HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Sulawesi Utara Sulawesi Utara terletak di jazirah Pulau Sulawesi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota, 100 kecamatan, dan 1196 kelurahan/desa. Dilihat dari kondisi geografisnya, Sulawesi Utara terletak pada 0°15’-5°34’ Lintang Utara dan 123°7’127°10’ Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi, Samudra Pasifik, dan Republik Filipina (sebelah utara), Laut Maluku (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan) dan Gorontalo (sebelah barat). Sulawesi Utara beribukota di Manado. Luas wilayah Sulawesi Utara adalah 15 364.08 km2
yang meliputi 9 kabupaten (Boolaang Mongondow, Bolaang
Mongondow Utara, Minahasa, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kepulauan Sitaro, dan Minahasa Tenggara) serta 4 kota (Manado, Bitung, Tomohon, dan Kotamobagu). Jumlah penduduk Sulawesi Utara pada tahun 2007 adalah 2 186 810 jiwa. Penduduk Sulawesi Utara terdiri atas Suku Minahasa (40%), Sangir (19.8%), Mongondow (11.3%), dan Gorontalo (7.4%). Bahasa yang digunakan di Sulawesi
Utara
adalah
Bahasa
Minahasa
(Toulour,
Tombulu,
Tonsea,
Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan, dan Bantik), Bahasa Sangihe Talaud (Sangihe Besar, Siau, Talaud), Bahasa Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang). Agama yang dianut oleh penduduk Sulawesi Utara adalah Protestan (65%), Islam (28.4%), Katolik (6%), dan lainnya (0.6%). Pada tahun 2006, total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Utara mencapai 13.53 triliun rupiah. Kontribusinya berasal dari sektor pertanian sebesar 2.77 triliun rupiah atau 21.8% dari total PDRB diikuti sektor jasa sebesar 2.08 triliun rupiah (16.3%) kemudian sektor bangunan sebesar 1.98 triliun rupiah atau sekitar (15.6%) dari total PDRB. Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Utara pada tahun 2008 adalah 845 000 rupiah. Komoditas unggulan Sulawesi Utara di bidang pertanian adalah kentang, wortel dan nanas. Komoditas unggulan di bidang perikanan adalah industri ikan tuna, cakalang dan layang. Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber-daya ekonomi seperti wisata alam, wisata bahari, dan wisata budaya.
Gorontalo Gorontalo adalah provinsi ke-32 berdasarkan Undang-Undang nomor 38 tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000. Gorontalo terdiri atas 6 kabupaten/kota, 65 kecamatan, dan 577 desa/kelurahan. Dilihat dari kondisi geografisnya, Gorontalo terletak antara 0°30’- 1°0’ Lintang Utara dan 121°0’-123°30’ Bujur Timur. Gorontalo berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Laut Pasifik (sebelah utara), Sulawesi Utara (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan), dan Sulawesi Tengah (sebelah barat). Gorontalo beribukota di Gorontalo. Luas wilayah Gorontalo adalah 12215.44 km2 yang mencakup Kabupaten Gorontalo Utara, Boalemo, Gorontalo, Pohuwato, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Jumlah penduduk provinsi ini pada tahun 2008 adalah 941 444 jiwa. Mayoritas penduduk Gorontalo (97.5%) beragama Islam, sedangkan sisanya pemeluk agama Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Bahasa daerah yang digunakan di Gorontalo terbagi menjadi tiga dialek, yaitu dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Pada tahun 2007, PDRB Gorontalo mencapai 4.761 trilyun rupiah. UMR Gorontalo pada tahun 2008 adalah 600 000 rupiah. Secara sektoral perekonomian Gorontalo didominasi oleh sektor pertanian dan sektor jasa serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Komoditas unggulan Gorontalo di bidang pertanian adalah jagung, padi, cabai, dan tomat. Komoditas sektor perikanan terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Gorontalo memiliki satu kawasan industri yaitu kawasan Industri Agro Terpadu (KIAT) yang terletak di Kabupaten Bone Bolango. DKI Jakarta DKI Jakarta adalah ibukota negara dan pusat pemerintahan, sesuai dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1964 tanggal 31 Agustus 1964 yang menyatakan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya adalah Ibukota Negara Republik Indonesia. DKI Jakarta terdiri atas 5 kota dan 1 kota administratif (kotif), 43 kecamatan, dan 265 kelurahan. Secara geografis, DKI Jakarta terletak antara 6°11 Lintang Selatan dan 106°50 Bujur Timur. DKI Jakarta berbatasan langsung dengan Jawa Barat, Banten, dan Laut Jawa. Ibukota DKI Jakarta adalah Jakarta. Luas wilayah DKI Jakarta adalah 7639.02 km², terdiri atas daratan seluas 661.52 km² dan lautan seluas 6 977.5 km² yang mencakup Kota Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat, sedangkan 1 kotif adalah Kotif Kepulauan Seribu.
Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2006 adalah 7 523 591 jiwa. DKI Jakarta memiliki penduduk lebih dari 300 suku bangsa dengan 200 bahasa. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta pada tahun 2006 mencapai 312.70 triliun rupiah. Kontribusi terbesar berasal dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mencapai 30.8% dari total PDRB diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan dengan nilai untuk masing-masing sektor tersebut sebesar 21.5% dan 17.3%. UMR DKI Jakarta pada tahun 2008 adalah 972 605 rupiah. Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Sampel Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel terdiri atas umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Tabel 2 memperlihatkan proporsi terbesar umur sampel total berkisar antara 25 dan 34 tahun (24.8%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar umur sampel di Sulawesi Utara sekitar 35-44 tahun (22.9%), sedangkan di Gorontalo (26.1%) dan DKI Jakarta (26.4%) sekitar 25-34 tahun. Untuk jenis kelamin, sekitar separuh sampel total adalah perempuan (52.3%); begitu juga berdasarkan sebaran per provinsi: 51.3% sampel di Sulawesi Utara, 52.1% sampel di Gorontalo dan 53.2% sampel di DKI Jakarta adalah perempuan. Untuk status kawin, kebanyakan sampel total berstatus kawin (69.5%); demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: mayoritas sampel di Sulawesi Utara (72.5%), Gorontalo (72.6%), dan DKI Jakarta (65.8%) berstatus kawin. Adapun untuk besar keluarga, proporsi terbesar sampel total mempunyai 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah (47.2%); begitu pun berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: sekitar separuh sampel di Sulawesi Utara (51.4%) dan Gorontalo (50.2%), dan kurang dari separuh sampel di DKI Jakarta (42.5%) memiliki 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah. Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi dan sosialekonomi sampel. Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar pendidikan sampel total (29.2%) adalah tamat SMA. Menurut sebaran per provinsi, proporsi terbesar pendidikan sampel di Sulawesi Utara (26.6%) dan DKI Jakarta (37.1%) adalah tamat SMA, sedangkan proporsi terbesar pendidikan sampel di Gorontalo (29.3%) adalah tamat SD. Untuk pekerjaan, proporsi terbesar pekerjaan sampel total adalah ibu rumah tangga (28.8%), demikian juga berdasarkan sebaran tiap provinsi: sampel di Sulawesi Utara (29.5%), Gorontalo
(30.5%), dan DKI Jakarta (27.6%) adalah ibu rumah tangga. Proporsi terbesar kedua
pekerjaan
sampel
total
adalah
petani/nelayan/buruh
dan
