79
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran tentang Program CSR di Provinsi Lampung Implementasi program tanggungjawab sosial perusahaan di Provinsi Lampung masih merupakan hal relatif baru. Dari 194 perusahaan besar dan menengah yang ada, jumlah perusahaan yang sudah melaksanakan program CSR belum mencapai 10 persen. Dinas Sosial ataupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat belum memiliki data dasar tentang perusahaan yang sudah memiliki dan melaksanakan program CSR maupun data tentang kegiatan program yang dilaksanakan setiap perusahaan tersedia. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan semenjak tahun 2001 sebagai implementasi CSR oleh perusahaan tersebut antara lain: (1) Pembangunan prasarana sosial seperti pembangunan masjid, musholla, dan balai kampung. (2) Pembangunan prasarana pendidikan seperti pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah, pemberian honor insentif untuk guru dan beasiswa murid. (3) Pembangunan sarana prasarana air bersih, seperti pembuatan sumur bor dan suplai air bersih setiap musim kemarau bagi masyarakat sekitar perusahaan. (4) Bantuan berbagai kegiatan sosial seperti khitanan massal, pengobatan gratis, bantuan dana peringatan hari besar agama dan hari besar nasional, serta pemberian tunjangan hari raya bagi aparat kampong sekitar perusahaan. (5) Program kemitraan antara perusahaan dengan kelompok masyarakat dalam pengembangan komoditas tertentu. (6) Pengembangan ekonomi produktif bagi kelompok masyarakat sekitar perusahaan. Dari beberapa perusahaan yang sudah melaksanakan tanggungjawab sosial tersebut dapat dipilahkan perusahaan-perusahaan yang telah melaksanakan tanggungjawab sosial untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan perusahaan-perusahaan yang sekedar memberikan bantuan melalui kegiatan kedermawanan sosial (filantropi) bagi masyarakat sekitar. Selain tanggungjawab sosial, perusahaan juga memiliki tanggungjawab lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Nomer 40 Tahun 2007. Untuk mendapatkan gambaran umum perusahaan yang terkait dengan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan, uraian berikut menyajikan profil perusahaan sampel.
80 Profil Perusahaan yang Melaksanakan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Informasi dari Dinas Sosial dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung yang menyebutkan bahwa beberapa perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan sudah melaksanakan program CSR. Dalam metode penelitian sudah disebutkan bahwa tersebut dipilih dua perusahaan sebagai sampel.
untuk mewakili populasi Kedua perusahaan terpilih
telah melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Tanggungjawab sosial dilaksanakan dalam bentuk implementasi program CSR untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya. Tanggungjawab lingkungan perusahaan dilaksanakan dengan pengelolaan limbah perusahaan. Informasi ini diperoleh dari pihak manajemen perusahaan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Lampung Tengah dan Bapedalda Provinsi Lampung. Perusahaan Agroindustri Nenas dan Ubikayu (Tapioka) Perusahaan ini termasuk perusahaan besar, sebab jumlah karyawan perusahaan pada tahun 2007 mencapai 19.300 orang. Perusahaan ini bergerak di bidang agroindustri.
Perusahaan ini berdiri pada tahun 1979 dengan akte
notaris Nomor: 48 tanggal 14 Mei 1979. perusahaan
berbentuk
Perseroan
Sebelumnya tahun 1973 berdiri
Terbatas (PT)
yang
bergerak dalam
penanaman ubikayu, yang merupakan langkah awal berdirinya perusahaan tersebut. Perusahaan berbentuk PMA dan 100 persen produknya diekspor ke luar negeri, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Kanada, Timur Tengah dan Taiwan. Perusahaan tersebut berlokasi di Kampung (Desa) Lempuyang Bandar, Kecamatan Way Pengubuan, Kabupaten Lampung Tengah.
Perusahaan ini
dikenal sebagai perusahaan agroindustri dengan areal pabrik yang mencapai 125 hektar, yang terletak di tengah-tengah areal pertanaman. Adapun luas lahan perusahaan bruto mencapai 32.000 hektar. Areal tersebut berbatasan langsung dengan kampung-kampung berikut ini: (a) Bandar Agung, Bandar Sakti, Tanjung Anom, Gunung Batin Baru, Gunung Batin Udik, Gunung Batin Ilir, dan Gunung Agung, Kecamatan Terusan Nunyai; (b) Lempuyang Bandar, Banjar Ratu, dan Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Way Pengubuan;
(c) Terbanggi Besar, dan Karang Endah Kecamatan Terbanggi
81 Besar; dan (d) Fajar Mataram, Kurnia Mataram, Trimulya Mataram, Utama Jaya, dan Wirata Agung, Kecamatan Seputih Mataram. Areal pertanaman perusahaan yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian dan permukiman penduduk tersebut sering kali menimbulkan konflik penguasaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Untuk mendukung operasional perusahaan, sumberdaya manusia atau karyawan merupakan faktor utama. Jumlah karyawan perusahaan tersebut per Desember 2007 tersaji pada Tabel 12. Data tersebut menunjukkan bahwa: Tabel 12. Jumlah karyawan perusahaan PT. GGP per Desember 2007 No.
Jabatan / Status karyawan
1.
Manajer
2.
Jumlah
Persentase (%)
45
0,23
Kepala Bagian
112
0,58
3.
Staff
489
2,53
4.
Pelaksana
2.935
15,20
Sub total karyawan
3.581
18,56
5.
Tenaga harian tetap
6.212
32,19
6.
Tenaga harian lepas
9.507
49,26
Sub total tenaga harian
15.719
81,44
Total tenaga kerja
19.300
100,00
Sumber: Human Resources Department PT GGP (a) Operasional perusahaan didominasi oleh tenaga kerja teknis, terutama di bidang budidaya tanaman nenas (plantation) dan pelaksana (tenaga operasional pabrik), sedangkan tenaga manajemen dan staf porsinya sangat kecil (tidak mencapai lima persen).
Tenaga kerja manajerial perusahaan
tersebut didominasi oleh tenaga kerja yang berasal dari luar Provinsi Lampung terutama dari Jawa yang besarnya di atas 90 persen, sedangkan tenaga kerja teknis terutama tenaga harian lepas hampir seluruhnya adalah tenaga kerja yang berasal dari wilayah desa atau kecamatan sekitar perusahaan. (b) Tenaga kerja atau karyawan pada perusahaan tersebut didominasi oleh karyawan harian tetap (32,19%) dan karyawan harian lepas (49,26%). Mereka adalah karyawan di bagian penanaman (planting) nenas yang tidak memerlukan syarat kualifikasi atau keahlian khusus. Mereka bekerja secara berkelompok di bawah pengawasan mandor tanam yang sekaligus sebagai
82 pembimbing karyawan dalam melaksanakan pekerjaan-nya.
Banyaknya
karyawan harian lepas dilihat dari aspek ketenagakerjaan menunjukkan bahwa perusahaan kurang bertanggungjawab atas kelang-sungan atau kepastian
tenaga
memberhentikan
kerja,
karena
karyawan
sewaktu-waktu
tersebut
tanpa
harus
perusahaan
dapat
memberikan
uang
pesangon. Produksi perusahaan ini dari tahun ke tahun cenderung berfluktuasi, hal tersebut disebabkan tingkat produktivitas nenas tergantung pada kondisi iklim terutama jumlah curah hujan dan hari hujan. Perkembangan produksi antara tahun 2000-2004 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Perkembangan produksi fisik PT. GGP tahun 2000 - 2004 Tahun Deskripsi
Satuan
Panen
Ton
2000
2001
2002
2003
2004
398.242,0
386.567,8
486.673,0
3.838.123,0
477.453,4
Eksport - Can Pineapple
fcl
6.936,0
6.049,9
7.761,0
6.332,0
8.046,2
- TFS
fcl
165,0
206,7
190
152,0
217,5
- Concentrat
fcl
1.019,0
984,0
1.236
971,0
1.316,0
- Juce
fcl
-
-
-
- CPC
fcl
58,0
91,0
90
140,0
125,0
- Nanas Segar
fcl
-
-
-
- Kulit Nanas
fcl
230,0
135,0
193
260,0
197,0
- Nata de coco
fcl
9,8
38,4
27
4,0
2,0
- Pineapple Brine
fcl
2,0
5,0
8,0
9.502,0
7.867,0
Total
8.420
7.505,0
9.904
Sumber: Human Resources Department PT. GGP Dari Tabel 13 diketahui bahwa produksi perusahaan antara tahun 2000 sampai tahun 2004 mengalami fluktuasi, namun demikian
pada tahun 2004
perusahaan ini masih termasuk tiga besar perusahaan penghasil nenas di dunia (World Top 3 Producers (Fruit Production) Canned Pineapple).
Peningkatan
produksi berarti meningkatkan jumlah ekspor dan secara finansial semakin meningkatkan keuntungan perusahaan sehingga perusahaan dapat menambah porsi dana yang dialokasikan untuk program tanggungjawab sosial perusahaan.
83 Dalam proses produksi, p perusahaan telah men nerapkan to otal quality m managemen nt system diantaranya m menerapkan Sistem Manajemen Ke eselamatan d dan Keseha atan Kerja (SMK3).
minimalkan Sistem ini bertujuan untuk mem
b besarnya tin ngkat kecela akaan kerja dalam d prose es produksi p perusahaan. Besarnya t tingkat kecelakaan kerja a pada PT. G GGP disajika an pada Gam mbar 5.
Sumber:: Human Re esources De epartment PT T. GGP Gamb bar 5. Fluktuasi frekuen nsi tingkat ke ecelakaan ke erja yang terrjadi antara a tahun 1999 9 sampai 20 004 a tingkat kecelakaan ke erja yang te erjadi antara a tahun 199 99 sampai Data 2 2004 menun njukkan bahw wa tingkat kkekerapan ke ecelakaan kkerja sangat kecil yakni s sebesar 3,21 tiap satu juta jam kerjja. Hal ini menunjukkan m n bahwa seb bagai perus sahaan telah h menunjukk kan tanggun ngjawab sosial internal yang y cukup baik. b Dalam pelaksan naan tanggu ungjawab lin ngkungan, perusahaan p ini sudah m melakukan b berbagai lan ngkah beriku ut: ( Penghija (1) auan pada ta anah margin nal seperti bantaran sungai dan ping ggir lebung (situ) de engan tanam man bambu.. Tanaman bambu yang g ditanam merupakan m jenis betung yang rebungnya r j juga enak dikonsumsi. d Langkah ini bahkan endapatkan KEHATI AW WARD Tahun n 2004. telah me ( Pengelolaan limbah (2) h perusahaa an dengan pendekatan p terpadu dan produksi bersih. Sebelum S limbah cair dibu uang atau dialirkan ke ssungai terdekat, limbah pabrik diproses d dalam instalassi pengelolaan limbah ((IPAL) sampai limbah memenu uhi standar aman a bagi lin ngkungan.
84 (3) Aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup di luar perusahaan melalui “komite Way Dawak” yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Way Dawak beranggotakan semua perusahaan besar dan menengah yang ada di Kabupaten Lampung Tengah. Komite ini diketuai oleh Wakil Bupati, dan sekretarisnya adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Lampung Tengah. Semua anggota wajib berkontribusi dalam bentuk tunai yang disetor ke Bappedalda untuk penanggulangan masalah lingkungan serta menumbuhkan budaya peduli lingkungan dalam masyarakat.
Komite menyusun perencanaan dan
pelaksanaan aksi, dan dalam penyusunan program kerja mereka dibantu tenaga ahli dari Pusat Studi Lingkungan UNILA.
Namun demikian setiap
perusahaan juga masih memiliki tanggungjawab menjaga kualitas lingkungan dengan tidak membuang limbah cair dan padat perusahaan ke lingkungan. Perusahaan ini telah memiliki instalasi pengolahan limbah (IPAL) serta kelayakan AMDAL yang memenuhi standar lingkungan. (4) Perusahaan juga telah melakukan persiapan sertifikasi sistem manajemen lingkungan ISO 14.000 yang telah dimulai Tahun 2005. Dalam pengelolaan limbah (terutama limbah cair), perusahaan telah berusaha mencapai standar kualitas emisi limbah ramah lingkungan (Environmental Friendly Emission Quality) yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Hasil pengukuran limbah PT. GGP berdasarkan
sejumlah parameter yang dimulai tahun 1999 dan dipantau secara rutin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Pengukuran Limbah PT. GGP Parameter air
Indonesian Standard
Observation Result
NH3
2,0 ppm
0.010-0.011 ppm
SOx
0,1 ppm
0.001-0.005 ppm
NOx
0,05 ppm
0.010-0.036 ppm
CO
2,0 ppm
5-10 ppm
Dust
0,26 ppm
0.13-0.15 ppm
Sumber: Human Resources Department PT. GGP Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa dari semua parameter air kualitas emisi limbah sudah berada di bawah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup RI.
Hal ini dicapai melalui langkah pengelolaan limbah cair
(Waste Water Management) oleh perusahaan seperti disajikan pada Gambar 6.
85
Processing Plant
Cleaner Production
• Tapioca Plant • Citric Acid Plant • Pineapple Cannery Plant
Tapioca plant
Pineapple cannery plant
End of Pipe
Waste Water Treatment (IPAL)
•Minimization (water &
material balance reduction •Toxic material reduction •Recycling •Inhouse Keeping
Material washing
Organic matter input
Waste Water Reuse
Irrigation
Plantation
Fish Cultivation
Receiving
Gambar 6. Waste Water Management pada PT. GGP Dari Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa limbah cair pabrik dari proses pengolahan nenas dan tapioka diproses daur ulang dan dikelola secara cermat. Perusahaan berupaya menghasilkan produk yang lebih bersih dengan cara meminimalkan residu berbahaya dan menjaga keseimbangan limbah padat dan cair sebelum mencapai pipa akhir pembuangan. Limbah cair yang dihasilkan didaur ulang sampai menghasilkan air yang memenuhi standar lingkungan, sehingga bila limbah cair terpaksa dibuang atau di alirkan ke sungai terdekat tidak membahayakan kelangsungan hidup biota sungai tersebut. Limbah cair hasil daur ulang diuji dengan pemanfaatan air limbah olahan untuk memelihara ikan. Selama ini, hampir semua air limbah olahan tersebut digunakan lagi untuk proses produksi (penyiraman tanaman nenas) terutama pada musim kemarau. Dengan berbagai langkah pengelolaan limbah tersebut, efek positifnya sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar yakni terjaganya kualitas lingkungan. Sejak tahun 2005 tidak ada lagi komplain atau pengaduan dari masyarakat akibat pembuangan limbah yang dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan ini juga telah memenuhi standar kualitas emisi limbah yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa
86 perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab lingkungan seperti diamanatkan pasal 74 Undang-undang Nomer 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perusahaan Multi Nasional Pengolahan Kopi Perusahaan ini merupakan perusahaan multinasional yang menghasilkan berbagai jenis makanan berpusat di Vevey, Swiss.
Perusahaan ini didirikan
pada tahun 1866 oleh Henri Nestlé. Perusahaan ini menghasilkan makanan dan minuman seperti makanan bayi, susu, kopi, cokelat, dan lain-lain. Perusahaan ini mengoperasikan 480 pabrik di 86 negara. Perusahaan ini masuk dalam saham SWX Swiss Exchange. Awal perkembangan perusahaan ini di Indonesia dimulai pada Maret 1971 dengan berdirinya PT. Food Specialiities Indonesia yang pada tahun 1993 berubah nama menjadi PT. Nestlé Indonesia. Pada tahun 1973 dibangun pabrik susu pertama yang berlokasi di Waru Sidoarjo, Jawa Timur; disusul pada tahun 1979 didirikan pabrik kopi di Panjang, Lampung yang memproduksi kopi instan. Untuk memenuhi kenaikan permintaan produks susu, pada tahun 1988 didirikan pabrik susu di Kejayan, Jawa Timur. serta tahun 1994 didirikan pabrik kopi di Lampung. Sebagai upaya diversifikasi produk perusahaan, pada tahun 1990 didirikan pabrik confectionery di Cikupa, Tangerang. Kantor pusat perusahaan ini di Indonesia ada di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan.
Pada tahun 2007 tercatat perusahaan ini memiliki 2.500
karyawan. Manajemen perusahaan ini di Indonesia adalah sebagai berikut: Tingkat Nasional dipimpin oleh seorang Presiden Direktur Pabrik: Unit Kejayan (Pandaan) dan Unit Panjang (Lampung) Wilayah Pemasaran di Indonesia dibagi menjadi wilayah: Jabodetabek; Jawa Barat dan Banten; Jawa Tengah dan DIY; Jawa Timur; Bali, NTT, dan NTB; Sumbagsel; Sumatra bagian Utara; Kalimantan; Sulawesi; Maluku dan Papua. Lampung termasuk bagian wilayah pemasaran Sumatra bagian Selatan yang meliputi Jambi, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, dan Lampung. Area pemasaran produk untuk Lampung dibagi menjadi tiga wilayah sebaran: (1) Inti Bharu Mas (area pemasaran Bandar Lampung), Bandar Lampung, Lampung Selatan, Pesawaran, Pringsewu dan sekitarnya, yang dikepalai oleh seorang kepala area pemasaran, yang membawahi 100 orang tenaga distributor dan tiga orang medical delegate; (2) Metro Mitra Makmur (area pemasaran Metro):
membawahi wilayah Kabupaten Tanggamus, Lampung
87 Timur, Lampung Tengah, Metro; dan
(3)
Area pemasaran Kotabumi
membawahi wilayah Kabupaten Lampung Utara, Tulang Bawang, Way Kanan, dan Lampung Barat. Pabrikasi perusahaan tersebar di beberapa daerah seperti pabrik susu di Pandaan Jawa Timur. Pabrik susu di Jawa Timur tersebut telah bermitra dengan sekitar 28.000 peternak sapi perah. Di Provinsi Lampung terdapat unit perusahaan yang mengolah kopi dengan bahan baku kopi robusta yang diperoleh dari petani kopi di daerah Lampung. Karena perusahaan tidak memiliki lahan pertanaman kopi, dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kopi perusahaan ini bermitra dengan sekitar 9.000 petani kopi di daerah Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus.
Hal ini merupakan salah satu
implementasi program CSR perusahaan. Petani mitra mendapatkan pembinaan dan bimbingan teknis budidaya kopi, terutama kopi robusta, serta bantuan modal usaha petani yang berupa sarana produksi budidaya kopi seperti pupuk organik dan pupuk anorganik. Produk kopi petani yang memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan perusahaan ditampung dan dibeli perusahaan dengan harga mengikuti harga kopi dunia. Standar kualitas yang ditetapkan perusahaan dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan standar manajemen mutu (ISO 9000). Pelaksanaan kemitraan antara perusahaan dengan petani kopi tersebut sifatnya saling menguntungkan. Di satu pihak perusahaan memiliki modal dan teknologi budidaya dan pengolahan kopi, di lain pihak petani kopi lemah dalam permodalan dan penguasaan teknologi budidaya kopi.
Namun demikian,
perusahaan sebagai pelaku bisnis selalu memperhitungkan keuntungan yang dapat diraih. Penetapan harga kopi sesauai harga pasar menunjukkan komitmen perusahaan dalam memberdayakan petani masih belum optimal. Unit produksi perusahaan yang berada di Lampung memiliki karyawan sekitar 200 orang, selain itu perusahaan juga memiliki tenaga kerja harian lepas sebagai tenaga bongkar muat kopi yang akan diproses di pabrik.
Unit ini
menghasilkan produk kopi instant, kopi three in one, dan kopi dalam kaleng. Semua produk berbahan baku kopi dari perusahaan ini dengan merek dagang yang sudah cukup terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara kawasan Asia Pasifik. Sebagai perusahaan multi nasional semua persyaratan ISO (ISO 9000, ISO 14000, dan ISO 17000) sudah terpenuhi. Kualitas produk di mata konsumen dibarengi upaya pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan melalui
88 berbagai program, termasuk salah satunya program pemberdayaan masyarakat. Dengan dipenuhinya standard ISO 14000, perusahaan ini telah menerapkan system manajemen lingkungan yang memenuhi syarat aman bagi lingkungan. Secara khusus instalasi pengolahan limbah (IPAL) pada unit produksi Panjang cukup bagus, hal ini dibuktikan dengan pemanfaatan air limbah untuk budidaya ikan lele yang ternyata dapat hidup dan berkembang secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air limbah perusahaan sudah aman sebelum dibuang ke lingkungan. Profil Masyarakat Sekitar Perusahaan Dalam metode penelitian sudah dijelaskan bahwa berdasarkan hasil pemeringkatan, untuk mewakili masyarakat kampung/desa sekitar perusahaan terpilih kampung Karang Endah, Gunung Batin Udik, Terbanggi Besar, dan Hurun. Profil Masyarakat Kampung Karang Endah Lokasi kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas, sekitar dua kilometer, bahkan wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu. Lokasi kampung ini cukup dekat (6 km arah timur) dari pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah (Pasar Bandar Jaya). Kampung Karang Endah termasuk salah satu kampung dari 10 kampung/ kelurahan yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar. Secara administratif luas wilayah kampung ini adalah 925 ha, yang terbagi menjadi 8 dusun dan 41 RT. Jumlah penduduk kampung ini sebanyak 7.543 jiwa (3.674 laki-laki dan 3.869 perempuan) yang terbagi ke dalam 1.771 kepala keluarga.
Dengan
demikian besarnya seks rasio penduduk kampung Karang Endah adalah 94,96, dan kepadatan penduduk mencapai 815 jiwa/km2 yang termasuk dalam kategori padat. Penduduk kampung ini umumnya adalah transmigran dan keturunannya sehingga mayoritas penduduknya adalah etnis Jawa. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 1.619 orang belum/tidak tamat SD, 1.613 orang tamat SD, 521 orang tamat SLTP, 367 orang tamat SLTA, 21 orang tamat diploma, dan 3 orang tamat S1.
89 Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia kampung ini sebagian besar berpendidikan menengah. Agar potensi sumberdaya alam dapat dikelola secara optimal, kualitas sumberdaya manusia masih perlu ditingkatkan terutama melalui pendidikan formal untuk menopang pembangunan pertanian dan peternakan. Menurut lapangan usahanya penduduk Karang Endah disajikan pada Tabel 15. Dari data Tabel 15 diketahui bahwa masih terdapat 73,18 persen penduduk kampung ini memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain itu masing-masing 4,72 persen sebagai pedagang, dan 4,54 persen sebagai tenaga bangunan.
Keterbatasan lapangan kerja dan redahnya upah di daerah ini
maupun secara nasional, menarik minat warga kampung ini menjadi TKI, pada tahun 2006 tercatat 11 orang warga (lima laki-laki dan enam perempuan) menjadi TKI di negara Arab Saudi.
Hal tersebut mengindikasikan, lapangan kerja
pertanian setempat belum mampu menyerap tenaga kerja yang ada, terutama bagi kaum perempuan.
Hal tersebut juga disebabkan tingkat pendapatan
menjadi TKI lebih menjanjikan daripada bekerja di sektor pertanian. Tabel 15. Jumlah penduduk Karang Endah yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 No. Jenis pekerjaan (lapangan usaha)
Jumlah (jiwa)
Persentase
2.126
73,18
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan penggalian
51
1,76
3.
Industri pengolahan
24
0,93
4.
Listrik, gas, dan air
9
0,32
5
Bangunan
129
4,54
6.
Perdagangan
134
4,72
7.
Transportasi dan komunikasi
18
0,63
8.
Jasa kemasyarakatan
18
0,63
9.
Lain-lain
386
13,29
2.905
100,00
Jumlah
Sumber: Monografi Kampung Karang Endah, 2007. BPS Kabupaten Lampung Tengah tahun 2006 mencatat terdapat 138 keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, sedangkan mereka yang meminta surat keterangan miskin sebanyak 13 orang, dan 90 orang mendapatkan kartu sehat (jaminan pelayanan kesehatan masyarakat /JPKM). Kondisi perumahan penduduk kampung Karang Endah pada tahun 2006 sebanyak 1.593 rumah yang
90 terdiri dari 938 permanen, 655 belum permanen. Kondisi perumahan ini dapat menggambarkan bahwa dilihat dari kondisi perumahannya, sudah lebih dari 50 persen penduduk Karang Endah memiliki rumah permanen. Di kampung ini terdapat enam TK, empat SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 1.242 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kampung lain, seperti di Terbangi Besar atau bahkan di kabupaten lain seperti Kota Metro atau Bandar Lampung.
Hal ini menunjukkan prasarana pendidikan menengah atas di
kampung ini perlu ditingkatkan. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung ini tercatat ada satu puskesmas, satu tempat praktik bidan, dan satu mantri kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sarana prasarana kesehatan yang ada sudah cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini. Bila ada warga yang memerlukan rawat inap, rumah sakit terdekat ada di Bandar Jaya yang berjarak sekitar enam kilometer dari kampung ini. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah tujuh masjid, 22 surau, satu gereja, dan satu pura.
Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat kampung yang terdiri dari 7.281 beragama Islam, 197 Katholik, 65 Protestan. Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik dan Hindu diatasi dengan pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setempat. Ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini
terdapat
empat wartel yang siap melayani masyarakat, selain itu sinyal telepon genggam di wilayah kampung ini cukup kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based tranciever station (BTS) di sekitar Bandar Jaya. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, tercatat sudah 43 pelanggan telepon rumah (telepon kabel). Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini letaknya cukup dekat dengan jalur lintas tengah pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 1.230 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung
91 ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Kondisi sumberdaya alam kampung seluas 925 ha berupa sawah seluas 765 ha, dan lahan kering (bukan sawah) seluas 160 ha. Namun demikian, kondisi lahan sawah yang ada umumnya dapat ditanami padi sekali dalam setahun, sebab sumber air dari irigasi Way Seputih tidak mencukupi untuk usahatani sawah pada musim gadu. Akibatnya, sebagian besar lahan sawah yang ada pada musim gadu diusahakan tanaman palawija (seperti jagung, ubikayu, ubijalar) atau sayur mayur seperti kacang panjang atau buncis. Seluas 144 ha dipergunakan untuk perumahan/pemukiman. Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak sapi yang umumnya sebagai usaha penggemukan sebanyak 2.356 ekor, kerbau sebanyak tujuh ekor, kambing sebanyak 341 ekor, ayam buras 1.260 ekor, dan itik sebanyak 18 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat kios saprodi yang cukup besar sebanyak tiga buah, mereka menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung/kedai makanan sebanyak 13 buah, toko kelontong 26 buah, enam bengkel mobil/motor, dua bengkel las, tiga bengkel elektronik, satu usaha photo copy, Dari data ternak sapi yang ada jumlahnya cukup besar untuk ukuran kampung, sebab usaha penggemukan ternak merupakan usaha ekonomi produktif yang menjadi unggulan di kampung ini. Diawali semenjak pembukaan kampung
ini
sebagai
daerah
transmigran,
memelihara sapi sebagai usaha sampingan.
beberapa
penduduk
sudah
Ternak dipelihara untuk dapat
dimanfaatkan tenaganya dalam mengolah lahan, selain itu ternak sapi juga merupakan tabungan bagi petani. Peluang ini banyak diminati warga setempat, hal ini didukung oleh potensi hijauan ternak di kampung ini cukup melimpah sehingga mereka tidak mengalami kesulitan untuk memberi pakan ternaknya. Banyaknya petani yang memelihara sapi di kampung ini ditindaklanjuti dengan pembinaan oleh tenaga penyuluh peternakan dari Kabupaten Lampung Tengah. Melalui kelompok yang mereka bentuk, mereka diberikan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas pembinaan dan permodalan melalui proyek Bimbingan Pengembangan Sapi Daging (BPSD) pada tahun 1972. Kegiatan
92 BPSD di kampung ini berjalan sampai tahun 1985, sehingga memelihara ternak sapi merupakan jenis usaha yang tidak asing bagi masyarakat Karang Endah. Semakin banyaknya warga yang memelihara sapi menimbulkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pakannya, selain mereka melakukan penanaman rumput gajah pada lahan miliknya ada seorang peternak yang melihat peluang untuk memanfaatkan limbah perusahaan nenas sebagai pakan yang berlimpah. Pada tahun 1989, seorang petani kampung Karang Endah meminta kulit nenas dari limbah perusahaan untuk dicoba diberikan untuk pakan ternak sapinya. Langkah coba-coba tersebut ternyata mendatangkan hasil positif, pertambahan berat ternak sapinya lebih baik. Keberhasilan seorang peternak tersebut kemudian banyak diikuti oleh petani peternak sapi potong di kampung Karang Endah dan sekitarnya, terutama anggota kelompok tani peternak Budidaya. Keberhasilan tersebut kemudian diikuti oleh manajemen PT. GGP dengan mendirikan PT. GGLC dengan usaha penggemukan sapi potong sebagai basisnya. Perusahaan ini sengaja ingin memanfaatkan limbah kulit nenas sebagai salah satu unsur pakan ternak sapi potongnya.
