HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Prioritas Buah-buahan Unggulan Pemilihan
prioritas
buah-buahan
unggulan
dimaksudkan
untuk
mendapatkan satu jenis buah unggulan dan menjadi prioritas kajian aspek kelayakan dan strategi pengembangan, dalam hal ini industri pangan berbasis buah unggulan di Provinsi Sulsel. Pemilihan prioritas buah-buahan unggulan, meliputi (1) penyusunan kriteria-kriteria, (2) penentuan alternatif buah unggulan, dan (3) urutan prioritas buah unggulan. 1. Penyusunan Kriteria-kriteria Tahap ini menghasilkan daftar kriteria-kriteria yang memuat daftar lengkap 62 kriteria buah unggulan (Lampiran 7). Selanjutnya, didasarkan pada hasil verfikasi dan reduksi jumlah kriteria, menghasilkan daftar 7 kriteria. Daftar 7 kriteria pemilihan prioritas buah unggulan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Daftar kriteria pemilihan prioritas buah unggulan Kode BU01 BU02 BU03 BU04 BU05 BU06 BU07
Kriteria-kriteria Kesesuaian agroekologis (tanah dan iklim) Penguasaan budidaya tanaman dan pascapanen Memiliki kekhasan (spesifik) Memiliki aneka ragam produk olahan dan prospektif Dukungan sarana dan prasarana serta kebijakan pemerintah Memiliki nilai ekonomi tinggi dan pangsa pasar jelas Keterkaitan pendapatan rakyat
2. Penentuan Alternatif Buah Unggulan Penentuan alternatif buah unggulan, didasarkan pada sejumlah buahbuahan yang termasuk unggulan lokal dan nasional. Selain itu, potensi dan luas areal pengembangan serta hasil pendapat dari survei pakar. Menurut Distan TPH, Provinsi Sulsel (2005), buah unggulan lokal, meliputi (1) jeruk keprok Siem, jeruk Selayar dan jeruk besar Pangkajene, (2) mangga, (3) manggis, (4) pisang, (5) durian, (6) markisa, dan (7) rambutan. Sedangkan tanaman buah
65
unggulan nasional, yakni (1) mangga, (2) manggis, (3) jeruk, (4) salak, (5) rambutan, (6) durian, dan (7) pisang (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2001a). Selanjutnya, didasarkan pada buah unggulan nasional tersebut, Provinsi Sulsel ditetapkan sebagai salah satu wilayah pengembangan utama buah unggulan, yakni (1) mangga, (2) manggis, (3) jeruk, (4) salak, dan (5) rambutan. Matriks antara buah unggulan lokal dan unggulan nasional pada wilayah pengembangan Provinsi Sulsel disajikan pada Tabel 11. Sedangkan potensi dan luas areal pengembangan beberapa jenis buah-buahan di Provinsi Sulsel disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Matriks antara buah unggulan lokal dan unggulan nasional pada wilayah pengembangan Provinsi Sulsel No.
Jenis buah-buahan
Unggulan lokal
1. Jeruk √ 2. Mangga √ 3. Manggis √ 4. Pisang √ 5. Durian √ 6. Markisa √ 7. Rambutan √ 8. Salak x Keterangan : √ = unggulan, x = bukan unggulan
Unggulan nasional (Wilayah Provinsi Sulsel) √ √ √ x x x √ √
Tabel 12. Potensi dan luas areal jenis buah-buahan di Provinsi Sulsel Luas arel (Ha) Dimanfaatkan Belum dimanfaatkan 1. Jeruk 88,467 41,302 47,165 2. Mangga 36,450 12,247 24,203 3. Markisa 16,950 2,888 14,062 4. Rambutan 17,750 6,325 11,426 5. Pisang 11,500 5,349 6,151 Sumber : Distan TPH, Provinsi Sulsel, 2003. No.
Jenis buahbuahan
Potensi (Ha)
Berdasarkan hasil pendapat dari survei pakar dan jenis buah-buahan yang termasuk unggulan lokal dan nasional untuk wilayah pengembangan Provinsi Sulsel, maka diperoleh 5 alternatif buah unggulan, yaitu (1) jeruk keprok Siem,
66
jeruk Selayar dan jeruk besar Pangkajene, (2) mangga, (3) markisa, (4) rambutan, dan (5) manggis. Kelima jenis buah-buahan tersebut, kemudian menjadi dasar verifikasi untuk memperoleh urutan prioritas buah unggulan. 3. Urutan Prioritas Buah Unggulan Urutan prioritas buah unggulan, didasarkan pada hasil analisis teknik PHA, menggunakan kriteria-kriteria dan alternatif buah unggulan sebelumnya. Selanjutnya, analisis tersebut menghasilkan urutan prioritas buah unggulan. Daftar urutan prioritas buah unggulan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Daftar urutan prioritas buah unggulan No. Jenis buah-buahan unggulan 1. Jeruk 2. Markisa 3. Mangga 4. Rambutan 5. Manggis Keterangan : Rasio konsistensi = 0,04.
Prioritas 0,349 0,306 0,216 0,067 0,061
Selain daftar urutan prioritas buah unggulan, juga diperoleh urutan prioritas kriteria buah unggulan. Daftar urutan prioritas kriteria buah unggulan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Daftar urutan prioritas kriteria buah unggulan No. Kriteria-kriteria 1. Memiliki nilai ekonomi tinggi dan pangsa pasar jelas 2. Dukungan sarana dan prasarana serta kebijakan pemerintah 3. Memiliki aneka ragam produk olahan dan prospektif 4. Keterkaitan pendapatan rakyat 5. Memiliki kekhasan (spesifik) 6. Penguasaan budidaya tanaman dan pascapanen 7. Kesesuaian agroekologis (tanah dan iklim)
Prioritas 0,344 0,157 0,156 0,128 0,119 0,064 0,032
Berdasarkan daftar urutan prioritas buah unggulan (Tabel 13), buah jeruk menjadi urutan pertama dengan nilai prioritas 0,349, diantara alternatif buah unggulan lainnya. Sedangkan Tabel 14 menunjukkan, kriteria memiliki nilai ekonomi tingggi dan pangsa pasar jelas menjadi urutan pertama dengan nilai
67
prioritas 0,344. Dengan demikian, buah jeruk keprok Siem, jeruk Selayar serta jeruk besar Pangkajene menjadi buah unggulan dan prioritas utama dalam kajian aspek kelayakan dan strategi pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan di Provinsi Sulsel. a) Jeruk keprok (Citrus reticulata/nobilis L) Tanaman jeruk keprok adalah salah satu tanaman buah tahunan. Tanaman ini tumbuh baik secara alami maupun dibudidayakan. Diyakini tanaman jeruk di Indonesia merupakan peninggalan bangsa Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia. Secara umum, tanaman jeruk keprok termasuk Divisi Spermatophyta dengan spesies Citrus sp. Menurut Direktorat Tanaman Buah (2002a), jeruk keprok yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari beberapa varietas baik lokal maupun impor. Varietas yang banyak dibudidayakan, terdiri atas 23 jenis, yaitu : (1) Tejakula, (2) Selayar, (3) Siompu, (4) Soe, (5) Garut, (6) Sipirok, (7) Batu, (8) Batu 55, (9) Madura, (10) Manis Singkarak, (11) Tawangmangu, (12) Flores (Tugalui), (13) Boci, (14) Cina Konde, (15) Grabag, (16) Brastepu, (17) Payatumpi, (18) Ponkam, (19) Freemont (Frimong), (20) Tangerine, (21) Tankan (Mandarin), (22) Siem, dan (23) Kacang. Sedangkan varietas jeruk keprok yang menjadi unggulan nasional adalah (1) Tejakula, (2) Selayar, (3) Siompu, (4) Soe, (5) Garut-1, dan (6) Sipirok.
Syarat tumbuh jeruk keprok, yakni pada ketinggian
1-700 m di atas permukaan laut (dpl) (dataran rendah) dan 800-1.400 m dpl (dataran tinggi) dengan iklim kering 3-5 bulan per tahun, serta kedalaman air tanah 50-200 mm atau beririgasi baik. Suhu udara pada siang hari 25◦C dan 12-18◦C malam hari.
Selain itu, untuk pertumbuhan optimal
beradaptasi baik pada tanah gembur, subur dan pH 6-6,8 atau pada kemiringan lahan 20% dengan cahaya matahari langsung (Direktorat Tanaman Buah, 2002a). Di Provinsi Sulsel, tanaman jeruk yang banyak diusahakan dan dibudidayakan masyarakat adalah varietas keprok Siem dan Selayar (jeruk Selayar). Jeruk keprok Siem banyak dikembangkan pada bagian Utara, yaitu di Luwu Utara, serta sebagian di Luwu Timur dan Luwu. Sedangkan
68
jeruk Selayar dikembangkan pada bagian Selatan, yakni di Selayar, Bulukumba dan Bantaeng. Secara khusus, jeruk keprok Siem tumbuh dan beradaptasi baik di daerah dataran rendah (kurang 700 m dpl) dengan curah hujan tinggi dan kering. Bentuk buah bulat sampai gepeng, kulit sulit dikupas dengan rasa manis dan agak masam. Sedangkan jeruk Selayar, tumbuh baik pada ketinggian 5-130 m dpl dengan kondisi lahan berbatu. Bentuk buah bulat agak gepeng, dan bagian bawah agak berlubang cekung. Warna buah muda hijau dan buah matang kehijauan sampai kuning dengan ketebalan kulit 2-3 mm.
Daging buah berwarna jingga dengan kadar air
40-55%. Ciri khas jeruk ini adalah memiliki rasa manis dengan aroma yang sangat harum.
Deskripsi singkat masing-masing jenis keprok tersebut
disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Deskripsi singkat jeruk keprok Siem dan jeruk Selayar No. 1.
2.
Deskripsi singkat jeruk keprok Siem Nama daerah : “Lemo cenning”; warna buah : buah muda hijau dan buah matang kuning kehijauan sampai kuning cerah; bentuk bulat : agak gepeng, bagian bawah agak cekung; lingkar buah : 21-26 cm, penampang melintang 7-7,8 cm; tebal kulit 2-3 mm; warna daging : jingga cerah (orange); berat utuh : 150-200 g; berat kupasan : 90-178 g; rasa : agak manis segar; aroma : khas dan sifat buah daging sulit terlepas dari kulit ari. Deskripsi singkat jeruk Selayar Nama daerah : “Munte Cina”; warna buah : buah muda hijau dan buah matang kuning kehijauan sampai kuning; bentuk buah : bulat agak gepeng dan bagian bawah agak berlubang (cekung); lingkar buah : 21–24 cm, dengan penampang melintang 6,7 – 7,8 cm; tebal kulit buah : 2–3 mm, berpori nyata; warna daging buah : jingga; jumlah septa tiap buah : 9–11; jumlah biji tiap buah : 3–6; berat buah utuh : 135–200 g; berat buah kupasan : 90–178 g; rasa buah : manis berair; aroma buah : harum; sifat buah : daging buah mudah terlepas dari kulit ari.
Sumber : Direktorat Tanaman Buah, 2002b. b) Jeruk besar (Citrus grandis)
Jeruk besar atau biasa disebut Pomelo, Pummelo (PUHM-uh-low), Grapefruit, Chakotra dan Shaddock. Jeruk ini merupakan tanaman asli Indonesia dan tersebar hampir di seluruh negara-negara Asia Tenggara (Setiawan dan Sunarjono, 2003).
Umumnya, tanaman jeruk (termasuk
jeruk besar) diklasifikasikan ke dalam Divisi Spermatophyta, Famili Rutaceae dan spesies Citrus maxima Meer atau C. Grandis (L) Osbeck. Beberapa varietas yang dikenal di pasaran, diantaranya (1) Nambangan,
69
(2) Bali, (3) Cikoneng, (4) Pandanwangi, (5) Pangkajene, (6) Gulung, (7) Delima, (8) Khao phan, dan (10) Kao phuan. Walaupun kalah populer dari jeruk keprok, jeruk ini memiliki konsumen tersendiri di pasaran. Selain memiliki citarasa khas, bagian kulit mengandung pektin yang potensial untuk
dikembangkan
menjadi
makanan
ringan
(Anonim,
2003b).
Umumnya, jeruk besar tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian kurang 400 m dpl, gembur dan berhumus serta pH 5-6. Iklim yang sesuai adalah tipe iklim A,B, dan C (Smit dan Ferguson) (Setiawan dan Sunarjono, 2003). Di Provinsi Sulsel, jenis jeruk besar tumbuh baik di Pangkep dengan varietas Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah. Penyebaran jeruk ini terdapat di Kecamatan Labakkang dan Ma’rang. Deskripsi singkat jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Deskripsi singkat jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah No. 1.
Deskripsi singkat jeruk besar Pangkajene Putih Nama daerah : “Lemoloppo Pute”; jumlah bunga per tandan : 4–5 buah; jumlah buah per tandan : 1–2 buah; bentuk buah : bulat seperti bola tertekan; lingkar buah utuh : 59,4–62,5 cm, rata-rata 59,9 cm; lingkar buah kupasan : 55,6–60,8 cm, rata-rata 58,2 cm; warna kulit buah matang : kuning kehijauan; jumlah ruas tiap buah : 12 ruas; jumlah biji tiap ruas : 4–6 biji; warna daging buah : putih; berat buah : 2,5–3,1 kg/buah, rata-rata 2,8 kg/buah; berat kulit buah : 520–843 g rata-rata 682 g; tebal kulit buah : 20–25 mm; rasa daging buah : manis; tekstur daging buah : sedang; aroma : lembut; penampilan buah : menarik.
2
Deskripsi singkat jeruk besar Pangkajene Merah Nama daerah : “Lemoloppo Cella”; jumlah bunga per tandan : 4–7 buah; jumlah buah per tandan : 1–2 buah; bentuk buah : bulat; lingkar buah utuh : 50,8–65,3 cm, rata-rata 58,0 cm; lingkar buah; kupasan : 53,1–55,4 cm, rata-rata 54,3 cm; warna kulit buah matang : kuning; jumlah ruas tiap buah : 14 ruas; jumlah biji tiap ruas : 8–10 biji; warna daging buah : merah jambu; berat buah : 1,97–2,85 kg/buah, rata-rata 2,41 kg/buah; berat kulit buah : 315–735 g, rata-rata 525 g; tebal kulit buah : 15–20 mm; rasa daging buah : manis berair; tekstur daging buah : sedang; aroma : lembut; penampilan buah : menarik.
Sumber : Direktorat Tanaman Buah, 2002b.
Sejak tahun delapan puluhan, pemerintah Provinsi Sulsel telah berupaya mengembangkan komoditas hortikultura melalui berbagai gerakan, misal Gerakan Pengembangan Hortikultura dan Gizi (Gerbang Kultur Gizi), Proyek Sentra Pengembangan Buah-buahan dan Proyek Agrobisnis Hortikultura. Dampak gerakan tersebut adalah masyarakat di berbagai daerah seperti Gowa, Takalar,
70
Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Enrekang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Tator mengembangkan berbagai jenis buah-buahan, diantaranya adalah mangga, rambutan, markisa, durian, manggis, alpukat dan jeruk. Namun demikian, tanaman buah yang memiliki areal pengembangan terbesar adalah jeruk dan mangga (Ishak, 2004). Menurut Balitbang Pertanian (2005), tanaman jeruk tersebar luas hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Selain Provinsi Sulsel, sentra produksi utama jeruk terdapat di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur.
Selanjutnya, sekitar 70-80% jenis jeruk yang dikembangkan petani
merupakan jeruk keprok Siem dan sebagian kecil jenis lain, misal jeruk keprok Garut (Jawa Barat), keprok Siompu (Sulawesi Tenggara), keprok Tejakula (Bali), keprok Kacang (Sumatera Barat), jeruk besar Nambangan (Jawa Timur) dan jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah (Sulsel). Didasarkan pada jumlah produksi 1.600.000 ton pada tahun 2004, Indonesia menempati posisi ke 13 setelah Vietnam, sebagai negara penghasil utama jeruk dunia. Di tingkat internasional, buah-buahan telah menjadi komoditi perdagangan antar negara (International Trade Commodity).
Bahkan
komoditi ini
dikembangkan dengan skala besar dan modalnya tercatat dalam bursa saham. Menurut Sumarno (2005), pasar buah internasional didominasi oleh buah pisang, citrus, apel, pir, anggur, stone fruits (peach, nectarin, plum dan apricot). Selanjutnya, buah-buahan tropika Indonesia (misal, pepaya, alpukat dan mangga) masih digolongkan sebagai buah asing (Exotic Fruits). Sedangkan buah-buahan strawberry, melon, semangka, manggis, durian, rambutan dan jambu hanya termasuk “buah-buahan lain”. Berdasarkan hasil pendapat dari survei pakar, jeruk sebagai buah unggulan didasarkan pada kriteria utama yaitu, memiliki nilai ekonomi tinggi dan pangsa pasar jelas. Dalam upaya pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan, kriteria (faktor) tersebut tidak dapat diabaikan. Pengembangan industri pangan sebagai bagian dari subsektor agroindustri (off farm) untuk mengolah komoditas pangan menjadi produk olahan yang tidak hanya mendapat keuntungan, tetapi pada subsektor usaha tani (on farm) juga harus mendapat keuntungan sebagai pihak penghasil bahan baku. Selanjutnya, faktor pasar sangat menentukan
71
keberhasilan dan kesinambungan usaha. Suatu usaha tidak akan tumbuh dan berkembang apabila produk tidak terserap, baik di pasar domestik maupun ekspor. Dalam hal ini, terdapat kemampuan menyerap komoditas, misal volume, tingkat mutu, harga, tata niaga dan tingkat persaingan serta peluang menjadi substitusi impor. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2004a), secara nasional jika jumlah penduduk kelas menengah ke atas di Indonesia sekitar 38 juta jiwa mengkonsumsi buah jeruk minimum 50 kg/kapita/tahun, maka diperkirakan kebutuhan buah jeruk mencapai 2,5 juta ton. Apabila harga rataan buah jeruk bermutu tinggi Rp. 8.000/kg, maka diperoleh nilai bisnis yang beredar Rp. 20 trilium. Selain itu, nilai ekonomi tinggi buah jeruk secara signifikan telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai ilustrasi, petani di Luwu Utara yang memiliki kebun jeruk keprok Siem 1 Ha dengan jumlah tanaman 400 pohon, dapat menghasilkan buah jeruk segar 15-20 ton/tahun. Jika masa panen 2 kali setahun dan harga jual buah segar pada tingkat petani Rp.750-Rp.1.000/kg, kemudian dikurangi biaya pemeliharaan sekitar Rp.1,5 juta dan biaya produksi lainnya, maka akan diperoleh keuntungan sekitar Rp. 38,5 juta/tahun. Sedangkan untuk pedagang pengumpul tingkat lokal, mendapat keuntungan kotor sekitar Rp.300/kg. Menurut Mutty (2004), secara keseluruhan kontribusi ekonomi usaha tani jeruk keprok Siem di Luwu Utara, jika harga jual Rp.1.000/kg mencapai Rp. 197 milyar setiap tahun. Selain itu, usaha tersebut menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai jasa retribusi sekitar Rp. 1 milyar. Bahkan dapat menjadi penggerak sektor jasa, tenaga kerja dan perdagangan. Ilustrasi lain yang disajikan Balitbang Pertanian (2005), hasil analisis usaha tani jeruk keprokSiem per hektar pada lahan pasang surut di Lampung Selatan dan Kalimantan Selatan menunjukkan, tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 369,57 juta setiap siklus tanaman atau sebesar Rp.33,60 juta/tahun. Selanjutnya, fenomena lain yang menunjukan nilai ekonomi tinggi usaha tani jeruk adalah banyaknya lahan padi sawah, tebu, kakao dan lainnya di beberapa provinsi telah dikonversi menjadi lahan pertanaman jeruk. Bahkan beberapa pengusaha kelapa sawit dan pengusaha swasta lainnya, mulai berinvestasi pada usaha tani jeruk.
72
Secara umum, sebagian besar buah jeruk yang dihasilkan dari seluruh sentra produksi diperdagangkan dan dikonsumsi dalam bentuk segar. Di Provinsi Sulsel, pemasaran jeruk dilakukan pada tingkat petani, pasar lokal, pasar eceran dan pasar tingkat nasional. Pasar tingkat petani adalah petani secara langsung menjual produksinya ke pedagang pengumpul. Pasar lokal adalah pasar masih dalam satu wilayah dengan petani. Pasar eceran (tradisional dan swalayan) adalah penjualan langsung ke konsumen di ibukota provinsi. Sedangkan pasar nasional adalah pasar pada tingkat nasional (antar pulau), misal ke Pualu Jawa, Kalimantan dan Ambon. Saat musim panen besar pada bulan Juli-Agustus, Dinas Perindag Provinsi Sulsel mengadakan Pasar Lelang Komoditi Agro. Kegiatan tersebut memfasilitasi dan mempertemukan pihak petani (produsen) dari sentra produksi jeruk keprok Siem, termasuk jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah dengan pihak pembeli (pedagang besar) dari pulau Jawa (misal, Surabaya dan Jakarta), Kalimantan dan Ambon. Melalui mekanisme tersebut, jalur (rantai) pemasaran menjadi pendek dan transaksi berlangsung pada harga layak. Selain pasar domestik (dalam negeri), buah jeruk sebagian diekspor ke Malaysia, Brunai Darussalam dan Timur Tengah. Namun demikian, Indonesia juga mengimpor jeruk (misal, dari USA, Cina, Pakistan dan Argentina) dan menjadi terbesar kedua di Asean setelah Malaysia. Data dari Balitbang Pertanian (2005), pada tahun 2004 volume impor jeruk sebesar 94.696 ton. Sedangkan volume ekspor pada tahun yang sama hanya sebesar 1.261 ton. Volume impor yang lebih besar dibanding dengan volume ekspor, serta adanya kecenderungan peningkatan mengindikasikan adanya segmen pasar tertentu yang menghendaki jenis dan mutu buah jeruk yang belum dapat dipenuhi produsen dalam negeri. Dengan demikian, buah jeruk memiliki peluang pengembangan dengan nilai ekonomi dan pangsa pasar jelas. Dalam hal ini, diperlukan peningkatan produksi dan mutu buah.
Selain itu, penanganan saluran pemasaran yang baik misal,
jaminan harga oleh instansi terkait akan mendorong petani meningkatkan mutu produksinya.
