27
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro suhu lingkungan berkisar antara 27.4-33.2oC, kelembaban udara antara 59.1-89.7%, THI (Temperature Humidity Index) antara 77.1-82.7, kecepatan angin 0.35-1.10 meter/detik dan energi radiasi matahari berkisar antara 210.8-459.9 watt/m2.
Nilai pengamatan yang diperoleh lebih
tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ternak mengalami cekaman panas pada kondisi lingkungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah tropis basah yang mempunyai sirkulasi angin yang rendah, suhu lingkungan maupun energi radiasi sinar matahari serta kelembaban udara yang tinggi pula. Rataan kondisi iklim mikro dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang Periode Parameter Lingkungan Mikro Pengamatan Ta (oC) RH (%) THI Va (m/s)
SR (watt/m2)
Periode I
30.1±1.27
73.6±3.69
79.9±1.34
0.7±0.07
315.3±82.29
Periode II
30.3±1.50
72.5±6.35
80.1±1.52
0.7±0.21
308.2±83.06
Periode III
31.6±1.68
64.5±5.63
81.2±1.62
0.8±0.22
357.6±90.92
Periode IV
30.1±2.14
74.7±5.19
79.2±1.53
0.6±0.19
338.7±109.65
Rataan
30.5±0.72
71.4±4.64
80.1±0,85
0.7±0.08
329.9±22.60
Keterangan : Ta = Suhu lingkungan RH = Kelembaban relatif THI = Temperature Humidity Index
Va = Kecepatan angin SR = Energi radiasi matahari
Tabel 10 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro, yaitu suhu dan kelembaban udara penelitian secara fisiologis tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang nyaman sapi FH dan berpotensi menyebabkan cekaman. Hal ini dikarenakan nilai suhu dan kelembaban udara melebihi zona termonetral (ZTN) sebesar 13-25oC dan 50-60% (McNeilly 2001). Berdasarkan tabel modifikasi
28
c cekaman paanas (Tabel 6) bahwa kkondisi peneelitian ini seecara umum m termasuk k kategori meddium stress (cekaman ( seedang) yang berpotensi teerjadi pada sapi s perah.
Suhu Lingkungan (OC)
(a)
85.0 0
Kelembaban udara (%)
(b) 80.0 0
79.6 6
75.0 0
74.5 72.0
70.0 0
0.8 70 6 68.6
66.8
mean
67.3
65.0 0 60.0 0 9.00
1 10.00
11.00
12.00
3.00 13
14.00
15.00
Temperature Humidity Index(THI)
82.0 81.5 81.0
8 81.0
(c)
81.3 80 0.5
80.0
79.7 79.2
79.0
mean 78.0 77.4 4 77.0 76.0 9.00
10.00
11.00 0
12.00
13 3.00
14.00
15.00
W Waktu Pengam matan (WIB)
G Gambar 5 Rataan R pola perubahan llingkungan mikro; m (a) suuhu lingkunggan, (b) kelembaban k udara dan (cc) temperatuure humidityy index (THI)) pada lokasi l peneliitian.
29 0.9 9
Kecepatan angin (m/s)
0.8 8
0.8
(d)
0.9
0 0.7
0.7 7 0.7 0.6 6
0.7
0.6
mean
0.5
0.5 5 0.4 4 0.3 3
Radiasi matahari (watt/m2)
9.00
10.00
11.00 0
12.00
13.00 1
14.00
15.00
(e)
W Waktu Pengam matan (WIB)
G Gambar 6 Rataan polaa perubahann lingkungann mikro; (d)) kecepatan angin, (e) energi radiasi mataharii pada lokasii penelitian. ola perubahaan kondisi ik klim mikro Padaa Gambar 5 dan 6 menuunjukkan po y yang berfluk ktuasi pada lokasi l peneliitian. Pada Gambar terssebut, suhu lingkungan l ( (Ta), THI daan energi rad diasi matahaari (SR) menngilustrasikaan pola perub bahan yang b baku yaitu pola p paraboliik. Nilai Taa (oC), THI dan d SR (wattt/m2) mencaapai puncak p pada pukul 12.00-13.00 1 dan 13.00-114.00 WIB dan d menurunn setelah mejjelang sore h hari. Naik turunnya energi e total radiasi mattahari sangaat mempengaruhi suhu l lingkungan d kelembaaban udara ((RH). Suhu dan kelembbaban udara merupakan dan m d dua faktor iklim yan ng mempenggaruhi prodduksi sapi perah, karrena dapat m menyebabka an perubahann keseimbanngan panas dalam d tubuhh ternak, keseimbangan
30
air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. (McNeilly 2001; Pennington & van Devender 2004). Pada Gambar 5c, ternak mulai mengalami stres ringan pada pukul 09.00 pagi dan stres sedang mulai pada pukul 11.00-14.00 siang. Peningtong and van Devender (2004) bahwa THI>72 mengindikasikan ternak mengalami stress dan THI 83 memberikan pengaruh yang buruk terhadap produksi susu dan kondisi fisiologi ternak. Kondisi iklim seperti ini harus diperhatikan oleh peternak di Indonesia khususnya Bogor untuk mengurangi pengaruh iklim mikro dengan beberapa cara yang disarankan oleh Velasco et al. (2002) melalui perbaikan sirkulasi kandang, manajemen pakan, imbangan nutrisi dan pemberian air minum ad libitum. Berbeda halnya dengan kecepatan angin (Gambar 6d), justru pada saat THI yang tinggi, angin berada pada kecepatan yang rendah. Yani dan Purwanto (2006) bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas. Menurut Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa pemberian kecepatan angin 1.12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi cekaman panas. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Sudono et al. (2003) pakan yang diberikan ke sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan serta periode lingkungan mikro penelitian.