Bakalan sapi bagi PT. GGLC dalam jumlah besar diimpor dari
Australia, terutama jenis Brahman Cross. Perkembangan yang cukup pesat tersebut berdampak pada ketersediaan limbah kulit nenas bagi peternak di kampung sekitar perusahaan, akibatnya petani sekitar yang membutuhkan limbah kulit nenas harus membeli ke perusahaan. Perkembangan ternak sapi potong di sekitar perusahaan dan PT GGLC membutuhkan ketersediaan bakalan sapi yang berkualitas dan jumlah yang tidak sedikit. Kondisi tersebut menyebabkan petani kesulitan mendapatkan bakalan berkualitas dari dalam negeri, sementara mereka tidak dapat mengimpor bakalan dari luar negeri. Kelompok peternak Budidaya melakukan pendekatan ke PT. GGLC untuk bisa mendapatkan bakalan impor, kemudian mereka bekerjasama dalam bentuk kemitraan yang berlangsung sampai sekarang.
Kegiatan ini
merupakan salah satu program unggulan dalam implementasi CSR kelompok PT. GGP. Profil Masyarakat Kampung Gunung Batin Udik Kampung ini berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Tulang Bawang (di sebelah utara). Ibukota dan kantor kecamatan Terusan Nunyai bertempat di kampung ini. Jarak kampung ini ke ibukota kabupaten sejauh 40
93 km.
Lokasi kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas sekitar lima
kilometer, namun wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu bagi perusahaan agroindustri nenas. Kampung Gunung Batin Udik merupakan salah satu kampung yang ada di Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah.
Kampung ini
termasuk kampung tertua dari tujuh kampung di Kecamatan Terusan Nunyai. Luas wilayah kampung adalah 2.786 ha. Secara administratif kampung ini terbagi menjadi 8 dusun dan 37 RT. Jumlah penduduk kampung ini sejumlah 6.684 jiwa (3.463 laki-laki dan 3.221 perempuan) yang terdiri dari 1.713 keluarga. Hal ini berarti seks rasio penduduk kampung ini sebesar 108, dan rata-rata jumlah anggota setiap keluarga di kampung ini sebesar 3,9 jiwa. Dengan luas wilayah 2.786 ha atau 27,86 km2, berarti kepadatan penduduk kampung ini sebesar 240 jiwa/km2. Di kampung ini terdapat dua TK, tiga SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 617 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kecamatan atau kabupaten lain, seperti di Kecamatan Terbangi Besar atau bahkan di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung ini cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini. Tercatat di kampung ini ada dua tempat praktik bidan, satu dokter, dua mantri kesehatan, dan dua dukun bayi. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah 12 masjid, empat surau, dan satu gereja.
Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat
kampung yang terdiri dari 8.107 beragama Islam, 220 Katholik, 280 Protestan, 140 Hindu, dan 60 Budha. Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik, Hindu, dan Budha diatasi dengan pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setempat. Kondisi sumberdaya alam kampung berupa lahan seluas 2.786 ha berupa lahan kering (bukan sawah), 1.500 ha di antaranya sudah diusahakan, 786 ha dipergunakan untuk perumahan/pemukiman/industri lainnya.
Dengan kondisi
tersebut tidak mengherankan bila 1.713 keluarga atau 75 persen penduduk bergantung pada hasil pertanian ubikayu/ubikayu.
Kesempatan kerja di luar
94 negeri dengan upah yang menjanjikan juga mengundang minat warga kampung ini, tercatat tahun 2006 ada 2 orang warga (laki-laki) menjadi TKI di Malaysia. Usaha sampingan penduduk yang ada di kampung ini berupa usaha ternak sapi yang umumnya juga sebagai pekerja (penarik bajak) sebanyak 128 ekor, kambing sebanyak 120 ekor, ayam buras 1.508 ekor, dan itik sebanyak 225 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat
kios
saprodi yang cukup besar sebanyak dua buah, mereka menydiakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung/kedai makanan sebanyak 10 buah dan toko kelontong 25 buah. Lokasi kampung yang tidak jauh dari perusahaan nasional di bidang agro industri cukup membantu ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini. Saat ini terdapat satu warung telekomunikasi yang siap melayani masyarakat, selain itu sinyal telepon genggam di wilayah kampung ini kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based tranciever station (BTS) di lokasi perusahaan sekitar. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini sangat lancar. Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini letaknya sangat dekat dengan jalur lintas timur pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 864 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Potensi sumberdaya alam yang berupa lahan kering umumnya digunakan untuk budidaya tanaman ubikayu di sepanjang tahun. masyarakat menanam padi ladang pada musim hujan.
Sebagian kecil Rendahnya harga
ubikayu selama ini menyebabkan masyarakat kampung ini tidak pernah merasakan keuntungan yang wajar dari usaha budidaya tanaman ubikayu. Rendahnya harga ubikayu di tingkat petani selama ini disebabkan beberapa kemungkinan: (1) Permainan para agen dalam pembelian ubikayu oleh pabrik tapioka yang beroperasi tidak jauh dari kampung ini;
95 (2) Rendahnya posisi tawar petani ubikayu, sebab para petani belum berkelompok dalam menghadapi pihak lain (perusahaan, pedagang, atau agen); (3) Produktivitas lahan yang semakin menurun akibat penanaman ubikayu secara terus menerus, sedangkan upaya pemulihan kesuburan tanah jauh dari mencukupi. (4) Rendahnya kualitas sumberdaya petani, mereka mengusahakan tanaman ubikayu hanya dengan menanam bibit tanpa pemeliharaan yang memadai. Keterpurukan masyarakat petani ubikayu menggugah beberapa warga kampung untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan agroindustri yang tidak jauh dari kampung ini untuk membantu meningkatkan pendapatan petani ubikayu. Melalui beberapa kali pembicaraan antara wakil petani (masyarakat) dengan
perusahaan
agroindustri
mulai
tahun
2002
disepakati
adanya
kesanggupan perusahaan agroindustri untuk menampung produksi petani sekitar perusahaan (termasuk petani Gunung Batin Udik). Mereka sepakat bermitra dalam budidaya ubikayu, dan perusahaan bersedia membantu memfasilitasi petani (kelompok tani) dalam medapatkan pinjaman modal dari pihak perbankan. Sampai tahun 2007 tercatat 1.287 KK yang mendapatkan jatah beras miskin atau berhak mendapatkan jatah bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk kampung ini tergolong miskin. Suatu kondisi yang cukup memprihatinkan, apalagi kampung ini lokasinya tidak jauh dari perusahaan besar pengolah ubikayu, penghasil nenas dalam kaleng, serta pabrik gula pasir. Profil Masyarakat Kampung Terbanggi Besar Kampung Terbanggi Besar merupakan salah satu kampung terluas yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah.
Lokasi
kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas hanya sekitar dua kilometer, bahkan wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu. Lokasi kampung ini cukup dekat (dua kilometer arah utara) dari pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah (Pasar Bandar Jaya). Kampung Terbanggi Besar termasuk salah satu kampung dari 10 kampung/kelurahan yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar. Secara administratif luas wilayah kampung ini adalah 11.350 ha, yang terbagi menjadi 12 dusun
96 dan 54 RT. Jumlah penduduk kampung ini sebanyak 21.241 jiwa (11.149 lakilaki dan 10.092 perempuan) yang terbagi ke dalam 5.463 kepala keluarga. Dengan demikian besarnya seks rasio penduduk kampung Terbanggi Besar adalah 110,47, dan kepadatan penduduk mencapai 187 jiwa/km2. kampung
ini
umumnya
adalah
penduduk
asli
serta
Penduduk
transmigran
dan
keturunannya. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 3.916 orang belum/tidak tamat SD, 3.406 orang tamat SD, 521 orang tamat SLTP, 3.151 orang tamat SLTA, 129 orang tamat diploma, dan 26 orang tamat S1.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (28,26 persen
penduduk) Kampung Terbanggi Besar sudah tamat SLTA. Jika dilihat dari jenis lapangan usahanya, data penduduk Kampung Terbanggi Besar disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah penduduk Terbanggi Besar yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 No. Jenis pekerjaan (lapangan usaha) 1.
Pertanian
2.
Jumlah (jiwa)
Persentase
11.247
73,90
Pertambangan dan penggalian
153
1,01
3.
Industri pengolahan
376
2,47
4.
Listrik, gas, dan air
18
0,12
5
Bangunan
478
3,14
6.
Perdagangan
802
5,27
7.
Transportasi dan komunikasi
1.837
12,07
8.
Jasa kemasyarakatan
81
0,53
9.
Lain-lain
227
1,49
15.219
100,00
Jumlah
Sumber: Monografi Kampung Terbanggi Besar, 2007 Dari Tabel 16 tercatat bahwa lebih dari 73,9 persen penduduk kampung ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, disusul sektor transportasi dan komunikasi yang mencapai 12,07 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena kampung ini dilewati jalur lintas tengah Sumatra dan tidak jauh dari kampung ini beroperasi terminal bayangan maupun beberapa biro atau agen perjalanan. Namun demikian keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya upah tenaga kerja di daerah sementara upah tenaga kerja di luar negeri cukup menjanjikan, tercatat
97 pada tahun 2006 sebanyak 30 orang warga (11 laki-laki dan 19 perempuan) menjadi TKI di negara Malaysia. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan di wilayah ini belum mampu menyerap semua tenaga kerja yang ada di kampung ini. Data dari BPS Kabupaten Lampung Tengah tahun 2006 mencatat terdapat 2.365 keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, sedangkan mereka yang meminta surat keterangan miskin sebanyak 18 orang, dan 174 orang mendapatkan kartu sehat (jaminan pelayanan kesehatan masyarakat /JPKM).
Hal ini
menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan masih cukup memprihatinkan. Di kampung ini terdapat tiga TK, empat SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 2.831 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kampung/kecamatan/ kabupaten lain, seperti di Kota Metro atau Bandar Lampung. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung tercatat ada satu puskesmas, satu dokter, dua tempat praktik bidan, dan dua orang mantri kesehatan. Prasarana kesehatan tersebut cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini, meskipun kebutuhan untuk rawat inap untuk masyarakat harus ke rumah sakit di Bandar Jaya yang berjarak sekitar dua kilometer dari kampung ini. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah 14 masjid, 18 surau, dan sebuah gereja protestan. Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat kampung yang terdiri dari 22.374 beragama Islam, 413 Katholik, dan 131 Protestan.
Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik diatasi dengan
pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setepat. Kondisi sumberdaya alam kampung berupa lahan seluas 2.372 ha sawah, dan 8.978 ha berupa lahan kering (bukan sawah). Secara keseluruhan dari luas kampung 11.350 ha, diantaranya 1.916 ha berupa sawah berpengairan sudah diusahakan, 8.153 ha lahan kering sudah diusahakan, 1.281 ha digunakan untuk perumahan/pemukiman/industri lainnya.
Dengan kondisi tersebut
terdapat
5.463 keluarga atau 100 persen penduduk masih bergantung pada hasil pertanian.
Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak sapi yang
umumnya juga sebagai pekerja (penarik bajak) sebanyak 432 ekor, kerbau enam ekor, kambing sebanyak 1.009 ekor, domba enam ekor, ayam buras 3.813 ekor,
98 dan ayam ras sebanyak 4.000 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat
kios saprodi yang cukup besar sebanyak satu buah,
mereka menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya.
Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu
dengan adanya warung / kedai makanan sebanyak 21 buah dan toko kelontong 34 buah, delapan bengkel mobil/motor, empat bengkel las, empat bengkel elektronik, empat usaha photocopy, tiga agen perjalanan. Ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini terdapat tiga wartel yang siap melayani masyarakat, selain itu
sinyal telepon genggam di
wilayah kampung ini kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based transciever station (BTS) di sekitar Bandar Jaya sebagai pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini sangat lancar, bahkan tercatat 184 pelanggan telepon rumah.
Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke
wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini dilewati jalur lintas pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 3.520 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Profil Masyarakat Kampung Hurun Lokasi kampung ini terletak kurang lebih 35 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Pesawaran (Gedung Tataan). Namun, dari ibukota provinsi lokasi desa ini hanya berjarak kurang lebih 11 km sebelah barat daya Kota Bandar Lampung.
Dengan demikian aktivitas ekonomi warga untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari lebih banyak ke wilayah Teluk Betung Kota Bandar Lampung. Desa ini terletak di lereng bukit yang termasuk areal Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR), sehingga interaksi warganya dengan hutan lindung di sekitarnya cukup intensif. Salah satu dusun yang warganya paling
99 intensif berinteraksi dengan Tahura dalah dusun Sinar Baru, sebab wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Youth Camp Tahura. Desa Hurun termasuk salah satu kampung dari 21 desa yang ada di Kecamatan Padang Cermin. Perkembangan desa ini cukup pesat terutama semenjak datangnya transmigrasi dari Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) yang berpusat di dusun Hanura. Dari dusun tersebut perkembangan ekonomi desa menjadi semakin maju, hal terseut didukung oleh berkembangnya pasar, perbankan (BRI), dan Balai Budidaya Laut (BBL), Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara administratif luas wilayah desa ini adalah 4.176 ha, yang terbagi menjadi 10 dusun. Jumlah penduduk desa ini sebanyak 5.883 jiwa (2.986 lakilaki dan 2.897 perempuan) yang terbagi ke dalam 1.882 kepala keluarga. Dengan demikian besarnya seks rasio penduduk Desa Hurun adalah 103,07, dan kepadatan penduduk mencapai 141 jiwa/km2. Penduduk desa ini umumnya adalah penduduk asli serta transmigran dan keturunannya. Di kampung ini terdapat satu TK, tiga SD, satu SLTP dan satu SLTA. sejumalh 2.831 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTP dan SLTA warga desa tdak sedikit yang bersekolah di Kota Bandar Lampung karena jarak yang tidak terlalu jauh (kurang lebih sembilan kilometer) dengan sarana prasarana transportasi yang cukup lancar. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 942 orang belum/tidak tamat SD, 624 orang tamat SD, 179 orang tamat SLTP, 167 orang tamat SLTA, 145 orang tamat diploma, dan 47 orang tamat S1. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pendidikan formal yang merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia penduduk desa ini sudah cukup tinggi.
Keadaan penduduk Desa Hurun berdasarkan lapangan usahanya,
disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa lebih dari 49,32 persen penduduk desa ini adalah buruh tani, dan 25,36 memiliki mata pencaharian sebagai petani, disusul sektor swasta dan buruh yang mencapai 16,87 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena desa merupakan daerah pertanian (perkebunan) dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Sebagian warga desa ini hidupnya bergantung pada kebera-
100 daan Tahura dengan memanfaatkan areal hutan dengan ditanami tanaman perkebunan (kakao) dan multi purpose tree species (MPTS), sehingga mereka dapat mengambil hasil hutan non kayu terutama buahnya.
Dari jenis mata
pencaharian juga terlihat ada 50 orang nelayan, mereka adalah warga Desa Hurun yang tinggal di kawasan pesisir, karena lokasi desa ini berbatasan dengan Teluk Lampung.
Nelayan tersebut adalah warga desa yang terdiri dari etnis
Bugis, Lampung, dan Jawa. Tercatat bahwa penduduk desa ini terdiri dari 1.416 etnis Lampung, 2.677 etnis Jawa, 226 etnis Bugis, dan 532 etnis Semendo. Akulturasi dan amalgamasi sudah berjalan cukup baik sehingga mempererat kerukunan warga antar etnis yang ada. Tabel 17. Jumlah penduduk Desa Hurun yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2007 No.
Jenis pekerjaan (lapangan usaha)
Jumlah (jiwa)
Persentase
1.
Petani
1.243
25,36
2.
Buruh tani
2.417
49,32
3.
Nelayan
50
1,02
4.
PNS, TNI/Polri
64
1,30
5
Montir
15
0,30
6.
Perdagangan
214
4,37
7.
Buruh / karyawan swasta
827
16,87
8.
Sopir
20
0,40
9.
Jasa pertukangan
35
0,07
10.
Guru swasta (honorer)
16
0,31
4.901
100,00
Jumlah Sumber: Profil Desa Hurun, tahun 2007
Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di desa ini kurang memadai. Tercatat di desa ini hanya ada satu puskesmas, seorang dokter, dua tempat praktik bidan, dan dua orang dukun bayi terlatih. Sarana pengobatan seperti rumah sakit sebagian besar penduduk memanfaatkan sarana pengobatan di Kota Bandar Lampung. Sementara itu, prasarana ibadah yang ada di desa ini hanya 15 masjid dan lima surau, sebab seratus persen warganya beragama Islam. Kondisi sumberdaya alam desa berupa lahan seluas 377 ha sawah irigasi teknis, 215 ha sawah irigasi setengah teknis, 15 ha sawah tadah hujan, 1.209 ha berupa lahan kering (perkebunan rakyat).
Dengan kondisi tersebut tidak
101 mengherankan bila sebagian besar penduduk masih bergantung pada hasil pertanian. Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak kambing dan ayam kampung sebagai usaha sampilan. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat sebuah kios saprodi yang cukup lengkap, pemilik kios menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung atau kedai makanan sebanyak 21 buah dan toko kelontong 34 buah, delapan bengkel mobil dan motor, empat bengkel las, empat bengkel elektronik, empat usaha photocopy, dan tiga agen perjalanan, . Karakteristik Masyarakat Sekitar Perusahaan Deskripsi umum karakteristik masyarakat sekitar perusahaan direpresentasikan dari sampel penelitian yang berjumlah 200 orang, disajikan dari analisis data primer berikut: (1) Umur dan Tingkat Pendidikan Umur sampel berkisar antara 18–72 tahun, dengan rata-rata umur 42,325 tahun (Tabel 18). Rata-rata umur sampel masih termasuk dalam kategori umur produktif. Bila kita kaji lebih jauh, dengan batasan usia produktif adalah kurang dari 56 tahun, maka 90 persen sampel masih termasuk usia produktif, namun bila mengacu pada batasan usia produktif kurang dari 60 tahun, maka 94,5 persen sampel masih termasuk usia produktif. Bila kita bandingkan dengan kenyataan di lapangan, bahwa semua sampel masih aktif melakukan usaha ekonomi produktif, artinya batasan usia produktif hanya sampai usia 56 atau 60 tahun tidak berlaku bagi masyarakat di wilayah penelitian. Tabel 18. Umur Sampel No.
Umur (thn)
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
1.
Muda (18-35)
28
19,4
2.
Setengah baya (36—50)
78
54,2
3.
Tua (>50)
38 144
Total
Sekitar Perusahaan B Frekuensi Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
29
51,8
57
28,5
21
37,5
123
61,5
26,4
6
10,5
20
10,0
100,0
56
100,0
200
100,0
102 Rata-rata (tahun)
44,38
37,04
42,325
Secara umum, jumlah sampel sekitar perusahaan B relative lebih muda (mencapai 51,8 persen), sedangkan di sekitar persahaan A sebesar 19,4 persen. Sebaliknya, porsi sampel yang termasuk tua di sekitar perusahaan A lebih besar (mencapai 26,4 persen), sedangkan di sekitar perusahaan B hanya 10,5 persen. Bila sampel dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan kategori dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga, maka 28,5 persen termasuk kategoori muda, 61,5 persen termasuk usia setengah baya, dan 10 persen termasuk tua. Dilihat dari tingkat pendidikan sampel, jenjang pendidikan formal sampel adalah 3 tahun (hanya sampai kelas 3 SD) sampai 16 tahun atau tamat jenjang S1 (sarjana), dengan rata-rata tingkat pendidikan formalnya mencapai 8,185 tahun, dengan mayoritas (37,5 persen) hanya sampai tamat SD (Lampiran 6). Hal ini berarti rata-rata pendidikan masyarakat daerah penelitian mencapai bangku kelas 2 SLTP (Tabel 19). Tabel 19. Tingkat Pendidikan Sampel No.
Tingkat pendidikan (thn)
Sekitar Sekitar Gabungan Perusahaan A Perusahaan B FreFreFrePersen kuensi Persen kuensi Persen kuensi
1.
Dasar (≤ 9)
72
50,0
29
51,8
2.
Menengah (10— 14)
34
23,6
9
16,1
3.
Tinggi (≥ 15)
38
26,4
18
144
100,0
56
Total Rata-rata (tahun)
8,222
145
72,5
46
23,0
32,1
9
4,5
100,0
200
100,0
8,089
8,185
Secara khusus, bila kita perbandingkan tingkat pendidikan sampel di sekitar dua perusahaan tidak jauh berbeda. Mereka yang berpendidikan dasar mencapai sekitar 50 persen, namun mereka yang berpendidikan tinggi lebih banyak di sekitar perusahaan B (sebesar 32,1 persen), sedangkan di sekitar perusa-haan A hanya sebesar 26,4 persen. Bila tingkat pendidikan sampel dikelompokkan menurut pengelompokan Depdiknas, yakni tingkat pendidikan dasar adalah tingkat SD dan SLTP (≤9 tahun), tingkat pendidikan menengah (SLTA – D2) dan pendidikan tinggi (D3, S1,
103 S2, S3) maka sebaran tingkat pendidikan sampel terlihat bahwa 72,5 persen sampel masih berpendidikan dasar. (2) Jenis Pekerjaan Keberadaan perusahaan di suatu wilayah secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan peluang kerja bagi masyarakat sekitarnya (Tabel 20). Secara langsung, masyarakat sekitar dapat bekerja sebagai karyawan atau buruh pada perusahaan tersebut, baik sebagai karyawan atau buruh tetap atau karyawan harian lepas.
Hal tersebut sangat tergantung pada ketersediaan
lowongan pada perusahaan. Secara tidak langsung keberadaan perusahaan di suatu wilayah juga meningkatkan aktivitas perekonomian di wilayah tersebut, misalnya peluang untuk menyediakan jasa layanan rumah makan, warung kopi, warung/took kelontong, warung seluler, jasa transportasi bagi karyawan, jasa reparasi kendaraan bermotor, dan sebagainya. Tabel 20. Pekerjaan Sampel Sebelum dan Sesudah Ada Program CSR No.
Jenis pekerjaan
Sebelum ada CSR Frekuensi
1.
Tani
2.
Buruh
3.
Dagang
4.
Persen
Sesudah ada CSR Frekuensi
Persen
129
64,5
51
25,5
5
2,5
15
7,5
12
6,0
5
2,5
Guru
1
0,5
-
-
5.
Penjahit, meyulam
2
1,0
3
1,5
6.
Jasa (sopir, bengkel)
5
2,0
2
2,0
7.
Pegawai (PNS, satpam, Karyawan swasta)
10
5,0
3
1,5
8.
Perkebunan
2
1,0
3
1,5
9.
Peternak
2
1,0
114
57,0
10.
Lain-lain (IRT, pensiun)
36
18,0
4
2,0
200
100,0
200
100,0
Total
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebelum ada program CSR pekerjaan utama masyarakat sekitar perusahaan adalah petani (mencapai 64,5 persen), namun setelah berjalannya program CSR. Sebaliknya, jenis pekerjaan masyarakat sebagai peternak meningkat drastis dari dua menjadi sebesar 74 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena keberhasilan kemitraan penggemukan sapi
104 telah menarik minat masyarakat yang awalnya memiliki pekerjaan sebagai petani, beralih ke usaha penggemukan sapi.
Hal yang sama juga dapat kita
temukan pada pekerjaan masyarakat sebagai buruh atau karyawan kontrak, sebelum ada program CSR sebanyak 2,5 persen, dan meningkat menjadi 7,5 persen setelah ada program CSR. Beberapa diantaranya adalah karyawan pada perusahaan di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka bekerja sebagai karyawan tetap atau karyawan kontrak. (3) Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan keluarga masyarakat sekitar perusahaan agrindustri di Provinsi Lampung berkisar antara 0 sampai 9 jiwa, dengan rata-rata 4 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum setiap keluarga terdiri dari suami istri, dan 3 orang anggota keluarga (anak dan atau familinya).
Sebaran jumlah
tanggungan keluarga paling dominan sebanyak 4 jiwa (31 persen), disusul 3 jiwa (25,5 persen).
Deskripsi jumlah tanggungan keluarga secara lengkap tersaji
pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah Tanggungan Sampel Jumlah tanggungan (jiwa)
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
0 -- 3
59
41,0
19
33,9
78
39,0
4 -- 6
77
53,5
33
58,9
110
55,0
7 -- 9
8
5,6
4
7,1
12
6,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Rata-rata:
3,958
4,178
4,020
Bila dilihat secara terpisah, sebaran jumlah tanggungan keluarga sampel di sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda. Pada kedua kelompok sampel jumlah tanggungan keluarga berkisar antara 4—6 orang.
Jumlah anggota
keluarga ini merupakan potensi sumberdaya manusia dalam mendukung usaha ekonomi produktif. (4) Pengalaman Berusaha Keberhasilan usaha seseorang secara umum sangat ditentukan oleh pengalamannya.
Pengalaman merupakan guru yang paling baik, sehingga
berbekal pengalamannya seseorang dapat mengambil ilmu demi perbaikan usahanya. Semakin tinggi pengalaman seseorang, maka semakin besar pula
105 peluang keberhasilan usahanya.
Rata-rata pengalaman masyarakat dalam
melakukan usaha di bidangnya mencapai 6,8 tahun dengan pengalaman terendah 0,5 tahun dan tertinggi sudah mencapai 30 tahun.
Mereka yang
memiliki pengalaman terendah mencapai 0,5 tahun adalah petani yang memiliki usaha budidaya jamur tiram, sedangkan mereka yang memiliki pengalaman tertinggi memiliki usaha di bidang penggemukan sapi (sapi potong).
Secara
umum, tingkat pengalaman usaha masyarakat masih termasuk rendah (< 6 tahun) mencapai 59,5 persen, termasuk sedang (6—20 tahun) mencapai 35 persen, dan tingkat pengalaman yang tinggi (> 20 tahun) sebesar 5,5 persen (Tabel 22). Tabel 22. Tingkat Pengalaman Berusaha Sampel Pengalaman berusaha (tahun)
Sekitar perusahaan Sekitar perusahaan A B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah (< 6)
102
70,8
55
98,2
119
59,5
Sedang (6—20)
31
21,5
1
1,8
70
35,0
Tinggi (> 20)
11
7,6
0
0,0
11
5,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total Rata-rata (thn)
8,649
2,036
6,80
Dari Tabel 22 dapat diketahui bahwa tingkat pengalaman usaha sampel sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda, sebagaian besar (70,8 dan 98,2 persen) dengan pengalaman yang masih rendah (di bawah enam tahun). Namun, pada masyarakat sekitar perusahaan A sebaran pengalaman yang termasuk sedang dan tinggi, persentasenya lebih baik dibandingkan sampel sekitar perusahaan B.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa usaha ekonomi
produktif yang dibina perusahaan A lebih terkait dengan bidang usaha yang sebelumnya sudah digeluti oleh masyarakat.
