19
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dilakukan melalui pembuatan preparat ulas darah dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Diagnosis ditetapkan dengan ditemukannya “parasit” pada pemeriksaan ulas darah. Spesies Babesia sp. yang sering ditemukan menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002), sedangkan Haemobartonella sp. (pada anjing yaitu Haemobartonella canis) hidup epieritrositik (Weiss dan Wardrop 2010). Parasit Babesia sp. yang ditemukan berupa merozoit di dalam sitoplasma, sedangkan Haemobartonella sp. berupa rantai (kelompok) dan organisme individu pada permukaan eritrosit. Merozoit aktif membelah yang ditemukan pada preparat ulas darah merupakan bentuk aktif Babesia sp., sedangkan bentuk tidak aktif ditandai dengan sitoplasma maupun inti yang menghilang (Wulansari 2002).
Gambar 6 Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. serta morfologi eritrosit: sferosit sebagai tanda adanya anemia yang diperantarai kekebalan Babesia sp.; Haemobartonella sp.; sferosit
20
Hasil pengamatan pada preparat ulas darah yang disajikan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa selain ditemukannya Babesia sp. dan Haemobartonella sp., ditemukan pula bentuk sferosit (Spherocyte) pada preparat ulas. Sferosit merupakan salah satu bentuk eritrosit yang abnormal, yang bisa ditemukan pada anemia hemolitik yang diperntarai kekebalan. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), adanya sferosit mengindikasikan adanya anemia hemolitik yang diperantarai sistem imun (Immune Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA).
Persentase Eritrosit Berparasit Tabel 1 dan Gambar 7 memperlihatkan persentase eritrosit ber”parasit” pada semua kelompok ras anjing yag terinfeksi Babesia sp dan Haemobartonella sp. kronis. Hasil pengamatan memperlihatkan persentase eritrosit berparasit pada masing-masing ras anjing yang terinfeksi Babesia sp. berkisar antara 0.24 – 1.36 % (Belgian Malinois), 0.25–0.95 % (Golden Retriever), 0.19–0.77 % (Labrador Retriever), 0.21–0.39 % (German Shepherd) dan 0.11–0.47 % (Rottweiler). Persentase eritrosit terinfeksi Babesia sp. paling tinggi dijumpai pada anjing dengan ras Belgian Malinois, diikuti berturut-turut oleh anjing ras Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd, dan Rottweiler. Persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. berturut-turut berkisar antara 0-2.0 % (Belgian Malinois), 0.3-0.7 % (Golden Retriever), 0.35-0.85 % (Labrador Retriever), 0.2-0.8 % (German Shepherd) dan 0.23-0.65 % (Rottweiler). Persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. paling tinggi dijumpai pada kelompok anjing dengan ras Belgian Malinois, diikuti berturutturut oleh kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd, dan Rottweiler (Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang nyata pada persentase eritrosit berparasit Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Diantara kelima kelompok ras anjing tersebut (P>0.05), kecuali persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. antara kelompok anjing ras Belgian Malinois dan Rottweiler (P<0.05). Tabel 1 Persentase eritrosit berparasit pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Infeksi (%)
Babesia sp. Haemobartonella sp.
Ras Anjing BM
GR
LR
GS
RW
0.8±0.56 ab
0.6±0.35a
0.48±0.29 ab
0.3±0.09 a
0.29±0.18 a
1.0±1.0b
0.5±0.2ab
0.60±0.25ab
0.5±0.3ab
0.44±0.21a
BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; a, b, ab Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0.05)
Persentase eritrosit ber”parasit” Babesia sp. dan Haemobartonella sp. menunjukkan derajat infeksi dari kedua agen patogen tersebut. Persentase eritrosit berparasit atau tingkat “parasitemia” diperoleh dengan cara menghitung banyaknya eritrosit yang terinfeksi “parasit” dalam 1000 eritrosit. Tingkat parasitemia bisa digunakan untuk melihat tingkat keparahan penyakit (Sunaga et al. 2002).
21
Destruksi eritrosit pada babesiosis terjadi karena parasit memperbanyak diri (multiplication) di dalam eritrosit tersebut. Namun demikian, banyaknya eritrosit yang lisis belum tentu proporsional dengan tingkat parasitemia yang terjadi. Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan pada babesiosis tidak selalu sebanding dengan derajat parasitemia (Solihah 2013). Tabel 1 menunjukkan rata-rata persentase eritrosit berparasit Babesia sp. dan Haemobartonella sp. ≤ 1 % pada semua kelompok ras anjing dalam penelitian ini. Tingkat parasitemia pada penelitian ini termasuk rendah. Tingkat parasitemia yang besarnya ≤ 1 % menunjukkan bahwa kelima kelompok ras anjing pada penelitian ini mengalami infeksi dalam tingkat ringan. Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia atau derajat infeksi dikategorikan berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang didapatkan, yaitu derajat infeksi ringan (persentase parasitemia <1%), derajat infeksi sedang (persentase parasitemia 15%), dan derajat infeksi berat (persentase parasitemia > 5%).
Persentase eritrosit berparasit (%)
3
2
1
0
-1 B_BM
B_GR
B_LR
B_GS
B_RW
H_BM
H_GR
H_LR
H_GS
H_RW
Gambar 7 Persentase eritrosit berparasit (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis B: infeksi Babesia sp.; H: infeksi Haemobartonella sp. Ras: BM: Belgian Malinois; GR: Golden Retriever; LR: Labrador Retriever; GS: German Shepherd; RW: Rottweiler
Tabel 1 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa semua kelompok ras anjing memiliki derajat infeksi terhadap Babesia sp. dan Haemobartonella sp. ≤ 1 % (derajat infeksi ringan). Derajat infeksi biasanya sangat berkaitan dengan gejala klinis yang muncul. Derajat infeksi Babesia sp. yang sedang sampai tinggi memiliki pengaruh lebih buruk terhadap gambaran darah dan manifestasi klinis yang dihasilkan sehingga lebih tampak gejalanya (Birkenheuer et al. 2003). Temuan klinis yang diperoleh pada penelitian ini tidak memperlihatkan adanya gejala babesiosis seperti demam. Gejala kekuningan teramati, masing-
22
masing pada satu ekor anjing kelompok ras Belgian Malinois dan German Shepherd. Hal ini diduga karena tingkat parasitemia yang terjadi rendah yaitu ≤ 1%, dan infeksinya yang bersifat kronis. Babesia sp. (intraeritrositik) dan Haemobartonella sp. (epieritrositik) merupakan “parasit” yang memiliki kemampuan memunculkan gejala klinis sangat beragam. Infeksi pada hewan diduga carrier (pembawa), meskipun diberikan terapi antibiotik, parasitemia dapat berulang pada saat hewan mengalami stres atau penurunan daya tahan tubuh (Weiss dan Wardrop 2010). Organisme Babesia sp. dapat menyebabkan anemia hemolitik akut pada anjing yang mengalami imunosupresi, splenektomi atau bersamaan dengan infeksi yang lain (infeksi kombinasi). Pada hewan sehat yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp., infeksi akan berkembang menjadi tipe kronis, dimana infeksinya asimptomatik dan sporadik disertai dengan derajat parasitemia yang rendah (Weiss dan Wardrop 2010). Infeksi Babesia sp. yang bersifat kronis akan menyebabkan hewan dalam kondisi premunisi, yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Keadaan premunisi terjadi saat respon imun mampu menekan pertumbuhan parasit, mencegah hiperparasitemia, menurunkan kepadatan parasit, dan menekan patogenitas parasit sehingga tidak sampai menimbulkan gejala (asimptomatis) (MacDonald 2001; Kurtzhals et al. 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat parasitemia diantaranya adalah faktor patogenitas spesies agen penyebab, splenektomi dan terdapatnya kombinasi infeksi dengan agen patogen yang lain. Infeksi tunggal oleh Babesia sp. kronis memiliki derajat infeksi ringan. Namun demikian, jika terdapat kombinasi dengan infeksi parasit darah lainnya akan menambah keparahan infeksi, karena tubuh mengalami infeksi ganda (Weiss dan Wrdrop 2010). Jika infeksi Babesia sp. terjadi bersamaan dengan parasit yang lain dan terjadi saling mempengaruhi antar parasit, tingkat parasitemia yang ringan dapat memicu timbulnya gejala klinis (Birkenheuer et al. 2003).
