KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA
AS L I PUTUSAN Nomor: 039/IV/KIP-PS-A/2013
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA
1. IDENTITAS
[1.1] Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik Nomor Registrasi 039/IV/KIP-PS/2013 yang diajukan oleh:
Nama
: Imam Bambang Setiawan
Alamat
: Perum Permata Galuh Blok B Nomor 13 Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Yang dalam persidangan memberikan kuasa kepada Anang Fitriana S.H, Asep Gumilar S.H, dan Syaeful Akbar S.H, ketiganya adalah advokat pada LBH Serikat Petani Pasundan (LBHSPP) berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 23 Februari 2013, selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Terhadap Nama
: Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat c.q Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis
Alamat
: Jin. Soekamo-Hatta nomor 586 Bandung Jawa Barat; Jin. Drs. H. Soejoed Nomor 14 Ciamis Jawa Barat
Yang dalam persidangan diwakili oleh: Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat; 1
1. Hadiat Sondara; 2. Dwiyanto; 3. Agus Kuswantoro; 4. Andang Rahmat; berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 9/SR-32/X/2013, tertanggal 1 Oktober 2013 yang ditandatangani oleh kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat.
Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis; 1. Nana Suryana, S.H; Kepala Sekesi Sengketa Konflik dan Perkara; 2. Agus Sumiarsa, S.H; Kepala Kantor Pertanahan Kab. Ciamis; 3. Muktiharta, S.H; Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan; 4. Ir. Y.P. Handoyo; Kepala Seksi Survey Pengukuran dan Pemetaan; 5. Yadi Suhudi, S.H; Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; 6. Deni Setiawan; Kepala Sub Seksi Pengendalian Pertanahan; berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 295/Sk-32.07/IX/2013, tertanggal 27 September 2013 ditandatangani oleh kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, selanjutnya disebut sebagai Termohon.
[1.2] Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan Pemohon; Telah mendengar keterangan Termohon; Telah mendengar keterangan Ahli; Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon dan Termohon;
2. DUDUK PERKARA A.
Pendahuluan
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi Pusat pada tanggal 25 Maret 2013 dan diterima pada tanggal 1 April 2013 dengan Nomor Register 039/IV/KIP-PS/2013.
2
Kronologi [2.2] bahwa pada tanggai 11 Februari 2013 Pemohon mengajukan permohonan informasi kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Informasi yang diminta adalah Data Hasil Identifikasi Tanah Telantar di Kabupaten Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU) di 7 lokasi, yaitu: 1.
PT. Cikencreng: Desa Sukajaya Kec. Cimerak;
2.
PT. Cipucung: Desa Pesawahan Kec. Banjarsari dan Desa Kalijati Kec. Sidamulih;
3.
PT Raya Sugarindo Inti: Desa Kalangsari dan Desa Sukamulya Kec. Baregbeg;
4.
PT Maloya: Desa Muktisari Kec. Cipaku;
5.
PT Raya Sugarindo Inti: Desa Cinatanagara Kec. Jatinagara dan Desa Selacai Kec. Cipaku;
6.
Bukti Jonggol Asri: Desa Kaso, Desa Sukasari. Desa Kadupandak, Desa Mekarsari Kec. Tambaksari; dan
7.
Bukit Jonggol Asri: Desa Banjar Anyar, Desa Cigayam, Desa Pasawahan, Desa Cikaso, Desa Kalijaya, Kec. Banjarsari.
[2.3] bahwa pada tanggal 24 Februari 2013, Pemohon menyampaikan surat keberatan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat. [2.4] bahwa pada tanggal 18 Maret 2013, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon dengan Surat Nomor 442/16-32/III/2013, Perihal Nota Keberatan, yang pada pokoknya menyatakan: 1) Bahwa permohonan Pemohon tidak jelas, baik obyek dan subyek hak atas tanah yang mana, serta dokumen apa yang berada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis; 2) Bahwa berdasarkan Pasal 192 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, dijelaskan pihak yang berhak mendapatkan petikan, salinan, atau rekaman dokumen adalah pemegang hak yang bersangkutan dan instansi untuk pelaksanaan tugasnya; 3) Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU Nomor 14 Tahun 2008 sudah jelas, yaitu informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; dan
3
4) Bahwa berdasarkan Pasal 12 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2011, dijelaskan warkah tentang keputusan penetapan tanah terlantar dan data lainnya dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka termohon tidak dapat memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis untuk mengeluarkan dokumentasi tersebut.
[2.5]
bahwa pada tanggal 25 Maret 2013, Pemohon mengajukan permohonan penyelesaian
sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Pusat, dan diterima oleh Komisi Informasi Pusat pada tanggal 1 April 2013. Alasan Permohonan Informasi atau Tujuan Penggunaan Informasi [2.6]
Bahwa
alasan
permohonan
informasi
Pemohon
ialah
untuk
menghindari
kesalahpahaman antara Pemohon dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, serta untuk menghindari konflik-konflik yang teijadi di masyarakat tempat konflik terjadi akibat adanya tumpang tindih atas lahan yang digarap/dimohonkan atas tanah telantar tersebut oleh rakyat. Hal ini terjadi akibat dari adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi.
Alasan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi [2.7] bahwa Pemohon mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik karena penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Petitum [2.8] Agar Komisi Informasi Pusat menyatakan: 1. Informasi yang dimohonkan oleh Pemohon adalah informasi yang bersifat terbuka sehingga wajib dibuka dan diberikan kepada Pemohon; dan 2. Termohon telah salah karena tidak memenuhi permohonan informasi Pemohon, sehingga Termohon wajib memenuhi permohonan informasi oleh Pemohon sebagaimana yang dimohonkan.
4
B. Alat Bukti Keterangan Pemohon [2.9] Menimbang bahwa dalam persidangan Pemohon memberikan keterangan sebagai berikut: 1.
Pemohon berkepentingan untuk memohon data mengenai inventarisasi data tanah terlantar di Kabupaten Ciamis karena menganggap Pemohon mempunyai legal standing. Karena penggarap lahan eks HGU adalah anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) tempat Pemohon berkedudukan selaku Deputi Sekjen SPP. Pemohon menduga adanya penyelewenangan dalam identifikasi tanah telantar. Apabila ada penyalahgunaan maka akan ada tumpang tindih pengelolaan pada tanah eks HGU tersebut;
2.
Pemohon memiliki data mengenai nama-nama penggarap lahan eks HGU tersebut;
3.
Pemohon menghawatirkan adanya perbedaan antara penggarap faktual dan penggarap yang hanya tercantum dalam data BPN. Pada intinya Pemohon menghawatirkan adanya dua penggrap di atas tanah yang sama yang selama ini sering terjadi. Oleh karena itu Pemohon ingin memastikan hal itu dengan meminta informasi kepada BPN;
4.
Bidang tanah yang Pemohon mintakan informasinya adalah tanah eks HGU perusahaan-perusahaan sebagaimana yang Pemohon sebutkan dalam surat permohonan 7 (Tujuh) Lokasi Tanah Eks HGU Perusahaan), yaitu: 1. PT. Cikencreng: Desa Sukajaya Kec. Cimerak; 2. PT. Cipucung: Desa Pesawahan Kec. Banjarsari dan Desa Kalijati Kec. Sidamulih; 3. PT Raya Sugarindo Inti: Desa Kalangsari dan Desa Sukamulya Kec. Baregbeg; 4. PT Maloya: Desa Muktisari Kec. Cipaku; 5. PT Raya Sugarindo Inti: Desa Cinatanagara Kec. Jatinagara dan Desa Selacai Kec. Cipaku; 6. Bukti Jonggol Asri: Desa Kaso, Desa Sukasari. Desa Kadupandak, Desa Mekarsari Kec. Tambaksari; dan 7. Bukit Jonggol Asri: Desa Banjar Anyar, Desa Cigayam, Desa Pasawahan, Desa Cikaso, Desa Kalijaya, Kec. Banjarsari,
5.
Pemohon belum mengetahui secara pasti dan nyata dokumen hasil identifikasi tanah telantar; 5
6.
Data-data yang Pemohon berikan adalah data yang sesuai dengan kondisi di lapangan mengenai nama-nama penggarap tanah yang dimaksud. Pemohon yakin pihak BPN sudah memiliki catatan nama-nama tersebut;
7.
Tanah-tanah itu telah diusahakan oleh masyarakat dan digarap langsung oleh masyarakat yang sebagian besar adalah anggota SPP;
8.
Nama-nama masyarakat penggarap yang masuk dalam data nominatif penggarap lahan tersebut merupakan masyarakat asli (penduduk asli) Ciamis, bisa dibuktikan dengan KTP;
9.
Pemohon mengetahui ada identifikasi tanah telantar karena pemberitahuan pihak BPN sebelum identifikasi itu dilakukan;
10. Masyarakat yang secara langsung terlibat dalam penyusunan data nominatif penggarap lahan tersebut sehingga kecil kemungkinan ada kesalahan dalam menyusun data nominatif nama-nama penggarap; 11. Awalnya yang Pemohon ketahui ada 7 (tujuh) lokasi tanah eks HGU, namun di persidangan ini Pemohon baru tahu berdasarkan keterangan Termohon bahwa Termohon (Kantor Pertanahan Ciamis) ternyata hanya melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar di dua lokasi saja; 12. Pemohon belum pernah melihat secara fisik seperti apa bentuk dan isi hasil identifikasi dan penelitian tanah terlantar; 13. Dalam bayangan (asumsi) Pemohon, data hasil identifikasi dan penelitian itu berisi nama-nama penggarap lahan eks HGU beserta luasan pembagian lahannya; 14. Setelah identifikasi dan penelitian tanah telantar dilakukan, tidak ada komunikasi dan koordinasi antara Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis dengan Serikat Petani Pasundan (SPP); 15. Pemohon dan para petani penggarap yang tergabung dalam SPP, membagi luasan tanah eks HGU untuk digarap oleh masyarakat berdasarkan musyawarah; 16. Mungkin ada kesamaan mengenai data nominatif penggarap lahan eks HGU antara data yang dimiliki Pemohon dengan data BPN karena ternyata BPN pun memperoleh data itu dari desa, sama seperti Pemohon. Surat-Surat Pemohon [2.10] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan surat tertulis sebagai berikut: Foto Copy surat permohonan informasi kepada Termohon tertanggal 11 Februari 2013 6
Surat P-2
Foto Copy surat keberatan kepada Termohon tertanggal 24 Februari 2013
Surat P-3
Foto Copy surat tanggapan atas keberatan dari Termohon Nomor 442/1632/111/2013, Perihal: Nota Keberatan, tertanggal 18 Maret 2013
Surat P-4
Surat permohonan penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi Pusat tertanggal 25 Maret 2013.