73
Pemetaan Potensi Buah Unggulan Upaya pengembangan komoditas pertanian khususnya buah-buahan, selama ini belum menyediakan informasi terpadu tentang keadaan agrobisnis sampai pada tingkat terendah, yaitu kecamatan. Dalam hal ini, informasi tersebut bersifat dasar dan strategis bagi pembuat kebijakan di daerah, terutama untuk keperluan investasi dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Salah satu upaya untuk menarik investor adalah dengan menyajikan informasi tentang potensi bisnis yang mudah dipahami dan rinci, misal bentuk peta. Melalui pemetaan potensi buah unggulan pada setiap sentra produksi dapat diperoleh informasi, misal (1) potensi dan lokasi sentra produksi, (2) keadaan agroekologis, (3) aktivitas usaha tani, dan (4) kegiatan penanganan buah unggulan. Provinsi Sulsel terletak di jazirah Selatan pulau Sulawesi. Provinsi ini terletak antara 0°12’-8° Lintang Selatan (LS) dan 116°48’-122°36’ Bujur Timur (BT), dengan luas wilayah 62.482,54 km2 atau 42% dari luas pulau Sulawesi dan 4,1% dari luas Indonesia. Sejak dikeluarkan UU RI Nomor 13 Tahun 1964, daerah ini menjadi daerah otonom dan secara administratif berbatasan dengan (1) sebelah Utara dengan Provinsi Sulawesi Tengah, (2) sebelah Timur dengan Teluk Bone, (3) sebelah Selatan dengan Laut Flores dan (4) sebelah Barat dengan Selat Makassar, meliputi 20 kabupaten, 3 kota dan 1 kota administratif, dengan ibu kota Makassar (Pemprov Sulsel, 2005). Selanjutnya, berdasarkan UU RI Nomor 26 Tahun 2004, Provinsi Sulsel dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat, meliputi 3 daerah, yaitu Mamuju, Majene dan Polewali Mamasa (Polmas). Secara umum, kondisi topografi terdiri atas dataran rendah dan dataran tinggi (pegunungan) (Lampiran 8). Wilayah bagian Utara terdiri atas daerah dataran tinggi dan pegunungan Latimojong, bagian Tengah merupakan dataran rendah dan bagian Selatan daerah dataran tinggi dan pegunungan Bawakaraeng serta Lompobatang (Lampiran 9). 1. Peta Potensi dan Lokasi Sentra Produksi Didasarkan pada potensi sumber daya yang dimiliki dan latar belakang pola pertanian, Pemprov Sulsel menyusun konsep pengembangan komoditas berdimensi wilayah, yaitu Pewilayahan Komoditas. Konsep tersebut
74
menitikberatkan pada pengaturan dan pemanfaatan Tata Ruang Wilayah secara optimal yang mengarahkan perencanaan sektor pertanian dan industri serta sektor terkait lainnya. Terkait dengan konsep pewilayah komoditas tersebut, maka ditetapkan wilayah pengembangan buah jeruk di Luwu Utara, Pangkep, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar (Pemprov Sulsel, 2004). Informasi potensi dan lokasi sentra produksi, sangat terkait dengan faktor ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan buah unggulan. Ketersedian bahan baku yang cukup dan tepat waktu akan menjamin kelancaran proses produksi. Dengan demikian, diperlukan adanya peluang untuk intensifikasi dan ekstensifikasi.
Selain itu, dapat dilakukan upaya
peningkatan produktivitas, diversifikasi dan pengembangan areal potensi dan jumlah tanaman. Demikian pula faktor lokasi sentra produksi. Penyebaran yang terlalu luas (terpencar), akan meningkatkan biaya pengumpulan dan harga jual. Dalam hal ini, memerlukan sarana dan prasarana transportasi untuk mencegah kehilangan hasil dan kerusakan sebelum dipasarkan. Potensi dan lokasi sentra produksi buah jeruk di Provinsi Sulsel disajikan pada Tabel 17. Sedangkan peta potensi buah jeruk di Provinsi Sulsel disajikan pada Gambar 9. Tabel 17. Potensi dan lokasi sentra produksi buah jeruk di Provinsi Sulsel Sentra Produksi
Potensi (Ha)
Luwu Utara
32.650
Luas Tanam (Ha) 21.565
Pangkep
2.650
Bantaeng
Peluang (Ha)
Areal TB (Ha)
11.652
15.402
Areal TBB (Ha) 6.163
679
1.971
530
149
9.000
600
8.400
500
100
Bulukumba
2.350
600
1.750
400
455
Selayar
4.700
1.250
3.650
452
798
Lokasi Malangke Barat dan Malangke Ma’rang dan Labakkang Bissapu dan Pa’jukukang Bontotiro dan Bontobahari Bontomatene, Bontoharu dan Bontosikuyu
Sumber : Distan TPH, Provinsi Sulsel, 2003. Keterangan : TB (Tanaman Berbuah), TBB (Tanaman Belum Berbuah)
75
Gambar 9. Peta potensi dan lokasi sentra produksi
76
a)
Kabupaten Luwu Utara Setiap wilayah (daerah) pengembangan, mempunyai karakteristik tersendiri. Luwu Utara secara geografis terletak pada koordinat antara 20o30’45”-2o37’30”
LS
dan
119o41’15”-12o43’11”
BT.
Secara
administratif, berbatasan dengan (1) sebelah Utara : Provinsi Sulawesi Tengah, (2) sebelah Timur : Kabupaten Luwu Timur, (3) sebelah Selatan : Teluk Bone, dan (4) sebelah Barat : Kabupaten Tator dan Kabupaten Mamuju. Kabupaten ini terdiri atas 11 kecamatan dan 168 desa, serta 4 kelurahan dengan jumlah penduduk 250.462 jiwa. Sekitar 80,93% penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani sawah dan sebagian menjadi petani jeruk. Lokasi sentra produksi buah jeruk milik petani terdapat di Kecamatan Malangke Barat dan Malangke meliputi 16.246 Ha tersebar pada 17 desa.
Peta sentra produksi buah jeruk disajikan
pada Gambar 10. b)
Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep secara geografis terletak pada koordinat antara 110o-113” LS dan 4o40’-8.00” BT. Batas administratif, yaitu (1) sebelah Utara dengan Kabupaten Barru, (2) sebelah Timur dengan Kabupaten Bone, (3) sebelah Selatan dengan Kabupaten Maros, dan (4) sebelah Barat dengan Pulau Kalimantan, Jawa, Madura, Nusa Tenggara dan Bali. Luas wilayah meliputi 112,29 km2, terdiri atas 11 kecamatan dan 97 desa (kelurahan).
Daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil
buah jeruk besar di Indonesia, yaitu di Kecamatan Ma’rang dan Labakkang. Peta sentra produksi jeruk disajikan pada Gambar 11. c)
Kabupaten Bantaeng Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak pada koordinat antara 5o21’13”-5o35’26” LS dan 119o51’42”-120o05’27” BT. Batasbatas administratif, yaitu (1) sebelah Utara dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten
Bulukumba,
(2)
sebelah
Timur
dengan
Kabupaten
Bulukumba, (3) sebelah Selatan dengan Laut Flores, dan (4) sebelah Barat dengan Kabupaten Jeneponto. Luas wilayah meliputi 395,83 km2,
77
terdiri atas 6 kecamatan, 46 desa dan 21 kelurahan. Daerah ini memiliki potensi pengembangan buah jeruk di Kecamatan Bissapu dan Pa’jukukang (Gambar 12). d)
Kabupaten Bulukumba Kabupaten Bulukumba secara geografis terletak pada koordinat antara
5o20”-5o40”
LS
dan
119o50”-120o28”
BT.
Batas-batas
administratif, yaitu (1) sebelah Utara dengan Kabupaten Sinjai, (2) sebelah Timur dengan Teluk Bone, (3) sebelah Selatan dengan Laut Flores, dan (4) sebelah Barat dengan Kabupaten Bantaeng. Luas wilayah meliputi 1.154,67 km2, terdiri atas 10 kecamatan dan 125 desa (kelurahan).
Daerah ini berada pada ketinggian 0-1000 m dpl atau
95,39% dengan kemiringan tanah 0-40%. Potensi buah-buahan di daerah ini, misalnya rambutan, durian, manggis, jeruk Selayar, mangga, duku (langsat) dan pisang. Lokasi sentra produksi buah jeruk di Kecamatan Bontotiro dan Bontobahari. Peta sentra produksi buah jeruk disajikan pada Gambar 13. e) Kabuapaten Selayar Kabupaten Selayar secara geografis terletak pada koordinat antara o
5 43’-7o35’ LS dan 120o15”-122o00’00 BT. Batas-batas administratif, yaitu (1) sebelah Utara dengan Selat Bira, (2) sebelah Timur dengan Laut Flores, (3) sebelah Selatan dengan Laut Flores, dan (4) sebelah Barat dengan Laut Flores. Luas wilayah daerah ini meliputi 903,35 km2, yang terdiri atas 9 kecamatan dan 72 desa (kelurahan). Selain tanaman pangan, potensi buah jeruk cukup besar dan menjadi prioritas utama pembangunan jangka panjang. Dalam hal ini, dilakukan usaha intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Peta sentra produksi buah jeruk disajikan pada Gambar 14. Peta potensi dan lokasi sentra produksi (Gambar 10-14) ditambahkan gambaran aktivitas usaha tani masing-masing sentra produksi. Rekapitulasi data dan informasi aktivitas usaha tani buah jeruk di Provinsi Sulsel disajikan pada Tabel 18. Sedangkan kegiatan penanganan buah jeruk masing-masing sentra produksi disajikan pada Tabel 19.
83
Tabel 18. Rekapitulasi data dan informasi aktivitas usaha tani buah jeruk setiap sentra produksi. Sentra produksi Luwu Utara
Pangkep
Bantaeng
Bulukumba
Selayar
Data dan informasi aktivitas usaha tani Jeruk keprok Siem; lahan kurang drainase dan aerasi; bibit (varietas dan klon) tidak seragam, petani mendatangkan sendiri dari Surabaya dan Bogor tanpa label jelas, sebagian berasal dari Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat; pemeliharaan (pemangkasan dan pemupukan) tidak optimal; pengendalian hama terbatas; penyakit CVPD semakin jelas dan cenderung meluas; petani menggunakan gergaji mesin untuk menebang tanaman yang terserang CVPD; pemanenan mulai bulan Juni-Agustus dengan cara petik ‘membelitmelingkar’ dan menarik buah, sistem tebasan tanpa seleksi umur panen, setelah panen buah ditumpuk di kebun selama 1 malam (±12 jam); pedagang pengumpul mengangkut buah dari kebun ke gudang atau rumah tinggal dengan truk, sortasi berdasarkan diameter buah; buah dikemas dengan kotak kayu kapasitas 30 kg atau tanpa kemasan (curah), dijual ke pedagang antar pulau di Makassar menggunakan mobil truk. Sebagian besar buah dijual bentuk segar. Jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah; lahan kurang pengairan, musim kemarau dilakukan penyiraman atau penggunaan pompa air; bibit okulasi dan cangkok disiapkan petani; penanaman pola tumpangsari, mulai berbuah umur 3-4 tahun; pemeliharaan (pemangkasan tidak ada dan pemupukan menggunakan pupuk kandang); relatif tahan hama penggerek buah dan penyakit busuk pangkal buah; panen setiap bulan Mei-Juli secara tradisional (memutar dan menarik buah); penjualan buah segar di kebun secara tunai; dikemas dengan peti kontainer; pedagang antar pulau menggunakan mobil truk tujuan pulau Jawa (Surabaya dan Jakarta); kegiatan pengolahan tidak ada. Jeruk Selayar; lahan menggunakan air melalui pipa penyaluran dari bak penampungan; lahan tidak didukung jalan tani yang baik; bibit berasal dari petani penangkar benih dan Dinas Pertanian (Proyek Pengembangan Jeruk); pemeliharaan (pemangkasan, penjarangan dan pemupukan) tidak optimal; pengendalian hama terbatas; pemanenan mulai bulan Juni-Agustus dengan cara petik ‘membelitmelingkar’ dan menarik buah; pedagang pengumpul mengangkut buah dari kebun ke gudang atau rumah tinggal dengan truk atau mobil bak terbuka, sortasi berdasarkan diameter buah; dijual secara tunai dan atau pinjaman sementara ke pengecer dan pedagang pengumpul; buah diangkut secara curah menggunakan truk; dijual grosir ke pedagang antar pulau di Makassar tujuan pulau Jawa dan Kalimantan; umumnya buah dijual bentuk segar tanpa pengolahan. Jeruk Selayar; lahan tidak didukung drainase dan pengairan; bibit dari petani penangkar benih dan sebagian dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura setempat; pemeliharaan (pemangkasan, penjarangan dan pemupukan) tidak optimal; pengendalian hama terbatas; pemanenan besar mulai bulan Juli-Agustus dilakuan dengan cara petik ‘membelitmelingkar’ dan menarik buah; pedagang pengumpul mengangkut buah dari kebun ke gudang atau rumah tinggal dengan truk atau mobil bak terbuka, sortasi berdasarkan diameter buah; dijual secara tunai ke pengecer dan pedagang pengumpul; buah diangkut secara curah menggunakan mobil truk; dijual grosir ke pedagang antar pulau di Makassar tujuan pulau Jawa dan Kalimantan; buah dijual bentuk segar tanpa pengolahan. Jeruk Selayar; lahan tidak didukung drainase dan pengairan; bibit dari petani dan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura setempat; pemeliharaan (pemangkasan, penjarangan dan pemupukan) tidak ada; pengendalian hama terbatas; penyakit CVPD teridentifikasi; pemanenan besar bulan Juli dengan cara petik ‘membelitmelingkar’ dan menarik buah; petani berfungsi sebagai pedagang pengumpul dalam kemasan keranjang bambu, mengangkut buah dari kebun menggunakan bus penumpang, sortasi berdasarkan diameter buah; dijual secara tunai ke pengecer dan pedagang pengumpul; tujuan pasar lokal dan Makassar; buah dijual segar tanpa pengolahan.
84
Tabel 19. Penanganan buah jeruk masing-masing sentra produksi. Sentra produksi Luwu Utara (Malangke Barat)
Data dan informasi singkat penanganan buah jeruk Desa Pao, status usaha individu (Bapak Guntur), jenis usaha petani, pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, modal kerja Rp. 15.000.000-, kapasitas produksi 190.000-200.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 250-Rp 9.000/kg, kemasan produk peti kayu, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan mobil truk, pembeli pedagang besar (pasar tradisional) di Makassar dan pedagang antar pulau tujuan ke Ambon, Samarinda, dan Surabaya kemudian didistribusikan ke Semarang, Yogyakarta dan Jakarta. Desa Belawa Baru, status usaha individu (Bapak Tasrin), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, modal kerja Rp. 13.000.000 kapasitas produksi 170.000-180.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp.300-Rp. 800/kg, kemasan produk peti kayu, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan mobil truk, pembeli pedagang besar (pasar tradisional) di Makassar dan pedagang antar pulau tujuan Surabaya. Desa Wara, status usaha individu (Bapak Basmial), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, modal kerja Rp13.000.000-, kapasitas produksi 20.000-30.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 300-Rp. 800/kg, kemasan produk peti kayu, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan mobil truk, pembeli pedagang besar (pasar tradisional) di Makassar dan pedagang antar pulau tujuan ke Ambon, Samarinda, dan Surabaya kemudian didistribusikan ke Semarang, Yogyakarta dan Jakarta.
(Malangke)
Desa Cenning, status usaha individu (Bapak Asdi), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, investasi Rp. 10.000.000-, kapasitas produksi 18.000 kg/th, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 250Rp.750,-/kg, kemasan produk peti kayu, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan mobil bak terbuka, pembeli pedagang besar (di pasar tradisional) tujuan utama Makassar. Desa Panasae, status usaha individu (Bapak Arifin), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, investasi Rp. 40.000.000-, kapasitas produksi 16.000-18.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 300-Rp. 700/kg, kemasan produk peti kayu, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan mobil bak terbuka, pembeli pedagang besar (di pasar tradisional) tujuan utama Makassar.
Pangkep (Ma’rang)
Desa Padang Lampe, status usaha individu (Bapak Sugianto), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, modal kerja Rp. 125 juta, kapasitas produksi 240.000 biji/tahun, modal sendiri, harga jual Rp.5.000/biji, kemasan produk peti kontainer, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan menggunakan kapal laut, pembeli pedagang eceran, tujuan ke Surabaya dan Jakarta.
85
Lanjutan Tabel 19. Sentra produksi
Data dan informasi singkat penanganan buah jeruk
Pangkep (Labakkang)
Desa Labakkang, status usaha individu (Ibu Narti), jenis usaha pedagang pengumpul dan sortasi buah segar, modal kerja Rp.100 juta,-, kapasitas produksi 100.000 biji/tahun, modal sendiri 40% dan kredit bank 60% dengan suku bunga 18% per tahun, harga jual Rp. 5.000,-/biji, penjualan secara eceran dan grosir, cara pembayaran tunai dan konsinyasi, pengangkutan curah menggunakan truk, pembeli pedagang antar daerah tujuan ke Makassar dan pedagang eceran di sekitar Pangkep.
Bantaeng (Bissapu)
Campagaloe I, Kelurahan Bontojaya, status usaha individu (Bapak H.Ruma), jenis usaha sortasi buah segar, modal kerja Rp. 15 juta, kapasitas produksi 40.000 kg/tahun, modal sendiri, harga jual Rp.6.500Rp. 9.000/kg, penjualan secara eceran dan grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan curah menggunakan mobil truk, pembeli pedagang eceran (pasar swalayan, pasar tradisional) dan pedagang antar pulau, tujuan ke Makassar dan Kalimantan Timur. Campagaloe I, Kelurahan Bontojaya, status usaha individu (Bapak Basir), jenis usaha sortasi buah segar, modal kerja Rp. 13.000.000, kapasitas produksi 30.000 kg/tahun, modal sendiri, harga jual Rp 6.000Rp 9.000,-per kg, penjualan secara eceran dan grosir, cara pembayaran tunai dan kredit, pengangkutan curah menggunakan mobil bak terbuka, pembeli pedagang eceran (pasar swalayan, pasar tradisional) dan pedagang antar pulau, tujuan ke Makassar dan Kalimantan Timur. Bontojaya, Kelurahan Bontojaya, status usaha individu (Bapak Labali), jenis usaha sortasi buah segar, investasi Rp. 15.000.000, kapasitas produksi 30.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 6.500-Rp. 9.000/kg, penjualan secara eceran dan grosir, cara pembayaran uang muka 50%, pengangkutan curah menggunakan mobil bak terbuka, pembeli pedagang eceran (pasar swalayan, pasar tradisional) dan pedagang antar pulau, tujuan ke Makassar dan Kalimantan Timur.
Bulukumba (Bontotiro)
Desa Tritiro, status usaha koperasi (Koptan Minasa Baji), jenis usaha sortasi buah segar, modal kerja Rp. 15.000.000, kapasitas produksi 60.000 kg/tahun, modal sendiri, skala kecil, harga jual Rp. 2.500Rp 3.500/kg, penjualan secara eceran dan grosir, cara pembayaran tunai, pengangkutan curah menggunakan mobil truk, pembeli pedagang eceran (pasar tradisional) dan pedagang antar pulau, tujuan ke Makassar dan Kalimantan Timur.
Selayar (Bontomatene)
Desa Kurotong, status usaha individu, jenis usaha petani dan pedagang pengumpul, jumlah produksi berfluktuasi sesuai jumlah yang dipanen saat buah matang, modal sendiri, harga jual buah segar Rp.4.000/kg atau Rp. 750,-/biji, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, dikemas dengan keranjang bambu,pengangkutan menggunakan bus penumpang, tujuan ke Makassar dan langsung dijual eceran.
(Bontosikuyu)
Desa Pariangan, status usaha individu dan keluarga, jenis usaha pedagang pengumpul, jumlah produksi berfluktuasi sesuai jumlah yang dipanen saat buah matang, modal sendiri, skala kecil, harga jual buah segar Rp. 4.000,-/kg atau Rp. 750,-/biji, penjualan secara grosir, cara pembayaran tunai, dikemas dengan keranjang bambu, pengangkutan menggunakan bus penumpang, tujuan ke Makassar dan dijual eceran.
86
2. Peta Agroekologis Tanaman Jeruk Informasi agroekologis tanaman merupakan pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama (tidak berbeda nyata), meliputi iklim, fisiografi dan tanah (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2002). Dalam hal ini, berguna untuk kesesuain lahan (land suitability) dan daya dukung lahan (land capability), sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Di Provinsi Sulsel, terdapat 2 jenis hujan yaitu hujan di pantai Barat dan hujan di pantai Timur, yang berlangsung berkisar masing-masing 6 bulan.
Musim kemarau dan musim hujan berlangsung
secara berlawanan antara bagian Timur dan bagian Barat. Di bagian Barat musim hujan berlangsung bulan Mei sampai Oktober, dengan temperatur ratarata 26,6oC. Rekapitulasi data dan informasi agroekologis tanaman jeruk disajikan pada Tabel 20.
Sedangkan peta agroekologis tanaman jeruk
disajikan pada Gambar 15. Tabel 20. Rekapitulasi data dan informasi agroekologis tanaman jeruk setiap sentra produksi. Sentra
Data dan informasi agroekologis
produksi Luwu Utara
Aluvial, Gley Regosol, Latosol, Podsolik; Tipe iklim A, B, B1, B2, C1, C2, D1, dan D2.
Pangkep
Litosol, Laterik, Aluvial, Mediterania; Tipe iklim C, C2, dan C3.
Bantaeng
Mediterania, Regosol, Latosol, Laterik; Tipe klim: B, C, D, E, C2, C3, D3, dan E3.
Bulukumba
Aluvial, Plasanol, Regosol, Latosol, Mediterania dan Laterik; tipe iklim: B, C, D, E, C2, C3, D3, dan E3.
Selayar
Regosol, Rensina; Tipe iklim C, dan E3.
Sumber : BPPMD, 2001.
