HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan empek-empek berdasarkan resep yang diperoleh dari peneliti pendahulu (Septriana, 1995) yakni den,gan menggunakan perbandingan antara ikan : tapioka : air
=
30 : 35 : 35 , namun hasil
menunjukkan formula tersebut menghasilkan empek-empek yang liat dan agak keras. Dari ke empat formula yang diujikan kepada 15 orang responden ditemukan bahwa formula yang disukai adalah resep dengan formula tiga yakni ikan : tapioka : air : garam =
15 : 10 : 5 : 1. Formula ini yang kemudian akan digunakan pada penelilian
selanjutnya. Dalam penelitian ini panjang empek-empek sekitar 10 cm berdiameter sekitar 3 cm. Perebusan yang dilakukan pada adonan dilakukan pada air mendidih, dengan silhu 100°C. Pada penelitian ini dilakukan percobaan perebusan selama 10 menit, 20 menit dan 40 menit. Perebusan selama 10 menit akan menghasilkan empek-empek yang bag,ian luarnya sudah matang tetapi bagian dalamnya masih mentah; sedangkan perebusan selama 40 menit akan menghasilkan empek-empek yang sudah matang sec,ara keseluruhan namun bagian permukaan empek-empek retak, sehingga menurunkan nilai estetika dari empek-empek tersebut. Menurut Komariah (1995),
perebusan empek-
empek dilakukan selama kurang lebih 20-90 menit. Lama perebusan empek-empek dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah lenjeran empek-empek dalam panci. Menurut Ward dan Clucas (1996), proses perebusan ikan merupakan salah satu teknik sterilisasi produk bahan pangan. Namun apabila proses perebusan tidak memberikan hasil yang sempurna
miaka masih mungkin terjadi pembusukan produk. Pada penelitian ini perebusan empekenlpek dilakukan selama 20 menit, dan diharapkan dapat menghasilkan empek-empek yang matang secara total, dengan permukaan yang masih tetap baik dan warna yang putih ku Sam. Penelitian suhu pada saat proses penggorengan dilakukan pada suhu 150°C dan 19O0C, sedangkan proses penggorengan sekitar 5 menit berdasarkan tingkat peruba han
warna atau menjadi kecoklatan
yang dapat diterima oleh konsumen. Proses
penggorengan dicirikan dengan kombinasi antara dehidrasi permukaan makanan dan pembentukan bagian kulit, pencoklatan di dalam lingkungan yang kering dan si~hu permukaan makanan mencapai di atas 100°C (Hoyem dan Kuale, 1977). Suhu titik didih minyak goreng adalah sekitar 163-196°C tergantung jenis produk yang digoreng (Weiss, 1970). Penggunaan kedua suhu tersebut ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil penilaian visual maupun rasa empek-empek, karena proses penggorengan pada suhu 150°C akan memerlukan waktu menggoreng yang lebih lama daripada pada suhu 190°C. Pada penelitian ini dipilih menggoreng pada suhu 190°C, karena lebih cepat dalam proses penggorengan serta lebih mudah untuk mempertahankan panas pada suhu tersebut sebab suhu 190°C merupakan suhu yang mendekati suhu titik didih minyak goreng (190°C 200°C). Pada penelitian awal terhadap lama penyimpanan, dilakukan penyimpaiian empek-empek pada suhu kamar, pembalutan tepung, refrigerator serta freezer. Setelah dua hari kemudian dilakukan pengamatan terhadap empek-empek tersebut. Pada penyimpanan hari yang ke 2 empek-empek yang disimpan pada suhu kamar millai mengalami perubahan fisik, yakni permukaannya benvarna kecoklatan dan keras. Pada
hari ke 3 dan ke 4 permukaan empek-empek mulai berlendir dan warna mulai menjadi kekuningan, dan mulai menimbulkan bau. Empek-empek ini sudah tidak dapat diltonsumsi lagi. Menumt Buckle et al., (1985), bau busuk tersebut disebabkan oleh dekomposisi anaerobik dari protein menjadi peptida atau asam amino yang da.pat terdegradasi lebih lanjut, membentuk hidrogen sulfida, amonia, metil sulfida, amin (clan senyawa-senyawa bau lainnya.
Pada empek-empek yang dibalut tepung sampai dengan
hari kedua masih dapat dikonsumsi, namun setelah disimpan selama tiga hari empekenipek yang dibalut
tepung sudah tampak mulai bau, berlendir dan benvarna
kekuningan, sehingga tampak adanya penurunan mutu. Pada hari ke empat empekenlpek pada suhu kamar dan balut tepung mulai rusak dan tidak dapat dikonsumsi lagi. Empek-empek yang disimpan di dalam refrigerator ataupun freezer hingga hari ke tujuh masih dalam kondisi baik dan dapat dikonsumsi walaupun secara fisik menjadi keras. Septriana (1995) menyatakan bahwa empek-empek yang disimpan di refrigerator akan berubah warna menjadi kuning pada penyimpanan hari ke 30, sehingga tidak dapat di konsumsi lagi
sampai dengan hari ke tujuh, empek-empek yang disimpan di dalam
frezzer memiliki kualitas yang sama dengan kualitas empek-empek yang disimpan dalam rej'lrigerator. Proses pembekuan atau pendinginan pada dasarnya mempunyai prirlsip yang sama yaitu mengurangi atau menghentikan sama sekali aktivitas penyebab pembusukan. Perbedaan kedua proses tersebut terletak hanya pada suhu akhir yilng digunakan. Suhu akhir yang digunakan dalam proses pendinginan adalah O°C, sedangltan pada proses pembekuan suhu akhir dapat mencapai -42°C.
Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan meliputi 1) analisis proksimat empek-empek pada se1:iap perlakuan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat serta kadar karbohidrat, 2) analisis asam amino lengkap y,ang bertujuan untuk melihat kandungan asam amino bahan-bahan, 3) uji mutu protein untuk mengkaji kualitas protein dari bahan penelitian yang ditunjukkan dengan daya ce:rna prlotein dan bioavailabilitas lisin, 4) uji organoleptik. mencakup pemeriksaan atas aro:ma, raisa, kekenyalan, tekstur, warna bertujuan untuk mengkaji tingkat preferensi panelis atas enipek-empek yang telah mengalami perlakuan penyimpanan dan pemasakan. Mutu Gizi Empek-empek
Kandungan zat gizi empek-empek untuk masing-masing cara penyimpanan dan c,ara pemasakan berdasarkan hasil analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Hasil Analisa Proksimat Empek-empek dengan Berbagai Cara Penyimpanan Cara Penyimpanan
I
Kadar Air
I
(%I
Kadar Abu
1
(Yo)
Kadar Lemak (%)
Kadar Protein (%)
~ a Karbohidrat
'
q
1
(9'0)
Kontrol
54,18"
1,85
5,61
15,84 "
22,52 "
Suhu Kamar
52,12
1,86
5,40 "
13,42 "
27,1941
Balut Tepung Refrigerator
53,24 " 51,66
1,86 1,85
539 537
14,06 14,49
I Freezer
1
I
I
50,52 "
1
1,76 a
I
1
5,65
I
1
14,79
I
1 I
25,24
I
I
Keterangan: hurufyang berbeda rnenunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Empek-empek dengan Berbagai Cara Pemasakan Cara Pemasakan
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar Protein (%)
~ a Karbohidrat (9'0)
3,85 14,81 53,82 " 1,82 " Kukus 1,85 7,28 " 14,22 " 50,87 Goreng Keterangan: hurufyang berbeda rnenunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
q
K:adarAir
Dari Gambar 3, tampak bahwa kadar air pada empek-empek yang digoreng 1e:bih reindah daripada empek-empek kukus. Hal ini terjadi karena pada empek-empek yang digoreng mengalami laju penguapan air yang lebih tinggi dari pada dikukus, karena silhu pemasakan dengan cara penggorengan memiliki suhu perlakuan yang lebih tinggi. Sel.ain itu~pemasakan dengan cara pengukusan akan menyebabkan uap air masuk ke dalam poripalri empek-empek jika kadar air di dalam empek-empek belum jenuh. Dari Tabel 5 , talnpak bahwa perlakuan cara pemasakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air di dalam empek-empek.
58.00 -- 56.00
5 .aL 0 2
*
Kontrol
54.00 52.00 50.00 48.00 46.00
El S. Kamar
B. tepung Refrigerator Freezer Kukus
Goreng
Gambar 3. Kadar Air Empek-empek
Dari Gambar 3 dan Tabel 5 juga tampak bahwa empek-empek yang disimpari di dalam freezer memiliki kadar air yang paling rendah sedangkan penyimpanan dengan balut tepung memiliki kadar air yang tertinggi (selain kontrol). Kadar air pada empekempek yang disimpan pada lemari pendingin (freezer dan refrigerator) akan memiliki kadar air yang lebih rendah karena terjadinya proses evaporasi seluler akibat kelembal~an relatif (RH) yang rendah di dalam lemari pendingin. Makin dingin proses pendingillan
mizka kadar air pada empek-empek juga akan makin rendah.. Dari analisa statistik tampak bahwa perlakuan penyimpanan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air pada empek-empek (Syarief dan Halid 1991). Kadar air empek-empek tergantung pada jumlah tepung yang digunakan, karena granula pati dapat membengkak luar biasa jika tergelatinisasi, dengan menyerap air. Kiirena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap airnya sangat besar (Muchtadi 1993). Pembalutan tepung akan mengurangi laju evaporasi dari empek-empek, apabila dibandingkan dengan kontrol nampak bahwa perlakukan penyimpanan memiliki konsep mengatur atau menekan laju evaporasi tlari bahan, penurunan kadar air empek-empek di dalam freezer (50,52%) diduga disebab'kan karena selama masa penyimpanan di dalam ruang dingin tersebut terjadi perpindahan panas dalam ruang pendingin, yaitu dari empek-empek menuju ke evaporator yang membawa uap air; sehingga akan terjadi proses pengeringan (dehidrasi) pada produk yang pada akhirnya akan mengubah warna dan nilai gizi bahan pangan beku sela.ma penyimpanan (freezer burn). Besarnya kadar air akan mempengaruhi daya simpan produk, makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroba sehingga produk yang disimpan dapat tahan larna. Semakin tinggi kadar air maka makin cepat mikroba berkembang biak, sehingga proses pembusukan berlangsung lebih cepat (Buckle 1985).
Kadar Abu
Pada Tabel 5, tampak bahwa secara statistik perlakuan pemasakan memberikan pengamh yang signifikan terhadap kadar abu pada empek-empek, namun pada Gambar 4 tidak tampak adanya suatu pola tertentu bahkan pada kontrol dan freezer yang dikukus talnpak ada suatu kejanggalan, keadaan ini mungkin disebabkan karena sampel y,sng kurang homogen pada saat pembuatan adonan. Situasi kedua data ini yang menyebabkan terjadinya kesimpulan bahwa secara statistik perlakuan pemasakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar abu.
