IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan Tahap I Pemberian pakan uji yang mengandung asam lemak esensial berbeda terhadap
induk ikan baung yang dipelihara dalam jaring apung, telah menghasilkan data yang berkaitan dengan perkembangan gonad induk, kuantitas dan kualitas telur dan larva yang dihasilkannya. 4.1.1 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva Setelah 160 hari pemeliharaan induk ikan baung dengan pemberian pakan percobaan dapat diperoleh data kadar asam lemak hati, telur dan larva. Hasil analisis asam lemak n-6 dan n-3 hati, telur dan larva disajikan dalam Tabel 6. Data hasil analisis komposisi asam lemak hati, telur dan larva lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Tabel 6 berikut ini menunjukkan bahwa kadar asam lemak jenuh di hati menurun dengan adanya pemberian asam lemak n-6 dan n-3 pakan, namun adanya pemberian yang semakin tinggi akan menyebabkan kadar asam lemak jenuh naik kembali seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Sebaliknya asam lemak monoenoat cenderung meningkat dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pakan sampai perlakuan C dan menurun kembali pada perlakuan D. Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa kadar asam lemak jenuh pada telur ovulasi menurun sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pada pakan induk. Sebaliknya total asam lemak monoenoat naik sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pakan. Asam lemak n-6 dan n-3 telur naik sampai kadar asam lemak n-6 2.00% (perlakuan D) dan asam lemak n-3 1.00% (perlakuan C), namun pada kadar asam lemak n-3 yang lebih tinggi dalam pakan seperti yang ditunjukkan perlakuan D dengan kadar asam lemak n-3 1.82% akan menurunkan kadar asam lemak n-3 pada telur. Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan C.
Tabel 6. Total kadar asam lemak (% area) hati, telur dan larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I Perlakuan/Asam lemak n-6;n-3(%) Asam lemak A (0.87;0.56) Hati : Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Telur: Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Lemak(% bbt kering) Larva: Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Lemak(% bbt kering)
35.49 25.47 7.66 16.20 0.47 48.17 17.11 6.05 14.52 0.42 8.24 0 jam 24 jam 45.14 44.60 18.31 17.74 5.91 5.47 13.56 12.04 0.44 0.45 8.10 6.58
B (1.66;0.78)
C (2.00;1.00)
D (2.23;1.82)
33.98 30.75 8.89 12.44 0.71
35.50 25.38 16.37 11.84 1.38
35.83 19.43 10.65 17.38 0.61 9.24 0 jam 24 jam 35.06 33.94 20.31 18.80 10.33 10.03 14.75 12.04 0.81 0.91 6.68 4.49
35.49 22.63 11.86 14.34 0.83 7.97 0 jam 24 jam 33.04 29.78 21.25 20.79 10.38 9.16 12.67 10.13 0.82 0.90 7.72 6.94
34.00 27.53 7.39 15.34 0.48 39.96 17.25 9.11 15.21 0.60 7.17 0 jam 24 jam 39.85 39.31 18.37 17.56 9.52 8.60 14.43 12.78 0.66 0.67 6.66 3.88
Secara umum terjadi penurunan kadar asam lemak jenuh, asam lemak n-6 dan n-3 mengalami penurunan dari telur ke larva dan penurunan tertinggi terjadi pada asam lemak jenuh, sedangkan kadar asam lemak monoenoat mengalami sedikit peningkatan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 naik cukup tinggi pada perlakuan C, sedangkan pada tiga perlakuan lainnya relatif sama atau hanya terjadi sedikit peningkatan kecuali perlakuan D yang mengalami penurunan. Dari kadar lemak, asam lemak jenuh, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pada larva umur 0 jam ke umur 24 jam, semua perlakuan mengalami penurunan. Sebaliknya untuk rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada semua perlakuan mengalami peningkatan. Persentase penurunan asam lemak esensial dari larva umur 0 jam ke larva umur 24 jam yang besar terjadi pada asam lemak n-3.
4.1.2
Fosfolipid dan Lipid Netral Kadar FL dan NL telur dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar FL pada telur ovulasi
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar NL. FL mengandung asam lemak esensial dan kadarnya relatif sama pada keempat perlakuan; sedangkan
nilai NL yang
merupakan cadangan energi, tertinggi diperoleh pada perlakuan B yang diberikan pakan mengandung asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% pada induk. Tingginya NL menunjukkan tingginya cadangan energi untuk proses pembelahan sel sampai pada penetasan. Tabel 7.
Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
Perlakuan/ Asam lemak n-6;n-3 (%) A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)
FL
NL
63.86 60.42 62.23 62.64
36.14 39.58 37.77 37.36
Rasio NL/FL 0.57 0.67 0.61 0.60
4.1.3 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks Rata-rata diameter telur matang yang dihasilkan oleh tiap induk pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 8 dan data lengkapnya pada Lampiran 12. Pemberian pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda tidak memberikan pengaruh pada diameter telur dari induk ikan baung (P>0.05) (Lampiran 13). Pada Tabel 8 juga terlihat bahwa pada percobaan tahap I, perlakuan B menghasilkan nilai GSI dan HSI tertinggi. Rata-rata diameter telur pada pengamatan setiap 2 minggu sekali disajikan pada Gambar 1. Secara keseluruhan dari tiap perlakuan terjadi peningkatan diameter telur dari awal sampai akhir percobaan. Telur dikatakan sudah matang apabila rata-rata diameter telur ≥0.9mm.