87
Gambar 15. Peta agroekologis tanaman jeruk
88
Penyusunan Pohon Industri Buah Unggulan Pohon industri buah unggulan adalah merupakan uraian mengenai potensi produk primer (produk segar dari hasil panen), produk sekunder (produk olahan setengah jadi maupun produk jadi dari produk primer) dan produk tersier (produk turunan dari hasil perlakuan lebih lanjut produk utama maupun sampingan dari produk sekunder) (Hubeis, 2003). Hal ini berkaitan erat dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, rekayasa dan teknologi yang semakin mengglobal akibat pesatnya aplikasi teknologi informasi. Selama ini, informasi mengenai pohon industri berbagai jenis buah-buahan masih terbatas. Salah satu diantaranya adalah pohon industri buah pisang (Raharti, 2000). Secara umum, pohon industri buah-buahan dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil telaah pustaka terbaru dan wawancara mendalam dengan pakar, jeruk keprok Siem, jeruk Selayar dan jeruk besar Pangkajene Putih dan Pangkajene Merah memiliki potensi penggunaan dalam berbagai industri. Dalam hal ini, bagian utama dan bernilai ekonomi penting dari tanaman jeruk adalah buah. Secara umum, jeruk keprok Siem dan jeruk Selayar memiliki tipe buah buni (buah berdaging), bentuk bulat sampai agak membulat, kulit tipis, daging buah berwarna jingga (orange) cerah sampai jingga kemerahan, buah muda berwarna hijau, buah matang berwarna kuning kehijauan sampai kuning. Sedangkan jeruk besar Pangkajene memiliki tipe buah buni, bentuk bulat sampai agak membulat, daging buah berwarna merah jambu dan putih agak kuning. Buah jeruk keprok Siem dan jeruk Selayar dapat dikonsumsi segar atau diolah menjadi berbagai produk olahan sebagai produk turunan. Bagian daging buah dihasilkan produk olahan utama, yakni (1) proses minimal, (2) sari buah murni (jus), (3) bioessence, (4) jelli (jam), (5) ampas untuk bahan dodol, dan (6) cuka (cider). Sari murni, selanjutnya dapat diolah menjadi multi fruits juice, konsentrat, tepung sari, sirup, squash, nectar dan kue. Di antara produk olahan tersebut, sari buah murni memiliki mutu dan potensi pengembangan yang baik (produk unggulan) walaupun terdapat beberapa produk turunan lainnya (Ditjen Industri Agro dan Kimia, 2005a). Selain daging buah, dihasilkan pula produk samping (misal mahkota, kelopak, kulit dan biji). Mahkota dan kelopak dapat
89
digunakan sebagai ornamen dan komponen fragrant; kulit buah dapat diolah menjadi pektin, minyak esensial, dietary fiber, kulit kering untuk bahan jamu dan pakan ternak (feed). Minyak esensial yang mengandung d-limonene memiliki produk tersier misal flavor sebagai komponen utama untuk produk makanan dan minuman, kosmetik (sabun, deodorant, sampo dan lotion). Selain itu, digunakan pula sebagai komponen pada produk perawatan binatang (misal sampo, sabun dan pembersih) dan komponen insektisida (pengawet berbahan kayu) dan germisida. Minyak esensial umumnya digunakan sebagai komponen pengharum pada produk degreaser dan pembersih rumah tangga. Sebagai contoh, pohon industri buah jeruk keprok Siem disajikan pada Gambar 16. Bagian daging buah jeruk besar Pangkajene selain dapat dikonsumsi segar, juga dapat diolah menjadi (1) proses minimal, (2) sari buah, (3) jelli (jam), (4) salad dan dessert, serta (5) flavor. Selanjutnya, sari buah memiliki produk turunan (misal sirup, konsentrat, dan tepung sari). Sedangkan bagian kulit dapat diolah menjadi pektin, minyak esensial, manisan, dan marmalade. Bagian biji dapat digunakan sebagai bahan untuk obat pencernaan. Bagian daun dapat diolah menjadi komponen obat batuk. Pohon industri buah jeruk besar disajikan pada Gambar 17. Sari buah adalah salah satu produk olahan sekunder dari hasil utama (primer) daging buah. Produk ini merupakan minuman tidak terfermentasi yang dapat dihasilkan dari pengolahan mekanis dan mempunyai karakteristik warna, aroma dan flavor seperti bahan baku yang digunakan (Lea, 1998). Sedangkan Satuhu (2004), sari buah adalah larutan inti dari daging buah yang matang dan segar serta mempunyai citarasa yang sama dengan buah aslinya. Secara umum, teknologi produksi sari buah jeruk seperti disajikan pada Gambar 18, meliputi (Lea, 1998; Rahmadhani, 2005) : 1.
Persiapan Bahan Buah yang akan diolah adalah buah matang penuh dan segar. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh sari buah dengan citarasa khas buah aslinya.
2.
Sortasi Sortasi buah dilakukan berdasarkan kondisi sehat (misal, tidak cacat, tidak busuk dan bebas penyakit).
90
Bunga
Mahkota
Ornamen
Kelopak
Fragrant Proses minimal
Fragrant
Multi fruit juice
Gambar 16. Pohon industri keprok Siem Sari buahbuah jeruk Konsentrat murni (jus) (adaptasi Balitbang Pertanian, 2005) Daging
Bioessence
Tepung sari
Sirup
Sirup, squash dan nectar
Sirup dan kue
Jelli (jam) Dodol
Ampas Cuka/cider
Buah
Kulit
Pektin
Jelli (jam)
Minyak esensial (dlimonene)
Flavor
Makanan (minuman) Kosmetik
Petcare Dietary fiber Bahan jamu
Insektisida, germicide
Feed
Biji
Minyak esensial
Degreaser, cleaner
Daun Batang
Kayu bakar
Akar
Tonikum
Gambar 16. Pohon industri buah jeruk keprok Siem (adaptasi Balitbang Pertanian, 2005)
91
Bunga
Mahkota
Frgarant1)
Putik
Obat demam Sirup Proses minimal Sari buah (jus)
Daging
Konsentrat
Sirup dan squash
Tepung sari
Sirup dan kue
Jelli (jam)
Salad, dessert Flavor Pektin Buah
Kulit
Minyak esensial (dlimonene)
Jelli (jam)
Makanan (minuman)
Flavor
Manisan Marmalade
Biji
Obat pencernaan
Daun
Obat batuk1)
Batang
Kayu bakar, perkakas
Akar
Keterangan : 1) Anonim (2001)
Gambar 17. Pohon industri jeruk besar (Verheij and Coronel, 1997)
92
3.
Pencucian Pencucian dilakukan untuk membersihkan buah dari kotoran yang melekat (misal, tanah dan residu pestisida), menggunakan air mengalir. Selain itu, buah direndam dalam air hangat (30oC) atau dicuci dalam larutan klorin 0,1%, untuk membunuh mikroba yang menempel pada permukaan kulit buah.
4.
Pemotongan Buah yang telah bersih kemudian dipotong menjadi 2 bagian untuk memudahkan pengeluaran isi (daging buah), menggunakan pisau tahan karat.
5.
Pengeluaran biji Biji yang terdapat dalam daging buah dikeluarkan, agar tidak menimbulkan rasa pahit.
6.
Pengepresan (ekstraksi) Pengepresan adalah cara pengeluaran (ekstraksi) cairan dari jaringan daging buah (endokarp), agar diperoleh ekstrak (sari buah) utuh yang maksimal.
7.
Penyaringan Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sari buah dari komponen lain sehingga diperoleh sari buah yang memiliki mutu baik (sari murni). Untuk membuat sirup, dilakukan pencampuran dengan menambahkan gula (1,5 kg gula/l), penstabil dan pengental (misal Carboxymethylcellulose, CMC) dan bahan pengawet (misal asam sitrat 1-1,5 g/l) (Anonim, 2004b). Sedangkan untuk membuat konsentrat, terlebih dahulu ekstrak sari buah ditambahkan larutan gula 20%, CMC 0,1% asam sitrat 0,3% dan Na-benzoat 400 ppm, kemudian dilakukan homogenisasi dan evaporasi pada suhu 50◦C selama 25 menit (Rahmadhani, 2005).
8.
Pasteurisasi Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu 90◦C selama 5-10 menit, bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba dan merusak enzim proteolitik, sehingga sari buah tidak mengalami kerusakan.
93
9.
Pengemasan Pengemasan (pewadahan) adalah proses pemasukan (pengisian) produk ke dalam kemasan (misal, botol dan kaleng) secara aseptik. Tahap ini memerlukan wadah, ruang (tempat) dan sarana yang steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Buah jeruk Persiapan bahan Sortasi Air bersih
Pencucian Air + kotoran Pemotongan Pengeluaran biji Biji Pengepresan Penyaringan Ampas Sari buah (ektrak) murni Pasteurisasi Pengemasan Sari buah dalam kemasan
Gambar 18. Proses produksi sari buah jeruk (Rahmadhani, 2005)
94
Sari buah jeruk umumnya berbentuk cairan keruh (cloudy) yang mengandung sejumlah komponen seluler sebagai suspensi koloid (misal, minyak, lilin dan pigmen karotenoid) (Arhust, 1995). Selama kegiatan proses produksi, sari buah dapat mengalami perubahan sifat fisiko-kimia yang disebabkan oleh berbagai kondisi proses yang tidak optimal. Dalam hal ini, jika tidak dilakukan pengendalian yang tepat akan menjadi kendala dalam proses produksi, yaitu (Ashurst, 1995; Rahmadhani, 2005) : 1)
Sortasi : Buah yang dipilih adalah buah utuh dan sehat, tidak berjamur (tidak terfermentasi), serta seragam. Buah utuh dan matang penuh (ripeness) akan menghasilkan citarasa yang khas, serta warna yang stabil. Sedangkan buah muda (immature), kandungan sari buahnya masih rendah dan warna yang kurang menarik.
2)
Pengepresan : Selama proses pengepresan, kontak dengan udara yang berlebihan menyebabkan oksidasi vitamin C berlangsung cepat. Akibatnya, terjadi perubahan citarasa dan warna sari buah. Selanjutnya, unsur logam (misal, besi dan tembaga) dari peralatan dan mesin pengolahan yang digunakan dapat menjadi katalisator oksidasi. Selain itu, teknik pengepresan yang tidak tepat menyebabkan kandungan limonin (di atas 7 ppm) dari biji terdispersi ke dalam sari buah dan menimbulkan rasa pahit.
3)
Pasteurisasi : Dalam hal ini, sifat sari buah sangat peka terhadap perlakuan pemanasan. Pemanasan yang berlebihan (di atas 90oC) akan mengubah sifat sari buah dalam waktu singkat, misal menghasilkan off-flavor, off-odor dan peningkatan kekentalan. Sedangkan jika proses pemanasan tidak cukup (di bawah 90oC), mikroba pembusuk (misal, khamir, bakteri dan jamur) dan enzim pektinesterase masih aktif. Sebagai contoh, aktivitas khamir menyebabkan sari buah mengalami fermentasi yang ditunjukkan oleh produksi gas CO2. Sedangkan aktvitas bakteri (misal, Lactobacillus dan Leuconostoc) menghasilkan diacetil yang menghasilkan off-flavor dan offodor. Selain itu, sari buah yang terkontaminasi oleh mikroba patogen (misal, E-coli O157H7 dan Salmonella) dapat menyebabkan penyakit.
Enzim
pektinesterase yang masih aktif, meyebabkan sari buah tidak stabil selama penyimpanan. Dengan demikian, proses pasteurisasi yang tidak cukup
95
menyebabkan mikroba masih aktif dan menjadi kendala terhadap mutu sari buah (Bates, et al., 2001). 4)
Pengemasan : Pewadahan produk dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan mutu produk selama penyimpanan dan distribusi serta menjamin keutuhan dan keaslian produk. Namun demikian, penggunaan bahan kemasan yang tidak sesuai dengan karakteristik produk dapat mempengaruhi mutu dan masa simpan produk. Sebagai ilustrasi, sari buah yang dikemas dengan wadah gelas setelah disimpan 4 bulan pada suhu 10oC, kehilangan vitamin C sebesar 10%. Sedangkan sari buah yang dikemas dengan plastik, kehilangan vitamin C sekitar 80% hanya dalam waktu 3-4 minggu. Dalam hal ini, proses tersebut dipengaruhi oleh sifat permeabilitas oksigen kemasan plastik, suhu dan lama penyimpanan. Selain itu, wadah yang digunakan tidak beracun, membentuk racun atau menimbulkan penyimpangan yang dapat membahayakan kesehatan.
Dengan demikian
faktor pengemasan dapat menjadi kendala terhadap mutu dan masa simpan sari buah. Di sisi lain, produk olahan sari buah jeruk yang beredar di pasaran Indonesia umumnya dalam bentuk pekatan sari buah (juice concentrate). Pekatan sari buah adalah produk hasil pengentalan sari buah (ekstrak) jeruk hingga mencapai konsistensi sirup kental (43-60o Brix). Produk ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya, kestabilan mikrobiologis dan kimia serta mengurangi volume bahan, sekitar 38% selama penyimpanan dan transportasi.
Namun
demikian, beberapa faktor yang dapat menjadi kendala selama reprocessing dan reconstruction pekatan sari buah, yaitu (Ashurst, 1995) : 1) Pelelehan (Thawing) : Metode pelelehan (misal, bahan, suhu dan waktu) yang tidak tepat akan menjadi penyebab kerusakan citarasa dan vitamin, serta menjadi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Sebagai ilustrasi, pelelehan menggunakan cahaya matahari langsung dapat merusak vitamin C dan kontaminasi mikroba, sehingga masa simpan produk menjadi singkat. 2) Sanitasi dan sarana produksi: Sanitasi proses yang tidak bersih dan penggunaan sarana produksi yang tidak sesuai, akan menyebabkan enzim dan mikroba tetap aktif serta merusak produk. Sebagai contoh, teknik pemipaan
96
yang sulit dibersihkan akan menjadi tempat berkembang biaknya mikroba yang dapat mencemari produk. Selain itu, penggunaan sarana produksi (misal, air dan bahan desinfektan), serta komponen perlengkapan produksi yang tidak sesuai akan menjadi sumber pencemaran dan kontaminasi silang (Enie, 2005). Selain sari buah sebagai produk utama, industri pengolahan buah jeruk juga menghasilkan produk sampingan misal pektin, minyak esensial, manisan dan marmalade, sebagai perlakuan lebih lanjut dari kulit dan biji. 1) Pektin Secara alami pektin terdapat di dalam jaringan kulit buah-buahan. Senyawa ini merupakan hasil hidrolisis enzimatis protopektin selama pematangan buah dan sebagai polimer D-asam galakturonat dengan ikatan α-1,4 glukosidik (Belitz and Grosch, 1999; Naz, 2002). Sedangkan sifat kimia pektin adalah mudah larut dalam air dan jika dipanaskan dengan penambahan gula dan asam akan menghasilkan massa kental yang disebut gel. Proses produksi pektin buah jeruk disajikan pada Gambar 19, meliputi (Anonim, 2004b) : 1. Persiapan bahan Bahan yang digunakan adalah kulit buah jeruk matang dan segar. 2. Pencucian Pencucian dilakukan menggunakan air bersih, sehingga diperoleh kulit jeruk yang tidak mengandung kotoran (misal tanah), kemudian ditiriskan. 3. Pengepresan Kulit jeruk yang telah bersih selanjutnya dipres untuk mengeluarkan kandungan airnya, agar proses pengeringan lebih mudah. 4. Pengeringan Pengeringan dilakuan dengan cara penjemuran selama 3-4 hari, sehingga kandungan air kulit jeruk berkurang. 5. Penggilingan Setelah kulit jeruk menjadi kering, dilakukan penggilingan untuk memperkecil ukuran bahan. Hal ini akan memudahkan proses ekstraksi pektin.
97
6. Ekstraksi Proses ekstraksi dilakukan dengan cara membuat bubur kulit jeruk dengan penambahan air 10-20 kali berat bahan. Selanjutnya, pengaturan pH bahan sampai menjadi pH 1,5 menggunakan larutan HCl 1%, dan dipanaskan pada suhu 70-80oC selama 60-90 menit. 7. Penyaringan Bubur kulit kemudian disaring, sehingga diperoleh filtrat pektin. 8. Pengentalan Filtrat yang diperoleh selanjutnya dipanaskan pada suhu 95-97oC, dan diaduk sampai terbentuk filtrat pekat. 9. Pengendapan Pengendapan
dilakukan
dengan
penambahan
alkohol
asam
(campuran larutan etanol 95% dengan 2 ml HCl pekat) dengan perbandingan 1,5 l alkohol asam : l filtrat pekat, kemudian didiamkan selama 10-14 jam sampai diperoleh pektin masam. 10. Pencucian Pencucian dilakukan dengan penambahan kembali alkohol asam sampai jenuh, menggunakan indikator fenolptalein. 11. Pengeringan Pektin basah kemudian dikeringkan pada suhu 40-60oC selama 6-10 jam, sampai diperoleh pektin kering. 12. Penggilingan Pektin kering kemudian digiling halus (60 mesh) sehingga diperoleh tepung pektin. Pektin dari buah-buahan banyak digunakan dalam pembuatan jelli (jam) dan marmalade.
Sedangkan jelli merupakan makanan ringan semi padat,
berbentuk gel, jernih, berkilau dan tembus cahaya.
Produk ini dibuat dari
pemasakan campuran pektin, gula dan asam pada kondisi tertentu. Agar dapat membentuk jelli, kandungan gula tidak kurang dari 45% dan pH 3,5. Namun demikian, penambahan gula dipengaruhi oleh kandungan pektin buah. Semakin tinggi kandungan pektin buah, semakin banyak gula yang ditambahkan. Selanjutnya semakin asam, jumlah gula yang ditambahkan semakin kecil. Jika
98
penambahan gula berlebihan, maka menghasilkan jelli yang encer. Secara umum, teknologi produksi jelli buah jeruk disajikan pada Gambar 20, meliputi (Satuhu, 2004) : 1.
Persiapan bahan Buah yang digunakan adalah buah yang sehat dan tidak cacat.
2.
Sortasi Sortasi buah dimaksudkan untuk memilih buah matang, agar diperoleh kandungan pektin tinggi dan aroma kuat serta agak masam.
3.
Pencucian Pencucuian dilakukan menggunakan air bersih yang mengalir sehingga kotoran terbuang.
4.
Pengupasan Buah dikupas kulitnya, kemudian dipotong kecil untuk memudahkan proses penghancuran.
5.
Penghancuran Penghancuran potongan buah dilakukan dengan penambahan air (campuran potongan buah dengan air) dengan perbandingan 1 : 1 sehingga menjadi bubur buah.
6.
Pencampuran Bubur buah selanjutnya dicampur dengan gula, sebelum pemasakan. Jika penambahan gula sesudah pemasakan akan menghasilkan kristal gula. Biasanya ditambahkan pektin komersial.
7.
Pemasakan Pemasakan bubur buah dimaksudkan untuk ekstraksi pektin yang terdapat dalam buah. Dalam hal ini, dipengaruhi oleh pH, suhu dan waktu pemasakan.
Selanjutnya, pemasakan dapat diakhiri jika (1) terbentuk
gelembung pada permukaan bubur buah, (2) terbentuk gumpalan lunak (diuji dengan satu sendok teh cairan dalam wadah berisi air, jika diangkat gumpalan tetap utuh), dan (3) bila garpu dicelupkan ke dalam cairan, kemudian diangkat cairan tetap padat dan tidak jatuh. Namun demikian, perbandingan pektin, gula dan asam yang tepat dapat diketahui jika titik akhir kekentalan jelli tercapai pada suhu 104,4-105,8oC.
99
8.
Pengemasan Pengemasan dapat dilakukan dengan menggunakan botol gelas atau plastik.
Kulit jeruk Persiapan bahan Air bersih
Pencucian Air + kotoran Pengepresan Pengeringan Penggilingan Ekstraksi Penyaringan Pengentalan Pengendapan Pencucian Pengeringan Penggilingan Pektin
Gambar 19. Proses produksi pektin buah jeruk (Anonim, 2004b)
100
Buah jeruk Persiapan bahan Sortasi Air bersih
Pencucian Air + kotoran Pengupasan Kulit Penghancuran
Gula dan asam sitrat
Pencampuran Pemasakan Jelli Pengemasan
Gambar 20. Proses produksi jelli buah jeruk (Satuhu, 2004)
Proses pembuatan jam (selai) pada dasarnya sama dengan pembuatan jelli. Namun demikian, bahan yang digunakan adalah kulit jeruk dan penambahan pektin komersial (Gambar 21).
101
Buah jeruk Pemotongan dan pengepresan Sari buah Kulit buah Penghancuran Blansir Air (2:1)
Pembuburan Bubur kulit buah
Gula dan asam sitrat
Pencampuran Pemasakan Jam (selai) Pengemasan
Gambar 21. Proses produksi selai buah jeruk (MacWilliam, 2001)
Selain pektin, dari kulit jeruk keprok Siem dapat diekstrak minyak esensial (atsiri) yang mengandung salah satu komponen flavor d-limonene (C10H16). Umumnya, komponen tersebut banyak digunakan dalam produk makanan dan minuman. Bahkan digunakan pula sebagai bahan kosmetik (misal sabun, deodorant dan sampo), bahan pembersih dan insektisida (Anonim, 2001).
102
Ekstraksi minyak esensial dapat dilakukan dengan menggunakan, metode (1) destilasi (uap, air, kering dan superkritis), dan (2) pengepresan (pengempaan). Secara umum, ekstraksi minyak kulit jeruk disajikan pada Gambar 22 , meliputi (Rosmaidar, 1994; Nuryanti, dkk., 2003) : 1. Persiapan bahan Bahan baku yang digunakan adalah kulit jeruk segar dan sehat. 2. Pencucian Kulit jeruk dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran. 3. Pemotongan Pemotongan dilakukan dengan ukuran 1x3 cm, berbentuk irisan kecil. 4. Penyulingan (destilasi) Irisan kecil kulit jeruk disuling di dalam ketel uap, kemudian kondensat (minyak dan air) dipisahkan, sehingga diperoleh minyak esensial. 5. Pengemasan Minyak esensial dikemas menggunakan wadah botol gelas.