Dengan demikian kegiatan
penyuluhan, pelaihan, dan pendampingan dalam program CSR perusahaan B harus dilakukan lebih intensif. Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat dalam budidaya jamur merang sebagai sesuatu yang baru dan masyarakat tidak punya pengalaman sebelumnya. (5) Jenis Usaha Ekonomi Produktif yang Dibina Perusahaan Dari program CSR perusahaan yang melaksanakan program pembinaan usaha ekonomi produktif masyarakat sekitar, terdapat beberapa jenis usaha ekonomi produktif yang dibina (Tabel 23). Jenis usaha ekonomi produktif yang
106 cukup menonjol adalah usaha peternakan (penggemukan) sapi potong, disusul usaha budidaya jamur, usaha budidaya ubikayu, dan budidaya lele. Jjenis usaha ekonomi produktif yang dibina oleh perusahaan melalui program CSR adalah: usaha peternakan (penggemukan sapi) sebesar 50,5 persen, budidaya jamur sebesar 17,5 persen, budidaya ubikayu sebesar 11,5 persen, usaha jahit pakaian sebesar 10 persen, budidaya lele sebesar 9 persen, dan budidaya kakao sebesar 1,5 persen. Tabel 23. Usaha Binaan Program CSR No.
Jenis usaha
Sekitar perusahaan A Frekuensi
Persen
Sekitar perusahaan B Frekuensi
Gabungan
Persen
Frekuensi
Persen
1.
Budidaya kakao
0
0,0
3
5,4
3
1,5
2.
Budidaya lele
0
0,0
18
32,1
18
9,0
3.
Menjahit
20
13,8
0
0,0
17
8,5
4.
Sapi potong
101
70,2
0
0,0
101
50,5
5.
Budidaya jamur
0
0,0
35
62,5
35
17,5
6.
Usahatani ubikayu
23
16,0
0
0
23
11,5
144
100
56
100
200
100,0
Total
Dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa jenis usaha ekonomi produktif yang dibina perusahaan A meliputi usahatani ubikayu, penggemukan sapi potong, dan usaha menjait pakaian.
Usaha ekonomi produktif yang dibina perusahaan B
adalah budidaya kakao, budidaya lele, dan budidaya jamur (jamur tiram). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada persamaan jenis usaha ekonomi produktif binaan kedua perusahaan. (6) Pemilikan Lahan Bagi masyarakat pedesaan yang bermata pencaharian sebagai petani, pemilikan lahan merupakan modal atau aset utama dalam menopang usaha ekonomi produktif keluarganya (Tabel 24).
Pemilikan lahan rata-rata mencapai
1,91 ha atau termasuk dalam kategori sedang. Bila dikelompokkan, penguasaan lahan yang sempit di bawah 0,5 ha mencapai 43 persen, pemilikan lahan yang sedang (0,5—2,0 ha) mencapai 45 persen, dan pemilikan lahan yang luas (>2,0 ha) mencapai 24 persen. Sebagai petani transmigran, secara umum mereka
107 memiliki lahan yang kurang dari 2,0 ha yang berarti lahan jatah transmigran sudah berkurang atau diwariskan kepada anak (generasi kedua transmigran). Sebagian petani mampu membeli tanah sebagai hasil dari usaha utamanya, baik sebagai pedagang atau sebagai petani penggemukan sapi.
Hal ini memberi
petunjuk bahwa usaha penggemukan sapi cukup menguntungkan masyarakat yang melakukannya. Tabel 24. Pemilikan Lahan oleh Sampel Luas lahan Sekitar perusahaan A Sekitar perusahaan B Gabungan (ha) Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen < 0,5
65
45,1
52
92,9
86
43,0
0,5 – 2,0
47
32,6
3
5,4
90
45,0
> 2,0
32
22,2
1
1,8
24
12,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Rata-rata
2,594
0,153
1,910
Sebaran pemilikan lahan oleh masyarakat sekitar perusahaan A dan B terdapat perbedaan yang mencolok.
Pada masyarakat sekitar perusahaan B
pemilikan lahan terpusat pada lebih kecil dari setengah hektar (sebesar 92,9 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan A sebarannya relatif lebih merata. Kondisi wilayah sekitar perusahaan A merupakan areal pengembangan transmigrasi dengan topografi yang relative datar dan fasilitas irigasi teknis tersedia yang memungkinkan masyarakat berusahatani padi sawah dua kali setahun, serta menanam palawija atau sayur mayur pada musim kemarau. Wilayah sekitar perusahaan B dengan topografi berbukit serta berbatasan langsung dengan pantai dan kawasan hutan lindung, penguasaan lahan yang sempit tidak memungkinkan mereka berusahatani padi.
Keterbatasan lahan
tersebut menjadi salah satu pemicu masyarakat setempat masuk atau merambah kawasan hutan lindung untuk ditanami tanaman perkebunan seperti kakao, pete, jengkol, melinjo, dan pisang secara tumpangsari. (7) Persepsi Masyarakat tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan Konsep tanggungjawab sosial perusahaan dan implementasinya di Provinsi Lampung masih relatif baru, sehingga belum semua lapisan masyarakat memahaminya.
Oleh karena itu, masih banyak hal yang perlu dilakukan,
khususnya sosialisasi tentang konsep maupun implementasinya bagi masyarakat dan jajaran manajemen perusahaan, terutama perusahaan yang mengeksploitasi
108 sumberdaya alam.
Bagaimana persepsi sampel terhadap CSR tersaji pada
Tabel 25.
Tabel 25. Persepsi Sampel terhadap CSR Tingkat persepsi
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi Persen
rendah
3
2,1
27
48,2
30
15
sedang
17
11,8
2
3,6
19
9,5
tinggi
124
86,1
27
48,2
151
75,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Dari Tabel 25 menunjukkan bahwa persepsi sampel terhadap CSR sudah tinggi (sebesar 75,5 persen). Namun, bila kita perbandingkan antara masyarakat sekitar perusahaan A dan B terlihat bahwa secara umum persepsi terhadap CSR masyarakat sekitar perusahaan A lebih tinggi disbanding-kan masyarakat sekitar perusahaan B.
Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi program CSR oleh
perusahaan A lebih berhasil dibandingkan perusahaan B. Masih terdapat hampir setengah sampel (48,2 persen) masyarakat sekitar perusahaan B yang memiliki persepsi rendah terhadap CSR. Secara lebih rinci, persepsi sampel terhadap CSR diukur dari pengertian sampel terhadap CSR, persepsinya terhadap tujuan CSR, dan
persepsinya
terhadap manfaat CSR disajikan pada Tabel 26, 27 dan 28 Tabel 26. Persepsi Sampel terhadap Pengertian CSR Pengertian CSR
Frekuensi
Persen
Tidak tahu
32
16,0
Kegiatan perusahaan memberi bantuan materi kepada asyarakat agar mereka tidak mengganggu perusahaan
13
6,5
Kegiatan perusahaan memberi bantuan fisik atau uang untuk kepentingan perorangan
12
6,0
Kegiatan perusahaan memberi bantuan fisik untuk kepentingan kelompok/masyarakat
30
15,0
Kegiatan perusahaan membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri
113
56,5
Total
200
100,0
109 Dari Tabel 26 dapat kita ketahui bahwa secara umum (56,5 persen) masyarakat memahami CSR sebagai kegiatan perusahaan dalam membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri. CSR dipahami sebagai kegiatan perusahaan dalam memberi bantuan fisik untuk keperluan kelompok/masyarakat oleh 6 persen sampel. Ditemukan pula bahwa masih terdapat sekitar 16 persen masyarakat yang tidak atau belum mengetahui tentang CSR. Tabel 27. Persepsi Sampel terhadap Tujuan CSR Tujuan CSR Tidak tahu
Frekuensi Persen 30
15,0
0
0
Agar masyarakat mau bekerjasama dengan perusahaan
68
34,0
Agar masyarakat tidak menuntut kepada perusahaan
23
11,5
Untuk memberdayakan masyarakat sekitar
79
39,5
200
100,0
Agar produk perusahaan dikenal masyarakat
Total
Tabel 27 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sekitar perusahaan terhadap tujuan program CSR dipahami sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat sekitar oleh 39,5 persen sampel, dan 34,0 persen menyatakan bahwa tujuan program CSR adalah agar masyarakat mau bekerjasama dengan perusahaan.
Data lapangan juga menunjukkanbahwa sekitar 15 persen
masyarakat tidak tahu tujuan program CSR. Tabel 28. Persepsi Sampel terhadap Manfaat CSR Manfaat CSR Tidak tahu
Frekuensi Persen 29
14,5
1
,5
Mengurangi kecemburuan sosial antara masyarakat dengan perusahaan
23
11,5
Menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sekitar perusahaan
21
10,5
126
63,0
200
100,0
Menjaga kelangsungan produksi perusahaan
Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Total
Dari Tabel 28 dapat diketahui bahwa persepsi sampel terhadap manfaat secara umum (63,0 persen) masyarakat mengetahui bahwa perusahaan ingin
110 membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar sampel masyarakat sekitar perusahaan sudah merasakan sendiri manfaat program CSR perusahaan di wilayahnya. (8) Perilaku Masyarakat dalam Berusaha Perilaku masyarakat dalam berusaha merupakan gabungan dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimilikinya. Secara umum tingkat pengetahuan masyarakat terkait bidang usahanya termasuk dalam kategori tinggi (66 persen), dan 34 persen termasuk dalam kategori sedang (Tabel 29). Tabel 29. Tingkat Pengetahuan Sampel dalam Berusaha Tingkat pengetahuan Rendah
Sekitar perusahaan A Frekuensi 0
Persen 0,0
Sekitar perusahaan B Frekuen si Persen 0 0,0
Gabungan Frekuensi Persen 0
0
Sedang
50
34,7
18
32,1
68
34,0
Tinggi
94
65,3
38
67,9
132
66,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Bila diperbandingkan, sebaran tingkat pengetahuan dalam berusaha masyarakat sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda. Tingkat pengetahuan mereka sudah cukup tinggi, bahkan tidak ada yang termasuk kategori rendah. Derajad sikap terhadap bidang usahanya secara umum termasuk dalam kategori tinggi (77,5 persen), 21 persen termasuk kategori sedang, dan 1,5 persen termasuk kategori rendah (Tabel 30).
Hal ini mengindikasikan bahwa
perusahaan dan atau mitra pendamping program masih harus lebih intensif dalam meningkatkan apresiasi positif terhadap usaha yang dilakukan. Derajad sikap sampel masyarakat sekitar perusahaan A dan B menunjukkan adanya perbedaan. Pada masyarakat sekitar perusahaan B derajad sikap terhadap CSR mayoritas termasuk dalam kategori sedang (64,3 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan A mayoritas termasuk dalam kategori tinggi (95,1 persen). Tabel 30. Sikap Sampel terhadap Kegiatan Usahanya Derajad sikap
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
111 Rendah
1
0,7
2
3,6
3
1,5
Sedang
6
4,2
36
64,3
42
21,0
137
95,1
18
32,1
155
77,5
Tinggi Total
144 100,0 56 100,0 200 100,0 Keterampilan berusaha merupakan aspek psikomotorik yang dimiliki oleh
seseorang
dalam
menjalankan
usaha
ekonomi
produktifnya.
Tingkat
keterampilan masyarakat secara umum termasuk dala kategori tinggi (46,5 persen), dan 44,5 persen termasuk dalam kategori sedang. Namun, masih 9 persen masyarakat yang belum terampil dalam menjalankan usaha ekonomi produktifnya (Tabel 31). Hal ini mengindikasikan bahwa tugas perusahaan atau mitra pendamping kelompok masyarakat binaannya harus lebih intensif agar keteram-pilan mereka dapat ditingkatkan. Tabel 31. Tingkat Keterampilan Berusaha Sampel Tingkat keterampilan
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi Persen
Rendah
12
8,3
6
10,7
18
9,0
Sedang
44
30,6
42
75,0
86
43,0
Tinggi
88
61,1
8
14,3
96
48,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 31 menunjukkan sebaran tingkat keterampilan berusaha sampel masyarakat sekitar perusahaan A mayoritas termasuk kategori tinggi (61,1 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan B mayoritas termasuk dalam kategori sedang (75,0 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa program CSR oleh perusahaan B masih harus lebih banyak memberikan bimbingan dan pelatihan teknis budidaya (lele, jamur tiram dan kakao) agar keterampilan masyarakat sasaran lebih meningkat. (9) Tingkat Keberdayaan Ekonomi Sampel Keberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan berusaha,
tingkat kemapanan usaha, dan tingkat
pendapatan dari usaha yang dilakukannya.
Dilihat dari kemandirian dalam
pengambilan keputusan usaha, 53,5 persen masih ditentukan karena adanya masukan dari pihak lain (belum mandiri), dan 46,5 persen sudah ditentukan sendiri atau sudah mandiri (Tabel 32). Pada masyarakat sekitar perusahaan B,
112 pengambilan keputusan atas masukan pihak lain masih lebih besar (66,1 persen), sedangkan di sekitar perusahaan A mencapai 48,6 persen.
Namun
demkian, penentuan jenis usaha yang ditentukan oleh pihak lain sudah tidak ada, hal ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi sudah berjalan dengan benar. Tabel 32. Pengambilan Keputusan Usaha Sampel Pengambilan Keputusan Usaha Ditentukan pihak lain
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi 0
Frekuensi 0
Persen 0,0
Persen Frekuensi Persen 0,0 0 0,0
Ada masukan pihak lain
70
48,6
37
66,1
Ditentukan sendiri
74
51,4
19
33,9
144
100,0
56
100,0
Total
Gabungan
107
53,5
93
46,5
200
100,0
Masyarakat dalam menjalankan usahanya selama ini sudah merasakan cukup mapan (61,5 persen), 37 persen menyatakan sudah mapan, dan 1,5 persen menyatakan tidak mapan atau belum terlalu yakin dengan usaha yang mereka lakukan (Tabel 33). Bila dilihat pada dua kelompok sampel, masyarakat sekitar perusahaan A yang sudah mapan mencapai 50,0 persen, sedangkan sekitar perusahaan B baru mencapai 3,6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis usaha ekonomi produktif yang mereka lakukan dan dibina perusahaan belum memberikan jaminan atau rasa aman dalam berusaha. Salah satu cara untuk meningkatkan rasa aman tersebut adalah dengan meningkatkan pendapatan usahanya.
Peningkatan pendapatan usaha ini dapat ditempuh
memperbesar skala usaha melalui pemupukan modal usaha, sebab pemilikan modal masyarakat yang sangat terbatas. Tabel 33. Tingkat Kemapanan Usaha Sampel Tingkat Kemapanan Usaha Belum mapan
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen 2 1,4 1 1,8 3 1,5
Cukup mapan
70
48,6
53
94,6
123
61,5
Mapan
72
50,0
2
3,6
74
37,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
113 Ditinjau dari besarnya pendapatan usaha ekonomi produktif yang dilakukan, masyarakat memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp.26.685.000 per tahun.
Besarnya pendapatan tersebut bila kita bagi dengan rata-rata jumlah
anggota keluarga berjumlah lima orang, berarti pendapatan per kapita mereka hanya sebesar Rp.5.337.000 per kapita per tahun.
Bila kita konversi dalam
besaran $= Rp.9.250,- maka pendapatan per kapita sampel sebesar $576,97. Tingkat pendapatan sampel bila kita kelompokkan menjadi tiga maka secara umum tingkat pendapatan sampel masih termasuk dalam kategori rendah (63,5 persen), kategori sedang (25 persen), dan kategori tinggi (11,5 persen) (Tabel 34). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan masyarakat dari program CSR selama ini belum mampu mendongkrak sampai pada kategori menengah, oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam program CSR perusahaan harus dikelola secara profesional dan dijadikan program prioritas oleh perusahaan. Tabel 34. Tingkat Pendapatan Sampel Sekitar perusahaan A
Tingkat Pendapatan (juta rupiah)
Frekuensi
Sekitar perusahaan B
Persen
Frekuensi
Gabungan Persen
Persen
Frekuensi
Rendah (3,58 – 38,75)
73
50,7
54
96,4
127
63,5
Sedang (38,76 – 73,92)
49
34,0
1
1,8
50
25,0
Tinggi (> 73,92)
22
15,3
1
1,8
23
11,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Dari Tabel 34 menunjukkan bahwa sebaran tingkat pendapatan sampel masyarakat sekitar perusahaan A lebih merata, sedangkan di sekitar perusahaan B lebih terpusat pada tingkat pendapatan kategori rendah
Hal ini
menunjukkkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat sekitar perusahaan A lebih baik dibanding-kan kondisi ekonomi masyarakat sekitar perusahaan B. (10) Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Berbagai program pembangunan masyarakat, termasuk program CSR, dapat memiliki tujuan akhir yang sama yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan perkataan lain, peningkatan kesejahteraan masyarakat
114 dapat dijadikan indikator atau ukuran keberhasilan suatu program pembangunan. Untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat kita dapat menggunakan berbagai indikator, salah satunya adalah alokasi pengeluaran rumah tangga (Tabel 35). Tabel 35. Rata-rata Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Sampel No.
1.
Alokasi pengeluaran
Biaya per tahun (Rp/tahun)
Persentase (%)
Beras, jagung, gaplek
2.500.455
14,54
Sayur mayur
1.650.740
9,60
Lauk pauk (tahu, tempe, telor, ikan)
1.877.980
10,92
Susu
422.415
2,46
Gula, teh, kopi
919.185
5,35
Minyak goreng
607.845
3,54
Bahan bakar (kayu bakar, minyak tanah, elpiji)
571.515
3,32
8.550.135
49,74
2.312.985
13,45
b. Pakaian
701.500
4,08
c. Kesehatan
132.965
0,77
d. Perumahan
56.500
0,33
e. Biaya sosial
1.520.250
8,84
f. Transportasi
1.658.975
9,65
77.150
0,45
1.657.365
9,64
522.200
3,04
Total non pangan
8.639.890
50,26
Total pengeluaran
17.190.025
100,00
Pangan
Total pangan 2.
Non Pangan a. Pendidikan
g. Rekreasi h. Rokok i. Komunikasi / pulsa 3.
Alokasi pengeluaran pendapatan dapat dijadikan ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat karena secara teoritis semakin sejahtera seseorang maka komposisi pengeluaran pangan semakin rendah dan pengeluaran non pangan akan semakin tinggi.
Pengeluaran pangan dapat berupa makanan pokok
115 sebagai sumber karbohidrat (beras, jagung, ketela, dan sebagainya), sayur mayur, lauk pauk, mnyak goreng, minuman (susu, gula, teh, kopi), dan bahan bakar untuk memasak (kayu bakar, minyak tanah, elpiji).
Pengeluaran non
pangan mencakup pengeluaran untuk pakaian, papan (perumahan), pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, biaya sosial, komunikasi/pulsa, dan lain-lain. Berdasarkan Tabel
35 menunjukkan bahwa persentase pengeluaran
pangan (49,74%) lebih kecil dari pada pengeluaran non pangan (50,26%), hal tersebut merupakan indikasi bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan sudah cukup baik.
Hasil ini merupakan indikator bahwa dengan
adanya pelaksanaan program CSR sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, meskipun masih perlu ditingkatkan
Dari tabel
tersebut juga terdapat indikasi positif dari pengeluaran rumah tangga tersebut, yakni pengeluaran untuk pendidikan mencapai 14,891 persen. Hal ini berarti kesadaran masyarakat akan pendidikan anak sudah cukup tinggi.
Namun
demikian, indikasi negatif dapat ditemukan adanya pengeluaran untuk rokok yang cukup besar (9,64%) sementara itu pengeluaran untuk kesehatan sangat kecil (0,77%). Bila dikaji dari aspek yang berbeda, yakni seberapa besar peningkatan pendapatan masyarakat sekitar perusahaan sebelum dan sesudah adanya program CSR maka besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga sebelum dan sesudah adanya program CSR seperti disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah Ada Program CSR Pendapatan rumah tangga
Sekitar perusahaan A (Rp)
Sekitar perusahaan B (Rp)
Jumlah (Rp)
Sebelum ada CSR
16.042.010,00
13.846.710,00
15.427.330,00
Sesudah ada CSR
46.231.360,00
15.972.250,00
37.758.810,00
Peningkatan pendapatan
30.189.350,00
2.125.540,00
22.331.480,00
Dari Tabel 36 menunjukkan, rata-rata pendapatan rumah tangga sesudah ada CSR meningkat cukup besar (Rp.22.331.480,00) atau mencapai 144,753 persen selama kurun waktu lima tahun terakhir atau 28,95 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui implementasi CSR
di Provinsi Lampung selama ini cukup berhasil.
116 Namun, besarnya peningkatan pendapatan masyarakat bila diperbandingkan antar wilayah sekitar perusahaan, peningkatan pendapatan yang cukup nyata terjadi di sekitar perusahaan A (mencapai lebih dari 30 juta rupiah), sedangkan d sekitar perusahaan B peningkatan pendapatan per tahunnya masih cukup kecil (tidak mencapai tiga juta rupiah). Hal ini menunjukkan bahwa jenis dan skala usaha masyarakat yang dibina perusahaan sangat menentukan.
Kelompok
masyarakat dengan usaha budidaya ubikayu dan usaha penggemukan sapi dengan modal dan skala usaha yang cukup besar, sehingga peningkatan pendapatan masyarakat dari usaha ini juga cukup besar. Sebaliknya, kelompok masyarakat dengan usaha budidaya lele, jamur tiram, dan kakao rata-rata skala usahanya masih kecil sehingga peningkatan pendapatan per tahun dari usaha tersebut juga belum nyata. Kelompok Sasaran Pemberdayaan Sasaran pemberdayaan dalam implementasi program tanggungjawab sosial perusahaan secara umum adalah anggota masyarakat desa-desa sekitar perusahaan, namun karena jumlahnya cukup besar, perusahaan berusaha memprioritaskan pada program yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Untuk kepentingan tersebut sasaran pemberdayaan oleh perusahaan adalah kelompok-kelompok yang bersifat kelompok ekonomi produktif. Kelompok tersebut adalah kelompok yang sudah ada atau terbentuk di masyarakat atau kelompok yang sengaja dibentuk atau difasilitasi pembentukannya agar pembinaan oleh perusahaan dapat lebih efektif dan efiisien. Seperti telah dikemukakan dalam metode penelitian, kelompok-kelompok tersebut dipilih secara sengaja untuk mewakili masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Profil kelompok-kelompok sasaran pemberdayaan tersebut diuraikan pada subsub bab berikut. (1) Kelompok Peternak Penggemukan Sapi Kelompok peternak penggemukan sapi potong memiliki wilayah kerja di kampong Karang Endah Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah. Kelompok ini secara resmi berdiri pada tangga 12 Februari 1972. Pada awalnya kelompok ini terbentuk untuk menerima Bimbingan Pengembangan Sapi Daging (BPSD) dari pemerintah sebanyak 90 ekor secara kredit kepada 90 anggotanya.
Kelompok tersebut pada tahun 1983 seluruh anggotanya telah
melunasi kewajiban membayar kreditnya sesuai ketentuan. Mengingat pemeli-
117 haraan sapi BPSD memberikan peningkatan ekonomi bagi angota, pada tanggal 10 september 1985 mereka membentuk kelompok tani ternak sapi potong yang diberi nama Budi Daya.
Kelompok tersebut terus membenahi organisasinya
dengan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) kelompok. Sesuai dengan AD/ART, kelompok tersebut pada tanggal 10 Agustus 1998 mengadakan rapat anggota dengan keputusan memilih pengurus kelompok yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, manajer kelompok, seksi-seksi, dan tiga ketua sub-kelompok. Aktivitas kelompok peternak sapi ini cukup banyak, antara lain: (a) Penggemukan sapi dengan pola swadana (modal sendiri) yang menggemukkan bakalan Peranakan Ongol (PO). (b) Penggemukan sapi pola kemitraan (PIR). Kelompok sebagai plasma bermitra dengan PT. GGLC sebagai inti yang sekaligus sebagai avalis. Perusahaan tersebut juga berperan sebagai: (1) penilai layak atau tidaknya kelompok diberikan kredit sebesar yang diminta untuk menjalankan usahanya sampai dengan pembayaran kembali kredit yang diberikan; (2) memberikan pinjaman stok pakan, konsentrat, obat-obatan, dan pembinaan peternak sampai dengan masa panen;
(3) menjamin tersedianya bakalan sapi yang akan
digemukkan oleh anggota kelompok;
dan (4) menjamin pemasaran hasil
sebagai penentu keberhasilan usaha. (c) Pembuatan perangsang makan untuk ternak sapi. Perangsang makan ini terbuat dari bahan tanaman atau organik sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan harga yang murah. Produk tersebut belum diberi nama. Dengan memberikan perangsang makan tersebut pada dosis pakan yang telah ditetapkan dan berlaku dalam pola PIR penggemukan sapi potong dapat mencapai kenaikan daging rata-rata 1,2 kg per hari, dari kondisi sebelumnya yang baru mencapai 0,9 kg per hari. (d) Pengembangan bibit sapi potong dilakukan dengan cara inseminasi buatan (IB). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan yang unggul dan mendapatkan jumlah yang dikehendaki dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan ini dibiayai dari dana bantuan langsung masyarakat (BLM) tahun 2003 serta dana kelompok secara mandiri. (e) Pembuatan kompos dengan bahan baku kotoran sapi. Dengan bimbingan PT. GGLC kelompok mampu membuat kompos dengan komposisi berikut:
118 talken sap (73%), serbuk gergaji (5%), abu organik (10%), dedak (5%), dan super degra (1 lt per ton). (f) Penjualan limbah (kotoran) sapi ke perusahaan tambak udang. Kotoran sapi digunakan sebagai pupuk dasar kolam atau tambak udang. Penjualan ini dilakukan secara tidak langsung oleh anggota kelompok, tetapi penjualan dilakukan oleh kolektor limbah. (g) Pembuatan konsentrat bagi ternak. Untuk menghasilkan 250 kg konsentrat, diperlukan bahan-bahan berikut: kulit kopi (50 kg), dedak (50 kg), onggok kering (60 kg), bungkil sawit (50 kg), bungkil kelapa (30 kg), bungkil kedelai (5 kg), tepung ikan (5 kg), urea (5 kg), garam pasir (5 kg), kapur (5 kg), dan tepung mineral (premix) sebanyak 1 kg.
Kapasitas produksi konsentrat saat
ini mencapai 2 ton per hari dan sudah mencukupi untuk kebutuhan anggota kelompok. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa kemitraan antara kelompok peternak dengan perusahaan telah memberikan beberapa manfaat seperti terjadinya transfer teknologi budidaya penggemukan sapi, bantuan modal usaha bagi peternak, suplai bahan baku pakan ternak (kulit nenas), dan peningkatan pendapatan. Program kemitraan ini menurut pihak manajemen perusahaan dianggap sebagai implementasi program CSR.
