HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Biofisik Kepulauan Tanakeke
Secara geografis, Kepulauan Tanakeke terletak di bagian selatan dari Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 9) dan terletak diantara 119°11' 45,95" – 119°19' 01,05" Bujur Timur dan 5°23' 58,33" -5°30' 38,85" Lintang Selatan. Secara administratif, Kepulauan Tanakeke masuk dalam wilayah Kecamatan Mappakasungguh, Kabupaten Takalar, dimana wilayahnya berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah utara, selatan dan barat dan Selat Tanakeke dan Desa Takalar di sebelah timur. 742500
750000
757500
PETA GUGUSAN KEPULAUAN TANAKEKE
2 1 Pulau Dayang-Dayangan
N
3
W
E S
1000
Pulau Satangnga
3
9397500
9397500
2 1 Pulau Bauluang
1000
2000 Meter
Legenda :
1 2
0
1 Pulau Lantangpeo
1
Gugus Kepulauan Tanakeke
2
Laut Dangkal
3
Laut Dalam
Peta Indeks 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3 2
3° Prov. Sulawesi Selatan
1 5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 9 Peta gugusan Kepulauan Tanakeke Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima gugus pulau yang dibagi kedalam dua desa, yaitu Desa Maccinibaji meliputi Pulau Tanakeke dan Desa Matirobaji meliputi Pulau Lantangpeo, Pulau Bauluang, Pulau Satangnga dan Pulau Dayang-
62
Dayangan. Kelima pulau tersebut berjejer dari utara ke selatan dengan jarak masing-masing yaitu antara Pulau Tanakeke dengan Pulau Lantangpeo sekitar (± 0,05 km), antar Pulau Lantangpeo dengan Pulau Bauluang (± 2,85 km), antar Pulau Bauluang dengan Pulau Satangnga (± 0,95 km) dan antar Pulau Satangnga dengan Pulau Dayang-Dayangan (± 5,6 km) serta antara Pulau Dayang-Dayangan dengan Pulau Tanakeke sekitar (± 11,6 km). Jarak Kepulauan Tanakeke dari Ibukota Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar berkisar antar 8 dan 15 km. Luas daratan kelima gugus pulau tersebut disajikan pada Tabel 13. Tabel 13
No.
Nama gugus pulau, desa dan luas masing-masing daratan pulau, Kepulauan Tanakeke Tahun 2003. Nama Gugus Pulau
Desa
Luas Daratan (km2)
%
1.
Tanakeke
Maccinibaji
32,80
76.62
2.
Lantangpeo
Mattirobaji
5,80
13.55
3.
Bauluang
sda
3,17
7.40
4.
Stangnga
sda
0,72
1.68
5.
Dayang-Dayangan
sda
0,32
0.75
42,81
100
Luas total Kepulauan Tanakeke Sumber : Hasil analisis Citra Landsat _TM Tahun 2003.
Bentuk dan Tipe Kepulauan Tanakeke Kepulauan Tanakeke pada umumnya mempunyai bentuk gugus pulau yang agak memanjang, yaitu dari utara ke selatan kecuali pulau Tanakeke yang bentuknya agak bulat. Hal ini diduga karena pengaruh arus dan gelombang yang kuat terutama pada musim barat dan musim timur baik dari Selat Makassar sendiri maupun dari laut Flores. Gugusan Kepulauan Tanakeke dapat dikategorikan sebagai pulau sangat kecil dimana ukuran gugus pulaunya paling besar sekitar 32,80 km2 yaitu pulau Tanakeke, sementara empat pulau lainnya (pulau Lantangpeo, Bauluang, Satangnga dan Dayang-Dayangan) masing-masing luasnya dibawah 10 km2. Hal ini didasarkan pada batasan pulau sangat kecil, dengan ukuran luas maksimum 100 km2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa, 1993 ; Falkland, 1993).
63
Pulau-pulau
kecil
memiliki
berbagai
tipe
ditinjau
dari
aspek
pembentukannya. Kepulauan Tanakeke mempunyai tipe sebagai pulau daratan rendah dimana ketinggian pulau dari muka laut tidak besar. Asal pembentukan pulau terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut (nonvulkanis). Iklim Kepulauan Tanakeke memiliki curah hujan rata-rata/tahun dalam kurung waktu lima tahun sebesar 2.197 mm/th dengan rata-rata jumlah hari hujan yaitu 119 hari\tahun. Umumnya curah hujan tinggi dimulai pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, sedangkan musim kemarau dimulai pada bulan Mei sampai dengan Bulan September. Adapun rincian jumlah hari dan curah hujan di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14
Jumlah hari dan curah hujan (mm) setiap bulan di Kecamatan Mappakasunggu Tahun 1997 – 2001. 1997
Bulan
1998
1999
2000
2001
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Hari Hujan
Curah Hujan
Januari
20
504
6
46
27
773
25
764
26
766
Pebruari
20
708
7
70
22
473
24
677
23
578
Maret April
9 8
86 83
6 18
129 187
21 12
285 104
20 17
335 117
22 19
326 122
Mei Juni
1 -
19 -
5 6
3 32
-
-
3 -
18 -
5 -
17 -
Juli
1
8
15
130
-
-
-
-
-
-
Agustus
-
-
1
3
4
3
-
-
-
-
September 6 52 3 7 4 5 2 Oktober 10 18 10 111 12 113 10 Nopember 3 32 17 316 15 183 16 285 15 Desember 11 199 17 662 18 435 18 457 17 Jumlah 73 1639 114 1648 132 2374 139 2771 139 Rata2 curah hujan/tahun 2.197 mm dan jumlah rata2 hari hujan 119 hari/tahun Sumber : Kecamatan Mappakasunggu Dalam Angka, 2001.
4 10 284 448 2555
64
Berdasarkan perhitungan dengan metode Schmid dan Ferguson maka perhitungan bulan basah dan bulan kering untuk Kepulauan Tanakeke di peroleh nilai Q berkisar antara 0,15 – 0,16, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi iklim di Kepulauan Tanakeke termasuk tipe B (0,143 < Q < 0,333 atau kategori basah. Angin. Berdasarkan pada kondisi musim yang berpengaruh di wilayah Kepulauan Tanakeke, maka kondisi angin yang bertiup di wilayah tersebut dapat dibagi dalam 3 musim sebagai berikut: (a) Angin Barat (musim barat) terjadi pada Bulan Nopember – Pebruari dengan frekwensi tertinggi Bulan Januari. (b) Angin Timur (musim Timur) terjadi pada Bulan Mei – Juli dengan frekwensi tertinggi Bulan Juli. (c) Angin Peralihan (transisi) terjadi pada Bulan Maret – April dan Agustus – Oktober. Potensi Air Tawar Pada umumnya pulau kecil mempunyai cadangan air tawar yang sangat terbatas karena luas wilayah tangkapannya yang sempit disamping itu lensa air tanah pada pulau kecil lebih gampang terkontaminasi dengan air laut terutama bila ekosistem terumbu karang yang ada telah terganggu. Sumber air tanah dangkal di Kepulauan Tanakeke hanya dapat ditemukan di Pulau Satangnga dan Bauluang dengan kedalaman rata-rata 3 – 4 meter dan sebagian kecil di Pulau Tanakeke (bagian tengah pulau) pada kedalaman rata-rata sekitar 7-12 meter. Untuk kebutuhan air tanah di Kepulauan Tanakeke berdasarkan hasil survei (UNHAS, 2001) dengan menggunakan teknik geolistrik diperoleh data bahwa debit air tanah adalah sekitar 1,5 liter/dt dengan pengeboran sampai kedalaman sekitar 200 meter. Kondisi ini dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk. Oleh karena itu masyarakat Kepulauan Tanakeke dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya terhadap air tawar, mereka menampung air hujan pada waktu musim hujan dan pada waktu kemarau mereka mengambil dari Pulau Satangnga dan Bauluang serta daratan Kabupaten Takalar.
65
Topografi Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (UNHAS, 2001) bahwa Kepulauan Tanakeke mempunyai kemiringan lahan pada kisaran 0 – 3 %. Pada umumnya gugus Kepulauan Tanakeke mempunyai daratan dengan topografi datar, kecuali Pulau Tanakeke yang sedikit berombak pada bagian tengahnya. Jenis Tanah Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tanah di gugus Kepulauan Tanakeke (UNHAS, 2001), bahwa jenis tanah yang terdapat di wilayah tesebut terdiri dari dua jenis yaitu Gleisol dan Mediteran. Jenis tanah ini berdasarkan klasifikasi Tanah menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (PPT) (1978/1982) atau modifikasi dari Sistem Dudal-Soepraptohardjo. (a) Gleisol Jenis tanah ini selalu jenuh air sehingga berwarna kelabu atau menunjukkan sifat hidromorfik lain di dalam penampang pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan ke bawah, bukan berupa bahan kasar dari bahan albik, tidak mempunyai horison diagnostik (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A, horison histik, umbrik, mollik, kalsik atau gipsik (Hardjowigeno, 2003). Gleisol dijumpai pada daerah cekungan dan daerah datar pinggir pantai. Tanah ini mempunyai sifat-sifat yang terkadang basah dan kering, tekstur liat hingga liat berdebu. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan musim dan faktor pasang surut. (b) Mediteran Jenis tanah ini mempunyai horison argilik, mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc) lebih dari 50 persen sekurang-kurangnya pada beberapa bagian horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan dan tidak mempunyai horison albik yang berbatasan langsung dengan horison argilik atau fragipan (Hardjowigeno, 2003). Tanah mediteran menyebar di daerah yang kering dengan lereng 0 – 3 % dengan kedalaman 0 – 50 cm. Tanahnya hitam kecoklatan dan pada bagian bawah terlihat putih kekuning-kuningngan dengan kemasaman
66
rendah. Menurut Hardjowigeno (1995), jenis tanah ini seperti tanah podsolik, tetapi kejenuhan basa lebih dari 50%. Kondisi Oseanografis Pasang Surut, Tipe pasang surut di perairan sekitar Kepulauan Tanakeke berdasarkan hasil pengamatan selama 24 jam diperoleh dua kali pasang dan dua kali surut. Tipe pasang surut demikian merupakan tipe pasang surut diurnal. Fluktuasi pasang surut berkisar 1 - 1,5 m. Data pasang surut dari DISHIDROS-AL diketahui bahwa tipe pasang di perairan Kepulauan Tanakeke merupakan tipe pasang surut campuran condong ke harian, artinya dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan sekali surut. Tipe pasang tersebut dapat dilihat pada Gambar 10; Lampiran 3. Grafik Pasang Surut Perairan Tanakeke Bulan Maret 2003 140
Tinggi MukaAir (cm)
120 100 80 60 40 20 0 0
100
200
300
400
500
600
700
Jam
Gambar 10
Kondisi pasang surut perairan Kepulauan Tanakeke pada bulan Maret 2003
Pasang surut pada proses penentuan alokasi pemanfaatan ruang difungsikan sebagai salah satu parameter dalam evaluasi kesesuaian lahan, terutama dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut dan keramba jaring apung.
67
Gelombang. Prediksi tinggi dan periode gelombang dalam penelitian ini didasarkan pada data arah dan kecepatan angin maksimum selama 11 tahun terakhir. Arah angin permukaan yang digunakan untuk memprediksi gelombang di lokasi penelitian adalah angin yang berarah dari selatan sampai dengan arah utara, sedangkan angin permukaan dari arah lain dianggap tidak berpengaruh terhadap proses pembangkitan gelombang, karena merupakan angin dari daratan. Peramalan gelombang yang terjadi akibat angin dibagi dalam 4 musim yaitu musim barat, peralihan I, musim timur dan peralihan II. Hasil yang diperoleh dari peramalan tinggi gelombang pada setiap musim disajikan pada Tabel 15 – 18; Gambar 11 – 14 dan Lampiran 4. Tinggi gelombang signifikan (Hs) yang terjadi pada musim barat (Desember – Februari) sebagian besar berkisar pada interval 1,1 - 1,5 m (30,30 %) dengan arah datang gelombang dominan dari arah barat laut (57,58 %) sampai barat (30,30 %). Pada
musim
peralihan
I
(Maret
–
Mei),
musim
timur
(Juni – Agustus) dan musim peralihan II (September – November) tinggi gelombang mulai turun dimana sebagian besar berkisar antara 0,51 - 1 m. Arah datang gelombang untuk musim peralihan I dominan dari arah barat laut (53,57%), musim timur dominan dari arah barat daya (31,25%) dan musim peralihan II dominan dari arah barat laut dan barat daya (30,43 %). Ketinggian gelombang yang terjadi dari hasil peramalan gelombang untuk wilayah perairan Kepulauan Tanakeke sebelah barat cukup besar disebabkan posisinya yang terbuka (berhadapan langsung dengan Selat Makassar) sehingga gelombang yang terbangkitkan dari arah laut dalam (Selat Makassar) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Lain halnya dengan wilayah perairan sebelah timur yang lebih terlindung karena ada Selat Tanakeke dan Desa Takalar yang berfungsi sebagai penghalang (barier) sehingga pengaruh gelombang lebih kecil.
68
Tabel 15 Prediksi tinggi gelombang musim barat Tahun 1990 – 2000
0 – 0.5 m
0.51 – 1 m
1.1 – 1.5 m
1.51 – 2 m
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Utara
-
-
-
-
2
6.06
-
-
-
-
2
6.06
Timur Laut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.00
Timur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.00
Tenggara
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.00
Selatan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.00
Barat Daya
-
-
1
3.03
3
9.09
-
-
-
-
4
12.12
Barat
1
3.03
5
15.15
-
-
2
6.06
-
-
8
24.24
Barat Laut
1
3.03
5
15.15
8
24.24
4
12.12
1
3.03
19
57.58
Total
2
6.06
11
33.33
13
39.39
6
18.18
1
3.03
33
100
Arah Angin
>2m
Total
Sumber : Hasil Analisis, 2004
40%
50%
30% 10%
20%
Gambar 11 Waverose musim barat di Kepulauan Tanakeke Tahun 1990 - 2000
69
Tabel 16
Arah Angin
Prediksi tinggi gelombang musim peralihan I, Tahun 1990 – 2000 0 – 0.5 m
0.51 – 1 m
1.1 – 1.5 m
1.51 – 2 m
>2m
Total
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Utara
-
-
3
9.09
-
-
-
-
-
-
3
9.09
Timur Laut
2
6.06
-
-
-
-
-
-
-
-
2
6.06
Timur
1
3.03
-
-
-
-
-
-
-
-
1
3.03
Tenggara
2
6.06
-
-
-
-
-
-
-
-
2
6.06
Selatan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.00
Barat Daya
1
3.03
1
3.03
-
-
-
-
-
-
2
6.06
Barat
2
6.06
3
9.09
-
-
-
-
-
-
5
15.15
Barat Laut
2
6.06
8
24.24
3
9.09
5
15.15
-
-
18
54.55
Total
10
30.30
15
45.45
3
9.09
5
15.15
-
-
13
100
Sumber : Hasil Analisis, 2004
30% 10%
40%
50%
20%
Gambar 12 Waverose musim peralihan I di Kepulauan Tanakeke Tahun 19902000
70
Tabel 17 Arah Angin
Prediksi tinggi gelombang musim timur, Tahun 1990 – 2000 0 – 0.5 m
0.51 – 1 m
1.1 – 1.5 m
1.51 – 2 m
>2m
Total
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
2
6.06
-
-
-
-
-
-
-
-
2
6.06
Timur Laut 10
30.30
-
-
-
-
-
-
-
-
10
30.30
Timur
6
18.18
-
-
-
-
-
-
-
-
6
18.18
Tenggara
1
3.03
-
-
-
-
-
-
-
-
1
3.03
Selatan
-
-
1
3.03
-
-
-
-
-
-
1
3.03
Barat Daya
1
3.03
4
12.12
-
-
-
-
-
-
5
15.15
Barat
1
3.03
3
9.09
-
-
-
-
-
-
4
12.12
Barat Laut
3
9.09
1
3.03
-
-
-
-
-
-
4
12.12
Total
24
72.73
9
27.27
-
-
-
-
-
-
33
100
Utara
%
Sumber : Hasil Analisis, 2004
40%
50%
30% 10%
Gambar 13
20%
Waverose musim timur di Kepulauan Tanakeke Tahun 1990 2000
71
Tabel 18 Prediksi tinggi gelombang musim peralihan II, Tahun 1990 – 2000 Arah Angin
0 – 0.5 m
0.51 – 1 m
1.1 – 1.5 m
1.51 – 2 m
>2m
Total
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
Utara
-
-
1
3.03
3
9.09
-
-
-
-
4
12.12
Timur Laut
3
9.09
-
-
-
-
-
-
-
-
3
9.09
Timur
3
9.09
-
-
-
-
-
-
-
-
3
9.09
Tenggara
4
12.12
-
-
-
-
-
-
-
-
4
12.12
Selatan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Barat Daya
2
6.06
3
9.09
2
6.06
-
-
-
-
7
21.21
Barat
-
-
5
15.15
-
-
-
-
-
-
5
15.15
Barat Laut
-
-
4
12.12
3
9.09
-
-
-
-
7
21.21
12
36.36
13
39.39
8
24.24
-
-
-
-
33
100
Total
%
0.00
Sumber : Hasil Analisis, 2004
40%
50%
30% 10%
20%
Gambar 14 Waverose musim peralihan II di Kepulauan Tanakeke Tahun 19902000
72
Arah dan Kecepatan Arus. Kondisi arus baik arah maupun kecepatan pada daerah penelitian terlihat bahwa rata-rata kecepatan arus adalah 0,14 m/dt, dengan arah N 1800 E sampai dengan N 320o E (Lampiran 5). Melihat dari arah arus maka dapat diasumsikan bahwa arus yang terukur adalah arus dari perairan lepas bukan arus akibat gaya pasang surut, karena arah N 1800 E sampai dengan N 320o E adalah arah dari laut lepas. Kecerahan Perairan. Pengamatan lapangan yang telah dilakukan diperoleh data (Lampiran 6) bahwa kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat cerah yang rata-rata berkisar 100%, hal ini dilihat bahwa kondisi dasar perairan terlihat dengan jelas dari permukaan, namun ada beberapa tempat yang kondisi kecerahannya tidak mencapai 100% yaitu sekitar 9 lokasi dengan nilai sekitar 50 – 90%. Salinitas.
Dari hasil pengamatan (lampiran 6) menunjukkan
bahwa
kondisi salinitas daerah penelitian dalam hal ini perairan sekitar Kepulauan Tanakeke termasuk dalam kategori sedang yang sangat sesuai untuk kegiatan budidaya. Kisaran salinitasnya sekitar 27 – 31,5 ‰. Kondisi seperti ini sangat dimungkinkan karena daerah pengambilan sampel dekat dengan daratan dan masih belum terlalu jauh dari suplai air tawar. Suhu.
Suhu di sekitar Pulau Tanakeke berkisar antara 28 – 32 °C
(Lampiran 6). Nontji (1987), menyebutkan bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 28 – 38 °C dan suhu di dekat pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di perairan lepas.
73
Karakteristik Sosial Ekonomi Kepulauan Tanakeke Penduduk. Untuk mengetahui banyaknya penduduk, rumah tangga, kepadatan, ratarata anggota rumah tangga (ART) dan rasio jenis kelamin penduduk tiap desa di Kepulauan Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu Tahun 2001 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Banyaknya penduduk, rumah tangga dan kepadatannya di setiap desa di Kepulauan Tanakeke Tahun 2001 No
Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Rumah Tangga
Kepadatan (Jiwa/km2)
Rata-rata ART
Rasio Jenis Kelamin
1
Mattirobaji
2.981
622
141
5
92,94
2
Maccinibaji
3.072
668
343
5
96,04
Sumber: Kecamatan Mappakasunggu dalam Angka, 2001.
Sedangkan untuk mengetahui banyaknya bangunan tempat tinggal menurut jenisnya tiap desa di Kepulauan Tanakeke Tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20
Banyaknya bangunan tempat tinggal menurut jenisnya di setiap desa di Kepulauan Tanakeke Tahun 2001
No
Desa
Permanen
Semi Permanen
Rumah panggung
Lainnya
1
Mattirobaji
9
256
331
16
2
Maccinibaji
7
212
415
14
Sumber: Kecamatan Mappakasunggu dalam Angka, 2001.
Mata Pencaharian. Mata pencaharian yang menonjol di Kepulauan Tanakeke saat ini adalah petani rumput laut dan nelayan. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan masyarakat setempat, bahwa masyarakat di gugus Pulau Tanakeke dan
74
Lantangpeo memiliki mata pencaharian sekitar 80% sebagai petani rumput laut dan selebihnya adalah nelayan, pedagang, PNS, buruh dan lainnya. Sedangkan di gugus pulau Bauluang, Satangnga dan Dayang-Dayangan tidak ada yang berprofesi sebagai petani, tapi hampir semuanya sebagai nelayan (90%). Jenis mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Jenis mata pencaharian penduduk yang ada di Kepulauan Tanakeke No 1 2 3 4 5
Jenis Mata Pencaharian
Desa Maccinibaji
Mattirobaji
533 46 18 467 70
450 58 22 422 63
Petani/Nelayan Pedagang PNS/Jasa Buruh Lainnya
Sumber: Kecamatan Mappakasunggu dalam Angka, 2001.
