BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Wayang Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan (Pandam Guritno dalam Bagyo Suharyono. 2005 : 24) .Wayang dalam bahasa jawa berarti bayangan, dalam bahasa melayu berarti bayang-bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata baying, artinya barang yang dapat dilihat secara nyata. Dalam bahasa Aceh bayeng, bahasa Bugis wayang atau bayang. Dari akar kata yung, yang, ying, yong, yeng, antara lain terdapat dalam kata layang berarti terbang, doyong berarti miring, atau tidak stabil selalu bergerak.Royong berarti pindah atau beralih tempat, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata dasar itu mempunyai maksud menyatakan bayangan yang selalu bergerak tidak tetap, dinamis selalu bergerak kian kemari, terbang, tidak pasti. Wayang atau Hewayang adalah bergaul dengan bayang-bayang atau mempertunjukkan bayangan (wayang) (Sri Mulyono dalam Bagyo Suharyono. 2005 : 25). Awalan “Wa“ didalam bahasa Jawa modern tidak mempunyai fungsi lagi. Tetapi dalam bahasa Jawa kuna awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa. Jadi bahasa Jawa wayang yang mengandung pengertian “berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup, bayang-bayang” telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika awalan wa masih mempunyai tata bahasa. Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan wayang (Sri Mulyono. 1982 : 10). Menurut Mertosedono (1986), wayang dari asal kata wod dan yang, artinya gerakan yang berulang-ulang atau tidak tetap sehingga dapat disimpulkan bahwa wayang artinya gerakan yang berulang-ulang, tidak tetap sehingga dapat disimpulkan bahwa wayang artinya bayangan yang bergoyang, bolak-balik (berulang-ulang) atau mondar-mandir tidak tetap tempatnya. Suatu wayang disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya pada kelir, yakni tempat memamerkan wayang
7
8
menggambarkan orang jaman dahulu yang terbayang dalam angan-angan, jadi wayang itulah yang tertanam dalam angan-angan (Risna Herdian, 2010 : 5). Claire Holt (1967) menyatakan, “Dalam pengertian sebuah pertunjukan, kata wayang dapat dipadankan dengan kata ringgit. Kata “Wayang“ , “Humayang“, pada waktu dulu berarti : mempertunjukkan bayang – bayang. Kemudian menjadi seni pentas bayang – bayang atau wayang. Kata wayang setidaknya sudah ada sejak tahun 907 terbukti dengan disebutkannya istilah mawayang dalam prasasti dari zaman Raja Balitung” (Aris Prasetyo. 2009 : 2). Kata wayang berkaitan dengan kata “hyang” yang berarti “leluhur”, akar kata hyang adalah yang, maksudnya bergerak berkali-kali, simpang siur, lalu lalang, melayang. Oleh karena itu wayang dapat pula berarti sukma, roh, yang melayang, yang mengitar. Jadi makna dan arti hyang dapat dirinci menjadi 2 (dua) yakni, (1) sukma, roh, (2) orang telah meninggal “leluhur” (Dr. G.A.J Hazeu dalam Sutardjo,2008: 58). Masih banyak sumber yang menyatakan pendapat para pakar wayang mengenai wayang yang memerlukan penyelidikan lebih dalam mengenai kebenarannya. Jika ditelaah dengan seksama kata wayang yang berarti bayang – bayang, wayangan (layang-layang) berasal dari Jawa. Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater (Pandam Guritno dalam Risna Herdian, 2010 : 5).
2. Fungsi Wayang Wayang adalah budaya agraris-feodal yang hidup dalam komunitaskomunitas masyarakat Indonesia (Jawa, Sunda, Bali, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan). Wayang adalah cerminan dan suri tauladan hidup, pada masa lalu merupakan budaya yang nilai-nilainya dipakai sebagai tuntunan hidup oleh masyarakat (Muji Sutrisno dalam Bagyo Suharyono. 2005 : 15-16). Disamping itu wayang dipakai sebagai sarana pertunjukan ritual, dan merupakan wujud ritus-ritus kepercayaan. Wayang adalah sebagai simbol usaha manusia untuk menyelaraskan kehidupan lahiriah dan batiniah. Wayang
9
adalah sarana untuk menyelaraskan dan memberikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos (jagad gedhe dan jagad cilik), yang ada pada diri manusia (Umar Kayam dalamBagyo Suharyono. 2005 : 26). Pada dasarnya pertunjukan wayang pada masa lalu adalah sebagai upacara ritual pemujaan roh nenek moyang. Kenyataan ini memang masih terasa pada masa sekarang. Kepercayaan itu tentu erat kaitannya dengan kepercayaan kuno Indonesia, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme (Sujamto dalam Bagyo Suharyono. 2005 : 26-27). Didalam perkembangannya pertunjukan bayang-bayang atau wayang sering juga digunakan sebagai media pendidikan, media dakwah yang mengandung nilai-nilai luhur, pertunjukan bayang-bayang atau wayang juga digunakan pada acara larungan, ruwatan atau ritual bersih desa, yang mana orang-orang memiliki sebuah harapan agar diberikan keselamatan dan terhindar dari malapetaka serta juga mendapatkan berkah yang berlimpah ( Mulyono, 1983:53). Pentas bayang-bayang ini mencapai bentuknya yang masih sederhana pada tahun seribu (1000) sebelum masehi. Pertunjukan ini berciri Shamanisme dan berfungsi sebagai pemujaan Hyang. Dalam kurun waktu yang cukup lama dan secara evolusi, pertunjukan ini berubah menjadi pertunjukan wayang kulit yang masih sederhana (Ibid dalam Bagyo Suharyono. 2005 : 29). Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan, dan merupakan gabungan lima jenis seni, yakni : Seni widya (filsafat dan pendidikan), seni drama (pentas dan musik karawitan), seni gatra (pahat dan seni lukis), seni ripta (sanggit dan sastra), dan seni cipta (konsepsi
dan
ciptaan-ciptaan
baru)
(
http://www.indosiar.com/ragam/60691/wayang-sebuah-bentuk-pengakuan-dunia dalam Warto, Supriadi dan Margana, 2011 : 10-11 ). Orang jawa pada masa lalu memang sudah mempunyai pertunjukan bayangan, seperti bangsa-bangsa lain. Pertunjukan orang jawa bukan pengaruh India atau Cina. Pertunjukan ini digunakan untuk pemujaan roh nenek moyang dan kegunaan ritual lainnya. Pertunjukan bayangan ini mula-mula berciri animisme dan dinamisme, yang erat kaitannya dengan agama asli orang jawa (agami jawi) (Bagyo Suharyono. 2005 : 32). Wayang dianggap sebagai bentuk
10
kesenian istimewa karena memiliki sifat – sifat yang dalam bahasa Jawa disebut adiluhung dan adipeni, yaitu sangat agung, luhur, dan juga indah (etika dan estetika) (Warto, Supriadi dan Margana, 2011 : 10).