-
1.95 1.90 1.85 1.80 a 1.75 2 1.70 a 1.65 1.60 1.55
Kontrol
S.Kamar B. tepung Refrigerator $ Freezer
2
Kukus
Goreng
Gambar 4. Kadar Abu Empek-empek
Keadaan yang hampir sama juga terjadi apabila dilakukan analisa terhadap perlakuan penyimpanan,
tampak bahwa
secara statistik penyimpanan
dengan
menggunakan freezer berbeda secara signifikan dengan keempat perlakuan lainnya, namun apabila diperhatikan pada Gambar 4 tampak bahwa perlakuan penyimpanan pada freezer yang dikukus menyebabkan terjadinya perbedaan ini. Daging ikan mengandung beberapa mineral penting seperti Fe, Iod, Se, Zn, dan Ca (H:arli 1996). Kandungan mineral
empek-empek berasal dari daging ikan dan
penambahan garam (NaC1) yang berguna sebagai pemberi citarasa. Kadar abu diantara setiap perlakuan sama kecuali pada penyimpanan dalam freezer. Hal ini di duga adanya pelepasan unsur mineral akibat terjadinya proses pembekuan. Perlakuan menggoreng akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar abu pada empek-empek; ha1 ini mungkin disebabkan dengan meningkatnya kandungan minc~al yang berasal dari penyerapan minyak goreng. K,a~darLemak Dari Gambar 5 dan Tabel 5 tampak bahwa perlakuan pemasakan memberikan pengaruh yang amat signifikan terhadap kadar lemak pada empek-empek. Kadar lernak pada empek-empek yang digoreng lebih tinggi daripada empek-empek rebus. Hal ini dapat dipahami karena pada saat dilakukan proses penggorengan empek-empek, akan terj
karr~araktivitas mikroorganisme tetap tinggi, sehingga lemak tersedia akan bereaksi dens;an unsur-unsur kimiawi lainnya.
8.00
3 6.00 V
x
g
4.00
3
2.00
L
0
Y
Bs. Kamar
B. Tepung Refrigerator
0.00
Kukus
Goreng
Gambar 5. Kadar Lemak Empek-empek K:atlar Protein
Dari Gambar 6 dan Tabel 5 tampak bahwa perlakuan pemanasan dan penyimpaiian meripunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein. Apabila dilakultan pertlandingan dengan kontrol maka tampak bahwa terjadi penurun kadar protein bagi enipek-empek yang telah mengalami proses menyimpanan. Keadaan ini menunjukltan bahwa telah terjadi suatu penurunan mutu protein atas empek-empek yang mengalami pen;rimpanan. Dari berbagai macam cara penyimpanan yang ada tampak batlwa perlzkuan penyimpanan pada freezer yang cukup baik dalam mempertahankan jumlah kanclungan protein pada empek-empek. Semakin rendah temperatur maka semakin renc ah tingkat kehilangan protein. Empek-empek yang disimpan pada suhu kamar mengalami penurunan kadar prolein yang tertinggi, diduga ha1 ini terkait dengan kadar air yang tinggi pada teknik pen;rimpanan ini sehingga terjadi peningkatan laju degradasi protein.
B. Tepung Refigerator
Kukus
Goreng
Gambar 6. Kadar Protein Empek-empek Secara alami, bahan pangan mentah menyediakan enzim di dalam diri kolnlponennya, bagi proses pembongkaran nutrisi yang tidak dapat dicerna oleh konsumennya. Beberapa teori menyatakan bahwa proses pemanasan memberilkan pen:qaruh yang negatif terhadap nilai nutrisi suatu bahan pangan. Dalam suatu studi yang dilatukan oleh Hendrik tentang makanan kucing yang menggunakan bahan dasar ikan, dilretahui bahwa tidak terdapat perbedaan asupan makanan dari berbagai macram perlakuan pemanasan terhadap makanan kucing. Namun demikian koefisien daya cerna asilrn amino lebih tinggi pada bahan pangan yang tidak dipanaskan, dan koefsien ini merurun seiring dengan naiknya suhu pemanasan dan lamanya waktu pemanasan. Daya cerr a arginin, histidin, alanin, prolin dan glisin meningkat pada pemanasan tahap awal(5 merit pertama), kemudian menurun seperti halnya asam amino lainnya. Keadaan ini terjadi karena perlakuan pemanasan akan membentuk terjadinya protein cross-linka,ges
(H endrik, Emmens, 1999; Fowler. 1997).
Kiadar Karbohidrat Jumlah karbohidrat yang terdapat pada empek-empek yang mengalami proses penyimpanan memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi dari pada empek-empek kontrol. Pada empek-empek yang disimpan pada ruang berpendingin (refrigerator Qan freezer) kadar karbohidrat yang terkandung lebih rendah dari penyimpanan pada suhu kamar namun lebih tinggi dari kontrol. Keadaan ini diduga adanya variansi pizda karbohidrat yang disimpan dengan berbagai penyimpanan. Perlakuan pemanasan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar karbohidrat pada empek-empek. Harmet G.S menyatakan bahwa, perlakuan pendinginan atau pembekuan atas balian berpati akan menyebabkan terjadinya perlambatan proses pencernaan pati.
Kontrol
/ Kukus
S. Kamar 6. Tepung lDl Refrigerator Freezer
Goreng
Gambar 7. Kadar Karbohidrat Empek-empek Chaudari (1999) menyatakan bahwa perlakuan pemberian uap panas terhadap pati tidak mempunyai pengaruh fisiologis terhadap komponen pada bahan pangan; namun perlakuan tersebut akan meningkatkan kadar serat pada bahan pati tersebut. (Chaudari, 1999).