Tingkat Perekonomian. Fenomena tentang tingkat perekonomian masyarakat pulau yang sangat kecil umumnya masih sangat rendah, kenyataan ini merupakan realitas yang belum terbantahkan. Gambaran ini sepintas juga terwakili secara umum pada penduduk di Kepulauan Tanakeke. Walaupun belum di dukung data sosial ekonomi yang valid, tingkat perekonomian penduduk tersebut belum bisa disejajarkan pada taraf sejahtera. Bentuk rumah hunian yang berkategori nonpermanen serta belum terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan penduduk yang sifatnya sekunder secara layak merupakan parameter fisik yang tersirat akan rendahnya tingkat perekonomian yang ada, karena umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah pulau-pulau kecil pekerjaan utamanya adalah mencari ikan (nelayan) dan selebihnya adalah kegiatan pembudidaya, seperti budidaya rumput laut.
75
Sarana dan Prasarana Sosial. Kondisi Kepulauan Tanakeke yang cenderung terisolir berkorelasi pada tidak menunjangnya ketersediaan sarana dan prasarana sosial. Sarana-sarana sosial mendasar dan menjadi syarat standar hidup masyarakat belum terpenuhi secara layak di wilayah ini. Ketersediaan dan kondisi sarana dan prasarana sosial pokok di wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Fasilitas Pendidikan.
Fasilitas pendidikan seperti gedung Sekolah
tersedia secara fisik di dua desa di Kepulauan Tanakeke. Jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Kepulauan Tanakeke No 1 2 3 4 5 6
Sarana Pendidikan TK SD Negeri SD Inpres SLTP SLTA Jumlah
Desa Maccinibaji 1 2 3
Mattirobaji 3 3 1 7
Sumber: Kecamatan Mappakasunggu dalam Angka, 2001
Fasilitas Kesehatan. Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Kepulauan Tanakeke terdiri dari tiga puskesmas pembantuh (pustu), dua berada di Desa Maccinibaji (gugus pulau Tanakeke) dan satu lagi berada di Desa Mattirobaji (gugus pulau Satangnga). Sarana dan Prasarana Transportasi Laut. Fasilitas transportasi laut di Kepulauan Tanakeke sampai saat ini belum ada disediakan oleh PEMDA Kabupaten Takalar, akan tetapi semuanya disediakan oleh masyarakat setempat. Setiap desa masing-masing tersedia angkutan reguler yang berangkat pada hari pasar (tiga kali seminggu), disamping itu juga banyak masyarakat menumpang pada perahu nelayan yang menjual ikan atau rumput laut di Kabupaten Takalar. Umumnya menggunakan perahu bermesin (jolloro) dan jenis motor tempel.
76
Jumlah dan jenis sarana prasarana transportasi laut di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 23. Tabel 23
No
Jenis sarana dan prasarana transportasi laut/perahu nelayan yang ada di Kepulauan Tanakeke Tahun 2001 Fasilitas Transportasi/Perahu Nelayan
Desa Maccinibaji
Mattirobaji
28 147 176
36 198 235
1 Perahu/Jolloro 2 Motor Tempel Jumlah Sumber: Kecamatan Mappakasunggu dalam Angka, 2001.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke. Masyarakat pulau-pulau kecil umumnya mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas dan unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan keterbatasan pulau-pulau kecil dalam menyediakan lahan, sehingga variasi usaha masyarakat sangat terbatas dan umumnya terkonsentrasi pada kegiatan perikanan. Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim, dan pasar, maka karakteristik masyarakat Kepulauan Tanakeke juga terpengaruh oleh faktor-faktor tersebut. Beberapa sifat dan karakteristik usaha-usaha masyarakat di Kepulauan Tanakekel yang memiliki ketergantungan pada kondisi lingkungan, musim dan pasar. Ketergantungan pada Kondisi Lingkungan.
Salah satu sifat usaha
perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Keadaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Ketergantungan
kehidupan
masyarakat
pada
lingkungan
menyebabkan mereka tidak banyak memiliki alternative lain sehingga gangguan terhadap lingkungan, misalnya pencemaran, dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil. Ketergantungan pada Musim. Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat Kepulauan Tanakeke adalah ketergantungan mereka pada musim. Apabila musim penangkapan ikan, nelayan kecil pada umumnya sangat
77
sibuk melaut, sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil. Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat umum dijumpai dikalangan nelayan, yakni pola hubungan yang bersifat Patron-Klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk maka para nelayan kecil dan buruh nelayan seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (juragan). Konsekwensinya para peminjam tersebut terikat dengan pihak juragan atau pedagang. Keterikatan tersebut antara lain keharusan menjual produknya kepada juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris sangat mudah berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi. Ketergantungan pada Pasar.
Karakteristik lain yang dilakukan oleh
masyarakat Kepulauan Tanakeke adalah ketergantugan pada pasar. Para petani dan nelayan sangat tergantung pada pasar, hal ini disebabkan karena komoditas yang dihasilkan oleh mereka itu harus dijual terlebih dahulu baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karakteristik tersebut mempunyai implikasi sangat penting yakni masyarakat nelayan/petani sangat peka terhadap harga. Perubahan-perubahan produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi mayarakat perikanan, sehingga ada kecenderungan sektor-sektor lain di luar perikanan akan menjadi tempat pelarian terakhir setelah mereka gagal dalam usahanya.
78
Potensi & Kondisi Sumberdaya Alam Kepulauan Tanakeke Dalam penelitian ini, potensi dan kondisi sumberdaya alam yang ada di Kepulauan Tanakeke diamati dengan menggunakan citra satelit LandsatTM yaitu kombinasi band 432; 547 dan 543. Hasil interpretasi citra tersebut dapat dilihat pada Gambar 15, 16 dan 17.
742500
750000
757500
PETA CITRA SATELIT LANDSAT_TM 2003 KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
N W
E S
1000
9397500
9397500
Pulau Satangnga
Pulau Bauluang
0
1000
2000 Meter
Keterangan : Citra Komposit (Kombinasi) Band 432 Peta Indeks
Pulau Lantangpeo
118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
118°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke
5°
120°
122°
Sumber : Citra Satelit Landsat_TM Path/Row : 114 - 064 Aquisisi : 25 Mei 2003 ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 15. Citra komposit (kombinasi) band 432
Citra komposit (kombinasi) band 432 pada Gambar 15 digunakan untuk melihat kenampakan laut dangkal dan garis pantai. Hasil interpretasi menunjukkan bahwa laut dalam berwarna hitam, laut dangkal dan garis pantai berwarna biru kontras, darat dan vegetasi berwarna putih, hijau dan merah. Sedangkan citra komposit band 547 dan 543 pada Gambar 16 dan 17 digunakan untuk melihat kenampakan vegetasi (mangrove). Hasil interpretasi menunjukkan bahwa mangrove berwarna hijau terang dan tegalan berwarna putih.
79 742500
750000
757500
PETA CITRA SATELIT LANDSAT_TM 2003 KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
N W
E S
1000
9397500
9397500
Pulau Satangnga
Pulau Bauluang
0
1000
2000 Meter
Keterangan : Citra Komposit (Kombinasi) Band 547 Peta Indeks
Pulau Lantangpeo
118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
118°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke
120°
122°
Sumber : Citra Satelit Landsat_TM Path/Row : 114 - 064 Aquisisi : 25 Mei 2003 ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
757500
Gambar 16 Citra komposit (kombinasi) band 547 742500
750000
757500
PETA CITRA SATELIT LANDSAT_TM 2003 KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
N W
E S
1000
9397500
9397500
Pulau Satangnga
Pulau Bauluang
0
1000
2000 Meter
Keterangan : Citra Komposit (Kombinasi) Band 543 Peta Indeks
Pulau Lantangpeo
118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
118°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke
5°
120°
122°
Sumber : Citra Satelit Landsat_TM Path/Row : 114 - 064 Aquisisi : 25 Mei 2003 ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 17 Citra komposit (kombinasi) band 543
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
80
Gugusan Kepulauan Tanakeke (1) Pulau Tanakeke Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat_TM Aquisisi 23 Mei 2003 path/row 114/064 (Gambar 18), potensi sumberdaya lahan yang tersedia adalah daratan pulau dan laut dangkal, dengan luas masing-masing 32,80 km2 dan 29,14 km2. Penggunaan lahan yang ada saat ini (existing) untuk darat meliputi
permukiman, tambak, alan-alan/semak belukar dan mangrove,
sedangkan untuk perairan dangkal dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut dan penangkapan ikan dengan alat tangkap sero. Luas masing-masing penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 24. Secara umum penggunaan lahan di daratan Pulau Tanakeke didominasi oleh tegalan sedang di perairan laut dangkal didominasi oleh rumput laut. 742500
750000
757500
PETA PENGGUNAAN LAHAN PULAU TANAKEKE N W
Pulau Lantangpeo
1000
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda : 1 2
9397500
9397500
3
3 5
4
7
4 5 Keterangan Umum : 6 7
6
Peta Indeks 118°
1 2
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
Pulau Tanakeke
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
9390000
9390000
118°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 18 Peta penggunaan lahan di Pulau Tanakeke
81
Tabel 24 Presentase luas penggunaan lahan daratan Pulau Tanakeke No.
Penggunaan Lahan
Luas (km2)
%
2.58 12.06 10.12 8.04 32.80
8 37 31 24 100
1. Permukiman 2. Alan-alan/Semak belukar 3. Tambak 4. Mangrove Luas total
Untuk penggunaan lahan perairan (perairan dangkal), saat ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut dan alat tangkap sero. Luas areal budidaya rumput laut dan alat tangkap sero adalah masing-masing 3.76 km2 dan 0.004 km2. Jika dibandingkan dengan luas total perairan dangkal yaitu sebesar 29.14 km2 maka kegiatan budidaya rumput laut dan alat tangkap sero masing-masing menempati lahan sekitar 12.90% dan 0.02%. Sedangkan untuk penggunaan lainnya di perairan dangkal seperti alur teransportasi, daerah penangkapan ikan untuk berbagai jenis alat tangkap, dan lain-lain belum terukur karena sifatnya tidak tetap atau berpindah-pindah. (2) Pulau Lantangpeo Pulau Lantangpeo merupakan salah satu pulau di Kepulauan Tanakeke yang hampir bersambungan dengan Pulau Tanakeke yaitu dengan jarak hanya sekitar 50 meter. Pulau ini biasa disebut sebagai pulau mangrove karena hampir semua pulaunya ditutupi oleh hutan mangrove (sekitar 4,51 km2). Berdasarkan hasil analisis citra satelit
(Gambar 19), luas keseluruhan Pulau Lantangpeo
adalah sekitar 5,80 km2. Penggunaan lahan yang ada saat ini disajikan pada Tabel 25 berikut ini : Tabel 25 Presentase luas penggunaan lahan daratan Pulau Lantangpeo No. Penggunaan Lahan 1. Permukiman 2. Alan-alan/Semak belukar 3. Goba 4. Mangrove Luas total
Luas (km2) 0.05 0.44 0.77 4.54 5.80
% 1 8 13 78 100
82
742500
750000
757500
PETA PENGGUNAAN LAHAN PULAU LANTANGPEO N
6
W
1000
Pulau Lantangpeo
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda : 1 2 3
9397500
9397500
5
4 Keterangan Umum : 5
3
6 Peta Indeks
4
118°
1
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
2
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
9390000
9390000
118°
750000
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
Pulau Tanakeke 742500
120°
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 19. Peta penggunaan lahan di Pulau Lantangpeo (3) Pulau Bauluang Pulau Bauluang terletak antara Pulau Tanakeke dan Pulau Satangnga. Bentuk Pulau Bauluang memanjang dari utara ke selatan dimana pada sisi barat pulau ini ditumbuhi mangrove yang cukup lebat sedangkan bagian sebelah timur relative sedikit/jarang dengan luas keseluruhan sekitar 2,47 km2 . Pulau Bauluang memiliki luas daratan sekitar 3,17 km2, sedangkan laut dangkalnya mempunyai luasa sekitar 2,99 km2. Penggunaan lahan yang ada saat ini disajikan pada Tabel 26 dan Gambar 20 berikut ini. Tabel 26 Presentase luas penggunaan lahan daratan Pulau Bauluang No.
Penggunaan Lahan
Luas (km2)
%
1.
Permukiman
0.12
4
2.
Alan-alan/Semak belukar
0.58
18
3.
Mangrove
2.47 3.17
78 100
Luas total
83 742500
750000
757500
PETA PENGGUNAAN LAHAN PULAU BAULUANG N
Pulau Bauluang W
1000
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda :
2
1 2 9397500
9397500
3
1
Keterangan Umum : 4 5
Peta Indeks 118°
3
4
120°
122°
5 Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
9390000
9390000
118°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 20 Peta penggunaan lahan Pulau Bauluang (4) Pulau Satangnga Pulau Satangnga terletak antara Pulau Bauluang dengan Pulau DayangDayangan, bentuk pulaunya seperti dengan pulau bauluang yaitu memanjang namun sedikit ke timur dan barat, dimana pada sisi utara dan selatan pulau ini ditumbuhi mangrove yang cukup lebat dengan luas sekitar 0,35 km2, luas daratan sekitar 0,72 km2 dan luas perairan dangkalnya adalah sekitar 1,11 km2. Pulau ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pulau yang lain karena memiliki potensi sumberdaya air tawar yang cukup banyak, sehingga penduduk pulaupulau disekitarnya mengambil air untuk keperluan mencuci dan minum di pulau tersebut. Penggunaan lahan yang ada saat ini disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 21 berikut ini. Tabel 27 Penggunaan lahan daratan Pulau Satangnga No.
Penggunaan Lahan
1. Permukiman 2. Semak belukar 3. Mangrove Luas total
Luas (km2) 0.22 0.15 0.35 0.72
% 30 20 50 100
84 742500
750000
757500
PETA PENGGUNAAN LAHAN PULAU SATANGNGA N W
1000
Pulau Satangnga
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda : 1
4
2 9397500
9397500
3
1
2
Keterangan Umum : 4 5
Peta Indeks
3 118°
5
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
9390000
9390000
118°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 21. Peta penggunaan lahan Pulau Satangnga (5) Pulau Dayang-Dayangan Pulau Dayang-Dayangan merupakan pulau paling utara dari gugusan Kepulauan Tanakeke setelah Pulau Satangnga, yang satu-satunya pulau yang tidak memiliki hutan mangrove. Bentuknya ada kemiripan dengan Pulau Bauluang dan Satangnga. Jumlah penduduknya sangat sedikit (hanya sekitar 7 kepala keluarga). Hasil analisis citra satelit menunjukkan bahwa luas total daratan pulau Dayang-Dayangan adalah sekitar 0,32 km2, sedangkan perairan dangkalnya mempunyai luas sekitar 0,54 km2. Penggunaan lahan yang ada saat ini disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 22 berikut ini. Tabel 28 Penggunaan lahan daratan Pulau Dayang-Dayangan No.
Penggunaan Lahan
Luas (km2)
%
1.
Permukiman
0.01
3
2.
Semak belukar
0.15
47
3. Hamparan pasir putih Luas total
0.16 0.32
50 100
85
742500
750000
757500
PETA PENGGUNAAN LAHAN PULAU DAYANG-DAYANGAN N
Pulau Dayang-Dayangan
W
1000
E S 1000
0
2000 Meter
Legenda : 1 2 3
9397500
1
4
9397500
5
2
Keterangan Umum : 4 5 Peta Indeks 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
3 5°
5°
9390000
9390000
118°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 22 Peta penggunaan lahan Pulau Dayang-Dayangan
Kondisi Ekosistem Di Wilayah Pesisir Kepulauan Tanakeke (1) Ekosistem Mangrove Mangrove di Kepulauan Tanakeke dengan luas total sekitar 15,25 km2 dijumpai hampir di seluruh pulau, kecuali Pulau DayangDayangan. Untuk mengetahui sebaran dan luasannya pada masing-masing pulau tersebut, dapat dilihat pada Tabel 29 dan Gambar 23. Tabel 29. Luas ekosistem mangrove di Kepulauan Tanakeke No.
Gugus Pulau
1. Tanakeke 2. Lantangpeo 3. Bauluang 4. Satangnga 5. Dayang-Dayangan Luas total
Luas Mangrove (km2) 7.92 4,51 2.47 0.35 15.25
% 52 30 16 2
100
86 742500
750000
757500
PETA SEBARAN MANGROVE DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
N W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
Pulau Satangnga Legenda :
1 Pulau Bauluang Pulau Lantangpeo 1
Ekosistem Mangrove
9397500
9397500
1
1 Peta Indeks 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
1
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
118°
5°
120°
122°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 23. Peta sebaran mangrove di Kepulauan Tanakeke Hasil analisis keanekaragaman mangrove di Kepulauan Tanakeke menunjukkan bahwa, sebagian besar didominasi oleh jenis bakau (Rhyzophora mucronata), kemudian diikuti oleh Lumnitzera dan Sonneratia. Dari 12 stasiun yang diamati,
Bakau (R.. mucronata) memiliki kerapatan jenis 60 – 100,
sedangkan Lumnitzera dan Sonneratia masing-masing memiliki kerapatan jenis 28 dan 12. Untuk frekwensi jenis R. mucronata mencapai 85,69%, Lumnitzera dan Sonneratia masing – masing 7,14 %. Penutupan jenis juga didomonasi oleh R. mucronata yaitu sekitar 99,99% sedangkan Lumnitzera dan Sonneratia masing-masing hanya 0,007 % dan 0,005 % (Lampiran 7.)
(2) Ekosistem Lamun Ekosistem lamun dijumpai di seluruh gugus pulau di Kepulauan Tanakeke, berdasarkan hasil analisis interpretasi citra satelit, sebaran dan luasan ekosistem lamun pada lima gugus pulau tersebut disajikan pada Tabel 30 dan Gambar 24.
87
Tabel 30 Luas ekosistem lamun di Kepulauan Tanakeke No.
Luas lamun (km2)
Gugus Pulau
1.
Tanakeke
2.
Lantangpeo
3. 4.
%
14.55
82.7
Bauluang
1.89
10.7
Satangnga
0.88
5.0
5. Dayang-Dayangan Luas total
0.28 17.6
100
1.6
Berdasarkan hasil survey lapang dari 12 stasiun yang diamati pada 5 gugus pulau, terdapat 5 jenis vegetasi lamun yang ditemukan yaitu dari jenis Thalassia hemprinchii, Cymodocca rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides dan Halophila minor.
742500
1
750000
757500
PETA SEBARAN LAMUN DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
2 N W
E S
1000
Pulau Satangnga 1
0
1000
2000 Meter
Legenda :
9397500
9397500
Pulau Bauluang 1
1
Ekosistem Padang Lamun
Pulau Lantangpeo Peta Indeks
1
118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
118°
9390000
9390000
1
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 24 Peta sebaran ekosistem lamun di Kepulauan Tanakeke
88
Hasil perhitungan kerapatan dan persen penutupan vegetasi lamun di Kepulauan Tanakeke (Gambar 25; Lampiran 8) menunjukkan kerapatan dan persen penutupan yang sangat bervariasi.
Kerapatan (N) dan Tutupan (%)
400 350
Kerapatan
337.1
300
Tutupan
272.43
262.1
250
224.1 194.45
200
135.7
150
143.4
130.56
118.23
112.09 86.54
100
68.91 52.27
61.64
61.88
67.86 46.28
67.42
63.36 33.19
50
43.26
50.84
37.59 20.33
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Stasiun Pengamatan
Gambar 25. Diagram kerapatan dan penutupan vegetasi lamun di Kepulauan Tanakeke Pada daerah teluk yang tenang seperti pada stasiun 1, 2 dan 3 yang terletak disekitar Rewataya dan Lantangpeo, memiliki kondisi ekosistem lamun yang sangat bagus dengan persentase penutupan daun lamun yang tinggi yaitu masing-masing antara 52,27 – 68,91% (Gambar 25). Persen penutupan daun lamun yang tinggi memungkinkan organisme epiphyta menempel dengan padat sekali pada permukaan daun lamun. Organisme yang menempel tersebut merupakan mata rantai makanan yang penting dalam jaring-jaring makanan pada ekosistem padang lamun. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Tomascik et all, (1997) bahwa helaian daun lamun menyediakan substrat yang padat yang memiliki akses terhadap cahaya matahari, nutrient dan pertukaran air sehingga memungkinkan organisme yang menempel (epiphyta) tumbuh subur pada permukaan daun lamun. Sebaran vegetasi lamun seperti pada Gambar 24 di atas mempunyai variasi yang cukup tinggi, terutama pada stasiun 1,2, dan 3 (Pulau Tanakeke dan Lantangpeo) dengan stasiun 4,5 dan 6 (Pulau Bauluang). Demikian juga pada
89
stasiun 7,8 dan 9 (Pulau Satangnga) dengan stasiun 10,11 dan 12 (Pulau DayangDayangan). Adanya variasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan dari lima gugus pulau di Kepulauan Tanakeke mempunyai tingkat kesuburan yang berbeda. Selain itu, tingkat kecerahan juga sangat berpengaruh dimana perairan yang sering teraduk oleh arus dan gelombang menyebabkan tingginya kekeruhan yang dapat mengurangi panetrasi sinar matahari yang mengakibatkan proses fotosintesis padang lamun terhambat. (3) Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di gugus Kepulauan Tanakeke, dijumpai di seluruh pulau. Berdasarkan hasil analisis interpretasi citra satelit, sebaran ekosistem terumbu karang dibagi atas dua kategori, yaitu karang mati dan karang hidup. Untuk mengetahui sebaran dan luasan ekosistem terumbu karang pada masing-masing pulau tersebut, dapat dilihat pada Tabel 31 dan Gambar 26. Tabel 31 Luas ekosistem terumbu karang di Kepulauan Tanakeke No.