3. Jenis dan Ragam Wayang Kata wayang itu sendiri berasal dari kata bayang yang merupakan sebuah ritual zaman purbakala sebagai upacara memanggil arwah dengan cara memasang lampu minyak kelapa dan menayangkan bayangan pada dinding atau kain putih yang dibentangkan. Beberapa jenis wayang berupa boneka 2 (dua) dimensi, yaitu terbuat dari kulit, dimainkan oleh dalang didepan layar kain dan diterangi oleh lampu. Beberapa jenis wayang terdiri dari boneka-boneka 3 (tiga) dimensi terbuat dari kayu (Warto, Supriadi dan Margana, 2011:10). Jenis-jenis wayang dibedakan berdasarkan bentuk visual wayang ,bahan yang digunakan dan proses pembuatanya. Keragaman wayang sendiri disebabkan karena perkembangan zaman . Wayang yang digambar di kertas gedhog atau kain memiliki ornamen latar belakang dari karakter wayang dan pada prosesnya melalui pewarnaan sungging. Cara pewarnaan sungging tersebut sama dengan wayang kulit, yang membedakannya pada wayang kulit melalui proses penatahan. Sedangkan wayang yang terbuat dari kayu melalui proses penatahan seperti patung. Dari asal-usul wayang sebagai pertunjukan bayang-bayang atau wewayangan, yang artinya dalam bahasa Jawa adalah angan-angan manusia terhadap nenek moyangnya, wayang semakin lama semakin berkembang bentuknya. Bentuk-bentuk wayang yang berkembang menimbulkan jenis-jenis wayang. Menurut Pangeran Kusumodilogo dalam Serat Sastramirunda, wayang berkembang menurut bentuk secara berurutan (Bagyo Suharyono, 2005:34). Berikut ini adalah jenis-jenis wayang yang ada di jawa :
a. Wayang Batu (Wayang Watu) Wayang Batu adalah wayang cerita wayangnya digelarkan secara permanen pada batu yang disebut candi, maka oleh karena itu kiranya pagelaran
11
yang permanen dengan cerita-cerita siklus Ramayana dan Mahabarata pada batu itu tidak berlebihan apabila disebut wayang batu atau wayang candi (Mulyono, 1982:158). Wayang Batuterdapat pada candi atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut : 1. Candi Prambanan (± tahun 856) 17 km dari Yogyakarta di tepi jalan raya Yogyakarta-Surakarta memuat cerita tentang Kresna. 2. Candi Lara Jonggrang (± tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan memuat cerita Ramayana. 3. Pemandian Jalatunda (± tahun 977) memuat cerita Sayembara Drupadi. 4. Gua Selamangleng (abad ke-X) memuat cerita Arjuna Wiwaha. 5. Candi Jago di Tumpang, Malang, Jawa Timur (± tahun 1343) memuat cerita Tantri, Kunjara Karna, Partayadna, Arjuna Wiwaha, dan Kresnayana. 6. Candi Pasir di Tulungagung, Jawa Timur (± tahun 1350) memuat cerita Arjuna Wiwaha. 7. Candi Panataran di Blitar (± tahun 1197-1454) memuat cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai Punakawan gendut dan cerita Ramayana. 8. Candi Tegowangi di Kediri (± tahun 1370) memuat cerita sundamala dengan Sadewa yang diiringi Punakawan bertubuh gendut dan Durga diikuti oleh orang Reseksi. 9. Kedaton Gunung Hyang (± tahun 1370) memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang Rama, Bimasuci, Mintaraga, dan cerita Panji 10. Candi Sukuh dekat Tawangmangu (± tahun 1440) 36 km dari Surakarta arah ke timur, memuat cerita Sudamala, Gameda, Bimasuci ( Haryanto, 1988:76).
b. Wayang Rontal Wayang Rontal yaitu gambar atau cerita yang dilukiskan pada lembaran Rontal. Ron berarti daun, tal berarti pohon siwalan. Gambar-gambar wayang atau cerita lain digambarkan pada helaian daun tal tersebut, diterangkan dengan tulisan. Gambar-gambar ini akan nampak segaris mati pada helaian daun yang
12
makin lama makin mengeras. Helaian daun yang kering ini kemudian dirangkai dengan benang-benang sehingga berwujud seperti buku. Gambar-gambar ilustrasi dari cerita yang ditulis pada rontal ini kemudian disebut wayangrontal. Wayang rontal menurut anggapan para ahli wayang penganut paham tipologi yaitu penganut teori perkembangan wayang yang burubah-ubah menurut tipe dan bentuk yang berkembang sampai sekarang dan juga menurut Serat Sastramidura. Wayang rontal ini adalah nenek moyang wayang-wayang selanjutnya (R.M Sayid dalam Risna Herdian, 2010: 26). Pada Serat Sastramiruda tertulis sengkalan (kronogram) gambaring Wayang Wolu, berarti 861 Saka atau 939 tahun Masehi. Pada waktu berkuasa Prabu Jayabaya dari Mamenang membuat wayang ceritera Purwa pada daun siwalan atau rontal, dan wayang ini disebut wayang rontal (Bagyo Suharyono, 2005:34-35). Wayang Rontal masih banyak tersisa di Bali dan di Jawa. Di Bali, Wayang Rontal disebut keropak dan di Jawa disebut kropak. Wayang Rontal ini menurut Serat Sastramiruda dianggap sebagai nenek moyangnya wayang beber. Sumber Serat Sastramiruda menyebutkan : “ Pada waktu berdirinya keraton Jenggala, di masa tahun 1120Saka, yang bertahta menjadi raja adalah Prabu lembu lamiluhur, setelah mencapai dua puluh empat tahun digantikan oleh putranya yang kedua (panenggak) ialah Raden Panji Kesatriyan atau Raden Inu Kertapati, bergelar Prabu Surya Hamisesa. Ingin mencipta gambar wujud wayang Purwa, pada ron tal, didistorsi tingginya. Para saudara kerabat diperintahkan untuk membantu setiap keluar untuk dihadap, gambar tersebut dipersembahkan, dengan ditempatkan didalam kotak yang bernama kendaga. Juga mencipta induk ceritera wayang purwa, masa itu adalah permulaan wayang memakai gamelan slendro. Untuk pertemuan Prabu Suryamisesa sebagai dalang, para saudara sejawat yang memukul gamelan dengan kronogram Tata Karya Titining Dewa, 1966.)”
Demikianlah sumber Serat Sastramiruda telah menguraikan mulai terciptanya Wayang Rontal sebagai wujud asal mula Wayang Beber (K.G.P.A Kusumodilogo dalam Bagyo Suharyono, 2005: 52-53) .
13
c. Wayang Beber Wayang beber adalah sebuah pertunjukan yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat di Jawa, digunakan sebagai sarana ritual (Bagyo Suharyono, 2005:9). Asal-usul wayang beber dimulai sejak zaman kerajaan Jenggala. Pada tahun Saka 1283 atau tahun 1361 Masehi sengkalan Gunaning Pujangga Manembah ing Dewa, Sang Prabu Bratana dari Majapahit membuat wayang beber cerita Purwa. Pembuatan wayang beber ini dilengkapi dengan sesajen dan kemenyan, yang digunakan untuk upacara ruwatan (Bagyo Suharyono, 2005: 35). Wayang beber kuno dilukis dengan teknik sungging pada lembaran kertas gedhog. Yang disebut kertas gedhog ini adalah kertas buatan orang Jawa asli, dari daerah Ponorogo. Oleh karena itu, kertas gedhog ini juga disebut dlancang gedhog, dlancang jawi, atau dlancang ponorogo. Kertas gedhog ini diketahui sudah dibuat pada masa akhir Majapahit. Bahan kertas dibuat dari kayu galuga. Menurut keterangan Sjamsudjin Probohardjuno, kayu galugu adalah kayu sejenis pohon so, tetapi daunnya lebih besar dan kaku, tidak berbuah (Bagyo Suharyono, 2005: 41). Wayang beber berasal dari 2 (dua) tempat yaitu Pacitan Jawa Timur dan Gunung Kidul Yogyakarta. Cara yang dipakai dalam pertunjukan wayang beber adalah memperlihatkan gambar-gambar wayang beber, gambar jagong wayang yang dipertunjukkan satu demi satu, setelah habis satu gulung diganti dengan gulungan lainnya, demikian seterusnya sampai selesai satu ceritera. Seligi terpancang dilubang ceblokan, yang terdapat pada kotak ampok tempat penyimpanan wayang beber (Bagyo Suharyono, 2005: 44-45). Cara dalam pertunjukan wayang beber antara wayang beber Pacitan Jawa Timur dengan Gunung Kidul Yogyakarta berbeda. Jika di Pacitan dalang berada di belakang wayang beber saat pertunjukan berlangsung sambil menceritakan adegan demi adegan dan dhalang sendirilah yang mengganti setiap gulungan. Berbeda dengan di Gunung Kidul Yogyakarta, dimana dalang saat pertunjukan berada di depan wayang beber sambil menunjuk gambar pada saat menceritakan
14
setiap adegannya, sedangkan yang mengganti dan menggulung wayang beber adalah 2 (dua) orang yang berada di sisi kanan dan kiri dhalang.
d. Wayang Purwa Wayang kulit purwa adalah pertunjukannya wayang pementasan bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana. Purwa semula adalah bahasa sansekerta yang bararti “pertama” , yang terdahulu, yang dulu. Zaman purwa berarti “wayang yang dulu”, yaitu wayang yang mempertunjukkan cerita zaman dulu (purwa). Jadi jenis wayang ini mendapat namanya dari “purwa” yang berarti “bab-bab” dalam karya Sanskrit, terutama Mahabarata. Isi mahabarata itu setelah mendapat kemashuran dan popularitas di Jawa, diolah kedalam beberapa lakon mitos Jawa kuna dan dipertunjukkan bayangan Jawa Kuna ( Mulyono, 1982:149). Menurut kitab Centini, tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/ Kediri dengan daun lontar ( Aris Prasetyo, 2009:3). e. Wayang Gedog Pada tahun 1505 Saka atau 1565 Masehi dengan sengkalan Panca Boma Marga Tunggal, Sultan Hadiwijaya membuat wayang kulit gedhog. Pada tahun 1687 Saka atau 1761 dengan sengkalan Watu Tunggangane Buta Widadari, Sunan Amangkurat Agung Seda Tegalwangi telah membuat wayang gedhog (K.G.P.A Kusumodilogo dalam Bagyo Suharyono, 2005: 36-37). Penafsiran arti kata “gedog” sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Oleh sarjanasarjana barat kata gedhog ditafsirkan sebagai kandang kuda (bahasa Jawa: gedogan – kandang kuda). Dalam bahasa Kawi Gedog berarti kuda. Penafsiran lain kata Gedog tersebut ialah batas antara siklus wayang Purwa yang mengambil cerita Mahabarata dan Ramayana dengan siklus cerita panji. Bentuk seni rupa wayang kulit Gedog yang terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang kulit purwa jenis satria sabrangan. Busana kain berbentuk rupekan dengan menyandang keris.
