HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Sumur Batu merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini terdiri dari 7 Rukun Warga dan 41 Rukun Tetangga dengan batas – batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Utara
: Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya
-
Sebelah Timur
: Desa Burangkeng Kabupaten Bekasi
-
Sebelah Selatan
: Desa Taman Rahayu Kabupaten Bekasi
-
Sebelah Barat
: Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang
Letak kota pemerintahan Kelurahan Sumur Batu berada di sebelah tenggara dari kota pemerintahan Kecamatan Bantar Gebang, dengan luas ± 568 995 ha. Dari luas ± 568 995 ha areal yang ada, sekitar 318 ha dipergunakan untuk pemukiman penduduk dan pertanian, sedangkan sisanya dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta tempat pembuangan akhir (TPA) Pemda DKI 20 ha dan Kota Bekasi 17 ha. Keberadaan lokasi TPA Bantar Gebang membawa dampak tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Permasalahan lain yang dihadapi dengan adanya lokasi TPA sampah adalah adanya udara yang tidak bersahabat di wilayah Kelurahan Sumur Batu dan sekitarnya akibat bau yang tidak sedap apabila tersengat hidung. Wilayah peneilitian terletak pada RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, dimana termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I. Puskesmas Bantar Gebang I terletak di jalan Narogong Raya Km.10 No.75 Kelurahan Bantar Gebang. Luas wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I adalah 18.54 km2 . Jumlah penduduk di Kelurahan SumurBatu adalah sebesar 7 703 jiwa dengan kategori penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 1 460 jiwa, 7-12 tahun sebanyak 817 jiwa, 13-15 tahun sebanyak 1 266 jiwa, 16-21 tahun sebanyak 961 jiwa, 22-59 tahun sebanyak 2 778 jiwa dan yang berusia ≥ 60 tahun sebanyak 421 jiwa. Angka kesakitan di wiliayah kerja Puskesmas Bantar Gebang 1 tertinggi dari tahun 2008 – 2011 adalah penyakit ISPA. Penyakit diare dari tahun 2006 – 2008 selalu meningkat dan pada tahun 2010 penyakit diare merupakan urutan ke-4 tinggi dari 10 penyakit di Puskesmas Bantar Gebang I. Jumlah angka kesakitan diare pada tahu 2010 adalah sebanyak 2.890 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskemas gambaran status gizi di wilayah kerja Puskesmas
Bantar Gebang I tergolong dalam kategori baik, yakni sebanyak 91. 8 % balita berstatus gizi baik. Wilayah RW 03 termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I yang paling banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga di RW 03 tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata – rata sebagai pemulung sampah. Kejadian diare serta kecacingan di wilayah ini pun tergolong tinggi yakni sebesar 89.8%. Hal ini mungkin disebabkan karena RW 03 merupakan wilayah yang terdekat dengan tempat pembuangan akhir. Karakteristik Keluarga Ibu merupakan orang yang memiliki peranan utama dan penting dalam keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh pada perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam konsumsi pangan, perawatan kesehatan dan higiene, serta pemberian stimulasi yang tepat kepada anak. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak yang akan membantu ibu memberikan pengasuhan yang maksimal. Umur Ibu Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita berusia 24 – 60 bulan di wilayah kerja posyandu Melati 3 dan Melati 9 RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Jawa Barat. Responden yang ada sebanyak 50 orang dan jumlah balita sebanyak 58 orang, dimana terdapat 4 ibu yang memiliki 2 orang anak balita. Tabel 4 menunjukkan bahwa kategori umur ibu bervariasi. Umur ibu dalam penelitian ini berada dalam rentang mulai dari 19 tahun sampai dengan 49 tahun. Pada Tabel 4 terlihat bahwa sebaran umur ibu balita, persentase tertinggi ada pada rentang kategori 19 – 29 tahun sebanyak 55.2%. Berdasarkan data yang ada ibu balita paling banyak berusia 25 dan 30 tahun.
Tabel 4 Sebaran umur ibu balita Umur (tahun)
n
%
19-29
32
55.2
30-49
26
44.8
Total
58
100.0
Pekerjaan Salah satu faktor yang memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang ada di dalam keluarga tersebut. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga (70.7%), 12.1% bekerja sebagai buruh pabrik, 10.3% sebagai karyawan swasta, 3.4% sebagai pemulung, dan sisanya masing – masing sebanyak 1.7% sebagai wiraswasta dan guru.
Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita Jenis pekerjaan
n
%
Buruh pabrik
7
12.1
Guru
1
1.7
Ibu Rumah Tangga
41
70.7
Karyawan Swasta
6
10.3
Pemulung
2
3.4
Wiraswasta
1
1.7
58
100.0
Total
Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya dan perhatian kepada anak juga berkurang yang menyebabkan ibu cenderung kurang memperhatikan makanan tambahan yang diberikan kepada balitanya dan juga cenderung memberikan makanan tamabahan kepada anak terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Laukau (2005) menyatakan bahwa sebanyak 53% ibu balita yang bekerja telah memberikan makanan tambahan kepada balitanya saat berusia tiga bulan.