Surat P-5
Surat kuasa khusus tertanggal 23 Februari 2013
Surat P-6
Foto copy identitas Pemohon.
Surat P-7
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Kalijaya 1 Desa Kalijaya Kecamatan Banjar Sari, Kabupaten Ciamis 2012)
Surta P-8
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal selacai Desa Selacai Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis 2012)
Surat P-9
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal kalang sari Desa Suka Mulya Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis 2013)
Surat P-10
Data Masyarakat Penggarap Tanah Gunung Bitung Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis
Surat P-11
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Pasawahan 1 Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis 2011)
Surat P-12
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Kalangsari Desa Jelat Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis 2012)
Surat P-13
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal pasawahan dua Serikat Petani Pasundan 2012)
Surat P-14
Data Nominatif Pengarap Tanah Eks HGU PT Maloya Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Maloya Desa Muktisari Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, 2012)
Surat P-15
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Cintanagara Desa Cintanagara kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis 2012
Surat P-16
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Banjaranyar Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis 2012
Surat P-17
Data Nominatif Garapan Serikat Petani Pasundan (organisasi tani lokal Cikaso Desa Cikaso Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis 2012
7
Keterangan Termohon [2.11] Menimbang bahwa dalam persidangan Termohon memberikan keterangan sebagai berikut: 1.
Merujuk kepada surat yang telah disampaikan kepada Pemohon, Termohon beranggapan bahwa informasi a quo berdasarkan Pasal 12 Perka BPN 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Telantar adalah informasi rahasia. Itulah dasar bagi Termohon untuk merahasiakannya. Ada juga berdasarkan ketentuan Perka BPN 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar, yang secara terinci juga memuat informasi apa saja yang dapat dibuka dan tidak dibuka;
2.
Benar bahwa perusahaan-perusahaan sebagaimana disebutkan oleh Pemohon merupakan perusahaan yang dulunya memegang HGU atas tanah yang dimaksud;
3.
Termohon juga mengacu kepada PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memuat penjelasan mekanisme penetapan tanah telantar. Informasi yang dimohon ini sebetulnya hanya salah satu tahapan saja dalam mekanisme penetapan tanah telantar dan itu belum selesai karena penetapan tanah telantar ada di tangan Kepala BPN RI;
4.
PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997 mengatur pendaftaran tanah secara umum, terkait dengan tanah telantar diatur dengan peraturan lain yang lebih khusus sebagaimana yang telah disebutkan oleh Termohon;
5.
Benar bahwa terhadap tanah-tanah tersebut telah dilakukan kegiatan identifikasi dan peneltian tanah telantar;
6.
Hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar merupakan bagian dari warkah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 ayat (2) Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011 sehingga menurut pasal tersebut informasi itu tidak bisa diberikan ke sembarang pihak atau pihak yang tidak berwenang;
7.
Termohon mempunyai dokumen sebagaimana yang diminta oleh Pemohon namun sesuai peraturannya, dokumen itu diserahkan kepada Kanwil untuk diproses lebih lanjut;
8.
Bentuk hukum penetapan tanah telantar adalah berupa Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Telantar;
9.
Proses penetapan tanah telantar itu sendiri masih dalam proses (belum selesai). Termohon sudah menyampaikan hasil identifikasi dan penelitian tersebut ke 8
Kanwil dan Kanwil sudah mengirimkan ke BPN namun belum ada keputusannya dari BPN. Sehingga penetapan tanah telantar ini belum selesai dan belum final; 10. Data yuridis dan data fisik merupakan bagian dari dokumen hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar; 11. Data yurudis dan data fisik hanya dapat diberikan manakala tanah yang bersangkutan sudah ada sertifikatnya; 12. Termohon bersedia dan akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemeriksaan setempat yang akan dilakukan oleh Majelis ke Kantor Termohon; 13. Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis hanya melakukan identifikasi dan penlitian tanah telantar terhadap dua dari tujuh lokasi eks HGU sebagaimana dimaksud Pemohon. Sisanya (lima lokasi) dilakukan oleh Kantor Wilayah BPN Jawa Barat karena keterbatasan anggaran untuk identifikasi itu sendiri di Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis; 14. Termohon (Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis) menyusun data nominatif namanama penggarap bersama dengan pihak desa, datanya memang diambil dari desa; 15. Hasil identifikasi dan penelitian itu tidak hanya berisi data nominatif penggarap, melainkan berisi juga data-data lain seputar tanah terlantar tersebut; 16. Dalam proses identifikasi dan penilitian, data nominatif itu diambil dari desa. Namun Termohon juga tetap melakukan pengecekan lapangan; 17. Dalam melakukan kegiatan identifikasi dan penilitian tanah telantar, Termohon mengacu kepada Peraturan Kepala BPN; 18. Termohon tidak pernah melihat format data nominatif sebagaimana yang dipegang dan diajukan oleh Pemohon; 19. Dalam data hasil identifikasi dan penelitian yang dilakukan oleh Termohon memang ada atau tercantum nama-nama penggarap tanah yang dimaksud. Surat-Surat Termohon [2.12] Menimbang bahwa Termohon mengajukan bukti surat sebagai berikut: Surat T-l
Surat Kuasa Khusus Nomor 9/SR-32/X/2013, tertanggal 1 Oktober 2013 dan Surat Kuasa Khusus Nomor 295/Sk-32.07/IX/2013, tertanggal 27 September 2013.
SurtaT-2
Foto copy identitas Termohon
9
Pemeriksaan Setempat [2.13] Menimbang bahwa Majelis Komisioner yang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa informasi publik a quo pada tanggal 2 Oktober 2013 Pukul 15.00 WIB melakukan pemeriksaan setempat di kantor Termohon (Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis). Dalam pemeriksaan setempat diperoleh fakta-fakta sebagai berikut; 1.
Bahwa Majelis Komisioner ditunjukkan dokumen Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar yang dikuasai Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis.
2.
Bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis hanya melakukan Identifikasi dan Penilitian Tanah Telantar terhadap dua dari tujuh lokasi eks HGU sebagaimana yang dimaksud Pemohon, yaitu: a. PT Cipicung yang berlokasi di Desa Pesawahan, Kecamatan Banjarsari dan Desa Kalijati, Kecamatan Sidamulih. b. Bukit Jonggol Asri yang berlokasi di Desa Kaso, Desa Sukasari, Desa Kadupandak, Desa Mekarsari Kecamatan Tambaksari.
3.
Bahwa Identifikasi dan Penilitian Tanah Telantar di lima lokasi lainnya dilakukan dilakukan oleh Kantor Wilayah Jawa Barat, yaitu: a. PT Cikenceng yang berlokasi di Desa Sukajaya b. PT Raya Sugarindo inti (RSI) yang berlokasi desa Kalang Sari dan Desa Sukamulya, Kecamatan Baregberg. c. PT. Maloya yang berlokasi di desa Muktisari Kecamatan Cipaku. d. PT. Raya Sugarindo Inti (RSI) yang berlokasi Desa Cinatanagara Kecamatan Jatinegara dan Desa Selacai Kecamatan Cipaku e. Bukit Jonggol Asri yang berlokasi desa Banjaranyar, Desa Cigayam, Desa Pasawahan, Desa Cikaso, Desa Kalijaya, Kecamatan Banjarsari.
4.
Bahwa dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar yang dikuasai Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis memuat juga data nominatif penggarap lahan eks HGU (lampiran).
Keterangan Ahli: [2. 14] Menimbang bahwa Majelis Komisioner yang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa informasi publik a quo menghadirkan Ahli di bidang pertanahan, yaitu Enny Koeswarni, S.H., MKN dalam persidangan tanggal 14 April 2014 yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut: 10
1.
Bahwa Identifikasi dan Penilitian merupakan salah satu kegiatan atau bagian dari proses Penetapan Tanah Terlantar;
2.
Bahwa hasil Identifikasi dan Penilitian bukanlah akhir atau proses final dari keseluruhan proses Penetapan Tanah Telantar. Proses Penetapan Tanah Telantar dikatakan selesai apabila Kepala BPN telah menetapkan tanah yang dimaksud sebagai Tanah Telantar melalui Surat Keputusan (SK) Kepala BPN. Itulah yang disebut sebagai hasil dari proses Penetapan Tanah Telantar;
3.
Bahwa apabila proses Penetapan Tanah Telantar itu belum selesai, dalam arti yang lebih spesifik; belum keluar SK Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Telantar tersebut maka informasi atau dokumen-dokumen yang masih dalam proses itu belum bisa dibuka;
4.
Bahwa perihal Data Nominatif Penggarap Lahan Eks HGU yang sedang dalam proses untuk ditetapkan sebagai tanah telantar, seharusnya hal itu tidak ada atau tidak dilakukan pendataan atau semacamnya karena proses Penetapan Tanah Terantar-nya sendiri masih dalam proses dan belum selesai;
5.
Bahwa terkait dengan Pasal 18 UU Nomor 14 Tahun 2008, perihal nama-nama pemegang hak (perusahaan pemegang HGU) atas tanah yang tanahnya sedang dalam proses penetapan tanah terlantar itu bisa saja dibuka kepada publik dengan persetujuan yang bersangkutan;
6.
Bahwa Warkah Penetapan Tanah Telantar terdiri dari dokumen-dokumen yang dihasilkan dari seluruh kegiatan Penetapan Tanah Telantar, termasuk juga hasil identifikasi dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Kantor Pertanahan Ciamis dan Kanwil Jawa Barat atau yang disebut Panitia C;
7.
Bahwa nama-nama yang sudah ada dalam bentuk data nominatif itu seharusnya belum ada dalam proses Penetapan Tanah Telantar, karena ahli melihat prosesnya belum selesai, belum ada penetapan dari Kepala BPN. Selama masih dalam proses/penelitian, tidak seorang pun dapat diberi hak atas tanah yang sedang dalam penelitian itu. Dalam hal ini ahli melihat ada dua permasalahan; 1) selesaikan dulu proses Penetapan Tanah Telentar itu sampai selesai sampai ada SK; dan 2) data nominatif yang berisi nama-nama penggarap lahan eks HGU itu seharusnya belum ada dan seharusnya diselesaikan terlebih dahulu penetapan tanah telantarnya. Setelah ditetapkan sebagai tanah telantar melalui Keputusan Kepala BPN, baru kemudian tanah tersebut bisa diredistribusikan kepada 11
masyarakat. Setelah itu baru dibuka kemungkinan untuk digarap atau diusahakan oleh masyarakat. 8.