Namun, perusahaan masih
mengambil manfaat dari program kemitraan tersebut sebab bakalan sapi yang diperoleh melalui perusahaan setelah digemukkan harus dijual kembali ke perusahaan dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Hal ini bertentangan dengan semangat CSR yang semestinya perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat tanpa memperhitungkan keuntungan yang akan diperoleh. (2) Kelompok Petani Ubikayu Kelompok tani ini berdiri pada tahun 2002. Berawal dari ide seorang warga untuk meningkatkan pendapatan petani ubikayu, 11 orang anggota masyarakat Gunung Batin berkumpul dan bersepakat untuk bergabung dalam sebuah kelompok tani. Kelompok tani tersebut mereka beri nama Kelompok Tani “Nadai Begandang” yang memiliki arti “Pekerja Keras”. Semenjak berdirinya, kepengurusan kelompok belum mengalami perubahan. Secara resmi kelompok tani saat ini beranggotakan 48 anggota inti dan 152 anggota biasa. Kelompok ini merasa prihatin terhadap nasib petani ubikayu (mayoritas penduduk Gunung Batin), yang selama bertahun-tahun belum bisa menikmati
119 hasil usahanya secara wajar.
Produktivitas usahatani ubikayu juga belum
optimal, dan harga jual ubikayu selalu diombang-ambingkan oleh kondisi pasar yang tidak menentu.
Karena beberapa alasan itulah mereka bersatu untuk
menggalang kekuatan melawan pasar yang banyak dikuasai oleh beberapa pabrik tapioka yang tidak jauh dari wilayah mereka. Beberapa kali pembicaraan dan pendekatan yang intensif dilakukan oleh tokoh-tokoh kelompok tani dengan pihak perusahaan sehingga dicapai kesepakatan bahwa perusahaan bersedia bermitra dengan masyarakat tani ubikayu yang dikoordinir oleh kelompok tani “Nadai Bagandang”. Beberapa kesepakatan awal ditindaklanjuti dengan pelaksanaan program kemitraan usahatani ubikayu yang pada intinya perusahaan tapioka akan menampung produksi ubikayu petani sekitar perusahaan dengan harga yang wajar dan perusahaan membantu peningkatan keterampilan teknis budidaya agar produktivitas petani meningkat. Langkah tersebut dimulai dengan pembinaan dan penyuluhan teknis budidaya ubikayu secara intensif dari perusahaan kepada anggota kelompok tani. Perusahaan kemudian memberikan bantuan bibit unggul ubikayu varietas Kasetsart yang memilki produktivitas cukup tinggi (dapat mencapai 40 ton per hektar), pinjaman modal usaha, serta pinjaman sarana produksi (pupuk dan pestisida) dari perusahaan tersebut.
Produktivitas yang cukup tinggi dari
anggota kelompok tersebut juga mendapatkan jaminan pasar dari perusahaan mitra (PT. UJF anak perusahaan dari PT. GGP). Anggota kelompok menyadari bila selamanya tergantung pada perusahaan mereka harus mengikuti kemauan pihak manjemen perusahaan, oleh karenanya mereka berusaha mencari pinjaman modal usahatani ubikayu kepada pihak ketiga (perbankan). Dengan pendekatan yang intensif kepada pihak manajemen perusahaan, mereka difasilitasi untuk mendapatkan pinjaman dari sebuah bank swasta. Prosedur peminjaman mereka penuhi, termasuk salah satunya agunan pinjaman yang berupa sertifikat tanah para anggota kelompok. Namun, karena baru pertama kali pinjam, harus ada pihak ketiga sebagai penjamin. Akhirnya kelompok tani ”Nadai Begandang” berhasil meyakinkan PT. UJF menjadi penjaminnya (avalis). Pinjaman kredit yang pertama dari bank kepada kelompok tani pada tahun 2003 sebesar 450 juta rupiah, jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2007 telah mencapi dua milyar rupiah. Kredit yang didapatkan dari bank, dikelola oleh kelompok sebagai modal usahatani ubikayu bagi anggotanya.
Peningkatan produksi dan pendapatan
120 anggota kelompok tersebut menarik minat anggota masyarakat sekitar untuk bergabung dengan kelompok ini. Agar tidak mengecewakan anggota kelompok yang masih baru, pembagian pinjaman dibagi secara proporsional untuk seluruh anggota berdasarkan luas garapan usahataninya. Secara keseluruhan, lahan usahatani ubikayu garapan seluruh anggota kelompok saat ini telah mencapai 2.000 ha. Berkat peningkatan produktivitas dan pendapatan anggota kelompok, pengembalian kredit ke bank tersebut cukup lancar, sehingga pengajuan kredit kelompok ke bank tersebut untuk tahun 2008 mencapai 4 milyar rupiah. Aktivitas kelompok akhirnya mengundang minat masyarakat tani sekitar untuk bergabung dalam kelompok, sehingga setiap tahunnya jumlah anggota kelompok selalu bertambah. Anggota kelompok saat ini mencapai 200 orang, namun
kelompok
membuat
keanggotaan mereka.
kesepakatan
yang
terkait
dengan
status
Anggota dibedakan menjadi anggota inti dan anggota
biasa. Anggota inti sejumlah 48 orang, yakni mereka yang memiliki sertifikat tanah yang digunakan sebagai agunan untuk peminjaman kredit bank. Anggota biasa adalah anggota yang belum atau tidak memiliki sertifikat tanah garapan, namun mereka dapat pelayanan bantuan kredit modal dan sarana produksi yang besarnya disepakati oleh anggota inti. Sistem pelayanan pinjaman kepada anggota biasa dilakukan mengingat mereka tidak memiliki agunan untuk pinjaman kredit bank, namun mereka sangat membutuhkan modal untuk pengolahan lahan dan pembelian sarana produksi (pupuk dan pestisida). Kelompok tani Nadai Begandang juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti dalam Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) kampung, kegiatan keagamaan lainnya, pembangunan Balai Adat di Kampung Gunung Batin, dan pengenalan jenis layanan perbankan kepada masyarakat kampung. Program kemitraan antara kelompok tani ubikayu dengan perusahaan telah memberikan beberapa manfaat bagi petani seperti terjadinya
transfer
teknologi budidaya ubikayu, pinjaman modal usaha, dan jaminan harga produksi ubikayu yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani ubikayu sekitar perusahaan. Program ini juga diklaim oleh perusahaan sebagai salah satu program CSR. Dari program ini perusahaan juga masih mengambil manfaat terutama dalam pemenuhan bahan baku pabrik tapioka yang tidak dapat dicukupi dari areal budidaya ubikayu yang dimiliki perusahaan. (3) Kelompok Ibu-ibu Penjahit Pakaian
121 Kelompok ini berdiri ada tahun 2002. Lahirnya kelompok sebagai hasil pembicaraan antara tokoh masyarakat setempat dengan pihak perusahaan. Tokoh masyarakat yang cukup luas wawasannya mengharapkan adanya perhatian perusahaan kepada masyarakat sekitar dengan memberikan bekal keterampilan yang mampu meningkatkan taraf ekonominya. Berhubung perusahaan tersebut selama ini memesan pakaian kerja ke perusahaan konveksi di Bandung Jawa Barat, maka disepakati untuk melatih ibu-ibu PKK dari Kampung Terbanggi Besar. Mereka diberikan kursus menjahit selama kurang lebih enam bulan. Tenaga pengajar (satu orang dibantu satu orang asisten) dan semua peralatan disediakan oleh perusahaan. Selama enam bulan berjalan pengajar mendapatkan honor dari perusahaan sebesar masing-masing satu juta rupiah setiap bulan.
Bantuan peralatan jahit dari perusahaan untuk kelompok Mitra
Jahit ini adalah enam buah mesin jahit, dua meja potong, 40 kursi plastik, 22 bangku, dan dua lemari pakaian.
Sampai saat ini peralatan tersebut masih
terawat dan berfungsi baik. Kepengurusan kelompok Mitra Jahit diketuai oleh seorang bapak selaku tokoh masyarkat, dan dibantu oleh seorang ibu (pensiunan guru sekolah dasar) sebagai ketua pelaksana. Pada awalnya anggota kelompok yang mendapatkan pelatihan jahit menjahit sebanyak 40 wanita, namun saat ini anggota yang masih aktif hanya tinggal 15 orang. Hal tersebut disebabkan banyak anggota yang sudah tidak tinggal di desa tersebut karena pindah tempat tinggal atau mengikuti suami. Aktivitas kelompok Mitra Jahit terfokus pada kontrak jahit pakaian karyawan perusahaan.
Jenis pakaian yang dikerjakan meliputi baju laborant
(kerah merah, kuning, biru, dan putih), masker, engkel, celana (prosesing, label, laboran), dan jas laboran.
Kontrak kerja Mitra Jahit dengan perusahaan
ditentukan sepihak oleh perusahaan, sebab perusahaan sudah mematok harga untuk setiap jeis pakaian, sehingga kelompok penjahit harus berupaya memenuhi kualitas dan kualitas pakaian sesuai standar yang diminta pihak perusahaan. Bila kualitas jahitan tidak baik, maka perusahaan komplain kepada kelompok dan dikembalikan barangnya.
Akibatnya kelompok Mitra Jahit
melakukan seleksi terhadap kualitas jahitan para anggotanya. Kontrak jahitan dengan perusahaan dilakukan oleh kelompok. Kontrak dilakukan secara borongan untuk sejumlah jenis pakaian. Kontrak jahitan menurut jenis pakaian pada tahun 2007 ditentukan perusahaan. Pengurus
122 kelompok kemudian membeli bahan dasar kain sesuai kebutuhan, kemudian dilakukan pembagian menjahit kepada anggota sesuai kemampuan menjahit jenis pakaian tersebut. Dengan demikian setip anggota mendapatkan tambahan penghasilan dari jasa pemotongan, jasa obras, dan jasa jahit dengan tarif jasa per buah jenis pakaian. Selisih nilai antara kontrak dengan kebutuhan untuk pembelian bahan dasar, jasa pemotongan, jasa obras, dan jasa jahitan akan menjadi keuntungan kelompok. Pembagian keuntungan kelompok diperhitungkan secara proporsional sesuai dengan kontribusi anggota dan atau pengurus dalam kegiatan kelompok. Program pelatihan keterampilan menjahit ini merupakan salah satu program CSR perusahaan dengan sasaran khusus kaum perempuan. Dari program tersebut kelompok masyarakat (ibu-ibu PKK) tersebut mendapatkan keterampilan menjahit pakaian yang selanjutnya diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarganya. Perusahaan juga mendapatkan manfaat dengan terpenuhinya kebutuhan pakaian kerja karyawan yang tidak lagi harus didatangkan dari Bandung. (4) Kelompok Peternak Ikan Lele Kelompok peternak ikan lele yang mendapatkan pendampingan dari perusahaan terdiri dari beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut ada di Desa Hurun, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Kelompok ini mendapatkan pembinaan dari perguruan tinggi atas dana CSR dari perusahaan multinasional yang memiliki pabrik pengolahan kopi robusta di Lampung. Kelompok yang dibina meliputi kelompok pemuda (karang taruna) dan kelompok tani dewasa. Kelompok-kelompok tersebut berdiri antara tahun 2005 dan 2007, meskipun ada yang sudah terbentuk tahun 2002. Kelompok yang sudah ada sebelum kegiatan program pendampingan dari perusahaan adalah Kelompok Pemuda (karang taruna desa) sedangkan kelompok yang berdiri semenjak tahun 2005 adalah kelompok sebagai hasil pendampingan. Nama kelompok-kelmpok tersebut adalah Kelompok Harapan Jadi, Kahaga, Arter, dan Semoga Jaya. Anggota kelompok-kelompok tersebut mendapatkan penyuluhan, pelatihan, pendampingan, dan bantuan awal untuk usaha budidaya lele. Penyuluhan dan pelatihan budidaya lele diberikan oleh penyuluh dari Institut Pertanian Bogor sebagai partner perusahaan, sementara itu fasilitator mendampingi kelompokkelompok masyarakat tersebut dalam kesehariannya agar usahanya dapat berkembang dan berhasil. Fasilitator yang ada di lapangan sebanyak dua orang,
123 satu orang adalah alumni IPB dan satu orang alumni UNILA. Bantuan awal bagi kelompok untuk budidaya lele adalah berupa plastik terpal untuk pembuatan kolam budidaya berukuran 2,5x4 meter, bibit lele ukuran 5-7 cm sebanyak 1000 ekor, dan pakan ikan sebanyak 70 kg. Upaya pendampingan ini dilandasi bahwa wilayah Desa Hurun memiliki potensi sumber air alami yang bertahan sepanjang tahun, mengingat wilayah tersebut berdampingan dengan kawasan hutan lindung sebagai areal konservasi sumberdaya air bagi masyarakat Bandar Lampung dan sekitarnya.
Namun
sampai tahun 2005 hampir tidak ada masyarakat yang melakukan budidaya ikan air tawar. Kondisi tersebut juga disebabkan wilayah ini tidak jauh dari pantai Teluk Lampung, sehingga budaya makan ikan laut lebih kuat di kalangan masyarakat. Selain itu, potensi pasar ikan lele cukup menjanjikan, mengingat jarak desa tersebut ke Kota Bandar Lampung tidak sampai 10 km. Usaha budidaya lele yang diajarkan kepada petani adalah budidaya sistem intensif, dengan memanfaatkan bibit unggul lele dumbo yang dipelihara dalam kolam buatan yang terbuat dari terpal. Pakan lele adalah buatan pabrik (konsentrat). Dengan pemeliharaan secara intensif ini bibit ukuran dua cm atau lebih yang dipelihara selama 2,5 bulan sudah dapat dipanen. Kelompok binaan tersebut sudah merasakan beberapa kali panen ikan lele. Bibit mereka beli dari Pringsewu, Metro, atau Batanghari. Pembelian bibit mereka koordinir bersama sehingga dapat menghemat biaya transportasi. Semenjak NGI digulirkan, bantuan kepada kelompok masyarakat sudah sebanyak lima tahap. Secara keseluruhan bantuan terpal sudah sebanyak 22 terpal ukuran A12 super (4x5 m), masing-masing seharga 180 ribu rupiah. Bantuan bibit sebanyak tiga tahap, dan bantuan pakan dua tahap. Setiap terpal dapat digunakan setidaknya dalam kurun waktu dua tahun, atau 10 periode pemeliharaan ikan lele. Tabel 37. Analisis Usaha Pembesaran Ikan Lele per Kolam: No. Jenis pengeluaran / pemasukan
Tahap I (Rp)
Tahap II—X (Rp)
1.
Terpal
180.000,00
0
2.
Bibit
130.000,00
50.000,00
3.
Pakan (70 kg)
350.000,00
350.000,00
Jumlah
660.000,00
400.000,00
Penjualan (600:9)x Rp.10.000
666.670,00
666.670,00
6.670,00
266.670,00
Keuntungan
124
Biaya pencegahan terhadap hama penyakit diupayakan memanfaatkan bahan organik (daun tumbuhan) yang banyak ditemukan di wilayah tersebut, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya. Saat ini, setiap kelompok rata-rata sudah memiliki dua kolam, sehingga setiap 2,5 bulan mereka mendapatkan keuntungan sebesar Rp.533.340,00. NGI sebagai program CSR telah berhasil melakukan pembinaan masyarakat perambah hutan dengan aktivitas ekonomi produktif. Program ini diharapkan dapat menurunkan aktivitas perambahan hutan lindung Tahura WAR dengan membekali masyarakat dengan keterampilan budidaya lele.
Sesuai dengan
kesepakatan, perusahaan menjamin pemasaran lele hasil budidaya kelompok, namun sampai saat penelitian dilakukan produksi petani sudah habis terjual ke masyarakat dan beberapa rumah makan terdekat. (5) Kelompok Budidaya Jamur Tiram Kelompok budidaya jamur beranggotakan ibu-ibu rumah tangga petani sekitar Youth Camp Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman, tepat di Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin. Kelompok ini berdiri tahun 2006. Kelompokkelompok tersebut adalah Kelompok Anggrek, Mawar, Sekarsari, dan Kahaga. Kelompok budidaya jamur ini difasiltasi oleh tenaga pendamping dari IPB dan UNILA.
Mereka selama ini mendapatkan penyuluhan, pelatihan, dan
pendampingan serta bantuan awal untuk usaha budidaya jamur. Penyuluhan dan pelatihan budidaya jamur diberikan oleh penyuluh dari Institut Pertanian Bogor sebagai partner perusahaan,
sedangkan fasilitator mendampingi
kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam kesehariannya agar usahanya dapat berkembang dan berhasil. Fasilitator yang ada di lapangan sebanyak dua orang, satu orang adalah alumni IPB dan satu orang alumni UNILA. Bantuan awal bagi kelompok untuk budidaya jamur adalah berupa baglog (media tumbuh jamur siap dipelihara satu periode tumbuh jamur) sebanyak 200 buah per kelompok dan bibit jamur (Tabel 38). Tabel 38. Analisis Usaha Budidaya Jamur Tiram No. Jenis pengeluaran / pemasukan
Tahap I (Rp)
Tahap II dst (Rp)
1.
Pembuatan rumah jamur
500.000,00
0
2.
Baglog (200 x Rp.1.500,00)
300.000,00
300.000,00
Jumlah
800.000,00
300.000,00
125 1.
Penjualan (0,8x200x0,45x4,5) Rp.12.000,00
3.888.000,00
3.888.000,00
Keuntungan
3.008.000,00
3.588.000,00
Insentif bantuan dari perusahaan sudah berjalan tiga tahap.
Bantuan tahap
pertama berupa biaya pembuatan rumah jamur (kumbung) sebesar 500 ribu rupiah. Rata-rata pertumbuhan jamur mencapai 80 persen. Pemanenan jamur dapat dilakukan 4—5 tahap, dan setiap baglog dapat menghasilkan antara 4—5 ons per panen.
Pemasaran jamur tiram oleh petani sangat mudah, sebab
banyak konsumen yang sudah tahu dan datang ke rumah kelompok.
Harga
jamur tiram segar per kg mencapai Rp.12.000,00. Upaya peningkatan kapasitas anggota kelompok jamur pada waktu yang akan datang adalah teknik pembuatan media dan pembuatan bibit jamur. Selama ini kebutuhan kelompok akan media dan bibit jamur masih didatangkan dari Bogor. (6) Kelompok Tani Kakao Kelompok tani sekitar hutan “Gunung Minggu” di dusun Sinar Baru, Desa Hurun, Kecamatan Padang Cermin ini berdiri tahun 1995. Pada awalnya adalah kelompok tani binaan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Namun, seiring
dimulainya era reformasi, banyak perambah hutan masuk kawasan, termasuk hutan lindung di areal kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Mereka mengklaim dan mengkapling lahan hutan lindung dan mereka tanami tanaman perkebunan seperti kakao dan tanaman multi purposes tree species (MPTS) lainnya. Untuk mengendalikan laju kerusakan lahan hutan lindung, para perambah tersebut dibina oleh Dinas Kehutanan agar mereka memahami kaidah-kaidah konservasi, dengan harapan mereka dapat berpartisipasi dalam pelestarian fungsi hutan lindung yang mereka kuasai.
Melalui program tanggung jawab
sosial perusahaan yang dikenal dengan “Nestlè Green Initiative” atau NGI mereka dibina dan dilibatkan dalam pengembangan Youth Camp Tahura WAR menjadi sentra bibit damar mata kucing (Shorea javanica). Kelompok tani Gunung Minggu, sebenarnya beranggotakan 60 orang namun mereka yang benar-benar tinggal di desa sekitar Youth Camp berjumlah 27 orang, sebagian lainnya adalah para perambah yang berasal dari berbagai daerah di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan.
Melalui
126 program pemberdayaan NGI, petani kakao dibina dan diberikan penyuluhan tentang budidaya kakao.
Mengingat tanaman kakao mereka semua sudah
menghasilkan, kendala yang mereka hadapi dalam masa pemeliharaan adalah masalah pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman kakao. Masalah pemupukan yang mereka hadapi adalah karena mereka umumnya tidak memiliki modal untuk membeli pupuk buatan, sedangkan masalah hama penyakit yang mereka hadapi adalah semut hitam dan penggerek buah kakao. Untuk mengatasi masalah pemupukan, anggota kelompok pernah diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pembuatan pupuk organik (kompos) dengan memanfaatkan bahan baku hijauan dan daun kakao yang sudah kering yang dipercepat dengan Effective Microorganism (EM). Pelatihan diberikan oleh ketua kelompok Perkumpulan Petani Hama Penyakit Terpadu. Untuk mengatasi masalah hama penyakit tanaman dan buah kakao, penyuluhan telah diberikan oleh dua orang tenaga ahli hama penyakit tanaman dari perguruan tinggi negeri di Lampung. Dalam kegiatan pemberdayaan oleh perusahaan, sebenarnya aktivitas kelompok tani kakao relatif banyak.
Mereka dilibatkan dalam program
pembibitan dan penanaman damar mata kucing (Shorea javanica) dan mentru (Schima walichii). diharapkan
Mereka sebagai penggarap lahan kawasan hutan lindung
menyadari
bahwa
tindakan
mereka
adalah
membahayakan
kelangsungan fungsi hutan lindung sebagai kawasan konservasi. Oleh karena itu aktivitas yang diarahkan dalam menanam damar mata kucing dapat membantu kelangsungan fungsi hutan lindung sekaligus dapat membantu perekonomian mereka dengan mengambil getahnya (resin) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Damar mata kucing memiliki umur yang cukup panjang, dan tanaman mulai bisa disadap atau diambil getahnya sejak umur 20 tahun. Dari kegiatan tersebut diharapkan makin lama areal Tahura Wan Abdul Rahman akan tertutupi oleh tanaman damar dan tanaman kakao akan tergusur, namun petani dapat mengambil hasil hutan non kayu (getah damar) sebagai pengganti pendapatan dari menanam kakao di areal hutan lindung tersebut. Penilaian anggota terhadap dinamika kelompok sasaran pemberdayaan melalui implementasi tanggungjawab sosial perusahaan di Lampung disajikan pada Tabel 39. Data Tabel 39 menunjukkan bahwa kelompok sasaran sekitar perusahaan B lebih dinamis (mencapai 80,4 persen), sedangkan kelompok sasaran di sekitar perusahaan A ada 45,8 persen anggota yang menyatakan
127 tidak dinamis dan 48,6 persen menyatakan kelompoknya dinamis.
Hal ini
menjadi indikasi bahwa setengah dari kelompok sasaran di sekitar perusahaan A tidak dinamis.
Anggota kelompok cenderung bersifat individualis dalam
melakukan usaha ekonomi produktif. Hal ini cukup dirasakan pada kelompok penggemukan sapi, anggota tidak lagi respek terhadap kelompok, mereka merasa bukan lagi sebagai anggota kelompok akibat mereka tidak lagi mendapatkan pinjaman dana dari bank yang pembagiannya diserahkan kepada pengurus kelompok. Tabel 39. Penilaian Anggota terhadap Dinamika Kelompok Dinamika kelompok
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Tidak dinamis
66
45,8
1
1,8
67
33,5
Cukup dinamis
8
5,6
10
17,8
18
9
Dinamis
70
48,6
45
80,4
115
57,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Secara rinci, sebaran nilai unsur-unsur dinamika kelompok disajikan pada Tabel 40. Dari Tabel 40 dapat diketahui bahwa dilihat dari unsur-unsur dinamika kelompok masyarakat sekitar perusahaan:
Enam puluh dua setengah persen anggota kelompok memahami tujuan kelompoknya, dan 36 persen anggota kelompok tidak memahami tujuan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi tujuan kepada anggota oleh pengurus atau oleh anggota kelompok belum optimal.
Anggota
umumnya sadar bahwa tujuan mereka bergabung dengan kelompok untuk mendapatkan bantuan modal usaha.
Lima
puluh
satu
persen
anggota
kelompok
menyatakan
struktur
kelompoknya baik, dan 35 persen anggota kelompok menyatakan struktur kelompoknya tidak baik (buruk). Sebagian anggota menilai bahwa struktur kelompok perlu diperbaiki, terutama dalam hal peremajaan dan atau penyegaran kepengurusan kelompok.
Lima puluh tiga persen angggota kelompok menyatakan fungsi tugas kelompok berjalan baik, 34,5 persen angggota kelompok menyatakan fungsi tugas kelompok tidak jalan.
Hal ini dapat dipahami karena sebagian
anggota tersebut menyatakan bahwa fungsi tugas kelompok berjalan dalam
128 pengurusan pinjaman modal dari perbankan, sementara fungsi tugas yang lain kurang diperhatikan. Tabel 40. Dinamika kelompok sasaran pemberdayaan Unsur dinamika
Tujuan
Klasifikasi
Tidak paham Cukp paham Paham Sub Total Struktur Buruk Cukup Baik Sub Total Fungsi tugas Tidak jalan Kadang Jalan terus Sub Total Pembinaan Tidak jalan Kadang Jalan terus Sub Total Kekompakan Tdk kompak Ckp kompak Kompak Sub Total Ketegangan Kurang Cukup Baik Sub Total Efektivitas Kurang Cukup Baik Sub Total Kepemimpinan Buruk Cukup Baik Sub Total Kepuasan Kurang puas Cukup puas Puas Total
Sekitar Sekitar Gabungan perusahaan A perusahaan B FreFreFrekuensi Persen kuensi Persen kuensi Persen 69
47,9
2
3,6
72
36,0 26,5
17
11,8
37
66,0
53
58
40,3
17
30,4
75
37,5
144
100,0
200
100,0
47,2
56 2
100,0
68
3,6
70
35,0
15
10,4
13
23,2
28
14,0
61
42,4
41
73,2
102
51,0
144 67
100,0
56
100,0
200
100,0
46,5
2
3,6
69
34,5
10
6,9
15
26,8
25
12,5 53,0
67
46,5
39
69,6
106
144
100,0
56
100,0
200
100,0
68
47,2
3
5,4
73
36,5
8
5,5
5
8,9
13
6,5
68
47,2
48
85,7
114
57,0
144
100,0
100,0
200
100,0
50
34,7
56 1
1,8
51
25,5 22,0
30
20,8
14
25,0
44
60
44,5
41
73,2
105
52,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
49
34,0
4
7,1
53
26,5
52
36,1
21
37,5
73
36,5
43
29,9
31
55,4
74
37,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
72
50,0
15
26,8
87
43,5
28
19,4
24 17
42,9
52
26,0
30,4
61
30,5
100,0
200
100,0
1,8
68
34,0
12,5
10
5,0
44
30,6
144
100,0
67
46,5
56 1
3
2,1
7
74
51,4
48
85,7
122
61,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
66
45,8
4
7,2
70
35,0 13,5
15
10,4
12
21,4
27
63
43,8
40
71,4
103
51,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
129
Lima puluh tujuh persen anggota kelompok menyatakan pembinaan kelompok terhadap anggota berjalan terus, 36,5 persen angggota kelompok menyatakan pembinaan kelompok tidak jalan.
Hal ini dapat dipahami
karena bila ada anggota baru masuk menjadi anggota kelompok tidak memperoleh pembinaan sebagaimana mestinya, mereka dibiarkan untuk mau aktif mencari informasi kepada anggota lain yang sudah lebih dulu bergabung dalam kelompok.
Lima puluh dua setengah persen anggota menyatakan kelompoknya masih kompak, 25,5 persen angggota kelompok menyatakan kelompoknya tidak kompak.
Kekurangkompakan
kelompok
dirasakan
saat
mereka
menghadapi kendala modal usaha dan berhadapan dengan pihak perusahaan mitra dalam penentuan harga jual hasil produksi.
Sebagian
anggota kelompok ternak menyerahkan pada perusahaan dalam penentuan harga jual sapi potongnya.
