BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pembelajaran Sejarah Menurut pakar pendidikan, Y.R. Subakti (2010: 4) pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut: Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa lalu yang menjadi basis topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melaksanakan konstruksi ini harus dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidk terjerumus dala pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas harus kuat mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinuitas, dan perubahan. Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks. Secara sederhana, pembelajaran dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks, pembelajaran merupakan usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Trianto berpendapat, “Makna pembelajaran diartikan sebagai interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya” ( 2010: 17). Menurut (Hamzah, 2007: 17), “Pembelajaran didefiniskan sebagai upaya memengaruhi siswa agar belajar, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran sebagai upaya membelajarkan siswa." Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran adalah pendidik serta peserta didik yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. 10
11 Menurut beberapa definisi tentang pembelajaran di atas, dapat ditarik simpulan bahwa pembelajaran adalah usaha membelajarkan siswa melalui interaksi dua arah antara pendidik dan peserta didik yang mana keduanya saling terjadi komunikasi yang intens dan mengarah ke tujuan yang telah ditentukan. Sejarah menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sejarah merupakan penjelasan dan pemahaman tentang masa lampau, sebagai cermin untuk masa kini dan dapat digunakan untuk memprediksi masa yang akan datang. Ada dua dimensi dari manfaat sejarah, yakni manfaat sejarah secara intrinsik dan manfaat sejarah secara ekstrinsik. Kuntowijoyo (2001: 14) berpendapat, “Secara intrinsik, sejarah sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan utamanya terhadap pengembangan ilmu sejarah itu sendiri. Sementara secara ekstrinsik sejarah telah memberikan inspirasi terhadap perjalanan umat manusia.” Mengenai fungsi pembelajaran sejarah di sekolah, terdapat lima poin penting didalamnya,yaitu; a. Membangkitkan perhatian dan minat terhadap sejarah tanah air; b. Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah; c. Memupuk alam pikiran ke arah historical mindednes; d. Memberikan pola pikir ke arah yang rasional dan kritisdengan faktual; e. Mengembangkan terhadap nilai-nilai kemanusian. Widya dalam Musadad (2012) mengemukakan tujuan pembelajaran sejarah secara umum mencakup tiga aspek, yaitu; a. Aspek pengetahuan, meliputi tujuan pembelajaran sejarah yang mentransfer pengetahuan dan pemahaman mengenai sesuatu yang berharga dari masa lampau; b. Aspek pengembangan sikap, berupa pewarisan nilai-nilai yang dapat dipetik dari peristiwa masa lampau yang dapat menjadi pedoman dalam bertindak dan bersikap yang lebih baik; dan c. Aspek keterampilan, yang telah disesuaikan dengan pembaharuan dalam pembelajaran sejarah yaitu dengan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA). Berpijak dari beberapa pendapat di atas pembelajaran sejarah dapat diartikan sebagai usaha membelajarkan siswa melalui interaksi dua arah antara pendidik dan peserta didik, mengenai
12 pemahaman masa lampau dengan tujuan mendapatkan perkembangan dari aspek pengetahuan, aspek sikap, dan aspek keterampilan.
2. Model Contextual Teaching and Learning a.
Pengertian Contextual Teaching and Learning Strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata, sehingga mendorong peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika pelajaran Fisika dalam hal mengukur kecepatan mobil selama satu jam, perlu dikontekstualisasikan dengan mengukur kecepatan kapal berlayar. Demikian seterusnya sehingga semua materi pelajaran yang disampaikan guru kepada peserta didik di dalam kelas menyentuh realitas kehidupan peserta didik sehari-hari. Dengan kata lain, CTL menseting kelas menjadi miniatur lingkungan mini, di mana di dalamnya terjadi dialog antara teori dan praktik atau idealitas dan realitas. Menurut (Nurhadi, 2003: 1), “Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa.” Mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan siswa. Pengetahuan
dan
keterampilan
siswa
diperoleh
dari
usaha
siswa
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Menurut Johnson (2002: 65), “CTL sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya”. Mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi tujuh komponen yaitu membuat keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang
13 berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, berpikir kritis dan kreatif untuk mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik. Penerapan CTL dalam proses pembelajaran, menurut Johnson (2010) menekankan pada tiga hal, yaitu: 1) CTL menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi pelajaran. Artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar peserta didik hanya menerima pelajaran, tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran tersebut. 2) CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan nyata. Artinya peserta didik dituntut dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini penting ditekankan, karena dengan mengorelasikan antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata, peserta didik akan merekam keterkaitan tersebut sehingga tertanam erat dalam memori peserta didik. 3) CTL mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya CTL bukan hanya mengharapkan peserta didik dapat memahami materi yang dipelajari, tetapi lebih kepada aktualisasi dan kontekstualisasi materi pelajaran dalam kehidupan seharihari. Jadi, materi pelajaran yang diperoleh melalui CTL dalam kelas bukan untuk dihafal, tapi dipahami, dipraktikkan, dan dibiasakan.
14 Menurut Hamruni (2009), terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yaitu : 1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya sesuatu yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh peserta didik adalah pengetahuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu sama lain. 2) Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran yang dapat menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru tersebut diperoleh secara dedukatif. Pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan lalu memperhatikan secara detail. 3) Pemahaman
pengetahuan
(understanding
knowledge).
Artinya
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami, dikaitkan dengan realitas kehidupan, dipraktikkan dan dibiasakan. 4) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge). Artinya pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak ada perubahan pada perilaku peserta didik. 5) Melakukan
refleksi
(reflecting
knowledge)
terhadap
strategi
pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. b.