Gugus Pulau
Karang hidup (km2)
Karang mati (km2)
1.93
1.79
1.
Tanakeke
2.
Lantangpeo
3.
Bauluang
0.39
0.56
4.
Satangnga
0.80
0.17
5. Dayang-Dayangan Luas total
0.30 3.42
0.09 2.61
Hasil analisis data lapangan mengenai kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Tanakeke, menunjukkan bahwa presentase penutupan yang paling tinggi didominasi oleh komponen hard coral (HC) dengan nilai persen tutupan
25 – 70 %, kemudian disusul dengan komponen Rubbel (R)
dengan nilai 0 – 40 %. Sedangkan tutupan paling rendah didominasi oleh algae (rumput laut) dengan nilai persentase penutupan 0 – 5 %. Persentase penutupan karang di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 32.
90
742500
750000
Pulau Dayang-Dayangan
757500
PETA SEBARAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TANAKEKE
400 344.11
350 300
1
Karang Hidup Karang Mati
250
N 186.46
200 150
W
100 50
39.42
17.85 16.46
30.18
S
9.31
1000
0 Tanakeke
Pulau Satangnga 2
E
55.97
Bauluang
Satangnga
0
1000
2000 Meter
Dayang2an
Legenda :
9397500
9397500
Pulau Bauluang
1
1
Terumbu Karang Hidup
2
Terumbu Karang Mati
2 Pulau Lantangpeo
Peta Indeks 118°
120°
122°
2 Prov. Sulawesi Barat
1 3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
Gambar 26. Tabel 32
Sta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Peta sebaran ekosistem terumbu karang di Kepulauan Tanakeke
Persentase penutupan komponen terumbu karang di Kepulauan Tanakeke. Lokasi
P. Bauluang (utara) P. Bauluang (timur) P. Bauluang (barat) P. Bauluang (selatan) P. Dayang Dayangan (utara) P. Dayang Dayangan (barat) P. Dayang Dayangan (timur) P. Dayang Dayangan (selatan) P. Satangnga (timur)
P. Satangnga (selatan) P. Satangnga 11 (barat)
HC SC
Prosentase rata-rata SP ALG R DC
S
Biota yang dominant
70
5
5
0
10
10
0
45
5
10
0
30
10
0
65
0
5
5
15
10
0
45
10
5
0
10
25
15
Porites, Lobophyllia,
35
15
15
0
5
0
30
Porites massive, Sponge, Gorgonia
70
5
5
0
0
10
10
25
10
5
0
40
10
10
40
5
5
0
10
30
10
50
5
10
0
25
5
5
35
5
10
0
15
25
10
65
0
0
0
10
15
5
Echinopora, Lobophyllia Acropora, Favia, Porites Acropora branching,
Acropora branching Acropora, Porites, karang lunak Porites , Lobophyllia Acropora, Porites Acropora, Porites, Lobophyllia Porites (branching+massive)
91
Tabel. 32 (lanjutan) Sta
Lokasi
HC SC
12 P. Satangnga (utara) P. Tanakeke 13 (Barat) P. Tanakeke 14 (selatan) P. Tanakeke 15 (timur) P. Tanakeke 16 (utara)
Keterangan : HC = SC = SP = ALG = R = DC = S =
Prosentase rata-rata SP ALG R DC
S
Biota yang dominant
40
10
5
0
15
25
5
Acropora, Porites, karang lunak
60
5
10
5
5
0
15
Acropora branching
40
10
10
0
10
25
5
Acropora, Porites , karang lunak
45
15
5
0
5
25
5
Acropora, Sponge, Gorgonia
55
5
10
0
5
20
5
Porites massive, Sponge
hard coral (karang keras) Soft Coral (karang lunak) Sponge Algae (rumput laut) Rubble (pecahan karang) Dead Coral (karang mati) Sand (pasir)
Hasil inventarisasi jenis terumbu karang, didapatkan sekitar 17 family dan 145 jenis, atau jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Sebaran jenis terumbu karang tersebut bervariasi pada masing-masing pulau seperti disajikan pada Gambar 27.
100
90
80
Jumlah Species
70
60
85
94
66
89
95
50
40
30
20
10
0 P Tanakeke
P Lant angpeo
P Bauluang
P Sat angnga
P Dayang2an
Gugus Kepulauan Tanakeke
Gambar 27 Diagram jumlah jenis terumbu karang di Kepulauan Tanakeke
92
Jenis dan jumlah kelimpahan ikan karang yang ditemukan di gugus Kepulauan Tanakeke yang terdiri dari 151 spesies dan 23 famili, secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9a. Sedangkan jumlah jenis jenis ikan pada masingmasing pulau disajikan pada Gambar 28.
90
83
80
80
65
70 60
55
50 40
33
30 20 10 0
P. Tanakeke
P. Lantangpeo
P. Bauluang
P. Sat angnga
P. Dayng2an
Gugus Pulau
Gambar 28 Diagram jumlah jenis ikan karang di Kepulauan Tanakeke
Potensi Sumber Daya Perikanan (1) Perikanan Budidaya Di Kepulauan Tanakeke, khususnya gugus pulau Tanakeke memiliki potensi sumberdaya perikanan budidaya yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Jenis budidaya perikanan yang diusahakan selama ini adalah budidaya tambak dan rumput laut. Namun untuk budidaya tambak saat ini sudah mulai ditinggalkan karena tambak tidak memberikan hasil yang signifikan lagi, disamping itu membutuhkan modal yang relatif besar dan waktu yang cukup lama dalam proses produksinya. Oleh karena itu saat ini yang menjadi primadona masyarakat untuk dikembangkan di wilayah tersebut adalah budidaya rumput laut, hal ini disebabkan karena disamping modalnya tidak besar,
93
juga waktu panennya relatif singkat yaitu sekitar 35-40 hari. Disamping itu pemasarannya juga cukup mudah karena pembeli yang datang ketempat mereka atau bisa juga menjual langsung ke Kabupaten Takalar atau ke Makassar. Budidaya ikan dengan keramba jaring apung pernah di ujicobakan di sekitar teluk pulau Tanakeke, namun karena biaya investasinya cukup mahal sehingga masyarakat tidak mampu melakukannya walaupun waktu di ujicobakan cukup berhasil. Disamping itu waktu panennya juga cukup lama yaitu 4-6 bulan. Sementara karakter masyarakat pulau dengan kebiasaannya sebagai nelayan tidak mampu menunggu terlalu lama untuk dapatkan hasil. (2) Perikanan Tangkap Kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Takalar khususnya Kepulauan Tanakeke saat ini masih terkonsentrasi di sekitar pulau dengan sasaran penangkapan yaitu ikan karang dan ikan pelagis kecil serta ikanikan dasar (demersal). Jenis alat tangkap yang digunakan masih tergolong tradisional seperti pancing, bubu, dan jaring sedangkan kapal/perahu yang dipakai untuk menangkap ikan pun berukuran relatif kecil sehingga tidak mampu beroperasi di perairan lepas pantai (maksimal 5 mil). Jenis hasil tangkapan nelayan yang umum di didaratkan di Kabupaten Takalar termasuk Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 33. Tabel 33
No.
Produksi Tahunan Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Takalar Tahun 1997 – 2001 Tahun Produksi (Ton)
Alat Tangkap 1997
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Peperek Manyung Gerot-Gerot Ikan Merah/ Bambangan Kerapu Lencam Kurisi Gulamah Tiga Wajah Cucut Pari
1998
1999
2000
2001
1.759 111,9 82
1.803 114 123,3
1.837,4 117,2 125,5
1.686,5 101,1 114,9
1.977,3 118,6 128,1
188,6
208,7
212,6
196
217,6
144,2 143,6 205,3
177,4 189,2 270,7
180,7 192,7 276
166,9 184,8 241
142,4 196,8 282
195,1
199,1
202,9
183,7
126,6
53 140,8
54,4 144,3
64,7 168,5
78,8 159,7
66 168
94
Tabel 33. (lanjutan) No. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Alat Tangkap Layang Selar Kue Ikan Terbang Belanak Teri Japuh Tembang Lemuru Kembung Tenggiri Layur Cakalang Ikan lainnya Udang Putih Udang Dogol Cumi-Cumi Sotong Bawal Hitam Tuna Total
1997 1.529 1.348,1 54,6 2.022,4 107,2 339 288,4 2.632,5 2.014 827,9 67,5 127,5 75,9 1.423,7 226,5 51,3 29,6 57 16.194,30
Tahun Produksi (Ton) 1998 1999 1.559,4 1.585,9 1.345,5 1.370,6 55,7 56,8 2.053,2 2.308,5 109,4 111,6 344,6 351,2 287,5 292,8 2.696,1 2.746,1 2.060,8 2.100 846,8 862,8 59,3 60,3 135,9 138,6 77,3 78,7 1.452,8 1.479,9 232,4 237 52,5 53,5 26,5 27,2 13,3 13,7 30 16.723,10 17.253,40
2000 1.541,6 1.329,9 62 2.560,5 123,7 378,3 298,1 2.379,7 1.998,7 930,3 65,3 139,4 84 494,6 193,4 54,6 30,4 14,1 15.792
2001 1530,9 1.399,9 57,9 2.135,3 86,1 352,8 151 2.626,4 2.143,7 880,5 61,7 141,3 80,3 1.401,3 242 53,6 27,5 13,8 16.743,40
Sumber : BPS_ Kabupaten Takalar, 2001.
Potensi Sumberdaya Air Tawar Potensi air tawar di Kepulauan tanakeke sangat tergantung dari curah hujan, semakin tinggi curah hujannya maka semakin besar pula ketersediaan air tawar pada semua gugusan pulau. Curah hujan tinggi biasanya terjadi pada bulan Desember sampai dengan Pebruari. Sumur-sumur yang dimiliki masyarakat pada musim tersebut rata-rata tinggi air mencapai 0,5 – 1 meter dari permukaan tanah, tapi sebaliknya pada musim kemarau ada yang mencapai 20 meter dari permukaan tanah seperti di pulau Tanakeke. Disamping mengandalkan air sumur, juga banyak masyarakat yang menyediakan tempat-tempat penampungan yang cukup besar untuk menampung air hujan sebagai persediaan dalam menghadapi musim kemarau. Pada musim kemarau air tawar sangat susah di peroleh di semua pulau kecuali pulau Bauluang dan Satangnga. Masyarakat dari pulau Tanakeke, Lantangpeo dan Dayang-Dayangan mengambil air tawar pada kedua pulau tersebut, disamping itu juga banyak masyarakat yang mengambil air tawar dan sekaligus berbelanja kebutuhan hari-hari di Kabupaten Takalar pada waktu hari pasar yaitu hari kamis dan ahad (dua hari dalam seminggu).
95
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Kepulauan Tanakeke Mengalami Degradasi dalam Sepuluh Tahun Terakhir.
Kawasan Kepulauan Tanakeke memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar terutama sumberdaya perikanan, baik budidaya rumput laut maupun penangkapan ikan, sehingga banyak stakeholder yang berada disekitar kawasan tersebut tertarik untuk memanfaatkannya. Dengan tingginya minat para stakeholder tersebut menyebabkan terjadinya pemanfaatan yang tidak terkendali sehingga terjadi degradasi lingkungan. Jika kita melihat potret Kawasan Kepulauan Tanakeke (Gambar 29) dalam kurung waktu sepuluh tahun (1994-2003) maka sangat jelas terjadinya perubahan terutama kondisi morfologi kawasan tersebut. Berdasarkan hasil interpretasi citra Tahun 1994 bahwa kondisi Kepulauan Tanakeke masih tergolong bagus yang ditandai dengan luasan mangrove yang diperkirakan sekitar 20 km2. Sedangkan luas tambak baru sekitar 5 km2. Jika dibandingkan dengan kondisi pada Tahun 2003 kondisi Kepulauan Tanakeke sudah banyak terjadi perubahan terutama terjadinya penurunan luasan mangrove mencapai 4.76 km2 dengan luasan Tahun 2003 sebesar 15.24 km2. Berkurangnya luasan mangrove tersebut disebabkan oleh konversi mangrove menjadi tambak dan permukiman serta sebagian digunakan untuk patok rumput laut dan alat tangkap sero maupun untuk kebutuhan kayu bakar bagi masyarakat setempat.
96
Gambar
29
Potret kondisi Kepulauan Tanakeke dalam 10 Tahun terakhir dengan Citra Satelit Landsat_TM Aquisisi Tahun 1994 dan 2003
97
Terjadinya perubahan yang cukup drastis terhadap kondisi Kepulauan Tanakeke dalam kurung waktu sepuluh tahun tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut, akan tetapi hal ini terjadi karena belum terintegrasinya kawasan Kepulauan Tanakeke kedalam tata ruang Kabupaten Takalar. Sehingga kawasan tersebut belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah setempat terutama yang berkaitan dengan pengembangan kawasan tersebut kedepan. Belum ada aturan yang jelas tentang perencanaan kedepan, mau dijadikan apa kawasan tersebut dan pembangunan yang dilakukan masih berorientasi kepada pembangunan wilayah daratan (main land). Disamping terjadinya kerusakan mangrove, juga terjadi kerusakan terumbu karang di semua gugus pulau. Terjadinya kerusakan terumbu karang tersebut disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak, bius (potassium sianida). Selain itu kerusakan juga terjadi akibat pembongkaran terumbu untuk kebutuhan bahan bangunan maupun untuk pembuatan tanggul pencegahan abrasi pantai di sekitar permikiman penduduk. Menurut Ukkas (1995), kondisi terumbu karang pada tahun 1990-an masih dalam kategori baik sampai sangat baik (tutupan karangnya 50-90%) dengan luas karang hidup sekitar 6,7 km2. Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang (Tahun 2003), kondisi terumbu karang Kepulauan Tanakeke sudah banyak mengalami kerusakan (luas karang hidup sekitar 3.42 km2 dengan tingkat penutupan karangnya sebesar 25-70%. Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove maupun terumbu karang di kawasan Kepulauan Tanakeke, disebabkan karena kurangnya perhatian pihak pemda setempat sehingga tidak ada pengawasan dan pembatasan pemanfaatan terhadap potensi ekosistem tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga dan mempertahankan kelestarian kedua ekosistem tersebut, perlu adanya pengaturan atau alokasi pemanfaatan berdasarkan kemampuan atau daya dukung lokasi agar tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
98
Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Analisis kesesuaian dan daya dukung lahan yang digunakan dalam menilai kesesuaian peruntukan dan daya dukung lahan untuk aktivitas tertentu didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah studi. Hasil analisis evaluasi kesesuaian dan daya dukung lahan yang dilakukan dalam studi ini merupakan kesesuaian dan daya dukung lahan pada saat ini, dimana kelas kesesuaian dan daya dukung lahan yang
dihasilkan
berdasarkan
pada
data
yang
tersedia
dan
belum
mempertimbangkan asumsi/usaha perbaikan bagi tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang ada. Kesesuaian dan Daya Dukung Lahan Perikanan Rumput Laut. Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke dibagi ke dalam dua musim yaitu musim peralihan dan musim barat-timur (disajikan pada Tabel 34), sedangkan peta kesesuaian lahannya dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31. Tabel 34 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke Musim Peralihan Barat-Timur
Kesesuaian Lahan (km2) Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai 3.73 9.86 15.55 3.73 4.11 21.3
Jumlah total perairan yang sesuai (km2) 13.59 7.84
Hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan yang didapatkan di Kepulauan Tanakeke tersebut (Tabel 34) menunjukkan bahwa lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut hanya di perairan sekitar gugus Pulau Tanakeke dan Lantangpeo. Hal ini disebabkan kedua pulau tersebut memiliki teluk yang agak tertutup, sehingga cukup terlindung pada waktu musim barat dan timur.
99 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN RUMPUT LAUT PADA MUSIM PERALIHAN DI KEPULAUAN TANAKEKE
+ Pulau Dayang-dayangan
N W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
Pulau Satangnga Legenda : Pulau Bauluang 9397500
9397500
Sangat Sesuai Sesuai
Pulau Lantangpeo Peta Indeks 118°
120°
122°
1 Prov. Sulawesi Barat
3°
2
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 30. Peta kesesuaian budidaya rumput laut di perairan Kepulauan Tanakeke (musim peralihan)
100 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN RUMPUT LAUT PADA MUSIM TIMUR & BARAT DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-dayangan
N W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
Pulau Satangnga Legenda : Sangat Sesuai 9397500
9397500
Pulau Bauluang
Sesuai
Pulau Lantangpeo Peta Indeks 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 31. Peta kesesuaian budidaya rumput laut di perairan Kepulauan Tanakeke (musim timur dan barat)
101
Jika dibandingkan dengan luas perairan dangkal pulau Tanakeke dan Lantangpeo (29,14 km2), maka persentase masing-masing kategori kesesuaian tersebut dapat dilihat pada Gambar 32. Perbedaan pemanfaatan lahan perairan ini disebabkan oleh adanya faktor musim, dimana pada musim barat dan timur mempunyai arus dan gelombang yang cukup kuat sehingga lokasi perairan yang bisa dimanfaatkan hanya di dalam teluk saja, sedangkan pada musim peralihan relatif lebih tenang sehingga pemanfaatannya bisa dilakukan di luar teluk (di sekeliling pulau).
100
80 73.1 60
53.4
40 33.8 20 14.1
12.8 12.8 0 Sangat Sesuai
Sesuai
Musim Peralihan
Gambar 32
Tidak Sesuai
Musim Barat-Timur
Diagram persentase kesesuaian perairan budidaya rumput laut di Pulau Tanakeke
Analisis evaluasi kesesuaian lahan perairan tersebut
dilakukan
berdasarkan kriteria dari yang paling penting sampai yang kurang penting (Lampiran 1). Kriteria tersebut diperoleh dari hasil penilaian beberapa respoden yang berasal dari perguruan tinggi (yang berkecimpung di bidang perikanan dan kelautan), dinas perikanan dan kelautan, pakar budidaya rumput laut dan masyarakat petani rumput laut itu sendiri.
102
Dalam penentuan kesesuaian lahan ini dievaluasi 5 karakteristik perairan yaitu: (i) keterlindungan (ii) kedalaman perairan, (iii) kecepatan arus, (iv) substrat dasar perairan, dan (v) kecerahan perairan. Sedangkan parameter lainnya seperti suhu, salinitas, dan pH perairan tidak dimasukkan dalam analisis spasial karena pada umumnya masih dalam batas yang normal untuk pertumbuhan rumput laut. Dari lima parameter kesesuaian yang dievaluasi dalam penentuan kesesuaian lahan perairan budidaya rumput laut tersebut terungkap parameter keterlindungan yang paling penting untuk menjamin pertumbuhan rumput laut, sebab arus yang kuat akan dapat merusak atau menghambat pertumbuhan rumput laut. Kecepatan arus yang diperoleh di lapangan berkisar antara 10-50 cm/dtk. Kecepatan arus yang baik untuk lokasi budidaya rumput laut adalah antara 20-40 cm/dtk, lokasi yang tidak memenuhi kriteria tersebut berada jauh dari pantai dan kedalamannya lebih dari 5 m. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistijo (1997) bahwa kecepatan arus antara 20-30 cm/dtk adalah sangat sesuai, sedangkan 30-40 cm/dtk adalah kategori sesuai. Selanjutnya, parameter paling penting kedua adalah parameter kedalaman. berdasarkan hasil pengukuran dilapangan menunjukkan bahwa kedalaman perairan umumnya berkisar antara 1,0 - 5,0 m. Kisaran tersebut merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma dengan metode long line. Untuk budidaya rumput laut dengan metode rakit apung atau long line kedalaman 1,0-2,5 m termasuk kategori sesuai, sedangkan kedalaman 2,5-5,0 m masuk dalam kategori sangat sesuai. Menurut Yulianda et al (2001) kedalaman perairan untuk jenis Eucheuma yaitu kedalaman air pada waktu surut terendah 50100 cm, dan tidak lebih dari 200-300 cm pada waktu pasang. Parameter selanjutnya adalah subtrat dasar perairan, berdasarkan hasil survey lapangan bahwa pada kedalaman antara 1,0 - 5,0 m umumnya bersubstrat pasir, lamun dan sedikit berkarang. Kondisi ini cukup layak bagi kelangsungan pertumbuhan rumput laut karena terhindar dari kekeruhan yang menyebabkan terganggunya proses fotosintesis yang dapat menurunkan produktivitas perairan.