1
Kiadar Serat Kasar Pada Tabel 6 dan Gambar 8 tampak bahwa proses penyimpanan dan pernasalcan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pada empek-empek. Namun dari data yang ada tid.ak tampak adanya suatu pola atas perlakuan tersebut, tampak bahwa perlak~~an penyimpanan beku memberikan pengaruh yang berbeda dengan ke empat perlakuan lainnya.
Kontrol
B S . Kamar
6.Tepung Refrigeratolr
Kukus
Goreng
Gambar 8. Kadar Serat Kasar Empek-empek Perlakuan penggorengan juga menyebabkan terjadinya penurunan kadar serat pada enlpek-empek. Pemasakan dapat menyebabkan terjadinya perusakan bentuk dari st:rat menjadi bentuk lainnya.
Tabel 6. Persentase Kadar Serat Kasar Empek-empek dengan berbagai Penyimpanan Cara Penyimpanan . -
I
Kontrol
Kadar Serut PA) 0,48 0,49 0,47 ab 0,48 0,45 "
Suhu Kamar Balut Tepung Refrigerator Freezer
Keterangarr: hurufyang berbeda menuniukkan hasil yang berbeda nyata @<0,05)
Tabel 7. Persentase Kadar Serat Kasar Empek-empek dengan Berbagai Pemasakan Kadar Serat PA) 0,48 0,46 "
Cara Pemasakan
I
Kukus Digoreng -
I
I
Krtcrarrgatr: Iittrufyang berheda menunlukkan harrl yang berbeda nyara (pc:0,05)
Kontribusi Empek-empek terhadap Kecukupan Energi Tabel 8 menunjukkan komposisi kontribusi energi dari 100 gram empek-empek berdasarkan kandungan komponen zat gizi utama yang ada di dalamnya. Tabel 8. Kontribusi Energi Empek-empek -
:Perlakuan
Protein
Lemak
Karbohi drat
Protein
Lemak
Karbohi drat
Total
15,84
5,61
22,52
63,36
50,49
90,08
203,93
14,79
5,65
25,24
59,16
50,85
100,96
210,97
14,81
3,235
25,77
59,24
34,65
103,08
196,97
14,22
7,28
25,69
56,88
65,52
102,76
225,16
-
Kontrol
Energi yang dihasilkan (kkal)
Zat Gizi (%)
-
Freezer -
Kukus -
Goreng -
Catatan :
* Wanita usia 20 s/d 45 tahun 2200 Kkal * * Pria usia 20 s/d 45 tahun 2800 Kkal
Pers'endim kecukupan erkergi
9,27 * 7,:58 ** 9;58 * 7,:53 ** 6:68 * 5,:,5 ** 10,23 * 8,04 **
Maaf, halaman ini pada sumber aslinya memang tidak ada Sorry, this page is not available in the original source
Tingkat pencukupan energi yang tampak pada Tabel 9 dari empek-empek lebih ticlggi dibandingkan dari bahan pangan lainnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa jika telah mengkonsumsi jajanan empek-empek maka energi yang telah dikonsumsi sudah seitara dengan mengkonsumsi nasi dengan lauk tempe. Pada masyarakat Palembang un~umnya,konsumsi empek-empek dapat dianggap sebagai makanan pengganti nasi, sehingga apabila sesudah mengkonsumsinya dapat dianggap cukup kenyang dan tidak perlu mengkonsumsi nasi.
Kandungan Asam Amino Empek-empek Berdasarkan hasil analisa mengunakan HPLC kandungan asam amino esensial enipek-empek diketahui bahwa, secara keseluruhan perlakuan penyimpanan dan pemasakan cenderung mengalami penurunan kadar asam amino terutama pada empekenlpek yang digoreng. Pada valin kandungan tertinggi terjadi pada empek-empek yang disimpan pada wlhu kamar, sehingga mungkin dapat dikatakan pada empek-empek yang simpanan taiipa proses atau perlakuan tertentu maka akan terjadi peningkatan kandungan valin, setelah mengamati bahwa pada perlakuan lainnya tidak terjadi perubahan ataupun peningkatan kadar valin. Jadi penyebab terjadinya signifikan perlakuan pada valin adalah akibat clata yang ditimbulkan dari penyimpanan pada suhu kamar. Pada ke empat asam amino selain valin tampak adanya kesamaan pola akibat perlakuan penyimpanan yakni kandungan tertinggi pada perlakuan penyimpanan freezer kemudian diikuti dengan refrigerator
dan balut tepung; sedangkan perlaki~an
penyimpanan pada suhu kamar mempunyai nilai yang terendah. Pada ke empat asam amino selain valin tampak adanya kesamaan pola akibat perlakuan penyimpanan yakni
kandungan tertinggi pada perlakuan penyimpanan freezer kemudian diikuti dengan refrigerator dan balut tepung; sedangkan perlakuan penyimpanan pada suhu kalnar mempunyai nilai yang terendah. Tabel 10. Kandungan Asam Amino Esensial Empek-empek (gr/lOOgr)
Kontrol
t
Kamar
B. Tepung
r
Refrigerator
Goreng Kukus Goreng Kukus Goreng Kukus Gorena ., Kukus Goreng
0,556 0,559 0,556 0,556 0,557 0,557 0.556 0,558 0,557
1 1
1 1
0,266 0,266 0,262 0,267 0,263 0,268 0.263 0,267 0,262
1 1
0,834 0,834 0,818 0,836 0,819 0,839 0.823 0,838 0,822
0,739 0,741 0,730 0,742 0,731 0,745 0.730 0,744 0,729
1 1
1 1
0,424 0,424 0,423 0,423 0,423 0,426 0,424 0.424 0,423 0,423 s
-
-
Tabel 10. Kandungan Asam Amino Esensial pada Empek-empek (lanjutan)
Kontrol
1
S I
B. Tepung Freezer Refrigerator
Goreng Kukus Goreng Kukus Gorenn Kukus Goreng Kukus Gorena
0,268 0,269 0,267 0,270 0,269 0,270 0,267 0,269 0,267
0,360 0,360 0,355 0,361 0.356 0,362 0,355 0,362 0,355
0,404 0,407 0,404 0,403 0,404 0,407 0,404 0,406 0.403
1 1
0.1 05 0,105 0,104 0,105 0.1 05 0,105 0,104 0,105 0.1 04
0,475 0,474 0,472 0,477 0,475 0,476 0,475
Selain itu tidak tampak adanya perbedaan akibat pengaruh proses pemasaltan walaupun secara statistik tampak ada pengaruh ha1 ini mungkin terjadi akibat rendahinya macam perlakuan pemasakan.