15
Hanya empat jenis muka tokoh wayang Purwa Dusasana, muka dengan mata kedondongan seperti tokoh wayang Setiyaki, muka bermata kliyepan seperti muka tokoh wayang Arjuna dan muka berhidung dempak seperti muka tokoh Werkudara. Untuk tokoh wanita sama halnya dengan tokoh-tokoh wayang putri Purwa lainnya. Atribut (irah-irahan) untuk satria pada umumnya bersumping sekar keluih dengan rambut terurai lepas antara lain ngore polos, ngore gembel, ngore gimbal ataupun ngore udalan. Muka-muka jenis raksaas ataupun kera tidak terdapat dalam wayang Gedog ini. Busana tokoh-tokoh raja pada umumnya mengenakan irah-irahan garuda mungkur dengan menyelip dua buah keris, sedang perlengkapan busana lainnya, sama seperti yang terdapat pada wayang kulit Purwa, namun tidak memakai praba, ataupun topong. Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan cerita-cerita dari kitab Ramayana ataupun Mahabarat, tetapi cerita-cerita Panji. Selain terbuat dari kulit yang ditatah dan diungging, terdapat pula yang terbuat dari kayu pipih (papan) yang diukir dan disungging, tetapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pementasan wayang ini diambilnya cerita Damarwulan Menakjingga dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klitik (Haryanto, 1988: 97).
f. Wayang Klitik atau Krucil Kata Klitik dan Krucil sebenarnya mempunyai arti yang sama, berasal dari perkataan yang bermakna kecil, sedikit, kurus, dan sebagainya karena diberi sisipan el dan er. Perkataan kecil cukup dimengerti; kelitik berasal dari kata ketik, mengingatkan akan perkataan sethithik dan kedhik, klithak-klithikan (Mulyono, 1982: 154). Pada tahun 1687 Saka atau tahun 1761, dengan sengkalan Watu Tunggangane Buta Widadari, Sunan Amangkurat Seda Tegalwangi telah membuat Wayang Gedhog, dan Raden Pekik dari Surabaya telah membuat Wayang Krucil (K.G.P.A Kusumodilogo dalam Bagyo Suharyono, 2005: 37). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya tetap dibuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada siang hari dan tidak menggunakan kelir.
16
Kemudian dan seterusnya wayang Klitik digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari ktab Mahabarata, disebut wayang Golek Purwa. Wayang Klitik merupakan wayang wasana (akhir) dari zaman Wasana, setelah zaman Madya yang diwakili oleh wayang Madya, sedang wayang Purwa (Mahabarata dan Ramayana) merupakan wayang yang mewakili zaman Purwa (Haryanto, 1988: 63).
g. Wayang Madya Di Mangkunegaran telah diciptakan suatu bentuk wayang baru yaitu wayang Madya karya Mangkunegaran IV. Wayang Madyakarya Mangkunegaran IV adalah sebuah bentuk wayang yang merupakan perpaduan antara wayang Kulit dan wayang Gedog. Wayang ini dibuat berdasarkan fakta bahwa tidak ada sambungan lagi dari cerita setelah Parikesit (cucu Arjuna) yang telah meninggal dunia, sehingga cerita mengenai Mahabarata berakhir sampai di situ saja, dan kemudian dilanjutkan dengan cerita dalam wayang Gedog, dengan demikian cerita dari Mahabarat tidak terpenggal sampai Parikesit saja, sehingga sejarah raja-raja Mataram tidak terputus. Wayang Madya Mangkunegaran IV merupakan suatu jenis wayang baru yang menggabungkan berbagai macam bentuk wayang yang ada pada masa itu. Mangkunegaran IV berusaha menggabungkan seluruh wayang menjadi satu kesatuan yang berangka, yaitu sejarah Jawa lama sebagaimana telah ditulis dan ditetapkan secara resmi dalam babad pada abad yang lalu sampai masuknya Islam, diolah secara dramatis menjadi suatu rangkaian yang kronologis dari lakon yang berurutan. Dapat dikatakan bahwa wayang Madya ini terlahir karena keinginan Mangkunegaran IV untuk melukiskan sejarah Jawa secara dramatis, yaitu bagian diantara apa yang disebut zaman purwa dan zaman cerita panji (Sri Mulyono, 1975:156-157). Semula Sri Mangkunegaran IV menerima Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802-24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 caka). Buku itu berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa
17
atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang kemudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging Witardya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pandawa sampai pada akhir perang Bharatayuda. Tokoh wayang Parikesit merupakan tokoh wayang pemula dari wayang Madya, meskipun bentuk busana serta atribut-atributnya masih nampak bentuk Purwa tersebut nampak pula pada tokoh-tokoh wayang patih negara Astina, Harya Dwara, anak Samba, serta Ramayana dan Ramaprawa putra-putra Prabu Parikesit (Haryanto, 2004: 95).
h. Wayang Golek Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat dan dibuat dari kayu, maka disimpulkan, bahwa berdasarkan bentuk yang mempunyai ciriciri seperti boneka itu, sehingga benda tersebut dinamakan wayang Golek. Dalam bahasa Jawa golek berarti boneka. Dalam bahasa Jawa, golek juga berarti mencari. Dengan memainkan wayang tersebut dalan bermaksud memberikan kepada para penonton agar seusai pagelaran, penonton nggoleki atau mencari intisari dan nasihat yang terkandung dalam pagelaran yang baru lalu. Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju serta selendang (sampur) dan dalam pementasannya tidak digunakan kelir. Boneka-boneka kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragamnya, sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana maupun Mahabarata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, kepalanya bisa terlepas dari tubuhnya, ia dihubungkan oleh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang yang sekaligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang dapat memalingkan wajah wayangnya ke kiri atau ke kanan, sehingga wayang tersebut nampak hidup. Atau dengan menggerakan badan wayang itu ke atas ke bawah berulangkali, ki dalang dapat menunjukan seolaholah wayang tersebut sedang terengah-engah setelah lari dikejar misalnya. Seperti halnya dengan tangan-tangan wayang kulit, tangan-tangan wayang Golek pun
18
dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakkannya (Haryanto, 1988: 59).
i. Wayang Topeng Pada zaman kerajajaan Demak, Sunan Kalijaga; salah seorang dari Wali Sanga menciptakan Topeng yang mirip dengan wayang Purwa pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: hangesti sirna yakseng bawana). Topeng ciptaan Sunan Kalijaga luas dan hingga dewasa ini masih hidup dan berkembang sebagai seni tradisional dengan corak tersendiri ditempat topeng tersebut berkembang (Haryanto, 1988: 29). Kalau wayang Purwa dan Gedog merupakan pertunjukan dari bayangan wayang tersebut, wayang Klitik dan Golek yang mempertunjukan wayangnya sendiri. Sedang wayang topeng yang mempertunjukan, orang-orang bertopeng. Topeng tersebut dibuat dari kayu mentaos. Kemudian dibuat dari kayu kweni, mangga, gayam, sentul dan kemiri. Cara membuat topeng mula-mula dengan betel atau tatah, dibuat lubang utnuk mata, dahi, hidung dan mulut kemudian dengan pisau yang bengkok untuk melubangi dahi, jenggot dan rambut diukir. Setelah selesai, topeng dihaluskan dengan daun ampelas atau bambu wuluh, akhirnya dicat. Didalam topeng dibuat bengkokan rotan atau kayu sehingga orang yang memakai, bisa menggigit bengkokan rotan atau kayu tersebut (Mertosedono, 1990: 35). Penampilan topeng tersebut dilakukan bersama dengan pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog, sehingga pertunjukan ini dikenal sebagai wayang Topeng atau sebutan suatu nama daerah tempat topeng itu berkembang, misalnya: topeng Losari, topeng Malang, atau topeng Madura. Kemudian sebutan topeng menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebutan wayang (Haryanto, 1988: 30).
j. Wayang Wong (Wayang Orang) Wayang Wong adalah jenis wayang yang mempergelarkan cerita yang diperankan oleh orang dengan syarat para pemainnya dapat menari, karena semua
19
gerakannya harus mengikuti pokok-pokok aturan seni tari (Yasasusastra, 2011: 14). K.B.A.A Mangkunegoro I (1757-1795) telah menciptakan sesuatu seni drama Wayang Wong (orang) yang pelaku-pelakunya terdiri dari para abdi dalem (pegawai) kraton (Haryanto, 1988: 78). Ketika itu yang dipertunjukan hanyalah lakon-lakon wayang Purwa. Setelah itu kehidupan wayang Wong tidak subur, tetapi di Yogyakarta agaknya masih ada pertunjukan hingga pada tahun 1881. Dengan campur tangan Mangkunegara V secara pribadi, wayang Wong itu menjadi kebiasaan lagi. Akan tetapi waktu pertunjukannya masih terbatas pada daerah Yogya-Solo untuk hiburan (Mulyono, 1982: 156).