Keadaan Umum dan Temuan Klinis Bobot badan semua kelompok ras anjing yang secara alami terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 2. Kelompok anjing ras Belgian Malinois memiliki bobot badan berkisar antara 22.69 – 26.81 kg, masih dalam kisaran nilai normal (23.2 – 27.1 kg) menurut Morgan (2008). Kelompok anjing ras Golden Retriever memiliki bobot badan (18.21 – 38.45 kg) dibawah kisaran nilai normal menurut Grandjean (2006) yaitu 30.4 – 33.7 kg. Bobot badan kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler berturut-turut berkisar antara 27.01 – 32.33 kg (normal 30.7 – 35.5 kg); 22.4 – 28.94 kg (normal 28.4 – 35.9 kg); dan 27.76 - 40.24 kg (normal 39.7 – 46.8 kg). Penurunan bobot badan pada hampir semua kelompok ras anjing diduga diakibatkan oleh anemia akibat infeksi oleh Babesia sp. dan Haemobartonella sp, dimana nutrisi tidak dapat dihantarkan dengan baik ke seluruh jaringan. Nutrisi
23
beserta oksigen diedarkan ke seluruh tubuh melalui darah. Kekurangan darah mengakibatkan transport terhambat sampai ke jaringan (Price dan Wilson 2006). Tabel 2 memperlihatkan temperatur tubuh, frekuensi nafas, dan frekuensi denyut jantung pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Secara umum, temperatur tubuh semua kelompok ras anjing masih dalam kisaran nilai normal menurut Morgan (2008) dan tidak ada perbedaan temperatur tubuh yang nyata antar kelompok ras anjing (P>0.05). Tabel 2. Hasil pemeriksaan keadaan umum semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Keadaan
Nilai
Umum
Normal*
Kelompok Ras Anjing BM
GR
LR
GS
RW
24.75±2.06
28.33±10.12
29.67±2.66
25.67±3.27
34.00±6.24
23.2 – 27.1
30.4 – 33.7
30.7 – 35.5
28.4 – 35.9
39.7 – 46.8
38 – 39.2
38.85±0.82a
38.93±0.31a
38.57±0.73a
38.57±0.55a
38.86±0.56a
RR (x/menit)
16 – 20
18.00±5.16a
20.00±4.00a
25.33±16.91a
33.33±10.63a
24.00±15.49a
HR (x/menit)
70 – 160
79.00±59.45a
57.33±26.63a
BB (kg) ** T (oC)
76.67±47.69a 115.33±55.51a 94.67±57.55a
BB: bobot badan, T: temperatur, RR: frekuensi nafas, HR: frekuensi denyut jantung; BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; *Morgan (2008); **Nilai normal bobot badan (kg) masing-masing ras anjing
Frekuensi nafas kelompok anjing ras Belgian Malinois (13 - 23 kali/menit) dan Golden Retriever (16 - 24 kali/menit) yang secara alami terinfeksi kombinasi Haemobartonella sp. dengan Babesia sp. memiliki kisaran nilai normal menurut Morgan (2008) yaitu 16 – 20 kali/menit. Kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler berturut-turut memiliki frekuensi nafas antara 8 – 42 kali/menit; 23 – 44 kali/menit; dan 9 - 33 kali/menit). Ketiga kelompok ras anjing ini memiliki frekuensi nafas yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai normal. Tidak ada perbedaan frekuensi nafas antar kelompok ras anjing (P>0.05). Secara umum, frekuensi denyut jantung pada semua kelompok ras anjing masih berada dalam kisaran normal (Tabel 2), kecuali pada kelompok anjing ras Golden Retriever (kisaran antara 31 – 84 kali/menit) yang memiliki frekuensi denyut jantung cenderung lebih rendah dari nilai normal. Tidak ada perbedaan pada frekuensi denyut jantung diantara kelima kelompok ras anjing tersebut (P>0.05). Temuan Klinis Temuan klinis yang didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik dan selama observasi pada kelima kelompok ras anjing dapat dilihat pada Tabel 3. Temuan klinis pada semua kelompok ras anjing pada penelitian ini bervariasi, meliputi membrane mukosa anemis, konjungtiva dan sklera hiperemi, aritmia, splenomegali, infestasi ektoparasit dan diare berdarah. Temuan klinis lainnya
24
adalah ptechie (kelompok anjing ras Belgian Malinois dan Rottweiler); batuk (kelompok anjing ras Golden Retriever); dyspnoe, hepatomegali dan epistaksis (kelompok anjing ras Belgian Malinois, German Shepherd dan Rottweiler), aritmia bradikardia (semua kelompok ras anjing), takhikardia (semua kelompok ras anjing kecuali kelompok anjing ras Golden Retriever); kesakitan pada saat palpasi ginjal (kelompok anjing ras Golden Retriever); dan vomitus (kelompok anjing ras Belgian Malinois, Labrador Retriever dan Rottweiler). Tabel 3. Temuan klinis yang ditemukan selama pemeriksaan fisik dan observasi pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Temuan Klinis Membran mukosa Anemis Membran mukosa Ikterus Konjungtiva hiperemi Ptechie Aritmia Bradikardia Takhikardia Splenomegali Hepatomegali Ginjal: sakit Epistaxis (O) Batuk Dispnoe Ektoparasit Vomitus (O) Diare berdarah (O)
% nTotal (n: 28) LR GS
BM
GR
RW
10.71
10.71
21.43
7.14
7.14
3.57
0
0
3.57
0
3.57 7.14 3.57 7.14 3.57 7.14 3.57 0 0 0 3.57 10.71 0 7.14
3.57 0 3.57 7.14 0 7.14 0 3.57 3.57 3.57 0 10.71 7.14 7.14
3.57 0 10.71 10.71 7.14 7.14 0 0 0 0 0 21.43 3.57 7.14
7.14 0 10.71 3.57 10.71 7.14 3.57 0 7.14 0 3.57 21.43 0 21.43
10.71 10.71 10.71 10.71 10.71 7.14 7.14 0 7.14 0 14.29 21.43 10.71 21.43
Data ditampilkan secara kulaitatif dalam bentuk persentase; O: observasi; BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler
Temuan klinis yang muncul merupakan manifestasi klinis dari anemia dan trombositopenia yang berdampak pada organ lain (Tabel 3). Penelitian Cardoso et al. (2010) menunjukkan bahwa gejala klinis yang muncul pada infeksi Babesia sp. kombinasi dengan infeksi oleh Anaplasma, Leishmania, Erlichia, dan Hepatozoon, berupa letargi, urin kemerahan, hipertermia, anoreksia, membran mukosa anemis, hipotermia, ikterus, muntah, kesakitan abdominal, ataksia, discharge uterus, batuk, ptechi pada gusi, dan discharge mata. Hasil penelitian Simões et al. (2011) menunjukkan bahwa babesiosis pada anjing dapat bersifat subklinis sampai fatal tergantung patogenitas spesies agen dan juga kepekaan individu inang yang dipengaruhi oleh umur, status imun dan infeksi. Manifestasi klinis babesiosis berupa letargi, anoreksia, selaput lendir anemis, hipertermia, hemoglobinuria dan splenomegali. Temuan klini berupa ikterus dilaporkan terjadi pada anjing ras Labrador Retriever yang didiagnosis
25
babesiosis (Yadav et al. 2011). Manifestasi klinis trombositopenia dapat berupa echymosis, ptechie, epistaksis, pendarahan saluran cerna (feses diare-berdarah), perdarahan saluran kemih dan kelamin serta pendarahan sistem saraf pusat (Price dan Wilson 2006).