Kulit jeruk Persiapan bahan Air bersih
Pencucian Air + kotoran Pemotongan Penyulingan Air Minyak esensial Pengemasan
Gambar 22. Proses produksi minyak esensial jeruk (Rosmaidar, 1994)
103
Pemilihan Prioritas Produk Unggulan Pemilihan prioritas produk unggulan dilakukan untuk mendapatkan jenis produk olahan yang mampu diserap pasar dan dapat meningkatkan preferensi konsumen, dalam hal ini adalah produk unggulan dari buah jeruk. Tahap ini, meliputi (1) penyusunan kriteria-kriteria, (2) penentuan alternatif produk unggulan, dan (3) urutan prioritas produk unggulan. 1. Penyusunan Kriteria-kriteria Penyusunan kriteria-kriteria, didasarkan pada hasil pendapat survei pakar dan dihasilkan daftar lengkap yang memuat 29 kriteria-kriteria produk unggulan (Lampiran 11). Kriteria-kriteria tersebut kemudian dilakukan verifikasi dan reduksi jumlah kriteria, sehingga menghasilkan 8 kriteria. Daftar 8 kriteria pemilihan prioritas produk unggulan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Daftar kriteria pemilihan prioritas produk unggulan Kode PU01 PU02 PU03 PU04 PU05 PU06 PU07 PU08
Kriteria-kriteria Daya tarik Pangsa pasar Ketersedian bahan baku Ketersediaan teknologi Mutu dan keamanan Penyerapan tenaga kerja Dampak lingkungan Dukungan kebijakan pemerintah
2. Penentuan Alternatif Produk Unggulan Penentuan alternatif produk unggulan, didasarkan pada pendapat pakar terhadap sejumlah produk (primer, sekunder dan tersier) dari pohon industri buah unggulan sebelumnya.
Tahap ini, kemudian menghasilkan alternatif
7 produk unggulan, yaitu (1) sari buah, (2) sirup buah, (3) tepung sari, (4) jelli (jam)-marmalade, (5) pektin, (6) flavor agen, dan (7) minyak esensial. Ketujuh jenis produk unggulan tersebut, kemudian menjadi dasar verifikasi untuk memperoleh urutan prioritas produk unggulan.
104
3. Urutan Prioritas Produk Unggulan Urutan prioritas produk unggulan, didasarkan pada hasil analisis teknik PHA, menggunakan 8 kriteria-kriteria dan alternatif 7 produk unggulan. Selanjutnya, analisis tersebut menghasilkan urutan prioritas produk unggulan dan urutan prioritas kriteria produk unggulan. Daftar urutan prioritas produk unggulan disajikan pada Tabel 22. Sedangkan daftar urutan prioritas kriteria produk unggulan disajikan pada Tabel 23. Tabel 22. Daftar urutan prioritas produk unggulan No. Jenis produk unggulan 1. Sari buah 2. Sirup buah 3. Tepung sari 4. Jelli (jam)-marmalade 5. Pektin 6. Flavor agen 7. Minyak esensial Keterangan : Rasio konsistensi = 0,02.
Prioritas 0,305 0,233 0,111 0,141 0,093 0,062 0,055
Tabel 23. Daftar urutan prioritas kriteria produk unggulan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kriteria-kriteria Pangsa pasar Daya tarik Ketersedian bahan baku Ketersediaan teknologi Mutu dan keamanan Penyerapan tenaga kerja Dampak lingkungan Dukungan kebijakan pemerintah
Prioritas 0,171 0,140 0,153 0,121 0,161 0,070 0,101 0,084
Berdasarkan daftar urutan prioritas produk unggulan (Tabel 22), sari buah mempunyai nilai prioritas 0,305.
Sedangkan pada Tabel 23, kriteria
pangsa pasar menjadi urutan pertama dengan nilai prioritas 0,171. Dengan demikian, sari buah menjadi produk unggulan dan prioritas utama dalam pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan di Provinsi Sulsel.
105
Sari buah (fruit juice) adalah salah satu produk olahan buah-buahan yang paling digemari masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat bahwa mengkonsumsi minuman sari buah tidak hanya sekedar memperoleh kesan segar, tetapi juga memiliki berbagai manfaat (khasiat) kesehatan (healthy drink), misal antioksidan, membantu pencernaan, memperbaiki tekanan darah, mengurangi kolesterol dan meringankan flu.
Selain itu, sari buah memiliki
nilai gizi yang baik sebagai sumber vitamin dan mineral. Bahkan dapat berfungsi sebagai sumber flavor dan aroma serta nilai estetika ( Ashurst, 1995). Menurut SNI 01-3719-1995, definisi minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan pengawet makanan yang diizinkan (DSN, 1995). Biasanya sebagian besar berpenampakan keruh, misal sari buah jeruk, tomat, mangga dan sebagian dalam keadaan jernih (misal, sari buah anggur dan apel). Kekeruhan tersebut disebabkan oleh komponen partikel-partikel koloid terdispersi (misal senyawa pektin). Namun demikian, kekeruhan dapat dihilangkan dengan menggunakan enzim pektinase, penambahan gelatin dan penyaringan pada suhu rendah. Menurut Satuhu (2004), dalam perdagangan internasional, produk sari buah dibedakan menurut kandungan total padatan terlarut (TPT) dan sari buah murninya. Jenis produk tersebut, misal syrop, crush, squash, cordial unsweetened juice, ready served furit beverage, nectar serta fruit juice concentart (Tabel 24). Sedangkan sari buah jeruk memiliki karakteristik, yaitu (1) warna kuning sampai orange, (2) keruh, dan (3) citarasa harum sesuai jenis bahannya. Selain itu, umumnya besar sari buah jeruk dikemas sebagai kemasan eceran (sales packaging), yakni : cup, bag, blister, can, botol dan tetrapack (Anonim, 2004a). Secara
nasional
industri
pengolahan
sari
buah
menunjukkan
perkembangan yang baik. Berbagai industri sari buah di Jawa Timur (Surabaya dan Malang), DKI Jaya, Jawa Barat (Subang, Bandung dan Sukabumi), Kalimantan Tengah (Pontianak), Sumatera Utara (Brastagi), Sumatera Selatan, Lampung dan Sulsel (Makassar, Gowa dan Tator), menghasilkan sari buah yang terkenal misal mangga, nenas, jeruk, markisa dan sirsak.
Sebagai
106
ilustrasi, Pemprov Sulsel pada tahun 2004 melalui kebijakan Gerbang Emas, mengembangkan pembinaan industri pengolahan buah eksotik yaitu komoditi jeruk keprok Siem di Luwu Utara dan markisa di Gowa (Disperindag, Provinsi Sulsel, 2005). Sebelumnya, pada tahun 1993 terdapat 33 perusahaan sari buah markisa skala kecil (industri rumah tangga), dengan kapasitas produksi 1.154.000 l. Selain itu, di Sumatera Utara, terdapat 21 perusahaan dengan kapasitas produksi 870.000 l (Anonim, 2004a). Tabel 24. Jenis produk sari buah menurut kandungan TPT dan sari buah. No. Produk sari buah 1. Fruit syrop 2. Crush 3. Squash 4. Cordial 5. Unsweetened juice 6. Ready served fruit beverage 7. Nectar 8. Fruit juice concentrat Sumber : Satuhu, 2004.
TPT (%) 65 55 40 30 alami 10 15 32
Sari buah murni (%) 25 25 25 25 100 5 20 100
Menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2005b), Indonesia sebagai negara tropis mempunyai potensi besar untuk menghasilkan berbagai produk olahan buah-buahan, termasuk sari buah. Hal ini selain didukung oleh potensi produksi dan citarasa khas buah tropis, juga permintaan pasar (domestik dan ekspor) yang tinggi. Sebagai gambaran pada tahun 2004, pangsa pasar buah olahan (sari buah) Indonesia di pasar dunia, yaitu sekitar 4%. Pada tahun yang sama, total permintaan sari buah dalam negeri mengalami pertumbuhan 7%. Industri sari buah murni (pure juice) dan konsentrat yang berkembang tidak hanya menguntungkan industri hulu, tetapi juga dapat memacu pertumbuhan industri hilir yang menghasilkan produk antara (misal, sirup, jam, jelli dan sebagainya). Namun demikian, faktor ketersedian bahan baku sangat mempengaruhi kelangsungan industri pengolahan tersebut. Tanpa didukung pasokan bahan baku yang kontinu, akan sulit untuk berkembang dan bersaing. Dalam hal ini, penguasaan budidaya tanaman dan penanganan pascapanen yang baik menjadi salah satu faktor utama yang diprioritaskan. Selain itu,
107
faktor mutu yang sesuai standar atau permintaan konsumen (misal, aman, bersih dan halal). Menurut Balitbang Pertanian (2005), dalam kurun waktu 2005-2010 industri hilir dapat dikembangkan di Indonesia dengan membangun klaster-klaster usaha tani jeruk di berbagai sentra produksi, misal di Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Sulsel dalam skala usaha kecil, menengah dan besar. Penentuan Pusat Industri Pengolahan Pusat industri pengolahan adalah daerah yang berfungsi sebagai pusat produksi produk unggulan (sari buah) dan produk lain berbasis buah jeruk. Selain itu, dapat menjadi pusat kegiatan bisnis (misal, pengemasan, distribusi dan pemasaran). Daerah yang menjadi pusat produksi produk unggulan tersebut, juga harus merupakan daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan dan perkembangan daerah.
Selain itu, memiliki
keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan memungkinkan terbukanya pasar produk unggulan dan produk turunan lainnya. Sedangkan keterkaitan ke belakang memungkinkan berkembangnya sentra-sentra produksi buah unggulan sehingga ketersedian dan pasokan bahan baku menjadi kontinu, termasuk penanganan buah yang baik. Untuk mendukung berkembangnya pusat industri pengolahan, diperlukan sarana dan prasarana yang baik dibanding daerahdaerah sekitarnya. Berdasarkan hasil pendapat dari survei pakar, kriteria-kriteria daerah pusat industri pengolahan, yaitu (1) kebijakan Pemda, (2) potensi dan ketersedian bahan baku, (3) kemudahan pemasaran, (4) biaya produksi, (5) potensi konflik sosial, (6) ketersediaan tenaga kerja, (7) ketersediaan sumber air, (8) ketersediaan energi listrik, dan (9) sarana dan prasarana transportasi. Selanjutnya, hasil pembobotan masing-masing kriteria disajikan pada Tabel 25 didukung dengan Lampiran 12. Pada Tabel 25, terlihat bahwa semua kriteria memiliki bobot tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk menentukan pusat industri pengolahan, daerah alternatif (daerah yang akan diuji) harus memenuhi kriteria-kriteria tersebut dengan tingkat kepentingan yang tinggi.
108
Tabel 25. Bobot kriteria penentuan pusat industri pengolahan Kode K1.
Kriteria Kebijakan Pemda.
K2.
Potensi dan ketersedian bahan baku.
K3.
Kemudahan pemasaran.
K4.
Biaya produksi.
K5.
Potensi konflik sosial.
K6.
Ketersediaan tenaga kerja.
K7.
Ketersediaan sumber air.
K8.
Ketersediaan energi listrik.
K9.
Sarana dan prasarana transportasi.
Deskripsi Kebijakan pemerintah kabupaten terhadap komoditas unggulan, perizinan dan kepastian hukum. Dukungan SDA masing-masing daerah, praktik-praktik usaha tani, kedekatan dan kemudahan pasokan bahan baku. Dukungan sarana dan prasarana pemasaran, kedekatan dan kemudahan ke pasar (domestik dan ekspor). Tingkat harga bahan baku, biaya pengolahan, upah tenaga kerja dan biaya transportasi. Kondisi mudah tidaknya muncul konflik akibat adanya pusat industri pengolahan. Adanya tenaga kerja terampil yang siap digunakan pada setiap tahapan pengolahan. Adanya sumber air yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional dan sanitasi industri. Adanya sumber energi listrik yang dapat dimanfaatkan untuk operasinalisasi mesin dan peralatan pengolahan dan penerangan. Dukungan sarana dan prasarana transportasi untuk mengangkut bahan baku dan produk serta mobilitas karyawan.
Bobot Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi
Berdasarkan analisis klaster hirarki Pautan Lengkap (Complete Lingkage) terhadap kriteria-kriteria yang diamati, pemotongan dendogram dapat dilakukan pada dua jarak terjauh antara dua buah obyek (daerah sentra produksi). Dalam hal ini, pada jarak 9,14, sehingga akan terbentuk dua klaster (kelompok) (Gambar 23). Dengan demikian, klaster 1 terdiri atas 4 anggota (obyek), yakni A1 (Luwu Utara), A2 (Pangkep), A3 (Bantaeng) dan A4 (Bulukumba), serta klaster 2 memiliki 1 anggota (obyek) yakni A5 (Selayar). Sedangkan karakteristik masing-masing klaster disajikan pada Tabel 26.
109
13.72
9.14 Jarak
*
4.57
0.00
A1
A2
A3 A4 Daerah sentra produksi
A5
Keterangan : * Garis pemisah klaster dengan pendekatan jarak Gambar 23. Dendogram daerah sentra produksi buah jeruk Tabel 26. Jarak antara titik pusat klaster (cluster centroids) dengan titik pusat seluruh anggota (obyek). No. Kriteria-kriteria 1. K1 2. K2 3. K3 4. K4 5. K5 6. K6 7. K7 8. K8 9. K9 Keterangan : K1 = K2 = K3 =
Kebijakan Pemda Potensi dan ketersediaan bahan baku Kemudahan pemasaran
Klaster 1 6,6125 6,7250 6,2750 3,5925 5,6525 6,2300 6,4800 7,8725 7,6200 K4 = K5 = K6 =
Biaya produksi Potensi konflik sosial Ketersediaan tenaga kerja
Klaster 2 4,58 2,45 2,45 1,00 7,00 3,46 2,45 4,00 1,00 K7 = K8 = K9 =
Grand centroid 6,206 5,870 5,510 3,074 5,922 5,676 5,674 7,098 6,296 Ketersediaan sumber air Ketersediaan energi listrik Sarana dan prasarana transportasi
110
1) Klaster 1 Klaster ini memiliki nilai cluster centroids tertinggi untuk kriteria K8 (Ketersediaan energi listrik) dan terendah pada K4 (Biaya produksi). Daerah sentra produksi yang mendapat penilaian tertinggi (lebih baik) untuk kriteria ketersediaan energi listik berturut-turut Luwu Utara, Pangkep, Bantaeng dan Bulukumba. Sedangkan untuk kriteria biaya produksi, berturut-turut lebih mahal adalah Bulukumba, Bantaeng dan Luwu Utara serta Pangkep (Lampiran 12). 2) Klaster 2 Nilai cluster centroids tertinggi pada klaster ini adalah kriteria K5 (Potensi konflik sosial) dan terendah pada K4 (Biaya produksi) dan K9 (Sarana dan prasarana transportasi). Kedaan ini menunjukkan bahwa, kriteria K5 (Potensi konflik sosial) tersebut mendapat penilaian yang baik. Sedangkan sebaliknya, untuk kriteria K4 (Biaya produksi) dan K9 (Sarana dan prasarana transportasi). Jika dibandingkan dengan nilai grand centroid, Selayar hanya memenuhi kriteria potensi konflik rendah (kondusif). Hal ini terkait dengan geografis Selayar sebagai sebuah pulau terpisah dengan pulau Sulawesi (jazirah Selatan Sulawesi). Secara umum Tabel 26 menunjukkan, klaster 1 memiliki karakteristik yang baik sebagai pusat industri pengolahan menurut kriteria K1, K2, K3, K4, K6, K7, K8 dan K9. Dalam hal ini, memiliki nilai clusters centroid lebih besar dibandingkan nilai grand centorid, kecuali pada kriteria K5. Namun demikian, klaster ini memiliki potensi (cenderung) terjadi konflik sosial. Sebaliknya, pada klaster 2 menunjukkan karakteristik yang kurang baik sebagai pusat industri pengolahan walaupun potensi konflik sosial rendah. Dengan demikian, hanya anggota klaster 1 yang memenuhi kriteria untuk menjadi pusat industri pengolahan dibandingkan anggota klaster 2. Berdasarkan hasil pendapat pakar (Lampiran 12), sentra produksi Luwu Utara memiliki potensi dan ketersedian bahan baku, tenaga kerja, sumber air, energi listrik, sarana dan prasarana transportasi serta adanya dukungan kebijakan Pemda yang baik. Namun demikian, daerah ini rawan terhadap kejadian konflik sosial serta biaya produksi yang relatif tinggi.
Sentra produksi di Pangkep,
111
memiliki potensi dan ketersediaan bahan baku, kemudahan pemasaran, biaya produksi rendah, konflik sosial rendah, ketersedian tenaga kerja, energi listrik dan sarana prasarana transportasi yang baik. Akan tetapi masih terbatasnya ketersediaan sumber air dan dukungan kebijakan Pemda. Sedangkan di Bantaeng dan Bulukumba, potensi bahan baku, kemudahan pemasaran dan sumber air lebih baik. Namun demikian, sumber energi listrik, sarana dan prasarana transportasi serta dukungan kebijakan Pemda belum memadai, termasuk biaya produksi relatif tinggi dan potensi konflik di Bulukumba. Didasarkan pada tingkat kepentingan (bobot) masing-masing kriteria dan uraian potensi sentra produksi, maka Luwu Utara di bagian Utara dapat ditetapkan menjadi pusat industri pengolahan. Dalam hal ini, juga dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan
dan perkembangan
ekonomi bagi daerah di sekitarnya (misal, Luwu Timur dan Luwu). Terkait dengan fungsi tersebut, Luwu Utara memiliki sejumlah infrastruktur pendukung, yaitu (1) sarana dan prasarana transportasi (misal, jalan darat trans Sulawesi; Bandara Andi Jemma, Seko dan Rampi; serta pelabuhan rakyat), (2) sumber air (misal Sungai Rongkong dan Perusahaan Daerah Air Minum, PDAM), (3) energi listrik (misal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel, PLTD), (4) sarana perdagangan (misal, pasar dan gudang), (5) fasilitas telekomunikasi (misal, PT. Telkom dan Telkomsel), dan (6) lembaga perbankan pemerintah dan swasta (Pemda Lutra, 2005). Alternatif lain, adalah Bantaeng di bagian Selatan yang berfungsi sebagai pusat perkembangan agrobisnis buah jeruk, dalam hal ini didukung oleh potensi produksi dari Bulukumba dan Selayar. Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan usaha adalah suatu proses pengambilan keputusan dari sejumlah alternatif yang menyangkut aspek pasar, teknis dan keuangan. Hasil analisis
tersebut
akan
menentukan
kelayakan
usaha
dan
prospek
perkembangannya. Analisis ini dilakukan pada tingkat usaha tani dan tingkat industri pengolahan.
112
Tingkat Usaha Tani 1. Analisis Pasar Secara nasional jeruk merupakan salah satu buah-buahan yang mendapat prioritas utama dalam pengembangannya. Selain sangat digemari masyarakat, jeruk dapat menjadi sumber pendapatan langsung petani. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2003b), jika dikelola dengan baik usaha tani jeruk dapat memberikan hasil mencapai Rp 50-Rp 90 juta/ha/tahun. Di tingkat lokal, petani umumnya menjual produksinya dalam bentuk segar. Berdasarkan daerah pemasaran, khusus jeruk keprok Siem pemasaran terdiri atas (1) pasar tingkat petani, (2) pasar lokal, (3) pasar eceran, dan (4) pasar nasional (domestik). Adapun rantai pemasaran jeruk keprok Siem yang didapatkan dari hasil studi melalui pengamatan langsung ditunjukkan pada Gambar 24. Umumnya, jeruk yang dipasarkan pada tingkat petani, lokal dan eceran diangkut dengan menggunakan transportasi darat misal mobil truk atau mobil bak terbuka. Sedangkan untuk pemasaran antar pulau menggunakan transportasi laut (kapal jenis ferry). Sedangkan rantai pemasaran jeruk besar asal Pangkep yang didapatkan dari hasil studi melalui pengamatan langsung disajikan pada Gambar 25.
Distributor Luar Pulau (Buah Lokal dan Impor)
Pasar Swalayan
Petani
Pedagang Antar Provinsi
Pedagang Pengumpul Kabupaten
Pedagang Antar Pulau
Pasar Tradisional
Pedagang Perantara
Konsumen
Gambar 24. Rantai pemasaran jeruk keprok Siem di Provinsi Sulsel.
113
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Antar Pulau
Pasar Besar
Pedagang Pengecer
Konsumen
Gambar 25. Rantai pemasaran jeruk besar asal Pangkep di Provinsi Sulsel Khusus untuk pasar dalam negeri, permintaan akan buah-buahan untuk konsumsi segar cenderung meningkat. Hal ini seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kemampuan ekonomi dan kesadaran manusia untuk hidup sehat. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2004b), proyeksi kebutuhan jeruk pada tahun 2010, sebesar 2.056.967 ton. Jika produktivitas kebun 17-20 ton/ha, maka pada tahun tersebut diperlukan luas panen sekitar 111.187 Ha. Proyeksi konsumsi, permintaan, ekspor, kebutuhan, produksi dan impor buah jeruk tahun 2004-2010, disajikan pada Tabel 27. Berdasarkan tabel tersebut, terbuka peluang untuk melakukan peningkatan ekspor. Adapun negara tujuan ekspor, meliputi Jepang, Hongkong, RRC, Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Saudi Arabia, Perserikatan Emirat Arab, Australia, USA, Kanada, Meksiko, Inggris, Perancis dan Italia. Selain itu, dapat diartikan bahwa konsumsi buah jeruk dalam negeri mengalami peningkatan yang nyata, terutama untuk buah segar. Di tingkat pasar internasional, produksi jeruk dalam negeri bersaing dengan jeruk dari Argentina, USA, Afrika Selatan, India, Pakistan, Australia dan RRC. Sebagai contoh, jeruk Pomelo Indonesia bersaing dengan jeruk Pomelo asal Thailand, RRC dan Philipina. Namun demikian, jeruk dalam negeri memiliki aroma yang tidak terlalu tajam dan sangat disenangi oleh konsumen di negara maju. Untuk dapat masuk ke pasar
114
dalam negeri dan pasar ekspor, pihak produsen harus meningkatkan mutu dan jumlah buah, serta melakukan produksi secara efisien. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat peluang pengembangan agrobisnis buah jeruk di Indonesia. Tabel 27. Proyeksi konsumsi, permintaan, ekspor, kebutuhan, produksi dan impor buah jeruk pada tahun 2004-2010 Tahun
Konsumsi (kg/kap/th)
Permintaan (ton)
Ekspor (ton)
Kebutuhan (ton)
Produksi (ton)
Impor (ton)
Neraca (ton)
2004
5,0
1.111.000
1.300
1.112.300
986.000
126.300
2005
6,0
1.346.532
1.600
1.348.132
1.221.532
126.600
2006
6,5
1.473.329
2.000
1.475.329
1.348.329
127.000
2007
6,8
1.499.408
2.460
1.629.122
1.658.445
127.254
2008
7,3
1.631.389
4.674
1.763.571
1.824.289
127.509
2009
7,8
1.766.660
10.517
1.904.940
2.006.718
127.764
2010
8,3
1.905.286
23.662
2.056.967
2.207.390
128.019
126.300 (-) 126.600 (-) 127.000 (-) 29.323 (+) 60.718 (+) 101.778 (+) 150.423 (+)
Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004b. 2. Analisis Teknis Secara umum, kondisi budidaya tanaman jeruk keprok Siem milik petani di Provinsi Sulsel, meliputi (Latief, 2004) : 1)
Lahan Penyiapan lahan penanaman dilakukan petani pada areal cukup luas (> 30 Ha). Akibatnya, sistem aerasi dan drainase terbatas (kurang baik) sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Selain itu, pembuatan terasering dan lubang tanaman dilakukan seadanya.
