HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas 4 di Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive, yaitu sekolah yang sudah mengadakan tes Intelligence Quotient untuk melihat skor kecerdasan seseorang. Siswa kelas 4 sengaja diambil karena siswa sudah dapat menjawab ataupun mengisi kuesioner yang diberikan dan jarak umur siswa kelas 4 tidak terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI serta skor kecerdasan siswa kelas 4 bervariasi mulai dari cerdas sampai kurang. Siswa kelas 5 sengaja tidak diambil karena skor kecerdasan siswa kelas 5 kurang bervariasi dan jarak usia siswa terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI. Siswa kelas 6 sengaja tidak diambil karena khawatir akan menganggu konsentrasi siswa dalam menghadapi ujian akhir, sedangkan siswa kelas 3, 2, dan 1 juga tidak diambil sebagai contoh karena siswa dianggap belum memiliki pemahaman yang cukup untuk mengisi kuesioner yang diberikan. Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara terletak di Jalan Budi Mulya Rt 010/ 015. Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara dipimpin oleh kepala sekolah yaitu Subiyat Edy A.P., S.Pd. MM. Jumlah guru/ staf pengajarnya ada 17 orang. Para guru tersebut dibantu oleh dua orang penjaga. Jumlah siswa kelas 4 seluruhnya ada 41 orang, terdiri atas 24 laki-laki dan 17 perempuan. Waktu belajarnya dimulai dari pukul 07.00 s.d pukul 12.00 untuk kelas 4, 5, dan 6. Fasilitas yang dimilki oleh sekolah meliputi fasilitas fisik, lahan, dan non fisik. Fasilitas fisik yang dimilki meliputi ruang kelas, ruang guru, kantin, laboratorium komputer, tempat ibadah, gudang, toilet, perpustakaan. Fasilitas lahan yang ada terdiri atas lapangan olahraga dan taman. Fasilitas non fisik/ ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi pramuka, seni tari, paskibra, qasidah, seni musik, futsal.
Karakteristik Siswa Contoh adalah anak sekolah dasar, dengan jumlah keseluruhan 38 orang. Berdasarkan kelas yang dipilih sebagai contoh penelitian adalah kelas 4. Tabel 3 menjelaskan karakteristik siswa berdasarkan individu dan status gizi siswa. Karakteristik siswa yang diamati meliputi usia siswa, jenis kelamin, uang saku per hari, dan status gizi.
32
Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu Karakteristik individu n % Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
21 17
55.3 44.7
Total Usia Siswa 10-11 tahun > 11 tahun
38
100
34 4
89.5 10.5
Total Uang Saku ≤ Rp 5000 Rp 6000-Rp 10000 Rp 11000-Rp 15000 Total
38
100
12 23 3 38
31.6 60.5 7.9 100
Rata-Rata±SD Status Gizi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
1 3 29 5
2.6 7.9 76.3 13.2
Total
38
100
Rata-Rata±SD
7566±3085
-0.06±1.75
Jenis Kelamin, Agama, dan Usia Tabel 3 diketahui bahwa jumlah siswa laki-laki kelas 4 SD Negeri 09 lebih banyak dibandingkan jumlah siswa perempuan. Hal ini terlihat dari persentase jumlah siswa laki-laki (55.3%) dan jumlah siswa perempuan (44.7%). Siswa dalam penelitian ini berusia 10-13 tahun dan persentase terbesar pada usia antara 10 sampai 11 tahun (89.5%) dan >11 tahun (10.5%). Seluruh contoh yang diambil beragama islam.
Uang Saku Siswa Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pedapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan. Uang saku yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi daya beli seseorang terhadap pangan. Siswa kelasa 4 SD Negeri 09 memperoleh uang saku yang berkisar antara Rp. 6.000,00-Rp. 10.000,00/ hari (60.5%). Rata-rata besar uang saku siswa adalah Rp. 7.566±3085. Relatif besarnya uang saku yang diberikan orangtua untuk siswa diduga karena sebagian besar siswa melakukan rutinitas sekolah di pagi hari dan dilanjutkan kursus pada sore hari.
33
Status Gizi Berdasarkan Tabel 3, status gizi siswa diukur dengan menggunakan indikator IMT/U. WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Menurut WHO (2007), status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z ≤ +2 SD,
dan obesitas bila z ≥ +2 SD.
Berdasarkan IMT/U terdapat siswa dengan status gizi kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD) dengan persentase sebesar 2.6%. Sebagian besar siswa (76.3%) tergolong dalam kategori normal (2 SD ≤ z ≤ +1 SD). Rata-rata z-score siswa adalah 0.06±1.75. Gizi kurang mempengaruhi pertumbuhan otak anak sehingga dapat mengganggu dalam proses belajar. Anak gizi kurang ada kecenderungan kurang gairah dan lincah, tertinggal dalam belajar, dan kurang tanggap terhadap lingkungannya sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan kecerdasan
anak.
Gizi
kurang
pada
anak
juga
dapat
mempengaruhi
perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004). Karakteristik Keluarga Siswa Karakterisitk keluarga siswa yang dilihat berdasarkan besar keluarga, usia orangtua siswa, dan kondisi sosial ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi keluarga terdiri dari tingkat pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga
Besar Keluarga Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Besar keluarga menurut BKKBN (1998) dibagi menjadi keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedang jika 5-6 orang, dan besar jika ≥ 7 orang. Besar keluarga dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang
34
dikonsumsi dalam keluarga. Keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak akan memiliki hubungan yang amat erat antara orangtua dengan anak sehingga akan mempengaruhi sikap pengasuhan orangtua terhadap proses belajar, sedangkan keluarga besar yang terdiri atas empat anak atau lebih, orangtua cenderung untuk mengasuh anak dengan sikap otoriter sehingga terjadi persaingan antar anak yang dapat merangsang keinginan untuk berprestasi (Satiadarma dan Waruwu 2003). Besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga kecil (31.6%) dan 44.7% siswa termasuk dalam kategori keluarga sedang.
Usia Orangtua Siswa Umur orang tua siswa dapat dikelompokkan ke dalam usia dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir atau usia lanjut (>60 tahun) (Ghozaly 2011). Mayoritas usia ayah berada dalam rentang dewasa madya dengan usia antara 41 sampai 65 tahun (52.6%). Sementara itu, usia ibu berada dalam rentang dewasa muda dengan rentang usia antara 20 sampai 40 tahun (76.3%). Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa (n=38) Karakteristik Keluarga Siswa n % Besar Keluarga ≤ 4 orang
12
31.6
5 orang
17
44.7
> 5 orang
9
23.7
Dewasa Muda (20-40)
18
47.4
Dewasa Madya (41-65)
20
52.6
Dewasa Tua (>65)
0
0.0
Dewasa Muda (20-40)
29
76.3
Dewasa Madya (41-65)
9
23.7
Dewasa Tua (>65)
0
0.0
Umur Ayah
Umur Ibu
Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Tabel 5 menguraikan kondisi sosial ekonomi keluarga siswa yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu serta pendapatan keluarga per bulan didapatkan dengan memberikan kuesioner kepada orangtua siswa. Sebagian besar ayah siswa berpendidikan terakhir SMA/ Sederajat (50%), begitu juga dengan pendidikan terakhir ibu (39.5%).