wiraswata/pedagang/jasa. Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar kedua pekerjaan sampel di Sulawesi Utara (28.4%) dan Gorontalo (29.1%) adalah petani/nelayan/buruh, sedangkan di DKI Jakarta (20.1%) adalah wiraswasta/pedagang/jasa. Pengeluaran per kapita sampel merupakan salah satu ukuran tingkat sosial-ekonomi sampel. Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran per kapita sampel total hampir sama (20%). Begitu pula berdasarkan sebaran per provinsi, pada ketiga provinsi proporsi pengeluaran per kapita kurang lebih sama. Tidak terdapat perbedaan proporsi pengeluaran per kapita yang mencolok pada ketiga provinsi. Karakteristik lain sampel yang dilihat adalah karakteristik tempat tinggal. Lebih dari separuh sampel total tinggal di perkotaan (62.2%). Bila dilihat menurut sebaran tiap provinsi, kebanyakan sampel di Sulawesi Utara (63.8%) dan Gorontalo (74.6%) tinggal di perdesaan. Adapun di DKI Jakarta, semua sampel bertempat tinggal di perkotaan. Tabel 2. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi
Provinsi (%) Sulawesi Utara n=8885
Total n=26561
Gorontalo n=5871
DKI Jakarta n=11805
1386(23.6) 1543(26.1)
2743(23.2) 3111(26.4)
5773(21.7) 6589(24.8)
1565(17.6) 899(10.1) 555(6.2)
1397(23.8) 846(14.4) 474(8.1) 189(3.2)
2551(21.6) 1798(15.2) 972(8.2) 470(4.0)
5981(22.5) 4209(15.8) 2345(8.8)
245(2.8)
45(0.8)
160(1.4)
1214(4.6) 450(1.7)
4330(48.7) 4555(51.3)
2813(47.9) 3058(52.1)
5523(46.8) 6282(53.2)
12666(47.7) 13895(52.3)
1852(20.8) 6439(72.5)
1282(21.8) 4264(72.6)
3228(27.3) 7763(65.8)
6362(24.0) 18466(69.5)
594(6.7)
325(5.5)
814(6.9)
1733(6.5)
1119(12.6) 4564(51.4)
519(8.8) 2948(50.2)
1297(11.0) 5021(42.5)
2935(11.1) 12533(47.2)
Umur 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64
65-74 75
1644(18.5) 1944(21.9) 2033(22.9)
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status kawin Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati Besar keluarga 1-2 3-4
Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi 5-6 >6
Provinsi (%) Sulawesi Utara n=8885 2421(27.2) 781(8.8)
Total n=26561
Gorontalo n=5871 1782(30.4) 622(10.6)
DKI Jakarta n=11805 3677(31.1) 1810(15.3) 474(4.0) 856(7.3) 2265(19.2) 2690(22.8) 4383(37.1)
764(2.9) 4045(15.2) 6285(23.7) 5770(21.7) 7753(29.2)
505(5.7)
180(3.1) 1697(28.9) 1722(29.3) 961(16.4) 1009(17.2) 302(5.1)
1137(9.6)
1944(7.3)
1564(17.6) 2618(29.5)
1069(18.2) 1789(30.5)
2265(19.2) 3253(27.6)
4898(18.4) 7660(28.8)
486(5.5) 393(4.4) 938(10.6) 2526(28.4)
358(6.1) 96(1.6) 610(10.4) 1706(29.1)
373(3.2) 2017(17.1) 2371(20.1)
1217(4.6)
360(4.1)
243(4.1)
1065(9.0) 461(3.9)
1706(19.2) 1810(20.4) 1773(20.0) 1780(20.0)
1130(19.2) 1138(19.4) 1181(20.1) 1199(20.4)
2351(19.9) 2372(20.1) 2365(20.0) 2345(19.9)
1816(20.4)
1223(20.8)
2372(20.1)
5319(20.0) 5324(20.0) 5411(20.4)
3220(36.2) 5665(63.8)
1490(25.4) 4381(74.6)
11805(100.0)
16515(62.2)
0(0.0)
9046(34.1)
7880(29.7) 3213(12.1)
Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT
110(1.2) 1492(16.8) 2298(25.9) 2119(23.8) 2361(26.6)
Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh Lainnya
2506(9.4) 3919(14.8) 5297(19.9) 1064(4.0)
Pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
5187(19.5) 5320(20.0)
Tipe wilayah
Perkotaan Perdesaan
Gaya Hidup Sampel Gaya hidup sampel terdiri atas kebiasaan merokok selama satu bulan terakhir, aktivitas fisik berat, perilaku konsumsi makanan/minuman dan kondisi mental emosional. Tabel 3 menunjukkan bahwa kurang dari separuh sampel total memiliki kebiasaan merokok (33.4%), demikian pula berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: 33.9% sampel di Sulawesi Utara, 37.8% sampel di Gorontalo dan 30.9% sampel di DKI Jakarta biasa merokok. Untuk aktivitas fisik berat, lebih dari separuh sampel total (62.9%) tidak beraktivitas fisik berat. Menurut sebaran per provinsi, separuh sampel di Sulawesi Utara (59.1%) dan Gorontalo (54.3%) dan sebagian besar sampel di DKI Jakarta (84.1%) tidak beraktivitas fisik berat.
Perilaku konsumsi terdiri atas konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir pada sampel total sebesar 10.1%. Berdasarkan sebaran tiap provinsi, konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut sebanyak 18.5%, 12.1%, dan 2.8%. Hampir semua sampel total (98.5%) kurang mengonsumsi sayuran dan buah, demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 98.3% sampel di Sulawesi Utara, 99.3% sampel di Gorontalo, dan 97.5% sampel di DKI Jakarta kurang mengonsumsi sayuran dan buah. Untuk konsumsi makanan/minuman manis, kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (36.3%). Berdasarkan sebaran per provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi
Utara
(37.6%)
dan
Gorontalo
(33.4%)
mengonsumsi
makanan/minuman manis > 1 kali per hari, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (39.7%). Perilaku konsumsi lainnya yang dapat dilihat adalah konsumsi makanan berlemak. Kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu (27.2%). Menurut sebaran tiap provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi Utara (38.7%) dan Gorontalo (23.7%) mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel (30.9%) mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu. Kondisi mental emosional adalah suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut (Balitbangkes, Depkes 2008). Tabel 3 menunjukkan bahwa sekitar 13.7% sampel total terganggu kondisi mental emosionalnya. Berdasarkan sebaran per provinsi, sampel yang terganggu kondisi mental emosionalnya di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut adalah 9.8%, 17.4%, dan 14.6%.
Tabel 3. Gaya hidup sampel Gaya Hidup
Sulawesi Utara n=8885
Provinsi (%) Gorontalo n=5871
Kebiasaan merokok 5408(60.9) Tidak pernah 465(5.2) Pernah 580(6.5) Kadang kadang 2432(27.4) Setiap hari Aktivitas fisik berat 5252(59.1) Tidak 3633(40.9) Ya Konsumsi minuman beralkohol 7238(81.5) Tidak 1647(18.5) Ya Konsumsi sayuran dan buah 8735(98.3) Kurang 150(1.7) Cukup Konsumsi makanan/minuman manis Tidak pernah 202(2.3) < 3 kali per bulan 527(5.9) 1 – 2 kali per minggu 787(8.9) 3 – 6 kali per minggu 928(10.4) 1 kali per hari 3098(34.9) > 1 kali per hari 3343(37.6) Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah 888(10.0) < 3 kali per bulan 3376(38.0) 1 – 2 kali per minggu 2358(26.5) 3 – 6 kali per minggu 1653(18.6) 1 kali per hari 362(4.1) > 1 kali per hari 248(2.8) Kondisi mental emosional Tidak terganggu 8011(90.2) Terganggu 874(9.8)
DKI Jakarta n=11805
Total n=26561
3470(59.1) 182(3.1) 363(6.2) 1856(31.6)
7517(63.7) 636(5.4) 872(7.4) 2780(23.5)
16395(61.7) 1283(4.8) 1815(6.8) 7068(26.6)
3190(54.3) 2681(45.7)
9925(84.1) 1880(15.9)
18367(62.9) 8194(30.8)
5163(87.9) 708(12.1)
11480(97.2) 325(2.8)
23881(89.9) 2680(10.1)
5827(99.3) 44(0.7)
11505(97.5) 300(2.5)
26167(98.5) 494(1.9)
265(4.5) 165(2.8) 802(13.7) 809(13.8) 1868(31.8) 1962(33.4)
380(3.2) 352(3.0) 1260(10.7) 1276(10.8) 4688(39.7) 3849(32.6)
847(3.2) 1044(3.9) 2849(10.7) 3013(11.3) 9654(36.3) 9154(34.5)
678(11.5) 1391(23.7) 1208(20.6) 1288(21.9) 815(13.9) 491(8.4)
874(7.4) 2340(19.8) 3650(30.9) 2418(20.5) 1710(14.5) 813(6.9)
2440(9.2) 7107(26.8) 7216(27.2) 5359(20.2) 2887(10.9) 1552(5.8)
4848(82.6) 1023(17.4)
10076(85.4) 1729(14.6)
22935(86.3) 3626(13.7)
Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Karakteristik Demografi dan Sosial Ekonomi Tabel 4 menunjukkan sebaran sampel menurut karakteristik demografi dan sosial-ekonomi terhadap kejadian obesitas sentral. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan kisaran umur 45-55 tahun (38.1%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel dengan kisaran umur 45-55 tahun di Sulawesi Utara (37.3%) dan DKI Jakarta (39.7%) dan 55-64 tahun di Gorontalo (37.8%).