Faktor penting dalam
penyusunan ransum dan tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi. Tabel 11 menunjukkan rataan tingkat konsumsi bahan kering ransum serta pola perubahan pbb sapi perah dara. Konsumsi BK pakan sapi-sapi percobaan berkisar antara 7.0-7.4 kg. Besarnya konsumsi tersebut masih sesuai dengan anjuran NRC (2001) bahwa sapi-sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg dan 300 kg dengan PBB 0.6 kg per hari dibutuhkan BK berkisar 4.9 kg dan 7.4 kg
31
BK per hari. Pada kondisi cekaman panas, efesiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi. Tabel 11 Rataan konsumsi BK, TDN, PK ransum dan analisis ragam PBB sapi perah dara selama perlakuan Perlakuan Peubah A B C D Bahan Kering (kg) : Hijauan 4.2±1.17 4.0±0.98 4.3±0.16 4.1±0.57 Konsentrat 3.2±1.17 3.3±0.98 3.0±0.84 2.9±0.96 TDN (kg) : Hijauan 2.4±0.49 2.3±0.43 2.5±0.05 2.3±0.23 Konsentrat 1.8±0.64 1.9±0.58 1,9±0.55 2.0±0.68 Protein Kasar (kg) : Hijauan 0.33±0.06 0.34±0.08 0.36±0.01 0.34±0.03 Konsentrat 0.37±0.08 0.37±0.09 0.4±0.1 0.39±0.01 Lemak Kasar (kg) : Hijauan 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 Konsentrat 0.2±0.07a 0.19±0.06ab 0.16±0.04b 0.17±0.05ab Serat Kasar (kg) : Hijauan 1.6±0.45 1.5±0.38 1.6±0.06 1.5±0.22 b b a Konsentrat 0.4±0.14 0.38±0.11 0.30±0.08 0.30±0.08a Beta-N (kg) : Hijauan 1.0±0.29 1.0±0.25 1.0±0.04 1.0±0.14 Konsentrat 1.5±0.54 1.5±0.45 1.38±0.38 1.1±0.77 PBB (kg)
0.63±0.08ab
0.68±0.05b
0.65±0.06ab
0.55±0.08a
Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%.
Berdasarkan Tabel 11 di atas, konsumsi BK ransum antara perlakuan B dan C menunjukkan jumlah relatif sama. Konsumsi TDN A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg, 3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg. Konsumsi protein kasar (PK) konsentrat untuk perlakuan A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan 630-850 g. Hasil ini menguatkan data konsumsi BK untuk BB yang tidak berbeda jauh anjuran NRC (2001), sehingga dapat pula dikatakan bahwa untuk sapi perah dara PFH pada BB 240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal pada konsumsi TDN 3.2-4.3 kg dan protein kasar 660-850 gr yang diperoleh pada perlakuan C dengan TDN 65% dan PK 13%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan ransum
32
t terhadap konsumsi BK,, TDN dan PK. Tetapi pada perlaakuan C meenunjukkan p peningkatan n konsumsi PK dengan rataan 750 gram yang masih sesu uai batasan N NRC untuk sapi perah dara. Selaain itu, dilakkukan penguujian konsu umsi lemak k kasar (LK), serat kasar (SK) dan Beta-N. Terddapat perbeddaan yang ny yata antara
Konsumsi BK (kg/hari)
p perlakuan en nergi ransum m konsumsi L LK dan SK konsentrat k (P P<0.01).
Waktu Pengamataan (hari)
G Gambar 7 Rataan R pola konsumsi k BK K ransum peerlakuan sepanjang perioode. ransum A, ransum m B, ransum C, ransum m D. Sumbber energi untuk lemak dan u ternakk adalah zat makanan karbohidrat, k p protein. Karrbohidrat terrdiri atas 2 (ddua) fraksi, yaitu y serat kkasar dan bah han ekstrak t tanpa nitrog gen (Beta-N//pati). Terddapat perbed daan yang saangat mendaasar antara t ternak non-rruminansia dan d ruminannsia dalam menggunakan m n zat makan nan sebagai s sumber eneergi. Sumbeer energi uutama untukk ternak noon-ruminanssia (seperti u unggas, bab bi) adalah Beta-N, B seddangkan sum mber energii utama unntuk ternak r ruminansia adalah seratt kasar. Tyller dan Enseeminger (20006), bahwa persentase r rumput yan ng tinggi daalam ransum m dapat meeningkatkan produksi asam asetat d dalam rumeen, sedangkaan bila persentase konssentrat tingggi dalam ran nsum maka a asam propionat
perseentasenya ddapat melebbihi asam asetat. Asam
asetat
c cenderung m meningkatkan n kadar lemaak susu, seddangkan asam m propionat cenderung m meningkatka an produksi susu. Asam m lemak sussu akan mennurun bila asam a asetat d dalam rumen n kurang darri 40% atauu lebih besarr dari 60% ddalam total asam a lemak t terbang (VF FA).
Tabell 11 menunnjukkan konnsumsi hijauuan yang lebih tinggi,
33
sehingga produksi asam propionat lebih rendah dibandingkan dengan produksi asam asetat.
Gambar 7 menunjukkan pola konsumsi BK ransum yang
mengindikasikan bervariasi.
konsumsi konsentrat seragam dan konsumsi hijauan yang
Pengamatan pada setiap periode (hari 1-21), pemberian ransum
dengan TDN rendah menunjukkan pola konsumsi BK yang meningkat dan pemberian ransum TDN tinggi menunjukkan pola konsumsi yang menurun, hal ini mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari ransum. Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Rahardja (2007), kekurangan
energi pada hewan muda dapat memperlambat pertumbuhan dan menunda pencapaian pubertas, sedangkan kekurangan energi pada sapi laktasi dapat menurunkan produksi susu dan bobot badan. Semakin tinggi energi ransum yang diberikan maka tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro yang tropis basah, sehingga ternak mengatur suhu tubuhnya (termoregulasi) dengan mengurangi konsumsi energi yang berlebihan bagi kondisi suhu tubuhnya. Pertambahan bobot badan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan energi ransum (P>0.05).