Parameter Hematologi Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, indeks eritrosit, jumlah trombosit, jumlah leukosit total, jumlah neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.kronis disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 8-18. Hampir semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. memperlihatkan jumlah eritrosit (Gambar 8) yang cenderung dibawah nilai normal menurut Morgan (2008). Jumlah eritrosit terendah ditemukan pada kelompok anjing ras Belgian Malinois (berkisar antara 1.87 – 5.63 x 106/µL), diikuti berturut-turut oleh kelompok anjing ras Labrador Retriever (berkisar antara 3.5 – 5.36 x 106/µL), Golden Retriever (berkisar antara 3.27 – 5.07 x 106/µL), Rottweiler (berkisar antara 4.06 – 5.52 x 106/µL) dan German Shepherd (berkisar antara 4.66 – 5.74 x 106/µL). Konsentrasi hemoglobin (Gambar 9) memperlihatkan gambaran yang sama dengan jumlah eritrosit, dimana konsentrasi hemoglobin cenderung berada dibawah nilai normal pada semua kelompok ras anjing. Konsentrasi hemoglobin terendah terdapat pada kelompok anjing ras Belgian Malinois, diikuti berturutturut kelompok anjing ras Golden Retriever (berkisar antara 8.69 – 12.11 x g/dL), Rottweiler (berkisar antara 9.5 – 13.08 x g/dL), Labrador Retriever (berkisar antara 9 - 13.8 x g/dL), dan German Shepherd (berkisar antara 11.61 – 14.35 x g/dL). Demikian pula dengan nilai hematokrit (Gambar 10), dimana semua kelompok ras anjing memiliki nilai yang cenderung berada dibawah nilai normal. Nilai hematokrit paling rendah terdapat pada kelompok anjing ras Belgian Malinois (berkisar antara 12.18 – 38.32 %), diikuti berturut-turut kelompok anjing ras Labrador Retriever (berkisar antara 20.46 – 34.54 %), Golden Retriever (berkisar antara 25.63 – 33.71%), Rottweiler (berkisar antara 25.08 – 39.14 %), dan German Shepherd (berkisar antara 30.12 – 39.54 %). Rendahnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit mengindikasikan adanya anemia (Brockus dan Andreasen 2003). Anemia bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga mekanisme berikut, yaitu hilang darah (misalnya perdarahan), meningkatnya destruksi eritrosit (oleh proses hemolisis), dan menurunnya produksi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Anemia yang terjadi pada semua kelompok ras anjing pada penelitian ini diduga diakibatkan oleh meningkatnya destruksi eritrosit (anemia hemolitik).
26
Tabel 4 Nilai parameter hematologi pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Parameter
Nilai Normal* BM 3.75±1.88a 9.85±3.39a 25.25±13.07a
GR 4.43±0.93ab 10.40±1.71a 29.67±4.04a
NN (100 %)
NN (100 %)
175–500 8 – 17 12 – 30** 3 – 10** 60 – 70** 0 – 4** 2 – 10** 0 – 1**
82.00±84.73a 9.80±7.81a 30.75 ±27.6a 4.25±2.50a 61.50±17.29a 1.50±0.58a 0.75±0.96a 0.00±0.00a
135.67±29.01a 10.83±3.99a 52.33±28.365a 5.33±2.52a 38.00±23.07a 3.33±2.31a 1.00±1.73a 0.33±0.58a
Limfosit (x103/µL)
0.72 – 5.1 **
2.48±2.73
Monosit (x103/µL)
0.18 – 1.35 **
0.31±0.21
Segmen (x103/µL)
3.6 – 13.1 **
6.66±7.29
Batang (x103/µL)
0 – 0.68 **
0.12±0.08
0.12 – 0.75**
0.12±0.19
0 – 0.17 **
0.00±0.00
6
Eritrosit (x10 /µL) Hb (g/dL) Hct (%)
5.5 – 8.5 12 – 18 37 – 55
Indeks eritrosit Trombosit (x103/µL) Leukosit (x103/µL) Limfosit (%) Monosit (%) Segmen (%) Band (%)) Eosinofil (%) Basofil (%)
Eosinofil (x103/µL) Basofil (x103/µL)
a a a
a
4.95±1.79 a
a a
a
0.32±0.15 a
0.15±0.27 a
0.03±0.05
GS 5.20±0.54b 12.98±1.37a 34.83±4.71a
RW 4.79±0.73ab 11.29±1.79a 32.11±7.03a
NN (100 %)
NN (100 %)
144.83±44.24a 16.70±24.06a 26.33±12.71a 5.33±2.94a 63.67±12.26a 3.50±1.22a 0.67±0.82a 0.50±0.55a
174.11±11.33a 13.06±4.23a 32.67±24.10a 3.67±1.58a 58.33±21.89a 4.00±1.96a 1.11±1.05a 0.22±0.44a
a
6.62±5.15
a
0.64±0.52 5.23±4.16
a
Ras Anjing LR 4.17±0.90ab 11.40±2.40a 27.5±7.04a NN (83.33 %) MiN (16.67 %) 55.5±44.24a 13.85±7.12a 45.50±23.81a 3.50±2.07a 44.17±19.34a 2.50±1.52a 0.50±0.55a 0.33±0.52a
a
4.46±2.26
a
0.58±0.63 a
a
0.94±0.62 a
6.06±4.09
6.88±2.09
a
a
0.53±0.35
a
0.06±0.08 a
0.06±0.09
a
0.49±0.29 a
9.4±3.36
0.35±0.36
a
4.95±4.67
a
0.11±0.12 a
0.09±0.1
a
0.41±0.39 a
0.14±0.12 a
0.04±0.08
Hb: hemoglobin, Hct: hematokrit, MCV: Mean Corpuscular Volume; MCHC: Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration; NN: normositik normokromik; MiN: mikrositik normokromik; Lim: limfosit, Mon: Monosit, Segmen: neutrofil segmen; Band: neutrofil muda, Bas: basofil; BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; *Morgan (2008); **Tilley dan Smith (2011)
27
Anemia hemolitik merupakan anemia yang muncul akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp dan Haemobartonella sp.. Infeksi oleh dua agen parasit darah tersebut akan mengakibatkan eritrosit mengalami kerusakan sehingga terjadi proses destruksi. (Price dan Wilson 2006; Macfarlane et al. 2000). Destruksi sel darah merah diduga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perusakan mekanis sel darah merah oleh adanya multiplikasi parasit, eritrolisis berperantaraan kekebalan yang tergantung komplemen dan opsonisasi eritrosit oleh sistem monosit-fagosit. Selain itu, adanya fagositosis eritrosit yang tidak spesifik oleh makrofag yang menjadi aktif, adanya senyawa haemolitik pada serum hewan yang terinfeksi babesia, dan adanya produksi antibodi anti eritrosit, ikut berkontribusi terhadap munculnya keadaan anemia pada babesiosis (Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002). 7
Eritrosit (x 1 juta/µL)
6 5 4 3 2 1 0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 8 Rata-rata jumlah eritrosit (x106/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimum eritrosit menurut Morgan (2008)
Hasil pengamatan pada penelitian ini memperlihatkan munculnya anemia pada hampir semua kelompok ras anjing, walaupun derajat infeksi (tingkat parasitemia) semua kelompok ras anjing pada penelitian ini termasuk kategori ringan (≤ 1%). Tabel 4 memperlihatkan kelompok anjing ras Belgian Malinois merupakan kelompok ras anjing dengan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit yang paling rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa keparahan anemia pada anjing penderita babesiosis tidak selalu sebanding dengan derajat parasitemia. Hal ini diduga karena jumlah eritrosit yang rusak lebih banyak dibandingkan dengan eritrosit berparasit yang hilang dari sirkulasi. Eritrosit yang tidak ber”parasit”pun rusak oleh adanya infeksi tersebut, karena makrofag juga memfagosit berbagai eritrosit yang tidak berparasit (Weiss dan Wardrop 2010).