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas sentral pada sampel total lebih tinggi pada perempuan (40.2%) dibandingkan dengan laki-laki (11.5%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 27.2% pada perempuan dan 13.6% pada laki-laki di Sulawesi Utara, 40.6% pada perempuan dan 8.4% pada laki-laki di Gorontalo, serta 36.9% pada perempuan dan 11.5% pada laki-laki di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menemukan tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan. Di Yunani, prevalensi obesitas sentral 36% pada laki-laki dan 43% pada perempuan (Panagiotakos et al. 2004); di Turki, 18.1% pada laki-laki dan 38.9% pada perempuan (Erem et al. 2004); di Oman, 31.5% pada laki-laki dan 64.6% pada perempuan (Al-Riyami&Afifi 2003); dan di China, 16.1% pada laki-laki dan 37.6% pada perempuan (Reynolds et al. 2007). Tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan diduga akibat lebih banyaknya kelebihan lemak pusat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Menurut status kawin, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang berstatus cerai hidup atau mati (39.5%), begitu pula berdasarkan sebaran tiap provinsi: 37.5% di Sulawesi Utara, 38.8% di Gorontalo, dan 41.3% di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada sampel yang berstatus cerai. Menurut besar keluarga, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang memiliki anggota keluarga 1-2 orang (30.6%), demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 33.0% di Sulawesi Utara, 31.2% di Gorontalo dan 28.4% di DKI Jakarta. Terdapat kecenderungan
penurunan
prevalensi
obesitas
sentral dengan
semakin
banyaknya anggota keluarga, baik pada sampel total maupun sampel per provinsi. Berdasarkan pendidikan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak sekolah. Menurut sebaran tiap provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang tidak sekolah di DKI Jakarta (41.4%) dan tamat perguruan tinggi di Gorontalo (36.8%) dan Sulawesi Utara (38.4%). Berdasarkan pekerjaan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (47.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 49% di Sulawesi Utara, 46.7% di Gorontalo dan 45.1% di DKI Jakarta.
Menurut pengeluaran per kapita, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-5 (30.6%), demikian pula berdasarkan sebaran per provinsi: 33.8% sampel di Sulawesi Utara, 33.0% sampel di Gorontalo, dan 26.9% sampel di DKI Jakarta memiliki pengeluaran per kapita kuintil ke-5. Terdapat kecenderungan meningkatnya prevalensi obesitas sentral seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita, baik pada sampel total maupun sampel tiap provinsi. Menurut tipe wilayah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bertempat tinggal di perkotaan (59.4%), demikian pula berdasarkan masing-masing provinsi: 35.4% sampel di Sulawesi Utara, 30.9% sampel di Gorontalo, dan 25% sampel di DKI Jakarta bermukim di perkotaan. Tabel 4. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik demografi dan sosialekonomi terhadap kejadian obesitas sentral Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi
Sulawesi Utara
Obesitas Sentral (%) Gorontalo DKI Jakarta
Total
Umur 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75
152(9.2) 544(28.0) 721(35.5) 583(37.3) 334(37.2) 193(34.8) 80(32.7)
134(9.7) 339(22.1) 458(32.8) 308(36.4) 179(37.8)
232(8.5) 633(20.3) 792(31.0) 714(39.7)
518(9.0) 1516(23.0) 1971(33.0) 1605(38.1) 872(37.2)
52(27.5) 9(20.0)
359(36.9) 177(37.7) 50(31.3)
587(13.6) 2020(44.3)
237(8.4) 1242(40.6)
636(11.5) 2321(36.9)
1460(11.5) 5583(40.2)
167(9.0) 2217(34.4) 223(37.5)
98(7.6) 1255(29.4) 126(38.8)
254(7.9) 2367(30.5) 336(41.3)
519(8.2) 5839(31.6) 685(39.5)
369(33.0)
162(31.2)
368(28.4)
899(30.6)
1378(30.2) 688(28.4) 172(22.0)
775(26.3) 412(23.1) 130(20.9)
1303(26.0) 902(24.5) 384(21.2)
3456(27.6) 2002(25.4) 686(21.4)
24(21.8) 423(28.4)
29(16.1) 354(20.9)
196(41.4)
249(32.6)
281(32.8)
651(28.3) 556(26.2)
469(27.2) 223(23.2)
639(28.2) 648(24.1)
1058(26.2) 1759(28.0) 1427(24.7)
422(34.8) 139(30.9)
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status kawin Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati
Besar keluarga 1-2 3-4 5-6 >6 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi Tamat SMA Tamat PT
Sulawesi Utara
Obesitas Sentral (%) Gorontalo DKI Jakarta
Total
767(35.2) 186(36.8)
288(28.5) 116(38.4)
903(20.6) 290(25.5)
1958(25.3) 592(30.5)
263(16.8) 1306(49.9)
141(13.2) 835(46.7)
298(13.2) 1468(45.1)
702(14.3) 3609(47.1)
190(39.1) 114(29.0) 300(32.0)
152(42.5) 18(18.8) 144(23.6)
91(24.4) 336(16.7) 533(22.5)
433(35.6) 468(18.7)
333(13.2) 101(28.1)
136(8.0) 53(21.8)
135(12.7) 96(20.8)
431(25.3) 496(27.4) 520(29.3) 546(30.7) 614(33.8)
191(16.9) 265(23.3) 281(23.8) 338(28.2) 404(33.0)
550(23.4) 562(23.7) 606(25.6) 601(25.6) 638(26.9)
1172(22.6) 1323(24.9) 1407(26.5)
1139(35.4)
460(30.9)
2957(25.0)
4556(59.4)
1468(25.9)
1019(23.3)
0(0.0)
2487(24.8)
Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh Lainnya
977(24.9) 604(11.4) 250(23.5)
Pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
1485(27.9) 1656(30.6)
Tipe wilayah Perkotaan Perdesaan
Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Gaya Hidup Tabel 5 menunjukkan sebaran sampel menurut gaya hidup terhadap timbulnya obesitas sentral. Berdasarkan kebiasaan merokok, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah merokok (34.1%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 37.7% di Sulawesi Utara, 35.3% di Gorontalo dan 31.0% di DKI Jakarta. Berdasarkan aktivitas fisik berat, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak beraktivitas fisik berat (30.2%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 35.7% di Sulawesi Utara, 32.9% di Gorontalo dan 26.4% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi minuman beralkohol, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol dalam satu bulan terakhir (28.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 32.6% di Sulawesi Utara, 27.8% di Gorontalo dan 25.5% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi sayuran dan buah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah (28.3%). Menurut sebaran per provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi
ditemukan pada sampel yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah di DKI Jakarta (30.7%) dan kurang mengonsumsi di Sulawesi Utara (29.4%) dan Gorontalo (25.2%). Berdasarkan konsumsi makanan/minuman manis, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis (31.9%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 34.2% di Sulawesi Utara, 28.7% di Gorontalo dan 32.9% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi makanan berlemak, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan (27.6%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang mengonsumsi makanan berlemak 3-6 kali per minggu di Sulawesi Utara (34.4%) dan 1 kali per hari dan <3 kali per bulan di Gorontalo (26.4%), sedangkan di DKI Jakarta, prevalensi obesitas
sentral
tertinggi
ditemukan
pada
sampel
yang
tidak
pernah
mengonsumsi makanan berlemak (29.4%). Berdasarkan kondisi mental emosional, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang terganggu kondisi mental emosionalnya (32.0%); demikian pula menurut sebaran per provinsi: 34.0% di Sulawesi Utara, 32.1% di Gorontalo dan 31.1% di DKI Jakarta. Tabel 5. Sebaran sampel berdasarkan gaya hidup terhadap kejadian obesitas sentral Gaya hidup