Meskipun demikian, rataan PBB dari
perlakuan D dengan TDN konsentrat 70% jauh lebih rendah dibanding dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 0.55 kg per hari. Kondisi tersebut disebabkan tingkat konsumsi BK yang rendah dibanding dengan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan energi ransum yang tinggi menjadi tambahan panas selain suhu lingkungan sehingga ternak mengurangi konsumsi sebagai akibat menghindari produksi panas. Sebagai tambahan, konsumsi energi yang tinggi, tubuh bekerja ekstra dalam fungsi termoregulasi yang meyebabkan penurunan energi yang tercerna serta pelepasan panas dengan menurunkan laju metabolisme energi melalui peningkatan defekasi dan urinasi. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal (Tr) Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengukuran suhu tubuh yang lazim digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih
34
mudah dilakukan pengukurannya daripada parameter suhu tubuh lainnya. Dari hasil pengukuran, pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh berkisar antara 38.639.2oC (Q1-Q3). Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal sapi perah seperti yang dikemukakan Schütz et al. (2009) sebesar 38.2-39.1oC. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendall et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 oC serta 32.2 oC, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39.8oC serta 40 oC. Kondisi suhu yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik untuk pengeluaran panas. Selain suhu lingkungan, konsumsi energi yang berasal dari pakan perlu diperhatikan karena pakan merupakan tambahan beban panas bagi sapi perah. Ilustrasi tentang suhu rektal selama penelitian berlangsung, dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan a
38.7±0.09
a
38.8±0.15
D
b
39.0±0.17 c
Pukul 10.00
38.6±0.11
Pukul 12.00
38.8±0.07 a
38.8±0.87 ab
39.1±0.16 b
39.2±0.09 c
Pukul 14.00
38.7±0.13 a
38.8±0.05 ab
38.9±0.16 b
39.1±0.10 c
Rataan
38.7±0.11
38.7±0.10
38.9±0.09
39.1±0.12
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Data pengukuran suhu rektal sapi-sapi percobaan dianalisis per waktu pengamatan yaitu pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Hal tersebut dilakukan, karena pengamatan saat itu merupakan titik-titik kritis dengan suhu lingkungan dan radiasi matahari yang tinggi. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan energi ransum dalam pengaruhnya terhadap suhu rektal (P<0.01).
Hasil tersebut bisa disebabkan oleh kesamaan atau keseragaman
lingkungan mikro per periode sehingga data yang diperoleh, dipengaruhi oleh perlakuan energi ransum. Perlakuan A dengan energi ransum TDN 55% berbeda nyata dengan perlakuan D dengan energi ransum TDN 70% dalam pengaruhnya terhadap suhu rektal sapi perah dara PFH. Konsumsi Energi TDN yang tinggi, jelas produksi
35
panas yang diperoleh ternak tinggi pula karena energi yang berasal dari ransum merupakan tambahan beban panas selain dari lingkungan mikro. Fungsi tubuh bekerja secara ekstra sebagai termoregulasi untuk menyeimbangkan produksi panas dan pengeluaran panas melalui konsumsi air minum, evaporasi serta aktivitas dalam hal tingkah laku ternak. Perlakuan D dengan energi ransum yang tinggi berpotensi mengakibatkan ternak berada kondisi cekaman panas dengan indikasi rataan suhu rektal lebih dari 39.1oC sementara yang lainnya A, B dan C tergolong kisaran pengaruh yang normal terhadap suhu rektal. Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang ditransfer menjadi energi panas. Menurut Rahardja (2007) bahwa pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah suhu lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, fluktuasi suhu lingkungan dapat mempengaruhi pola perubahan suhu tubuh dan suhu rektal, terutama pada sapi dara yang membutuhkan energi yang efisien untuk fokus pada pertumbuhan. Pada lain hal selain perlakuan, berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh dari efek baris (periode) dan efek kolom (ternak sapi dara) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pengamatan pada pukul 10.00, sapi dan periode berpengaruh sangat nyata. West et al. (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah energi pakan, ukuran tubuh, spesies, bangsa, lingkungan mikro dan pemberian air minum. Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan yang nyata antar perlakuan pada setiap waktu pengamatan dan tidak berbeda nyata pada ternak sapi sebagai efek kolom dan periode sebagai efek baris terhadap suhu rektal. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Kulit (Ts) Rataan suhu permukaan kulit sapi-sapi selama perlakuan bervariasi antara o
36,6 C sampai 37,9oC yang terlihat pada Tabel 13. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33.5 oC-37.1oC (Tucker et al. 2008). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diberi perlakuan, sebagian besar mengalami cekaman panas.
36
Pada penelitian ini terdapat hasil suhu kulit yang berbeda antar perlakuan energi ransum (P<0.05) per waktu pengamatan. Perlakuan A, B berbeda dengan perlakuan C dan D dalam pengaruhnya terhadap suhu permukaan kulit ternak sapi. Rataan suhu yang diperoleh dari total waktu pengamatan yaitu perlakuan A (36.7±0.14oC), B (36.8±0.10 oC), C (37.5±0.07 oC) dan D (37.8±0.14 oC) Berdasarkan analisis sidik ragam, ternak sebagai efek kolom tidak berpengaruh nyata dalam hasil suhu kulit yang diperoleh, berbeda dengan efek baris yaitu periode pada pukul 10.00 berpengaruh sangat nyata dan pukul 12.00 dan 14.00 berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan adanya keseragaman lingkungan mikro selama penelitian berlangsung per periode. Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan a
a
D
36.7±0.62
b
37.5±0.45
37.7±0.30b
Pukul 10.00
36.6±0.51
Pukul 12.00
36.9±0.44a
36.9±0.60a
37.6±0.41b
37.9±0.23b
Pukul 14.00
36.7±0.52a
36.8±0.51a
37.5±0.39b
37.8±0.19b
Rataan
36.7±0.14
36.8±0.10
37.5±0.07
37.8±0.14
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Tabel 13 mengilustrasikan bahwa terdapat variasi data suhu permukaan kulit yang memperoleh perlakuan level energi ransum yang berbeda. Berdasarkan uji lanjut, perlakuan A dan B memberikan pengaruh yang sama dengan energi TDN 55% dan 60% nilai < 37oC sedangkan C dan D dengan TDN 65% dan 70 nilai suhu kulit > 37oC. Cekaman panas waktu siang hari dengan suhu lingkungan yang tinggi lebih besar dibandingkan dengan malam hari, sehingga pengeluaran panas secara sensible tertekan. Selain itu, tingginya RH juga menghambat proses pelepasan panas secara evaporasi heat loss. Rahardja (2007) menyatakan bahwa adanya tambahan panas yang berasal dari pakan mengakibatkan suhu kulit, suhu tubuh meningkat sebagai upaya untuk menyeimbangkan panas yang diperoleh ternak.
37
Pola perubahan suhu permukaan kulit ternak sapi, seirama dengan tingkat panas yang diterima.