4. Perubahan dan Perkembangan Wayang Menurut D.H Burger (1893) Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang
senantiasa
bergerak
(dinamis),
mengalami
perkembangan
terus
menerus.Pada tahun 1938 menurut Pigeaud berpendapat dan membuktikan, bahwa yang terkenal sebagai kebudayaan Jawa (yang disebut kebudayaan wayang) adalah hasil pertumbuhan selama beberapa abad. Menurutnya adalah suatu kekeliruan jika orang menganggap bentuk dan isi pergaulan hidup Jawa itu adalah warisan belaka dari zaman dahulu dan tidak menunjukkan pertumbuhan didalamnya (Isnawami Shubianisa, 2006: 17). Dari masa Majapahit wayang beber terus berkembang sampai ke masa Demak.Pada waktu itu mulai timbul kerajaan Islam di Jawa, dan mulai terjadi perubahan-perubahan yang menentukan perkembangan wayang beber di masa selanjutnya (Bagyo Suharyono, 2005: 59). Perubahan wayang yang telah mengalami perkembangan yang terus-menerus menunjukan bahwa budaya pewayangan terbuka terhadap budaya lain, Mulyono (dalam Nurgiyantoro, 1998: 19) menjelaskan bahwa pengaruh dari kebudayaan lain terhadap wayang dapat dilihat dari sejarah perkembangan wayang sejak zaman prasejarah hingga dewasa ini. Perkembangan suatu budaya (kesenian) tidak akan lepas dari masalah sosial masyarakatnya perubahan-perubahan sosial akan mempengaruhi dan mengubah pola-pola dan nilai budaya masyarakatnya (Sartono Kartodirdjo dalam Bagyo Suharyono, 2005: 13).
20
Wayang telah mengalami banyak perkembangan sejak pertama kali kemunculannya khususnya pada wayang beber. Dari yang pertama kali ditemukan wayang batu berkembang menjadi wayang rontal sampai menjadi wayang beber sekarang ini. Perubahan yang terjadi dapat dilihat dari ide dan bentuk visual Wayang Beber. Perubahan ide ditunjukkan dengan adanya wayang beber kontemporer yang berkembang sekarang ini, dengan tokoh-tokoh yang menceritakan kehidupan sehari-hari suatu masyarakat.Sedangkan perubahan visual dapat dilihat dengan adanya perkembangan bentuk-bentuk wayang yang dikreasi. Wayang beber yang sebelumnya digambar pada daun rontal dan kertas gedhog, sekarang ini juga dibuat pada media kaca.Perubahan yang terjadi pada wayang beber sesuai dengan perkembangan zaman. 5. Bentuk-bentuk Bagian Wayang 1) Jenis Mata Jenis-jenis mata dalam wayang meliputi mata:
Gambar 2.1 Jenis-jenis bentuk mata dalam wayang (Sumber : KOMPASIANA.com.html, 2015) a. Mata Liyepan Jenis mata ini berwujud manik menyerupai bentuk sebuah gabah atau biji padi yang belum dikupas. Liyepan menggambarkan kondisi
mata
setengah tidur. Jenis mata ini biasanya digunakan pada tokoh wayang betubuh langsing.
21
b. Mata Kedhelen Jenis mata ini diwujudkan dengan bentuk menyerupai biji kedelai pada biji mata maniknya. c. Mata Peten Jenis mata ini diwujudkan dengan bentuk biji petai pada biji matanya. Mata ini diperuntukan bagi tokoh yang berbadan kekar, tetapi memiliki perwatakan kurang terpuji. d. Mata Plelengan Jenis mata wayang ini digambarkan dengan bentuk bulat penuh pada biji matanya, dengan menggunakan warna merah muda, merah, dan hitam dalam menggambarkan maniknya, disamping itu digambar pula bagaian kelopak mata. Jenis mata ini diterapkan pada tokoh raksasa baik bertubuh kecil maupun bertubuh besar. e. Mata Kiyeran Jenis mata ini digambarkan dengan bentuk bulan sabit pada biji matanya. Jenis mata ini diperuntukkan hanya terbatas pada tokoh-tokoh tertentu saja. f. Mata Kiyip Jenis mata ini diwujudkan dengan penggambaran setengah lingkaran pada biji matanya. Diperuntukan bagi tokoh-tokoh yang gemuk, baik berukuran besar maupun kecil. g. Mata Thelengan Jenis ini digambarkan dengan bentuk bulat penuh pada biji matanya, tidak diberi warna dalam penggambaran naik, umumnya hanya memakai warna hitam saja (OGitA Ciri Fisik atau Bentukan Wayang.html. 2015).
2) Jenis Hidung Jenis hidung dalam wayang yaitu:
22
Gambar 2.2Jenis-jenis bentuk hidung dalam wayang (Sumber : KOMPASIANA.com.html, 2015) a. Hidung Walimiring Jenis hidung ini wujudnya menyerupai bentuk pangot kecil(pisau raut kecil yang biasa digunakan untuk membuat topeng). Jenis hidung wayang ini diterapkan bagi tokoh-tokoh wayang yang bertubuh kecil, umumnya bermata liyepan dan juga digunakan untuk kidung putren (wayang wanita). b. Hidung Bentulan Jenis hidung ini diwujudkan dengan bentuk yang meyerupai buah bentul (soka). Jenis hidung ini diperuntukkan untuk wayang yang bertubuh besar. Umumnya wayang yang bermata thelengan. c. Hidung Wungkal Gerang Jenis hidung ini menyerupai bentuk hidung bentulan dengan bagian ujung tajam sedikit. Jenis hidung wayang ini diterapkan pada tokoh wayang yang berwatak kasar dan umumnya dikombinasikan dengan bentuk mata plelengan dan peten.
d. Hidung Pelokan Jenis hidung wayang ini digambarkan seperti sebuah pelok(isi mangga), umumnya diterapkan pada tokoh wayang yang bertubuh besar seperti tokoh raksasa dengan mata plelengan.
23
e. Hidung Pesekan Jenis hidung wayang ini digambarkan dengan bentuk hidung wungkal gerang yang berukuran kecil, untuk menggambarkan bentuk hidung pesek. Jenis hidung wayang ini diterapkan pada tokoh-tokoh kera. f. Hidung Bunder Jenis hidung ini digambarkan bulat menyerupai bentuk buah terung. Diperuntukkan bagi tokoh tertentu seperti Gareng dengan bentuk hidung terong glathik, kemudian tokoh raksasa terong dengan bentuk hidung terong kopek. g. Hidung Belalai Jenis hidung ini digambarkan seperti bentuk belalai binatang gajah. Dalam penerapnnya digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh wayang yang berwajah seperti binatang gajah(OGitA
Ciri Fisik atau Bentukan
Wayang.html. 2015).. 3) Bentuk Mulut Bentuk mulut dalam wayang yaitu:
Gambar 2.3Jenis-jenis bentuk mulut dalam wayang (Sumber : KOMPASIANA.com.html, 2015) a. Mulut Mingkem Jenis mulut ini merupakan penggambaran dari bentuk mulut tertutup, sehingga tidak nampak penggambaran giginya. Jenis mulut wayang ini
24
hanya diperuntukkan bagi tokoh wayang tertentu dan jumlahnya tidak banyak , terutama pada tokoh satria. b. Mulut Gethetan (Mulut Salitan) Jenis mulut wayang ini bentuknya menyerupai jenis mulut mingkem dengan ditambah dengan penggambaran ikal pada ujung belakang yang dinamakan salitan dan penggambaran gigi-gigi, ada ditambah dengan penggambaran slilitan. c. Mulut Gusen Jenis mulut ini dibedakan menjadi dua macam yaitu pertama mulut gusen alus bentuknya seperti mulut salitan yang ditambah dengan penggambaran gusi. Kedua gusen gagah yang digambarkan seperti mulut gusen alus, tetapi bagian salitan dihilangkan dengan penggambaran gigi-gigi besar dan kadang digambarkan pula taring. Umumnya digunakan oleh tokoh kasar. d. Mulut Mesem Jenis mulut ini menggambarkan bentuk mulut dalam kondisi mesem atau tersenyum, penerapannya pada tokoh-tokoh tertentu saja, seperti tokoh Petruk, Gareng, Sengkuni, dan sebagainya. e. Mulut Mrenges Jenis mulut ini digambarkan dengan mulut yang terbuka tetapi tidak lebar, dengan gigi dan taringnya nampak, ditambah dengan penggambaran gusinya. Jenis mulut ini diterapkan pada raksasa yang bertubuh kecil. f. Mulut Anjeber Jenis mulut ini digambarkan dengan mulut pada bagian atasnya dibuat lebih besar dari bibir bawahnya, disertain dengan penggambaran gigi kecil dan taring serta penggambaran gusinya. Jenis mulut wayang ini diterapkan pada tokoh-tokoh kera. g. Mulut Ngablak Jenis mulut ini menggambarkan bentuk mulut yang terbuka lebar, dengan gigi yang besar, dengan taring, dan penggambaran gusi. Umumnya digunakan pada tokoh-tokoh raksasa, baik bertubuh kecil maupun besar(OGitA Ciri Fisik atau Bentukan Wayang.html. 2015).