35
Menurut Engel et al. (1994), tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Sebagian besar ayah siswa bekerja sebagai pegawai (31.5%), sedangkan sebagian besar ibu siswa bekerja sebagai ibu rumah tangga (71.1%). Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga (n=38) Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga n % Pendidikan Ayah Tidak Tamat SD/ Tamat SD
7
18.4
SMP/Sederajat
7
18.4
SMA/Sederajat
19
50.0
> SMA
5
13.2
Tidak Tamat SD/ Tamat SD
6
15.8
SMP/Sederajat
14
36.8
SMA/Sederajat
15
39.6
>SMA
3
7.8
Pegawai
12
31.5
Wiraswasta
9
23.7
Pedagang
9
23.7
Lainnya
8
21.1
Pegawai
5
13.2
Ibu Rumah Tangga
27
71.1
Pedagang
6
15.7
Lainnya
0
0
< Rp 1000000
19
50
Rp 1000000-Rp 2000000
10
26.3
>Rp 2000000
9
23.7
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ayah
Pekerjaan Ibu
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Sebagian besar pendapatan keluarga siswa berada pada nilai < Rp. 1.000.000 (50%).
36
Praktek Pemberian ASI Praktek Pemberian ASI yang diamati pada penelitian ini yaitu pemberian ASI, ASI eksklusif dan alasannya, susu formula, serta durasi pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI (Muchtadi 2002).
Praktek Pemberian ASI Eksklusif ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). Praktek ASI eksklusif relatif sedikit ditemukan di SDN 09. Hal ini terlihat dari persentase praktek ASI eksklusif yang jumlahnya hanya 36.8%. Alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya cukup bervariasi. Alasan tertinggi dikarenakan ASI tidak keluar (62.5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rachmadewi (2009) bahwa praktek pemberian ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi (41.9%) dibandingkan perkotaan (25.8%). Hasil penelitian Fawtrell et al. (2007) membuktikan bahwa durasi pemberian ASI eksklusif yang paling optimal adalah selama enam bulan. WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO telah menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama enam bulan (Gibney et al. 2005). Durasi pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 mayoritas masih ≤ 2 bulan (57.9%), dikarenakan bayi sudah diberikan cairan selain ASI sebelum berusia dua bulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Almroth dan Bidinger (1990) yang diacu dalam penelitian Asrinisa (2009), bahwa kebiasaan memberikan air putih atau cairan lain kepada bayi menyusui dalam bulan-bulan pertama umum dilakukan di beberapa negara. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Hardinsyah et al. (2002) yang meniliti tentang pemberian ASI dan susu formula pada bayi di kota Bogor. Penelitian tersebut didapatkan hasil sebesar 40.7 persen bayi yang diberikan ASI eksklusif kurang dari empat bulan.
37
Tabel 6 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 (n=38) Variabel n % Pemberian Asi Esklusif 14
36.8
24
63.2
Bayi Menangis
3
12.5
ASI Tidak Keluar
15
62.5
6
25
≤ 2 bulan
22
57.9
3-4 bulan
2
5.3
4-6 bulan
14
36.8
Ya Tidak Alasan tidak diberikan ASI Eksklusif
Ibu Bekerja Durasi Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan).The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005). Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan durasi pemberian ASI Durasi pemberian ASI n % < 4 bulan
23
60.5
4-8 bulan
1
2.6
8-12 bulan
4
10.5
> 12 bulan
10
26.3
38
100
Total Rata-rata
7.42±8.34
Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa pemberian ASI di SDN 09 selama lebih dari 12 bulan sebesar 26.3%. Rata-rata durasi pemberian ASI di SDN 09 adalah 7.42 dengan standar deviasi 8.34. Hal ini jauh dari hasil penelitian Oktariana (2010) yang menyatakan bahwa sebesar 61 persen bayi diberikan ASI selama lebih dari 24 bulan. Lebih dari 80% ibu di perkotaan dari golongan kaya dan berpendidikan tinggi tidak sanggup memberikan ASI sampai usia 6 bulan, hal ini karena masalah yang bersifat psiko-fisiologis, sosial dan budaya, emosional dan psikologis di dukung lagi semakin efektifnya teknik komunikasi yang benar-benar berkembang dan penilaian mereka yang tinggi kemajuan
38
duniawi (Berg 1986). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Pemberian Susu Formula Muchtadi (2002) mendefinisikan susu formula adalah produk berupa tepung susu (umumnya susu sapi) yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati air susu ibu. Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan pemberian susu formula (n=38) Variabel n % Pemberian Susu Formula 26
68.4
12
31.6
< 6 bulan
24
63.2
≥ 6 bulan
14
36.8
Ya Tidak Mulai pemberian susu formula
Orang tua siswa khususnya kaum ibu di SDN 09 lebih banyak memberikan susu formula dari pada ASI. Hal ini terlihat dari hasil tabel 8 yaitu sebanyak 68.4 persen ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya. Ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya saat anak berusia kurang dari 6 bulan (63.2%). Alasan yang dikemukakan orangtua siswa ketika susu formula diberikan saat usia kurang dari 6 bulan yaitu ASI tidak keluar dan ibu sibuk kerja. Susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002). Hasil penelitian (Depkes RI 2003) di bogor menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif tidak ada yang menderita gizi buruk. Data untuk penelitian yang sama bahwa 57% ibu-ibu dianjurkan oleh bidan untuk memberikan susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran. Beberapa ahli berpendapat dan telah membuktikan bahwa tidak benar susu formula yang ditambah DHA dapat mencerdaskan anak. Susu formula diciptakan sebagai pendamping ASI tetapi tidak akan pernah bisa menyamai ASI yang mengandung DHA (Mihilal 2002).