Kandungan Lisin, Daya Cerna Protein Bioavailabilitas Lisin pada Empek-empek
K;adar Lisin Berdasarkan uji statistik sebagaimana tampak pada Lampiran 10, tampak bal-lwa perlakuan penyimpanan, pemasakan serta interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat signifikan ( a = 0,O 1) terhadap kadar lisin dalam 1OOgr saimpel. Uji LSD menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kadar lisin yang signifiltan (a=0,05) antara setiap perlakuan. Rata-rata kadar lisin terendah terjadi pada perlakultan penyimpanan pada suhu kamar (0,82%), kemudian balut tepung (0,82%), refrigers~tor (0.,83%), freezer dan kontrol (0,84%) merupakan perlakukan yang memiliki rata-rata kadar lisin tertinggi.
I
L
Kukus
S.Kamar B. Tepung Refrigerator Freezer
Goreng
Gambar 9. Kadar Lisin Empek-empek
Tabel 11. Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin dengan Berbagai Penyimpanan Cara Kadar Lisin Daya Cerna Bioavalabilitas Penyimpanan (%) Protein Lisin (%) (%) Kontrol 0.84 c 90,49 " 85,84 " I
Suhu Kamar
0.82 "
81,55 "
77,12 "
Balut Tepung
0.82 "
83,96
78,22
Refrigerator
0.83
86,26 "
79,OO
Freezer
0.84 c
87,16
80,51
Keterangan: hurufyang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
I
Tabel 12. Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin dengan Berbagai Pemasakan Empek-empek Kadar Lisin Daya Cerna Bioavalabilita Cara Pernasakan I (%) Protein (%) s Lisin (%) ( . . . . I 0,84 " 86,47 Kukus 82,62
/ Digoreng
I
I
I 1
I 1
0,82
I
1
I 1
85,30 a
77,66 a
1
Keterangan: hurufyang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata @<0,05)
Tabel 13. Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Pada Setiap Perlakuan Empek-empek Cara Penyimpanan
Kontrol Suhu Kamar Balu Tepung Refrigerator Freezer
Kadar Lisin Kukus 0.843 0.834 0.836 0.838 0.839
I
Goreng 0.834 0.818 0.819 0.822 0.823
Dava Cerna Protein Kukus 90.49 82.00 85.03 86.71 88.13
I
Goreng 90.49 81.11 82.91 85.81 86.19
1
Bioavailabilitas - . . Lisin Kukus Gorenp: 83.19 88.50 74.73 79.5 1 80.64 75.80 76.56 81.45 78.02 83.00
I
Dari Gambar 9 tampak bahwa kontrol dan freezer memiliki kandungan lisin yang lebih tinggi daripada empek-empek dengan perlakuan penyimpanan lainnya. Pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mengawetkan, mengemas dan menyimpan. Selama proses pengolahan pangan kerusakan gizi terjadi secara berangsur-angsur. Perubahan zat gizi ini dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengolahan (Karmas, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa selama proses penyimpanan telah terjadi suatu penurunan atau kehilangan lisin akibat terjadinya suatu proses biokimiawi. Di samping itu juga tampak bahwa empek-empek yang disimpan pada suhu rendah mengalami tingkat kehilangan lisin yang lebih rendah dibandingkan dengan empek-empek yang disimpan pada suhu kamar. Situasi ini terbalik dengan kadar air dimana penyimpanan pada suhu rendah altan meningkatkan jumlah air yang hilang. Empek-empek yang mengalami proses penggorengan memiliki kandungan 11sin yang lebih rendah dari pada empek-empek rebus. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pemanasan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan suhu yang relatif tinggi altan mengubah sebagian dari lisin menjadi bentuk lain sehingga jumlah lisin yang terkandung akan menyusut. Menurut Hendriks dan Emment et all (1999), yang melakukan analisa dampak perlakuan pemanasan terhadap protein pada makanan kucing, ditemukan bahwa tidak terjadi penurunan kandungan konsentrasi asam amino pada makanan akibat perlakilan tersebut; juga tidak ada perubahan yang signifikan atas tingkat reaktivitas dari Ljsin akibat pemanasan tersebut.
Daya Cerna Protein
Daya cerna protein makanan adalah jumlah protein makanan yang dapat diserap tulbuh terhadap protein yang dikonsumsi, namun tidak semua protein makanan da.pat dicerna dan dimanfaatkan tubuh, inilah yang mengambarkan mutu protein. Berdasarlkan analisa daya cerna dalam bahan serta empek-empek dengan menggunakan Metode In Vitro diketahui bahwa perlakuan penyimpanan dan pemasakan mempunyai pengaruh terhadap daya cerna. Dari Tabel 11, 12 dan Gambar 10, tampak bahwa daya cerna protein pada empek-empek kontrol lebih tinggi daripada empek-empek yang mengalami perlakuan penyimpanan.
