australia) Marry (P) Jhon-ERG see sit down Konstituen yang terdapat pada contoh di atas menunjukkan bahwa S pada klausa intransitif tidak dinyatakan secara langsung. S ditafsirkan secara sintaksis berkoreferensi dengan P pada klausa transitif yang mendahuluinya. Jadi bahasa Dyirbal mengizinkan pelesapan FN jika masing-masing berfungsi sebagai S dan P (Blake, 1990). Berpedoman pada kerangka kerja dasar uji pivot yang dikemukakan oleh Dixon (1994:157-160) maka terdapat kemungkinan fungsi FN biasa/umum dalam perbandingan dua klausa secara sintaksis, yaitu: (a) S1= S2 Kedua klausa intransitif (b) S1= P2 (c) S1=A2 Klausa pertama intransitif, kedua transitif
46
(d) P1= S2 (e) A1=S2 Klausa pertama transitif, kedua intransitif (f) P1=P2 (g) A1=A2 (h) P1=A2 (i) A1=P2 Kedua klausa transitif, satu FN biasa/umum (j) P1= P2 dan A1= A2 (k) P1= A2 dan A1= P2 Kedua klausa transitif, dua FN biasa/umum Berdasarkan kesebelas kemungkinan penggabungan dua klausa secara sintaksis untuk menentukan pivot di atas, Dixon (1994: 158-159) menyatakan bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa yang memiliki pivot S/A lemah. Akan tetapi, penggabungan yang muncul di atas hanya menyajikan kerangka kerja dasar untuk menemukan apakah sebuah bahasa mempunyai pivot. Skema yang dikemas di atas mengalami pelesapan, yang berarti tidak ada turunan (derivasi) sintaksis diperlukan, apabila FN biasa ada dalam fungsi S atau A pada setiap klausa (a), (c), (e), (g), dan (j). Apabila FN umum berada dalam fungsi P pada satu klausa maka klausa tersebut dipasifkan agar pelesapan FN diizinkan; hal ini berlaku pada (b), (g), (h), (i), dan (k), pada (f) kedua klausa perlu dipasifkan.
47
2.2.7 Tipologi Gramatikal Tipologi bahasa pada umumnya dimaksudkan untuk mengelompokkan bahasa melalui perilaku struktural berdasarkan kekhasan bahasa tersebut. Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap struktur bahasa, dengan mempertimbangkan ciri yang paling dominan bahasa itu (Comrie, 1989:33-38). Dalam kajian tipologi sintaksis, penentuan tipe sebuah bahasa didasarkan pada tiga argumen sintaksis yakni, S (subjek), A (agen), dan P (pasien). Relasi unsur-unsur ini akan mengarahkan kerangka kerja teoretis, sehingga dapat menemukan tipologi bahasa. Pentipologian bahasa-bahasa, terutama pada tataran sintaksis, berkaitan dengan sistem aliansi gramatikal (grammatical alliance). Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis; apakah persekutuan itu S = A, ≠ P, atau S = P, ≠ A, atau Sa = A, Sp = P atau sistem yang lainnya (lihat Dixon, 1994). Artawa (1998: 127) mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin untuk membahas bahasa di dunia dapat dibagi tiga, yaitu sistem akusatif, sistem ergatif, dan sistem S-terpilah (bahasa aktif).
2.3 Kerangka Kerja Teoretis Secara teoretis, penelitian ini menggunakan pendekatan tipologi sintaksis. Analisis dalam kajian ini menjelaskan beberapa aspek sintaksis BBT khususnya kajian klausa dan kalimat. Selanjutnya, struktur klausa/kalimat tersebut dianalisis menggunakan kajian yang mendukung proses penemuan tipe BBT, meliputi:
48
1. relasi gramatikal; mengkaji fungsi sintaksis dari satu kalimat, yang dikategorikan sebagai S, OL, OTL, dan OBL (Comrie, 1989). 2. aliansi gramatikal; mengkaji fungsi sintaksis yang didasarkan pada peran semantisnya. Peran semantis tersebut meliputi agen dan pasien (Foley dan Van Valin 1984; Van Valin, 1999). 3. predikasi; mengkaji struktur klausa dan kalimat yang terdiri atas predikat dan struktur logisnya (Foley dan Van Valin 1984; Van Valin, 1999). 4. struktur argumen; mengkaji keterkaitan informasi antara predikat dan argumennya (Van Valin dan Lapolla, 1999). 5. pentopikalan; mengkaji penonjolan subjek atau topik mengikuti atau mendahului verba (Mallison dan Blake, 1981; Comrie 1989). 6. tataurutan kata; penelitian ini juga mengkaji tataurutan kata sebagai struktur dasar telaah relasi dan aliansi gramatikal bahasa tersebut (Greenberg, dalam Mallinson dan Blake, 1981). 7. uji pivot; penting dilakukan sebagai satu uji ilmiah penentuan tipe BBT secara teliti. Uji pivot mengaitkan S dan A; S dan P; dan S, A,dan P (Dixon 1994: 157-160). Berdasarkan tahapan kajian tersebut, interpretasi karakteristik sintaksis BBT dalam penentuan tipologi gramatikalnya dapat dilaksanakan dengan cermat. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kajian selanjutnya yakni analisis data yang terarah dan ilmiah. Untuk memberikan gambaran umum mengenai kerangka kerja teoretis penelitian ini, digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini.
49
Bagan 6 KERANGKA KERJA TEORETIS PENELITIAN SINTAKSIS BBT
KLAUSA/KALIMAT BBT
KAJIAN TIPOLOGI GRAMATIKAL
RELASI DAN ALIANSI GRAMATIKAL
PREDIKASI DAN STRUKTUR ARGUMEN
TATAURUTAN KATA
PENTOPIKALAN BBT
SISTEM UJI PIVOT
ANALISIS DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
TIPOLOGI SINTAKSIS BBT
1. SIMPULAN 2. SARAN