Bahwa warkah terdiri dari data fisik dan yurudis. Data fisik terdiri dari data-data terkait fisik tanah yang bersangkutan, seperti letak, batas, dan luas tanah. Sedangkan data yuridis berisi keterangan mengenai status hukum dari tanah yang bersangkutan misalnya dokumen jual belinya, pemiliknya, dan lain sebagainya;
9.
Bahwa terkait nama-nama penggarap yang sudah ada, yang sudah terdaftar dalam data nominatif, ahli memandang/menilainya hanya sekadar daftar yang kemudian akan diusulkan oleh desa sebagai penggarap yang akan menggarap tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar itu. Harusnya itu belum dilakukan pada saat ini, itu proses kedua setelah proses penetapan tanah telantarnya selesai;
10. Bahwa walaupun nama-nama penggarap itu sudah tercatat di desa namun karena proses Penetapan Tanah Terlantar belum selesai maka itu bukan sesuatu yang definitif. Nama-nama penggarap itu mungkin bisa dijadikan sebagai daftar riwayat penggarapan tanah itu, yang nanti akan bisa digunakan sebagai bahan untuk mengajukan hak atas tanah telantar tersebut. Tetapi itu proses yang selanjutnya dan terpisah dari proses Penetapan Tanah Telantar; 11. Bahwa pendaftaran, apalagi penentuan penggarap tanah yang sedang dalam proses penetapan tanah telantar bukan merupakan bagian dari proses penetapan tanah telantar itu sendiri. Tidak ada proses dalam penetapan tanah telantar itu yang mengatur inventarsiasi nama-nama penggarap yang kelak akan diberikan hak atas tanah tersebut; 12. Bahwa informasi atau dokumen-dokumen terkait proses penetapan tanah telantar dalam kasus ini itu belum bisa dibuka. Ada saatnya nanti hal-hal dan dokumendokumen yang terkait dengan penetapan tanah ini bisa dibuka, ketika prosesnya sudah selesai dan telah keluar SK Kepala BPN. Bahkan kalau sudah keluar SK-nya dan diumumkan, seperti dipasang papan pengumuan bahwa tanah ini telah ditetapkan sebagai tanah telantar, itu berarti telah dilepaskan dari hak kepemilikan atau penguasaan pihak yang memiliki atau menguasai tanah tersebut sebelumnya dan ditetapkan sebagai tanah cadangan negara yang kemudian akan diatur peruntukannya; 13. Bahwa dalam menetapkan Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar, BPN berpegang pada data dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
12
Kanwil dan Kantor Pertanahan di bawahnya, sehingga tidak mungkin keputusan tersebut berbeda atau menyimpang dari hasil penelitian tersebut; 14. Bahwa secara eksplisit tidak ada peraturan yang melarang bahwa dalam kegiatan Identifikasi dan Penelitan tidak boleh mencantumkan data nominatif tanah eks HGU. 15. Bahwa secara normatif harusnya data-data itu belum ada karena tidak ada dasar hukumnya, jadi itu bisa diabaikan saja karena tidak ada dalam proses penetapan tanah telantar; 16. Bahwa tidak bisa BPN menentukan nama-nama penggarap itu pada waktu sekarang, selama proses penetapan tanah telantarnya belum selesai. Hal itu akan dilakukan setelah tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah telantar, baru pada waktu itu ada proses redistribusi tanah tersebut kepada masyarakat, pada saat tulah namanama yang akan diberi hak baru bisa muncul; 17. Bahwa data hasil identifikasi dan penelitian tidak bisa diberikan kepada namanama penggarap yang ada dalam daftar nominatif. Tapi kalau kepada pemegang hak atas tanah yang tanahnya sedang dalam proses penetapan tanah telantar itu boleh, karena mereka yang berkepentingan; 18. Bahwa data-data hasil identifikasi dan penelitian atau data-data lain terkait proses penetapan tanah telantar ini tidak bisa dibuka, kecuali apabila sudah ada SK Kepala BPN dan kemudian dibuka kemungkinan untuk orang mengajukan hak atas tanah tersebut, itu bisa dibuka, bahkan bukan hanya bisa dibuka tapi harus diumumkan; 19. Bahwa pendaftaran atau penentuan siapa penggarap lahan eks HGU yang dalam kasus ini sedang dalam proses penetapan tanah telantar, bukan merupakan bagian dari proses penetapan tanah telantar. Kekeliruan antara subyek (orang) yang akan diberi hak atas tanah telantar dan obyeknya (tanah) tidak akan terjadi karena penentuan nama-nama penggarap itu akan ditentukan setelah proses penetapan tanah telantar selesai, bukan sekarang. Tidak mungkin keliru kalau nanti dilakukan setelah proses penetapan tanah telantarnya selesai. Karena jika lokasi tanah telantar itu sudah ditetapkan maka di situlah masyarakat dapat mengajukan hak untuk mengusahakan tanah itu, di mana letak obyeknya di situlah hak itu akan diberikan kepada subyeknya.
13
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan sesungguhnya adalah mengenai Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juncto Pasal 5 huruf b; Pasal 13; Pasal 36 ayat (1) ayat (2) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki 1 Tahun 2013), yaitu dengan alasan penolakan permohonan informasi karena merupakan informasi dikecualikan.
[3.2] Menimbang bahwa sebelum memeriksa pokok permohonan, Majelis Komisioner akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: A. Kewenangan Komisi Informasi Pusat untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo\ B. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. C. Kedudukan hukum (legal standing) Termohon. D. Jangka waktu permohonan penyelesaian sengketa informasi publik. Terhadap hal tersebut di atas, Majelis berpendapat sebagai berikut:
A.
Kewenangan Komisi Informasi Pusat
[3.3] Menimbang bahwa Komisi Informasi Pusat memiliki dua kewenangan yaitu kewenangan
absolut
dan
kewenangan
relatif.
Oleh
karena
itu
Majelis
akan
mempertimbangkan dua kewenangan tersebut dalam perkara a quo.
Kewenangan Absolut [3.4] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU KIP dinyatakan bahwa: “Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.” [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU KIP juncto Pasal 1 angka 3 Perki 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa: “Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang teijadi antara Badan Publik dengan Pemohon Informasi Publik dan/atau Pengguna Informasi Publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan/atau menggunakan Informasi Publik berdasarkan peraturan perundang-undangan.” 14
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan: Pasal 26 ayat (1) huruf a UU KIP “Komisi Informasi bertugas: menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UU KIP.” Pasal 22 UU KIP: Ayat (1) “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.” Ayat (7) “Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan : a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak; b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada dibawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta; c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan; e. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya; f. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/ atau g. biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta.” Ayat (8) “Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 ( tujuh) hari keija berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.” Pasal 36 UU KIP: Ayat (1) “Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari keija setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).” Ayat (2) “Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka 15
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari keija sejak diterimanya keberatan secara tertulis.” Pasal 37 ayat (2) UU KIP “Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari keija setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).” [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perki 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa: “Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Komisi Informasi dapat ditempuh apabila: a. Pemohon tidak puas terhadap tanggapan atas keberatan yang diberikan oleh atasan PPID; atau b. Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan yang telah diajukan kepada atasan PPID dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima oleh atasan PPID.” [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan Pemohon telah menempuh mekanisme permohonan informasi, keberatan, dan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik sebagai berikut: 1. Pemohon mengajukan permohonan informasi kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis Jawa Barat pada tanggal 11 Februari 2013. Informasi yang diminta adalah Data Hasil Identifikasi Tanah Telantar di Kabupaten Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU pada lokasi-lokasi yang terlampir atau disebutkan dalam Permohonan); 2. Pemohon menyampaikan surat keberatan atas tidak ditanggapinya permohonan informasi kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat pada tanggal 24 Februari 2013 . 3. Termohon memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon dengan Surat Nomor 442/16-32/III/2013 tertanggal 18 Maret 2013. 4. Pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Pusat pada tanggal 25 Maret 2013 dan diterima oleh Komisi Informasi Pusat pada tanggal 01 April 2013.
[3.9]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.4] sampai dengan paragraf
[3.8], Majelis berpendapat bahwa sengketa a quo berada dalam kompetensi absolut Komisi
16
Informasi Pusat dan oleh karenanya Komisi Informasi Pusat mempunyai kewenangan untuk menyelesaian sengketa a quo.
Kewenangan Relatif [3.10] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU KIP dinyatakan bahwa: “Kewenangan Komisi Informasi Pusat meliputi kewenangan penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan Badan Publik tingkat provinsi dan/atau Badan Publik tingkat kabupaten/kota selama Komisi Informasi di provinsi atau Komisi Informasi kabupaten/kota tersebut belum terbentuk.” [3.11] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perki 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa: “Komisi Informasi Pusat berwenang menyelesaikan Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik Pusat.” [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1) Perki 1 Tahun 2013 yang dimaksud dengan Badan Publik Pusat adalah: “Badan Publik yang lingkup keijanya bersifat nasional atau lembaga tingkat pusat dari suatu lembaga yang hierarkis. Contoh: Kementerian, MPR, DPR, Mahkamah Agung, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Partai Politik tingkat pusat, organisasi non pemerintah tingkat pusat, BUMN, atau lembaga negara lain di tingkat pusat.” [3.13] Menimbang bahwa Termohon adalah Badan Pertanahan Nasional RI dalam hal ini adalah Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat c.q Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut Perpres No. 63 Tahun 2013). [3.14] Menimbang bahwa kedudukan BPN RI berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 63 Tahun 2013, yaitu: Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disebut BPN RI adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.” [3.15] Menimbang bahwa tugas BPN RI sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Perpres No. 63 Tahun 2013, yaitu:
17
“BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Perpres No. 63 Tahun 2013, kelembagaan/organi sasi BPN RI terdiri dari Kantor Wilayah BPN di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota. [3.17] Menimbang bahwa pendanaan BPN RI sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Perpres No. 63 Tahun 2013, yaitu: “Segala pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi BPN RI dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.” [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.10] sampai dengan paragraf [3.17] Majelis berpendapat bahwa sengketa a quo berada dalam kompetensi relatif Komisi Informasi Pusat dan oleh karenanya Komisi Informasi Pusat mempunyai kewenangan untuk menyelesaian sengketa a quo.