28
Gambar 9 Rata-rata konsentrasi hemoglobin (g/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008) 50
Hematokrit (%)
40
30
20
10
0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 10 Rata-rata nilai hematokrit (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008)
29
Infeksi kombinasi agen patogen oleh Babesia sp. dan Haemobartonella sp., sama-sama dapat menyebabkan terjadinya destruksi eritrosit, dimana keduanya ikut berkontribusi terhadap munculnya anemia pada hampir semua kelompok ras anjing, terutama kelompok anjing ras Belgian Malinois. Menurut Grandjean (2006), anjing German Shepherd merupakan anjing yang sangat peka terhadap infeksi penyakit. Dalam penelitian ini kelompok ras anjing yang menunjukkan kepekaan adalah kelompok anjing ras Belgian Malinois, dimana anjing ras ini disebut juga sebagai Belgian Shepherd (Grandjean 2006). Pembelahan merozoit yang tidak terbendung secara terus-menerus mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut terinfeksi. Eritrosit-eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi/pemecahan (Gardiner et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100-110 hari, namun dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit menjadi 10-20 hari (Sibuea et al. 2009), sehingga banyak eritrosit akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umur normalnya (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002). Tabel 4 memperlihatkan indeks eritrosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Indeks eritrosit digunakan untuk menentukan jenis anemia berdasarkan morfologi, yang didasarkan pada ukuran dan intensitas warna eritrosit. Hasil penghitungan indeks eritrosit pada kelima kelompok ras anjing menunjukkan adanya dua jenis anemia, yaitu anemia normositik normokromik dan mikrositik normokromik. Jenis anemia normositik normokromik ditemukan pada semua anjing (100%) pada empat kelompok anjing ras Belgian Malinois, Golden Retriever, Rottweiler, dan German Shepherd dan pada 83.33% anjing kelompok ras Labrador Retriever. Sedangkan jenis anemia mikrositik normokromik ditemukan pada 16.67 % anjing kelompok ras Labrador Retriever. Hasil pengamatan jenis anemia yang berupa anemia normositik normokromik pada penelitian ini sama dengan laporan Shah et al. (2011) dan Furlanello et al. (2005). Penelitian lain menunjukkan adanya anemia mikrositik hipokromik (Niwethpathomwat et al 2006), normositik hipokromik dan makrositik hipokromik pada anjing yang terinfeksi Babesia sp (Simões et al. 2011). Tabel 4 dan Gambar 11 menunjukkan rata-rata jumlah trombosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Jumlah trombosit pada semua kelompok ras anjing cenderung berada dibawah nilai normal menurut Morgan (2008) yang berkisar antara 55.5 – 174.11 x103/µL, dengan urutan jumlah trombosit terendah ditemukan pada kelompok anjing ras Labrador Retriever (berkisar antara 11.26 – 99.74 x103/µL), Belgian Malinois (berkisar antara 0 – 166.67 x103/µL), Golden Retriever (berkisar antara 106.66 - 164.68 x103/µL), German Shepherd (berkisar antara 100.59 – 189.07 x103/µL), dan Rottweiler (berkisar antara 162.78 – 185.44 x103/µL). Menurut Stockham dan Scott (2002), penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah (trombositopenia) dapat diakibatkan oleh penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang, distribusi tidak normal (trombosit terperangkap dalam limpa yang membesar), pengenceran serta peningkatan destruksi (penghancuran) trombosit.
30
Trombositopenia, yang ditemukan pada anjing yang terinfeksi Babesia sp., dapat terjadi karena kerusakan berperantara kekebalan dan adanya peningkatan “penimbunan” trombosit yang terjadi secara abnormal dalam limpa. Selain itu trombositopenia juga terjadi akibat adanya penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi akibat penurunan produksi trombosit. Penurunan produksi trombosit terjadi pada infeksi virus, riketsia dan neoplasia (Weiss dan Wardrop 2010). Terjadinya trombositopenia pada anjing penderita babesiosis juga dilaporkan oleh Simões et al. (2011), Shah et al. (2011), Furlanello et al. (2005) serta Makinde dan Bobade (1994).
500
Trombosit (x 1000/µL)
400
300
200
100
0
BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 11 Rata Rata-rata jumlah trombosit (/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008)
Destruksi trombosit yang dimediasi sistem imun berkontribusi terhadap trombositopenia pada anjing yang mengalami babesiosis, leishmaniasis dan histoplasmosis. Riketsia dapat menyebabkan trombositopenia, namun patogenesisnya belum diketahui. Beberapa mekanisme yang berkontribusi pada munculnya trombositopenia diduga karena adanya destruksi trombosit yang dimediasi imun, kerusakan langsung trombosit, defisit produksi trombosit dan komplikasi sekunder DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) (Weiss dan Wardrop 2010). Trombositopenia dapat menyebabkan echymosis dan ptechie, epistaksis, pendarahan saluran cerna (feses diare-berdarah), perdarahan saluran kemih dan kelamin serta pendarahan sistem saraf pusat (Price dan Wilson 2006). Rata-rata jumlah leukosit total pada semua kelompok ras anjing dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 12. Tampak bahwa semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis memiliki jumlah leukosit total yang masih dalam kisaran normal menurut Tilley dan Smith
31
(2011). Kelompok anjing ras Belgian Malinois terlihat memiliki rata-rata jumlah leukosit total melebihi batas normal bawah, sedangkan kelompok anjing ras German Shepherd terlihat memiliki rata-rata jumlah leukosit total melebihi batas atas nilai normal. Gambaran rata-rata jumlah leukosit total pada Gambar 12 menunjukkan bahwa kelompok anjing ras Belgian Malinois memiliki rata-rata jumlah leukosit total paling rendah diantara kelompok ras anjing lainnya. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah leukosit total menunjukkan respon pertahanan individu terhadap adanya infeksi. Rata-rata hitung jenis leukosit pada semua kelompok ras anjing bisa dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 13-18. Persentase limfosit (Tabel 4 dan Gambar 13) pada kelompok anjing ras Retriever (Golden, Labrador) dan Rottweiller berturut-turut 52.33±28.365 %; 45.50±23.81 %, dan 32.67±24.10 %. Persentase limfosit pada ketiga kelompok ras anjing tersebut cenderung berada diatas nilai range normal menurut Tilley dan Smith (2011) yang berkisar antara 12 – 30 %.
