III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui bahwa pada perlakuan penggunaan batu apung pada undergravel filter mulai terjadi peningkatan nilai amonia tertinggi pada minggu ke-2 yakni sebesar 0,0270 ppm dan kembali stabil pada minggu ke-3 hingga akhir pemeliharaan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 perlakuan batu apung menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan batu split dan batu karang (p < 0,05) (Lampiran 7). Pada perlakuan penggunaan batu karang pada undergravel filter nilai amonia tertinggi terdapat pada minggu ke-3 sebesar 0,0286 ppm. Sedangkan nilai amonia pada batu split cenderung rendah dengan kisaran 0,0004 – 0,0038 ppm (Gambar 5).
0.10 0.09 Ammonia (ppm)
0.08 0.07 0.06 0.05
B. Karang
0.04
B. Split
0.03
B. Apung
0.02 0.01 0.00 0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu ke-)
Gambar 5. Amonia pada media pemeliharaan
3.1.2 Nitrit Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter nitrit yang disajikan dalam bentuk grafik. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa nilai nitrit pada media pemeliharaan ikan nila selama
9
masa pemeliharaan berkisar antara 0,015 ppm sampai dengan 2,208 ppm. Peningkatan nilai nitrit tertinggi terjadi pada minggu ke-2 dan menurun mulai minggu ke-3 dan seterusnya yang terdapat pada perlakuan penggunaan batu split yaitu sebesar 1,265 ppm (Gambar 6). Berdasarkan hasil uji statistik tiap perlakuan menunjukkan hasil yang saling berbeda nyata pada minggu ke-0 (p<0,05), sedangkan pada minggu ke-1 batu karang berbeda nyata terhadap batu split dan batu apung (p<0,05) (Lampiran 8). 2.50
Nitrit (ppm)
2.00 1.50 B. Karang 1.00
B. Split B. Apung
0.50 0.00 0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu)
Gambar 6. Nitrit pada media pemeliharaan 3.1.3 Nitrat Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter nitrat yang disajikan pada grafik. Dari grafik di bawah dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai nitrat pada minggu ke-1, lalu mengalami penurunan pada minggu ke-2 dan pada minggu ke-4 mencapai nilai nitrat tertinggi pada tiap-tiap perlakuan. Nilai nitrat tertinggi terdapat pada minggu ke-4 dengan kisaran antara 0,680 – 0,752 ppm. Dan nilai nitrat terendah terdapat pada awal penebaran dengan kisaran 0,080 ppm sampai dengan 0,108 ppm (Gambar 7). Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan secara nyata dari masing-masing perlakuan dan ulangannya (p>0,05) (Lampiran 9).
10
0.80 0.70 Nitrat (ppm)
0.60 0.50 0.40
B. Karang
0.30
B. Split
0.20
B. Apung
0.10 0.00 0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu)
Gambar 7. Nitrat pada media pemeliharaan
3.1.4 Oksigen Terlarut (DO) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter oksigen terlarut (DO) yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik di bawah dapat diketahui bahwa nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada awal penebaran kemudian terjadi fluktuasi nilai oksigen terlarut dalam media pemeliharaan. Nilai oksigen terlarut pada media pemeliharaan ikan nila selama masa pemeliharaan berkisar antara 3,3 – 6,1 mg/l (Gambar 8). Dari hasil uji statistik
menunjukkan
bahwa
tidak
terjadi
perbedaan
nyata
(p>0,05)
(Lampiran 10).