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU KIP juncto Pasal 1 angka 7 Perki 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa Pemohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik adalah Pengguna atau Pemohon Informasi Publik yang menggunakan informasi publik atau mengajukan permintaan Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UU KIP.
[3.20] Menimbang ketentuan sebagai berikut: Pasal 11 ayat (1) Perki 1 Tahun 2013: Pemohon wajib menyertakan dokumen kelengkapan permohonan sebagai berikut; a.
Identitas Pemohon yang sah, yaitu: 1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Paspor atau identitas lain yang sah yang dapat membuktikan Pemohon adalah warga negara Indonesia; atau 2. Anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan telah tercatat di Berita Negara Republik Indonesia dalam hal Pemohon adalah Badan Hukum.
18
3. Surat kuasa dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemberi kuasa dalam hal Pemohon mewakili kelompok orang.
[3.21] Menimbang bahwa telah menjadi fakta hukum yang tidak terbantahkan di dalam persidangan bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia dengan bukti fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang selanjutnya mewakilkan upaya penyelesaian sengketa a quo kepada kuasanya dengan bukti surat kuasa khusus (vide surat P-5 dan surat P-6)
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.19] sampai dengan paragraf [3.21] Majelis berpendapat Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
C. Kedudukan Hukum (legal standing) Termohon [3.23] Menimbang ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 3 UU KIP; Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau luar negeri.” Pasal 27 ayat (2) UU KIP “Kewenangan Komisi Informasi Pusat meliputi kewenangan penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan Badan Publik t ingkat provinsi dan/ atau Badan Publik t ingkat kabupaten/kota selama Komisi Informasi di provinsi atau Komisi Informasi kabupaten/ kota tersebut belum terbentuk.” Pasal 6 ayat (1) Perki 1 Tahun 2013 Komisi Informasi Pusat berwenang menyelesaikan Sengketa Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik Pusat.” Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Perki 1 Tahun 2013 “Yang dimaksud dengan Badan Publik Pusat adalah Badan Publik yang lingkup kerjanya bersifat nasional atau lembaga tingkat pusat dari suatu lembaga yang hierarkis. Contoh: Kementerian, MPR, DPR, Mahkamah Agung, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, 19
Partai Politik tingkat pusat, organisasi non-pemerintah tingkat pusat, BUMN, atau lembaga negara lain di tingkat pusat.” [3.24] Menimbang bahwa Termohon adalah Badan Pertanahan Nasional RI dalam hal ini adalah Kantor Wilayah Jawa Barat c.q Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya disebut Perpres No. 63 Tahun 2013). [3.25] Menimbang bahwa Termohon Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis c.q Kantor Wilayah Jawa Barat dalam sengketa a quo merupakan lembaga vertikal dari BPN RI berdasarkan ketentuan Pasal 37 Perpres No. 63 Tahun 2013 juncto Pasal 29 ayat (1) Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan (selanjutnya disebut Perka BPN No. 4 Tahun 2006), yang menyebutkan; “Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kanwil BPN.” [3.26] Menimbang pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada paragraf [3.14] sampai dengan paragraf [3.17] (Kewenangan Relatif) yang pada pokoknya telah menguraikan perihal status dan kedudukan Termohon sebagai Badan Publik pusat sehingga tidak perlu lagi diuraikan pada bagian ini.
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.23] sampai dengan paragraf [3.26] Majelis berpendapat Termohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagai Termohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
D. Jangka Waktu Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik [3.28] Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum yang tidak terbantahkan dalam persidangan, Pemohon telah menempuh mekanisme permohonan informasi, keberatan, dan pengajuan permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2] sampai dengan paragraf [2.5] (Kronologi).
[3.29] Menimbang ketentuan-ketentuan mengenai jangka waktu dalam prosedur penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagai berikut:
20
Pasal 22 UU KIP: Ayat (1) “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.” Ayat (7) “Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan : a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak; b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada dibawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta; c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan; e. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya; f. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/ atau g. biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta.” Ayat (8) “Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 ( tujuh) hari keija berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.” Pasal 36 UU KIP: Ayat (1) “Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari keija setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1 )”
Ayat (2) “Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari keija sejak diterimanya keberatan secara tertulis.”
21
Pasal 37 ayat (2) UU KIP “Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kega setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).”
[3.30] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.28] dan paragraf [3.29] Majelis berpendapat bahwa Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan oleh Pemohon telah memenuhi ketentuan jangka waktu sebagaimana yang telah diatur oleh UU KIP dan Perki Nomor 1 Tahun 2013.
D. Pokok Permohonan [3.31] Menimbang bahwa pokok permohonan dalam perkara a quo sesungguhnya adalah Sengketa Informasi Publik antara Pemohon dan Termohon mengenai informasi yang dimohonkan Pemohon kepada Termohon yakni Data Hasil Identifikasi Tanah Telantar di Kabupaten Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU pada lokasi-lokasi yang terlampir atau disebutkan dalam Permohonan).
E. Pendapat Majelis [3.32] Menimbang bahwa berdasarkan surat permohonan informasi Pemohon diperoleh fakta hukum bahwa informasi yang diminta oleh Pemohon adalah Data Hasil Identifikasi Tanah Telantar di Kabupaten Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU) sebagaimana terurai dalam surat P-1.
[3.33] Menimbang bahwa berdasarkan surat permohonan Pemohon (Surat P-l) yang selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pemohon di dalam persidangan, alasan dan tujuan permohonan informasi sesungguhnya ialah untuk menghindari kesalahpahaman antara Pemohon dan serikat petaninya (Serikat Petani Pasundan; SPP) dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis serta untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi akibat adanya tumpang tindih atas lahan yang digarap diatas tanah terlantar sebagaimana dimaksud Pemohon dalam Permohonannya.
22
[3.34] Menimbang bahwa dalam surat tanggapan atas keberatan, Termohon menolak memberikan informasi yang dimohon oleh Pemohon dengan alasan atau pertimbangan sebagai berikut: 1) Bahwa permohonan pemohon tidak jelas, baik obyek dan subyek hak atas tanah yang mana, serta dokumen apa yang berada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis; 2) Bahwa berdasarkan Pasal 192 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, dijelaskan pihak yang berhak mendapatkan petikan, salinan, atau rekaman dokumen adalah pemegang hak yang bersangkutan dan instansi untuk pelaksanaan tugasnya; 3) Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 tahun 2008 sudah jelas, yaitu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; dan 4) Bahwa berdasarkan Pasal 12 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2011, dijelaskan bahwa warkah tentang keputusan penetapan tanah telantar dan data lainnya dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Kepala Kanwil Jawa Barat tidak dapat memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis untuk mengeluarkan dokumentasi tersebut {vide surat P-3), [3.35] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dimaksud pada paragraf [3.34], ditemukan fakta hukum bahwa penolakan permohonan informasi dalam perkara a quo ialah berdasarkan alasan pengecualian, sehingga menurut ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU KIP juncto Pasal 29 ayat (2) Perki Nomor 1 Tahun 2013, perkara a quo tidak perlu dimediasi terlebih dahulu melainkan langsung memeriksa pokok sengketa melalui sidang ajudikasi. Pasal 40 ayat (2) UU KIP: “Penyelesaian sengketa melalui Mediasi hanya dapat dilakukan terhadap pokok perkara yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g.” Pasal 29 ayat 2 Perki 1 Tahun 2013: “Dalam hal penolakan permohonan informasi atas alasan pengecualian berdasarkan Pasal 35 ayat (1) huruf a UU KIP, Majelis Komisioner langsung memeriksa pokok sengketa tanpa melalui mediasi.
23
[3.36] Menimbang bahwa oleh karena penolakan permohonan informasi a quo ialah karena alasan pengecualian maka berdasarkan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 19 UU KIP juncto Pasal 8 ayat (4) huruf b, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 26 ayat (6) Perki tentang SLIP, Badan Publik melalui PPID wajib melakukan uji konsekuensi (consequential harm test) sebelum menyatakan suatu informasi publik sebagai informasi rahasia atau informasi yang dikecualikan.
[3.37] Menimbang bahwa berdasarkan surat tanggapan atas keberatan yang dibuat oleh Termohon (atasan PPID) sebagaimana dimaksud pada paragraf [3.34], sesungguhnya Termohon telah melakukan uji konsekuensi untuk menolak permohonan informasi Pemohon dengan pertimbangan-pertimbangan atau alasan-alasan pengecualian yang disebutkan oleh Termohon dalam surat tersebut yang pada pokoknya menolak memberikan informasi yang dimohonkan oleh Pemohon berdasarkan alasan pengecualian menurut ketentuan perundangundangan (Pasal 6 ayat [1] jo. Pasal 17 huruf j) dan alasan pengecualian karena menyangkut hak-hak pribadi, yaitu: 1) Pasal 192 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pihak yang berhak mendapatkan petikan, salinan, atau rekaman dokumen adalah pemegang hak yang bersangkutan dan instansi untuk pelaksanaan tugasnya; 2) Pasal 12 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2011, yang pada pokoknya menyatakan warkah tentang keputusan penetapan tanah telantar dan data lainnya dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang; dan 3) Pasal 6 ayat (3) huruf c UU Nomor 14 Tahun 2008, yang pada pokoknya menyatakan informasi yang dikecualikan salah satunya ialah informasi yang berkaitan dengan hakhak pribadi.
[3.38] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perki 1 Tahun 2013 menyebutkan “Dalam hal ajudikasi dilakukan karena penolakan permohonan berdasarkan alasan pengecualian maka Majelis Komisioner melakukan penilaian terhadap hasil uji konsekuensi yang telah dilakukan oleh Termohon.” Apabila menurut hasil uji konsekuensi tersebut terbukti bahwa informasi yang dimohon termasuk informasi yang dikecualikan, maka Majelis melakukan uji kepentingan publik sebelum memutuskan informasi yang dimaksud sebagai informasi yang dikecualikan (tertutup).
