IV
A.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Karakteristik KIBARHUT dianalisis secara deskriptif mencakup kondisi dan ciri
umum pembangunan hutan bersama rakyat, aturan yang dipergunakan, pelaku yang terlibat, hubungan kontraktual KIBARHUT, dan analisis perilaku oportunis (postcontractual opportunistic behavior). 1.
Kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat Pembangunan hutan dilakukan pada lahan milik dan lahan negara untuk
keperluan non-industri dan industri. Khusus di Pulau Jawa, pembangunan hutan di kawasan hutan negara dilakukan Perum Perhutani dan umumnya bekerjasama dengan penduduk melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM dimulai tahun 2001 dengan ciri bersama, berdaya, dan berbagi berbasis lahan dan non lahan. Dalam implementasi PHBM, masyarakat mendapat bagi hasil sebagaimana diatur SK No. 001/KPTS/DIR/2002. Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan sistem menjadi PHBM Plus37 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Kegiatan penanaman yang dilakukan Perum Perhutani selain melibatkan petani desa sekitar hutan, juga bekerjasama dengan pihak ketiga (mitra kerja usaha). Kerangka kerjasama usaha berpedoman pada SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani. Implementasi kegiatan tersebut di kabupaten contoh adalah di KPH Tasikmalaya, Unit III Jawa Barat dan Banten (KPH Tsm) dan KPH Probolinggo, Unit II Jawa Timur (KPH Proling). KPH Tsm bersama PT. Bineatama Kayone Lestari (BKL) melakukan penanaman Albasia38 pada tahun 2004 dan 2005. KPH Proling bersama PT. Kutai Timber Indonesia (KTI) menanam FGS jenis Sengon, Gmelina, Anggrung, Waru Rangkang, dan Jabon semenjak tahun 2006. 37
Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan PHBM diantaranya adalah (i) sinergitas dengan pemerintah daerah dan stakeholders belum maksimal; (ii) masih berbasis kegiatan kehutanan; (iii) kurang fleksibel; (iv) pelaksanaan bagi hasil belum dilaksanakan secara merata. 38 Penduduk Jawa Barat menyebut Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Albasia atau Albiso. Penyebutan selanjutnya menggunakan kata “Sengon” sebagai istilah yang lebih umum dikenal.
58
Sampai dengan tahun 2007, realisasi PHBM dengan melibatkan mitra usaha (INPAK ) di KPH Tsm sekitar 862,45 ha dan KPH Proling sekitar 331 ha. Pada tahun tanam 2008, pelaksanaan di KPH Proling dilakukan di 4 RPH dengan luasan 302,40 ha. Keempat RPH tersebut yaitu Segaran (70,1 ha), Pakuniran (106,40 ha), dan Kaliacar (95,10 ha) untuk jenis Sengon, serta jenis Gmelina ditanam di Matikan (30,80 ha). Pembangunan hutan di kawasan non-hutan negara dilakukan di lahan milik, dan dikenal sebagai hutan rakyat. Data di 3 kabupaten contoh memperlihatkan trend peningkatan luasan lahan berfungsi hutan sebagaimana pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan luas hutan rakyat di kabupaten contoh Kabupaten Luas (ha) Produksi (m³) tahun 2007 Contoh 2005 2006 2007 Total Sengon % Kab. Tasikmalaya 27.684,00 30.046,87 33.446,00 522.817,92 na na Kab. Batang 6.338,00 6.603,00 31.000,00 340.500,00 250.600,00 73,6 Kab. Probolinggo 6.877,00 8.977,00 11.958,88 36.233,52 22.980,55 63,4 Sumber: 1. Statistik kehutanan provinsi contoh tahun 2007 (2008) 2. Statistik kehutanan kabupaten contoh tahun 2007 (2008) 3. Dishutbun Tasikmalaya/Kanhut Batang/Disbunhut Probolinggo (2008)
Tabel 8 menunjukkan bahwa hutan rakyat di Tasikmalaya pada tahun 2007 tercatat seluas 33.446 ha, atau mengalami peningkatan sekitar 10% per tahun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi kayu dari hutan rakyat pada tahun 2007 tercatat sejumlah 522.817,92 m³. Luas hutan rakyat di Batang memperlihatkan trend meningkat, dari 4.253 ha pada tahun 2002 menjadi sekitar 6.603 ha pada tahun 2006. Hasil inventarisasi Kantor Kehutanan Batang mencatat adanya potensi hutan rakyat tahun 2007 seluas 31.000 ha, terdiri atas Jati (1.950 ha), Mahoni (3.650 ha), Sengon (17.900 ha), dan Rimba Jawa (7.500 ha). Potensi hutan rakyat tersebut, menghasilkan kayu sekitar 340.500 m³ per tahun, dan 73,6% diantaranya adalah kayu Sengon. Luas hutan rakyat pada tahun 2007 di Probolinggo tercatat seluas 11.958,88 ha berdasarkan inventarisasi lahan yang ditanami tanaman kayu-kayuan, atau 21.473,57 ha jika menghitung juga tanaman multi purposes tree species (MPTS) yang dapat dimanfaatkan kayunya. Produksi kayu hasil hutan rakyat mencapai 36.233,52 m³ dan 63,4% diantaranya adalah kayu Sengon. Bertambah luasnya lahan berfungsi hutan, de facto, terindikasikan luas hutan rakyat yang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pembangunan hutan rakyat dilakukan di lahan milik (tegal atau huma), dan juga di lahan sawah irigasi
59
sederhana dan sawah tadah hujan. Trend peningkatan luasan lahan berfungsi hutan dikemukan juga oleh Bupati Batang39 yang menyatakan banyak dijumpainya hutan rakyat yang dikembangkan di areal bekas sawah, misalnya di Kec. Reban, Bandar dan Bawang. Posisi penting hutan rakyat sebagai pemasok kebutuhan bahan baku semakin terasa, sejalan semakin berkurangnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam. Data Ditjen Bina Produksi Kehutanan (Dephut) tahun 2008 menunjukkan bahwa hutan rakyat mempunyai posisi penting bagi industri perkayuan karena merupakan pemasok urutan keempat kebutuhan bahan baku kayu bagi INPAK (Lampiran 2). Gerakan menanam tanaman kehutanan juga terdapat pada lahan yang (secara de jure) merupakan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan. Hasil wawancara dan pengumpulan data lapangan, ditemukan 3 (tiga) HGU di kabupaten contoh yang terindikasi menanam tanaman kehutanan jenis cepat tumbuh atau fast growing species (FGS), yaitu: Datarsalam di Pancatengah, Tasikmalaya; Ayerdingin di Krucil, Probolinggo; dan PTPN XII di Jawa Timur. Upaya membangun hutan tidak hanya dilakukan secara swadaya, tetapi juga melalui subsidi dan kampanye berbagai program pemerintah, diantaranya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (GRLHK), kampanye Indonesia menanam, hutan rakyat pola kemitraan dengan bantuan bergulir; hari menanam pohon Indonesia dan bulan menanam nasional; one man one tree (OMOT), dan inisiatif berbagai kalangan yang melakukan kerjasama membangun dan mengelola hutan bersama rakyat. Kerjasama atau kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) berdasarkan kepemilikan lahannya dibedakan menjadi 2, yaitu di lahan milik dan lahan/hutan negara. Proporsi status pemilikan lahan yang digunakan kelembagaan KIBARHUT sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Tabel 9. Lahan milik adalah lahan yang dibebani hak atas tanah, baik lahan milik perorangan maupun lahan milik suatu badan usaha atau kelompok. Pemanfaatan tanah milik mencapai 72,28% pelaksanaan KIBARHUT di ketiga INPAK contoh. Pelaksanaan KIBARHUT oleh PT. SGS sekitar 97,56% terdiri atas tanah milik perorangan (96,18%) dan milik institusi (1,38%). Pemanfaatan tanah milik institusi 39
Suara Merdeka, 30/08/2008 diunduh dari http://www.batangkab.go.id/index2.ht [14 Sept 2008].
60
(11,90%) juga dilakukan PT. KTI bekerjasama dengan yayasan, perusahaan, pondok pesantren, perguruan tinggi, dan gereja. Tabel 9 Status pemilikan lahan dimanfaatkan untuk pelaksanaan KIBARHUT Status Pemilikan Lahan 1 Tanah Milik : • Perorangan • Institusi Jumlah 1 2 Tanah Negara: • TKD • Instansi • Perhutani • HGU Jumlah 2 Jumlah 1+ 2
PT. SGS Luas (ha) % 6.714,29 96,45 6.810,74
96,18 1,38 97,56
57,50 112,50 0,00 0,00 170,00 6.980,74
0,82 1,61 0,00 0,00 2,44 100,00
Pelaksanaan KIBARHUT PT. BKL PT. KTI Luas (ha) % Luas (ha) % 1.304,20 0,00 1.304,20
38,57 0,00 38,57
88,00 2,60 250,00 7,39 1.599,36 47,30 139,90 4,14 2.077,26 61,43 3.381,46 100,00
1.896,31 496,82 2.393,13
Jumlah 3 INPAK Luas (ha) %
45,42 9.914,80 11,90 593,27 57,32 10.508,07
68,20 4,08 72,28
199,86 4,79 345,36 64,48 1,55 426,98 353,93 8,48 1.953,29 1.163,15 27,86 1.303,05 1.781,79 42,68 4.029,05 4.174,92 100,00 14.537,12
2,38 2,94 13,44 8,96 27,72 100,00
Pemanfaatan lahan untuk penanaman kayu yang dibutuhkan industri berdampak pada meningkatnya harga tanah. Soeranto, petugas PT. SGS, menginformasikan telah membeli tanah di Bawang seluas 2.000 m² seharga Rp 7.500.000 pada tahun 2006. Lahan tersebut ditumbuhi tegakan Sengon berumur sekitar setahun. Tahun 2008, tanah dan tanaman Sengon diatasnya ada yang berani membeli dengan nilai Rp 20.000.000. Widi (petani di Bawang) dan Kardana (petani di Sukaraja) menginformasikan bahwa ada pihak yang bersedia membeli lahan miliknya senilai 3 kali lipat dibandingkan harga pembelian 2 tahun lalu, karena di atas lahan tersebut terdapat tegakan Sengon siap panen. Informan lain40 mengungkapkan bahwa harga tanah yang ditumbuhi tanaman berkayu, khususnya Sengon, adalah lebih diminati. Realitas tersebut menunjukkan bahwa harga tanah di lokasi penelitian mengikuti perkembangan/pertumbuhan pohon Sengon yang tumbuh diatasnya. Perhitungan harga tanah tidak lagi berdasarkan harga per satuan luas tapi disesuaikan dengan ukuran pohon, diameter pohon, taksiran volume dan nilai kayu yang dapat dipanen dari lahan tersebut. Fenomena ini diharapkan menjadi dasar untuk dilakukannya telaah/kajian lebih lengkap dampak tegakan Sengon terhadap nilai harapan tanah di masa mendatang. 40
Pernyataan digali dari seluruh petani contoh dan responden kunci. Responden yang secara spesifik memberikan pernyataan mengenai harga tanah yang ditanami Sengon adalah Amin (Kadus di Bawang dan bekerja sambilan sebagai makelar penjualan lahan); Uus (petugas PT. BKL); Saefuloh (Kades di Sukaraja); Heru Jhudianto (petugas PT. KTI); Abdul Qodir (KP di Krucil); Kurmat (staf Disbunhut di Probolinggo); Gorin (PKL dan petani Sengon di Krucil); dan Suprapto (PKL Krucil).
61
Pelaksanaan KIBARHUT dengan memanfaatkan lahan/tanah kas desa (TKD) atau pengangonan ditemukan dengan luasan relatif kecil (2,38% dari total). Kemitraan umumnya merupakan inisiatif penyewa/penggarap, sehingga pihak desa hanya sebatas menyewakan lahan dengan imbalan uang sewa dari petani penggarap. Namun berdasarkan informasi petugas PT. BKL dan perangkat Desa Tarunajaya di Sukaraja, ada kesepakatan melakukan KIBARHUT dengan memanfaatkan TKD Tarunajaya. Kegiatan
tersebut
merupakan
inisiasi perangkat desa untuk
meningkatkan
produktivitas lahan TKD, sehingga desa memperoleh pendapatan dari uang sewa lahan dan bagi hasil panen kayu di akhir daur. Kegiatan penanaman dilakukan pada tahun tanam 2008/09. Pemanfaatan tanah negara milik instansi pemerintah dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah kota, dan lahan TNI. Proporsi luasan tanah negara milik instansi adalah 2,94% dari total luasan lahan pelaksanaan KIBARHUT. Kerjasama dalam rangka KIBARHUT di hutan negara yang dikelola Perum Perhutani (mencapai 13,44% dari total lahan) dilakukan dengan pola PHBM bersama petani. Pemanfaatan lahan Perhutani untuk pelaksanaan KIBARHUT melalui pola PT. BKL seluas 1.599,36 ha di 3 KPH (Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang) lingkup Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, dan pola PT. KTI seluas 353,90 ha di 2 KPH (Probolinggo dan Kediri) lingkup Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pemanfaatan lahan HGU (sekitar 8,96% dari total lahan yang dikerjasamakan) dilakukan karena ada kerjasama petani penggarap kebun, pemilik izin HGU/penyewa dan INPAK. Kegiatan pengelolaan hutan dalam pelaksanaan KIBARHUT tidak berbeda dengan pola yang banyak dilakukan pada pembangunan hutan oleh rakyat secara swadaya ataupun oleh Perum Perhutani. Secara umum kegiatan pengelolaan yang dilakukan terdiri dari berbagai tahapan, yaitu : (i) penanaman; (ii) pemeliharaan; (iii) perlindungan; (iv) pemanenan; (v) pemasaran. Penanaman Kegiatan penanaman dalam rangka KIBARHUT diawali penyiapan lahan. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan secara khusus untuk tanaman kehutanan adalah pembuatan lubang tanam, sedangkan kegiatan lainnya dilakukan bersamaan dengan persiapan tanaman tumpangsari. Lubang tanam dibuat petani tidak dengan
62
ukuran tertentu, tetaapi hanya seebatas diangggap cukup untuk u bibit. Pemberian P pupuk ke masangan ajiir dilakukan n oleh sebaggian besar (63,3%) dalam lubang tanaam dan pem petani (selengkapnnya tersaji pada p Lampiiran 3). Luubang tanam m dibiarkan selama kurang lebih satu minggu, m dan kemudian k diitanami bibitt tanaman pookok KIBAR RHUT. B Bibit tanaman berkayu disiapkan d daan dipasok INPAK. I Bibbit bantuan INPAK jumlahn nya berdasaarkan perhitu ungan luas llahan dan jaarak tanam standard, ditambah suplisi 10–20% unttuk sulamann. Pasokan bbibit diangkuut ke lokasi terdekat yanng dapat dicapai oleh kendaaraan penganngkut bibit. Pola penyyaluran atauu tempat penndaratan bibit dik klasifikasikaan menjadi tiiga, yaitu: a. B Bibit diturunkkan di Balaii Desa setem mpat. Prosess ini ditemukkan pada keemitraan T 1 Bawan Tipe ng dan Tipe 2 Sukaraja. b. Bibit B diturun nkan di lo okasi yang ditentukann kelompokk atau koo ordinator peengelola. Prooses ini ditem mukan padaa Tipe 2 Kruccil dan Tipe 3 Krucil. c. Bibit B diturunkkan di kantoor RPH setem mpat. Prosess ini terjadi pada p kemitraaan Tipe 3 Sukaraja ataau kemitraann yang melibbatkan Perum m Perhutani.. Pemilihan jeenis tanamaan pokok disesuaikan d antara keinnginan petaani dan kebutuhhan INPAK K, yaitu jeenis tanam man berdaurr pendek (FGS), komersial, keterseddiaan pasar dan ada keemampuan untuk menggolah kayunnya. Tanamaan yang banyak ditanam dalam d ranggka KIBAR RHUT adalaah jenis S Sengon. Gam mbar 7 menunjukkan bahw wa jenis FGS S yang mayooritas (82,61%) ditanam m dan dikembbangkan di 3 kab bupaten contoh adalah Sengon S atau Paraseriantthes falcatarria. Tanamann Balsa, Jabon, Waru W Rangkkang, Gmelina dan jeniss lainnya ditaanam dalam m jumlah relaatif kecil dan hannya ditanam pada pelakssanaan KIBA ARHUT olehh PT. KTI dii Jawa Timurr. Jabon % 0,61%
Gmelina Lainnya Waru 0% 0,76% 0,24% 0,90 Balsa % 14,88%
Sengon 82,61%
Gambar 7 Jenis tanam man pokok padda pelaksanaann KIBARHUT di Pulauu Jawa (data prrimer, 2008)
63
Pembangunan hutan KIBARHUT dilakukan dengan 3 pola pertanaman atau cropping pattern (Tabel 10), yaitu (i) monokultur atau murni dimana petani hanya menanam 1 jenis tanaman pokok FGS. Pola ini dilakukan oleh 63,3% petani contoh; (ii) polikultur atau campuran 2 jenis tanaman FGS pada lahan yang sama. Pola ini dilakukan oleh 8,9% petani contoh; (iii) agroforestry yaitu tanaman berkayu FGS ditanam secara tumpangsari pada lahan yang sudah ada tanaman perkebunannya (MPTS). Pola ini dilakukan oleh 27,8% petani contoh. Jika selama ini penanaman pohon dilakukan untuk mengurangi resiko kegagalan unit usaha pertanian sebagai komoditas utama, tetapi data empiris kelembagaan KIBARHUT sebagaimana Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar petani (72,2%) justru menanam pohon (kayu) sebagai komoditas utama. Petani contoh bahkan cenderung menanam dengan pola tanam murni atau monocropping (penanaman pohon di lahan subur dan tidak digabung dengan tanaman keras/perkebunan lainnya). Tabel 10 Jenis tanaman kehutanan dan pola pembangunan hutan di lokasi contoh Tipologi/Jenis Tanaman Kehutanan Tipe 1 Bawang (30 petani) • 1 tingkat, Sengon • 2 tingkat, Sengon Tipe 2 Sukaraja (15 petani) • 2 tingkat, Sengon Tipe 2 Krucil (15 petani) • 1 tingkat, Sengon 1 tingkat, Balsa/lain • 2 tingkat, Sengon 1 tingkat, Balsa/lain Tipe 3 Sukaraja (15 petani) • 2 tingkat, Sengon Tipe 3 Krucil (15 petani) • 2 tingkat, Sengon 1 tingkat, Balsa/lain 1 tingkat, Sengon/Balsa 1 tngkat, Sengon/Balsa/lain Jumlah (90 petani)
Pola pembangunan hutan KIBARHUT Murni Campur AF --9 (30,0%) 21 (70,0%) 1 (3,3%) ----8 (26,7%) --21 (70,0%) --11 (73,3%) 4 (26,7%) 11 (73,3%) --4 (26,7%) ----15 (100,0%) 2 (13,3%) ----1 (6,7%) ----7 (46,7%) ----5 (33,3%) --------15 (100,0%) 15 (100,0%) ------7 (46,7%) 8 (53,3%) 3 (20,0%) ----4 (26,7%) ------4 (26,7%) ----4 (26,7%) --57 (63,3%) 8 (8,9%) 25 (27,8%)
Temuan data lapangan di tingkat petani (sebagaimana disajikan pada Tabel 10) memperkuat temuan yang disajikan pada Gambar 7, yaitu mayoritas petani contoh (81,1%) memilih menanam Sengon pada pelaksanaan KIBARHUT. Sekitar 10% petani menanam Balsa atau jenis lain (Tipe 2 Krucil dan Tipe 3 Krucil), dan sisanya (9,9%) menanam secara campuran Sengon dan Balsa, atau Sengon, Balsa dan tanaman lain (Tipe 3 Krucil).
64
Pemilihan Sengon sebagai tanaman pokok berdasarkan pertimbangan bahwa (i) merupakan tanaman FGS yang sudah tersebar luas di kalangan petani hutan, dan masyarakat relatif sudah mengenal dan mengetahui budidayanya semenjak adanya program sengonisasi tahun 1989; (ii) mempunyai nilai komersial tinggi, khususnya di Pulau Jawa; (iii) umurnya pendek sehingga kayunya lebih cepat dipanen; (iv) pemasarannya tidak sulit karena semua INPAK bersedia menampung41. Dephut dan BPS (2004) melaporkan bahwa Sengon adalah tanaman kayu terbanyak kedua (setelah Jati) yang ditanam dan diusahakan oleh rumah tangga kehutanan (RTK42) di Pulau Jawa. Dephut dan BPS (2004) juga mencatat 1.983.192 RTK (atau 85,63% dari total RTK) di Pulau Jawa tercatat memelihara tanaman Sengon, dan sekitar 355.424 diantaranya adalah kelompok RTK yang mengusahakan Sengon. Pemilihan tanaman Sengon, yang merupakan jenis komersial yang diperlukan pasar, menunjukkan secara empiris bahwa penanaman pohon pada kelembagaan KIBARHUT dilakukan petani (agents) dengan lebih berorientasi pasar guna memasok kebutuhan bahan baku kayu bagi INPAK yang menjadi mitranya (principal). Walaupun demikian pada awal-awal daur tanaman kayu, mayoritas petani KIBARHUT (93,3%) melakukan tumpangsari dengan tanaman hortikultura (Tabel 11). Tanaman pangan/hortikultur yang dibudidayakan sebagai tanaman tumpangsari adalah jenis Jagung (44,44%), Singkong (33,3%), Jagung dan tanaman lain (8,89%), dan jenis lainnya (6,67%). Kegiatan ini dilakukan untuk memanfaatkan lahan secara optimal dan sekaligus memberikan tambahan pendapatan bagi petani (Nair, 1993; Yusran, 2005). Terdapat 6 petani di Bawang (6,67% dari total petani contoh) yang tidak melakukan tumpangsari dengan tanaman pangan. Petani tersebut menerapkan pola tanam dengan memanfaatkan sebagian lahan untuk tanaman kehutanan, dan sebagian luasan lahan sisanya sudah ditanami dengan tanaman keras/kebun. Tabel 11 menunjukkan bahwa semua petani di Sukaraja memilih Singkong, sedangkan petani di Bawang dan Krucil memilih jagung dan/atau tanaman lainnya (cabe rawit hijau, tomat, wortel, kubis atau jenis lainnya) sebagai tanaman hortikultur untuk tumpangsari dengan tanaman kehutanan. Rentang waktu bagi petani untuk 41
Kemudahan menjual dan banyaknya perusahaan yang siap menampung kayu Sengon diungkap juga oleh Trubus Majalah Pertanian Indonesia, diunduh dari http://www.trubus-online.co.id/ mod.php? mod=publisher &op= viewarticle&cid=1&artid=1411 [13 September 2008]. 42 RTK dikategorikan rumah tangga usaha BMU (batas minimal usaha) jika jumlah pohon Sengon siap tebang yang dikuasai dan diusahakan RTK adalah ≥ 12 pohon.
65
dapat melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan/hortikultur tersebut bervariasi bergantung dengan pola tanam KIBARHUT. Tabel 11 Jenis tanaman pangan/hortikultur yang menjadi tanaman tumpangsari dalam tahuntahun awal pelaksanaan KIBARHUT Jenis tanaman pangan/hortikultur Tipe Jagung singkong lainnya Jgg+lain tidak TS 1 Bawang (30 petani) -16 (53,3%) 4 (13,3%) 4 (13,3%) 6 (20%) 1 0(3,3%) ----• 1 tingkat, murni 5 (16,7%) --3 (10,0%) -• 2 tingkat, murni 10 (33,3%) -4 (13,3%) 10 (3,3%) 6 (20%) • 2 tingkat AF 2 Sukaraja (15 petani) ----15(100,0%) -110(73,3%) ---• 2 tingkat, murni -4 0(26,7%) ---• 2 tingkat, AF 2 Krucil (15 petani) ---15 (100,0%) 3 0(20,0%) ----• 1 tingkat, murni 12 0(80,0%) ----• 2 tingkat, murni 3 Sukaraja (15 petani) ----15(100,0%) -15 (100,0%) ---• 2 tingkat, murni 3 Krucil (15 petani) --9 (60,0%) 2 (13,3%) 4 (26,7%) 5 0(3,3%) --1 (13,3%) -• 2 tingkat, murni 4 0(2,7%) -2 (13,3%) 3 (13,3%) -• 2 tingkat, campur Jumlah (90 petani) 40 (44,4%) 30 0(33,3%) 60 (6,7%) 80 (8,9%) 6 (6,7%)
Pola tanam pada prinsipnya mengikuti kondisi lahan, tetapi INPAK membuat standard jarak tanam untuk tanaman pokok adalah 3m x 2m atau 6m x 2m (PT. KTI) dan 3m x 2m (PT. BKL dan PT. SGS). Dengan jarak tanam tersebut, di bawah tegakan KIBARHUT masih dapat digunakan untuk tumpangsari tanaman pertanian selama 2-3 tahun, sehingga dapat menambah penghasilan bagi petani. Dalam pelaksanaannya, petani contoh melakukan penanaman dengan jarak tanam rapat, berkisar 1,5m x 1,5m; 1,5m x 2m; 2m x 2m; 2m x 2,5m dan seterusnya sampai dengan jarak tanam tidak beraturan (Gambar 8a).
Jarak tanam rapat dilakukan dengan
menanam seluruh bantuan bibit, termasuk suplisi 10–20% bibit yang sebetulnya dialokasikan untuk sulaman. Penggunaan jarak tanam rapat karena petani berasumsi semakin banyak pohon ditanam, maka semakin banyak pohon yang dapat dipanen. Penanaman dengan jarak tanam yang rapat tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan dibawah tegakan tidak dapat dilakukan secara optimal. Terdapat 7 petani contoh (7,78%) yang sengaja melakukan penanaman dengan jarak tanam awal sangat rapat, karena bertujuan menghasilkan bibit Sengon dengan memanfaatkan anakan dan/atau tanaman sengon
66
muda (sapling) sebagai bibit, serta dengan mencangkok batang (Gambar 8b). Petani kemudian mengurangi kerapatan, sekaligus melakukan penjarangan ketika tanaman Sengon mencapai tinggi sekitar 1–2m atau ketika pencangkokan telah berhasil.
a. Penanaman dengan jarak tanam rapat b. Cangkok untuk menghasilkan bibit Gambar 8 Penanaman Sengon dengan jarak tanam rapat, dan pencangkokan batang untuk dijual sebagai bibit Sengon di lokasi contoh (dokumentasi peneliti)
Penjarangan dilakukan sedemikian rupa sehingga jarak tanam akhirnya mencapai setidaknya sekitar 3m x 2m. Sebagian besar hasil penjarangan dijual dalam bentuk bibit dengan harga sekitar Rp 2.000 per batang, sedangkan sebagian kecil tanaman hasil penjarangan yang tidak layak menjadi bibit dijadikan kayu bakar. Penjualan bibit hasil penjarangan mempunyai pasar tersendiri yang sangat potensial (niche market), karena terdapat petani yang cenderung melakukan penanaman menggunakan bibit yang sudah besar dengan tinggi berkisar 1–2 m. Penjualan bibit Sengon hasil penjarangan dilakukan petani guna mengganti investasi yang telah dikeluarkan untuk penanaman, termasuk biaya pemeliharaan tahun pertama, sebagaimana juga diungkapkan Lestari (2008). Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman KIBARHUT dilakukan secara intensif oleh petani sampai dengan tanaman berumur 2 tahun. Pemeliharaan dengan penyiangan (pembersihan rumput) dilakukan intensif maksimal sampai tahun kedua, karena dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman tumpangsari. Kemudian dilakukan secara tidak teratur, namun setidaknya dilakukan dua kali dalam setahun, seperti pada saat mencari rumput atau hijauan pakan ternak (hpt), saat mencari kayu bakar atau ketika mengambil hasil tanaman kebun/keras jika dikelola secara agroforestry. Pemupukan dilakukan pada saat awal penanaman, dan selanjutnya
67
pemupukan dilakukan intensif bersamaan dengan memupuk tanaman tumpangsari/ pertanian, tetapi hanya maksimal sampai tahun kedua. Berdasarkan data pada Lampiran 3, pelaksanaan penyulaman pada KIBARHUT Tipe 1 dan Tipe 2 terbilang rendah yaitu hanya dilakukan oleh 40% petani contoh. Sebagian besar petani contoh tidak melakukan penyulaman, karena menggunakan jarak tanam rapat di awal tanam sehingga ketika ada tanaman mati, maka jumlah tanaman per hektar yang disarankan INPAK tetap terpenuhi. Pada KIBARHUT Tipe 3, penyulaman dilakukan oleh hampir seluruh (93,3%) petani contoh. Penyulaman adalah kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan Perum Perhutani (Tipe 3 Sukaraja) dan KTI bk/Aviland (Tipe 3 Krucil) bersama petani. Perum Perhutani, KTI bk, dan Aviland selaku “pemilik” lahan mensyaratkan pengguna lahan (penggarap) mematuhi dan melaksanakan kegiatan penyulaman guna keberhasilan tanaman. Secara teknis, pemeliharaan tegakan berupa penjarangan disarankan oleh INPAK dilakukan pada umur tegakan 3–4 tahun. Namun, penjarangan umumnya tidak dilakukan karena keberhasilan tanaman yang rendah, dan banyaknya tanaman gagal atau mati. Tanaman yang mati tersebut oleh petani dan INPAK dianggap sebagai tanaman yang terkena penjarangan.
Jika pun terdapat kegiatan penjarangan atau
tebangan awal, maka kegiatan dilakukan karena pohon terserang penyakit atau karena perilaku oportunis dari petani selaku pihak hulu. Berbeda dengan saran INPAK, maka petani melakukan penjarangan terhadap pohon dengan diameter (ukuran) yang mempunyai nilai komersial Pemangkasan (prunning) dilakukan tidak semata-mata untuk memperoleh batang yang lurus, tetapi juga bertujuan memperoleh kayu bakar dan daun muda untuk pakan ternak. Aktivitas ini dilakukan dengan tidak mengganggu pertumbuhan pohon, karena tingginya pemahaman petani terhadap nilai ekonomis pohon yang ditanamnya. Hasil ini sejalan temuan Romansah (2007) di Sumedang, dan Lestari (2008) di Wonosari, Batang. Gangguan terhadap pertumbuhan pohon FGS yang banyak ditemukan di lokasi adalah adanya berbagai hama dan penyakit yaitu penggerek (Xystrocera festiva), jamur, ulat daun/batang, dan jamur karat kuru (Gambar 9). Kegiatan penanggulangan oleh petani adalah dengan secepatnya melakukan penebangan terhadap pohon terpapar sehingga masih ada bagian batang yang dapat dijual.
68
Gambar 9 Pohon Sengon terkena jamur karat kuru (dikenal petani sebagai Gondok) dan pohon terkena Ulat batang (dokumentasi peneliti)
Pengaturan hasil
Petani contoh di lokasi penelitian secara sederhana telah menerapkan prinsip kelestarian hasil, yaitu setiap dilakukan penebangan diikuti dengan penanaman bibit tanaman berkayu43. Penanaman atau permudaan kembali dilakukan dengan harapan pada saatnya membutuhkan uang, maka tersedia pohon dengan ukuran siap ditebang. Petani menggunakan sistem tebang pilih permudaan buatan dengan penjarangan keras44. Tindakan tersebut dianggap penjarangan keras, karena ada upaya mengurangi jumlah pohon guna memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon tinggal, dan memberikan hasil panen berupa produksi kayu yang dapat dimanfaatkan petani. Tebang pilih disesuaikan kebutuhan petani yang bersifat tidak menentu (unpredictable needs), dan dilakukan terhadap pohon sudah layak tebang45. Berdasarkan beberapa dokumen tertulis milik INPAK dan informasi lisan petugas lapangan, diperoleh informasi bahwa jumlah tanaman pada saat pohon berumur 4 tahun sekitar 50% dari jumlah tanaman awal (jarak tanam sekitar 6 m²). Untuk jarak tanam lainnya adalah menyesuaikan sehingga jumlah pohon yang dapat 43
Dalam prinsip pengelolaan hutan lestari maka setiap penebangan yang dilakukan selalu diikuti dengan kegiatan penanaman atau rehabilitasi pada lahan bekas tebangan tersebut (Simon, 2007). 44 Sistem tebang pilih yang dilakukan petani disetarakan penjarangan keras karena secara ekonomis dan teknis memproduksi kayu sebagai hasil utamanya, serta mendorong terjadinya pertumbuhan riap diameter pohon yang lebih besar dari penjarangan normal. Penjarangan keras merupakan solusi mencegah terjadinya pencurian kayu. Penjarangan keras berbeda dengan penjarangan lemah (low thinning) atau yang secara teknis dilaksanakan selama ini (konvensional) yaitu tebangan terhadap pohon cacat atau tertekan, sehingga dari segi dinamika sistem mempunyai pengaruh relatif kecil untuk merangsang pertumbuhan riap. Penjarangan lemah tidak bertujuan menghasilkan kayu, jika pun ada produksi kayu maka dianggap sebagai hasil sampingan. Hasanu Simon, 1993, hal. 103-104. 45 Pohon dianggap petani telah layak tebang dan memiliki nilai finansial jika telah mencapai diameter minimal 10 cm.
69
dipanen pada akhir daur berkisar 400–800 pohon/ha. Selanjutnya, panenan pertama menebang sekitar 40% dari jumlah pohon tersisa dan 60% sisanya ditebang pada saat panen akhir. Pola panen tersebut tidak mutlak dilaksanakan karena ada beberapa penyimpangan, yaitu (i) jumlah pohon tersisa relatif sedikit, (ii) petani memilih untuk menebang pada umur tertentu baik lebih awal atau menunda karena alasan finansial, (iii) pohon terkena penyakit sehingga dipanen lebih awal untuk menghindari kerugian, atau (iv) belum adanya pasar yang jelas maka penebangan sengaja ditunda, seperti tanaman Balsa pada Tipe 3 Krucil. Proporsi dan distribusi pola panen KIBARHUT di lokasi contoh disajikan pada Lampiran 4. Penebangan dan sekaligus sebagai panen awal mulai dilakukan petani pada tahun ke-5 atau saat tanaman berumur 4 tahun. Terdapat sebagian kecil petani di Bawang (5,6% atau 5 petani contoh) telah mulai memanen pada saat tanaman berumur 2 tahun atau tahun ke-3 pelaksanaan KIBARHUT dan memanfaatkan sebagian besar kayunya sebagai kayu bakar. Pemanenan secara umum dilakukan pada saat tanaman berumur 5 tahun, sebagaimana juga diungkapkan oleh Aunuddin (2007), Romansah (2007), Susiati (2007), dan Wijiadi (2007). Hasil penelitian PT. KTI menunjukkan bahwa Sengon pada umur 5 tahun maka diameternya mencapai sekitar 22 cm dan dapat menghasilkan kayu bundar (KB) sekitar 0,28 m³ (KAMkti, 2008). Prediksi sama diungkapkan oleh para pelaku usaha penebangan (blandong dan/atau tim tebang) yang menyatakan, bahwa dari setiap 3,5 pohon Sengon berumur sekitar 5 tahun menghasilkan KB sekitar 1 m³. Hasil penelitian PT. KTI dan taksiran blandong tersebut disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan realisasi penanaman dan sisa pohon yang ada, maka struktur tegakan di lokasi contoh memperlihatkan distribusi diameter dan jumlah pohon membentuk kurva J terbalik (Gambar 10). Artinya, tegakan tersebut menggambarkan kondisi hutan yang lestari46 sebagaimana diungkapkan Daniel et al. (1987).
46
Kelestarian hutan mempunyai berbagai definisi yang satu sama lain dapat diperdebatkan. Secara umum definisi kelestarian hutan adalah suatu pengelolaan hutan untuk memasok hasil hutan yang teratur dan berkesinambungan sesuai dengan kapasitas maksimal suatu kawasan hutan. Artinya terdapat keseimbangan antara pertumbuhan dan panenan. Hasanu Simon, 2007, hal. 218-236.
70 2500
Jumlah Pohon
2000 1500
Sukaraja Bawang
1000
Krucil
500 0 0‐5
6‐10 11‐15 16‐20 21‐25 26‐30
>30
Gambar 10. Distribusi pohon KIBARHUT berdasarkan kelas diameter di lokasi contoh
Struktur tegakan sebagaimana Gambar 10 menggambarkan pengelolaan hutan lestari, tetapi mayoritas (79,9%)47 adalah pohon dengan diameter (dbh) belum layak tebang. Tegakan cenderung didominasi tanaman muda juga diungkapkan Mahmud (2004) dimana 24% tanaman Sengon yang dikembangkan secara kemitraan dengan sistem kredit usaha hutan rakyat (KUHR) di Blitar termasuk kelas diameter >10cm, sedangkan mayoritas (76%) mempunyai diameter kurang dari 10cm. Kondisi tersebut terjadi seiring meningkatnya permintaan kayu (khususnya Sengon) dalam lingkup lokal (desa, kecamatan, dalam kabupaten), lingkup antar kabupaten, dan antar provinsi, dikarenakan keberadaan industri perkayuan (IPHHK) berbagai jenis dan skala usaha yang terus meningkat di seluruh daerah di Pulau Jawa, sebagaimana juga diungkapkan Hardjanto (2003) dan Romansah (2007). Pada tahun 2008, jumlah IPHHK di ketiga kabupaten yang menjadi lokasi penelitian adalah sebagai berikut: (i) di Kab. Tasikmalaya tercatat 241 unit industri penggergajian, dan 7 unit diantaranya berada di Kec. Sukaraja; (ii) di Kab. Batang terdapat 68 unit IPHHK terdiri atas 2 unit industri veneer, 2 unit industri laminating board untuk ekspor, dan 64 industri penggergajian. Industri penggergajian kayu yang beroperasi di Kec. Bawang sejumlah 12 unit; (iii) di Kab. Probolinggo terdapat 10 unit industri penggergajian, dan 4 unit diantaranya ada di Kec. Krucil. Industri tersebut umumnya menggunakan bahan baku KB dengan ukuran diameter batang lebih besar dari 10cm. Daftar industri perkayuan di kecamatan contoh disajikan pada Lampiran 5.