Sulawesi Utara
Obesitas Sentral(%) Gorontalo DKI Jakarta
Total
Kebiasaan merokok Tidak pernah Pernah Kadang kadang Setiap hari
2038(37.7)
1226(35.3)
2333(31.0)
5597(34.1)
104(22.4)
38(20.9)
145(22.8)
96(16.6) 369(15.2)
45(12.4) 170(9.2)
133(15.3) 346(12.4)
287(22.4) 274(15.1) 885(12.5)
2275(32.6)
1409(27.8)
2887(25.5)
6571(28.1)
332(17.3)
70(8.8)
70(13.9)
472(14.7)
1875(35.7)
1050(32.9)
2618(26.4)
5543(30.2)
732(20.1)
429(16.0)
339(18.0)
1500(18.3)
2569(29.4)
1469(25.2)
38(25.3)
10(22.7)
2865(24.9) 92(30.7)
6903(26.5) 140(28.3)
Konsumsi minuman beralkohol Tidak Ya Aktivitas fisik berat Tidak Ya Konsumsi sayuran dan buah Kurang Cukup
Konsumsi makanan/minuman manis
Gaya hidup
Sulawesi Utara
Tidak pernah < 3 kali per bulan 1 – 2 kali per minggu 3 – 6 kali per minggu 1 kali per hari > 1 kali per hari Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah < 3 kali per bulan 1 – 2 kali per minggu 3 – 6 kali per minggu 1 kali per hari > 1 kali per hari
Obesitas Sentral(%) Gorontalo DKI Jakarta
Total
69(34.2)
76(28.7)
125(32.9)
270(31.9)
166(31.5) 239(30.4) 277(29.8) 909(29.3) 947(28.3)
38(23.0) 173(21.6) 195(24.1) 479(25.6) 518(26.4)
114(32.4) 379(30.1) 291(22.8) 1150(24.5) 898(23.3)
318(30.5) 791(27.8) 763(25.3) 2538(26.3)
230(25.9)
178(26.3) 367(26.4)
257(29.4)
957(28.3) 668(28.3) 568(34.4)
121(24.6)
634(27.1) 883(24.2) 527(21.8) 434(25.4) 222(27.3)
1151(23.7) 328(32.1)
2420(24.0) 537(31.1)
277(22.9) 321(24.9) 215(26.4)
105(29.0) 79(31.9)
2363(25.8)
665(27.3) 1958(27.6) 1828(25.3) 1416(26.4) 754(26.1) 422(27.2)
Kondisi mental emosional
Tidak terganggu Terganggu
2310(28.8) 297(34.0)
5881(25.6) 1162(32.0)
Hubungan Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi dengan Obesitas Sentral Umur Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada umur yang lebih tua (Tabel 4). Martins dan Marinho (2003) menyatakan bahwa kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang akibat penumpukan lemak tubuh, terutama lemak pusat. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara umur dengan timbulnya obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil analisis sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Janghorbani et al. (2007) yang menemukan kuatnya hubungan antara umur dengan obesitas. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan, kecenderungan obesitas dialami oleh seseorang yang berumur lebih tua diduga akibat lambatnya metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, seringnya frekuensi konsumsi pangan, dan kurangnya perhatian pada bentuk tubuhnya. Jenis Kelamin Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih tingginya kejadian obesitas sentral pada
perempuan
dibandingkan
dengan
laki-laki
(Al-Riyami&Afifi
2003;
Martins&Marinho 2003; Guitierrez-Fisac et al. 2004; Sonmez et al. 2003; De
Pablos-Velasco et al. 2002). Hal ini diduga karena lebih tingginya cadangan lemak tubuh pada perempuan daripada laki-laki. Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya kejadian obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan. Perempuan menopause cenderung mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan perempuan premenopause. Hal ini karena penurunan massa otot dan perubahan status hormon (Lee et al. 2005). Status Kawin Status kawin berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004). Penelitian lain menemukan tidak terdapatnya hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral tertinggi pada sampel yang berstatus cerai mati/hidup (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada orang yang berstatus cerai daripada yang belum menikah. Terdapatnya hubungan antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang sudah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian ini dapat memengaruhi pola pikir dan perubahan
gaya
hidup
seseorang
seperti
perubahan
perilaku
makan.
Penyesuaian diri dengan pasangan yang buruk mengakibatkan tingginya depresi seseorang. Kondisi stres atau depresi ini dapat menjadikan gaya hidup yang tidak baik seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi makanan tinggi lemak. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami depresi cenderung mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan. Besar Keluarga Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas di Thailand. Penelitian di Oman juga menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral (Al-Riyami&Afifi 2003). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil
penelitian sebelumnya. Terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral diduga karena ketersediaan pangan dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil memperoleh lebih banyak bagian dalam pemenuhan pangan dibandingkan dengan yang memiliki anggota keluarga lebih besar. Pendidikan Pendidikan yang rendah berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan hubungan nyata negatif pada perempuan dan hubungan nyata positif pada laki-laki antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral di Thailand. Di Korea, pendidikan dapat menurunkan risiko obesitas sentral (Yoon et al. 2006). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan Gorontalo dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hubungan pendidikan dengan kejadian obesitas sentral dalam penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena tingginya pendidikan tidak paralel dengan pengetahuan gizi seseorang. Seseorang yang memiliki level pendidikan yang tinggi, belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang baik. Walapun pendidikan dapat memengaruhi kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006), seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang obesitas, masih saja melakukan perilaku yang tidak sehat seperti gaya hidup sedentary dan makan dalam jumlah yang berlebihan ketika mengalami stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Pekerjaan Pekerjaan berhubungan dengan perubahan berat badan dan lingkar perut (Lahmann et al. 2000; Erem et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral diduga karena hubungannya dengan aktivitas fisik. Penelitian ini menemukan prevalensi obesitas sentral tertinggi pada ibu rumah tangga dan terendah pada petani/nelayan/buruh (Tabel 4). Petani/nelayan/buruh memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu rumah tangga dan pekerja kantor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada ibu rumah
tangga dan pedagang. WHO (2000) menyatakan bahwa perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain cenderung kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan pekerjaan manual seperti yang terdapat pada masyarakat tradisional. Pengeluaran per Kapita Pendapatan rumah tangga berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004; Yoon et al. 2006). Pendapatan rumah tangga per kapita seseorang paralel dengan pengeluaran per kapitanya. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara pengeluaran per kapita dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini diduga karena seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi akan lebih konsumtif sehingga pengeluarannya akan tinggi pula, terutama untuk konsumsi makanan berenergi tinggi. Hubungan pendapatan dengan kejadian obesitas sentral terletak pada ketersediaan dalam membeli dan kemampuan dalam memanfaatkan akses seperti transportasi, kecanggihan komunikasi, ketersediaan pangan, pendidikan modern.