Dasar Teori Contextual Teaching Learning Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam semesta ini hidup, tidak diam dan bahwa alam semesta ditopang oleh tiga prinsip kesalingtergantungan, diferensiasi, dan organisasi diri harus menerapkan pandangan dan cara berfikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran. Menurut Johnson (2004), tiga pilar dalam sistem CTL yaitu: 1) CTL mencerminkan prinsip kesalingtergantungan. Kesaling tergantungan mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk
15 memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas. 2) CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masingmasing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan. 3) CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntutan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi. Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal.Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak siswa. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan.Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad 20 yaitu sebuah filosofi belajar yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang berorientasi, target penguasaan materi terbukti hanya berhasil dalam kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
16 Melalui pendekatan kontekstual/CTL proses pembelajaran diharapkan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih penting dari pada hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaat belajar, mereka dalam status apa dan bagaimana mencapainya. Siswa akan menyadari bahwa yang dipelajari berguna bagi hidupnya. Demikian siswa memposisikan dirinya yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti.. Siswa mempelajari sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Melalui upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Untuk menciptakan kondisi tersebut diperlukan sebuah strategi belajar yang baru, lebih
memberdayakan
siswa.
Sebuah
strategi
belajar
yang
tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Melalui CTL, siswa diharapkan belajar mengalami bukan menghafal. c. Tujuan Contextual Teaching Learning Ada beberapa tujuan dari pembelajaran Contextual Teaching Learning ini, menurut Hamruni, (2009: 84), antara lain: 1) Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atau ketrampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan ke permasalahan lainya; 2) Model pembelajaran ini bertujuan agar dalam belajar itu tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman; 3) Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa; 4) Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat berpikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat
17 menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain; 5) Model pembelajaran CTL ini bertujun agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna; 6) Model pembelajaran model CTL ini bertujuan untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari; 7) Tujuan pembelajaran model CTL ini bertujuan agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi kompleks dan siswa dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri. d. Komponen-Komponen Contextual Teaching Learning 1) Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berfikir dalam pendekatan CTL. Pengetahuan siswa dibangun secara bertahap dan hasil yang diperoleh melalui konteks yang terbatas.Pengetahuan yang diperoleh tidak hanya seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan diingat belaka, melainkan siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuan tersebut, barulah kemudian memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Dasar tersebut pembelajaran harus dikemas
menjadi
proses ”mengkonstruksi” bukan
pengetahuan
dalam
proses
pembelajaran,
pengetahuan
siswa
melalui
keterlibatan
siswa aktif
”menerima”
membangun
selama
dalam
sendiri proses
pembelajaran, sehingga siswa menjadi pusat kegiatan. Maka dari itu, pengetahuan tersebut tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengkonstruknya. Lebih jauh, Piaget menyatakan bahwa hakikat pengetahuan adalah berikut: (a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. (b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
18 (c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Pembelajaran CTL pada dasarnya mendorong agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun oleh individu si pembelajar. 2) Inkuiri (Menemukan sendiri) Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejuta fakta hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal dan dipahami, tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahami tersebut. Inkuiri merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diperoleh dengan cara menemukan sendiri. Oleh sebab itu proses pembelajaran yang dirancang guru harus berbentuk kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Langkah-langkah pembelajarannya dimulai dengan merumuskan masalah, mengamati, menganalisis, dan mengkomunikasikan. Inkuiri secara umum dapat dilakukan dengan beberapa prosesyaitu : (a) Merumuskan masalah; (b) Mengajukan hipotesa; (c) Mengumpulkan data; (d) Menguji hipotesis; (e) Membuat kesimpulan. Proses ini disesuaikan dengan tingkat atau gradasi maupun jenjang pendidikan. Pada prinsipnya, penerapan asas inkuiri dalam CTL dimulai dengan adanya masalah yang jelas yang ingin dipecahkan dengan cara
19 mendorong
siswa
untuk
menemukkan
masalah
sampai
merumuskan
kesimpulan. Asas menemukan masalah tersebut merupakan asas yang penting dalam CTL. Melalui proses berpikir secara sistematis, akan dapat menumbuhkan sikap ilmiah, rasional, dan logis sebagai dasar pembentukkan kreativitas dalam diri peserta didik. 3) Questioning (Bertanya) Questioning merupakan bagian dari strategi yang utama dalam pendekatan kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa Proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi memancing agar peserta didik dapat menemukan jawabannya sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan dari peserta didik, guru dapat membimbing dan mengarahkan mereka untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Masyarakat Belajar dalam CTL adalah kerja sama atau belajar bersama dalam sebuah masyarakat atau kelas kelompok. Masyarakat Belajar ini didasarkan pada pendapat Vygotsky, bahwa pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain. Permasalahan tidak mungkin dipecahkan oleh seseorang secara sendiri, tapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama atau belajar bersama ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam belajar kelompok secara formal, maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari kegiatan sharing dengan orang lain, antar teman dan antar kelompok, melalui sumber-sumber lain yang lebih luas dan dianggap tahu tentang fokus dari pembelajaran itu, jadi belajar tidak akan berpatokan pada seorang guru saja. Jadi hakikat dari masyarakat belajar ini bisa dikatakan adalah masyarakat yang saling berbagi pengalaman, informasi dan pengetahuan.