Pendidikan ibu Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi makanan. Tingkat pendidikan yang rendah akan lebih kuat mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi dalam bidang gizi. Kemampuan ibu dalam memberikan makanan tambahan kepada balitanya salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan. Pada tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita sampel dalam penilitian ini masih rendah. Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamatan SD/sederajat (48.3%). Pada Tabel 6 juga terlihat hanya sebanyak 25.9% ibu yang berpendidikan SLTP/sederajat dan masih terdapat 8.6% ibu yang tidak tamat SD serta 1.7% yang tidak bersekolah. Jenjang pendidikan tertinggi pada ibu balita adalah D1 sebanyak 1.7%. Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu balita Jenjang pendidikan
n
%
Tidak Sekolah
1
1.7
Tidak Tamat SD
5
8.6
SD
28
48.3
SLTP
15
25.9
SLTA
8
13.8
D1
1
1.7
58
100.0
Total
Tingkat pendidikan orang tua sampel penelitian ini paling banyak adalah tamat SD. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan orang tua.Penelitian yang dilakukan oleh Murniningsih & Sulastri (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 54.2% ibu memiliki latar belakang pendidikan setingkat SD Besar keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan menjadi tanggungan dari kepala keluarga. Definisi anggota rumah tangga menurut BPS (2002) adalah semua orang yang biasa bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Sebagian besar keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang (79.3%), 19% merupakan keluarga
sedang dengan anggota keluarga 5-7 orang dan sisanya 1.7% merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota ≥8 orang. Tabel 7 Sebaran jumlah anggota keluarga balita Besar keluarga
n
%
Kecil (≤4 orang)
46
79.3
Sedang orang)
11
19.0
1
1.7
58
100.0
(5-7
Besar (≥8 orang) Total
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah besarnya keluarga atau jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota keluarga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat terbagi secara merata. Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan per kapita keluarga balita berkisar dari Rp 50 000 sampai dengan Rp 750 000 dengan rata-rata Rp 297 841. Apabila dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp 231 438 (BPS 2012) maka diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak
39.7%. Sebaran status ekonomi keluarga balita
disajikan pada Tabel 8. Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga.
Tabel 8 Sebaran keluarga balita berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat (2012) n
%
Miskin (< Rp.231 438)
23
39.7
Tidak miskin (> Rp.231 438)
35
60.3
58
100.0
Status ekonomi keluarga
Total Rata-rata ± SD Pendapatan
yang
Rp 297 841 ± Rp 163 680 kurang
tidak
memungkinkan
keluarga
dapat
menyiapkan makanan yang terbaik untuk anak. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktifitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga (Yuliana 2004). Akan tetapi besarnya pendapatan pada keluarga tidak miskin, juga tidak menjamin pola konsumsi pangan yang lebih baik. Kadang-kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal terutama apabila tidak didukung oleh pengetahuan gizi yang baik. Berg (1986) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran untuk makanan atau pangan akan semakin kecil. Namun menurut Suhardjo (1989) mengatakan bahwa sebagian pada umumnya keluarga miskin mnggunakan dua per tiga dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Karakteristik Anak Balita Usia Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Usia anak balita pada penelitian sebagian besar berada pada rentang usia 24-35 bulan dengan persentase sebesar 60.3% dan rata–rata 34.7 bulan. Sisanya berada pada rentang 36-47 bulan sebesar 24.1% dan pada rentang 48-60 bulan sebesar 15.5%. Sebaran usia balita dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia Usia (bulan)
n
%
24-35
35
60.3
36-47
14
24.1
48-60
9
15.5
58
100.0
Total Rata-rata± SD
34.8 ± 10.4
Jenis kelamin Masalah gizi dapat terjadi pada setiap orang baik karena kurangnya asupan maupun karena faktor adanya penyakit infeksi. Anak laki- laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama dalam mengalami masalah gizi. Persentase jenis kelamin anak balita pada penelitian ini sebagian besar adalah perempuan dengan persentase sebesar 67.2%, sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki adalah sebesar 32.8%. Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
n
%
Laki-laki
19
32.8
Perempuan
39
67.2
58
100.0
Total Berat badan lahir
Berat badan lahir adalah salah satu indikator penting bagi kesehatan anak. Bayi dengan berat badan lahir kurang dari dua ribu lima ratus gram (<2500 gram) termasuk dalam kategori berat badan lahir rendah. Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko tinggi dalam mengalami masalah gizi seperti kurang gizi. Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang normal atau cukup (100%). Hasil ini menunjukkan bahwa keadaan masalah gizi yang ada tidak terjadi sejak kandungan, namun lebih disebabkan karena kualitas serta kuantitas dari makanan pendamping maupun pengganti ASI. Tabel 11 Sebaran berat badan lahir anak balita Berat badan lahir
n
%
Normal (≥ 2500 gram)
58
100
Kurang ( ≤ 2500 gram)
0
0
Total
58
100.0
Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI ASI adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garamgaram oganik yang dieksresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu yang berguna sebagai makanan utama bagi bayi (Roesli 2000). ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan faktor pertumbuhan, anti alergi, serta anti
inflamasi, sehingga ASI merupakan makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual (Purwanti 2004). Pemberian ASI secara tepat kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya. ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan tetapi bila memungkinkan sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih dari 2 tahun (Depkes 2004). Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu balita memberikan ASI saja kepada anaknya saat berusia sebelum 4 bulan dan sebelum berusia 6 bulan yakni masing – masing sebesar 53.4% dan 51.7%. Peringkat kedua adalah dengan memberikan ASI dan susu formula kepada bayi masing-masing sebesar 41.4% dan 43.1%. Sisanya adalah dengan hanya memberikan susu formula saja kepada bayinya sebelum berusia 4 dan 6 bulan yakni masing-masing sebesar 5.2%. Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun, UNICEF memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama WHA dan banyak negara lainnya adalah menerapkan jangka waktu pemberian ASI ekskusif selama 6 bulan (Roesli 2005). Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan riwayat pemberian ASI Pemberian
n
%
Sebelum 4 bulan -
ASI saja
31
53.4
-
ASI+ Susu Formula
24
41.4
-
Susu Formula
3
5.2
Total
58
100.0
Sebelum 6 bulan -
ASI saja
30
51.7
-
ASI+ Susu Formula
25
43.1
-
Susu Formula
3
5.2
Total
58
100.0
Dari data diatas menunjukkan bahwa tidak semua ibu memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Alasan ibu balita tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sebagian besar disebabkan karena bayi rewel (51.8%). Hal tersebut membuat ibu beranggapan bahwa ASI yang diberikannya tidak cukup sehingga ibu memberikan tambahan susu formula kepada bayinya. Alasan selanjutnya adalah karena ASI tidak keluar (22.2%), ibu bekerja (14.8%), bayi menolak saat diberi ASI (7.4%). Alasan terakhir sebanyak 3.7% atau satu orang ibu mengatakan bahwa dirinya memberikan susu formula sebelum bayi berusia 4 bulan karena diberikan susu formula oleh bidan. Tabel 13 Sebaran alasan pemberian selain ASI Alasan
n
%
ASI tidak keluar
6
22.2
Bayi rewel
14
51.8
Bayi tidak mau ASI
2
7.4
Diberi oleh bidan
1
3.7
Ibu bekerja
4
14.8
27
100
Total
WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A (Roesli 2000).Tabel 14 menunjukkan persentase apakah ibu masih memberikan ASI sampai saat anak berusia ≥ 24 bulan. Hasil yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah tidak memberikan ASI lagi kepada anaknya (67.2%) dan sisanya sebanyak 32.8% masih memberikan ASI kepada anaknya.