103
Karakteristik perairan
berikutnya adalah kecerahan perairan, dimana
berdasarkan hasil pengukuran di lapangan diperoleh nilai kecerahan berkisar antara <60% -100%. Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air (Nybakken, 1988). Selain kelima parameter tersebut di atas, parameter lain seperti suhu perairan, salinitas air laut, derajat keasaman (pH), dan oksigen terlarut masih pada batas yang wajar untuk pertumbuhan rumput laut.
Suhu perairan di lokasi
0
penelitian berkisar antara 28-32 C, sedangkan salinitasnya berkisar antara 29-35 ‰, pH berkisar antara 7,0-8,5. Ini masih berada pada kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma. Menurut Yulianda et al (2001) untuk rumput laut jenis Eucheuma kisaran suhu air laut antara 27-300C, dan salinitas perairan sekitar 30-37 ‰.
Sedangkan menurut Sulistijo (1997)
Eucheuma akan tumbuh baik pada salinitas 28-34 ‰ dengan nilai optimum 33 ‰. Perairan budidaya sebaiknya mempunyai pH antara 7,8-8,2 (Indriani dan Sumiarsih, 1999). Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang optimal dari kegiatan tersebut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan aspek ekobiologinya (persyaratan tumbuhnya), seperti pemilihan bibit yang bagus, perairan yang cukup tenang dan terlindung dari pengaruh angin, ombak dan arus yang kuat serta tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Kondisi ini biasanya ditemukan pada teluk-teluk yang agak tertutup dan di sekitar gugus pulau-pulau kecil. Kebijakan pengembangan kegiatan budidaya rumput laut, khususnya di Kepulauan Tanakeke harus mempertimbangkan daya dukung lahan. Dimana aspek ini sangat menentukan keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut tersebut. Daya dukung yang digunakan dianalisis dengan pendekatan luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan dan metode budidaya yang diterapkan. Hasil analisis daya dukung lahan untuk pengembangan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 35 dan Tabel 36.
104
Tabel 35. Daya dukung lahan perairan untuk budidaya rumput laut (musim peralihan)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Gugus Pulau
Daya Dukung lahan (jumlah unit budidaya rumput laut ) Sangat Sesuai Sesuai
Luas Lahan (km2)
Kapasitas Lahan (km2)
Sangat Sesuai
Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
9,86
2.56
6.76
1067
2817
-
-
-
-
-
9,86
2.56
6.76
1067
2817
Tanakeke 3,73 Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayang2an 3,73 Jumlah Sumber : Hasil analisis 2003
Keterangan Tabel : Kapasitas lahan perairan adalah 68.57% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai) Luas satu unit budidaya dengan metode long line = 2400 m2 atau 0,0024 km2 DD lahan (jumlah Unit) = Kapasitas lahan / luas unit budidaya rumput laut
Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut pada musim peralihan didapatkan luas kapasitas lahan untuk kategori sangat sesuai dan sesuai masing-masing sebesar 2.56 km2 dan 6.76 km2 sedangkan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sangat sesuai dengan sesuai masingmasing sebanyak 1067 unit dan 2817 unit (Tabel 35). Jika digabungkan jumlah unit usaha budidaya rumput laut tersebut maka total unit yang dapat diusahakan pada musim peralihan yaitu sebesar 3.884 unit. Daya dukung lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut pada musim barat dan timur didapatkan luas kapasitas lahan untuk kategori sangat sesuai dan sesuai masing-masing sebesar 2.56 km2 dan 2.82 km2 sedangkan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sangat sesuai dengan sesuai yaitu masing-masing sebanyak 1067 unit dan 1175 unit (Tabel 36). Jika digabungkan jumlah unit usaha budidaya rumput laut tersebut maka total unit yang dapat diusahakan pada musim barat dan timur yaitu sebesar 2242 unit.
105
Tabel 36. Daya dukung lahan perairan untuk budidaya rumput laut (Musim Barat dan Timur)
No.
Gugus Kepulauan Tanakeke
Daya Dukung lahan (jumlah unit budidaya rumput laut ) Sangat Sesuai Sesuai
Luas Lahan (km2)
Kapasitas Lahan (km2)
Sangat Sesuai
Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
4,11
2.56
2.82
1067
1175
-
-
-
-
-
4,11
2.56
1.32
1067
1175
1. 2. 3. 4. 5.
Tanakeke 3,73 Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayang2an 3,73 Jumlah Sumber : Hasil analisis 2003
Keramba Jaring Apung. Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya ikan kerapu dengan keramba jaring apung (KJA) di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 37, sedangkan peta kesesuaian lahannya dapat dilihat pada Gambar 33. Tabel 37. Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk keramba jaring apung di Kepulauan Tanakeke Gugus Pulau Tanakeke Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayang2an Total
Kesesuaian Lahan (km2) Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai 1,22
1,47
1,22
1,47
Jumlah total perairan yang sesuai (km2)
26.45
2.69
26.45
2.69
Sumber : Hasil analisis 2003
Hasil evaluasi kesesuaian lahan yang didapatkan tersebut (Tabel 37) terungkap bahwa lokasi yang sesuai untuk usaha keramba jaring apung hanya diperairan sekitar gugus Pulau Tanakeke dan Lantangpeo. Hal ini disebabkan kedua pulau tersebut memiliki teluk yang agak tertutup sehingga cukup terlindung dari gelombang dan arus dari lepas pantai. Jika dibandingkan dengan luas perairan dangkal Pulau Tanakeke dan Lantangpeo (29,14 km2), maka lahan perairan yang dimanfaatkan untuk kegiatan keramba jaring apung hanya sekitar 9.23% (Gambar 34).
106 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN KJA DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-dayangan
N W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
Pulau Satangnga Legenda : Sangat Sesuai
9397500
9397500
Pulau Bauluang
Sesuai
Pulau Lantangpeo Peta Indeks 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 33. Peta kesesuaian lahan keramba jaring apung (KJA) di perairan Kepulauan Tanakeke
107
Penentuan lokasi tersebut dengan mempertimbangkan beberapa parameter dan salah satu diantaranya adalah parameter keterlindungan, dimana parameter ini sangat menentukan tingkat keberhasilan kegiatan budidaya dengan KJA dan menduduki peringkat kategori yang sangat penting, seperti daerah teluk.
100
Persentase kesesuaian lahan perairan (%)
90 80 70 60
9 0 .7 7
50 40 30 20 10 5 .0 4
4 .19 0 Sangat Sesuai
Gambar 34
Sesuai
Tidak Sesuai
Diagram persentase kesesuaian perairan budidaya KJA di Pulau Tanakeke
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa di lokasi penelitian terdapat beberapa teluk yang berpotensi untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA (Tabel 38). Tabel 38 Luas teluk yang ada di sekitar Pulau Tanakeke dan Lantangpeo No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Total
Nama Teluk Tompotanah Rewataya Balangloe Kalukuang Bangkotinggia Lantangpeo
Luas (km2)
%
1,40 10,50 0,88 0,92 1,16 1,19 16,05
8.72 65.42 5.48 5.73 7.23 7.41 100
Sumber: Data primer hasil analisis Citra Landsat TM Mei, 2003.
108
Selain daerah teluk yang relatif terlindung ini, parameter lainnya seperti kedalaman perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan dan kualitas perairan juga sangat menentukan dalam penentuan alokasi budidaya dengan sistem KJA. Hasil pengamatan lapangan pada daerah teluk di Pulau Tanakeke yang umumnya terlindung dari arus dan gelombang besar, kedalaman 1-18 m, kecepatan arus 10-40 cm/dtk dengan jenis subtrat dasar perairan berlumpur campur pasir, berpasir dan berkarang, serta kecerahan perairan 40 – 100% memungkinkan untuk dikembangkannya budidaya ikan kerapu dengan KJA. Berdasarkan hasil analisis tumpangsusun yang dilakukan didapatkan bahwa parameter keterlindungan masuk dalam kategori paling penting dalam menentukan lokasi untuk budidaya ikan kerapu dengan KJA di laut. Lokasi ini umumnya dapat ditemukan di daerah teluk. Parameter penting selanjutnya adalah kedalaman dimana sangat berperan dalam pengoperasian KJA karena dengan mengetahui kedalaman perairan berarti dapat mengetahui kedalaman jaring yang akan digunakan dapat ditentukan. Parameter kecepatan arus juga tak kalah pentingnya dengan keriteria yang lain, dimana sangat berperan untuk membawa/membilas (flushing) sisa pakan atau kotoran ikan tetapi tidak sampai mengganggu jaring sehingga mengurangi luasan ruang ikan dalam keramba (Kusumastanto et al, 2000). Parameter kecerahan perairan juga mempengaruhi kegiatan budidaya dalam KJA. Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton dan bahan-bahan yang terlarut lainnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesis serta mengganggu pernapasan hewan di air dan bahkan tidak layak untuk kegiatan budidaya ikan. Parameter lainnya seperti suhu perairan, dari pengamatan lapangan bahwa suhu perairan di sekitar Pulau Tanakeke berkisar antara 28-320C. Suhu perairan yang baik dan layak untuk budidaya ikan laut adalah 27-320C (Rachmansyah, 2004). Sedangkan salinitas perairan di Pulau Tanakeke dari pengamatan lapangan berkisar 29 - 35 ‰, pH air laut berkisar antara 7,0 - 8,5. Menurut Beveridge (1987) dalam pemilihan lokasi untuk pengembangan KJA di laut kriteria (suhu
109
air, salinitas, DO, pH, kekeruhan, pencemaran, padatan terlarut, dan alga) lebih diperuntukkan pada kondisi fisika-kimia air laut yang akan menentukan bagi pemilihan/perkembangan ikan budidaya. Analisis daya dukung lahan perairan Kepulauan Tanakeke untuk kegiatan budidaya ikan dengan keramba jaring apung dilakukan dengan pendekatan luas areal kegiatan budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai) dan kapasitas lahan. Hasil analisis daya dukung lahan untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dengan KJA di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan hasil analis daya dukung lahan tersebut diperoleh luas kapasitas lahan untuk kategori sangat sesuai dan sesuai masing-masing sebesar 0,36 km2 dan 0,44 km2 sedangkan jumlah unit KJA yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sangat sesuai dengan sesuai yaitu masing-masing sebanyak 2.500 unit dan 3.056 unit (Tabel 39). Tabel 39
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Gugus Pulau
Daya dukung lahan perairan untuk kegiatan budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) Daya Dukung lahan (Jumlah Unit KJA ) Sangat Sesuai Sesuai
Luas Lahan (km2)
Kapasitas Lahan (km2)
Sangat Sesuai
Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
1,47
0,36
0,44
2.500
3.056
-
-
-
-
-
1,47
0,36
0,44
2.500
3.056
Tanakeke 1,22 Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayang2an 1,22 Jumlah Sumber : Hasil analisis 2003
Keterangan Tabel : Kapasitas lahan perairan adalah 29.75% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai) Luas satu unit budidaya ikan dengan KJA = (12 x 12) m2 = 144 m2 = 0,00014 km2 DD lahan (jumlah Unit) = Kapasitas lahan / luas unit budidaya rumput laut
Perikanan Tangkap. Berdasarkan hasil deliniasi dari lokasi penangkapan ikan yang sesuai baik untuk penangkapan ikan pelagis maupun ikan karang di dapatkan luas masing-masing sebesar 354,04 km2 dan 57,34 km2 (Gambar 35 dan 36). Dalam penentuan kesesuaian daerah penangkapan ikan (fishing ground), banyak aspek yang dapat menjadi indikator, seperti produktivitas perairan,
110
parameter oceanografi, ketersediaan makanan ikan, jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, pencemaran dan lain-lain. Akan tetapi dalam studi ini penulis tidak melakukan pengukuran terhadap kriteria-kriteria tersebut dengan alasan bahwa lokasi studi masih dalam kondisi lingkungan yang masih relatif alami dan semua persyaratan lingkungan masih cukup mendukung untuk ketersediaan berbagai jenis ikan karang maupun pelagis ekonomis penting yang menjadi tujuan penangkapan. Penentuan daerah penangkapan ikan di daerah studi, baik ikan karang maupun ikan pelagis kecil dan cakalang didasarkan pada hasil wawancara dengan nelayan yang menangkap di sekitar Kepulauan Tanakeke, baik nelayan pendatang maupun nelayan yang berdomisidi di Kepulauan Tanakeke sendiri. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sekitar 93 responden dengan jenis alat tangkap yang berbeda, maka daerah penangkapan yang sesuai baik ikan karang maupun ikan pelagis berada pada sekitar perairan Kepulauan Tanakeke. Untuk mendeliniasi sampai dimana batas daerah-daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan tersebut, didasarkan pada pengalaman-pengalaman nelayan dimana sering melakukan penangkapan secara turun temurun dengan kemampuan armada dan alat tangkap yang dimiliki (Lampiran 10). Disamping itu, yang sangat menentukan dalam penangkapan ikan adalah faktor musim, dimana di Kawasan perairan Kepulauan Tanakeke pada musim barat dan timur tidak ada aktivitas penangkapan sama sekali karena tinggi gelombang bisa mencapai 2 meter. Kedua musim tersebut umumnya terjadi pada bulan Nopember sampai dengan bulan Pebruari
111 742500
750000
757500
PETA DAERAH PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN KEPULAUAN TANAKEKE
1 N
Pulau Dayang-Dayangan
W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
1 Legenda :
Pulau Satangnga
Sesuai Daerah Penangkapan Ikan Pelagis
9397500
9397500
1
Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang
Peta Indeks 118°
1
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
1 3°
Pulau Tanakeke
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
9390000
9390000
118°
1
742500
750000
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 35. Peta kesesuaian lokasi penangkapan ikan pelagis kecil dan cakalang di sekitar perairan Kepulauan Tanakeke
112 742500
750000
757500
PETA DAERAH PENANGKAPAN IKAN KARANG DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan 1
N W
E S
1000
Pulau Satangnga
0
1000
2000 Meter
Legenda : Sesuai Daerah Penangkapan IKan Karang
9397500
9397500
1
Pulau Bauluang Pulau Lantangpeo
1 Peta Indeks
1 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
Pulau Tanakeke
5°
9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
Gambar 36. Peta kesesuaian lokasi penangkapan ikan karang dan demersal di sekitar perairan Kepulauan Tanakeke
113
Kesesuaian dan Daya Dukung Lahan Pariwisata Berdasarkan hasil survei lapangan dan evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan pariwisata di Kepulauan Tanakeke dikelompokkan kedalam dua kegiatan wisata yaitu wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, dan menikmati pemandangan (wisata mangrove). Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut seperti selam dan snorkling. Wisata Pantai.
Berdasarkan hasil analisis spasial dengan pendekatan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan memasukkan parameter kesesuaian lahan, maka daerah yang masuk kategori sangat sesuai dan sesuai untuk wisata pantai kategori wisata mangrove di gugus Kepulauan Tanakeke berada di pulau Tanakeke, Lantangpeo dan Bauluang dengan panjang jalur tracking masingmasing 2.88 km, 4.61 km dan 1.94 km. Hasil evaluasi kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Tabel 40 dan Gambar 37. Sedangkan wisata pantai kategori wisata rekreasi berada di pulau Bauluang, Satangnga dan sepanjang pantai Pulau Dayang-Dayangan, baik di daratan (pantai pasir putih) maupun di perairan pantai dengan kedalaman 1 – 10 meter. Hasil evaluasi kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Tabel 41 dan Gambar 38. Tabel 40
No. 1. 2.
3. 4. 5.
Hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove
Gugus Kepulauan Tanakeke Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Kelas kesesuaian Lahan Sangat Sesuai (km) Sesuai (km) 2.88 4.61 2.10 0.58 0.89 1.04 1.94 6.55 2.88
114
Tabel 41
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan untuk wisata pantai kategori rekreasi Gugus Kepulauan Tanakeke
Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an - perairan dangkal - pasir putih Jumlah
Kelas kesesuaian Lahan Sesuai Sangat Sesuai (Km2) (Km2) 0.15 0.14 0.08 0.16 0.24
0.03 0.32
Kegiatan wisata mangrove di Kepulauan Tanakeke didasarkan pada daya tarik keindahan alam panorama mangrove yang masih alami, dimana di dalamnya banyak lorong-lorong kecil berupa sungai-sungai dengan kedalaman sekitar 60 cm pada waktu pasang dengan lebar 2 – 3 meter dan juga hamparan teluk yang begitu luas. Berdasarkan hasil survei dan analisis yang dilakukan diperoleh kegiatan yang menjadi tujuan kegiatan wisata mangrove antara lain; memandang alam (baik keindahan alam mangrove maupun satwa yang ada didalamnya), pemotretan, berperahu menelusuri sungai-sungai didalam kawasan mangrove, berperahu mengelilingi pulau tanakeke melalui teluk-teluk pada waktu pasang serta memandang keindahan alam Kepulauan Tanakeke di atas mercusuar di pulau Dayang-dayangan. Wilayah yang sesuai untuk kegiatan ini meliputi Pulau Tanakeke, Pulau Lantangpeo dan Pulau Bauluang serta Pulau dayang-Dayangan. Kegiatan yang dapat dilakukan di Pulau Tanakeke dan Lantangpeo yaitu mengelilingi pulau dengan naik perahu kapasitas 5-7 orang melalui teluk-teluk maupun sungai-sungai kecil di dalam kawasan mangrove sambil menikmati keindahan panorama alam yang ada di dalamnya. Luas total teluk pulau Tanakeke dan Lantangpeo adalah sekitar 16.05 km2, sedangkan panjang sungai-sungai kecil yang ada di dalam kawasan mangrove disajikan pada Tabel 40. Disamping itu kenakeragaman flora dan fauna yang cukup unik dan murni sebagai spesies endemik juga sangat menarik bagi wisatawan, misalnya jenis ikan baronang ”biawasa” (Siganus sp), yang hanya ditemukan pada musim-musim
115
tertentu saja dengan populasi yang sangat besar dengan telur sebesar setengah ukuran badan induknya. Selain itu juga ditemukan ”kepiting dato” (Scylla sp) yang mempunyai carapace (cangkang) yang dapat mencapai ukuran sekitar 25 cm. Selain itu juga ditemukan hewan langkah lainnya seperti populasi kuda laut (Hippocampus sp) dan koloni burung-burung laut yang merupakan hewan yang spesifik yang ditemukan hidup di areal hutan bakau. Semua kegiatan tersebut menjadi atraksi yang cukup menarik bagi wisatawan mancanegara maupun domestik yang letaknya yang relatif dekat dengan kota Makassar, yaitu sekitar kurang lebih 40 km atau dengan perjalanan kurang lebih satu jam perjalanan darat dan perjalanan lewat laut dengan speedboat sekitar 30-45 menit. Namun sekarang ini belum dikembangkan sama sekali. Kegiatan pariwisata pantai yang sesuai didaerah ini meliputi berjalan santai mengelilingi pulau, berjemur di pasir putih, berperahu dan berenang di perairan sekitar pantai dengan kedalaman 1 – 3 meter. Selain itu, di kawasan tersebut juga terdapat mercusuar dengan ketinggian sekitar 30 meter dengan luas puncak menara sekitar 25 m2 (5 x 5 m) sehingga dapat dimanfaatkan wisatawan untuk melihat suasana pemandangan alam Kepulauan Tanakeke dari atas. Kegiatan pariwisata di kepulauan Tanakeke sangat tergantung kepada musim, dimana pada musim barat dan timur (Nopember - Pebruari) sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kunjungan wisata karena tinggi gelombang dapat mencapai sekitar 1,5 – 2 meter. Kegiatan pariwisata di kawasan ini hanya efektif pada musim peralihan yaitu sekitar bulan Maret – Oktober. Mengingat pengembangan wisata bahari dan pantai tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan yaitu jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikwasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Untuk mengetahui seberapa besar daya dukung lahan untuk masing-masing kegiatan tersebut, di sajikan pada Tabel 42 dan 43.
116
Tabel 42
No. 1. 2.
3. 4. 5.
Gugus Kepulauan Tanakeke Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Tabel 43
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Hasil analisis daya dukung kawasan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove Daya Dukung Kawasan (orang) Sangat Sesuai Sesuai 230 368 168 46 71 83 155 523 230
Hasil analisis daya dukung kawasan untuk wisata pantai kategori rekreasi Gugus Kepulauan Tanakeke
Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an - perairan dangkal - pasir putih Jumlah
Daya Dukung Kawasan (orang) Sangat Sesuai Sesuai 1200 1120 640 1280 1920
240 2560
Wisata Bahari. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan untuk kegiatan wisata bahari yang meliputi wisata snorkling dan selam, maka daerah yang masuk kategori sangat sesuai dan sesuai di gugus Kepulauan Tanakeke berada di pulau Bauluang, Satangnga dan Dayang-dayangan. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk kategori wisata snorkling disajikan pada Tabel 44 dan Gambar 39. Sedangkan wisata bahari kategori wisata selam disajikan pada Tabel 45 dan Gambar 40.