25
4) Hiasan Wayang a. Jamang : adalah hiasan yang terdapat di bagian atas wajah, bentuknya seperti rangkaian tumpal atau segitiga (mahkota). b. Godeg : adalah hiasan rambut yang menghubungkan antara athi-athi atau serpihan rambut di atas pipi dengan janggut atau jambang c. Keketan : adalah ujung kumis yang berada di sebelah kiri dan kanan yang bentuknya melingkar seperti spiral. d. Sumping : Hiasan yang terdapat pada telinga, biasanya berbentuk bunga (sekar) atau daun (ron). (Ishwahyudi,
: 38).
6. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter 1) Pengertian Pendidikan Karakter Secara etimologis atau kebahasaan, kata „pendidikan‟ berasal dari kata dasar „didik‟ yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran pe-an. Berubah menjadi kata kerja „mendidik‟ yang berarti membantu anak untuk menguasai aneka ilmu pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya. Istilah ini pertama kali muncul dengan bahasa Yunani yaitu „paedagogik‟ yang berarti ilmu menuntun anak, dan „paedogogia‟ adalah pergaulan dengan anak-anak, sedangkan orangnya yang menuntun atau mendidik anak adalah „paedagog‟. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan
dalam
terminologi
Jawa
dikenal
dengan
istilah
„panggulawentah‟ yang berarti pengolahan, penjagaan dan pengasuhan baik fisik dari maupun kejiwaan anak. Crow and Crow menyatakan pendidikan diartikan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi (Arif Rohman, 2011: 5-6). Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
26
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Hamid Darmadi, 2012:1). Freemean Butt, (1979) dalam bukunya Cultural History of Western Education menyebutkan : a. Pendidikan adalah kegiatan penerimaan dan pemberian pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. b. Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini individu diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatihkan dan dikembangkan. c. Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu pengembangan kekuatan, bakat, kesanggupan dan minatnya. d. Pendidikan adalah rekontruksi dan reorganisasi pengalaman yang menambah arti serta yang menambah kesanggupan untuk memberikan arah bagi pengalaman selanjutnya. e. Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini seseorang menyesuaikan diri dengan unsur-unsur pengalamannya yang menjadi kepribadian kehidupan modern sehingga dapat mempersiapkan diri bagi kehidupan masa dewasa yang berhasil (Hamid Darmadi, 2012: 2). Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “krasso” , yang berarti „cetak biru‟, „format dasar‟, „sidik‟ seperti dalam sidik jari (Maksudin, 2013: 1). Karakter adalah sesuatu yang sangat penting dan vital bagi tercapainya tujuan hidup. Karakter merupakan dorongan pilihan untuk menentukan yang terbaik dalam hidup (Samani; Hariyanto, 2013: 22). Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral. Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
27
sesama manusia, lingkungan , dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sikap maupun dalam bertindak. Warsono, dkk (2010) mengutip Jack Corley dan Thomas Phillip (2000) menyatakan: “Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) karakter merupakan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak(Samani; Hariyanto, 2013: 21-22). Karakter dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak seringkali tidak jauh dari perilaku ayah dan ibunya. Dalam bahasa jawa dikenal istilah “kacang ora ninggal lanjaran” (pohon kacang panjang tidak pernah meninggalkan kayu atau bambu tempatnya melilit atau menjalar). Kecuali itu lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut membentuk karakter. Maka, karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh pada karakter siswa yang diajarnya. Menurut winton (2010) pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Samani; Hariyanto, 2013: 43). Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan sengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya. Definisi ini dikembangkan dari definisi yang dimuat dalam Funderstanding (2006). Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut: “Pendidikan Karakter mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu
28
orang-orang hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, sahabat, tetangga, masyarakat dan bangsa”. Lickona (1991) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Secara sederhana, Lickona (2004) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa (Samani; Hariyanto, 2013: 44). Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang sungguhsungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, disorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari) (Scerenko dalam Samani; Hariyanto, 2013: 45).Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani; Hariyanto, 2013: 4546). 2). Pilar-pilar Pendidikan Karakter Para aktivis pendidikan karakter melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang kait-mengkait, yaitu: a. Responsibility (Tanggung jawab) b. Respect (Rasa hormat) c. Fairness (Keadilan) d. Courage (Keberanian) e. Honesty (Kejujuran) f. Citizenship (Kewarganegaraan) g. Self-discipline (Disiplin diri) h. Caring (Peduli)
29
i. Preseverence (Ketekunan) (Maksudin, 2013: 51).
3). Ciri Pendidikan Karakter Menurut Foerster ada 4 (empat) ciri dasar dalam pendidikan karakter : a. Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. b. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak ada koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. c. Otonomi, disitu seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. d. Keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih (Maksudin, 2013: 55).
4). Fungsi Pendidikan Karakter a. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. b. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multi kultural. c. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetetif dalam pergaulan dunia (Samani; Hariyanto, 2013: 52).
5). Tujuan Pendidikan Karakter a. Tujuan Umum Untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itu tindakan-tindakan pendidikan hendaknya mengarah pada perilaku yang baik dan benar.
30
b. Tujuan Khusus Seperti yang dirumuskan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation for Development), bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk (i) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (ii) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (iii) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (Maksudin, 2013: 60). 6) Landasan Pendidikan Karakter a. Filosofis Landasan filosofis memiliki 2 (dua) kemungkinan posisi. Pertama, filsafat pendidikan nilai pada dasarnya tidak berpihak pada salah satu kebenaran tentang hakikat manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran karena nilai adalah esensi hakikat manusia yang dapat mewakili semua pandangan. Kedua, filsafat pendidikan nilai berlaku secara selektif terhadap kebenaran hakikat manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran tertentu karena nilai selain sebagai esensi hakikat manusia juga menyangkut substansi kebenaran yang dapat berlaku kontekstual dan situasional. b. Psikologis Landasan psikologis berkaitan dengan aspek motivasi, perbedaan individu dan tahapan belajar nilai dimana setiap individu tidak sama persis namun terjadi perbedaan aspek psikis yang berpengaruh pada perilaku masing-masing. c. Sosiologis Landasan sosiologis berhubungan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya keterlibatan orang lain atau melibatkan diri dengan orang lain, saling berhubungan, dan saling membutuhkan sehingga manusia membentuk komunitas atau lingkungan masyarakat. Proses sosial melibatkan sentimen moral yang berkadar kebaikan terhadap orang lain dan sentimen yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan
31
pribadi. Sentimen moral dapat melahirkan aturan-aturan sosial yang mengarah pada kepentingan diri, pengendalian sikap egois, dan pendorong kemurahan hati secara alamiah sehingga memungkinkan terwujudnya sebuah kehidupan sosial atas konsensus bersama. Keterikatan kepentingan pribadi dan orang lain melahirkan pola-pola hubungan interpersonal (pola bergerak mendekati orang, menentang orang, dan pola menghindari orang). Target pendidikan karakter secara sosial adalah membangun kesadaran interpersonal yang mendalam. Peserta didik dibimbing untuk mampu menjalin hubungan sosial secara harmonis dengan orang lain melalui sikapdan perilaku yang baik, dilatih untuk berprasangka baik terhadap orang lain, berempati, suka menolong, jujur, bertanggung jawab, dan menghargai perbedaan pendapat. Semua sikap dan perilaku dapat membantu peserta didik untuk hidup sehat dan harmonis dalam lingkungan sosial yang dihuninya. d. Estetik Landasan estetik berkaitan dengan persoalan manusia sebagai makhluk yang memiliki cita rasa keindahan yang dimiliki masing-masing individu dapat dijadikan sebagai ajang penyadaran nilai-nilai keindahan dan penyertaan timbangan rasa secara optimal(Maksudin, 2013: 60-61).