24
[3.39] Menimbang bahwa Hasil Identifikasi Dan Penelitian Tanah Telantar sebagaimana dimaksud dan dimohonkan oleh Pemohon ialah salah satu kegiatan atau tahapan dalam proses Penertiban Tanah Terlantar (penetapan tanah terlantar) menurut PP Noomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendaygunaan Tanah Telantar juncto Peraturan Kepala BPN (Perka BPN) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar juncto Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Telantar. Peraturan-peratauran tersebut pada pokoknya mengatur perihal kebijakan agraria terhadap tanah telantar yang secara garis besar membagi kebijakan tersebut menjadi dua, yakni: 1) Penertiban Tanah Telantar, yaitu suatu kegiatan penertiban terhadap tanah telantar berupa penetapan suatu tanah yang terindikasi telantar menjadi tanah telantar. 2) Pendayagunaan
Tanah Telantar,
yaitu suatu kegiatan pendayagunaan atau
pemanfaatan tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar. Dua kegiatan di atas masing-masing memiliki ruang lingkup tersendiri, yang pertama meliputi proses inventrasisasi tanah terindikasi telantar sampai pada penetapan tanah tersebut menjadi tanah telantar, sedangkan yang kedua mencakup kegiatan pendayagunaan atau pemanfaatan tanah yang telah ditetapkan menjadi telantar (Tanah Cadangan Umum Negara) untuk: 1) Reforma Agraria; kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat. 2) Program Strategis Negara; program strategis di bidang pertanahan terutama mengenai pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar, antara lain untuk memenuhi kebutuhan pengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat 3) Cadangan Negara lainnya; tanah negara bekas tanah telantar yang dicadangkan antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah bagi kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan permukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
[3.40] Menimbang bahwa menurut Pasal 3 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar merupakan salah satu tahapan dalam kegiatan Penertiban Tanah Telantar.
25
Pasal 3 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010: “Penertiban tanah telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan tahapan: a. inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi telantar; b. identifikasi dan penelitian tanah terindikasi telantar; c. peringatan terhadap pemegang hak; d. penetapan tanah telantar. [3.41]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.40], Identifikasi dan
Penelitian Tanah Terindikasi Telantar merupakan salah satu dari empat tahapan dalam proses Penertiban Tanah Telantar, sehingga dengan demikian apa yang dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya ialah hanya salah satu kegiatan atau tahapan dari proses Penertiban Tanah Telantar, yaitu hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar, bukan merupakan hasil akhir dari proses Penertiban Tanah Terlantar.
[3.42] Menimbang bahwa berdasarkan permohonan Pemohon dan fakta hukum persidangan, terungkap bahwa informasi yang turut dimohon dan sebetulnya menjadi inti dari permohonan Pemohon adalah data nominatif penggarap lahan eks HGU yang lokasi-lokasinya disebutkan dalam lampiran permohonan Pemohon (vide paragraf 2.2).
[3.43] Menimbang bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan Setempat yang dilakukan oleh Majelis di Kantor Termohon (Kantor Pertanahan Kab. Ciamis) pada tanggal 2 Oktober 2013 diperoleh fakta hukum bahwa Dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar yang telah dibuat oleh Termohon berisi atau terlampir juga data nominatif penggarap lahan eks HGU sebagaimana yang diminta oleh Pemohon.
[3.44] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Tanah Telantar dan kemudian diperkuat dengan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Majelis pada persidangan tanggal 14 April 2014, Majelis berpendapat bahwa data nominatif penggarap lahan Eks HGU sebagaimana diminta Pemohon bukanlah merupakan data atau informasi yang dihasilkan dari kegiatan Penertiban Tanah Terlantar.
[3.45]
Menimbang bahwa Dalam kegiatan Penertiban Tanah Telantar, dalam hal ini
Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar, tidak ada satu pun kegiatan di dalamnya yang mencakup inventarisasi atau pencatatan atau kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk 26
menentukan nama-nama penggarap diatas tanah yang sedang dalam proses penertiban (proses penetapan tanah telantar).
[3.46]
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12 PP Nomor 11 Tahun 2010
juncto Pasal 18 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa suatu bidang tanah yang sedang dalam pengusulan untuk ditetapkan menjadi Tanah Terlantar oleh Kepala Kantor Wilayah (Ka. Kanwil) kepada Kepala BPN RI sebagaimana yang pada saat ini teijadi pada lahan-lahan eks HGU di Kabupaten Ciamis yang menurut keterangan Termohon (Kantor Pertanahan Kab, Ciamis) sudah diusulkan oleh Ka Kanwil Jawa Barat kepada Kepala BPN untuk ditetapkan menjadi Tanah Telantar, maka tanah yang sedang dalam pengusulan itu harus dalam keadaan status quo.
[3.47]
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan “keadaan status quo” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 PP Nomor 11 Tahun 2010 juncto Pasal 18 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 ialah tidak diperkenankannya perbuatan hukum apa pun di atas tanah yang dimaksud. Bila ketentuan ini diterapkan (rechts toepassing) pada peristiwa faktual dalam perkara a quo, maka di atas tanah/lahan eks HGU yang dimaksud seharusnya tidak boleh ada tindakan hukum apa pun, baik pendudukan, pemanfaatan, penggarapan, atau tindakantindakan lainnya yang menyebabkan tanah tersebut tidak dalam keadaan status quo sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
[3.48] Menimbang bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 juncto Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 yang mengharuskan keadaan status quo bagi tanah yang sedang diusulkan untuk ditetapkan menjadi tanah telantar ternyata pada kenyataannya di lapangan tidak diikuti atau diperhatikan oleh Termohon selaku pelaksana penertiban tanah telantar. Termohon justru melakukan pendataan atau penyusunan data nominatif nama-nama penggarap lahan eks HGU yang sedang dalam proses penertiban itu. Data nominatif nama-nama penggarap yang disusun oleh BPN itulah yang kemudian diminta oleh Pemohon dan menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo.
[3.49] Menimbang bahwa menurut ketentuan yang mengatur penertiban tanah telantar dan yang kemudian diperkuat dengan keterangan ahli sebagaimana terurai pada paragraf [2.13], seharusnya data nominatif itu belum muncul pada saat penertiban tanah telantar, karena tidak ada satu pun tahapan dalam penertiban tanah telantar yang berisi kegiatan penyusunan data 27
nominatif penggarap lahan yang lahannya sedang dalam proses untuk ditetapkan menjadi tanah telantar. Penyusunan data nominatif baru boleh teijadi pada saat tanahnya telah resmi ditetapkan sebagai tanah telantar oleh Kepala BPN melalui Keputusan Penetapan Tanah Telantar. Proses untuk pengajuan hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar dan menjadi Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN) baru dimungkinkan pasca-Penertiban Tanah Terlantar, yaitu pada fase Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Telantar sebagaimana diatur dalam Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011. Pada proses tersebut tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar dan jatuh menjadi tanah yang dikusai langsung oleh negara (TCUN) akan diatur peruntukan dan pendayagunaannya, termasuk kemungkinan untuk diredistribusikan kepada masyarakat melalui tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011.
[3.50]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas maka Majelis memandang
bahwa informasi berupa data nominatif penggarap lahan eks HGU yang diminta oleh Pemohon secara faktual memang ada dan dibuat oleh Termohon, namun data tersebut bukanlah data yang definitif dan berdasar hukum. Data nominatif sebagaimana yang telah disusun oleh Termohon tersebut tidak pernah diatur untuk dibuat atau disusun apalagi dipublikasikan pada tahap penertiban. Adalah tidak pada tempatnya menyusun data-data itu pada saat proses penertiban tanah telantar, terlebih lagi proses penetapannya belum selesai. Hal ini jika dilakukan dapat menimbulkan salah pemahaman yang dapat memicu kekacauan apabila data tersebut ditafsirkan dan dimaknai sebagai data yang definitif dan final serta diklaim sebagai alas hak bagi nama-nama yang tercantum di dalamnya untuk memperoleh hak atas tanah yang masih dalam proses penertiban. Kegiatan semacam itu hanya mungkin teijadi dalam proses pendayagunaan (pasca-penetapan tanah telantar), itu pun harus berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan oleh Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011.
[3.51] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas (Paragraf 3.50) Majelis berpendapat bahwa informasi a quo adalah informasi yang tidak relevan dalam proses penertiban tanah telantar sehingga tidak diakui oleh hukum (niet voor de wet erkend) sebagai bagian dari produk yang dihasilkan dari kegiatan Penertiban Tanah Terlantar, in casu Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar. Maksud dari tidak relevan dan tidak diakui oleh hukum ialah data nominiatif itu secara faktual/fisik memang ada, namun akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya dokumen tersebut tidak diakui di hadapan hukum (niet voor de wet erkend). Oleh
28
karena itu Majelis berpendapat bahwa informasi a quo (data nominatif penggarap lahan eks HGU sebagaimana dimasud oleh Pemohon) tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.52] Menimbang bahwa menurut Pasal 12 Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011, warkah tentang keputusan penetapan tanah telantar dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang: Pasal 12 Perka BPN Nomor 5 tahun 2011: (1) Pengamanan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, meliputi: a. penyimpanan secara khusus warkah tentang keputusan penetapan tanah telantar dan data lainnya yang berhubungan dengan TCUN; b. pengamanan kerahasiaan data; c. back up data; dan d. mencegah manipulasi data. (2) Warkah tentang keputusan penetapan tanah telantar dan data lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang.
[3.53] Menimbang bahwa Ketentuan Pasal 12 Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011 di atas memuat ketentuan pengecualian warkah keputusan penetapan tanah telantar dari akses publik. Namun ketentuan tersebut tidak secara tegas dan jelas menyebutkan apakah Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar termasuk ke dalam pengertian warkah menurut Pasal 12 tersebut sehingga dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang.
[3.54]
Menimbang bahwa oleh karena ketidakjelasan rumusan Pasal 12 tersebut untuk
diterapkan pada informasi a quo, maka Majelis memandang perlu melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mengetahui makna dan penerapan pasal tersebut, karena akan menentukan dikecualikan atau tidak dikecualikannya informasi a quo dari akses publik. Sebagaimana dikatakan oleh Carbonnier “Les choses out toujours du se passer ainsi, depuis, des millenaires guily desjuges et gui pensent. ” Artinya, demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir. (Carbonnier, dalam Achmad Ali, 2008:102). Meskipun Majelis bukanlah hakim sebagaimana yang digambarkan di atas namun dalam persidangan ini pada prinsipnya memiliki tugas yang sama, yaitu samasama bertindak sebagai pengadil dalam suatu perkara.