Tabel 8. Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I Perlakuan/Asam lemak
Bobot tubuh (gram)
n-6;n-3 (%)
Diameter telur (mm)
GSI
HSI
(%)
(%)
A(0.87;0.56)
426±12.02
1.11±0.15a
9.49
0.97
B(1.66;0.78)
456±23.33
1.23±0.02a
11.06
1.45
410±20.82
a
10.38
1.18
a
10.23
1.31
C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)
1.19±0.15
400±11.54
1.03±0.07
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata ±SE
Dari Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa rata-rata diameter telur ≥ 0.9mm mulai diperoleh pada pengamatan hari ke 98 pada semua perlakuan. Pada hampir semua perlakuan kecuali perlakuan A, induk terakhir dapat dipijahkan pada pengamatan hari ke-112 dengan rata-rata diameter telur terbesar terdapat pada perlakuan B. Distribusi diameter telur setiap waktu pengamatan menunjukkan ukuran diameter telur yang heterogen dimana sejak awal pengamatan diperoleh diameter telur dengan ukuran 0.1mm sampai dengan ukuran lebih besar dari 1mm (Lampiran 14 dan 15 serta pada Gambar 2). Namun demikian proporsi telur dengan diameter ≥0.9mm lebih tinggi pada akhir percobaan dibandingkan pada awal percobaan. Pada awal percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm.
P ER L AK U AN B DIAMETER TELUR (mm)
DIAMETER TELUR (mm)
P E R LAK U AN A 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
14
28
42
56
70
84
98
112
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
126
0
14
28
W AKT U P ENG AM AT AN
DIAMETER TELUR (mm)
DIAMETER TELUR (mm)
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 14
28
42
56
56
70
84
98
112
84
98
112
PE RLAKUAN D
P E R L AK U A N C 1.20
0
42
W AKTU PENGAM ATAN
70
W A KT U P ENG AM AT AN
84
98
112
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
14
28
42
56
70
W AKTU PENGAMATAN
Gambar 1. Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
f n g
n
a
b
Gambar 2.
Struktur jaringan gonad induk-induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I, gonad yang diambil pada awal percobaan (a), gonad yang diambil pada akhir percobaan (b), granula kuning telur (g), nukleolus (n) dan folikel (f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE
4.1.4 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Derajat Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva Abnormal Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 16. Pemberian pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda memberikan pengaruh yang sama (P>0.05) terhadap lama waktu matang, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal (Tabel 9; Lampiran 17, 19 dan 20). Namun demikian perbedaan kadar asam lemak n-6 dan n-3 berbeda dalam pakan induk memberikan pengaruh terhadap fekunditas dan derajat tetas telur. Fekunditas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B dan terendah pada perlakuan C (P<0.10, Lampiran 18). Derajat tetas telur terendah dihasilkan oleh perlakuan D, diikuti oleh perlakuan A dan yang tertinggi pada perlakuan B dan C (P<0.05, Lampiran 21).
Tabel 9.
Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari, dan persentase larva abnormal dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
Perlakuan / As. lemak
Lama waktu matang
n-6;n-3 (%)
(hari)
A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)
Fekunditas (butir/g bobot induk)
Derajat tetas telur (%)
Derajat kelangsungan hidup larva (%)
Persentase larva abnormal (%)
112±9.3 3a
42.44±9.8 3b
75.90±1.00
81.15±11.0 0a
0.45±0.05
b
107±4.6 7a
68.70±4.0 7a
89.88±1.00
90.33±4.49
a
a
1.02 ±0.54a
107±4.6 7a
40.53±5.3 6b
89.18±1.50
88.80±9.00
0.62±0.02
a
a
a
107±4.6 7a
42.26±10. 18b
38.35±18.0 5c
87.35±4.50
2.27±0.65
a
a
a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05 dan 0.10); rata-rata ±SE
Dari Gambar 3 dapat dilihat beberapa bentuk abnormalitas yang diperoleh pada percobaan tahap I. Umumnya keabnormalan terjadi pada bagian punggung dan perut.
a
b
c Gambar 3. Gambaran morfologis larva: normal (a), larva abnormal pada bagian punggung (b) dan larva abnormal pada bagian perut (c) dari larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I 4.1.5 Pembahasan Percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan mutlak diperlukan untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan larva ikan baung. Asam lemak n-6 di hati cenderung naik sejalan dengan naiknya asam lemak n-6 dalam pakan; sebaliknya asam lemak n-3 menurun. Ikan baung adalah ikan air tawar yang kebutuhan akan asam lemak n-6 umumnya sama atau lebih tinggi dari asam lemak n-3. Takeuchi (1996) menyatakan bahwa pada umumnya ikan air tawar membutuhkan asam lemak n-6 atau kombinasinya dengan n-3, namun untuk setiap spesies ikan membutuhkan kadar asam lemak esensial yang berbeda. Hasil percobaan ini sejalan dengan yang ditemukan pada jenis ikan lele lainnya seperti ikan lele lokal dan patin (Mokoginta et al., 1995 dan 2000). Ikan lele lokal dan patin membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3 berturut-turut 1,85% dan 2.2% untuk asam lemak n-6 dan 0.56% dan 0.9% untuk asam lemak n-3. Hal yang berbeda ditunjukkan asam lemak n-6 dan n-3 telur. Kadar asam lemak n-6 naik sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 pakan, namun asam lemak n-3 telur naik sampai pada kadar 1.00% asam lemak n-3 pakan, kemudian menurun kembali pada kadar 1.82% asam lemak n-3 pakan. Penyimpanan asam lemak pada telur merupakan akumulasi vitelogenin dari hasil proses vitelogenesis. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa selama proses vitelogenesis, asam lemak esensial yang disimpan disesuaikan dengan kebutuhan embrio ikan baung. Ternyata asam lemak n-3 yang disimpan dibatasi sampai batas tertentu (perlakuan C), mengingat ikan baung adalah ikan air tawar.