25
Leukosit (x1000/µL)
20
15
10
5
0
BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 12 Rata-rata jumlah leukosit total (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal dan minimal menurut Morgan (2008)
Penelitian yang dilakukan Shah et al. (2011) menunjukkan bahwa jumlah leukosit total dan diferensial leukosit pada kasus infeksi alami babesiosis tidak spesifik menunjukkan perubahan. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Latimer dan Prasse (2003) menunjukkan adanya limfositopenia, dimana kemungkinan diakibatkan oleh infeksi kombinasi babesiosis dengan infeksi virus.
32
Limfosit (x1000/µL)
15
10
5
0
BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 13 Rata-rata jumlah limfosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Tilley dan Smith (2011)
Kecenderungan tingginya persentase limfosit (dibandingkan dengan nilai range normal) ketiga kelompok ras anjing (Golden Retriever, Labrador Retriever dan Rottweiller) pada penelitian ini diduga disebabkan oleh adanya infeksi kombinasi babesiosis dan haemobartonellosis yang sudah kronis. Menurut Stockham dan Scott (2002), peningkatan jumlah limfosit dapat diakibatkan oleh adanya peradangan atau infeksi kronis (misalnya akibat infeksi bakteri, riketsia, fungi, virus dan parasit darah terutama Babesia dan Theileria), obat-obatan, neoplasia dan hipoadrenokortisism.
33
2.0
Monosit (x1000/µL)
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 14 Rata Rata-rata jumlah monosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal Tilley dan Smith (2011)
Neutrofil segmen (x1000/µL)
20
15
10
5
0
-5 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 15 Rata-rata jumlah neutofil segmen (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal dan minimal menurut Tilley dan Smith (2011)
34
Gambar 14 menunjukkan bahwa kelompok anjing ras Belgian Malinois cenderung memiliki persentase monosit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ras anjing lainnya. Kelompok anjing ras German Shepherd cenderung memiliki persentase monosit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ras anjing lainnya, meskipun rata-rata data pada hampir semua kelompok ras anjing terlihat masih berada dalam batas normal menurut Tilley dan Smith (2011). Tabel 4 dan Gambar 15 memperlihatkan rata-rata jumlah neutrofil segmen pada semua kelompok ras anjing. Rata-rata jumlah neutrofil segmen masih berada dalam kisaran nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011). Tabel 4 memperlihatkan pula rata-rata persentase neutrofil segmen pada semua kelompok ras anjing. Persentase neutrofil pada kelompok anjing ras Retriever (Golden, Labrador) dan Rottweiller berturut-turut 38.00±23.07 %, 44.17±19.34 %, dan 58.33±21.89 %. Persentase neutrofil pada ketiga kelompok ras tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai range normal menurut Tilley dan Smith (2011), yang berkisar antara 60 –70 %. Tabel 4 dan Gambar 16 menunjukkan rata-rata jumlah neutrofil band pada semua kelompok ras anjing. Jumlah neutrofil paling tinggi dimiliki oleh kelompok anjing ras German Shepherd, dan rata-rata paling rendah terdapat pada kelompok anjing ras Belgian Malinois. Tabel 4 memperlihatkan, persentase neutrofil batang pada kelompok anjing ras German Shepherd menunjukkan adanya kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011).
Neutrofil batang (x1000/µL)
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 16 Rata-rata jumlah neutrofil batang (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Tilley dan Smith (2011)
35
1.00
Eosinofil (x1000/µL)
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 17 Rata-rata jumlah eosinofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Tilley dan Smith (2011)
0.25
Basofil (x1000/µL)
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 18 Rata-rata jumlah basofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Tilley dan Smith (2011)
36
Tabel 4 dan Gambar 17 menunjukkan rata-rata jumlah eosinofil pada semua kelompok ras anjing yang masih berada dalam range normal menurut Tilley dan Smith (2011). Konfirmasi menggunakan Gambar 17 memperlihatkan sebagian besar rata-rata data nilai eosinofil masing-masing individu pada semua kelompok ras anjing masuk dalam batas normal, selebihnya berada di bawah batas nilai normal. Rata-rata jumlah basofil pada semua kelompok ras anjing (Tabel 4 dan Gambar 18) masih berada dalam batas nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011). Gambar 18 memperlihatkan sebagian besar rata-rata data masing-masing individu pada semua kelompok ras terdapat pada area nilai normal, namun terdapat sebagian kecil data pada kelompok anjing ras German Shepherd dan Labrador Retriever yang berada diatas nilai normal. Parameter Kimia Darah Tabel 5 dan Gambar 19-34 memperlihatkan rataan parameter kimia darah pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Tabel 5 dan Gambar 19 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan aktivitas enzim AST dibandingkan dengan nilai normal menurut Morgan (2008) pada semua kelompok ras anjing, dengan nilai tertinggi dimiliki oleh German Shepherd. Menurut Stockham dan Scott (2002), peningkatan aktivitas enzim AST dapat terjadi karena hasil dari inflamasi, hipoksia akibat anemia, toksikan dan trauma. Hemolisis juga diduga meningkatkan aktivitas enzim AST, dari ringan sampai sedang (Stockham dan Scott 2002). Aktivitas enzim ALT pada kelompok anjing ras German Shepherd yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 20. Tampak bahwa aktivitas enzim ALT juga cenderung mengalami peningkatan. Menurut Stockam dan Scott (2002), peningkatan aktivitas enzim ALT dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan hepatosit, otot skeletal dan pemberian glukokortikoid.