47
Struktur tegakan KIBARHUT di lokasi contoh terdiri atas 79,9% pohon berdiameter (dbh) 0–10cm, 16,7% pohon berdiameter 11–20cm, dan 3,5% pohon dengan diameter ≥ 21cm.
71
Adanya permintaan pasar tersebut, mendorong petani menawarkan pohonnya yang sudah dapat diserap pasar, yaitu pada kisaran diameter 10cm atau lebih besar. Dengan demikian 16,7% pohon dengan diameter berkisar 11–20 cm mempunyai pasar potensial di luar KIBARHUT, yang harus diantisipasi INPAK (pelaku KIBARHUT). Antisipasi diperlukan karena selain mengancam kelestarian hutan, juga dapat menganggu keberlanjutan pasokan kayu dalam rangka KIBARHUT. Informan kunci pelaku usaha perkayuan di kecamatan contoh mengungkapkan telah terjadi perubahan trend permintaan pasar kayu, karena INPAK juga sudah bersedia menampung kayu non-super (diameter < 20cm). Kayu gelondongan tersebut diolah terlebih dahulu di penggergajian satelit/afiliasinya menjadi kayu gergajian kasar (rough sawn timber/RST), kemudian dipasok ke INPAK dan dipergunakan sebagai bahan baku proses produksinya. Antisipasi lain dalam bentuk norma aturan (ketentuan non kontrak) adalah meluncurkan program penunjang sebagai upaya menjaga agar kayu KIBARHUT tidak dijual atau dipasarkan ke industri perkayuan lain. Program tersebut berupa kredit tunda tebang (PT. KTI dan PT. SGS), pembelian kayu rakyat melalui sawmill/penggergajian yang terafiliasi di dekat lokasi tanaman (PT. BKL dan PT. KTI) atau melalui pemasok khusus/log supplier yang dibentuk INPAK (PT. SGS dan PT. BKL). 2.
Aturan yang dipergunakan Ketentuan yang ditempuh dalam proses terwujudnya kemitraan membangun
hutan oleh PT. SGS di Bawang dimulai dengan usulan permohonan kelompok tani (Keltan) dengan penjelasan jumlah bibit, luas lahan dan nama petani. Usulan ditindaklanjuti Dinas dan rencana pembagian bibit oleh PT. SGS ke Keltan. Selanjutnya, dibuatkan berita acara serah terima bibit dan surat pengikatan/perjanjian kemitraan yang dibuat sederhana dan cenderung informal. Konsep kontrak disusun oleh perusahaan, disampaikan ke Keltan untuk diinformasikan ke anggotanya. Kedua dokumen tersebut ditandatangani PT. SGS dan Ketua Keltan serta diketahui oleh Kepala Desa. Ketua Keltan menandatangani perjanjian selaku wakil petani, dan selanjutnya, mengajak petani bekerjasama membangun hutan. Namun demikian, tidak ditemukan adanya perjanjian tertulis apa pun antara Keltan dan petani, sehingga
72
peserta yang terlibat atau mendapat bantuan bibit tidak tercatat dan tidak diadministrasikan dengan baik. Prosedur hampir mirip dilakukan PT. BKL, dengan mencari kemungkinan KIBARHUT di lahan milik atau lahan negara yang dapat ditanami Sengon. Petugas BKL meminta bantuan ellite desa mencarikan lahan dan merekrutnya sebagai koordinator pelaksana Tipe 2 di Sukaraja. Pola yang dikembangkan adalah melakukan penyuluhan48 sebagai upaya mencari kesepakatan awal. Jika petani sudah paham dan setuju/sepakat maka kemudian berangkat untuk mengikuti pertemuan sosialisasi dengan BKL. Pada kemitraan Tipe 3 di Sukaraja, PT. BKL menawarkan kerjasama penanaman jenis FGS ke ADM/Kepala KPH Tasikmalaya49. Tawaran tersebut dianggap strategis karena penanaman FGS dan adanya jaminan pasar merupakan antisipasi tepat, pada saat kondisi tanaman Perum Perhutani Unit III, khususnya di KPH Tsm, didominasi kelompok umur (KU) muda. Dikarenakan nilai kerjasama yang lebih dari Rp 1 milyar, maka diperlukan legalitas Kantor Unit sehingga nota kesepahaman dilakukan Unit dan PT. BKL. Selanjutnya, kegiatan dilaksanakan dalam kerangka program PHBM. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti sosialisasi kegiatan bertempat di Kantor Kecamatan, kantor BKL di Rajapolah, atau di Balai Desa. Sosialisasi dihadiri Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa, tokoh agama dan masyarakat. Isi sosialisasi secara garis besar adalah tentang (i) bagi hasil kayu yang diterima masing-masing pelaku; (ii) bagi hasil dihitung dari hasil pendapatan bersih penjualan kayu; (iii) harga sesuai harga di pasar saat panen; (iv) kayu ditebang jika lilitan > 80 cm dan dijual ke BKL; (v) jika secara teknis kayu sudah siap tebang, tapi petani belum mau menebang maka penebangan ditunda; (vi) penebangan dilakukan oleh petani atau melalui paguyuban penggergajian di sekitar lokasi tanaman yang menjadi mitra BKL. Kesepakatan selanjutnya dikukuhkan dengan perjanjian kerjasama yang ditandatangani (i) PT. BKL dan koordinator wilayah (korwil)/ketua kelompok (Tipe 2) serta diketahui Kepala Desa; (ii) KPH Tasikmalaya, BKL dan Ketua KTH (Tipe 3). Korwil atau Ketua KTH menandatangani kesepakatan dan bertindak selaku wakil petani berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani petani anggota kelompoknya. 48
Lebih condong ke upaya mendiskusikan tawaran kemitraan yang datang dari PT. BKL dan mencari kesepakatan dengan peserta potensial KIBARHUT. 49 Informasi ini disampaikan oleh Nana Rukana, ADM/KKPH Tasikmalaya pada saat itu.
73
PT. KTI melakukan KIBARHUT karena keinginan ikut menjaga kelestarian hutan dan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku yang sesuai spesifikasi (kualitas dan ukuran kayu) untuk proses produksinya. Pendekatan PT. KTI dilakukan terhadap semua lini termasuk Perum Perhutani, PTPN XIII dan perkebunan swasta, perorangan, sekolah, perguruan tinggi, LSM, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Kemitraan Tipe 2 di Krucil dilakukan melalui pendekatan ke tokoh agama yang mempunyai kharisma, menjadi panutan dan dipercaya rakyatnya yaitu Bapak Abdul Qodir Al-Hamid (Habib Qodir). Kerjasama diawali penanaman di lahan milik Habib Qodir. Melihat adanya keberhasilan, prospek menguntungkan kedua pihak, dan adanya saling kepercayaan, maka pada tahun-tahun berikutnya kegiatan diperluas ke lahan milik warga. Proses selanjutnya adalah membangun kesepakatan dengan peserta potensial Tipe 2 Krucil. Peserta yang bersedia dan sepakat terlibat dengan situasi aksi yang telah disosialisasikan, selanjutnya melakukan perjanjian tertulis dengan KP (selaku mitra antara). KP kemudian melakukan perjanjian kerjasama dengan KTI dan sekaligus mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Pada kemitraan Tipe 3 di Krucil, tawaran kerjasama dilontarkan PT. KTI untuk mengelola lahan kebun kopi Blok Ayer Dingin yang terlantar. Tawaran diajukan ke PUSKOPAD Brawijaya Malang sebagai pemilik izin HGU dan Aviland selaku penyewa sebagian lahan HGU. Kesepakatan ditindaklanjuti perjanjian kerjasama KIBARHUT dengan Aviland; sedangkan pada lahan HGU yang tidak dikelola Aviland, maka PT. KTI menyewa lahan tersebut dari PUSKOPAD melalui PT. KTI Bermi Krucil (KTI bk). Selanjutnya, Aviland dan KTI bk bersama-sama PT. KTI melakukan sosialisasi ke calon penggarap, dan membuat kesepakatan serta perjanjian tertulis dengan petani. Petani mendapatkan hak menggarap lahan dan izin membudidayakan tanaman tumpangsari, asalkan bersedia menanam dan memelihara pohon KIBARHUT. Berdasarkan uraian tersebut, kesepakatan kerjasama KIBARHUT tercapai melalui prosedur perolehan kerjasama (contracting process), yang dituangkan dalam suatu kontrak. Proses diawali tawaran kerjasama oleh INPAK ke calon peserta potensial (perangkat desa, tokoh masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan swasta/BUMS, atau perusahaan negara/BUMN). Tawaran kerjasama merupakan
74
tahapan awal yang terdiri atas pengenalan diri INPAK dan peserta, sosialisasi kemitraan, keuntungan yang diperoleh para pelaku yang terlibat, dan kemungkinan tindak lanjut pelaksanaannya sehingga tercapai kesepahaman awal untuk melangkah ke tahapan berikutnya. Peserta (calon pelaku) menindaklanjuti dengan evaluasi atau penilaian internal. Khusus di Perum Perhutani, ADM/Kepala KPH melaporkan dan meminta persetujuan ke Unit atau Direksi50. Tahapan berikutnya adalah proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan kerjasama, penentuan input share51 dan bagi hasil. Proses ini merupakan keputusan antara INPAK dan mitra antara (Perusahaan Mitra/Koordinator/Keltan). Selanjutnya, informasi adanya kemitraan membangun hutan dengan INPAK disampaikan ke petani melalui sosialisasi yang melibatkan INPAK, mitra antara, dan petani. Sosialisasi merupakan media untuk mendapatkan kesediaan, penerimaan dan kesepakatan terhadap butir-butir pokok kemitraan. Keberhasilan sosialisasi menggapai kesepakatan karena ada kesamaan preferensi yang menjadi pemahaman umum, pemberian harga pasar yang berlaku dan kepastian pasar kayu KIBARHUT, sehingga menambah daya tarik petani untuk sepakat bermitra. Kesepakatan pra-kontraktual dan persetujuan seluruh pelaku yang terlibat selanjutnya dikukuhkan dalam surat perjanjian sebagai aturan/ketentuan pelaksanaan (rules-in-use) dalam kontrak KIBARHUT. Hasil kajian kontrak KIBARHUT disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil telaah sebagaimana pada Lampiran 6, bentuk perjanjian pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 adalah dibuat tertulis namun sederhana dan sangat ringkas. Bentuk kontrak tersebut oleh Salim (2002) dikategorikan sebagai kontrak informal yaitu suatu perjanjian yang tidak memiliki kepastian hukum (hak dan kewajiban) bagi para pelakunya sehingga hanya memiliki fungsi ekonomis. Pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 dan 3, bentuk perjanjian dibuat tertulis dengan cara tertentu sehingga dapat menjadi bahan bukti autentik di pengadilan dan karenanya berfungsi ekonomis–yuridis. Namun, hanya Tipe 3 di Sukaraja yang merupakan kontrak tertulis dengan akta notaris atau dibuat dihadapan notaris, sedangkan tipe lainnya merupakan perjanjian standar dan dibuat dengan tidak melibatkan notaris. 50
Persetujuan hanya sebatas kesepahaman melakukan kerjasama, dan kerjasama detail didelegasikan ke ADM/KKPH (SK No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman umum Pengembangan Usaha Perhutani) 51 Proporsi input (faktor produksi) yang menjadi kewajiban mitra dalam pelaksanaan KIBARHUT.
75
Kontrak (surat perjanjian kerjasama) didefinisikan sebagai suatu kesepakatan untuk melakukan tindakan yang bernilai ekonomi oleh pelaku, dengan adanya tindakan balasan atau pembayaran dari pelaku yang lain. Kontrak KIBARHUT yang ditelaah sejumlah 32 buah terdiri atas (i) 10 kontrak formal dan 5 kontrak informal antara Hilir dan mitra antara, (ii) 3 kontrak formal dan 1 kontrak informal antara Hilir dan Hulu; (iii) 4 kontrak formal dan 4 kontrak informal antara mitra antara dan Hulu; (iv) 5 surat kuasa52 antara mitra antara dan Hulu53. Telaah terhadap 32 surat perjanjian kerjasama ditemukan adanya 56 aturan yang ditetapkan dalam hubungan kontraktual KIBARHUT. Kelimapuluhenam aturan tersebut, dalam kerangka hubungan principal-agents, dipetakan menjadi 12 kelompok indikasi aturan sebagaimana pada Tabel 12. Kelimapuluhenam hal yang diatur tersebut, tidak seluruhnya terdapat dalam satu surat perjanjian. Hubungan antara pemasok dengan Hilir pada KIBARHUT Tipe 1 hanya menetapkan 9–15 aturan, sedangkan pada Tipe 2 dan Tipe 3 memuat 29–41 aturan. Kompleksnya hubungan kerjasama ditandai dengan fungsi dan kewenangan Hilir terhadap hasil panen ternyata berhubungan dengan jumlah aturan berkaitan dengan sanksi, upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis. Kewenangan Hilir terhadap hasil panen memuat kewajiban Hulu menjual atau memprioritaskan penjualan kayu KIBARHUT ke Hilir, termasuk menentukan waktu pelaksanaan pemanenan yang disesuaikan kebutuhan industri. Adanya hak Hilir terhadap kayu KIBARHUT merupakan ketentuan formal yang dinyatakan bervariasi, antara 2 aturan yang diatur (di Bawang) dan 3–4 aturan yang diatur (di Sukaraja dan di Krucil). Ketentuan tentang kewenangan tersebut terindikasi dalam klausul aturan, bahwa Hilir wajib menampung dan/atau memasarkan hasil produksi kayu. Kewenangan ini didukung adanya 8 aturan yang mengatur kontribusi (share) Hilir, terhadap faktor produksi yang dipergunakan Hulu untuk melaksanakan KIBARHUT.
52
Surat kuasa dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan dan dibuatkan secara tertulis oleh para pihak, bukan akta autentik karena tidak menggunakan akta notaris (Salim, 2002) 53 Pada Tipe 1, tidak ada perjanjian tertulis antara mitra antara (Keltan desa) dengan petani.
76
Tabel 12 Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama No Indikasi Aturan Jumlah Analisis Butir % 8 14,29 Proses produksi menggunakan assets milik Hulu dan Hilir. Indikasi adanya kepemilikan asset yang 1 Hilir mempunyai share terhadap faktor produksi dipergunakan, menyebabkan Hulu dan Hilir merasa memiliki hak terhadap (sebagian) komoditas yang dihasilkan. Karenanya imbalan bagi hasil dihitung berdasarkan proporsi partisipasi para pelaku. Namun, 6 10,71 2 Hulu mempunyai share tindakan balasan/imbalan tersebut belum menghitung kemungkinan eksternalitas positif (kepastian pasokan terhadap faktor produksi kayu) yang muncul dari pelaksanaan KIBARHUT 6 10,71 Upaya mencermati perilaku Hulu, dan menjamin keberhasilan pembangunan hutan dan hasil panennya akan 3 Upaya mengatasi asymmetric information dipasok ke perusahaan (kinerja Hulu mampu memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan Hilir). dan mencegah perilaku Pengakuan dan pencermatan terhadap hulu merupakan upaya yang menimbulkan biaya (agency cost). oportunis Mobilisasi petugas termasuk biaya transportasi untuk pengamanan, monev, dan pengawasan diperlukan untuk menjamin tidak adanya perilaku oportunis. Selain mengoptimalkan kinerja petugas lapangan, Hilir juga mengupayakan melalui aturan formal (harga pasar, sanksi pengurangan proporsi bagi hasil), memanfaatkan saluran pemasaran sampai ke lokasi, dan menjalin kerjasama/mediasi dengan elite (tokoh panutan) warga. 6 10,71 Kewenangan hilir terhadap hasil panen didukung adanya kontribusi terhadap faktor produksi, dan juga karena 4 Fungsi/Kewenangan Hilir atas kayu (hasil panen) hilir menguasai/memiliki pasar untuk komoditas yang diproduksi dari pelaksanaan KIBARHUT. Pemanenan disepakati jika pohon mencapai diameter > 30cm atau keliling > 80cm dengan umur pohon minimal 4 tahun. Pada kondisi pasar kayu di Pulau Jawa saat ini, aturan perlu dilengkapi klausul kemungkinan penebangan pohon dibawah diameter minimal atau belum mencapai umur minimal, tapi telah mempunyai nilai/ukuran komersial. Penetapan saat panen menjadi krusial karena Hilir menghadapi kemungkinan hulu memasok kayu ke pihak lain dan mempertimbangkan opportunity cost penggunaan asset dengan daur semakin panjang. 1 1,79 Hanya ada 1 hal yang diatur tapi, secara subyektif, Hulu memiliki kekuatan tawar untuk mengancam 5 Fungsi/Kewenangan Hulu atas kayu (hasil keberlangsungan pasokan kayu ke Hilir. Karenanya Hilir, secara obyektif, menjamin harga beli kayu sesuai panen) harga pasar dan, secara subyektif, mengoptimalkan petugas lapangan, memanfaatkan saluran pemasaran yang bekerja efektif, dan menjalin kerjasama/mediasi dengan elite atau tokoh panutan rakyat. 1 1,79 Kewenangan menentukan teknis/sistem silvikultur dimiliki Hilir (Tipe 2 Sukaraja, Tipe 3 Sukaraja, dan Tipe 3 6 Kewenangan menentukan bentuk pengelolaan Krucil). Aturan ini upaya subyektif Hilir menjamin kinerja Hulu dalam melaksanakan proses produksi guna mewujudkan komoditas yang diperjanjikan. Di lapangan, aturan dikomunikasikan petugas teknis principal dan koordinator (mitra antara) ke petani mitra (agents), khususnya di Tipe 2 dan Tipe 3. 1 1,79 Upaya menjaga harmoni dan tanggungjawab sosial terhadap petani. Merupakan imbalan/tindakan balasan atas 7 Penggunaan faktor produksi untuk komoditas kesediaan petani penggarap melakukan pengolahan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman pokok, lain ditambah imbalan proporsi bagi hasil panen. Aturan ini sekaligus pengalihan tanggungjawab untuk melaksanakan ketiga kegiatan tersebut yaitu dari mitra antara ke petani.
77
Tabel 12 ( Lanjutan) No Indikasi Aturan
Jumlah Butir % 3 5,36
8
Transfer of Right
9
Partisipasi mitra dalam pelaksanaan kegiatan
6
10,71
10
Sanksi atas terjadinya wanprestasi dan kepatuhan terhadap regulasi
9
16,07
11
Antisipasi terhadap kemungkinan perselisihan perdata
3
5,36
6
10,71
56
100
12
Get what you pay for (siapa menanam akan memanen) Jumlah
Analisis Kontrak secara formal mengatur hak kepemilikan/pemanfaatan komoditas output yang besarannya ditentukan sesuai input produksi yang dikeluarkan para pelaku. Kontrak formal juga mempunyai pengaturan ahli waris. Pada bukan lahan milik terdapat pengalihan hak dari pemegang kuasa ke petani penggarap (authorised users) berupa hak garap yang bersifat sementara. Selanjutnya pengalihan hak yang diperjanjikan adalah adanya kesepakatan untuk memanfaatkan komoditas hasil panen KIBARHUT untuk kebutuhan bahan baku INPAK. Positif, karena menumbuhkan jalinan relasional dalam suatu kontrak formal. Partisipasi mitra mencakup upaya pengorganisasian petani, pengamanan tegakan dan pelaksanaan pemanenan. Aturan yang mengatur partisipasi dapat diarahkan menjadi upaya menanamkan esensi, atau budaya “siapa menanam akan memanen” sehingga tidak ada yang menjadi “free-rider”. Pemanenan tanpa diikuti penanaman memberikan eksternalitas negatif, dan kelestarian usaha para pelaku (petani, INPAK dan mitra antara) menjadi terganggu. Ada yang dinyatakan secara spesifik dan ada yang tidak spesifik. Termasuk kepatuhan tersebut adalah aturan yang mengatur tentang pembayaran pungutan (PSDH, SAKB) sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Tipe 2 dan Tipe 3) dan sanksi sesuai ketentuan hukum jika terlibat pidana hutan (Tipe 3). Wanprestasi adalah suatu cidera janji atau segala bentuk kelalaian, yaitu tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban, terlambat melaksanakan kewajiban, serta pelaksanaan kewajiban tidak sesuai dengan yang diperjanjikan (Salim, 2002). Aturan ini mengatur kemungkinan pihak yang dirugikan menyelesaikan melalui jalur hukum. Namun, tidak adanya ukuran yang spesifik menyebabkan kemungkinan interpretasi yang rancu atau multitafsir. Aturan yang spesifik memberikan jaminan perlindungan/pengamanan tegakan hanya terdapat pada Tipe 3 Sukaraja. Aturan tersebut merupakan suatu permintaan/pernyataan jaminan kinerja. Perlu suatu aturan yang sangat spesifik dan tidak menimbulkan multitafsir serta kerancuan interpretasi jika terjadi sengketa. Kontrak KIBARHUT dibuat tidak terlampau kompleks. Terdapat perjanjian formal bersifat court enforceable contract, tetapi norma sosial juga mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya. Perlu dibuka peluang melibatkan lembaga mediasi guna (i) menghindari kemungkinan perilaku oportunis dan (ii) memfasilitasi keberlangsungan pasokan KB dari Hulu ke Hilir. Fasilitasi diperlukan sebagai konsekuensi kepercayaan dan kesukarelaan antara Hulu dengan Hilir sehingga keberlangsungan pelaksanaan KIBARHUT dapat terwujud. Aturan mencakup pengaturan bagi hasil sebagai imbalan atas “investasi” yang dikeluarkan selama proses produksi untuk menghasilkan komoditas (KB). Aturan ini dapat diperluas untuk keperluan menjamin bahwa hulu bertindak untuk memuaskan Hilir (memasok KB) dikaitkan dengan aturan yang berkaitan dengan sanksi. 77
78
Tabel 12 menunjukkan bahwa upaya Hilir memastikan dan menjamin bahwa Hulu memasok hasil panen, didukung 6 aturan yang mengindikasikan upaya Hilir mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis/sub optimal dari Hulu. Ditemukan adanya aturan yang mengatur sanksi di Tipe 2 Sukaraja (5 aturan), Tipe 2 Krucil (3 aturan), Tipe 3 Sukaraja (6 aturan), dan Tipe 3 Krucil (5 aturan), sedangkan di Tipe 1 Bawang tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi. Tidak adanya sanksi dapat menjadikan kelembagaan tidak bermakna karena tidak adanya resiko hukuman untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji. Terjadinya perilaku oportunis menjadikan pasokan kayu KIBARHUT ke INPAK (Hilir) adalah tidak terjamin. Pada sisi lain, terdapat juga ketentuan atau norma tidak tertulis yang dijalankan, dan menjadi ketentuan yang melekat bagi keterlibatan peserta dalam pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik. Legalitas pemilikan lahan merupakan syarat mutlak58 yang harus dipenuhi karena pengelolaan hutan memerlukan proses produksi yang cukup lama hingga siap panen59. Legalitas lahan milik cukup beragam, yaitu berupa: (i) sertifikat hak milik; (ii) Letter C/Petok D; (iii) Girik; (iv) Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT). Upaya pembuktiannya sudah menjadi kebiasaan yang ada di lokasi dan diakui peserta, sehingga pengaturan rinci tidak dituliskan secara formal dalam kontrak. Peserta diminta membuktikan kepemilikan lahan secara hukum (legal aspect) dan sosial. Intinya adalah bahwa lahan kegiatan kemitraan (i) bukan merupakan lahan jarahan; (ii) bukan tanah/lahan yang bermasalah, (iii) ada pernyataan atau persetujuan saudara-saudaranya/ahli waris bahwa lahan tersebut akan ditanami pohon berkayu secara bermitra dengan INPAK (Hilir). Poin ketiga harus dipenuhi jika lahan yang diajukan ternyata bukti kepemilikan lahannya atas nama orang lain. Pembuktian tersebut harus diketahui oleh aparat desa, sehingga memudahkan petani selaku mitra pada waktu panen nantinya. Legalitas kepemilikan lahan milik tersebut menjadikan pelaksanaan di lahan milik mempunyai jaminan kepastian hak pemanfaatan dan
58
Legalitas lahan merupakan kondisi prasyarat (enabling conditions) berlangsungnya pengelolaan hutan secara lestari. Indikator ini terdapat dalam skema sertifikasi sukarela (misal Standar LEI 5000-2, Standard LEI 5000-3) atau skema mandatory verification Dephut (SK Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 untuk hutan alam dan SK Menhut No. 177/Kpts-II/2003 untuk hutan tanaman). 59 Masripatin dan Priyono (2006) memperkirakan sekitar 6–10 tahun, tetapi petani mulai melakukan tebangan ketika pohon berumur sekitar 4 tahun atau telah mencapai diameter minimal 10 cm.
79
penggunaan lahan bagi petani dibandingkan pelaksanaan di bukan lahan milik (lahan/hutan negara). Pada sisi lain, penjarangan atau tebangan pada pohon muda berdiamater kecil juga menjadi kondisi umum dan kebiasaan petani. Situasi umum tersebut mendorong INPAK (Hilir) menyesuaikan dengan ikut menampung kayu kecil melalui sawmill lokal/afiliasi (di Sukaraja dan Krucil), berupaya membiasakan petani untuk memanen pohon pada umur daurnya melalui fasilitas kredit tunda tebang (di Bawang dan Krucil), dan pemberlakuan harga pasar berdasarkan kelas diameter, termasuk harga premium pada pemasaran kayu KIBARHUT (di Sukaraja dan di Krucil). Pelaksanaan KIBARHUT juga dengan adanya keterlibatan ellite/tokoh warga yang dipercaya dan dihormati warganya. Keterlibatan dan peran tokoh warga tersebut sebagai penghubung (informasi dan komunikasi) para pelaku, sekaligus membina dan memotivasi petani peserta. 3.
Pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa adalah (i)
INPAK; (ii) Petani; (iii) Perusahaan Mitra/Koordinator/Keltan. Jika model transaksi pasokan bahan baku60 dari Gibbons (2005) dijadikan acuan mendefinisikan principal– agents maka INPAK disebut Hilir (downstream parties) atau principal murni dan petani
sebagai
Hulu
(upstream
parties)
atau
agents
murni.
Perusahaan
Mitra/Koordinator/Keltan adalah mitra antara yang bertindak sebagai agents pada hubungan tingkat pertama, tetapi menjadi principal pada hubungan tingkat kedua. a.
INPAK INPAK selaku principal kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh, adalah: (i)
PT. BKL (group) di Kab. Tasikmalaya; (ii) PT. SGS (group) di Kab. Batang; dan (iii) PT. KTI di Kab. Probolinggo. KIBARHUT dimulai sejak tahun 1999 di PT. KTI sebagai langkah uji coba, dan mulai aktif diimplementasikan pada tahun 2001/02. Dua tahun kemudian atau pada tahun 2003/04, PT. SGS dan PT. BKL juga melakukan kegiatan KIBARHUT. Deskripsi ketiga INPAK tersebut adalah sebagaimana hasil kajian berikut ini.
60
Menggambarkan hubungan kemitraan atas transaksi penawaran suatu komoditas (transaksi supply) dengan mempertimbangkan adanya Hilir, Hulu dan kepemilikan assets (Gibbons (2005).
80
1)
PT. Bineatama Kayone Lestari PT. Bineatama Kayone Lestari (BKL)61 memproduksi moulding dan komponen
bahan bangunan, khususnya daun pintu dan bare core62. Produk bare core dipasarkan ke Taiwan, Korea, Cina, Singapura dan Malaysia dan dijual lokal ke beberapa pabrik block board di Jawa Barat. PT. BKL juga adalah IUIPHHK yang memproduksi veneer yang dipakai sendiri guna memproduksi block board. Bahan baku menggunakan kayu kelompok jenis Meranti dan Rimba Campuran, serta Sengon. Pasokan kayu Meranti dan Rimba Campuran berasal dari Kalimantan, sedangkan kayu Sengon dari hutan rakyat di sekitar pabrik terutama dari Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, dan Kuningan. Mengantisipasi pasokan kayu Sengon yang semakin terbatas, PT. BKL melaksanakan KIBARHUT sejak tahun 2003. Visi yang disosialisasikan adalah “Hutan Lestari, Masyarakat Mandiri, Investasi Kembali”. KIBARHUT dilakukan di: (i) hutan negara dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, yaitu di KPH Tasikmalaya, KPH Garut dan KPH Sumedang; (ii) tanah kas desa (TKD) atau pengangonan bekerjasama dengan pemerintah desa setempat; (iii) lahan HGU kebun, kerjasama dimulai tahun 2003/04 tetapi penanaman direalisasikan bertahap pada tahun 2003/04–2005/06 dan dilanjutkan pada tahun 2008/09 dan seterusnya; (iv) lahan milik TNI di Ciamis, dan (v) lahan milik/perorangan. Realisasi KIBARHUT terfokus di 4 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Tasikmalaya, Garut, Sumedang, dan Ciamis. Selama kurun waktu 4 musim tanam, PT. BKL mengklaim telah melakukan kemitraan membangun hutan seluas 3.381,46 ha dengan rincian sebagaimana pada Tabel 13. Pada tahun tanam 2007/08, hampir seluruh bibit yang dipasok pihak penyedia tidak memenuhi standard bibit berkualitas layak tanam63 sehingga tanaman banyak yang tidak tumbuh dan mati. Kegiatan dianggap gagal dan dilakukan penanaman 61
Beroperasi berdasarkan izin usaha dari Kepala Kanwil Depperindag Prov. Jawa Barat No. 003/ Kanwil.10.08.18/IHPK/b/Iz.00.03/IV/99 tanggal 27 April 1999. 62 Bare core adalah bentuk produk setengah jadi yang dipergunakan sebagan bahan baku produk kayu bersifat jadi seperti pintu atau meja. Bare core merupakan bahan lembaran tengah untuk block-board dimana face-backnya menggunakan veneer. 63 Bibit berkualitas memenuhi syarat layak tanam di lapangan jika: (i) berumur 2,5–3 bulan, ii) tinggi bibit mencapai 25–30 cm, (iii) diameter batang minimal 3 mm pada leher akar, (iv) daun utuh dan batang tidak rusak, (v) tanah dan perakaran yang bagus dalam kantong plastik yang tidak boleh pecah (SNI 1-5006.1-1999 : Mutu Bibit; SNI 01-5006.6-2001 : Mutu benih Jeungjing; SNI 01-5006.7-2002 : Istilah dan definisi yang berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan tanaman kehutanan).
81
ulang pada tahun 2008/09. Pada tahun tersebut, bekerjasama dengan BPDAS Citarum Citanduy juga dilakukan penanaman seluas 500 ha di Tasikmalaya, Garut dan Sumedang. Tabel 13 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. BKL Tahun Tanam Mitra Lokasi 2003/2004 Keltan dan petani penggarap kebun Tasikmalaya Kodim Ciamis dan Petani Ciamis KTH dan Petani Ciamis 2004/2005 KPH Tasikmalaya dan KTH/LMDH Tasikmalaya 2005/2006 KPH Garut dan KTH/LMDH Garut KPH Sumedang dan KTH/LMDH Sumedang 2006/2007 Keltan dan Petani Tasikmalaya Keltan dan Petani Ciamis Keltan dan Petani Garut Jumlah
Luas (ha) 139,90 250,00 60,00 862,56 720,00 16,80 796,58 468,62 17,00 3.381,46
Sejak tahun 2007, untuk mensinergikan kegiatan KIBARHUT dan pasokan bahan baku kayu (supply) maka PT. BKL membentuk PT. Bina Inti Lestari (BIL). PT. BIL merupakan anak usaha yang konsentrasi kegiatannya pada pelaksanaan KIBARHUT dan memasok kebutuhan bahan baku untuk PT. BKL. BIL mengkoordinir bantuan gergaji mesin (band saw) ke kelompok usaha penggergajian (KUP) di sekitar lokasi KIBARHUT. KUP, selanjutnya, wajib memasok kayu gergajian sesuai ukuran64 yang ditentukan PT. BKL. Berdirinya KUP di sekitar lokasi penanaman, memberikan jaminan ke petani mengenai pembeli dan pasar kayu KIBARHUT. Mulai tahun 2008, PT. BIL meminta KUP juga terlibat berpartisipasi membangun hutan. Setiap KUP diharapkan memiliki 60–100 ha lahan ditanami Sengon, yang dilakukan pada lahan milik sendiri, sewa lahan, atau bekerjasama dengan petani di sekitar wilayah KUP. 2)
PT. Sumber Graha Sejahtera PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) adalah kelompok industri perkayuan
berlokasi di Tangerang berdiri tahun 2002. Berdasarkan izin industri65, perusahaan memproduksi plywood (kayu lapis), Laminated Veneer Lumber (LVL), floorbase dan produk kayu lainnya dengan kapasitas 60.000 m³ per tahun. Produk PT. SGS
64
Kalangan usaha perkayuan di Tasikmalaya mengenal produk tersebut sebagai “pallet” yaitu balok kayu ukuran panjang 130cm, lebar bervariasi antara 8–16 cm dan tebal sekitar 5 ± 0,2 cm. 65 SK Menteri Kehutanan No. 4106/MENHUT-VI/BPPHH/2005 tanggal 10 Otkober 2005
82
mayoritas dipasarkan di dalam negeri, dan sebagian kecil diekspor ke Malaysia, Korea, dan Timur Tengah. Di Batang (Jawa Tengah) terdapat 2 industri termasuk PT. SGS Group yaitu PT. Kharisma Megah Dharma (KMD)66 dan PT. Makmur Alam Lestari (MAL)67. Keduanya merupakan INPAK penghasil veneer dengan kapasitas produksi masing-masing 30.000 m³ per tahun. Veneer hasil produksi PT. KMD dan PT. MAL, selanjutnya dikirim ke pabrik PT. SGS di Balaraja, Tangerang untuk diolah menjadi produk jadi/akhir. PT. SGS Group merintis program pembangunan hutan rakyat kemitraan sejak tahun 2003, dengan harapan dapat (i) menyediakan peluang usaha bidang perkayuan dengan pasar yang jelas, dan berdasarkan harga berlaku di pasar; (ii) memberikan nilai ekonomi yang menguntungkan petani dan kelompok tani; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan lahan milik petani yang kurang produktif; dan (iv) menjamin ketersediaan pasokan bahan baku untuk PT. SGS group. Lokasi lahan kegiatan KIBARHUT diupayakan berjarak maksimal 40 km dengan lokasi pabrik. KIBARHUT telah dilaksanakan di 5 kabupaten pada 3 provinsi di Pulau Jawa. Tabel 14 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 4 musim tanam (2003/04 s.d. 2006/07), PT. SGS mengklaim telah melakukan kemitraan penanaman Sengon sejumlah 3.449.906 batang. Bibit ditanam pada lahan seluas 6.980,74 ha tersebar di 5 kabupaten yaitu Pandeglang dan Lebak (Prov. Banten), Bogor (Prov. Jawa Barat), Banyumas dan Batang (Prov. Jawa Tengah). Pada tahun tanam 2007/08, kemitraan penanaman Sengon sekitar 3 juta batang Sengon yang tersebar di 5 (lima) provinsi, yaitu di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Pada saat pengumpulan data lapangan, realisasi penanaman belum seluruhnya masuk ke Divisi BioForest. Khusus di Batang, penanaman terealisasi sejumlah 185.000 bibit pada lahan seluas 462,50 ha yang tersebar di Bawang (60.000 bibit pada lahan seluas 150 ha), Tersono, dan Grinsing.
66 67
Izin Usaha Industri (IUI) No. SK.340/MENHUT-II/2007 tanggal 8 Oktober 2007 Izin Usaha Industri (IUI) No. SK.341/MENHUT-II/2007 tanggal 8 Oktober 2007
83
Tabel 14 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat pola PT. SGS Tahun Tanam Lokasi (Kab. / Prov.) Jumlah Bibit (btg) 2003/2004 Lebak, Banten 29.500 Pandeglang, Banten 52.500 278.000 Batang, Jawa Tengah 2004/2005 Lebak, Banten 150.000 Pandeglang, Banten 44.500 120.000 Banyumas, Jawa Tengah 316.000 Batang, Jawa Tengah 2005/2006 Lebak, Banten 377.900 Pandeglang, Banten 150.006 349.525 Bogor, Jawa Barat 120.500 Banyumas, Jawa Tengah 865.805 Batang, Jawa Tengah 2006/2007 Lebak, Banten 282.170 Pandeglang, Banten 86.500 227.000 Batang, Jawa Tengah Jumlah 3.449.906
Luas lahan (ha) 218,75 131,25 685,63 212,99 85,46 300,00 487,50 554,71 366,77 874,00 301,25 807,00 694,43 203,00 1.058,00 6.980,74
PT. SGS Group melakukan kemitraan membangun hutan dalam 3 (tiga) bentuk yaitu bantuan (hibah) bibit, kerjasama (bagi hasil) dan sistem sewa tanah. Hibah bibit dengan membagikan bibit Sengon gratis ke petani. Bibit Sengon didatangkan sampai lokasi penanaman, kemudian petani melakukan penanaman di lahan yang dikuasainya dengan biaya sendiri. Petani memiliki seluruh kayu hasil panen (100%). Kerjasama dengan bagi hasil dilakukan dengan petani/mitra yang mempunyai lahan cukup luas dalam satu areal. Petani berkewajiban mengolah tanah, menanam, dan memelihara tegakan. PT SGS Group menyediakan bibit Sengon, pupuk, biaya pengolahan tanah dan pemeliharaan. Kayu hasil produksi dijual ke pabrik dan dengan porsi bagi hasil yang disepakati bersama (prosentase bagi hasil sesuai input produksi masing-masing pihak, tetapi praktek di lapangan adalah 50% untuk petani dan 50% untuk PT. SGS). Sewa tanah dilakukan dengan cara membayar uang sewa ke pemilik lahan sesuai harga standard sewa tanah yang berlaku. Penyediaan bibit, pupuk, pelaksanaan pekerjaan penanaman dan pemeliharaan dilakukan PT. SGS dengan melibatkan petani pemilik lahan sebagai buruh kerja. Hasil panen seluruhnya menjadi milik PT. SGS. Kegiatan membangun hutan rakyat kemitraan semenjak tahun 2007 telah dikelola khusus oleh Divisi Plantation (Bio Forest). Di Kab Batang, Jawa Tengah, kegiatan dilaksanakan petugas lapangan (Soeranto DN cs) yang tidak memiliki akses langsung atau kewenangan dalam hal pembelian kayu. Soeranto cs, selaku petugas kemitraan, mengakui tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan Mandira atau PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) dan PT. Setya Alba (SA). Keduanya
84
adalah perusahaan di dalam kelompok PT. SGS yang bertanggungjawab mengatur ketersediaan bahan baku kayu untuk pabrik kelompok PT. SGS di Grinsing, Batang. Kendala tersebut, memunculkan ide petugas lapangan melakukan berbagai kegiatan pendukung KIBARHUT. Program pendukung yang ditawarkan adalah : a).
b).