39
Kecerdasan Logika Matematika Kecerdasan Logika-Matematika adalah kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan ada pola dan hubungan logis, serta fungsi logis (Gunawan 2003). Kecerdasan logika-matematika melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Dalam kehidupan seharihari kecerdasan ini
bermanfaat
untuk menganalisa laporan keuangan,
memahami perhitungan, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya (Gardner dalam Armstrong 2002). Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Kecerdasan logika matematika dapat diukur dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dengan menggunakan Intelligence Quetion (IQ) kelas 4 semester satu dan pengukuran tidak langsung dengan menggunakan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu. Nilai Intelligence Quotient Siswa Pengukuran langsung dengan menggunakan Intelligence Quetion (IQ) kelas 4 semester satu. Intelligence Quetion (IQ) dikelompokkan menjadi delapan kategori yaitu sangat kurang (<69), kurang (69-79), rata-rata kurang (80-89), sedang (90-109), rata-rata cerdas (110-119), cerdas (120-139), sangat cerdas (140-160), istimewa cerdas (>160). Tabel 9 menunjukkan bahwa skor intelligence Quotient siswa kelas 4 SDN 09 sangat bervariasi. Sebanyak 31.6% siswa berada pada kategori rata-rata kurang dengan rentang skor 80-89, sedangkan siswa dengan IQ cerdas dengan rentang skor 120-139 relatif sedikit yaitu sebesar 5.3%. Rata-rata skor IQ siswa kelas 4 SDN 09 sebesar 87.7 dengan standar deviasi sebesar 16.5. Siswa yang memiliki IQ yang tinggi lebih mudah berinteraksi meskipun dalam lingkungan yang baru, dengan kemampuan yang ada, mereka lebih mudah bergaul dan beradaptasi. Hal ini juga dibantu dengan
40
adanya kemampuan yang mudah dalam mempelajari sesuatu hal oleh seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi (Dalyono 2007). Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan skor intelligence quotient Skor Intelligence Quotient (IQ) n % Sangat Kurang (<69)
0
0
Kurang (69-79)
11
28.9
Rata-rata Kurang (80-89)
12
31.6
Sedang (90-109)
11
28.9
Rata-rata Cerdas (110-119)
2
5.3
Cerdas (120-139)
2
5.3
Sangat Cerdas (140-160)
0
0
Istemewa Cerdas (> 160)
0
0
38
100
Total Rata-Rata±SD
87.7±16.5
Prestasi Belajar Matematika Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran dari tingkat kecerdasan anak. Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Hasil evaluasi tersebut diukur dengan menggunakan nilai rapor (Winkel 1996). Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar matematika (n=38) Variabel n %
Nilai Raport Matematika Kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup (70-79) Baik (>80) Rata-rata±SD Tes hasil belajar Kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup (70-79) Baik (>80) Rata-rata±SD
8 15 11 4
21.1 39.5 28.9 10.5 64.2±8.4
18 7 4 9
47.4 18.4 10.5 23.7 65.8±14.7
Prestasi belajar dalam penelitian ini diperoleh dari hasil nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu. Nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu kurang, cukup, lebih dari cukup, dan baik. Berdasarkan nilai raport matematika tersebut, hanya terdapat 10.5% (4 orang) siswa yang termasuk
41
dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 39.5% (15 orang) dalam kategori prestasi belajar cukup. Rata-rata nilai raport matematika kelas 4 semester satu adalah 64.2 dengan standar deviasi 8.4. Sementara itu, nilai tes harian bersama (THB) matematika, hanya terdapat 23.7% (9 orang) siswa yang termasuk dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 47.4% (18 orang) dalam kategori prestasi belajar kurang. Rata-rata nilai tes harian bersama (THB) matematika kelas 4 semester satu adalah 65.8 dengan standar deviasi 14.7. Menurut Dalyono (2007), seseorang yang memiliki intelegensi yang baik (IQ tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang intelegensi rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Kebiasaan Makan Siswa Kebiasaan makan merupakan istilah yang menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, distribusi makan antaranggota keluarga (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang jelek dicerminkan dengan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2005). Kebiasaan makan siswa yang dilihat adalah frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum, jenis susu yang dikonsumsi, konsumsi pangan hewani, konsumsi pangan nabati, konsumsi sayuran, konsumsi buah, kebiasaan membawa bekal, kebiasaan membawa air minum ke sekolah, kebiasaan jajan di sekolah, dan jenis makanan yang sering dibeli. Frekuensi Makan Sehari Seseorang yang dianjurkan untuk makan secara teratur dan pada jamjam tertentu, yaitu tiga kali sehari (Purwati, Rahayu, & Salimar 2002). Hal ini untuk menghindari makan secara berlebihan yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kelebihan berat badan. Siswa yang diteliti sebagian besar terbiasa makan tiga kali sehari. Hal ini terlihat pada persentase tertinggi terdapat pada frekuensi makan tiga kali sehari sebesar 92.1%. Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan frekeunsi makan Frekuensi Makan sehari n % 2 kali
3
7,9
3 kali
35
92,1
38
100
Total
42
Kebiasaan Sarapan Sarapan merupakan kegiatan yang penting dilakukan, tetapi seringkali ditinggalkan dengan berbagai alasan. Sarapan memberikan energi pada seseorang untuk melakukan kegiatan di siang hari, namun terkadang seseorang malas untuk sarapan dengan alasan ingin kurus, terburu-buru atau malas makan (Wirakusumah 1994). Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan sarapan Kebiasaan Sarapan n % Selalu
35
92.1
Kadang-kadang
3
7.9
Jarang
0
0.0
Tidak Pernah
0
0
38
100
Total
Tabel 12 menjelaskan tentang kebiasaan sarapan siswa, sebanyak 92.1% siswa kelas 4 selalu melakukan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Hal ini diduga siswa kelas 4 terbiasa makan tiga kali sehari sehingga kebiasaan sarapan menjadi kegiatan yang selalu dilakukan oleh siswa.
Kebiasaan Minum Susu Susu merupakan bahan makanan sempurna karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan perbandingan zat gizi di dalam susu sangat ideal, mudah dicerna serta diserap darah secara maksimal (Sanjaya et al. 2007). Susu memiliki nilai biologi protein yang sangat tinggi, susu juga mengandung zat-zat esensial lain yang mudah diserap. Jenis-jenis susu antara lain susu kental manis, susu bubuk, susu kambing, dan lain-lain. Selain itu, ada juga produk susu seperti yoghurt dan keju. Sebagian besar siswa selalu terbiasa minum susu setiap hari (73.7%). Rata-rata sebagian besar siswa mengkonsumsi susu sebanyak satu gelas setiap hari (76.3%). Berdasarkan hasil recall diketahui jenis susu yang paling banyak dikonsumsi adalah susu kental manis (52.6%). DKBM (2008) diketahui bahwa susu kental manis merupakan jenis susu yang tinggi kalori. Kandungan energi per 100 g susu kental manis adalah 168 Kalori.
43
Tabel 13 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum setiap hari, jenis konsumsi susu (n=38) Variabel n % Kebiasaan Minum Susu Selalu
28
73.7
Kadang-Kadang
8
21.1
Jarang
2
5.3
Tidak Pernah
0
0
1 gelas/hari
29
76.3
2 gelas/hari
9
23.7
Susu Kental Manis
20
52.6
Susu Bubuk
18
47.4
Susu Sapi
0
0
Jumlah susu yang biasa diminum setiap hari
Jenis Susu yang dikonsumsi
Konsumsi Pangan Hewani Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi. Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan (Almatsier 2004). Tabel 14 Sebaran siswa menurut kebiasaan mengonsumsi lauk hewani dan jenis lauk hewani yang dikonsumsi Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Lauk Hewani Selalu
36
94.7
2
5.3
Daging Ayam
36
94.7
Daging Sapi
12
31.6
Telur Ayam
34
89.5
Ikan
32
84.2
Kadang-kadang Jenis Lauk Hewani yang Dikonsumsi
Sebesar 94.7% siswa selalu mengonsumsi lauk hewani yang termasuk di dalamnya adalah mengonsumsi daging ayam (94.7%), telur ayam (89.5%), dan ikan (84.2%). Berbeda dengan daging ayam, telur ayam, dan ikan, sumber pangan hewani berupa daging sapi menjadi sumber pangan hewani yang paling banyak tidak dikonsumsi oleh siswa (68.4%). Daging ayam, telur ayam, dan ikan paling banyak dikonsumsi dibandingkan daging sapi diperkirakan karena rasanya yang enak, dan harganya yang cukup terjangkau bagi konsumen.