37
Tabel 5 Rata-rata parameter kimia darah pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Parameter
Nilai
Kelompok Ras Anjing
Normal*
BM
GR
LR
GS
RW
AST (IU/L)
11 – 50
54.50±13.40a
55.67±5.13a
53.67±8.07a
92.17±120.32a
56.56±22.17a
ALT (IU/L)
15 – 70
54.75±4.50a
55.67±5.13a
53.67±8.07a
85.83±88.43a
57.67±22.17a
Total protein (g/dL)
5 – 7.2
8.68±1.53a
8.13±2.32a
7.92±1.37a
8.42±1.34a
9.31±1.39a
Bilirubin total (mg/dL)
0.1 – 0.6
1.64±1.85a
0.83±0.38a
0.72±0.17a
0.85±0.21a
0.68±0.20a
Bil conjugate (mg/dL)
0.0–0.14
1.31±1.85a
0.71±0.32a
0.35±0.20a
0.48±0.13a
0.35±0.16a
Bil unconjugate (mg/dL)
0.07–0.6
0.34±0.28a
0.12±0.76a
0.36±0.31a
0.30±0.12a
0.40±0.17a
Ureum (mg/dL)
10 – 26
40.25±1.88a
101.0±55.51b
51.83±37.17a
51.67±14.24a
55.67±15.76a
Kreatinin (mg/dL)
0.5 – 1.3**
1.15±0.17ab
1.50±0.61b
1.13±0.25ab
1.13±0.14ab
1.08±0.19a
pO 2 (mmHg)
40 – 60**
34.50±5.97a
34.33±4.62a
34.67±14.24a
38.33±10.05a
30.67±7.66a
≥90***
67.25±10.31a
66.67±11.85a
59.67±22.07a
70.0±14.46a
58.89±15.27a
7.31– 7.42
7.43±0.02b
7.41±0.03ab
7.38±0.03a
7.41±0.03ab
7.41±0.03b
pCO 2 (mmHg)
29 - 42
31.15±3.37a
32.87±2.36a
34.33±4.87a
31.7±3.85a
31.97±4.63a
HCO 3 - (mEq/L)
17 – 25
20.58±1.79a
20.93±2.57a
20.08±2.19a
20.17±1.75a
20.63±2.09a
Natrium (mEq/dL)
142–150
146.75±2.22a
145.0±4.00a
145.0±2.00a
143.67±2.34a
145.33±2.12a
Kalium (mEq/dL)
4.0 – 5.4
3.98±0.28a
4.37±0.12b
3.93±0.29a
4.33±0.26c
4.43±0.30b
sO 2 (%) pH
AST: aspartate transaminase, ALT: alanine transaminase, Bil: bilirubin; pO2: tekanan oksigen; sO2: saturasi oksigen; BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; aHuruf superscript yang sama pada kolom yang berbeda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05); a, b, ab Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05); *Morgan (2008); **Tilley dan Smith (2011); ***Stockham dan Scott (2002)
38
Tabel 5 dan Gambar 21 memperlihatkan tingginya konsentrasi total protein diatas nilai range normal yang terjadi pada semua kelompok ras anjing, dengan konsentrasi tertinggi ditemukan pada kelompok anjing ras Rottweiller. Menurut Stockham dan Scott (2002), peningkatan konsentrasi total protein dalam sirkulasi darah (hiperproteinemia) dapat disebabkan oleh adanya hemokonsentrsi dan peningkatan sintesis protein akibat inflamasi. Inflamasi yang menyebabkan hiperproteinemia bisa diakibatkan oleh penyakit infeksius (oleh protozoa, riketsia, bakteri, virus, dan fungi) dan penyakit non infeksius (penyakit yang dimediasi sistem imun, nekrosis dan neoplasia). Destruksi eritrosit menyebabkan pemecahan hemoglobin menjadi heme dan globin. Globin tersusun dari protein, dimana pemecahan hemoglobin berlebihan menghasilkan globin berlebihan (Kaneko et al. 1997), sehingga akan terdeteksi sebagai adanya peningkatan total protein plasma. Hiperproteinemia juga diduga bisa disebabkan oleh peningkatan immunoglobulin, komplemen serta faktor koagulasi darah (misalnya fibrin) sebagai respon adanya inflamasi akibat infeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. (Stockham dan Scott 2002). Rata-rata konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 22. Secara umum terjadi peningkatan konsentrasi bilirubin total disertai juga dengan peningkatan konsentrasi bilirubin conjugated pada kelima kelompok ras anjing.
350 300
AST (IU/L)
250 200 150 100 50 0 -50 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 19 Rata-rata aktivitas AST (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
39
300
250
ALT (IU/L)
200 150
100
50 0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 20 Rata-rata aktivitas ALT (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
14
Total protein (g/dL)
12
10
8
6
4
2 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 21 Rata-rata konsentrasi total protein (g/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
40
5
Bilirubin total (mg/dL)
4 3 2 1 0 -1 -2 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 22 Rata-rata konsentrasi bilirubin total (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
5
Bilirubin conjugate (mg/dL)
4 3 2 1 0 -1 -2 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 23 Rata-rata konsentrasi bilirubin conjugated (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
41
Bilirubin unconjugate (mg/dL)
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 24 Rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
Kelompok anjing ras Belgian Malinois memiliki konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok ras anjing lainnya dalam penelitian ini, sedangkan kelompok anjing ras Rottweiler memiliki konsentrasi paling rendah (Tabel 5 dan Gambar 22-24). Laporan Yadav et al. (2011) menunjukkan terjadinya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam sirkulasi darah (hiperbilirubinemia) pada anjing penderita babesiosis. Penyakit hemolitik, yang meningkatkan laju destruksi eritrosit, merupakan penyebab pembentukan bilirubin yang berlebihan dan yang paling sering menyebabkan ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati dalam melakukan konjugasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah (Price dan Wilson 2006). Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi disebabkan oleh mekanisme pembentukan bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan (uptake) bilirubin tak terkonjugasi oleh hati dan gangguan konjugasi bilirubin. Hiperbilirubinemia terkonjugasi disebabkan oleh penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis. Jika suplai bilirubin unconjugated melampaui batas normal dan hati mampu melakukan konjugasi dengan baik, namun terjadi gangguan dalam transfer pigmen empedu akan mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin conjugated dalam darah (Price dan Wilson 2006).
42
Kelima kelompok ras anjing dalam penelitian ini mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin total di atas batas atas nilai normal (terutama pada kelompok anjing ras Belgian Malinois). Hiperbilirubinemia ini disebabkan oleh peningkatan konsentrasi bilirubin conjugated hingga 9.36 kali (Belgian Malinois) dan 2.5 - 5 kali pada keempat kelompok ras anjing lainnya. Rata-rata konsentrasi ureum dan kreatinin (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 25-26. Tampak adanya peningkatan konsentrasi ureum pada seluruh individu pada semua kelompok ras anjing, dengan konsentrasi tertinggi dimiliki oleh kelompok anjing ras Golden Retriever (kisaran 45.49 – 156.51 mg/dL). Peningkatan konsentrasi ureum dalam sirkulasi darah diistilahkan sebagai azotemia (Stockham dan Scott 2002). Studi menggunakan 58 anjing yang terinfeksi Babesia sp., 36 % mengalami azotemia dan 22 % diantaranya mati dengan azotemia (Simões et al. 2011). Konsentrasi ureum pada semua kelompok ras anjing cenderung mengalami peningkatan diikuti dengan konsentrasi kreatinin yang berada mendekati batas atas nilai normal (Tabel 5 dan Gambar 25-26). Konsentrasi ureum tertinggi diikuti dengan tingginya konsentrasi kreatinin diatas nilai range normal terlihat pada kelompok anjing ras Golden Retriever. Konsentrasi kreatinin (Gambar 26) cenderung tinggi pada kelompok anjing ras Golden Retriever (kisaran 0.89 – 2.11 mg/dL) diikuti oleh kelompok anjing ras Labrador Retriever, sedangkan kelompok anjing ras lainnya pada penelitian ini memiliki konsentrasi kreatinin pada batas atas nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011). 250
Ureum (mg/dL)