117
Tabel
44 Hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkling
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Gugus Kepulauan Tanakeke Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Tabel 45
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas kesesuaian Lahan Sesuai Sangat Sesuai (Km2) (Km2) 0.15 0.08 0.09 0.21 0.11 0.14 0.35 0.43
Hasil evaluasi kesesuaian lahan perairan untuk ekowisata bahari kategori wisata selam Gugus Kepulauan Tanakeke
Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Kelas kesesuaian Lahan Sangat Sesuai Sesuai (Km2) (Km2) 0.07 0.12 0.41 0.47 0.16 0.25 0.64 0.84
Kegiatan wisata bahari di wilayah ini juga tergantung pada musim atau sama dengan pariwisata pantai, hanya bisa dilakukan pada musim peralihan saja yaitu pada bulan Maret – Oktober.
Untuk mengetahui seberapa besar daya
dukung lahan untuk kegiatan tersebut, di sajikan pada Tabel 46 dan 47.
Tabel 46 Hasil analisis daya dukung kawasan untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkling No. 1. 2. 3. 4. 5.
Gugus Kepulauan Tanakeke Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Daya Dukung Kawasan (orang) Sangat Sesuai Sesuai 1200 640 720 1680 880 1120 2800 3440
118
Tabel 47
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Hasil analisis daya dukung kawasan untuk ekowisata bahari kategori wisata selam Gugus Kepulauan Tanakeke
Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Dayang2an Jumlah
Daya Dukung Kawasan (orang) Sangat Sesuai Sesuai 560 960 3200 3760 1280 2000 5040 6720
119 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN WISATA PANTAI KATEGORI WISATA MANGROVE DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
N W 1000
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda :
Pulau Satangnga
# 9397500
1
Ú Ê
Kawasan Ekowisata (Tracking Mangrove)
Pulau Bauluang
Keterangan Umum :
1 2
Pulau Lantangpeo
1
#
#
1 Peta Indeks
1 Kawasan Ekowisata (Tracking Mangrove)
118°
120°
122°
Ú Ê Prov. Sulawesi Barat
1
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
Pulau Tanakeke
5°
1 118°
120°
122°
9390000
9390000
1 Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 37 Peta kesesuaian kawasan wisata mangrove di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
120 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN WISATA PANTAI KATAGORI REKREASI DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan 2 1
N W
1000
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda :
3
1
3
9397500
9397500
Pulau Satangnga
Pulau Bauluang 3
2 3
Peta Indeks
Pulau Lantangpeo 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
118°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 38 Peta kesesuaian kawasan wisata rekreasi di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
121 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN EKOWISATA BAHARI KATAGORI WISATA SELAM DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan 2 1
N W
1000
Pulau Satangnga
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda :
9397500
9397500
1
1 2 Pulau Bauluang 1
2
Peta Indeks
Pulau Lantangpeo 118°
1
2
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
118°
120°
122°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 39 Peta kesesuaian kawasan wisata selam di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
122 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN EKOWISATA BAHARI KATAGORI WISATA SNORKLING DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan 2 1
N W
1000
Pulau Satangnga
0
E S 1000
2000 Meter
Legenda :
9397500
9397500
1 1 2
Pulau Bauluang 1
2
Peta Indeks
Pulau Lantangpeo
2
118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
118°
120°
122°
9390000
9390000
Pulau Tanakeke Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 40 Peta kesesuaian kawasan wisata snorkling di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
123
Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Kawasan Permukiman
Kawasan permukiman mempunyai peran yang sangat strategis khususnya dalam pengembangan wilayah, mengingat kawasan ini merupakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah (centre of growth) yang sekaligus merupakan pusat koleksidistribusi produk-produk unggulan wilayah serta pusat pelayanan jasa pemerintahan dan jasa-jasa lainnya. Melalui keterkaitan yang sangat erat antar pusat permukiman diharapkan dapat tercipta pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat pada kawasan yang lebih luas. Bentuk dan hakekat permukiman khususnya diwilayah kepulauan harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologi pesisir secara menyeluruh. Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk kawasan permukiman, parameter yang menjadi indikator adalah ketersediaan air tawar, jarak dari pantai (mangrove), topografi, drainase, keberadaan dermaga (fasilitas transportasi) dan ketersediaan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan, luas lokasi yang sesuai dan sesuai bersyarat masing-masing 0,78 km2 dan 13.39 km2 dengan total sekitar 14,17 km2. Lokasi yang termasuk dalam kategori sesuai dan sesuai bersyarat tersebut disajikan pada Tabel 48 dan Gambar41.
Tabel 48
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas kesesuaian dan luas lahan (km2) permukiman di Kepulauan Tanakeke
Gugus Pulau Tanakeke Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayang-Dayangan Jumlah Total
Kelas Kesesuaian Lahan Sesuai Sesuai Bersayarat (km2) (km2) 13.07 0.24 0.51 0.27 0.08 0.78 13.39
Sumber : Hasil analisis dan interpretasi citra satelit landsat_TM 2003
Persen dari luas gugus pulau (%) 39.9 4.14 16.1 37.5 25
124
742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN PERMUKIMAN DI KEPULAUAN TANAKEKE
2
Pulau Dayang-Dayangan N W
E S
1000
Pulau Satangnga
1000
2000 Meter
Legenda : Sesuai 1
1
2 9397500
9397500
0
Pulau Bauluang Pulau Lantangpeo
1
Sesuai Bersyarat
Keterangan Umum : Mangrove Jarak Mangrove dg Permukiman Laut Dalam Laut Dangkal
2
Peta Indeks : 118°
120°
122°
Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
2
2
5°
Pulau Tanakeke 9390000
9390000
118°
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 41 Peta kesesuaian lokasi permukiman di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
125
Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Kawasan Konservasi Kawasan
konservasi
diartikan
sebagai
pemanfaatan
lahan
yang
mempunyai fungsi perlindungan, sistem penyangga, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Sedangkan fungsi utama kawasan konservasi adalah sebagai pelindung kelestarian lingkungan yang mencakup sumberdaya alami dan buatan. Metode yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi adalah dengan pendekatan PCRA dengan teknik Focus Group Discussion (FGD). Teknik pendekatan ini dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat pada setiap pulau beserta aparat desa setempat untuk membahas (mencari kata mupakat) mengenai lokasi-lokasi yang perlu mendapatkan perlindungan (konservasi) yang dipimpin (diarahkan) oleh peneliti sendiri. Hasil dari pertemuan atau diskusi ini menjadi acuan untuk mengalokasikan lokasi-lokasi yang ditunjuk secara bersama-sama sebagai hasil mupakat menjadi kawasan yang dilindungi (konservasi). Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, maka lokasi yang disepakati untuk menjadi kawasan konservasi adalah semua kawasan mangrove yang masih tersisa dari keempat gugus pulau, yaitu Pulau Tanakeke, Lantangpeo, bauluang dan Satangnga. Selanjutnya kawasan terumbu karang hidup yang berada pada bagian barat semua pulau juga disepakati sebagai kawasan konservasi karena kawasan tersebut menjadi pelindung pantai (barrier reef) dari gelombang dan arus yang kencang pada saat musim barat dan timur. Hasil kesepakatan kemudian dilanjutkan dengan analisis spasial yaitu dengan mendeliniasi lokasi-lokasi yang ditunjuk tersebut menjadi lokasi kawasan konservasi sehingga dapat diperoleh luasannya. Luas keseluruhan mangrove dan terumbu karang yang ada di Kepulauan Tanakeke yang disepakati sebagai kawasan konservasi adalah masingmasing sebesar 15,49 km2 dan 2,15 km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 42.
126 742500
750000
757500
PETA KESESUAIAN KAWASAN KONSERVASI (MANGROVE DAN TERUMBU KARANG) DI KEPULAUAN TANAKEKE
Pulau Dayang-Dayangan
2 N
Potret Mangrove
W
E S
1000
0
1000
2000 Meter
Pulau Satangnga Legenda :
Pulau Bauluang
9397500
9397500
1
Pulau Lantangpeo
2
1
Sesuai Kawasan Konservasi Mangrove
2
Sesuai Kawasan Konservasi Terumbu Karang
1
1
Peta Indeks
Potret Terumbu Karang
118°
2 3
120°
122°
1 Prov. Sulawesi Barat
3°
3° Prov. Sulawesi Selatan
5°
5°
Pulau Tanakeke
9390000
9390000
118°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
742500
750000
757500
Gambar 42. Peta kesesuaian lokasi konservasi di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
127 Analisis Finansial Terhadap Kegiatan Perikanan di Kep Tanakeke Di Kepulauan Tanakeke, terdapat beberapa kegiatan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat saat ini, antara lain : budidaya rumput laut dan penangkapan ikan. Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan tersebut memberikan keuntungan atau kontribusi kepada masyarakat setempat, maka dilakukan analisis ekonomi atau finansial. Khusus untuk keramba jaring apung, analisis ekonomi yang dilakukan didadasarkan pada kegiatan budidaya yang pernah dilakukan sebelumnya pada lokasi yang karakateristiknya relatif hampir sama dengan Kepulauan Tanakeke yaitu di Teluk Awarange, Kabupaten Barru (Rahmansyah, 2004). Karena kegiatan ini belum pernah dilakukan di lokasi tersebut, penulis hanya memberikan gambaran secara ekonomi bahwa kegiatan ini mempunyai prospek untuk dikembangkan pada lokasi penelitian khususnya pada lokasi yang sesuai berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan. Adapun analisis finansial dari masing-masing kegiatan perikanan tersebut akan diuraikan dibawah ini : Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap peruntukan budidaya rumput laut (lampiran 11), menunjukkan bahwa investasi awal yang dibutuhkan pada usaha ini adalah berkisar antara Rp 1.206.250,00 – Rp 2.066.250,00 dengan keuntungan pertahun berkisar antara Rp 2.619.750,00 – Rp 9.619.750,00. Berdasarkan hasil perhitungan cash flow selama kurun waktu 10 tahun dengan suku bunga 10 % terhadap kriteria investasi seperti Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR), dan Pay Back Periode (PBP) menunjukkan bahwa usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Pulau Tanakeke cukup menguntungkan dari segi finansial dan layak untuk dikembangkan jika dikelola secara baik professional Hasil analasis masingmasing kriteria investasi tersebut disajikan pada Tabel 49.
128 Tabel 49
No. 1 1 2 3 4 5 6
Hasil analisis finansial kegiatan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke
Uraian Investasi Net Present Value (NPV) Net Benefit-Cost Ratio (net B/C) Internal Rate of Return (IRR) R/C ratio Pay Back Periode Discount Faktor
Nilai Rp 1.206.250 – 2.066.250 Rp 1.883.582 – 35.962.515 1.16 – 3.99 14 - 81% 1.23 – 1.85 0.13 – 0.51 (10%)
Keramba Jaring Apung (KJA) Analisis kelayakan terhadap usaha Keramba Jaring Apung (KJA) yang akan diuraikan disini dibagi atas dua jenis usaha budidaya, yaitu budidaya Ikan bandeng dan Ikan Kerapu Lumpur. Kedua usaha KJA ini tidak dilakukan dilokasi penelitian, karena belum ada yang mengusahakannya, namun penulis merasa perlu memberikan gambaran umum mengenai tingkat kelayakan kedua usah tersebut. Sebab dalam evaluasi kesesuaian lahan terdapat lokasi yang sesuai untuk kedua usaha budidaya KJA tersebut. Hasil analisis finansial terhadap usaha budidaya bandeng dalam KJA (Rahmansyah, 2004) secara ekonomi layak diusahakan dan mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat pesisir khususnya Pulau Tanakeke. Adapun hasil analisis kelayakannya dapat dilihat pada Tabel 50 dan Lampiran 12, Tabel 50 Hasil analisis usaha budidaya ikan bandeng dalam keramba jaring apung di Teluk Awerange, Kabupaten Barru (Rahmansyah, 2004) No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Investasi Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel Total Biaya Total Penerimaan Keuntungan R/C Pay Back Periode
Nilai (Rp) 304.500.000 141.900.000 653.245.880 795.145.880 1.080.000.000 175.368.708 1.36 20,84 bulan
129 Untuk usaha budidaya ikan kerapu lumpur dalam KJA, berdasarkan hasil analisis finansialnya (Rahmansyah, 1999), secara ekonomi juga layak untuk dikembangkan dan mampu memberikan keuntungan yang signifikan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 51 dan Lampiran 13. Tabel 51
Hasil analisis usaha budidaya ikan kerapu lumpur dalam keramba jaring apung di Teluk Awerange, Kabupaten Barru (Rahmansyah, 1999)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Investasi Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel Total Biaya Total Penerimaan Keuntungan R/C Pay Back Periode
Nilai (Rp) 19.800.000 9.693.333 44.368.800 54.062.133 80.640.000 18.186.747 1.49 32.19 bulan
Perikanan Tangkap Masyarakat Kepulauan Tanakeke, disamping bermata pencaharian budidaya rumput laut, sebagian besar juga mempunyai profesi sebagai nelayan. Dari lima pulau yang ada di gugus Kepulauan Tanakeke, Pulau Tanakeke lebih separuh penduduknya berprofesi sebagai petani rumput laut, sedangkan empat pulau lainnya semuanya menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Nelayan Kepulauan Tanakeke pada umumnya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang masih tergolong tradisional, seperti jaring insang (gill net) , sero, bubu dan pancing ulur. Dari empat jenis alat tangkap tersebut, tiga diantaranya yang menjadi fokus untuk dilakukan analisis finansial. Karena ketiga alat ini memerlukan modal usaha yang cukup untuk pengoperasiannya, sedangkan pancing tanpa dianalisis sudah pasti untung karena disamping modalnya sangat sedikit, biaya operasionalnya juga tergolong sangat rendah sementara penghasilannya kadang-kadang satu trip sudah bisa kembali modal, tergantung musim penangkapan ikan.
130 (1) Alat Tangkap Gill Net Jaring insang (gill net), merupakan alat tangkap yang dominan dioperasikan masyarakat khususnya di gugus Kepulauan Tanakeke. Karena alat ini mempunyai konstruksi yang cukup sederhana dan dapat dibuat sendiri oleh masyarakat nelayan. Disamping itu teknis pengoperasiannya juga cukup mudah dan biaya operasionalnya relatif rendah. Alat penangkapan ikan ini dioperasikan pada permukaan laut dengan sasaran ikan pelagis. Ikan – ikan yang tertangkap tergantung dari ukuran mata jaringnya,
seperti baronang, kakap, katamba,
lencam, kembung, tongkol, rajungan dan lain-lain. Hasil analisis usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap gill net (Lampiran 14) menunjukkan bahwa investasi awal yang dibutuhkan pada usaha ini adalah berkisar Rp 1.064.000 – Rp 8.959.000 dengan keuntungan pertahun berkisar Rp 2.841.167 – Rp 12.920.571, sedangkan hasil perhitungan kelayakan ekonominya disajikan pada Tabel 52. Pada tabel tersebut terlihat bahwa usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap gill net di wilayah perairan sekitar gugus Kepulauan Tanakeke cukup menguntungkan dari segi finansial dan layak untuk dikembangkan. Tabel 52 Hasil analisis finansial kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap Gill Net di Kepulauan Tanakeke No. 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Nilai investasi Net Present Value (NPV) Net Benefit-Cost Ratio (net B/C) Internal Rate of Return (IRR) R/C ratio Pay Back Periode Discount Faktor
Nilai Rp 1.064.000 – 8.959.000 Rp 2.631.783 – 51.748.443 1.23- 4.93 12.5 - 63% 1.23 – 1.76 0.37 – 1.43 (10%)
(2) Dengan Alat Tangkap Sero Jenis alat tangkap sero atau dengan bahasa daerah “bila” banyak dioperasikan di Pulau Tanakeke, karena daerah ini memiliki bentuk pantai yang sangat landai dan pada saat surut terendah bisa mencapai satu km dari daratan pulau. Alat ini menangkap ikan dengan cara terperangkap yaitu pada waktu
131 pasang tertinggi ikan-ikan banyak mendekati daratan untuk mencari makan dan sebagian terbawa oleh arus pasang surut. Pada waktu air mulai surut ikan-ikan tersebut juga ikut mengikuti arus pasang surut. Karena posisi bukaan mulut sero yang lebar dari arah daratan dan semakin kecil kearah lautan yang disertai patok yang memanjang ditengahnya akan menggiring ikan masuk kedalam perangkap, sehingga pada waktu surut terendah ikan-ikan berkumpul dan terperangkap pada kantong sero paling belakang. Alat tangkap sero dapat menangkap berbagai jenis ikan, baik ikan-ikan yang bersifat pelagis, pertengahan maupun ikan dasar dan ikan karang. Hasil tangkapan yang diperoleh tergantung dari musim, yaitu musim puncak (Juni – Agustus) dengan jumlah trip sebanyak 30 trip (hasil 10 kg/trip), musim biasa (September – Nopember) dengan jumlah trip sebesar 30 trip (hasil rata-rata 5 kg/trip) dan musim paceklik (Maret – Mei) dengan jumlah 18 trip (hasil rata-rata 2 kg/trip) dengan harga yang berlaku tiap musimnya dianggap tetap (Rp 12.000,-/kg). Hasil analisis usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap sero (Lampiran 15) menunjukkan bahwa investasi awal yang dibutuhkan pada usaha ini adalah berkisar Rp 2.322.000 – Rp 3.958.000 dengan keuntungan pertahun berkisar Rp 3.136.843 – 3.785.933,
sedangkan hasil perhitungan kelayakan
ekonominya disajikan pada Tabel 53. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kegiatan investasi untuk usaha penangkapan dengan alat tangkap sero di Pulau Tanakeke secara finansial cukup menguntungkan dan mempunyai prospek yang layak dikembangkan jika dikelola secara professional. Tabel 53 Hasil analisis finansial kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di Kepulauan Tanakeke No. 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Nilai investasi Net Present Value (NPV) Net Benefit-Cost Ratio (net B/C) Internal Rate of Return (IRR) R/C ratio Pay Back Periode Discount Faktor
Nilai Rp 2.322.000 – 3.958.000 Rp 184.543 – 4.851.889 1.02 – 1.90 12 – 35 % 2.16 – 2.85 0.61 – 1.26 (10%)
132 (3) Dengan Alat Tangkap Bubu Bubu merupakan salah satu alat penangkapan ikan yang sifatnya pasif atau sama dengan alat tangkap sero dan jaring insang (gill net). Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah sekitar ekosistem terumbu karang, sehingga secara ekologi alat ini kurang rama lingkungan karena dapat merusak ekosistem terumbu karang. Namun demikian sampai sekarang belum ada alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan karang selain bubu dan pancing. Pengoperasian alat tangkap ini juga relatif muda yaitu dengan meletakkan bubu pada sekitar terumbu karang selama beberapa hari baru diangkat untuk diambil hasil tangkapannya dan tidak tergantung dengan musim (penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun dengan trip duration 3 – 7 hari). Sifat penangkapannya sama dengan sero yaitu ikan terperangkap. Hasil analisis usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu (Lampiran 16) menunjukkan bahwa investasi awal yang dibutuhkan pada usaha ini adalah berkisar Rp 1.613.000 – Rp 1.823.000 dengan keuntungan pertahun berkisar Rp 1.211.642 – 3.645.714,
sedangkan hasil perhitungan kelayakan
ekonominya disajikan pada Tabel 54. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kegiatan investasi untuk usaha penangkapan dengan alat tangkap bubu di gugus Kepulauan Tanakeke secara finansial cukup menguntungkan dan mempunyai prospek yang layak dikembangkan. Tentunya melalui pengelolaan yang professional yaitu penempatan bubu harus dikontrol sehingga tidak merusak lingkungan terumbu karang. Tabel 54 Hasil analisis finansial kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu di Kepulauan Tanakeke No. 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Nilai investasi Net Present Value (NPV) Net Benefit-Cost Ratio (net B/C) Internal Rate of Return (IRR) R/C ratio Pay Back Periode Discount Faktor
Nilai Rp 1.613.000 – 1.823.000 Rp 41.097 – 9.637.317 1.00 – 2.46 29 – 49 % 1.20 – 1.77 0.49 – 1.49 (10%)
133 Analisis Prioritas Pengembangan Berbagai Peruntukan Lahan di Kepulauan Tanakeke
Kepulauan Tanakeke memiliki potensi lahan cukup besar untuk dikelola secara lestari. Pada analisis sebelumnya yaitu analisis kesesuaian lahan/perairan bagi berbagai peruntukan lahan, diperoleh hasil bahwa secara ekologi masingmasing peruntukan lahan memiliki potensi strategis untuk dapat dikembangkan. Peruntukan lahan yang dimaksud disini adalah perikanan (rumput laut, keramba jaring apung dan penangkapan ikan), pariwisata (pantai dan bahari), konservasi dan permukiman.
Namun demikian disamping faktor ekologi , masih ada
beberapa faktor lain yang memiliki peranan penting yang cukup signifikan dalam mempengaruhi pengembangan berbagai peruntukan lahan tersebut, antara lain faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan prioritas peruntukan lahan yang didasarkan dengan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kriteria ekologi mempunyai peranan yang lebih penting dari kriteria sosial-budaya dan ekonomi, hal ini diperoleh berdasarkan analisis terhadap tingkat kepentingan pada masingmasing kriteria tersebut. Nilai kriteria ekologi mempunyai bobot tertinggi yaitu 0,472 kemudian kriteria sosial budaya dan ekonomi dengan bobot masing-masing 0,354 dan 0,174. Secara rinci hasil pembobotan terhadap masing-masing kriteria dan sub kriteria tersebut, disajikan pada Tabel 55 dan Lampiran 17. Tabel 55
Nilai bobot masing-masing kriteria/sub kriteria pada pengembangan berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke
No 1.