Kemudahan
dalam
pemanfaatan
akses
mendorong
seseorang
cenderung kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2000). Tipe Wilayah Kejadian
obesitas
sentral
lebih
banyak
ditemukan
di
perkotaan
dibandingkan dengan di perdesaan (Tabel 5). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara tipe wilayah dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Reynolds et al. (2007) yang menemukan lebih tingginya prevalensi obesitas sentral pada sampel yang tinggal di perkotaan. Hal ini diduga karena tingginya urbanisasi yang berhubungan dengan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Penduduk
perkotaan
berhubungan
dengan
sejumlah
faktor
yang
memengaruhi diet, aktivitas fisik dan komposisi tubuh, yang melibatkan perubahan transportasi, akses dan kegunaan fasilitas kesehatan, pendidikan modern, komunikasi, pemasaran, ketersediaan pangan, dan perbedaan profil pekerjaan. Pada banyak negara, penduduk di perkotaan cenderung rendah mengonsumsi makanan sumber karbohidrat dan tinggi mengonsumsi makanan berprotein dan berlemak (WHO 2000).
Hubungan Gaya Hidup dengan Obesitas Sentral Kebiasaan Merokok Merokok berhubungan nyata negatif dengan peningkatan berat badan berdasarkan IMT, namun berhubungan nyata positif dengan peningkatan distribusi lemak perut (Canoy et al. 2004; Xu et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara kebiasaan merokok dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Mekanisme biologi antara merokok dengan kejadian obesitas sentral masih belum jelas. Review yang dilakukan Chiolero et al. (2008) memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan, sedangkan di sisi lain, perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau tidak merokok, jika diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti rendahnya aktivitas fisik, dan diet yang buruk. Di samping itu, merokok dapat memengaruhi penurunan konsentrasi estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Penurunan kedua jenis hormon ini dapat meningkatkan massa lemak perut. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih besarnya berat badan mantan perokok daripada perokok atau bukan perokok. Hal ini diduga karena terjadinya peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa seperti aktivitas lipoprotein (Chiolero et al. 2008). Ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian lainnya diduga karena kelemahan studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya mekanisme hubungan merokok dengan kejadian obesitas sentral. Aktivitas Fisik Berat Penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Slentz et al. 2004; Erem et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral diduga karena efek aktivitas fisik berat melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa (Koh-Banerjee et al. 2003). Beberapa penelitian longitudinal selama 12 tahun menemukan bahwa
exercise dapat menurunkan kelebihan berat badan, lemak tubuh total, dan lemak perut (Irwin et al. 2003; McTiernan et al. 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi. Aktivitas fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan
obesitas
(McTiernan
et
al.
2007).
Adapun
WHO
(2003)
menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Perilaku Konsumsi Konsumsi Minuman Beralkohol Konsumsi minuman beralkohol berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Dorn et al. 2003; Erem et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004; Riserus&Ingelsson 2007; Zhang et al. 2008). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hubungan konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Riserus dan Ingelsson (2007) menyatakan, minuman beralkohol berhubungan dengan kejadian obesitas sentral melalui mekanisme non-energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testosteron pada laki-laki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi lemak visceral. Penelitian kohort yang dilakukan Tolstrup et al. (2008) menemukan hubungan nyata negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan lima tahun peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak berhubungan. Vadstrup et al. (2003) menemukan bahwa minuman beralkohol jenis beer dan liquor dapat meningkatkan lingkar perut, sedangkan minuman beralkohol jenis wine tidak. Ketidakkonsistenan hasil penelitian diduga karena kelemahan desain studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara exposure dan outcome. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang gemuk sudah memiliki kesadaran akan dampak negatif konsumsi minuman beralkohol sehingga pada waktu wawancara dilakukan, sampel sudah tidak mengonsumsi minuman beralkohol lagi.
Konsumsi sayuran dan buah Konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup dapat menurunkan kejadian obesitas sentral (Newby et al. 2003; He et al. 2004). Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan konsumsi lemak seseorang. Konsumsi buah lebih baik untuk program pengontrolan berat badan dibandingkan dengan sayuran karena buah lebih mudah dimakan sebagai dessert atau snack. Sementara sayuran harus diolah dan dicampur dengan mentega, minyak, dan saus yang mengandung energi. Asupan serat yang berasal dari konsumsi sayuran dan buah dapat membatasi asupan energi dengan efek rendahnya densitas energi dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa asupan serat 12 gram/hari dapat menurunkan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Sulawesi Utara dan Gorontalo antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena pada penelitian ini tidak diperhitungkan asupan serat dari sayuran dan buah yang dikonsumsi. Padahal serat penting dalam hubungannya dengan kejadian obesitas sentral. Di samping itu, kelemahan desain cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan menyebabkan tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang mengalami obesitas sentral sudah memiliki kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup. Konsumsi makanan/minuman manis Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan manis dapat mengakibatkan peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Gorontalo antara konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Pertama, pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi dan tidak mengukur banyak dan jenis karbohidrat dari makanan/minuman manis yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat menggambarkan kondisi konsumsi makanan/minuman manis sampel
sebenarnya. Kedua, terdapatnya bias informasi pada waktu pengambilan data. Kemungkinan responden kurang mengerti pertanyaan yang ditanyakan atau responden berusaha menutupi kondisi yang sebenarnya. Ketiga, terdapatnya kemungkinan konsumsi pemanis buatan di pasaran sebagai pengganti pemanis alami yang memiliki kandungan energi rendah sehingga tidak memberikan kontribusi energi yang tinggi. Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis serta efek lemahnya rasa kenyang. Sementara review Malik et al. (2006) mengenai
asupan
minuman
manis
dengan
peningkatan
berat
badan
memperlihatkan bahwa minuman manis berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Konsumsi makanan berlemak Beberapa penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Garaulet et al. 2001; Drapeau et al. 2004; Guallar-Castillon et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Sementara di Gorontalo, tidak terdapat hubungan nyata antara konsumsi makanan berlemak dengan obesitas sentral. Hasil penelitian tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan hasil analisis diduga karena pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi makanan berlemak dan tidak mengukur besarnya kontribusi energi dari makanan berlemak yang dikonsumsi sampel sehingga hasil yang diperoleh tidak menggambarkan kondisi konsumsi makanan berlemak sampel sebenarnya. Mekanisme makanan berlemak menyebabkan obesitas diduga karena tingginya kontribusi energi dari makanan berlemak dan efek penurunan rasa kenyang sehingga seseorang terus mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebihan (Drewnowski 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah kenyang sehingga seseorang makan dalam jumlah yang berlebihan.
Kondisi Mental Emosional Lee et al (2005) menyatakan bahwa stres atau depresi berhubungan pada peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa makin terganggu kondisi mental emosional
sampel,
semakin
meningkat
prevalensi
obesitas
sentralnya.