Walaupun dalam pakan kadar asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3 untuk semua perlakuan, namun pada telur tidak demikian. Ikan baung adalah ikan air tawar yang umumnya untuk pertumbuhan membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi atau sama dengan asam lemak n-3, namun percobaan ini memperlihatkan bahwa untuk reproduksi atau perkembangan embrio justru diperlukan asam lemak n-3. Disamping itu adanya sifat asam lemak n-3 yang mempunyai afinitas lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak n-6 pada posisi FL maupun trigliserida menyebabkan asam lemak n-3 pada telur tinggi. Hasil percobaan yang sama diperoleh oleh Mokoginta et al. (2000) pada ikan patin. Pada percobaan tersebut kadar asam lemak n-3 pada telur meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar asam lemak n-3 pakan, tetapi kadar asam lemak n-6 pada telur menurun. Mayes (2003) menyatakan bahwa setiap seri asam lemak berkompetisi untuk sistim enzim yang sama dan afinitas menurun dari seri asam lemak n-3 ke n-6 hingga n-9. Peningkatan kadar total asam lemak n-3 telur diduga karena meningkatnya kadar asam lemak n-3 HUFA (C22:6n-3) dari pakan (minyak ikan) dan juga hasil konversi dari asam lemak (C18:5n-3), sehingga dapat dikatakan bahwa ikan ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendesaturasi dan memperpanjang rantai karbon asam lemak C18 menjadi C22 (n-3 HUFA). Namun demikian penyimpanan asam lemak n-3 pada telur dibatasi pada batas tertentu dengan membatasi konversi asam lemak n-3 seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Takeuchi (1996) menyatakan bahwa sampai batas tertentu konversi asam lemak linolenat (18:3n-3) menjadi asam lemak DHA (22:6n-3) dihambat oleh kadar asam lemak linolenat pakan. Telah diketahui bahwa asam lemak n-6 dan n-3 sebagai asam lemak esensial dapat mempengaruhi sifat fluiditas dari membran sel. Permeabilitas membran sel tersebut dipengaruhi oleh FL yang merupakan lipid aktif yang peranannya dipengaruhi oleh asam lemak tak jenuh dalam senyawa FL tersebut (Sargent et al., 1989). Perubahan fluiditas membran yang diakibatkan oleh perubahan komposisi asam lemak akan mempengaruhi metabolisme sel melalui perubahan aktivitas enzimenzim yang terdapat pada membran sel.
Asam lemak esensial dalam proses reproduksi juga mempunyai fungsi yang berhubungan dengan pembentukan senyawa prostaglandin. Senyawa prostaglandin juga disintesis dari asam lemak EPA (Leray et al, 1985). Jadi dapat dikatakan bahwa rendahnya derajat tetas telur pada perlakuan D terjadi karena rendahnya kadar asam lemak n-3 terutama DHA pada telur (Tabel 6). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Li et al. (2005) dan Izguierdo et al. (2001) yang menyatakan bahwa kelebihan dan kekurangan asam lemak n-3 HUFA dapat menimbulkan efek negatif terhadap kualitas telur. Pada penelitian ini persentase larva abnormal perlakuan A sama dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa asam lemak esensial baik asam lemak n-6 maupun asam lemak n-3 pada perlakuan A belum mengalami defisiensi. Pola komposisi asam lemak esensial tidak banyak berubah dari telur ke larva pada 0 jam dan 24 jam pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa asam lemak esensial tersebut penting baik untuk embrio maupun larva. Namun demikian ada penurunan kadar lemak dan asam lemaknya, sebab lemak merupakan sumber energi untuk embrio dan larva. Penurunan kadar asam lemak jenuh dari telur ke larva lebih besar dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti energi untuk pembelahan sel dan perkembangan embrio sebagian besar berasal dari asam lemak jenuh, sedangkan asam lemak esensial disimpan sebagai cadangan untuk pertumbuhan larva. Dari larva 0 jam ke larva 24 jam, penggunaan asam lemak n-3 lebih besar dibandingkan dengan asam lemak n-6; sehingga menyebabkan peningkatan nilai rasio asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pada larva umur 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa larva baung mempertahankan asam lemak n-6. Ikan baung adalah ikan air tawar yang lebih membutuhkan asam lemak n-6 lebih besar dari pada asam lemak n-3 untuk pertumbuhan. Dari hasil percobaan ini juga dapat dilihat bahwa pada larva, asam lemak berantai C panjang yang disimpan dalam telur dan larva digunakan sebagai sumber energi yang lebih efisien. Hal ini dapat dilihat dari persentase penurunan asam lemak esensial yang lebih besar dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Selanjutnya pola komposisi asam lemak pada larva 0 jam yang tidak banyak berubah, menunjukkan bahwa masih tersedia cadangan lemak dan asam lemak untuk
proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis cadangan makanannya (endogenous) sehingga derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari pada semua perlakuan cukup tinggi. Selain kadar asam lemak n-6 dan n-3, juga rasio dari asam lemak n-6 dan n-3 cukup berperan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 tertinggi pada perlakuan B menghasilkan fekunditas dan derajat tetas telur tertinggi. Percobaan untuk melihat pengaruh rasio dari asam lemak n-6 dan n-3 terhadap kualitas telur pada induk ikan lele lokal dilakukan oleh Mokoginta et al. (1998) yang mendapatkan bahwa hasil perbedaan rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan induk dapat mempengaruhi komposisi asam lemak telur serta kualitas telur induk tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan perbandingan asam lemak n-6 dan n-3 yang
tepat akan dapat
meningkatkan kualitas telur. Secara umum terlihat bahwa pada percobaan pertama ini induk-induk pada seluruh perlakuan menghasilkan lama waktu matang dan diameter telur yang sama. Kesamaan hasil yang diperoleh disebabkan induk-induk yang digunakan masih muda dengan selisih ukuran dari tiap induk yang kecil dan juga pertama kali dipijahkan sehingga ukuran telur yang dihasilkan relatif sama. Tang dan Affandi (2000), menyatakan bahwa telur yang dihasilkan oleh induk ikan sangat dipengaruhi oleh umur, ukuran dan pemijahan awal. Disamping itu perkembangan gonad sangat dipengaruhi oleh ketersediaan protein dan energi serta nutrien pakan yang lain. Dalam penelitian ini pakan yang diberikan mengandung protein dan energi yang sama serta terpenuhinya asam lemak esensial untuk memproduksi telur. Menurut Kamler (1992), protein merupakan komponen dominan dalam kuning telur; sedangkan jumlah dan komposisi kuning telur akan menentukan besar kecilnya ukuran telur. Di alam ikan baung memijah pada musim penghujan bulan Desember sampai bulan Februari (Mulflikhah et al., 1998). Berdasarkan hasil histologi (Gambar 2) diperoleh diameter telur yang heterogen; dan dari pengamatan jika telur-telur yang berukuran ≥ 0.9 mm dengan sebaran 60-70% tidak diovulasikan maka telur-telur tersebut akan mengalami atresia. Induk-induk ikan baung akan siap dipijahkan lagi dalam waktu 4 sampai 6 minggu kemudian, jadi dapat dikatakan bahwa induk ikan
baung dalam wadah budidaya dengan pemberian pakan yang optimal dapat memijah sepanjang tahun. Dari hasil analisis FL dan NL pada induk-induk perlakuan B yang menghasilkan derajat tetas telur tertinggi mengandung NL dan rasio NL dan FL yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. NL (lipid nonpolar) merupakan sumber energi utama bagi perkembangan embrio dan larva sehingga jika dalam telur kekurangan sumber energi maka asam lemak esensial akan digunakan untuk energi. Mokoginta et al. (1995) mencatat bahwa bahwa rasio lipid nonpolar dan lipid polar pada ikan lele lokal (Clarias batrachus) semakin meningkat sejak awal embriogenesis yang menunjukkan bahwa lipid nonpolar berperan penting sebagai sumber energi dan semakin tinggi rasio NL dan FL menunjukkan ikan tersebut defisiensi akan asam lemak esensial. Tidak terlalu banyak berkurangnya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pada larva yang baru menetas, maka kadar asam lemak n-6 dan n-3 akan menjadi cadangan untuk proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis kuning telur. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ikan baung sebagai ikan air tawar membutuhkan asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% dalam pakannya untuk menghasilkan kualitas telur yang tinggi. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan 3.50 dapat menghasilkan kualitas telur terbaik.
4.2
Percobaan Tahap II Ada tiga aspek utama yang dilakukan pada percobaan tahap kedua ini, yaitu
respon fisiologis, respon perkembangan ovarium dan respon kualitas larva yang dihasilkan terhadap implantasi hormon E2 dan T4. Respon fisiologis dilihat dari profil hormon E2 plasma; respon perkembangan ovarium dilihat dari tiga variabel utama yaitu sebaran diameter telur, GSI dan HSI; respon kuantitas dan kualitas telur serta larva dilihat dari fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari, dan persentase larva abnormal. 4.2.1 Kadar Estradiol-17β dalam Plasma Darah
Kadar hormon E2 plasma darah ikan baung selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Lampiran 22. Konsentrasi hormon E2 plasma pada awal percobaan dari semua perlakuan sedikit bervariasi walaupun ukuran ikan relatif sama. Konsentrasi hormon E2 plasma pada induk ikan yang diberi perlakuan mengalami perubahan yang sangat berarti. Konsentrasi tertinggi terjadi pada hari ke-14 setelah pemberian implant hormon. Dosis hormon E2 yang berbeda berpengaruh pada kadar E2 plasma pada pengamatan hari ke-14 (P<0.05; Lampiran 23). Perlakuan B lebih tinggi dari C dan D; C dan D lebih tinggi dari A dan E. Konsentrasi hormon E2 plasma antar waktu sampling menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01; Lampiran 24). Konsentrasi hormon E2 pada hari ke 0 dan 14 berbeda nyata dari hari sampling lainnya. Kadar hormon E2 setelah hari ke 14 pada perlakuan B, C dan D mulai mengalami penurunan sampai pengamatan hari ke 84, sedangkan perlakuan A dan E sudah mengalami penurunan sejak awal pengamatan. Kecuali perlakuan C, kadar E2
semua perlakuan mengalami
peningkatan kembali pada pengamatan hari ke 98.