Tabel 14 Sebaran balita berdasarkan pemberian ASI Masih diberikan ASI n
%
Ya
19
32.8
Tidak
39
67.2
58
100.0
Total
ASI sebaiknya diberikan kepada balita saat ia berusia 0 – 6 bulan. Setelah itu dilanjutkan sampai anak berusia 24 bulan. Setelah anak berusia lebih dari 24 bulan maka kebutuhannya tidak hanya diperoleh dari ASI saja. Usia 24 tahun adalah usia dimana terjadi periode perkembangan otak anak. Pada saat inilah anak membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk perkembangan otaknya. Menyapih secara harfiah berarti membiasakan. Menurut Allan (2006) penyapihan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat. Tabel 15 menunjukkan persentase usia penyapihan anak balita sebagian besar pada rentang usia 13-24 bulan yakni sebesar 65.8%. Sebagian besar dari anak balita tersebut mulai disapih saat berusia 24 bulan. Sisanya sebanyak 29.3% mulai menyapih pada saat anak berusia 1-12 bulan dan >24 bulan sebanyak 4.9%.
Tabel 15 Sebaran anak balita berdasarkan usia penyapihan Kategori umur
n
%
1-12
12
29.3
13-24
27
65.8
>24
2
4.9
41
100
Total
Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Tindakan penyapihan yang dilakukan ibu pada berbagai rentang usia tertentu pada umumnya dilatarbelakangi dengan alasan tertentu. Ibu yang menyapih
pada usia 1-12 bulan sebagian besar mengaku menghentikan ASI karena alasan bekerja (20%). Tabel 16 Sebaran anak balita berdasarkan alasan penyapihan Alasan disapih
n
%
Anak sudah besar
22
55
ASI tidak keluar
3
7.5
Bayi tidak mau ASI
3
12.5
Ibu bekerja
8
20
Ibu hamil
2
5
40
100.0
Total
Alasan lainnya ibu menyapih saat berusia 1-12 bulan adalah karena ASI tidak keluar, anak tidak mau bayinya ASI dan ibu sedang hamil lagi dengan persentase masing-masing sebesar 5%. Ibu yang mulai menyapih saat anak berusia 13-24 bulan mengaku menyapih anak dengan alasan karena anaknya sudah besar (55%). Alasan lain yang membuat ibu tidak memberikan ASI kepada bayi adalah karena bayi sudah diberikan susu formula atau makanan tambahan lain yang menurut mereka dapat mencegah resiko bayi menderita kekurangan gizi dibanding ASI. Sebagian ibu juga mengaku mangalami ketakutan akan perubahan pada ukuran dan bentuk pada payudara apabila mereka menyusui anaknya (WHO IDAI 2005). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan. Pudjiati (2000) menyatakan bahwa bayi belum siap untuk menerima makanan semi padat sebelum berusia 6 bulan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya berbagai penyakit seperti gangguan dalam meyesuaikan beban ginjal yang terlalu berat dan mungkin gangguan terhadap selera makan. Pemberian makanan tambahan kepada bayi bertujuan untuk melengkapi ASI dan diperlukan setelah kebutuhan energi dan zat-zat gizi tidak mampu dipenuhi dengan pemberian ASI saja (Sembiring 2009). Makanan tambahan pada bayi bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi, penyesuaian kemampuan alat cerna dalam menerima makanan tambahan dan merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Selain untuk memenuhi kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi pemberian makanan
tambahan merupakan salah satu proses pendidikan dimana bayi diajarkan untuk mengunyah dan menelan makanan padat serta membiasakan selera-selera baru (Suharjo 2002). Kehidupan masyarakat sampai saat ini masih banyak ibu yang meyakini mitos tentang menyusui sehingga dapat mengurangi rasa percaya diri maupun dukungan yang diterimanya. Ibu akhirnya lebih memilih pemberian makanan tambahan pada bayi dibanding pemberian ASI eksklusif (Hatta 2005). Pada pemberian makanan tambahan ASI terlalu dini, banyak ibu yang beranggapan bahwa bayi tidak apa-apa setelah diberikan makanan dari umur 2 atau 3 bulan sehingga hal tersebut menjadi alasan untuk mengikuti aturan yang berlaku dalam masyarakat. Tabel 17 menunjukkan bahwa sebanyak 30% ibu telah memberikan makanan kepada bayinya saat baru berusia 2 bulan. Namun masih ada sebanyak 29.3% ibu yang memberikan makanan pendamping saat bayi telah berusia 6 bulan. Sebanyak 13.8%ibu baru memberikan MP-ASI kepada bayinya saat telah berusia 7 bulan, 12.1% saat bayi berusia 4 bulan, 5.2% saat berusia 3 bulan dan sisanya sebanyak 3.4 % saat usia 5 bulan dan 1.7% saat bayi masih berusia 1 bulan. Makanan yang pertama kali diberikan kepada anak adalah bubur susu instan (60.3%). Sisanya sebanyak 32.8% memberikan pisang kerok kepada anak sebagai makanan yang pertama kali di berikan dan 6.9% memberikan biscuit bayi. UNICEF dan WHO IDAI (2005) menyatakan ada beberapa alasan ibu tidak ingin menyusui bayinya, yaitu ibu yang sudah berhenti menyusui namun tidak dapat atau ingin menyusui lagi, ibu yang pernah mengalami stress sehingga produksi ASI berkurang tidak ingin menyusui lagi setelah keadaan ibu sudah pulih kembali, kekurangan gizi ibu akan mengurangi produksi ASI sehingga susu formula dan makanan tambahan pada bayi menjadi jalan keluar pemenuhan nutrisi bayi.