3)
Kredit tunda tebang yaitu fasilitas pinjaman uang ke petani yang membutuhkan dana mendesak (biaya sekolah, hajatan, hari raya, dsb), namun pohonnya masih belum mencapai umur tebang (5 tahun). Sosialisasi dilakukan sejak awal tahun 2008, dilanjutkan pendataan petani di Kec. Bawang yang berminat bergabung, dan inventarisasi tegakan. Pada kegiatan tersebut, INPAK memberikan subsidi bunga karena bunga kredit dibebankan adalah 0,5% per tahun. Agunan yang diminta dari petani adalah (i) legalitas kepemilikan lahan milik (copy sertifikat, letter C atau SPPT); (ii) surat pernyataan yang menyatakan lahan tidak dalam sengketa, (iii) tanaman sengon yang dijadikan agunan adalah tanaman yang dalam waktu 6 bulan– 2 tahun kemudian sudah siap ditebang. Namun sampai dengan penelitian dilakukan belum ada realisasi kegiatan dimaksud. Pembentukan koperasi untuk kegiatan pemasaran kayu. Koperasi selanjutnya bertindak sebagai supplier kayu untuk INPAK. Koperasi Graha Mandiri Sentausa (GMS) sudah terbentuk melalui pertemuan petani KIBARHUT di Desa Surjo, Kec. Bawang pada bulan Juli 2008.
PT. Kutai Timber Indonesia PT. Kutai Timber Indonesia (KTI) memulai operasional produksi plywood dan
lumber di Probolinggo pada tahun 1974. Kapasitas produksi plywood sekitar 147.000 m³/tahun, dan wood working sebesar 36.000 m³/tahun berdasarkan SK Menhut No. 63/Menhut-VI/BPPHH/2006 tanggal 16 Januari 2006. Pada bulan Maret 2008, PT. KTI mulai memproduksi particleboard dengan kapasitas produksi 128.000 m³/tahun. PT. KTI melakukan kegiatan penanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species/FGS), yaitu Sengon Laut (Paraserianthes falcataria), Balsa (Ochroma sp.), Jabon (Anthocephalus cadamba), Mindi (Melia azedarach), Sungkai (Peronema canescens), Waru (Hibiscus sp.), Gmelina (Gmelina arborea), dan jenis lainnya. Kegiatan dilakukan sejak tahun 1998 di kebun percobaan Sepuh Gembol, Kec Wonomerto, Probolinggo. Mulai tahun 2001 kegiatan diperluas menjadi program KIBARHUT, dan dikelola oleh Divisi Penanaman dan Lingkungan (Divisi P & L). KIBARHUT dilakukan dengan maksud (i) mengurangi ketergantungan kebutuhan terhadap kayu dari hutan alam, dan dalam jangka panjang seluruh pasokan kebutuhan bahan baku menggunakan kayu dari hutan tanaman; dan (ii) memanfaatkan lahan rakyat yang
85
tidak/kurang produktif di Jawa Timur. Sampai dengan tahun tanam 2006/2007, PT. KTI telah melakukan kemitraan membangun hutan seluas 4.174,92 ha tersebar di 4.333 lokasi (11 kabupaten se-provinsi Jawa Timur) sebagaimana Tabel 15. Realisasi KIBARHUT tahun 2007/2008 di Krucil seluas 595,56 ha tersebar di 901 lokasi dengan keterlibatan sejumlah 461 pemilik lahan. Tabel 15 Tahun 1997/98 2001/02
Data penanaman kemitraan PT. KTI Lokasi Kategori Mitra Luas (ha) Sites Jenis tanaman Probolinggo Swakelola 2,50 1 Campur Lumajang Masyarakat 1,00 7 Sengon Probolinggo swakelola, institusi, 314,66 32 Sengon, Gmelina, Jabon, masyarakat Balsa, Waru Pasuruan Masyarakat 7,56 11 Sengon Malang Masyarakat, institusi 16,61 5 Sengon Surabaya Institusi 24,98 4 Sengon 2002/03 Pasuruan Masyarakat 68,23 118 Sengon Bondowoso Masyarakat 39,92 112 Balsa Probolinggo Masyarakat,swakelola 24,84 43 Sengon, Balsa Malang Masyarakat 37,20 66 Sengon 2003/04 Probolinggo Masyarakat, institusi 335,69 200 Sengon, Balsa Pasuruan Masyarakat 11,00 38 Sengon Jember Institusi (PTPN XII 588,15 50 Sengon, Balsa, Waru, di Jember & Jatim) Gmelina, campur Banyuwangi Masyarakat 1,42 11 Sengon 2004/05 Blitar Masyarakat 181,43 357 Sengon Jember Institusi 200,00 4 Sengon Pasuruan Masyarakat 4,28 9 Sengon Probolinggo Masyarakat, Institusi 142,10 178 Sengon,Gmelina, campur Tulungagung Institusi 10,00 1 Sengon 2005/06 Probolinggo Masyarakat, Institusi 377,59 587 Sengon, Balsa Malang Institusi 20,66 29 Sengon, Balsa Jember Masyarakat 81,39 197 Sengon, Balsa Pasuruan Masyarakat 15,79 55 Sengon Tulungagung Institusi 261,80 4 Sengon 2006/07 Situbondo Masyarakat 4,94 7 Sengon, Gmelina Probolinggo Masyarakat, Institusi 1.266,00 1.865 Sengon, Jabon, Balsa,Waru Blitar Masyarakat 1,48 4 Sengon Malang Masyarakat 12,25 22 Sengon Bondowoso Masyarakat 31,54 68 Sengon Lumajang Masyarakat 20,98 66 Sengon Jember Masyarakat 68,93 182 Sengon, Balsa, Jabon Jumlah 4.174,92 4.333
KIBARHUT dilakukan dengan menggunakan berbagai macam jenis tanaman berkayu, dan dua jenis mayoritas adalah Sengon (47,84%) dan Balsa (44,65%). Pada awal kegiatan, pembangunan hutan KIBARHUT didominasi jenis Sengon sedangkan jenis lainnya hanya ditanam pada lahan swakelola. Jenis Balsa mulai ditanam dalam skala besar pada lahan yang dikuasai mitra institusi (Aviland, KTI bk dan PTPN XII)
86
pada tahun tanam 2003/2004, dan penanaman secara luas di lahan milik petani sejak tahun tanam 2005/2006. KIBARHUT dilakukan bekerjasama dengan mitra yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Mitra terlibat adalah perorangan atau kelompok, instansi pemerintah, perguruan tinggi, BUMN, swasta, institusi keagamaan (pesantren dan gereja), dan LSM/Yayasan. Kemitraan pada periode awal (tahun tanam 2001/02–2003/04) dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya sebagai faktor produksi KIBARHUT yang lebih besar. Untuk tahun tanam 2005/06 dan selanjutnya, PT. KTI hanya membantu faktor produksi bibit tanaman, namun tetap memberikan bimbingan teknis, saran, pertimbangan, dan jaminan pasar terhadap hasil panen. b.
Petani Petani sebagai Hulu atau agents murni pada kelembagaan KIBARHUT
dibedakan menjadi (i) petani pemilik lahan yaitu petani yang melakukan kerjasama dan bekerja pada lahan miliknya atau yang dikuasainya, dan (ii) petani non-pemilik lahan yaitu petani terlibat dalam arena aksi sebagai penggarap (authorized user) pada lahan yang dimiliki atau dikuasai mitra antara atau pihak lain. Petani pelaku KIBARHUT dapat dideskripsikan sebagai berikut (i) di Tipe 1 Bawang adalah warga desa terdaftar sebagai anggota Keltan desa atau tidak terdaftar (2 tingkat) atau perorangan (1 tingkat); (ii) di Tipe 2 Sukaraja adalah anggota Keltan yang dibentuk koordinator wilayah atau Korwil (2 tingkat); (iii) di Tipe 2 Krucil adalah anggota kelompoknya koordinator pengelola atau KP (2 tingkat) atau warga perorangan (1 tingkat); (iv) di Tipe 3 Sukaraja adalah anggota KTH/LMDH; (v) di Tipe 3 Krucil adalah penggarap lahan HGU. Mayoritas (65,56%) umur petani contoh berada pada usia diatas 41 tahun. Temuan ini memperkuat fenomena yang umum disinyalir bahwa telah terjadi perubahan/pergeseran budaya, sehingga tenaga kerja (petani) umumnya di dominasi penduduk yang sudah tua atau berusia lanjut. Jika pun terdapat petani berusia muda maka jumlahnya sangat sedikit, dan biasanya karena sangat terpaksa atau karena tidak ada alternatif pekerjaan lainnya (Ali, 2007; diskusi dengan Soeranto DN, 2008). Kaum muda desa umumnya lebih tertarik menjadi tukang ojek atau memburuh ke kota. Kondisi ini sesungguhnya menjadi peluang pengembangan tanaman Sengon karena perawatan atau pemeliharaannya tidak perlu rutin. Setelah penanaman, tanaman
87
Sengon cenderung ditinggalkan dan hanya ditengok ketika dirasakan waktunya untuk ditebang, sehingga sebagaimana juga diungkapkan oleh Arnold dan Dewess (1998) bahwa pengelolaan pohon sesungguhnya membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan pengelolaan tanaman keras/perkebunan. Proses memperoleh dan memanfaatkan informasi dan pengetahuan ditentukan juga oleh tingkat pendidikan petani. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan (Yuwono, 2006). Sebagian besar agents (78,9%) adalah berpendidikan nonSD & SD, sehingga untuk kelancaran dan menjembatani hubungan agents dan principal pada kelembagaan KIBARHUT adalah dengan adanya keterlibatan dan peranan mitra antara. Peran penting mitra antara ditunjukkan dengan keterlibatan sebagian besar agents (95,6%) adalah pada hubungan kontraktual 2 tingkat. c.
Mitra antara Mitra
antara
berperan
dalam
mengorganisasikan
petani
peserta
dan
mengadministrasikan KIBARHUT. Pada KIBARHUT Tipe 1 Bawang, mitra antara adalah kelompok tani (Keltan) yang dibentuk oleh desa, dan perangkat desa bertindak sebagai pengurus Keltan. Keterlibatan mitra antara pada arena aksi di Bawang dapat diabaikan karena tidak ada tindakan manajemen apa pun guna mendukung pelaksanaan KIBARHUT, termasuk tidak adanya input dikeluarkan dan tidak ada output menjadi bagian pelaku. Pada Tipe 2 dan Tipe 3, kegiatan KIBARHUT dikoordinasikan mitra antara sehingga terjalin hubungan kelembagaan 2 tingkat. Pada hubungan tingkat pertama, principal mendelegasikan kewenangan memproduksi dan menentukan pasokan kayu sesuai spesifikasi proses produksinya; sedangkan mitra antara menjalankan sebagian kewenangan principal. Pada hubungan tingkat kedua, mitra antara bertindak sebagai pemilik sebagian kewenangan menentukan pasokan kayu, mengorganisasikan petani, dan menjamin pasar komoditas yang dikuasakan principal; sedangkan agents bertindak sebagai pelaku yang melaksanakan hak dan kewajiban untuk memproduksi dan memasok kayu KIBARHUT. Mitra antara pada Tipe 2 adalah tokoh warga/pemuka agama dan bukan merupakan suatu lembaga formal, serta tidak ada pemilikan asset atau sumberdaya yang melekat ke pelakunya. Sumberdaya yang menjadi input share adalah
88
kemampuan manajemen atau pengorganisasian pelaksanaan KIBARHUT, khususnya pemanfaatan pengetahuan dan informasi yang dimiliki mitra antara tentang INPAK dan petani. Mitra antara di Sukaraja adalah koordinator wilayah (Korwil) yang merupakan koordinator kelompok tani di desanya. Di Krucil, koordinator pengelola (KP) selaku mitra antara bertugas mengorganisasikan petani, mengadministrasikan kegiatan, melakukan monev, dan pengamanan tanaman. Pada Tipe 3, mitra antara merupakan institusi formal yang mempunyai organisasi lengkap. Mitra antara menguasai asset yang menjadi input produksi KIBARHUT, yaitu hutan negara (KPH Tasikmalaya) atau lahan HGU kebun (Aviland/KTI bk). 4.
Deskripsi (situasi aksi) kelembagaan KIBARHUT
a.
Hubungan Kontraktual KIBARHUT Tipe 1 Hubungan kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 terdapat pada arena aksi yang
dikembangkan PT. SGS. Untuk memahami karakteristik hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 maka kajian dilakukan terhadap 5 surat perjanjian kerjasama di Bawang. Hasil telaah unsur kontrak terdapat pada Lampiran 6, dan deskripsi ringkas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 Subyek Kerjasama Pekerjaan Pembayaran/ Hukum Balasan Kontrak • hubungan kontraktual 1 tingkat • Hilir membantu bibit, biaya tanam, dan pemeliharaan • Hulu melakukan penanaman, PT. SGS pemeliharaan & pemanenan • Bagi hasil tanaman/kayu hasil panen (50% Petani Hilir : 50% Hulu) • 6 tahun (sesuai daur tanaman) (informal) • hanya 1 kontrak dan tidak ada • Hulu wajib menjual hasil panen (produksi kayu) ke Hilir dengan harga pasar saat keberlanjutan di lokasi atau panen dengan petani lain • Hilir membantu bibit • Hibah Bibit (hubungan 2 tingkat) • Hulu menjual hasil panen (produksi kayu) PT. SGS • Hulu melaksanakan penanaman, ke Hilir (melalui ketua keltan/petugas Keltan pemeliharaan, pemungutan hasil lapangan) dengan harga pasar saat panen (informal) • tidak ada perjanjian tertulis antara Keltan dengan petani • 100% kayu hasil KIBARHUT milik Hulu
Tabel 16 menunjukkan bahwa pekerjaan yang dikerjasamakan secara formal adalah pembangunan hutan, pemeliharaan dan pemungutan hasil hutan, sedangkan secara tidak tertulis mencakup pemasaran kayu KIBARHUT. Hubungan kontraktual tersebut menimbulkan harapan adanya tindakan balasan, yaitu penjualan kayu
89
KIBARHUT oleh Hulu ke Hilir. Namun, aturan formal dalam kontrak tidak mengatur sanksi, jika salah satu pelaku atau semua pelaku tidak melaksanakan kewajibannya. KIBARHUT Tipe 1 Bawang mempunyai 2 bentuk yaitu kemitraan 1 tingkat dan 2 tingkat. Kemitraan 1 tingkat (bentuk kerjasama bagi hasil) sebagaimana terdapat dan hanya satu-satunya di Desa Surjo, Bawang. Perjanjian kerjasama antara principal dan petani (Muhidin). Bagi hasil antara INPAK dengan agents sebesar masing-masing 50%. Principal menyediakan bibit Sengon, biaya penanaman dan pemeliharaan, dengan seluruh kayu hasil panen wajib dipasok dan dijual ke principal. Kemitraan tersebut tidak dilakukan di tempat lain atau dengan petani lain sehingga tidak terwujud keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang pada hubungan 1 tingkat. Kemitraan dua tingkat (bentuk hibah bibit) terlaksana berdasarkan perjanjian kerjasama antara principal dengan Keltan (mitra antara) sebagaimana Gambar 11. Keltan,
selanjutnya,
diharapkan
mengorganisasikan
petani
(agents)
untuk
melaksanakan KIBARHUT, tetapi tidak ada perjanjian apa pun antara Keltan dan agents. Diakui aparat desa bahwa Keltan dibentuk hanya sebagai pemenuhan persyaratan untuk melakukan kemitraan dengan principal. Pada kemitraan dua tingkat, kayu hasil panen dikuasai seluruhnya oleh agents, artinya tidak ada bagi hasil panen yang menjadi bagian principal atau mitra antara. Tindakan balasan (manfaat) utama yang diterima principal adalah menampung dan membeli kayu KIBARHUT, yang dijual (menjadi aksi yang dipilih) agents ke principal, baik secara perorangan atau melalui koordinasi Keltan. Pihak Hilir/Principal PT. SGS Bio Forest
Kelompok Tani (mitra antara)
Petani (pihak Hulu)
Petugas Lapangan Soeranto Cs
• Pendataan petani/peserta • Distribusi Bantuan/bibit
Menerima Bibit (dan bantuan lain) Penanaman dan Pemeliharaan
Hutan KIBARHUT Tipe 1
Gambar 11. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang
90
Guna menjamin keberhasilan kerjasama, terdapat petugas lapangan principal yang bertugas memantau perkembangan tanaman dan produksi kayunya. Namun efektifitasnya terkendala beberapa hal: (i) jumlah tenaga lapangan terbatas (3 orang) dibandingkan jumlah petani dan sebaran lahan yang dikerjasamakan; (ii) petugas tidak secara rutin dan berkala berkomunikasi dengan pelaku lainnya, sehingga agents dan mitra antara kesulitan menghubungi petugas lapangan; (iii) administrasi lahan dan petani yang tidak valid. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan hirarkis yang cukup kuat antara Keltan dan agents, serta tidak adanya petugas operasional yang secara khusus dan rutin (day-to-day) mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Keltan dan petugas lapangan principal tidak melaksanakan secara rutin dan intensif kegiatan pembinaan, penyuluhan dan monev, serta upaya menjaga keamanan tegakan. Keltan membagikan bantuan bibit tidak berdasarkan daftar petani yang telah didata sebagai pelaku KIBARHUT. Bantuan justru dibagi merata ke seluruh warga untuk menghindari gejolak sosial dan kecemburuan warga desa. Artinya, Keltan tidak mengorganisasikan agents dan tidak mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Keltan dan petugas lapangan juga tidak mempunyai dasar klaim yang kuat untuk memastikan bahwa tegakan di lahan petani berasal dari bantuan principal. Keltan juga bertindak oportunis dengan meminta penggantian biaya transport dan menurunkan bibit berkisar Rp 100–200 per bibit, sehingga agents merasa membeli bibit dan berdalih tidak harus menjual kayu hasil panen ke principal. Kondisi tersebut menunjukkan tidak adanya kontribusi dan manfaat mitra antara (Keltan) pada pelaksanaan KIBARHUT. Pada situasi aksi tersebut, kontrak non-formal di Tipe 1 tidak menjamin adanya kepastian hak dan kewajiban bagi para pelakunya. Tidak adanya aturan sanksi dan resiko hukuman menyebabkan godaaan mengingkari kontrak cukup tinggi. Situasi aksi tersebut ditunjukkan dengan hanya 23,3% agents berkomitmen memasok kayu ke principal. Komitmen penegakan kontrak yang rendah tersebut menunjukkan sistem kemungkinan tidak lestari dalam jangka panjang68. Dengan demikian, kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 (KIBARHUT dengan kontrak non-formal) tidak dapat terwujud secara berkelanjutan karena tidak adanya umpan balik atau tindakan balasan yang diharapkan diterima oleh principal dari agents. 68
Penggunaan sumberdaya yang lestari dapat terjadi jika terdapat kelembagaan yang mengatur umpan balik dan arus informasi yang setara antara semua mitra dan kondisi sumberdayanya (Berkes, 1996).
91
b.
Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 terdapat di Sukaraja (Tipe 2
Sukaraja) dan di Krucil (Tipe 2 Krucil). Hasil pendalaman 14 surat perjanjian kerjasama hubungan kelembagaan KIBARHUT Tipe 2 diringkas pada Tabel 17, sedangkan telaah unsur-unsur kontrak selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 17 Deskripsi Hubungan Kontraktual KIBARHUT Tipe 2 Kec Subyek Kerjasama Pekerjaan Hukum • Kerjasama penanaman Albasia pada lahan milik/ garapan yang dikuasai Hulu. Hilir membantu bibit, pupuk dan obat serta ongkos sampai lokasi, PT. BKL dan membayar honor tidak tetap ke Korwil Petani/ Keltan • Hulu melakukan pengolahan dan persiapan (formal) lahan, penanaman, pemeliharaan/perawatan, dan Suka penjagaan keamanan tanaman (jaminan). raja • Jaminan pasar dan harga yang wajar dari Hilir • Ketua Keltan selaku wakil petani dan koordinator wilayah (Korwil) pelaksanaan KIBARHUT Keltan Petani • Korwil memasok pupuk dengan biaya Hilir (surat kuasa) • Korwil mengorganisasikan petani dan mengadministrasikan pelaksanaan • Memanfaatkan lahan yang dikuasai agents guna pembangunan hutan untuk menyediakan dan memasok kayu untuk proses produksi Hilir PT. KTI Petani/ • Hilir membantu kebutuhan bibit plus sulaman Koordinator • Hulu melaksanakan penanaman, pemeliharaan, pengelola penebangan, dan pengangkutan ke pabrik Hilir/ (formal) sawmill afiliasi di sekitar lokasi tanaman Kru • Jaminan pasar dari Hilir dan jaminan keamanan cil tanaman oleh Mitra antara • Abdul Qodir selaku KP dan wakil petani pada kerjasama penanaman dan penjualan kayu KP • KP menyiapkan bibit untuk petani dengan biaya Petani Hilir dan mengangkutnya ke lokasi (formal) • KP mengorganisasikan petani dan mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT
Pembayaran/ Balasan Kontrak • Hilir mendapat jaminan keamanan tanaman sampai panen • Hilir menampung/ memasarkan produksi kayu (gelondong) • Hilir memperoleh bagi hasil 25% (dirinci: 20% Hilir dan 5% dijanjikan untuk Korwil)
• Hulu mendapatkan 100% (bagi hasil 10% untuk KP dan 90% untuk agents) produksi kayu (hasil panen tanaman) tetapi wajib menjualnya ke Hilir sesuai standard. • Harga sesuai kelompok diameter dan berdasar harga pasar saat panen.
Tabel 17 menunjukkan bahwa kontrak KIBARHUT Tipe 2 mengatur jaminan keamanan tanaman dari gangguan pencurian sampai saat panen yang diatur secara tertulis formal dan berdasarkan norma sosial. KIBARHUT Tipe 2 memberikan jaminan pasar dan harga kayu yang wajar berdasarkan harga pasar saat panen, sehingga memunculkan tindakan balasan yaitu (i) bagi hasil panen antara principal dengan agents, dan mitra antara dengan agents; (ii) agents menjual hasil panen atau produksi kayunya ke principal.
92
Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 di Sukaraja merupakan kemitraan dua tingkat. Perjanjian kerjasama dilakukan antara BKL/BIL dan Ketua Keltan. Kegiatan operasional (day-to-day) dilakukan BIL dan bersama-sama Keltan (mitra antara) mengorganisasikan agents untuk melaksanakan KIBARHUT Tipe 2 sebagaimana ilustrasi Gambar 12. Kontrak dilaksanakan oleh 10 Kelompok di Desa Leuwibudah dan 11 Kelompok di Desa Linggaraja. Selanjutnya, ditunjuk 2 (dua) Ketua Keltan menjadi Korwil (Mudin di Leuwibudah dan Emud di Linggaraja). Korwil direkrut dan dipekerjakan secara tidak tetap oleh BIL sehingga secara fungsional bertugas sebagai mandor tanaman (petugas lapangan) bagi principal. Petani (Agents/Hulu)
Mitra antara/ Keltan
Principal/Hilir PT. BKL (PT. BIL)
• Partisipasi (inventarisasi) • Menerima bibit-pupuk
Inventarisasi petani & lahan, distribusi bibit dan pupuk, administrasi kegiatan
Penanaman dan Pemeliharaan
Keltan/Korwil – Mandor Tanaman 11 Kel Ds Linggaraja & 10 Kel Ds Lewibudah
Hutan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja
Gambar 12. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja
Korwil melaksanakan sebagian upaya yang seharusnya dilakukan principal, yaitu melakukan pengawasan dan pengamanan tanaman sekaligus mencermati perilaku Agents. Fungsi dan kewenangan tersebut didelegasikan principal ke Korwil (mitra antara) dalam perannya sebagai mandor tanaman. Mitra antara bersedia terlibat aktif dalam menyampaikan informasi, memotivasi agents dan melaksanakan sebagian upaya principal menjaga keamanan tanaman. Karenanya, principal tidak terlampau intensif melakukan monitoring dan evaluasi secara langsung (garis putus pada Gambar 12). Kesediaan Korwil untuk terlibat sebagai mitra antara dalam pelaksanaan KIBARHUT karena mendapat manfaat berupa honor sebagai pengawas penanaman dan pengamanan tanaman (mandor tanaman). Mitra antara dijanjikan memperoleh
93
bagi hasil kayu pada saat panen. Bagi hasil tersebut berbentuk kesepakatan tidak tertulis antara principal dan mitra antara. Principal memperoleh imbalan berupa hasil panen (share contract) sebesar 25% (yaitu 20% adalah bagian principal dan 5% dijanjikan untuk mitra antara). Principal
menampung
dan/atau
memasarkan
seluruh
produksi
kayu
KIBARHUT, dan menginformasikan bahwa kayu KIBARHUT dapat langsung dijual ke sawmill afiliasi principal atau kelompok usaha penggergajian (KUP) yang terdapat di sekitar lokasi tanaman. Keterkaitan antara aksi principal – mitra antara dan kemungkinan memperoleh imbalan di akhir daur, menimbulkan adanya jaminan keamanan tanaman sampai panen. Adanya janji mendapat 5% bagi hasil panen dan honor sebagai mandor tanaman membuat Korwil melakukan berbagai upaya untuk menjaga keamanan tanaman KIBARHUT. Upaya mitra antara adalah melibatkan sebanyak mungkin kerabat dan tetangga di dekat rumah ketua Keltan atau Korwil, sebagai strategi untuk mengatasi ketidakseimbangan
informasi
(asymmetric
information)
dan
meminimalkan
kemungkinan perilaku oportunis agents69. Upaya tersebut sekaligus juga memudahkan pengawasan tegakan, menjamin keamanan tegakan, dan menjamin peluang lebih besar mendapatkan bagi hasil di akhir daur/waktu panen. Upaya lainnya adalah mengkomunikasikan secara intensif nilai sosial dan agama sebagai pemahaman umum ke semua peserta bahwa pohon Sengon adalah “titipan” principal, sehingga haram hukumnya kalau dicuri atau diambil walau hanya 1 batang pun. Berbagai upaya yang dilakukan mitra antara dan principal tersebut berhasil meyakinkan sebagian besar (60%) agents terhadap adanya kewajiban bagi hasil panen dan menjual kayunya ke principal. Hubungan
kontraktual
Tipe
2
Krucil
merupakan
KIBARHUT
yang
dilaksanakan KTI selaku principal di Kecamatan Krucil sejak tahun tanam 2003/04. Mayoritas (89,4%) kegiatan dilakukan dengan bantuan/mediasi tokoh agama setempat (Abdul Qodir Al Hamid) selaku koordinator pengelola (KP), dan sebagian lainnya (10,6%) dengan bantuan KP lain atau secara langsung dengan petani. KP, yang bertindak selaku mitra antara, membuat kesepakatan dan kontrak pemanfaatan lahan milik (atau yang dikuasai) agents untuk membangun hutan. Agents menyetujui adanya 69
Penempatan kerabat pada berbagai lini kegiatan sebagai upaya mengatasi asymmetric information dan meminimalisir kemungkinan perilaku oportunis agents juga diungkapkan Darwis et al., (2006).
94
kerjasama penanaman dan penjualan hasil panen dengan principal karena diatur secara tertulis formal dalam kontrak yang dilakukan antara KP dan petani. Mitra antara berperan dalam membina dan mengorganisasikan agents. Mitra antara juga menjadi penghubung para pelaku dan mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT sebagaimana ilustrasi pada Gambar 13. KP juga menjadi pemasok bibit KIBARHUT Tipe 2 Krucil. KP menyiapkan bibit di persemaian yang dikelolanya, termasuk menyediakan tenaga kerja dan media, sedangkan benih dan polybag dipasok principal. Bibit siap tanam selanjutnya didistribusikan ke agents oleh KP. Terhadap prestasi ini, principal memberi kompensasi ke KP sebesar Rp. 250/bibit. Principal/Pihak Hilir KTI (Divisi P & L)
Mitra Antara/Koordinator Pengelola (KP)
Petani (Hulu/Agents)
Petugas lapangan/operasional staf KTI/petugas lap
Staf KP/Administrasi
Inventarisasi petani & lahan, sedia dan distribusi bibit, adm & monev 12 Kordes se-Kec. Krucil
Partisipasi aktif kegiatan inventarisasi, kontrak formal dengan KP, menerima bibit
Penanaman dan pemeliharaan Hutan KIBARHUT Tipe 2 Krucil
Gambar 13 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil
Principal mempunyai organisasi khusus (Divisi P & L) pelaksanaan KIBARHUT. Divisi P & L memiliki petugas lapangan/operasional yang tinggal di sekitar lokasi tanaman dan bertugas melakukan koordinasi serta bekerjasama dengan petani, institusi, dan pelaku lainnya dalam melaksanakan KIBARHUT. Guna mendukung dan membantu kelancaran pekerjaan petugas principal, KP membentuk koordinator di setiap desa (kordes) dan mempekerjakan tenaga administrasi. Kordes adalah penduduk desa yang pernah menjadi santri di pesantren KP, dan secara teratur dan intensif berkoordinasi dengan petugas lapangan. Tenaga administrasi memperoleh imbalan honor tetap dari KP, sedangkan Kordes memperoleh imbalan honor tidak tetap untuk pelaksanaan pekerjaan khusus dari KP
95
atau principal. Kordes dan petugas lapangan dijanjikan (secara lisan) mendapat bagian dari bagi hasil yang diperoleh KP, namun besarannya tidak dinyatakan KP dan tidak diketahui Kordes dan petugas lapangan. KIBARHUT Tipe 2 Krucil mengatur secara formal proporsi bagi hasil kayu KIBARHUT yaitu 90% milik agents dan 10% milik KP sebagai imbalan upaya dan pengorbanan yang dikeluarkan, sedangkan principal tidak memperoleh imbalan bagi hasil kayu. Principal memperoleh manfaat ekonomis yaitu kewenangan menampung seluruh produksi kayu KIBARHUT sehingga memiliki jaminan dan kepastian pasokan kayu untuk proses produksinya. Hubungan bahu membahu (interlocked transaction) yang terjalin antara petani dan KP merupakan jaminan (warranty) keberlangsungan transaksi pasokan bahan baku dan pemasaran kayu KIBARHUT ke principal. Penempatan penduduk desa yang telah dikenal oleh petani sebagai Kordes merupakan strategi monitoring dan evaluasi yang murah, sekaligus efektif sebagai “pengawas” yang ditempatkan sewajarnya. Upaya lain adalah mengkomunikasikan nilai sosial dan agama sebagai norma yang dipahami umum bahwa tanaman KIBARHUT merupakan titipan dan amanah, sehingga harus dijaga dan haram hukumnya mengambil tanpa seijin yang menitipkan. Pendekatan non-formal tersebut diterima warga desa karena adanya KP sebagai pelaku dan pemuka agama yang menjadi panutan, karismatis dan disegani peserta situasi aksi di Krucil. Alhasil 86,7% agents mempunyai pemahaman bahwa pada waktu panen bersedia menjual produksi kayunya ke Principal. Principal pun melakukan upaya memberikan dan menjaga rasa kepercayaan yang tinggi dari petani, dengan memberikan jaminan pasar secara nyata. Upaya tersebut adalah membentuk KAMkti yang siap memberikan pinjaman atau kredit tunda tebang dan siap menampung kayu KIBARHUT. Principal juga bekerjasama dengan 2 (dua) sawmill terafiliasi untuk melakukan pembelian kayu di Krucil dan sekitarnya. Dengan demikian, pemasaran dan pasokan kayu KIBARHUT di Krucil dapat dilakukan mitra antara dan agents secara langsung ke pabrik principal di Probolinggo atau melalui KAMkti dan sawmill afiliasi tersebut. Upaya tersebut memupuk dan meningkatkan rasa saling percaya antara mitra antara dengan agents, dan mitra antara dengan Principal.
96
Pada pelaksanaannya ditemukan adanya variasi di lapangan yaitu terjadinya hubungan kemitraan satu tingkat atau kerjasama secara langsung antara principal dengan agents tanpa melibatkan mitra antara. Pada hubungan satu tingkat tersebut, perbedaan organisasi pelaksanaan kegiatan terdapat pada tiadanya peran dan fungsi mitra antara. Kegiatan operasional KIBARHUT di lapangan dilakukan secara langsung oleh petugas principal ke agents. Fungsi Kordes bersama-sama petugas lapangan principal tetap dilaksanakan, yaitu sebagai tenaga tidak tetap untuk pemantauan dan pengamanan tanaman yang dilaksanakan agents.
Tidak adanya
keterlibatan mitra antara menyebabkan seluruh hasil panen merupakan milik agents. c.
Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 KIBARHUT Tipe 3 adalah kemitraan membangun hutan bersama rakyat yang
dilaksanakan pada tanah negara atau lahan yang dikuasai oleh mitra antara. Pencermatan lapangan dilakukan terhadap hubungan kontraktual KIBARHUT yang dilaksanakan BKL di Sukaraja (Tipe 3 Sukaraja) dan KTI di Krucil (Tipe 2 Krucil). Hasil pendalaman 13 surat perjanjian kerjasamanya disajikan pada Tabel 18, sedangkan telaah unsur-unsur kontrak selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 18 menunjukkan bahwa kerjasama pekerjaan KIBARHUT Tipe 3 adalah mengoptimalkan pemanfaatan yang dikuasai mitra antara, melalui kegiatan membangun hutan (bekerjasama dengan INPAK dan petani/penggarap) untuk memasok kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk principal. Hubungan kontraktual dilaksanakan dengan mediasi KPH Tasikmalaya (KPH Tsm) pada Tipe 3 Sukaraja, dan Aviland atau KTI bk pada Tipe 3 Krucil.
97
Tabel 18 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 Kec
Suka raja
Kru Cil
Subyek Hukum
Pembayaran/ Balasan Kontrak
Kerjasama Pekerjaan
• Kerjasama budidaya Sengon mencakup semua kegiatan mulai pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran • Hilir menyediakan bibit tanaman dan sulaman di lokasi tanam, biaya penanaman, 50% biaya perlindungan/pembinaan SDH/monev dan bimbingan teknis (bintek) • Perhutani menyediakan lahan, melakukan KPH Tasik pembinaan/bintek, menanggung biaya PT. BKL perencanaan/persiapan lapangan/penjarangan/ KTH persiapan tebangan, 50% biaya perlindungan/ (formal) pembinaan SDH/monev/bintek • Petani melaksanakan pengolahan tanah, pembuatan larikan tan, pengadaan/pasang ajir, lubang tan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan, menanam/memelihara tanaman palawija • Pemasaran kayu sesuai mekanisme di Perhutani • Pengamanan dilaksanakan semua pelaku PT. KTI • Memanfaatkan areal/lahan negara yang dikuasai PT Mitra mitra antara guna membangun hutan untuk (formal) menyediakan dan memasok kayu ke Hilir • Hilir membantu biaya untuk pengadaan bibit, biaya tenaga kerja, dan biaya manajemen. • Hulu menanam, memelihara, menebang, dan mengangkut ke pabrik/sawmill afiliasi • Hulu melaporkan jumlah tanaman dan kondisi tegakan setiap 6 bulan sekali • Jaminan pasar oleh Hilir dan jaminan keamanan tanaman oleh mitra antara PT Mitra • PT. Aviland & PT. KTI bk (mitra antara) dan Petani penggarap (Hulu) dalam kerjasama penanaman dan Mitra penjualan dengan PT. KTI (informal) • mitra antara mengorganisasikan petani penggarap • Petani melaksanakan penanaman, memelihara dan menjaga keamanan tanaman
• Prioritas penjualan kayu ke Hilir. • Harga pasar sesuai kelas diameternya • Bagi hasil: 30% Hilir dan 70% Hulu (50% Perhutani dan 20% Petani)
• Prioritas kayu pasti ke Hilir • Bagi hasil: 77% Mitra antara dan 23% Hilir • Petani berhak menggarap lahan tanpa biaya • Harga berdasar kelompok diameter dan sesuai harga pasar saat panen.
KIBARHUT Tipe 3 Sukaraja adalah kemitraan 2 tingkat. Kesepakatan dilaksanakan antara BKL dan KPH Tsm, dengan melibatkan KTH. KPH Tsm dan KTH
mengorganisasikan
petani
dan
mengadministrasikan
pelaksanaannya.
Kesepakatan KPH Tsm dan KTH tetap menggunakan kesepakatan yang sudah ada, karena kelembagaan KIBARHUT tidak mengubah esensi pelaksanaan pola pembangunan hutan melalui program PHBM. Pelaksanaan kegiatan di lapangan tetap menggunakan organisasi pembangunan hutan yang sudah berjalan di Perum Perhutani, khususnya KPH Tsm.