95.00 A
5 Q
90.00
f
85.00
0
S. Kamar B. Tepung ~II Refrigerator
o
2 80.00 n 75.00
Kukus
Goreng
Gambar 10. Daya Cerna Protein
Keadaan ini berarti bahwa perlakuan penyimpanan menyebabkan terjadinya penuruiian tingkat daya cerna protein. Penyimpanan pada suhu rendah mempunyai tingkat d,aya ce:rna yang lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu kamar; tampak juga baf-lwa makin dingin suhu penyimpanan maka daya cerna protein makin tinggi. Sedangltan pemasakan yang berulang dapat menurunkan tingkat daya cerna. Menurut Hendriks et all
(1 999), walaupun tidak terdapat perbedaan kandungan lisin dalam makanan, naniun koefisien daya cerna pada makanan yang tidak dipanaskan lebih tinggi daripada y,sng dipanaskan, dan penumnan koefisien daya cerna ini menurun selaras dengan tinggiinya suhu pemanasan dan lamanya waktu pemanasan.
Penumnan daya cerna tersebut
mungkin disebabkan karena proses pemanasan pada setiap tahap suhu dan waktu membentuk suatu formasi protein cross-linkage. Cross-linking ini menurunkan daya cerna protein dengan cara mencegah terjadinya penetrasi enzim atau dengan menutup beberapa fungsi enzim yang ada.
Bioavailabilitas Lisin
Pada Tabel 11,12 dan Gambar 11 tampak bahwa kontrol memiliki tingkat bioavailabilitas yang tertinggi; sedangkan perlakuan penyimpanan menyebabltan terjadinya penurunan bioavailabilitas lisin. Penyimpanan pada suhu rendah manlpu mempertahankan tingkat bioavailabilitas
lisin dibandingkan penyimpanan pada suhu
kamar. Tampak bahwa makin rendah suhu penyimpanan maka bioavailabilitasnya makin tinggi. Dari data tersebut juga tampak bahwa perlakuan pemasakan atau pemanasan secara berulang-ulang juga menumnkan tingkat bioavailabilitas lisin. Pada penelitian ini bioavailabilitas lisin turun antara 6% hingga 14% tergant~lng dari perlakuan yang diberikan; demikian juga halnya dengan daya cerna protein, selmuanya menunjukkan bahwa empek-empek yang mengalami pemanasan mengalami persentase penumnan yang lebih tinggi. Empek-empek yang disimpan dengan pada suhu kamar mempunyai tingkat penurunan yang lebih tinggi diikuti dengan teknik pembalutan tepung, dan penurunan paling lambat pada penyimpanan dengan menggunakan freezer .
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rimbawan (1992) yang menunjukkan bahwa pemanasan pada otot ikan selama 6 jam pada suhu 160°C mengakibatkan konsentrasi sistin, leusin, asam glutamat, prolin serta lisin menurun lebih dari 10% dibandingkan nilai pada bahan mentahnya. Tanaka, Okubo dan Suzuki (1980) menyatakan bahwa bioavailabilitas lisin pada ikan Mackarel akan tumn sebanyak 15% - 20% apal~ila dilakukan pemanasan dengan suhu 120°C selama 45 menit.
-
90.00
1
80.00
A
s
tmn 85.00
@ S .Kamar
a 6. Tepung
m
; .- 75.00
M I Refrigerator
m
iz
70.00
65.00 Kukus
Goreng
Gambar ll. Bioavailabilitas Lisin Empek-empek
Menurut Farkye (2001), proses browning dalam pengolahan pangan berprotein merupakan suatu reaksi non-enzymatik antara asam amino dalam bahan pangan dengan karbohidrat yang tersedia melalui proses reaksi Mailard, yang kemudian berdampak dengan terjadinya penurunan kualitas protein dalam bahan. Pada penelitian ini filet ilcan yang digunakan mengandung karbohirat yang amat rendah; namun karena dibutuhlcan adanya suatu perekat guna membentuk empek-empek maka ke dalam filet tersebut diberi tepung tapioka dan air. Lebih lanjut Farkye menyatakan bahwa kadar air yang tinggi dalam bahan pangan ataupun ruang penyimpanan dapat mendorong atau meningkatlcan laju reaksi Mailard yang ada. Oleh karena itu pemberian tepung tapioka dan air pada filet
unituk membentuk empek-empek berarti menyediakan situasi yang amat menunj,ang teijadinya reaksi Mailard apabila situasi lain menguntungkan. Perebusan pada adonan mentah dengan suhu air 100°C merupakan proses pembentukan reaksi Mailard y,ang pertama kali, sehingga apabila dilakukan perbandingan antara kadar lisin pada bahan ikan, adonan mentah dan adonan matang (empek-empek); maka tampak bahwa terj~adi penurunan jumlah lisin per 100 gr bahan. Hal ini dapat dimaklumi karena filet ikan yang mengandung lisin dicampur dengan tapioka yang miskin lisin. Kadar lisin pada adonan mentah dan matang hampir sama namun, dayacerna protein pada empek-empek menurun secara drastis dibandingkan dengan adonan mentah, keadaan ini mungkin disebabltan mulai terjadinya reaksi Mailard, yang salah satu indikasi fisiknya adalah empek-eml~ek tersebut benvarna lebih coklat dibandingkan dengan adonannya. Namun apal~ila memperhatikan tingkat bioavailabilitasnya maka tampak bahwa bioavailabilitas empekempek yang digoreng akan menunjukkan