20 5) Pemodelan (Modelling) Asas pemodelan adalah prosses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik, agar mereka bisa melakukan dengan benar secara praktek.Misalnya, guru olahraga memberikan contoh tentang bagaimana menendang bola, atau guru biologi memberikan contoh bagaimana mencangkok tanaman, dan sebagainya. Proses ini tidak terbatas pada figur seorang guru saja, tapi juga dapat dilakukan oleh peserta didik yang sekiranya dianggap mampu. Misalnya, seorang siswa yang pandai bermain bola, ditugaskan untuk memberikan contoh pada peserta didik yang lain. Modelling ini menjadi asas yang penting dalam CTL, karena peserta didik akan terhindar dari verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoritis-abstrak. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi adalah proses pengendapan pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah diprosesnya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai positif atau negatif. Pengalaman belajar peserta didik akan dimasukkan dalam struktur kognitifnya, dan akhirnya menjadi bagian dari pengetahuan.Peserta didik dimungkinkan dapat memperbaharui dan menambah pengetahuannya. Dalam CTL, disetiap akhir pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Dengan kata lain, guru membiarkan peserta didik secara bebas untuk menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya. 7) Penilaian Nyata (Authentic Assestment) Penilaian Nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan peserta didik. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah peserta didik benar-benar belajar atau tidak, memahami atau tidak, menguasai atau tidak, apakah pengalaman belajar peserta didik memiliki pengaruh yang positif terhadap
21 perkembangann, baik intelktual maupun mental peserta didik. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara kontinu selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, penilaian difokuskan pada proses belajar, bukan pada hasil belajar. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung, dan dilakukan secara terintegrasi. Di dalam CTL keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Contoh Sintak CTL dalam kegiatan pembelajaran: Tabel 2.1 Sintak CTL Kegiatan Inti SINTAKS MODEL PENDEKATAN
Fase 1 Mengamati
Fase 2 Menanya
Contextual Teaching and Learning (CTL)
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi tujuan, pengarahan petunjuk, ramburambu)
1. Siswa mengamati video yang ditampilkan guru
Questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri,
1. Guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya. 2. Guru memancing pertanyaan mengenai keterkaitan video
ALOKASI WAKTU 70 menit
22
Fase 3 Mencoba
generalisasi)
dan materi yang akan dipelajari. 3. Guru melakukan tanya jawab yang berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Learning community (seluruh siswa berpartisipati dalam belajar kelompok dan individual, otak berpikir dan tangan bekerja, mengerjakan berbagai kegiatan dan percobaan)
1. Siswa dibentuk menjadi 4 kelompokkelompok kecil. Masing-masing kelompok terdiri dari 6-7 orang. 2. Kelompok tersebut kemudian diberi tanda pengenal berupa warna untuk membedakan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Misalnya dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru. 3. Kemudian masingmasing kelompok diberi topik permasalahan sesuai dengan materi Kerajaan Demak dan Kesultanan Banten dalam beberapa bidang sebagai
23
Inquiry (identifikasi, investigasi,
berikut: Kelompok 1 = Lokasi, Sumber Sejarah, dan Kehidupan Politik Kerajaan Demak. Kelompok 2 = Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya, Kemunduran dan Peninggalan Kerajaan Demak Kelompok 3 = Lokasi, Sumber Sejarah, Kehidupan Politik Kesultanan Banten. Kelompok 4 = Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya, Kemunduran, dan Peninggalan Kesultanan Banten. 4. Guru menayangkan video dalam media animasi stop motion mengenai materi Kerajaaan Islam di Indonesia, yaitu Demak dan Kesultanan Banten 5. Siswa mulai
24 hipotesis, generalisasi, menemukan);
Fase 4
1.
Mengasosiasi Constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis) 2.
3.
Reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut)
4.
melakukan kegiatan diskusi kelompok sesuai dengan topik masing-masing. Siswa menganalisis informasi maupun data yang diperoleh melalui berbagai sumber belajar sesuai dengan topik diskusi didalam kelompok. Siswa menuliskan hasil analisisnya dengan melakukan pencermatan data (mengasosiasi) dari berbagai sumber yang telah didapat. Siswa menarik kesimpulan dan mencoba menuliskan kedalam sebuah ringkasan di lembar berwarna yang sudah disediakan sesuai dengan materi yang didapat yang kemudian akan dipresentasikan hasil kerja mereka. Guru berkeliling
25
Authentic assessment (penilaian selama proses dan seusai pembelajaran harus dilakukan secara objektif dan dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang benarbenar mewakili kompetensi siswa). Fase 5 Mengkomunikasi kan
untuk mengamati unjuk kerja siswa dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran 5. Guru melakukan penilaian unjuk kerja dengan menggunakan instrumen lembar penilaian unjuk kerja yang telah dibuat.
1. Guru menunjuk kelompok pertama dan selanjutnya untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok. 2. Siswa lain dapat memberikan sanggahan, tambahan maupun pertanyaan sehingga diharapkan kegiatan diskusi,
26 komunikasi antar kelompok dapat tercipta 3. Guru memberi penghargaan terhadap kelompok yang aktif dan kompetitif. 4. Guru memberikan penguatan diskusi maupun penjelasan lebih lanjut mengenai materi yang dipelajari.