[3.55] Menimbang bahwa definisi yuridis warkah ditemukan dalam Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran 29
Tanah. Dalam Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa “ Warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data Jisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut.”
[3.56] Menimbang bahwa dalam definisi yuridis maupun praktis, warkah memang identik dengan pendaftaran tanah. Istilah warkah memang biasa dan umum digunakan dalam pendaftaran tanah. Selain definisi yuridis sebagaimana dirumuskan dalam Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997, banyak juga pengertian warkah menurut teori maupun praktik di bidang pendaftaran tanah. Secara umum warkah dapat diartikan sebagai satu kesatuan dokumen yang berisi data-data tentang suatu bidang tanah yang merupakan alat bukti yang dipergunakan sebagai dasar pendafataran tanah. Warkah terdiri dari beberapa dokumen yang menunjukkan sekaligus menjadi alas hak atas tanah.
[3.57]
Menimbang bahwa Pasal 12 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 menyatakan
“Warkah tentang Keputusan Penetapan Tanah Telantar dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang ” Sehubungan dengan bunyi Pasal 12 tersebut timbul pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan warkah dalam konteks penepatan tanah terlantar? apakah hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar itu masuk dalam pengertian dan cakupan warkah sebagaimana dimaksud Pasal 12?”
[3.58] Menimbang bahwa dalam menafsirkan apa yang dimaksud dengan warkah menurut Pasal 12 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010, dapat ditarik unsur-unsur pengertian warkah sebagaimana yang didefinisikan dalam Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997. Dengan merujuk kepada pengertian warkah menurut Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997, diperoleh gambaran bahwa warkah yang dimaksud dalam Pasal 12 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010 ialah meliputi dokumen-dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya suatu bidang tanah menjadi tanah telantar. Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar sebagai output dari kegiatan identifikasi dan penelitian, merupakan salah satu dokumen yang menjadi dasar penetapan tanah telantar.
[3.59] Menimbang bahwa Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar merupakan dasar bagi pemberian peringatan tertulis terhadap pemegang hak sebagaimana diatur dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 juncto Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010. Tanpa hasil identifikasi dan penelitian yang menyimpulkan adanya tanah telantar, peringatan tertulis dari 30
Kepala Kanwil kepada pemegang hak tidak mungkin ada. Begitu juga tanpa hasil identifikasi dan penelitian tersebut, tidak mungkin Kepala Kanwil dapat mengusulkan penetapan tanah telantar kepada Kepala BPN RI. Dengan demikian data hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar sebagaimana diminta oleh Pemohon tidak lain adalah salah satu dari rangkaian proses penetapan tanah telantar. Hasil identifikasi dan penelitian merupakan salah satu dokumen dari sekian dokumen yang menjadi dasar bagi Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang terindikasi terlantar menjadi tanah telantar.
[3.60] Menimbang bahwa dengan merujuk kepada unsur-unsur pengertian warkah sebagaimana didefinisikan dalam Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997, maka Majelis berpendapat bahwa Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar memenuhi unsurunsur tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar itu masuk dalam cakupan dan pengertian warkah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010. Dengan demikian, sesuai bunyi Pasal 12 ayat (2) Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010, Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar merupakan dokumen yang dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang. Sedangkan untuk mengetahui makna dan penerapan dari frasa “pihak yang tidak berwenang”, Majelis melakukan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis terhadap keseluruhan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertanahan, khsusnya yang mengatur mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah telantar. Berdasarkan penafsiran tersebut Majelis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pihak yang tidak berwenang adalah pihak selain pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi negara/pemerintah yang membutuhkan data yang dimaksud dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
[3.61] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.52] sampai dengan pargraf [3.60] maka Majelis berpendapat bahwa Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar yang merupakan bagian dari warkah penetapan tanah terlantar dan oleh karenanya dilarang diberikan selain kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau instansi negara/pemerintah yang membutuhkan data yang dimaksud dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
[3.62] Menimbang bahwa pendapat Majelis sebagaimana dimaksud pada Pragraf [3.52] sampai dengan pargraf [3.61] bersesuaian pula dengan keterangan ahli yang diungkapkan 31
dalam persidangan tanggal 14 April 2014 yang menyatakan, “Warkah Penetapan Tanah Telantar terdiri dari dokumen-dokumen yang dihasilkan dari seluruh kegiatan Penetapan Tanah Telantar, termasukjuga hasil identifikasi dan penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Kantor Pertanahan Ciamis dan Kanwil Jawa Barat atau yang disebut Panitia C. ”
[3.63] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (4) huruf h Perka BPN Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional RI, disebutkan bahwa salah satu informasi yang dikecualikan adalah “Penelitian di bidang pertanahan yang sedang dalam proses.” Dikaitkan dengan perkara a quo, data hasil identifikasi dan penilitan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penertiban tanah terlantar (penetapan tanah terlantar) yang belum selesai atau masih sedang dalam proses sehingga merupakan informasi yang dikecualikan.
[3.64] Menimbang bahwa Sehubungan dengan uraian di atas, dalam keterangannya sebagaimana terurai pada paragraf [2.11 angka 9] Termohon menyatakan bahwa Proses penetapan tanah telantar itu masih dalam proses (belum selesai). Termohon (Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis) sudah menyampaikan hasil identifikasi dan penelitian tersebut ke Kanwil dan Kanwil sudah mengirimkan kepada Kepala BPN RI, namun hingga sampai dengan putusan ini dibuat, belum ada keputusan dari Kepala BPN RI. Sehingga penetapan tanah terlantar ini belum selesai dan belum final.
[3.65] Menimbang ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 6 ayat (1) UU KIP “Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un dangan. ” Pasal 6 huruf c UU KIP Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. informasi yang dapat membahayakan negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;” Pasal 17 huruf j UU KIP “informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.” 32
[3.66] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada paragraf [3.32] sampai dengan paragraf [3.65], Majelis berpendapat bahwa informasi yang dimohon oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2 jimcto 3.32] merupakan informasi yang dikecualikan.
[3.67] Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) Perki 1 Tahun 2013 mengenai uji kepentingan publik terhadap hasil penilaian atas uji konsekuensi yang terbukti benar (informasinya dikecualikan), maka Majelis melakukan uji kepentingan publik terhadap perkara a quo sebelum memutus apakah akan membuka atau mengecualikan informasi yang dimohon oleh Pemohon dalam perkara a quo.
[3.68] Menimbang bahwa sehubungan dengan fakta hukum yang terungkap di dalam persidangan dan berdasarkan hasil pemeriksaan setempat yang dilakukan Majelis di kantor Termohon, data hasil identifikasi dan penelitian tanah telantar yang telah disusun oleh Termohon ternyata berisi/memuat juga data nominatif penggarap lahan eks HGU (tanah yang sedang dalam penertiban tanah terlantar) yang telah diuraikan oleh Majelis sebagai data atau informasi yang bukan merupakan bagian dari hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.44] sampai dengan paragraf [3.51]. Disusunnya data nominatif tersebut dapat menimbulkan salah pemahaman di tengah-tengah masyarakat, khususnya para penggarap lahan eks HGU, karena hal tersebut melampaui prosedur yang seharusnya. Seharusnya data yang berisi nama-nama orang yang akan mengajukan hak atas tanah telantar itu baru mungkin muncul atau didata setelah proses penertiban tanah telantar selesai dan telah masuk pada proses pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar sebagaimana diatur dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 jimcto Perka BPN No. 5 Tahun 2011. Data nominiatif yang telah disusun dan dilampirkan oleh Termohon dalam dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar bukanlah data yang definitif dan dapat menjadi alas hak bagi nama-nama yang tercantum di dalamnya untuk menduduki, mengusahakan, atau memanfaatkan tanah tersebut karena kegiatan itu tidak mempunyai dasar hukum. Data nominatif tersebut tidak bisa dimaknai dan dijadikan dasar bagi penguasaan tanah yang dimaksud oleh nama-nama yang tercantum di dalamnya. Masyarakat bisa mengajukan hak untuk itu manakala proses penertiban tanah telantarnya sudah selesai, dalam arti sudah ada SK Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar, melalui prosedur yang telah diatur dan ditetapkan dalam Perka BPN Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara 33
Bekas Tanah Telantar. Proses untuk itu belum bisa dilakukan pada saat sekarang karena proses penetapan tanah terlantarnya belum selesai dan masih dalam proses pengusulan dari Kepala Kanwil Jawa Barat kepada Kepala BPN RI. Oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa membuka informasi yang dimohonkan oleh Pemohon yaitu Data Hasil Identifikasi Tanah Terlantar di Kabupaten Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU pada lokasi-lokasi yang terlampir atau disebutkan dalam Permohonan) akan menimbulkan kesalahpahaman karena masyarakat penggarap yang nama-namanya tercantum dalam data nominatif tersebut akan berpikir bahwa pencantuman itu sebagai dasar legalitas atau alas hak atas perbuatan hukumnya di atas tanah yang dimaksud. Hal tersebut dapat dipahami dari keterangan Pemohon sebagaimana terurai pada paragraf [2.9], Pemohon mengakui belum tahu dan belum pernah melihat dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Telantar seperti yang diatur dalam Perka BPN Nomor 4 Tahun 2010. Pemohon justru mengasumsikan bahwa Data Hasil Identifikasi dan Penelitian berisi nama-nama penggarap beserta luasan pembagian lahannya. Hal itu merupakan pengetahuan dan asumsi yang tidak tepat dalam memahami apa dan bagaimana kegiatan Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar menurut peraturan yang berlaku. Padahal sangat jelas bahwa data itu bukanlah data yang bersifat definitif apalagi menjadi dasar legalitas atas suatu tanah sebagaimana asumsi Pemohon. Sebaliknya, menurut ketentuan peraturan yang mengaturnya, tanah yang sedang dalam proses pengusulan dari Kepala Kanwil kepada Kepala BPN untuk ditetapkan menjadi tanah telantar seharusnya berada dalam keadaan status quo dan tidak diperkenankan untuk diadakan perbuatan hukum apa pun terhadap tanah tersebut (Vide Paragraf [3.11]).
[3.69] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan pada paragraf [3.68] di atas, Mejelis berpendapat bahwa kepentingan publik yang lebih besar menghendaki agar informasi a quo tidak dibuka karena berpotensi merusak tatanan sistem di bidang agraria karena dapat menimbulkan selisih paham dan tidak menutup kemungkinan terjadi kekacauan yang tidak dikehendaki, khususnya bagi para penggarap yang nama-namanya tercantum dalam data nominatif tersebut.