Kulit merupakan organ terluar penerima panas yang
suhunya secara langsung mengikuti perubahan suhu lingkungan dan pada Gambar 8 yang menunjukkan level energi ransum yang berbeda mempengaruhi secara tidak langsung terhadap panas yang diproduksi oleh ternak. Isnaeni (2006), kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsifungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan vitamin D. Menurut Martini (2006) menyatakan bahwa kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit
pembuluh
darah
(vasokonstriksi)
sehingga
mengurangi
pengeluaran panas oleh tubuh. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh (Tb) Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ diluar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Rataan suhu tubuh ternak sapi selama perlakuan energi ransum berkisar antara 38.3oC sampai 39.06 oC yang disajikan pada Tabel 14. Nilai kisaran tersebut masih tergolong yang normal 38.3-38.6oC pada suhu lingkungan yang nyaman (Schütz et al. 2008), pengecualian suhu tubuh 39.06 oC mengindikasikan ternak mengalami cekaman panas. Nilai tersebut diperoleh pada waktu pengamatan pukul 12.00 WIB dengan perlakuan D energi TDN tinggi 70%. Pola perubahan suhu tubuh sapi-sapi selama perlakuan sesuai dengan pola perubahan suhu rektal. Suhu rektal mempunyai pengaruh sebesar 86% terhadap suhu tubuh, sedangkan suhu kulit pengaruhnya sebesar 14% (McLean et al. 1983). Besarnya cekaman panas yang dicerminkan oleh nilai suhu tubuh sebagian besar dipengaruhi oleh besarnya nilai suhu rektal dan sebagian lagi sisanya oleh suhu
38
kulit.
Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima rangsangan
panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat pengatur panas yang juga di hipotalamus untuk melakukan usaha-usaha penurunan produksi atau pengeluaran panas (Isnaeni 2006). Tabel 14 Pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh (oC) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C Pengamatan
D
Pukul 10.00
38.3±0.16a
38.4±0.15a
38.7±0.18b
38.8±0.17c
Pukul 12.00
38.6±0.09a
38.6±0.15a
38.8±0.18b
39.06±0.09c
Pukul 14.00
38.5±0.17a
38.5±0.11a
38.7±0.15b
38.9±0.09c
Rataan
38.5±0.12
38.5±0.10
38.7±0.09
38.9±0.12
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Perlakuan C dan perlakuan D memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suhu tubuh, suhu rektal maupun suhu kulit.
Kedua perlakuan ini
memberikan makna besar karena memiliki energi TDN ransum yang tinggi sehingga suhu tubuh meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi
lingkungan yang panas, jumlah konsumsi energi ransum ikut menambah beban panas tubuh.
Isnaeni (2006) bahwa suhu tubuh pada kebanyakan hewan
dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Dilain hal, burung dan mamalia dapat mengatur suhu tubuh mereka tetap konstan meskipun suhu lingkungan eksternalnya berubah-ubah. Hewan yang termasuk homeoterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan sekalipun suhu lingkungannya berubah. Rahardja (2007) menyatakan bahwa ternak mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Sekalipun demikian, hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh ternak sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya, untuk memperoleh panas.
39
Pertukaran panas antara ternak dan lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi. Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (Hr) Pengaruh perlakuan energi ransum serta kombinasinya pada suhu lingkungan terhadap denyut jantung sapi perah dara disajikan pada Tabel 15. Rataan denyut jantung (Hr) sapi-sapi percobaan berkisar antara 61.9-74.2 kali/ menit. Nilai rataan ini hampir sama dengan hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan denyut jantung antara 52-76 kali/menit dan hasil penelitian Seath dan Miller (2008) yang mendapatkan nilai rata-rata 80.6±3 kali per menit pada kisaran suhu lingkungan 31oC. Tabel 15 Pengaruh perlakuan terhadap denyut jantung (kali/menit) (x ±SD) Perlakuan
Waktu Pengamatan Pukul 10.00
61.9±6.40
Pukul 12.00
A
B a
C a
D
64.4±3.17
68.5±4.37
b
71,.±4.47b
64.3±2.04 a
66.5±3.49 a
72.6±5.04 b
74.2±5.76 b
Pukul 14.00
62.3±2.02 a
64.5±4.62 a
69.6±3.66 b
70.9±5.97 b
Rataan
62.8±1.28
65.1±1.16
70.2±2.10
72.3±1.66
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antar perlakuan setiap waktu pengamatan. Sebagai tambahan, ternak sapi sebagai efek kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap denyut jantung sedangkan periode sebagai efek baris berpengaruh nyata pada setiap pengamatan denyut jantung (P<0.05).
Ada kecendrungan sapi-sapi yang memperoleh perlakuan energi
ransum yang tinggi, menunjukkan Hr yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan aktivitas metabolisme sapi. Sapi yang memperoleh produksi panas yang tinggi mengakibatkan aktivitas metabolisme yang cepat daripada sapi yang memperoleh produksi panas yang lebih rendah. Isnaeni (2006) bahwa produksi panas yang tinggi cenderung meningkatkan Hr yang merupakan mekanisme untuk menjaga tekanan darah stabil akibat dilatasi pembuluh darah. Disamping itu juga ikut membantu penyebaran
40
dan perpindahan panas dari dalam tubuh ke permukaan tubuh. Keadaan ini tentu saja membantu proses pelepasan panas baik sensible maupun evaporasi. Jantung merupakan organ vital pada seluruh aktivitas tubuh ternak, termasuk pengaturan suhu tubuh. Isnaeni (2006), bahwa aktivitas denyut jantung memiliki hubungan yang erat dengan laju respirasi. Hal ini berkaitan dengan fungsi jantung dan darah. Jantung berperan untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dan darah berperan sebagai media transportasi oksigen dan karbondioksida dan panas tubuh. Aktivitas kerja jantung dikendalikan secara alami oleh pengatur irama yang disebut nodus sinotrialis. Pengatur irama ini menghasilkan suatu impuls periode kontraksi (systole) dan periode relaksasi (diastole).
Nodus
sinotrialus menghasilkan antara 60 hingga 72 impuls seperti ini setiap menit ketika jantung sedang santai.
Melalui otak, jantung dipengaruhi oleh sistem
syaraf simpatetik dan parasimpatetik yang diatur oleh hipotalamus. Hipotalamus memiliki set-point yang kinerjanya mirip thermostat. Jika suhu tubuh melebihi suhu set-point, maka sinyal saraf menginisiasi mekanisme pendinginan. Begitu pula sebaliknya, jika suhu tubuh lebih rendah dari suhu set-point, maka sinyal syaraf menginisiasi mekanisme penyimpanan panas. Pengukuran siang hari menunjukkan semua perlakuan mengalami peningkatan denyut jantung, karena siang hari organ pembuluh darah yaitu pembuluh kapiler mengalami perluasan kapasitas pembuluh darah (vasodilatasi) dan terjadi penyesuaian laju darah. Vasodilatasi ini memberikan sinyal kepada hipotalamus untuk memerintahkan jantung memompa darah ke seluruh tubuh lebih banyak. Peningkatan aktivitas memompa darah inilah yang disebut dengan peningkatan denyut jantung. Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi (Rr) Aktivitas respirasi menurut Isnaeni (2006) memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer meliputi aktivitas pertukaran oksigen dengan karbondioksida, sedangkan fungsi sekunder meliputi aktivitas membantu mengendalikan suhu tubuh, regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, eliminasi air dan pembentukan suara (fonasi). Pada pembahasan kali ini lebih menitikberatkan kepada fungsi respirasi sebagai mekanisme pelepasan panas.