3. Media Pembelajaran a.
Pengertian Media Pembelajaran Proses belajar mengajar di sekolah dikatakan berhasil apabila mampu menyampaikan materi yang diajarkan sehingga dapat dimengerti oleh siswa. Oleh karena itu proses penyajian belajar mengajar seorang guru harus menarik agar siswa menjadi bersemangat dalam mengikuti proses belajar mengajar. Sebagaimana yang diketahui pada proses belajar mengajar sampai sekarang ini para murid hanya disuruh mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru di depan kelas, mencatat dan dipaksa untuk menghafalkan materi pembelajaran di luar kepala, sehingga siswa hafal terhadap materi yang pelajaan. Kecenderungan guru pada sistem verbalisme ini, sebenarnya malah kurang membangkitkan aktivitas murid. Tanpa disadari oleh guru hal ini dapat mengakibatkan kurangnya minat dan kegairahan murid dalam mengikuti pelajaran yang disajikan guru. Untuk membuat siswa menjadi tertarik dan bergairah dalam proses belajar mengajar, sangat dibutuhkan adanya media yang sesuai dengan bahan yang diajarkan. Sebagaimana
27 diungkapkan oleh H.J. Gino (2000:50), “Penggunaan media (media cetak ,media elektronik maupun media yang ada di sekitar atau lingkungan alam) untuk menggairahkan belajar siswa.“ Fatah Syukur berpendapat, “Media pendidikan dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang gilirannya diharapkan mempertinggi hasil belajar yang hendak dicapai” ( 2008:120). Perlunya penerapan kurikulum baru di sekolah-sekolah sekarang ini juga menggarisbawahi tentang perlunya mengaktifkan murid dalam proses belajar mengajar dengan berbagai kegiatan. Kegiatan ini tentu saja dapat terlaksana dengan adanya media. Media pendidikan dalam hal ini mempunyai hubungan yang erat dalam efektifitas proses belajar mengajar. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diseimpulkan bahwa media pendidikan sebagai suatu media komunikasi antara guru dan siswa dalam pengajaran, sudah tentu sangat erat pertalianya dengan kegiatan dan proses belajar mengajar. b. Fungsi Media Pembelajaran Menurut Derek Rowntri yang dikutip oleh D.B. Rumampuk (1988: 23) berbendapat
media
pembelajaran
atau
media
pendidikan
dalam
penggunaannya memiliki enam fungsi, “(1) Membangkitkan motivasi belajar; (2) Mengulang apa yang telah dipelajari; (3) Menyediakan stimuli belajar; (4) Mengaktifkan respon murid; (5) Memberikan balikan dengan cepat; (6) Menggalakkan latihan yang serasi.” Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa media mempunyai nilai praktis untuk membangkitkan motivasi belajar, membuat konsep yang abstrak menjadi konkrit, misalnya dalam menjelaskan tahap-tahap sejarah melalui film grafik, mengatasi batasbatas ruang kelas dalam menampilkan obyek yang terlalu besar seperti candi, dan dapat pula mengatasi perbedaan pengalaman pribadi murid yang satu dengan yang lain, media juga dapat menampilkan obyek yang untuk diamati secara langsung. Jadi dalam hal ini media pendidikan pengajaran di sekolah sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan agar proses belajar
28 mengajar tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien. c.
Jenis Media Pembelajaran Sadiman (mengutip simpulan Bretz, 1977) mengklasifikasikan media pembelajaran dalam delapan jenis yaitu: 1)
Media audio visual gerak adalah media yang mengandung unsur suara, gambar, garis, simbol, dan gerak. Contohnya: televisi dan film.
2)
Media audio visual diam adalah media yang unsurnya hanya suara, gambar, garis, dan simbol. Contohnya: film rangkai bersuara, film bingkai bersuara, dan buku ber-audio.
3)
Media audio semi-gerak adalah media yang mengandung unsur suara, garis, simbol, dan gerak. Contohnya: audio pointer.
4)
Media visual gerak adalah media yang mengandung unsur gambar, garis, simbol, dan gerak. Contohnya: film bisu.
5)
Media visual diam adalah media yang mengandung unsur gambar, garis, dan simbol. Contohnya: facsimile, gambar, film rangkai, halaman cetak, dan microfilm.
6)
Media semi-gerak adalah media yang unsurnya hanya garis, simbol, dan gerak. Contohnya: teleautograph.
7)
Media audio adalah media yang unsurnya hanya suara saja. Contohnya: piringan radio dan pita audio.
8)
Media cetak adalah media yang unsurnya hanya simbol saja. Contohnya: pita berlubang (2009: 20).
29 4. Media Pembelajaran Sejarah dengan Menggunakan Animasi Stop Motion a. Pengertian Media Animasi Stop Motion Animasi adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah gerakan. Salah satu keunggulan animasi dibanding media lain seperti gambar statis atau teks adalah kemampuannya untuk menjelaskan perubahan keadaan tiap waktu. Hal ini terutama sangat membantu dalam menjelaskan prosedur dan urutan kejadian. Menurut Mayer dan Moreno, 2002 (dalam Dewyer, 2006: 16) animasi memiliki 3 fitur utama: (1) gambar-animasi merupakan sebuah penggambaran; (b) gerakan-animasi menggambarkan sebuah pergerakan; (c) simulasi-animasi terdiri atas objek-objek yang dibuat dengan digambar atau metode simulasi lain. Dengan adanya software-software pembuat animasi seperti Adobe Flash, Adobe Director, Swift 3D, 3D Studio MX, dll, membuat animasi sebagai alat pembelajaran tidak lagi memerlukan keahlian khusus dan biaya tinggi. Namun jika dibandingkan dengan pembuatan media yang hanya menggunakan gambar statis atau teks, tentu saja membuat animasi lebih memakan waktu dan memerlukan ketrampilan tambahan. Stop Motion atau Gerak Henti(bahasa Inggris: stop motion atau stop frame) adalah sebuah teknik animasi untuk membuat objek yang dimanipulasi secara fisik agar terlihat bergerak dengan sendirinya. Objek tersebut digerakan sedikit demi sedikit di setiap frame yang akan difoto, menciptakan ilusi pergerakan saat serangkaian frame tersebut dimainkan secara berurutan berkelanjutan. Boneka dengan sendi yang dapat digerakan atau figur tanah liat sering digunakan dalam gerak henti karena alasan kemudahan meletakkannya kembali. Stop Motion adalah sebuah teknik animasi untuk membuat manipulasi seolah-olah objek yang diam bergerak. Sebuah benda atau gambar dibuat bergerak dengan cara menyatukan frame foto yang berbeda dengan menciptakan ilusi dari gerakan ketika kumpulan frame foto dimainkan dengan berkelanjutan. Stop Motion bermanfaat untuk menggambarkan teori-teori yang berkaitan
30 dengan proses terbentuknya sesuatu. Dengan menyatukan foto-foto yang berbeda dari suatu gambar atau objek, siswa bisa mendapatkan gambaran proses terjadinya sesuatu dengan animasi yang menarik. b. Media Animasi Sebagai Pembelajaran Mendesain
animasi
yang
efektif
digunakan
untuk
pembelajaran
membutuhkan lebih dari sekedar kreatifitas dan ketrampilan untuk membuat animasi. Membuat animasi untuk tujuan pembelajaran tidak sama dengan membuat animasi untuk sekedar hiburan. Dibutuhkan pengetahuan tentang bagaimana sebenarnya informasi yang disajikan lewat ilustrasi dinamis, diproses oleh kognitif otak manusia. Kemampuan memori otak manusia sangat berpengaruh dalam keefektifan penggunaan animasi. Animasi yang tidak baik membanjiri murid dengan informasi atau terlalu jelas dalam menggambarkan konsep. Jika animasi menyajikan terlalu banyak informasi dalam satu frame (ada banyak informasi penting dalam satu frame), dan pergantian ilustrasi terlalu cepat maka murid akan kesulitan mencerna informasi yang diberikan. Dalam hal ini tidak ada kesinkronan antara banyaknya informasi yang diberikan oleh animasi ke murid dengan banyaknya informasi yang dapat dicerna oleh murid. Sebaliknya, jika animasi terlalu jelas dalam menggambarkan konsep yang akan dipahami, murid hanya perlu melihat pada animasi tanpa memerlukan usaha belajar. Usaha untuk membuat gambaran mental tentang konsep yang dipelajari membuat konsep lebih matang dalam kognitif murid. Animasi yang terlalu jelas juga menyebabkan murid seolah-olah memahami apa yang terjadi, namun belum tentu mereka dapat menjelaskan lagi konsep yang telah dipelajari tanpa melihat ke animasi yang sama.