ESTRADIOL PLASMA (ng/ml)
9.00 8.00 7.00 A=KONTROL
6.00
B=E600T0
5.00
C=E400TI0
4.00
D=E200T50
3.00
E=E0T100
2.00 1.00 0.00 0
14
28
42
56
70
84
98 112
WAKTU PENGAMATAN (hari ke-)
Gambar 4. Kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
Dari hasil pengamatan ini juga terlihat bahwa dosis E2 (200 - 600µg/kg bobot induk) dapat meningkatkan kadar E2 dalam plasma darah sampai pada pengamatan hari ke 14. Setelah itu implantasi hormon estradiol tidak berpengaruh lagi pada kadar E2 plasma . Pengaruh dosis E2
terhadap kadar E2
plasma
pada hari ke 14
menunjukkan kecenderungan respon linier (Lampiran 25 dan Gambar 5) yang berarti kadar E2 plasma meningkat Y=5.92+0.004X, R2=0.84, dengan meningkatnya dosis E2 yang diimplan.
9.0
Estradiol plasma (ng/ml)
8.5 8.0 7.5 7.0
Y=5.92+0.004X, R2=0.84
6.5 6.0 5.5 5.0 0
100
200
300
400
500
600
700
Dosis Estradiol
Gambar 5. Hubungan dosis E2 yang diimplantasi dengan kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
4.2.2 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva Komposisi kadar asam lemak hati, telur dan larva ikan baung disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 9, 10 dan 11. Kadar asam lemak hati, telur dan larva, dipengaruhi oleh implantasi hormon E2 dan T4. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar asam lemak jenuh pada hati dengan adanya implantasi hormon. Dosis implantasi T4 yang tinggi tanpa E2 menyebabkan kadar asam lemak jenuh pada hati tinggi. Kadar asam lemak monoenoat rendah pada induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 pada dosis tertinggi. Sebaliknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 tinggi.
Kadar asam lemak pada telur naik sejalan dengan naiknya dosis implantasi hormon E2. Implantasi E2 600 µg/kg bobot induk tanpa T4 menghasilkan telur dengan kadar lemak total, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6 dan n-3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang diberi kombinasi E2 dan T4 ataupun T4 saja. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada telur dari semua perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan rasio n-6 dan n-3 pada hati. Kadar lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 mengalami penurunan selama embriogenesis (dari telur ke larva yang baru menetas) dan dari larva yang baru menetas ke larva berumur 2 hari. Pola ini sama dengan pola pada percobaan tahap I. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 relatif sama atau hanya sedikit peningkatannya. Penurunan tertinggi dari semua kadar asam lemak dari larva yang baru menetas ke larva umur 2 hari terjadi pada perlakuan D. Pada perlakuan D juga kadar lemak pada larva umur 2 hari berkurang sebanyak 42% dari kadar lemak pada saat baru menetas. 4.2.3 Fosfolipid dan Lipid Netral Tabel 11 menyajikan kadar FL dan NL pada telur. Kadar FL tertinggi pada perlakuan A dan B. Kadar FL telur cenderung menurun dengan menurunnya dosis implantasi E2 dan naiknya dosis T4. Sebaliknya kadar NL dan rasio NL terhadap FL meningkat, yang tertinggi pada perlakuan E (T4 100 mg/kg bobot induk). 4.2.4 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks Bobot induk, diameter telur, gonadosomatik indeks dan hepatosomatik indeks disajikan pada Tabel 12. Pengaruh implantasi dosis E2 dan T4 terhadap rata-rata diameter telur matang tidak berbeda nyata (P>0.05; Lampiran 27). Ukuran diameter telur dari induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 relatif seragam. Diameter telur antara waktu sampling menghasilkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01; Lampiran 28). Perbedaan waktu pengamatan memperlihatkan bahwa diameter telur terbagi atas tiga kelompok yakni pertama, diameter telur pada
pengamatan awal (0 hari) berbeda dengan diameter telur yang diperoleh pada waktu berikutnya; Kedua, waktu pengamatan pada hari ke 14 memperlihatkan diameter telur relatif sama antar perlakuan sampai pada pengamatan hari ke 98; dan ketiga, waktu pengamatan mulai hari ke 28 menghasilkan ukuran diameter telur yang relatif sama antar perlakuan sampai pada hari akhir pengamatan. Untuk lebih jelasnya perkembangan diameter telur pada tiap waktu pengamatan dapat di lihat pada Gambar 6 dan Lampiran 29.