200
150
100
50
0
-50 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 25 Rata-rata konsentrasi ureum (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
43
3.0
Kreatinin (mg/dL)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 26 Rata-rata konsentrasi kreatinin (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
Destruksi eritrosit besar-besaran mengakibatkan banyak hemoglobin bebas dilepaskan ke dalam plasma. Haptoglobin dan hemopektin akan mengikat dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Pada kondisi hemolisis berat, konsentrasi haptoglobin maupun hemopektin menurun sehingga hemoglobin bebas berlebihan dalam darah. Hemoglobin dapat melewati glomerulus ginjal hingga terjadi hemoglobinuria (Price dan Wilson 2006, Macfarlane et al. 2000). Hemoglobin bebas dan bilirubin conjugated berlebihan dalam darah membuat filtrasi glomerular bekerja berlebihan. Filtrasi glomerular yang bekerja berlebihan dalam kondisi hipoksia menyebabkan peningkatan kadar ureum (azotemia) (Stockham dan Scott 2002). Pada penelitian ini, terjadi peningkatan konsentrasi ureum (lebih dari dua kali lipat) pada semua kelompok ras anjing. Peningkatan konsentrasi ureum pada penelitian ini disertai pula dengan kecenderungan meningkatnya konsentrasi kreatinin darah (pada konsentrasi normal atas) pada semua kelompok ras anjing. Tabel 5 dan Gambar 27-28 memperlihatkan nilai pO 2 dan sO 2 pada semua kelompok ras anjing. Tampak bahwa rata-rata pO 2 dan sO 2 mengalami penurunan pada semua kelompok ras anjing pada penelitian ini (Tabel 5). Konfirmasi melalui sebaran data individu pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 27 (pO 2 ) dan Gambar 28 (sO 2 ). Kelompok anjing ras German Shepherd memiliki rata-rata pO 2 paling tinggi dibandingkan dengan kelompok anjing ras lainnya (Tabel 5). Namun demikian, terlihat pada Gambar 26 bahwa sebagian sebaran data pada kelompok anjing ras German Shepherd berada di bawah nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011). Kelompok anjing ras Rottweiller yang memiliki rata-rata pO 2 paling rendah dibandingkan dengan kelompok ras anjing lainnya
44
(Tabel 5), terlihat memiliki rentang nilai yang tidak berbeda jauh dengan kelompok ras anjing lainnya dalam penelitian ini (Gambar 27). 60
pO2 (mmHg)
50
40
30
20 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 27 Rata-rata nilai pO 2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Tilley dan Smith (2011)
Gambar 28 memberikan informasi bahwa hampir seluruh data individu pada semua kelompok ras anjing pada penelitian ini memiliki nilai sO 2 di bawah normal. Kelompok anjing ras German Shepherd memiliki rata-rata sO 2 paling tinggi dibandingkan dengan kelompok anjing ras lainnya (Tabel 5). Terlihat pada Gambar 28 bahwa seluruh sebaran data pada kelompok ras anjing berada di bawah nilai normal menurut Stockham dan Scott (2002). Kelompok anjing ras Rottweiller yang memiliki rata-rata sO 2 paling rendah (Tabel 5), terlihat memiliki rentang nilai yang tidak berbeda dengan kelompok anjing ras lainnya (Gambar 28). Kelima kelompok ras anjing memiliki nilai pO 2 dan sO 2 dibawah normal (Tabel 5). Nilai pO 2 yang rendah dinyatakan dengan istilah hipoksemia dan seringkali ada hubungannya dengan hipoksia atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai. Makin cepat timbulnya hipoksemia, maka semakin berat kelainan jaringan yang diderita (Price dan Wilson 2006).
45
100 90
sO2 (%)
80 70 60 50 40 30 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 28 Rata-rata nilai sO 2 (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Tilley dan Smith (2011)
7.500 7.475 7.450
pH
7.425 7.400 7.375 7.350
BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 29 Rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal menurut Morgan (2008)
46
Rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 29. Nilai pH darah tertinggi (dan lebih tinggi dibandingkan nilai normal) dimiliki oleh kelompok anjing ras Belgian Malinois, sedangkan kelompok ras anjing lainnya memiliki nilai pH darah yang masih dalam kisaran normal (Tabel 5). Konfirmasi pada Gambar 29 menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan pH darah juga terjadi pada sebagian data pada kelompok ras lainnya kecuali kelompok anjing ras Labrador Retriever. Tabel 5 dan Gambar 30 menunjukkan rata-rata nilai pCO 2 pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Semua kelompok ras anjing pada penelitian ini memiliki nilai pCO 2 dan konsentrasi HCO 3 - dalam kisaran normal (Tabel 5). Gambar 30 menunjukkan bahwa terdapat sebagian kecil sebaran data yang menunjukkan adanya nilai pCO 2 di bawah nilai normal, yang terjadi pada hampir semua kelompok ras anjing kecuali kelompok anjing ras Golden Retriever. Gambar 31 menunjukkan bahwa sebaran konsentrasi HCO 3 - berada pada kisaran nilai normal. Namun demikian, terdapat sebagian kecil data pada kelompok anjing ras Rottweiller yang menunjukkan konsentrasii HCO 3 - di bawah nilai normal.
40.0
pCO2 (mmHg)
37.5
35.0
32.5
30.0
27.5
25.0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 30 Rata-rata nilai pCO 2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008)
Destruksi eritrosit yang menyebabkan penguraian hemoglobin berdampak pada oksigenisasi jaringan. Hemoglobin adalah molekul protein dalam eritrosit yang membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Hemoglobin terdiri dari empat molekul protein (rantai globulin) yang terhubung bersama-sama. Hemoglobin dewasa normal mengandung 2 rantai alfa globulin dan 2 rantai beta globulin. Heme adalah
47
kompleks yang dibentuk dari porfirin dan 1 atom besi fero. Masing-masing dari ke-4 ataom besi dapat mengikat satu molekul O 2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O 2 merupakan suatu reaksi oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Sarana yang menyebabkan oksigen terikat pada hemoglobin adalah jika sudah terdapat molekul oksigen lain pada tetramer yang sama. Jika oksigen sudah ada, pengikatan oksigen berikutnya akan berlangsung lebih mudah. Disamping mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan perifer, hemoglobin memperlancar pengangkutan karbon dioksida (CO 2 ) dari jaringan ke dalam paru-paru untuk diekspirasikan. Hemoglobin dapat langsung mengikat CO 2 jika oksigen dilepaskan dan sekitar 15% CO 2 yang dibawa di dalam darah diangkut langsung pada molekul hemoglobin. Hemoglobin mengikat 2 proton untuk setiap kehilangan 4 molekul oksigen (Kaneko et al. 1997).
27.5
HCO3- (mEq/L)
25.0
22.5
20.0
17.5
15.0 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 31 Rata-rata konsentrasi HCO 3 - (mEq/L) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008)
Hipoksemia dan hipoksia akan mempengaruhi keseimbangan kurva disosiasi hemoglobin. Kadar pO 2 dan sO 2 yang rendah mengakibatkan kurva disosiasi hemoglobin bergeser ke kanan (Gambar 32). Faktor yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan 2,3 difosfogliserol (2,3-DPG), yaitu fosfat organik dalam eritrosit yang mengikat hemoglobin dan mengurangi afinitas hemoglobin terhadap O 2 . Pada anemia hipoksia kronik, 2,3-DPG eritrosit meningkat. Dalam jaringan perifer, defisiensi oksigen meningkatkan akumulasi 2,3-DPG, akibatnya semakin banyak zat ini yang berikatan dengan hemoglobin sehingga afinitas hemoglobin dalam mengikat oksigen berkurang (Kaneko et al. 1997).