44
Konsumsi Pangan Nabati Protein yang berkualitas tinggi sangat mudah ditemukan pada kacang polong,
berbagai kacang-kacangan yang memberikan bermacam-macam
manfaat bagi tubuh. Sebagian besar siswa selalu mengonsumsi lauk nabati (94.7%). Jumlah lauk nabati yang minimal dikonsumsi siswa yaitu sebanyak 3 jenis. Sebanyak 92.1% siswa mengkonsumsi tempe dan 86.8% mengonsumsi tahu, sedangkan kacang hijau paling banyak tidak disukai (68.4%). Hal ini diduga karena rasa tempe dan tahu yang enak dan harganya yang terjangkau. Tabel 15 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi lauk nabati Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Lauk Nabati Selalu 36 94.7 Kadang-kadang 2 5.3 Jenis Lauk Nabati yang Dikonsumsi Tempe 35 92.1 Kacang Hijau 12 31.6 Tahu 33 86.8
Konsumsi Sayur Sayuran berwarna hijau dapat mempertahankan berat badan, kekuatan dan kesehatan yang baik. Sayuran warna hijau dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh karena merupakan antioksidan yang kuat, yang dapat membantu tubuh untuk tumbuh dan memiliki banyak manfaat kesehatan yang lain. Kebiasaan konsumsi sayur siswa dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi konsumsi sayur yang dikonsumsi siswa dan jenis sayuran yang dikonsumsi oleh siswa. Tabel 16 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur n % Variabel Kebiasaan Mengonsumsi Sayur Selalu
17
44.7
Kadang-kadang
14
36.8
Jarang
6
15.8
1
2.6
Bayam
27
71.1
Kacang Panjang
7
18.4
Kangkung
31
81.6
Tidak Pernah Jenis Sayur yang Dikonsumsi
Jenis sayuran yang dikonsumsi siswa yaitu bayam, kacang panjang, dan kangkung. Sebesar 44.7% siswa menyatakan selalu mengkonsumsi sayur. Dari
45
tiga jenis kelompok sayur, maka sebagian besar siswa lebih banyak mengonsumsi sayur bayam (71.1%) dan kangkung (81.6%), sedangkan kacang panjang paling banyak tidak dikonsumsi (81.6%). Alasan siswa kelas 4 lebih banyak mengonsumsi bayam dan kangkung karena rasanya enak dan bergizi. Konsumsi Buah Kebiasaan konsumsi buah siswa pada penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi konsumsi buah yang dikonsumsi siswa dan jenis buah yang biasa dikonsumsi siswa. Jenis buah yang dikonsumsi siswa yaitu jeruk, anggur, dan apel. Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Buah Selalu
14
36.8
Kadang-kadang
19
50
Jarang
5
13.2
0
0
Jeruk
31
81.6
Anggur
12
31.6
Apel
28
73.7
Tidak Pernah Jenis Buah yang Dikonsumsi
Berdasarkan tabel 17 diketahui bahwa siswa kelas 4 kadang-kadang mengonsumsi buah (50%). Buah yang paling banyak dikonsumsi oleh siswa yaitu jeruk (81.6%) dan apel (73.7%), sedangkan buah yang paling banyak tidak dikonsumsi adalah anggur (31.6%). Hal ini diduga karena rasa buah apel dan jeruk yang manis, enak, dan harganya yang cukup terjangkau
Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah Siswa yang membawa bekal memiliki pengetahuan gizi yang baik, karena mereka lebih mengerti tentang kebersihan makanan jika dibawa dari rumah lebih terjamin kebersihannya dibandingkan jika harus jajan di luar rumah, termasuk sekolah, selain itu bekal yang dibawa dari rumah biasanya disediakan oleh ibu mereka yang dianggap lebih memperhatikan kandungan gizi dan kebersihan pada bekal yang akan dibawa (Triyanti et al. 2009). Tabel 18 menjelaskan tentang kebiasaan membawa bekal ke sekolah, sebagian besar (52.6%) siswa kadang-kadang terbiasa membawa bekal ke sekolah. Sebanyak 60% siswa paling banyak mengonsumsi nasi dan lauk pauk sebagai bekal sekolah. Jenis
46
lauk pauk yang biasa dibawa oleh siswa yaitu sosis ayam, nugget ayam, telur, ayam goreng. Tabel 18 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa bekal ke sekolah dan jenis bekal yang dibawa Variabel n % Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah Selalu
5
13.2
Kadang-kadang
20
52.6
Jarang
4
10.5
9
23.7
Nasi + Lauk Pauk
18
60
Mie
3
10
Roti
9
30
Lainnya
0
0
Tidak Pernah Jenis Bekal yang Dibawa ke Sekolah
Kebiasaan Membawa Air Minum Ke Sekolah Kebutuhan manusia akan air sangat penting, karena tanpa air, manusia tidak dapat bertahan hidup lebih lama bila dibandingkan dengan kekurangan makanan. Air bermanfaat dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh, sehingga metabolisme yang terjadi di dalam tubuh tetap dapat berjalan dengan baik (Wiseman 2002). Tabel 19
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa air minum dan jenis air minum yang dibawa ke sekolah Variabel n %
Kebiasaan Membawa Air Minum Selalu
20
52.6
Kadang-kadang
14
36.8
Jarang
3
7.9
1
2.6
Air mineral
34
89.5
Susu
13
34.2
Teh Manis
10
26.3
Sari Buah
0
0.0
Tidak Pernah Jenis Air Minum yang Dibawa ke Sekolah
Berdasarkan tabel 19, siswa selalu terbiasa membawa air minum ke sekolah (52.6%). Jenis air minum yang paling banyak dibawa yaitu air mineral (89.5%), sedangkan susu (65.8%) dan teh manis (73.7%) paling tidak banyak dibawa oleh siswa. Hal ini diduga karena air mineral praktis untuk dibawa ke sekolah.