41
Data mengenai frekuensi respirasi (Rr) dan pola perubahan selama perlakuan energi ransum disajikan pada Tabel 16. Rataan Rr sapi-sapi percobaan berkisar antara 54.8-66.5 kali per menit, dengan nilai terendah diperoleh pada waktu pengamatan pukul 10.00 dan nilai tertinggi diperoleh pada pengamatan pukul 12.00 (siang) WIB. Rataan Rr ini masih tergolong kisaran normal sapi perah sesuai hasil penelitian McNeilly (2001) yaitu 27-56 kali per menit dengan suhu lingkungan 2oC dan 26.7oC. Hal ini juga didukung penelitian Yani dan Purwanto (2006) menyatakan respon respirasi akibat pengaruh radiasi matahari Bogor dengan sapi berada di naungan mencapai Rr 68 kali per menit. Tabel 16 Pengaruh perlakuan terhadap frekuensi respirasi (kali/menit) (x ±SD) Perlakuan Waktu A B C D Pengamatan Pukul 10.00
54.8±2.16 a
56.3±2.34 a
62.4±3.12 b
64.1±2.20 b
Pukul 12.00
57.5±1.82 a
59.0±2.45 b
65.1±2.40 c
66.5±2.45 c
Pukul 14.00
55.6±2.31 a
56.9±0.73 a
62.9±2.76 b
63.8±2.43 b
Rataan
55.9±1.34
57.4±1.41
63.5±1.43
64.8±1.48
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Data menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan dalam pengaruhnya terhadap laju respirasi (P<0.01). Waktu pengamatan pada pukul 12.00 WIB, menunjukkan frekuensi respirasi yang tinggi dimana ternak berada pada suhu lingkungan yang panas pada siang hari, serta lebih signifikan bila memperoleh giliran perlakuan energi ransum yang tinggi. Uji lanjut menampilkan pada pengamatan pukul 12.00 bahwa terdapat klasifikasi perlakuan dengan energi TDN rendah (A dan B), energi TDN medium (perlakuan C), dan energi TDN tinggi (perlakuan D). Kondisi suhu lingkungan yang tinggi dan adanya radiasi matahari menyebabkan aktivitas termoregulasi meningkat. Hal ini berarti proses pengeluaran panas secara sensible tidak mencukupi untuk mengeluarkan beban panas, sehingga proses pengeluaran panas evaporasi menjadi aktif yaitu meningkatnya laju pernafasan.
42
Hasil akhir dari aktivitas biologi organisme tingkat tinggi adalah CO2, energi (ATP) dan panas. Semakin besar oksidasi biologi yang berlangsung dalam tubuh ternak, maka semakin banyak CO2, energi dan panas yang dihasilkan tubuh. Peningkatan ini berimplikasi pada peningkatan laju respirasi. McNeilly (2001), menerangkan peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik. Peningkatan panas dapat mengakibatkan peningkatan respirasi, karena saat ternak meningkatkan laju respirasi, jumlah panas yang dikeluarkan mencapai 30% dari total panas yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu sapi perah. Produksi susu yang lebih tinggi menyebabkan panas tubuh metabolis yang diproduksi juga lebih tinggi, sehingga frekuensi respirasi lebih berfluktuasi untuk menjaga kestabilan panas di dalam tubuh. Stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera mempengaruhi proses fisiologis pada sapi. Terdapatnya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan suhu antara suhu tubuh dan lingkungannya. Tingkah Laku Ternak Sapi-sapi yang digembalakan di padang rumput, tidak memiliki batasan pergerkana aktivitas tubuhnya. Berbagai tingkah laku adaptasi yang dilakukan ternak terhadap kondisi lingkungan pada sapi yang digembalakan antara lain tingkah laku grazing (merumput), shade use (bernaung), sosial, lying (berbaring), standing not grazing (berdiri), rumination (ruminasi), agonistik, playing (bermain) (Philips 2002). Panjangnya waktu merumput siang hari bervariasi tergantung dari tingkat stres sapi terhadap iklim, bangsa dan tipe, kualitas dan kuantitas pastura yang tersedia. Schütz et al. (2008) bahwa batasan waktu merumput sapi yang dilepas atau digembalakan adalah 4-9 jam per hari tergantung pada kondisi kualitas pastura, kondisi iklim (hujan, panas, angin, dll) dan kompetisi dengan ternak
43
lainnya. Ditemukan sapi-sapi dengan kondisi merumput yang rendah oleh karena kondisi lingkungan yang tidak nyaman untuk ternak. Pada penelitian ini dimana ternak sapi dilepas ke area penggembalaan, terlebih dahulu diberikan perlakuan energi ransum saat pagi hari dan sore hari. Akhirnya pada Tabel 17 menunjukkan persentase tingkah laku merumput di area penggembalaan sangat rendah yaitu berkisar antara 6.7%-9% (24-33 menit) per pengamatan 6 jam (pukul 09.00-15.00 WIB). Schütz et al. (2009) melaporkan bahwa rataan tingkah laku merumput (eating) selama pengamatan 6 jam mencapai 45%, serta Muller dan Schrader (2003) bahwa tingkah laku makan dari ke empat sapi sebesar 17.2%-42.9% selama pengamatan sehari dimana hasil ini disebabkan adanya perbedaan jenis pakan, suhu lingkungan serta jenis sapi yang digunakan. Tabel 17 Pengamatan tingkah laku ternak di area penggembalaan selama 6 jam (pukul 09.00-15.00) Tingkah laku Lama tingkah laku dengan energi ransum A B C D 0.54 0.46 0.4 0.42 Grazing Standing not grazing
4.0
3.9
3.8
3.8
Lying
1.46
1.64
1.8
1.78
Rumination *)
0.9
1.08
0.93
0.93
*) Rumination merupakan bagian dari kegiatan Lying Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dari kedua laporan tersebut sesuai dengan penjelasan Muller dan Schrader (2003) dan sebelum dilepas atau digembalakan, sapi pada penelitian ini terlebih dahulu diberi pakan sehingga aktivitas merumputnya sangat rendah.