7. Kesenian 1) Pengertian Seni Dalam bahasa Sansekerta seni (atau yang seperti itu) disebut “cilpa”. Sebagai kata sifat “cilpa” berarti berwarna dan kata jadiannya, “si-cilpa” berarti diengkapi dengan bentuk-bentuk indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriyaan yang artistik (Soedarso, 2006: 7). Kesenian adalah bagian dari kebudayaan yang timbul dan tumbuhnya sangat berhubungan dengan jiwa perasaan manusia. Artinya, seni berada dalam tatanan kebudayaan. Menurut Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art, pada dasarnya seni adalah merupakan ekspresi ide yang dilahirkan dalam bentuk perwujudan yang kongkrit (Subiyantoro, 2011: 82).
32
Seni merupakan segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya yang bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia (Ki Hajar Dewantoro dalam Susanto, 2011: 354). Thomas Munro, seorang filusuf dan teori seni , menyatakan bahwa baginya seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan hasil dari pengamatan, pengenalan, imajinasi, baik yang rasional maupun emosional (Thomas Munro dalam Soedarso Sp. 2006: 419). Menurut Jakob Sumardjo, seni memang bukan benda melainkan nilai yang dilihat oleh penikmat seni, yaitu nilai yang dikandung oleh benda tersebut. Atau benda seni itu sendiri merupakan perwujudan nilai yang dimaksudkan oleh senimannya. Seni tidak akan muncul dari benda seni kalau benda tersebut tidak mengandung dan menawarkan nilai seni. Sebaliknya, berbagai nilai yang ditawarkan benda seni tak mampu dilihat oleh penikmat seni (2000 : 111).
2) Pembagian Seni a. Seni Rupa Dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu, (1) seni rupa dua dimensi seperti gambar, lukisan seni grafis, fotografi, mosaik, intarsia, tenun, sulam dan kolase dan (2) seni rupa tiga dimensi seperti patung, bangunan, monumen, keramik dan sebagian besar seni kria lainnya. Keduanya bisa dipecah berdasar atas medium, teknik atau proses pembuatan, dan benda produknya (Soedarso Sp, 2006: 97). Seni rupa merupakan salah satu kesenian yang mengacu pada bentuk visual atau sering disebut bentuk perupaan, yang merupakan susunan atau komposisi atau satu kesatuan dari unsur – unsur rupa. Struktur seni rupa atau penyusunan unsur rupa dalam mewujudkan bentuk pada seni rupa diperlukan hukum atau asas penyusunan, merupakan dasar dari pengamatan / pemahaman seni (Kartika. 2007 : 35 ). Menurut Bahari, pada karya seni rupa media yang digunakan adalah rupa. Keberadaan karya seni rupa adalah karena tampilnya unsur – unsur rupa atau unsur visual yang dapat dilihat secara fisik. Unsur – unsur itu antara lain berupa
33
garis, bidang, bentuk, ruang, warna dan sebagainya. Unsur – unsur tersebut tidak harus hadir secara lengkap padasebuah karya seni rupa, karena unsur – unsur ini diciptakan untuk mewujudkan citra tertentu (2008 : 88 ).
b. Seni Suara Berdasar atas medium dan instrumen yang dipergunakan seni suara dibagi menjadi (1) vokalia (solo, kor, dengan atau tanpa iringan, instrumen), (2) instrumentalia (solo, piano, biola, klarinet, drum, dengan atau tanpa iringan instrumen yang lembut, kelompok kecil, kelompok sedang, orkestra penuh, atau dalam hal seni gamelan, tabuhan tunggal, siteran, cokekan, gadhon, dan gamelan jangkep), kombinasi antara vokal dan instrumental yang sangat kuat dan saling mengisi, dan concrete, electronic serta kombinasi rekaman dari suara alam, suara binatang, atau industri, pasar, dan kegiatan-kegiatan lain yang dulu dianggap sebagai non-musikal (Soedarso Sp, 2006: 98). c. Seni Pertunjukan Yang tergolong dalam seni pertunjukan adalah seni tari (tari rakyat, klasik, modern), pantomim, opera, teater (teater rakyat dan teater modern), sendratari, seni pewayangan atau pedalangan, film, televisi, dan video (Soedarso Sp, 2006: 99). Seni pertunjukan di Indonesia dipengaruhi oleh keadaan sosial – politik yang khas di setiap daerah. Seni pertunjukan merupakan sebuah bentuk ungkapan budaya, wahana untuk menyampaikan nilai – nilai budaya dan perwujudan norma – norma estetik
artistik yang berkembang sesuai dengan
zaman (Soebadyo, dkk, 2002 : 6). Soedarsono menyatakan bahwa, seni pertunjukkan dapat dibagi menjadi tiga fungsi primer, yaitu sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi, dan sebagai presentasi estetis (1998: 57). Di Indonesia, pertunjukan seringkali dikaitkan dengan pelaksanaan upacara. Pada beberapa pertunjukan, roh nenek moyang, dewa, atau binatang keramat menguasai tubuh manusia dan dalam bentuk menari. Ada pula pertunjukan yang digelar untuk menghibur roh-roh yang turun ke bumi untuk bergabung bersama masyarakat dalam beberapa peristiwa khusus. Dalam contoh pertama, kehadiran roh – roh karena diundang oleh seorang ahli upacara untuk
34
membantu menghalau hama atau wabah penyakit. Banyak tarian yang digelar untuk tujuan tersebut asli Indonesia (Soebadyo, dkk, 2002 : 13). d. Seni Sastra Menurut bentuknya seni sastra dibagi menjadi: (a) prosa, (b) puisi dan (c) prosa lirik. Prosa berbentuk seperti bahasa sehari-hari artinya tidak bersajak, tidak ada matra dan irama, tidak ada pembagian baris, serta ketentuan-ketentuan bentuk lainnya, hanya dalam pelaksanaannya dibagi menjadi alinea, dan umumnya secara emosional kurang intens. Menurut fungsi dan modus komposisinya seni sastra dibagi atas (a) sastra narasi ( narasi epik, balada, novel, novelet, cerita pendek), (b) seni dramatik (tragedi, komedi, campuran), dan (c) sastra lirik yang bisa dibaca tersendiri atau dikawinkan dengan musik atau nyanyian ( lirik lagu, syair pujian, parikan pedesaan) (Soedarso Sp, 2006: 99 - 100). 3) Unsur-unsur seni Menurut Sanyoto, unsur / elemen seni dan desain sebagai bahan merupa/ mendesain meliputi : bentuk, raut, ukuran, arah, tekstur, warna, value, dan ruang (2010:7). 1). Bentuk dan Raut Yang dimaksud dengan bentuk oleh S. Supriyadi dan D. Mulyadi adalah organisasi (desain) dari segenap unsur yang mewujudkan suatu karya seni. Unsurunsur itu adalah garis, shape, value (gelap terang), tekstur dan warna. Unsur-unsur itu diorganisasikan dengan prinsip seperti balance, ritme, dominan, harmony dan lainnya (1997 : 32). Raut adalah ciri khas suatu bentuk. Bentuk apa saja di alam ini tentu memiliki raut yang merupakan ciri khas dari bentuk tersebut. Bentuk titik, garis, bidang, dan gempal, masing masing memiliki raut. Raut merupakan ciri khas untuk membedakan masing – masing bentuk dari titik, garis, bidang tersebut (Sanyoto, 2010:83). a). Titik Bila kita menyentuhkan alat gambar, alat tulis pada tafril atau bidang gambar, akan menghasilkan bekas. Bekas tersebut dinamakan titik. Raut titik atau ciri titik tergantung alat penyentuh yang digunakan, atau tergantung bentuk benda
35