2)
Bibit Bibit yang digunakan berasal dari penangkaran bibit milik petani setempat, tanpa label. Varietas dan klon bibit yang digunakan tidak memiliki pasar yang jelas.
3)
Penanaman Penanaman bibit dilakukan pada lubang tanaman dengan jarak 5-6 x 5-6 m,
menggunakan campuran tanah galian dengan pupuk
kandang. Jumlah tanaman 400 pohon setiap hektar.
115
4)
Pemupukan Pemupukan tanaman sebagian besar hanya menggunakan pupuk kandang. Sedangkan pupuk buatan (misal, Urea, TSP dan KCl) digunakan dalam dosis tidak tepat.
5)
Pemangkasan Pemangkasan tanaman tidak dilakukan, baik sejak tanaman belum berproduksi maupun setelah berproduksi. Akibatnya, bentuk pohon tidak tertata dengan baik.
6)
Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit sangat terbatas. Akibatnya, di lapangan menunjukan adanya penyakit CVPD.
7)
Panen dan pascapanen Selama ini sebelum dilakukan pemanenan, penjualan buah dilakukan secara tebasan atau pelelangan kepada pedagang pengumpul. Akibatnya, pemanenan buah dilakukan pada waktu dan cara panen tidak tepat. Setiap hektar kebun dapat menghasilkan sekitar 20-22 ton buah jeruk segar.
Buah matang dipanen dengan cara menarik (memutar-
melingkar) dan dicampur dengan buah yang masih muda. Buah yang telah dipanen kemudian ditumpuk secara curah di kebun selama 12 jam untuk menunggu pembeli. Sortasi buah dilakukan berdasarkan ukuran diameter, yakni ukuran kecil (‘kelereng’) dengan diameter < 3,0 cm dan ukuran kelas I berdiameter 3,0-4,5 cm. Penampilan buah berbintik hitam dan memiliki citarasa bervariasi. Adapun budidaya tanaman jeruk besar yang dilakukan petani di Pangkep, meliputi (Munir dan Latief, 1998) : 1) Lahan Lahan yang digunakan untuk penanaman umumnya memiliki sumber pengairan terbatas, dengan luas antara 1-3 Ha. Akibatnya, pertumbuhan tanaman tidak optimal. Saat ini, untuk mengantisipasi kekurangan air petani menggunakan pompa air, walaupun masih terbatas. Bibit yang digunakan berasal dari penangkaran bibit milik petani setempat, tanpa label.
116
2) Penanaman Penanaman bibit dilakukan pada lubang berjarak 6-7 x 6-7 m, menggunakan campuran tanah galian dengan pupuk kandang. Jumlah tanaman 200 pohon setiap hektar. 3) Pemupukan Pemupukan tanaman sebagian besar hanya menggunakan pupuk kandang. Sedangkan pupuk buatan (misal Urea, TSP dan KCl) digunakan dalam dosis tidak tepat. 4) Pemangkasan Pemangkasan tanaman umumnya tidak dilakukan, baik sejak tanaman belum berproduksi maupun setelah berproduksi.
Akibatnya
bentuk pohon tidak tertata dengan baik. 5) Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit jarang dilakukan (terbatas). 6) Panen dan pascapanen Sebelum dilakukan pemanenan, penjualan buah dilakukan secara tebasan kepada pedagang pengumpul. Akibatnya, pemanenan buah dilakukan pada waktu dan cara panen tidak tepat. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 45-50 buah jeruk segar. Secara umum, teknik (cara) budidaya tanaman yang dilakukan petani masih terbatas (tidak lengkap menurut GAP). Namun demikian, hal tersebut dapat dilakukan upaya perbaikan, misalnya melalui penyuluhan intensif dan pembuatan kebun percontohan. 3. Analisis Keuangan Didasarkan atas terbukanya peluang aspek pasar dan aspek teknis produksi, maka dilanjutkan dengan analisis keuangan (finansial). Data dan informasi serta asumsi yang digunakan untuk analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene disajikan pada Tabel 28. Selanjutnya, analisis keuangan usaha tani didasarkan pada asumsi luas areal kebun 1 Ha sebagai ubinan.
117
Tabel 28. Data dan informasi serta asumsi untuk analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene No.
Uraian
Satuan
1.
Luas areal kebun
2.
Jumlah tanaman/hektar
3.
Harga
4.
Bunga bank
5.
DER
6.
Kebutuhan modal kerja selama Waktu pembayaran modal kerja Waktu pembayaran investasi Umur proyek
7. 9. 10.
Nilai Jeruk keprok Siem
Jeruk besar Pangkajene
Ha
1
1
Pohon
400
200
Rp/kg dan Rp/buah %
5.000
7.500
16,00
16,00
%
70
70
tahun
5
10
tahun
5
5
tahun
10
10
tahun
15
15
Hasil analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene disajikan pada Tabel 29, didukung oleh Lampiran 13 dan 14.
Tabel 29. No.
Hasil analisis keuangan usaha tani jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene
Komoditi
NPV (Rp)
IRR (%)
Net B/C
PBP (tahun)
Keterangan
1.
Keprok Siem
123.109.946
23,12
1,77
6,1
Layak, risiko usaha tinggi
2.
Jeruk besar Pangkajene
140.003.397
23,34
2,08
6,0
Layak, risiko usaha tinggi
Menurut Balitbang Pertanian (2005), nilai ekonomi usaha tani jeruk, bervariasi menurut jenis dan lokasi serta teknologi produksi yang digunakan. Sebagai ilustrasi, analisis usaha tani jeruk keprok Siem pada lahan pasang surut di Lampung dan Kalimantan Selatan, memberikan nilai Net B/C sebesar 1,6-2,92 dengan nilai NPV Rp. 6.676.812-Rp. 9.982.250 dan nilai IRR 39,4%. Sedangkan
118
untuk jeruk besar asal Magetan, Jawa Timur pada tahun 2002 memberikan nilai net B/C 6,59, nilai BEP Rp. 31.928.342 dan PBP 5 tahun (Setiawan dan Sunarjono, 2003). Tingkat Industri Pengolahan 1. Analisis Pasar Usaha tani jeruk keprok Siem yang dikembangkan petani di Sulsel mencapai puncak produksi pada bulan Juli sampai dengan Agustus. Pada periode tersebut, buah segar melimpah di pasar lokal dan akibatnya harga jeruk pada tingkat petani mengalami penurunan drastis dari Rp. 900 menjadi Rp. 250. Selain itu, petani cenderung tidak menerapkan teknologi pascapanen yang benar sehingga buah mengalami penurunan mutu (misal, tesktur buah menjadi lunak dan busuk). Salah satu yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut, adalah melakukan pengolahan. Hal ini, selain dapat mengendalikan penurunan harga juga dapat meningkatkan nilai tambah produk. Di tingkat lokal pengembangan industri sari buah dapat menjadi alternatif untuk mengantisipasi kelebihan produksi pada musim panen. Berdasarkan pada Tabel 27, diprediksi mulai tahun 2007-2010 terdapat kelebihan produksi jeruk segar sekitar 127.000-150.000 ton. Kelebihan produksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri pengolahan sari buah dalam negeri. Dengan demikian, kendala pasokan bahan baku yang menghambat industri pengolahan buah-buahan selama ini dapat teratasi. Selama ini, jeruk olahan umumnya yang diekspor dalam bentuk kering (dried oranges), yaitu dried pomelo. Pada kurun waktu 2000-2005, ekspor jeruk kering Indonesia, yaitu tahun 2000 sebesar 382.176 ton dengan nilai US$ 196.351; tahun 2001 meningkat 599.733 ton dengan nilai US$ 189.644. Tahun 2002, 326.138 ton dengan nilai US$ 94.641; tahun 2003, 172.533 ton dengan nilai US$ 102.675; tahun 2004, 194.993 ton dengan nilai US$ 75.654, dan sampai tahun 2005, 3.784 ton dengan nilai US$ 5.151 (Tabel 30). Di sisi lain, pada kurun waktu yang sama Indonesia juga melakukan impor jeruk olahan, yakni tahun 2000 volume impor 156.544 ton dengan nilai US$ 96.744; tahun 2001, 227.260 ton dengan nilai US$ 143.259. Tahun 2002, 276.164 ton dengan nilai US$ 187.171; tahun 2003 mengalami
119
penurunan menjadi 209.704 ton dengan nilai US$ 132.240. Tahun 2004, 139.482 ton dengan nilai US$ 194.825 dan sampai September 2005, 122.514 ton dengan nilai US$ 63.526 (Tabel 30). Dengan demikian, dapat dikatakan terbuka peluang pasar untuk pengembangan produk olahan jeruk. Tabel 30. Ekspor dan impor jeruk olahan (dried pomelo) Indonesia pada tahun 2000-2005 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Ekspor Volume (ton) Nilai (US$) 382.176 196.351 599.733 189.644 326.138 94.641 172.533 10.675 194.993 75.654 3.784 5.151
Impor Volume (ton) 156.544 227.260 276.164 209.704 139.482 122.514
Nilai (US$) 96.744 143.259 187.171 132.240 194.825 63.526
Sumber : Balitbang Perdagangan, 2005. 2. Analisis Teknis Di Luwu Utara, terdapat satu unit industri pengolahan sari buah, yaitu Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pattimang kerjasama dengan Yayasan Adil Sejahtera, Makassar, dengan kapasitas produksi 100-200 liter.
Kegiatan
pengolahan hanya dilakukan pada saat puncak musim panen. Adapun proses produksi sirup buah yang dilakukan petani, terdiri atas : 1) Bahan baku. Buah yang diolah tidak dilakukan sortasi, umumnya buah matang bercampur dengan buah muda. 2) Pemotongan. Buah dipotong (dibelah dua) menggunakan pisau secara manual. 3) Ekstraksi. Ekstraksi dilakukan menggunakan alat pengepresan secara manual, sampai buah tidak mengeluarkan cairan sari. 4) Penyaringan. Sari yang diperoleh, kemudian disaring menggunakan kain tapisan untuk memisahkan ampas dan kotoran. 5) Pemasakan. Sari buah kemudian dimasak selama 30 menit pada suhu sekitar 80oC. Jika untuk menghasilkan sirup buah jeruk, sebelum dimasak sari buah ditambahkan larutan gula pasir dengan perbandingan 1:1 dan bahan pengawet Na-benzoat 2 g/l.
120
6) Pengemasan. Pengemasan menggunakan botol gelas volume 625 ml dan dilengkapi dengan label produk. Berdasarkan teknik produksi tersebut, dapat diartikan bahwa teknologi pengolahan yang diterapkan kelompok usaha tersebut masih sederhana dan berskala kecil (industri rumah tangga).
Namun demikian, saat ini teknik
produksi sari buah modern telah berkembang dan dikuasai dengan baik. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk pengembangan industri pengolahan buah jeruk. 3. Analisis Keuangan Berdasarkan adanya peluang pasar dan teknis, kemudian dilakukan analisis keuangan. Data dan informasi serta asumsi yang digunakan untuk analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Data dan informasi serta asumsi untuk analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Uraian
Bahan baku Harga bahan baku Konversi buah menjadi sari Harga sari buah Kebutuhan modal kerja selama Bunga bank Waktu pembayaran pinjaman investasi DER Umur proyek Nilai akhir investasi bangunan dan fasilitas Nilai akhir investasi mesin dan peralatan Premi asuransi Perawatan bangunan dan fasilitas Perawatan mesin dan peralatan
Satuan
Produksi sari buah Jeruk keprok Siem Jeruk besar Pangkajene 1
2
1
2
Kg Rp/kg %
600.000 8.000 50
750.000 8.000 60
900.000 2.000 30
1.125.000 2.000 40
Rp/liter Tahun
25.000 1
25.000 1
15.000 1
15.000 1
% Tahun
16,0 5
16,0 5
16,0 5
16,0 5
% Tahun %
70 15 10
70 15 10
70 15 10
70 15 10
%
10
10
10
10
% %
1 2
1 2
1 2
1 2
%
2
2
2
2
121
Lanjutan Tabel 31. No.
15 16. 17.
Uraian
Satuan
Asuransi tenaga kerja Hari kerja dalam setahun Nilai akhir investasi tanah
Produksi sari buah Jeruk keprok Siem Jeruk besar Pangkajene 1
2
1
2
%
3
3
3
3
hari
300
300
300
300
%
200
200
200
200
Keterangan : 1) Skala kecil kapasitas 300.000 l sari/tahun (125 l/jam atau 1.000 l/hari). 2) Skala menengah kapasitas 450.000 l sari/tahun (187-200 l/jam atau 1.500-1.600 l/hari). Analisis keuangan produksi sari buah jeruk disajikan pada Tabel 32, didukung Lampiran 15a, 15b, 16a dan 16b. Sedangkan analisis sensivitas disajikan pada Tabel 33 dan 34.
Tabel 32. No.
Hasil analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene
Kriteria
Jeruk keprok Siem 1 3.922.471.114
2
1
NPV (Rp)
2.
IRR (%)
21,34
25,68
16,70
19,48
3.
Net B/C
1,99
2,73
1,27
1,50
4.
PBP (tahun)
6,1
6,4
6,1
6,9
5.
Keterangan
Layak, risiko usaha tinggi
1.050.682.541
2
1.
Layak, risiko usaha rendah*)
13.483.109.719
Jeruk besar Pangkajene
Layak, risiko usaha rendah
3.891.637.628
Layak, risiko usaha tinggi**)
Keterangan : 1) Skala kecil kapasitas 300.000 l sari/tahun (125 l/jam atau 1.000 l/hari). 2) Skala menengah kapasitas 450.000 l sari/tahun (187-200 l/jam atau 1.500-1.600 l/hari). *) Risiko usaha rendah dipengaruhi oleh adanya dukungan produksi (misal, lahan dan teknologi produksi) dan kebijakan pemerintah, serta persaingan tidak ada. **) Risiko usaha tinggi dipengaruhi oleh kegagalan produksi (misal, pasokan tidak menentu, pengendalian mutu tidak ada, lahan terbatas), inflasi dan kebijakan pemerintah tidak konsisten, serta adanya persaingan.
122
Tabel 33. Hasil analisis sensivitas produksi sari buah jeruk keprok Siem skala kecil dan skala menengah No.
1.
2.
Produksi sari buah jeruk keprok Siem
Sensivitas
NPV (Rp)
IRR (%)
Net B/C
PBP (tahun)
Skala kecil
Skenario 1
2.123.780.292
18,45
1,54
6,1
Layak, risiko usaha rendah
Skenario 2
7.630.468.038
25,01
2,94
6,6
Layak, risiko usaha rendah
Skenario 1
10.839.205.35 1
24,33
2,39
6,5
Layak, risiko usaha tinggi
Skenario 2
18.739.481.83 2
27,49
3,41
6,2
Layak, risiko usaha tinggi
Skala menengah
Keterangan
Keterangan : Skenario 1 : Harga bahan baku dan bahan penolong naik 10% dan harga jual sari buah tetap. Skenario 2 : Harga bahan baku dan bahan penolong tetap dan harga jual sari buah turun 10%.
Tabel 34. Hasil analisis sensivitas produksi sari buah jeruk besar Pangkajene skala kecil dan skala menengah No.
Produksi sari buah jeruk besar Pangkajene
Sensivitas
NPV (Rp)
IRR (%)
Net B/C
PBP (tahun)
1.
Skala kecil
Skenario
144.735.730
13,99
1,04
6,1
Layak, risiko usaha rendah
4.758.679.465
23,19
2,21
6,6
Layak, risiko usaha tinggi
2.588.613.574
17,81
1,33
6,1
Layak, risiko usaha tinggi
9.430.488.311
24,05
2,21
6,4
Layak, risiko usaha tinggi
1 Skenario 2 2.
Skala menengah
Skenario 1 Skenario 2
Keterangan
Keterangan : Skenario 1 : Harga bahan baku dan bahan penolong naik 10% dan harga jual sari buah tetap. Skenario 2 : Harga bahan baku dan bahan penolong tetap dan harga jual sari buah turun 10%.
Berdasarkan Tabel 32, produksi sari buah jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene pada kapasitas produksi skala kecil, memenuhi kriteria layak dengan tingkat risiko usaha rendah. Sedangkan pada kapasitas produksi skala menengah, memenuhi kriteria layak dengan tingkat risiko usaha tinggi. Dalam hal ini, tingkat risiko usaha dipengaruhi oleh rendemen produksi dan jumlah
123
pendapatan bersih. Namun demikian, di pasaran sari buah-buahan baik nasional maupun internasional, sari buah jeruk besar tidak diproduksi dan diperdagangkan karena jenis sari tersebut memiliki rasa pahit yang tinggi. Dalam hal ini, jeruk besar mengandung Total Soluble Solid (TSS) di bawah 14% Brix. Rasa pahit pada jeruk besar, disebabkan oleh komponen naringinin yang terdapat dalam daging buah (Ashurst, 1995). Hasil analisis sensivitas produksi sari buah jeruk keprok Siem (Tabel 33) menunjukkan, pada skala kecil memenuhi kriteria layak dengan tingkat risiko usaha rendah. Sedangkan pada skala menengah, layak dengan tingkat risiko usaha tinggi. Selanjutnya, untuk produksi sari buah jeruk besar (Tabel 34) hanya pada skala kecil (skenario 1) layak dengan tingkat risiko usaha rendah. Dengan demikian, usaha produksi sari buah jeruk keprok Siem sebaiknya hanya dikembangkan pada tingkat skala kecil (kapasitas 300.000 l sari/tahun atau 1.000 l/hari). Apabila diasumsikan setiap hektar rataan produksi kebun jeruk keprok Siem 18,5 ton, dan 70% (12,95 ton) diantaranya digunakan untuk bahan baku industri, serta memperhitungkan kerusakan buah sebesar 25% (9,71 ton), maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku 1 unit industri sari buah jeruk skala kecil (600 ton), diperlukan 61,79 Ha tanaman berbuah siap panen. Namun demikian, jika didasarkan pada jumlah produksi buah jeruk keprok Siem di Provinsi Sulsel sebesar 7.084 ton (Tabel 35) dan 70% (4.958,5 ton) untuk bahan baku industri, serta memperhitungkan kerusakan buah 25% (3.718,9
ton), maka dapat
dikembangkan 6 unit industri sari buah jeruk skala kecil. Dalam hal ini, dapat dikembangkan di Luwu Utara, serta di Bantaeng yang didukung oleh sentra produksi sekitarnya. Terkait dengan tidak tersedianya bahan baku di luar waktu panen buah jeruk keprok Siem (Juni-Agustus) dan untuk mengantisipasi jika terjadi kegagalan panen, maka dapat dikembangkan pengolahan jenis buah-buahan lain (misal, mangga dan markisa) menjadi sari buah, sebagai pengganti buah jeruk keprok Siem. Dalam hal ini, dimaksudkan agar tidak terjadi periode menunggu (idle) terlalu lama. Sebagai contoh, buah mangga memiliki waktu panen 3 bulan dari Oktober-Desember dengan produksi 68.732 ton (Tabel 35). Jika 70% (48.112 ton)
124
buah segar dan memperhitungkan kerusakan buah 25%, maka tersedia 36.084 ton untuk bahan baku industri sari buah. Demikian pula untuk buah markisa, maka tersedia 253,5 ton yang dapat digunakan sebagai komoditi pengganti buah jeruk keprok Siem.
Tabel 35. Waktu panen berbagai jenis buah-buahan unggulan di Provinsi Sulsel No.
Jenis buah
Produksi (Ton)
Waktu panen
1.
Jeruk
7.084
Juni-Agustus
2.
Mangga
68.732
Oktober-Desember
3.
Manggis
1.341
Januari-Februari
4.
Markisa
338
Juni-Desember
5.
Rambutan
98.973
Desember-Februari
6.
Pisang
3.424
Januari-Desember
7.
Durian
11.289
Desember-Februari
Sumber : Disperindag Provinsi Sulsel, 2005.
Analisis Strategi Pengembangan Analisis Prospektif 1. Analisis Struktural Analisis struktural bertujuan untuk mengidentifikasi peubah sistem dan hubungan antar peubah yang membentuk struktur sistem, dalam hal ini sistem pengembangan industri pangan buah jeruk di Provinsi Sulsel. Analisis ini, terdiri atas tiga tahap, meliputi (1) identifikasi peubah sistem, (2) identifikasi hubungan kontekstual antar peubah sistem, dan (3) klasifikasi peubah sistem. 1) Identifikasi Peubah Sistem Identifikasi peubah sistem dimulai dengan pembangkitan peubah menggunakan survei pakar melalui wawancara mendalam. Tahap ini menghasilkan daftar peubah sistem (brainwriting) yang memuat daftar lengkap (exhausted list) 132 peubah sistem pengembangan industri pangan buah jeruk. Berdasarkan daftar lengkap tersebut, dilakukan reduksi jumlah peubah sesuai prinsip eliminasi yang kurang relevan dan agregasi peubah
125
yang sejenis. Selanjutnya, tahap ini menghasilkan 19 peubah. Daftar 19 peubah sistem disajikan pada Tabel 36. Sedangkan rincian masing-masing peubah sistem dapat dilihat pada Lampiran 17.