Tiga puluh enam setengah
sampai 37,0 persen anggota menyatakan
ketegangan kelompoknya cukup dan baik,
ketegangan yang ada
menyebabkan sebagian besar anggota mau peduli terhadap perkembangan kelompok.
Empat puluh tiga setengah persen anggota menyatakan efektivitas kelompok dalam mencapai tujuan masih kurang, dan 43,5 persen angggota kelompok menyatakan kelompoknya tidak efektif dalam mencapai tujuan bersama.
Bila hal ini dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian dari
pengurus dan anggota yang lain, dapat menjadi penyebab anggota tersebut keluar dari keanggotaan kelompoknya.
Enam puluh satu persen anggota menyatakan kepemimpinan kelompok berjalan baik dan 34 persen anggota menyatakan kepemimpinan kelompok tidak baik. Pengurus kelompok harus lebih transparan dan akomodatif terhadap keinginan anggota, sebab hal ini dapat berdampak negatif pada komitmen anggota pada kelompok.
Lima puluh satu setengah persen anggota menyatakan puas terhadap pencapaian kelompok selama ini, dan 35,0 persen angggota kelompok menyatakan tidak puas terhadap pencapaian kelompok.
Ketidakpuasan
anggota dapat menjadi pemicu retaknya keutuhan kelompok. Secara keseluruhan, kelompok-kelompok masyarakat yang dibina dalam program CSR perusahaan di Provinsi Lampung cukup dinamis, namun demikian
130 masih terdapat beberapa indikator dinamika kelompok yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan.
Efektivitas kelompok dirasakan oleh kelompok masih rendah
sehingga pengurus kelompok bersama anggota harus berusaha meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kerjasama antar anggota dalam kegiatan usaha ekonomi produktif yang dijalankan. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan Gambaran pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai implementasi CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung diwakili oleh paparan pelaksanaan program CSR dua perusahaan terpilih berikut ini. Pemberdayaan Masyarakat oleh PT. GGP Pelaksanaan tanggungjawab sosial PT. GGP masih lebih terfokus pada karyawan perusahaan. Tanggungjawab sosial perusahaan kepada karyawan mengacu pada SA 8000. Penerapan SA 8000 (Social Accountability/ tanggung jawab sosial) adalah suatu sistem manajemen yang mengatur pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap karyawannya. Sistem ini dibuat sebagai tindak lanjut terhadap Konvensi ILO tentang “Human Right” (Hak asasi manusia). Penerapan SA 8000 dilatarbelakangi dua hal berikut. Pertama, permintaan pembelian produk perusahaan tersebut untuk menerapkan sistem SA 8000. Kedua, prinsip persyaratan SA 8000 sudah sejak lama diterapkan pada perusahaan tersebut tetapi belum terkoordinir dan terdokumentasikan sehingga dengan proses Sertifikasi SA 8000, penerapan tentang hal-hal yang terkait ketenagakerjaan di perusahaan menjadi tersistem dengan baik. Perkembangan penerapan SA 8000 di perusahaan ini:
Sistem SA 8000 diperoleh pertama kali pada tanggal 15 Oktober 2001.
Secara periodik (6 bulan sekali) sistem ini diaudit oleh BVQI untuk menjamin konsistensi penerapan SA 8000.
Re-sertifikasi atau sertifikasi ulang telah dilakukan pada tanggal 21-23 Februari 2005 dan direkomendasikan bahwa perusahaan tersebut berhak mendapatkan kembali Sertifikat SA 8000. Sistem SA 8000 memuat 9 klausul atau persyaratan yaitu :
(1) Pekerja di bawah umur (Child Labor). (2) Pekerja paksa (Force Labor).
131 (3) Keselamatan & kesehatan kerja (Occupational Safe & Healthy). (4) Kebebasan berorganisasi dan berserikat (Freedom of Associate & Right to Collective Bargaining). (5) Diskriminasi (Discrimination). (6) Tindakan kedisiplinan (Disciplinary Practice). (7) Jam kerja (Working hours). (8) Kompensasi (Compensation). (9) Sistem management (Management System). Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya diwujudkan dalam bentuk kegiatan program pengembangan masyarakat (Community Development).
Program ini secara khusus ditangani oleh Community Relation
Department (CRD) yang bertanggungjawab langsung pada Manajer. Meskipun kesepakatan ISO 26000 belum tercapai, namun beberapa kegiatan pengembangan masyarakat sekitar perusahaan telah dilakukan.
Program pemberda-
yaan yang telah dilakukan sejalan dengan semangat pasal 74 Undang-undang Peseroan Terbatas. Tanggungjawab sosial perusahaan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan oleh perusahan antara lain: (1) Training/Pelatihan/Kursus (a) Training budidaya sapi potong. (b) Training budidaya ikan air tawar. (c) Training las, tambal ban dan sopir (driver). (d) Training pembuatan nata de coco. (e) Training 5 R (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin). (f) Pelatihan Khotib Jum’at. (g) Pelatihan mengurus jenazah. (h) Kursus menjahit ibu-ibu PKK. (2) Kemitraan dengan masyarakat sekitar: (a) Kemitraan PIR Sapi Potong. (b) Kemitraan PIR Ubikayu. (c) Modal bergulir. (d) Kemitraan Jahitan. (e) Kemitraan Pallet Kayu. (f) Kemitraan Penambangan Pasir. (g) Kemitraan Pembuatan Batu bata.
132 (3) Pendidikan Masyarakat: (a) Subsidi untuk guru honor pada Yayasan Bustanul Ulum, Kecubung Jaya, Lempuyang Bandar. (b) Kerjasama dengan Pemda Lampung Tengah tentang pendirian TK, SD, SMP Negeri unggulan di Kabupaten Lampung Tengah. (c) Beasiswa murid, terutama murid di SD dan SLTP Bustanul Ulum. (d) Bantuan sarana fisik untuk sekolah di luar perusahaan . (e) Rehabilitasi dan pembangunan gedung sekolah di luar perusahaan . (f) Kerjasama dengan Pondok Pesantren disekitar perusahaan dalam hal pembinaan ahlak karyawan dan masyarakat di sekitar perusahaan. (g) Bantuan biaya awal masuk perguruan tinggi negeri di Jawa bagi anak kandung atau yang menjadi tanggungan karyawannya. (4) Bantuan Sosial: (a) Bantuan air bersih bagi masyarakat sekitar perusahaan, terutama di musim kemarau. (b) Bantuan perbaikan jalan kampung. (c) Bantuan peringatan hari besar nasional dan keagamaan. (d) Bantuan sumur bor ke masyarakat. (e) Sumbangan untuk korban bencana alam. (f) Bantuan biaya pengobatan (operasi) untuk masyarakat tidak mampu. (g) Khitanan massal bagi anak-anak desa sekitar perusahaan. (h) Bantuan bibit melinjo dan jengkol. (i) Bantuan bibit ubikayu unggul. (j) Bantuan bibit rumput gajah dan bibit bambu. (k) Bantuan perbaikan jalan lintas timur dan pengaspalan jalan kampung. Secara khusus, menurut pihak manajemen perusahaan dalam pelaksanaan kemitraan agribisnis sapi potong dengan masyarakat menghadapi beberapa hambatan dan tantangan berikut: (1) Faktor ketersediaan bakalan. Sampai saat ini sapi lokal belum siap untuk mengisi sapi bakalan baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga masih memerlukan impor sapi bakalan dari Australia. (2) Faktor ekonomi. Tingkat ekonomi peternak yang umumnya mereka adalah petani tanaman pangan mengalami keterbatasan modal, terutama modal awal untuk beralih dari usaha tanaman pangan ke usaha ternak
133 penggemukan sapi. Mereka sangat memerlukan bantuan modal, sehingga langkah kemitraan dianggap sebagai solusi yang tepat. (3) Faktor SDM peternakan. Latar belakang peternak sebagai petani tanaman pangan dan sebagian mereka memelihara sapi pekerja sebagai usaha sambilan atau sebagai tabungan. Mereka belum berpikir ekonomis, sehingga bila mereka beralih ke usaha ternak penggemukan sapi masih memerlukan bimbingan yang intensif agar mereka dapat berusaha dengan lebih intensif dan efisien. (4) Faktor kebijakan. Kebijakan perusahaan sebagai perusahaan inti terkadang terbebani dengan adanya kewajiban menampung hasil peternak, sementara perusahaan sendiri memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan sapi. Sebagai dampaknya peternak mitra dapat terabaikan atau kurang diperhatikan, atau bahkan menjadi korban kebijakan perusahaan. Demikian halnya dengan kebijakan pemerintah tentang kebijakan impor sapi bakalan yang membebani peternak, terutama peternak kecil. (5) Daya beli masyarakat yang menurun. Daya beli masyarakat yang menurun akibat krisis yang berkepanjangan juga berimbas pada peternak. Mereka tidak lagi mampu membeli konsentrat untuk sapinya, akibatnya produktivitas menurun. (6) Beroperasinya RPH tradisional yang illegal.
Rumah pemotongan hewan
yang beroperasi secara ilegal dapat menimbulkan masalah lingkungan, namun demikian secara yuridis mereka juga melawan hukum, karena tidak memiliki dokumen perijinan yang sah.
RPH tersebut dapat melakukan
pemotongan hewan yang kondisinya tidak terkontrol, misalnya apakah hewan yang dipotong benar-benar sehat atau terbebas dari penyakit tertentu. (7) Faktor lain-lain. Faktor tersebut misalnya masalah etos kerja atau budaya masyarakat peternak
Pada awalnya program kemitraan sapi potong dilaku-
kan ke beberapa kelompok, termasuk masyarakat kampung asli, namun dalam perjalanan waktu, saat ini kelompok mitra yang masih berjalan adalah di daerah warga pendatang atau transmigran. Hal ini terkait dengan etos kerja masyarakat pendatang yang lebih ulet dalam berusaha dan lebih baik bekerjasama dalam kelompok. Secara keseluruhan pendanaan kegiatan pengembangan masyarakat oleh perusahaan tersebut setiap tahunnya dapat mencapai dua milyar rupiah. Semua program pelatihan dan kemitraan yang dilaksanakan oleh perusahaan
134 dimaksudkan agar ekonomi masyarakat sekitar dapat meningkat, yang pada akhirnya kelangsungan perusahaan dapat terjaga. Hal ini sesuai dengan filosofi perusahaan yakni ”pagari perusahaan dengan mangkok”, yang maknanya lingkungan atau sekeliling perusahaan tidak perlu dipagari dengan tembok tinggi atau kawat berduri, namun masyarakat sekitar diupayakan terpenuhi kebutuhan ekonominya sehingga mereka tidak akan masuk dan mengganggu aktivitas perusahaan. Bila keberadaan perusahaan dapat membantu ekonomi masyarakat sekitar, dengan sendirinya mereka juga akan menjaga keamanan dan kelangsungan perusahaan. Lokasi perusahaan ini cukup dekat perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri gula, bahkan ada dua kampung yang berbatasan langsung dengan dua perusahaan ini. Perusahaan tersebut juga melaksanakan program CSR meskipun dalam jenis dan ragam program kegiatan yang berbeda. Sebagai tambahan informasi, program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan agroindustri gula tersebut disajikan pada Lampiran 3. Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan Pengolahan Kopi Program pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan ini sebenarnya didasari pada kepedulian perusahaan untuk berpartisipasi dalam mengatasi isu pemanasan global, sehingga masyarakat yang diberdayakan diarahkan pada masyarakat yang selama ini terlibat dalam kegiatan yang membahayakan lingkungan seperti perambah kawasan hutan lindung. Oleh karenanya program ini diberi nama ”Green Initiative”. Dengan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lindung diharapkan mereka memiliki aktivitas ekonomi yang ketergantungannya pada hutan semakin berkurang, sehingga kawasan hutan lindung dapat dilestarikan.
Program pemberdayaan ini sudah dimulai sejak
pertengahan tahun 2005 dan untuk tahap pertama direncanakan berjalan selama lima tahun, setelah dievaluasi akan dipertimbangkan kelanjutannya. Pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan dipercayakan kepada pihak ketiga yakni dari perguruan tinggi.
Dari hasil participatory rural appraisal,
penyebab utama masyarakat merambah kawasan hutan karena alasan ekonomi, sehingga program pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan pengetahuan
dan
keterampilan
yang
dapat
menambah
kesibukan
dan
pendapatan ekonomi rumah tangga. Masyarakat diberi bekal pengetahuan dan keterampilan usaha budidaya ikan lele, budidaya jamur tiram, budidaya tanaman
135 hortikultura khususnya tanaman hias, serta pembuatan bibit dan penanaman damar mata kucing (Shorea javanica). Pendampingan masyarakat oleh pihak ketiga mengarahkan agar masyarakat membentuk kelompok-kelompok. Dengan demikian masyarakat juga diajarkan bagaimana mereka bekerja bersama-sama dalam satu kelompok. Penentuan kelompok target dibicarakan bersama-sama antara pedamping dengan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan da kecurigaan antar kelompok.
Kelompok budidaya lele disepakati diperuntukkan bagi
kelompok pemuda dan kelompok tani dewasa. Budidaya jamur dan tanaman hias diperuntukkan bagi kelompok wanita (PKK), sementara itu kelompok budidaya kakao diperuntukkan bagi kelompok tani dewasa yang menggarap lahan kawasan Youth Camp Tahura Wan Abdul Rahman. Perusahaan,
melalui
asosiasi
karyawannya
memberikan
jaminan
terhadap pemasaran hasil produksi lele dan jamur tiram yang dihasilkan oleh kelompok binaan. Namun, karena kebutuhan pasar terhadap kedua komoditas cukup besar, sampai saat ini produksi kelompok sudah habis dibeli konsumen masyarakat sekitar, bahkan beberapa konsumen harus memesan untuk dapat membeli jamur tiram produksi kelompok ibu-ibu tersebut. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan kopi di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran secara serius ingin membantu peningkatan ekonomi masyarakat petani (perambah hutan lindung), perusahaan tidak mengambil keuntungan sedikitpun dari hasil binaannya. Hal ini disebabkan, keberadaan mereka tidak tergantung pada produksi kopi petani yang dibina. Bahan baku kopi yang diolah di pabrik perusahaan tersebut berasal dari daerah lain (kabupaten lain: Tanggamus, Lampung Utara, dan Lampung Barat) di Provinsi Lampung. Program CSR yang bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar seharusnya mempertimbangkan pengalaman berusaha dan atau kebiasaan masyarakat setempat. Program pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan diuraikan secara rinci berikut: (1) Jenis-jenis Program. Belum semua perusahaan memiliki dan atau menjalankan program pemberdayaan dengan baik. Program belum atau tidak disusun bersama masyarakat sasaran karena hanya melibatkan beberapa personil tokoh masyarakat atau beberapa ketua kelompok tani, serta tidak disosialisasikan dengan baik. Akibatnya, muncul berbagai tuntutan dari masyarakat
136 sekitar terhadap perusahaan agar lebih peduli dan memperhatikan masyarakat sekitar (”masyarakat asli setempat”). Namun, seringkali tuntutan tersebut ditanggapi dengan penyelesaian politis dan memanfaatkan aparat penegak hukum seperti “oknum TNI atau polisi” untuk meredam keinginan (”tuntutan”) masyarakat. Jenis program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung dapat dikatakan sangat terbatas. Di lokasi sampel berbagai jenis program yang mengatasnamakan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan antara lain bantuan sosial kepada masyarakat sekitar. Bantuan sosial tersebut antara lain: bantuan fisik bagi pembangunan sarana prasarana ibadah (masjid / mushalla, gereja, dan pura); bantuan bagi pembangunan balai kampung/ balai desa, bantuan pembangunan atau rehab gedung/lokal sekolah, bantuan pembangunan gapura, bantuan pemasangan tiang lampu penerangan jalan, pelebaran, perbaikan, dan pengaspalan jalan kampung, pembuatan pagar jalan, perbaikan jembatan, pembangunan kantor posyandu, pembuatan sumur bor, pembuatan papan nama kantor kampung, dan bantuan bibit bambu dan melinjo. Jenis program terakhir dapat dikategorikan sebagai bentuk bantuan dalam meningkatkan pendapatan atau tingkat ekonomi masyarakat. Jenis program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang cukup terprogram adalah kemitraan penggemukan sapi potong, kemitraan agribisnis ubikayu, pembinaan kelompok budidaya ikan air tawar, kemitraan jahit, pembuatan aneka kue, serta pembinaan kelompok budidaya jamur tiram. Selain program tersebut, semenjak tahun 2006 beberapa perusahaan memberikan insentif kepada aparat kampung yang termasuk ring I (berbatasan langsung dengan areal kebun perusahaan).
Secara umum insentif yang
diberikan kepada aparat kampung diberikan kepada kepala kampung, sekretaris kampung dan empat kepala urusan, yakni sebesar 50 ribu rupiah per bulan, keculai untuk kepala kampung sebesar 150 ribu rupiah per bulan. Insentif tersebut diterimakan setiap tiga bulan.
Hal ini sejalan dengan
kebijakan pemerintah Kabupaten Lampung Tengah yang memberikan insentif kepada semua aparat kampung.
Bagi beberapa kampung, karena lokasi
kampung berbatasan langsung dengan lebih dari satu perusahaan, sehingga aparat kampung mendapatkan insentif dari dua perusahaan.
137 Secara rinci, jenis kegiatan CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan ini adalah: (a) Kemitraan budidaya ubikayu, sapi potong, dan budidaya pepaya. (b) Pemberian modal bergulir dengan bunga 0 (nol) persen untuk kelompok pembuat batu bata, kelompok budidaya ikan air tawar, kelompok menjahit ibu-ibu PKK, para pedagang sayur, pedagang kaki lima,tukang becak, usaha meubel, jasa bengkel motor, usaha penggalian pasir oleh Karang taruna Terbanggi Besar, dan sebagainya. (c) Kemitraan jahitan untuk ibu-ibu PKK di empat kampung sekitar perusahaan. (d) Sosialisasi tanggap darurat. (e) Pemberian honor atau insentif untuk guru di sekolah swasta dan negeri di Kampung Lempuyang Bandar. (f) Perbaikan jalan kampung, jembatan, dan gorong-goorong. (g) Pembangunan dan perbaikan sarana ibadah, sekolah balai desa, gapura desa, pagar jalan, tiang lampu penerangan jalan, dan sebagainya. (h) Pemberian air bersih kepada masyarakat sekitar saat musim kemarau. (i) Bantuan untuk korban bencana alam lokal maupun nasional. (j) Kursus keterampilan seperti menjahit, budidaya ikan air tawar, membuat aneka kue, membuat nata de coco, prosedur merawat jenazah wanita, pelatihan khotib jumat, mengelas, latihan mengemudi, dan sebagainya. (k) Melaksanakan khitanan masal dan bantuan pengurusan nikah gratis. (l) Bantuan biaya pembuatan KTP, SIM, Kartu Keluarga, dan surat nikah. (m) Seminar kesehatan untuk karyawan dan masyarakat sekitar. (n) Bantuan unit pemadam kebakaran bagi warga yang mendapat musibah kebakaran. (o) Program lingkungan bersih bersama Pemerintah Kabupaten Lampung Tngah dalam ”Komite Peduli Lingkungan Way Dawak”. (p) Melakukan penangkaran rusa air di lingkungan perusahaan. (q) Pelayanan magang atau kuliah praktik bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti. (r) Penangkaran aneka jenis bambu terlengkap tingkat nasional yang pernah mendapatkan penghargaan KEHATI Award. (s) Aktif dalam program PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.
138 (2) Aspek Pemberdayaan. Dalam implementasi pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007, kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya meliputi tanggungjawab di bidang sosial, lingkungan hidup, ekonomi, budaya dan sebagainya. Mulai tahun 2001 perusahaan telah memiliki departemen yang menangani
CSR,
yang
awalnya
diberi
nama
Society
Development
Department yang kemudian diganti menjadi Corporate Relation Department yang dikepalai oleh seorang manager.
Dalam menjalankan program-
programnya, mereka memiliki falsafah ”Pagari perusahaan dengan mangkok, jangan dengan tembok” dan ”lebih baik memberikan kail daripada memberi ikan”.
Dari falsafah tersebut dapat dipahami bahwa perusahaan sudah
memiliki komitmen yang tinggi dalam memberdayakan masyarakat sekitar, terutama melalui upaya peningkatan sumberdaya manusianya. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung secara umum masih bersifat karitatif, artinya program pemberdayaan yang dilakukan dengan memberikan bantuan kurang menyentuh aspek perubahan perilaku. Program bantuan air bersih sematamata
dilakukan
karena
aspek
kemanusiaan,
saat
musim
kemarau
masyarakat sekitar perusahaan umumnya kesulitan air bersih. Di lain pihak perusahaan memiliki kemampuan mengeksploitasi sumber air bersih dengan membuat sumur bor dari air dalam (kedalaman ± 300 meter). Bantuan sosial juga diberikan perusahaan kepada masyarakat sekitar untuk pembangunan sarana prasarana ibadah seperti masjid, musholla, gereja, dan pura. Bantuan bagi sektor pendidikan berupa pembangunan dan rehab lokal atau gedung sekolah merupakan program yang cukup bagus, sebab bantuan ini sangat
bermafaat
bagi
peningkatan
masyarakat sekitar perusahaan.
kualitas
sumberdaya
manusia
Bantuan untuk sektor pendidikan juga
diberikan dalam bentuk insentif gaji guru pada Yayasan Bustanul Ulum, SD Negeri Dwi Karya, dan Yayasan Xaverius di Kampung Lempuyang Bandar mencapai 132,4 juta rupiah per bulan. Jika dikalikan, jumlah insentif bagi guru yang diberikan oleh perusahaan mencapai 1,588 milyar rupiah dalam setahun. Selain itu fasilitas transportasi berupa bis sekolah juga disediakan bagi murid SD dan SMP Bustanul Ulum. Bantuan prasarana pendidikan juga diberikan kepada pondok pesantren terdekat di Kampung Lempuyang Bandar dalam bentuk material seperti semen, batu bata, dan pengerasan jalan kampung menuju lokasi pondok pesantren tersebut.
139 (3) Kualitas Program. Kualitas program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis di Provinsi Lampung berdasarkan penilaian dari masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, kompatibilitas, dan keberlanjutan program disajikan dalam bahasan berikut. Masyarakat sekitar perusahaan menilai bahwa perencanaan program CSR selama ini masih perlu ditingkatkan, sebab masih ada 17 persen masyarakat yang menyatakan bahwa kualitas perencanaan selama ini masih buruk, dan 45 persen menyatakan sedang (Tabel 41).
Perencanaan program CSR
selama ini disusun oleh pihak perusahaan dan atau bersama mitra, serta kurang melibatkan masyarakat sasaran. Tabel 41. Persepsi Sampel terhadap Kualitas Perencanaan Program CSR Perusahaan Kualitas Perencanaan
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
31
21,5
3
5,4
34
17,0
Sedang
58
40,3
32
57,1
90
45,0
Tinggi
55
38,2
21
37,5
76
38,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Bila diperbandingkan, kualitas perencanaan program CSR perusahaan A relatif lebih rendah daripada kualitas perencanaan perusahaan B. Hal ini ditunjukkan adanya 21,5 persen masyarakat yang menilai rendah terhadap kualitas perencanaan program perusahaan A (Tabel 41). Kualitas pelaksanaan program selama ini mayoritas sampel (62,5 persen) menilai pelaksanaan belum baik, bahkan 12 persen masyarakat menilai pelaksanaan program masih rendah (Tabel 42).
Pelaksanaan program
belum menyentuh semua lapisan dan kelompok masyarakat, dan belum menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat sekitar.
Masyarakat di
kedua wilayah sekitar perusahaan menilai kualitas pelaksanaan program CSR perusahaan hampir sama.
Pada intinya, kedua perusahaan mesti
meningkatkan kualitas pelaksanaan program CSR di masa yang akan datang.
140 Tabel 42. Persepsi Sampel terhadap Kualitas Pelaksanaan Program CSR Perusahaan Kualitas Pelaksanaan
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
22
15,3
2
3,6
24
12,0
Sedang
92
63,9
33
58,9
125
62,5
Tinggi
30
20,8
21
37,5
51
25,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kompatibilitas merujuk pada ada tidaknya keterkaitan sesuatu inovasi dengan inovasi sebelumnya (Mosher, 1984) atau teknologi yang sudah ada atau dikuasai seseorang. Bila suatu program CSR perusahaan berusaha menye-barluaskan inovasi baru kepada masyarakat sekitar, akan lebih mudah diterima apabila inovasi tersebut memiliki kompatibilitas CSR
yang
bertujuan
memberdayakan
ekonomi
masyarakat
Program sekitar
seharusnya mempertimbangkan pengalaman berusaha dan atau kebiasaan masyarakat setempat, karena keterkaitan (kompatibilitas) program dapat membantu keberhasilan program mencapai tujuan. Terdapat 21,5 persen sampel menyatakan program pemberdayaan yang dilakukan memiliki kompatibilitas yang rendah (Tabel 43). Tabel 43. Persepsi Sampel terhadap Kompatibilitas Program CSR Perusahaan Kompatibiltas program
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
18
12,5
25
44,6
43
21,5
Sedang
26
18,1
25
44,6
51
25,5
Tinggi
100
69,4
6
10,7
106
53,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 43 juga menunjukkan bahwa program CSR perusahaan A memiliki kompatibilas yang lebih baik (69,4 persen) dari pada program perusahaan B (10,9 persen). Program perusahaan A memberdayakan petani ubikayu dan peternak sapi lebih dinilai cukup pas dengan penguasaan teknologi masyarakat sekitar, karena mereka memiliki latar belakang usaha ubikayu
141 dan beternak sapi pekerja. Peralihan teknologi dari beternak sapi pekerja dengan penggemukan sapi tidak terlalu sulit, sebab dasar-dasar teknologi beternak sapi hampir sama. Program perusahaan B yang memperkenalkan teknologi budidaya lele dan jamur tiram relatif lebih sulit, sebab masyarakat sasaran tidak memliki latar belakang pengalaman pada usaha tersebut. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat Desa Hurun yang memiliki mata pencaharian sebagai petani kebun diperkenalkan dengan teknologi budidaya lele dan budidaya jamur tiram. Demikian halnya pada masyarakat Kampung Terbanggi Besar diperkenalkan dengan usaha menjahit pakaian, ternyata ada dua orang yang sebelumnya memiliki keterampilan atau berprofesi sebagai penjahit pakaian.
Keterampilan menjahit sedikit banyak terkait
dengan bakat yang dimiliki oleh pelaku, hal ini dapat dilihat dari kualitas jahitan mereka yang kurang rapi. Agar kualitas order jahitan tidak dikomplain oleh perusahaan, mereka yang jahitannya kurang rapi tidak diberi jatah jahitan oleh kelompoknya.
Dengan kata lain, kemitraan jahitan hanya
berlanjut bagi anggota PKK yang memiliki keterampilan menjahit cukup baik. Keberlanjutan program membawa konsekuensi pada pembiayaan. Apabila anggaran program dari perusahaan mulai seret, kelangsungan program akan berhenti. Masih terdapat 8,5 persen sampel menyatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi oleh perusahaan tidak berlanjut, dan 24 persen menyatakan kadang-kadang berjalan (Tabel 44).
Hal ini dapat dirasakan
oleh kelompok mitra jahit di Kampung Terbanggi Besar dan Tanjung Anom, mereka bahkan sudah tidak lagi mendapatkan pesanan (order) jahitan pakaian dari perusahaan. Secara terpisah, keberlanjutan program CSR di sekitar perusahaan B lebih baik (85,7 persen) dibanding keberlanjutan program perusahaan A (60,4 persen).