5. Hasil Belajar Siswa a. Hasil Belajar Hasil belajar menurut Blomm yang dikutip oleh Arikunto, “Hasil belajar
31 dibedakan menjadi tiga aspek yaitu: aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu” (1999: 130). Menurut Cronbach yang dikutip (Syafii, “Tingkat hasil belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku individu sebagai hasil pengalaman” (2007: 29). Disimpulkan belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Depdiknas (2003: 234): “Dalam belajar paling tidak ada perubahan pengalaman dan dianggap sebagi faktor-faktor dasar dalam belajar, sebagai berikut : (a) pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku, diakibatkan dari perpasangan rangsangan tak terkondisikan dengan suatu rangsangan terkondisi, sebagai suatu fungsi pengalaman, rangsangan terkondisi itu pada suatu waktu memperoleh kemampuan untuk mengeluarkan respon terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami belajar dari ‘drill’ dan belajar strereotipe-stereotipe, (c) belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu, (d) pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. belajar dari model-model dan masing-masing dimungkinkan menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional, (e) belajar kognitif terjadi dalam pikiran dengan melihat dan memahami peristiwa-peristiwa sekitar, dan dengan belajar menyelami pengertian. Belajar sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran atau pengetahuan awal, dan perasaan siswa.” Belajar bukanlah proses penyerapan pengetahuan yang dapat ditentukan oleh guru. Hal ini terbukti hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal pengajaran sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama, cara perlakuan sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru diharapkan jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya, Sardiman berpendapat, “Siswa harus diberi kebebasan memberikan makna/pendapat atas materi yang disampaikan guru,
32 guru hanyalah membimbing mengarahkan apabila pendapat siswa tadi menyimpang dari kebenaran atau maksud yang ingin dicapai” (2001:17). Prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Menurut Blomm yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto (1999 :130): Hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitf meliputi: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Aspek afektif berkenaan dengan penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian organisasi dan internalisasi. Aspek psikomotor berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak.Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar , Slameto (1995:54-72). Faktor dari luar yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain: (1) Latar pendidikan orang tua, semakin tinggi pendidikan orang tua, maka anak dituntut harus berprestasi dengan berbagai cara ditempuh untuk pengembangan prestasi belajar anak; (2) Status ekonomi sosial orang tua, keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, jika tidak maka dalam belajar akan terganggu, jika misalnya anak dalam keluarga miskin kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi kesehatan terganggu akibatnya belajar anak terganggu; (3) Ketersediaan sarana dan prasarana di rumah dan sekolah, sarana prasarana mempunyai arti penting dalam pendidikan dan sebagai tempat yang strategis bagi berlangsungnya kegiatan belajar dan mengajar. Di rumah diperlukan tempat belajar, bermain agar anak dapat berkreasi sesuai apa yang diinginkan, sedangkan di sekolah harus mempunyai ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, halaman, ruang kepala dan lain sebagainya supaya terjadi pembelajaran yang memadai, semuanya
33 untuk memberikan pelayanan kepada anak didik; (4) Media yang dipakai guru, keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya media yang digunakan dalam pendidikan yang dirancang; (5) Kompetensi guru adalah cara guru dalam pembelajaran yang dilakukan terhadap siswa dengan metode atau program tertentu. Metoda atau program dijalankan demi kemajuan pendidikan, keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung baik buruknya metoda atau program yang dirancang. Faktor dari dalam yang mempengaruhi belajar yakni : (1) Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar, siswa yang kesehatan baik akan mudah dalam belajar sehingga hasil belajarnya akan baik dibanding dengan siswa yang kondisi kesehatannya kurang baik; (2) Kecerdasan besar pengaruhnya dalam menentukan sesorang dalam mencapai keberhasilan, seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi akan lebih cepat dalam menghadapai dan memecahkan masalah, dibandingkan dengan orang yang memiliki keceerdasan rendah. Siswa yang mempunyai keceerdasan tinggi prestasi belajarnya akan tinggi sementara siswa yang kecerdasannya rendah maka prestasi yang diperoleh juga rendah; (3) Cara belajar seseorang mempengaruhi pencapaian hasil belajarnya,
belajar
tanpa memperhatikan teknik dan faktor fisiologis, psikologis dan ilmu kesehatan akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan; (4) Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang, siswa yang belajar sesuai bakatnya akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar di luar bakatnya; (5) Minat seorang siswa yang belajar dengan minat yang tinggi maka hasil yang akan dicapai lebih baik dibanding dengan siswa yang kurang berminat dalam belakjar; (6) Motivasi, sebagai faktor dari dalam berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Dengan adanya motivasi maka siswa akan memiliki prestasi yang baik, begitu pula siswa yang motivasi rendah prestasinya kurang baik.