47
Kebiasaan Jajan di Sekolah Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Suhardjo (1989)
menyebutkan
bahwa
kebiasaan
jajan
merupakan
istilah
untuk
menggambarkan kebiasaan dan prilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan, jenis makanan jajanan, kepercayaan terhadap makanan jajanan (pantangan), preferensi dan cara pemilihan makanan jajanan. Sebanyak 86.8% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah, dari beberapa jenis kelompok makanan jajanan, maka sebagian besar siswa lebih banyak membeli mie (50%), sosis (47.4%), dan pangsit (42.1%). Alasan siswa membeli jajanan tersebut karena rasanya enak dan gurih. Menurut Atmarita (2004), kebiasaan jajan anak-anak tidak perlu dihilangkan karena jika makanan yang dibeli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak. Tabel 20 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan jajan dan jenis jajanan yang sering dibeli Variabel n % Kebiasaan Jajan Selalu
33
86.8
Kadang-kadang
4
10.5
Jarang
1
2.6
0
0
Pangsit
16
42.1
Mie
19
50
Martabak
13
34.2
Es Teh
9
23.7
Roti
7
18.4
Sosis
18
47.4
Nasi Goreng
6
15.8
Bakso
10
26.3
Lainnya
13
34.0
Tidak Pernah Makanan Jajanan yang sering dibeli
Frekuensi Konsumsi Pangan Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi sosial ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi
48
ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memilki daya beli yang lebih sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Data ukuran dan frekuensi yang dikumpulkan meliputi makanan pokok, pangan hewani dan olahannya, pangan nabati dan olahannya, sayuran, dan buah-buahan, serta susu dan olahannya. Data ukuran dan frekuensi konsumsi selama 1 bulan terakhir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Quotientnaire (Gibson 2005). Tabel 21 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi konsumsi pangan per minggu Pangan
Rata-rata Frekuensi ± SD(kali)
Makanan Pokok Nasi (Beras Putih)
18.4±3.8
Mie (Instant)
4.1±2.8
Roti
1.9±2.2
Pangan Hewani dan Olahannya Telur Ayam
6.4±4.6
Sosis Sapi (Worst)
7.6±4.6
Nugget Ayam
1.4±1.9
Pangan Nabati dan Olahannya Kacang Hijau
0.9±1.1
Tempe
7.4±4.6
Tahu
5.2±4.3
Sayuran Bayam
1.5±1.8
Kangkung
1.3±1.9
Sop Kol dan Wortel
1.4±2.1
Buah-Buahan Jeruk
1.6±1.7
Pepaya
1.7±2.4
Pisang
1.6±2.1
Susu dan olahannya Keju
0.7±0.7
Susu Kental manis
3.7±3.3
Susu Bubuk
1.5±2.9
Makanan pokok dalam penelitian ini terdiri atas nasi (beras putih), mie (instant), dan roti (Tabel 21). Nasi merupakan pangan sumber karbohidrat dengan frekeunsi konsumsi tertinggi. Rata-rata frekuensi konsumsi nasi siswa adalah 18.4±3.8 kali/ minggu (65.8%). Sumber protein hewani dan olahannya
49
terdiri atas telur ayam, sosis sapi, dan nugget ayam. Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu (21.1%). Sumber pangan nabati dan olahannya terdiri atas kacang hijau, tempe, dan tahu. Pangan sumber protein nabati yang paling tinggi frekuensi konsumsi adalah tempe dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu (26.3%). Sayuran yang dikonsumsi siswa terdiri atas bayam, kangkung, dan sop kol dan wortel. Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1 kali/ minggu (10.5%). Buah yang dikonsumsi siswa adalah jeruk, papaya, dan pisang. Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu (13.2%). Sementara itu, susu dan olahannya yang dikonsumsi oleh siswa adalah keju, susu kental manis, dan susu bubuk. Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3 kali/minggu (44.7%). Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2005) konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola kebiasaan makan, serta pendapatan. Kesesuaian antara konsumsi zat gizi seseorang dengan kecukupannya disebut juga dengan tingkat kecukupan energi. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi responden, maka perlu diketahui data mengenai total energi yang dikonsumsi responden beserta data kecukupannya. Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi zat gizi, angka kecukupan zat gizi, dan tingkat kecukupan zat gizi siswa. Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi energi siswa adalah 1359 Kalori dan rata-rata konsumsi protein siswa adalah 35.3 gram. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG (2004), maka diperoleh ratarata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi sebesar 65.8%, protein sebesar
50
69.9%. Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7–12 tahun (usia sekolah dasar) berkisar antara 71,6%-89,1% dan sebanyak 44,4% anak mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal, sedangkan rata-rata nasional kecukupan konsumsi protein anak usia 7-12 tahun berkisar antara 85,1%-137,4% dan persentase konsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 30,6% (Riskesdas 2010). Tabel 22 Konsumsi zat gizi, AKG, dan TKG siswa Rata-Rata Energi dan Protein
Jumlah
Energi Konsumsi (Kalori)
1359
Angka Kecukupan Energi (Kalori)
1936
Tingkat Kecukupan Energi (%)
65.8
Protein Konsumsi (g)
35.3
Angka Kecukupan Protein (g)
47.3
Tingkat Kecukupan Protein (%)
69.9
Gibson (2005) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein kedalam lima tingkat, yaitu : (1) defisit tingkat berat (<70% kebutuhan), (2) defisit tingkat sedang (70%-79% kebutuhan), (3) defisit tingkat ringan (80%-89% kebutuhan), (4) normal (90%-119% kebutuhan), dan (5) diatas angka kebutuhan (≥120% kebutuhan). Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat kecukupan energi dan protein siswa dibedakan menjadi lima dengan mengacu pada cut of poin berdasarkan Gibson (2005). Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa siswa memiliki presentase defisit energi tingkat berat sebesar 71.1%. Tingkat kecukupan yang tergolong defisit ini diduga karena siswa mengkonsumsi makanan yang rendah kalori dan lebih menyukai makanan jajanan. Konsumsi pangan yang kurang akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat ketidakmampuan fungsi normal. Keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan otak (Soemantri 1978).