Namun, pada masyarakat sekitar perusahaan A sebanyak 31,3
persen menyatakan bahwa program CSR kadang-kadang berlanjut. Hal ini disebabkan
masyarakat
memiliki
pengertian
bahwa
program
CSR
perusahaan identik dengan ada tidaknya pasokan pakan ternak yang berupa kulit nenas (limbah perusahaan) dan ada tidaknya pinjaman modal kepada peternak yang berupa bakalan sapi.
Dua hal ini memang belum dapat
menjangkau semua peternak, sehingga terdapat anggota kelompok yang mendapatkan pasokan kulit nenas dan atau bakalan sapi yang tidak kontinyu.
142 Tabel 44. Persepsi Sampel terhadap Keberlanjutan Program CSR Perusahaan Keberlanjutan program
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Tidak
12
8,3
5
8,9
17
8,5
Kadangkadang
45
31,3
3
5,4
48
24,0
Berlanjut
87
60,4
48
85,7
135
67,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Fasilitator Program Pemberdayaan Fasilitator program pemberdayaan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung berasal dari internal perusahaan dan atau pihak ketiga yang berasal dari perguruan tinggi. Selama ini perusahaan agroindustri nenas masih mengandalkan staf karyawan perusahaan dari Corporate Relation Department (CRD) yang memiliki tugas khusus dalam menjalin komunikasi dan kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka selalu menawarkan program kepada masyarakat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat, meskipun tidak dapat dilepaskan dengan misi bisnis perusahaan yakni mengambil keuntungan atau manfaat dari program tersebut. Untuk menunjang keberhasilan program, kompetensi fasilitator merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi. Kompetensi fasilitator diukur dari kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengajarkan materi dan melakukan pendampingan, serta kemampuan memotivasi anggota kelompok masyarakat. Kemampuan berkomunikasi fasilitator dari perusahaan A lebih baik daripada fasilitator perusahaan B (Tabel 45). Hal tersebut menunjukkan bahwa fasilitator perusahaan yang berasal dari karyawan atau petugas perusahaan memiliki
kemampuan
berkomunikasi
lebih
baik
dibanding-kan
fasilitator
perusahaan B yang berasal dari mahasiswa atau alumni perguruan tinggi pelaksana. Secara kebetulan, fasilitator perusahaan A juga bertempat tinggal di kampung sekitar perusahaan sehingga memudahkan mereka dalam menjalin komunikasi dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Fasilitator perusahaan B yang berasal dari mahasiswa belum cukup pengalaman dan belum mampu bersosialisasi dengan masyarakat secara intensif.
143 Tabel 45. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Berkomunikasi dari Fasilitator Kemampuan berkomunikasi
Sekitar Perusahaan A Frekuensi
Sekitar Perusahaan B
Persen
Frekuensi
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Rendah
11
7,6
1
1,8
12
6,0
Sedang
49
34,0
23
41,0
72
36,0
Tinggi
84
58,3
32
22,2
116
58,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kemampuan fasilitator perusahaan A maupun perusahaan B dalam mengajarkan materi cukup tinggi (Tabel 46), hal ini menunjukkan bahwa peran fasilitator program CSR sebagai guru bagi masyarakat dalam mengajarkan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat masih dibutuhkan masyarakat. Tabel 46. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Mengajar dari Fasilitator Kemampuan Mengajar
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
11
7,6
4
7,1
15
7,5
Sedang
42
29,2
24
42,9
66
33,0
Tinggi
91
63,2
28
50
119
59,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kemampuan fasilitator dari dua perusahaan dalam memotivasi anggota kelompok untuk lebih maju cukup tinggi (64,5 persen), meskipun masih terdapat masyarakat yang menilai mereka tidak memiliki kemampuan memotivasi (Tabel 47). Tabel 47. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Memotivasi dari Fasilitator Kemampuan memotivasi
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
12
8,3
1
1,8
13
6,5
Sedang
41
28,5
17
30,4
58
29,0
Tinggi
91
63,2
38
67,8
129
64,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
144 Dari tiga aspek indikator tersebut bila digabungkan, maka sebaran penilaian masyarakat terhadap kompetensi fasilitator disajikan pada Tabel 48. Secara umum penilaian sampel terhadap kompetensi fasilitator sudah baik. Tabel 48. Kompetensi Fasilitator Kompetensi
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Rendah
12
8,3
1
1,8
13
6,5
Sedang
38
26,4
20
35,7
58
29,0
Tinggi
94
65,3
35
62,5
129
64,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 48 diketahui bahwa kompetensi fasilitator program pemberdayaan kedua perusahaan relatif sama, dan kompetensi fasilitator termasuk tinggi. Hal ini menunjukkan kompetensi fasilitator yang berasal dari karyawan perusahaan A dan kompetensi fasilitator dari perguruan tinggi yang dipercaya oleh perusahaan B tidak jauh berbeda. Perusahaan A yang bergerak di bidang agroindustri tapioka dan memiliki anak perusahaan penggemukan sapi jelas memiliki kompetensi yang tidak diragukan.
Perusahaan B yang bergerak di
bidang agroindustri kopi mempercayakan tugas fasilitator pada perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya di bidang pertanian (jamur tiram) dan perikanan (budidaya lele).
Faktor-faktor Pendukung Program Keberhasilan suatu program akan sangat ditentukan oleh ketersediaan faktor-faktor pendukungnya.
Dalam melaksanakan usaha ekonomi produktif
apapun ketersediaan sarana prasarana produksi merupakan faktor utama. Sebagai fungsi produksi pertanian sangat ditentukan oleh faktor-faktor lahan, sarana produksi pertanian, harga sarana produksi, dan sebagainya. Ketersediaan sarana dan prasarana usaha pada masyarakat sekitar perusahaan selama ini dinilai cukup tersedia (Tabel 49).
Pada kelompok
peternak, sarana prasarana yang dirasakan agak sulit didapatkan adalah sapi bakalan. Pada kelompok mitra jahitan bahan-bahan harus mereka beli di Bandar Lampung, dengan jarak tempuh kurang lebih 100 km untuk mendapatkan bahan dengan kualitas baik dan harga yang wajar. Bila mereka membeli bahan di
145 Bandar Jaya, harga jauh lebih tinggi, sehingga keuntungan sangat minim. Untuk kelompok budidaya jamur tiram, media jamur (baglog) dan bibit jamur sementara waktu itu masih didatangkan dari Bogor, namun pada tahun 2008 ini mereka sudah mampu membuat sendiri media jamur, dan pelatihan pembuatan bibit jamur sedang dilakukan. Untuk kelompok budidaya ubikayu dan budidaya lele sarana dan prasarana produksi tidak menghadapi kendala berarti. Tabel 49. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi Ketersediaan sarana prasarana
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Langka
18
12,5
12
21,4
Cukup tersedia
70
48,6
41
73,2
Tersedia
56
38,9
3
144
100,0
56
Total
30
15,0
111
55,5
5,4
59
29,5
100,0
200
100,0
Keterjangkauan harga sarana usaha sangat terkait dengan ketersediaan modal dan atau harga jual produksinya. Harga sarana usaha ditentukan oleh pasar, sehingga mau tidak mau mereka harus membayar sesuai dengan harga pasar.
Secara umum, 54,5 persen sampel menyatakan harga sarana usaha
selama ini cukup terjangkau (Tabel 50). Sebagian mereka menyatakan tidak terjangkau (18 persen) dirasakan oleh anggota kelompok jahit dalam membeli bahan baku kain dan anggota kelompok budidaya lele dalam membeli terpal plastik secara mandiri. Tabel 50. Penilaian Sampel terhadap Keterjangkaun Harga Sarana Produksi Keterjangkauan harga sarana prasarana
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Tidak terjangkau
25
17,4
11
19,6
36
18,0
Cukup terjangkau
71
49,3
38
67,9
109
54,5
Terjangkau
48
33,3
7
12,5
55
27,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
146 Kepemilikan modal usaha secara umum (60 persen) tergolong rendah (Tabel 51). Hal ini mengindikasikan bahwa program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan harus mampu membantu atau menyediakan akses permodalan pada anggota kelompok masyarakat.
Selama ini bantuan
permodalan bergulir masih diberikan kepada kelompok budidaya lele dan jamur tiram, namun untuk kelompok penggemukan sapi dan budidaya ubikayu, perusahaan hanya membantu memfasilitasi kelompok dengan pihak bank. Langkah awal (dua tahun pertama, 2001-2002) perusahaan bertindak sebagai avalis, namun saat ini kelompok sudah mampu berhubungan langsung dengan perbankan dalam upaya mendapatkan pinjaman modal usaha bagi anggotanya. Keberhasilan kelompok dalam pengembalian angsuran menjadi dasar perbankan menambah besarnya pinjaman kepada kelompok. Keberhasilan pengelolaan modal pinjaman oleh kelompok menjadi referensi perbankan dalam penyaluran kredit tahun berikutnya.
Pinjaman dari BII kepada kelompok tani Nadai
Begandang tahun 2006-2007 mencapai dua milyar rupiah, dan pada tahun 20072008 sudah disetujui kenaikan pinjaman menjadi empat milyar rupiah. Tabel 51. Kepemilikan Modal Usaha Sampel Kepemilikan Modal Usaha
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
64
44,4
Sedang
23
Tinggi Total
Gabungan Frekuensi Persen
100,0
120
60,0
16,0
56 0
0,0
23
11,5
57
39,6
0
0,0
57
28,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Pasar hasil produksi usaha yang dibina oleh kedua perusahaan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat selama ini tidak menghadapi kendala.
Penjualan produk cukup lancar, bahkan pembeli datang ke tempat
usaha masyarakat, bahkan budidaya jamur tiram saat ini masih kewalahan memenuhi pesanan dari konsumen. Sebanyak 78,5 persen sampel (Tabel 52) menyatakan bahwa pasar hasil produksi tersedia atau terbuka lebar, hal ini merupakan peluang usaha yang dapat dimanfaatkan agar mereka mampu dan mau meningkatkan kapasitas produksinya. Kondisi tersebut tidak berlaku bagi kelompok mitra jahitan, sebab ketersediaan pasar pakaian hasil jahitan sangat ditentukan oleh jumlah kebutuhan pakaian karyawan perusahaan. Dengan kata
147 lain kelangsungan perusahaan merupakan faktor penentu bagi pasar hasil jahitan.
Selama
perusahaan
masih
mempekerjakan
karyawan,
maka
kelangsungan usaha jahitan akan terjamin; sebaliknya bila perusahaan sudah tidak lagi mempekerjakan karyawannya maka usaha jahitan akan berhenti pula. Tabel 52. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Pasar Hasil Produksi Ketersediaan pasar hasil
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Tidak tersedia
0
0,0
0
0,0
Cukup tersedia
24
16,7
19
33,9
Tersedia
120
83,3
37
Total
144
100,0
56
Program
pemberdayaan
ekonomi
0
0,0
43
21,5
66,1
157
78,5
100,0
200
100,0
masyarakat
sekitar
perusahaan
ternyata juga ada yang selaras dengan program pemerintah (pemerintah daerah). Usaha penggemukan sapi merupakan salah satu usaha yang juga mendapatkan perhatian dari Dinas Peternakan Kabupaten Lampung Tengah, sehingga masyarakat Kampung Karang Endah juga mendapatkan penyuluhan dari dinas peternakan setempat.
Namun demikian, sebanyak 91,0 persen
masyarakat menyatakan tidak pernah mendapatkan penyuluhan dari dinas terkait (Tabel 53). Tabel 53. Penilaian Sampel terhadap Kegiatan Penyuluhan dari Dinas Terkait Kegiatan penyuluhan dari dinas terkait
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
126
87,5
56
100,0
182
91,0
Sedang
9
6,3
0,0
9
4,5
Tinggi
9
6,3
0 0
0,0
9
4,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah dengan aparat penyuluh peternakan atau penyuluh pertanian lapangannya (PPL) jarang turun ke
148 kelompok yang sudah dibina oleh perusahaan.
Kondisi yang cukup ekstrim
terjadi di Desa Hurun, penyuluh pertanian atau perikanan tidak pernah memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa tersebut. Iklim usaha merupakan faktor lingkungan yang dapat menjadi pendorong atau sebaliknya menjadi penghambat perkembangan suatu usaha.
Bila iklim
usaha kondusif maka akan mendorong perkembangan usaha masyarakat, sebaliknya bila iklim usaha tida kondusif akan menghambat perkembangan usaha masyarakat. Pada Tabel 54 dapat diketahui bahwa iklim usaha selama ini cukup kondusif bagi semua jenis usaha yang dibina oleh perusahaan, dengan demikian pada masa yang akan datang semua kelompok usaha yang ada akan semakin berkembang. Tabel 54. Penilaian Sampel terhadap Iklim Usaha Iklim Usaha
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Tidak kondusif
0
0,0
1
1,8
1
0,5
Cukup kondusif
3
2,1
15
26,8
18
9,0
Kondusif
141
97,9
40
71,4
181
90,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Pada bagian ini akan dibahas hubungan antara peubah-peubah bebas dan peubah-peubah terikat yang diteliti.
Peubah-peubah bebas mencakup
karakter individu (X1), kualitas program CSR (X2), kompetensi fasilitator (X3), faktor pendukung usaha (X4), dan dinamika kelompok (X5); dan peubah-peubah terikat yang mencakup perilaku (kapabilitas) berusaha (Y1) dan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga (Y2). Pembahasan ini merupakan jawaban atas hipotesis ke-1.
Hubungan antar peubah bebas dengan peubah terikat
dihitung dengan mencari besarnya nilai korelasi rank-Spearman (ρ).
149 Karakter Individu (X1) Besarnya nilai korelasi antara karakteristik individu dengan perilaku berusaha disajikan pada Tabel 55. Karakter individu tidak berhubungan nyata dengan perilaku berusaha, namun berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa: (a) Tingkat pendidikan formal berhubungan nyata dengan tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Pendidikan formal memberi bekal kemampuan kognitif seseorang, sehingga mereka mampu memanfaatkan peluang usaha demi meningkatkan pendapatan usahanya. Tabel 55. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Pendapatan (Y2.1)
Pengambilan Kptsn (Y2.2)
Kemapanan usaha (Y2.3)
Tingkat -0,004 -0,036 0,079 pendidikan (X1.1) -0,117 -0,159 -0,049 Tanggungan keluarga (X1.2) -0,140 -0,094 0,034 Pengalaman usaha (X1.3) -0,028 -0,111 0,006 Persepsi thd CSR (X1.4) -0,136 -0,048 0,123 Luas milik lahan (X1.5) Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
-0,033
0,209*
-0,130
0,023
0,115
-0,161
-0,176*
0,035
0,284**
0,025
-0,095
0,209**
-0,141
0,186*
0,191*
-0,035
0,148
-0,273**
0,078
0,126
-0,032
0,282**
-0,029
0,319**
0,165*
Perilaku berusaKarakha ter individu
Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
(b) Tanggungan keluarga berhubungan nyata dengan tingkat pendapatan seseorang, dan berhubungan sangat nyata dengan tingkat kemapanan usahanya. Dalam aktivitas usaha ekonomi produktif yang memerlukan tenaga kerja, tanggungan keluarga yang berumur produktif dapat menjadi tenaga kerja dalam melakukan usaha ekonomi. Semakin besar jumlah tenaga kerja dalam keluarga semakin tinggi pula pendapatannya. Jmlah keluarga yang mencukupi kebutuhan tenaga kerja dalam usahanya menjadikan seseorang merasa tenang dan nyaman dalam berusaha, sebab bila mereka mengalami gagal usaha, kerugian yang akan mereka tanggung tidak terlalu berat
150 dibandingkan bila tenaga kerja dari luar yang harus mereka bayar sebagai pemngeluaran atau biaya usahanya (c) Pengalaman berusaha berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga, berarti semakin tinggi pengalaman seseorang akan semakin tinggi pula keberdayaan ekonominya. Pengalaman usaha memiliki hubungan yang lebih kuat dengan peningkatan pendapatan dan kemapanan usaha. Pengalaman sebagai merupakan sumber pengetahuan dan keterampilan yang utama dalam menjalankan usahanya, sehingga dengan berbekal pengalamannya seseorang dapat mengambil pelajaran untuk memperbaiki perilakunya dalam berusaha. (d) Persepsi seseorang terhadap CSR berhubungan sangat nyata dengan kemandirian mengambil keputusan dalam melaksanakan usaha. Besarnya nilai korelasi yang negatif menunjukkan bahwa makin baik persepsi seseorang maka keputusan yang diambil akan semakin mudah dipengaruhi oleh pihak lain. Semakin baik persepsi seseorang terhadap CSR mereka lebih memahami tujuan dan manfaat program, mereka semakin susah diarahkan atau menerima masukan dari pihak pelaksana atau fasilitator program. Hal ini didukung fakta bahwa selama ini pengambilan keputusan oleh masyarakat atas masukan pihak lain, sehingga bila persepsi mereka terhadap CSR semakin baik mereka akan berani mengambil keputusan berani untuk menolak bermitra dengan perusahaan. (e) Luas pemilikan lahan berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga. Lahan merupakan faktor produksi usahatani. Masyarakat yang memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani, lahan merupakan modal utama dalam setiap usaha, tanpa memiliki lahan seseorang akan kesulitan untuk membuka usaha ekonomi produktif.
Di bidang pertanian,
semakin luas pemilikan lahan semakin tinggi pula pendapatan usahataninya. Kualitas Program CSR (X2) Besarnya nilai korelasi antara kualitas program CSR dengan perilaku berusaha dan dinamika kelompok disajikan pada Tabel 56.
Dari Tabel 56
hubungan kualitas program dengan perilaku berusaha dan dinamika kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Kualitas perencanaan berhubungan sangat nyata dengan tingkat pengetahuan seseorang, artinya semakin baik kualitas perencanaan dapat semakin
151 meningkatkan pengetahuan sasaran. Hal ini dapat terjadi karena keterlibatan seseorang dalam proses penyusunan rencana kegiatan merupakan sarana pembelajaran bagi seseorang, selain itu mereka lebih mengerti apa yang mereka butuhkan dan harus dituangkan dalam rencana kegiatan yang mereka susun tersebut. Tabel 56. Hubungan antara Kualitas Program CSR dengan Perilaku Berusaha dan Dinamika Kelompok Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keterampilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Dinamika Kelompok (X5)
Kualitas Perencanaan (X3.1)
0,204**
0,043
0,125
0,115
0,204**
Kualitas Pelaksanaan (X3.2)
0,237**
-0,092
-0,019
0,009
0,051
Kompatibilitas Program (X3.3)
0,188**
0,430**
0,398**
0,416**
0,130
Keberlanjutan Program (X3)
0,350**
-0,086
0,232**
0,039
0,545**
Perilaku berKualitas usaha Program CSR
Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
(b) Kualitas pelaksanaan program berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan seseorang dalam berusaha, artinya semakin baik pelaksanaan program CSR akan meningkatkan pengetahuan sasaran. Bila pelaksanaan kegiatan berjalan baik berarti seseorang dapat mengikuti kegiatan dengan baik pula, sehingga mereka dapat mengambil pengetahuan sebanyak mungkin dari proses pembelajaran yang mereka ikuti. (c) Kompatibilitas program berhubungan sangat nyata dengan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang, artinya semakin tinggi keterkaitan materi program (inovasi yang diperkenalkan kepada sasaran) dengan
inovasi yang sudah dimiliki sasaran maka semakin tinggi pula
perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sasaran. Bila seseorang sudah memiliki pengetahuan dasar tentang sesuatu inovasi dan diberikan suatu inovasi yang memiliki kemiripan dengan pengetahuan dasarnya maka mereka akan lebih mudah menerima inovasi tersebut.
Perusahaan
mengintrodusir program penggemukan sapi pada kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah memiliki kebiasaan memelihara sapi pekerja, pada hal teknik budidaya sapi potong dan sapi pekerja tidak berbeda sehingga mereka lebih mudah menyerap inovasi untuk budidaya sapi potong.
152 (d) Keberlanjutan program berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan dan keterampilan, hal ini berarti program CSR yang terus berjalan akan semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Program CSR
yang berupa kegiatan usaha ekonomi bila berjalan terus maka mereka yang terlibat akan selalu mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan, baik dari pengalaman praktik pada usahanya sendiri maupun dari penyuluhan atau pelatihan yang diberikan dari pihak perusahaan melalui tenaga fasilitator atau tenaga ahli di bidangnya. (e) Kualitas dan keberlanjutan program CSR berhubungan sangat nyata dengan dinamika kelompok, hal ini berarti semakin baik kualitas program dan program berjalan terus akan semakin meningkatkan dinamika kelompok. Program yang baik disusun melibatkan anggota kelompok sasaran, sehingga antar anggota terjadi saling komunikasi dan interaksi dalam pembahasan program tersebut.
Meningkatnya intensitas komunikasi dan interaksi
merupakan indikator terjadinya dinamika kelompok. Bila program berlanjut, setiap kelompok menghendaki kegiatan-kegiatan yang melibatkan anggota kelompok, adanya aktivitas anggota yang terlibat dalam perjalanan program tersebut berarti akan melahirkan aktivitas anggota, sehingga dapat dikatakan kelompok semakin dinamis. Kompetensi Fasilitator (X3) Besarnya nilai korelasi antara kompetensi fasilitator dengan perilaku berusaha dan keberdayaan ekonomi disajikan pada Tabel 57.
Hasil analisis
tersebut menunjukkan: (a) Kemampuan berkomunikasi seorang fasilitator berhubugan sangat nyata dengan pengetahuan seseorang, hal ini berarti semakin baik kemampuan fasilitator dalam berkomunikasi akan meningkatkan pengetahuan seseorang dalam berusaha. Untuk menyampaikan informasi atau teknologi agar dapat dimengerti oleh seseorang memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik, terutama komunikasi verbal. Demikian halnya, untuk mengubah sikap seseorang perlu didekati sampai ranah afektif dengan mengkomunikasikan sesuatu secara benar agar tidak terjadi salah pengertian.
Kemampuan
berkomunikasi juga dapat meningkatkan kemampuan seseorang mengambil keputusan, hal ini dapat terjadi karena dengan kemampuan berkomunikasi yang baik fasilitator dapat meyakinkan seseorang bahwa dirinya mampu memutuskan sendiri atas segala sesuatu tanpa tergantung pihak lain.
153 Tabel 57. Hubungan antara Kompetensi Fasilitator dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Pendapatan (Y2.1)
Pengambilan Kptsn (Y2.2)
Kemampuan 0,188** 0,170* 0,109 Komunikasi (X3.1) Kemampuan 0,194** 0,207** 0,142* Mengajar (X3.2) Kemampuan 0,179* 0,211** 0,116 Memotivasi (X3.3) Kompetensi 0,182* 0,214** 0,102 (X3) Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
0,097
0,095
0,354**
0,101
-0,097
0,156*
0,079
0,285**
0,067
-0,106
0,132
0,107
0,343**
0,132
-0,038
0,114
0,116
0,346**
0,093
-0,069
Perilaku beruKomsaha petensi fas.
Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Kemapanan usaha (Y2.3)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
(b) Kemampuan mengajar seorang fasilitator berhubungan nyata dengan perilaku berusaha (pengetahuan, sikap dan keterampilan), artinya semakin baik kemampuan mengajar seorang fasilitator dapat meningkatkan kapasitas seseorang dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini dapat dipahami bahwa peran fasilitator tidak jauh berbeda dengan peran seorang guru dalam mengajarkan sesuatu (ilmu, teknologi) kepada muridnya. Teknik mengajar yang baik akn memudahkan seorang murid menerima dan mencerna ilmu yang mereka dapat. Pertimbangan ilmiah yang didapat juga berguna sebagai dasar pengambilan keputusan yang dilaukan seseorang. (c) Kemampuan memotivasi orang lain dari seorang fasilitator berhubungan nyata dengan pengetahuan dan sikap seseorang dalam berusaha, hal ini berarti semakin baik kemampuan fasilitator dalam memotivasi seseorang akan
semakin
meningkat
pula
pengetahuan
dan
sikap
seseorang.
Kemampuan memotivasi identik dengan memberikan dorongan mental (aspek emosional) kepada pihak lain, demikian halnya sikap seseorang juga berada pada aspek emosional sehingga bila memiliki sikap tertentu agar mau berubah, maka ia perlu dimotivasi oleh pihak lain. Pertimbangan psikologis tersebut juga bermanfaat bagi seseorang dalam menentukan atau mengambil keputusan untuk melaksanakan suatu usaha yang akan mereka lakukan. (d) Kompetensi fasilitator ternyata memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga, meskipun tidak nyata hubungan negatif tersebut dapat dijelaskan bahwa fasilitator sebaiknya memiliki
154 kompetensi yang seimbang dan cukup dalam kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengajar, dan kemampuan berkomunikasi. Faktor Pendukung Usaha (X4) Besarnya nilai korelasi antara faktor pendukung dengan perilaku berusaha disajikan pada Tabel 58. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua faktor pendukung (kecuali iklim usaha) berhubungan nyata dengan perubahan perilaku seseorang.
Secara rinci masing-masing indikator faktor pendukung
dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 58. Hubungan antara Faktor Pendukung dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Penda -patan (Y2.1)
Pengam -bilan Kptsn (Y2.2)
Ketersediaan 0,282** 0,131 0,370** sarpras (X4.1) 0,357** 0,040 0,236** Keterjangkauan harga (X4.2) Modal awal (X4.3) 0,172* 0,235** 0,347** Pasar hasil (X4.4) 0,157 0,136 0,505** 0,211* 0,078 0,022 Penyuluhan dinas(X4.5) Iklim Usaha (X4.6) 0,020 -0,003 0,091 Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
0359**
0,124
0,425**
Perilaku berusaha Faktor pendukung
Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
0,572**
Kemapanan usaha (Y2.3) 0,407**
0,026
0,549**
0,375**
-0,134
0,397** 0,491** 0,198*
0,079 0,157 -0,124
0,241** 0,348** 0,204*
0,038 0,323** 0,293**
-0,069 -0,066 -0,114
0,042
0,059
0,053
0,046
0,044
0,025
(a) Ketersediaan sarana prasarana produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku berusaha, artinya semakin baik ketersediaan sarana prasarana produksi akan semakin meningkat pula kapasitas seseorang dalam berusaha (terutama pengetahuan dan keterampilannya). Sarana produksi merupakan faktor produksi yang harus ada dalam proses produksi.
Sarana produksi
(input) dikombinasikan berbekal pengetahuan dan keterampilan tertentu untuk memperoleh hasil (output) yang diharapkan. Kombinasi optimal antar berbagai faktor produksi akan mendatangkan keuntungan yang optimal pula. (b) Keterjangkauan harga sarana produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku berusaha, artinya bila harga sarana produksi semakin terjangkau atau semakin murah maka semakin tinggi pula perilaku seseorang (terutama pengetahuan dan keterampilannya).
Sarana produksi akan semakin
terjangkau bila harganya semakin murah, sehingga seseorang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan ilmu pengetahuan atau
155 mempraktikkan keerampilan yang mereka miliki.
Oleh karena itu strategi
pengadaan dan pelayanan sarana produksi dengan harga yang murah akan sangat menentukan produktivitas. Bila harga sarana produksi masih tinggi, bila perlu diberikan subsidi harga agar mereka dapat menjangkau demi pencapaian target produksi.
Kebijakan seperti ini masih dijalankan oleh
pemerintah dalam pengadaan sarana produksi pertanian untuk mencapai target produksi. (c) Modal awal berhubungan sangat nyata dengan perilaku (kapasitas) berusaha seseorang, hal ini berarti semakin besar modal awal dimiliki seseorang akan semakin tinggi kapasitas seseorang.