98
Hubungan kontraktual Tipe 3 di Sukaraja direalisasikan bekerjasama dengan (i) KTH Tarunajaya (Petak 1b luas 9,40 ha), KTH Mekarjaya (Petak 1e luas 8,00 ha), KTH Sukapura (Petak 2a luas 12,50 ha) dan KTH Sirnajaya (Petak 3b luas 10,00 ha)70. Lokasi hutan terletak di RPH Sukaraja, BKPH Singaparna, KPH Tsm dan secara administratif termasuk Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya. Jenis tanaman pokok yang ditanam adalah Sengon. Keberhasilan tanaman tahun ke-5 (pada tahun 2008) mencapai 82,4% (petak 1b), 95,35 (petak 1e), 45,2% (petak 2a), dan 81,1% (petak 3b) atau mencapai rata-rata sebesar 76%71. Keberhasilan tanaman yang relatif lebih tinggi dibandingkan Tipe 1 dan Tipe 2 didukung ciri dan kondisi mitra antara yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan informasi memadai dalam usaha membangun dan mengelola hutan, serta mengorganisasikan pelaksanaannya. Mitra antara juga memiliki mekanisme pengawasan dan monev yang sudah berjalan di lapangan, sehingga kinerja memuaskan keberhasilan tanaman dapat tercapai. Situasi aksi yang mendukung tersebut tidak hanya karena faktor Perum Perhutani selaku mitra antara dan pelaku, tetapi didukung juga kesadaran petani memelihara tegakan. Petani terlibat aktif memelihara tegakan karena adanya imbal hasil panen yang diterima pada akhir daur, dan ikatan kemitraan berupa lahan garapan. Tingginya partisipasi petani dalam pelaksanaan PHBM ditunjukkan dengan keberhasilan tanaman berkategori bagus, sebagaimana juga temuan Jatmiko (2006) di BKPH Pacet, KPH Pasuruan. Ketua KTH (Sodik, Hafid, dan Oong) menyatakan petani mudah diajak dan diminta kesediaannya memelihara tanaman. Ketua KTH selalu mengingatkan bahwa banyak petani lain yang tidak memperoleh lahan garapan, karena ketersediaan lahan andil yang terbatas. Karenanya jika tidak bersedia memelihara, maka ada petani lain yang bersedia menggantikan menjadi pesanggem dan memelihara tanaman. Ketegasan para pelaku dalam mengawasi dan menjalankan aturan dalam hubungan kelembagaan, serta perilaku baik dan kedekatan Ketua KTH dan Mandor PHBM (Haryanto) diakui semua petani menjadi pendorong keberhasilan tanaman. Telah terbentuknya hubungan
70
Pada saat kontrak ditandatangani, kelembagaan petani masih berbentuk KTH. Namun saat penelitian dilakukan, LMDH di desa tersebut sudah terbentuk. 71 Keberhasilan tanaman relatif tinggi juga ditemukan di KPH Probolinggo yaitu mencapai rata-rata 74% berdasarkan hasil pemeriksaan tanaman tahun ke-3 (tahun 2008).
99
kelembagaan diantara mitra antara – agents menjadi salah satu daya tarik dan dorongan bagi principal melakukan kerjasama dengan Perum Perhutani72. Kelembagaan yang sudah terbentuk dan efektif berjalan di lapangan tersebut menyebabkan KIBARHUT Tipe 3 Sukaraja tidak perlu membangun kelembagaan dan mengkondisikannya dari awal. Pada sisi lain, ketersediaan lahan dalam hamparan yang luas (hektaran) menyebabkan kerjasama dengan Perum Perhutani dianggap lebih menguntungkan principal dibandingkan kerjasama dengan petani secara perorangan. Dengan demikian, terdapat keterkaitan situasi antara aksi yang dipilih untuk melakukan kemitraan dengan hasil yang diharapkan diterima para pelakunya. Principal memperoleh imbalan berupa bagi hasil panen sebesar 30%, dan mitra antara memperoleh 70%. Bagi hasil mitra antara merupakan bagi hasil untuk Perum Perhutani (50%) dan KTH/agents (20%). Bagi hasil tersebut berdasarkan nilai penjualan kayu hasil panen, setelah dikurangi PSDH dan kewajiban finansial lainnya ke Negara. Mekanisme pengelolaan dan pemasaran ditentukan oleh Perum Perhutani dengan prioritas pembelian kayu KIBARHUT dimiliki oleh principal. Kegiatan monitoring dan evaluasi, pembinaan teknis serta perlindungan dan pengamanan hutan dilakukan secara bersama-sama oleh ketiga pelaku (principal, mitra antara, dan agents). Keamanan tegakan, khususnya kemungkinan terjadinya kasus pencurian, dijamin melalui aturan bahwa bagi hasil agents disesuaikan berdasarkan prosentase kehilangan pohon karena pencurian. Jaminan keamanan merupakan suatu bentuk jaminan kinerja (non-tunai) pengelolaan hutan yang harus ditanggung agents, yaitu bagi hasil dibayarkan separuhnya (50%) jika terjadi pencurian pohon sekitar 11-20% dan dibayarkan seperempatnya (25%) jika pencurian pohon mencapai > 20%. Aturan ini merupakan jaminan keamanan yang diatur dan dinyatakan secara formal. Aturan jaminan keamanan sebagai aturan yang mengatur sanksi dan penentu kinerja petani tersebut, secara tidak langsung menunjukkan bahwa petani pesanggem masih dalam posisi yang tidak setara dalam pelaksanaan PHBM sebagaimana diungkapkan oleh Feblita (2006) dan Yuwono (2008). Tetapi, aksi arena yang terjadi menunjukkan bahwa aturan tersebut merupakan aturan untuk menegakkan komitmen 72
Disarikan dari tanggapan dan komentar yang diungkapkan oleh Nana Rukana, Uus Supriyatna, dan Agus Salim (PT. BKL), Haryanto (KPH Tasikmalaya). Sebagaimana diakui juga oleh Heru Jhudianto (PT. KTI), Gunung Djoko S, Tri Rahardjo, Edi Purwanto (KPH Probolinggo)
100
menjaga keamanan tegakan yang sudah disepakati, dan memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelakunya. Aturan main yang dipergunakan (rules-in-use) tersebut sejauh ini efektif dan dapat ditegakkan, karena sampai dengan tahun 2008 tidak ditemukan adanya kasus pencurian kayu Sengon atau gangguan keamanan tegakan sehingga merupakan kontrak yang dapat ditegakkan (enforceable contract). Pada sisi lain, jika ada pelaku yang merasa situasi aksi yang dihadapinya merugikan maka diupayakan merubah aturan dijalankan (rules-in-use) guna memperbaiki aksi arena yang ada atau memperbaiki kontrak. KIBARHUT Tipe 3 Krucil merupakan kemitraan 2 tingkat di tanah milik negara, yaitu HGU Kebun Kopi Ayer Dingin. Kebun disewa Aviland seluas 275 ha dan KTI bk73 seluas 300 ha, kemudian kedua perusahaan bertindak selaku mitra antara dan melakukan kerjasama pembangunan hutan dengan principal. Mitra antara melaksanakan KIBARHUT bersama dengan petani penggarap (agents), sekaligus mengorganisasikan dan mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan di lapangan. KTI bk menugaskan pengawas (Wasbun) sebagai koordinator lapangan dibantu oleh mandor dan tenaga harian lepas. Mandor ikut mengawasi pekerjaan buruh harian tetapi perintah kerja tetap berasal dari Wasbun. Untuk melaksanakan kegiatan KIBARHUT, Aviland membentuk organisasi khusus dengan penanggungjawab lapangan adalah Kepala Afdeling dibantu tenaga Mandor, seperti ilustrasi Gambar 14. Kepala Afdeling dan Wasbun melakukan koordinasi dengan Pimpinan Kebun atau Pimbun (wakil PUSKOPAD selaku pemilik/pemegang kuasa HGU). Pelaksanaan pekerjaan sehari-hari diawasi dan dikoordinasikan dengan bantuan Mandor, sekaligus menjadi penghubung antara penggarap dan mitra antara (Aviland atau KTI bk). Principal juga memberikan bantuan tenaga lapangan sebagai pendukung pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil.
73
PT. KTI bk merupakan perusahaan yang dibentuk PT. KTI untuk melaksanakan KIBARHUT dan menjamin kepastian pasokan bahan baku dari areal kebun HGU Ayer Dingin, Bermi, Krucil yang disewa oleh PT. KTI.
101
PUSKOPAD KTI - Divisi P & L PT. KTI bk
Administratur A Sanyoto
Kepala Afdeling Joko Supriyanto
Mandor Kebun Sukdi Salma Jali
Mandor Khusus Heri, Hartono Buramin
Pimpinan Kebun (Tukadi) Tenaga KTI Pendukung: Heriyanto Mustofa
Wasbun: Supriyadi
Keamanan Luar–1 org
Penggarap
Mandor (1 koord & 5 anggota) Penggarap
harian lepas (4 orang) Buruh harian
Gambar 14. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil
Berdasarkan perjanjian kerjasama principal dan Aviland (mitra antara), maka principal memberikan saran pertimbangan tentang penanaman dan bimbingan teknis silvikultur. Principal juga memberikan bantuan penanaman (bibit dan transportasi bibit) dan biaya pengelolaan sebesar Rp 1.950.000 per ha. Bantuan diberikan dalam 4 tahapan, yaitu 77,18% di tahun ke-1, sebesar 17,18% di tahun ke-2, sekitar 2,56% di tahun ke-3, dan 3,08% di tahun ke-4. Mitra antara menyediakan lahan, melaksanakan penanaman, pemeliharaan, penebangan, dan pengangkutan kayu hasil panen dari lokasi penanaman ke pabrik principal di Probolinggo atau sawmill afiliasi di Kertosuko, Krucil. Mitra antara melaksanakan KIBARHUT dengan merekrut petani yang tinggal di sekitar lokasi HGU menjadi penggarap (agents). Berdasarkan aturan dalam kontrak mitra antara dan petani, maka tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk menjadi penggarap, namun wajib melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman kayu. Bibit tanaman kayu disiapkan mitra antara dan diangkut sampai ke lokasi lahan. Petani (agents) wajib melakukan penanaman dan pemeliharaan pada lahan garapannya, sesuai arahan mitra antara melalui mandor. Berdasarkan arena situasi pada Tipe 3 Krucil dan keterkaitan antara biaya dikeluarkan dan aksi yang dilakukan, maka principal memperoleh balasan (manfaat) berupa bagi hasil sebesar 23% dan mendapat prioritas pertama membeli produksi kayu
102
KIBARHUT. Mitra antara mendapat bagi hasil 77% dan memperoleh jaminan pasar, tetapi tidak ada imbalan berupa bagi hasil kayu untuk petani penggarap (agents). Imbalan diterima agents adalah hak menggarap lahan tanpa biaya (costless), dan izin/ kewenangan melakukan penanaman palawija dan mengambil seluruh hasil panennya, serta memperoleh hijauan pakan ternak (hpt) dari lahan HGU, sehingga agents tetap mendapatkan keuntungan secara ekonomis/sosial. Hubungan formal antara principal dan mitra antara didukung adanya hubungan antar personalnya74. Hubungan pertemanan yang baik dan saling menjaga kepercayaan selama ini75 adalah insentif yang mendukung jalinan kerjasama, dan merupakan jaminan (insurance) atas ketidakpastian (uncertainty) pelaksanaan pembangunan hutan. Mitra antara mendapat jaminan (insurance) karena kerjasama yang telah dilakukan selama puluhan tahun menunjukkan principal tidak pernah ingkar janji atau membohongi. Adanya insentif dan jaminan tersebut menyebabkan aksi Tipe 3 Krucil dapat berjalan sejak tahun 2003 dan saat ini tinggal menunggu masa-masa panen. Pada periode pertama pembangunan hutan KIBARHUT di HGU Ayer Dingin (2002 dan 2003), tanaman mengalami kegagalan karena adanya kijang liar yang menjadikan tanaman muda tersebut sebagai pakan. Kendala lain adalah tingginya kebutuhan hpt bagi penduduk di sekitar lokasi kebun76. Tingginya kebutuhan hpt merupakan salah satu alasan perubahan jenis tanaman menjadi jenis Balsa, dengan asumsi daunnya tidak disukai sebagai hpt. Dalam perkembangannya, daun Balsa ternyata dapat dimanfaatkan sebagai hpt (khususnya pada musim kemarau), sehingga di awal pembangunan hutan banyak terjadi kematian tegakan muda karena pengambilan daun tanaman yang sangat berlebihan. Tingginya kebutuhan hpt diakui semua (100%) agents dan terbatasnya kepemilikan lahan garapan menjadi alasan utama kesediaan bergabung menjadi penggarap di lahan kebun. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian lahan sedang direhabilitasi (Gambar 15). Pada beberapa tempat, tegakan tumbuh dengan baik dan siap untuk dilakukan penebangan (Gambar 16).
74
Heru Jhudianto (Dirmud Divisi P & L) dan Zulkifli Chalik (pemilik PT. Aviland) sudah lama saling kenal dan melakukan kerjasama (PT. Aviland merupakan salah satu rekanan PT. KTI). 75 Hubungan yang berlangsung secara terus menerus dan dapat dianggap sebagai suatu pembelajaran dari satu kontrak ke kontrak berikutnya atau repeated games (Gibbons, 1998; 2005; Yustika, 2006). 76 Desa Bermi dan sekitarnya merupakan sentra produksi susu sapi, dan hampir semua penduduk memelihara ternak sapi perah sebagai sumber pendapatan utama.
103
Gambar 15 Tegakan Balsa muda ditanam secara tumpangsari dengan jagung (dok peneliti)
Gambar 16 Tegakan Balsa (umur ± 4 tahun) siap untuk tebang penjarangan (dok peneliti)
Pengurangan tanaman karena pencurian kayu sampai dengan penelitian dilakukan tidak pernah terjadi. Upaya menjaga keamanan tegakan dilakukan mitra antara dengan bantuan mandor yang melakukan pengawasan dan kontrol secara rutin. Mandor yang direkrut dan ditugaskan oleh mitra antara adalah penduduk di sekitar lokasi kebun, dikenal penduduk, dan sudah lama mengenal lokasi/areal kebun secara detail. Tugas pengamanan petugas lapangan mitra antara lebih mudah karena agents memahami kewajibannya untuk menjaga dan mengamankan tegakan kayu. Komitmen menjaga keberhasilan tanaman dan keamanan tegakan diatur secara tertulis dalam kontrak, sehingga agents memilih aksi tersebut guna memperoleh hasil (payoff) berupa keberlanjutan haknya untuk menggarap lahan HGU. Konsentrasi pengamanan tegakan adalah pencegahan perilaku oportunis agents yaitu upaya mengambil daun tanaman untuk pakan ternak secara berlebihan sehingga pertumbuhan pohon menjadi terhambat, dan penanaman rumput gajah yang perakarannya dapat mengganggu tanaman pokok. 5.
Perilaku oportunis Perilaku oportunis pasca kontrak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan
antara para pelaku yang terlibat dalam kemitraan. Kepentingan INPAK adalah mengupayakan agents memenuhi kewajibannya memasok kayu KIBARHUT guna keberlangsungan industri principal. Perilaku oportunis agents umumnya berbentuk penebangan pohon tanpa sepengetahuan principal. Pemanenan awal dilakukan karena dalih kepentingan memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak77. Semua petani contoh 77
Simon (2008) mengungkapkan bahwa pola kebutuhan hidup petani mengikuti pola sosial budaya yang berlaku di desanya. Kebutuhan ekonomi umumnya ditutupi dengan mengambil “tabungan” kayu
104
mengakui bahwa pembiayaan untuk menutupi kebutuhan mendesak diperoleh dengan menebang/menjual pohon. Mitra antara mempunyai kepentingan mendapat janji imbalan bagi hasil yang diterima di akhir daur, memperoleh upah atau pendapatan sebagai agents bagi principal, dan mengoptimalkan pemanfaatan assets produksi miliknya. Pertarungan kepentingan tersebut dapat memunculkan perilaku oportunis salah satu pelaku atau bahkan semua pelaku yang terlibat (actors). Secara ringkas, indikasi perilaku oportunis yang terjadi pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT Indikasi Perilaku Oportunis Hulu Hilir Tipe 1 • Ada permintaan biaya transport untuk bibit • Menebang kayu KIBARHUT tanpa Bawang yang diterima Hulu sepengetahuan Hilir • Tidak melakukan pendataan/administrasi • Tidak menjual/memasok kayu hasil pelaksanaan KIBARHUT panen ke Hilir • Menanam bibit bantuan di luar lahan • Bibit bantuan dibagi merata ke warga desa untuk populis dan mengamankan posisi yang dikerjasamakan • Sulit dihubungi untuk konfirmasi • Tidak melaksanakan kegiatan penjualan – jaminan pasar tidak/belum pemeliharaan dapat diwujudkan • Tanaman dilaporkan mati/tidak • Kualitas bibit dipertanyakan hidup • Dana/bantuan (pemeliharaan) tidak • Bantuan dianggap gratis sehingga disalurkan, atau disalurkan tetapi tidak ada kewajiban menjual kayu jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan KIBARHUT ke Hilir Tipe 2 • Sukaraja • Bibit ditanam di tempat lain • Kualitas bibit tidak sesuai standard siap tanam dan sulaman tidak direalisasikan • Pupuk bantuan dipergunakan untuk • Bantuan pupuk dan obat semprotan (biaya tanaman non kerjasama sarpras pemeliharaan sesuai perjanjian) • Beranggapan tidak wajib menjual tidak direalisasikan kayu KIBARHUT ke Hilir • Krucil • Memanen/menebang tanpa • Sebagian besar tanaman KIBARHUT sepengetahuan pihak Hilir hanya Hilir (saat ini) yang bersedia menampung dan mengolah Tipe 3 • Sukaraja • Menghambat pertumbuhan tanaman • Memposisikan Hulu sebagai penggarap KIBARHUT • Membebankan ongkos akibat pencurian kayu ke Hulu • Krucil • Menghambat pertumbuhan tanaman • Memposisikan Hulu sebagai penggarap KIBARHUT • (saat ini) Hilir adalah satu-satunya INPAK yang bersedia dan dapat menggunakan tanaman FGS yang dikelola Hulu Keterangan : Hulu adalah petani (agents murni) dan mitra antara (hubungan tingkat pertama); Hilir adalah INPAK (principal murni) dan mitra antara (hubungan tingkat kedua).
dari hutan rakyat adalah untuk memenuhi pembiayaan hajatan, biaya sekolah, bayar pajak/PBB, dan hari raya.
1055
Tabel 199 menunjukkkan bahwa ssemua pelak ku mempunyyai indikasii melakukann tind dakan oportu unis karena adanya perbbedaan kepeentingan. Tiindakan opoortunis dapatt berrakibat gagaalnya tujuan pelaksanaann KIBARHU UT, yaitu tiidak dapat terwujudnya t a keb berlanjutan pasokan p bahhan baku ke principal seebagaimana diungkapkaan juga olehh Prihhadi dan Nu ugroho (20007). Indikasii oportunis agents terseebut dideskrripsikan darii tind dakan atau tanggapan t aggents terhaddap berbagaii issue pelakksanaan KIB BARHUT dii lapaangan sebag gaimana ilusttrasi pada Gambar 17.
15 10 E D C
5 0
B TTipe 1 Tipe 2 Bawang Sukaraja Tipe 2 Krucil
A Tipe 3 Sukaraaja
Tipe 3 Krucil
Gambar 17 1 Jumlah ageents terindikassi berperilaku oportunis Keterangaan : A = menebang phn n tanpa sepenggetahuan INPA AK dan menjuaal ke pihak/induustri lain B = petani belum menebang m pohhon tetapi berarrgumen pemasaaran outputnyaa bebas, akan menjual ke pihak lain aatau tidak ada kewajiban k mennjual ke INPAK K mitra C = bibit tidak ditaanam seluruhnnya di lahan yanng didaftarkan sbg lahan KIB BAHUT D = Menghambat pertumbuhan uuntuk Singkon ng (Tipe 3 Skrj)) atau hpt (Tipee 3 Kcl) E = Menanam jeniis tanaman bukkan pokok yang g dilarang olehh Mitra (rumpu ut gajah)
Gambar 17 memperrlihatkan bahwa indikassi oportuniss pada Tipee 1 Bawangg melliputi indikaasi kegiatan menebang ttanpa sepengetahuan IN NPAK dan/aatau menjuall ke pihak lain atau indusstri lain (266,67% agents), berdalihh tidak adaa kewajibann mem masarkan ou utput pelaksaanaan KIBA ARHUT ke principal p (466,67% agentss), dan 0,3% % ageents menanaam bibit bantuan di lahan lain yang tidakk didata seb bagai lahann KIB BARHUT. Pada P Tipe 2 Sukaraja sekitar 20% % petani terridentifikasi berperilakuu opoortunis yaituu menyatakkan menjuaal hasil pannen secara bebas atau u tidak adaa kew wajiban men njual ke prinncipal, dan 20% agentss lainnya maasih belum memastikann atauu belum mennentukan sikkap karena menunggu m saaat panen naanti. Pada Tipe 2 Krucill sekkitar 13,3% petani terin ndikasi oporttunis untuk tidak memaatuhi kontraak memasokk kay yu ke Hilir.
106
Tindakan oportunis yang terindikasi dilakukan agents Tipe 3 adalah menghambat pertumbuhan tanaman pokok untuk memperpanjang waktu budidaya tanaman hortikultur (20% agents di Tipe 3 Sukaraja) atau untuk mendapatkan hpt (20% agents di Tipe 3 Krucil). Sekitar 13,3% agents lainnya di Tipe 3 Krucil terindikasi melanggar kontrak dengan menanam rumput gajah, jenis tanaman yang dilarang oleh mitra antara karena perakarannya dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Principal berupaya meminimalisir kemungkinan terjadinya perilaku oportunis agents. Salah satu upayanya melalui aturan formal yang mengatur kewajiban principal menampung/memasarkan hasil produksi dengan harga pasar. Aturan ini menunjukkan adanya kewenangan principal terhadap hasil panen. Pada kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3), upaya tersebut juga diwujudkan melalui dukungan tokoh karismatis atau panutan yang dipercaya warga, petugas lapangan yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, petugas yang secara teratur dan terus menerus melakukan kunjungan ke petani, serta adanya jaringan pemasaran yang dibangun. Terdapat juga aturan formal yang mengatur sanksi di kontrak formal sehingga ada resiko hukuman untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji. Pada Tipe 1 tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi, sehingga resiko terpapar (hukuman karena berperilaku oportunis) adalah rendah dan berdampak pada rendahnya komitmen penegakan kontrak. Pada hubungan kontraktual Tipe 1, terdapat pemahaman umum di kalangan warga desa dan agents bahwa bantuan principal dianggap “gratis”78. Petani beranggapan tidak ada kewajiban memasok kayu, atau memberikan prioritas pertama untuk melakukan pembelian kayu KIBARHUT ke principal. Situasi tersebut terjadi karena petani selalu membandingkan dengan bantuan dari Pemerintah (seperti dalam rangka Gerhan), dan adanya biaya pengganti transport bibit yang dibayar agents ke mitra antara. Perilaku oportunis pada Tipe 1 juga terjadi karena tidak adanya peran tokoh atau ellite warga yang menjadi panutan atau kepercayaan warganya, dan tidak adanya aturan tertulis dan norma yang mengatur perihal pengawasan, monitoring dan evaluasi oleh petugas principal. Petugas pun belum melakukan tugasnya secara intensif, dalam 78
Sebagaimana disinyalir oleh Darwis et al. (2006) yaitu adanya anggapan yang meluas di warga pedesaan bahwa setiap ada bantuan yang diberikan oleh pemerintah ataupun swasta merupakan hibah sehingga tidak perlu dikembalikan.
107
arti jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kunjungan rutin dan berkala ke agents. Aksi tersebut diperlukan walau hanya sekedar memastikan bahwa tanaman ada dan hidup, sekaligus menyeimbangkan posisi pelaku terhadap informasi tegakan hasil kerjasama. Ketidakberdayaan petugas lapangan melakukan pengawasan ke seluruh lahan agents yang tersebar di Kecamatan Bawang, diperparah tidak tersedianya data tertulis mengenai agents, luasan lahan, jumlah hibah/bantuan diterima per agents dan lokasinya. Catatan yang ada sebatas catatan “seadanya” atau berdasarkan daya ingat petugas desa dan Keltan. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan oleh mitra antara dan principal. Mitra antara berperilaku oportunis karena membebankan biaya pengambilan bibit bantuan ke petani, dan tidak melakukan pendataan dan administrasi KIBARHUT. Perilaku oportunis principal adalah sulitnya dihubungi untuk konfirmasi penjualan pohon KIBARHUT oleh agents atau mitra antara. Situasi tersebut mendorong agents untuk juga berperilaku oportunis sebagaimana uraian sebelumnya. Pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 telah dapat menanamkan pemahaman bahwa terdapat hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam agents. Hak dan kewajiban para pelaku yang terlibat diatur secara formal dalam kontrak termasuk aturan yang mengatur sanksi. Situasi aksi tersebut didukung adanya kepastian dan jaminan terhadap hak dan kewajiban, dan diimbangi adanya hak kepemilikan dan jaminan kepastian pemanfaatan lahan yang dimiliki agents. Situasi aksi di Tipe 2 tersebut menghasilkan komitmen penegakan kontrak yang tinggi, dengan rata-rata hanya sekitar 16,7% agents yang terindikasi berperilaku oportunis, dan ada sekitar 10% agents yang belum menentukan sikap (wait and see) yaitu masih menunggu saat panen/penebangan pohon nanti. Pelaksanaan Tipe 2 dilakukan principal dengan melibatkan bantuan/mediasi dari ellite desa yang diyakini mempunyai karisma dan menjadi panutan warga desa. Keterlibatan dan peran tokoh tersebut tidak hanya dalam sosialisasi kegiatan, tetapi terlibat langsung dalam aksi KIBARHUT karena mempunyai kemampuan dan peran untuk memotivasi agents dan menjadi penghubung antara principal dan agents. Tokoh masyarakat sekaligus berperan sebagai pelaku mitra antara sehingga mempunyai
108
peran dan fungsi dalam pengawasan, monitoring, dan keamanan pohon Sengon yang ditanam dan dikelola melalui mekanisme KIBARHUT. Tokoh agama dan elite desa tersebut dalam perannya sebagai mitra antara mensosialisasikan adanya hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam, dan pendekatan bahwa pohon Sengon adalah barang titipan atau amanah yang harus dipelihara dan dijaga. Pendekatan dengan mediasi dari mitra antara tersebut tentu saja tidaklah gratis, tetapi ada biaya atau agency cost (yaitu biaya pemantauan, biaya pengamanan dan biaya koordinasi) yang harus dikeluarkan principal. Biaya tersebut dikeluarkan dalam bentuk tunai (pembayaran honor pengawas, upah sebagai petugas lapangan, upah bulanan, biaya transport) dengan besaran yang bervariasi antara Rp 10.000–Rp 175.000 dan non-tunai yaitu mendapat bagi hasil tanaman di akhir daur. Dengan demikian, adanya keseimbangan dan distribusi manfaat yang adil dapat menekan permasalahan agency diantara pelaku yang terikat perjanjian. Pendekatan tersebut terbukti mampu meredam perilaku oportunis agents pada pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja dengan adanya keterlibatan tokoh warga (elite desa) sebagai koordinator wilayah (Korwil). Tipe 2 Sukaraja memiliki mekanisme awal yang jelas dalam proses perolehan kontrak (processing contracts) dan dalam perekrutan agents dengan koordinasi dan administrasi Korwil sekaligus selaku mitra antara. Korwil yang ditunjuk, mendapatkan bagi hasil yang jelas dan dinyatakan dalam perjanjian, sehingga bersemangat menjaga keamanan tanaman, mensosialisasikan dan melakukan pembinaan ke anggota kelompoknya (agents). Perilaku oportunis agents di Tipe 2 Krucil sangat rendah karena ada keterlibatan tokoh agama yang karismatis dan dihormati warga, ada mekanisme awal yang jelas dalam perekrutan agents, dan petugas principal rajin berkunjung ke petani sehingga terjalin keakraban dan saling mengenal. Keterlibatan tokoh agama79 sebagai KP (mitra antara) dan santri-santrinya sebagai pekerja, pengawas, dan Kordes mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan. KP mendapatkan imbalan berupa bagi hasil kayu KIBARHUT, yang sebagiannya dijanjikan menjadi hak petugas lapangan dan Kordes. Adanya janji tersebut menambah semangat dan energi Kordes dan petugas lapangan 79
Pemimpin atau tokoh agama di pedesaan mempunyai peran sentral dan penting dalam kehidupan warganya. Tokoh agama mempunyai karisma yang mampu “mengarahkan” warga desa dan santrinya untuk melaksanakan suatu kegiatan, serta memunculkan ketakutan mendapatkan kualat jika melanggar wejangan/perintah dari pemimpin agamanya (Korten, 1987; Rumansara dan Rumwaropen; 1993).
109
untuk menjamin atau setidaknya memastikan bahwa penanaman telah dilaksanakan, pemeliharaan dilakukan, dan tidak ada yang menebang kayu tanpa seijin KP. Pada pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3, posisi agents adalah sebagai penggarap lahan, karena secara de jure, lahan dimiliki oleh mitra antara (KPH Tsm di Tipe 3 Sukaraja dan Aviland/KTI bk di Tipe 3 Krucil). Pada pelaksanaan Tipe 3 Sukaraja terdapat aturan yang mengatur partisipasi bersama para pihak dan adanya tanggungjawab mitra antara terhadap principal. Pada posisi tersebut agents pada Tipe 3 selain mendapatkan seluruh hasil panen tanaman palawija, maka agents di Tipe 3 Sukaraja juga memperoleh bagi hasil kayu sebesar 20%. Agents tidak mempunyai (kecil) kemungkinan melakukan tindakan sub optimal berupa pemanenan kayu tanpa sepengetahuan mitra antara, karena adanya sanksi yang diatur dalam kontrak yaitu dicabutnya hak garap lahan atau dikenakan sanksi sesuai hukum dan pengurangan pembayaran bagi hasil. Walaupun terdapat kejelasan hak dan kewajiban dalam kontrak, namun adanya aturan sanksi pencabutan hak garap menjadikan tidak adanya jaminan kepastian bagi agents dalam pemanfaatan lahan. Situasi tersebut berdampak pada adanya dorongan bagi agents di KIBARHUT Tipe 3 untuk ingkar janji atau berperilaku oportunis. Tindakan oportunis yang terindikasi dilakukan agents adalah menghambat pertumbuhan tanaman kehutanan dengan tujuan memperpanjang
waktu
budidaya
tanaman
semusim/tumpangsari,
sekaligus
mempertahankan hak garap lahan. Guna mengatasi kemungkinan terjadinya perilaku oportunis tersebut, maka mitra antara mempunyai petugas lapangan yang melakukan koordinasi dan pengawasan secara langsung ke agents di lapangan. Petugas tersebut adalah mandor PHBM dan LMDH (Tipe 3 di Sukaraja) atau Wasbun dan jajarannya dibantu Pimbun dari Puskopad (Tipe 3 di Krucil). Pada situasi ini, principal menjadi pihak yang lebih mendapat manfaat karena struktur organisasi mitra antara yang sudah berjalan dan bekerja di lapangan dianggap lebih mampu mengatasi kemungkinan perilaku oportunis agents. Pada Tipe 3 Sukaraja, posisi mitra antara dan principal relatif setara karena kayu KIBARHUT dipasarkan sesuai mekanisme yang berlaku di Perum Perhutani. Mitra antara tidak mempunyai kewajiban menjual kayu tersebut ke principal, tetapi principal diberikan prioritas pertama membeli apabila persyaratan terpenuhi. Artinya
110
mitra antara telah mengamankan kemungkinan perilaku sub optimal, seperti principal membeli kayu dengan harga lebih murah dari harga pasar atau menyatakan kayu tidak memenuhi kualifikasi. Pada sisi lain, kemungkinan perilaku oportunis principal dapat diminimalisir karena adanya kontribusi biaya dari principal untuk membangun hutan KIBARHUT. Pada Tipe 3 Krucil, hubungan institusional antara principal, mitra antara, dan agents merupakan sistem institusi bahu-membahu atau interlocking (Nugroho, 2002; 2003). Pada sistem tersebut, principal menyediakan keperluan produksi (dana) yaitu Rp 1.950.000 per ha yang dibayarkan secara lumpsum dalam 4 tahapan, ketrampilan pengelolaan (penyuluhan, teknis silvikultur, pembinaan, monev, dan inventarisasi tegakan), teknologi pemanenan dan pengolahan kayu. Mitra antara menyediakan lahan, menjamin kemanan tegakan dan sebagian kebutuhan tenaga kerja, sedangkan petani penggarap (agents) menyediakan tenaga kerja. Secara tidak langsung, agents terikat pada mitra antara dalam bentuk lahan garapan, dan mitra antara tergantung pada agents (ketersediaan pelaku penanaman dan pengelolaan hutan KIBARHUT). Mitra antara tidak mempunyai pilihan lain selain menjual kayu hasil panen ke principal, karena sampai saat ini belum ada industri perkayuan lainnya yang bersedia menampung kayu Balsa dan menggunakannya sebagai bahan baku. Hal tersebut menunjukkan bahwa, secara tidak langsung, principal telah menghindari terjebak persaingan antar industri perkayuan untuk mendapatkan komoditas bahan baku kayu di pasar. Inovasi proses produksi telah menjadikan principal berhasil menciptakan “ceruk” pasar produk kayu olahan dari jenis kayu Balsa yang belum begitu dilirik oleh industri perkayuan di Indonesia, dan sekaligus membuat pengaman terhadap investasinya membangun hutan tanaman jenis Balsa. Tidak adanya industri perkayuan yang menjadi pesaing potensial (di Indonesia, khususnya di Jawa Timur), yang siap mengolah atau melakukan proses produksi menggunakan jenis Balsa, menjadikan keberlanjutan pasokan bahan baku untuk industri principal terjamin tanpa bisa “dicuri” atau dimanfaatkan oleh INPAK lainnya.
111
B.
Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
1.
Analisis fungsi produksi Analisis dilakukan untuk menduga besarnya pengaruh dan tingkat efisiensi
faktor produksi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terhadap komoditas outputnya.
Pendugaan model menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-
Douglas yang dimodifikasi ke bentuk logaritma (log) untuk memperoleh persamaan regresi linier berganda. Secara matematis, model fungsi produksi KIBARHUT selengkapnya adalah :
(4)
Keterangan: Q = jumlah produksi kayu bundar yang dihasilkan dari luasan lahan KIBARHUT selama 1 daur (m³) X1 = jumlah input produksi per satuan luas usaha selama 1 daur, yaitu: = jumlah tenaga kerja (HOK) pada analisis fungsi produksi petani = jumlah bibit (batang) pada analisis fungsi produksi mitra non-petani = luas lahan (m²) pada analisis fungsi produksi pemegang kuasa lahan negara X2 = jumlah modal/kapital (Rp) adalah seluruh investasi per satuan luas usaha selama 1 daur pelaksanaan KIBARHUT, yaitu: = jumlah modal/input lainnya (Rp) pada analisis fungsi produksi petani mitra = jumlah modal (Rp) pada analisis fungsi produksi mitra non-petani = jumlah modal/input lainnya (Rp) pada analisis fungsi produksi pemegang kuasa lahan negara (lahan HGU dan kawasan hutan) A = intersep/konstanta = koefisien regresi variabel bebas ke-i Μ = kesalahan pengganggu Berdasarkan persamaan (4), disusun masukan data untuk pendugaan fungsi
produksi sebagaimana pada Lampiran 7, kemudian ditransformasikan dalam nilai log sehingga persamaan fungsi produksinya dapat dianalisis dengan persamaan regresi linier berganda. Pengolahan data selanjutnya dengan Statistical Package for the Social Sciences ver. 17.0 (SPSS 17.0). Hasil analisis pada tingkat pelaku peserta KIBARHUT di Pulau Jawa disajikan pada Lampiran 8, sedangkan fungsi produksi untuk setiap pelaku tersebut disajikan pada Tabel 20.
112
Tabel 20 Pendugaan model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa Tipe Pelaku Fungsi Produksi Elastisitas produksi 2,847 0,332 0,651 Petani 0,332; 0,651 , 0,983 atau 0,00142234 , Tipe 1 Bawang INPAK 1,414 0,767 0,207 0,767; 0,207 Petani Tipe 2 Sukaraja
Tipe 2 Krucil
INPAK– Korwil Petani INPAK– KP Petani
Tipe 3 Sukaraja
INPAK Perhutani Petani
Tipe 3 Krucil
INPAK HGU
atau atau atau atau atau atau atau atau atau atau atau
, , 0,03854784 2,293 0,453 0,525 , 0,00509331 , 2,686 0,464 0,514 , , 0,00206063 1,917 0,510 0,461 , 0,01210598 , 2,329 0,505 0,491 , , 0,00468813 1,525 0,614 0,374 , , 0,02985383 2,423 0,337 0,599 , , 0,00377572 3,155 0,302 0,688 , 0,00069984 , 1,989 0,455 0,515 , 0,01025625 , 1,668 0,527 0,371 , , 0,0214783 2,523 0,6 0,39 , , 0,00299916
0,974 0,453;
0,526 0,979 0,464; 0,514 0,978 0,510;
0,461 0,971
0,505;
0,491 0,996
0,614;
0,374 0,988
0,337;
0,599 0,936
0,302;
0,688 0,990
0,455;
0,515 0,970
0,527;
0,371 0,898
0,600;
0,390 0,990
Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki keunggulan karena nilai koefisien regresi variabel bebas ( ) pada model adalah sekaligus menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap output. Besaran
tersebut dapat digunakan untuk
menginterpretasi pengaruh perubahan faktor produksi (input share) terhadap proporsi penambahan produksi. Berdasarkan fungsi produksi pada Tabel 20, diketahui bahwa elastisitas input produksi dari masing-masing pelaku berada pada kisaran 0 – 1 (0< <1 dan 0< <1 serta 0
1) dan jumlah besaran kedua variabel bebas
pada tiap-tiap fungsi produksi adalah < 1 (kurang dari 1). Menurut Sugiarto et al. (2002) bahwa suatu fungsi produksi yang memiliki besaran elastisitas pada kisaran 0 – 1 menunjukkan keragaan produksi yang berada pada daerah rasional (rational region). Pada kondisi demikian maka fungsi produksi tersebut adalah “decreasing returns to scale” artinya proporsi penambahan faktor-faktor produksi melebihi proporsi penambahan output produksi (Lampiran 9).