Pemberian perlakuan energi
ransum yang tinggi (seperti C dan D) menyebabkan tambahan konsumsi di area penggembalaan lebih rendah dibanding energi ransum A dan B.
Hal ini
disebabkan ransum merupakan tambahan beban panas bagi tubuh, sehingga pada siang hari, ternak mengurangi konsumsi ransum. Pada penelitian ini sebagai tambahan juga dilakukan pengamatan frekuensi minum
yang diperoleh
meningkat pada siang hari sebagai upaya untuk menyeimbangkan panas tubuhnya. Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi).
Pakan berserat (hijauan) yang dimakan
ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan
44
yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Tabel 17 menunjukkan sedikit variasi atau bisa dikatakan hampir seragam lama ruminasi oleh pengaruh perlakuan energi ransum. Korelasi positif yang diperoleh antara waktu merumput dan lama ruminasi, semakin banyak waktu merumput maka semakin lama ruminasi dari seekor ternak. Hasil yang diperoleh dari pengamatan ruminasi ini yaitu berkisar antara 15.4%-18% (55-65 menit) selama 6 jam dengan rata-rata frekuensi ruminasi antara 5-7 kali. Hal ini sesuai dengan Acatincăi et al. (2009) bahwa lama ruminasi sapi romanian black and white pada musim panas yang bersuhu 31.76oC yaitu rata-rata 350.6 menit, frekuensi 14.6 kali dengan durasi rata-rata ruminasi 24.8 menit selama pengamatan sehari (24 jam). Persentase hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang diperoleh. Banyak
peternakan
rakyat
yang
masih
belum
memaksimalkan
kenyamanan pada sapi perah. Perlu diketahui bahwa observasi dan pengalaman menunjukkan bahwa sapi yang berada di kandang yang nyaman, memproduksi lebih banyak susu dan secara umum lebih sehat, hidup lebih lama. Tingkah laku berbaring dan berdiri dari pengaruh perlakuan yaitu berkisar antara 26.1-27.2% dan 64-67%. Terdapat korelasi positif antara waktu berbaring ternak dengan produktivitas ternak, serta korelasi negatif antara lama berdiri, waktu berbaring serta produktivitas ternak. Menurut Schütz et al. (2009) bahwa sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu mereka tidur hanya 30 menit. Saat permukaan bedding tidak nyaman, sapi akan mengurangi waktu istirahat mereka. Jika sapi tidak dapat berbaring, mereka akan berdiri terlalu lama dan ini akan mengganggu siklus tingkah laku naturalnya. Sapi akan berdiri terlalu lama dan mengurangi makan dan minum. Pengurangan frekuensi ke tempat pakan dan kurangnya konsumsi bahan kering. Selain itu, cuaca, kualitas bedding, tipe kandang dan kepadatan ternak dalam kandang juga mempengaruhi lamanya dan
45
frekuensi berbaring. Sapi butuh untuk berbaring karena pengurangan waktu berbaring, akan mengurangi produksi susu. Pada penelitian ini, juga dilakukan pengamatan frekuensi defekasi, urinasi, tingkah laku agonistik dan allelomimetik. Frekuensi defekasi 5.3-5.6 kali dan urinasi untuk A dan B 6.4 kali, C 5.9 kali dan D 6.9 kali. Hasil yang diperoleh tersebut dari pengaruh perlakuan pakan yaitu hampir seragam dengan rentang selama 6 jam pengamatan. Tingkah laku agonistik dan allelomimetik pada penelitian ini, tidak terekspresikan secara jelas atau frekuensinya rendah karena kebutuhan pakan terpenuhi serta naungan yang cukup luas.
Abeni (2000)
menyatakan bahwa defekasi merupakan salah satu upaya ternak untuk mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara membuang feses, yaitu salah satu produk sisa organ pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi didegradasikan dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh. jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, selain itu suhu lingkungan pada sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urin yang dikeluarkan oleh seekor sapi.
Selain itu, pengamatan tingkah laku bernaung
dilakukan selama 6 jam di area penggembalaan. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 18. Pemberian naungan merupakan suatu upaya untuk mengurangi beban panas ternak dengan cara melindunginya dari radiasi langsung pancaran panas matahari sehingga dengan adanya naungan ini, proses termoregulasi dapat berlangsung dengan baik.
Pengaruh dari pancaran radiasi langsung matahari
terhadap respons termoregulasi dapat dijadikan indikator untuk menilai sejauh mana efektifitas dan daya dukung naungan dalam membantu melindungi ternak dari radiasi langsung panas matahari. Yani dan Purwanto (2006) bahwa sapi FH di daerah Darmaga, Bogor, mulai mencari tempat berteduh pada saat radiasi matahari di atas 450 watt/m2. Pada kondisi ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas, sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan. Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77.38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami
46
cekaman panas maksimal dari radiasi matahari pada pukul 12.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 watt/m . 2
Tabel 18
0900 - 1000
Intensitas rata-rata lama bernaung ternak selama pengamatan perlakuan RM Rata-rata lama bernaung (menit) (watt/m2) A B C D 282 10.8±2,75 10.0±3.89 23.1±5.11 22.5±9.8
1000 - 1100
Pengamatan
313
32.8±1,51
35.5±5.24
42.2±3.12
38.0±3.5
00
00
389
38.7±5,41
40.0±7.72
47.4±4.30
45.5±5.7
00
00
426
42.4±5,34
44.3±9.02
50.8±2.95
48.9±10.4
00
00
419
31.3±1,87
26.3±10.17
30.6±5.54
29.6±0.80
00
00
290
16.6±4,00
16.4±0.95
16.5±3.51
15.1±4.25
a
b
11 - 12 12 - 13 13 - 14 14 - 15 Total
172.6±12,4
Rataan
28.7±12.46
a
172.4±13.6
210.8±13.8
199.7±13.2b
28.7±13.60
35.1±13.87
33.3±13.22
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01) A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%
Tingkah
laku
bernaung
sapi-sapi
yang
dikeluarkan
ke
padang
penggembalaan pada pagi (pukul 09.00-10.00) dan menjelang sore hari (pukul 14.00-15.00) lebih banyak diluar naungan, dengan aktivitas merumput, bermain (playing) dan standing not grazing (berdiri tanpa merumput).