34
[3.70] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada paragraf [3.32] sampai dengan paragraf [3.70] Majelis berpendapat bahwa informasi yang dimohon oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2 juncto 3.32] merupakan informasi yang dikecualikan dan sudah seharusnya tertutup.
5. KESIMPULAN [4.1] Berdasarkan seluruh pertimbangan dan fakta hukum di atas, Majelis Komisioner berkesimpulan: 1.
Komisi Informasi Pusat berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan a quo.
2.
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo.
3.
Termohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Termohon dalam perkara a quo.
4.
Jangka waktu Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang diajukan Pemohon telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5.
Informasi yang dimohon oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada paragraf [2.2] merupakan informasi yang dikecualikan.
5. AMAR PUTUSAN Memutuskan, [5.1] Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. [5.2] Mengukuhkan keputusan atasan PPID (Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat) untuk tidak memberikan informasi yang diminta oleh Pemohon untuk seluruhnya.
35
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Komisioner yaitu Abdulhamid Dipopramono selaku Ketua merangkap Anggota, Yhannu Setyawan dan Evy Trisulo Dianasari masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, 24 April 2014 dan diucapkan dalam Sidang terbuka untuk umum pada hari Kamis, 24 April 2014 oleh Majelis Komisioner yang nama-namanya tersebut di atas, dengan didampingi oleh Aldi Rano Sianturi sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Pemohon tanpa dihadiri Termohon.
Ketua Majelis
Anggota Majelis
Anggota Majelis
i
(Yhannu setyawanj
(Evy Trisulo D)
36
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Pendapat Berbeda Anggota Majelis Komisioner Yhannu Setyawan [6.1] Menimbang bahwa pokok permohonan dalam perkara a quo adalah Sengketa Informasi Publik antara Pemohon dan Termohon mengenai Data Hasil Identifikasi Tanah Terlantar di Kab. Ciamis (termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU pada lokasi-lokasi yang terlampir atau disebutkan dalam Permohonan).
Dalam permohonannya, Pemohon
mengemukakan alasan dan tujuan permohonan informasi untuk menghindari kesalahpahaman antara Pemohon beserta organisasi serikat petaninya dengan Kantor Pertanahan Kab. Ciamis, serta untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi akibat adanya tumpang tindih atas lahan yang digarap diatas tanah terlantar.
[6.2] Menimbang bahwa dalam persidangan ditemukan fakta hukum bahwa Termohon (Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis dan Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat) telah melakukan upaya Penertiban Tanah Terlantar yang ada di Kabupaten Ciamis (7 lokasi tanah/lahan eks HGU), yaitu: 1.
PT. Cikencreng: Desa Sukajaya Kec. Cimerak;
2.
PT. Cipucung: Desa Pesawahan Kec. Banjarsari dan Desa Kalijati Kec. Sidamulih;
3.
PT Raya Sugarindo Inti: Desa Kalangsari dan Desa Sukamulya Kec. Baregbeg;
4.
PT Maloya: Desa Muktisari Kec. Cipaku;
5.
PT Raya Sugarindo Inti: Desa Cinatanagara Kec. Jatinagara dan Desa Selacai Kec. Cipaku;
6.
Bukti Jonggol Asri: Desa Kaso, Desa Sukasari. Desa Kadupandak, Desa Mekarsari Kec. Tambaksari; dan
7.
Bukit Jonggol Asri: Desa Banjar Anyar, Desa Cigayam, Desa Pasawahan, Desa Cikaso, Desa Kalijaya, Kec. Banjarsari.
[6.3] Menimbang bahwa sehubungan dengan Penertiban Tanah Terlantar yang dilakukan Termohon, Pemohon memohon informasi berupa Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar yang di dalamnya juga berisi data nominatif penggarap lahan eks HGU sebagaimana tersebut diatas. Sengketa informasi muncul karena Termohon menolak memberikan informasi yang diminta Pemohon, dengan alasan-alasan penolakan sebagai berikut: 37
1) Bahwa permohonan pemohon tidak jelas, baik objek dan subjek hak atas tanah yang mana, serta dokumen apa yang berada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis; 2) Bahwa berdasarkan Pasal 192 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, dijelaskan pihak yang berhak mendapatkan petikan, salinan atau rekaman dokumen adalah pemegang hak yang bersangkutan dan instansi untuk pelaksanaan tugasnya; 3) Bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 tahun 2008 sudah jelas, yaitu informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; dan 4) Bahwa berdasarkan Pasal 12 Peraturan Kepala BPN RI No. 5 Tahun 2011, dijelaskan warkah tentang keputusan penetapan tanah terlantar dan data lainnya dilarang diberikan kepada pihak yang tidak berwenang.
[6.4] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan dan alasan-alasan penolakan sebagaimana diuraikan diatas, saya mempunyai pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
[6.5] Menimbang Bahwa sikap Termohon yang menyatakan bahwa informasi yang dimohonkan adalah rahasia dengan menyandarkan pendapatnya pada Pasal 6 ayat (3) huruf c, PP No 3 Tahun 1997, dan Perka BPN No 5 tahun 201 sebagaimana diuraikan terdahulu, tidaklah sejalan dengan jiwa dan semangat yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) UU KIP. Pasal 2 ayat (4) UU KIP, secara tegas menyatakan: “Informasi Publik yang dikecualikan karena bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya”
Demikian pula dalam fakta persidangan, Termohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan tegas pertimbangan-pertimbangan hukum serta konsekuensi yang timbul bagi Termohon, apabila permohonan informasi yang diajukan Pemohon dipenuhi, karena secara nyata termohon belum melakukan Uji Konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 16juncto Pasal 17 Perki 1 tahun 2010 tentang SLIP. 38
[6.6] Menimbang Bahwa Data Hasil Identifikasi dan Peneilitian Tanah Terlantar sebagaimana diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010 juncto Perka BPN No. 4 Tahun 2010 Juneto Perka BPN No. 5 Tahun 2011, merupakan salah satu kegiatan dalam proses Penertiban Tanah Terlantar. Pasal 3 Perka BPN No. 4 Tahun 2010 menyebutkan bahwa: “Penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan tahapan: a. inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar; b. identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar; c. peringatan terhadap pemegang hak; d. penetapan tanah terlantar.” Berdasarkan uraian diatas, maka diketahui bahwa, Identifikasi dan Penilitian Tanah Terlantar merupakan salah satu kegiatan atau proses yang harus dilakukan dalam rangka penetapan tanah terlantar, yang berdasarkan Pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 juncto Pasal 19 Perka BPN No. 4 Tahun 2010, hasil akhir dari proses penertiban tanah terlantar ialah ditetapkannya tanah tersebut menjadi tanah terlantar oleh Kepala BPN melalui surat keputusan. Dengan mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut saya berpendapat bahwa hasil atau produk dari kegiatan Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar tidak lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan atau dokumen pendukung untuk menerbitkan Surat Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar. Dokumen tersebut menjadi salah satu dokumen pendukung yang mendasari terbitnya Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar. Tanpa dokumen tersebut tidak mungkin ada Peringatan dari Kepala Kanwil kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Begitu juga tanpa didahului dengan peringatan, tidak mungkin Kepala Kanwil dapat mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang dimaksud sebagai tanah terlantar.