34 b. Hasil Belajar Sejarah Menurut I Gde Widja, (1989: 46) menyatakan: Mata pelajaran sejarah adalah, mata pelajaran yang mempelajari kehidupan atau peristiwa-peristiwa penting di masa lampau dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya dalam masyarakat. Salah satu fungsi utama mata pelajaran sejarah adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman masyarakat diwaktu lampau yang sewaktuwaktu bisa menjadi pertimbangan bagi masyarakat itu dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.” Tujuan luhur dari mata pelajaran sejarah adalah menanamkan kebangsaan cinta tanah air, bangsa dan negara serta sadar untuk menjawab untuk apa dilahirkan. Sebagai suatu pelajaran yang tidak langsung terkait dengan hasil pendidikan yang dapat diamati secara langsung, pembelajaran sejarah sukar untuk ditentukan keberhasilannya secara nyata. Menurut Hariyono, “Keadaan mata pelajaran sejarah yang hasil belajarnya tidak dapat diamati langsung pada akhirmnya memposisikan sejarah sebagai salah satu bidang studi yang tidak difavoritkan. Padahal melalui pelajaran sejarah siswa dikenalkan dengan berbagai pengalaman dan peristiwa masa lampau” (1995: 177). Hasil belajar mata pelajaran sejarah mencangkup kecakapan akademik, kesadaran sejarah, dan nasionalisme. Kecakapan akademik menyangkut ranah kognitif yang dikembangkan dalam pembelajaran yang bersumber dari kurikulum yang berlaku. Penlaian kesadaran sejarah meliputi kemampuan: 1) meghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan datang; 2) mengenal diri sendiri dan bangsanya; 3) membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; dan 4) menjaga peninggalan sejarah bangsa. Sedangkan aspek nasionalisme menyangkut: 1) perasaan bangga siswa sebagai bangsa Indonesia; 2) rasa cinta tanah air dan bangsa; 3) rela berkorban demi bangsa; 4) menerima kemajemukan; 5) bangga pada budaya yang beraneka ragam; 6) menghargai jasa para pahlawan; 7) mengutamakan kepentingan umum (Aman, 2011: 77).
35 c. Hasil Belajar Sejarah Siswa di SMA Menurut Kuntowijoyo, “Penyampaian mata pelajaran sejarah kepada anakanak SMA yang sudah mulai bernalar harus diberikan secara kritis. Mereka diharapkan sudah bisa berfikir mengapa sesuatu terjadi, apa sebenarnya yang telah terjadi dan kemana arah kejadian-kejadian itu” (2001: 4). Menurut Nasution, “Hasil belajar siswa dirumuskan sebagian tujuan instruksional umum (TIU) yang dinyatakan dalam bentuk yang lebih spesifik dan merupakan komponen dari tujuan umum bidang studi” (2010: 61). Sedangkan untuk menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, maka setiap guru berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini yang telah disempurnakan, antara lain bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan instruksional khusus (TIK) dapat tercapai, Bahri dkk berpendapat, “Untuk mengetahui tercapai atau tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai menyajikan satu bahasan kepada siswa” ( 2002: 119). Tujuan instruksional dikelompokkan menurut tingkat kesukaran dan kategorinya. Tujuan-tujuan ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik. Bloom mengklasifikasikan tujuan kognitif menjadi enam tingkatan, yaitu sebagai berikut: 1) pengetahuan, 2) pemahaman, 3) aplikasi, 4) analisa, 5) sintesa, dan 6) evaluasi. Kemudian Krathwohl membagi domain afektif ke dalam lima kategori, yaitu sebagai berikut: 1) penerimaan, 2) pemberian respon, 3) penilaian, 4) pengorganisasian, dan 5) pengkarakterisasian. Sedangkan Dave membagi domain psikomotor dalam lima kategori, yaitu sebagai berikut: 1) peniruan, 2) manipulasi, 3) ketetapan, 4) artikulasi, dan 5) pengalamiahan (Uzman dan Lilis, 1993: 111) Hasil belajar tidak terbatas pada aspek kognitif, akan tetapi juga mencakup hasil belajar dalam aspek sikap afektif dan keterampilan psikomotorik.