Kondisi ini
disebabkan kondisi lingkungan mikro dan makro seperti suhu lingkungan dan radiasi matahari belum meningkat di pagi hari dan menurun menjelang sore hari. Pada siang hari yang panas pada selang antara pukul 09.00-14.00 ternak mengalami cekaman, pengamatan lebih banyak berada di dalam naungan dengan posisi berdiri tanpa banyak melakukan aktivitas gerakan untuk mengurangi peningkatan metabolisme panas tubuh. Suhu lingkungan mencapai puncak pada pukul 12.00-13.00 yang diikuti dengan tingkah laku berbaring, istirahat untuk melakukan kegiatan ruminasi. Terdapat dua pola lama bernaung akibat pengaruh perlakuan energi ransum, pertama yaitu energi ransum rendah A dan B selama 172.6 dan 172.5 menit dengan rataan lama bernaung 28.7 dan 28.77 menit, kedua yaitu energi ransum tinggi C dan D selama 210.75 dan 199.67 menit dengan rataan lama
47
bernaung 35.13 dan 33.28 menit.
Energi ransum yang tinggi menyebabkan
metabolisme dalam tubuh meningkat sebagai beban tambahan panas sehingga proses termoregulasi dan tingkah laku berubah dengan mencari naungan. Meskipun demikian, pola perubahan lama bernaung per pengamatan seragam yaitu lama bernaung mulai meningkat pada siang hari dan turun menjelang sore hari, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Hal ini berarti, lingkungan mikro seperti suhu lingkungan, radiasi matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap lama bernaung ternak. 60.0
Lama bernaung (menit)
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 09.‐10.
10.‐11.
11.‐12.
12.‐13.
13.‐14.
14.‐15
Waktu Pengamatan
Gambar 8
Pola perubahan lama bernaung per pengamatan perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C, ransum D.
Hubungan antara Lama Bernaung (LB) Sapi Perlakuan dengan Suhu Lingkungan (SL) dan Radiasi Matahari (RM) Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan, sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya untuk mempertahankan panas tubuhnya agar tidak naik akibat cekaman panas dari suhu lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi akan bernaung lebih lama dengan intensitas yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas lama bernaungnya karena angin dapat mereduksi panas tubuh sapi FH. Pemberian naungan seperti kandang, dapat mengurangi cekaman panas tubuh sapi FH terutama pada siang hari. Total pengurangan panas tubuh ternak dengan naungan dapat mencapai 30-50% (Tucker et al. 2008). Cara
48
ternak sapi FH dalam mencari naungan sangat tergantung dari iklim mikro seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin. Hubungan antara lama bernaung (LB) per perlakuan sebagai variabel terikat dengan suhu lingkungan dan radiasi matahari sebagai variabel bebas dinyatakan dalam persamaan : LB A = -33.7 + 1.64 Ta + 0,037 SR
LB C = 26.3- 0.17 Ta + 0.0367 SR
LB B = -63.1 + 2.67 Ta + 0,0298 SR
LB D = 10.1 + 0.31 Ta + 0.043 SR
Antara peubah bebas (Ta dan SR) tidak ada korelasi yang tinggi yang berarti layak dibuat persamaan antara peubah LB dan peubah Ta dan RM. Persamaan regresi untuk setiap perlakuan energi ransum dapat dilihat di atas, namun kurang baik karena koefisien determinasinya rendah yaitu rsquare untuk A:0.294, B:0.245, C:0.10 dan D:0.176. Dari analisis ragam terlihat bahwa semua model atau persamaan cukup baik/sesuai karena berpengaruh nyata A (P<0.01), B (P<0.01), C (P<0.05) dan D (P<0.01) antara peubah bebas (Ta dan SR) dan peubah terikat (LB), serta pengujian parameter berpengaruh nyata sampai batas taraf nyata 3%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika terjadi
perubahan pada SL dan RM akan mengakibatkan perubahan secara signifikan terhadap lama bernaung sapi perah dara PFH. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Respons Termoregulasi Tingkat kandungan energi pakan yang dikonsumsi ternak merupakan manifestasi produktivitas yang akan ditampilkan. Namun pada suhu lingkungan yang panas, tingginya kandungan energi pakan merupakan beban tambahan panas. Keadaan ini menyebabkan ternak tidak mampu menampilkan produktivitas secara optimal apabila dipelihara di daerah beriklim tropis, sehingga menurunkan efesiensi pakan.
Konsumsi energi ransum pada penelitian ini menyebabkan
respons termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr, Rr mengalami peningkatan dari perlakuan A ke perlakuan D. Akibat dari kenaikan kandungan tingkat energi yang dikonsumsi ternak, maka produksi panas tubuh akan mengalami peningkatan pula. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan core body temperature (suhu organ dalam) yang diwakili oleh suhu rektal. Tabel 12 menunjukkan bahwa suhu rektal meningkat
49
sangat nyata (P<0.01) sesuai dengan peningkatan energi ransum yang dikonsumsi sapi perlakuan. 3 9 .1 3 9 .0
Suhu tubuh (oC)
3 8 .9 3 8 .8
Tb (oC)
3 8 .7 3 8 .6 3 8 .5
Tb = 37.5 +0.262 TDN R2 = 0.966 ; P<0.01
3 8 .4 3 8 .3 3 8 .2 3 .0
3 .5
4 .0 4 .5 5 .0 Ko ns um s i T DN (kg/ha ri)
5 .5
6 .0
Konsumsi TDN (kg)
Gambar 9
Persamaan regresi antara konsumsi TDN dengan suhu tubuh (Tb) ternak sapi dari perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C dan ransum D.
Peningkatan suhu rektal juga berkaitan dengan panas yang dibentuk oleh proses metabolisme konsumsi pakan di dalam tubuh. Tingginya metabolisme intake energi tersebut, terjadi peningkatan denyut jantung sangat nyata (P<0.01) yang ditunjukkan pada Tabel 15, dimana peningkatan produksi panas berkaitan dengan proses fermentasi, absorbsi, transportasi dan penyimpanan pakan. Fungsi jantung dan salurannya sebagai alat transportasi (hasil metabolisme, hormon, cairan tubuh lainnya) dan alat pengatur keseimbangan panas (Frandson 1992). Alat pengatur keseimbangan tersebut menyebabkan panas dari dalam tubuh untuk dibuang keluar atau sebaliknya membawa panas dari kulit untuk didistribusikan
ke
semua
organ
akhirnya
keseimbangan untuk melakukan reaksi.
mendorong
organ
pengatur
Peningkatan denyut jantung akan
membantu pengangkutan oksigen dan sekaligus memindahkan panas metabolik ke permukaan tubuh, sehingga proses pelepasan panas dapat terjadi melalui jalur sensible dan evaporasi.