113
Fungsi produksi juga dipergunakan untuk mengkaji perilaku para pelaku dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi. Hasil evaluasi sebagaimana pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa fungsi produksi yang terbangun dapat diturunkan dua kali, yaitu FONC dapat diturunkan atau diketahui (
0
0 artinya fungsi produksi
memiliki titik ekstrim. SOSC juga diketahui/dapat diturunkan ( dan
0 serta
.
0
0 sehingga syarat negatif
terbatas terpenuhi. Fungsi yang memiliki titik ekstrim dan syarat negatif terbatas terpenuhi, menunjukkan bahwa fungsi produksi yang terbangun adalah berbentuk cekung sempurna atau strictly concave function, sehingga syarat perilaku rasional para pelakunya terpenuhi (Henderson dan Quandt, 1980; Nugroho, 2003). Artinya, para pelaku telah berupaya melakukan alokasi efisien atas input (faktor-faktor) produksi yang dimilikinya untuk memaksimumkan output (kayu bundar) dalam menjalankan kelembagaan KIBARHUT. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka fungsi-fungsi produksi pada Tabel 20 mengikuti hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang seperti dijelaskan oleh Henderson dan Quandt (1980), dan Sugiarto et al. (2002). Fungsi produksi yang demikian dapat dianggap telah mendekati keragaan kondisi nyata di lapangan (Soekartawi, 2002; Nugroho, 2003). Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan fungsi produksinya80 maka para pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa telah berupaya berperilaku efisien dalam mengalokasikan input-input produksinya. 2.
Analisis finansial Analisis usahatani merupakan implementasi dari aktivitas ekonomi yang sangat
kompleks, khususnya pada pola tanam yang diterapkan dan jenis tanaman yang dipilih petani (Andayani, 2008). Kompleksitas analisis khususnya ditemui pada KIBARHUT pola tanam agroforestry (AF), yaitu pola tanam yang mengkombinasikan tanaman pokok (kayu jenis FGS), tanaman semusim/hortikultur dan tanaman keras/perkebunan yang sangat beragam sebagaimana pada Tabel 21. Berhadapan dengan beragamnya pola pertanaman (cropping pattern) dan jenis tanaman di lokasi contoh, maka analisis
80
Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini hanya dilakukan pada produksi kayu sebagai hasil KIBARHUT (multi input-single output), tetapi tidak memasukkan perhitungan pemanfaatan tanaman non kehutanan dengan menggunakan faktor produksi yang sama (multi input-multi output).
114
dilakukan dengan menetapkan pola pertanaman yang menjadi ciri dan sifat umum di lokasi penelitian, sebagaimana disarankan Andayani (2008). Tabel 21 Jenis tanaman keras pada pola tanam AF di lokasi contoh Pola pertanaman Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Jumlah Petani 21 petani 4 petani Jenis tanaman keras diusahakan81 11 petani (52,4%) • Kopi, melinjo, lain-lain 1 petani (4,8%) • Melinjo, bambu, lain-lain 3 petani (14,3%) • Melinjo, nangka, lain-lain 4 petani (19,0%) • Kopi 2 petani (9,5%) • Melinjo, cengkeh, lain-lain 2 petani (50,0%) • jengkol, kelapa, lain-lain 1 petani (25,0%) • kelapa, pisang, lain-lain 1 petani (25,0%) • kelapa, lain-lain
Tabel 21 menunjukkan bahwa kombinasi tanaman keras yang diusahakan sebagian besar petani dengan pola tanam AF adalah kombinasi tanaman melinjo dan kopi pada Tipe 1 Bawang, dan jengkol dan kelapa pada Tipe 2 Sukaraja. Berdasarkan pola pikir tersebut diatas dan data sebagaimana disajikan pada Tabel 10 dan 11 (halaman 63–65), maka kemudian disusun pola tanam (cropping pattern) dan jenis tanaman yang dijadikan dasar untuk analisis sebagaimana pada Tabel 22. Tabel 22 Luas usaha (ut), pola tanam dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh Tipologi Tipe 1 Bawang • 1 tingkat (1B1MS) • 2 tingkat (1B2MS) 2 tingkat (1B2AS) Tipe 2 Sukaraja • 2 tingkat (2S2MS) 2 tingkat (2S2AS) Tipe 2 Krucil • 1 tingkat (2K1MS) • 2 tingkat (2K2MB) 2 tingkat (2K2MS) Tipe 3 Sukaraja • 2 tingkat (3S2MS) Tipe 3 Krucil • 2 tingkat (3K2MB) 2 tingkat (3K2CBS)
81
Rata-rata luas lahan usaha (ut)
Pola tanam
Jenis tanaman Pokok (FGS) Hortikultur Keras/Kebun
5,000 ha 0,272 ha 0,203 ha
Murni Murni AF
Sengon Sengon Sengon
Jagung Jagung Jagung
--------Kopi, melinjo
0,198 ha 0,385 ha
Murni AF
Sengon Sengon
Singkong Singkong
----Jengkol, kelapa
1,075 ha 0,396 ha 0,372 ha
Murni Murni Murni
Sengon Balsa Sengon
Jagung Jagung Jagung
-------------
0,162 ha
Murni
Sengon
Singkong
-----
0,353 ha 0,324 ha
Murni Balsa campur Balsa-Sengon
Jagung Jagung
---------
BPS mengklasifikasikan sebagai tanaman yang diusahakan jika memenuhi batas minimal usaha (BMU) yaitu berkisar antara 3–12 pohon per satuan unit usahatani (BPS dan Dephut, 2004). Dengan demikian tanaman yang kurang dari jumlah minimal tersebut dikategorikan sebagai “lain-lain”.
115
Analisis finansial kelayakan kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh dilakukan dengan metode aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto (discounted cash flow analysis). Analisis menggunakan asumsi sebagai berikut: a. Tingkat diskonto atau suku bunga adalah 15%82 b. Sumber modal seluruhnya adalah modal sendiri milik para pelaku. c. Periode waktu analisis adalah terbatas berdasarkan kontrak KIBARHUT yaitu 5–6 tahun. Jangka waktu pengusahaan (daur) tanaman pokok KIBARHUT tersebut dibedakan sesuai tipologinya. d. Perekonomian negara dalam keadaan stabil selama jangka waktu analisis. e. Umur kelayakan usaha KIBARHUT dihitung selama daur tanaman pokok. f. Pendapatan dari tanaman dihitung sesuai periode panen. g. Semua harga input dan output (dalam rupiah) berdasarkan harga yang berlaku pada tahun penelitian (2008), dengan asumsi harga konstan selama umur proyek. h. Skala usaha dianalisis pada tingkat usahatani (ut) yaitu rata-rata luasan lahan petani yang dikerjasamakan dalam rangka KIBARHUT. i. Jumlah tanaman KIBARHUT yang dipanen dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon yang ada di lahan agents pada saat penelitian dilakukan (Lampiran 4). Berdasarkan asumsi tersebut, disusun nilai dasar aktual (harga privat) sebagaimana Lampiran 11 dan Lampiran 12, dan hasil perhitungan analisis finansialnya terdapat pada Lampiran 13. Selanjutnya, ringkasan parameter ekonomi yang menjadi indikator kelayakan finansial untuk setiap tipologi KIBARHUT disajikan pada Tabel 23. Penyajian pada tabel tersebut berdasarkan perhitungan pada tingkat usahatani (per ut). Tabel 23 memperlihatkan bahwa pada tingkat suku bunga 15% per tahun, pelaksanaan KIBARHUT di lokasi contoh adalah layak secara finansial. Kelayakan ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial secara total
(secara
keseluruhan
komoditas
yang
dihasilkan
melalui
pelaksanaan
KIBARHUT), yaitu memenuhi syarat NPV > 0, IRR > i% (berkisar 22% – 46%) dan B/C ratio > 1 (berkisar 1,31 – 2,88). Hasil tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan keuntungan finansial sehingga menghasilkan kinerja yang dapat menjamin terwujudnya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.
82
Tingkat suku bunga ditentukan dari rata-rata suku bunga investasi di bank pemerintah/swasta, bank kredit desa (BKD), bunga simpan pinjam atas dana bergulir di desa, dan suku bunga tabungan pada tahun 2008 (http://www.bi.go.id/web/id/ Moneter/BI+Rate/). Pada sisi lain, Pearson et al. (2005) juga menyarankan penggunaan angka 15% sebagai tingkat diskonto kegiatan investasi yang wajar untuk negara berkembang seperti di Indonesia.
116
Tabel 23 Analisis kelayakan finansial KIBARHUT Parameter kelayakan finansial Rerata luas Pola tanaman Tipe KIBARHUT ut (ha) tanam pokok/FGS NPV, i =15% B/C ratio IRR Tipe 1 Bawang - hub 1 tingkat (1B1MS) 5,000 murni Sengon 115.385.147 2,88 45% - hub 2 tingkat (1B2MS) 0,272 murni Sengon 2.739.596 1,98 35% hub 2 tingkat (1B2AS) 0,203 AF Sengon 2.257.667 2,11 36% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,222 2.498.631 2,04 35% Tipe 2 Sukaraja - hub 2 tingkat (2S2MS) 0,198 murni Sengon 2.159.675 1,59 29% hub 2 tingkat (2S2AS) 0,385 AF Sengon 3.184.972 1,59 29% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,248 2.672.323 1,59 29% Tipe 2 Krucil - hub 1 tingkat (2K1MS) 1,075 murni Sengon 15.840.361 2,02 35% - hub 2 tingkat (2K2MB) 0,396 murni Balsa 2.617.291 1,39 24% hub 2 tingkat (2K2MS) 0,372 murni Sengon 3.055.784 1,55 27% hub 2 tingkat (rata-rata) 0,384 2.836.537 1,47 25% Tipe 3 Sukaraja - hub 2 tingkat (3S2MS) 0,162 murni Sengon 3.699.251 1,98 32% Tipe 3 Krucil - hub 2 tingkat (3K2MB) 0,353 murni Balsa 1.834.327 1,31 22% 2.081.428 1,42 24% hub 2 tingkat (3KSCBS) 0,324 campur Balsa–Sengon hub 2 tingkat (rata-rata) 0,336 1.957.878 1,36 23%
Nilai kelayakan usaha tertinggi diperoleh pada Tipe 1 Bawang variasi hubungan 1 tingkat. Tetapi hasil tersebut tercapai dengan luasan lahan dimanfaatkan untuk usaha KIBARHUT adalah 5 ha per ut. Pada Tipe 3 Sukaraja, walaupun rata-rata luasan lahan yang dimanfaatkan adalah relatif lebih sempit (0,162 ha), tetapi mempunyai kinerja finansial yang relatif lebih baik (IRR = 32% dan B/C ratio = 1,98) dibandingkan rata-rata IRR dan B/C ratio tipe lainnya. Kinerja tersebut diperoleh karena Tipe 3 Sukaraja memiliki proporsi jumlah pohon siap panen lebih tinggi (ratarata 76%). Kinerja finansial juga dievaluasi berdasarkan imbalan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku dari adanya hubungan kelembagaan (Nugroho, 2003). Analisis finansial berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku, telah memperhitungkan manfaat (keuntungan) yang kemungkinan diperoleh. Manfaat atau kemungkinan pendapatan tersebut dihitung berdasarkan volume kayu yang dipasok agents (komitmen penegakan kontrak) dan laba usaha per kubik bahan baku kayu tanaman. Simulasi perhitungan berdasarkan laporan keuangan industri menunjukkan adanya laba bersih usaha per kubik bahan baku dipergunakan sekitar Rp 63.793,62 (Lampiran 14). Hasil serupa diungkapkan Nurendah (2006) yang menghitung laba usaha industri kayu lapis/blockboard/balok laminasi sekitar Rp 66.281,65 per kubik
117
bahan baku yang dipergunakan industri. Kemungkinan manfaat yang diperoleh para pelaku dengan terlaksananya hubungan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa tersebut kemudian diperhitungkan dalam analisis finansial KIBARHUT. Analisis
finansial
berdasarkan
sudut
pandang
masing-masing
pelaku
menunjukkan bahwa KIBARHUT mempunyai kelayakan finansial untuk masingmasing pelaku (actors), sebagaimana terdapat pada Lampiran 15 dan secara ringkas pada Tabel 24. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan manfaat untuk semua pelaku yang terlibat sehingga mendukung terwujudnya keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa. Tabel 24 Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku Tipe KIBARHUT Tipe 1 Bawang - Hub 1 tingkat
Rerata luas ut (ha)
Pelaku (actors)
5,000
- Hub 2 tingkat
0,222
Tipe 2 Sukaraja - Hub 2 tingkat
Agents Principal Agents Principal
0,248
Tipe 2 Krucil - Hub 1 tingkat
1,075
- Hub 2 tingkat
0,372
Tipe 3 Sukaraja - Hub 2 tingkat Tipe 3 Krucil - Hub 2 tingkat
Parameter kelayakan finansial NPV, i=15% B/C ratio IRR 56.498.262 58.886.885 3.251.669 11.075
2,89 2,87 2,78 1,02
47% 43% 45% 16%
Agents Mitra antara Principal
2.608.176 92.401 735.841
1,85 1,45 1,51
35% 28% 27%
Agents Principal Agents Mitra antara Principal
21.265.440 285.329 4.278.494 205.075 179.628
2,90 1,07 2,04 1,32 1,14
47% 17% 35% 23% 18%
0,162
Agents Mitra antara Principal
1.076.129 1.886.571 2.180.603
1,98 2,14 2,36
36% 38% 38%
0,336
Agents Mitra antara Principal
134.792 2.646.309 1.147.101
1,25 1,91 1,71
35% 35% 29%
Tabel 24 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 secara finansial adalah layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. Kelayakan finansial bagi semua pelaku tersebut juga diperoleh principal pada hubungan 2 tingkat walaupun principal tidak memperoleh bagi hasil kayu. Pada sisi lain, kelayakan finansial yang dinikmati masing-masing pelaku pada hubungan 1 tingkat ternyata tidak berdampak pada keberlanjutan hubungan kelembagaan. Hubungan hanya terlaksana dengan seorang agents di Desa Surjo, Bawang pada tahun tanam 2003/2004.
118
Pada KIBARHUT Tipe 1, jaminan pasokan kayu ditunjukkan dengan kesediaan sekitar 23,3% agents memasok kayu KIBARHUT ke principal. Pada sisi lain, principal juga memperoleh manfaat berupa (i) penghematan biaya kepala depo. Proses pembelian kayu dilakukan principal melalui NMS/SA, selanjutnya NMS menugaskan 1 Kepala Depo per wilayah Kecamatan, dengan sekitar 4–5 depo di tiap kecamatan. Principal dapat menghemat biaya dengan adanya kelembagaan KIBARHUT, karena cakupan wilayah kerja Kadep dapat ditambah atau dialihkan ke kecamatan lain; (ii) penghematan biaya pembuatan kontrak per depo/tahun. Adanya KIBARHUT menyebabkan principal tidak perlu mencari depo dan membuat/memperbaharui kontrak setiap tahun. Kontrak pengadaan kayu langsung dilakukan bersamaan penandatanganan
kontrak
KIBARHUT;
dan
(iii)
menghapus
kemungkinan
penambahan harga secara sepihak oleh Kadep. Supplier/depo atau sawmill mengakui adanya kebiasaan menaikkan harga penjualan depo/sawmill sekitar Rp 10.000 per m³ KB sebagai harga titipan Kadep. Pada Tipe 2 Sukaraja, petani (agents), mitra antara, dan principal memperoleh imbalan bagi hasil kayu sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak KIBARHUT, sehingga menguntungkan dan layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. KIBARHUT Tipe 2 Krucil pada hubungan kontraktual 1 tingkat dan 2 tingkat berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku juga layak diusahakan dan menguntungkan. Pada Tipe 2 Krucil, adanya komitmen sekitar 86,7% agents untuk memenuhi kontrak memberikan potensi keuntungan dari hasil pengolahan kayu KIBARHUT, sehingga menunjukkan kelayakan finansial bagi principal. Pada sisi lain, adanya keterlibatan mitra antara (hubungan 2 tingkat) di Tipe 2 ternyata menghasilkan kelayakan finansial lebih baik bagi principal. Hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai IRR dan B/C ratio yang lebih tinggi dibandingkan hubungan 1 tingkat (tanpa keterlibatan dan peran mitra antara). Pada hubungan 2 tingkat, sebagian pelaksanaan kegiatan KIBARHUT dilakukan oleh mitra antara, sehingga beban (biaya) principal menjadi berkurang. Hasil ini juga menunjukkan pentingnya peran dan keterlibatan mitra antara dalam pelaksanaan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Jika analisis finansial dilakukan berdasarkan sudut pandang para pelakunya, maka hasil analisis menunjukkan bahwa Tipe 3 Sukaraja layak diusahakan oleh agents, mitra antara dan principal. Para pelaku memperoleh imbalan bagi hasil kayu
119
sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga memiliki parameter kelayakan finansial yang relatif merata yaitu B/C ratio berkisar 1,98 – 2,36 dan IRR berkisar 36% – 38%. Pada Tipe 3 Krucil, analisis finansial menunjukkan bahwa KIBARHUT layak diusahakan dan menguntungkan bagi semua pelakunya. Walaupun tidak memperoleh bagi hasil kayu tetapi ada pendapatan agents dari biaya sewa lahan yang tidak perlu dibayarkan (atau merupakan pendapatan semu), sehingga kelembagaan KIBARHUT tetap menunjukkan kelayakan finansial bagi agents. Kesediaan agents untuk terlibat tersebut dicirikan adanya kesempatan memperoleh hijauan pakan ternak (hpt), menggarap lahan dan melakukan budidaya tanaman semusim (khususnya jagung). Sebagian hasil budidayanya dimanfaatkan juga sebagai hpt, dan menganggap transfer input produksi kayu yang dikeluarkan sebagai pengganti “biaya” sewa lahan sehingga merasa tidak dirugikan. 3.
Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif Analisis melalui Policy Analysis Matrix (PAM) bertujuan mengkaji kinerja atau
keunggulan kompetitif dan komparatif KIBARHUT di Pulau Jawa. Analisis PAM menggunakan asumsi dan data dasar yang sama dengan analisis finansial, sedangkan perhitungan harga paritas impor kayu disajikan pada Lampiran 10 dan dugaan harga sosial untuk output dan input tradable disajikan pada Lampiran 11. Hasil perhitungan analisis PAM kelembagaan KIBARHUT pada tingkat usaha tani (ut) di lokasi contoh terdapat pada Lampiran 17 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan keuntungan privat yang positif (PP > 0) untuk semua tipe. PP bernilai positif membuktikan bahwa KIBARHUT adalah usaha yang memiliki efisiensi secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif sehingga mampu untuk berekspansi di Pulau Jawa. Hasil ini sejalan temuan analisis finansial bahwa kelembagaan KIBARHUT memiliki kelayakan finansial.
120
120
Tabel 25 Ringkasan PAM kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa PP (private profit) Tipe 1 Bawang - 1 tingkat - 2 tingkat Tipe 2 Sukaraja - 2 tingkat
SP (social profit)
115.385.147 199.468.330 2.498.631 3.942.644
OT (output transfer)
IT (input transfer)
(74.223.417) 4.154.144 (964.836) 254.397
PCR
DRC
NPCO
NPCI
PC
0,517 0,710
0,371 0,602
0,789 0,924
1,123 1,114
0,578 0,644
(1.891.494)
0,670
0,530
0,875
1,014
0,591
1.653.116 (11.082.155) 515.560 (3.860.420)
0,684 0,803
0,549 0,623
0,885 0,856
1,144 1,110
0,588 0,424
5.706.621 (84.083.183) 224.780 (1.444.013)
4.563.818
15.840.361 2.836.537
26.922.516 6.696.958
Tipe 3 Sukaraja - 2 tingkat
3.699.251
5.092.709
(1.087.407)
51.117
254.934
(1.393.458)
0,567
0,474
0,902
1,036
0,726
Tipe 3 Krucil - 2 tingkat
1.957.878
4.274.046
(1.392.713)
464.978
521.477
(2.316.168)
0,859
0,729
0,933
1,128
0,470
0,701
0,572
0,891
1,083
0,577
Rata-rata Keterangan :
28.921
NT (net transfer)
2.672.323
Tipe 2 Krucil - 1 tingkat - 2 tingkat
(1.517.669)
FT (factor transfer)
(8.002.976) 1.426.062 (3.008.470) 336.391
344.904
PP = keuntungan privat (private profit); SP = keuntungan sosial (social profit); PCR = rasio biaya privat (private cost ratio); DRC = rasio biaya sumberdaya domestik (domestic resources cost ratio); NPCO = koefisien proteksi output nominal (nominal protection coeeficient on tradabale output); NPCI = koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable input); PC = koefisien keuntungan (profitability koefisien)
121
Berdasarkan harga sosial, kelembagaan KIBARHUT menghasilkan keuntungan sosial positif (SP > 0) untuk semua tipe. SP bernilai positif berarti KIBARHUT memiliki keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi. Analisis keuntungan privat dan sosial83 tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai kelayakan ekonomis pada kondisi tidak ada divergensi, dan penerapan kebijakan berlangsung secara efisien. Jika terjadi divergensi dan distorsi kebijakan maka keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dikaji dengan nilai private cost ratio (PCR84) dan domestic resources cost ratio (DRC85). Tabel 25 menunjukkan bahwa semua tipe pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai PCR < 1 dengan nilai rata-rata 0,701. Nilai PCR tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,701 atau secara rata-rata membutuhkan kurang dari satu satuan. Rasio PCR < 1 tersebut memperlihatkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki keunggulan secara kompetitif, dan keunggulan tersebut meningkat dengan semakin kecilnya nilai PCR yang berarti semakin efisien secara finansial. Berdasarkan kriteria tersebut maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat merupakan arena aksi yang mempunyai tingkat efisiensi finansial terbaik dibandingkan arena aksi lainnya dan diikuti oleh Tipe 3 Sukaraja. Semua tipe kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai DRC < 1 dengan nilai rata-rata 0,572. Rasio DRC menunjukkan bahwa untuk menghasilkan komoditas kayu FGS melalui kelembagaan KIBARHUT membutuhkan biaya sumberdaya domestik rata-rata 57,2% terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, untuk menghasilkan setiap US$ 1.00 dari hasil kayu jenis FGS maka KIBARHUT hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US$ 0,572 untuk memproduksinya. DRC juga memperlihatkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi secara sosial atau keunggulan secara komparatif. Keunggulan atau daya saing tersebut semakin meningkat dengan semakin kecilnya 83
Analisis ekonomis dengan harga sosial yang diestimasi (estimated social prices) meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat keseluruhan dan menggambarkan nilai ekonomi/sosial sesungguhnya atau the true value of social or economic value (Gittinger, 1982; Pearson et al., 2005). 84 PCR adalah indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem usaha untuk membayar biaya domestik dan tetap memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif. 85 DRC adalah indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.
122
DRC, yang berarti mempunyai keunggulan komparatif yang semakin tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat adalah arena aksi yang mempunyai keunggulan komparatif tertinggi dibandingkan tipe lainnya, dan diikuti Tipe 3 Sukaraja. Selanjutnya, dampak adanya distorsi kebijakan (yaitu dalam bentuk larangan impor/ekspor,
pemberian
subsidi,
pengenaan
pajak)
atau
kegagalan
pasar
tergambarkan pada pengaruh divergensi (effects of divergences). Divergensi atau penyimpangan/perbedaan antara harga privat yang dicermati (actual market) dan harga sosial (yang diduga) memberikan kejelasan dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar (effects of distorting policies and market failures). Divergensi dicermati dari 3 sisi yaitu output (output transfer), input (input transfer) dan outputinput/transfer bersih (net transfer). Transfer output (OT) merupakan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. OT pada semua tipe KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai nilai negatif. OT bernilai negatif berarti konsumen (INPAK atau principal) membeli, dan produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga seharusnya sehingga seolah-olah (implisit) dibebani pajak/transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem usaha KIBARHUT di Pulau Jawa. Melengkapi analisis dari sisi output, maka pencermatan koefisien proteksi output nominal atau NPCO (nominal protection coefficient on tradable output) dilakukan guna menganalisis proteksi atau kebijakan pemerintah yang diberikan. kelembagaan KIBARHUT memiliki NPCO < 1 dengan rata-rata sebesar 0,891 (Tabel 25). Nilai tersebut menunjukkan harga domestik kayu Sengon di Pulau Jawa adalah lebih rendah dari harga paritasnya, dan tidak ada policy transfer atau proteksi yang diterima pelaku KIBARHUT. Nilai insentif yang diberikan pemerintah terhadap input produksi dan dampaknya dapat dilihat dari besarnya nilai tradabale input transfer (IT), koefisien nominal proteksi input atau NPCI (nominal protection coefficient on tradable input) dan transfer input faktor domestik (factor transfer atau FT). Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan IT yang positif (IT > 0). IT positif terjadi karena harga privat untuk input-input tradable adalah lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Rasio kedua nilai tersebut disebut sebagai NPCI, dan kelembagaan
123
KIBARHUT memiliki NPCI yang lebih dari satu. NPCI > 1 tersebut terjadi karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga harga pupuk urea yang dibayarkan petani adalah lebih tinggi (berkisar antara 16,7 – 33,3%) daripada harga pupuk subsidi pemerintah. Dampaknya adalah penggunaan input tradable (pupuk an-organik dan obat-obatan) sangat rendah dan terbatas, dan umumnya dipergunakan dalam proses produksi komoditas non kayu atau tanaman hortikultur yang ditanam secara tumpangsari pada awal-awal daur tanaman kayu. Karenanya biaya-biaya yang dikeluarkan petani untuk memperoleh pupuk kimia dan obat-obatan adalah melebihi jumlah subsidi yang diterima atas input tradable tersebut dan bahan bakar minyak. Hal tersebut banyak ditemukan pada berbagai kasus sistem usahatani yang dianalisis dengan PAM, sebagaimana diungkapkan Anapu et al., Aji, Budastra dan Dipokusumo, Pellokila et al., dan Zakaria et al. dalam Pearson et al. (2005). Pada sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan adanya penggunaan input domestik (sumberdaya lokal) yang tidak diperdagangkan di pasaran dunia (sumberdaya lokal) yang lebih besar oleh produsen. Besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan disebut factor transfer (FT). Nilai FT pada berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT mempunyai nilai positif, dan menunjukkan bahwa barang-barang domestik yang tidak diperdagangkan mempunyai harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga sesungguhnya. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pembayaran sewa lahan, dan biaya modal pada harga sosial serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada pelaku usaha termasuk pengenaan pajak dan subsidi bunga yang tidak dimasukkan dalam perhitungan harga sosial. Analisis gabungan input–output dilakukan dengan mencermati nilai selisih antara penerimaan atau keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen, dengan keuntungan bersih berdasarkan harga sosialnya atau disebut net transfer (NT). Penerimaan sosial (SP) untuk berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT adalah lebih tinggi dibandingkan PP, sehingga nilai NT yang diperoleh adalah negatif (NT < 0). Net transfer negatif menyebabkan keuntungan rata-rata untuk perhitungan secara total atau semua komoditas yang diusahakan KIBARHUT sebesar 57,7% (setara dengan nilai rata-rata koefisien profit atau profitability coefficient (PC) yaitu
124
0,577) dari yang seharusnya. Artinya kebijakan pemerintah pada saat ini membuat keuntungan diterima produsen lebih kecil karena terdapat surplus 42,3% yang dinikmati oleh konsumen komoditas yang dihasilkan dari kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Kebijakan pemerintah juga belum memberikan insentif bagi pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa dan tidak ada perlindungan diterima petani atau produsen kayu KIBARHUT. Kondisi ini ditunjukkan dengan nilai OT negatif dan NPCO < 1 yang berarti harga output (kayu Sengon) di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan harga dunianya. Harga kayu jenis Sengon di Pulau Jawa pada tingkat pabrik mencapai rata-rata US$ 70 per m³, sedangkan rata-rata harga dunia adalah US$ 109 atau harga paritasnya di pintu pabrik adalah sekitar US$ 86,8486. Terdapat perbedaan (disparitas) sebesar 35,8% antara harga dunia dibandingkan harga pasar domestik, atau selisih sekitar 25,5% antara harga pasar dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik. Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor KB. Secara sederhana jika transaksi ekpor diperkenankan, maka terdapat kemungkinan bagi pemerintah mengenakan 12,75% tarif bea keluar. Tarif bea keluar tersebut dihitung berdasarkan disparitas di pintu pabrik (25,5%) dikurangi 12,75% pajak-pajak yang harus dibayar eksportir87, pada harga patokan eskpor sekitar US$ 109. Jika harga patokan ekspor ditetapkan lebih rendah dari US$109, maka tarif bea keluar dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75% dan begitu juga sebaliknya. Pengenaan bea keluar sebesar tersebut masih dalam batas kewajaran, sebagaimana diungkapkan Astana (2005) bahwa tarif bea keluar optimal KB adalah berkisar 15–30% dari harga patokan ekspor. Besaran tarif bea keluar juga harus sudah memperhitungkan kemungkinan adanya biaya sertifikasi dan uji laboratorium yang 86 Penggunaan harga paritas impor/ekspor suatu komoditas yang tradable adalah harga sosial yang diduga dari harga barang sejenis (comparable) di pasar internasional, yaitu harga impor (cost insurance freight – CIF) untuk komoditas impor dan harga ekspor (free on board atau FOB) untuk komoditas ekspor. Harga paritas berdasarkan harga internasional dengan memperhitungkan biaya kapal, asuransi, dan nilai kurs, serta biaya karantina, biaya pelabuhan dan angkutan ke pelabuhan, sehingga menjadi harga FOB di Indonesia. Artinya, harga paritas diperbandingkan pada lokasi, waktu, kualitas dan bentuk yang sama. Harga paritas tersebut belum menghitung tariff bea keluar dan pajak-pajak (Lampiran 19). 87 Beberapa biaya dan pungutan pada pemasaran ekspor adalah tariff bea ekspor, pajak/retribusi (sekitar 12,75% dari harga di invoice, yaitu PPN=10%, PPH pasal 22=2,5%, dan PNBP Rp 50.000/ kontainer).
125
diwajibkan untuk transaksi internasional produk kayu (diantaranya adalah SPS dan fumigasi), biaya siluman (invicible cost) di pelabuhan, serta resiko pemasaran internasional seperti nilai tukar, krisis keuangan, dan tingginya nilai jaminan asuransi. Tarif bea keluar terlalu tinggi menyebabkan harga domestik kayu jenis FGS tertekan dan bernilai jauh dibawah harga dunianya.Tarif terlalu rendah menyebabkan harga kayu di dalam negeri melonjak terlampau tinggi sehingga mengganggu saluran pemasaran dan pasokan kayu bagi industri dalam negeri. C.
Pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa Kayu KIBARHUT yang sudah pernah dipanen pada saat penelitian lapangan
dilaksanakan adalah kayu Sengon. Kayu jenis lain yang dibudidayakan pada KIBARHUT, khususnya di Krucil, yaitu Balsa, Jabon, Waru Rangkang, Gmelina, dan Anggrung belum dipanen sehingga informasi pasarnya belum tersedia. Kayu Sengon hasil KIBARHUT dimanfaatkan dan dipasarkan dalam bentuk pohon berdiri siap panen (pohon), kayu bundar (KB) atau kayu gelondongan (log), kayu gergajian (KGG), kayu bakar dan dimanfaatkan keperluan sendiri oleh petani, serta sebagai anakan untuk bibit Sengon88. Namun, cakupan penelitian dibatasi pada pemasaran kayu dalam bentuk pohon, KB (atau log), dan KGG. Pada tingkat produsen (petani), sekitar 37,78% agents menyatakan menjual kayu KIBARHUT dalam bentuk pohon dan 28,89% agents menjual dalam bentuk KB (Gambar 18). Petani yang mempunyai kewenangan menentukan pemasaran kayu KIBARHUT tersebut seluruhnya merupakan agents pada Tipe 1 dan Tipe 2. Sekitar 33,33% agents lainnya (seluruhnya agents di Tipe 3) menyatakan bahwa kewenangan pemasaran dan penjualan kayu KIBARHUT berada pada mitra antara (Perum Perhutani di Tipe 3 Sukaraja dan Aviland/KTI bk di Tipe 3 Krucil). Mitra antara menyatakan bahwa kayu (tanaman) hasil KIBARHUT dipasarkan ke INPAK (principal) dalam bentuk KB.
88
Penjualan anakan tanaman Sengon yang dimanfaatkan sebagai bibit Sengon setidaknya dilakukan oleh 7,78% petani contoh. Penjelasan selengkapnya diuraikan pada halaman 65-66.
126
20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Tipe 1 Tip pe 2 BawangSukaaraja Tipe 2 Tipe 3 e 3 Tipe Krucil S Sukaraja Kru ucil
oleh mitra K KB‐sawmill KB B‐pdg phn‐sawmill phn‐p pdg
Gambbar 18 Bentuk k dan saluran ppemasaran kayyu hasil KIBA ARHUT
A yang dip Aksi pilih agents dalam mem masarkan kayyu KIBARHU UT pada saaat panen tersebutt, ternyata tidak jauh berbeda denngan data agents a yangg sudah meelakukan penebanngan kayu KIBARHUT K . Sejumlah 18 1 agents (attau setara 200% dari totall agents) diketah hui sudah melakukan penebangaan pohon dan memaanfaatkan kayunya k sebagaiimana disajikkan pada Taabel 26. Tabel 26 6 Jumlah ageents sudah meenebang dan bbentuk penjuaalan kayu KIB BARHUT agents sudaah menebang Bentuk pem manfaatan kayyu Penjualan oleh Tahua Tidakb Pohon KB senndiri Tipe 1 Bawang 1 0 8 3 4 Petanni Tipe 2 Sukaraja 0 0 0 0 0 --Tipe 2 Krucil 2 1 1 1 1 Petanni Jumlahh oleh petani 2 9 4 2 5 Tipe 3 Sukaraja 0 0 0 0 0 --Tipe 3 Krucil 7 0 0 4 3 mitra antara Jumlahh oleh mitra 7 0 0 4 3 Jumlah h 9 9 4 6 8 Keteran ngan : a. Peenebangan dilaakukan agentss dengan sepen ngetahuan Miitranya b. Peenebangan dilaakukan agentss tidak sepeng getahuan Mitraanya
T Tabel 26 men nunjukkan bahwa 4 agennts (22,22% dari jumlahh agents yanng sudah menebaang) menjuaal secara lanngsung dalaam bentuk pohon p dan 6 agents (3 33,33%) menjuaalnya dalam bentuk KB (11,11% oleh agents seecara langsuung dan 22,2 2% oleh mitra antara a pemeggang izin HG GU). Sekitarr 44,44% ag gents lainnyaa menginform masikan bahwa kayu k dimanfaatkan untuuk keperluann sendiri, yaiitu sebagai kkayu bakar dan/atau d penggu unaan lainnyaa baik oleh agents a (27,777%) atau miitra antara (16,67%). Agents
yan ng
telah
melakukan
pemanenaan
kayu
KIBARHUT
dan
memasaarkannya masih sangat terbatas, yaaitu sejumlahh 6 agents (6,67% ( dari seluruh
127
agents). Hal ini dikarenakan pohon KIBARHUT belum memasuki umur panennya ketika penelitian dilaksanakan pada tahun 2008. Berdasarkan temuan tersebut maka cakupan kajian deskriptif dikhususkan pada struktur pasar dan saluran pemasaran yang terbentuk dari adanya kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Saluran pemasaran (supply chain) adalah suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh kayu KIBARHUT yang dihasilkan agents sampai di pabrik principal (konsumen). Pemasaran kayu KIBARHUT di lokasi penelitian, melalui suatu saluran yang melibatkan lembaga pemasaran yang sudah ada sebelumnya dan juga pemasaran yang terbentuk guna mendukung pelaksanaan KIBARHUT. 1.
Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 Saluran pemasaran kayu di Tipe 1 Bawang terdiri atas 5 macam (Gambar 19).
Saluran 1 dipilih 53% agents yang menjual kayu KIBARHUT dalam bentuk pohon berdiri. Penjualan dilakukan melalui bakul/pedagang sebagai mata rantai pemasaran, sekaligus bertindak sebagai penebang. Penjualan pohon berdiri oleh 7% agents terdapat juga di saluran 2, namun dilakukan melalui depo/sawmill. Saluran pemasaran 2 muncul karena depo/sawmill tidak hanya mengandalkan pedagang untuk memasok kayu, tetapi aktif mencari kayu ke pemilik pohon, dan karenanya memiliki tim tebang tersendiri. Agents pada saluran 1 dan 2 mengalihkan resiko pemanenan (seperti kerusakan batang pohon yang berpengaruh terhadap kualitas kayu Sengon) ke pembeli pohon. Resiko pemanenan tersebut sudah diperhitungkan pembeli (bakul atau sawmill) yaitu dengan memanipulasi pengukuran lilitan89 pohon dan/atau penggunaan nilai π tidak lazim90 pada saat melakukan pengukuran atau taksiran di lapangan (ngontrek). Hasil “ngontrek” menjadi dasar pembeli mengajukan nilai penawaran. Pada sisi lain, agents mempunyai taksiran potensi atau harga sesuai ukuran pohon miliknya. Transaksi terlaksana setelah terjadi tawar menawar, dan harga yang ditawarkan pembeli dianggap wajar dan memadai oleh petani, serta pembayaran diselesaikan secara tunai. Pada saluran 3 dan 4, penebangan pohon dilakukan petani secara swadaya atau dengan membayar jasa tim tebang. Hasil tebangan berupa KB, selanjutnya dipasarkan
89
Diameter pohon diperoleh dengan cara membagi nilai lilitan (keliling) dengan π. Nilai π adalah 3,14 tetapi penghitungan diameter pohon di lapangan menggunakan nilai 3,5 (dianggap sebagai faktor koreksi yang mudah, murah, dan aplikatif dari bentuk pohon berdiri ke KB).