Modal awal merupakan alat untuk
menjangkau sarana prasarana produksi usaha yang akan dijalankan, bila modal awal mencukupi maka sarana prasarana dapat dijangkau, sebaliknya bila modal awal terbatas maka sarana prasarana sulit terjangkau. Ketersediaan sarana prasarana merupakan faktor penentu keberhasilan dalam proses produksi selanjutnya. (d) Ketersediaan pasar hasil produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku (kapasitas) berusaha, artinya bila hasil produksi semakin terjamin dalam pemasarannya maka semakin tinggi pula kapasitas seseorang. Pasar hasil merupakan faktor yang tidak dapat dikuasai oleh produsen karena berlakuknya hukum pasar (harga merupakan fungsi dari penawaran dan permintaan), sehingga bila produk tertentu terjamin dalam pemasarannya akan mendorong seseorang produsen untuk lebih menguasai teknik produksi barang yang laku di pasaran tersebut agar produktivitasnya meningkat. (e) Penyuluhan dinas terkait berhubungan nyata dengan perilaku berusaha, artinya semakin tinggi intensitas penyuluhan diterima seseorang akan meningkatkan kapasitas berusaha seseorang (terutama pengetahuannya). Penyuluhan merupakan proses pembelajaran atau penyampaian informasi dan teknologi yang diberikan oleh penyuluh (yang memiliki kompetensi tertentu) kepada sasaran agar mereka tahu, mau, dan mampu menerapkan dalam usaha tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa peran penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan (peran penyuluh sebagai guru) tidak dapat diabaikan meskipun mereka sudah mendapatkan fasilitasi, pelatihan, atau pendampingan dari pihak lain.
156 Dinamika Kelompok (X5) Besarnya nilai korelasi antara dinamika kelompok dengan perilaku berusaha dan keberdayaan ekonomi disajikan pada Tabel 59.
Dari hasil uji
tersebut dapat dipahami sebagai berikut: Tabel 59. Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Pengetahu an (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keterampilan (Y1.3)
Perilaku Berusaha (Y1)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
Tujuan klp (X5.1)
0,273**
0,064
0,194**
0,042
0,122
Struktur klp (X5.2)
0,124
0,006
0,064
-0,107
0,047
Fungsi tugas (X5.3)
0,126
-0,041
0,131
-0,070
0,056
Pembinaan (X5.4)
0,127
-0,106
0,068
-,130
0,037
Kekompakan (X5.5)
0,137
0,020
0,093
-0,071
0,105
Ketegangan (X5.6)
0,081
-0,162*
-0,051
-0,254**
0,103
Efektivitas (X5.7)
0,061
0,007
0,143*
-0,083
0,220**
Kepemimpinan (X5.8)
0,168*
0,004
0,017
-0,099
0,108
Kepuasan (X5.9)
0,077
-0,028
0,024
-0,172
0,150
Dinamika (X5)
0,132
0,023
0,080
-0,107
0,084
Perilaku beruDinamika klp. saha
Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
(a) Unsur-unsur dinamika kelompok (tujuan, struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, ketegangan, efektivitas, kepemimpinan, kepuasan anggota) secara bersama-sama tidak berhubungan nyata dengan perilaku berusaha dan nilainya negatif. Hal ini dapat dijelaskan selama ini pembinaan program selalu mengatasnamakan kelompok, padahal mereka melakukan usaha ekonomi produktif secara perorangan. Selama ini antar anggota terjadi persaingan terselubung terutama munculnya rasa iri anggota yang tidak mendapatkan pinjaman atau bantuan program terhadap anggota yang mendapatkan pinjaman atau bantuan dari program CSR. Namun, secara terpisah
ketegangan
kelompok
berhubungan
nyata
dengan
perilaku
berusaha, dan arah hubungan tersebut bersifat negatif. Hal ini berarti bila suasana kelompok semakin tegang, kondisi tersebut bersifat kontra produktif, yag mengakibatkan penurunan kapasitas anggota. Oleh karena itu, suasana dalam kelompok perlu dijaga supaya dalam menjalankan program kegiatan dapat berjalan optimal.
Ketegangan perlu dipertahankan, namun sampai
batas tertentu harus dikurangi, sebaliknya suasana kelompok tidak boleh
157 terlalu lembek atau terlalu santai, sebab kondisi demikian juga akan bersifat kontra produktif, anggota tidak merasa terpacu untuk lebih beraktivitas produktif. (b) Unsur-unsur dinamika kelompok (tujuan, struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, ketegangan, efektivitas, kepemimpinan, kepuasan anggota) secara bersama-sama tidak berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga, namun secara terpisah semakin tinggi efektivitas kelompok semakin tinggi pula tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga. Ha ini dapat dipahami bahwa kelompok yang efektif berarti kemampuan kelompok dalam mencapai tujuan bersama semakin baik. Setiap kelompok pasti bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya, sehingga bila pencapaian tujuan kelompok atau kinerja kelompok makin efektif secara tidak langsung kesejahteraan anggota akan terangkat. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Masyarakat Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku (kapasitas) berusaha, berbagai peubah bebas yang diteliti yang memiliki hubungan dengan peubah terikat selanjutnya dianalisis dengan batuan perangkat lunak LISREL. mendapatkan
persamaan
Langkah pertama dalam pengolahan data untuk matematis
oleh
perangkat
tersebut
adalah
mengevaluasi seberapa besar nilai reliabilitas dan validitas indikator (sub peubah) yang akan digunakan sebagai dasar perumusan model persamaan. Reliabilitas dan Validitas Peubah dalam Model Dalam mengevaluasi model pengukuran, difokuskan pada hubunganhubungan antar peubah laten dan indikatornya (peubah manifest) (Ghozali dan Fuad, 2005:316).
Tujuan dalam mengevaluasi model pengukuran ini adalah
untuk menentukan validitas dan reliablitas indikator-indikator dari suatu konstrak. Uji validitas merupakan suatu uji yang bertujuan untuk menentukan kemampuan suatu indikator dalam mengukur peubah laten tersebut, sedangkan uji reliabilitas adalah suatu pengujian untuk menentukan konsistensi pengukuran indikatorindikator dari peubah suatu peubah laten.
Validitas suatu indikator sebenarnya
dapat dievaluasi dengan tingkat nyata pengaruh antara suatu peubah laten
158 dengan indikatornya. Hubungan langsung antara indikator dan peubah laten (λ) tersebut digambarkan dalam persamaan berikut: x = λξ + δ Keterangan: x = indikator peubah laten eksogen λ = peubah laten ξ = peubah laten eksogen δ = kesalahan pengukuran (measurement error) untuk peubah eksogen Hasil analisis Lisrel dalam menguji validitas dan reliabilitas konstrak untuk setiap konsep peubah adalah sebagai berikut: (1) Karakteristik sampel Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep karakteristik sampel seperti terlihat pada Tabel 60.
Berdasarkan Tabel 60 nilai chi-kuadrat =
2,12, dan P-value = 0.34. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu karakteristik sampel (unidimensional). Tabel 60. Validitas dan Reliabilitas Konsep Karakteristik Sampel R2
Item X3 (jumlah tanggungan keluarga) X4 (pengalaman usaha) X5 (persepsi terhadap CSR) X6 (pemilikan lahan)
Koefisien Validitas 0.01 0.08
t-test 0.90
0.32
0.56
5.60
Goodness of fit Chi-kuadrat= 2.12, p-value= (0.34) RMSEA=0.017
0.19
0.43
4.84
GFI= 0.994
0.51
0.71
6.20
Construct Reliability 0,198
Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability / CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.08 + 0.56 + 0.43 + 0.71)
2
( 0.08 + 0.56 + 0.43 + 0.71 + 0.99 + 0.68 + 0.80 + 0.49)
2
= 3,1684 / 22,4676 = 0,198
Berdasarkan Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai t tidak semua berada di atas 1,65, namun demikian item-item konsep karakteristik sampel sudah memilki validitas untuk mengukur konsep karakteristik sampel. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
159
Gambar 7. Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel
Gambar 8. Nilai t Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel Reliabilitas item X3 (jumlah tanggungan keluarga) adalah sebesar 0.08; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep karakteristik sampel sebesar 8%; item X4 (pengalaman berusaha) adalah sebesar 0,56; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 56%; item X5 (persepsi terhadap CSR) adalah sebesar 0,43; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 43%; dan item X6 (pemilikan lahan) adalah sebesar 0,71; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 71%. indikator
(pendidikan
formal)
ternyata
tidak
valid
dalam
Satu
mengukur
karakteristik individu. Hal ini disebabkan pendidikan sampel relatif homogen, yakni berpendidikan SLTP.
160 (2) Kualitas program CSR Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep kualitas program CSR seperti terlihat pada Tabel 61.
Berdasarkan Tabel 61 nilai chi-kuadrat = 0, dan P-
value =1. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut sudah mengukur konsep yang sama, yaitu kualitas program CSR (unidimensional). Tabel 61. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kualitas Program CSR R2
Item X7 (kualitas perencanaan) X8 (kualitas pelaksanaan) X9 (kompatibilitas program)
0,83
0,91
5,89
Goodness of Construct fit Reliability Chi-kuadrat=0, 0,81 p-value =1 RMSEA=0,027
0,85
0,92
5,37
GFI=0,99
0,76
Koefisien tValiditas test 0,87 7,44
Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability / CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut: 7,29 (0,87+0,91+0,92)2 CR = ----------------------------------------------- = ------- = 0,81 9 (0,76+0,83+0,85+0,24+0,17+0,15)2 Berdasarkan Tabel 61 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian item-item pada konsep kualitas program CSR sudah memilki validitas untuk mengukur konsep kualitas program CSR. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 0,32
X7
0,87 0,25
X8
0,91
Kualitas CSR
0,92 0,21
X9
Chi-Square=0,00,
Gambar 9.
df=0,
P-value=1,00000,
RMSEA=0,000
Koefisien Validitas untuk Konsep Kualitas Program CSR
1,00
161
1,02
X7
7,44 1,12
X8
Kualitas CSR
5,89
0,00
5,37 1,09
X9
Chi-Square=0,00,
df=0,
P-value=1,00000,
RMSEA=0,000
Gambar 10. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kualitas Program CSR Reliabilitas item X7 (kualitas perencanaan) adalah sebesar 0.87; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 87%; item X8 (kualitas pelaksanaan) adalah sebesar 0,91; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 91%; dan item X9 (keberlanjutan program) adalah sebesar 0,92; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 92%.
Satu indikator (keberlanjutan program) ternyata tidak valid dalam
mengukur kualitas program, hal ini disebabkan tidak ada variasi data. Semua sampel mengatakan bahwa program CSR saat ini masih berlanjut.
(3) Kompetensi Fasilitator Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep kompetensi fasilitator seperti terlihat pada Tabel 62. Berdasarkan Tabel 62, nilai chi-kuadrat = 0, dan P-value =1. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu kompetensi fasilitator (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.88 + 0.89 + 0.85)
2
( 0.88 + 0.89 + 0.85 + 0.22 + 0.21 + 0.27 )
2
= 6,8644 / 11,0224 = 0,6227
162 Tabel 62. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kompetensi Fasilitator R2
Item X11 (kemampuan berkomunikasi) X12 (kemampuan mengajar) X13 (kemampuan memotivasi)
Koefisien Validitas 0.78 0.88 0.79
0.89
0.73
0.85
t-test
Goodness of fit 15.31 Chikuadrat=0, p-value =1 15.39
Construct Reliability 0,6227
1 4.53
Berdasarkan Tabel 62 menunjukkan nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep Kompetensi Fasilitator sudah memilki vaiditas untuk menukur konsep Kompetensi Fasilitator. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Reliabilitas item X11 (kemampuan berkomunikasi) adalah sebesar 0,88; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 88%; item X12 (kemampuan mengajar) sebesar 0,89; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 89%; dan item X13 (kemampuan memotivasi) sebesar 0,85; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 85%.
Gambar 11. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Kompetensi
163
Gambar 12. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kompetensi (4) Faktor pendukung Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep faktor pendukung seperti terlihat pada Tabel 63. Berdasarkan Tabel 63 bahwa nilai chi-kuadrat = 4,33, dan P-value = 0,05. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu faktor pendukung (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.94 + 0.75 + 0.31 + 0.33 + 0.38)
2
( 0.94 + 0.75 + 0.31 + 0.33 + 0.38 + 0.12 + 0.44 + 0.90 + 0.89 + 0.86 )
2
= 7,344 / 25
= 0,293
Tabel 63. Validitas dan Reliabilitas Konsep Faktor Pendukung R2
Item X14 (ketersediaan sarpras usaha) X15 (keterjangkauan harga sarpras) X16 (modal awal) X18 (penyuluhan dinas terkait) X19 (iklim usaha)
Koefisien Validitas 0.88 0.94
t-test 12.87
0.56
0.75
10.32
0.10 0.11
0.31 0.33
4.25 4.51
0.14
0.38
5.20
Goodness of Construct fit Reliability Chi-kuadrat= 0,293 4.33,p-value= (0.50) RMSEA=0.000 GFI= 0.99
Berdasarkan Tabel 63 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep faktor pendukung
164 sudah memilki vaiditas untuk mengukur konsep faktor pendukung. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Reliabilitas item X14 (ketersediaan sarana prasarana usaha) adalah sebesar 0,94; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 91%; item X15 (keterjangkauan harga sarana prasarana usaha) adalah sebesar 0,75; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 93%; item X16 (modal awal) adalah sebesar 0,31; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 31%;
item X18 (penyuluhan dinas terkait) adalah
sebesar 0,33; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 33%; X19 (iklim usaha) adalah sebesar 0,38; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 38%. Satu indikator (ketersediaan pasar hasil) ternyata tidak valid sebagai dalam mengukur faktor pendukung usaha, hal ini disebabkan tidak ada variasi data (data bersifat homogen), semua sampel merasa bahwa pasar hasil usaha mereka cukup tersedia.
Gambar 13. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Faktor Pendukung
165
Gambar 14 . Nilai t Koefisien Validitas Parameter Konsep Faktor Pendukung (5) Dinamika kelompok Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep dinamika kelompok seperti terlihat pada Tabel 64.
Berdasarkan Tabel 64 nilai chi-kuadrat =
12.94, dan P-value = 0.17. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu dinamika kelompok (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.91+ 0.93+ 0.92 + 0.79 + 0.59 + 96)
2
( 0.91+ 0.93+ 0.92 + 0.79 + 0.59 + 96+ 0.09+ 0.07 + 0.08+ 0.21+ 0.41+ 0.04)
2
=
26,01 = -------- = 0,7225 36 Tabel 64. Validitas dan Reliabilitas Konsep Dinamika Kelompok Item
R2
X21 (struktur kelompok)
0.91
X22 (fungsi tugas) X23 (pembinaan) X24 (kekompakan) X26 (efektivitas) X27 (kepemimpinan)
0.93 0.92 0.79 0.59 0.96
Koefisien t-test Validitas 0.95 18.20 0.96 0.96 0.89 0.77 0.98
18.51 18.41 16.10 12.81 19.22
Goodness of fit Chi-kuadrat= pp-value= 12.94 (0.17) RMSEA=0.0077 GFI= 0.98
Construct Reliability 0,7225
166
Berdasarkan Tabel 64 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep dinamika kelompok sudah memilki validitas untuk mengukur konsep dinamika kelompok. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
. Gambar 15. Taksiran Koefisien Validitas dalam Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok
Gambar 16. Nilai t dalam Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok Reliabilitas item X21 (struktur kelompok) adalah sebesar 0.91; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar
167 91%; item X22 (fungsi tugas) adalah sebesar 0,93; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 93%; item X23 (pembinaan) adalah sebesar 0,92; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok
sebesar 92%;
item X24 (kekompakan)
adalah sebesar 0,79; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok
sebesar 79%; X26 (efektivitas) adalah sebesar 0,59;
artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 59%; dan X27 (kepemimpinan) adalah sebesar 0,96; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 96%. Tiga indikator dinamika kelompok (persepsi terhadap tujuan, ketegangan, dan kepuasan kelompok) ternyata tidak valid dalam mengukur peubah dinamika kelompok. Hal ini disebabkan data ketiga indikator hasil pengukuran bersifat homogen. Dalam proses analisis selanjutnya, hanya indikator-indikator yang memiliki koefisien validitas yang diterima yang dimasukkan sebagai input untuk mendapatkan hasil (output) model persamaan struktural yang memenuhi kriteria statistik.
168 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Berusaha dan Tingkat Keberdayaan Ekonomi Rumah Tangga Hubungan atau pengaruh antar peubah tersebut melahirkan suatu model yang dapat digunakan untuk merumuskan konsep pemberdayaan ekonomi rumah tangga.
Untuk melihat besarnya pengaruh peubah bebas terhadap
peubah terikat, analisis data dilakukan dengan LISREL 8.5. Berdasarkan sebagian output LISREL menunjukkan nilai chi-kuadarat= 214.39, dan derajat bebas, df=199 dengan p-value = 0.21609 (P >0.10). Kesimpulannya, model fit dengan data. Selain itu, ukuran lain seperti RMSEA, RMR, dan GFI sudah memenuhi batas-batas ambang yang diizinkan masingmasing di bawah 0.08, 0,05, dan di atas 0.90.
Rangkuman output Lisrel
disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Hasil Pengolahan Ukuran-ukuran Statistik Evaluasi Model LISREL Ukuran Statistik
Nilai
Keterangan
Chi-Kuadrat
214,39
Fit
P-Value
0.21609
Fit (P>0,10)
RMSEA
0.00
Diterima (<0,08)
RMR
0.03026
Diterima (<0,05)
GFI
0.9935
Diterima (>0,90)
Berdasarkan output LISREL, selanjutnya ditemukan besarnya pengaruh antar peubah yang diteliti. Secara ringkas, besarnya pengaruh antar peubah yang diteliti disajikan pada Tabel 66. Dari Tabel 66 dapat kita pahami bahwa: (1)
Faktor kualitas program CSR memilki efek relatif kecil atau tidak nyata terhadap dinamika kelompok, yaitu sebesar 0.34%. Persamaannya adalah: X5 = -0,585 X2 Dinamika kelompok = -0.0585 kualitas program CSR Hal ini dapat dipahami dari hasil temuan di lapangan bahwa kualitas program CSR selama ini belum baik, hal ini didukung oleh indikasi beberapa program yang tidak berkelanjutan, misalnya pada usaha mitra jahitan. Pembinaan dan kelanjutan program mitra jahitan berhenti di tengah jalan akibat beberapa anggota kelompok pindah tempat tinggal dan kualitas jahitan yang tidak memenuhi standar kualitas yang diharapkan oleh
169 perusahaan, namun upaya peningkatan kualitas jahitan anggota kelompok tidak ditingkatkan dan tidak difasilitasi lagi oleh perusahaan.
Kualitas
program yang kurang baik disebabkan penyusunan program CSR tidak melibatkan masyarakat sekitar sebagai kelompok sasaran (subyek dan obyek program).
Selama ini perusahaan melakukan pendekatan pada
individu pengurus, sehingga program CSR dinilai oleh masyarakat hanya akan menguntungkan pihak perusahaan saja. Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap tawaran program dari perusahaan. Kondisi ini pada setahun terakhir diperburuk oleh pelaksanaan program di lapangan, perilaku ”oknum” wakil perusahaan yang kurang berpihak pada kelompok mitra. Tabel 66. Pengaruh antar Peubah dalam Model Peubah tak bebas
Peubah bebas
Dinamika Kelompok (X5)
Kualitas Program CSR (X2) Karakter Individu (X1) Kualitas Program CSR (X2) Kompetensi Fasilitator (X3) Faktor Pendukung (X4) Karakter Individu (X1) Faktor Pendukung (X4)
Perilaku Berusaha (Y1)
Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2)
Koefisien (Unstandardized) -0,0396
Koefisien (Standardized) -0,0585
nilai-t
Ket.
-0,81
TidakNyata
0,0165
0,0456
0,70
0,0036
0,0343
0,52
TidakNyata TidakNyata
0,0954
0,1861
2,88
Nyata
0,0653
0,3791
5,85
Nyata
-0,0273
-0,1530
-3,96
Nyata
-0,0106
-0,1243
-2,95
Nyata
Penetapan harga beli sapi potong oleh perusahaan belum menguntungkan peternak, sebab petani membeli bakalan seharga Rp.20.000,00 per kg tetapi pembelian sapi hasil penggemukan kurang dari Rp.19.000,00 per kg. Peternak sudah mengajukan keberatan agar selisih harga jual sapi dengan harga bakalan tidak sampai Rp.1.000,00 per kg, namun mereka tidak memiliki daya melawan perusahaan akibat posisi dalam klausul kontrak beli bakalan yang digemukkan harus dijual kembali ke perusahaan.
Akibat
selanjutnya, beberapa anggota kelompok yang sudah memiliki modal dan
170 mampu membeli bakalan dari pasaran bebas memutuskan keluar dari kelompok dan tidak terikat lagi dengan program kemitraan perusahaan. Mereka dapat menjual hasil penggemukannya di pasaran bebas, sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang wajar dari hasil usahanya. Penetapan harga beli sapi hasil penggemukan oleh perusahaan yang tidak dicantumkan dalam kontrak merupakan sebab utama lemahnya posisi tawar peternak terhadap manajemen perusahaan.
Dalam dua tahun terakhir
peternak merasa penetapan harga beli sapi oleh perusahaan tidak transparan, sapi yang sudah ditimbang dan bahkan sudah diangkut ke perusahaan, namun peternak belum tahu harga jual per kilogram yang akan mereka terima. Setelah mereka diberi tahu oleh pihak perusahaan, harga yang mereka terima selalu lebih rendah dari harga pasar. Secara administratif, ternyata kontrak kerjasama antara perusahaan dengan kelompok peternak juga tidak diperbaharui setiap satu masa penggemukan (tiga sampai empat bulan) atau setiap tahun.
Kontrak terakhir yang ditanda-
tangani 29 Juni 2001. (2) Faktor Karakter Individu, Kualitas Program CSR, Kompetensi Fasilitator, dan Faktor Pendukung besarnya pengaruh secara simultan terhadap Perilaku Berusaha adalah 20%. Secara parsial, faktor Kompetensi Fasilitator dan Faktor Pendukung pengaruhnya nyata terhadap Perilaku Berusaha, tetapi faktor Karakter Individu dan Kualitas Program CSR pengaruh sangat kecil atau kurang nyata. Persamaannya adalah: Y1 = 0,0456 X1 + 0,0343 X2 + 0,1861 X3 + 0,3791 X4 Perilaku Berusaha = 0.0456 Karakter Individu + 0.0343 Kualitas Program CSR + 0.1861 Kompetensi Fasilitator + 0.3791 Faktor Pendukung Dari persamaan tersebut dapat dipahami bahwa: (a) semakin tinggi kualitas karakter seseorang, perilaku berusahanya semakin tinggi pula; (b) semakin baik kualitas program CSR maka perilaku berusaha masyarakat juga semakin baik; (c) semakin baik kompetesi fasilitator maka semakin baik pula perilaku berusaha masyarakat; dan (d) semakin baik faktor pendukung maka semakin baik pula perilaku berusaha masyarakat. Hasil ini didukung dari temuan di lapangan bahwa: (a) Dalam analisis peubah karakter yang diwakili indikator tingkat pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan
171 lahan secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan mempunyai pengaruh positif terhadap peningakatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor karakter individu, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan sebesar 0,0456. (b) Kualitas program CSR yang diwakili indikator perencanaan program, pelaksanaan, dan kompatibiltas program secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas perencanaan program, kualitas pelaksanaan
program,
dan
kompatibilitas
program
mempunyai
pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor kualitas perencanaan program, pelaksanaan program, dan kompatibilitas program sebesar 0,0343. (c)
Kompetensi Fasilitator yang diwakili oleh indikator kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi fasilitator mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi sebesar 0,1861. Fasilitator atau penyuluh menurut Mosher (1980) sebaiknya dapat berperan sebagai guru, penganalisis, penasehat, dan organisator. Hal ini selaras dengan kualifikasi yang semestinya dimiliki oleh seorang penyuluh (Mardikanto, 1992:48-49) adalah kemampuan berkomunikasi, kemampuan pengetahuan inovasi dan masyarakat sasaran, kemampuan bersikap positif dan bangga
172 terhadap profesi serta menyintai masyarakat sasaran.
Fasilitator
program CSR di Provinsi Lampung selama ini diperankan oleh berbagai pihak. Fasilitator program perusahaan A diperankan oleh petugas ata karyawan perusahaan, sedangkan fasilitator perusahaan B diperankan oleh pihak perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan A masih belum sepenuhnya percaya pada pihak ketiga, hal ini dikhawatirkan masih adanya pembelaan kepentingan perusahaan dalam program CSR yang dijalankan. melepaskan
Bila perusahaan belum sepenuhnya mau
program-programnya,
perusahaan
dapat
meminta
pemerintah daerah (dinas terkait) untuk menjalankan peran sebagai fasilitator. (d) Faktor pendukung yang diwakili oleh indikator ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha sebesar 0,3791. (3) Faktor Karakter Individu (X1) and Faktor Pendukung (X4) secara parsial berpengaruh negatif terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2). Besarnya pengaruh kedua faktor terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2) tersebut secara simultan sebesar 71%. Persamaannya adalah: Y2 = -0,15 X1 – 0,12 X4 Tingkat Keberdayaan Ekonomi= -0.15 Karakter Individu -0.12 Faktor Pendukung Tingkat keberdayaan ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh karakter individu masyarakat dan faktor pendukung program yang tersedia,
173 meskipun
tingkat
keberdayaan
ekonomi
rumah
tangga
masyarakat
berbanding terbalik dengan karakter individu dan faktor pendukung. Dengan kata lain karakter individu (tingkat pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan) secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan penurunan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga (tingkat pendapatan usaha ekonomi produktif, pengambilan keputusan, kemapanan usaha). Hal tersebut dapat dipahami dari temuan di lapangan bahwa tingkat pendapatan usaha ekonomi produktif mayoritas masyarakat masih rendah, tingkat pengambilan keputusan dalam berusaha sebagian besar merupakan masukan dari pihak lain (bergabung dalam kelompok), dan usaha mereka belum mapan.
Demikian halnya dengan
faktor pendukung (ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha) yang berpengaruh negatif terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumahtangga. Bila faktor pendukung semakin baik berakibat terjadinya penurunan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa selama ini ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha selalu diatasi secara bersama-sama oleh kelompok. Mereka secara sendiri-sendiri belum mampu mengatasi masalah ketersediaan sarana produksi, modal usaha, maupun iklim usaha yang kurang kondusif. Dari hasil analisis LISREL besarnya pengaruh antar peubah laten dapat kita ketahui dari nilai Standardized total effect Y on Y terlihat pada Tabel 67. Dari hasil tersebut secara sederhana untuk dipahami melalui sajian pada Tabel 68. Dari Tabel 67 dapat diketahui bahwa bila kita bandingkan dengan nilai t berada di antara -1,65 dan 1,65 sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku berusaha (kapasitas berusaha) memiliki efek yang nyata terhadap tingkat keberdayaan ekonomi, sementara itu dinamika kelompok memiliki efek yang tidak nyata terhadap perilaku berusaha yang artinya efek tersebut relatif kecil.