yang dibayangkan sebagai titik. Paling umum adalah bahwa titik rautnya bundar sederhana tanpa arah dan tanpa dimensi. Tetapi bisa saja bahwa raut titik berbentuk segitiga, bujur sangkar, elips, atau bahkan bentuk yang menyerupai pohon, rumah, alat musik, atau yang lain, asal bentuk-bentuk tersebut hasil dari sentuhan atau cap-capan suatu alat (Sanyoto, 2010:83-84). b). Garis Menurut Sanyoto, pengertian garis dapat disimpulkan dengan dua pengertian, yakni suatu goresan yang disebuat garis nyata atau kaligrafi dan batas / limit suatu benda,batas sudut ruang, batas warna, bentuk massa, rangkaian masa, dan lain – lain yang disebut garis semu atau maya (2010:87 ). Kalau kita menyentuh alat gambar atau penggores yang lain dan berusaha menggerakkannya pada tafril/bidang maka akan meninggalkan bekas. Bekas itu disebut goresan/garis( Sanyoto, 2010:86 ). Sanyoto menyatakan ada beberapa macammacam garis. Adapun macam- macam garis yaitu : Garis lurus, Garis Lengkung, dan Garis Gabungan(2009: 11). Garis horizontal memberi karakter tenang, damai, pasif, kaku. Garis ini melambangkan ketenangan, kedamaian, dan kemantapan. Garis vertikal memberikan karakter seimbang (stabil), megah, kuat, tetapi statis dan kaku. Garis ini melambangkan kestabilan/ keseimbangan, kemegahan, kekuatan, kkokohan, kejujuran, dan kemasyhuran. Garis diagonal memberikan karakter gerakan (movement), gerak lari/meluncur, dinamis, tak seimbang, gerak gesit, lincah, kenes, dan menggetarkan. Garis diagonal melambangkan kedinamisan, kegesitan, kelincahan, dan kekenesan. Garis lengkung memberikan karakter ringan, dinamis, kuat; dan melambangkan kemegahan, kekuatan, dan kedinamisan.Karakter garis merupakan bahasa rupa dari unsur garis, baik untuk garis nyata maupun garis semu. Bahasa garis ini sangat penting dalam penciptaan karya seni/desain untuk menciptakan karakter yang diinginkan(Sanyoto, 2010:94 - 96). c). Bidang Masri menyatakan bahwa bidang sebagai jejak yang dapat dibentuk oleh suatu garis yang digeser tegak lurus terhadap garis tersebut(2000:100).Sanyoto mengungkapkan bahwa, macam – macam bentuk bidang meliputi bidang geometri
36
dan non geometri. Bidang geometri adalah bidang teratur yang dibuat secara matematika, sedangkan bidang non geometri adalah bidang yang dibuat secara bebas. Raut bidang geometri atau bidang yang dibuat secara matematika,meliputi segitiga, segi empat, segi lima, segi enam, lingkaran, dan sebagainya. Raut bidang non geometri dapat berbentuk bidang organik, bidang bersudut bebas, bidang gabungan, dan bidang maya. Bidang organik yaitu bidang – bidang yang dibatasi garis patah – patah bebas, bidang gabungan yaitu bidang gabungan antara lengkung dan bersudut. Selain bentuk bidang yang sejajar tafril, terdapat bidang yang bersifat maya, yaitu bentuk bidang yang seolah meliuk, bentuk bidang yang seolah miring membentuk sudut dengan tafril/membentuk perspaktif, bentuk bidang yang seolah bersudut – sudut, bentuk bidang yang seolah muntir, dan lain – lain (2010:104).Jika garis kita gerakkan memutar dan kembali lagi bertemu dengan dirinya pada titik awalnya, akan menghasilkan bidang yang merupakan bentuk berdimensi panjang dan lebar serta menutup permukaan (Sanyoto, 2010:103). d) Volume (Gempal) Volume adalah suatu bentuk yang memiliki tiga dimensi, yakni panjang, lebar, dan tebal, yang merupakan bentuk wungkul yang bisa diraba.Gempal bisa padat dan bisa pula kosong. Gempal padat adalah gempal yang penuh isi, sedang gempal kosong adalah gempal yang berrongga atau berlubang. Gempal dapat digolongkan menjadi gempal yang teratur dan gempal yang tidak teratur. Gempal teratur adalah bentuk gempal yang sifatnya matematis. Sedangkan gempal yang tidak teratur adalah gempal yang berbentuk bebas. Gempal dapat bersifat nyata dan bersifat semu. Gempal nyata yaitu gempal yang sifat tiga dimensinya dapat diraba nyata/wungkul, sedang gempal semu adalah gempal yang hanya berupa gambar (Sanyoto, 2010:112). 2). Ukuran Setiap bentuk (titik, garis, bidang, gempal) tentu memiliki ukuran, bisa besar, kecil, panjang, pendek, tinggi, rendah. Ukuran – ukuran ini bukan dimaksudkan dengan besaran sentimeter atau meter tetapi ukuran yang bersifat nisbi. Nisbi artinya ukuran tersebut tidak memiliki nilai mutlak atau tetap, yakni
37
bersifat relatif atau tergantung pada area dimana bentuk tersebut berada (Sanyoto, 2010:116). Ukuran diperhitungkan sebagai unsur rupa. Dengan memper- hitungkan ukuran menurut perspektif seni rupa, bisa diperoleh hasil – hasil keindahan tertentu (Sanyoto, 2010:116). 3). Arah Sanyoto menyatakan bahwa, arah merupakan unsur seni/rupa yang menghubungkan bentuk raut dengan ruang. Setiap bentuk (garis, bidang, atau gempal) dalam ruang tentu mempunyai arah terkecuali bentuk raut lingkaran dan bola. Arah bisa horizontal, vertikal, diagonal, atau miring ke dalam membentuk sudut dengan tafril. Arah horizontal, diagonal, dan vertikal, akan lebih membentuk ruang dua dimensi, dan arah ke dalam yang membuat sudut dengan tafril akan lebih membentuk ruang maya (2010:118). 4). Tekstur Sanyoto menyatakan bahwa pada dasarnya tekstur merupakannilai atau ciri khas dari suatu permukaan. Setiap bentuk atau benda apa saja di alam ini termasuk karya seni mesti memiliki permukaan/raut. Setiap permukaan atau raut tentu memiliki nilai atau ciri khas. Nilai atau ciri khas permukaan tersebut dapat kasar, halus, polos, bermotif/bercorak, mengkilat, buram, licin, keras, lunak, dan sebagainya. Itulah tekstur atau ada yang menyebut barik. Dengan demikian, tekstur adalah nilai atau ciri khas suatu permukaan atau raut. Secara sederhana tekstur dikelompokkan ke dalam tekstur kasar nyata, tekstur kasar semu, dan tekstur halus (2010:120-121). Tekstur ada yang bersifat teraba, disebut tekstur raba. Ada pula yang bersifat visual disebut tekstur lihat. Tekstur raba adalah tekstur yang dapat dirasakan lewat indra peraba (ujung jari). Tekstur raba ini sifatnya nyata, artinya diihat tampak kasar, diaraba pun nyata kasar. Ujung jari tidak dapat ditipu. Termasuk tekstur raba adalah tekstur kasar-halus, licin-kasar, dan keras lunak. Sedangkan tekstur lihat adalah tekstur yang dirasakan lewat panca indra pengelihatan. Tekstur lihat ini bersifat semu. Artinya tekstur yang terlihat kasar jika diraba ternyata bisa halus. Jadi, mata dapat tertipu (Sanyoto, 2010:120).
38
5) Warna Warna dibagi menjadi tiga yaitu warna primer, warna sekunder dan warna tertier (Sanyoto, 2004: 28-30). Warna berdasarkan kejadiannya dapat dibedakan menjadi warna Additive dan Warna Substractive.Warna additive adalah warna yang terdiri dari warna merah, hijau dan biru (RGB). RGB sendiri mempunyai pengertian bahwa warna pokok yang dihasilkan oleh suatu cahaya disebut spektrum warna. Apabila ketiga warna tersebut dicampurkan maka akan menghasilkan warna putih atau bening (Sanyoto, 2009:16). Sanyoto menyatakan bahwa warna substractive merupakan warna yang terdiri dari dari cyan, magenta dan yellow(CMY). Apabila warna yellow (kuning) dicampurkan dengan warna magenta, maka akan menghasilkan warna hitam (black). Jadi, biasanya banyak orang yang menyebutkan bahwa warna CMYK adalah warna yang terdiri dari warna Cyan, Magenta, Yellow and Black.Warna juga dibagi menjadi warna gelap maupun warna terang.Dimana warna gelap atau pun warna terang juga mempengaruhi suatu karya seni rupa abila dilihat dalam suatu bentuk visual yang dapat dilihat melaui indera penglihat dan dapat dirasakan ataupun diraba melalui indera peraba(2009:18). Warna juga dapat dibedakan menjadi warna panas dan juga warna dingin. bahwa warna panas mempunyai kesan warna yang mencolok. Warna panas diantaranya adalah warna merah, warna kuning, warna orange dan warna jingga. Sedangkan warna dingin adalah warna yang apabila dilihat mempunyai kesan yang dingin ataupun sejuk. Warna dingin diantaranya adalah warna hijau, biru maupun warna ungu. Serta yang terakhir, warna juga digolongkan seperti warna analogus.Warna analogus ini merupakan warna peralihan dimana dari satu warna bisa beralih menuju warna gelap menuju terang atau sebaliknya.Warna analogus juga disebut sebagai gradasi warna(Oemar, 2006: 30). Warna dapat didefinisikan secara objektif/fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau secara subyektif/ psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera pengelihatan (Sanyoto, 2010:11).