51
Tabel 23 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan energi Klasifikasi n % Defisit Berat
27
71.1
Defisit Sedang
3
7.9
Defisit Ringan
7
18.4
Normal
0
0
Diatas Angka Kebutuhan
1
2.6
38
100
Total
Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena fungsinya sebagai bahan bakar dalam tubuh dan zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Sebanyak 50% siswa mengalami defisit protein tingkat berat. Namun terdapat 10.5% siswa yang mengalami kelebihan konsumsi protein bila dibandingkan dengan nilai kecukupannya. Defisit protein tingkat berat yang dialami oleh sebagian besar siswa ini diperkirakan karena siswa lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan dibandingkan dengan mengkonsumsi lauk pauk, baik yang berasal dari hewani maupun nabati. Menurut Judarwanto (2004), kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme otak, sehingga menganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan otak anak. Tabel 24 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan protein Klasifikasi n % Defisit Berat
19
50
Defisit Sedang
9
23.7
Defisit Ringan
6
15.8
Normal
0
0
Diatas Angka Kebutuhan
4
10.5
38
100
Total
Fasilitas Belajar Tersedianya fasilitas belajar yang memadai merupakan salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar seseorang. Menurut Moesono (1986), anakanak yang berbakat membutuhkan bimbingan dan perlengkapan. Tersedianya alat-alat penunjang pendidikan akan dapat membantu pengembangan bakat anak secara optimal. Penyediaan fasilitas belajar meliputi ruang belajar, bukubuku pelajaran, alat-alat tulis, keikutsertaan dalam les tambahan. Selain sarana
52
dan fasilitas belajar, proses belajarpun harus diperhatikan untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Moesono (1986), proses belajar adalah seluruh kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Kegiatan belajar yang dilakukan anak misalnya mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru, pekerjaan sekolah, mempersiapkan diri sebelum ulangan, membaca buku pelajaran secara teratur dan mencatat semua pelajaran yang diberikan oleh guru. Proses belajar yang diteliti meliputi mengerjakan PR di rumah, mengulangkembali pelajaran di sekolah saat di rumah, orangtua menemani belajar, sedangkan sarana belajar meliputi memiliki meja khusus untuk belajar, kursus atau les, memiliki ruang belajar, memiliki buku pelajaran yang lengkap, memiliki alat-alat tulis. Proses belajar seseorang dapat memperlancar prestasi belajarnya. Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah. Sebesar 55.3% siswa tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah, sedangkan sebanyak 60.5% siswa terbiasa ditemani belajar oleh orangtuanya. Siswa yang memiliki cara belajar yang baik dapat dilihat melalui mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran di rumah. Fasilitas yang dibutuhkan anak dalam kegiatan belajar meliputi fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas fisik seperti buku-buku pelajaran, alat tulis. Fasilitas non fisik seperti guru les (Moesono 1986). Menurut Gunarsa (2006), anak-anak yang mempunyai keluarga besar dan kondisi ekonomi yang miskin tidak punya cukup uang untuk membeli buku dan membiayai kegiatan-kegiatan belajar lainnya sehingga prestasi belajarnya rendah. Sarana belajar yang diperlukan meliputi meja belajar, ruang belajar, buku pelajaran yang lengkap, dan alat-alat tulis. Sebesar 50% siswa memiliki meja khusus untuk belajar. Fasilitas Belajar
Tabel 25 Sebaran fasilitas belajar siswa n
%
Mengerjakan PR di Rumah
30
78.9
Mengulang Kembali Pelajaran
17
44.7
Memiliki Meja Khusus untuk Belajar
19
50.0
Orangtua Menemani Belajar
15
39.5
Kursus atau Les
15
39.5
Memiliki Ruang belajar
15
39.5
Memiliki Buku Pelajaran yang lengkap
38
100
Memiliki alat-alat tulis
18
47.4
53
Sebagian besar (39.5%) siswa meluangkan waktunya untuk kursus. Sebanyak 60.5% siswa tidak memiliki ruang belajar untuk belajar di rumah. Penyediaan buku-buku pelajaran juga menjadi penunjang dalam proses belajar mengajar. Sebesar 100% siswa memiliki buku pelalajaran yang lengkap. Hal ini dikarenakan sekolah meminjamkan buku-buku pelajaran kepada siswanya. Penyediaan alat-alat tulis dapat memperlancar prestasi belajar seseorang (Sukardi dalam Damayanti 2002). Alat tulis yang diperlukan meliputi pensil, pulpen, penggaris, penghapus, rautan pensil, dan lain-lain. Sebagian besar (52.6%) siswa tidak memiliki alat tulis lengkap. Alasan yang dikemukan siswa karena alat-alat tulisnya sering hilang, maka dari itu siswa malas membeli kembali alat-alat tulisnya. Menurut Gunarsa (2006) kurangnya fasilitas belajar menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya. Hubungan antar Variabel Berdasarkan hasil penelitian terdapat sembilan variabel yang diduga memiliki hubungan dengan intelligensi quetion (IQ) dan prestasi belajar yaitu durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, tingkat kecukupan gizi, konsumsi zat gizi, frekuensi konsumsi pangan, kebiasaan makan, fasilitas belajar, karakteristik siswa, dan karakteristk orangtua. Hubungan IQ dengan Beberapa Variabel Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi. Kecerdasan ini diatur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003). Intelligence Quotient (IQ) diduga memiliki hubungan dengan durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, dan karakteristik orangtua. Tabel 26 Hubungan IQ (intelligence quotient) dengan beberapa variabel Intelligence Quotient (IQ) Variabel r p Durasi ASI Eksklusif 0.784 0.000 Durasi ASI 0.694 0.000 Pendidikan Ayah 0.200 0.228 Pendidikan Ibu 0.351 0.031 Pendapatan Keluarga 0.011 0.949
54
Hubungan Durasi Pemberian ASI Eksklusif dengan IQ Terdapat hubungan yang sangat nyata antara durasi pemberian ASI eksklusif dengan Intelligensi Quotient (IQ) (p<0.01). Hubungan yang ditunjukkan antara kedua variabel tersebut bernilai positif dengan nilai korelasi sebesar 0.784. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan maka IQ anak tersebut semakin tinggi. Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayibayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). ASI Ekslusif Kurang
Tabel 27 Sebaran siswa berdasarkan ASI eksklusif dan IQ IQ (intelligence quotient) Rata-Rata Rata-Rata Sedang Cerdas Kurang Cerdas n % n % n % n %
n
%
≤ 2 bulan
10
26.3
12
31.6
0
0.0
0
0.0
0
3-4 bulan
1
2.6
0
0.0
1
2.6
0
0.0
4-6 bulan
0
0.0
0
0.0
10
26.3
2
Total
11
28.9
12
31.6
11
28.9
2
Total n
%
0.0
22
57.9
0
0.0
2
5.3
5.3
2
5.3
14
36.8
5.3
2
5.3
38
100.0
Tabel 27 menunjukkan sebaran siswa berdasarkan ASI ekslusif dan IQ. Persentase siswa dengan IQ kurang (0%), rata-rata kurang (0%), sedang (26.3%), rata-rata cerdas (5.3%), dan cerdas (5.3%) sebagian besar diberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan. Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).