Tabel 36. Daftar peubah sistem pengembangan industi pangan buah jeruk Kode
Peubah
PS01
Sarana (prasarana) dan teknologi usaha tani
PS02
Lahan usaha tani
PS03
Teknik dan manajemen usaha tani
PS04
Produk usaha tani
PS05
Petani dan buruh tani
PS06
Teknik dan manajemen industri pengolahan
PS07
Produk olahan industri pangan
PS08
Investasi dan pertumbuhan perusahaan pengolahan
PS09
Kelembagaan dan kemitraan
PS10
Kebijakan permodalan
PS11
Kebijakan Perda
PS12
Kebijakan nasional
PS13
Kebijakan perdagangan dan moneter
PS14
Pelanggan
PS15
Pasar dan pemasaran
PS16
Kecenderungan global
PS17
Penyelenggaraan Otda
PS18
Keadaan daerah kawasan
PS19
Ekonomi, teknologi dan informasi
2) Identifikasi Hubungan Kontekstual Antar Peubah Sistem Identifikasi
hubungan
kontekstual
antar
peubah
sistem
menggunakan notasi biner untuk mengetahui adanya pengaruh suatu peubah terhadap peubah lainnya. Tahap ini dilakukan secara berpasangan. Notasi 1 diberikan jika suatu peubah berpengaruh terhadap peubah pasangannya. Sedangkan, notasi 0 diberikan jika suatu peubah tidak berpengaruh terhadap peubah pasangannya. Hasil identifikasi hubungan
126
kontekstual oleh kelompok pakar, disajikan dalam bentuk matriks struktural pada Lampiran 18. 3) Klasifikasi Peubah Sistem Klasifikasi peubah sistem disusun berdasarkan pada tingkat motor (driver power) dan respon (dependence) dari masing-masing peubah sistem.
Tingkat motor menunjukkan kekuatan pengaruh suatu peubah
terhadap peubah lainnya. Sedangkan tingkat respon menunjukkan derajat pengaruh yang diterima oleh suatu peubah sebagai respon terhadap peubah lainnya. Berdasarkan matriks hubungan kontekstual antar peubah sistem (Lampiran 18), maka dapat dibuat klasifikasi langsung (jumlah total baris dan kolom) (Lampiran 19).
Selanjutnya dengan menggunakan teknik
(perlakuan) MIC-MAC, dapat dibuat hubungan klasifikasi tidak langsung (Lampiran 20). Berdasarkan tingkat motor dan respon (Lampiran 20), peubah sistem dapat diklasifikasikan ke dalam empat sektor. Hasil klasifikasi peubah sistem disajikan dalam bentuk diagram motor-respon pada Gambar 26. Sedangkan karakter peubah pada keempat sektor tersebut disajikan pada Tabel 37. Peubah yang
menjadi faktor penentu (key factor) pada kinerja
sistem adalah peubah eksplikatif yang berada pada Sektor 4, yang merupakan peubah masukan sistem. Peubah yang menjadi pengendali sistem adalah peubah penghubung yang berada pada Sektor 3. Sedangkan peubah yang menjadi luaran sistem adalah peubah terikat pada Sektor 2. a) Peubah eksplikatif (masukan) Berdasarkan hasil pengklasifikasian peubah sistem (Gambar 26), diketahui terdapat 8 peubah eksplikatif.
Namun demikian, dalam
konteks pembangunan dan pengembangan industri pangan buahbuahan unggulan di Provinsi Sulsel, terdapat 5 peubah yang bersifat eksogen dan 3 peubah endogen (Tabel 38). Kelima peubah eksogen tersebut adalah PS 02 (Lahan usaha tani), PS12 (Kebijakan nasional), PS16 (Kecenderungan global), PS18 (Keadaan daerah kawasan) dan
127
PS19 (Pengaruh ekonomi, teknologi dan informasi). Sedangkan ketiga peubah endogen, adalah PS01 (Sarana prasarana dan teknologi usaha tani), PS09 (Kelembagaan dan kemitraan) dan PS11 (Kebijakan Perda). Ketiga peubah endogen tersebut, dapat dijabarkan menjadi 5 tema peubah, yaitu (1) Sarana (prasarana), (2) Status teknologi, (3) Status kelembagaan, (4) Jaringan usaha, dan (5) Kebijakan Perda. Kelima peubah tersebut sejalan dengan pendapat Sondakh (2003) bahwa, determinan utama yang menentukan arah, proses dan intensitas perkembangan agroindustri dalam era globalisasi dan desentralisasi, yakni (1) teknologi, (2) pasar, (3) skala ekonomi, (4) networking, (5) akses permodalan, dan (6) mutu pemerintahan.
Motor 23
P16 Sektor 3
Sektor 4 P19
P11
P9
18 P12
P1
P2
P4 P14
P18
13
P15 P6
8
P7
P17
P10
P5
P8 P3 P13
Sektor 1
3 3
8
13
18
Sektor 2 23
28
33
38
Respon
Gambar 26. Diagram motor-respon sistem pengembangan industri pangan buah jeruk
128
Tabel 37. Karakteristik peubah sistem pengembangan industri pangan buah jeruk Karakteristik Tingkat motor Tingkat respon Keterkaitan dengan sistem Hubungan dengan peubah lain Klasifikasi peubah
Tabel 38.
Sektor 1 Lemah Lemah Lemah Stabil
Sektor 2 Lemah Kuat Luaran (output) Stabil
Sektor 3 Kuat Kuat Penghubung (linkage) Labil
Sektor 4 Kuat Lemah Masukan (input) Stabil
Peubah Bebas
Peubah Terikat
Peubah Penghubung
Peubah Eksplikatif
Peubah masukan sistem pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan
Kode
Peubah masukan
A. Peubah eksogen PS02
Lahan usaha tani
PS12
Kebijakan nasional
PS16
Kecenderungan global
PS18
Keadaan daerah kawasan
PS19
Pengaruh ekonomi, teknologi dan informasi
B. Peubah endogen PS01
Sarana (prasarana) dan teknologi usaha tani
PS09
Kelembagaan dan kemitraan
PS11
Kebijakan Perda
b) Peubah pengendali Peubah yang menjadi pengendali sistem adalah peubah penghubung (linkage) yang terdapat di Sektor 3. Hasil analisis pada Gambar 26, terdapat 2 peubah penghubung yang dapat diartikan sebagai peubah pengendali sistem (Tabel 39).
129
Tabel 39. Peubah pengendali sistem pengembangan industri pangan buah jeruk Kode
Peubah pengendali
PS04 Produk usaha tani PS14 Pelanggan
Tujuan pengendalian sistem adalah untuk menghasilkan produk (output) utama yang memiliki daya saing tinggi, dapat diterima di pasar dan memiliki preferensi tinggi kepada pelanggan. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pengendalian mutu, kuantitas dan kontinuitas produksi bahan baku. Selain itu, dapat dilakukan dengan pengendalian teknik dan usaha tani dengan memperhatikan lingkungan. c)
Peubah luaran Berdasarkan hasil analisis Gambar 26, terdapat 5 peubah luaran sistem. Kelima peubah tersebut adalah PS07 (Produk olahan industri pangan), PS08 (Investasi dan pertumbuhan perusahaan pengolahan), PS13 (Kebijakan perdagangan dan moneter), PS15 (Pasar dan pemasaran), dan PS17 (Penyelenggaraan Otda). Kelima peubah tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua tingkatan luaran, yakni (1) Tingkat Industri Pengolahan (Produk olahan industri pangan, Investasi dan pertumbuhan serta pasar dan pemasaran), (2) Tingkat Kawasan (Kebijakan perdagangan dan moneter, serta Penyelenggaraan Otda). Upaya pengembangan industri pengolahan pangan untuk menghasilkan produk olahan unggulan, harus terkait kuat dengan usaha tani (petani). Dalam hal ini, petani sebagai pemasok dituntut menghasilkan bahan baku (buah unggulan) yang bermutu, tersedia dalam jumlah cukup dalam waktu yang tepat dengan harga wajar (rasional). Selanjutnya, produk olahan industri pangan harus diproduksi sesuai dengan keinginan dan selera konsumen di pasar. Dengan demikian, kebijakan pemerintah (Penyelenggaraan Otda dan
130
pengembangan kawasan) harus menciptakan lingkungan kondusif yang dapat mendorong investasi dan pertumbuhan perusahaan, baik pada tingkat hulu (usaha tani primer) maupun tingkat perusahaan (industri pengolahan), misal sarana dan prasarana, tata niaga pemasaran dan permodalan. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan industri pangan buah unggulan ditunjukkan pada Gambar 27. 2. Kejadian Hipotesis Analisis prospektif dilakukan untuk mengetahui prospek pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan di Provinsi Sulsel. Analisis didasarkan pada peramalan jalur perubahan yang dilalui oleh masing-masing peubah peramal dalam kurun waktu 5-15 tahun akan datang. Peubah peramal yang digunakan adalah peubah eksplikatif, yang diperoleh dari analisis struktural, yaitu (1) Sarana (prasarana), (2) Status teknologi, (3) Status kelembagaan, (4) Jaringan usaha, dan (5) Kebijakan Perda. Tahap awal peramalan dimulai dengan mensintesis dua kejadian (event, E) hipotesis untuk setiap peubah peramal (eksplikatif). Dalam hal ini, terdapat 5 peubah eksplikatif yang dapat disintesis menjadi 10 kejadian hipotesis. Selanjutnya kesepuluh kejadian hipotesis tersebut, dikembangkan menjadi kejadian yang paling diharapkan pada kurun waktu 5-15 tahun mendatang. Masing-masing kejadian hipotesis tersebut disajikan pada Tabel 40. Tahapan berikutnya, dengan menggunakan data kejadian tunggal (bebas) (Lampiran 5), dilakukan peramalan peluang (probability, p) kejadian bebas (tunggal) terhadap setiap kejadian hipotesis. Prediksi peluang kejadian tersebut, digunakan untuk memperoleh gambaran jalur perubahan yang dilalui setiap peubah peramal secara bebas (tunggal) selama proses perkembangan berlangsung. Peramalan peluang kejadian hipotesis menggunakan indikator tahap evolusi peubah sistem (Lampiran 6).
131
Lingkungan eksternal
Kebijakan pemerintah (Otda/Perda)
Manajemen Dana
Pasar
Petani
Ekspor Teknologi
Sarana dan
prasarana Lahan
Keterangan : (I) Bahan baku (I) SDM Metode (I/E) (I)
Lokasi
Buahbuahan
Domestik Industri Pangan Berbasis Buahbuahan Unggulan
: Buah-buahan : Petani : Teknologi
(I) (I/E) (I/E)
Mesin dan peralatan Modal Manajemen
: Lahan
(I/E) (E)
Pasar Lingkungan eksternal
Produk olahan
: Sarana dan prasarana : Dana : Manajemen umum dan produksi : Ekspor dan domestik : Persaingan, globalisasi dan kebijakan politik internasional
I (Internal) dan E (Eksternal)
Gambar 27. Diagram lingkar sebab akibat
Tabel 40. Daftar kejadian hipotesis Peubah peramal Sarana (prasarana)
Kejadian hipotesis E01 : Infrastruktur wilayah Infrastruktur dasar dan utilitas industri, serta infrastruktur sistem informasi telah berkembang sesuai kebutuhan yang memungkinkan industri pengolahan tumbuh stabil dan responsif terhadap perubahan.
132
Lanjutan Tabel 40. Kejadian hipotesis
Peubah peramal Sarana (prasarana)
Status teknologi
Status kelembagaan
Jaringan usaha
Kebijakan Perda
E02 : Pewilayahan sentra produksi Pewilayahan komoditas dalam bentuk kawasan sentra produksi telah sesuai dengan keadaan agroekologis wilayah, serta usaha tani telah mencapai skala dan lingkup ekonomi dengan asas efisiensi bisnis sehingga dapat menghasilkan komoditas unggulan. E03 : Status technoware Industri pengolahan telah menggunakan teknologi yang tinggi (computerized and integrated technology) dan adaptif untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi. E04 : Status humanware SDM industri pengolahan telah mampu memanfaatkan teknologi tinggi, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan produk unggulan berdaya saing tinggi. E05 : Status orgaware Tercapainya perangkat organisasi (kelembagaan) yang dapat mewadahi fasilitas, kerjasama, manajemen (koordinasi dan pembinaan) kegiatan, sehingga mampu meningkatkan pelayanan, posisi tawar (kemampuan bersaing), stabil dan responsif terhadap perubahan lingkungan. E06 : Status infoware Berkembangnya perangkat informasi yang berkaitan dengan proses, prosedur, metode, desain dan fakta lainnya, baik pada usaha tani maupun industri pengolahan yang memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap fasilitas untuk tujuan tertentu. E07 : Jaringan kemitraan Keterkaitan dan kemitraan dalam sistem industri pangan yang didasarkan pada asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan telah berhasil menjalin integrasi, sinergis, strategis dan berkelanjutan. E08 : Kerjasama Teknologi Terjalinnya kerjasama teknologi dalam pengembangan dan proses produksi yang memungkinkan terciptanya produk inovatif unggulan. E09 : Mutu kebijakan Pemerintah telah menghasilkan kebijakan dan program yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri pangan E10: Mutu penyelenggaraan Pemda Penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat menciptakan iklim (lingkungan) yang kondusif dan mampu berfungsi sebagai fasilitator, koordinator dan katalisator pengembangan industri pangan dalam jangka panjang.
a) Sarana (prasarana) Infrastruktur wilayah Berdasarkan hasil peramalan proses evolusi infrastruktur wilayah (Tabel 41), diketahui dalam kurun waktu 5 tahun mendatang
133
pengembangan infrastruktur dasar wilayah (daerah) belum memadai. Kemudian pada 10 tahun mendatang infrastruktur dasar dan utilitas industri mulai berkembang dan dilengkapi sistem informasi untuk mendukung aktivitas usaha tani dan peningkatkan produksi. Keadaan ini berkaitan dengan masih rendahnya alokasi anggaran pembangunan infrastruktur wilayah. Upaya peningkatan infrastruktur dasar dan utilitas industri yang berfungsi baik, diprediksi mulai tercapai dalam kurun waktu 15 tahun mendatang. Bahkan pada periode berikutnya infrastruktur dasar dan utilitas industri telah mampu berkembang sesuai dengan perubahan dan kebutuhan usaha tani dan industri pengolahan. Hal ini dimungkinkan, karena sejak tahun 2004 Pemprov Sulsel telah memperkenalkan program khusus pengembangan ekonomi rakyat melalui Gerbang Emas. Tabel 41. Tahapan evolusi karakteristik infrastruktur wilayah Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik infrastruktur wilayah Infrastruktur dasar belum memadai. Infrastruktur dasar dan utilitas industri sudah dilengkapi sistem informasi. Infrastruktur dasar dan utilitas industri berfungsi baik dan berkembang sesuai perubahan dan kebutuhan.
Pewilayahan sentra produksi Hasil peramalan proses evolusi pewilayahan sentra produksi (Tabel 42) menunjukkan, dalam kurun waktu 5 tahun mendatang upaya pewilayahan sentra produksi telah diimplementasikan sesuai dengan keadaan agroekologis wilayah (daerah), namun belum pada skala ekonomi. Selanjutnya, pada 10-15 tahun mendatang sentra produksi telah dikelola dalam skala ekonomi, bahkan berkembang lebih cepat dengan diaplikasikannya ilmu pengetahuan dan teknologi produksi buah-buahan yang modern. Teknologi produksi buah-buahan tersebut mengacu kepada ketentuan GAP yang relevan dengan kondisi wilayah.
GAP adalah
134
panduan umum dalam melaksanakan budidaya buah-buahan secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi dan mutu yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan, memperhatikan aspek keamanan dan kesejahteraan petani serta berkelanjutan. Pemerintah pusat melalui proyek pengembangan agrobisnis hortikultura atau Integrated Horticulture Development in Upland Area Project (IHDUA), sejak tahun 1996-2002 mengembangkan sentra buah-buahan unggulan daerah dan nasional di berbagai wilayah potensial. Kegiatan pengembangan terdiri atas penyiapan lahan, penyediaan sarana dan prasarana, penyediaan bibit dan pelatihan petani (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2002b). Selain itu, tahun 2002 pengembangan sentra produksi jeruk di Provinsi Sulsel didukung oleh pemerintah pusat melalui alokasi dana dekonsentrasi di Pangkep, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004a). Tabel 42. Tahapan evolusi karakteristik pewilayahan sentra produksi Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik pewilayahan sentra produksi Sesuai dengan keadaan agroekologis, tetapi belum skala ekonomi. Sesuai dengan skala ekonomi, efisien dan modern (konsep GAP). Sesuai dengan skala ekonomi, efisien dan modern (konsep GAP).
b) Status teknologi Status technoware Perkembangan status fasilitas industri pengolahan pada 5 tahun mendatang bersifat mekanik dan masih multifungsi (umum). Sedangkan pada kurun waktu 10-15 tahun mendatang, kondisi fasilitas pengolahan berkembang agak lambat ditandai dengan fasilitas masih berfungsi khusus (Tabel 43). Dengan demikian, industri pengolahan yang dioperasikan menggunakan teknologi tinggi (computerized and integrated technology) dan menghasilkan produk berdaya saing tinggi, belum terwujud. Keadaan
135
ini menunjukkan bahwa, perkembangan status teknologi pengolahan pangan pada skala kecil lebih lambat. Selain itu, penggunaan teknologi tinggi dan adaptif memerlukan dana investasi awal dan kemampuan SDM yang tinggi. Namun demikian, jika industri pangan tersebut berskala menengah sampai besar yang dikembangkan oleh investor baru, maka status pengembangannya akan lebih cepat. Dalam hal ini, investor baru umumnya memiliki kemampuan SDM, modal dan teknologi yang baik. Pengembangan industri pengolahan pangan skala menengah sampai besar dapat menjadi penarik (pulling factor) bagi industri pangan skala kecil. Tabel 43. Tahapan evolusi karakteristik status technoware Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status technoware Fasilitas bersifat mekanik dan multifungsi. Fasilitas untuk fungsi khusus. Fasilitas untuk fungsi khusus.
Status humanware Perkembangan kemampuan SDM (humanware) pada industri pengolahan untuk kurun waktu 5 tahun mendatang, berada pada tahap mampu memasang fasilitas. Selanjutnya pada kurun waktu 10-15 tahun mendatang,
perkembangan
menjadi
lambat,
yakni
hanya
dapat
memperbaiki fasilitas pengolahan termasuk kemampuan untuk melakukan modifikasi (Tabel 44).
Keadaan ini menunjukkan bahwa kemampuan
SDM untuk memanfaatkan teknologi tinggi, kreatif dan inovatif guna menghasilkan produk berdaya saing tinggi, berkembang lebih lambat dan baru terwujud beberapa tahun kemudian. Tabel 44. Tahapan evolusi karakteristik status humanware Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status humanware Mampu memasang fasilitas. Mampu memperbaiki fasilitas. Mampu memperbaiki fasilitas.
136
c) Status kelembagaan Status orgaware Hasil peramalan proses evolusi status orgaware menunjukkan, pada kurun waktu 5 tahun mendatang mencapai fungsi yang efisien dan terpadu. Kemudian pada 10 tahun mendatang, perkembangan status ini berada pada status kuat dan berkelanjutan. Tercapainya kelembagaan yang kuat akan mampu meningkatkan pelayanan, posisi tawar dan stabil serta responsif akan terwujud pada kurun waktu 15 mendatang (Tabel 45). Keadaan ini dimungkinkan karena kelembagaan usaha tani sebenarnya telah terbentuk, serta adanya faktor penarik dari pemerintah, walaupun belum efisien. Selain itu, dapat diartikan bahwa rasa kepemilikan, aspirasi, persepsi dan keterpaduan diantara anggota (petani) kelembagaan dan industri pengolahan mengalami peningkatan dan lebih maju. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman yang mengakar tentang fungsi kelembagaan dan optimalisasi program yang berkelanjutan. Secara umum, pemahaman fungsi kelembagaan pertanian akan memberikan dampak efisiensi, misal kemudahan
dalam
penyediaan
sarana
dan
prasarana
pertanian.
Selanjutnya, aspek pengembangan kelembagaan dapat diterapkan dengan baik, jika individu-individu petani yang memiliki kebun skala kecil bergabung menjadi kebun agregat (hamparan) sehingga berkembang menjadi skala menengah atau besar.
Selain itu, aspek kelembagaan
pemasaran dapat dikembangkan melalui pembentukan kelompok (asosiasi perusahaan), misal, kelompok usaha hortikultura Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Tabel 45. Tahapan evolusi karakteristik status orgaware Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status orgaware Fungsi efisien dan terpadu. Kuat dan berkelanjutan. Meningkatkan pelayanan, posisi tawar dan stabil, serta responsif.
137
Status infoware Hasil peramalan proses evolusi status infoware menunjukkan, pada kurun waktu 5 tahun mendatang perangkat informasi memberikan pemahaman dasar untuk penggunaan fasilitas. Pada 10 tahun mendatang, informasi telah memungkinkan penggunaan fasilitas secara efektif. Sedangkan pada periode 15 tahun berikutnya, informasi mulai mampu meningkatkan pengetahuan dan mengoperasikan fasilitas (Tabel 46). Tabel 46. Tahapan evolusi karakteristik status infoware Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status infoware Pemahaman dasar. Penggunaan fasilitas secara efektif. Meningkatnya pengetahuan dan mengoperasikan fasilitas.
d) Jaringan usaha Jaringan kemitraan Status jaringan kemitraan pada industri pengolahan dalam periode 5 tahun mendatang berada pada tahap kontrak bisnis formal (subkontrak), namun belum terpadu. Pada kurun waktu 10 tahun mendatang, akan berkembang menjadi integratif (terpadu) tetapi masih subordinatif. Sedangkan bentuk kemitraan yang integratif, strategis, sinergis, inovatif dan berkelanjutan akan terwujud pada kurun waktu 15 tahun mendatang. Dalam hal ini, memperkuat
keterkaitan usaha tani dan industri pengolahan saling
dan
saling
menguntungkan
untuk
mencapai
skala
dan lingkup ekonomi (Tabel 47). Tabel 47. Tahapan evolusi karakteristik status jaringan kemitraaan Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status jaringan kemitraan Kontrak bisnis formal (subkontak). Integratif, tetapi subordinatif. Integratif, strategis, sinergis, inovatif dan berkelanjutan.