angka yang terendah dibandingkan dengan kedua lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses penggorengan (pemanasan dengan suhu tinggi) akan menurunkan bioavailabilitas lisin. Bioavailabilitas pada adonan dan ernpek-empek nampak hampir sama sehingga dapat dikatakan bahwa perebusan pertama tidak menurunkan tingkat bioavalaibilitas karena suhu yang digunakan tidak cukup tinggi untuk menyebabkan terjadinya perusakan komponen kimiawi. Apabila dilakukan perbandingan antara perlakuan penyimpanan maka tampak bahwa perlakukan freezer adalah perlakuan yang mengalami kerusakan terendah dibandingkan dengan kontrol, baik dari sudut pandang kadar lisin, dayacerna protein ataupun bioavalaibilitas lisin; ha1 ini terjadi karena suhu di tempat penyimpanan serta kandungan air dalam bahan yang rendah menghambat terjadinya reaksi Maillard ataupun
reisksi dekomposisi akibat proses mikroorganisme. Hal sebaliknya terjadi pada pe:nyimpanan suhu kamar yang sangat tergantung pada
proses aliran udara sebagai
sxrana pengatur suhu di sekitar tempat penyimpanan. Perlakuan penggorengan juga
secara keseluruhan menunjukkan terjadi:nya
penurunan kadar lisin, dayacerna protein serta bioavailabilitas lisin. Dari semua parameter pengamatan atas kualitas protein, yakni persentase dayacerna protein, persentase bioavalabilitas lisin, kandungan lisin dalam 100 gr bahan kering, parameter menunjukkan hasil yang sama yakni perlakuan penyimpanan
sernua dengan
menggunakan freezer mempakan cara penyimpanan yang terbaik, kemudian perlakuan refrigerator dan yang terburuk adalah penyimpanan dengan cara di suhu kamar, nanlun kualitas semuanya berada di bawah kontrol. Demikian juga dengan perlakulsan penggorengan yang akan menurunkan kualitas protein yang terkandung di dalam filet ikan. Keadaan ini semua terkait dengan kondisi yang mempengaruhi terjadinya proses reaksi Maillard yakni suhu, kadar air, pH, serta adanya pemberian unsur gula yang terkandung di dalam komponen tepung tapioka.
Mutu Organoleptik
W arna Peubah warna dipengaruhi oleh perlakuan pemasakan secara signifikan. Keadaan ini dapat dipahami karena pada proses penggorengan terjadi proses browning (y;zng merupakan salah satu indikasi terjadi reaksi Maillard) sehingga bagi beberapa orang falaor warna merupakan preferensi mereka, serta juga terjadi penyerapan aroma yang
Tabel 14. Modus dan Persentase Kesukaan terhadap Sifat Karakteristik Organoleptik Empek-empek dengan berbagai Cara Penyimpanan
Kontr 01
r
Suhu Kamar
Balut Tepung Refrigerator
Warna
Tekstur
Kekenyalan
Aroma
Rasa
Suka (5 1.67%) ab Netral (28.33%) " Agak Suka (35.00%)"~
Suka (45.00%) abc Agak Suka (30.00%) " Agak Suka (33.33%)bc
Suka (48.33%) bc Netral (35.00%)
Suka (38.33%) Suka (28.33%) ab
Suka (40.00%) bc
Suka (28.33%)bC
Agak Suka (31.67%)"
Suka (45.00%)ab
Suka (31.67%)ab
Suka (48.33%)ab
Suka (38.33%)bc
)"
Suka Suka Suka Suka (33.33%) " (40.00%) (41.67%)~ (46.67%) " Ketera~qgan:hurufyang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata @<0,05) Freezer
Suka (36.67%) " Agak Suka (40.00%)"~ Agak Suka (35.00%)"bc Suka (51.67%) "
Keseliiruh an St~ka (41.67%) Netral (31.67%) St~ka (35.00%)"~ St~ka (41.67%) bc )"
St~ka (41.67%) "
Tabel 15. Modus dan Persentase Kesukaan terhadap Sifat Organoleptik Empekempek dengan berbagai Cara Pemasakan -
Cara Pemasakan Kukus Gorerig
Warna Suka (32.67%) " Suka
Tekstur Suka (43.33%) " Suka
Kekenyalan Suka (38.67%) " Suka
Aroma Suka (37.33%) Suka
Rasa Suka Suka
Keiferangan:huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata @
terkandung dalam minyak goreng ke dalam empek-empek dan bereaksi dengan unlsur kiimiawi yang terkandung di dalamnya. Perlakuan penyimpanan yang cukup terpilih adalah teknik penyimpanan freezer dan yang paling tidak disukai adalah yang disimpan pada suhu kamar, sedangkan empekenipek yang telah digoreng lebih merupakan preferensi panelis karena setelah proses penggorengan suatu rasa gurih akan muncul. Hal ini diduga oleh reaksi Mailard yang merupakan reaksi antara gula pereduksi dalam bahan pengikat dengan gugus amino dalam ikan. Ketaren (1986), menyatakan bahwa selama proses menggoreng berlangsilng maka sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan bagian luar sehingga lapisan luar mengisi ruang. Hal tersebut membuat beberapa orang yang menilai bahwa empek-emlpek yang belum digoreng terasa bau anyir atau bau ikan yang tajam akan memilih empekenipek yang telah digoreng. Warna empek-empek yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan mailard akibat panas dari minyak goreng sehingga protein dalam bahan pangan terdegradasi.