Tabel 17 Sebaran anak balita berdasarkan makanan pendamping ASI. Umur pemberian ASI (bulan)
n
%
≤4
31
53.5
≤6
27
46.5
Total
58
100.0
Jenis MP-ASI yang pertama diberikan
n
%
Biscuit bayi
4
6.9
Bubur susu
35
60.3
Pisang kerok
19
32.8
58
100.0
Total
Saat anak telah berusia 24 bulan pemberian makanan keluarga sekurang-kurangnya 3 kali sehari dengan porsi sebagian makanan orang dewasa setiap kali makan. Pemberian makanan selingan tetap diberikan 2 kali sehari (Satyanegara 2004). Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar anak makan sebanyak 3 kali dalam seharinya (55.2%). Namun masih ada juga anak yang makan hanya 2 kali dalam sehari (27.6%). Sisanya masih ada anak yang makan 1 kali, 4 dan 5 kali dalam sehari dengan persentase masing-masing sebesar 6.9%, 5.2% dan 5.2%.
Hampir sebagian besar anak sudah makan
makanan keluarga yakni makanan yang sama seperti makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lainnya dengan persentase sebesar 94.8%. Sisanya sebanyak 5.2% anak yang masih makan nasi tim sebagai menu makanan utamanya. Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan makanan utama Frekuensi makan utama
n
%
Frekuensi/hr 1-2 x
20
34.5
≥3
38
72.4
58
100.0
-
Total
Batal et al. (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita yang ada sebanyak 87.9% rata-rata dalam sehari makan sebanyak 3 kali. Jenis makanan yang dikonsumsi oleh mereka adalah makanan yang sama dengan yang dimakan oleh orangtuanya. Dalam penelitiannya juga
masih terdapat anak yang belum makan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh orangtuanya. Makanan lainnya tersebut adalah sejenis bubur nasi dan juga nasi tim. Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan makanan selingan. Frekuensi selingan
%
1
20.7
2
60.3
3
12.1
>3
6.9
Total
100
Jenis makanan jajanan
Frekuensi (kali/hari)
Chiki
4.5
Biscuit
4.4
Roti
3.2
Wafer
3.1
Minuman kemasan
2.2
Permen
1.8
Makanan selingan diperlukan oleh anak untuk mencukupi kebutuhan energi seharinya. Makanan selingan setidaknya dapat diberikan sebanyak 2 kali dalam seharinya. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar anak mendapatkan makanan selingan sebanyak 2 kali (60.3%). Selanjutnya ada 20.7% anak mendapatkan makanan selingan 1 kali, 12.7% sebanyak 3 kali dan yang terakhir 6.9% anak mendapatkan makanan selingan lebih dari 3 kali. Usia balita adalah usia dimana anak mulai sering jajan. Makanan jajanan yang sering dibeli oleh anak adalah chiki dengan frekuensi sebanyak 4.5 kali perharinya. Jajanan lain yang sering dibeli adalah biscuit. Pola Pemberian MP-ASI Pengaturan makan adalah upaya yang penting dalam memelihara gizi bayi dan anak balita. Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan zat gizi bayi. Perilaku pola pemberian MP-ASI yang baik hanya sebesar 46.6%. Pola pemberian MP-ASI yang baik dilihat berdasarkan umur pertama kali pemberian makanan tambahan, jenis makanan tambahan yang pertama kali diberikan dan frekuensi pemberian. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Seiring dengan bertambahnya usia anak, maka kebutuhan akan asupan proteinnya akan semakin meningkat. Pertambahan protein pada anak yang diberi makanan tambahan untuk pertama kalinya (usia 6-12 bulan) tidak terlalu besar. Setelah menginjak usia satu tahun anak membutuhkan protein sekitar dua kali lipat dari masa sebelumnya (Krisnatuti 2000). Konsumsi pangan hewani yang cukup merupakan syarat penting untuk terpenuhinya gizi tubuh sehari-hari. Pangan hewani merupakan pangan bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, kaya akan vitamin B12 dan vitamin A, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi (Khomsan 2000) sehingga sangat penting peranannya untuk memberikan pertumbuhan secara optimal. Khomsan (2004) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan dapat menjadi penduga tingkat kecukupan gizi. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang untuk terpenuhinya kecukupan gizi akan semakin besar. Sumber protein dapat diperoleh dari berbagai pangan, baik pangan sumber protein hewani maupun nabati. Berdasarkan tabel 19 menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber protein hewani sangatlah rendah. Frekuensi konsumsi protein terbesar terdapat pada tempe yakni sebanyak 1.64 kali dalam seharinya. Tempe adalah salah satu sumber protein yang kaya akan zat gizi. Tempe tergolong dalam jenis protein nabati. Protein nabati memiliki nilai bioavaibilitas yang rendah dibandingkan dengan protein hewani. Frekuensi pangan sumber protein hewani yang terbesar terdapat pada telur yakni sebanyak 0.74 kali. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling murah jika dibandingkan dengan pangan hewani yang lainnya. Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein balita disajikan pada Tabel 20
Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein anak balita Pangan sumber protein
Frekuensi (kali/minggu)
Susu
1.75
Daging sapi
0.091
Daging ayam
4.06
Ikan
0.497
Telur
5.18
Tempe
11.62
Tahu
5.25 Status Gizi Balita
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa 2002). Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan, serta terjadinya infeksi, trauma dan faktor metabolik. Indeks yang umum digunakan dalam menilai status gizi balita adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Berdasarkan pengukuran status gizi balita dengan indeks BB/U menggunakan baku antropometri WHO 2005, sebesar 89.7% anak balita berstatus gizi baik, namun masih terdapat juga 8.6% anak yang termasuk gizi kurang. Jika dilihat berdasarkan status gizi indeks TB/U dapat dilihat bahwa sebesar 55.2% anak balita tergolong normal. Anak balita yang tergolong pendek
atau stunted cukup tinggi angkanya yakni dengan
persentase sebesar 25.9% atau hampir seperempat dari sampel penelitian. Anak yang termasuk dalam kategori sangat pendek atau severe stunted masih tergolong cukup besar yakni sebesar 15.5%. Sebaran status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB didapatkan hasil sebagian besar anak tergolong normal dengan persentase sebesar 77.6%.
Tabel 21 Sebaran status gizi anak balita Status gizi
n
%
BB/U - Gizi kurang
5
8.6
-
Gizi baik
52
89.7
-
Gizi lebih
1
1.7
58
100.0
Total Z-score ±SD
-0.34 ± 1.27
TB/U - Sangat pendek
9
15.5
-
Pendek
15
25.9
-
Normal
34
58.6
58
100.0
Total Z-score±SD
-1.41 ± 1.58
BB/TB - Kurus
2
3.4
-
Normal
45
77.6
-
Gemuk
11
19.0
58
100.0
Total Z-score±SD
0.82 ± 1.33
Anak balita dengan status gizi kurang disebabkan karena MP-ASI yang diberikan kurang baik jenis maupun kualitas, dan anak sakit. Indikator TB/U berguna untuk menggambarkan status gizi masa lalu, sehingga kejadian kependekan atau stunting pada anak menggambarkan riwayat kurang gizi kronik atau dalam jangka waktu yang lama. Stunting pada anak balita berarti kurangnya atau gagalnya pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan
yang
rendah
dan
efek
kumulatif
dari
kurangnya
atau
ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Sebaran status gizi balita dapat dilihat pada Tabel 21. Penelitian yang dilakukan Khor et al. (2009) di wilayah pemukiman kumuh menyatakan bahwa sebanyak 32.6% anak balita termasuk dalam kategori gizi
kurang, sedangkan prevalensi untuk stunted adalah sebesar 28.8%. Penelitian sejenis juga dilakukan di daerah kompleks perumahan dan diperoleh hasil prevalensi anak dengan gizi kurang hanya sebesar 19.8% dan yang tergolong stunted hanya sebesar 15.5%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata anak balita yang tinggal dilingkungan dengan keadaan sosial yang rendah masih cukup tinggi angka permasalahan gizi yang terjadi. Higiene dan Sanitasi Lingkungan Tempat Tinggal Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat seseorang berada. Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit yang berpusat pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Sukandar 2007). Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes (2007), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sejak dini, antara lain dengan memotong kuku setiap minggu, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar. Tabel 22 Sebaran balita berdasarkan praktek kebersihan diri
Praktek kebersihan diri
n
%
45
77.6
13
22.4
Total
58
100.0
Frekuensi mandi - 1
5
8.6
53
91.4
58
100.0
1
1.7
57
98.3
58
100.0
7
12.1
Memotong kuku - 1 kali/minggu -
-
Tidak pernah
2 Total
Penggunaan sabun mandi - Tidak -
Ya Total
Sikat gigi/hari - 0 -
1
31
53.4
-
2
20
34.5
58
100.0
Total
Tabel 22 menunjukkan bagaimana higiene dan sanitasi yang dilakukan oleh ibu balita dan balita itu sendiri. Sebagian besar balita telah memotong kuku secara rutin 1 kali dalam seminggu (77.4%), mandi 2 kali dalam sehari (91.4%), dan menggunakan sabun saat mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi dalam sehari sebagian besar anak baru menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tabel diatas menggambarkan keadaan perilaku higiene balita. dalam tabel tergambarkan bahwa sebagian besar balita telah melakukan pratek higiene dengan baik. Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan manusia. Pembuangan kotoran yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water borne disease (Yulia 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak sudah buang air besar di WC (84.5%). Sisanya sebesar 10.3% buang air besar di kebon dan 5.2% di empang. Sebaran tempat buang air besar balita disajikan pada Tabel 23 Tabel 23 Sebaran tempat buang air besar anak balita Tempat buang air besar