Tabel 10. Total kadar asam lemak (% area) di hati, telur dan larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II Perlakuan/ E2 µg/kg; T4 mg/kg Asam lemak Hati Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Telur Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Lemak (%) bbt kering Larva Σ Al. jenuh Σ monoenoat Σ Al.n-6 Σ Al.n-3 Rasio Al. n-6/n-3 Lemak(%) bbt kering
A (Kontrol)
B (600;0)
C (400;10)
D (200;50)
E (0;100)
33.71 25.12 8.58 14.96 0.57
34.39 22.98 9.08 18.38 0.49
33.16 26.46 8.71 16.55 0.53
37.34 23.38 7.23 15.52 0.47
39.01 22.61 8.79 18.89 0.47
41.15 19.63 11.74 15.94 0.74 9.70 0 jam 24 jam 40.73 38.05 20.16 20.07 11.62 11.43 15.50 14.38 0.75 0.80 8.35 6.37
40.22 19.20 9.98 14.50 0.69 8.60 0 jam 24 jam 40.16 39.85 19.27 18.73 9.73 9.05 13.99 12.92 0.70 0.70 8.05 6.80
37.92 17.08 10.86 15.02 0.72 7.94 0 jam 24 jam 36.77 35.79 18.36 17.79 10.11 9.20 14.55 14.24 0.70 0.65 5.36 5.05
39.53 18.46 9.13 14.38 0.64 8.55 0 jam 24 jam 38.62 38.17 17.90 17.50 8.95 8.95 13.66 13.40 0.66 0.63 6.76 6.16
38.66 19.47 10.63 15.04 0.71 8.58 0 jam 24 jam 37.67 25.78 18.62 12.76 9.37 5.48 13.18 9.38 0.71 0.58 7.96 4.65
44
Tabel 11. Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II FL
NL
Rasio NL/FL
A(0;0)
61.66
38.34
0.62
B(600;0)
61.76
38.28
0.62
C(400;10)
60.79
39.21
0.65
D(200;50)
60.36
39.65
0.67
E(0;100)
59.55
40.45
0.68
Perlakuan (E2 µg/kg; T4 mg/kg)
Hasil pengukuran GSI dan HSI pada induk matang gonad memperlihatkan nilai tertinggi pada perlakuan B yang diberi implantasi E2 sebesar 600 µg/kg bobot induk tanpa T4 dan terendah perlakuan C. Tabel 12.
Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
Perlakuan (E2
µg/kg; T4 mg/kg)
Bobot tubuh (gram)
Diameter telur (mm)
GSI (%)
HSI (%)
470±35.12
1.08±0.11a
10.79
1.63
B(600;0)
420±20.82
a
1.23±0.03
13.66
1.71
C(400;10)
413±17.64
0.92±0.04a
10.35
1.51
440±20.82
a
11.44
1.65
a
10.58
1.63
A(0;0)
D(200;50) E(0;100)
430±25.17
1.28±0.08 1.10±0.03
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata ±SE; n=3
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan B(600:0) dari 3 induk yang dipijahkan, induk pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke-28 dan induk terakhir dipijahkan pada pengamatan hari ke-70. Perlakuan C(400:10) dan D(200:50) induk pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke 58 dan induk terakhir dipijahkan pada pengamatan hari ke-112 dan 126. Perlakuan A(kontrol) dan E(0:100) induk pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke 112 dan 70 serta induk terakhir dipijahkan pada
pengamatan hari ke-126. Hasil histologi gonad di awal dan akhir percobaan memperlihatkan gambaran seperti pada percobaan tahap pertama dimana sejak dari awal pengamatan sampai pengamatan akhir (induk matang) ukuran diameter telur heterogen (Gambar 7) dan pola sebaran diameter tiap waktu pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 30.
P E R LAK U AN B DIAMETER TELUR(mm)
DIAMETER TELUR(mm)
PERLAKUAN A 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
14
28
42
56
70
84
98
112
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
126
0
14
W AKTU PENGAMATAN
42
56
70
P E R L AK U AN D
PERLAKUAN C 1.20 DIAMETER TELUR(mm)
1.20 DIAMETER TELUR(mm)
28
W AKTU PENGAM ATAN
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
0.00 0
14
28
42
56
70
84
98
112
0
14
28
42
56
70
84
98
112
126
W AKTU P ENGAM ATAN
W AKTU PENGAMATAN
PERLAKUAN E DIAMETER TELUR(mm)
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
14
28
42
56
70
84
98
112
126
W AKTU PENGAMATAN
Gambar 6. Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II Pada awal percobaan, ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm sedangkan pada akhir percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran ≥0.9mm. Dari Gambar 7 juga dapat dilihat bahwa induk matang pada waktu yang
berbeda dengan ukuran pembesaran yang sama pada perlakuan C menunjukkan ukuran diameter telur yang relatif lebih kecil dari perlakuan yang lain.
a
b
c
d
e
f
Gambar 7.
Struktur jaringan gonad induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II: awal (a) dan akhir percobaan (b,c,d,e,dan f). Gonad induk matang dari kelima perlakuan secara berturut-turut dari perlakuan A sampai E (b,c,d,e,f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE.