Hubungan antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang terganggu kondisi mental emosionalnya cenderung
mengonsumsi
makanan
dalam
jumlah
yang
berlebihan
(Kantachuvessiri et al. 2005). Perubahan hormon pada seseorang yang mengalami depresi atau stres diduga juga dapat menyebabkan peningkatan penumpukan lemak tubuh terutama di daerah perut. Roberts et al. (2007) menemukan bahwa depresi dapat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Demikian halnya dengan Katz et al. (2000) yang menemukan tingginya level metabolit kortisol pada laki-laki yang mengalami depresi. Peningkatan konsentrasi kortisol diduga berhubungan dengan penumpukan lemak perut. Pada orang yang obese, konsentrasi kortisol cenderung lebih tinggi (WHO 2000). Tabel 6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral Variabel
Koefisien Korelasi (r) Sulawesi Gorontalo DKI Jakarta Utara
Umur Jenis Kelamin Status Kawin Besar keluarga Pendidikan
0.185* 0.320* 0.224* -0.051* 0.045*
0.217* 0.347* 0.217* -0.060* 0.081*
0.254* 0.281* 0.244* -0.043* -0.087*
Pekerjaan Pengeluaran per kapita Tipe wilayah Kebiasaan merokok Konsumsi minuman beralkohol Aktivitas fisik berat Konsumsi sayuran dan buah Konsumsi makanan/minuman manis
0.326* 0.063* 0.099* -0.229* -0.125* -0.168* -0.012 -0.022*
0.361* 0.121* 0.076* -0.283* -0.139* -0.194* -0.005 -0.025
0.297* 0.029* -0.188* -0.044* -0.070* 0.021* -0.046*
0.043* 0.034*
-0.007 0.073*
-0.024* 0.057*
Konsumsi makanan berlemak Kondisi mental emosional * signifikan pada p<0,05
Faktor Risiko Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan akumulasi lemak pusat atau lemak perut (WHO 2000). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes tipe 2, Cardiovascular Disease (CVD), batu empedu, hipertensi, dan dislipidemia. Shen et al. (2006) menyatakan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum. Obesitas disebabkan oleh adanya interaksi antara berbagai faktor. Obesitas tidak hanya dampak tingginya konsumsi makanan atau kurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta. Namun, setelah dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat secara bersama, maka diperoleh beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi yang disajikan pada Tabel 7, 8, dan 9. Hal yang menyebabkan suatu variabel tidak signifikan pada analisis multivariat, sementara pada analisis bivariat berhubungan, diduga karena obesitas sentral disebabkan oleh banyak faktor, terdapatnya confounding dan faktor yang saling berinteraksi dalam
analisis
menyebabkan
suatu
variabel
menjadi
tidak
signifikan
(Kantachuvessiri et al. 2005). Faktor Risiko Obesitas Sentral di Sulawesi Utara Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara adalah umur
35 tahun,
perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SMA/PT, ibu rumah tangga, TNI/POLRI/PNS, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, tinggal di perkotaan, dan tidak beraktivitas fisik berat (Tabel 7). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=1.863) dan
55 tahun (OR=2.136) berpeluang
mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.863 dan 2.136 kali lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan umur 15-34 tahun. Beberapa penelitian menemukan peningkatan kejadian obesitas sentral seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini diduga karena terjadinya penumpukan lemak perut dengan bertambahnya umur seseorang. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa tingginya risiko obesitas pada umur yang lebih tua diduga karena pada seseorang yang lebih tua terjadi penurunan metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, dan peningkatan frekuensi konsumsi pangan. Disamping itu, umur yang lebih tua biasanya kurang begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.
Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 4.259 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=4.259). Lemak pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada lakilaki dan perempuan. Pada perempuan menopause akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat (Chang et al. 2000). Faktor risiko obesitas sentral yang ketiga adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=3.216) dan cerai (OR=2.434) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 3.216 dan 2.434 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Seseorang yang telah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal ini dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku makan. Sementara seseorang yang berstatus cerai hidup/mati biasanya mengalami stres atau depresi akibat transisi perkawinan dengan perceraiannya. Depresi akibat cerai hidup/mati dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku konsumsi seseorang. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tamat SMA/PT. Sampel yang tamat SMA/PT berpeluang mengalami obesitas sentral 1.364 kali lebih besar daripada sampel yang tidak sekolah/tidak tamat SD (OR=1.364). Pendidikan berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Meskipun demikian, orang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai obesitas sentral masih saja melakukan gaya hidup yang tidak baik ketika mengalami depresi/stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Hal ini diduga karena pengetahuan gizi tidak paralel dengan level pendidikan seseorang. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.529), TNI/POLRI/PNS (OR=1.459), pegawai BUMN/swasta (OR=1.471), dan wiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.691) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.529; 1.459; 1.471; dan 1.691
kali
lebih
besar
daripada
sampel
yang
tidak
bekerja/sekolah.
Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pengeluaran energi bervariasi pada pekerjaan yang berbeda. Beberapa pekerjaan melibatkan tingginya pengeluaran
energi
pengeluaran energi.
sementara
pekerjaan
yang
lain
melibatkan
sedikit
Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tipe wilayah perkotaan. Sampel yang tinggal di perkotaan berpeluang mengalami obesitas sentral 1.532 kali lebih besar daripada sampel yang tinggal di perdesaan (OR=1.532). Orang yang tinggal di perkotaan lebih mudah dalam pemanfaatan akses dan ketersediaan pangan sehingga cenderung kurang aktivitas fisik (WHO 2000). Disamping itu, urbanisasi memengaruhi perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku makan seperti tingginya konsumsi makanan berlemak. Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah tidak beraktivitas fisik berat. Sampel yang tidak beraktivitas fisik berat berpeluang mengalami obesitas sentral 1.184 kali lebih besar daripada sampel yang beraktivitas fisik berat (OR=1.184). Kurangnya beraktivitas fisik menyebabkan penyimpanan kelebihan energi sebagai lemak yang menyebabkan penumpukan lemak tubuh terutama lemak pusat atau perut. Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 26.6% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara. Terdapat 73.4% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara (Lampiran 3). Tabel 7. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara Variabel
B
Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 0.622 55 tahun 0.759 Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan 1.449 Status kawin (0=belum kawin) Kawin 1.168 Cerai 0.890 Pendidikan (0= tidak sekolah/tidak tamat SD)
SMA/PT 0.310 Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) 0.425 Ibu rumah tangga 0.378 TNI/POLRI/PNS 0.386 Pegawai BUMN/swasta 0.526 Wiraswasta/pedagang/jasa Tipe wilayah (0=perdesaan) Perkotaan 0.427 Aktivitas fisik berat (0=ya) Tidak 0.169 Konstan -3.834
95,0% C.I.for OR Lower Upper
Sig.
OR
0.000 0.000
1.863 2.136
1.639 1.818
2.118 2.509
0.000
4.259
3.653
4.966
0.000 0.000
3.216 2.434
2.606 1.858
3.969 3.188
0.000
1.364
1.154
1.611
0.000 0.009 0.012 0.000
1.529 1.459 1.471 1.691
1.252 1.101 1.088 1.342
1.867 1.934 1.989 2.132
0.000
1.532
1.371
1.712
0.008 0.000
1.184 0.022
1.045
1.342
Faktor Risiko Obesitas Sentral di Gorontalo Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo adalah umur
35 tahun,
perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SD/SMP, ibu rumah tangga, TNI/POLRI/PNS, wiraswasta/pedagang/jasa, pengeluaran per kapita kuintil ke-2 hingga ke-5, tinggal di perkotaan, tidak beraktivitas fisik berat, dan kondisi mental emosional terganggu (Tabel 8). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=2.325) dan
55 tahun (OR=2.777) berpeluang
mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.325 dan 2.777 kali lebih besar daripada sampel dengan umur 15-34 tahun. Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 7.085 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=7.085). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=3.143) dan cerai (OR=2.404) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 3.143 dan 2.404 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tamat SD/SMP. Sampel yang tamat SD/SMP berpeluang mengalami obesitas sentral 1.348 kali lebih besar daripada sampel yang tidak sekolah/tidak tamat SD (OR=1.348). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.728), TNI/POLRI/PNS (OR=2.597), dan wiraswasta/ pedagang/jasa (OR=1.872) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.728; 2.597; dan 1.872 kali lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja/sekolah. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pengeluaran per kapita. Sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-2 (OR=1.591), kuintil ke-3 (OR=1.612), kuintil ke-4 (OR=1.991), dan kuintil ke-5 (OR=2.269) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.591; 1.612; 1.991; dan 2.269 kali lebih besar daripada sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-1. Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan konsumsi rumah tangga seperti makanan tinggi lemak dan konsumsi daging (WHO 2000). Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik (Yoon et al. 2006). Seseorang yang memiliki
pendapatan yang tinggi, cenderung memilki pengeluaran yang tinggi pula terutama untuk konsumsi makanan berlemak dan berenergi tinggi. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah tipe wilayah perkotaan. Sampel yang tinggal di perkotaan berpeluang mengalami obesitas sentral 1.294 kali lebih besar daripada sampel yang tinggal di perdesaan (OR=1.294). Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tidak beraktivitas fisik berat. Sampel yang tidak beraktivitas fisik berat berpeluang mengalami obesitas sentral 1.302 kali lebih besar daripada sampel yang beraktivitas fisik berat (OR=1.302). Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah kondisi mental emosional. Sampel yang terganggu kondisi mental emosionalnya berpeluang mengalami obesitas sentral 1.193 kali lebih besar daripada sampel yang tidak terganggu kondisi mental emosionalnya (OR=1.193). Hal ini terkait dengan perilaku yang buruk pada orang yang terganggu kondisi mental emosionalnya, seperti konsumsi makanan berenergi tinggi dan konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan. Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 34.4% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di Gorontalo. Terdapat 65.6% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di Gorontalo (Lampiran 3). Tabel 8. Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo Variabel
B
Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 0.844 55 tahun 1.021 Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan 1.958 Status kawin (0=belum kawin) Kawin 1.145 Cerai 0.877 Pendidikan (0=tidak sekolah/tidak tamat SD) SD/SMP 0.298
Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Wiraswasta/pedagang/jasa Pengeluaran per kapita (0=kuintil 1) Kuintil 2 Kuintil 3
Sig.