Tabel 67. Total Pengaruh antara Peubah Laten Standardized Total Effects of X on Y
174
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Karakter Individu
Program CSR
Kompetensi Fasilitator
Faktor Pendukung
-0,1129 0,0456 -
0,0252 0,0287 -0,0585
0,1635 0,1861 -
0,2088 0,3791 -
Standardized Indirect Effects of X on Y
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Karakter Individu
Program CSR
Kompetensi
Faktor Pendukung
0,0401 -
0,0252 -0,0056 -
0,1635 -
0,3331 -
Standardized Total Effects of Y on Y
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Keberdayaan Ekonomi RT
Perilaku Usaha
Dinamika Kelompok
-
0,8788 -
0,0958 -
Tabel 68. Pengaruh antar Peubah Terikat dalam Model Peubah
Perilaku Berusaha
Perilaku Berusaha
Tingkat Keberdayaan Ekonomi
-
0,8788
Dinamika Kelompok
0,0958
-
Nilai Statistik-t
1,4985
20,91
Keterangan
Nyata Tidak Nyata
Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Faktor Perilaku Berusaha (Y1) memilki pengaruh yang nyatas terhadap faktor Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2). Besarnya pengaruh Perilaku Berusaha (Y1) terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2) adalah = (0.1310)x (0.1310)/((0.0789)x(0.3220)) = 0,6718 x 100% = 87,88% Persamaannya adalah Y2 = 0,8788 Y1 Tingkat Keberdayaan Ekonomi = 0.8788 Perilaku Berusaha Dari persamaan tersebut berarti tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga
sangat
dipengaruhi
oleh
perilaku
berusaha
(pengetahuan,
keterampilan, dan sikap). Oleh karena itu, untuk mencapai keberdayaan
175 ekonomi rumah tangga harus dimulai dengan meningkatkan kualitas perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Dengan kata lain, kontribusi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap berusaha ekonomi produktif cukup nyata dalam mencapai keberdayaan ekonomi rumah tangga. (2) Faktor dinamika kelompok pengaruhnya sangat kecil (tidak nyata) terhadap Perilaku Berusaha. Besarnya adalah = (0.1921)x (0.1921)/((13.3340)x(0.3220)) = 0,00859 x 100 % = 0,958% Persamaannya adalah:Y1 = 0,0958 X5 Perilaku Berusaha = 0.0958 Dinamika Kelompok Meskipun pengaruh dinamika kelompok terhadap perilaku berusaha tidak nyata, dinamika kelompok (yang diwakili indikator struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, efektivitas, dan kepemimpinan dalam kelompok) tidak berarti tidak berpengaruh terhadap kualitas perilaku berusaha. Meskipun pengaruhnya kecil dan kurang nyata, dinamika kelompok tetap harus ditumbuhkan dan ditingkatkan serta dikelola dengan baik. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pendekatan kelompok merupakan strategi pembinaan yang cukup efektif dalam mengubah perilaku, namun juga efisien dalam pemanfaatan waktu, tenaga, dan biaya. Masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program CSR yang jumlahnya cukup besar akan sulit dijangkau dengan pendekatan perorangan, karena memerluka waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar. Sebaliknya, bila pendekatan massal yang ditempuh hasilnya tidak optimal dan tidak efektif. Oleh karena itu, pendekatan kelompok sebagai strategi pendekatan dalam implementasi program CSR masih cukup rasional. Hasil analisis data dengan LISREL 8.5 menghasilkan output (model persamaan untuk pemberdayan masyarakat melalui pelaksanaan program CSR) disajikan pada Gambar 17 dan 18.
176
KARAKTER INDIVIDU
1,0
-0,15
-0,12
-0,10
TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI
0,29
0,05
1,0
KUALITAS PROGRAM CSR
0,88 0,03
0,09
-0,00
-0,06
1,0
0,09
KOMPETENSI FASILITATOR
0,09
0,19
-0,12
0,38
1,0
PERILAKU BERUSAHA
0,79
0,09
DINAMIKA KELOMPOK
1,0
FAKTOR PENDUKUNG
Chi-Square=214,39, df=199, P-value=0,21609, RMSEA=0,020
Gambar 17. Taksiran Parameter dalam Persamaan Struktural Implikasi dari model pemberdayaan ekonomi masyarakat pada Gambar 17 melalui implementasi program CSR adalah sebagai berikut: (1)
Tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas perilaku berusaha masyarakat. Peningkatan kualitas perilaku berusaha meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap usaha ekonomi produktifnya. Dalam kasus program CSR di Provinsi Lampung, pengetahuan dan keterampilan usaha penggemukan sapi potong, usaha budidaya ubikayu, usaha menjahit pakaian, usaha ternak lele, usaha budidaya jamur tiram, dan usaha budidaya kakao harus ditingkatkan melalui proses pelatihan dan pendampingan dari pihak perusahaan dan dinas instansi terkait.
177
KARAKTER INDIVIDU
9,87
-1,69
-1,38
TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI
-3,96
9,87
0,70 20,91
KUALITAS PROGRAM CSR
9,87
0,53 -1,23
-0,07
-0,82
KOMPETENSI FASILITATOR
9,87
1,26
PERILAKU BERUSAHA
2,88
-2,95
1,19
9,87
1,50
5,86
DINAMIKA KELOMPOK
9,87
FAKTOR PENDUKUNG
9,87
Chi-Square=214,39, df=199, P-value=0,21609, RMSEA=0,020
Gambar 18. Nilai t dalam Persamaan Struktural (2)
Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah positif, maka kualitas program CSR, kompetensi fasilitator, dan faktor pendukung usaha harus ditingkatkan.
Kompetensi fasilitator dalam hal kemampuan
mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peran fasilitator tidak ubahnya seperti peran penyuluh yang karena statusnya sebagai pihak ketiga yang mewakili perusahaan dalam menjembatani program perusahaan di masyarakat sekitar perusahaan, fasilitator harus mampu berperan sebagai guru, penasehat,
dan
penganalisis
masalah
khalayak
sasaran
dengan
kemampuan yang memadai dalam hal berkomunikasi dan bersikap bangga terhadap
profesinya
dan
menyintai
khalayak
sasarannya.
Faktor
pendukung keberhasilan program CSR antara lain ketersediaan sarana prasarana usaha, keterjangkauan harga sarana prasarana usaha, modal
178 awal usaha, penyuluhan dari dinas terkait, dan iklim usaha harus ditingkatkan agar perubahan perilaku berusaha semakin meningkat. (3)
Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah positif juga dapat ditempu melalui upaya meningkatkan dinamika kelompok. Sasaran program CSR yang difokuskan melalui kelompok-kelompok masyarakat (kelompok tani, kelompok peternak, dan sebagainya) harus dibina dan didampingi agar kelompok dapat dijadikan wahana belajar, wahana produksi, dan wahana pengambilan keputusan bagi anggotanya. Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Program CSR Model (model konseptual) menurut Ensiklopedi Wikipedia adalah sebuah
konstrak teoritis yang mere-presentasikan sesuatu, dengan sekumpulan peubah yang memiliki hubungan kuantitatif dan logis. Dalam hal ini, model dibentuk atau disusun untuk memberikan alasan dalam kerangka berpikir idealis tentang suatu proses sebagai komponen penting dari teori ilmiah. Kerangka berpikir idealis berarti bahwa model di sini dengan membuat suatu asumsi eksplisit yang sebenarnya secara umum dapat dikatakan salah (atau tidak lengkap) bila dikaji secara detail. Asumsi tersebut dijustifikasi sebagai dasar untuk menyederhanakan model tersebut, yang diharapkan dapat memberikan solusi yang akurat. Selanjutnya dikatakan bahwa pemodelan merupakan bagian integral dari berbagai bidang seperti teknik, termasuk enjinering, ekonomi, dan perangkat lunak (modeling is an integral part of many technical fields, including engineering, economics, and software engineering). Model pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pelaksanaan program CSR dalam penelitian ini dihasilkan melalui serangkaian analisis terhadap data yang ada dibandingkan dengan model yang ditawarkan para ahli yang sudah dikaji dalam tinjauan pustaka. Dengan data yang ada serta temuan hasil analisis terhadap peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kapasitas masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif, penulis menawarkan lebih dari satu model. Model tersebut dirancang dengan mencocokkan data empirik yang ada dengan model teoritik yang dikemukakan para pakar. (1) Suatu model harus memiliki minimal dua kriteria (Yollies, 1996). Pertama, suatu model harus bersifat dinamik, artinya model harus bersifat responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan; hubungan di antara berbagai komponen yang ada dalam model harus saling mendukung. Kedua, model
179 harus memiliki probability, artinya model harus memberikan peluang bagi pengem-bangan
sistem yang
lebih
maksimal.
Pranadji (2003:131)
menyatakan alternatif model pemberdayaan masyarakat dapat dibangun dengan
cara
mengkom-binasikan
beberapa
strategi
pemberdayaan
masyarakat dengan faktor kritis yang ada. Adapun faktor-faktor kritis yang perlu dipertimbangkan adalah referensi waktu, kekomprehensifan (comprehensiveness), sebaran wilayah, diagnosis penyebab, dan sistem manajemen. Berdasarkan hasil analisis dan data pendukung yang ada, berikut ditawarkan dua model pemberdayaan masyarakat dalam implementasi program CSR perusahaan: (1) Model CSR Integratif Perusahaan agroindustri di Lampung sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian yang cukup luas (ratusan sampai puluhan ribu hektar) yang sebelumnya merupakan hutan primer atau sekunder yang di sekitarnya dihuni oleh penduduk asli setempat. Perusahaan tersebut memulai usahanya berbekal ijin pemanfaatan lahan berupa hak guna usaha (HGU) dari pemerintah pusat. HGU diberikan oleh pemerintah selama 25 tahun, dan setelah habis masanya dapat diperpanjang.
Masyarakat asli setempat mengklaim bahwa lahan atau
hutan tersebut adalah milik adat sebagai tanah ulayat. Pada jaman Orde Baru tuntutan masyarakat sekitar selalu ditanggapi dengan kekuasaan (memanfaatkan kekuatan ABRI) dalam menyelesaikan tuntutan masyarakat adat. Pengusaha (PMA dan PMDN) merasa berhak karena telah mengantongi ijin HGU, sehingga perusahaan tetap beroperasi meskipun seringkali mendapatkan gangguan (klaim atas kepemilikan lahan) dari masyarakat sekitar (masyarakat asli). Perkembangan perusahaan sangat terbantu oleh banyaknya tenaga kerja yang datang dari Jawa atau anak transmigran yang tinggal tidak jauh dari lokasi perusahaan.
Manajemen perusahaan menilai tenaga kerja asal Jawa dan
keturunannya memiliki etos kerja yang lebih baik (lebih tekun, rajin, dan patuh) dari pada penduduk asli setempat, akibatnya tenaga kerja atau karyawan perusahaan mayoritas pendatang dari Jawa. Penduduk asli etnis setempat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan menjadi seperti warga asing di tanah leluhurnya sendiri, mereka merasa iri karena kesempatan kerja pada perusahaan di sekitarnya relatif kecil.
Kecemburuan tersebut hanya dipendam sampai
mereka mampu bersaing secara sehat melalui jalur seleksi secara ketat agar
180 dapat diterima sebagai karyawan atau tenaga perusahaan yang mengolah lahan milik leluhurnya. Semenjak reformasi digulirkan tahun 1997, euforia terhadap kebebasan dan isu putra daerah menguat.
Beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat
sekitar perusahaan ramai-ramai menuntut kepada pihak manajemen perusahaan untuk meminta ganti rugi atas tanah “leluhurnya” yang telah digarap oleh perusahaan. Mereka juga menuntut persamaan hak untuk dapat diterima dan bekerja sebagai karyawan atau tenaga kerja (“tenaga harian lepas”) perusahaan. Namun, prosedur tetap dan standar baku persyaratan tidak dapat diabaikan serta rendahnya jumlah penerimaan tenaga kerja setiap tahunnya menyebabkan masyarakat asli sekitar perusahaan tetap kalah bersaing. Kemiskinan masyarakat asli sekitar perusahaan semakin meluas seiring rusaknya ekosistem dan lingkungan (terutama sungai) yang menjadi sumber pencaharian utamanya. Kehadiran
perusahaan
yang
membuang
limbah
cair
ke
sungai
menyebabkan masyarakat asli tidak bisa lagi memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi, mencuci, dan sumber air bersih, sehingga mereka membutuhkan sarana prasarana MCK yang baru. Kehadiran perusahaan tersebut juga memanfaatkan prasarana transportasi di wilayah sekitarnya,
keberadaan
kendaraan angkutan milik perusahaan menyebabkan rusaknya jalan dan jembatan di wilayah sekitarnya. Kondisi tersebut dapat dijadikan prioritas program model CSR perusahaan. Mengadopsi model dari Garriga dan Mele (Achwan, 2006) implementasi CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung dapat dilaksanakan dengan fokus pada upaya mengintegrasikan program CSR perusahaan dengan permintaan atau tuntutan masyarakat. Tuntutan umum masyarakat asli sekitar perusahaan antara lain: (1) tersedianya lapangan kerja agar supaya mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya; (2) terpeliharanya sarana prasarana transportasi, terutama jalan dan jembatan di sekitar perusahaan yang banyak dilewati kendaraan (truk) pengangkut hasil produksi perusahaan; (3) tersedianya sarana prasarana umum dan prasarana sosial yang memadai, seperti sumber air bersih, kantor atau balai kampung yang layak, rumah ibadah yang layak, gedung sekolah yang layak, dan sebagainya.
181 Tuntutan pertama dapat dipenuhi oleh perusahaan dengan melaksanakan program CSR melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan usaha ekonomi produktif yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar perusahaan.
Tuntutan
kedua menghendaki perusahaan untuk dapat bertindak secara etis, dengan kemampuan finansialnya sebagai perusahaan yang bertanggungjawab sekaligus sebagai
warga
negara
yang
baik
dengan
memberikan
bantuan
pemeliharaan atau dana pembangunan kepada kampung sekitar.
dana
Tuntutan
ketiga, menghendaki perusahaan dapat membantu menyediakan sarana prasarana umum dan sosial.
Tuntutan ini membutuhkan dana yang besar,
namun bila perusahaan dapat memenuhinya akan berdampak positif bagi perusahaan.
Namun apabila ada kendala atau keterbatasan dana CSR
perusahaan, sebaiknya dilakukan menurut prioritas, misalnya mendahulukan pembuatan sumur umum dari pada pembangunan balai kampung. Semua program tersebut akan lebih tepat sasaran apabila dikordinasikan dengan pemerintah daerah, hal tersebut untuk menghindari adanya tumpang tindih program pembangunan di suatu wilayah.
Perusahaan dapat juga
menyerahkan sepenuhnya dana program CSR kepada pemerintah daerah atau kepada pihak ketiga untuk diimplementasikan pada masyarakat sekitar yang terkena dampak keberadaan perusahaan. Secara konseptual, perusahaan harus melakukan manajemen isu-isu yang berkembang di lingkungan masyarakat sekitar agar kelangsungan perusahaan dapat terjaga.
Karena perkembangan perusahaan tidak dapat
dilepaskan dari pemangku kepentingan (stake holders), maka manajemen pemangku kepentingan harus dilakukan secara tepat.
Para pemangku
kepentingan perusahaan mencakup seluruh jajaran manajemen dan karyawan, masyarakat sekitar, serta konsumen produk yang dihasilkan.
Mereka harus
mendapatkan haknya secara wajar. Strategi Implementasi Model CSR Integratif Strategi implementasi model CSR Integratif yang berfokus pada upaya mengintegrasikan tuntutan atau permintaan masyarakat sekitar dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Manajemen isu. Perusahaan menugaskan stafnya untuk menginventarisasi isu-isu yang berkembang di masyarakat sekitar. Hal tersebut dapat dilakukan
182 secara formal ataupun secara informal. Staf perusahaan secara rutin dan berkala malakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat maupun tokoh agama.
Staf perusahaan harus bersifat terbuka dalam
menerima keluhan, tuntutan, atau permintaan masyarakat, tentunya untutan tersebut mewakili kepentingan masyarakat, bukan kepentingan individu. Pertemuan dapat dilakukan dengan berkunjung ke rumah warga agar mereka tidak merasa sungkan dan lebih terbuka dalam mengeluarkan semua “uneguneg” yang dirasakan. Semua keluhan, tuntutan, atau permintaan diinventarisasi untuk dibicarakan pada jajaran direksi perusahaan untuk selanjutnya dicarikan solusi secara arif dan bijaksana. Semua isu tersebut kemudian dicari peringkat keseriusannya atau isu mana yang sebaiknya didahulukan untuk dicarikan solusinya.
Solusi yang diberikan oleh pihak perusahaan
dituangkan dalam kegiatan yang disesuaikan jenis keluhan, tuntutan, atau permintaan masyarakat. Solusi tersebut dapat menggunakan strategi karitatif (charity) atau kedermawanan, dengan memberikan bantuan atau membagibagikan bantuan yang berupa materi (uang atau barang). Hal ini dapat juga dilakukan oleh manajemen perusahaan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah atau pihak ketiga (Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat). Langkah ini akan terasa lebih bijak, perusahaan sebagai penyandang dana CSR, pihak pemerintah daerah atau pihak ketiga sebagai pelaksana program di masyarakat sekitar perusahaan. (2) Manajemen pemangku kepentingan (stake holders). Pemangku kepentingan program CSR meliputi jajaran manajemen perusahaan, karyawan, masyarakat sekitar, serta konsumen produk perusahaan. (a) Jajaran manajemen berusaha mencari tahu dan memahami isu-isu yang berkembang di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan atau di masyarakat sekitar perusahaan. (b) Pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan dijalankan dengan penerapan SA 8000 dan pelaksanaan Sistem Manajemen Kesehatan Kerja Karyawan (SMK3) secara konsekuen. (c) Masyarakat sekitar perusahaan harus dianggap sebagai tetangga oleh perusahaan sehingga interaksi positif timbal balik harus dijalin oleh perusahaan, dalam hal ini jajaran manajemen yang harus bersikap proaktif. Isu yang berkembang di masyarakat sekitar perusahaan yang ada kaitannya dengan keberadaan perusahaan harus cepat diantisipasi
183 agar tidak sampai mengganggu kelangsungan perusahaan. Pelaksanaan pasal 74 Undang-undang No.40 Tahun 2007 merupakan keharusan. Perusahaan dapat melaksanakannya melalui program yang dirancang bersama masyarakat dengan mempertimbangkan ketersediaan dana (dua sampai lima persen keuntungan bersih perusahaan). (d) Konsumen adalah raja, sehingga perusahaan harus menjaga agar produk perusahaan memiliki image yang baik.
Studi perilaku kosumen akan
sangat membantu dalam menghasilkan produk yang dikehendaki oleh konsumen. Dalam proses produksi perusahaan harus memenuhi standar SNI dan atau ISO 9000 agar mutu produk dapat dipertahankan. (2) Model CSR Partisipatif Sebagai sebuah program, CSR akan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak. Manajemen perusahaan merupakan pihak pertama yang bertanggungjawab dalam aspek pendanaan.
Program yang dijalankan oleh
perusahaan
terutama
ditujukan
kepada
masyarakat,
masyarakat
sekitar
perusahaan. Dalam pelaksanaannya, untuk menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat dapat dilibatkan fasilitator. Fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah daerah atau pihak ketiga (diutamakan perguruan tinggi) yang memiliki kompetensi di bidang kegiatan yang dilakukan. Agar supaya program tersebut dapat diterima oleh masyarakat sasaran, program
tersebut
didahului
dengan
proses
penyusunan
rencana
atau
perencanaan secara bijaksana. Hal ini dimaksudkan agar program yang disusun dapat mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program. Masyarakat sasaran harus dilibatkan dalam penyusunan rencana program, terutama dalam penentuan prioritas program yang disesuaikan dengan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan. Langkah awal yang ditempuh dalam penyusunan program CSR adalah identifikasi kebutuhan atau need assesment. Langkah ini akan lebih efektif bila identifikasi kebutuhan tersebut dilakukan melalui kelompok-kelompok masyarakat sehingga tersusun suatu rencana definitif kelompok dan rencana definitif kebutuhan kelompok. Sesuai dengan proses penyusunan program yang melibatkan masyarakat sasaran dan semua pemangku kepentingan, model CSR ini diberi nama Model CSR Partisipatif.
184 Model ini didasarkan atas beberapa pertimbangan berikut: (1) Implementasi CSR akan berhasil bila direncanakan dengan baik.
Proses
perencanaan merupakan bagian program yang tidak dapat dihilangkan. (2) Implementasi program CSR oleh perusahaan harus melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holders) dalam setiap tahap kegiatan. (3) Keberhasilan program CSR sangat ditentukan oleh kesesuaian program degan kebutuhan masyarakat, sehingga langkah identifikasi kebutuhan (need assesment) dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan program tidak dapat diabaikan. (4) Masyarakat diberi kewenangan untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan dari program yang sudah mereka jalankan. (5) Optimalisasi peranan tenaga fasilitator dalam pelaksanaan program CSR. Tenaga fasilitator tersebut dapat berasal dari karyawan perusahaan atau pihak ketiga (perguruan tinggi yang ditunjuk oleh perusahaan) yang memiliki kompetensi di bidang yang sesuai dengan kebutuhan program.. Strategi Implementasi Model CSR Partisipatif Mempertimbangkan hasil analisis yang telah dilakukan, implementasi model CSR dalam pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan lebih tepat menerapkan strategi ekonomi dengan faktor kritis berupa penyebab rendahnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan dan sistem manajemen program CSR oleh perusahaan. Pelaksanaan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahap awal sampai pada tahap evaluasi keberhasilan (outcome dan impact). Tahapan atau langkah pelaksanaan kegiatan diharapkan akan membantu keberhasilan tahap berikutnya. ¾ Tahap pertama, perlu dilakukan analisis secara seksama terhadap masalah kesenjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan sosial (terutama yang bersifat negatif dan destruktif). ¾ Tahap kedua, inisiasi program CSR yang dimulai dengan proses need assessment secara seksama dan sosialisasi program secara transparan. Analisis kebutuhan dijadikan dasar atau prioritas rencana program yang akan dijalankan. Tahap ini berimplikasi pada perlunya audit secara transparan terhadap anggaran atau dana CSR perusahaan.
Adanya himbauan dari
185 pemerintah atau konsensus antar perusahaan bahwa setiap perusahaan menganggarkan dua persen dari keuntungan perusahaan untuk program CSR dapat menjadi tolok ukur seberapa besar komitmen perusahaan dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya.
Namun demikian, kendala yang
dihadapi adalah kejujuran manajemen perusahaan yang belum “go public” dalam melaporkan atau menginformasikan jumlah keuntungan perusahaan setiap tahunnya.
Sebagai badan usaha yang belum “go public”, laporan
pertanggungjawaban perusahaan (termasuk jumlah keuntungan) tidak ada keharusan untuk memberikan laporan secara terbuka. ¾ Tahap ketiga, langkah pengembangan, mediasi, fasilitasi, pembinaan, dan pendampingan kelompok sasaran.
Masyarakat yang belum memiliki
lembaga kelompok difasilitasi untuk membentuk dan membangun lembaga kelompok. Melalui kelompok-kelompok yang ada kegiatan fasilitasi, mediasi, pembinaan, dan pendampingan dan dilakukan secara efektif dan efisien. ¾ Tahap keempat, penetapan jenis usaha dan pelaksanaan usaha ekonomi produktif yang dikembangkan.
Melalui kelompok-kelompok yang sudah
terbentuk, jenis usaha yang akan mereka kembangkan merupakan kesepakatan kelompok dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia kelompok. ¾ Tahap kelima, operasionalisasi usaha ekonomi produktif kelompok sasaran. Pelaksanaan dan pengelolaan usaha ekonomi produktif dilakukan dari, oleh, dan untuk anggota kelompok. Pada awalnya, pengelolaan dapat didampingi oleh tenaga fasilitatator, hal ini diarahkan agar secepatnya kelompok dapat mengelola usahanya secara mandiri. ¾ Tahap keenam, pengembangan inovasi bagi peningkatan produktivitas usaha ekonomi produktif.
Agar usaha ekonomi produktif dapat bersaing, maka
upaya pengembangan inovasi merupakan syarat yang tidak dapat ditawar lagi.
Pengembangan inovasi dapat berasal dari dalam kelompok atau
masukan dari luar kelompok. ¾ Tahap ketujuh, kegiatan evaluasi keberhasilan untuk melihat sejauh mana pencapaian tujuan program dari aspek sosial dan ekonomis.
Langkah
evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan (monitoring), sampai tahap evaluasi hasil.
186 Untuk mempermudah penerapan model yang diajukan, secara skematis disajikan pada Gambar 19.
Penjabaran pelaksanaan model di lapangan
dijabarkan dalam kerangka model strategi seperti disajikan pada Tabel 69.
Analisis Kondisi Awal dan Analisis Kebutuhan Masyarakat Sekitar
Penyusunan Program CSR melibatkan semua Pemangku Kepentingan (Partisipatif)
Sosialisasi Program CSR kepada kelompok sasaran
Pembekalan tenaga fasilitator
Fasilitasi, mediasi, pendampingan, pelayanan, dan mobilisasi
Peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan produktivitas usaha ekonomi
Peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
Masyarakat sekitar perusahaan makin sejahtera
Gambar 19. Diagram Model Implementasi CSR Partisipatif Bila sasaran program yang teridentifikasi adalah kelompok masyarakat yang anggotanya tidak terlalu banyak (kurang dari 20 orang), penyusunan program dapat dilakukan dengan teknik perencanaan strategis partisipatif (Gaventa dan Valderama, 2004:68).
Proses baku perencanaan strategis
partisipatif (participatory strategic planning) merupakan sebuah terapan dari metode fasilitasi kelompok yang terdiri dari empat pertemuan (session) yakni identifikasi kebutuhan (real need), curah pendapat, perumusan visi, dan finalisasi rencana.
187 Tabel 69. Model Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Implementasi Program CSR Kondisi Awal
Input
Proses
Output
Outcome
Impact
Kesenjang an ekonomi dan kecemburu an social antara masyarakat sekitar dengan perusahaa n. Undangundang No. 47 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Antisipasi perubahan sosial
Reorientasi partisipatif dalam penyusunan program CSR Sosialisasi program pada kelompok sasaran dan masyarakat Pendanaan program CSR perusahaan secara transparan. Identifikasi kelompok dan kebutuhan kelompok sasaran/masya rakat dengan teknik PRA. Identifikasi jenis usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan. Identifikasi kebutuhan dan rekruitmen fasilitator program CSR Pembekalan bagi tenaga fasilitator (pendekatan andragogi, komunikasi efektif, pengembangan motivasi, dsb)
Pengembang an aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi sasaran. Menjembatan i kepentingan perusahaan dan kelompok sasaran (masyarakat sekitar perusahaan) serta dengan pihak lain. Fasilitasi demi kemudahan sarana prasarana usaha ekonomi produktif Mediasi kelompok sasaran dengan sumber modal Pendampinga n kelompok sasaran secara optimal
Tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang optimal bagi usaha ekonomi produktif terpilih Berkembangn ya dinamika kelompok sasaran binaan program CSR Meningkatnya kemampuan modal usaha kelompok sasaran (masyarakat). Meningkatnya produktivitas usaha ekonomi produktif
Meningkatnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan Meningkatnya derajad kemandirian kelompok sasaran / masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Berkembangn ya usaha ekonomi produktif di sekitar perusahaan berbasis sumberdaya lokal.
Berkurangnya kesenjanga n social dan ekonomi antara masyarakat sekitar dengan perusahaan Meningkatn ya kesejahtera an masyarakat sekitar perusahaan .
↓ Program aksi studi komunitas bersama masyarakat (participatory community study)