Oksigen Terlarut (mg/l)
7.0 6.0 5.0 4.0 B. Karang 3.0
B. Split
2.0
B. Apung
1.0 0.0 0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu)
Gambar 8. Oksigen terlarut (DO) pada media pemeliharaan
11
3.1.5 Suhu Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter suhu yang disajikan dalam bentuk grafik. Selama masa pemeliharaan terjadi fluktuasi suhu pada media pemeliharaan ikan nila. Diketahui bahwa suhu pada media pemeliharaan ikan nila selama masa pemeliharaan berkisar antara 25,1 – 28,9 oC. Nilai suhu tertinggi terjadi pada minggu ke-3, kemudian kembali menurun pada minggu selanjutnya (Gambar 9). Hasil Uji statistik menunjukkan tidak terjadi perbedaan nyata pada suhu (p>0,05) (Lampiran 11). 30 29
Suhu (oC)
28 27 B. Karang 26
B. Split
25
B. Apung
24 23 0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu)
Gambar 9. Nilai suhu pada media pemeliharaan
3.1.6 Derajat Keasaman (pH) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter derajat keasaman (pH) yang disajikan dalam bentuk grafik pada gambar di bawah. Dari grafik di bawah dapat diketahui bahwa derajat keasaman pada media pemeliharaan ikan nila selama masa pemeliharaan berkisar antara 5 – 8. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa di minggu ke-3 pada perlakuan batu apung dan batu split pada undergravel filter terjadi penurunan pH dan kembali terjadi peningkatan secara perlahan pada minggu berikutnya, sedangkan perlakuan batu karang terjadi peningkatan derajat keasaman pada minggu ke-3 namun kembali terjadi penurunan hingga akhir pemeliharaan (Gambar 10). Hasil uji statistik yang dilakukan terjadi perbedaan nyata pada batu karang terhadap batu
12
apung dan split pada minggu ke-0, minggu ke-1, minggu ke-2 dan minggu ke-4 (p<0,05). Pada minggu ke-3 terjadi perbedaan nyata terhadap tiap-tiap perlakuan
Derajat keasaman
(p<0,05) (Lampiran 12). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
B. Karang B. Split B. Apung
0
1
2
3
4
Waktu Pemeliharaan (Minggu)
Gambar 10. Nilai pH pada media pemeliharaan
3.1.7 Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate, SGR) Laju pertumbuhan spesifik ikan nila yang dipelihara berkisar 3.94 – 4,05% (Gambar 11). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan batu pada undergravel filter tidak berpengaruh secara nyata pada laju pertumbuhan spesifik ikan nila (P>0,05) (Lampiran 4).
Pertumbuhan Bobot Harian (%)
4.50
3.99 ± 0.09
3.94 ± 0.06
4.05 ± 0.13
a
a
a
B. Karang
B. Split
B. Apung
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
Perlakuan Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
Gambar 11. Pertumbuhan bobot harian atau spesifik growth rate
13
3.1.8 Tingkat Kelangsungan Hidup atau Survival Rate Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama masa pemeliharaan berkisar antara 77,41 – 85,56% (Gambar 12). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan batu pada undergravel filter tidak berpengaruh secara nyata pada tingkat kelangsungan hidup ikan nila (P>0,05) (Lampiran 6). Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
100 90 80 70
85.56 ±2.31
80.37 ± 1.61
77.41 ± 2.67
a
a
a
B. Split
B. Apung
60 50 40 30 20 10 0 B. Karang
Perlakuan Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
Gambar 12. Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate
3.2 Pembahasan Pemeliharaan ikan dalam penelitian ini dilakukan secara intensif, ikan nila ditebar dengan padat tebar tinggi dan pakan dengan protein 30% diberikan dengan Feeding Ratio sebesar 5% dari biomassa. Peningkatan produksi budidaya dengan melakukan budidaya secara intensif akan meningkatkan pengaruh terhadap lingkungan perairan, yaitu akan dihasilkannya sejumlah bahan pencemar yang berasal dari limbah proses produksi berupa pakan tidak termakan, serta feses dari kegiatan budidaya masuk ke lingkungan perairan, yang pada jumlah tertentu dapat memperburuk kualitas. Pada penelitian ini, perbedaan penggunaan batu pada undergravel filter tidak berpengaruh
langsung terhadap laju pertumbuhan spesifik dan tingkat
kelangsungan hidup ikan. Perbedaan penggunaan batu akan menyebabkan kualitas air tetap terjaga dengan baik karena air pada wadah pemeliharaan akan terfiltrasi
14
oleh batu yang digunakan. Sisa pakan tidak termakan dan feses akan tertarik ke bawah dan menempel pada permukaan batu sebagai filter. Hasil uji statistik nilai amonia menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 perlakuan batu apung menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan batu split dan batu karang (p < 0,05) (Lampiran 7), pada perlakuan batu apung sebagai filter mulai terjadi puncak peningkatan nilai amonia pada minggu ke-2 sebesar 0,0270 ppm dan kembali stabil pada minggu ke-3 hingga akhir pemeliharaan. Pada perlakuan batu karang nilai amonia tertinggi terdapat pada minggu ke-3 sebesar 0,0286 ppm. Sedangkan nilai amonia pada batu split berkisar antara 0,0004 – 0.0038 ppm. Brown (1957) dalam Sriharti (1992) mengemukakan