55
Hubungan Durasi Pemberian ASI dengan Intelligence Quotient (IQ) Hubungan antara durasi pemberian ASI dengan Intelligensi Quotient (IQ) menunjukkan hubungan yang sangat nyata positif (r=0.694, p<0.01) (Tabel 26). Hal tersebut artinya semakin lama ibu memberikan asi kepada seorang anak maka semakin tinggi intelligence Quotient (IQ) seorang anak. Penelitian Jacobson, Chiodo & Jacobson (1999) membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ. Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Hubungan Karakteristik Orangtua dengan Intelligence Quotient (IQ) Hasil uji korelasi Rank Spearman (Tabel 26) tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=0.200, p>0.05) dengan Intelligence Quetion (IQ), namun terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu (r=0.351, p<0.05) dengan Intelligence Quotient (IQ). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi IQ seorang anak, Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yulia (1987) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka peranan ibu cenderung semakin besar, sehingga ibu yang mempunyai keterampilan
membimbing
lebih
tinggi
lebih
mampu
mengembangkan
kemampuan intelektual anak-anaknya, dibandingkan dengan ibu-ibu yang mempunyai keterampilan membimbing lebih rendah. Faktor lingkungan yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan yaitu tingkat pendidikan ibu (Wibowo et al. 1995). Hasil penelitian Suprihatin et al. (1996) tentang studi transisi keluarga, konsumsi pangan dan gizi dan perkembangan/ kecerdasan anak bahwa tingkat pendidikan ibu terhadap skor IQ menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0.004). Pertama, ibu yang pendidikan tinggi mempunyai potensi kecerdasan yang relatif tinggi pula yang diturunkan ke anak. Kedua, ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap informasi yang berguna dalam pengasuhan anak, sehingga ibu mempunyai bekal pengetahuan yang relatif baik untuk diterapkan
56
dalam menumbuh kembangkan anak. Pendidikan ibu yang relatif tinggi, memungkinkan ibu lebih sering memperoleh informasi tentang perkembangan anak dari majalah, surat kabar, radio, dan televisi sehingga orangtua lebih mengerti tentang perkembangan anak (Hurlock 1999). Menurut Boeree (2003), IQ dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dapat ditunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula. Pendapatan keluarga tidak berhubungan nyata dengan IQ (r=0.011, p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata pendapatan keluarga siswa kurang dari Rp 1000000,00 per bulan, IQ dalam kategori rata-rata kurang.
Hubungan Prestasi belajar Matematika dengan Beberapa Variabel Menurut
Hawadi
(2001),
prestasi
belajar
merupakan
gambaran
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/ intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Prestasi belajar matematika diduga berhubungan dengan tingkat kecukupan zat gizi, konsumsi protein hewani dan nabati, karakteristik siswa, fasilitas belajar, karakteristik orangtua, dan IQ. Prestasi belajar matematika dilihat dari dua variabel yaitu nilai raport matematika dan THB matematika. Tabel 28 Hubungan prestasi belajar matematika dengan beberapa variabel Prestasi Belajar Matematika Variabel Nilai Raport Matematika THB Matematika r p r p Tingkat Kecukupan Energi 0.336 0.039 0.294 0.073 Tingkat Kecukupan Protein 0.384 0.017 0.347 0.033 Konsumsi Protein Hewani 0.663 0.000 0.762 0.000 Konsumsi Protein Nabati 0.189 0.257 0.039 0.814 Status Gizi -0.172 0.301 0.041 0.807 Jenis Kelamin 0.306 0.061 0.290 0.078 Uang Saku 0.037 0.826 0.045 0.789 Usia -0.331 0.042 -0.273 0.097 Mengerjakan PR di Rumah 0.843 0.000 0.806 0.000 Mengulangkembali Pelajaran 0.843 0.000 0.806 0.000 Orangtua Menemani Belajar 0.880 0.000 0.878 0.000 Kursus 0.880 0.000 0.878 0.000 Memiliki Ruang Belajar Pribadi 0.880 0.000 0.878 0.000 Memiliki Meja Khusus Belajar 0.784 0.000 0.695 0.000 Memiliki Alat Tulis Pribadi 0.813 0.000 0.738 0.000 Pendidikan Ayah -0.037 0.825 0.001 0.995 Pendidikan Ibu 0.210 0.205 0.279 0.090 Pendapatan Keluarga 0.029 0.865 0.089 0.596 IQ 0.490 0.002 0.409 0.011
57
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang nyata positif antara tingkat kecukupan energi (r=0.336, p<0.05), tingkat kecukupan protein (r=0.384, p<0.05) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika. Sementara itu, tingkat kecukupan energi (r=0.294, p>0.05) tidak berhubungan nyata dengan prestasi belajar yang dilihat dari tes hasil belajar matematika, namun tingkat kecukupan protein (r=0.347, p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin cukup tingkat kecukupan protein maka semakin tinggi prestasi belajar siswa. Hal ini diduga karena siswa lebih banyak mengonsumsi makanan jajanan yang berasal dari protein daripada makanan yang mengandung kalori tinggi. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) menyatakan bahwa protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kalori. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreativitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak (Bourre 2006). Menurut Khomsan dan Faisal (2008), zat pembangun merupakan unsur protein yang sangat penting untuk perkembangan tingkat kecerdasan seseorang. Menurut Winarno dan Ong (2007), tubuh mencerna karbohidrat menjadi bentuk glukosa dan mendistribusikan glukosa ke seluruh sel dalam tubuh, termasuk otak. Dalam sel, glukosa mengalami proses pembakaran sehingga menghasilkan energi yang akan dipakai untuk beraktivitas, otak mengonsumsi lebih besar dari organ lainnya. Dalam aktivitas sehari-hari, otak mengonsumsi lebih dari 40% seluruh karbohidrat yang dimakan. Sel-sel neuron di otak memerlukan energi dalam jumlah yang besar karena sel tersebut berperan dalam aktivitas metabolisme. Menurut Waugh dan Grant (2003), mendukung aktivitas internal dan eksternal,
tubuh membutuhkan
energi.
Sumber
energi didapatkan dari
metabolisme bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein.
58
Proporsi makanan yang normal biasanya mengandung karbohidrat 55-75%, lemak 15-30% dan protein 10-15%. Bahan makanan sumber energi tersebut akan dipecah menjadi molekul yang sederhana dan diubah menjadi energi kimia yang disimpan dalam bentuk Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan menghasilkan panas melalui oksidasi seluler (siklus Krebs). Setiap 1 gram karbohidrat yang dioksidasi akan menghasilkan energi 4,1 kkal, air dan karbon dioksida. Sementara oksidasi lemak menghasilkan 9,3 kkal/gram dan oksidasi protein menghasilkan energi 4,35 kkal/gram (Sherwood 2007).
Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Nabati dengan Prestasi Belajar Matematika Hasil uji korelasi Pearson terhadap konsumsi protein hewani dan nilai raport matematika menunjukkan adanya hubungan nyata positif (r=0.663, p<0.01). Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.189, p>0.05) dengan nilai raport matematika. Terdapat hubungan sangat nyata positif antara konsumsi protein hewani (r=0.762, p<0.01) dengan THB matematika, namun tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.039, p>0.05) dengan THB matematika. Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi protein hewani maka semakin tinggi prestasi belajar matematika siswa. Konsumsi protein berguna untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi, meskipun fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, tetapi apabila tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Glukosa dibutuhkan sebagi sumber energi sel-sel otak dan sistem syaraf (Almatsier 2004). Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke otak, sehingga otak dapat berpikir lebih baik. Apabila protein yang masuk ke dalam tubuh kurang dapat menyebabkan konsentrasi belajar menurun sehingga menyebabkan prestasi belajar menurun, sebaliknya apabila protein yang masuk cukup dapat menyebabkan prestasi belajar menjadi lebih baik.
Menurut Winarno dan Ong
(2007), telur merupakan sumber protein hewani yang baik untuk otak, karena telur mengandung sumber kholin. Kholin khususnya asetilkholin merupakan neurotransmitter yang bertugas untuk daya tangkap dan kecerdasan otak.
59
Semakin cepat asetilkholin bekerja, semakin cepat pula daya tangkap satu unit manusia terhadap informasi. Hubungan Fasilitas Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.854, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.854, p<0.01), kursus (r=0.873, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.828, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.804, p<0.01) dengan prestasi belajar yang dilihat dari nilai raport matematika siswa. Sementara itu, Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.806, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.806, p<0.01), kursus (r=0.878, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.738, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.695, p<0.01) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai THB matematika siswa. Hal ini berarti semakin banyak anak mendapatkan fasilitas belajar maka semakin tinggi prestasi belajar seorang anak. Tersedianya sarana belajar yang memadai memungkinkan anak dapat belajar dengan baik, sehingga memungkinkan anak mencapai prestasi belajar yang baik. Sebagaimana dikemukan Darman (1984) dalam (Siregar 2003) bahwa salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah adanya fasilitas belajar yaitu perlengkapan belajar. Apabila kebutuhan dan perlengkapan belajar kurang terpenuhi dapat membawa akibat yang negatif, misal anak tidak bisa belajar dengan baik sehingga sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi. Fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kurangnya fasilitas menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya (Gunarsa & Gunarsa 2006). Hubungan Karakteristik Siswa dengan Prestasi Belajar Matematika Karakteristik
siswa
yang
dihubungkan
dengan
prestasi
belajar
matematika yaitu status gizi, uang saku, usia, dan jenis kelamin. Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan tidak nyata antara uang saku siswa dengan nilai raport matematika (r=0.037, p>0.05) dan THB matematika (r=0.045, p>0.05),
60
hubungan tidak nyata antara jenis kelamin siswa dengan nilai raport matematika (r=0.306, p>0.05) dan THB mateamtika (r=0.290, p>0.05). Terdapat hubungan yang nyata negatif antara usia siswa dengan nilai raport matematika (r=-0.331, p<0.05), namun tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia siswa dengan nilai THB matematika (r=-0.273, p>0.05). Hal ini berarti uang saku siswa dan jenis kelamin kurang berhubungan terhadap peningkatan prestasi belajar matematika siswa jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Menurut Abdal (2007), umur bagi anak sekolah dasar menggambarkan kesiapan mental dan kematangan dalam belajar. Secara logika, dengan bertambahnya umur siswa, maka bertambah pula tingkat kematangan dan kesiapan mental dalam belajar yang sesuai dengan jenjang kelas yang ditempuhnya. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia siswa berhubungan nyata negatif dengan nilai raport matematika siswa, artinya semakin rendah usia siswa maka semakin tinggi nilai raport matematika siswa. Syah (2003) bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. faktor internal adalah semua faktor yang ada dalam diri siswa yang meliputi faktor fisik atau fisiologis dan faktor psikologis (intelegensi, status gizi, bakat, minat, dan sikap) sedangkan faktor eksternal adalah semua faktor yang berada di luar siswa yang meliputi faktor lingkungan sosial dan faktor non sosial (faktor perbedaan individual dan faktor pendekatan belajar). Sebaran siswa berdasarkan status gizi (IMT/U) dan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika siswa terdapat pada Tabel 29. Sebagian besar siswa dengan status gizi kurus (2.6%), normal (15.8%), dan gemuk (2.6%) memiliki prestasi belajar matematika yang kurang. Sementara itu, sebaran siswa berdasarkan status gizi (TB/U) dan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai THB matematika siswa. Persentase siswa dengan status gizi kurus (5.3%),normal (36.8%), dan gemuk (5.3%) sebagian besar memiliki prestasi belajar matematika yang kurang. Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang tidak nyata antara status gizi berdasarkan IMT/U dengan nilai raport matematika (r=-0.172, p>0.05) dan THB matematika (r=0.041, p>0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Brown dan Pollit (1996). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan
61
penurunan pertumbuhan fisik. Ketiga keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial. Menurut Wibowo et al (1995), status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Status gizi yang baik jika tidak di dukung oleh usaha yang baik untuk belajar tidak akan memperoleh prestasi yang baik. Tabel 29 Sebaran siswa berdasarkan status gizi dan prestasi belajar matematika Status Gizi Total Prestasi Belajar Kurus
Normal
Gemuk
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang (<60)
1
2.6
6
15.8
1
2.6
8
21.1
Cukup (60-69)
1
2.6
11
28.9
3
7.9
15
39.5
Lebih dari cukup (70-79)
0
0.0
9
23.7
1
2.6
10
26.3
Baik (>80)
2
5.3
3
7.9
0
0.0
5
13.2
4
10.5
29
76.3
5
13.2
38
100.0
Kurang (<60)
2
5.3
14
36.8
2
5.3
18
47.4
Cukup (60-69)
1
2.6
4
10.5
2
5.3
7
18.4
Lebih dari cukup (70-79)
0
0.0
4
10.5
0
0.0
4
10.5
Baik (>80)
1
2.6
7
18.4
1
2.6
9
23.7
4
10.5
29
76.3
5
13.2
38
100.0
Nilai Raport Matematika
Total Nilai THB Matematika
Total
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan prestasi belajar Matematika Hasil uji korelasi Rank Spearman tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=-0.037, p>0.05) dan pendidikan ibu (r=0.210, p>0.05) dengan prestasi belajar matematika (nilai raport matematika siswa), tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=0.001, p>0.05) dan pendidikan ibu (r=0.279, p>0.05) dengan prestasi belajar matematika (nilai THB matematika siswa). Pendapatan keluarga tidak berhubungan nyata dengan nilai raport matematika (r=0.029, p>0.05) dan THB matematika (r=0.089, p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata pendapatan keluarga siswa kurang dari Rp 1000000,00 per bulan, nilai raport matematika siswa dalam kategori cukup, dan nilai THB matematika dalam kategori kurang. Menurut Mc Wayne (2004), penghasilan orangtua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak.
62
Hubungan antara Intelligensi Quotient (IQ) dengan Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan uji korelasi Pearson didapatkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata positif (r=0.490, p<0.01) antara IQ dengan nilai raport matematika, begitu pula sebaliknya antara nilai raport matematika dengan IQ. Terdapat hubungan yang nyata positif (r=0.409, p<0.05) antara IQ dengan THB matematika, begitu pula sebaliknya antara THB matematika dengan IQ. Menurut Hawadi (2001), semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Menurut Atmodowirjo (1993), salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah tingkat inteligensi (IQ). Tingkat inteligensi yang dimiliki siswa bersifat heterogen dan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Seseorang yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, maka akan memudahkan dalam belajar dan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Fatmala (2008), faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor fisiologi dan faktor psikologi, sedangkan faktor eksternal meliputi faktor lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor psikologis, prestasi belajar salah satunya dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan intelektual (IQ).