90
128
melalui mata rantai bakul/pedagang oleh 17% agents (saluran 3), atau langsung diangkut dan dijual ke depo oleh 23% agents (saluran 4). KB all grade 17% petani
Petani peserta KIBARHUT Tipe 1 Bawang
pohon 53% petani
Bakul/ Pedagang
KB all grade
Petugas Lapangan principal
pohon 7% petani KB 23% petani
KB all grade
KB all grade
Depo Sengon Sawmill
60% KB (reject & all grade)
Konsumen alternatif
Depo
40% KB (super)
KTH Desa
Koperasi GMS
KB reject KB super
Log supplier principal (NMS dan SA)
Gambar 19 Saluran Pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang Keterangan : = = = = = =
Saluran pemasaran 1 (petani – penebang & bakul/pedagang – depo/sawmill – INPAK) Saluran pemasaran 2 (petani – penebang & depo/sawmill – INPAK) Saluran pemasaran 3 (petani&penebang–bakul–depo/sawmill–INPAK) Saluran pemasaran 4 (petani & penebang –depo/sawmill – INPAK) Saluran pemasaran 5 (petani – koperasi – INPAK) Aliran kayu keluar dari KIBARHUT
Depo/sawmill selanjutnya memasok KB ke INPAK. Depo/sawmill hanya memasok KB kualitas “super91” ke principal, sedangkan kualitas “reject” dijual ke INPAK lain. Seringkali terjadi, depo/sawmill memasok seluruh KB ke INPAK lain, karena adanya selisih harga dan iming-iming lain yang dianggap jauh lebih menarik dibandingkan principal. Kayu kualitas “super” atau sekitar 40% dari total kayu Sengon dari Bawang dipasok ke pabrik principal di Grinsing. Sekitar 30% KB “super” dipasok ke INPAK lain di Semarang, dan 30% sisanya (kualitas all grade) dipasarkan ke sawmill lainnya di dalam Provinsi Jawa Tengah atau ke Jawa Timur. 91
Kualitas “super” adalah KB yang memenuhi grading kualitas kayu oleh INPAK yaitu kayu segar/tidak lapuk, diameter > 16 cm, lurus/tidak bengkok, tidak pecah, mata kayu/bekascabang/ bekas akar diratakan, bebas hati rapuh/busuk, bebas lobang/growong, bebas jamur, kedua sisi bontos terpotong siku dan rata. Kualifikasi atau grading kayu selengkapnya terdapat pada Lampiran 20.
129
Informasi tersebut menunjukkan adanya aliran kayu sejumlah 60% yang keluar dari kelembagaan KIBARHUT (Gambar 19), sehingga terdapat ketidakmampuan dari kelembagaan yang cukup tinggi dalam membatasi atau melarang pemanfaatan oleh non-pelaku KIBARHUT. Mencermati kondisi tersebut dan guna menjaga kesinambungan pasokan bahan bakunya, maka principal membentuk perusahaan khusus yang bertindak selaku log supplier92 untuk pabrik-pabrik veneer dan kayu lapis di dalam kelompok usahanya. Kebijakan principal adalah bahwa kewenangan pembelian KB dan tanggung jawab penyediaan pasokan bahan baku dilakukan oleh perusahaan log supplier. Tetapi, perusahaan log supplier principal tersebut (Mandira atau SA) tidak mengetahui petani yang menjadi agents93. Untuk itulah, Soeranto DN (petugas lapangan PT. SGS) menginisiasi pembentukan koperasi untuk kegiatan pemasaran kayu dan selanjutnya bertindak sebagai supplier atau depo kayu KIBARHUT (saluran pemasaran 5). Saluran 5 merupakan saluran pemasaran kayu KIBARHUT yang dipilih untuk menjembatani agents (khususnya petani yang memilih memasarkan kayunya dalam bentuk pohon berdiri) dengan principal melalui koperasi sebagai pelaku mata rantai pemasaran. Koperasi Graha Mandiri Sentausa (GMS) terbentuk melalui pertemuan petani peserta KIBARHUT di Desa Surjo, Bawang pada Juli 2008, tetapi konsep saluran pemasaran melalui koperasi GMS belum diimplementasikan di lapangan. Koperasi GMS, diperkirakan oleh petugas lapangan dan agents, dapat berperan pada pemasaran untuk setidaknya separuh kayu KIBARHUT, dan kemudian 70-80% diantaranya dipasok ke principal. Pada KIBARHUT Tipe 1, agents mempunyai kekuatan menentukan nilai jual kayu Sengon yang diproduksinya. Kekuatan daya tawar (bargaining position) petani tidak dapat dikuasai sepenuhnya dan selamanya, karena terkendala kebutuhan atau pola ekonomi petani. Posisi petani (i) cenderung melemah pada saat menjelang hari raya, kenaikan sekolah, dan jatuh tempo pembayaran pajak/PBB. Dampaknya adalah 92
Log supplier principal di Jawa Tengah, khususnya di Batang adalah PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) dan PT. Setya Alba (SA). NMS merupakan log supplier utama dan rutin, sedangkan SA adalah pendamping dan tidak rutin. Pada kondisi normal, log supplier yang beroperasi adalah NMS. Jika ada saingan yang merusak harga dan mempermainkan pasar (membeli satu-dua kali, dalam jumlah sedikit tetapi harga lebih tinggi atau hit and run) maka SA melakukan pembelian dengan pola yang sama. 93 Gambar 19 memperlihatkan hampir tidak adanya peran petugas lapangan dan KTH Desa dalam pemasaran kayu KIBARHUT. Tidak berjalannya komunikasi dan arus informasi antara petani, petugas lapangan, dan KTH Desa distimulir juga oleh belum terintegrasinya kebijakan principal dalam pembangunan hutan dan pemasaran hasil hutan kayu.
130
harga kayu Sengon cenderung turun dan pembeli lebih mempunyai kekuatan menentukan harga; (ii) cenderung menguat pada saat adanya panen kopi, cengkeh atau panen raya melinjo. Dampaknya adalah harga kayu cenderung naik, karena pasokan berkurang dan petani mempunyai kekuatan menentukan harga. Kekuatan petani dalam penentuan harga kayu karena adanya komoditas alternative/lainnya yang dipanen, merupakan gambaran umum ekonomi pedesaan sebagaimana diungkapkan juga oleh Zhang et al. (2000). Pada KIBARHUT Tipe 1 Bawang, pembeli kayu Sengon (bakul/pedagang dan depo/sawmill) di Bawang berjumlah relatif banyak, yaitu 10 pedagang, 9 sawmill, dan 4 depo. Pada tingkat petani, pasar dicirikan produk/komoditas yang homogen (berbentuk pohon siap tebang) pada saluran 1 dan 2, tetapi terkadang ada sedikit perbedaan harga (diferensiasi) produk berdasarkan kelas diameter (KB “all grade”) pada saluran 3 dan 4. Berdasarkan deskripsi tersebut maka struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang pada tingkat petani memenuhi karakteristitik pasar persaingan monopsonistis, sebagaimana diringkas pada Tabel 27. Tabel 27 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang KarakPemasaran tingkat teristik Petani Bakul/pedagang Depo/Sawmill Penjual Petani (banyak) Bakul/pedagang 4 depo supplier dan 9 sawmill Pembeli Bakul/pedagang ada > Depo/Sawmill (ada 13 PT. SGS dan sekitar 3 10 pelaku tiap desa) pelaku pasar) INPAK lainnya dan 13 depo/Sawmill Produk homogen (pohon) Diferensiasi (diameterDiferensiasi, unik (diameter – diferensiasi (KB) kualitas) kualitas – kupas kulit) Informasi Mudah Mudah Mudah Penentuan Tawar menawar Ditentukan sawmill/depo; Ditentukan INPAK harga ada akses ke sawmill lain Struktur Persaingan Persaingan monopsonistis Monopsonistis mengarah ke pasar input monopsonistis Oligopsoni
Tabel 27 menunjukkan bahwa di Tipe 1 Bawang terdapat bakul/pedagang sekitar 10 pelaku pada setiap desa, dan pembeli sebanyak 13 pelaku terdiri dari 9 sawmill dan 4 depo. Bakul/pedagang selaku penjual tidak mempunyai kekuatan untuk membuat klasifikasi (differensiasi) produk dan menentukan harga, karena kedua hal tersebut ditentukan oleh pembeli. Namun, kemudahan akses informasi dan banyaknya sawmill lebih memudahkan bakul/pedagang untuk memasarkan kayu Sengon ke sawmill atau pembeli yang dianggap memberikan harga maksimal. Berdasarkan
131
deskripsi tersebut maka struktur pasar KIBARHUT Tipe 1 Bawang pada tingkat bakul/pedagang perantara memenuhi karakteristitik pasar persaingan monopsonistis. Pada tingkat sawmill atau depo terjadi differensiasi produk karena principal hanya menggunakan kayu Sengon berbentuk KB dengan diameter > 20 cm dan memenuhi kualifikasi/grading pabrik atau dikenal sebagai kualitas “super”. Kayu dipasok ke principal memiliki karakteristik produk yang khas yaitu sudah dikupas kulitnya, sehingga sangat mudah dibedakan di sawmill atau di truk. Differesiansi produk juga dicirikan dengan adanya perbedaan harga yang mencolok antara KB diameter > 20 cm dan kayu diameter kecil (Lampiran 21). Dengan demikian, struktur pasar di tingkat sawmill/depo kayu memenuhi karakteristik pasar monopsonistis yang mengarah ke oligopsoni karena pemasaran KB hasil KIBARHUT tidak hanya ke principal, tetapi juga dijual ke INPAK lainnya atau memiliki alternatif pasar/pembeli kayu yang cukup terbuka. 2.
Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2
a.
Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Saluran pemasaran kayu KIBARHUT di Tipe 2 Sukaraja tidak banyak berbeda
dengan Tipe 1 Bawang, tetapi teridentifikasi adanya peran mitra antara dan principal serta keterlibatan KUP (kelompok usaha penggergajian). Saluran pemasaran terdiri atas 4 macam sebagaimana ilustrasi Gambar 20. Pemasaran kayu KIBARHUT dapat dilakukan agents melalui KUP/sawmill afiliasi dengan principal menggunakan saluran pemasaran yang sudah ada dan bekerja selama ini (saluran 1–4). Agents juga dapat memasarkan kayunya dengan menginformasikan ke mitra antara, sehingga terjalin saluran pemasaran alternatif dengan terlaksananya kelembagaan KIBARHUT. Dengan demikian, KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja telah menjamin alokasi komoditas hasilnya secara efisien, sehingga dapat dengan mudah dipindahtangankan (easily transferable) dan diperjualbelikan (easily tradable) diantara para pelakunya. Menurut Ostrom (2005), kelembagaan yang demikian telah mampu menciptakan pasar yang kompetitif. Saluran 1 dipilih oleh 20% agents yang menjual dalam bentuk pohon berdiri. Penjualan dilakukan ke bandar/pedagang sebagai mata rantai pemasaran, dan sekaligus sebagai penebang. Penjualan pohon berdiri oleh petani juga terdapat pada saluran pemasaran 2, namun dilakukan melalui KUP/sawmill. Saluran 2 tersebut
132
dipilih oleh 20% agents. Pada saluran pemasaran 3 dan 4, penebangan pohon dilakukan agents secara swadaya atau dengan membayar jasa tim tebang. Hasil tebangan berupa KB, dipasok ke principal melalui pedagang perantara oleh 13,3% agents (saluran 3) atau dijual langsung ke KUP/sawmill oleh 26,7% petani (saluran 4). pohon KB all grade
100% KB
20% petani pohon
Petani peserta KIBARHUT
INPAK lain
Bandar/ Pedagang
20% petani
13,3% petani
KB 26,7% petani
40% kayu (KB “super”)
Sawmill KUP
20% petani
100% KGG (pallet)
60% kayu (pallet)
Mitra antara principal pelaksana dan petugas teknis KIBARHUT
divisi log supplier pabrik principal
Gambar 20 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Keterangan :
= = = = =
Saluran 1 (petani – penebang & bandar – KUP/sawmill – INPAK) Saluran 2 (petani – penebang & KUP/sawmill – INPAK) Saluran 3 (petani/penebang–bandar–KUP/sawmill–INPAK) Saluran 4 (petani/penebang – KUP/sawmill – INPAK) Arus informasi dan komunikasi pemanenan pohon KIBARHUT sekaligus menjadi saluran pemasaran alternatif
KUP/sawmill selanjutnya memasarkan kayu ke INPAK. Sawmill berstatus KUP memproses kayu menjadi pallet berukuran 5cm x 8 cm up x 100 cm up dan memasok seluruhnya ke principal. Sawmill non KUP mempunyai 2 pilihan yaitu (i) menjual kayu Sengon dalam bentuk KB ke KUP atau INPAK lain; dan (ii) menggergaji KB menjadi KGG dan menjualnya ke principal. Sekitar 40% kayu Sengon dan seluruhnya berkualitas “super” dijual kembali oleh sawmill non-KUP dalam bentuk KB ke INPAK lain di luar kabupaten/provinsi, sedangkan 60% sisanya dengan kualitas “all grade” digergaji menjadi pallet dan kemudian dijual ke principal.
133
Berdasarkan Gambar 20 dapat dihitung bahwa hanya terdapat sekitar 22,9% kayu (tanaman) hasil KIBARHUT94 yang keluar dari mekanisme pemasaran pada arena aksi kelembagaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja, sehingga membuktikan bahwa kelembagaan
KIBARHUT
mempunyai
kemampuan
melarang
penggunaan/
pemanfaatan kayu (tanaman) hasil KIBARHUT oleh non-pelaku KIBARHUT. Gambar 20 juga memperlihatkan adanya peran mitra antara dan principal dalam pemasaran kayu KIBARHUT (saluran alternatif). Mitra antara memperoleh informasi berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi tegakan serta jalinan komunikasi dengan agents. Informasi tersebut diteruskan ke principal (log supplier) dan kemudian disalurkan ke KUP untuk proses pembelian dan pengolahannya. Saluran ini dipilih oleh sekitar 20% agents yang memilih pola ini dalam penjualan kayu KIBARHUT, sekaligus sebagai wujud komitmen kontrak Mengantisipasi aksi agents lainnya yang memilih saluran pemasaran yang selama ini sudah bekerja di lapangan (saluran 1–4), maka principal melibatkan KUP pada pemasaran kayu KIBARHUT. Walaupun agents tidak menginformasikan ke mitra antara, namun sebagian besar kayu hasil panen selanjutnya dipasok ke KUP (Gambar 20). Situasi tersebut, didukung data yang menunjukkan bahwa seluruh sawmill yang khusus menggunakan kayu Sengon di Sukaraja adalah KUP/sawmill terafiliasi dengan principal. Sawmill non-KUP umumnya memilih kayu jenis lain sebagai bahan bakunya, dan jarang mendapatkan pasokan kayu Sengon. Petani Tipe 2 Sukaraja, mempunyai cukup kekuatan menentukan nilai jual kayu produksinya. Kekuatan daya tawar (bargaining position) agents cukup kuat karena pertumbuhan sawmill/penggergajian di sekitar Sukaraja, dan mudahnya akses informasi dan sarana transportasi. Pembeli kayu di tingkat petani (bandar/pedagang perantara dan sawmill/KUP) di Sukaraja berjumlah relatif banyak, yaitu lebih dari 5 bandar di setiap desa, 5 sawmill non-KUP, dan 2 sawmill KUP sebagaimana terlihat pada Tabel 28. Berdasarkan deskripsi tersebut maka pasar Tipe 2 Sukaraja pada tingkat petani adalah pasar yang kompetitif dan memenuhi karakteristik persaingan monopsonistis.
94
Dihitung dari sekitar 80% kayu hasil KIBARHUT yang dipasarkan secara langsung oleh agents tanpa/tidak melalui mitra antara, ada 5 sawmill non-KUP (71,4%) dari 7 sawmill yang ada di Sukaraja, dan sekitar 40% kayu yang masuk ke sawmill non-KUP dijual ke INPAK lain (non-principal).
134
Tabel 28 menunjukkan bahwa Bandar/pedagang perantara sekitar 5 pelaku, sedangkan pembeli sekitar 7 pelaku terdiri atas 5 sawmill dan 2 KUP. Sawmill KUP seluruh bahan bakunya adalah kayu Sengon, sedangkan sawmill non-KUP mengolah kayu Sengon hanya jika mendapat “sisa” kayu yang tidak terserap KUP. Sulitnya mendapatkan kayu berkualitas diungkapkan pemilik sawmill bermodal kecil (Mugni, Munir, dan Iyet), sehingga rendemen pengolahan pun semakin rendah. Sawmill tidak mungkin mendapatkan margin keuntungan relatif besar, karena harga jual pallet sudah ditentukan pembeli (khususnya principal). Pada sisi lain, penjual (Bandar) sudah tahu standar harga kayu principal, sehingga sawmill harus berani mengambil resiko membeli kayu diameter kecil dengan harga sedikit lebih tinggi. Selanjutnya sawmill harus “pintar” dalam menggergaji sehingga memperoleh rendemen yang optimal, walaupun bahan bakunya berkualitas rendah atau berdiameter kecil. Tabel 28 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Karakteristik Pemasaran tingkat Petani Bandar KUP/Sawmill Penjual Petani (banyak) Bandar/pedagang ada 2 KUP- nya principal dan 5 sawmill non KUP Pembeli ada > 5 bandar tiap Relatif banyak (7 Terbatas, principal atau desa) dan 7 Sawmill Sawmill/KUP) INPAK lain luar kab. Produk Homogeny (pohon), Differensiasi (diameter Differensiasi (diameter dan diferensiasi (diameter) dan kualitas) kualitas) Informasi Mudah Mudah Mudah Penentuan Tawar menawar harga Harga relatif sama & Ditentukan principal harga (“parebut tawar”) mengikuti harga principal Struktur Persaingan Mengarah ke oligopsoni Oligopsoni pasar input monopsonistis
Pada pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja, Bandar selaku penjual melakukan klasifikasi (differensiasi) produk sesuai diameter dan menjual kayu berdasarkan kelas diameternya. Namun, terbatasnya sawmill/KUP bermodal besar yang mampu membayar secara tunai atau membeli dalam jumlah besar menyebabkan aliran pasokan KB Sengon akhirnya lebih banyak terfokus pada kedua KUP. Berdasarkan deskripsi tersebut maka struktur pasar Tipe 2 Sukaraja pada tingkat bandar/pedagang perantara cenderung berkarakteristik oligopsoni. Pada tingkat sawmill atau KUP, principal hanya membeli kayu Sengon berbentuk pallet/KGG berukuran 5cm x 8cm up x 130cm up. Pasokan kayunya lebih banyak dari sawmill/penggergajian yang tergabung dalam KUP. Sawmill non-KUP
135
cenderung menjual kayu dalam bentuk KB ke KUP atau INPAK lain di luar kabupaten, atau bekerjasama dengan KUP memasok KGG ke principal. Pada sisi lain, principal menyadari rendahnya keuntungan sawmill karena kondisi pasar yang relatif terbuka dan akses informasi yang mudah. Mensiasati kondisi tersebut, principal memberikan bonus berupa kenaikan harga pembelian pallet. Bonus bervariasi bergantung pada jumlah pasokan pallet oleh sawmill–KUP. Sawmill–KUP berkategori “ranting” memperoleh bonus (harga tambahan) sebesar Rp 5.000–Rp 10.000 per m³ pallet, dan “cabang” memperoleh bonus sebesar Rp 10.000– Rp 20.000 per m³ pallet, sedangkan sawmill non KUP tidak mendapatkan bonus. Adanya insentif tersebut menyebabkan sawmill–KUP tetap mampu membeli kayu walaupun harga sudah dianggap terlalu tinggi oleh sawmill non-KUP. Selain itu, sawmill KUP juga sanggup menampung pallet yang diproduksi sawmill non KUP. Kesediaan dan kontinyuitas pasokan kayu KUP ke principal juga karena keterikatan KUP dengan adanya bantuan modal kerja (berupa pinjaman biaya pembelian mesin penggergajian) dari principal. Sebagaimana INPAK lain, kekuatan penentuan harga berada pada principal karena terbatasnya pesaing yang masuk dan mencari pasokan kayunya ke Sukaraja. Sulitnya pesaing masuk dan mencari kayu Sengon di Sukaraja karena keberadaan mata rantai pemasaran principal yang sudah terstruktur sampai ke desa yaitu dalam bentuk KUP. Struktur pasar tersebut memenuhi karakteristik pasar yang bersifat oligoposoni. b.
Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil terdiri atas 5 macam
sebagaimana di ilustrasikan pada Gambar 21. Saluran 1 dipilih oleh 20% agents yang menjual dalam bentuk pohon berdiri. Penjualan dilakukan melalui pengepul/pedagang sebagai mata rantai pemasaran, dan bertindak juga sebagai penebang. Penjualan pohon berdiri oleh petani langsung ke sawmill terdapat pada mata rantai pemasaran 2, yang dipilih oleh 13,3% agents. Pada saluran pemasaran 3 dan 4, penebangan pohon dilakukan petani secara swadaya atau dengan membayar jasa tim tebang. Hasil tebangan berupa KB, dipasok ke INPAK melalui mata rantai pedagang perantara oleh 13,3% agents (saluran 3) atau dijual langsung ke sawmill oleh 20% agents (saluran 4).
136 pohon 20% petani KB all grade
Pengepul/ Pedagang
13,3% petani pohon
Petani peserta KIBARHUT
13,3% petani
KB 20% petani
KB 33,3% petani
KP
Koperasi/ KAMkti
INPAK lain 30% kayu (KB “super”)
100% KB
Sawmill Sawmill afiliasi 50% KB all grade
100% kayu
100% kayu (KB & RST)
70% kayu (RST)
50% KB super
Divisi P & L pelaksana dan petugas teknis KIBARHUT
Div. Produksi (bahan baku) principal
Gambar 21 Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil Keterangan : = = = = = =
Saluran pemasaran 1 (petani – penebang & pengepul – sawmill – INPAK) Saluran pemasaran 2 (petani – penebang & sawmill – INPAK) Saluran pemasarn 3 (petani/penebang – pengepul – sawmill–INPAK) Saluran pemasaran 4 (petani/penebang – sawmill – INPAK) Saluran pemasaran 5 (petani – KAMkti – INPAK) Alur koordinasi dan informasi – komunikasi pemanenan KIBARHUT
Sawmill/penggergajian aktif di Krucil tercatat sebanyak 4 unit (Lampiran 5). Dua unit merupakan sawmill terafiliasi dengan principal. Sawmill afiliasi memasok seluruh kayu Sengon yang diterimanya ke pabrik principal di Probolinggo, dalam bentuk KB (diameter > 30 cm) atau RST berukuran 5 cm x 8 cm up x 100 cm up (Gambar 21). Dua unit sawmill lainnya (non afiliasi) memasarkan kayu Sengon dalam bentuk KB kualitas “super” ke INPAK lain (30%), dan dalam bentuk RST ke principal (70%). Berdasarkan Gambar 21 dapat dihitung bahwa hanya terdapat sekitar 10% kayu (tanaman) hasil KIBARHUT95 yang keluar dari mekanisme pemasaran pada (arena aksi) kelembagaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil, sehingga membuktikan bahwa
95
Dihitung dari sekitar 66,7% kayu hasil KIBARHUT yang dipasarkan secara langsung oleh agents tanpa/tidak melalui koperasi atau KP, ada 2 sawmill non-afiliasi (50%) dari 4 sawmill yang ada di Krucil, dan sekitar 30% kayu yang masuk ke sawmill non-afiliasi dijual ke INPAK lain (non-principal).
137
kelembagaan
KIBARHUT
mempunyai
kemampuan
melarang
penggunaan/
pemanfaatan kayu (tanaman) hasil KIBARHUT oleh non-pelaku KIBARHUT. Gambar 21 juga menunjukkan adanya peran mitra antara (KP) dan petugas lapangan principal dalam mewujudkan pasokan kayu KIBARHUT ke principal. KP dan petugas lapangan memperoleh informasi berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi tegakan, serta jalinan komunikasi dengan agents. Informasi diteruskan ke pegawai principal yang bertugas di sawmill afiliasi atau membantu agents mencarikan tim tebang. Saluran pemasaran yang dipilih menggunakan saluran yang sudah lama dikenal petani (saluran pemasaran 2 dan 4) atau melalui saluran pemasaran alternatif (saluran 5). Dengan demikian, kelembagaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil telah menjamin alokasi komoditas hasilnya secara efisien, karena dapat dengan mudah dipindahtangankan (easily transferable) dan diperjualbelikan (easily tradable) diantara para pelakunya. Menurut Ostrom (2005), kelembagaan yang demikian telah mampu menciptakan pasar yang kompetitif. Peran KP dan principal semakin jelas terlihat dengan terbentuknya Koperasi Alas Mandiri kti (KAMkti) pada 20 Maret 2006, yang merupakan wadah agents dan petani lain guna mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Krucil dan sekitarnya (KAMkti, 2008). KAMkti merupakan inisiasi KP dan principal sebagai kelanjutan keberhasilan KIBARHUT (struktur organisasi KAMkti terdapat pada Lampiran 22). KAMkti terlibat selaku pelaku pasar kayu KIBARHUT melalui saluran pemasaran 5 yang dipilih oleh 33,3% agents. KAMkti hanya menampung kayu Sengon dalam bentuk KB dan diterima di lokasi KAMkti di Kertosuko atau sawmill yang ditunjuk, sedangkan kegiatan penebangan dan transportasi dilakukan petani. Pada kasus tertentu dan jika diminta petani, maka KAMkti dapat mencarikan tenaga penebang dan sarana angkutan, sedangkan jasa dan biayanya dikurangkan pada saat pembayaran KB oleh KAMkti ke petani. Harga pembelian kayu KAMkti adalah setara harga beli sawmill di sekitar Krucil (afiliasi atau non afiliasi). Khusus petani peserta (agents) KIBARHUT dan anggota KAMkti berhak mendapat bonus (premium price) sebesar Rp 10.000 per m³ KB. Selanjutnya, kayu berdiameter > 30 cm dan memenuhi standard grading dikirim ke pabrik principal di Probolinggo. KB berdiameter kecil atau kualitasnya tidak memenuhi kualifikasi (ada cacat, bengkok, dan seterusnya) dikirim ke sawmill afiliasi
138
principal dan mitra KAMkti, untuk diproses dan diolah menjadi RST dan selanjutnya dikirim ke Probolinggo. Pada Tipe 2 Krucil, kekuatan daya tawar (bargaining position) agents didukung peran KP dan petugas lapangan principal. Kedua pelaku selalu memotivasi agents untuk menjual kayu dalam bentuk gelondongan (KB), dibandingkan menjualnya dalam bentuk pohon berdiri. KP dan petugas juga berupaya mengarahkan agents terhindar dari praktek ijon atau penjualan tidak langsung tebang96. Agents dalam jumlah banyak tidak menjadi kendala memperoleh nilai jual kayu yang wajar, karena adanya alternatif pasar yaitu KAMkti. Pada sisi lain, pembelian langsung kayu ke petani dilakukan oleh semua lembaga pemasaran, yaitu 25 pengepul (15 pengepul khusus kayu Sengon), 4 sawmill, dan 1 koperasi (KAMkti) sebagaimana pada Tabel 29. Berdasarkan deskripsi tersebut maka struktur pasar KIBARHUT Tipe 2 Krucil di tingkat petani memenuhi karakteristitik pasar persaingan monopsonistis. Tabel 29 Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil Karakteristi Pemasaran tingkat k Petani Pedagang/Pengepul Sawmill Penjual banyak Relatif banyak ada 4 dalam kec Pembeli Relatif banyak (> 25 Sawmill dalam kec (4 Terbatas (principal pedagang dan 4 Sawmill) unit) atau luar kec dan Mandira) Produk homogen (pohon) Differensiasi Differensiasi differensiasi (diameter) (diameter – kualitas) (diameter – kualitas) Informasi Mudah Mudah Mudah Penentuan Penjual - pembeli Harga relatif sama & Ditentukan INPAK harga mengikuti harga pabrik Struktur Persaingan Mengarah ke oligopsoni Oligopsoni pasar monopsonistis
Tabel 29 juga menunjukkan bahwa pengepul/pedagang perantara selaku penjual setidaknya berjumlah 25 orang, dengan 15 diantaranya adalah pedagang khusus Sengon. Pembeli sekitar 4 pelaku di dalam Kecamatan, dan terdapat pedagang yang memasarkan kayunya ke pembeli di luar kecamatan dan luar kabupaten. Pada tingkat ini, pengepul/pedagang perantara selaku penjual tidak mempunyai kekuatan untuk membuat klasifikasi (differensiasi) produk dan menentukan harga, sedangkan pembeli 96
Ada 2 (dua) sistem penjualan tidak langsung tebang di Krucil (KAMkti, 2008) yaitu (i) obuhen; setelah tebangan dilakukan tidak ada bagi hasil antara petani dan pedagang perantara; (ii) gaduhan; setelah tebangan dilakukan ada bagi hasil antara kedua pelaku. Status awal petani sebagai pemilik lahan dan pohon berubah menjadi pemilik lahan saja, sedangkan pemilikan pohon berpindah ke pedagang.
139
(sawmill) juga tidak memiliki kekuatan tersebut karena mengikuti trend harga dari INPAK. Berdasarkan deskripsi tersebut maka struktur pasar Tipe 2 Krucil pada tingkat pedagang perantara memenuhi karakteristitik pasar input yang cenderung mengarah ke oligopsoni. Sawmill afiliasi menjual seluruh kayu KIBARHUT (KB atau RST) ke principal. Sawmill non-afiliasi di Krucil menjual sebagian besar (70%) kayu Sengon ke principal di Probolinggo dalam bentuk KB dan RST berukuran 5 cm x 6 cm up x 130 cm. Sebagian kayu lainnya (30%) berbentuk KB dijual ke INPAK lain di Jombang dan Banyuwangi. Terbatasnya alternatif pembeli kayu tersebut karena hampir seluruh petani hutan di Krucil hanya mengenal principal sebagai INPAK yang membeli kayu Sengon. Struktur pasar sebagaimana uraian tersebut memenuhi karakteristik struktur pasar yang cenderung bersifat oligopsoni. Mata rantai pemasaran principal sesungguhnya telah terstruktur sampai ke petani melalui KAMkti. KAMkti menjadi kepanjangan tangan principal dalam melakukan penetrasi pasar untuk secara langsung mendekati produsen kayu (agents) dari daerah Krucil dan sekitarnya. Penetrasi principal melalui koperasi tersebut melengkapi strategi pasar KIBARHUT lainnya, yaitu membentuk aliansi dengan sawmill di Betek dan Kertosuko sebagai tempat menampung dan mengolah KB menjadi RST. Proses administrasi pembelian kayu, pemilahan dan pengukuran (grading) dan pengangkutan ke pabrik principal di Probolinggo dilakukan oleh petugas principal yang ditempatkan di sawmill afiliasi atau KAMkti. Lembaga pemasaran tersebut selalu siap membeli kayu Sengon secara tunai (cash and carry) dengan harga sesuai kondisi pasar. Berdasarkan tinjauan agency theory maka proses pasokan bahan baku secara tidak terintegrasi (intra firm) hanya terjadi pada saat agents menjual kayu ke KAMkti atau sawmill afiliasi. Proses selanjutnya merupakan transaksi terintegrasi (inter firm) yaitu transaksi secara vertikal. Adanya integrasi vertikal antara KAMkti, sawmill afiliasi dan principal ditunjukkan dengan (i) operasional KAMkti dijalankan oleh petugas principal sehingga dapat dikatakan sebagai cabang atau divisi pengadaaan bahan baku, (ii) sawmill afiliasi di Betek atau Kertosuko hanya menerima upah gesek/gergaji sedangkan proses lainnya ditangani oleh karyawan principal yang ditempatkan di sawmill.
140
3.
Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 3 Saluran pemasaran Kayu Sengon hasil KIBARHUT di Tipe 3 mempunyai
skema yang sedikit berbeda dibandingkan Tipe 1 dan 2. Pemasaran tidak dilakukan agents, tetapi dilakukan oleh mitra antara. Pada Tipe 3 Sukaraja, hanya ada satu saluran pemasaran yaitu dari Perum Perhutani (mitra antara) ke konsumen/INPAK (principal). Saluran tersebut bekerja dengan adanya aturan dalam kelembagaan KIBARHUT yang menyatakan bahwa principal mendapat prioritas pertama dalam pembelian kayu KIBARHUT. Skema pemasaran, secara administrasi, dilakukan dengan sistem kontrak antara mitra antara dan investor (principal) sehingga tidak terdapat banyak mata rantai dan lembaga pemasaran yang terlibat. Mitra antara menentukan nilai jual berdasarkan harga jual dasar (HJD) yang ditetapkan Direksi setiap awal tahun kalender. HJD tersebut selanjutnya disesuaikan dengan kondisi pasar, melalui instrumen surcharge dan differensiasi/diff. (value creation). Nilai surcharge kayu Sengon dari KPH Tasikmalaya pada bulan Agustus 2008 adalah 5% dari HJD, sedangkan nilai diff. dihitung 7,5% dari HJD. Taksiran harga jual tersebut selanjutnya menjadi patokan harga jual minimal untuk kayu jenis Sengon sebagaimana pada Lampiran 21, dan dianggap sudah menutupi biaya produksi dan pemasaran yang dikeluarkan dan memberikan keuntungan. Namun, principal merupakan satu-satunya pembeli utama dan potensial kayu Sengon di daerah Tasikmalaya, dan khususnya di Kec. Sukaraja. Berdasarkan kondisi tersebut, patut diduga bahwa penjualan kayu Sengon di Tipe 3 Sukaraja dimonopoli principal. Pada sisi lain, principal juga sudah memiliki mata rantai pemasaran kayu yang sudah tersebar di hampir seluruh desa di Tasikmalaya, dan khusus di Sukaraja terdapat 2 KUP (sawmill terafiliasi) dengan principal.
Berdasarkan karakteristik
tersebut, maka struktur pasar yang terbentuk memenuhi karakteristik pasar monopsoni. Pada Tipe 3 Krucil, pemasaran serupa dengan Tipe 3 Sukaraja yaitu terdapat satu saluran pemasaran dari KTI bk/Aviland (mitra antara) ke konsumen (principal). Principal secara otomatis juga menjadi penampung dan pembeli tunggal produk kayu KIBARHUT karena tidak adanya alternatif pengguna kayu Balsa sehingga tidak memungkinkan bagi mitra antara untuk menjual kayunya ke pembeli lain. Secara aktual kegiatan KIBARHUT dan pengelolaan lahan HGU dilakukan mitra antara
141
(KTI bk) yang merupakan anak perusahaan principal. Situasi aksi tersebut menghasilkan saluran pemasaran kayu bersifat inter-firm atau pemasaran terintegrasi vertikal. Secara teoritis hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kemitraan karena pasokan bahan baku dipertukarkan dari perusahaan terkait saham (Jensen dan Meckling, 1986; Maskin; 2001; Gibbons, 2005; Yustika, 2006). Dengan demikian, hubungan kemitraan hanya terjadi pada upaya membangun dan mengelola hutan KIBARHUT, sedangkan kegiatan pemasaran kayunya menggunakan mekanisme inter-firm atau integrasi vertikal. D.
Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
1.
Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT Ketiga tipologi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki karakteristik
kelembagaan (action arena) yang bervariasi sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor (kondisi umum dan aturan yang dipergunakan) dan berdampak pada kinerja yang juga berbeda untuk masing-masing tipe. Tabel 30 berikut ini memuat rangkuman (sintesa) perbandingan karakteristik utama pada ketiga tipologi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Hubungan principal-agents (Gibbons, 2005) pada KIBARHUT dicirikan dengan kesediaan INPAK (principal) mendelegasikan investasi membangun hutan ke agents untuk
memproduksi
komoditas
(yaitu
kayu
bundar).
Komoditas
tersebut
ditransaksikan dengan didukung jaminan pasar dan kemampuan mengolah, serta melakukan proses produksi menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku industrinya. Komoditas yang ditransaksikan adalah kayu KIBARHUT oleh agents, dan selanjutnya dipasok ke principal sebagai bahan baku proses produksinya. Kelembagaan KIBARHUT dilaksanakan dengan kontrak non-formal (Tipe 1) dan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3). Kontrak formal tidak hanya mempunyai fungsi ekonomis tetapi juga mempunyai fungsi hukum atau yuridis (Salim, 2002), sehingga KIBARHUT dengan kontrak formal mempunyai jaminan pemenuhan hak dan kewajiban atau kepastian hukum yang lebih tinggi bagi para pelakunya dibandingkan kontrak non-formal.