Kriteria/Sub Kriteria (atribut)
Bobot
Ekologi:
0,472
a. Kesesuaian Lahan
0,066
b. Luas lahan/perairan
0,068
c. Potensi dampak lingkungan
0,051
134
2.
3.
d. Keterpaduan penggunaan lahan
0,063
e. Ketersediaan air tawar
0,029
f. Kenaekaragaman hayati
0,064
g. Ketersediaan sumberdaya
0,066
h. Keterkaitan ekosistem
0,065
Ekonomi:
0,174
a. Pasar
0,049
b. Kontribusi terhadap perekonomian Masyarakat
0,051
c. Peranan koperasi
0,026
d. Aksesibilitas
0,049
Sosial Budaya:
0,354
a. Konflik kepentingan
0,043
b. Perhatian pemerintah
0,047
c. Keinginan masyarakat
0,057
d. Pelibatan pihak yang berkepentingan
0,041
e. Peraturan
0,039
f. Adat/kebiasaan
0,069
g. Status penggunaan lahan
0,059
Total
1,000
Sumber: Hasil olahan data primer pada kriteria yang dibangun berdasarkan kondisi lingkungan saat penelitian.
Data yang diperoleh dari hasil pembobotan tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer program teknik Simple Multi Attribute Rating Technigue (SMART) dan teknik Visual Interactive Sensitivity Analisys (VISA).
Karena keterbatasan kemampuan dari software
SMART yang digunakan (hanya mampu mengakomodir kasus yang memiliki jumlah variabel kurang dari 20), maka dalam pengoperasiannya dilakukan pemecahan setiap kriteria menjadi tiga bagian yaitu: kriteria ekologi, ekonomi dan sosial-budaya. Hasil analisis dengan menggunakan teknik SMART dapat dilihat pada Tabel 56.
135 Tabel 56 Hasil analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan teknik SMART pada kriteria ekologi. Peruntukan Rumput Laut Penangkapan Ikan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Kriteria Ekologi
Prioritas
0.976 0.888 0.839 0.854 0.856 0.814 0.682
1 2 5 4 3 6 7
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 56 di atas terlihat bahwa pada kriteria ekologi untuk prioritas peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke berturutturut, yaitu budidaya rumput laut, penangkapan ikan, wisata bahari, wisata pantai, KJA, konservasi, dan terkahir yakni permukiman. Tabel 57 Hasil analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan teknik SMART pada kriteria ekonomi.
Peruntukan Rumput Laut Penangkapan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Kriteria Ekonomi 0.870 0.870 0.839 0.611 0.582 0.555 0.555
Prioritas 1 2 3 4 5 6 7
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 57 di atas terlihat bahwa pada kriteria ekonomi untuk prioritas peruntukan lahan Kepulauan Tanakeke berturutturut, yaitu budidaya rumput laut, penangkapan ikan, KJA, wisata pantai, wisata bahari, konservasi, dan terkahir yakni permukiman.
136 Tabel 58
Hasil analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan teknik SMART pada kriteria sosial budaya
Peruntukan Rumput Laut Penangkapan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Kriteria SosBud 0.879 0.882 0.726 0.775 0.714 0.632 0.630
Prioritas 2 1 4 3 5 6 7
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 58 di atas terlihat bahwa pada kriteria sosial budaya untuk prioritas peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke berturut-turut, yaitu penangkapan ikan menempati urutan pertama kemudian, budidaya rumput laut, wisata pantai, KJA, wisata bahari, konservasi, dan terkahir yakni permukiman. Kemudian analisa selanjutnya adalah menggabungkan ketiga hasil analisa diatas menjadi satu. Untuk itu digunakan persamaan sebagai berikut : γ = π Si 1/n γ = Rata-rata geometrik n=3 Sehingga :
γ = √ S 1 x S2 x S3
.................................................................. (17)
Berdasarkan persamaan di atas maka diperoleh hasil akhir dalam penentuan prioritas
pengembangan berbagai peruntukan lahan berdasarkan
masing-masing jenis kegiatan yang akan dikembangkan. Hasil akhir dalam penentuan prioritas pengembangan berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke ini dapat dilihat pada Tabel 59.
137 Tabel 59
Hasil Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan Teknik SMART Pada Kriteria Ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Peruntukan
Rumput Laut Penangkapan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Nilai
Prioritas
0.907 0.880 0.800 0.739 0.709 0.658 0.620
1 2 3 4 5 6 7
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 59 di atas terlihat bahwa prioritas peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke berturut-turut, yaitu budidaya rumput laut, penangkapan ikan, KJA, wisata pantai, wisata bahari, konservasi, dan terkahir yakni permukiman. Untuk mengetahui apakah hasil yang diperoleh pada teknik SMART tetap konsisten atau tidak, maka dilakukan perbandingan analisis dengan teknik VISA (visual interaktif sensitivity analysis). Nilai bobot yang digunakan pada masingmasing kriteria di atas sama dengan nilai bobot yang digunakan pada teknik SMART. Dalam pengoperasian teknik VISA hanya dilakukan sekali saja tanpa dilakukan pemecahan karena program tersebut mampu menganalisis lebih dari 20 atribut/sub kriteria. Selanjutnya hasil analisis akhir dengan menggunakan teknik VISA dapat dilihat pada Tabel 60. Tabel 60
Nilai akhir prioritas pengembangan berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke dengan Teknik VISA
Peruntukan Rumput Laut Penangkapan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Nilai 75 69 56 55 54 51 49
Prioritas 1 2 3 4 5 6 7
138 Kedua teknik pendekatan tersebut menghasilkan urutan prioritas peruntukan lahan yang relatif sama.
Untuk mengetahui hasil akhir penentuan prioritas
peruntukan lahan tersebut yang dianalisis dengan teknik SMART dan VISA dapat dilihat pada Tabel 61 di bawah ini. Tabel 61
Hasil akhir penentuan prioritas peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke dengan teknik SMART dan VISA Nilai Hasil Analisis SMART VISA 0.907 75 0.880 69 0.800 56 0.739 55 0.709 54 0.658 51 0.620 49
Peruntukan Rumput Laut Penangkapan KJA Wisata Pantai Wisata Bahari Konservasi Pemukiman
Prioritas 1 2 3 4 5 6 7
Hasil dari kedua pendekatan analsis tersebut mengindikasikan bahwa dengan menggunakan teknik yang berbeda budidaya rumput laut tetap konsisten sebagai prioritas utama dalam peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke. Jika dilihat dari nilai skor yang dimiliki oleh budidaya rumput laut secara umum mempunyai nilai yang lebih baik dari peruntukan lainya. Hal ini dimungkinkan karena budidaya rumput laut yang telah dikembangkan oleh masyarakat di sekitar Pulau Tanakeke dan
Lantangpeo
ini
mempunyai
kontribusi
yang
signifikan
terhadap
perekonomian masyarakat yang bermukim di pulau tersebut.
Optimasi Pemanfaatan Ruang untuk Berbagai Peruntukan Lahan Di Kepulauan Tanakeke
Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke, terdapat beberapa lokasi peruntukan yang memiliki tingkat kesesuaian yang sama sehingga menyebabkan terjadinya tumpang-tindih peruntukan, seperti peruntukan perikanan tangkap dengan pariwisata, peruntukan
139 rumput laut dengan keramba jaring apung dan penangkapan ikan serta pariwisata dengan konservasi terumbu karang. Untuk mengantisipasi terjadinya tumpangtindih pemanfaatan tersebut diperlukan pengaturan alokasi pemanfaatan lahan berdasarkan potensi peruntukan yang dapat dikembangkan dan dapat memberikan keuntungan yang signifikan terhadap masyarakat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu upaya pengaturan alokasi pemanfaatan ruang tersebut yaitu dengan melakukan optimasi pemanfaatan ruang dengan menggunakan Linear Programming (LP). Penggunaan LP tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan ruang wilayah Kepulauan Tanakeke untuk berbagai peruntukan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam melakukan optimasi pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil diperlukan skenario pendekatan yaitu dengan menggunakan tingkat produktivitas lahan dan kesesuaian lahan sebagai faktor kendala tujuan. Untuk peruntukan permukiman dengan konservasi mangrove, nilai produktivitas dianggap nol karena kedua peruntukan tersebut berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan tidak terjadi tumpang tindih.
Gambar 43. Hasil eksekusi program LP untuk peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke
140 Hasil eksekusi program tersebut menghasilkan luas lahan yang optimal pada berbagai peruntukan lahan di Kepulauan Tanakeke, seperti budidaya rumput laut (X1) sebesar 13.99 km2; KJA (X2) sebesar 1.38 km2, perikanan tangkap (X3) sebesar 354.04 km2, permukiman (X4) sebesar 14.17 km2, wisata mangrove (X7) sebasar 0.03 km2, wisata rekreasi (X8) sebasar 0.32 km2, konservasi terumbu karang (X9) sebasar 3.91 km2 dan konservasi mangrove (X10) sebasar 23.55 km2.
Arahan Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang Wilayah Kepulauan Tanakeke Berdasarkan pedoman umum penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil Departemen Kelauatan dan Perikanan (2002) dan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, bahwa dalam penyusunan arahan rencana pola pemanfaatan ruang pada perinsipnya di kelompokkan ke dalam dua kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Arahan Pengembangan Kawasan Lindung Kawasan lindung didefinisikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (UU No. 26 Tahun 2007). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung adalah kawasan mangrove dan terumbu karang. Kawasan mangrove dan terumbu karang tersebar hampir kesemua gugus pulau yang ada di Kepulauan Tanakeke kecuali gugus pulau dayang-Dayangan yang tidak memiliki vegetasi mangrove. Kawasan mangrove yang ada saat ini di Kepualauan Tanakeke disepakati semuanya diarahkan untuk kawasan lindung yaitu dengan luas sekitar 15,25 km2, terutama yang berada di bagian selatan gugus pulau yang berhadapan langsung dengan Selat Makasar. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pantai dari hantaman gelombang dan arus pada musim barat dan timur.
141 Mengingat banyaknya lokasi mangrove yang sudah rusak akibat pemanfaatan yang tidak terkendali (baik dimanfaatkan untuk pembuatan arang, kayu bakar, patok untuk budidaya rumput laut maupun dikonversi menjadi lahan pertambakan) khususnya di Pulau Tanakeke, maka disepakati untuk dilakukan rehabilitasi dan dijadikan sebagai greenbelt dengan penanaman kembali mangrove pada lokasi-lokasi yang mengalami kerusakan dan bekas tambak sebagai hasil konversi mangrove yang diterlantarkan masyarakat setempat akibat tidak dapat berproduksi lagi. Kawasan yang diarahkan untuk direhabilitasi tersebut sekitar 8,05 km2. Dengan demikian luas total kawasan mangrove yang diharapkan setelah direhabilitasi adalah sekitar 23,55 km2 atau terjadi penambahan luas sekitar 52% dari luas sebelumnya. Disamping ekosistem mangrove, Kepulauan Tanakeke juga memiliki ekosistem terumbu karang yang mengelilingi semua gugus pulau. Keberadaannya sangat penting seperti halnya dengan ekosistem mangrove khususnya dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai pelindung pulau dari gelombang yang besar dan arus yang kuat, terutama pada musim Timur dan Barat. Bagian pulau yang sangat rentan terhadap kerusakan akibat gelombang besar dan arus yang kuat pada kedua musim tersebut adalah pada bagian selatan pulau, dimana baik pada musim timur maupun barat angin bertiup sangat kencang dari arah selatan. Oleh karena itu kawasan ekosistem terumbu karang yang berada pada bagian selatan pulau di arahkan untuk dijadikan sebagai kawasan lindung dengan luas sekitar 2,15 km2 atau sekitar 62,8% dari luas total karang hidup yang berada di Kepulauan Tanakeke. Sedangkan kawasan ekosistem terumbu karang lainnya baik pada bagian timur, barat maupun utara semua gugus pulau diarahkan sebagai kawasan pemanfaatan oleh masyarakat setempat. Peta Arahan kawasan lindung untuk ekosistem mangrove dan terumbu karang di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Gambar 44.
142 Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya didefinisikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (UU No. 26 Tahun 2007). Berdasarkan analisis yang dilakukan sebelumnya, maka kawasan budidaya (pemanfaatan) di Kepulauan Tanakeke diarahkan untuk peruntukan : permukiman, perikanan (budidaya rumput laut, KJA, penangkapan ikan), dan pariwisata (pantai, dan bahari). Permukiman. Kawasan permukiman yang ada saat ini tersebar di seluruh gugus pulau dan rata-rata berada disepanjang pantai dengan pertimbangan kemudahan aksesibilitas. Dalam penentuan arahan alokasi permukiman, tetap didasarkan pada permukiman yang ada saat ini karena masyarat sudah menyatu dan turun temurun tinggal ditempat tersebut. Namun khusus untuk gugus Pulau Tanakeke, disamping mempertimbangkan kondisi permukiman saat ini juga mengarahkan ke lokasi-lokasi yang belum ditempati karena arealnya masih luas dan
memungkinkan
untuk
dibuka
permukiman
baru
dengan
tetap
mempertimbangkan kawasan yang dilindungi seperti mangrove. Arahan kawasan permukiman pada masing-masing gugus pulau disajikan pada Tabel 62 dan Gambar 44. Tabel 62 Arahan alokasi permukiman di Kepulauan Tanakeke
Gugus Pulau P. Tanakeke P. Lantangpeo P. Bauluang P. Satangnga P. Dayang2an Total
Permukiman saat ini (km2) 2.57 0.08 0.16 0.22 0.01 3.04
Arahan permukiman kedepan (km2) 13.01 0.24 0.51 0.27 0.09 14. 12
Pertambahan permukiman (km2)
%
10.44 0.16 0.35 0.05 0.08 11.18
94.22 1.44 3.16 0.45 0.72 100
143 Berdasarkan
hasil
evaluasi
kesesuaian
lahan
untuk
permukiman
didapatkan bahwa lokasi permukiman yang sesuai adalah gugus pulau Satangnga dan Bauluang. Hasil kesesuaian ini ditentukan oleh tersedianya air tawar sepanjang tahun, sedangkan yang lainnya sesuai bersyarat. Dari Tabel diatas menunjukkan bahwa gugus pulau yang paling besar penambahan lokasi permukimannya adalah gugus pulau Tanakeke (sekitar 10,44 km2), hal ini disebabkan karena didukung oleh areal yang masih luas dan sesuai untuk permukiman. Sebaliknya yang paling kecil pertambahannya adalah gugus pulau Satangnga (sekitar 0,05 km2), penyebabnya adalah karena lokasi tersebut termasuk permukiman padat dan arelanya terbatas. Perikanan. Kawasan yang diarahkan untuk kegiatan perikanan seperti budidaya rumput laut dan keramba jaring apung adalah di sekitar gugus pulau Tanakeke dan Lantangpeo dengan luas masing-masing 13.29 km2 dan 1.38 km2. Kedua pulau ini disamping ukuran daratannya relatif luas terutama gugus Pulau Tanakeke juga memiliki perairan yang terlindung karena terdapat beberapa teluk seperti Teluk Rewataya, Lantangpeo, Tompo Tanah, Kalukuang, Bangkotinggia dan Balangloe. Sedangkan kawasan yang diarahkan untuk penangkapan ikan, baik ikan karang maupun ikan pelagis kecil adalah di sekitar perairan Kepulauan Tanakeke dengan luas masing-masing sekitar 57,34 km2 dan 354,04 km2. Peta Arahan kegiatan perikanan di kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Gambar 44. Pariwisata. Kawasan pariwisata diarahkan berdasarkan jenisnya, untuk pariwisata pantai katagori rekreasi (pasir putih dan laut dangkal) diarahkan di gugus Pulau Dayang-Dayangan dan Satangnga dengan luas total sekitar 0,32 km2, pariwisata bahari katagori snorkling dan selam dirahkan di daerah sekitar perairan gugus Pulau Dayang-Dayangan, Satangnga dan Bauluang dengan luas total masing-masing sekitar 0,64 km2 dan 1,13 km2 . Sedangkan wisata pantai kategori wisata mangrove (tracking mangrove) diarahkan di kawasan mangrove gugus Pulau Tanakeke (2,88 km), Lantangpeo (4,61 km) dan Bauluang (1,94 km) dengan panjang total sekitar 9.43 km dan lebar 3 m atau 0,028 km2. Peta arahan pariwisata disajikan pada Gambar 44.
144 742500
750000
757500
PETA ALOKASI PEMANFAATAN RUANG DI PERAIRAN KEPULAUAN TANAKEKE N
8
W
Pulau Dayang-dayangan 7
1000
1 13 12
S 1000
2000 Meter
Legenda : Arahan Kawasan Pariwisata Wisata Mangrove # Sangat Sesuai Sesuai
Ú Ê
Wisata Rekreasi 11 Sangat Sesuai 12 Sesuai 13 Pasir Putih
3 Sangat Sesuai 4 Sesuai
Pulau Satangnga 10 15 11 11 14
2
9397500
9397500
0
Arahan Kawasan Budidaya Permukiman 1 Sesuai bersyarat 2 Sesuai Budidaya Rumput Laut
8
17
8
E
Pulau Lantangpeo
16 17
10
11
2
4 10
#
Pulau Bauluang
10
4 3
3 9
10
5
Wisata Snorkling 14 Sangat Sesuai 15 Sesuai Wisata Selam 16 Sangat Sesuai 17 Sesuai
Perikanan Tangkap 7 Ikan Karang 8 Ikan Pelagis Arahan Kawasan Lindung Kawasan Konservasi 9 Terumbu Karang 10 Mangrove 10
#
7 16
Budidaya KJA 5 Sangat Sesuai 6 Sesuai
Peta Indeks
Ú Ê 6
118°
120°
122°
3
6
7 4
4
10
s kas a M
ar
10
4
8
3°
3
9 10
3 6
5°
Pulau Tanakeke
lat Se
118°
8
742500
3° Prov. Sulawesi Selatan
9390000
9390000
Prov. Sulawesi Barat
1
5°
120°
122°
Sumber : - Peta LPI Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000, Bakosurtanal - Citra Satelit Landsat_TM 2003
ABDUL RAUF PROGRAM S3
750000
757500
Gambar 44 Peta arahan pemanfaatan ruang di Kepulauan Tanakeke
PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 2007
145 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Kepulauan Tanakeke
Dalam pengelolaan kepulauan Tanakeke hendaknya dilakukan secara terencana dan terintegrasi, untuk itu dibutuhkan strategi-strategi dan kebijakan dalam pengembangannya. Strategi dan kebijakan dalam pengembangan Kepulauan Tanakeke tersebut diarahkan untuk pengelolaan kawasan lindung (konservasi) dan kawasan budidaya (pemanfaatan). Dalam menghasilkan strategi-strategi dalam pengelolaan pada masingmasing kawasan tersebut, baik pada kawasan lindung maupun budidaya (pemanfaatan) digunakan analisis SWOT. Langkah pertama yang dilakukan untuk menghasilkan strategi tersebut adalah dengan identifikasi unsur-unsur SWOT, kemudian
pembobotan
terhadap
setiap
unsur
sesuai
dengan
derajat
kepentingannya. Selanjutnya dilakukan skoring untuk menentukan alternatif startegi terbaik atau yang diprioritaskan untuk dilakukan.