48
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah atau saturasi oksigen dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan nilai tekanan oksigen dan saturasinya yaitu: ringan (pO 2 60-79 mmHg dan SaO 2 > 90%; sedang (PO 2 40-60 mmHg, SO 2 75-89 %); dan berat (jika PO 2 < 40 mmHg dan SO 2 < 75 %). Dari kategori tersebut, kelima kelompok ras anjing masuk ke dalam kategori hipoksemia berat. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen menurun, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen darah meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida (pCO 2 ) menurun. Jaringan vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takhikardia sebagai kompensasi yang akan meningkatkan volume jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki (Astowo 2005).
Gambar 32 Kurva disosiasi hemoglobin (Hb-O 2 ) pada emua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis Hipoksia adalah kekurangan oksigen ditingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan dengan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benarbenar tidak ada oksigen tertinggal dalam jaringan. Hipoksia anemik yaitu apabila oksigen darah arteri normal tetapi mengalami denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG di dalam eritrosit, kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita anemia akan mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan oksigen ke jaringan aktif (Astowo 2005). Hal ini diduga yang
49
menyebabkan anjing-anjing “working dogs” mudah mengalami kelelahan sewaktu mendapatkan latihan fisik. Hipoksia dapat terjadi bersamaan dengan hipoksemia. Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi respiratori (Price dan Wilson 2006). Meskipun kemampuan transport O 2 oleh hemoglobin menurun jika kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan hemoglobin untuk melepas O 2 ke jaringan dipermudah (Efek Bohr). Oleh karena itu, pada kondisi anemia dan hipoksemia kronik, pergeseran kurva ke kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan menggambarkan adanya peningkatan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan O 2 . Selain itu juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan lebih banyak O 2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah. Nilai pO 2 yang rendah dinyatakan dengan istilah hipoksemia dan seringkali ada hubungannya dengan hipoksia atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai (Price dan Wilson 2006)). Hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia jaringan. Makin cepat timbulnya hipoksemia, semakin berat kelainan jaringan yang diderita (Price dan Wilson 2006). Kadar oksigen yang rendah pada individu yang mempunyai trombus pada pembuluh darah (terutama jantung) akan menyebabkan jantung mengalami penurunan suplai oksigen yang berat yang akan menyebabkan jantung mengalami iskemia (kekurangan oksigen) bahkan sampai terjadinya infark (kematian jaringan). Penelitian oleh Syam (2012) membuktikan bahwa kondisi hipoksia sistemik kronik dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati, ginjal, jantung, dan lambung. Hal ini diduga yang terjadi pada anjing pada penelitian ini, dimana beberapa ekor anjing mati secara tiba-tiba setelah selesai penelitian. Ratarata konsentrasi natrium/sodium pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 33. Konsentrasi natrium pada semua kelompok ras anjing masih berada pada kisaran nilai normal dan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar kelompok ras anjing (P>0.05). Kelompok anjing ras Belgian Malinois memiliki konsentrasi natrium paling tinggi, diikuti berturut-turut oleh kelompok anjing ras Rottweiler, Golden Retriever, Labrador Retriever, dan German Shepherd. Gambar 33 menunjukkan bahwa sebagian besar sebaran data konsentrasi natrium berada pada kisaran nilai normal. Terdapat sebagian kecil data pada kelompok anjing ras Golden Retriever yang memiliki konsentrasi natrium cenderung di bawah nilai normal. Konsentrasi kalium/potasium tertinggi dimiliki oleh kelompok anjing ras German Shepherd, namun demikian masih berada dalam kisaran nilai normal. Terdapat perbedaan konsentrasi kalium yang nyata dengan kelompok ras anjing lainnya (P>0.05). Konsentrasi kalium pada kelompok anjing ras Labrador Retriever dan Belgian Malinois (Tabel 5 dan Gambar 34) berada dibawah kisaran nilai normal.
50
155
Natrium (mEq/dL)
150
145
140
135 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 33 Rata-rata konsentrasi natrium (mEq/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai maksimal dan minimal menurut Morgan (2008)
4.75
Kalium (mEq/dL)
4.50
4.25
4.00
3.75
3.50 BM
GR
LR
GS
RW
Gambar 34 Rata-rata konsentrasi kalium (mEq/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler; nilai minimal menurut Morgan (2008)
51
Sistem renin-angiotensin-aldosteron adalah mekanisme yang sangat penting dalam pengaturan volume cairan ekstraselular dan ekskresi natrium oleh ginjal. Aldosteron adalah hormon yang disekresikan oleh daerah glomerulosa korteks adrenal. Produksi aldosteron dirangsang oleh refleks yang diatur oleh baroreseptor yang terdapat pada arteriol aferen ginjal. Penurunan volume sirkulasi dideteksi oleh baroreseptor yang mengakibatkan sel-sel jukstaglomerular ginjal memproduksi renin. Renin bekerja sebagai enzim yang melepaskan angiotensin I dari protein plasma angiotensinogen. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II pada paru. Angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk mensekresikan aldosteron. Aldosteron bekerja pada duktus koligentes ginjal yang mengakibatkan retensi natrium (dan air) dan vasokonstriksi otot polos arteriol (Price dan Wilson 2006). Aldosteron merupakan mekanisme pengendali utama bagi sekresi kalium pada nefron distal ginjal. Peningkatan sekresi aldosteron menyebabkan reabsorpsi natrium (dan air) dan ekskresi kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah penurunan volume cairan tubuh atau penurunan kalium serum. Sekresi kalium juga dipengaruhi oleh status asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal. Pada keadaan alkalosis yang disertai kekurangan ion H+, tubulus akan menukar natrium dengan kalium demi mempertahankan ion H+. Kompensasi pernafasan berupa peningkatan pCO 2 melalui hipoventilasi, akan tetapi tingkat hipoventilasi terbatas karena pernafasan terus berjalan oleh dorongan hipoksia, sebab derajat hipoventilasi dan kenaikan pCO 2 dibatasi oleh kebutuhan oksigen (Price dan Wilson 2006). Alkalemia dapat disebabkan oleh pergerakan H+ dari ekstraselular ke intraselular akibat hipokalemia dan hipovolemia (Stockham dan Scott 2002). Hipokalemia dapat terjadi karena adanya alkalosis, peningkatan aktifitas insulin, anoreksia, muntah, diare dan gagal ginjal. Alkalosis mengakibatkan pergerakan K+ dari ekstraselular ke intraselular ketika terjadi perpindahan H+. Muntah dan diare juga dapat menyebabkan tubuh kehilangan K+ (Stockham dan Scott 2002). K+ banyak terdapat di dalam sel eritrosit, sedangkan Na+ banyak terdapat di luar sel, dimana kedua ion ini dikontrol oleh channel Na-K ATPase. Adanya destruksi eritrosit membuat K+ ikut keluar dari sel. Pada penelitian ini, penurunan jumlah eritrosit akibat destruksi dalam jumlah tertentu memperlihatkan gambaran hipokalemia, terlihat pada kelompok anjing ras Belgian Malinois dan Labrador Retriever, sedangkan kelompok ras anjing lainnya masih dapat mengkompensasi adanya pengeluaran kalium dari dalam sel. Ginjal sangat berpengaruh dalam proses perpindahan ion-ion ini. Jika ginjal mengalami penurunan fungsi akibat hipoksia dan berbagai macam manifestasi klinis yang diakibatkan oleh Babesia sp. dan Haemobartonella sp., maka proses kompensasi ion-ion tersebut juga terganggu (Price dan Wilson 2006).