bahwa kadar amonia yang rendah baik untuk kehidupan ikan. Boyd (1982) menyatakan bahwa kadar amonia berkisar 0,5-1,0 mg/L tidak dapat ditolerir oleh ikan dan akan bersifat racun. Dibandingkan dengan perlakuan penggunaan batu apung dan batu karang sebagai filter, nilai amonia pada perlakuan penggunaan batu split lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena persentase tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga limbah yang dihasilkan baik berupa feses maupun sisa pakan lebih sedikit dibandingkan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil uji statistik dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang saling berbeda nyata pada minggu ke-0 (p<0,05), sedangkan pada minggu ke-1 batu karang berbeda nyata terhadap batu split dan batu apung (p<0,05) (Lampiran 8). Peningkatan nilai nitrit secara signifikan terjadi pada minggu ke-3, dan kembali menurun pada minggu berikutnya. Konsentrasi nitrit pada semua perlakuan perbedaan jenis batu dengan menggunakan undergravel filter memiliki kisaran antara 0,015 – 2,208 ppm, tetapi masih memiliki tingkat kelangsungan hidup terkecil sebesar 77,41%. Sedangkan menurut Meade (1989) dan Pillay (2004) konsentrasi nitrit yang baik untuk budidaya yaitu lebih kecil dari 0,1 ppm. Tingginya nilai nitrit pada setiap perlakuan diduga karena kurang optimalnya proses nitrifikasi yang terjadi. Boyd (1982) menyatakan bahwa tingkat kematian akibat nitrit menurun dengan peningkatan ion kalsium di peraiiran. Peningkatan kalsium dalam dapat terjadi
15
akibat penggunaan batu yang mengandung ion kalsium sehingga terjadi pencampuran dengan air, contohnya yaitu batu apung dan batu karang. Hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan secara nyata dari masing-masing perlakuan dan ulangannya (p>0,05) (Lampiran 9). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran konsentrasi nitrat terendah dicapai pada perlakuan batu apung sebagai filter sebesar 0,080 – 0,680 ppm. Kisaran nitrat yang baik untuk budidaya nila yaitu 0-3 ppm (Hanley, 2005). Naik dan turunnya konsentrasi nitrat terjadi secara bersamaan pada setiap perlakuan yaitu pada minggu ke-1 dan minggu ke-4. Pada minggu ke-3 diduga bakteri nitrifikasi sudah berjalan dengan baik dan pada minggu ke-4 aktifitas bakteri nitrifikasi mulai menurun. Menurut Tyson (2007) dalam Ruly (2011) mengemukakan bahwa proses nitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi mengubah sekitar 93 – 96% amonia menjadi nitrat dalam kondisi yang optimal dalam unit biofiltrasi. Menurut Rakocy et al. (2006) konsentrasi utama pada sistem filter adalah pemindahan amonia, zat hasil proses metabolisme melalui insang ikan. Amonia akan terakumulasi dan mencapai level beracun jika tidak dipindahkan dengan proses nitrifikasi (biofiltrasi). Proses tersebut melalui oksidasi amonia menjadi nitrit yang beracun, kemudian menjadi nitrat yang relatif tidak beracun. Proses ini melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Bakteri nitrit tumbuh seperti lapisan film (biofilm) pada permukaan material (medium filter) atau melekat pada partikel organik. Pada undergravel filter ini, bakteri-bakteri tersebut tumbuh pada batu yang digunakan. Dan menurut Kaiser dan Wheaton (1983), media filter menyediakan permukaan media tumbuh dan berkembang bagi mikroorganisme. Dalam sistem biofilter, ukuran dan bentuk bahan yang digunakan sebagai filter sangat penting karena mempengaruhi populasi mikroorganisme selama proses nitrifikasi. Oksigen terlarut (Dissolve Oxygen) adalah oksigen yang terlarut yang terkandung di dalam air. Kandungan oksigen di perairan sangat dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton yang melakukan proses fotosintesis pada siang hari, namun pada saat proses respirasi terjadi kandungan oksigen di dalam perairan akan berkurang, hal lainnya adalah proses difusi oksigen yang terdapat di udara serta suhu perairan itu sendiri. Menurut Endut et al (2009), debit air efisien dalam
16
menjaga parameter kualitas air yang dapat diterima sampai batas aman untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Pada budidaya intensif dengan sistem resirkulasi dibutuhkan oksigen terlarut yang cukup baik untuk kebutuhan ikan maupun proses nitrifikasi oleh bakteri autotrof. Kisaran oksigen terlarut pada penelitian ini masih berada pada kondisi yang layak untuk pemeliharaan ikan nila. Dari hasil pemeliharaan yang dilakukan diperoleh kisaran nilai oksigen terlarut sebesar 3,3 – 6,1 mg/l (Gambar 8). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan nyata (p>0,05) (Lampiran 10). Menurut Boyd (1982) oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan ikan harus lebih dari 5 ppm. Oksigen terlarut yang berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat. Sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan. Kelarutan oksigen merupakan parameter kualitas air yang paling kritis dalam kegiatan akuakultur. Sehingga pengaruh DO sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup ikan (Boyd, 1998). Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam kegiatan akuakultur. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air serta mempengaruhi peningkatan konsumsi oksigen. Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa selama masa pemeliharaan kisaran suhu yang diperoleh berkisar antara 25 - 28,9°C dengan rata-rata 26,1°C untuk tiap-tiap akuarium. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan nyata pada suhu (p>0,05) (Lampiran 11). Kisaran suhu yang diperoleh menunjukkan suhu ideal untuk pemeliharaan ikan nila, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan dengan baik. Menurut Khairuman dan Amri K. (2008) nila dapat hidup pada suhu 25 - 30°C. Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan asam dan basa air. Diperairan sendiri nilai pH sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan organisme akuatik. Nilai pH yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian. Hasil uji statistik yang dilakukan terjadi perbedaan nyata pada batu karang terhadap batu apung dan split pada minggu ke-0, minggu ke-1, minggu ke-2 dan minggu ke-4 (p<0,05). Pada minggu ke-3 terjadi perbedaan nyata terhadap tiap-tiap perlakuan (p<0,05) (Lampiran 12). Nilai derajat keasaman yang diperoleh selama masa
17
pemeliharaan berkisar antara 5,4-7,8. Boyd (1998) menyatakan bahwa kisaran pH > 4 merupakan titik kematian ikan pada kondisi asam, kisaran pH 4-5 merupakan titik dimana ikan tidak dapat bereproduksi, pada pH 5-6.5 pertumbuhan ikan akan melambat, kisaran pH 6.5-9 merupakan kisaran pH yang sesuai bagi ikan tumbuh dan bereproduksi, dan pada kisaran pH > 11 merupakan titik kematian ikan pada suasana basa. Nilai pH dalam air dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktivitas fotosintesis, suhu, dan terdapatnya anion dan kation. Makin tinggi pH air tambak/kolam, daya racun amonia semakin meningkat, sebab sebagian besar berada dalam bentuk NH3, sedangkan amonia dalam bentuk molekul (NH3) lebih beracun daripada yang berbentuk ion (NH4+). Amonia dalam bentuk molekul dapat menembus bagian membran sel lebih cepat daripada ion NH4+. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan batu pada undergravel filter tidak berpengaruh secara nyata pada tingkat kelangsungan hidup ikan nila (P>0,05) (Lampiran 4). Tetapi batu apung menunjukkan hasil yang tertinggi dibanding dengan perlakuan lainnya yakni dengan perolehan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dibandingkan dengan batu lainnya, yakni sebesar 85,56 ±4,01%. Hal ini didukung dengan kualitas air pemeliharaan ikan nila pada perlakuan batu apung sebagai filter masih dalam ambang batas toleransi ikan nila menurut Khairuman (2008), yang menyatakan bahwa ikan nila dapat hidup pada suhu 25-30oC, pH 5-11, oksigen terlarut > 4mg/l dan kadar amonia < 0,01 mg/l. Batu apung memiliki struktur yang berongga / banyak sekali kapilerkapiler yang halus, sehingga memudahkan terjadinya penyerapan. Menurut Sutrisno (2008) batu apung mempunyai fungsi paling baik sebagai filter dan media tanam. Menurut Nixon dan Sitanggang (2001) kerikil dan batu apung merupakan media yang permukaannya cukup luas sehingga sangat baik untuk mendukung
perkembangbiakan
bakteri,
dimanabakteri
tersebut
berfungsi
menguraikan amonia menjadi nitrit, kemudian diubah menjadi nitrat yang tidak berbahaya bagi ikan. Hal yang paling mendukung dalam keberhasilan kegiatan pemeliharaan ikan, dalam hal ini laju pertumbuhan spesifik dan tingkat kelangsungan hidup yaitu terjaganya parameter kualitas air pemeliharaan ikan. Jika parameter kualitas
18
air pemeliharaan tidak mendukung ikan yang dipelihara maka dapat dikatakan kegiatan tersebut jauh dari berhasil. Pertumbuhan bobot dan panjang ikan nila terus bertambah seiring lama pemeliharaan. Hasil dari perhitungan laju pertumbuhan spesifik menunjukkan bahwa persentase laju pertumbuhan spesifik bobot tertinggi terdapat pada perlakuan batu apung yaitu sebesar 4,05±0,13. Sedangkan laju pertumbuhan bobot spesifik terendah terdapat pada perlakuan batu karang yaitu sebesar 3,94±0,09. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan batu pada undergravel filter tidak berpengaruh secara nyata pada pertumbuhan bobot ikan nila (P>0,05) (Lampiran 6). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan perbedaan penggunaan batu pada undergravel filter tidak berbeda nyata satu sama lain. Kelangsungan hidup ikan menentukan banyaknya jumlah ikan yang dipanen. Dari hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada tiap perlakuan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan penggunaan batu apung sebagai filter yaitu sebesar 85,56±4,01. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan penggunaan batu split sebagai filter yaitu sebesar 77,41±4,62. Namun dari hasil analisa ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan.
19