36 1) Aspek Kognitif Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan intelektual siswa, yang meliputi: a) Tingkatan menghafal secara verbal, b) Tingkatan pemahaman, c) Tingkatan aplikasi, d) Tingkatan analisis, e) Tingkatan sintesis, dan f) Tingkatan evaluasi penilaian. 2) Aspek Afektif Aspek afektif berhubungan dengan penilaian terhadap sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Aspek ini meliputi: a) Memberikan respon, b) Menikamati atau menerima, c) Menilai, dan d) Menerapkan atau mempraktekkan. 3) Aspek Psikomotor Pada aspek ini kompetensi yang harus dicapai meliputi: a) Tingkatan penguasaan gerakan awal berisi tentang kemampuan siswa dalam menggerakkan sebagian anggota tubuh, b) Tingkatan gerakan rutin yang meliputi kemampuan melakukan atau menirukan gerakan yang melibatkan seluruh anggota badan. c) Tingkatan gerakan rutin yang meliputi kemampuan melakukan gerakan secara menyeluruh dengan sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis (Sanjaya, 2005: 35). Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar-mengajar dapat dikatakan berhasil, berdasarkan ketentuan kurikulum yang disempurnakan yang saat ini digunakan adalah: 1) Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok. 2) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ instruksional khusus (TIK) telah dicapai siswa baik individu maupun klasikal. Ada dua kriteria dalam indikator keberhasilan, yaitu: 1) Kriteria ditinjau dari sudut prosesnya
37 Kriteria pada sudut prosesnya menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses yang merupakan interaksi dinamis sehingga siswa sebagai subjek mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri. 2) Kriteria ditinjau dari hasilnya Disamping tinjauan dari segi proses, keberhasilan pengajaran dapat dilihat dari segi hasil. Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar tersebut dapat dilakukan melalui tes ptrestasi hasil belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, tes prestasi hasil belajar dapat digolongkan ke dalam jenis penilain sebagai berikut: 1) Tes Formatif Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut, Bahri dkk, 2002: 120) berpendapat, “Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar bahan tertentu dan dalam waktu tertentu .” Evaluasi formatif atau tes formatif diberikan pada akhir setiap program. Tes ini merupakan post test atau tes akhir proses pembelajaran. 2) Tes Subsumatif Penilaian ini meliputi sejumlah bahan pengajaran atau satuan bahasan yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya ialah selain untuk memperoleh gambaran daya serap, juga untuk menetapkan tingkat prestasi belajar siswa. Hasilnya diperhitungkan untuk menentukan nilai rapor. 3) Tes Sumatif Penilaian ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap pokokpokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester. Tujuannya ialah untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil dari tes ini dimanfaatkan
38 untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat (rangking), atau sebagai ukuran kualitas sekolah.
Berdasarkan beberapa teori di atas, juga didukung oleh beberapa penelitian yang relevan, yakni: 1. Imas Purnamasari,dkk. (2012) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SMA Negeri di kota Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas XII yang menerapkan model pembelajaran contextual teeaching and learning dengan menggunakan media modul antara hasil belajar siswa kelas XII yang tidak menerapkan model contextual teaching and leaning. Artinya dengan terdapat perbedaan maka penerapan model pembelajaran contextual teaching and learning memiliki pengaruh terhadap hasil belajar. Maka dengan adanya pengaruh penerapan model pembelajaran contextual teaching and learning tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran contextual teaching and learning dengan menggunakan media modul dapat dijadikan sebagai suatu stategi untuk meningkatkan hasil belajar. Relevansinya dengan penelitian ini bahwa model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dimanfaatkan untuk peningkatan prestasi belajar siswa. Perbedaannya penelitian terdahulu digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar mata pelajaran akuntansi pada siswa SMA se-kota Bandung, sedangkan penenilitan bertujuan untuk mencari tahu pengaruh dalam pembelajaran sejarah, dengan mengambil satu kelas sebagai penelitian. 2. Mutia Liana (2015) Pembelajaran yang selama lebih menekankan pada keaktifan guru dalam menyampaikan pelajaran tanpa memperhitungkan keaktifan siswa sudah waktunya diganti strategi yang memudahkan anak dalam menerima pemahaman materi yang disampaikan guru dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning-CTL). Kedua,
39 dalam mengajar guru bisa merubah gaya mengajar yaitu lebih mengutamakan keaktifan siswa dalam memahami pelajaran melalui pengalaman langsung. Ketiga, Menciptakan likungan belajar yang yang membuat siswa tidak takut salah. Keempat, Memberikan jaminan belajar yang positif secara emosional. Kelima, Pembelajaran kontekstual dapat menimbulkan siswa belajar melaui mengalami bukan menghapal, siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri, siswa terbiasa memecahkan masala, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide, siswa menjadi aktif, kritis dan kreatif, Kelas menjadi produktif, menyenagkan dan tidak membosankan, dinding kelas dan lorong-lorong sekolah penuh dengan hasil karya siswa, peta, gambar, artikel, puisia, komentar, foto tokoh, diagramdiagram, Siswa selalu dikepung berbagai informasi, kelas CTL adalah siswa yang selalu ramai dan gembira dalam belajar. Relevansinya dengan penelitian ini bahwa model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dimanfaatkan untuk peningkatan prestasi belajar siswa. Perbedaannya penelitian terdahulu digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar mata pelajaran biologi, sedangkan penenilitan bertujuan untuk mencari tahu pengaruh dalam pembelajaran sejarah. 3. Yulistiyanto. (2012) Ada
pengaruh
antara
hasil
belajar,
antara
pembelajaran
yang
menggunakan Model CTL dengan pembelajaran yang tidak menggunakan Model CTL. Implikasi dalam pendidikan yang dimaksudkan disini adalah merupakan nilai-nilai positif yang terkandung dalam masalah yang diteliti serta berhubungan dengan pendidikan. Sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu “Hasil pembelajaran IPS Melalui Metode Contextual Teaching and Learning ( CTL) Bagi Peserta Didik Kelas VIII di MTs Darul Ishlah Gentinggunung Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal Pada Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2011/2012” dapatlah penulis paparkan implikasi penelitian ini sebagai berikut:
40 1. Dapat memberikan suatu gambaran atau semacam petunjuk bagi guru menggunakan metode CTL dalam mengajar materi IPS. 2. Dapat memberikan suatu gambaran bagi para guru untuk menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan jenis materi yang disampaikan dan media yang tepat dan baik dalam usahanya membantu anak didik untuk memperdalam materi IPS. Relevansinya dengan penelitian ini bahwa model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dimanfaatkan untuk peningkatan prestasi belajar siswa. Perbedaannya penelitian terdahulu digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar mata pelajaran IPS, sedangkan penenilitan bertujuan untuk mencari tahu pengaruh dalam pembelajaran sejarah. 4. Ilham Eka Putra, S.Kom., M.Hum. (2013) Pembelajaran sejarah dengan menggunakan media pembelajaran melalui multimedia pembelajaran interaktif sejarah dapat meningkatkan minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah, sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Relevansinya dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan media animasi, namun bedanya adalah penelitian sebelumnya pendekatan R&D karena dalam penelitian ini akan menghasilkan produk yang berupa media pembelajaran interaktif. 5. Ivan Sujatmoko,dkk (2015) Penelitian dan pengembangan ini menghasilkan produk berupa media pembelajaran sejarah berbasis animasi stop motion. Tahap evaluasi produk media melalui validasi ahli media, ahli materi, guru mata pelajaran sejarah dan uji coba kepada siswa. Teknik pengumpulan data berupa angket menggunakan lembar validasi untuk ahli media dan ahli materi serta lembar penilaian untuk guru mata pelajaran sejarah dan siswa. Analisis data menggunakan teknik deskriptif kuantitatif. Aspek penilaian baik dari ahli materi, ahli media, guru mata pelajaran sejarah serta hasil uji coba kepada
41 siswa, semuanya berkisaran pada rerata 4,00 - 4,67 dengan kategori baik sangat baik. Dengan demikian media pembelajaran sejarah berbasis animasi stop motion dengan materi kerajaan Hind u-Budha di Indonesia yang telah dikembangkan layak digunakan sebagai media pembelajaran di sekolah. Relevansinya adalah penelitian dahulu merupakan penelitain dan pengembangan produk yang menggunakan teknik animasi stop motion, sedangkan penelitain ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar sejarah siswa SMA.