Oleh karena data hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar tersebut merupakan dokumen pendukung yang mendasari terbitnya Keputusan Kepala BPN, dengan demikian data a quo termasuk dalam cakupan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU KIP yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b Perki No 1 Tahun 2010 tentang SLIP. Pasal 11 ayat (1) huruf b UU KIP Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya. 39
Pasal 13 ayat (1) huruf b Perki No 1 Tahun 2010 tentang SLIP (1) Setiap Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang sekurangkurangnya terdiri atas: b. informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: 1. dokumen pendukung seperti naskah akademis, kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon kepada Termohon sudah seharusnya, sebagaimana diamamanatkan UU KIP dan Perki tentang SLIP, menjadi informasi yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat. Data hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, tidak lain merupakan dokumen yang menjadi dasar diterbitkannya Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar, sehingga dokumen tersebut harus dapat diakses oleh masyarakat, agar masyarakat dapat mengetahui, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk berpartisipasi melakukan kontrol terhadap kegiatan penertiban tanah terlantar yang dilakukan BPN, in cassu Kanwil Provinsi Jawa Barat dan Kantor Pertanahan Kab. Ciamis. Hal tersebut merupakan tujuan daripada dibuatnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UU a quo khususnya huruf a sampai dengan huruf d. Pasal 3 UU KIP “Undang-Undang ini bertujuan untuk: a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.” Sehubungan dengan penolakan permohonan informasi berupa Data Hasil Identifikasi dan Penilitian Tanah Terlantar oleh Termohon dengan alasan-alasan sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [6.3], saya memiliki pertimbangan dan pendapat tersendiri terhadap dalil-dalil penolakan tersebut. Alasan atau dalil Termohon menolak permohonan informasi Pemohon dan menyatakannya sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 40
(Pasal 192) dan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2011 (Pasal 12), menurut saya tidak dapat diterima begitu saja sebagai hukum dalam perkara a quo. Sebab sekalipun peraturanperaturan tersebut memuat larangan bagi BPN untuk mengeluarkan atau menerbitkan informasi a quo, tetapi perlu juga dipertimbangkan ketentuan UU KIP dan Perki No. 1 Tahun 2010 tentang SLIP sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Justru menurut penilaian saya informasi a quo harus tersedia setiap saat, yang berarti dapat diakses setiap saat oleh publik. Dengan memperhatikan uraian tersebut maka terdapat pertentangan antara peraturan yang didalilkan Termohon untuk mengecualikan informasi yang dimohonkan Pemohon dengan peraturan yang seharusnya menjadi dasar bagi informasi a quo untuk dapat diakses. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum terdapat asas peraturan perundang-undangan yang berfungsi mengatasi atau memberi jalan keluar manakala teijadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan. Asas-asas (hukum) peraturan perundang-undangan tersebut ialah: a. Lex superior derogat legi inferior, artinya hukum atau peraturan yang lebih tinggi hierarkinya mengalahkan hukum atau peraturan yang lebih rendah. Asas ini diterapkan manakala terjadi pertentangan antara dua norma hukum yang berbeda herarkinya (tingkatannya). b. Lex specialist derogat legi generali: artinya hukum atau peraturan yang lebih khusus mengesampingkan hukum atau peraturan yang lebih umum. Asas ini diterapkan dalam hal teijadi pertentangan antara dua norma hukum yang sama hierarkinya. c. Lex posteriori derogat legi a priori: artinya hukum atau peraturan yang terbaru mengesampingkan hukum atau peraturan yang lama. Asas ini diterapkan dalam hal teijadi pertentangan antara dua norma hukum yang sama hierarkinya dan sama pula persoalan yang diaturnya (materi muatannya). Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah asas hukum tersebut digunakan/diterapkan dalam perkara a quo untuk menentukan peraturan yang seharusnya diterapkan (toepassing) terhadap informasi a quo. Sehubungan dengan hal tersebut, maka asas lex superior derogat legi inferior berlaku untuk mengatasi pertentangan antara dapat dibuka atau tidaknya informasi a quo berdasarkan Perka BPN No. 3 Tahun 1997 (Pasal 192) dan Perka BPN No. 5 tahun 2011 (Pasal 12) yang menegaskan bahwa informasi a quo tidak dapat dibuka (dikecualikan), dengan UU No. 14 Tahun 2008 (Pasal 11 ayat (1) huruf (b), yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang SLIP (Pasal 13 ayat (1)
41
huruf b) yang mengklasifikasikan informasi a quo ke dalam kategori/kelompok informasi tersedia setiap saat yang berarti dapat dibuka dan tidak dikecualikan. Merujuk pada uraian-uraian tersebut, maka berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior, hukum yang lebih tinggi khierarkinya haruslah mengalahkan hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkara a quo, larangan dibukanya informasi sebagaimana yang didalilkan Termohon didasarkan pada Peraturan Kepala BPN, sebaliknya, keharusan untuk menyediakan informasi a quo setiap saat, didasarkan pada UU Nomor 14 Tahun 2008. Maka peraturan yang manakah yang lebih tinggi hierarkinya? UU Nomor 14 Tahun 2008 atau Peraturan Kepala BPN ? Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8 (terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan), maka berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, jelaslah bahwa kedudukan undang-undang, in casu UU No. 14 Tahun 2008 lebih tinggi daripada Peraturan Kepala BPN, in casu Perka BPN No. 3 Tahun 1997 dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011. Kedudukan undang-undang menurut Pasal 7 ayat (1) berada dibawah Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR. Sedangkan Peraturan Kepala BPN, merupakan peraturan dari suatu lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang berkedudukan dan berada dibawah tanggung jawab Presiden. Secara normatif menurut Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011, Perka BPN hanya diakui keberadaannya sebagai peraturan yang mempunyai kekuatan mengikat tanpa ditentukan kedudukannya (hierarki) dalam jenjang hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Namun demikian secara teoritis dan praktis, oleh karena kedudukan BPN berada dibawah Presiden dan peraturan terendah yang dibuat oleh Presiden adalah Peraturan Presiden, maka kedudukan Perka BPN dalam hierarki peraturan perundangundangan berada dibawah Peraturan Presiden. Berdasarkan uraian pertimbangan yang diuraikan diatas, maka saya berpendapat bahwa alasan pengecualian yang didalilkan Termohon dengan didasarkan pada Perka BPN No. 3 Tahun 1997 (Pasal 192) dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011 tidak dapat diterima dan tidak relevan, karena menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang dijabarkan lebih rinci dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b Perki Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, informasi a 42
quo yaitu Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, seharusnya merupakan informasi yang tersedia setiap saat dan oleh karenanya dapat diakses oleh Pemohon.
[6.7] Menimbang bahwa alasan pengecualian informasi a quo, selain berdasarkan Perka BPN No. 3 Tahun 1997 dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011, didasarkan juga pada Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008, yakni mengenai pengecualian terhadap informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi.
[6.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [6.6] diatas maka saya mempunyai pertimbangan sebagai berikut: Bahwa dalil yang digunakan Termohon untuk mengecualikan informasi yang dimohonkan Pemohon adalah juga berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008 (yang dijabarkan lebih rinci pada Pasal 17 huruf g dan huruf h UU a quo). Dalil tersebut menurut pertimbangan saya, tidaklah relevan dan tidak tepat untuk mendasarkan alasan dalam mengecualikan informasi a quo berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008, karena terhadap informasi a quo, tidak terdapat kaitan langsung antara data yang terurai di dalamnya, dengan hak-hak privat (privasi) seseorang sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf g dan huruf h. Demikian juga di dalam rangkaian persidangan Termohon tidak menunjukan dan tidak mempergunakan hak serta kesempatannya untuk membuktikan dalilnya tersebut, yaitu membuktikan adanya relasi antara hak-hak pribadi di dalam data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar sebagaimana diminta Pemohon. Sebagaimana asas yang lazim digunakan dalam beracara di persidangan bahwa “Affirmcmti incumbit
probato ”
artinya,
barangsiapa
mendalilkan
sesuatu
maka
haruslah
membuktikannya. Dalam perkara a quo, Termohon tidak menyampaikan dan tidak dapat membuktikan dalilnya, sehingga tidak dapat meyakinkan Majelis atas dalil yang dipergunakan tersebut. Oleh sebab itu, saya berpendapat bahwa dalil Termohon untuk mengecualikan informasi a quo yang didasarkan pada Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008 tidak relevan dan tidak beralasan hukum.
43
[6.9] Menimbang bahwa sesuai fakta persidangan sebagaimana dimaksud paragraf [3.43] dan paragraf [3.44], diketahui bahwa informasi yang dimohon dan menjadi inti permohonan Pemohon adalah Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU dan berdasarkan hasil Pemeriksaan Setempat yang dilakukan oleh Majelis di Kantor Termohon (Kantor Pertanahan Kab. Ciamis), pada tanggal 2 Oktober 2013, diperoleh fakta hukum bahwa Dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar yang telah dibuat oleh Termohon berisi/terlampir juga data nominatif penggarap lahan eks HGU sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian data yang dimohonkan tersebut benar-benar ada, atau dengan kata lain diproduksi, dihasilkan, dikelola dan telah dikirimkan oleh Termohon sebagai badan publik berkaitan dengan kegiatan penyelenggara dan penyelenggaraan negara;
[6.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [6.9], maka saya mempunyai pertimbangan sebagai berikut: bahwa ketentuan peraturan perundan g- undangan yang mengatur mengenai tanah terlantar, memang tidak mengatur dan memerintahkan Termohon untuk menyusun data nominatif penggarap lahan eks HGU pada saat dilakukannya penertiban tanah terlantar, dalam hal ini identifikasi dan penelitian tanah terlantar. Namun demikian, berdasarkan Pendapat Ahli, sebagaimana dikemukakan pada persidangan tertanggal 14 April 2014: “...tidak terdapat aturan yang melarang BPN untuk menginventarisir dan menyusun data nominatif yang berisi nama-nama penggarap lahan eks HGU tersebut” berdasarkan pendapat Ahli tersebut, maka saya menyimpulkan bahwa: kegiatan penyusunan data nominatif penggarap lahan eks HGU yang dilakukan oleh Termohon boleh dilakukan, dan pada kenyataannya Termohon telah menyusun data nominatif tersebut serta mengakui, bahwa data tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan (lampiran) dari Dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar. Termohon juga mengungkapkan bahwa dalam proses penyusunan data nominatif tersebut, data yang tertuang pada dokumen tersebut, dikeluarkan atau bersumber pada data yang disampaikan oleh aparatur desa terkait, yang kemungkinan sama dengan data yang dimiliki Pemohon, sebagaimana keterangan pemohon bahwa juga memiliki daftar nama-nama penggarap itu dari data lapangan dan aparatur desa. Dengan demikian secara faktual data nominatif, pada dasarnya itu telah ada. Dan sebagaimana yang dimohonkan pemohon, singkatnya bahwa terhadap lahan eks HGU tersebut, kemungkinan terdapat data yang sama atau sebaliknya terdapat dua data berbeda, 44
yang dimiliki masing-masing pihak (Pemohon dan Termohon), sehingga dikhawatirkan sebagaimana “diduga” Pemohon, data yang dimiliki Termohon tersebut berbeda dengan data yang dimiliki Pemohon. Atas dasar itulah kemudian Pemohon mengajukan permohonan informasi a qou yang salah satu tujuannya untuk mengetahui secara pasti apakah data penggarap yang disusun Termohon dalam bentuk Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU itu sama atau berbeda dengan data penggarap yang dimiliki oleh Pemohon, yang berisi data faktual, dalam arti berisi nama-nama penggarap yang secara faktual menggarap lahan eks HGU. Permohonan tersebut penting untuk menghindari terjadinya tumpang tindih data nominatif penggarapan tanah yang disebabkan perbedaan data nama-nama penggarap sebagaimana yang disusun Termohon dengan data nama-nama penggarap yang benar-benar menggarap lahan eks HGU sebagaimana yang dimiliki oleh Pemohon. Berdasarkan pertimbangan bahwa secara faktual, Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU tersebut memang sudah diproduksi, dihasilkan dari Pengkajian yang telah dilaksanakan oleh Termohon, maka saya berpendapat, data tersebut sudah seharusnya dapat dibuka atau diakses oleh Pemohon, untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak, baik Termohon maupun Pemohon yang merepresentasikan penggarap lahan yang selama ini telah menggarap lahan tersebut. Kemungkinan terjadinya Perbedaan Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU justru akan semakin berpeluang terjadi apabila data tersebut tidak dapat diakses Pemohon, sehingga Pemohon dan para penggarap yang menggarap lahan tersebut tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya tercantum sebagai penggarap dalam data nominatif yang dimiliki Termohon. Pendapat tersebut tentunya sesuai dan berkaitan dengan pendapat terdahulu yang menyatakan Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah terlantar sebagai informasi terbuka dan dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, karena Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU sebagaimana dimohonkan Pemohon secara faktual memang sudah teridentifikasi, dihasilkan, tersedia dan tersusun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, maka saya berpendapat bahwa keseluruhan informasi a quo yaitu Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU adalah informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh Pemohon.
45
[6.11] Menimbang bahwa berdasarkan argumentasi hukum sebagaimana terurai pada paragraf [6.1] sampai dengan paragraf [6.10], maka saya berpendapat bahwa sudah sepatutnya Permohonan Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya.
46
Untuk Salinan Putusan ini sah dan sesuai dengan aslinya diumumkan kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Pasal 59 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
47