138
Kerjasama teknologi Status kerjasama teknologi pada industri pengolahan dalam periode 5 tahun mendatang berada pada tahap bantuan teknis (subkontrak). Pada kurun waktu 10 tahun mendatang, akan berkembang menjadi adanya lisensi dan adaptasi. Sedangkan bentuk kerjasama teknologi yang mampu melakukan pengembangan ke berbagai pihak akan terwujud pada kurun waktu 15 tahun mendatang. Dalam hal ini, keterkaitan dan kerjasama teknologi usaha tani dan industri pengolahan mencapai keadaan saling memperkuat dan menguntungkan pada skala dan lingkup ekonomi (Tabel 48). Tabel 48. Tahapan evolusi karakteristik status kerjasama teknologi Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status kerjasama teknologi Bantuan teknis (subkontrak). Lisensi atau modifikasi (adaptasi). Pengembangan (created factor).
e) Kebijakan Perda Mutu kebijakan Berdasarkan hasil peramalan proses evolusi mutu kebijakan, pada kurun waktu 5 tahun mendatang akan terjadi kesesuaian, keterpaduan dan harmonisasi. Kemudian status mutu kebijakan berkembang lebih baik menjadi kesesuaian yang sempurna (sesuai kebutuhan) dan berkelanjutan pada kurun waktu mulai 10-15 pada masa mendatang (Tabel 49). Hal ini menunjukkan, pemerintah telah menghasilkan kebijakan dan program berkelanjutan yang didasarkan pada kebutuhan pengembangan industri pengolahan. Sebagai ilustrasi, Pemda Bulukumba memberikan fasilitas lahan secara gratis kepada investor baru yang mengembangkan usaha agroindustri.
139
Tabel 49. Tahapan evolusi karakteristik status mutu kebijakan Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status mutu kebijakan Sesuai, terpadu dan harmonis. Kesesuaian yang sempurna dan berkelanjutan. Kesesuaian yang sempurna dan berkelanjutan.
Mutu penyelenggaraan Pemda Mutu penyelenggaraan Pemda pada kurun waktu 5 tahun mendatang, berada pada status sebagai penyedia. Sedangkan pada kurun waktu 10-15 tahun mendatang, akan terwujud fungsi sebagai fasilitator dan katalisator (Tabel 50). Hal ini menunjukkan, penyelenggara pemerintahan daerah menciptakan iklim (lingkungan) yang kondusif lebih baik bagi pengembangan industri pangan dalam jangka panjang. Tabel 50. Tahapan evolusi karakteristik status mutu penyelengaraan Pemda Periode (tahun) 5 10 15
Karakteristik status mutu penyelenggaraan Pemda Penyedia. Fasilitator dan katalisator. Fasilitator dan katalisator.
3. Sintesis Skenario Skenario Eksploratif Skenario eksploratif disintesis berdasarkan hubungan kontekstual antar pasangan kejadian hipotesis. Identifikasi hubungan kontekstual dilakukan oleh panel pakar dengan menggunakan skala biner untuk adanya hubungan prasyarat suatu kejadian terhadap kejadian pasangannya (Lampiran 21). Berdasarkan hasil identifikasi hubungan kontekstual tersebut, diperoleh dua model struktural kejadian hipotesis (Gambar 28).
140
Pewilayahan Sentra Produksi
Pewilayahan Sentra Produksi
Infrastruktur Dasar
Infrastruktur Dasar
Status Orgaware
Status Infoware
Status Orgaware
Mutu Kebijakan
Mutu Kebijakan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(a1)
(a2)
Industri Pengolahan
Status Technoware
Industri Pengolahan
Status Humanware
Status Technoware
Jaringan Kemitraan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Status Infoware
Status Technoware
Status Infoware
Status Humanware
Jaringan Kemitraan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Kerjasama Teknologi
b1)
Kerjasama Teknologi
(b2) Industri Pengolahan
Status Technoware
Status Infoware
Status Orgaware
Status Humanware
Jaringan Kemitraan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Kerjasama Teknologi
(b3) Gambar 28. Model struktural skenario eksploratif
141
Model struktural (Gambar 28) digunakan sebagai skenario eksploratif untuk peramalan prospek industri pangan buah unggulan. Model struktural pertama (Gambar 28, Bagian a1) menunjukkan, pengembangan pewilayahan sentra produksi melalui infrastruktur dasar yang didukung oleh status orgaware dan status infoware. Sedangkan pada model struktural (Gambar 28, Bagian a2), selain didukung status orgaware dan status infoware, pengembangan infrastruktur dasar didukung status technoware.
Dalam hal ini, diperlukan
adanya mutu kebijakan dari penyelenggaraan pemerintah daerah. Pada model struktural kedua (Gambar 28, Bagian b1), pengembangan industri pengolahan memerlukan dukungan status technoware dan status humanware dengan memanfaatkan jaringan kemitraan dan kerjasama teknologi serta peran penyelengaraan pemerintah daerah. Selanjutnya, diperlukan pula dukungan status infoware dan status orgaware, sebagai alternatif lain pengembangan industri pengolahan (Gambar 28, Bagian b2 dan b3). Skenario Normatif Skenario Normatif Pengembangan Industri Pangan a) Visi Pengembangan Pengembangan industri pangan (agroindustri pangan) merupakan salah satu upaya strategis unggulan dan perlu diprioritaskan. Dalam konteks pembangunan ekonomi, pangan diharapkan memberikan kontribusi melalui upaya transformasi dan konversi yang menghasilkan nilai tambah dan nilai manfaat, serta diversifikasi produk dengan tingkat mutu, gizi dan keamanan yang tinggi. Selain itu, industri pangan menggunakan keunggulan komparatif dari aspek SDA yang terdapat di dalam negeri (Resources Based Industries) dan tenaga kerja banyak (Labour Intensive Industries). Industri pangan sebagai subsistem pertanian nasional, memiliki kegiatan mulai dari pascapanen, pengolahan, distribusi dan pemasaran, termasuk industri penunjang lainnya (misal, industri mesin pengolahan, bahan tambahan dan pengemasan). Upaya pengembangan sektor ini, harus didukung oleh peningkatan produksi usaha tani primer sebagai penyedia bahan baku yang memenuhi persyaratan jumlah, mutu, harga dan jaminan ketersediaan.
Dalam hal ini, industri pangan memiliki keterkaitan ke
142
belakang (backward linkage) ke arah pertanian primer dan keterkaitan ke depan (forward linkage), dimana peranan konsumen sangat menentukan. Dengan demikian, strategi pengembangan industri pangan yang handal dan tangguh harus dilakukan secara terpadu, terarah dan terkait kuat hulu-hilir melalui sintesis kebijakan-kebijakan yang utuh serta berdasarkan harapan (visi) yang ingin dicapai pada masa mendatang dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. Harapan (visi) industri pangan adalah berdaya saing global (teknologi), berorientasi pasar (bisnis), mutu dan produktivitas, desentralistik serta berkelanjutan (Hubeis, 1997; Suyata, 1998). Industri pangan yang berdaya saing global memiliki kemampuan inovasi dan mengandalkan teknologi, yang pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap
pengurangan
biaya,
peningkatan
mutu
dan
produktivitas, penciptaan produk dan lisensi dalam proses dan produk, serta didukung
oleh
penguasaan
pasar.
Industri
pangan
desentralistik
dimaksudkan sebagai industri yang berbasis pada pemanfaatan komoditas unggulan yang menjadi basis ekonomi suatu wilayah. Industri pangan yang berdaya saing global dan desentralistik tersebut dapat berkelanjutan (sustainable), maka pembangunan harus berorientasi pada kepentingan jangka panjang dengan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan (clean production) dan mengupayakan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, industri pangan berkelanjutan harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar dengan cepat dan efisien, serta terus menerus. b) Faktor Pendukung Berdasarkan hasil analisis struktural diperoleh lima peubah kunci (key factor) penentu keberhasilan pengembangan industri pangan. Kelima faktor tersebut, adalah sarana (prasarana), status teknologi, status kelembagaan, jaringan usaha, serta kebijakan peraturan daerah. Dari hasil analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif, diketahui bahwa keberhasilan pengembangan industri pangan yang berdaya saing global (teknologi), beroirentasi pasar (bisnis), mutu dan
143
produktivitas, desentralistik serta berkelanjutan tergantung pada : (1) kemampuan sistem membangun usaha tani yang modern (sesuai konsep GAP), dan (2) kemampuan sistem membangun industri pengolahan yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk berdaya saing dan pasar yang responsif terhadap perubahan. Pembangunan usaha tani modern, dilakukan melalui (1) pewilayahan sentra produksi yang sesuai dengan keadaan agroekologis dan penerapan GAP, (2) dukungan infrastruktur dasar wilayah, (3) dukungan perangkat kelembagaan (orgaware), perangkat informasi (infoware) dan perangkat teknologi (technoware), (4) adanya kebijakan yang sesuai kebutuhan dan berkelanjutan, serta (5) adanya penyelenggaraan Pemda yang dapat berperan sebagai fasilitator dan katalisator (Gambar 28a). Didasarkan pada analisis prospektif, pengembangan orgaware pada 10 tahun akan datang menjadi kuat dan berkelanjutan, bahkan 15 tahun ke depan telah mampu meningkatkan pelayanan, posisi tawar dan stabil serta responsif. Sedangkan pengembangan infoware pada 15 tahun mendatang akan menghasilkan peningkatan pengetahuan dan kemampuan mengoperasikan fasilitas. Pembangunan industri pengolahan yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk berdaya saing dan pasar yang responsif terhadap perubahan, dilakukan melalui pemanfaatan (1) perangkat teknologi (technoware), SDM (humanware) inovatif, perangkat informasi (infoware), serta dukungan perangkat kelembagaan yang kuat (orgaware) yang diperoleh melalui (2) jaringan kemitraan (misal, pendidikan dan latihan), dan (3) intensitas kerjasama teknologi (Gambar 28b).
Hasil analisis prospektif menunjukkan, pengembangan perangkat
teknologi (technoware), pada 15 tahun mendatang akan berkembang pesat dan menjadi created factor. Pengembangan perangkat SDM (humanware), pada kurun waktu 15 tahun mendatang hanya mampu melakukan perbaikan fasilitas. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa kemampuan SDM berkembang lambat dibandingkan dengan perangkat teknologi. Sedangkan pengembangan perangkat informasi (infoware) pada 15 tahun mendatang diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan
144
mengoperasikan
fasilitas.
Pengembangan
perangkat
kelembagaan
(orgaware) untuk 15 tahun mendatang akan meningkatkan pelayanan, posisi tawar, stabil dan responsif. Selanjutnya, pengembangan perangkat SDM yang relatif lambat terkait dengan kondisi industri pengolahan buah unggulan saat ini masih berskala kecil atau tradisional. Namun demikian, melalui jaringan kemitraan (misal, pendidikan dan latihan) dan kerjasama teknologi, maka pengembangan industri pengolahan akan berkembang cepat mencapai tahap unggul (berdaya saing tinggi) (Gambar 28b). Selain itu, diprediksi pengembangan perangkat teknologi dan SDM untuk industri pengolahan skala menengah dan besar akan tercapai lebih cepat 5 tahun dibandingkan dengan skala kecil. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa terdapat sepuluh peubah yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan. Sebanyak enam peubah yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan subsistem usaha tani dan empat peubah pada subsistem industri pengolahan (Tabel 51). Tabel 51. Daftar peubah kunci keberhasilan pengembangan industri pangan beserta kriteria pengukuran (penilaian) No.
Peubah
Subsistem Usaha Tani 1.
Pewilayahan sentra produksi
2.
Infrastruktur dasar wilayah
3.
Status orgaware
4.
Status infoware
5.
Mutu kebijakan
Kriteria pengukuran keberhasilan Kemampuan sistem mengembangkan usaha tani dengan asas efisiensi bisnis, inovatif dan berkelanjutan. Keberhasilan pewilayahan komoditas unggulan dalam bentuk kawasan sentra produksi yang sesuai dengan agroekologis, serta memiliki skala dan lingkup ekonomi yang memungkinkan untuk memproduksi komoditas unggulan secara efisien dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur fisik wilayah (kawasan pengembangan) dan infrastruktur pertanian yang sesuai dengan kebutuhan. Peningkatan pelayanan, manajemen dan SDM, posisi tawar, kestabilan dan responsif terhadap perubahan. Kemampuan informasi memberikan perbaikan dan penilaian terhadap fasilitas untuk tujuan spesifik. Kesesuaian kebijakan dan program dengan kebutuhan pembangunan berkelanjutan.
145
Lanjutan Tabel 51. No. 6.
Peubah Mutu penyelenggaraan pemerintah daerah
Subsistem Industri Pengolahan
c)
1.
Status technoware
2.
Status humanware
3.
Jaringan kerjasama
4.
Kerjasama teknologi
Kriteria pengukuran keberhasilan Keberhasilan transformasi fungsi penyelenggara pemerintahan serta mutu pelayanan masyarakat. Kemampuan sistem mengembangkan industri pengolahan dengan lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk dan pasar stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan. Perangkat teknologi yang digunakan oleh industri pengolahan menggunakan teknologi yang tinggi (computerized and integrated technology) dan adaptif untuk menghasilkan produk berdaya saing tinggi. SDM industri pengolahan telah mampu memanfaatkan teknologi tinggi, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan produk unggulan berdaya saing tinggi. Keterkaitan dan kemitraan dalam sistem industri pangan yang didasarkan pada asas saling membutuhkan, saling memperkuat, saling menguntungkan dan saling menghidupi telah berhasil menjalin integrasi, sinergis, strategis dan berkelanjutan. Kemampuan memanfaatkan dan mengembangkan teknologi (created factor).
Skenario Normatif Skenario normatif adalah rencana jangka panjang (planifikasi) yang disintesis berdasarkan harapan (visi) yang ingin dicapai pada masa mendatang dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini, mengikuti tahapan perkembangan peubah kunci. Model struktural skenario normatif
dibagi menjadi dua model pengembangan, yaitu :
(1) model struktural pengembangan subsistem usaha tani, dan (2) model struktural pengembangan subsistem industri pengolahan (Gambar 29 dan 30). Skenario Pengembangan Industri Pangan 1) Strategi Pengembangan Usaha Tani Strategi pengembangan usaha tani jeruk dimaksudkan untuk menjadikan kawasan pengembangan jeruk sebagai usaha tani yang modern, yaitu penerapan Norma Budidaya yang Benar atau GAP dan
146 inovatif (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2004a). Upaya tersebut dapat dicapai, melalui (1) pengembangan wilayah sentra produksi, (2) pengembangan infrastruktur dasar wilayah, (3) pengembangan perangkat kelembagaan (orgaware), (4) pengembangan perangkat teknologi (technoware), (5) pengembangan perangkat informasi (infoware), (6) pengembangan mutu kebijakan, dan (7) penyelengaraan pemerintahan daerah (Gambar 29). Pengembangan usaha tani jeruk tidak akan berhasil jika penyelenggara pemerintahan tidak memahami permasalahan dan tidak memiliki arah pengembangan yang benar. Permasalahan utama dalam pengembangan usaha tani jeruk di Provinsi Sulsel adalah rendahnya mutu dan produktivitas, sebagai akibat kurang efisiennya kegiatan yang dilakukan petani jeruk. Penurunan mutu dan produktivitas adalah akibat dari penggunaan teknologi produksi yang masih bersifat tradisional, kesadaran penggunaan bibit sehat yang masih rendah dan kurangnya perawatan tanaman serta pengendalian OPT. Selain itu, petani belum menerapkan penangangan pascapanen yang tepat serta sistem pemasaran yang tidak kondusif (Latief, 2004; Sidik, 2004).
Pengembangan Subsistem Usaha Tani Pengembangan Wilayah Sentra Produksi Pengembangan Infrastruktur Dasar Wilayah
Pengembangan Status Orgaware
Pengembangan Status Technoware
Pengembangan Status Infoware
Mutu Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Gambar 29. Model struktural pengembangan subsistem usaha tani
147
Pengembangan Subsistem Industri Pengolahan
Pengembangan Status Technoware
Pengembangan Status Infoware
Pengembangan Status Orgaware
Pengembangan Status Humanware
Intensitas Jaringan Kemitraan Kerjasama Teknologi
Gambar 30. Model struktural pengembangan subsistem industri pengolahan Berdasarkan hasil analisis prospektif (Tabel 41-50), diketahui bahwa faktor utama dalam pengembangan usaha tani jeruk, yaitu (1) pewilayahan sentra produksi dan (2) infrastruktur wilayah. Pengembangan pewilayahan sentra produksi dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu dan produksi jeruk, dalam hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan sarana produksi dan penerapan GAP serta kemudahan akses informasi. Sedangkan untuk pengembangan infrastruktur dasar wilayah (daerah) sentra produksi, dapat dilakukan melalui pembangunan sistem pengairan dan drainase, sistem distribusi (jalan pertanian dan sarana transportasi), tempat pengumpulan hasil serta sarana dan prasarana pemasaran. Agar strategi pengembangan usaha tani berkembang kuat dan modern, berdaya saing tinggi serta berkelanjutan (innovation-driven) dalam kurun waktu 15 tahun mendatang, maka perlu dilakukan strategi pentahapan pembangunan. Tahapan I, penyelenggara pemerintahan harus mampu mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan usaha tani (petani), tahap II penguatan kelembagaan dan informasi, tahap III membangun infratruktur dasar wilayah (daerah) guna mendukung akses dan ketersedian sarana dan prasarana yang memadai pada sentra produksi, tahap IV pengembangan sentra produksi utama (kawasan pengembangan buah jeruk) melalui implementasi kesesuaian agroekologis lahan dengan jenis komoditas (buah-buahan), perbaikan (revitalisasi) kebun tradisional (misal penyediaan bibit sehat, adopsi teknologi dan penyediaan saprodi), perluasan
148
areal serta penumbuhan sentra produksi baru. Sedangkan tahap V atau 15 tahun mendatang adalah pengembangan dan pemantapan sentra produksi yang dikelola dengan asas efisiensi bisnis, modern, menghasilkan komoditas unggulan dan berdaya saing tinggi, serta berkelanjutan. Kondisi tersebut harus didukung oleh kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang harmonis. 2) Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Buah jeruk merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang mudah rusak (perishable), sehingga relatif tidak tahan lama disimpan. Dalam hal ini, diperlukan suatu upaya penanganan (misal, pengemasan dan pengolahan) yang cepat dan tepat agar dapat dipasarkan sesuai dengan keinginan. Upaya pengolahan merupakan proses transformasi bahan baku (bahan mentah) menjadi produk olahan tertentu, sehingga dapat diperoleh nilai tambah dari segi ekonomi, mutu, gizi dan masa simpan. Secara umum, permasalahan utama pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (buah-buahan) di Provinsi Sulsel, adalah (1) terbatasnya modal dan informasi pasar, (2) mesin (peralatan) pengolahan yang sederhana dan usang, (3) mutu (misal flavor) yang beragam, (4) penampilan produk (misal kemasan) yang sederhana, (5) masa simpan yang terbatas, (6) keterampilan dan keahlian terbatas, serta (7) tingkah laku pelaku usaha. Sebagai ilustrasi, industri sirup markisa PT. Markisa Segar berkapasitas 240 ton/tahun, sejak tahun 1995 tidak melakukan aktivitas lagi. Dalam hal ini, produk yang dihasilkan ditolak oleh konsumen akibat mutu yang bervariasi (tidak sesuai standar permintaan). Sedangkan secara khusus kendala pengembangan pada industri pengolahan jeruk, diantaranya (1) keterampilan dan keahlian pelaku usaha yang terbatas, (2) mutu bahan baku yang rendah, (3) peralatan pengolahan yang sederhana,
(4) volume produksi yang
terbatas, dan (5) organisasi sederhana (pemilik dominan dalam segala kegiatan). Keadaan ini menyebabkan produk yang dihasilkan sangat beragam (misal, flavor, warna dan kemasan), serta volume produksi
149
terbatas (tidak kontinu) yang pada akhirnya berdampak terhadap penerimaan konsumen yang rendah dan jangkauan pemasaran terbatas. Selain itu, dukungan kebijakan pemerintah yang kurang, terutama aspek permodalan dan aspek pemasaran (informasi penjualan dan distribusi). Didasarkan atas kendala yang dihadapi tersebut, maka industri pengolahan jeruk dapat dikategorikan sebagai industri kecil pangan tertinggal (papan bawah).
Hal ini sesuai dengan pendapat Hubeis
(1997), bahwa tipologi industri kecil dapat diungkapkan (dijabarkan) melalui beberapa konsep (cara) misalnya, jenis informasi yang dimiliki (misal, aspek umum, teknis, informasi bisnis, keuangan dan administrasi), untuk memudahkan identifikasi sebagai industri kecil mampu (papan atas), berkembang (papan menengah) dan tertinggal (papan bawah). Dalam hal ini, diperlukan adanya pola jaringan kerjasama untuk mengarah kepada industri pengolahan jeruk yang memiliki daya saing tinggi dan andal. Berdasarkan hasil analisis prospektif (Tabel 41-50), diketahui bahwa faktor utama dalam pengembangan industri pengolahan, yaitu (1) pengembangan status technoware, dan (2) pengembangun status humanware. Selain itu, harus didukung pengembangan status infoware dan pengembangan status orgaware. Dengan demikian upaya pengembangan industri pengolahan dapat difokuskan pada status technoware dan humanware. Strategi pengembangan industri pengolahan dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan, yaitu tahap I peningkatan mutu SDM (status humanware), dalam hal ini dapat dilakukan melalui intensitas jaringan kemitraan (misalnya, peningkatan keterampilan, pengetahuan, cara berpikir, komunikasi) dan pembinaan melembaga (misal, pelatihan, magang dan inkubasi). Sedangkan tahap II adalah peningkatan perangkat teknologi (status technoware), melalui kerjasama teknologi, tetapi saling menguntungkan misalnya, penggunaan mesin (peralatan) pengolahan yang maju, diversifikasi produk dan pengembangan (modifikasi) kemasan. Kerjasama teknologi ini setidaknya berada pada
150
tahap adaptasi untuk menghasilkan pengolahan yang bersifat otomatis, khusus dan terpadu. Selain itu, dilakukan peningkatan integrasi ke belakang dengan usaha tani jeruk sehingga industri pengolahan terintegrasi kuat dengan pengembangan usaha tani di bagian hulu. Dengan
demikian,
keberhasilan
memilih
alternatif
strategi
pengembangan baik tingkat usaha tani maupun tingkat industri pengolahan jeruk dipengaruhi oleh kemampuan membaca dan menganalisis situasi serta tindakan yang tepat. 4. Pemilihan Strategi Pengembangan Sintesis strategi pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan didasarkan pada posisi dan permasalahan (analisis situasi) dan analisis prospektif, baik pada tingkat usaha tani maupun industri pengolahan. Dalam hal ini, diperoleh faktor (elemen) penting yang mempengaruhi pengembangan industri pangan, yaitu (1) pewilayahan sentra produksi, (2) infrastruktur dasar wilayah, (3) status orgaware, (4) status infoware, (5) mutu kebijakan, (6) status technoware, (7) status humanware, dan (8) intensitas jaringan kerjasama. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah menjadikan kawasan pengembangan menjadi sentra produksi buah unggulan melalui kegiatan usaha tani modern dan berkelanjutan. Selain itu, mengembangkan industri pengolahan menjadi salah satu industri pengolahan hasil pertanian dengan lingkup dan skala ekonomi, produk inovatif, bermutu dan berdaya saing tinggi. Dengan demikian, diharapkan terwujudnya industri pangan yang memiliki struktur kuat (terkait hulu-hilir), yang didukung oleh kesiapan SDM dan teknologi, serta jaringan pasar luas. Berdasarkan pengembangan pendapat para pakar, tujuan tersebut dapat dicapai melalui beberapa strategi. Ragam alternatif strategi, adalah (1) mendukung investasi baru, (2) penguatan dan integrasi industri pengolahan yang sudah ada, (3) revitalisasi sentra produksi, (4) penanganan bisnis dan kerjasama. Selanjutnya dengan menggunakan teknik PHA, diperoleh urutan prioritas ragam strategi dan urutan prioritas faktor (elemen) penting yang berpengaruh terhadap pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan.