n
%
Empang
3
5.2
Kebon
6
10.3
WC
49
84.5
58
100.0
Total
Tempat pembuangan sampah yang merupakan salah satu indikator dari persyaratan rumah yang sehat. Menurut Latifah et al. (2000) rumah yang sehat sebaiknya
memiliki
tempat
pembuangan
yang
tertutup
sehingga
tidak
menyebarkan bau yang dapat mengundang lalat sebagai salah satu penyebab timbulnya penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan sebesar 53.4% ibu belum memiliki tempat pembuangan sampah di rumahnya. Mereka mengaku selama ini membuang sampah begitu saja di depan atau dibelakang rumah serta membuang sampah tersebut ke sungai. Tabel 24 Sebaran kepemilikan tempat sampah Kepemilikan tempat sampah
n
%
Ada
27
46.6
Tidak
31
53.4
58
100
Total
Perilaku Higiene Sanitasi dan higiene dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi, seperti diare dan ISPA yang nantinya menjadi salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi. Perilaku higiene ibu balita yang diteliti adalah mencuci tangan setelah buang air besar, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan sebelum menyuapi anak, dan mencuci tangan sebelum menyiapkan makan untuk anak. Tabel 25 menunjukkan sebaran perilaku higiene ibu balita serta media dalam cuci tangan. Berdasarkan tabel yang ada terlihat bahwa sebagian besar ibu telah berperilaku higiene yang baik. Hal ini dibuktikan dengan perilaku mencuci tangan sebagian besar ibu baik mencuci tangan setelah buang air besar (98.3%), mencuci tangan sebelum makan (77.6%), dan mencuci tangan sebelum menyuapi anak (56.9). Namun sebelum menyiapkan makan untuk anak, sebagian besar ibu mengaku tidak mencuci tangan dahulu (67.2%). Ibu yang tidak mencuci tangan sebelum makan dan sebelum menyuapi anaknya memberikan alasan karena telah menggunakan alat bantu makan seperti sendok sehingga mereka tidak perlu untuk mencuci tangan lagi. Tabel 25 Sebaran perilaku higiene ibu balita Perilaku hygiene ibu Mencuci tangan setelah buang air besar/setelah membantu anak buang air besar Mencuci tangan sebelum makan Mencuci tangan sebelum menyuapi anak Mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak
n
%
57
98.3
45
77.6
33 19
56.9 32.8
Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa perilaku higiene ibu masih tergolong kurang. Kesadaran ibu dalam praktek higiene masih tergolong rendah. Perilaku mencuci tangan merupakan hal tidak biasa dan dianggap remeh. Tangan merupakan salah satu kofaktor dalam penyebaran penyakit. Mencuci tangan setiap sebelum dan setelah melakukan kegiatan dalat mencegah terjadinya infeksi cacing ke dalam tubuh. Tangan merupakan salah satu jalur masuknya bakeri dan virus ke dalam tubuh serta menjadi penghantar penularan berbagai penyakit. Tangan manusia dalam waktu yang singkat dapat saja bersentuhan dengan berbagai bahan/benda yang mengandung bakteri/virus, seperti tinja, urin, tanah, air, dan sebagainya. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dapat menghilangkan sejumlah besar virus dan bakteri yang menjadi
penyebab utama timbulnya berbagai penyakit seperti diare dan penyakit infeksi saluran nafas akut. Ibu yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar sebesar 70.7%. Sebelum makan persentase ibu yang mencuci tangan menggunakan sabun sebesar 46.6%, sedangkan sebelum menyuapi anak sebagian besar ibu menjawab tidak pernah mencuci tangan dengan alasan telah memakai alat bantu berupa sendok (43.1%). Sebanyak 67.2% ibu juga tidak mencuci tangan mereka dengan air atau sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anaknya. Kejadian Infeksi Anak Balita Kejadian infeksi anak balita atau status kesehatan pada anak balita merupakan aspek yag mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur. Tabel 26 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak balita (79.3%) mengalami sakit dalam satu bulan terakhir. Tabel 26 Sebaran kejadian sakit anak balita dalam satu bulan terakhir Kejadian sakit
n
%
Sakit
46
79.3
Tidak sakit
12
20.7
58
100.0
Total
Penyakit yang sering terjadi pada anak balita adalah penyakit infeksi. Data dari Puskesmas Bantar Gebang I menunjukkan bahwa penyakit yang sering diderita oleh anak balita yang tinggal disekitar tempat pembuangan akhir adalah diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hasil menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak balita yang mengalami gejala seperti tersebut di atas yakni dengan persentase sebesar 27.6%. Menurut Moehji (2003) penyakit infeksi pada balita sering disertai dengan diare dan muntah yang menyebabkan anak kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral dan sebagainya.