142
142
Tabel 30 Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Karakteristik Tipe 1 A Kondisi dan ciri umum 1 Lokasi contoh Bawang 2 Lahan Lahan milik (perorangan, institusi) 3 Rerata luas lahan 1 tingkat (5 ha) 2 tingkat (0,222 ha) 4 Hubungan 1 tingkat (3,3%); kontraktual 2 tingkat (96,7%) B Aturan dan norma dipergunakan 5 Kontrak Non-formal (mitra antara – principal) Tidak ada kontrak (mitra antara–agents) 6 Mencegah oportunis 2 aturan 7 Sanksi Tidak ada/tidak diatur 8 Legalitas Tidak harus dibuktikan kepemilikan lahan oleh agents 9 Nilai sosial budaya --C Pelaku (Actors) 10 Principal
11 Mitra antara
Bahan baku KB Div Bioforest – tidak terintegrasi ke div bahan baku/log supplier ada petugas teknis tapi tidak ‘aktif’ di lapangan Kelompok tani (Keltan) Desa; Dikelola perangkat (aparat) desa tidak memiliki petugas lapangan
Tipe 2 Sukaraja Lahan milik (perorangan, institusi) 2 tingkat (0,248 ha) 2 tingkat (100%)
Tipe 3 Krucil Lahan milik (perorangan, institusi) 1 tingkat (1,075 ha) 2 tingkat (0,384 ha) 1 tingkat (20%) 2 tingkat (80%)
Sukaraja Bukan lahan milik (hutan Negara)
Krucil Bukan lahan milik (HGU kebun)
2 tingkat (0,162 ha)
2 tingkat (0,336 ha)
2 tingkat (100%)
2 tingkat (100%)
Formal (mitra antaraFormal (mitra antaraprincipal) principal) surat kuasa Formal (agents–mitra antara) (agents–mitra antara) 5 aturan 5 aturan 5 aturan 3 aturan Syarat keikutsertaan; legalitas kepemilikan lahan harus dibuktikan agents Keterlibatan aktif tokoh warga/mitra antara; Pohon titipan dan amanah, haram diambil tanpa seijin pemiliknya
Formal (mitra antaraFormal (mitra antaraprincipal) principal) surat kuasa Formal (agents–mitra antara) (agents–mitra antara) 5 aturan 6 aturan 6 aturan 5 aturan Lahan/andil garapan dikuasai agents dan diakui mitra antara Keterlibatan tokoh warga Jika tidak mau memelihara tegakan maka lahan dialihkan ke penggarap lain
Bahan baku KB - KGG Bahan baku KB - KGG BIL – terintegrasi ke div Div P & L – terintegrasi pengadaan bahan baku ke div pengadaan bahan (log supplier) baku/log supplier ada petugas aktif di lapangan (teknis/lapangan, mandor tanaman) Kelompok dibentuk dan Kelompok dibentuk dan dikelola tokoh warga dikelola oleh tokoh (Korwil) warga (KP) ada petugas lapangan, petugas administrasi dan petugas tidak tetap lainnya
Bahan baku KB - KGG Bahan baku KB - KGG BIL– terintegrasi ke div Div P & L – terintegrasi pengadaan bahan baku ke div pengadaan ba(log supplier) han baku/log supplier Ada petugas aktif di lapangan (petugas teknis/ wasbun, mandor tanaman, dan staf) Perusahaan/pengelola Perusahaan/pengelola hutan negara; dikelola lahan negara (HGU); petugas khusus mitra dikelola petugas khusus Memiliki organisasi formal; ada petugas lapangan, administrasi, dan pendukung lain
143
Tabel 30 (lanjutan) Karakteristik
Tipe 2 Sukaraja Krucil Anggota kelompok secara sukarela (aktif dan inisiatif sendiri) mendaftarkan ke mitra antara 48,1 tahun 37,6 tahun SD = 80% SMP =20% SD = 80%; SMP = 13,3% D-2 = 0,7%
Tipe 3 Sukaraja Krucil Petani/penggarap secara sukarela dan inisiatif sendiri menjadi anggota kelompok yang dibentuk mitra 51, 1 tahun 45,8 tahun SD = 100% SD = 73,3%, SMP=13,3% SMA = 13,3%
Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali Ada, setahun sekali Secara bersama oleh agents, mitra antara dan Secara bersama oleh agents, mitra antara dan principal principal Mudah, sering; dilakukan aktif dan secara rutin oleh Mudah, sering; dilakukan aktif dan secara rutin oleh mitra antara dan principal mitra antara dan principal principal 20% mitra 1 tingkat (agents 100%); principal 30%, mitra 50%, principal 23%, mitra 77%, antara 5% + honor agents 20% dan hak agents dapat hak garap 2 tingkat (agents 90% tanpa sewa bulanan, agents 75% mitra antara 10%) garap tanpa sewa Prioritas ke principal wajib dipasok ke principal Kayu dijual agents ke principal; mitra antara ikut menghimbau Agents : rendah (20%) Agents : sedang (40%) Agents : rendah (13,3%) Agents : rendah (33,3%) Principal : rendah (1) Principal : rendah (1) Principal : rendah (1) Principal : rendah (1) Layak secara finansial IRR 29% dan B/C ratio 1,59 IRR 27-35% dan B/C ratio 1,45 – 1,85 Memiliki daya saing PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,670 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,530
Layak secara finansial IRR 24-35% dan B/C ratio 1,39–2,02 IRR 17-47% dan B/C ratio 1,07 – 2,90 Memiliki daya saing PP > 0, PCR < 1 berkisar 0,684 – 0,803 SP > 0, DRC < 1 berkisar 0,549 – 0,623
Layak secara finansial IRR 32% dan B/C ratio 1,98 IRR 36-38% dan B/C ratio 1,98 – 2,36 Memiliki daya saing PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,567 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,474
Layak secara finansial IRR 22–24% dan B/C ratio 1,31–1,42 IRR 29-35% dan B/C ratio 1,25 – 1,91 Memiliki daya saing PP > 0, PCR < 1 yaitu 0,859 SP > 0, DRC < 1 yaitu 0,729
Kewenangan agents; ada saluran khusus; ada peran Kewenangan mitra antara; satu saluran pemasaran mitra antara dan principal terintegrasi dalam saluran (mitra antara ke principal); ada afiliasi dengan sawill pemasaran kayu; ada afiliasi dengan sawill lokal dan lokal dan koperasi koperasi Harga pasar dan ada bonus berbentuk tambahan Harga pasar Harga pasar harga (premium price)
143
Tipe 1 Bawang 12 Agents Perorangan/warga desa terdaftar atau tidak di Keltan - umur 48,1 tahun - pendidikan SD = 70%; SMP = 16,7% SMA = 13,3% D Deskripsi (situasi aksi) KIBARHUT 13 Invent tegakan Tidak ada 14 Pengawasan dan Oleh agents; tidak ada pengamanan teg kegiatan oleh principal 15 Komunikasi dan Jarang dan sulit informasi 16 Balasan kontrak 1 tingkat = agents 50% (bagi hasil) principal 50%; 2 tingkat: agents 100% 17 Balasan kontrak Kayu diharapkan dijual agents (pasokan kayu) ke principal 18 Oportunis Agents : tinggi (76,7%) Principal : tinggi (3) E. Kinerja KIBARHUT 19 Analisis Finansial Layak secara finansial - secara total IRR 35-45% dan B/C ratio 1,98–2,88 - per pelaku IRR 16-47% dan B/C ratio 1,02 – 2,89 20 PAM Memiliki daya saing - keunggulan PP > 0, PCR < 1 berkisar kompetitif 0,517 – 0,710 - keunggulan SP > 0, DRC < 1 berkisar komparatif 0,371 – 0,602 F Pemasaran KIBARHUT 21 Pemasaran Kewenangan agents; tidak ada peran mitra antara dan principal; tidak ada afiliasi sawmill lokal 22 Harga kayu Harga pasar
144
KIBARHUT
secara
mayoritas
(72,28%)
memanfaatkan
lahan
milik
sebagaimana pada Tipe 1 dan Tipe 2. Sekitar 27,72% sisanya memanfaatkan lahan bukan milik (Negara) pada pelaksanaan di Tipe 3. KIBARHUT pada lahan milik mempunyai kepastian pemanfaatan/penggunaan lahan yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan bukan milik.
Perbedaan status lahan tersebut juga berdampak pada
perbedaan kepastian hak agents atas kayu yang dihasilkan dari lahan tersebut. Agents yang memanfaatkan lahan milik memperoleh bagi hasil (berkisar 50% – 100%) yang lebih besar dibandingkan agents yang menggarap lahan bukan milik (0% – 20%). Artinya kepemilikan asset produksi (lahan) berdampak pada kepemilikan dan pemanfaatan komoditas hasilnya sebagaimana juga diungkapkan Gibbons (2005) dan Yusran (2005). Pada sisi lain, sebagai imbalan (incentives) bagi hasil kayu yang rendah, maka agents di Tipe 3 memperoleh manfaat lain dalam bentuk hak garap lahan tanpa membayar sewa. Penggunaan lahan untuk membangun hutan KIBARHUT dilakukan pada lahan dengan luasan yang relatif sempit yaitu sekitar ± 0,2 ha. Penggunaan lahan yang relatif sempit97 dan pendidikan petani relatif rendah (78,9% berpendidikan SD) dijadikan pendorong dan alasan pembenar bagi principal untuk memilih bekerjasama dengan melibatkan mitra antara (tokoh/elite warga)98 dan tenaga lokal. Argumen tersebut dikuatkan temuan lapangan yang menunjukkan bahwa hubungan kemitraan secara langsung (hubungan kontraktual 1 tingkat antara principal dan agents) adalah sangat sedikit kasusnya. Hasil analisis menunjukkan hanya terdapat 4,4% kasus KIBARHUT yang diklasifikasikan hubungan kontraktual 1 tingkat, dengan luas kepemilikan lahan yang dikerjasamakan sekitar 5 ha (1 agents) di Tipe 1 dan rata-rata seluas 1,08 ha (3 agents) di Tipe 2, khususnya di Krucil. Pada sisi lain, principal memiliki kendala dalam mengorganisasikan agents pada pelaksanaan KIBARHUT. Kendala yang teridentifikasi adalah (i) tidak mempunyai petugas dalam jumlah memadai yang berhubungan dan mempunyai jalur langsung ke petani; (ii) pemilikan lahan yang sempit dan tersebar sehingga membutuhkan tenaga dan biaya lebih besar untuk memantau. Artinya, principal kesulitan menyediakan 97
Penguasaan lahan petani yang sempit juga diungkapkan Hardjanto (2003) dan Simon (2008). Keterlibatan tokoh warga karena masih berlangsungnya hubungan patron-klien dalam kehidupan warga desa. Patron merupakan tokoh informal yang menjadi panutan dan dipercaya oleh warga desa, serta merupakan bagian kepemimpinan desa yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan di desa (Korten (ed.), 1987; Hoff dan Sen, 2005; Ali, 2007). 98
145
organisasi lengkap dan personil memadai untuk mampu melakukan monitoring dan evaluasi keberhasilan tanaman yang tersebar di masing-masing petani, serta mengawasi tindakan sekian banyak agents guna menghindari perilaku oportunis. Kecenderungan tersebut menunjukkan dugaan sulitnya bekerjasama dengan petani secara perorangan, adalah sekaligus juga keengganan pengusaha direpotkan mengurusi hal-hal yang rumit dengan sangat banyak orang seperti juga diungkapkan Nugroho (2003) dan Yuwono (2006). Principal mempunyai organisasi khusus pelaksanaan KIBARHUT tetapi hanya pada kontrak formal organisasi tersebut terintegrasi dengan divisi pengadaan bahan baku, sehingga memudahkan para pelaku dalam memasarkan kayu KIBARHUT atau terwujudnya jaminan pasar. KIBARHUT pada kontrak formal dicirikan adanya pengelolaan KIBARHUT yang lebih baik dibandingkan kontrak non-formal, dan adanya peranan mitra antara dalam membina kerjasama dan mengorganisasikan agents, serta dukungan aktif petugas operasional principal dan mitra antara di lapangan. Agents dengan kontrak formal adalah petani yang secara sukarela bekerjasama dan terdaftar pada kelompok yang diadministrasikan mitra antara. Pada kontrak formal di lahan negara (bukan lahan milik), mitra antara adalah lembaga formal yang mempunyai organisasi lengkap pelaksanaan kegiatan di lapangan, serta menguasai assets produksi lahan. KIBARHUT dengan kontrak formal juga melibatkan tokoh (ellite) warga yang mempunyai pengaruh, dipercaya dan menjadi panutan di kalangan petani, bahkan pada kontrak formal di lahan milik, maka tokoh warga tersebut adalah juga berperan selaku mitra antara. Adanya keterlibatan tokoh warga diharapkan memberikan jaminan keamanan tanaman karena merupakan penduduk desa yang tinggal di sekitar, dikenal dan mengenal petani. Tokoh warga juga berperan sebagai “pengawas” (control that participants exercise) yang ditempatkan pada posisi sewajarnya, dan sekaligus sebagai upaya menyeimbangkan informasi dan mewujudkan komitmen penegakan kontrak. Adanya komitmen penegakan kontrak memberikan kepastian jaminan hak dan kewajiban setiap pelaku sebagaimana diatur dalam kontrak, sehingga para pelaku memperoleh jaminan manfaat sesuai pengorbanan yang dikeluarkan (get what you pay for) dari adanya hubungan kelembagaan KIBARHUT.
146
Pada kontrak non-formal, mitra antara merupakan kelompok yang dibentuk hanya sebagai pemenuhan syarat kemitraan. Mitra antara tidak mempunyai kegiatan (aksi) yang mendukung pelaksanaan KIBARHUT di lapangan, dan tidak memiliki petugas lapangan. Mitra antara mendistribusikan bantuan principal tidak hanya ke warga yang sudah mendaftar sebagai agents tetapi ke semua warga desa, sehingga sulit memastikan pohon di lahan petani berasal dari bantuan principal. Artinya, tidak ditemukan adanya pengelolaan dan pengadministrasian KIBARHUT pada kontrak non-formal. Tabel 31 juga menunjukkan bahwa Kelembagaan KIBARHUT terbukti efisien dalam alokasi sumberdaya (input produksi) dan layak secara finansial. Kinerja secara finansial ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial yaitu NPV positif, IRR yang lebih besar dari tingkat bunga yang dipersyaratkan (IRR > i%), dan B/C ratio > 1 bagi masing-masing pelaku yang terlibat. Kelembagaan KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1) dan komparatif (SP positif dan DRC < 1) untuk semua tipologi. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya manfaat (insentif positif) yang dinikmati para pelaku kelembagaan KIBARHUT dibandingkan korbanan yang telah dikeluarkan oleh masing-masing. Kelembagaan KIBARHUT juga mencakup kegiatan alokasi output (pemasaran) produk, dengan tidak mengganggu saluran pemasaran kayu yang sudah ada dan bekerja di lapangan sebagaimana karakteristik pemasaran kayu KIBARHUT pada Tabel 31. Pemasaran kayu KIBARHUT dilakukan dengan kewenangan agents pada kontrak di lahan milik dan kewenangan mitra antara pada kontrak di lahan negara. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kewenangan pemanfaatan komoditas hasil oleh agents pada kontrak di lahan milik adalah lebih tinggi dibandingkan pada kontrak di lahan negara. Dengan demikian, adanya kepemilikan terhadap sumberdaya memberikan hak (kewenangan) penggunaan dan kekuasaan terhadap komoditas yang ditransaksikan dalam proses pertukaran, sebagaimana juga diungkapkan Yustika (2006).
147
Tabel 31 Perbandingan pemasaran kayu KIBARHUT Tipe kewenangan Saluran Pemasaran harga Tipe 1 Agents - Saluran pemasaran yang sudah ada tetap bekerja Harga pasar - ada usulan saluran pemasaran alternatif - tidak ada peran mitra antara dan principal untuk meyakinkan dan memberikan jaminan pasar kayu KIBARHUT ke agents - tidak ada afiliasi dengan sawmill lokal/depo kayu oleh divisi KIBARHUT Tipe 2 Agents - saluran pemasaran yang sudah ada tetap bekerja Harga pasar; - ada sinergisitas antara divisi KIBARHUT dan divisi peng- ada bonus adaan bahan baku dari principal. Sinergi didukung adanya (premium afiliasi (dan kerjasama) dengan sawmill lokal dan koperasi price) sehingga memunculkan alternatif saluran pemasaran - ada peran mitra antara dan principal yang terintegrasi dalam saluran pemasaran kayu Tipe 3 Mitra - satu saluran dari mitra antara ke principal HJD+ atau antara - ada afiliasi dengan sawmill lokal dan koperasi Harga pasar
Perbedaan kewenangan pemasaran berdampak juga terhadap saluran pemasaran pada KIBARHUT di lahan milik dan di lahan negara. Pada lahan negara hanya ada satu saluran pemasaran yaitu dari mitra antara ke principal, sedangkan pada lahan milik terdapat lebih dari satu saluran pemasaran dari agents sampai ke principal/INPAK. Pada kontrak formal di lahan milik terdapat alternatif pemasaran yang dapat memperbesar keuntungan agents yaitu dengan adanya kebijakan penambahan harga (premium price) oleh principal. Saluran khusus tersebut terwujud dengan adanya peran mitra antara dan petugas KIBARHUT principal yang terintegrasi dan bersinergi dengan divisi pengadaan bahan baku dari principal. Sinergi pemasaran kayu tersebut juga diperkuat dengan adanya afiliasi principal dengan sawmill lokal dan koperasi sebagai pelaku pemasaran di lapangan. Sinergi kebijakan principal dengan sawmill lokal dan koperasi juga terdapat pada kontrak formal di lahan negara. Temuan ini menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal mampu melarang penggunaan/pemanfaatan oleh non-pelaku (excludable) sehingga merupakan hubungan kemitraan yang dapat menegakkan hakhak para pelakunya (enforceable). Kelembagaan KIBARHUT merupakan hubungan kerjasama dimana para pelaku saling berbagi manfaat dan resiko. KIBARHUT juga mengatur hak dan kewajiban termasuk sanksi yang diatur dalam kontrak, karena tidak ada pelaku yang dapat mengamati tindakan pelaku lain sehingga memunculkan resiko terjadinya ingkar janji (moral hazard) atau perilaku oportunis. Dalam kerangka hubungan kemitraan (agency
148
relationship), terdapat sejumlah 2 aturan pada kontrak non-formal dan 5 – 6 aturan pada kontrak formal yang mengatur upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis. Kontrak formal juga memiliki aturan yang mengatur sanksi, sedangkan pada kontrak non formal tidak terdapat aturan tersebut (Tabel 32). Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi dan terbatasnya aturan yang mengatur upaya mengatasi ketidakseimbangan informasi dapat menjadikan kelembagaan tidak bermakna karena tidak adanya resiko hukuman untuk berperilaku oportunis (ingkar janji). Tabel 32 Indikasi perilaku oportunis Aturan mengatur sanksi dalam kontrak 0 aturan
Indikasi perilaku oportunis agents Principal 76,7% (tinggi) 3 (tinggi)
Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja 5 aturan 40,0% (sedang) 1 (rendah) Krucil 3 aturan 13,3% (rendah) 1 (rendah) Tipe 3 Sukaraja 6 aturan 20,0% (rendah) 1 (rendah) Krucil 5 aturan 33,3% (rendah) 1 (rendah) Keterangan : (i) indikasi dihitung berdasarkan jumlah agents teridentifikasi berperilaku oportunis (berdasarkan Gambar 17), dan diklasifikasikan menjadi rendah jika prosentasenya 0–33,3%, sedang 33,4–66,6%, dan tinggi > 66,7%; (ii) indikasi oportunis principal (berdasarkan informasi pada Tabel 19) dan diklasifikasikan menjadi rendah (1) jika ada 0 – 2 indikasi, sedang (2) jika ada 3 – 5 indikasi, dan tinggi (3) jika ada ≥ 6 indikasi
Terdapat juga ketentuan non-formal atau norma tidak tertulis yang melekat, yaitu (i) legalitas pemilikan lahan, yang pembuktiannya sudah menjadi kebiasaan dan diakui peserta sehingga pengaturan rincinya tidak ditulis dalam kontrak. Pada kontrak formal di lahan milik, agents dipersyaratkan oleh mitra antara untuk membuktikan legalitas kepemilikan lahannya sebelum terwujudnya kontrak antara kedua pelaku; (ii) adanya keterlibatan ellite atau tokoh karena dipercaya dan dihormati warga pada kontrak formal; (iii) nilai sosial/budaya pada kontrak formal bahwa pohon adalah titipan dan amanah sehingga haram diambil tanpa seijin pemiliknya (lahan milik), dan adanya sosialisasi bahwa lahan garapan akan dialihkan ke penggarap lain jika agents tidak mau memelihara tegakan (lahan bukan milik) atau berperilaku oportunis. Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi, resiko terpapar yang rendah, tidak adanya pengawasan dan pengamanan tegakan, tidak dilakukannya monitoring dan evaluasi, tidak adanya inventarisasi tegakan secara berkala, serta tidak efektifnya jalinan informasi dan komunikasi berdampak tingginya resiko oportunis agents pada
149
kontrak non-formal (76,7%) dibandingkan pada kontrak formal. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan principal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 32. Perilaku ingkar janji principal pada kontrak non-formal (skor 3) terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal. Tingginya perilaku oportunis berdampak rendahnya komitmen untuk penegakan kontrak pada kontrak non-formal. Artinya, tidak adanya jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelakunya menyebabkan hubungan kelembagaan menjadi tidak berarti dan tidak bermanfaat bagi semua pelaku yang terlibat, sehingga sulit mewujudkan keberlanjutan hubungan pada kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Upaya penegakan kontrak dan meminimalisir kemungkinan perilaku oportunis dapat juga dilakukan principal dengan mengalokasikan biaya untuk berbagai macam pengeluaran guna pemantauan, pengamanan, dan koordinasi (agency costs). Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) dengan adanya agency costs (yang diasumsikan sebagai kenaikan biaya input-input produksi sebesar 5%) adalah disajikan pada Lampiran 16 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) kelembagaan KIBARHUT analisis kepekaan dengan kenaikan input 5% Tipe secara total m per pelaku KIBARHUT B/C ratio IRR Pelaku B/C ratio Tipe 1 - Hub 1 tingkat 2,57 41% Agents 2,43 Bawang Principal 2,72 - Hub 2 tingkat 1,92 34% Agents 2,61 Principal 0,96 Tipe 2 - Hub 2 tingkat 1,47 27% Agents 1,75 Sukaraja Mitra antara 1,37 Principal 1,44 Tipe 2 - Hub 1 tingkat 1,90 34% Agents 2,72 Krucil Principal 1,01 1,92 - Hub 2 tingkat 1,38 24% Agents Mitra antara 1,23 Principal 1,08 Tipe 3 - Hub 2 tingkat 1,88 31% Agents 1,93 Sukaraja Mitra antara 2,02 Principal 2,24 Tipe 3 - Hub 2 tingkat 1,28 21% Agents 1,19 Krucil Mitra antara 1,79 Principal 1,63
m IRR 41% 42% 43% 14% 33% 26% 25% 45% 15% 33% 21% 17% 35% 36% 36% 30% 33% 28%
Tabel 33 menunjukkan bahwa adanya agency costs ternyata masih memberikan kelayakan finansial berdasarkan analisis secara total. Jika analisis berdasarkan
150
masing-masing pelakunya, maka analisis finansial adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal karena tidak adanya umpan balik (aksi balasan) memadai dari pelaku yang lainnya. Situasi ini berkaitan dengan tingginya perilaku oportunis antara para pelaku pada kelembagaan dengan kontrak non-formal. Kelembagaan menjadi tidak bermakna bagi para pelakunya sehingga peluang keberlanjutan menjadi terkendala. 2.
Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT Keberlanjutan hubungan kelembagaan terwujud jika terdapat insentif positif
yang dinikmati pelaku terhadap keterlibatannya dalam suatu kelembagaan sebagaimana diungkapkan Jensen dan Meckling (1986), Kasper dan Streit (1998), Maskin (2001), Gibbons (1998; 2005), Ostrom (2005). Berdasarkan kriteria dimaksud, hipotesis utama penelitian adalah kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa berlangsung secara berkelanjutan dengan 3 hipotesis pendukung sebagai berikut. a. Kesatu: Adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan Penegakan aturan merupakan upaya menjaga kepatuhan, keteraturan dan keberlanjutan hubungan (Ostrom, 2005). Penegakan kontrak KIBARHUT dan sekaligus upaya meminimalisir perilaku oportunis dilakukan melalui aturan formal yang mengatur sanksi dalam kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3). Secara informal, penegakan kontrak formal didukung adanya mitra antara yang berperan secara aktif di lapangan. Penegakan juga terlaksana dengan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi dengan agents. Khusus pada kontrak formal di lahan milik (Tipe 2), penegakan kontrak secara informal juga dilakukan melalui keterlibatan tokoh (ellite) warga yang sekaligus menjadi mitra antara pelaksanaan KIBARHUT. Pelaku tersebut berperan membina hubungan kerjasama, memotivasi agents dalam pelaksanaan KIBARHUT, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi, serta menjadi penghubung principal dan agents. Tidak adanya aturan yang mengatur sanksi, tidak efektifnya pengawasan dan jalinan komunikasi, serta resiko terpapar (hukuman karena berperilaku oportunis) adalah rendah sehingga munculnya dorongan atau aksi para pelaku untuk berperilaku oportunis atau tidak mematuhi kontrak. Situasi aksi tersebut berdampak pada
151
tingginya indikasi oportunis agents (76,7%) di Tipe 1 (kontrak non-formal) dibandingkan Tipe 2 dan Tipe 3 (Tabel 33). Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan principal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. Perilaku ingkar janji principal pada kontrak non-formal (skor 3) terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal. Tingginya perilaku oportunis berdampak rendahnya komitmen untuk penegakan kontrak pada kontrak non-formal. Artinya, tidak adanya jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelaku menyebabkan hubungan menjadi tidak berarti dan tidak bermanfaat bagi semua pelaku yang terlibat (actors), sehingga sulit mewujudkan keberlanjutan kontrak di KIBARHUT dengan kontrak non-formal (Tipe 1). Temuan tersebut diatas menunjukkan bahwa para pelaku di KIBARHUT Tipe 1 mempunyai kecenderungan tidak mematuhi komitmen awal yang telah diatur dalam kontrak, yang tercermin dari tingginya indikasi perilaku oportunis pasca kontrak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kesatu adalah tidak sesuai dugaan semula pada kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3) maka dugaan “adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan” adalah sesuai. b. Kedua: kelembagaan KIBARHUT menghasilkan manfaat (benefit) bagi pelakunya yang dapat menjadi insentif (positif) untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT Kajian terhadap manfaat yang dihasilkan kelembagaan KIBARHUT bagi para pelakunya menunjukkan bahwa fungsi produksi dari para pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan memenuhi syarat negatif terbatas (Tabel 20) sehingga disimpulkan bahwa pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan inputinput produksinya. Berdasarkan analisis finansial, KIBARHUT terbukti memiliki kelayakan secara finansial berdasarkan analisis secara total (Tabel 23) dan berdasarkan sudut pandang masing-masing pelakunya (Tabel 24). Kelayakan finansial ditunjukkan dengan NPV yang bernilai positif, B/C ratio > 1 dan tingkat pengembalian investasi (IRR) > i% (tingkat bunga yang dipersyaratkan). KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1) dan keunggulan komparatif (SP positif dan DRC < 1) sebagaimana pada Tabel 25. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua diterima kebenarannya, sehingga dugaan
152
“adanya manfaat diperoleh para pelaku yang dapat menjadi insentif untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT” adalah sesuai pada semua Tipe KIBARHUT di Pulau Jawa. c. Ketiga: output produksi (kayu) dialokasikan pada pasar kayu yang kompetitif sehingga mendukung kesediaan pelaku untuk terus membangun hutan KIBARHUT Kajian terhadap alokasi komoditas yang dihasilkan (output) atau pasar kayu KIBARHUT menunjukkan bahwa motivasi pelaku untuk memproduksi kayu tercermin dari upaya membangun hutan KIBARHUT yang terus berlangsung sejak 2001/2002 di Krucil, dan sejak tahun tanam 2003/2004 di Bawang dan Sukaraja. Kegiatan KIBARHUT terus berlangsung sampai dengan sekarang, dan telah mencapai sekitar 14.537,12 ha tersebar di 20 kabupaten pada 4 provinsi di Pulau Jawa. Para pelaku KIBARHUT juga termotivasi untuk membangun hutan dengan adanya kemudahan pemasaran kayu KIBARHUT. Kemudahan pasar kayu dan jaminan harga pasar didukung adanya saluran pemasaran khas sebagai jaminan pasar yang merupakan komitmen principal pada pelaksanaan KIBARHUT. Mekanisme tersebut pada kontrak formal dilakukan melalui KUP (sawmill afiliasi) di Sukaraja, melalui koperasi KAMkti dan sawmill afiliasi di Krucil, dan khusus pada kontrak formal di lahan milik dilengkapi adanya pemberian tambahan harga (premium price). Pada kontrak non-formal pun terdapat saluran pemasaran melalui koperasi GMS di Bawang walaupun belum terealisasi di lapangan. Mekanisme tersebut ternyata mampu memotivasi para pelaku untuk memproduksi (menanam), dan membangun hutan secara terus menerus, serta dapat memasarkan kayu (tanaman) hasil KIBARHUT secara efektif dan mudah. Namun demikian, upaya membangun hutan KIBARHUT di Tipe 1 (kontrak non-formal) dengan hubungan 1 tingkat tidak berkelanjutan. Hubungan kelembagaan tersebut terjalin dengan hanya satu orang petani (agents) di Desa Surjo, Bawang dan hanya terjadi pada tahun 2004. Agents tidak bersedia melanjutkan hubungan kemitraan
pada
periode
selanjutnya
karena
menganggap
adanya
sebagian
dana/bantuan principal yang tidak disalurkan atau disalurkan petugas lapangan, tetapi jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan. Pada sisi lain, principal menyatakan sulitnya mencari mitra kerjasama, yaitu petani perorangan (agents) yang memiliki atau
153
menguasai lahan dalam satu hamparan yang relatif luas99, sebagai argumen tidak adanya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Upaya memotivasi para pelaku melalui keteraturan hubungan adalah juga upaya menegakkan kontrak untuk meminimalkan resiko gagalnya tujuan kelembagaan KIBARHUT. Upaya tersebut dapat juga dilakukan principal dengan mengalokasikan biaya untuk berbagai macam pengeluaran guna pemantauan, pengamanan, dan koordinasi (agency costs). Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) pada Tabel 34 menunjukkan bahwa, adanya agency costs (diasumsikan sebagai kenaikan biaya input produksi sebesar 5%) masih memberikan kelayakan finansial berdasarkan analisis secara total. Jika analisis berdasarkan masing-masing pelakunya, maka analisis finansial adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal karena tidak adanya umpan balik (aksi balasan) memadai dari pelaku yang lainnya. Situasi ini berkaitan dengan tingginya perilaku oportunis antara para pelaku pada kelembagaan dengan kontrak non-formal. Kelembagaan menjadi tidak bermakna bagi para pelakunya sehingga peluang keberlanjutan menjadi terkendala. Berdasarkan temuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol pada hipotesis ketiga adalah tidak sesuai dugaan semula pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal, hipotesis ketiga yaitu dugaan “pasar kayu KIBARHUT kompetitif dicirikan adanya motivasi para pelaku untuk terus memproduksi (menanam) dan memasarkan komoditas yang dihasilkan KIBARHUT secara efektif dan mudah” adalah sesuai. d. Sintesis hipotesis utama: kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa berlangsung secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian dan temuan ketiga hipotesis pendukung diketahui bahwa pada kontrak non-formal (Tipe 1) terdapat dua hipotesis pendukung yang tidak sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kesatu dan hipotesis ketiga, serta satu hipotesis yang sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kedua. Dengan demikian dapat 99
Walau tidak ada aturan tertulis, petugas principal mengakui bahwa KIBARHUT dapat dilaksanakan jika agents mempunyai lahan cukup luas (sekitar 5 ha) yang siap dikerjasamakan. Lahan tersebut sedapat mungkin terhampar dalam satu kawasan yang tidak terlampau terpencar dan siap dikerjasamakan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan menekan biaya distribusi bibit, pemantauan, dan pengorganisasian KIBARHUT. Hal ini cukup sulit dipenuhi agents secara perorangan, karena pengusahaan lahan milik petani di Kec. Bawang relatif sempit yaitu sekitar ± 0,2 ha. Dengan demikian, KIBARHUT pada hubungan 2 tingkat adalah menjadi solusinya, yaitu beberapa agents bergabung dalam kelompok tani.
154
disimpulkan bahwa hipotesis utama penelitian pada KIBARHUT dengan kontrak nonformal di lahan milik adalah tidak sesuai dugaan semula. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal di lahan milik (Tipe 2) dan di lahan negara (Tipe 3) maka ketiga hipotesis pendukung adalah sesuai dugaan semula, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sesuai dugaan semula sehingga kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya kepastian hak kepemilikan yang dilengkapi adanya kesepakatan dan kejelasan kontrak memberikan jaminan kepastian hak yang dinikmati (menjadi manfaat) dan jaminan pelaksanaan kewajiban dari para pelakunya. Jaminan disertai adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kesepakatan (komitmen) kontrak atau berperilaku oportunis yang dapat mengganggu keberlanjutan hubungan kemitraan. Dengan demikian, hak kepemilikan yang tidak diimbangi kepastian hukum (atau lengkapnya kesepakatan yang diatur dalam kontrak) menjadikan para pelaku tidak memiliki insentif memadai untuk terus menerus bersedia berinvestasi membangun hutan, sehingga hubungan kemitraan (kelembagaan KIBARHUT) menjadi terkendala dan tidak berkelanjutan. 3.
Kebijakan berkaitan kelembagaan KIBARHUT KIBARHUT atau kegiatan kemitraan membangun hutan yang dilakukan industri
pengolahan kayu (INPAK) tidak diatur dalam suatu kebijakan yang spesifik dan khusus. Namun demikian, terdapat 2 (dua) kebijakan yang mempunyai keterkaitan peluang dan mendukung pelaksanaan KIBARHUT yaitu : a.
PP No. 6 Tahun 2007 jo No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan Membuka peluang adanya kerjasama dengan penduduk lokal/setempat dalam melakukan pengelolaan dan pembangunan hutan (hutan alam, hutan tanaman, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan). Sebagaimana termuat di Pasal 83, pasal 84 huruf c, dan Pasal 99 yaitu pemberdayaan masyarakat setempat dapat melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan kedua pihak dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
155
b.
Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 jo. No. P.9/Menhut-II/2009 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil hutan Jaminan pasokan bahan baku dapat berasal dari hutan hak/hutan rakyat dengan dilengkapi rencana pengadaan bibit, penanaman atau kerjasama penanaman (Pasal 32). Aturan ini mengakomodir secara langsung dan nyata kepentingan INPAK, yaitu persyaratan administrasi operasional dan perijinan industri dipenuhi dengan memberikan bukti tertulis adanya kerjasama dalam membangun hutan, yang hasil panennya nanti dipergunakan untuk memasok kebutuhan kayu bagi industri. Pasal ini memberikan tambahan manfaat yang dinikmati INPAK dari KIBARHUT.
Tiadanya kebijakan yang mengatur KIBARHUT menjadi keuntungan tersendiri sehingga pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan, kebutuhan para pelaku, serta didukung adanya transaksi dan ketersediaan pasar kayu. Jika pun diperlukan adalah kebijakan yang bersifat insentif bagi yang melakukan (Dwijowijoto, 2003), tetapi bukan merupakan regulasi yang bersifat memaksa sehingga menyebabkan pelaksanaan yang sub optimal (Nugroho, 2003; Yin et al., 2003; dan Yuwono, 2006). Kebijakan yang memfasilitasi diantaranya adalah apresiasi terhadap pelaksanaan KIBARHUT sebagaimana Pasal 35 Permenhut No. 35/Menhut-II/2008 jo. No. P.9/Menhut-II/2009. Kebijakan lainnya yang diharapkan berbentuk penghargaan (rewards) sebagai INPAK kreatif, inovatif, peduli pada lingkungan dan stakeholdernya. Kebijakan dapat juga berbentuk dukungan moneter dalam hal penyaluran pembiayaan murah. Fasilitasi pembiayaan dibutuhkan, guna membantu INPAK (principal) dalam memberikan subsidi pembiayaan atau fasilitas kredit tunda tebang untuk mendukung pelaksanaan KIBARHUT. Kredit tunda tebang disalurkan pada tahun ke-4 kelembagaan KIBARHUT, yaitu pada saat tanaman mulai mempunyai nilai komersial atau nilai jual. Kredit tunda tebang dengan jangka waktu yang pendek diberikan ke agents yang memiliki jaminan berupa tegakan atau tanaman KIBARHUT. Jaminan tersebut berbentuk tegakan yang dalam waktu paling cepat 6 bulan dan selama-lamanya 2 tahun kemudian sudah siap ditebang. Kredit tunda tebang sekaligus merupakan upaya principal mencegah penebangan pohon berdiameter kecil oleh agents (yang berdampak rendahnya nilai jual), dan meningkatkan keuntungan bagi agents, serta meningkatkan kepastian pasokan kayu untuk principal.
156
Analisis PAM menunjukkan bahwa adanya fasilitasi kredit tunda tebang dengan diskonto 6% (subsidi pembiayaan dari principal) pada tahun ke-4 ternyata meningkatkan NPV atau private profit (PP) KIBARHUT di Pulau Jawa. Hasil analisis PAM dengan adanya kredit tunda tebang disajikan pada Lampiran 18, sedangkan ringkasan rasio PAM dengan dan tanpa kredit tunda tebang disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Rasio PAM KIBARHUT dengan dan tanpa kredit tunda tebang Rasio PAM usaha KIBARHUT Kredit tunda tebang, Tanpa kredit tunda tebang, i = 6% mulai tahun ke-4mm i = 15%m m mm m PP PCR PC PP PCR PC Tipe 1 Bawang - 1 tingkat - 2 tingkat Tipe 2 Sukaraja - 2 tingkat Tipe 2 Krucil - 1 tingkat - 2 tingkat Tipe 3 Sukaraja - 2 tingkat Tipe 3 Krucil - 2 tingkat Rata-rata
115.385.147 2.498.631
0,517 0,710
0,578 0,644
214.970.789 4.663.903
0,386 0.580
1,078 1,193
2.672.323
0,670
0,591
5.708.050
0,504
1,264
15.840.361 2.836.537
0,684 0,803
0,588 0,424
33.247.571 7.803.024
0,527 0,617
1,235 1,172
3.699.251
0,567
0,726
7.814.880
0,409
1,535
1.957.878
0,859 0,701
0,470 0,577
6.073.231
0,678 0,538
1,474 1,324
Berdasarkan Tabel 34 diperoleh informasi bahwa nilai PCR dengan adanya kredit tunda tebang adalah lebih kecil dibandingkan tanpa fasilitasi kredit. Artinya, adanya kredit tunda tebang telah meningkatkan keunggulan kompetitif KIBARHUT dan memiliki tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Pada sisi lain, PC juga meningkat dari rata-rata 0,577 menjadi 1,324. Nilai PC yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi (dalam bentuk kredit tunda tebang) merupakan kebijakan yang efisien, dan membuat keuntungan diterima petani menjadi lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan tersebut. Kredit tunda tebang tidak diberikan dari awal kegiatan membangun hutan, tetapi diberikan ketika tanaman sudah hampir siap panen, sebagaimana dilakukan principal di Krucil dan di Bawang. Artinya, pemberian subsidi pembiayaan pada tahun ke-4 (atau guna meningkatkan daya tawar petani di pasar kayu) adalah lebih bermakna dibandingkan kebijakan bantuan pembiayaan atau subsidi mulai tahun ke-0 (yang mempunyai resiko lebih besar karena harus juga memperhitungkan terjadinya gagal tanaman), sebagaimana juga diungkapkan Arnold dan Dewees (1998).