OR
95% C.I.for OR Lower
Upper
0.000 0.000
2.325 2.777
1.983 2.190
2.726 3.521
0.000
7.085
5.639
8.902
0.000 0.000
3.143 2.404
2.371 1.662
4.166 3.476
0.001
1.348
1.138
1.596
0.547 0.954 0.627
0.000 0.000 0.000
1.728 2.597 1.872
1.328 1.798 1.362
2.249 3.752 2.571
0.464 0.477
0.000 0.000
1.591 1.612
1.259 1.279
2.010 2.031
Variabel
B
Sig.
Kuintil 4 0.688 Kuintil 5 0.819 Tipe Wilayah (0=perdesaan) Perkotaan 0.258 Aktivitas fisik berat (0=ya) Tidak 0.264 Kondisi mental emosional (0=tidak terganggu) Terganggu 0.177 Konstan -5,190
OR
95% C.I.for OR
0.000 0.000
1.991 2.269
Lower 1.580 1.793
Upper 2.507 2.872
0.002
1.294
1.097
1.527
0.001
1.302
1.107
1.532
0.048
1.193
1.001
1.422
0,000
0,006
Faktor Risiko Obesitas Sentral di DKI Jakarta Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta adalah umur
35 tahun,
perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, ibu rumah tangga, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, pernah merokok, konsumsi makanan berlemak dan kondisi mental emosional terganggu. Sementara konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral (Tabel 9). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=2.318) dan
55 tahun (OR=2.723) berpeluang
mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.318 dan 2.723 kali lebih besar daripada sampel dengan umur 15-34 tahun. Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 4.184 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=4.184). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=2.579) dan cerai (OR=2.213) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.579 dan 2.213 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.419), pegawai BUMN/ swasta (OR=1.254), dan berwiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.290) berpeluang mengalami obesitas sentral 1.419; 1.254; dan 1.290 kali lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja/sekolah. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pengeluaran per kapita kuintil ke-5. Sampel yang memiliki pengeluaran per kapita kuintil ke-5 berpeluang mengalami obesitas sentral 1.202 kali lebih besar daripada sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-1 (OR=1.202). Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pernah merokok. Sampel yang pernah merokok berpeluang
mengalami obesitas sentral 1.284 kali lebih besar daripada sampel yang tidak merokok (OR=1.284). Penelitian pada laki-laki di Amerika Serikat menemukan bahwa perokok dapat menurunkan 0.68 cm lingkar perut, sedangkan mantan perokok berhubungan dengan peningkatan 1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Hal ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein) pada mantan perokok. Konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral. Sampel yang sering mengonsumsi makanan/minuman manis berpeluang mengalami obesitas sentral 0.866 kali lebih besar daripada sampel yang jarang mengonsumsi makanan/minuman manis (OR=0.866). Hal ini berarti bahwa konsumsi makanan/minuman manis dapat menurunkan risiko obesitas sentral. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, terdapatnya kemungkinan konsumsi pemanis buatan di pasaran sebagai pengganti pemanis alami yang memberikan kontribusi energi rendah sehingga tidak menyebabkan kelebihan asupan energi. Review yang dilakukan oleh Malik et al. (2006) memperlihatkan bahwa penggantian minuman manis berkalori dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Kedua, kelemahan desain studi cross sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan serta kelemahan metode pengukuran yang digunakan. Faktor risiko selanjutnya adalah konsumsi makanan berlemak. Sampel yang sering mengonsumsi makanan berlemak berpeluang mengalami obesitas sentral 1.216 kali lebih besar daripada sampel yang jarang mengonsumsi makanan
berlemak
(OR=1.216).
Konsumsi
makanan
berlemak
dapat
menyebabkan tingginya asupan energi (Guallar-Castillon et al. 2007). Makanan berlemak memberikan densitas energi yang tinggi, efek rasa lezat, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, dan lemahnya regulasi fisiologi asupan lemak terhadap asupan karbohidrat (Drewnowski 2007). Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah kondisi mental emosional. Seseorang yang terganggu kondisi mental emosionalnya berpeluang mengalami obesitas sentral 1.135 kali lebih besar daripada yang tidak terganggu (OR=1.135).
Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 24.2% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta. Terdapat 75.8% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta (Lampiran 3). Tabel 9. Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta Variabel
B
Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 55 tahun Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan Status kawin (0=belum kawin) Kawin Cerai
Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) Ibu rumah tangga Pegawai BUMN/swasta
95.0% C.I.for OR Lower Upper
Sig.
OR
0.841 1.002
0.000 0.000
2.318 2.723
2.069 2.330
2.597 3.183
1.431
0.000
4.184
3.561
4.915
0.947 0.794
0.000 0.000
2.579 2.213
2.162 1.756
3.076 2.789
0.350 0.227 0.254
0.000 0.021 0.006
1.419 1.254 1.290
1.184 1.035 1.076
1.702 1.520 1.546
0.015
1.202
1.037
1.393
0.031
1.284
1.023
1.612
0.005
0.866
0.782
0.958
0.001
1.216
1.087
1.360
0.046 0.000
1.135 0.030
1.002
1.285
Wiraswasta/pedagang/jasa Pengeluaran per kapita (0=kuintil ke-1) 0.184 Kuintil ke-5 Kebiasaan merokok (0=tidak merokok) Pernah Merokok 0.250 Konsumsi makanan manis (0=jarang) Sering -0.144 Konsumsi makanan berlemak (0=jarang) Sering 0.195 Kondisi mental emosional (0=tidak terganggu) Terganggu 0.126 Konstan -3.516
Pembahasan Umum Penemuan Penting Penelitian ini memberikan penemuan yang menarik untuk bahan pengetahuan ataupun acuan pemerintah dalam membuat kebijakan/ promosi kesehatan. Pertama, hubungan karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan kejadian obesitas sentral. Umur
35 tahun merupakan faktor risiko
obesitas sentral pada ketiga provinsi. Lemak tubuh meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Seseorang yang berumur
35 tahun harus sudah mulai
memperbaiki pola hidup dan perilaku makan ke arah lebih baik sehingga kemungkinan timbulnya obesitas sentral dapat berkurang.
Jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Peluang perempuan mengalami obesitas sentral di Gorontalo paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini diduga karena gaya hidup di Gorontalo seperti konsumsi sayuran dan buah yang lebih rendah dan kondisi mental emosional terganggu yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya (Tabel 3). Karena lemak tubuh perempuan cenderung lebih tinggi, perempuan harus lebih sehat dalam mengatur pola makan dan gaya hidup. Status kawin juga merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Pada seseorang yang telah menikah, penyesuaian diri yang buruk dengan pasangannya dapat menyebabkan depresi berat. Pengendalian diri dan rasa saling memahami dapat menurunkan kemungkinan depresi seseorang. Gaya hidup dan kebiasaan makan dari pasangan yang tidak baik sebaiknya tidak diikuti sehingga perkembangan obesitas sentral dapat ditekan. Tamat SMA/PT merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan tamat SD/SMP di Gorontalo. Terdapat ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik belum tentu menerapkan pola hidup yang baik pula. Menurut
Kantachuvessiri et
pengetahuan,
keahlian
al. (2005)
berpikir
dan
pendidikan kemampuan
dapat
meningkatkan
sosialisasi.