4.2.5 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Total Larva, Derajat Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva Abnormal Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, total larva, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal ditampilkan pada Tabel 13 dan Lampiran 31. Pemberian hormon E2 dan T4 dengan cara implantasi tidak memberikan pengaruh terhadap fekunditas (P>0.05; Lampiran 33). Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap lama waktu matang, derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan induk ikan baung (P<0.05; Lampiran 32, 34, dan 35). Induk-induk perlakuan B lebih cepat matang dari pada
induk-induk perlakuan lainnya. Perlakuan A dan C menghasilkan derajat tetas telur lebih tinggi dari perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan oleh induk-induk perlakuan C sama dengan perlakuan A. Namun perlakuan C lebih besar dari indukinduk perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan perlakuan A sama dengan perlakuan D dan lebih tinggi dari perlakuan B dan E. Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap rata-rata derajat kelangsungan hidup larva (P<0.01; Lampiran 36). Dosis implantasi hormon tunggal (T4 100 mg/kg bobot induk) menghasilkan derajat kelangsungan hidup yang paling rendah. Pada Tabel 13 tampak bahwa perlakuan E berupa implantasi hormon tunggal (T4 100 mg/kg bobot induk) selain menghasilkan larva-larva yang memiliki derajat kelangsungan hidup rendah. Juga menghasilkan persentase larva abnormal paling tinggi (P<0.05; Lampiran 37) Pengamatan perkembangan embrio dengan menggunakan mikroskop dilakukan terhadap 20 butir pada perlakuan A dan E yang berumur 1 sampai 10 jam setelah dibuahi. Pembelahan sel pada tahap awal berjalan normal, sel-sel yang dihasilkan tetap berkelompok (Gambar 8). Demikian juga pada 5 jam berikut memasuki fase gastrulasi, namun pada jam ke 10 memasuki fase akhir gastrulasi ketika mulai memasuki awal pembentukan organ-organ (organogenesis) pada perlakuan E belum terbentuk keping neural seperti pada perlakuan A. Pada fase ini diduga mulai terjadi kelainan yang pada akhirnya menghasilkan derajat tetas telur rendah dan larva yang abnormal pada perlakuan E. Umumnya larva abnormal yang dihasilkan pada percobaan tahap ke dua memperlihatkan kuning telur berwarna kehitam-hitaman pada bagian perut, disamping itu juga terjadi pembengkokan pada tulang ekor (Gambar 9).
Tabel 13. Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, total larva, derajat kelangsungan idup larva umur 2 hari, dan persentase larva abnormal dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II Perlakuan
Lama waktu
Fekunditas
Derajat tetas
Total larva
matang (hari)
(butir/g bobot)
telur (%)
(ekor/g bobot)
Derajat kelangsungan hidup larva (%)
A(0;0)
121±4.70a
Persentase larva abnormal (%)
75.32±3.84a
72.79±8.93a
55.04±8.28ab
84.98±7.00a
4.80±0.36b
B(600;0)
47±12.35c
58.34±7.19a
36.05±5.05b
20.46±2.45c
71.04±0.32a
2.40±0.72b
C(400;10)
79±16.83bc
78.92±3.46a
75.85±6.23a
59.68±4.35a
73.48±6.00a
4.77±1.74b
D(200;50)
93±20.34ab
68.18±10.66a
40.10±11.88b
29.84±12.93bc
67.85±7.76a
10.38±6.36b
E(0;100)
98±16.17ab
54.76±8.20a
33.83±11.31b
19.79±15.15c
42.30±4.01b
24.47±7.40a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata ±SE
49
a
b
c
d
e
f
Gambar 8. Pembelahan sel telur-telur dari perlakuan A (a,b,c) dan telur-telur perlakuan E (d,e,f). Telur 1 jam setelah pembuahan (a dan d), telur 5 jam setelah pembuahan awal fase gastrulasi (b dan e), telur 10 jam setelah pembuahan awal organogenesis (c dan f).
a
c
b
d
Gambar 9. Gambaran morfologis larva: normal (a) dan abnormal (b, c dan d) dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II 4.2.6
Pembahasan E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama
pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. E2 mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan
gonad. Oleh karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al., 1992). T4 adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon T4 membantu proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Selain itu T4 juga terlibat dalam meningkatkan sintesis protein melalui peningkatan transkripsi RNA. Djojosoebagio (1990) menyatakan bahwa interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktifitas enzim polimerase sehingga pembentukan RNA pun meningkat. Dengan meningkatnya transkripsi RNA dan selanjutnya sintesis protein berarti adanya pemberian T4 juga akan meningkatkan protein vitelogenin. Implantasi E2 dapat meningkatkan kadar hormon E2 dalam plasma darah. Dalam penelitian ini meningkatnya konsentrasi hormon E2 plasma pada perlakuan- perlakuan yang diimplantasi dengan E2 (B, C dan D) terjadi pada pengamatan hari ke-14. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemberian E2 pada induk sangat efektif untuk meningkatkan kadar E2 plasma darah pada ikan. Flet dan Leatherland (1989) mendapatkan bahwa peningkatan kadar E2 plasma darah tertinggi terjadi pada hari ke 28 setelah implantasi E2 pada ikan Salmo gairdneri. Sularto
(2002) menyatakan
peningkatan kadar E2 darah terjadi pada hari ke 14 setelah induk jambal Siam diimplantasi dengan LHRH dan E2. Pada penelitian Supriyadi (2004) yang menggunakan teknik enkapsulasi 17α-metiltestosteron dalam emulsi yang diberikan pada ikan baung diperoleh kadar hormon E2 tertinggi pada hari ke 56. Perbedaan waktu yang terjadi kemungkinan karena adanya respon yang berbeda dari setiap spesies ikan yang berhubungan dengan teknik pemberian, dosis dan jenis hormon. Konsentarsi hormon E2 dalam plasma
darah setelah hari ke 14 mengalami
penurunan sampai pengamatan hari ke 84 (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan telur dimana kadar E2 akan menurun menjelang pematangan akhir. Menurut Singh dan Singh (1990) pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir maka sintesis E2 akan menurun, karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen terhadap hormon yang menstimulasi sintesis E2. Lebih lanjut Mylonas dan Zohar (2001) menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon E2 tinggi pada fase vitelogenesis dan mencapai puncaknya pada fase mGV(Germinal Vesicle migration) dan kemudian mengalami penurunan pada fase pGV(Germinal Vesicle peripheral).