Pelepasan panas tersebut meningkatkan secara nyata
(P<0.01) frekuensi respirasi yang ditunjukkan pada Tabel 16, dengan energi metabolisme yang diperoleh dari konsumsi ternak. Hal ini berkaitan dengan usaha ternak melakukan pertukaran udara yang lebih dingin di luar tubuh dengan udara di dalam tubuh.
50
Proses pelepasan panas berlangsung melalui pernafasan, juga terjadi pelepasan panas dengan evaporasi melalui kulit secara nyata (P<0.01) pada Tabel 13. Pelepasan panas dengan jalur ini mengakibatkan suhu kulit meningkat, karena kelenjar kulit bekerja aktif membuang panas yang tersimpan oleh keringat di dalamnya. Kondisi ini juga mempengaruhi suhu tubuh yang meningkat secara nyata (P<0.01) pada perlakuan energi ransum. Terdapat hubungan antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi respirasi (Rr) dan yang diilustrasikan pada Gambar 10. 67.5
Rr (kali/menit) Rr (kali/menit)
65.0
62.5
60.0
Rr = ‐615 + 17.5 Tb R2 = 0.9055 ; P<0.01
57.5
55.0 38.4
38.6
38.8
39.0
Tb (oC)
Tb (oC)
Gambar 10
Persamaan regresi antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi respirasi (Rr) ternak sapi dari perlakuan energi ransum.
Hubungan antara Rr dan Tb diperoleh model persamaan yaitu Rr = -615 + 17.5 Tb. Berdasarkan persamaan ini diperoleh hasil pengujian bahwa suhu tubuh berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi respirasi dengan peluang nyata 0.0001. Disamping itu koefisien determinasi yang dihasilkan cukup tinggi 0.9055 artinya 90.5% keragaman dari Rr dapat dijelaskan oleh model regresi sederhana ini. Peningkatan suhu tubuh sebanyak 0.2oC akan meningkatkan Rr sebesar 17.5 kali/menit. Produksi panas yang diperoleh dengan indikator Tb yang meningkat menyebabkan pengeluaran panas yang tinggi pula melalui Rr secara sensible serta Ts secara evaporasi. Pada penelitian ini, pengamatan respons termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr dan Rr dilakukan pada setiap 2 jam mulai pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Pemberian ransum setiap 2 kali sehari yaitu pagi pada pukul 07.30 dan sore hari pukul 15.00. Respons termoregulasi mulai meningkat pukul 10.00 dan mencapai puncak antara pukul 12.00-13.00 serta menurun menjelang sore hari
51
pada pukul 14.00, seperti terlihat pada Tabel 12 (Tr), Tabel 13 (Ts), Tabel 14 (Tb), Tabel 15 (Hr) dan Tabel 16 (Rr).
Selain pengaruh lingkungan mikro,
konsumsi energi pakan juga bertanggung jawab terhadap proses termoregulasi yang dihasilkan. Respons termoregulasi tertinggi ditunjukkan pada pengamatan pukul 12.00 WIB yang disebabkan suhu lingkungan yang tinggi dan terjadi proses metabolisme energi di dalam tubuh. Frandson (1992) bahwa proses ruminasi, absorpsi dan metabolisme energi berlangsung 2-5 jam setelah ternak makan. Untuk menghasilkan energi, karbohidrat (glukosa), protein dan lemak
akan
berlangsung dua mekanisme utama yaitu secara anaerobik dan aerobik. Pada tahap aerobik, metabolisme energi menggunakan bantuan oksigen (respirasi seluler). Peningkatan transport O2 dalam darah ini menyebabkan peningkatan kontraksi dan relaksasi organ jantung. Berbeda halnya hubungan antara LB dan lingkungan mikro, pada model regresi ini (Gambar 9), baik untuk digunakan karena mempunyai koefisien determinasi (r) yang cukup tinggi yaitu 0.921 artinya 92.1% keragaman dari lama bernaung dapat dijelaskan oleh model regresi linier sederhana ini.
Hasil
pengujian menunjukkan bahwa TDN intake berpengaruh nyata terhadap lama bernaung sapi perah dara dengan peluang nyata sebesar 0.0001. Peningkatan TDN intake 1 kg akan mengubah lama bernaung 32 menit. 240
LB (menit)
Lama bernaung (menit)
220 200 180
160 140 120 3.0
Gambar 11
3.5
4.0 4.5 5.0 Konsumsi TDN (kg) Konsum si T DN (kg/hari)
5.5
6.0
Persamaan regresi kubik antara lama bernaung (LB) dan konsumsi TDN ternak dari perlakuan energi ransum. ransum A, ransum B, ransum C dan ransum D.
52
Gambar 11 menunjukkan hubungan yang erat antara lama bernaung ternak dengan konsumsi TDN. Konsumsi TDN yang tinggi diikuti dengan peningkatan frekuensi lama bernaung ternak. Konsumsi TDN 3.0-4.5 kg/hari menunjukkan ternak tidak mengalami cekaman panas yang dibuktikan suhu tubuh ternak berada pada kisaran normal 38.3-38.7oC seperti yang terlihat pada Gambar 9. Begitu halnya dengan hubungan ini, konsumsi TDN konsentrat 55-60% menghasilkan frekuensi lama bernaung yang lebih rendah dibanding konsumsi TDN konsentrat 65-70%.
Konsumsi TDN lebih dari 4,5 kg/hari menunjukkan cekaman panas
pada sapi perah yang dibuktikan frekuensi lama bernaung yang tinggi akibat kombinasi pengaruh lingkungan mikro dan konsumsi energi yang tinggi. Hubungan non linier antara konsumsi TDN ternak terhadap lama bernaung (Gambar 15) didapatkan model persamaan yaitu : LB = -691.6 + 532.3 TDN -109.1 TDN2 + 7.7 TDN3 Model persamaan tersebut baik untuk digunakan karena mempunyai koefisien determinasi sebesar 0.985, artinya 98.5% dari persamaan ini dapat menjelaskan keragaman lama bernaung ternak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi TDN berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan frekuensi bernaung ternak dengan peluang 0.001.
Lama bernaung ternak juga merupakan salah satu
indikator untuk penilaian bahwa ternak tersebut mengalami cekaman panas dari lingkungan dan energi ransum.