Tabel 27 Sebaran kejadian diare pada anak balita Kejadian diare
Saat ini
6bln terakhir
N
%
n
%
Diare
5
8.6
12
20.7
Tidak diare
53
91.4
46
79.3
58
100
58
100
Total
Tabel 27 menunjukkan bahwa pada saat penelitian sebagian besar anak tidak sedang mengalami diare. Namun dalam satu bulan terakhir terdapat sebanyak 20.7% anak pernah mengalami diare dengan frekuensi lebih dari 4 kali dalam sehari dan dengan bentuk kotoran yang lembek dan cair. Keaktifan Ibu Balita dalam Kehadiran di Posyandu Posyandu merupakan salah satu pelayanan kesehatan di desa untuk memudahkan masyarakat untuk mengetahui atau memeriksakan kesehatan terutama untuk ibu hamil dan anak balita. Tabel 31 Sebaran balita berdasarkan keaktifan ibu di posyandu Partisipasi di Posyandu
n
%
Rendah
24
41.4
Sedang
15
25.9
Tinggi
19
32.7
Total
58
100
34
58.6
6 bulan terkahir - Rendah -
Sedang
3
5.2
-
Tinggi
21
36.2
58
100
21
36.2
Total Alasan tidak hadir - Malas -
Jauh
7
12.1
-
Ibu bekerja
8
13.8
-
Anak sakit
7
12.1
-
Tidak tahu jadwal
15
25.8
Keaktifan
keluarga
pada
setiap
kegiatan
posyandu
tentu
akan
berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya. Pada saat ini pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan utama posyandu yang jumlahnya mencapai lebih dari 260 ribu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 74.5% (sekitar 15 juta) balita pernah ditimbang minimal 1 kali selama 6 bulan terakhir, 60.9% diantaraanya ditimbang lebih dari 4 kali. Berdasarkan Tabel 28 menunjukkan hasil bahwa partisipasi ibu balita dalam kehadiran di posyandu masih tergolong rendah (41.4%) dan untuk partisipasi dalam 6 bulan terakhir juga masih tergolong rendah (58.6%). Alasan ibu balita tidak hadir ke posyandu adalah malas dengan persentase sebesar 36.2% Hubungan Umur Penyapihan Balita dengan Variabel lain Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa penyapihan, makanan bayi berubah dari ASI saja ke makanan yang lazim dihidangkan dalam keluarga, sementara air susu hanya sebagai makanan tambahan (Arisman 2006). Menurut Allan (2006) penyapihan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat. Hasil uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan ) dengan umur penyapihan balita menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan umur penyapihan balita. Hasil ini diduga disebabkan karena pendidikan ibu yang masih didominasi hanya sampai tingkat SD dapat mengindikasikan bahwa responden belum mempunyai pengalaman dan kurang mengetahui kesiapan anak untuk menerima makanan tambahan karena kurangnya pengetahuan ibu. Pengetahuan atau kognitif berperan penting dalam membentuk perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan ibu dapat diperoleh baik secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari dan eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain (Notoatmojo 2007). Namun hasil uji korelasi Spearman antara pekerjaan ibu dengan umur penyapihan balita menunjukkan hasil yang sangat signifikan (p<0.01). Ibu yang bekerja cenderung memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat mereka masih berumur kurang dari 6 bulan. Ibu yang bekerja cenderung memiliki
waktu yang sangat sedikit dirumah. Hal ini membuat mereka
kurang dalam
memperhatikan makanan yang diberikan kepada anaknya. Penelitian yang dilakukan Kwi di Malaysia (2006) menunjukkan bahwa sebanyak 28.3% ibu balita yang bekerja mulai memberikan makanan tambahan kepada anaknya saat berusia kurang dari 6 bulan. Alasan mereka memberikan makanan tambahan kepada anaknya saat berusia kurang dari 6 bulan adalah agar anaknya tidak rewel saat ditinggal bekerja dan jug karena keterbatasan waktu ibu dirumah. Hasil uji korelasi antara karakteristik ibu dengan umur penyapihan balita dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Analisis hubungan umur penyapihan variabel lain Variabel
R
p- value
Pendidikan ibu
0.095
0.278
Pekerjaan ibu
0.454
0.007
Jumlah anggota keluarga
-0.039
0.405
Pendapatan keluarga
-0.008
0.480
BB/U
0.106
0.254
TB/U
-0.210
0.094
BB/TB
0.240
0.065
Adapun berdasarkan karakteristik keluarga, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan umur penyapihan balita baik terhadap jumlah anggota keluarga dengan status ekonomi keluarga (p>0.05). Hal ini diduga dikarenakan proses penyapihan balita dimulai pada saat yang berlainan. Ada beberapa kelompok masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih sebelum berusia 6 bulan, namun ada juga yang baru memulai usia penyapihan setelah bayi berusia 2 tahun (kasus ekstrem 4 tahun). Sebaliknya, pada masyarakat urban, bayi disapih terlalu dini, yaitu baru beberapa hari setelah kelahiran sudah diberi makanan tambahan (Jeliffe 1996). WHO merekomendasikan, penyapihan dilakukan setelah bayi berusia 2 tahun. Pada usia ini anak sudah mempunyai fondasi yang kuat bagi perkembangan selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Boulghourjian et al. (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah menyapih anak pada saat anak belum berusia 2 tahun (87.5%). Hal ini disebabkan karena faktor pekerjaan ibu diluar rumah yang mengharuskan ibu untuk meninggalkan anak di rumah. Seringnya
ibu
meninggalkan
anak
dirumah
dalam
waktu
yang
lama
menyebabkan anak terbiasa untuk tidak lagi minum ASI dan pemberian MP-ASI yang dini mempercepat ketidakbergantungan anak kepada ASI. Penelitian yang dilakukan Jus’at di Jakarta (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak memiliki pengetahuan tentang usia penyapihan yang baik. Penyapihan yang mereka tahu dan terapkan adalah kebiasaan dari dulu yaitu dengan berdasarkan pengalaman orang tua. Besar keluarga tidak berhubungan secara signifikan dengan umur penyapihan balita diduga karena besar keluarga yang ada sebagian besar tergolong keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 3 orang. Keluarga yang baru memiliki anak 1 orang cenderung belum memiliki pengalaman dalam mengasuh dan pengetahuan tentang penyapihan pun masih sangat sedikit. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur penyapihan dengan status gizi balita (p>0.05). Keadaan ini mungkin disebabkan karena dalam penelitian hanya umur penyapihan saja yang diteliti, tanpa melihat kualitas makanan sapihan yang diberikan. Penelitian Rahmani (2007) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara penyapihan dengan status gizi anak. Hasil ini menunjukkan walaupun frekuensi dan jenis pemberian MP-ASI tepat tetapi masih ditemukan anak dengan status gizi kurang, hal ini terjadi kemungkinan karena kualitas MPASI yang diberikan masih kurang kualitas MP-ASI yang diberikan masih kurang memadai baik kualitas maupun kuantitas. Jus’at (2004) menyebutkan bahwa ganggunan pertumbuhan atau masalah gizi utama selama anak menyusui adalah karena tidak tersedianya makanan sapihan yang sesuai engan kebutuhan bayi atau anak. Mahantha (2004) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa umur penyapihan tidak berhubungan dengan status gizi anak balita. Status gizi anak balita lebih ditentukan dari kualitas dan kuantitas dari makanan tambahan yang diberikan ibu kepada anaknya. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi Balita Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan) dengan status gizi berat badan menurut umur (p<005). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardeyanti (2007) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu yang rendah meningkatkan resiko ibu untuk memberikan makanan tambahan yang kurang tepat serta pola asuh yang kurang baik sehingga menyebabkan
sebagian ibu cenderung memiliki anak dengan status gizi kurang. Pendidikan bertujuan untuk mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsepkonsep, mengubah sikap dan persepsi serta menanamkan tingkah laku atau kebiasaan yang baru pada pendidikan rendah serta meningkatkan pengetahuan yang cukup atau kurang bagi masyarakat yang masih memakai adat istiadat lama (Notoatmodjo 2005). Miller (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hampir sebagian besar ibu (45.6%) yang berlatar belakang pendidikan rendah memiliki anak dengan status gizi yang kurang. Pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi berat badan menurut umur (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi penurunan status gizi jika disertai dengan peningkatan pekerjaan ibu. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roani (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita. ibu yang bekerja pada umumnya memiliki waktu yang sedikit untuk mengurus anaknya, sehingga membuat mereka kurang dalam memperhatikan tumbuh kembang anak.korelasi antara karakteristik keluarga dengan status gizi dapat dilihat pada Tabel 30. Adapun berdasarkan karakteristik keluarga, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan status gizi balita baik terhadap jumlah anggota keluarga maupun pendapatan keluarga (p<0.05). Hal ini berarti peningkatan jumlah anggota dan pendapatan kelurga akan membuat status gizi seorang anak akan menurun berdasarkan berat badan menurut umur. Faktorfaktor yang mendukung terjadinya kekurangan gizi diantaranya adalah aspek ekonomi dengan aspek pendapatan sebagai salah satu komponennya. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadapa kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Sementara itu menurut Husaini et al. (2000), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan kebutuhan non pangan. Faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu keluarga adalah jumlah anggota keluarga. Bagi keluarga dengan anggota keluarga yang banyak, jumlah anggota keluarga sebagai faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota keluarga. Pada kondisi seperti ini faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas
sehinngga seluruh anggota keluarga dapat terbagis secara merata (Fachrina 2005). Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap kondisi kurang gizi, sebab jika jumlah anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua, sehingga anak-anak yang lebih muda tidak diberi cukup makan. Tabel 30 Analisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi balita BB/U Variabel
TB/U
BB/TB
R
p-value
R
p-value
R
p-value
Pendidikan ibu
-0.232
0.040
0.056
0.337
0.008
0.476
Pekerjaan ibu
0.292
0.025
0.128
0.198
0.197
0.095
Jumlah anggota keluarga Pendapatan keluarga
-0.154
0.042
0.013
0.460
0.004
0.489
-0.175
0.034
-0.108
0.211
0.030
0.410
Hubungan yang bermakna antara karakteristik ibu dan karakteristik keluarga hanya terdapat pada status gizi berdasarkan berat badan menurut umur. Status gizi berdasarkan berat badan menurut umur merupakan indikator penilaian status gizi yang paling sensitif diantara indikator yang lainnya. Hal ini karena perubahan berat badan lebih cepat terlihat dibandingkan dengan perubahan tinggi badan. Hubungan Kejadian Infeksi dengan Status Gizi Balita Selain berhubungan dengan asupan makanan, status gizi juga dipengaruhi oleh status kesehatan balita. Status kesehatan balita juga dipengaruhi oleh perilaku sehat keluarga dan keadaan sanitasi rumah serta lingkungan (Khomsan 2000). Anak balita merupakan kelompok rawan gizi dan rawan kesehatan. Penyakit yang sering diderita oleh anak balita adalah penyakit infeksi. Infeksi yang terjadi dalam tubuh anak balita dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Suhardjo (2005) mengemukakan bahwa antara status gizi kurang dengan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi yang akut mengakibatkan kurang nafsu makan dan toleransi terhadap makanan.
Tabel 31 Analisis hubungan kejadian infeksi dengan status gizi balita Status gizi
R
p- value
BB/U
-0.159
0.117
TB/U
0.174
0.096
BB/TB
0.173
0.096
Penyakit yang diderita anak juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik anak, kebiasaan hidup sehat, konsumsi dan kebiasaan makan, serta status gizi sebelumnya
(Hastuti
2006).
Berdasarkan
hasil
uji
korelasi
Spearman
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita. Hal ini mungkin saja disebabkan karena dalam penelitian sebagian besar sampel dalam kondisi yang baik sehingga status gizinya pun baik. Jika dibedakan status gizi pada saat diare dan sedang tidak diare dapat terlihat bahwa pada anak yang diare cenderung memiliki status gizi yang kurang berdasarkan indeks BB/U dan pendek menurut status gizi TB/U.