B. Kerangka Berpikir Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas X IIS 1 berdasarkan hasil wawancara dan observasi, menunjukkan bahwa pembelajaran sejarah yang terjadi cenderung kurang variatif dan terkesan monoton, walaupun telah diadakan diskusi kelompok namun diskusi yang terjadi kurang hidup karena interaksi antar kelompok kurang maksimal. Guru kurang memaksimalkan dalam penggunaan berbagai model pembelajaran sehingga pembelajaran cenderung bersifat membosankan dan kurang menarik. Selain itu, guru juga kurang memanfaatkan media pembelajaran yang ada sehingga terkesan pembelajaran kurang variatif dan kurang menarik, dengan begitu siswa kurang tertarik mempelajari materi pelajaran sejarah. Guru juga kurang mengaitkan materi pembelajaran sejarah dengan kekayaan atau warisan sejarah yang ada di sekitar lingkungan sekolah sehingga siswa kurang menghargai akan warisan sejarah, bahkan tidak mengenal peninggalan sejarah yang ada di sekitar mereka. Siswa juga kurang memahami nilai-nilai sejarah yang dapat mereka resapi sebagai karakter yang terus dibina untuk senantiasa menghargai, menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah yang bernilai tinggi. Kurang menariknya kegiatan belajar mengajar sejarah membuat siswa tidak termotivasi untuk mempelajari sejarah dengan baik sehingga hasil belajar sejarah siswa rendah. Penggunaan model dan media pembelajaran yang tepat dan efektif merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran, agar aspek
42 afektif dan kognitif siswa selalu berkembang. Hasil pembelajaran sejarah tentunya bukan sekedar deretan angka tahun dan peristiwa yang terjadi. Pembelajaran sejarah yang baik, siswa tidak hanya sekedar menghafal tanggal, tempat, dan nama-nama tokoh besar. Akan tetapi, siswa diberikan pemahaman mengenai tingginya nilai-nilai sejarah dari sebuah objek sejarah yang mampu membangun kesadaran dan sikap siswa agar mempunyai karakter yang unggul dan menghargai semua yang telah terjadi dimasa lampau pada sebuah objek, serta berusaha untuk memetik hikmah di dalamnya. Selain itu, dituntut pula agar siswa senantiasa menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan masa lampau sebagai wujud penjagaan dan penghargaan atas jati diri bangsa. Hasil dari pembelajaran sejarah juga banyak mentransfer pengetahuan yang berguna bagi siswa. Misalnya suatu peristiwa masalalu yang dapat diambil hikmah dari dalamnya, dan menjadi pengalaman yang dapat dijadikan sebagai kebijakan dalam bertindak dikehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk meningkatkan hasil belajar sejarah siswa, perlu diterapkan strategi belajar yang efektif dan efisien yang mampu meningkatkan pemahaman nilai-nilai sejarah dan hasil belajar siswa. Diterapkanlah model CTL melalui media animasi stop motion. Pembelajaran dengan model CTL merupakan suatu pembelajaran yang berusaha mengaitkan materi pembelajaran
dengan
situasi
dunia
nyata
dan
mendorong
siswa
untuk
menghubungkan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
43
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
Pembelajaran sejarah masih menggunakan cara yang konvensional. Guru belum menggunakan media khususnya TI secara maksimal. Metode yang digunakanpun masih cenderung menggunakan ceramah.
Penerapan model CTLdan media animasi stop motion dalam pembelajaran sejarah
Diduga dengan menerapkan model CTL I dapat meningkatkan hasil belajar sejarah pada siswa kelas X IIS 1 di SMA Negeri 1 Karanganom
Tingkat memahami dan prestasi belajarnya masih rendah.
Siklus 1 siswa melihat video animasi stop motion kerajaakerajaan Islam di Indonesia diskusi kelompok dan peresentasi sesuai tahapan model CTL
Siklus II melaksanakan rancangan ulang sampai meningkatkan hasil belajar diatas KKM.Meliputi kegiatan: 1. Planning 2. Acting 3. Observing 4. Reflecting
Meningkatnya Hasil Belajar Sejarah Siswa
Gambar 2.1.Skema Kerangka Berpikir
44 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir diatas, maka dapat disusun hipotesis tindakan sebagai berikut: Penerapan Model CTL dan Video Animasi Stop Motion dalam Pembelajaran Sejarah dapat Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas X IIS 1 di SMA Negeri 1 Karanganom Tahun Ajaran 2015/2016.