Tingginya kadar E2 dalam plasma dapat mempercepat proses pematangan gonad yang ditunjukkan oleh perlakuan B tanpa penambahan T4. Pada perlakuan tersebut rataan dari lama waktu matang dari induk-induk dapat mencapai ukuran diameter maksimum dalam waktu tercepat 47±12.35 hari dengan diameter telur 1.23 ±0.03 mm dan GSI 13.66% HSI 1.7%, akan tetapi derajat tetas telur yang dihasilkan rendah. Rendahnya derajat tetas telur kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya produksi cairan ovari dan dengan meningkatnya cairan ovari maka cairan nampak berwarna lebih kecoklatan dan agak cair sehingga akan mempengaruhi warna telur menjadi coklat kehitaman (Gambar 10). Cairan ovari disekresikan secara langsung oleh sel-sel dinding rongga ovari yang berlangsung selama proses pematangan oosit dan proses ini dipengaruhi oleh steroid gonad (Sjafei et al., 1992). Cairan ini diduga mempengaruhi selubung lendir pada lapisan terluar dari telur, dimana selubung lendir kental ini disintesis dalam sel folikel selama vitelogenesis.
a
b
Gambar 10. Warna telur dan cairan ovari: telur berwarna coklat kehitaman serta cairan ovari agak cair dari induk perlakuan B (a), telur dan cairan ovari pada induk perlakuan A (b) pada percobaan tahap II Nagahama (1983) menyatakan bahwa pada Cichlasoma dan Fundulus lapisan selubung ini berfungsi sebagai alat untuk melekatkan telur pada substrat. Dari pengamatan penetasan telur ikan baung, telur-telur yang dihasilkan setelah dibuahi yang tidak menempel pada substrat, akan menghasilkan derajat tetas telur yang sangat rendah, sehingga menempel tidaknya telur ikan baung di substrat dapat menjadi indikator baik tidaknya kualitas telur. Pemberian T4 pada percobaan ini yang dikombinasikan dengan hormon E2 pada dosis T4 10 mg/kg bobot induk (perlakuan C) disamping menghasilkan pematangan
gonad yang cepat juga dapat meningkatkan derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan. Adanya fungsi T4 yang dapat meningkatkan sintesis protein berarti protein pada vitelogenin juga meningkat serta kualitas protein pada vitelogenin lebih baik jika dibandingkan tanpa penambahan T4. Pada percobaan ini pengaruh kombinasi hormon E2 dan T4 juga terlihat pada diameter telur. Diameter telur yang dihasilkan oleh induk-induk yang diimplan dengan hormon E2 dan T4 menghasilkan diameter telur yang relatif seragam dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hormon E2 dan T4 efisien dalam membantu proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan B (E2 600 µg/kg bobot tubuh), kadar lemak telur menurun sejalan dengan turunnya dosis E2 implant yang disertai naiknya pemberian T4 (Tabel 10). Kemungkinan tingginya kadar lemak juga menyebabkan menurunnya kadar protein telur karena pada umumnya kadar lemak telur tinggi akan diimbangi dengan kadar protein yang lebih rendah. Lemak pada telur perlakuan C lebih rendah dari perlakuan B, menandakan bahwa kemungkinan kadar protein telur perlakuan C lebih tinggi dari perlakuan B. Jika dilihat dari komposisi dan kadar asam lemak antar perlakuan tidak jauh berbeda. Hanya kadar NL perlakuan E sedikit lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Jadi pada perlakuan C selain telur cepat matang, derajat tetas telur juga lebih tinggi sedangkan pada perlakuan A derajat tetas telur sama dengan perlakuan C tetapi lama waktu matangnya lebih panjang. Perubahan komposisi asam lemak dari telur ke larva menunjukkan pola yang sama seperti percobaan tahap pertama. Penurunan lebih besar pada asam lemak jenuh dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti bahwa asam lemak esensial lebih banyak disimpan untuk pertumbuhan larva. Pada larva, seperti pada percobaan tahap pertama persentase penurunan asam lemak n-3 lebih besar dari pada asam lemak n-6 dan pada fase ini asam lemak esensial lebih efisien digunakan sebagai sumber energi dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Hormon T4 pada dosis yang tinggi bersifat katabolik. Matty (1985) menyatakan bahwa pengaruh T4 terhadap sintesis protein bersifat biphasic yaitu pada dosis rendah bersifat anabolik sedangkan pada dosis tinggi bersifat katabolik. Adanya sifat T4 demikian dapat menyebabkan turunnya kadar protein vitelogenin yang diserap telur dan
pengaruhnya berlanjut pada proses embriogenesis. Selain menghambat sintesis protein, T4 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan Turnover karbohidrat dan lemak lebih cepat (Shahib, 1989). Hal inilah yang menyebabkan derajat tetas telur dan lama waktu matang pada perlakuan D dan E menurun kembali. Penelitian Nacario (1983) menunjukkan bahwa pemberian dosis T4 terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya perkembangan tidak normal dari larva seperti kerusakan jaringan punggung (bengkok) dan pada bagian perut terjadi sklerosis. Dalam percobaan ini abnormalitas yang sama juga ditemukan terutama jelas pada perlakuan E (Gambar 9).