39
6). Value Value adalah dimensi mengenai derajat terang gelap atau tua muda warna, yang disebut dengan pula dengan istilah lightness atau ke-terang-an warna. Value merupakan nilai gelap terang untuk memperoleh kedalaman karena pengaruh cahaya. Value dapat pula disebut suatu gejala cahaya yang menyebabkan perbedaan pancaran warna suatu objek. Value adalah tingkatan keterang-an suatu hue dalam perbandingannya dengan warna – warna akromatis hitam putih. Value adalah adalah alat untuk mengukur derajat ke-terang-an suatu warna, yaitu seberapa terang atau gelapnya suatu warna jika dibandingkan dengan skala value: tint, tone, shade (Sanyoto, 2010:51-52). Setiap benda di alam ini tentu memiliki value/tone, bisa terang, sedang, atau gelap, tergantung pada cahaya yang mengenainya. Value disebut pula tone,nada, atau nuansa, yang di dalamnya terkandug nilai tone, nilai nada, atau nilai nuansa. Cahaya adalah segala-galanya dalam seni rupa. Tanpa cahaya, seni rupa tidak akan ada ada atau eksis. Kita mengontrol cahaya menjadi warna –warna dengan menggunakan pigmen (Sanyoto, 2010:51-52). 7). Ruang Jika kita akan meletakkan atau menyusun bentuk – bentuk tentu memerlukan ruang. Setiap bentuk pasti menempati ruang. Oleh karena itu, ruang merupakan unsur rupa yang mesti ada, karena ruang merupakan tempat bentuk bentuk berada (eksist). Dengan kata lain bahwa setiap bentuk pasti menempati ruang. Dikarenakan suatu bentuk dapat dua dimensi atau tiga dimensi, maka ruang pun meliputi ruang dua dimensi (dwimatra) dan ruang tiga dimensi (trimatra). Ruang dwimatra dapat berupa tafril/bidang datar yang hanya berdimensi memanjang dan melebar. Ruang trimatra berupa alam semesta/awanguwung/ruang rongga yang mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan dalam. Suatu bentuk raut dua dimensi menempati ruang dwi matra secara papar/datar/rata, sedangkan bentuk raut tiga dimensi menempati ruang trimatra secara rongga dan gempal (Sanyoto, 2010:127).
40
8. Pendekatan Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988: 179; Kurniawan, 2001: 53 dalam Sobur, 2009: 15). Menurut Sachari, semiotika berasal dari bahasa Yunani „semeion‟ atau tanda, kerap diartikan sebagai ilmu tanda. Istilah semiotika secara populer telah digunakan oleh seorang ahli filsafat Jerman, Lambert, pada abad ke – 18 sebagai padanan kata dari logika. Dalam konteks lain, kita juga mengenal kata semiotika dipadankan dengan semiotik, semantik, semiologiy, sememics, dan semics. Penggunaannya kerap rancu dan memiliki model-model pendekatan tersendiri (2003 : 62). Tokoh utama perintis semiotika dalam linguistik adalah Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinan de Saussure (1857-1913). Peirce adalah seorang ahli filsafat dan ahli logika yang tinggal di Jerman, sedangkan Saussure adalah ahli linguistik umum dan tinggal di Perancis. Menurut Peirce logika mempelajari bagaimana orang bernalar, berpikir, berkomunikasi, dan memberi makna apa yang ditampilkan oleh alam kepada orang lain melalui tanda. Pemaknaan „tanda‟ bagi Peirce bisa berarti sangat luas, baik dalam linguistik maupun tanda – tanda lainnya yang bersifat umum. De Saussure lebih menekankan „tanda – tanda‟ sebagai dasar untuk mengembangkan teori linguistik umum. Saussure beranggapan, bahwa tanda – tanda linguistik mempunyai kelebihan dari sistem semiotik yang lainnya. Peirce menghendaki teori semiotik dapat bersifat umum dan dapat diterapkan pada segala macam hal yang berhubungan dengan tanda (Sachari, 2003 : 62).
41
Istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filusuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk pada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem semiotika yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan menjalin hubungannya dengan realitas (Sobur, 2009: 13). 9. Pendekatan Tafsir Simbolik Teori simbolik biasa disebut intepretif atau tafsir. Tokoh tersohor teori tafsir adalah Clifford Gertz. Menururtnya konsep kebudayaan dalam pemahaman tafsir disebutkan sebagai berikut : a. Ia sebagai sistem keteraturan makna dan simbol, dengan makna dan simbol individu individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan – perasaan dan penilaian terhadap dunia mereka. b. Pola – pola makna ditransmisikan dalam bentuk – bentuk simbolis, melalui bentuk tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. c. Kebudayaan adalah sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan ditafsir. Tindakan dan keyakinan individu hanya dapat dipahami melalui interpretasi, peneliti ingin menemukan makna. Keanekaragaman kebudayaan yang luas berkenaan dengan cara kehidupan sosial dikonseptualisasi, dan perbedaan tersebut dengan sendirinya mengingatkan diversitas dunia sosial. Praktek – praktek sosial dimanifestasikan oleh makna yang diberikan oleh pelaku praktik sosial tersebut. Tidak ada fakta kasar dalam ilmu sosial, yaitu fakta yang tidak berkaitan dengan makna spesifik dalam kebudayaan (Subiyantoro, 2011 : 73-74).
42
B. Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun skripsi ini adalah: 1. Musa Pelu dan Isawati (2013) dalam penelitian pemula dengan judul “Nilai Historis Candi Cetho Sebagai Sumber dan Materi Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal”. Dalam penelitian ini jenis penelitiannya adalah studi eksplorasi bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan naturalistik, yang mengkaji tentang muatan budi pekerti yang terkandung dari latar belakang historis dibangunnya candi cetho, mengkaji muatan budi pekerti yang terkandung dari candi cetho sebagai wujud kebudayaan fisik (struktur dan susunan arsitektur, relief, arca), mengkaji sejauhmana tradisi dan budaya lokal masyarakat dusun cetho sebagai pengaruh dari keberadaan candi cetho yang mengandung muatan budi pekerti. Dalam penelitian ini sudah rinci mencakup sejarah, makna budi pekerti dalam kebudayaan fisik, sampai pada pengaruh keberadaan candi cetho di masyarakat sekitar candhi cetho. Relevansi penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah samasama mengkaji nilai moral yaitu nilai budi pekerti dalam penelitian tersebut dan nilai karakter dalam penelitian ini dari salah satu seni tradisi yaitu wujud kebudayaan fisik (arca atau wayang batu) dan Wayang Beber Wonosari. 2. Purwadi (2006) dalam jurnal penelitian dengan judul “Nilai Pendidikan Budi Pekerti Dalam Seni Pewayangan”.
Dalam jurnal
penelitian ini di kaji tentang teladan pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam karakter/ sifat tokoh, alur cerita/ problematika yang terjadi, filsafat pendidikan seni widya, makna tembang yang mengiringi pagelaran wayang tersebut. Dalam jurnal penelitian ini tidak hanya memahami makna isi dari cerita/ lakon wayang tersebut tetapi juga
43
makna simbolik dalam pagelaran wayang tersebut yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah mengkaji tentang teladan dalam pendidikan moral kaitannya dengan nilai-nilai yang relevan dengan pendidikan karakter secara visual simbolik, yaitu nilai karakter yang ada dalam setiap bentuk rupayang menunjukkan karakter tokoh maupun makna simbolik yang terkandung dalam bentuk rupa/ visual Wayang Beber Wonosari tersebut.
44
C. Kerangka Berpikir Wayang merupakan karya seni yang muncul dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.Wayang telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat memaknai wayang bukan hanya sebagai seni tradisi sebagai tontonan,tetapi juga memaknainya sebagai tuntunan hidup. Wayang memiliki makna pelajaran hidup tidak hanya dalam ceritanya, tetapi juga memiliki makna visual yang berkaitan dengan sombilisme didalamnya. Makna visual tersebut dapat dilihat pada bentuk rupa wayang yang terbentuk dari beberapa tahapan yang tersusun dari elemenelemen visual. Sejak dulu wayang telah dipergunakan sebagai sarana pendidikan di masyarakat, khususnya pendidikan karakter. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Wayang Beber Wonosari
Visual Wayang Beber Wonosari
Bentuk
Warna
Value
Ukuran
Semiotika
Tafsir Simbolik Makna Rupa (Visual)
Aspek Edukasi (Nilai-nilai Karakter) Bagan 2.1. Skema Kerangka Berpikir