Menurut Anwar (1986), reaksi pencoklatan dapat memberikan flavor
tertentu pada bahan pangan yang dapat mempengaruhi daya terima. Reaksi pencoklatan dalam pembuatan empek-empek terjadi pada saat proses penggorengan. Te!kstur dan kekenyalan Proses penyimpanan mempunyai pengaruh terhadap tekstur empek-empek, ha1 ini sesuai dengan hasil uji organoleptik; namun proses penggorengan sama sekali tidak berpengaruh terhadap tekstur empek-empek. Tekstur empek-empek dipengaruhi oleh cara penyimpanan karena penyimpanan yang dilakukan pada freezer dan refrigerator alkan menyebabkan terjadinya perubahan kadar air pada empek-empek serta terjadiiiya
pembekuan air intra seluler di dalam empek-empek. Keadaan ini akan menyebablkan tel-jadinya autolisis, denaturasi protein, dan dehidrasi yang pada selanjutnya akan dapat mempengaruhi rasa dan aroma empek-empek. Tekstur suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perlakuan penyimpanan umumnya tidak berpengaruh terhadap rasa, ha1 ini terjadi mungkin karena denaturasi bahan pangan yang terjadi belum mencapai tahap perusaltan kolmponen kimiwi yang berdampak pada timbulnya rasa-rasa yang tidak dapat ditolerir oleh manusia, namum proses penggorengan. Perlakuan penyimpanan memberi pengaruh pada kekenyalan empek-empek, nanlun tidak demikian halnya dengan perlakuan penggorengan. Hal ini terjadi selama proses penyimpanan telah terjadi perubahan tekstur dari empek-empek yang kemudian secara fisik mempengaruhi kekenyalan dari empek-empek tersebut. Aroma Peubah aroma dipengaruhi oleh faktor penyimpanan secara sangat signifikan, seclangkan pada empek-empek yang direbus, faktor perlakuan penyimpanan ini tidak memberikan pengaruh. Perlakuan pemanasan memberikan pengaruh yang signifiltan terutama pada empek-empek yang disimpan dengan menggunakan refrigerator. Kelezatan suatu makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Aroma pada empekempek amat dipengaruhi oleh teknik penyimpanan
dan proses penggorengan
(pemasakan), ha1 ini terjadi karena teknik dan lama proses penyimpanan arnat berpengaruh terhadap proses kimiawi yang terjadi di dalam empek-empek sehingga setiap perlakuan memberikan dampak yang berbeda terhadap reaksi kimiawi yang terjadi (Sloekarto 1985). Aroma tampak yang paling dominan diduga berasal dari ikan. Menurut
de: Man (1997), bahwa ikan mengandung gula dan asam amino yang mungkin terli.bat dalam reaksi Maillard. Rasa
Peubah rasa secara umumnya tidak dipengaruhi oleh faktor penyimpanan, nanlun pada empek-empek yang di rebus dimana belum terjadi pengaruh aroma minyak akibat penggorengan maka faktor cara penyimpanan memberikan pengaruh yang signifik:an. Secara umum perlakuan penggorengan tidak memberikan pengaruh yang signifilkan terhadap rasa empek-empek; namun pengaruh proses penggorengan terjadi pada empekempek yang disimpan pada suhu kamar dan freezer. Kuah Cuka Pada umumnya konsumen empek-empek mengkonsumsi empek-empek dengan menggunakan penyendap yang berupa kuah cuka. Kuah cuka dibuat dari berbagai bah~an. Gula merah atau gula aren, cabe rawit dan bawang putih yang dihaluskan semua ini merupakan bahan baku dominan pada cuka empek-empek, sehingga sifat-sifatiya mt:mpengaruhi rasa cuka empek-empek. Umumnya cuka mempunyai rasa asam, peclas, manis, aroma, rasa pahit, warna dan kekentalan. Warna coklat atau kehitaman pada gvla berasal dari reaksi karamelisasi dan reaksi mailard pada saat pemasakan nira menjadi gula merah, yang merupakan reaksi browning non enzimatis. Khusus gula merah dari tanaman aren, variasi warnanya adalah dari coklat sampai coklat tua sekali (Sulaeman, 1992). Selain bersumber dari gula merah, flavor cuka empek-empek juga bersumber dari seinyawa-senyawa volatil dalam cabe rawit dan bawang putih yang digunakan seba.gai bumbu dalam kuah cuka.
Nilai pH kuah cuka empek-empek memiliki keasaman yang lebih rendah (4,38'%). Keasaman kuah cuka dapat memberi pengaruh pada kesehatan gigi, seperti sennua makanan yang mempunyai pH kurang dari 5,5
karena menurut Heriandi (195)3),
penumnan pH akan menyebabkan demineralisasi email gigi yang selanjutinya menyebabkan karies gigi. Menurut Septriana (1995) bahwa, total gula pada kuah cuka yang berasal tlari Pa.lembang 60%, menunjukkan bahwa gula aren mempakan bahan baku dominan p'ada pembuatan cuka empek-empek.
Kadar gula yang tinggi bersama kadar asam tinggi
(pH rendah) dapat mempengaruhi kesehatan gigi,
dimana sukrosa dari sisa makainan
yang terdapat dalam plak, akan diubah oleh oleh glikosiltransferase menjadi asam laktat. Asam laktat yang terbentuk menyebabkan penurunan pH, dan jika pH kurang dari batas 5,5 akan menyebabkan demineralisasi email gigi yang selanjutnya menyebabkan caries
pada gigi.