157
Dengan
demikian,
kebijakan
pemerintah
yang
menitikberatkan
pada
pembiayaan pembangunan hutan mulai tahun ke-0 dapat dialihkan ke subsidi atau pembiayaan kredit tunda tebang di tahun-tahun akhir atau menjelang panen. Strategi ini mengurangi kemungkinan petani menebang pohon pada umur muda dengan diameter kecil, meningkatkan produksi kayu hasil panen, meningkatkan pendapatan petani hutan secara umum, serta meningkatkan kualitas dan volume kayu yang dipasok dari KIBARHUT. Strategi kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan bersifat rigid dan mengatur. Kebijakan juga tidak menjadikan komplek dan membesarnya intervensi pemerintah dalam pelaksanaan kontrak KIBARHUT. Strategi kebijakan tersebut adalah suatu fasilitasi dan penghargaan pemerintah terhadap kesediaan INPAK melaksanakan KIBARHUT. Hal ini harus menjadi perhatian karena tanpa adanya campur tangan pemerintah yang berlebihan selama ini, ternyata kelembagaan KIBARHUT telah berlangsung dan terlaksana secara terus menerus sejak tahun 2001/2002. 4.
Perumusan Hubungan Kontraktual KIBARHUT KIBARHUT menjadi pilihan karena dilaksanakan secara sukarela melalui
kerjasama saling menguntungkan bagi para pelakunya. KIBARHUT juga didukung kemampuan dan kesediaan pelaku usaha, ada ketertarikan dan kemampuan pelaku untuk melaksanakan. Hubungan kelembagaan tersebut terjalin karena kegiatan dianggap strategis oleh pelaku usaha serta tersedianya instrumen pasar kayu. Kondisi inilah yang menjadi dasar terjadinya hubungan kontraktual diantara pelaku yang diwujudkan dalam kelembagaan KIBARHUT, serta diikat dengan suatu perjanjian (contracts). Hubungan kontraktual KIBARHUT terwujud melalui suatu alur atau perumusan kontrak (contractual process) yang hampir seragam dan secara garis besar terdiri atas tahap pra-kontraktual, tahap persetujuan dan perjanjian, serta tahap pelaksanaan perjanjian.
Tahapan-tahapan
tersebut harus
dipenuhi
principal
dan
agents
KIBARHUT sehingga memenuhi syarat sahnya kontrak secara hukum (Salim, 2002; Hernoko, 2008). Tahapan pra kontraktual merupakan tahap perkenalan, negosiasi, hingga keinginan principal dan agents membuat kerjasama atau pertukaran ekonomi yang diwujudkan dalam suatu kontrak. Pada umumnya, principal dan agents sudah
158
saling mengenal karena seluruh petani di lokasi contoh mengetahui, bahwa principal adalah INPAK yang memanfaatkan dan menggunakan kayu hasil panen dari hutan yang dikelola petani. Adanya saling kenal mengenal merupakan modal awal bagi para pelaku
untuk
membangun
dan
mewujudkan
kerjasama.
Gibbons
(2005)
mengungkapkan bahwa adanya interaksi yang sudah lama dan terus menerus diantara para pelaku (repeated games) memudahkan terbangunnya kerjasama diantara pelaku. Proses perkenalan yang sudah terbangun lama ditindaklanjuti pendekatan principal guna kemungkinan ditingkatkan menjadi suatu kerjasama usaha. Pendekatan dilakukan melalui berbagai cara, baik secara formal (jalur resmi melalui pejabat pemerintah seperti Kepala Dinas Kehutanan, Camat, Kepala Desa, pimpinan instansi dan perusahaan) atau informal (melalui kelompok tani, tokoh/elite desa dan pemuka agama, dan sawmill di sekitar lokasi target). Kegiatan dilanjutkan dengan sosialiasi. Sosialisasi secara garis besar adalah tentang : (i) penjelasan peran, hak dan kewajiban masing-masing; (ii) persyaratan lahan kerjasama; (iii) bagi hasil yang diterima sesuai proporsi; (iv) bentuk bagi hasil yang diterimakan para pelaku; (v) harga ditentukan berdasarkan harga pasar yang berlaku saat panen; (vi) teknis pemanenan dan konfirmasi penjualan kayu hasil KIBARHUT; (vii) bantuan non kayu untuk menghasilkan pendapatan selama masa tunggu panen kayu. Sosialisasi harus merupakan upaya para pelaku untuk membuka diri secara transparan dan ajang negosiasi sehingga tercapai komitmen kuat untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu pembuatan perjanjian atau kontrak kemitraan. Kontrak kemitraan didasarkan pada proporsionalitas hak dan kewajiban, serta tidak ada klausul dalam kontrak yang disembunyikan sehingga menghindarkan moral hazard suatu hubungan kemitraan. Upaya ini dilengkapi dengan adanya bantuan mitra antara yang berperan menjaga komitmen dan memotivasi agents untuk mematuhi dan melaksanakan kontrak. Keterlibatan dan peran mitra antara harus mendapatkan penghargaan yang sewajarnya, sebagaimana dinyatakan Muhammad (2004) bahwa masalah agency relationship seringkali muncul karena ada pelaku atau pihak yang tidak ikut memperoleh bagian dari apa yang dihasilkan oleh hubungan kemitraan antara principal dan agents. Pada sisi lain, principal juga harus mencermati pemilihan mitra antara karena adanya salah pilih menyebabkan manfaat yang diharapkan tidak dapat menjadi
159
kenyataan. Kegagalan hubungan kelembagaan KIBARHUT dengan mediasi Keltan Desa (yang pengurusnya adalah pamong desa) selaku mitra antara dan agen perubahan di kontrak non-formal, merupakan fenomena yang banyak terjadi di desa. Agen perubahan di desa, umumnya, berkumpul pada satu kelompok atau orang tertentu, sehingga kinerja dan dampaknya pada perilaku petani untuk peningkatan produktivitas adalah sangat rendah (Effendy, 2009). Untuk menghindarkan kegagalan yang sama, pemilihan mitra antara yang sudah banyak berkiprah pada berbagai sektor pembangunan dan tugas formal sedapat mungkin dihindari. Principal juga sedapat mungkin melibatkan pelaku yang merupakan tokoh warga yang mempunyai pengaruh dan disegani agents, dan memiliki petugas teknis yang secara rutin dan berkala mengunjungi agents. Keberhasilan sosialisasi hingga bersepakat bekerjasama dalam suatu kontrak kemitraan didukung pengalaman agents berhubungan dengan principal atau petugasnya selama ini. Berdasarkan uraian di atas, model usulan prosedur perolehan kontrak pada kelembagaan KIBARHUT disajikan dengan bagan alir sebagaimana pada Gambar 22.
160 INPAK
Manajemen/Direksi
Organisasi khusus KIBARHUT
Visi dan Misi Kebijakan/strategi perusahaan: (i) peluang usaha dengan pasar jelas dan harga pasar, (ii) optimalisasi lahan kurang produktif, (iii) kesinambungan pasokan bahan baku
Pemerintah Pusat/Kabupaten/ Kecamatan/Desa
Mitra Antara / Mediator
Kebijakan pemerintah: a. Pasal 83, 84c, dan 99 di PP No. 6/2007 jo. No. 3/2008 b. Pasal 32 Permenhut No. P.35/Menhut - II/2008 jo. No. P.9/Menhut-II/2009 Informasi kegiatan/ hubungan kontraktual KIBARHUT
Organisasi khusus KIBARHUT dibentuk – sinergi dengan divisi penyediaan bahan baku Sosialisasi KIBARHUT di Kec/Desa/INPAK (hak dan kewajiban, draft kontrak)
Materi Sosialisasi
berminat
Sosialisasi KIBARHUT di Mitra Antara/INPAK (hak dan kewajiban, draft
Permohonan kerjasama
Seleksi
160
Tidak lengkap
Memenuhi Syarat
Petani (Kelompok Petani)
Informasi kegiatan/ hubungan kontraktual KIBARHUT
berminat
Daftar menjadi petani mitra & siap dokumen
Fasilitasi (jika diperlukan) Permohonan kerjasama Kelengkapan dokumen: copy KTP, copy bukti pemilikan lahan, surat pernyataan bermeterai dari ahli waris/nama di lahan bahwa lahan tidak dalam sengketa
Daftar Petani, lahan (luas dan lokasi), jenis input produksi dibutuhkan
Petani mitra Surat Perjanjian (kontrak KIBARHUT) – tingkat pertama Surat Perjanjian (kontrak KIBARHUT) – tingkat kedua
Gambar 22 Bagan alir model usulan (design) prosedur perolehan kontrak KIBARHUT
161
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka terdapat hal yang diatur secara formal dalam kontrak tertulis dan adanya norma sosial atau kebiasaan yang melekat dan dipercaya peserta, sehingga menjadi rules-in-use di action arena Kelembagaan KIBARHUT. Ketentuan formal dalam kontrak KIBARHUT sebagaimana tertuang pada Lampiran 6, dan norma atau ketentuan informal yang ada di lapangan dapat disederhanakan menjadi rules-in-use seperti pada Tabel 35. Tabel 35 Aturan digunakan (rules-in-use) Kelembagaan KIBARHUT Aturan Uraian Aturan tentang posisi (position rules) • Petani • Sebagai Hulu (upstream parties) atau agents; • INPAK • Selaku Hilir (downstream party) atau principal. • Mitra antara • Terlibat pada action arena dengan karakteristik hubungan kontraktual 2 tingkat, yaitu sebagai agents pada hubungan tingkat pertama, tapi sebagai principal pada hubungan tingkat kedua. Supplier, sawmill, koperasi adalah pihak yang tidak diatur dalam kontrak • pihak lain tetapi ada keterlibatannya di lapangan Guna keberlanjutan action arena maka perlu adanya keterlibatan pihak lain yang tidak terikat secara langsung (peserta), yaitu: • Bank – penyedia dana/modal kredit ke petani yang disalurkan melalui INPAK dalam bentuk pinjaman atau kredit tunda tebang • Pemerintah – fasilitasi/insentif pelaksanaan Aturan pembatasan (boundary rules) • Petani/agents • Anggota kelompok (hubungan 2 tingkat) dan mendaftar sebagai pelaku • Menyediakan lahan, dan memiliki bukti legalitas kepemilikan yang sah (kontrak di lahan milik). • Melakukan pengolahan dan persiapan lahan • Mengangkut bibit dan/atau input produksi lainnya yang dipasok principal ke lokasi tanam dengan biaya agents. • INPAK/principal • Menyediakan bibit berkualitas siap tanam, jika memungkinkan melibatkan juga mitra antara dan agents dalam pelaksanaannya • Menyediakan sebagian input produksi lainnya • Memiliki petugas lapangan dan struktur organisasi khusus KIBARHUT • Mitra antara
• Menyediakan lahan garapan pada kontrak di lahan Negara • Memiliki kemampuan managerial untuk mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan dan mengorganisasikan petani • Memiliki petugas lapangan dan struktur organisasi pelaksana KIBARHUT
• Kontribusi terhadap input produksi
• Input petani di lahan milik : Lahan, tenaga kerja, ajir, alat, pupuk & obat, pemeliharaan, keamanan, input untuk tanaman tumpangsari. • Input petani di lahan non milik: tenaga kerja, ajir, alat, pupuk dan obat, pemeliharaan, keamanan, dan input untuk tanaman tumpangsari. • Kontribusi INPAK dan mitra antara mencakup bibit, input produksi lainnya sesuai kesepakatan (pupuk, obat), biaya dan pelaksanaan penyuluhan, biaya monev, biaya keamanan, biaya pengendalian hama dan penyakit, biaya angkutan bibit dan input produksi lainnya, dan kontribusi lainnya yang tidak tercakup sebagai kewajiban (kontribusi) input produksi dari petani.
162
Tabel 35 (lanjutan) Aturan Uraian Aturan kewenangan (authority rules) • Petani/agents • Menentukan waktu pemanenan dengan mempertimbangkan saran mitra antara atau menetapkan bersama-sama • Berwenang dalam pemasaran kayu (kontrak di lahan milik) dan mendapat jaminan pasar dan harga wajar dari INPAK • Penebangan dilakukan dengan sepengetahuan pelaku lainnya • Menanam palawija di antara jalur tanaman pokok • INPAK/principal • Membantu dan memberikan bimbingan teknis silvikultur, penyuluhan, dan sosialisasi kegiatan • Menentukan waktu pelaksanaan pemanenan bersama agents dan/atau bersama mitra antara. • Mempunyai kewenangan terhadap hasil panen dan/atau mendapat prioritas pertama pembelian kayu hasil panen KIBARHUT • menjamin pasar kayu KIBARHUT dengan harga berlaku saat panen • Mitra antara • Mandat dari petani untuk melakukan kerjasama KIBARHUT (khusus di Tipe 3 mempunyai kewenangan melakukan pemasaran kayu). • Menentukan waktu pemanenan dan/atau menyarankan waktu pemanenan. • Melakukan sebagian wewenang INPAK dalam hal supervisi, penyuluhan, sosialisasi, monitoring, dan pengamanan tanaman Aturan pencakupan (scope rules) • Pemanenan • Kebiasaan tebang butuh di Masyarakat petani (peserta) diantisipasi dan menjadi perhatian INPAK sebagai kebiasaan yang juga dilakukan aktor (petani peserta KIBARHUT), sehingga ukuran diameter pohon layak tebang disesuaikan dengan trend pasar. • Kredit tunda tebang, fasilitasi untuk mendukung penundaan tebangan oleh petani dengan pemberian subsidi bunga kredit. • Penyediaan tenaga penebangan, dan moda angkutan guna memfasilitasi peningkatan insentif positif berbentuk nilai tambah yang lebih tinggi • Pemasaran • Penjualan kayu hasil panen dijual dan dipasarkan ke principal yang diprioritaskan atau diharuskan • Saluran pemasaran secara langsung, melalui atau oleh mitra antara, melalui koperasi, atau melalui sawmill afiliasi • Pemberian premium price terhadap kayu yang dipasarkan melalui saluran pemasaran KIBARHUT ke principal Aggregation rules • Jaminan • Menjaga keberhasilan dan keamanan tanaman keamanan • Aturan yang mengatur para pelaku melaksanakan kewajiban yang telah tanaman dan disepakati bersama atau terkena sanksi pengawasan • semua pelaku secara bersama-sama terlibat dalam pengamanan tanaman • Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala • Melibatkan tokoh desa dan agama yang dipercaya dan menjadi panutan • Menempatkan petugas lapangan • Hubungan/ikatan • Kontrak tertulis formal; dapat menjadi akta autentik di pengadilan kontraktual • Disusun oleh semua pihak secara proporsional antara hak dan kewajiban pelaku, transparan, dan bertujuan untuk keberlangsungan usaha. • ada pengaturan proporsi input produksi (input share) dan bagi hasil kayu (profit sharing) • hubungan 2 tingkat: (i) tingkat pertama antara principal dan mitra antara; (ii) tingkat kedua antara mitra antara dan agents
163
Tabel 35 (lanjutan) Aturan Uraian Aturan kejelasan kegiatan dan informasi (information rules) • kejelasan kegiatan • Obyek perjanjian tidak dapat dialihkan • Jenis tanaman pokok ditetapkan bersama dan tidak dapat diganti • Bantuan input produksi principal dilarang dipergunakan pada lahan yang tidak didaftarkan dikerjasamakan • Lahan dikerjasamakan dalam kerangka KIBARHUT tidak dapat dialih fungsikan selama pelaksanaan KIBARHUT • menyeimbangkan • Melakukan invetarisasi tegakan secara berkala informasi dan • Melakukan kunjungan dan sosialisasi rutin oleh petugas lapangan pengetahuan • Kesepakatan penetapan harga berdasarkan harga pasar saat panen • Kesepakatan kualitas dan standard kayu • Jaminan pasar kayu hasil panen KIBARHUT Payoff rules • Biaya (costs) • Biaya/ongkos kirim input produksi sampai dengan lokasi pendaratan ditanggung principal (kewajiban principal). • Biaya penanaman dan pemeliharan ditanggung agents atau (jika disepakati) ditanggung bersama oleh pelaku yang terlibat • Biaya monev dan pembinaan ditanggung principal dan mitra antara, sedangkan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab semua pelaku • Biaya pengamanan tanaman ditanggung dan dilaksanakan semua pelaku • Biaya panen ditanggung para pelaku secara proporsional sesuai perolehan output share (bagi hasilnya) • Benefit (rewards) • Agents pada kontrak di lahan Negara mendapat payoff berupa hak menggarap lahan tanpa mengeluarkan biaya sewa lahan • hasil panen tanaman non-kayu seluruhnya menjadi hak agents • Bagi hasil kayu: agents memperoleh proporsi bagi hasil yang paling besar pada kontrak di lahan milik dibandingkan pada lahan Negara. Semua pelaku mendapatkan bagi hasil sesuai proporsi pengorbanan yang dikeluarkan untuk melaksanakan KIBARHUT • Insentif principal: Insentif perizinan dan salah satu sumber bahan baku untuk penyusunan RPBBI • jaminan pasar kayu dan harga berlaku saat panen • Sengketa/Sanksi
• Pembayaran bagi hasil berkurang secara proposional berdasarkan tingkat pengurangan pohon karena pencurian • Pelaku tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati mendapat sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku • Memanfaatkan/menjual kayu (pohon) seluruhnya/sebagian tanpa sepengetahuan pihak lainnya • Sengketa diselesaikan secara musyawarah mufakat dan arbritase, pengadilan negeri ditetapkan
Tabel 35 menunjukkan bahwa aturan yang diterapkan dan digunakan di lapangan tidak selalu dalam bentuk aturan tertulis secara formal. Artinya, para pelaku harus memiliki perilaku yang sesuai aturan sosial atau norma kebiasaan (habitual) di lingkungan masyarakat guna keberlanjutan hubungan.
164
Keteraturan hubungan terjadi jika terdapat pemahaman umum yang sama, dimengerti oleh semua pelaku, dan ditegakkan secara sukarela (enforceable contract). Penegakan aturan (enforcement) merupakan aksi para pelaku untuk menjaga kepatuhan dan keteraturan hubungan. Ketidakpatuhan adalah pilihan yang selalu ada tetapi ada resiko dan sanksi yang harus ditanggung. Tidak tersedia atau tidak lengkapnya aturan yang mengatur tentang sanksi dan kejelasan hak dan kewajiban menyebabkan adanya kemungkinan pelaku bersikap oportunis. Pada sisi lain, tidak adanya kejelasan dan kepastian hak pemanfaatan atau penggunaan lahan (sebagai manfaat non finansial yang dinikmati oleh pelaku) juga mengandung resiko ketidakpatuhan
dan
perilaku
oportunis
dalam
upaya
memperpanjang
hak
pemanfaatan/penggunaan lahan. Kepatuhan pelaku terhadap aturan yang diatur pada Kelembagaan KIBARHUT tidak hanya ditegakkan dengan pengaturan sanksi, tetapi juga dengan dilakukannya pengawasan dan adanya jalinan komunikasi diantara para pelakunya (information rules). Pengawasan secara intensif, aktif, teratur dan terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan dan perilaku para pelakunya dapat terwujud jika ada pengaturan penyampaian informasi dan jalinan komunikasi. Jalinan informasi dan komunikasi yang intensif dan rutin oleh principal dan agents menghasilkan pemahaman dan komitmen agents untuk memasok kayu ke principal yang lebih tinggi pada kontrak formal dibandingkan pada kontrak non-formal. Manfaat dari adanya pertukaran (kontrak) ekonomi dikonseptualisasikan tidak hanya sebagai siapa mendapatkan apa (dan berapa banyak), kapan dan bagaimana tetapi juga harus menjelaskan mengapa diperlukan dan untuk apa, siapa yang berperan, apa yang dikuasainya, dan bagaimana pemanfaatannya. Kontrak KIBARHUT sebagai suatu kontrak komersial juga memuat tenggang waktu pencapaian kontrak, mengalokasikan sumberdaya secara berkeadilan (fairness) berdasarkan keseimbangan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dikeluarkan, serta sarana hukum untuk hak gugat atau penyelesaian perselisihan. Mengacu pada argumen tersebut, maka usulan model alternatif susunan kontrak pada kelembagaan KIBARHUT adalah dideskripsikan sebagaimana pada Tabel 36.
Tabel 36 Usulan model alternatif susunan kontrak kelembagaan KIBARHUT No Komponen Aspek yang perlu diatur Pelaku Penjelasan agents mitra antara Principal 1. Siapa berperan sebagai apa 1. Sebutan • Sebutan/nama perjanjian kerjasama, penyebutan selan• Identitas yang jelas memudahkan penegakan hak dan perjanjian jutnya (penyingkatan), tempat/tanggal dibuat dan ditankewajiban jika terjadi sengketa kerjasama datanganinya kontrak dinyatakan secara jelas dan rinci 2. Identitas para • Identitas dicantumkan dan didefinisikan secara jelas, pelaku dan pelaku yang menandatangani perjanjian disebutkan kapasitasnya sebagai apa. 3. Ahli waris • Ahli waris/pengganti diatur dan dinyatakan secara jelas 2. Siapa mengerjakan apa 1. Lingkup • Maksud dan tujuan kerjasama kerjasama • Berguna untuk mengefisienkan klausul selanjutnya • Definisi klausul penting yang hanya berlaku pada karena tidak perlu pengulangan kontrak dan yang berlaku umum • Penjelasan ketentuan teknis diperlukan guna • Pekerjaan yang menjadi cakupan kerjasama meliputi menghindari kerancuan definisi dan pemahaman kegiatan penanaman, pemeliharaan, pembinaan, para pelaku terhadap pekerjaan yang menjadi penjagaan keamanan, pemanenan, pemasaran cakupan kerjasama atau kemitraan • Ketentuan teknis pekerjaan 2. Lokasi dan • Lokasi berdasarkan letak administrasi sebagaimana • Dapat dibuktikan bahwa lahan bukan merupakan luas lahan tercantum dalam bukti kepemilikan lahan (SHM, lahan jarahan, bermasalah dan/atau dalam sengketa SPPT, girik/leter C) • Legalitas pemilikan lahan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi guna memudahkan penegakan • Luas lahan KIBARHUT hak dan pelaksanaan kewajiban pada waktu panen • Keabsahan lahan dan jaminan lahan tidak dalam • menghindari kemungkinan terganggunya kelancaran sengketa dikuatkan dengan surat pernyataan produksi disebabkan masalah keabsahan dan (bermeterai) dari petani, ahli waris/atas nama lahan, persengketaan areal dan pihak pemerintahan (Kepala Desa) kepemilikan lahan, mencakup • Kompilasi/daftar informasi mengenai pemilik, lokasi, dan luas 3. Hubungan • Proporsi bagi hasil panen kayu dinyatakan secara jelas • kayu hasil panen dikuasai bersama, dan INPAK kontraktual dan cara atau bentuk-bentuk pemenuhannya memiliki prioritas pertama membeli kayu hasil KIBARHUT 165
• Struktur (organisasi) KIBARHUT
4. Komunikasi • Mekanisme/arus komunikasi dicantumkan dan informasi • Penyediaan dan/atau pemberian akses informasi harga pasar, prospek pasar jenis kayu yang dikerjasamakan, dan kebutuhan industri akan bahan baku kayu tersebut diinformasikan secara periodik 5. Pemanenan • Pelaksanaan penebangan oleh petani atau dengan melibatkan petani dan kelompok petani • Pemanenan dilakukan jika pohon mencapai diameter atau ukuran yang ditentukan dan disepakati • Pemberian fasilitas kredit tunda tebang jika dikehendaki petani, dengan jaminan tanaman KIBARHUT yang setidaknya telah berumur 4 tahun
6. Jangka waktu perjanjian kemitraan
• Penjelasan lama/periode perjanjian kerjasama, dapat dinyatakan dalam satuan tahun atau daur dan/atau gabungan keduanya • Mencantumkan tahun dimulainya perjanjian kerjasama dan tahun berakhirnya perjanjian kerjasama
7. Perpanjangan kerjasama
• Perpanjangan kerjasama dapat dilakukan atas kesepakatan para pelaku yang terikat dan dilengkapi alasan (spesifik) yang jelas
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal • Pengorganisasian petani mitra dan administrasi pelaksanaan KIBARHUT dilaksanakan INPAK dan/atau mitra antara, termasuk penyediaan tenaga administrasi, tenaga lapangan dan (jika) memungkinkan tenaga teknis kehutanan • Guna memudahkan proses pelaksanaan kegiatan, khususnya pada saat penebangan • meyakinkan para pelaku bahwa jenis kayu dikelola adalah menguntungkan • Menstimulus petani untuk memperoleh nilai jual yang lebih tinggi dengan menjual dalam bentuk KB, dan memilih saluran pemasaran yang terpendek dan langsung ke industri. • Kredit tunda tebang memfasilitasi pelaksanaan tebangan dilakukan ketika pohon telah mencapai ukuran > 20cm • Implikasinya adalah pemerintah perlu membantu/ memberikan insentif atau mempermudah INPAK mendapatkan pembiayaan • Proses produksi tanaman KIBARHUT sampai siap panen berjangka waktu lama (tahunan) dan adanya daur yang berbeda untuk setiap jenis, sehingga penegasan periode waktu kerjasama mutlak diperlukan agar tidak menimbulkan konflik karena salah tafsir dan beda persepsi • Alasan spesifik meliputi: pertumbuhan tanaman terhambat, adanya trubusan/tunas/sirung berasal dari tanaman daur kesatu, dan lainnya yang ditentukan dan disepakati para pelaku
166
166 Tabel 36 (lanjutan) No Komponen Aspek yang perlu diatur
167
Tabel 36 (lanjutan) No Komponen
Aspek yang perlu diatur
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal
3. Siapa memiliki (sumberdaya) apa 1. Input Produksi
• Ketersediaan lahan siap tanam dengan luas dan lokasi yang sesuai dengan klausul kontrak • Ketersediaan bibit dan sulamannya, dalam jumlah yang cukup berdasarkan luas lahan dan jarak tanam yang dipergunakan • Bibit diserahterimakan di lokasi tanam kecuali dijelaskan lain • Ketersediaan tenaga kerja untuk penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan • Ketersediaan tenaga administrasi, tenaga lapangan dan tenaga teknis (kehutanan) • Ketersediaan pupuk dan input produksi lainnya
• Input produksi terkait tanaman tumpangsari merupakan kewajiban petani untuk memenuhinya 2. Jaminan Pasar • Adanya jaminan pasar dan harga kayu berdasarkan harga pasar yang berlaku 4. Siapa memperoleh (sumberdaya) apa 1. Panen kayu • Proporsi bagi hasil kayu ditentukan secara jelas, tertulis (transparan) dan proporsional 2. Manfaat non- • Hasil panen tanaman tumpangsari seluruhnya kayu merupakan hak petani
• tanggungjawab petani dan/atau mitra antara untuk menyediakan lahan siap tanam sesuai kontrak yang sudah disepakati • tanggungjawab INPAK untuk pemenuhannya • biaya bibit dan biaya angkut ke lokasi pendaratan bibit yang telah ditentukan ditanggung oleh INPAK • Pengendalian hama dan penyakit masih terbatas pelaksanaannya sehingga adanya petugas teknis kehutanan akan sangat membantu • kewajiban pemenuhan input produksi lainnya harus dinyatakan dengan jelas dan tertulis, sehingga ada kejelasan kontribusi input produksi yang menjadi tanggungjawab masing-masing pelaku KIBARHUT • semua input produksi tanaman non kehutanan yang dibutuhkan untuk usahatani tanaman tumpangsari menjadi tanggungjawab petani • jaminan pasar dan harga yang sesuai berdasarkan harga pasar yang berlaku saat panen • Proporsi dihitung berdasarkan keseimbangan hak dan kewajiban
167
• Dinyatakan secara jelas, khususnya pada KIBARHUT yang dilaksanakan bukan pada lahan milik petani (yaitu petani selaku penggarap)
• •
3. Pemasaran kayu
• • • •
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal INPAK berhak memanfaatkan surat kontrak untuk • Berdasarkan Psl 32 Permenhut No. P.35/Menhutmendapatkan kemudahan pelayanan administrasi II/2008 jo. No. P.9/Menhut-II/2009 maka syarat pemerintah administrasi pemenuhan pasokan bahan baku industri dapat dilakukan dengan mencantumkan Petani wajib membantu memberikan informasi yang kontrak KIBARHUT yang telah dilaksanakan diperlukan jika ada pihak lain (termasuk pemerintah) • INPAK mengupayakan (mengarahkan) pencapaian berniat melakukan verifikasi sertifikasi pengelolaan hutan rakyat secara lestari • Mengantisipasi kemungkinan pelaksanaan verifikasi guna menjustifikasi penghargaan ke INPAK INPAK berhak dan wajib membeli semua kayu hasil • Hak dan kewajiban menjual dan membeli kayu hasil panen KIBARHUT dengan harga pasar saat panen panen menjadi klausul yang saling mengikat • Pemberlakuan harga pasar saat panen dan pembaPetani wajib menjual semua kayu hasil panen yaran yang dilakukan secara cash and carry akan KIBARHUT ke INPAK meningkatkan kepercayaan petani terhadap INPAK Harga dan syarat-syarat teknis ditentukan secara jelas • Adanya perbedaan harga kayu di pasar berdasarkan Kewajiban petani menjual kayu hasil KIBARHUT ke kelas diameter dan panjang log, maka syarat-syarat INPAK menjadi batal jika petugas INPAK tidak dapat teknis, jika ada, harus menjadi klausul yang dijelasdihubungi atau jika selama paling lama 2 minggu tidak kan sehingga tidak menjadi konflik sewaktu panen ada aksi tindak lanjut yang dilakukan INPAK
5. Siapa mempertanggungjawabkan apa 1. Bimbingan • Melaksanakan bimbingan teknis (teknis silvikultur, teknis penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pengamanan tegakan, dan pemanenan) • Biaya bimbingan teknis ditanggung oleh INPAK 2. Monitoring dan evaluasi (monev) tegakan
• INPAK berhak melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) dan invetarisas tegakan untuk memperoleh informasi tegakan yang dikerjasamakan • Biaya monev dan inventarisasi tegakan ditanggung oleh INPAK
• Perlakuan petani terhadap tegakan harus dapat dikontrol dan dibenarkan secara teknis (silvikutur). • Implikasinya adalah INPAK dan/atau mitra antara harus memiliki tenaga lapangan dan tenaga teknis kehutanan yang memadai,kompeten dan berdedikasi • Petani selaku agents tahu persis berapa jumlah pohon yang ada di lahannya, tetapi principal tidak mengetahui informasi tersebut secara lengkap karenanya principal harus mengeluarkan biaya (agency costs) untuk mengumpulkan/mendapatkan informasi tersebut
168
168 Tabel 36 (lanjutan) No Komponen Aspek yang perlu diatur
169
Tabel 36 (lanjutan) No Komponen
Aspek yang perlu diatur
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal
• Pengamanan tegakan menjadi tanggungjawab semua pelaku yang terikat kontrak KIBARHUT • Pelaksanaan pengamanan tegakan dilakukan petani dengan bantuan, bimbingan dan arahan mitra antara dan INPAK • Pengamanan tegakan dilakukan oleh masing-masing pelaku, dengan biaya ditanggung oleh masing-masing pelaku kecuali ditentukan lain
• Wujud partisipasi bersama dari para pelaku dalam pelaksanaan kegiatan untuk memperoleh hak (manfaat) yang diharapkan
4. Laporan dan pelaporan
• Laporan perkembangan tanaman meliputi jumlah tanaman, tinggi, dan diameter dibuat minimal sekali dalam setahun • Format dasar laporan perlu dibuat dan disosialisasikan ke seluruh petani mitra dan kelompoknya
• Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh agents, tetapi operasionalnya merupakan kegiatan yang bersamaan dengan monev dan inventarisasi tegakan sehingga merupakan perwujudan partisipasi bersama para pelaku KIBARHUT
5. Biaya-biaya panen
• Kegiatan pemanenan dilaksanakan oleh petani dengan memperhatikan saran dan arahan dari INPAK dan/atau mitra antara • Biaya tebangan, potong, dan angkut/transport ditanggung oleh petani kecuali dijelaskan lain • Pembelian oleh INPAK dalam bentuk logs (KB) dan jika diminta petani, maka INPAK harus dapat mengupayakan tenaga tebang dan alat angkutan yang pembayarannya dikurangkan dari jumlah hasil penjualan kayu yang diterima petani dari INPAK
• INPAK menerima kayu dalam bentuk logs di lokasi/pabrik, sehingga biaya tebang dan angkut menjadi tanggungan petani selaku penjual • Penjualan oleh petani tetap dilakukan dalam bentuk logs atau KB, tetapi petani mengeluarkan biaya/ jasa untuk tebang, potong, angkut (yang telah disediakan/dicarikan oleh INPAK).
6. Pajak-pajak
• Pajak dan retribusi terkait kayu hasil KIBARHUT ditanggung oleh INPAK selaku pembeli kecuali dijelaskan lain • Pajak dan retribusi terkait lahan ditanggung oleh petani atau mitra antara selaku pemilik (pemegang kuasa) lahan kecuali ditentukan lain
• Pemenuhan tanggungjawab ke Negara
169
3. Keamanan tegakan
No Komponen
Aspek yang perlu diatur
• Perubahan organisasi, status, pejabat, atau pimpinan organisasi wajib diberitahukan ke pelaku yang lain dan melaksanakan serah terima pekerjaan secara sah sesuai keperluannya • Perubahan dan/atau penambahan klausula (addendum) dalam perjanjian kerjasama diajukan secara tertulis ke pelaku lainnya disertasi alasan (spesifik) yang jelas untuk perundingan dan peninjauan kembali 6. Siapa menanggung sanksi apa 1. Wanprestasi • Para pelaku tidak diperkenankan mengalihkan perjanjian kerjasama yang menjadi obyek perjanjian ke pihak lain • Salah satu pihak melakukan pelanggaran kesepakatan maka dikenakan sanksi dan/atau denda sesuai derajat pelanggarannya • Kualitas bibit tidak memenuhi standar bibit siap tanam di lapangan sehingga dapat menghambat keberhasilan tumbuh tanaman • Bibit bantuan ditanam pada lahan non kerjasama sehingga menyulitkan dilakukannya monev dan inventarisasi tegakan • Input produksi lainnya yang menjadi bantuan dimanfaatkan pada lahan yang tidak dikerjasamakan • Tidak diperkenankan memanfaatkan/menjual kayu (pohon) hasil KIBARHUT baik secara keseluruhan/ sebagiannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan pelaku yang lain 7. Perubahan persetujuan
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal • Pemberitahuan dan serah terima diperlukan sehingga tidak mempengaruhi klausul kerjasama yang sudah disepakati, kelangsungan kerjasama dan menghilangkan potensi konflik. • Usulan perubahan karena adanya ketidaksesuaian kontrak dan pelaksanaan ditinjau dan dirundingkan kembali oleh para pelaku, dan hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian tambahan • Segala bentuk ingkar janji harus mendapat sanksi untuk mencegah kemungkinan perilaku oportunis • Klaim dapat dikenakan oleh dan untuk semua pelaku • Standard bibit siap tanam: berumur 2,5 – 3 bulan, tingginya mencapai 25-30 cm, diameter batang minimal 3mm pada leher akar, daun utuh dan batang tidak rusak, tanah dan perakaran bagus dalam kantong plastik yang tidak pecah • Untuk meminimalkan perilaku oportunis pasca kontrak (post contractual opportunist behavior) dari agents karena agents tahu persis berapa jumlah pohon yang ada di lahannya, tetapi principal tidak mengetahui informasi tersebut secara lengkap • Implikasinya: (i) monev harus dilaksanakan principal secara berkala untuk memantau tegakan, dan (ii) kebijakan kredit tunda tebang harus dilaksanakan untuk menghindari kemungkinan penjualan pohon atau tanaman ukuran kecil atau berumur muda
170
170 Tabel 36 (lanjutan)
171
Tabel 36 (lanjutan) No Komponen 2. Pembatalan kerjasama
Aspek yang perlu diatur
Pelaku Penjelasan agents mitra antara principal
• Pelaku tidak melaksanakan seluruh kewajibannya berdasarkan perjanjian dan kesepakatan
• Kerjasama dinyatakan bermasalah sehingga para pelaku secara sepihak berhak menyelesaikannya secara hukum • Klaim dapat dikenakan oleh dan untuk semua pelaku • Adanya kegagalan atau keberhasilan tanaman yang rendah dan tutupnya produksi industri harus diinformasikan secepat mungkin sehingga pelaku lain dapat mencari pasar alternatif
• Pelaku melakukan alih fungsi lahan yang dikerjasamakan tanpa persetujuan pelaku lainnya • Kegagalan menyediakan kayu atau membeli kayu karena sebab-sebab yang tidak bisa dihindari wajib diberitahukan ke pelaku lainnya secepat mungkin dan/atau selambatnya 3 bulan sebelumnya • Keadaan memaksa (force majeure): didefinisikasn secara jelas • Para pelaku dibebaskan dari segala tanggungjawab dan kontrak dapat diteruskan jika keadaan sudah pulih 7. Siapa berlindung ke siapa
• force majeure atau keadaan memaksa meliputi kondisi iklim yang ekstrim, bencana alam, perang, konflik sosial, dan kondisi lain yang berlaku umum dan/atau disepakati para pelaku
3. Force majeure
1. Perselisihan
• Perselisihan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat dengan melibatkan tokoh dan aparat desa atau pihak lain yang independen yang disepakati dan ditentukan sebagai penengah • Jika tidak berhasil, maka diselesaikan melalui pengadilan dengan domisili yang disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak Jumlah
• penegakan hak pada kontrak KIBARHUT dapat dilakukan secara informal melalui suatu hubungan sosial yang terbangun di desa, keterlibatan mitra antara, dan adanya penetrasi jaringan pemasaran yang kuat sampai ke hulu.
47
53
53
Keberimbangan antara aspek yang harus diatur pada tiap-tiap pelaku terlibat diharapkan menjamin pencapaian efisiensi (kesepakatan optimal) hubungan principal-agents
171