Namun,
Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa orang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai obesitas masih saja melakukan gaya hidup yang
tidak
baik
ketika
mengalami
depresi/stres.
Walaupun
terdapat
ketidakkonsistenan, pendidikan dapat digunakan sebagai salah satu jalan yang efektif dalam pembatasan perkembangan obesitas sentral. Pekerjaan merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Hal ini terkait dengan kurangnya aktivitas fisik pada beberapa pekerjaan tertentu seperti pekerjaan di perkantoran. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki pekerjaan yang cenderung kurang gerak harus mengimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup seperti olahraga, jogging, atau jalan kaki minimal 30 menit/hari. Pengeluaran per kapita merupakan faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo dan DKI Jakarta. Pendapatan per kapita yang tinggi paralel dengan pengeluaran per kapita yang tinggi pula. Seseorang yang memiliki pendapatan tinggi cenderung konsumtif, terutama dalam mengonsumsi makanan tinggi energi dan lemak, dan kemudahan memanfaatkan akses membuat orang kurang
beraktivitas fisik. Sebaiknya seseorang yang memiliki pendapatan tinggi lebih bijak dalam mengalokasikan pengeluarannya, terutama dalam mengonsumsi makanan dan olahraga yang cukup seperti jogging, fitness, tennis. Tipe wilayah perkotaan merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Urbanisasi yang tinggi menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku konsumsi seseorang. Seseorang yang tinggal di perkotaan harus lebih selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Gaya hidup perkotaan yang cenderung kurang aktivitas fisik juga harus dirubah ke arah gaya hidup yang lebih sehat. Kedua, hubungan gaya-hidup dengan kejadian obesitas sentral. Mantan perokok merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kebiasaan merokok berhubungan negatif, positif, atau tidak berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Ketidakkonsistenan ini diduga karena pemilihan jenis desain studi, bias informasi, atau kelemahan metode pengukuran. Seseorang yang berhenti merokok harus lebih memperhatikan pola konsumsi dan gaya hidup yang lebih sehat. Walaupun pada penelitian ini kebiasaan merokok tidak menunjukkan sebagai faktor risiko obesitas sentral, sebaiknya seseorang menghindari kebiasaan merokok karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan. Tidak beraktivitas fisik berat merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Hubungan aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral diduga karena penggunaan energi dan peningkatan pengeluaran energi seseorang ketika melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik berat seperti bersepeda cepat, tennis tunggal, lari cepat, mendaki gunung, dan lari maraton sangat dianjurkan dalam pencegahan dan penanganan obesitas sentral. Aktivitas fisik yang dilakukan sebaiknya disesuaikan dengan jenis kelamin dan umur seseorang. WHO (2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta. Hubungan konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Beberapa
penelitian
menemukan
hubungan
positif,
negatif,
atau
tidak
berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Kontribusi energi dari konsumsi makanan/minuman manis diduga merupakan penyebab obesitas sentral.
Sementara dalam penelitian ini hanya menganalisis frekuensi konsumsi makanan/minuman manis karena tidak tersedianya data jumlah dan jenis dari makanan/minuman manis yang dikonsumsi. Di samping itu, kelemahan desain cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral. Walaupun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya, sebaiknya konsumsi makanan/minuman manis yang terlalu sering dihindari karena diduga kontribusi energi tinggi dari makanan/minuman manis dapat menyebabkan penumpukan energi sebagai lemak dalam tubuh. Konsumsi makanan berlemak merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Beberapa penelitian menemukan hubungan nyata positif antara konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral. Hal ini diduga karena kontribusi energi yang dihasilkan dari makanan berlemak dan penurunan rasa kenyang ketika mengonsumsi makanan berlemak sehingga menyebabkan seseorang makan dengan jumlah yang berlebihan. Konsumsi makanan berlemak yang terlalu sering sebaiknya dihindari karena tingginya kontribusi energi yang dihasilkan. Kondisi mental emosional terganggu merupakan faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo dan DKI Jakarta. Beberapa penelitian menemukan terdapatnya pola hidup yang tidak baik seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan pada seseorang yang mengalami depresi atau kondisi mental emosional terganggu. Kondisi mental emosional terganggu sebaiknya dihindari dan menerapkan pola hidup yang lebih sehat sehingga perkembangan obesitas sentral dapat dibatasi. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini ditemukan hubungan beberapa faktor dengan kejadian obesitas sentral terutama perilaku konsumsi makanan/minuman yang tidak sesuai dengan teori yang ada sebelumnya seperti hubungan kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral. Terdapatnya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Pertama, desain cross-sectional yang mengambil data exposure dan outcome secara bersamaan menyebabkan tidak dapat dijelaskannya hubungan
sebab akibat antara exposure dan outcome. Kemungkinan pengambilan data dilakukan pada saat sampel sudah mulai mengubah gaya hidup yang sebelumnya tidak baik sehingga menyebabkan tidak terekamnya hubungan exposure dan outcome yang sebenarnya dengan lebih jelas. Misalnya, seseorang yang mengalami obesitas sentral, sebelumnya memiliki kebiasaan kurang mengonsumsi sayuran dan buah, namun setelah sadar akan pentingnya konsumsi sayuran dan buah terutama untuk penurunan berat badan, sampel sudah mulai mengonsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup. Data yang diambil pada waktu pengambilan sampel adalah data pada waktu kebiasaan sampel sudah mulai berubah, sementara kebiasaan lama yang mungkin menyebabkan obesitas sentral tidak terekam pada waktu pengambilan data. Kedua, ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya diduga karena pemilihan metode pengukuran yang digunakan seperti pemilihan metode kualitatif atau kuantitatif. Pada penelitian ini konsumsi sayuran dan buah hanya mengukur frekuensi konsumsi dan banyak porsi yang dikonsumsi, sementara berat sayuran dan buah yang dikonsumsi tidak diukur. Padahal kandungan serat dalam sayuran dan buah penting kontribusinya terhadap
kejadian
obesitas
sentral.
Demikian
pula
dengan
konsumsi
makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak, pada penelitian Riskesdas 2007 hanya diukur frekuensi konsumsi, dan tidak diukur banyaknya asupan energi yang dikonsumsi. Pada makanan berlemak juga tidak ditanyakan jenis lemak yang dikonsumsi. Padahal terdapat beberapa jenis lemak yang berkontribusi pada peningkatan kejadian obesitas sentral. Ketiga, diduga terdapatnya bias informasi pada waktu pengambilan data di lapangan. Kemungkinan responden kurang mengerti terhadap pertanyaan yang diberikan enumerator atau responden berusaha menyembunyikan keadaan sebenarnya. Keempat, quality control dalam pengumpulan data yang berbeda pada wilayah penelitian Riskesdas 2007 menyebabkan kualitas data memiliki standar yang berbeda. Penelitian Lanjutan Melihat terdapatnya hasil penelitian yang bertentangan dengan teori yang ada, maka penelitian lanjutan sangat dibutuhkan. Pada penelitian ini kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, dan konsumsi makanan/minuman manis berhubungan negatif dengan kejadian obesitas sentral. Penelitian yang
dapat dilakukan adalah penelitian kohort (longitudinal) mengenai pengaruh kebiasaan
merokok,
konsumsi
minuman
beralkohol,
dan
konsumsi
makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. Benarkah faktor tersebut berpengaruh pada peningkatan kejadian obesitas sentral? Penelitian lain yang dapat dilakukan adalah mengenai hubungan antara faktor genetik dan etnis dengan kejadian obesitas sentral.