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Lindung (Konservasi)
Faktor-faktor penentu eksternal dan internal pengembangan kawasan konservasi di kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 63 berikut ini ; Tabel 63. Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal kawasan lindung Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : Rehabilitasi ekosistem mangrove dan O1 terumbu karang Adanya kepedulian Internasional untuk O2 konservasi ekosistem pesisir Adanya dukungan pemerintah pusat O3 dalam penetapan kawasan lindung Adanya dukungan dari berbagai sektor dalam penanganan konservasi mangrove O4 dan terumbu karang Ancaman (Threats) : T1 Terjadi konflik pemanfaatan
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,20
3
0,60
0,10
3
0,30
0,05
2
0,10
0,20
2
0,40
146 Tabel 63. (Lanjutan) Faktor Strategi Eksternal 1 Banyaknya permintaan jenis-jenis T2 terumbu karang tertentu dari luar Banyaknya permintaan jenis-jenis ikan T3 hias karang T4 Adanya perburuan spesies langkah TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,05 1
1
0,05 2,85
Tabel 64. Matriks analisis faktor-faktor strategi internal kawasan lindung Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : Keberadaan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang luas untuk S1 dikembangkan sebagai kawasan konservasi Keragaman hayati tinggi dan masih S2 banyak spesies langkah Perangkat hukum untuk konservasi sudah S3 ada Adanya dukungan pemerintah daerah S4 dalam pengembangan kawasan konservasi Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM Kesadaran masyarakat tentang konservasi W2 masih rendah W3 Tidak ada pengawasan dilapangan Sosialisasi dari pemerintah masih sangat W4 kurang terhadap kawasan yang dilindungi TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,20
2
0,40
0,10
3
0,30
0,10
2
0,20
0,20
3
0,60
0,05
2
0,10
0,10
2
0,20
0,05
1
0,05
1
2,65
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan kator-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap pengembangan kawasan konservasi di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor eksternal dan internal dengan nilai 2,85 : 2,65. Analisis yang dilakukan terhadap matriks faktor strtegi ekternal dan internal tersebut diatas dengan menggunakan Model Matrik SWOT diperoleh strtegi-strategi yang dikelompokkan kedalam kategori :
147 1) Strategi SO, penggunaan unsur-unsur kekuatan kawasan Kepulauan Tanakeke untuk mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang yang tersedia 2) Strategi WO, memperbaiki kelemahan yang terdapat didalam kawasan Kepulauan Tanakeke dengan memanfaatkan peluang yang ada 3) Strategi ST, penggunaan kekuatan yang ada untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal 4) Strategi WT, taktik pertahanan yang diarahkan pada pengurangan kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal. Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan kawasan konservasi di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 65 dibawah ini : Tabel 65 Model matriks SWOT strategi pengembangan kawasan konservasi di Kepulauan Tanakeke
MATRIKS SWOT
OPPORTUNITIES (O) (1) Rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan mangrove (2) Adanya kepedulian Internasional untuk konservasi ekosistem pesisir (3) Adanya dukungan pemerintah pusat dalam penetapan kawasan lindung
STRENGTHS (S) (1) Tersedianya ekosistem terumbu karang dan mangrove dan lamun yang luas untuk dikembangkan sebagai kawasan konservasi (2) Keragaman hayati tinggi dan masih banyak spesies langkah (3) Perangkat hukum untuk konservasi sudah ada (4)Adanya dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan konservasi Strategi SO (1) Konservasi lingkungan fisik pulau dan perairan serta keanekaragaman hayati (2) Penetapan dan penegakan hukum perlindungan ekosistem pesisir
WEAKNESSES (W) (1) Rendahnya kualitas SDM
(2) Kesadaran masyarakat tentang konservasi masih rendah (3) Tidak ada pengawasan dilapangan (4) Sosialisasi dari pemerintah masih sangat kurang Strategi WO (1)Peningkatan kualitas SDM (2)Rehabilitasi ekosistem pulau dan perairan
148 Tabel 65. (lanjutan) OPPORTUNITIES (O) Strategi SO (4) Adanya dukungan dari berbagai sektor dalam penanganan konservasi mangrove dan terumbu karang THREATS (T) Strategi ST (1) Terjadi konflik (1) Penetapan zona-zona pemanfaatan konservasi (2) Banyaknya permintaan (2) Pemantauan lingkungan terintegrasi antar jenis-jenis terumbu stakeholder karang tertentu dari luar (3) Banyaknya permintaan jenis-jenis ikan hias karang (4) Adanya perburuan spesies langkah
Strategi-Strategi
diatas
selanjutnya
Strategi WO
Strategi WT (1) Penyadaran masyarakat tentang konservasi
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 66 dan Tabel 67. Tabel 66 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
Kelemahan/Weaknesses (W)
Strategi (SO) (1) S1, S2, O1, O2 dan O4 (2) S3 dan O3
Strategi (WO) (1) W1 dan O3 (2) W2, O1, dan O2
Strategi (ST) (1) S1,S2, dan T1 (2) S4 dan T4
Strategi (WT) (1) W2, dan T4
Tabel 67 Penentuan prioritas strategi pengembangan kawasan konservasi di Kepulauan Tanakeke
Unsur SWOT Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
Konservasi lingkungan fisik pulau dan perairan serta keanekaragaman hayati Penetapan zona-zona konservasi Rehabilitasi ekosistem pulau dan perairan
Keterkaitan
Skor
Peringkat
S1, S2, O1, O2 dan O4
2,7
1
S1,S2, dan T1
1,6
2
W2, O1, dan O2
1,5
3
149 Tabel 67. (lanjutan) Strategi 4 Strategi 5
Strategi 6 Strategi 7
Unsur SWOT Peningkatan kualitas SDM Penetapan dan penegakan hukum perlindungan ekosistem pesisir Pemantauan lingkungan terintegrasi antar stakeholder Penyadaran masyarakat tentang konservasi
Keterkaitan W1 dan O3
Skor 0,9
Peringkat 4
S3 dan O3
0,6
6
S4 dan T4
0.25
7
W2, dan T4
0.15
8
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas dan kebijakan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Kepulauan Tanakeke untuk kegiatan konservasi, antara lain : (1)
Konservasi lingkungan fisik pulau dan perairan serta keanekaragaman hayat
(2)
Penetapan zona-zona konservasi
(3)
Rehabilitasi ekosistem pulau dan perairan
(4)
Peningkatan kualitas SDM
(5)
Penetapan dan penegakan hukum perlindungan ekosistem pesisir
(6)
Pemantauan lingkungan terintegrasi antar stakeholder
(7)
Penyadaran masyarakat tentang konservasi
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya (1) Kawasan Perikanan (a) Rumput Laut Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal dalam analisis SWOT untuk pengembangan kawasan budidaya rumput laut di kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 68 berikut ini ;
150 Tabel 68 Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal pengembangan kawasan budidaya rumput laut Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : O1 Adanya permintaan pasar O2 Adanya pabrik pengolahan rumput laut Adanya dukungan pemerintah setempat dalam O3 pengembangan budidaya rumput laut O4 Sebagai sektor unggulan dimasa yang akan datang O5 Dekat dengan pemasaran domestik maupun ekspor Ancaman (Threats) : T1 Terjadi fluktuasi harga, baik basa maupun kering T2 Serangan penyakit T3 Konflik pemanfaatan lahan TOTAL
Tabel 69
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20 0,20
4 3
0,80 0,60
0,10
2
0,20
0,10 0,10
2 3
0,20 0,30
0,20 0,05 0,05 1
2 1 1
0,40 0,05 0,05 2,60
Matriks analisis faktor-faktor strategi internal budidaya rumput laut
Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : S1 Tersedia lahan luas dan sesuai untuk dikembangkan S2 Layak dan menguntungkan untuk dikembangkan S3 Tersedia bibit yang memadai S4 Ketersediaan tenaga kerja S5 Peralatan budidaya mudah diperoleh Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM W2 Adanya faktor musim W3 Terbatasnya penguasaan teknologi pasca panen TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20 0,10 0,20 0,05 0, 05
4 2 3 1 1
0,80 0,20 0,60 0, 05 0,05
0,20 0,10 0,10 1
3 3 2
0,60 0,30 0,20 2,80
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan kator-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap usaha budidaya rumput laut di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor internal terhadap eksternal dengan nilai 2,80 : 2,60. Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 70 dibawah ini :
151 Tabel 70 Model matriks SWOT strategi pengembangan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke
MATRIKS SWOT
STRENGTHS (S) (1)Tersedia lahan luas dan sesuai untuk dikembangkan (2)Layak dan menguntungkan untuk dikembangkan (3)Tersedia bibit yang memadai (4) Ketersediaan tenaga kerja (5) Peralatan budidaya yang mudah di peroleh Strategi (SO) (1)Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usaha rumput laut (2) Peningkatan skala usaha dan skala produksi pada lahan yang sesuai
OPPORTUNITIES (O) (1) Adanya permintaan pasar (2) Adanya pabrik pengolahan rumput laut (3) Adanya dukungan pemerintah setempat dalam pengembangan budidaya rumput laut (4) Sebagai sektor unggulan dimasa yang akan datang (5) Dekat dengan pemasaran domestik maupun ekspor THREATS (T) Strategi (ST) (1) Terjadi fluktuasi harga, (1)Peningkatan akses informasi pasar dan baik basa maupun permodalan melalui kering instansi/lembaga terkait (2) Serangan penyakit (2)Penataan lokasi budidaya oleh virus rumput laut (3) Konflik pemanfaatan lahan
Strategi-Strategi
diatas
selanjutnya
WEAKNESSES (W) (1) Rendahnya kualitas SDM (2) Adanya faktor musim (3) Terbatasnya penguasaan teknologi pasca panen
Strategi (WO) (1)Mengembangkan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan teknologi budidaya
Strategi (WT) (1)Mendorong petani dalam peningkatan penguasaan teknologi pasca panen (2) Pengembangan penelitian rumput laut dengan keterlibatan perusahaan mitra dan pemerintah
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 71 dan Tabel 72
152 Tabel 71 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
Tabel 72
Strategi (SO) (1) S1-S4, O1 dan O2 (2) S1-S4 & O1-O5
Strategi (WO) (1) W1-W3 dan O1-O4
Strategi (ST) (1) S1,S2 dan T1 (2) S1,S2 dan T3
Strategi (WT) (1) W1,W3 dan T1 (2) W2,W3 dan T2
Penentuan prioritas strategi pengembangan budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke Unsur SWOT
Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3
Strategi 4
Strategi 5 Strategi 6
Strategi 7
Kelemahan/Weaknesses (W)
Peningkatan skala usaha dan skala produksi pada lahan yang sesuai Mengembangkan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan teknologi budidaya Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usaha rumput laut Peningkatan akses informasi pasar dan permodalan melalui instansi/lembaga terkait Mendorong petani dalam peningkatan penguasaan teknologi pasca panen Penataan lokasi budidaya rumput laut Pengembangan penelitian rumput laut dengan keterlibatan perusahaan mitra dan pemerintah
Keterkaitan
Skor
Peringkat
3,75
1
2,90
2
2,75
3
1,4
4
1,2
5
1,05
6
0,55
7
S1-S4 & O1-O5
W1-W3 dan O1-O4
S1-S4, O1 dan O5
S1,S2 dan T1
W1,W3 dan T1
S1,S2 dan T3 W2,W3 dan T2
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Kepulauan Tanakeke untuk kegiatan usaha budidaya rumput laut, antara lain :
153 (1) Peningkatan skala usaha dan skala produksi pada lahan yang sesuai (2) Mengembangkan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan teknologi budidaya (3) Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usaha rumput laut (4) Peningkatan akses informasi pasar dan permodalan melalui instansi/lembaga terkait (5) Mendorong petani dalam peningkatan penguasaan teknologi pasca panen (6) Penataan lokasi budidaya rumput laut (7) Pengembangan penelitian rumput laut dengan keterlibatan perusahaan mitra dan pemerintah
(b) Keramba Jaring Apung (KJA) Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal dalam analisis SWOT untuk pengembangan kawasan budidaya dengan KJA di kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 73 berikut ini ; Tabel 73 Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal pengembangan kawasan budidaya dengan KJA Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : O1 Adanya permintaan pasar O2 Nilai jualnya tinggi Adanya dukungan pemerintah setempat O3 dalam pengembangan budidaya dengan KJA Sebagai sektor unggulan dimasa yang O4 akan datang Dekat dengan pemasaran domestik O5 maupun ekspor Ancaman (Threats) : Terjadi fluktuasi harga (sesuai T1 perkembangan nilai rupiah dengan dollar) T2 Pencemaran laut T3 Konflik pemanfaatan lahan TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20 0,15
4 3
0,80 0,45
0,10
2
0,20
0,10
2
0,20
0,10
3
0,30
0,20
2
0,40
0,05 0,10 1
1 1
0,05 0,10 2,50
154 Tabel 74
Matriks analisis faktor-faktor strategi internal budidaya dengan KJA
Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : Tersedia lahan yang terlindung (teluk) S1 dan sesuai untuk dikembangkan KJA Layak dan menguntungkan untuk S2 dikembangkan dari aspek ekonomi S3 Tersedia bibit ikan yang memadai S4 Ketersediaan tenaga kerja Perairannya cukup subur karena didukung S5 ekosistem pesisir (mangrove, lamun dan terumbu karang) Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM W2 Adanya faktor musim (timur & Barat) Terbatasnya penguasaan teknologi W3 budidaya dan pasca panen W4 Terbatasnya modal usaha TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,10
2
0,20
0,10 0,05
3 1
0,30 0,05
0, 05
1
0,05
0,20 0,10
3 2
0,60 0,20
0,10
2
0,20
0,10 1
2
0,20 2,60
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan kator-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap usaha budidaya dengan KJA di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor internal dengan eksternal dengan nilai 2,60 : 2,50. Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan budidaya dengan KJA di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 75 dibawah ini : Tabel 75
Model matriks SWOT strategi pengembangan budidaya dengan KJA di Kepulauan Tanakeke MATRIKS SWOT
STRENGTHS (S) (1)Tersedia lahan yang terlindung (teluk) dan sesuai untuk dikembangkan KJA (2) Layak dan menguntungkan untuk dikembangkan dari aspek ekonomi (3)Tersedia benur ikan yang memadai
WEAKNESSES (W) (1) Rendahnya kualitas SDM
(2) Adanya faktor musim (Timur dan Barat)
(3)Terbatasnya penguasaan teknologi
155
OPPORTUNITIES (O) (1) Adanya permintaan pasar (2) Nilai jualnya tinggi (3) Adanya dukungan pemerintah setempat dalam pengembangan budidaya dengan KJA (4) Sebagai sektor unggulan dimasa yang akan datang (5) Dekat dengan pemasaran domestik maupun ekspor THREATS (T) (1) Terjadi fluktuasi harga (sesuai perkembangan nilai rupiah dengan dollar) (2) Pencemaran laut (3) Konflik pemanfaatan lahan
Strategi-Strategi
(4) Ketersediaan tenaga budidaya dan pasca kerja panen (5) Perairannya cukup subur karena didukung (4)Terbatasnya modal ekosistem pesisir usaha (mangrove, lamun dan terumbu karang) Strategi (SO) Strategi (WO) (1)Peningkatan kualitas (1)Mengembangkan dan kuantitas produksi sumberdaya manusia usaha budidaya dengan melalui penyuluhan KJA dan pelatihan (2) Mempertahankan pemanfaatan teknologi konservasi ekosistem budidaya dan pasca pesisir panen dengan KJA (2)Peningkatan akses informasi pasar dan permodalan melalui instansi terkait Strategi (ST) Strategi (WT) (1)Penataan lokasi (1) Pengembangan budidaya dengan KJA penelitian budidaya (2)Menghindari terjadinya dengan KJA yang pencemaran perairan melibatkan perusahaan mitra dan pemerintah
diatas
selanjutnya
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 76 dan Tabel 77. Tabel 76 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Kelemahan/Weaknesses (W)
Peluang/ Opportunities (O)
Strategi (SO) (1) S1-S5 dan O1- O2 (2) S1,S5 & O3
Strategi (WO) (1) W1,W3,W4,O1,O2 dan O4 (2) W1,W4,O1 dan O5
Ancaman/ Threats (T)
Strategi (ST) (1) S1,S5 dan T3 (2) S1,S5 dan T2
Strategi (WT) (1) W3 dan T1
156 Tabel 77
Penentuan prioritas strategi pengembangan budidaya dengan KJA di Kepulauan Tanakeke Unsur SWOT
Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5 Strategi 6 Strategi 7
Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usaha budidaya dengan KJA Mengembangkan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan teknologi budidaya dan pasca panen dengan KJA Peningkatan akses informasi pasar dan permodalan melalui instansi/lembaga terkait Mempertahankan konservasi ekosistem pesisir Penataan lokasi budidaya dengan KJA Menghindari terjadinya pencemaran perairan Pengembangan penelitian budidaya dengan KJA yang melibatkan perusahaan mitra dan pemerintah
Keterkaitan
Skor
Peringkat
3,35
1
2,25
2
1,90
3
1,05
4
0,95
5
0,90
6
0,25
7
S1-S5 & O1- O2
W1,W3,W4,O1,O2 dan O4
W1,W4,O1 dan O5
S1,S5 & O3 S1,S5 dan T3 S1,S5 dan T2 W3 dan T1
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Kepulauan Tanakeke untuk kegiatan usaha budidaya dengan KJA, antara lain : (1)
Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usaha budidaya dengan KJA
(2)
Mengembangkan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan teknologi budidaya dan pasca panen dengan KJA
(3)
Peningkatan akses informasi pasar dan permodalan melalui instansi/lembaga terkait
(4)
Mempertahankan konservasi ekosistem pesisir
(5)
Penataan lokasi budidaya dengan KJA
(6)
Menghindari terjadinya pencemaran perairan
(7)
Pengembangan
penelitian budidaya dengan KJA yang
perusahaan mitra dan pemerintah
melibatkan
157 (c) Perikanan Tangkap Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal pengembangan usaha perikanan tangkap di kepulauan Tanakeke dalam analisis SWOT, disajikan pada Tabel 78 berikut ini ; Tabel 78 Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal perikanan tangkap Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : Kebijakan pemerintah mengenai jalur O1 penangkapan Dekat dengan pemasaran domestik O2 maupun ekspor Permintaan pasar tinggi baik lokal O3 maupun mancanegara Terbentuknya Departemen kelautan dan O4 perikanan Ancaman (Threats) : T1 Peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap T2 Destruktif fishing T3 Kemiskinan TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
2
0,40
0,10
2
0,20
0,20
4
0,80
0,20
3
0,60
0,20 0,05 0,05 1
2 3 3
0,40 0,15 0,15 2,70
Tabel 79 Matriks analisis faktor-faktor strategi internal perikanan tangkap Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : Memiliki area penangkapan yang cukup S1 luas Mempunyai potensi ikan ekonomis S2 penting (ikan pelagis dan ikan karang) S3 Memiliki mangrove sebagai tempat spowning dan nursery ground S4 Kondisi terumbu karang masih kategori sedang - baik
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,10
2
0,20
0,20
3
0,60
0,10
2
0,20
158 Tabel 79. (lanjutan) Faktor Strategi Internal 1 Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM Lemahnya modal usaha untuk penerapan W2 teknologi penangkapan yang lebih canggih W3 Alat tangkap masih tradisional Alternatif mata pencaharian pd musim W4 barat dan timur sangat terbatas TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
3
0,60
0,05
3
0,15
0,10
2
0,20
0,05
2
0,10
1
2,85
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan kator-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap usaha perikanan tangkap di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor eksternal terhadap internal dengan nilai 2,70 : 2,85. Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan perikanan tangkap di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 80 dibawah ini : Tabel 80
Model matriks SWOT strategi pengembangan perikanan tangkap di Kepulauan Tanakeke
MATRIKS SWOT
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) (1) Memiliki area (1) Rendahnya kualitas SDM penangkapan yang cukup luas (2) Mempunyai potensi ikan (2) Lemahnya modal usaha ekonomis penting (ikan untuk penerapan pelagis dan ikan karang) teknologi penangkapan yang lebih canggih (3) Memiliki mangrove (3) Alat tangkap masih sebagai tempat tradisional spowning dan nursery ground (4) Kondisi terumbu karang (4) Alternatif mata masih kategori sedang – pencaharian pd musim baik barat dan timur sangat terbatas
159 Tabel 80. (lanjutan) OPPORTUNITIES (O) (1) Permintaan pasar tinggi baik lokal maupun mancanegara (2) Kebijakan pemerintah mengenai jalur penangkapan (3) Dekat dengan pemasaran domestik maupun ekspor (4) Terbentuknya Departemen kelautan dan perikanan THREATS (T) (1) Peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap (2) Destruktif fishing (3) Kemiskinan
Strategi-Strategi
Strategi (SO) (1) Pengaturan Fishing Ground (2) Melindungi dan mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir (mangrove, lamun dan terumbu karang)