151
Daftar urutan prioritas ragam strategi di sajikan pada Tabel 52. Sedangkan daftar urutan prioritas faktor (elemen) pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan ditunjukkan pada Tabel 53. Tabel 52. Daftar urutan prioritas ragam strategi No. Ragam strategi 1. Revitalisasi sentra produksi 2. Penguatan dan integrasi industri pengolahan yang sudah ada 3. Mendukung investasi baru 4. Penanganan bisnis dan kerjasama Keterangan : Rasio konsistensi = 0,03.
Prioritas 0,449 0,210 0,210 0,132
Tabel 53. Daftar urutan prioritas faktor (elemen) pengembangan industri pangan berbasis buah unggulan. No.
1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8.
Faktor (elemen)
Status humanware Infrastruktur dasar wilayah Pewilayahan sentra produksi Status technoware Status orgaware Status infoware Mutu kebijakan Intensitas jaringan kerjasama
Prioritas
0,227 0,174 0,163 0,111 0,106 0,093 0,073 0,053
Didasarkan pada urutan prioritas strategi (Tabel 52), ragam strategi revitalisasi sentra produksi memiliki prioritas tertinggi, yaitu 0,449. Urutan ragam strategi dengan nilai prioritas masing-masing adalah, penguatan dan integrasi industri pengolahan yang ada 0,210, mendukung investasi baru 0,210 serta penanganan bisnis dan kerjasama 0,132.
Dengan demikian, ragam
strategi revitalisasi sentra produksi menjadi prioritas utama dalam pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan. Selanjutnya, penguatan dan integrasi industri pengolahan yang ada, mendukung investasi baru serta penanganan bisnis dan kerjasama. Pembahasan Umum Pengembangan agrobisnis jeruk di Provinsi Sulsel merupakan salah satu subsektor pertanian yang dapat diprioritaskan. Dalam hal ini, selain didukung
152
oleh SDA, komoditi jeruk memiliki nilai ekonomi dan potensi pasar jelas (domestik dan ekspor). Permintaan konsumen diprediksi akan meningkat seiring dengan berkembangnya pemahaman manfaat buah jeruk.
Terkait dengan hal
tersebut, maka diperlukan suatu upaya terpadu yang dapat menghasilkan informasi strategis kepada para pelaku usaha untuk berinvestasi baik di hulu maupun hilir secara efisien, misal tersedianya peta potensi dan lokasi sentra produksi dan pohon industri. Berdasarkan analisis pasar sebelumnya, permintaan domestik untuk buah segar menunjukkan peningkatan setiap tahun. Hal ini terkait dengan buah jeruk memiliki rasa enak dan mengandung zat gizi tinggi. Buah jeruk segar selain dapat dikonsumsi langsung, juga dapat dikonsumsi dalam bentuk pengolahan minimal (Pereira, et al., 2004).
Menurut Saputera, dkk., (2000), pengolahan minimal
memiliki keunggulan, yaitu (1) kemudahan dalam mengkonsumsi dan (2) mutu produk hampir mendekati buah segar. Namun demikian, teknik pengolahan minimal tersebut membutuhkan sarana dan prasarana yang relatif mahal, misal ruang pendinginan dan teknologi pengemasan yang baik. Akibatnya, pada tingkat usaha tani berskala kecil tidak dapat diaplikasikan secara efektif. Salah satu produk olahan jeruk keprok Siem yang menjadi unggulan adalah sari buah. Keunggulan produk ini karena memiliki beberapa alternatif untuk dapat dikembangkan menjadi beberapa produk turunan berikutnya, misal multi fruit juice, sirup dan tepung sari. Hasil analisis keuangan produksi sari buah jeruk keprok Siem dan jeruk besar Pangkajene (Tabel 32) menunjukkan, pengembangan industri pangan berbasis buah jeruk hanya sesuai untuk jeruk keprok Siem. Dalam hal ini, harus dilakukan secara terpadu baik pada tingkat usaha tani maupun tingkat industri pengolahan. Berdasarkan Tabel 52, ragam strategi revitalisasi sentra produksi menunjukkan sentra produksi buah-buahan belum maju. Alternatif ini diarahkan untuk terbentuknya sentra produksi buah-buahan melalui kegiatan usaha tani modern dan berkelanjutan. Kegiatan tersebut harus didukung oleh ketersediaan sarana (prasarana) kebun yang memadai, misalnya fasilitas pengairan, jalan pertanian, tempat pengumpulan hasil dan transportasi. Menurut Ishak (2004),
153
upaya pengembangan jeruk di Provinsi Sulsel menghadapi berbagai masalah di lapangan, misal aspek lokasi dan lingkungan, sistem budidaya dan penanganan pascapanen. Secara umum, lahan pertanaman jeruk beragam menurut tingkat kesuburan dan sistem drainase. Di kawasan pengembangan bagian Utara, yaitu di Luwu Utara lahan pertanaman (kebun jeruk) umumnya cukup luas (>10 Ha), akibatnya sarana (prasarana) terbatas. Sedangkan di kawasan pengembangan bagian Selatan, yaitu di Bantaeng, Bulukumba dan Selayar lahan pertanaman kurang subur dan terbatasnya sumber air. Kondisi ini mengakibatkan tanaman jeruk rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Baco, dkk., 2004). Di sisi lain, petani melakukan kegiatan bercocok tanam secara tradisional, misal penggunaan bibit tidak memiliki sertifikat, tidak melakukan (terbatas) melakukan pemupukan, pemangkasan dan pengendalian OPT.
Selain itu, penanganan
pascapanen masih terbatas, misal pemanenan sistem tebasan, pemetikan tidak memperhatikan umur buah dan penjualan secara ijon. Keadaan ini menyebabkan produktivitas tanaman dan mutu buah menurun. Rustiani, dkk (1997), komoditas non-tradisonal misal buah-buahan dan sayuran dapat dikembangkan melalui pola Usaha Pertanian Kontrak (UPK), sebagai dynamic partnership antara petani dengan sebuah usaha besar yang saling menguntungkan, misal Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Melalui pola ini, perusahaan mitra menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung dan mengolah hasil produksi. Sedangkan petani memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan kesepakatan. Selanjutnya, beberapa keunggulan pola PIR, diantaranya (1) pembagian risiko dan peluang, sehingga tercipta saling ketergantungan dan menguntungkan, (2) kontinuitas pasokan bahan baku terjamin, (3) pencapaian efisiensi, (4) peningkatan daya saing, (5) daya tarik bagi investor baru, dan (6) pusat pertumbuhan baru ekonomi (Hafsah, 1998). Salah satu contoh model usaha agrobisnis hortikultura yang berkembang baik adalah kemitraan antara kelompok tani buah-buahan dengan CV. Tunas Prospecta di Sragen, Klaten, Karanganyar, Boyolali dan Salatiga, Jawa Tengah. Model usaha kemitraan tersebut adalah petani sebagai produsen buah melon membuat kesepakatan harga pembelian produknya dengan pihak pengusaha mitra. Sedangkan pengusaha mitra menampung hasil kelompok tani dan memberikan
154
pinjaman modal, sarana produksi, bimbingan teknis, serta pengendalian mutu (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2003a). Selain atas pertimbangan ekonomi tersebut, pola ini dipercaya dapat menciptakan stabilitas sosial dan politik melalui distribusi pendapatan. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2004a), revitalisasi sentra produksi utama buah-buahan, dapat dilakukan melalui (1) perbaikan kebun tradisional dengan penggantian varietas atau penggantian bertahap dengan bibit klonal varietas unggul, (2) perbaikan kebun potensial dengan adopsi teknologi dan penyediaan sarana (prasarana), (3) penyediaan pusat konsultasi bisnis, (4) pengembangan kebun percontohan, (5) pengembangan jaringan antar sentra produksi, dan (6) pengembangan pasar transit (subterminal agrobisnis). Dalam hal ini, diperlukan bimbingan penerapan GAP dan SPO untuk mendukung sertifikasi produk bermutu, termasuk diperlukan pula ketersedian tenaga kerja dan jaminan keamanan. Terkait dengan kebijakan umum pengembangan hortikultura nasional, faktor internal dan eksternal saat ini, Pemprov Sulsel melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun 2005 menyusun sejumlah kegiatan, yaitu (1) peningkatan kemampuan SDM (misal, pembimbingan, pelatihan, temu lapang, pemagangan, sekolah lapang dan kunjungan), (2) pewilayahan komoditas berdasarkan agroekosistem, (3) prioritas pengembangan komoditas unggulan (mangga, manggis, durian, jeruk, pisang dan markisa), (4) adopsi teknologi maju (misal, pengenalan GAP, SPO dan teknologi informasi), (5) pembinaan penerapan manajemen mutu dan promosi produk (misal, kampanye sadar mutu, bimbingan jaminan mutu dan keamanan konsumsi, model rantai pendingin, serta fasilitasi pameran dan misi dagang), (6) pengembangan industri perbenihan (misal, identifikasi varietas komersial dan benih sumber), (7) pemantapan perlindungan tanaman (misal, penerapan pestisida nabati dan agensia hayati, serta residu pestisida minimal), (8) pemantapan kelembagaan dan manajemen usaha (misal, penumbuhan asosiasi, koperasi, organisasi produksi, jaringan usaha, informasi pasar dan kemitraan), (9) pengembangan kawasan dan sentra produksi, (10) penyediaan sarana dan prasarana produksi) (Distan TPH, Provinsi Sulsel, 2005).
155
Ragam strategi penguatan dan integrasi industri pengolahan yang ada, menunjukkan keadaan industri pengolahan buah-buahan belum optimal (sederhana). Dalam hal ini, industri pengolahan jeruk di Provinsi Sulsel memiliki keterbatasan, diantaranya keterampilan (keahlian) SDM, mutu produk, peralatan pengolahan serta volume produksi. Akibatnya, mutu dan jangkauan pemasaran produk terbatas. Menurut Hubeis (1997), upaya untuk meningkatkan industri kecil, dalam hal ini industri pengolahan buah-buahan, dapat dilakukan melalui penguatan dan integrasi industri pengolahan yang sudah ada. Penguatan usaha dilakukan dengan cara berkonsentrasi pada mutu, produktivitas, sinergi, inovasi dan kreativitas serta bekerjasama (misal, kerjasama operasional, waralaba, kemitraan dan patungan). Sedangkan integrasi usaha melalui jaringan industri besar tanpa merubah struktur, mengembangkan usaha potensial (kebersihan dan kemasan) serta memacu komoditi andalan (unggulan) menjadi produk unggulan. Selain itu, diperlukan pula keterkaitan kuat dengan usaha tani primer, pembinaan manajerial, kemudahan akses mendapatkan modal serta iklim (lingkungan) usaha yang kondusif. Didasarkan pada kondisi obyektif industri pengolahan buahbuahan di Provinsi Sulsel tersebut, sejak tahun 2005 disusun kebijakan pengembangan potensi bahan baku buah exotic dan industri pengolahannya. Dalam hal ini, melalui pendekatan cluster industry, diantaranya (1) buah markisa di Tator, Enrekang dan Gowa, (2) buah jeruk di Luwu Utara, dan (3) buah mangga di Maros, Pangkep, Barru, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Sidrap dan Luwu) (Disperindag, Provinsi Sulsel, 2005). Ragam strategi mendukung investasi baru, adalah mengajak dan memfasilitasi investor baru untuk berinvestasi baik pada tingkat usaha tani maupun industri pengolahan. Dalam hal ini, investor baru dapat berfungsi sebagai penjamin dana bagi industri kecil. Selain itu, bagi industri pengolahan yang sudah ada (industri kecil), investor baru (industri besar) akan menjadi lokomotif penggerak (pulling factor) dan mitra usaha dalam pengembangan teknologi dan SDM. Ragam strategi penanganan bisnis
dan
kerjasama,
menunjukkan
penanganan usaha belum menunjukkan orientasi ke konsumen (consumer oriented) dan keuntungan. Dalam hal ini, pelaku usaha harus belajar tentang kelangsungan hidup usaha, permodalan, pendapatan (pengahasilan) usaha,
156
proyeksi laba-rugi dan aliran kas (Hubeis, 1997). Hasil pendapat pakar (Tabel 53) menunjukkan, faktor status humanware memiliki prioritas tertinggi yaitu 0,227. Selanjutnya, diikuti faktor infrastruktur wilayah 0,174; pewilayahan sentra produksi 0,163; status technoware 0,111; status orgaware 0,106 dan infoware 0,093; mutu kebijakan 0,073 dan intensitas jaringan kerjasama 0, 053. Faktor status humanware atau SDM menjadi faktor penting (determinative) dalam pengembangan industri pangan berbasis buah-buahan unggulan. Faktor ini, dimana pelaku usaha dan tenaga kerja yang terlibat diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menghasilkan nilai tambah pada berbagai teknologi pengolahan hasil buah-buahan. Selain itu, pelaku usaha dan tenaga kerja juga bertanggung jawab langsung terhadap penanganan dan pengolahan buah-buahan (jeruk) sesuai dengan kaidah-kaidah Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan prosedur Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), untuk menjaga mutu dan keamanan produk olahan. Saat ini, praktik penggunaan bahan tambahan yang dilarang digunakan untuk produk pangan misal, pewarna tekstil diindikasikan dilakukan oleh industri skala kecil. Menurut Hubeis (1997), salah satu strategi pemberdayaan menuju industri kecil profesional adalah peningkatan mutu SDM. Mutu
SDM
profesionalisme
dapat
ditingkatkan
(keterampilan,
melalui
pengetahuan
pemberdayaan dan
etika
(empowerment), bisnis),
learning
organization, komunikasi timbal balik dan berfikir reaktif-proaktif; dan pembinaan melembaga (pelatihan, magang dan inkubasi bisnis).
Dengan
demikian, melalui peningkatan mutu SDM diharapkan pelaku usaha dan tenaga kerja yang terlibat mampu mengendalikan proses dengan cara mendeteksi penyebab, mengidentfikasi akar persoalan, mengimplementasi aksi koreksi, memverifikasi dan melakukan tindak lanjut terhadap masukan yang diketahui. Selanjutnya, situasi tersebut menuntut SDM yang menguasai IPTEK, kepribadian yang tangguh dan peduli lingklungan, dalam menghasilkan produk yang dapat diterima konsumen.
Dalam era globalitas di sektor industri pangan, terjadi
persaingan ketat, misal dalam investasi modal dan penggunaan teknologi canggih. Dalam hal ini, status humanware industri pangan baik dari segi mutu maupun
157
jumlah menjadi tonggak (milestone) yang menentukan keberhasilan persaingan. Menurut Ahza dan Wirakartakusumah (1998), dalam sistem keseluruhan industri pangan, manusia berperan pada semua subsistem industri. Manusia terlibat sejak bahan baku diproduksi, proses industri dan konsumen (pasar). Melalui SDM yang tangguh akan diperoleh kemampuan pemecahan masalah dan sintesis strategi yang tepat untuk mengembangkan industri pangan, khususnya buah-buahan unggulan. Faktor infrastruktur wilayah (daerah) menjadi faktor pendukung dalam pengembangan sentra produksi. Infrastruktur wilayah antara lain fasilitas pengairan, transportasi, pascapanen, pemasaran, sarana sumber energi serta sarana sistem informasi. Dalam hal ini, diperlukan kebijakan pemerintah, baik di pusat maupun daerah yang sinergis dan harmonis dalam pengembangan infrastruktur wilayah. Faktor pewilayahan sentra produksi buah-buahan didasarkan pada kesesuaian sumber daya lahan dan agroklimat (misal, jenis dan kesuburuan tanah, curah hujan, ketersediaan air dan topografi) dengan persyaratan memperhatikan nilai ekonomi, permintaan pasar, fasilitas pemasaran, keuntungan kompetitif, kondisi sosial dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pengembangan pewilayahan sentra produksi diarahkan untuk menghasilkan satu komoditas (buah-buahan) yang diunggulkan. Dalam hal ini, komoditas unggulan yang telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan tersebut akan berguna bagi perencanaan pengembangan produksi dan pengusaha (investor) untuk berinvestasi dalam bidang pengembangan buah-buahan unggulan. Wilayah pengembangan (areal produksi) dalam bentuk sentra-sentra produksi diarahkan menjadi kawasan agrobisnis yang memenuhi lingkup dan skala ekonomi, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor status technoware atau perangkat keras merupakan faktor yang sangat penting dalam industri pengolahan pangan (buah-buahan) unggulan. Dalam hal ini, adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi pengolahan yang dapat menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Selain itu, faktor ini diperlukan untuk mengantisipasi dan menjawab keberadaan produk baru, pasar baru dan pesaing baru. Peningkatan status technoware pada industri pengolahan dapat dilakukan dengan kerjasama teknologi. Namun demikian, status technoware harus
158
diselaraskan dengan status humanware, infoware dan orgaware (Gumbira, dkk., 2001b). Industri pangan yang memiliki infoware yang baik akan mampu mengantisipasi kedinamisan lingkungan luar misal kecenderungan global, perubahan ekonomi, teknologi dan informasi yang berlangsung cepat. Dalam hal ini, ditandai dengan terbentuknya kawasan perdagangan bebas (AFTA 2003), kepedulian tinggi terhadap mutu produk dan lingkungan (ISO 9000 dan ISO 14000), aliansi dan kemitraan (transnational company dan international organization) serta penemuan dan pengembangan teknologi baru.
Selain itu,
harus didukung oleh orgaware yang mengarahkan tercapainya efektifitas dan meningkatnya daya saing perusahaan. Faktor mutu kebijakan sangat dipengaruhi oleh kualitas penyelenggaraan pemerintah untuk menciptakan iklim (lingkungan) yang kondusif.
Kebijakan
Perda harus berpihak dan diarahkan untuk mendorong pengembangan kegiatankegiatan, baik pada tingkat usaha tani maupun industri pengolahan. Sedangkan penyelenggara pemerintahan harus memiliki kemampuan pelayanan yang baik kepada pelaku usaha, misal kemudahan berinvestasi, kemudahan perizinan, kemudahan pemasaran produk, penyediaan fasilitas, insentif pajak, penghapusan pungutan ilegal, biaya murah dan jaminan keamanan. Dengan demikian, mutu kebijakan dan penyelenggaraan pemerintah yang baik memerlukan kerjasama, sinkronisasi dan koordinasi pihak terkait. Faktor jaringan kerjasama adalah adanya keterkaitan dan jalinan kemitraan yang didasarkan pada asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Faktor ini diarahkan untuk terwujudnya kerjasama yang integratif, strategis, sinergis, inovatif dan berkelanjutan. Jaringan kerjasama dapat bersifat keterkaitan ke belakang (backward) atau terkaitan ke depan (forward). Dalam hal ini, kemitraan dapat dilakukan pada aspek pemasok, teknologi pengolahan, pemasaran produk, sistem informasi, penelitian dan pengembangan. Berdasarkan pada Gambar 26, peubah PS05 (Petani dan buruh tani) berada pada sektor 1, dalam hal ini memiliki karakteristik tingkat motor dan respon serta hubungan dengan peubah lain yang lemah (tidak nyata) dalam sistem. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, petani dan buruh tani dalam mengelola usaha tani tanaman jeruk dilakukan sebagai kegiatan sampingan (tidak fokus), karena lahan
159
pertanaman yang subur (tingkat risiko rendah). Sebagai ilustrasi, di Malangke dan Malangke Barat, Luwu Utara, kebun jeruk petani umumnya berasal dari lahan yang baru dibuka (lahan bukan tanaman jeruk) sehingga lebih subur. Akibatnya, kemauan untuk bercocok tanam jeruk yang baik (berprestasi) oleh petani dan buruh tani selalu menunggu adanya program insentif dari pemerintah daerah. Selain itu, petani dan buruh tani tidak mendapatkan penghargaan (awareness) jika menghasilkan produk (jeruk) bermutu. Di sisi lain pasar produk tidak menciptakan kompetisi dan tantangan. Berdasarkan pada tinjauan pustaka sebelumnya dan analisis prospektif (Tabel 41-50), maka dapat digambarkan peta jalan pengembangan industri pangan berbasis buah jeruk di Provinsi Sulsel (Gambar 31).
Pasar domestik dan ekspor
Pasar
Produksi
Industri pengolahan
Jaringan kerjasama Status tecnoware, humanware, orgaware dan infoware Kegiatan Pewilayahan sentra produksi
Infrastruktur dasar wilayah
Dukungan Kebijakan pemerintah
2005
2010
2015
2020
Gambar 31. Peta jalan pengembangan industri pangan berbasis buah jeruk di Provinsi Sulsel (adaptasi Balitbang Pertanian, 2005).