Strategi (WO) (1)Mingkatkan kualitas SDM (2)Pemberian kredit murah bagi uaha nelayan (3)Menyiapkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pada musim barat dan timur
Strategi (ST) Strategi (WT) (1)Pembatasan izin usaha (1)Penyedian sarana dan penangkapan ikan prasarana perikanan (pembatasan armada dan tangkap yang rama alat tangkap) lingkungan (2)Penegakan hukum
diatas
selanjutnya
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 81 dan Tabel 82. Tabel 81 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
Tabel 82
Strategi (SO) (1) S1,S2 dan O2,O4 (2) S3, S4 dan O4 Strategi (ST) (2) S1- S4 dan T1,T2 (3) S1,S2 dan T1,T2
Strategi 2
Strategi (WO) (1) W1dan O4 (2) W2,W3 dan O2,O4 (3) W2,W4 dan O4 Strategi (WT) (1) W2,W3 dan T1-T3
Penentuan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap di Kepulauan Tanakeke Unsur SWOT
Strategi 1
Kelemahan/Weaknesses (W)
Keterkaitan
Pembatasan izin usaha S1- S4 dan T1,T2 penangkapan ikan (pembatasan armada dan alat tangkap) Pengaturan penangkapan untuk S1,S2 dan O2,O4 nelayan tradisonal dan modern
Skor
Peringkat
2,35
1
1,8
2
160 Tabel 82. (lanjutan) Unsur SWOT Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5 Strategi 6 Strategi 7
Strategi 8
Penegakan hukum Melindungi dan mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir (mangrove, lamun dan terumbu karang) Mingkatkan kualitas SDM Pemberian kredit murah bagi usaha nelayan Penyedian sarana dan prasarana perikanan tangkap yang rama lingkungan Menyiapkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pada musim barat dan timur
Keterkaitan
Skor
Peringkat
S1,S2 dan T1,T2 S3, S4 dan O4
1,55
3
1,4
4
1,2
5
1,15
6
1,05
7
0,85
8
W1dan O4 W2,W3 dan O2,O4 W2,W3 dan T1T3 W2,W4 dan O4
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Kepulauan Tanakeke untuk kegiatan usaha budidaya tambak, antara lain : (1)
Pembatasan izin usaha penangkapan ikan (pembatasan armada dan alat tangkap)
(2)
Pengaturan fishing ground untuk nelayan tradisional dan moderen
(3)
Penegakan hukum
(4)
Melindungi dan mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir (mangrove, lamun dan terumbu karang)
(5)
Mingkatkan kualitas SDM
(6)
Pemberian kredit murah bagi usaha nelayan
(7)
Penyedian sarana dan prasarana perikanan tangkap yang rama lingkungan
(8)
Menyiapkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pada musim barat dan timur
(2) Kawasan Pariwisata Pesisir (a)
Kawasan Pariwisata Pantai Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal dalam analisis SWOT untuk
pengembangan kawasan pariwisata pantai di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 83 berikut ini ;
161 Tabel 83 Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal pengembangan kawasan pariwisata pantai Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : O1 Permintaan pariwisata pantai yang tinggi Investasi bidang pariwisata (swasta & O2 Pemerintah Kebijakan pemerintah tentang O3 pengembangan pariwisata pantai Kesempatan kerja/berusaha bagi O4 masyarakat lokal O5 Promosi budaya Posisinya berada dekat dengan Kota O6 Makassar Ancaman (Threats) : T1 Konflik pemanfaatan lahan T2 Pergeseran nilai budaya T3 Pencemaran/degradasi habitat TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,10
1
0,10
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,20 0,05 0,05 1
2 2 2
0,40 0,10 0,10 2,70
Tabel 84 Matriks analisis faktor-faktor strategi internal terhadap pengembangan pariwisata pantai Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : Areal pengembangan pariwisata pantai S1 cukup mendukung S2 Tersedianya tenaga kerja lokal S3 Kondisi pantainya landai dan pasir putih Adanya dukungan pemerintah daerah dan S4 masyarakat Memiliki obyek wisata bahari dan S5 ekowisata yang menarik Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM Minimnya sarana dan prasarana W2 pendukung W3 Aksesibilitas terbatas Besarnya gelombang dan arus laut pada W4 musim timur dan barat W5 Minimnya suberdaya air tawar TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,05 0,10
1 4
0,05 0,40
0,10
2
0,20
0,05
3
0,15
0,20
3
0,60
0,10
3
0,30
0,10
2
0,20
0,05
1
0,05
0,05 1
2
0,10 2,85
162 Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap pengembangan kawasan pariwisata pantai di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor internal dengan eksternal dengan nilai 2,85 : 2,70. Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan kawasan pariwisata pantai di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 85 dibawah ini : Tabel 85
Model matriks SWOT strategi pengembangan kawasan pariwisata bahari di Kepulauan Tanakeke
STRENGTHS (S) (1) Areal pengembangan pariwisata pantai cukup mendukung (2) Tersedianya tenaga kerja lokal MATRIKS (3) Kondisi pantainya landai SWOT dan pasir putih (4) Adanya dukungan pemerintah daerah dan masyarakat (5) Memiliki obyek wisata bahari dan ekowisata yang menarik OPPORTUNITIES (O) Strategi (SO) (1) Permintaan pariwisata (1)Pengembangan potensi pantai yang tinggi wisata pantai dengan bekerjasama pemerintah (2) Investasi bidang daerah dan masyarakat pariwisata (swasta & (2) Melakukan promosi Pemerintah melalui media cetak dan (3) Kebijakan pemerintah elektronik serta membuat tentang pengembangan profile lokasi wisata pariwisata pantai pantai secara regional, (4) Kesempatan nasional dan internasional kerja/berusaha bagi masyarakat lokal (5) Promosi budaya (6) Posisinya berada dekat dengan Kota Makasar
WEAKNESSES (W) (1) Rendahnya kualitas SDM (2)Minimnya sarana dan prasarana pendukung (3)Aksesibilitas terbatas (4) Besarnya gelombang dan arus laut pada musim timur dan barat (5) Minimnya suberdaya air tawar Strategi (WO) (1) Meningkatka kualitas SDM dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata pantai (2) Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk wisata pantai
163 Tabel 85. (lanjutan) THREATS (T) (1) Konflik pemanfaatan lahan (2) Pergeseran nilai budaya (3)Pencemaran/degradasi habitat
Strategi-Strategi
Strategi (ST) (1) Penataan lokasi wisata pantai yang berbasis masyarakat (2) Melindungi pantai dari berbagai sumber pencemar/degradasi habitat
diatas
selanjutnya
Strategi (WT) (1)Penguatan nilai-nilai sosial budaya, keagamaan dan cinta lingkungan
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 86 dan Tabel 87. Tabel 86 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
Strategi (SO) (1) S1-S5 dan O1-O3 (2) S1,S3,S5 dan O1O3,O5,O6 Strategi (ST) (1) S1,S2,S5 dan T1,T3 (2) S1,S3,S5 dan T3
Kelemahan/Weaknesses (W) Strategi (WO) (1) W1, O1,O2,O3 dan O6 (2) W2,W5 dan O1-O4 Strategi (WT) (1) W1 dan T2,T3
Tabel 87 Penentuan prioritas strategi pengembangan kawasan pariwisata pantai di Kepulauan Tanakeke Unsur SWOT
Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3
Strategi 4
Melakukan promosi melalui media cetak dan elektronik serta membuat profile lokasi wisata pantai secara regional, nasional dan internasional Pengembangan potensi wisata pantai dengan bekerjasama pemerintah daerah dan masyarakat Meningkatka kualitas SDM dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata pantai Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk wisata pantai
Keterkaitan
Skor
Peringkat
3,15
1
2,8
2
2,1
3
1,9
4
S1,S3,S5 dan O1O3,O5,O6
S1-S5 dan O1-O3
W1,O1,O2,O3 dan O6 W2,W5 dan O1-O4
164 Tabel 87. (lanjutan) Unsur SWOT Strategi 5
Strategi 6
Strategi 7
Keterkaitan
Penataan lokasi wisata S1,S2,S5 dan T1,T3 pantai yang berbasis masyarakat Melindungi pantai dari S1,S3,S5 dan T3 berbagai sumber pencemar/degradasi habitat Penguatan nilai-nilai sosial W1 dan T2,T3 budaya, keagamaan dan cinta lingkungan
Skor
Peringkat
1,5
5
1,4
6
0,8
7
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kepulauan Tanakeke untuk kawasan pariwisata pantai, antara lain : (1) Melakukan promosi melalui media cetak dan elektronik serta membuat profile lokasi wisata pantai secara regional, nasional dan internasional (2) Pengembangan potensi wisata pantai dengan bekerjasama pemerintah daerah dan masyarakat (3) Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata pantai (4) Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk wisata pantai (5) Penataan lokasi wisata pantai yang berbasis masyarakat (6) Melindungi pantai dari berbagai sumber pencemar/degradasi habitat (7) Penguatan nilai-nilai sosial budaya, keagamaan dan cinta lingkungan (b) Kawasan Pariwisata Bahari Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal dalam analisis SWOT untuk pengembangan kawasan pariwisata bahari di Kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 88 berikut ini ; Tabel 88 Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal pengembangan kawasan pariwisata bahari Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : O1 Permintaan pariwisata bahari yang tinggi O2 Investasi bidang pariwisata Kebijakan pemerintah tentang pengembangan O3 pariwisata bahari
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20 0,10
4 1
0,80 0,10
0,10
2
0,20
165 Tabel 88. (lanjutan) Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : O4 Kesempatan kerja/berusaha bagi masyarakat lokal O5 Promosi budaya O6 Posisinya berada dekat dengan Kota Makasar Ancaman (Threats) : T1 Konflik pemanfaatan lahan T2 Pergeseran nilai budaya T3 Pencemaran/degradasi habitat TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,10 0,05 0,15
3 2 3
0,30 0,10 0,45
0,20 0,05 0,05 1
3 2 1
0,60 0,10 0,05 2,70
Tabel 89 Matriks analisis faktor-faktor strategi internal terhadap pengembangan pariwisata bahari Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : Areal pengembangan pariwisata bahari cukup S1 mendukung S2 Tersedianya tenaga kerja Kondisi ekosistem terumbu karang masih cukup S3 bagus Adanya dukungan pemerintah daerah dan S4 masyarakat Memiliki objek wisata pantai dan ekowisata sebagai S5 paket wisata bahari Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM W2 Minimnya sarana dan prasarana pendukung W3 Aksesibilitas terbatas Besarnya gelombang dan arus laut pada musim W4 timur dan barat W5 Minimnya suberdaya air tawar TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,05
2
0,10
0,10
3
0,30
0,10
2
0,20
0,05
2
0,10
0,20 0,10 0,10
3 3 2
0,60 0,30 0,20
0,05
1
0,05
0,05 1
3
0,15 2,80
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap pengembangan kawasan pariwisata bahari di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor internal dengan eksternal dengan nilai 2,80 : 2,70.
166 Selanjutnya dibuat model matrik SWOT strategi pengembangan kawasan pariwisata bahari di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 90 dibawah ini : Tabel 90
Model matriks SWOT strategi pengembangan kawasan pariwisata bahari di Kepulauan Tanakeke
MATRIKS SWOT
OPPORTUNITIES (O) (1) Permintaan pariwisata bahari yang tinggi (2) Investasi bidang pariwisata (3) Kebijakan pemerintah tentang pengembangan pariwisata bahari (4) Kesempatan kerja/berusaha bagi masyarakat lokal (5) Promosi budaya (6) Posisinya berada dekat dengan Kota Makasar THREATS (T) (1) Konflik pemanfaatan lahan (2) Pergeseran nilai budaya (3)Pencemaran/degradasi habitat
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) (1) Areal pengembangan (1) Rendahnya kualitas pariwisata bahari cukup SDM mendukung (2) Tersedianya tenaga kerja (2)Minimnya sarana dan prasarana pendukung (3) Kondisi ekosistem (3)Aksesibilitas terbatas terumbu karang masih cukup bagus (4) Adanya dukungan (4) Besarnya gelombang pemerintah daerah dan dan arus laut pada masyarakat musim timur dan barat (5) Memiliki objek wisata (5) Minimnya suberdaya pantai dan ekowisata air tawar sebagai paket wisata bahari Strategi (SO) Strategi (WO) (1) Pengembangan potensi (1) Meningkatkan kualitas wisata bahari dengan SDM yang bergerak bekerjasama pemerintah dalam kepariwisataan daerah dan masyarakat (2) Meningkatkan kualitas (2) Membuat profile paket dan kuantitas sarana wisata Kep Tanakeke dan prasarana sebagai media promosi kepariwisataan secara lokal,nasional dan internasional
Strategi (ST) (1) Penataan lokasi wisata bahari yang berbasis masyarakat (2) Melindungi pantai dari berbagai sumber pencemar/degradasi habitat
Strategi (WT) (1)Penguatan nilai-nilai sosial budaya, keagamaan dan cinta lingkungan
167 Strategi-Strategi
diatas
selanjutnya
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 91 dan Tabel 92 Tabel 91 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O)
Strategi (SO) (1) S1-S5 dan O1,O2,O6 (2) S1,S3,S4,S5 dan O1,O2,O5
Strategi (WO) (1) W2 & O1,O2,O3 (2) W2,W3,W5 dan O2,O4,O6
Strategi (ST) (1) S1,S3,S4 dan T1,T2 (2) S1,S3,S4,S5 dan T3
Strategi (WT) (1) W1 dan T2
Ancaman/ Threats (T)
Kelemahan/Weaknesses (W)
Tabel 92 Penentuan prioritas strategi pengembangan kawasan pariwisata bahari di Kepulauan Tanakeke Unsur SWOT Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3 Strategi 4
Strategi 5
Strategi 6
Strategi 7
Pengembangan potensi wisata bahari dengan bekerjasama pemerintah daerah dan masyarakat Membuat profile paket wisata Kep Tanakeke sebagai media promosi secara lokal,nasional dan internasional Penataan lokasi wisata bahari yang berbasis masyarakat Meningkatkan kualitas SDM yang bergerak dalam kepariwisataan Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana kepariwisataan Melindungi pantai dari berbagai sumber pencemar/degradasi habitat Penguatan nilai-nilai sosial budaya, keagamaan dan cinta lingkungan
Keterkaitan S1-S5 dan O2, O6
O1,
S1,S3,S4,S5 O1,O2,O5
dan
S1,S3,S4 dan T1,T2 W2 & O1,O2,O3
W2,W3,W5 O2,O4,O6
dan
S1,S3,S4,S5 T3
dan
Skor
Peringkat
2,85
1
2,4
2
2,0
3
1,7
4
1,5
5
1,45
6
0,7
7
W1 dan T2
168 Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kepulauan Tanakeke untuk kawasan pariwisata bahari, antara lain : (1) Pengembangan potensi wisata bahari dengan bekerjasama pemerintah daerah dan masyarakat (2) Membuat profile paket wisata Kep Tanakeke sebagai media promosi secara lokal,nasional dan internasional (3) Penataan lokasi wisata bahari yang berbasis masyarakat (4) Meningkatkan kualitas SDM yang bergerak dalam kepariwisataan (5) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana kepariwisataan (6) Melindungi pantai dari berbagai sumber pencemar/degradasi habitat (7) Penguatan nilai-nilai sosial budaya, keagamaan dan cinta lingkungan
(3) Kawasan Permukiman
Faktor-Faktor penentu eksternal dan internal dalam analisis SWOT untuk pengembangan kawasan permukiman di kepulauan Tanakeke disajikan pada Tabel 93 berikut ini ; Tabel 93
Matriks analisis faktor-faktor strategi eksternal pengembangan kawasan permukiman
Faktor Strategi Eksternal 1 Peluang (Opportunities) : Penataan dan pengembangan kawasan O1 permukiman O2 Adanya kerjasama antar instansi terkait Kebijakan pemerintah tentang O3 permukiman Banyaknya program-program dari luar O4 melalui NGO untuk pengembangan permukiman Ancaman (Threats) : T1 Terjadinya penggusuran T2 Terjadi konflik pemanfaatan T3 Banyak pendatang baru T4 Pencemaran/degradasi lingkungan TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,05
1
0,05
0,10
2
0,20
0,15
3
0,45
0,20 0,20 0,05 0,05 1
2 3 3 1
0,40 0,60 0,15 0,05 2,70
169 Tabel 94 Matriks analisis faktor-faktor strategi internal pengembangan kawasan permukiman Faktor Strategi Internal 1 Kekuatan (Strength) : S1 Areal permukiman cukup tersedia Adanya program-program pengembangan S2 permukiman dari berbagai instansi terkait S3 Adanya perangkat hukum S4 Potensi sumberdaya alam cukup tersedia Adanya motivasi yang kuat untuk hidup S5 lebih baik Kelemahan (Weaknesses) : W1 Rendahnya kualitas SDM W2 Minimnya sarana dan prasarana W3 Aksesibilitas terbatas W4 Kesadaran hukum masih rendah Rendahnya partisipasi masyarakat dalam W5 proses pembangunan W6 Minimnya suberdaya air tawar Adanya faktor musim yang menghambat W7 aktivitas Etos kerja rendah dan lapangan kerja W8 terbatas TOTAL
Bobot 2
Rating 3
Skor 4
0,20
4
0,80
0,10
3
0,30
0,05 0,10
3 3
0,15 0,30
0,05
2
0,10
0,10 0,10 0,05 0,05
3 4 2 1
0,30 0,40 0,10 0,05
0,05
2
0,10
0,05
2
0,10
0,05
1
0,05
0,05
2
0,10
1
2,85
Berdasarkan hasil pembobotan diatas terhadap faktor-faktor yang berpengaruh, maka faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman) terhadap pengembangan permukiman di kawasan Kepulauan Tanakeke. Hal ini dapat dilihat pada rasio antara faktor-faktor internal dengan eksternal dengan nilai 2,85 : 2,70. Selanjutnya
dibuat
model
matrik
SWOT
strategi
pengembangan
kawasan permukiman di Kepulauan Tanakeke seperti disjikan pada Tabel 95 dibawah ini :
170 Tabel 95 Model matriks SWOT strategi pengembangan kawasan permukiman di Kepulauan Tanakeke
MATRIKS SWOT
OPPORTUNITIES (O) (1) Penataan dan pengembangan kawasan permukiman (2)Adanya kerjasama antar instansi terkait (3) Kebijakan pemerintah tentang permukiman (4) Banyaknya programprogram dari luar melalui NGO untuk pengembangan permukiman THREATS (T) (1) Terjadinya penggusuran (2) Terjadi konflik pemanfaatan (3) Banyak pendatang baru (4)Pencemaran/degradasi lingkungan
STRENGTHS (S) (1) Areal permukiman cukup tersedia (2) Adanya programprogram dari berbagai instansi terkait (3) Adanya perangkat hukum (4) Potensi sumberdaya alam cukup tersedia (5)Adanya motivasi yang kuat untuk hidup lebih baik
WEAKNESSES (W) (1) Rendahnya kualitas SDM (2)Minimnya sarana dan prasarana (3)Aksesibilitas terbatas
(4)Kesadaran hukum masih rendah (5)Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan (6) Minimnya suberdaya air tawar (7) Adanya faktor musim yang menghambat aktivitas (8) Etos kerja rendah dan lapangan kerja terbatas Strategi (SO) Strategi (WO) (1) Menyusun rencana (1)Peningkatan kualitas detail kawasan sumberdaya manusia pengembangan (2)Meningkatkan partisipasi permukiman masyarakat dalam (2) meningkatkan perencanaan dan koordinasi antar sektor pemanfaatan sumberdaya maupun NGO dari luar alam di pulau kecil dalam (3) Membangun sarana dan mengembangkan prasarana pendukung untuk kawasan permukiman kebutuhan permukiman
Strategi (ST) Strategi (WT) (1)Penataan lokasi (1)Meningkatkan kesadaran permukiman dengan hukum dan etos kerja melibatkan masyarakat masyarakat lokal untuk lokal menghindari konflik (2) Peningkatan fungsi lembaga dalam mengatur kegiatan permukiman
171 Strategi-Strategi
diatas
selanjutnya
diurutkan
menurut
peringkat
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunannya, sebagaimana disajikan pada Tabel 96 dan Tabel 97. Tabel 96 Penyusunan peringkat strategi-strategi analisis SWOT Unsur
Kekuatan/Strength (S)
Peluang/ Opportunities (O) Ancaman/ Threats (T)
Tabel 97
Strategi (SO) (1) S1-S4 dan O1-O4 (2) S2,S3 dan O2-O4 Strategi (ST) (1) S1-S4 dan O1-O3 (2) S2,S3 dan T1,T3
Strategi 2
Strategi 3
Strategi 4
Strategi 5
Strategi 6
Strategi (WO) (1) W1,W4,W5,W8 dan O2,O3 (2) W1,W4,W5 dan O1,O3,O4 (3) W2,W3,W6 dan O1-O4 Strategi (WT) (1) W1,W4,W5 dan T2,T4
Penentuan prioritas strategi pengembangan kawasan permukiman di Kepulauan Tanakeke
Unsur SWOT Strategi 1
Kelemahan/Weaknesses (W)
Keterkaitan
Menyusun rencana detail S1-S4 dan O1-O4 kawasan pengembangan permukiman Penataan lokasi S1-S4 dan O1-O3 permukiman dengan melibatkan masyarakat lokal Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk kebutuhan permukiman Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di pulau kecil Meningkatkan kesadaran hukum dan etos kerja masyarakat lokal untuk menghindari konflik Meningkatkan koordinasi antar sektor maupun NGO dari luar dalam mengembangkan kawasan permukiman
W2,W3,W6 O1-O4
dan
W1,W4,W5 O1,O3,O4
dan
W1,W4,W5 T2,T4
Skor
Peringkat
3,05
1
2,6
2
2,1
3
1,9
4
1,2
5
1,15
6
dan
S2,S3 dan O2-O4
172 Tabel 97. (lanjutan) Unsur SWOT
Strategi 7
Strategi 8
Keterkaitan
Peningkatan fungsi lembaga S2,S3 dan T1,T3 dalam mengatur kegiatan permukiman Peningkatan kualitas W1,W4,W5,W8 sumberdaya manusia dan O2,O3
Skor
Peringkat
1,0
7
0,80
8
Berdasarkan hasil SWOT diatas, strategi – strategi prioritas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kepulauan Tanakeke untuk kawasan permukiman, antara lain : (1)
Menyusun rencana detail kawasan pengembangan permukiman
(2)
Penataan lokasi permukiman dengan melibatkan masyarakat lokal
(3)
Membangun
sarana
dan
prasarana
pendukung
untuk
kebutuhan
permukiman (4)
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di pulau kecil
(5)
Meningkatkan kesadaran hukum dan etos kerja masyarakat lokal untuk menghindari konflik
(6)
Meningkatkan koordinasi antar sektor maupun NGO dari luar dalam mengembangkan kawasan permukiman
(7)
Peningkatan fungsi lembaga dalam mengatur kegiatan permukiman
(8)
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia.