30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Sekolah Dasar (SD) Insan Kamil beralamat di Jalan Raya Dramaga Km. 6 Bogor. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. SD Insan Kamil memiliki 2 gedung sekolah, yaitu Gedung A dan Gedung B. Gedung B ditempati oleh anak kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, sedangkan Gedung A ditempati oleh anak kelas 5 dan 6 SD. Sekolah ini mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). SD Insan Kamil juga masuk dalam daftar 10 besar SD Negeri dan Swasta di Kota Bogor. Sekolah Dasar Insan Kamil dengan status disamakan, dikembangkan dengan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memadukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Madrasah Diniyah. Perpaduah Kurikulum ini diimplementasikan menjadi program pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup (life skill) yang berakar kuat pada konsep ‘ubudiyah (hidup adalah ibadah). Visi sekolah ini yaitu dengan berlandaskan konsep ibadah, SD Insan Kamil unggul prestasi. Adapun misi dari sekolah ini adalah mendidik murid-murid agar menghayati dan mengamalkan bahwa hidup adalah ibadah, belajar adalah ibadah, dan prestasi adalah ibadah sehingga murid-murid memiliki: (1) penguasaan ilmu-ilmu diniyah, ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, (2) motivasi yang kuat untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui amaliah, ubudiyah/muamalah, dan (3) kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan hanya disandarkan kepada pandangan dan penilaian Allah SWT. Jumlah guru sekolah sebanyak 77 orang. Tingkat pendidikan guru diantaranya 52 orang sarjana dan 25 orang lainnya diploma. Jumlah staf tata usaha sekolah 5 orang. Jumlah murid sebanyak 1181 orang yang terdiri 662 lakilaki dan 519 perempuan. Kelas 1 sampai kelas 5 masing-masing terdiri dari 7 kelas, dan kelas 6 terdiri dari 8 kelas. Data lengkap jumlah kelas dan murid tiap kelas dapat dilihat di Lampiran 2. Sarana yang dimiliki sekolah antara lain sarana pendidikan (2 gedung masing-masing 3 lantai), sarana ibadah (mesjid dan musholla), sarana penunjang (Lab. Komputer, ruang serbaguna, aula, perpustakaan, dan Lab. IPA), sarana olah raga (lapangan futsal, tenis meja, senam dan tae kwon do, lapangan bulutangkis dan volly, lapangan basket, dan UKS), dan sarana kebersihan dan
31
lingkungan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih, air PDAM, dan lapangan parkir luas). Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung A dan 2 kantin di Gedung B. Tiap kantin memiliki berbagai macam jenis makanan mulai dari makanan ringan, makanan kemasan, kue basah, gorengan, nasi paket, nasi uduk, bihun goreng, es krim, dan berbagai macam minuman. Jam pelajaran di SD Insan Kamil pada hari Senin hingga Kamis dan Sabtu dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 11.30 WIB (Kelas 1 dan Kelas 2), sedangkan Kelas 3 sampai Kelas 6 sampai pukul 13.00 WIB. Hari Jumat jam pelajaran dimulai pada pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 10.00 WIB (Kelas 1 hingga Kelas 6). Jam istirahat Kelas 1 dan Kelas 2 pada pukul 09.30 WIB sampai 10.00 WIB sedangkan Kelas 3 hingga Kelas 6 pada pukul 10.00 WIB hingga 10.30 WIB. Waktu istirahat biasanya digunakan murid untuk jajan, bermain, dan mengobrol dengan teman. Ektrakurikuler yang ada di sekolah ini di antaranya adalah Al-Qur,an, english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Tiap ekstrakulikuler memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan biasa dilakukan setelah jam sekolah berakhir. Setiap murid diwajibkan mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakulikuler. Karakteristik Anak Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata murid berumur 10,4 ± 0,6 tahun. Sebagian besar umur murid berada pada usia 10 dan 11 tahun. Karakteristik anak mencakup berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengukur IMT anak. Rata-rata berat badan dari anak dengan status gizi obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan kisaran 40-66 kilogram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki ratarata berat badan 29,2 ± 3,6 kilogram, dengan kisaran 23-38 kilogram. Data umur, jenis kelamin, BB, TB, dan IMT anak terdapat pada Lampiran 3. Rata-rata berat badan lahir dari anak dengan status gizi obes adalah 3343 ± 542 gram, dengan kisaran 1600-4200 gram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata berat badan lahir 3135 ± 350,7 gram, dengan kisaran 2500-3900 gram. Tabel 5 menunjukkan sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebanyak 70% adalah anak laki-laki. Nilai ini tidak berbeda
32
jauh dengan kelompok anak berstatus gizi normal yaitu sebanyak 65% adalah anak laki-laki. Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir Karakteristik Anak Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Total Berat Badan Normal Lahir BBLR/Lebih Total
Normal n % 14 35,0 26 65,0 40 100,0 39 97,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 12 30,0 28 70,0 40 100,0 33 82,5 7 17,5 40 100,0
Total n 26 54 80 72 8 80
% 32,5 67,5 100,0 90,0 10,0 100,0
p value -
0,045
Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal. Sebanyak 97,5% anak dari kelompok anak dengan status gizi normal lahir dengan berat badan normal dan sebanyak 82,5% anak dari kelompok anak obes lahir dengan berat badan normal. Namun persentase anak yang lahir dengan BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak pada kelompok anak obes, yaitu 17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat lebih, sedangkan hanya 1 dari 40 (2,5%) anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih. Anak yang lahir dengan BBLR/lebih adalah anak yang lahir dengan berat badan di luar kisaran 2500-3800 gram. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,045) berat badan lahir antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan
33
bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Faktor Keturunan Genetik atau parenteral fatness ditentukan dengan menghitung IMT orang tua dengan pengkategorian status gizi menjadi kurus, normal, overweight, dan obes. Rata-rata IMT ayah dari anak dengan status gizi obes adalah 26,6 ± 3,9 kg/m2, dengan kisaran 20,2-37,6 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ayah 23,9 ± 2,7 kg/m2, dengan kisaran 18,6-29,4 kg/m2. Tabel 6 merupakan sebaran anak berdasarkan faktor keturunan yaitu berdasarkan status IMT ayah dan IMT ibu. Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan Faktor Keturunan Kurus Normal IMT ayah Overweight Obes Total Kurus Normal IMT ibu Overweight Obes Total
Normal n % 25 62,5 15 37,5 0 0,0 40 100,0 2 5,0 28 70,0 7 17,5 3 7,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 13 32,5 18 45,0 9 22,5 40 100,0 0 0,0 20 50,0 18 45,0 2 5,0 40 100,0
p value
Total n 38 33 9 80 2 47 25 6 80
% 47,5 41,2 11,3 100,0 2,5 58,8 31,2 7,5 100,0
0,001
0,143
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya overweight (45%). Pada kelompok anak yang berstatus gizi normal tidak ada anak yang ayahnya berstatus gizi obes, sedangkan dari kelompok anak obes terdapat 22,5% anak memiliki ayah obes. Anak
yang berstatus gizi normal
sebagian besar memiliki ayah yang berstatus gizi normal yaitu sebanyak 62,5%. Tidak ada ayah yang berstatus gizi kurus baik dari anak obes maupun anak yang berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,001) IMT ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
34
Rata-rata IMT ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 25,0 ± 2,8 kg/m2, dengan kisaran 18,7,2-32,5 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ibu 23,8 ± 4,4 kg/m2, dengan kisaran17,1-38,9 kg/m2. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang overweight, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal hanya 17,5% ibu yang overweight. Terdapat 5% dari kelompok anak obes memiliki ibu obes, sedangkan 7,5% dari kelompok anak berstatus gizi normal memiliki ibu obes. Tidak ada dari kelompok anak obes memiliki ibu yang berstatus gizi kurus, sedangkan terdapat 5% ibu bersatatus gizi kurus dari kelompok anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,143) IMT ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Perubahan lingkungan gizi ketika anak berada dalam kandungan menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang di kemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stres lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit di kemudian hari. Berikut disajikan sebaran anak berdasarkan kombinasi antara IMT ayah dan IMT ibu yang terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu IMT ayah dan IMT ibu Kurus dan Normal Normal dan Normal Overweight dan Kurus Overweight dan Normal Overweight dan Overweight Obes dan Normal Obes dan Overweight Total
Normal n % 1 2,5 19 47,5 1 2,5 12 30,0 4 10,0 2 5,0 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 0 0,0 6 15,0 0 0,0 16 40,0 7 17,5 5 12,5 6 15,0 40 100,0
Total n 1 24 1 28 11 8 7 80
% 1,2 30,0 1,2 35,0 13,8 10,0 8,8 100,0
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Table 7 dapat diketahui bahwa hampir separuh (47,5%) anak berstatus gizi normal berasal dari kedua orang tua yang berstatus gizi normal. Pada kelompok anak obes, sebagian besar (40%) anak obes berasal dari ayah overweight dan ibu normal atau ayah yang normal
35
dan ibu yang overweight. Bahkan terdapat 15% anak obes yang berasal dari kedua orang tua yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006). Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%. Karakteristik Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak berinteraksi. Keluarga juga yang menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Kondisi obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas rata-rata, karena kemampuannya untuk memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Karakteristik keluarga mencakup pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan Orang Tua Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas dari keluarga itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Menurut Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 8.
36
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua Karakteristik Orang Tua Pendidikan Ayah
SMP SMA PT
Total Pendidikan Ibu Total
SMP SMA PT
Normal n % 1 2,5 8 20,0 31 77,5 40 100,0 5 12,5 12 30,0 23 57,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 2 5,0 6 15,0 32 80,0 40 100,0 1 2,5 13 32,5 26 65,0 40 100,0
Total n 3 14 63 80 6 25 49 80
p value
% 3,8 17,5 78,7 100,0 7,5 31,2 61,3 100,0
0,839
0,333
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang obes memiliki orang tua yang berpendidikan sampai ke perguruan tinggi (80%), 15% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 5% memiliki ayah yang berpendidikan SMP. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal. Dari kelompok anak yang berstatus gizi normal, sebanyak 77,5% memiliki ayah yang berpendidikan perguruan tinggi (PT), 20% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 2,5% memiliki ayah berpendidikan SMP. Namun persentase ayah yang berpendidikan perguruan tinggi lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,839) pendidikan ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Hal ini diduga rata-rata tingkat pendidikan ayah antara dua kelompok tersebut sama. Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001). Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) (65%), sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 57,5% memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi (PT). Persentase ibu yang berpendidikan sampai perguruan tinggi ternyata lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan kelompok anak berstatus gizi normal. Tidak terdapat perbedaan yang
37
signifikan (p=0,333) pendidikan ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Pendapatan Keluarga Kondisi
obesitas
biasanya
terjadi
pada
keluarga
yang
memiliki
perekonomian di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk membeli dan memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Pendapatan keluarga adalah total dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Tabel 9 merupakan sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga. Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga Normal
Karakteristik Orang Tua n Pendapatan Keluarga
<3 Juta 3-5Juta 5-10 Juta >10 Juta
Total
4 14 14 8 40
% 10,0 35,0 35,0 20,0 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 3 7,5 10 25,0 17 42,5 10 25,0 40 100,0
Total n
% 8,8 30,0 38,7 22,5 100,0
7 24 31 18 80
Tabel 9 menggambarkan dari kelompok anak obes, sebagian besar berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 5-10 juta rupiah (42,5%) dan sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Pada kelompok anak dengan status gizi normal sebesar 20% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun jika dikelompokkan lagi menjadi dua kategori pendapatan keluarga, yaitu di bawah 5 juta rupiah per bulan dan di atas 5 juta rupiah terdapat perbedaan yang semakin terlihat (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga Karakteristik Orang Tua Pendapatan <5 Juta Keluarga ≥5Juta Total
Normal n % 18 45,0 22 55,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 13 32,5 27 67,5 40 100,0
Total n 31 49 80
% 38,8 61,2 100,0
p value 0,306
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan (67,5%). Pada kelompok anak dengan status gizi normal, sebesar 55% memiliki orang tua dengan pendapatan di atas 5 juta rupiah per bulan sebesar 55% dan 45% dari orang tua dengan pendapatan di bawah 5 juta rupiah per bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (0,306) pendapatan keluarga antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
38
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu pada penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh ibu di rumah. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 20 soal mengenai pengetahuan gizi umum dan pengetahuan mengenai obesitas. Rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 86,5 ± 10,9 dengan kisaran 50-100. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu 87,75 ± 11,9 dengan kisaran 35-100. Pengetahuan gizi ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang (skor <60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu Karakteristik Orang Tua Pengetahuan Gizi Ibu Total
Kurang Sedang Baik
Normal n % 1 2,5 8 20,0 31 77,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 1 2,5 10 25,0 29 72,5 40 100,0
Total n 2 18 60 80
% 2,5 22,5 75,0 100,0
p value
0,626
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes ternyata sebagian besar memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik (72,5%). Bila dibandingkan dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal, ternyata 77,5% anak yang berstatus gizi normal memiliki ibu dengan pengetahun gizi yang baik. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun persentase pengetahuan gizi ibu yang baik lebih tinggi pada kelompok anak berstatus gizi normal. Hal ini dapat
39
dikatakan ada kecenderungan ibu yang berpengetahuan gizi baik memiliki anak yang berstatus gizi normal. Namun berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,626) pengetahuan gizi ibu antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang anak obes. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anak, dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, pengetahuan ibu tentang obes pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu ibu bekerja atau tidak. Riwayat Makan Anak Riwayat makan anak yang dimaksud adalah kondisi konsumsi anak pada saat masih bayi. Riwayat makan anak terdiri dari pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat. Pemberian ASI Eksklusif ASI sangat penting bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lain yang diperlukan oleh bayi. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan lain dari mulai bayi dilahirkan sampai dengan uisa 6 bulan. Tabel 12 menggambarkan sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak. Tabel 12 Sebaran anak berdasarkan riwayat makan anak Riwayat Makan Anak ASI Eksklusif Total Pemberian Susu Formula < 6 bulan Total Pemberian Makan Padat < 6 bulan Total
Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya
Normal n % 12 30,0 28 70,0 40 100,0 26 65,0 14 35,0 40 100,0 25 62,5 15 37,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 8 20,0 32 80,0 40 100,0 17 42,5 23 57,5 40 100,0 20 50,0 20 50,0 40 100,0
Total n 20 60 80 43 37 80 45 35 80
% 25,0 75,0 100,0 53,8 46,2 100,0 56,2 43,8 100,0
p value 0,305
0,045
0,263
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebagian besar tidak mendapatkan ASI eksklusif pada waktu bayinya. Sebanyak 32 dari 40 (80%) anak obes tidak mendapatkan ASI
40
eksklusif waktu bayi, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal, 70% tidak mendapatkan ASI eksklusif waktu bayi. Dari sampel anak berstatus gizi normal dan obes, ternyata sebanyak 75% ibu tidak memberikan ASI eksklusif pada anaknya. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,305) pemberian ASI eksklusif antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh asupan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah asupan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar 4,5%, dibandingkan dengan prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada masa anak. Pemberian Susu Formula Riwayat makan anak mengenai pemberian susu formula dikategorikan menjadi dua, yaitu pemberian susu formula sebelum usia anak 6 bulan dan pemberian susu formula setelah usia anak 6 bulan. Berdasarkan hasil pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa kecenderungan obes dialami anak yang diberi susu formula sebelum usia 6 bulan. Terdapat 23 dari 40 (57,5%) anak obes yang diberi susu formula lebih awal atau sebelum usia 6 bulan. Berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi normal, sebanyak 65% anak berstatus gizi normal tidak diberi susu formula sebelum usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,045) pemberian susu formula antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
41
Terdapat 42,5% anak obes yang tidak diberi susu formula sebelum usia 6 bulan namun mengalami obes. Hal ini bisa saja terjadi karena anak yang tidak diberikan susu formula sebelum usia 6 bulan, namun dalam pertumbuhannya diberikan makaan dengan jumlah yang lebih dari kecukupannya dan tidak diimbangi dengan aktifitas fisik, maka anak akan tumbuh dengan status gizi obes. Pemberian susu formula dalam takaran yang sesuai dan frekuensi yang tidak berlebih juga akan membantu konsumsi energi yang seimbang pada anak. Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan makanan yang berlebih. Anak yang biasa minum susu dalam botol, jumlah masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001), didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di antaranya mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu dengan osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan energi yang melebihi kebutuhan optimal. Pemberian Makanan Padat Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui tidak ada perbedaan yang nyata antara pemberian makanan padat sebelum usia 6 bulan dengan status gizi obes pada anak. Hal ini dikarenakan pada kelompok anak obes, baik anak yang diberi makanan pada sebelum usia 6 bulan dan setelah usia 6 bulan memiliki persentase yang sama (50%). Sebanyak 25 dari 40 (62,5%) anak berstatus gizi normal tidak diberi makanan padat (biskuit bayi) sebelum usia 6 bulan, sedangkan hanya 37,5% anak berstatus gizi normal yang diberi makanan padat setelah usia 6 bulan. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang siginifikan (p=0,263) pemberian makanan padat antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Berdasarkan penelitian Yueniwati & Rahmawati (2001), pemberian makanan padat yang terlalu dini (sebelum usia 6 bulan) pada anak merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya obesitas pada anak. Pada anak yang mendapatkan makanan padat terlalu dini (bubur bayi, biskuit, dan nasi tim sebelum 6 bulan) masukan energi akan melebihi kebutuhan energinya. Dari penelitian didapatkan hasil bahwa anak yang mengalami obes, sebelas di antaranya mendapatkan susu yang osmolaritasnya tinggi. Pemberian susu
42
dengan osmolaritas tinggi (terlalu kental) akan menyebabkan terjadinya asupan energi yang melebihi kebutuhan optimal. Kebiasaan Makan Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003). Menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan yang dilihat di penelitian ini di antaranya adalah konsumsi harian dengan menghitung energi, protein, dan lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food, konsumsi soft drink, dan konsumsi makanan berlemak. Asupan Zat Gizi Pengukuran asupan zat gizi anak menggunakan metode food record 1x24 jam pada hari libur dan metode food recall 1x24 jam pada hari sekolah. Kemudian konsumsi pangan dari dua hari tersebut dirata-ratakan. Metode food record ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah lebih akurat, sedangkan kelemahannya adalah perlu adanya partisipasi tinggi dari responden dan pola konsumsi pangan rumah tangga bisa berubah. Kelebihan dari metode food recall yaitu mudah dalam melaksanakannya, tidak membebani responden, biaya murah, dan cepat. Namun metode ini juga memiliki kekurangan yaitu kurang dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari jika dilakukan satu hari dan ketepatannya tergantung dari daya ingat responden. Asupan
energi
anak
berstatus
gizi
normal
berkisar
1169-2854
kkal/kap/hari, sedangkan asupan energi anak obes berkisar 1691-3318 kkal/kap/hari. Data asupan energi, protein, dan lemak anak terdapat pada Lampiran 4. Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak anak berstatus gizi normal dan anak obes dapat dilihat pada Tabel 13.
43
Tabel 13 Rata-rata asupan energi, protein, dan lemak per kapita per hari Energi dan Zat Gizi Energi (kkal/kap/hari) Protein (g/kap/hari) Lemak (g/kap/hari)
Satus Gizi Anak Normal Obes 2007 ± 403 2406 ± 388 70,4 ± 22,8 67,4 ± 20,1 68,8 ± 22,5 89,2 ± 19,9
p value 0,000 0,536 0,000
Berdasarkan hasil pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata asupan energi anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal, yaitu dengan rata-rata asupan anak berstatus gizi normal 2007 ± 403 kkal/kap/hari dan anak obes 2406 ± 388 kkal/kap/hari. Hasil uji t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata antara asupan energi anak obes dan anak berstatus gizi normal (p=0,000). Asupan lemak anak berstatus gizi normal berkisar 26,5-130,4 g/kap/hari, sedangkan asupan lemak anak obes berkisar 48,9-142,3 g/kap/hari. Sama halnya dengan asupan energi, rata-rata asupan lemak anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal, yaitu dengan rata-rata asupan lemak anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 89,2 ± 19,9 g/kap/hari. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000) antara rata-rata asupan lemak anak obes dengan anak status gizi normal. Asupan protein anak berstatus gizi normal berkisar 35,2-121,7 g/kap/hari, sedangkan asupan energi anak obes berkisar 39,4-135,5 g/kap/hari. Berbeda dengan rata-rata asupan energi dan lemak contoh, rata-rata asupan protein anak obes ternyata lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yaitu rata-rata asupan protein anak berstatus gizi normal 68,8 ± 22,5 g/kap/hari dan anak obes 67,4 ± 20,1 g/kap/hari. Asupan protein anak berstatus gizi normal cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak obes. Protein tidak terlalu berpengaruh dalam pembentukan sel lemak. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata asupan protein anak obes dengan anak status gizi normal (p=0,536).
44
Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1988) tingkat kecukupan zat gizi seseorang atau kelompok orang dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupannya. Kecukupan zat gizi antar individu berbeda menurut berat badan, jenis kelamin, umur, keadaan fisiologis, dan lain-lain. Rata-rata tingkat kecukupan energi dari anak dengan status gizi obes adalah 118,2 ± 19,4 % dengan kisaran 82,5-161,8%. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi 92,0 ± 25,0 dengan kisaran 44,2-143,4%. Rata-rata tingkat kecukupan protein dari anak dengan status gizi obes adalah 135,8 ± 42,8 % dengan kisaran 78,8-301,1 %, sedangkan kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata tingkat kecukupan protein 132,6 ± 50,1 % dengan kisaran 52,3-256,9 %. Tingkat kecukupan energi dan protein dibedakan menjadi lima; defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), kurang (80-89 % AKG), cukup (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Tingkat Kecukupan
Energi
Protein
Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Kurang Cukup Lebih Total Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Kurang Cukup Lebih Total
Normal n % 7 17,5 3 7,5 11 27,5 15 37,5 4 10,0 40 100,0 2 5,0 1 2,5 7 17,5 10 25,0 20 50,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 0 0,0 0 0,0 5 12,5 14 35,0 21 52,5 40 100,0 0 0,0 1 2,5 3 7,5 13 32,5 23 57,5 40 100,0
Total n 6 3 17 29 25 80 2 2 9 23 44 80
% 7,5 3,8 21,2 36,2 31,3 100,0 2,5 2,5 11,2 28,8 55,0 100,0
p value
0,000
0,761
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak obes memiliki tingkat kecukupan energi lebih (52,5%) dan cukup (35%). Hal ini berbeda dengan kelompok anak berstatus gizi normal, anak berstatus gizi normal cenderung mengonsumsi energi dengan tingkat kecukupan energi yang cukup (37,5%) dan kurang (27,5%). Bahkan tidak ada anak obes dengan tingkat
45
kecukupan energi defisit tingkat sedang dan defisit tingkat berat, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 7,5% anak dengan tingkat kecukupan energi defisit tingkat sedang dan 17,5% anak dengan tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat. Anak yang obes cenderung memiliki kebiasaan pola makan berlebih serta mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih banyak setiap kalinya. Selain itu anak yang obes juga sangat menyukai aktivitas makan. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) tingkat kecukupan energi antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebanyak 57,5% mempunyai tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Hal yang sama terjadi pada kelompok anak berstatus gizi normal, separuh (50%) memiliki tingkat kecukupan protein pada kategori lebih. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kelompok anak obes, namun pada kelompok anak obes nilai persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,761) tingkat kecukupan protein antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Pertumbuhan anak sebaiknya didukung oleh konsumsi zat gizi yang cukup. Menurut Almatsier (2003), protein merupakan bagian terbesar tubuh setelah air yang mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Oleh karena itu protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan anak. Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak terhadap konsumsi energi dapat dilihat pada Tabel 15. Rata-rata konsumsi energi pada anak obes adalah 2406 ± 388 kkal setiap hari. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata konsumsi energi anak normal yaitu 2007 ± 403 kkal setiap hari. Tabel 15 Sebaran anak bedasarkan persen kontribusi lemak Status Gizi Anak Normal Obes
Rata-rata Konsumsi Energi Lemak (kkal/kap/hari) (g/kap/hari) 2007 ± 403 68,8 ± 22,5 2406 ± 388 89,2 ± 19,9
% Kontribusi Lemak
p value
30,4 33,4
0,027
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa kontribusi konsumsi lemak anak obes cenderung lebih banyak dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Kontribusi lemak pada anak obes sebesar 33,4% sedangkan pada anak dengan status gizi normal sebesar 32,0%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda, namun kontribusi lemak pada anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak
46
berstatus gizi normal. Kisaran kontribusi lemak pada anak obes adalah 21,643,6%, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal adalah 14,444,9%. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,027) persen kontribusi lemak antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Almatsier (2003), konsumsi lemak perlu diawasai karena tidak boleh melebihi seperempat dari kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi lemak tidak boleh lebih dari 25%. Kontribusi lemak baik pada anak obes dan anak berstatus gizi normal ternyata melebihi 25%. Maka kedua kelompok tersebut mengonsumsi lemak melebihi batas yang telah dianjurkan. Nilai ini mungkin saja terjadi, karena nilai konsumsi yang diketahui adalah konsumsi saat ini, di mana kedua kelompok tersebut banyak mengonsumsi makanan yang berlemak dan makanan yang digoreng saat dilakukan food record dan food recall. Kebiasaan Konsumsi Camilan Makanan camilan biasa dikonsumsi di luar jam makan utama. Tabel 16 merupakan sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil anak dengan kejadian kegemukan anak. Tabel 16 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan ngemil Kebiasaan Ngemil Tidak Ya Total
Normal n % 9 22,5 31 77,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 5 12,5 35 87,5 40 100,0
Total n % 14 17,5 66 82,5 80 100,0
p value 0,242
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa kelompok anak obes sebagian besar suka ngemil. Terdapat 35 dari 40 (87,5%) anak obes yang suka ngemil, sedangkan hanya 5 dari 40 (12,5%) anak obes yang tidak suka ngemil. Hal yang sama terjadi pada anak berstatus gizi normal, terdapat 77,5% anak berstatus gizi normal yang suka ngemil dan 22,5% anak berstatus gizi normal yang tidak suka ngemil. Dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebanyak 66 dari 80 (82,5%) anak suka ngemil. Namun persentase anak yang suka ngemil lebih tinggi pada kelompok anak obes. Berdasarkan hasil uji MannWhitney U tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0,242) kebiasaan ngemil antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Kebiasaan ngemil ini tidak buruk apabila dimaksudkan untuk membantu penyediaan energi yang kurang dari asupan makanan utama sehari-hari, tetapi perlu diperhatikan jenis camilannya. Tidak ada bantahan bahwa beberapa jenis
47
camilan termasuk bergizi.
Camilan dikatakan buruk apabila berlebihan
kandungan gula, garam, dan lemak, tetapi rendah protein, vitamin, dan mineral. Sebaran anak berdasarkan jenis makanan camilan yang biasa dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 17. Kebiasaan konsumsi camilan terdiri atas jenis camilan makanan ringan, biskuit, es krim, coklat, dan gorengan. Tabel 17 Sebaran anak berdasarkan jenis camilan Jenis Camilan Makanan Ringan Total Biskuit
Tidak Ya Tidak Ya
Total Es Krim
Tidak Ya
Total Coklat
Tidak Ya
Total Gorengan Total
Tidak Ya
Normal n % 25 62,5 15 37,5 40 100,0 22 55,0 18 45,0 40 100,0 38 95,0 2 5,0 40 100,0 37 92,5 3 7,5 40 100,0 38 95,0 2 5,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 16 40,0 24 60,0 40 100,0 25 62,5 15 37,5 40 100,0 29 72,5 11 27,5 40 100,0 31 77,5 9 22,5 40 100,0 26 65,0 14 35,0 40 100,0
Total n 41 39 80 47 33 80 67 13 80 68 12 80 64 16 80
% 51,2 48,8 100,0 58,8 41,2 100,0 83,8 16,2 100,0 85,0 15,0 100,0 80,0 20,0 100,0
p value 0,045
0,498
0,007
0,062
0,001
Tabel 17 menunjukkan bahwa 60% anak obes suka ngemil makanan ringan, sedangkan anak berstatus gizi normal yang suka ngemil makanan ringan hanya 37%. Anak berstatus gizi normal dan obes cenderung tidak suka mengemil biskuit, es krim, coklat, dan gorengan, namun jika dibandingkan antara anak berstatus gizi normal dan obes yang suka mengemil es krim, coklat, dan gorengan, ternyata persentasenya lebih banyak terjadi pada anak obes dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Terdapat 27,5% anak obes yang suka ngemil es krim, sedangkan pada anak berstatus gizi normal hanya 5%. Terdapat 22,5% anak obes yang suka ngemil coklat, sedangkan pada kelompok anak normal hanya 7,5%, dan terdapat 35% anak obes yang suka ngemil gorengan sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal hanya 5% yang suka ngemil gorengan. Tetapi pada jenis camilan biskuit, anak berstatus gizi normal persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan anak obes. Terdapat 45% anak berstatus gizi normal yang suka ngemil biskuit dan 37,5% anak obes yang suka ngemil biskuit. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi jenis camilan biskuit (p=0,498) dan coklat (p=0,062) dari anak berstatus gizi normal dan anak obes. Namun terdapat perbedaan yang signifikan
48
pada konsumsi jenis camilan makanan ringan (p=0,045), es krim (0,007), dan gorengan (0,001) dari kedua kelompok anak tersebut (anak berstatus gizi normal dan obes). Jenis camilan seperti es krim, coklat, dan gorengan memiliki kandungan lemak yang tinggi. Makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak. Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah Sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan vitamin, mineral, dan serat bagi tubuh. Selain itu, sayuran dan buah-buahan juga sangat penting sebagai sarana untuk pencegahan kegemukan. Oleh karena itu konsumsinya dianjurkan setiap hari. Tabel 18 menunjukkan sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah.
49
Tabel 18 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dan buah Konsumsi Sayur dan Buah
Sayur
Buah
Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Total Setiap hari 4-6 kali/minggu 1-3 kali/minggu Tidak pernah Total
Normal n % 9 22,5 15 37,5 14 35,0 2 5,0 40 100,0 8 20,0 8 20,0 23 57,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 16 40,0 6 15,0 18 45,0 0 0,0 40 100,0 9 22,5 6 15,0 22 55,0 3 7,5 40 100,0
Total n % 25 31,2 21 26,3 32 40,0 2 2,5 80 100,0 17 21,2 14 17,5 45 56,3 4 5,0 80 100,0
p value
0,468
0,736
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa pada kelompok anak obes sebagian besar mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu. Terdapat 45% anak obes yang mengonsumsi sayur 1-3 kali tiap minggu, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi sayur 4-6 kali tiap minggu, yaitu 37% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi sayur 4-6 kali tiap minggu. Anak berstatus gizi normal cenderung lebih sering mengonsumsi sayur dibandingkan dengan anak obes. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,468) frekuensi konsumsi sayur antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Berdasarkan data pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak berstatus gizi normal dan obes cenderung mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu. Terdapat 57,5% anak berstatus gizi normal yang mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu dan 55% anak obes yang mengonsumsi buah 1-3 kali tiap minggu. Namun terdapat 7,5% anak obes yang tidak pernah mengonsumsi buah, nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak normal yang tidak pernah mengonsumsi buah (2,5%). Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,736) frekuensi konsumsi buah antara anak berstatus gizi normal dan anak obes. Kecenderungan yang sama pada frekuensi konsumsi sayur dan buah ini diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi sayur dan buah dalam seminggu tanpa melihat kuantitas dan kualitasnya. Walaupun contoh mengonsumsi buah setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenisnya yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum diketahui juga apakah konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan.
50
Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ’kurang’ konsumsi sayur dan buah apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Secara keseluruhan, penduduk umur 10-14 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6%. Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur. Frekuensi Konsumsi Fast food dan Soft drink Konsumsi fast food dan soft drink yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan, karena kedua jenis makanan tersebut mengandung kalori yang sangat tinggi. Tetapi usia anak sekolah merupakan usia yang menjadi sasaran konsumen bagi produsen fast food dan soft drink, hal ini dikarenakan mudah didapat di pusat perbelanjaan, praktis, dan memiliki rasa yang enak dan lezat. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dan soft drink dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi soft drink dan fast food Konsumsi
Soft Drink
Fast Food
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total
Normal n % 14 35,0 23 57,5 3 7,5 40 100,0 3 7,5 33 82,5 3 7,5 1 2,5 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 9 22,5 17 42,5 14 35,0 40 100,0 2 5,0 17 42,5 18 45,0 3 7,5 40 100,0
Total n % 28,8 23 40 50,0 17 21,2 80 100,0 5 6,2 50 62,5 21 26,3 4 5,0 80 100,0
p value
0,014
0,000
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa baik dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes ternyata terbiasa mengonsumsi soft drink 1-3 kali tiap minggunya. Namun persentase anak yang suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu lebih banyak terjadi pada anak obes yaitu sebasar 35%, sedangkan hanya 7,5% anak berstatus gizi normal yang suka mengonsumsi soft drink 4-6 kali tiap minggu. Tidak ada anak berstatus gizi normal dan obes yang mengonsumsi soft drink setiap hari. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,014) frekuensi konsumsi soft drink antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.
51
Sebagian besar anak yang suka mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu terjadi pada kelompok anak obes. Terdapat hampir separuh (45%) anak obes yang mengonsumsi fast food 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi fast food 1-3 kali tiap minggu (82,5%). Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari lebih banyak terjadi pada kelompok anak obes, terdapat 7,5% anak obes yang mengonsumsi fast food setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal hanya 2,5% yang mengonsumsi fast food setiap hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes cenderung lebih sering mengonsumsi fast food dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi fast food antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini meskipun kandungan dalam minuman tersebut tidak baik untuk kesehatan. Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan, serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000). Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak Makanan berlemak tidak dapat dipungkiri terasa lezat di mulut, tetapi membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi makanan berlemak Konsumsi
Makanan Berlemak
Tidak pernah 1-3 kali/minggu 4-6 kali/minggu Setiap hari Total
Normal n % 1 2,5 32 80,0 7 17,5 0 0,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes Total n % n % 0 0,0 1 1,2 8 20,0 40 50,0 27 67,5 34 42,5 5 12,5 5 6,3 40 100,0 80 100,0
p value
0,000
52
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang suka mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu terjadi pada kelompok anak obes. Terdapat lebih dari separuh (67,5%) anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak 4-6 kali tiap minggu, sedangkan anak berstatus gizi normal sebagian besar mengonsumsi makanan berlemak 1-3 kali tiap minggu (80,0%). Terdapat 12,5% anak obes yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari, sedangkan pada kelompok anak berstatus gizi normal tidak ada anak yang mengonsumsi makanan berlemak tiap hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes cenderung lebih sering mengonsumsi makanan berlemak dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Hal ini sesuai dengan persentase kontribusi lemak anak obes yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U Terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) frekuensi konsumsi lemak antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005). Menurut RISKESDAS (2007), pada kelompok umur 10-14, terdapat 13,5% anak yang sering mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang sering mengonsumsi jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi
makanan
berisiko
dikelompokkan
“sering”
apabila
penduduk
mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat pendidikan, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS 2007).
53
Aktivitas Fisik Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana asupan energi jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik (WHO 2000). Menurut WHO (2000), kehidupan modern telah memberikan pola hidup yang efisien. Ketika berada di tempat umum (publik area), tersedia eskalator atau lift untuk mempercepat proses menempuh jarak sekaligus menghemat waktu. Dengan sistem transportasi yang semakin canggih, seseorang dapat menempuh jarak jauh dengan lebih cepat dan mudah, tidak seperti berjalan kaki atau naik sepeda. Keterbatasan gerak manusia inilah yang pada akhirnya berujung pada kejadian obesitas. Terdapat tiga aktivitas kegiatan yang dilihat pada penelitian ini, yaitu alokasi waktu tidur, alokasi waktu menonton TV, bermain game, serta internet, dan alokasi waktu bermain di luar rumah. Waktu Tidur Alokasi waktu tidur adalah lamanya anak tidur dalam satu hari, baik tidur malam maupun tidur siang. Rata-rata waktu tidur anak obes adalah 9,0 ± 1,1 jam dengan kisaran 6,5-11,5 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal ratarata waktu tidurnya adalah 9,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 6,5-11,5 jam. Alokasi waktu tidur dikategorikan menjadi dua, yaitu kurang dari 8 jam dan lebih dari 8 jam. Tabel 21 merupakan sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan. Tabel 21 Sebaran anak berdasarkan alokasi kegiatan Alokasi Kegiatan Waktu Tidur
≤8 jam > 8 jam
Total Menonton TV, bermain game, dan internet Total
≤2 jam >2 jam
Bermain di Luar
≥2 jam <2 jam
Total
Normal n % 10 25,0 30 75,0 40 100,0 16 40,0 24 60,0 40 100,0 22 55,0 18 45,0 40 100,0
Status Gizi Anak Obes n % 9 22,5 31 77,5 40 100,0 6 15,0 34 85,0 40 100,0 30,0 12 28 70,0 40 100,0
Total n % 19 23,8 61 76,2 80 100,0 22 27,5 58 72,5 80 100,0 34 42,5 46 57,5 80 100,0
p value 0,697
0,363
0,009
54
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui sebagian besar anak berstatus gizi normal dan obes tidur lebih dari 8 jam per hari. Sebanyak 77,5% anak obes yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari dan 75% anak berstatus gizi normal yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur tiap harinya. Nilai yang tidak berbeda jauh ini diduga bahwa waktu tidur yang dihitung hanya rata-rata dari 2 hari saja. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,697) lamanya tidur antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak juga (Priyambodo 2010). Menurut Boyles (2005), aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam. Waktu Menonton TV, Bermain Game, dan Internet Menonton televisi, bermain game, dan internet merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik lainnya yang lebih banyak mengeluarkan energi. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan
55
memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005). Rata-rata lama menonton TV, bermain game, dan internet anak obes adalah 3,1 ± 1,2 jam dengan kisaran 0,5-6,5 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-rata lamanya menonton TV, bermain game, dan internet adalah 2,8 ± 1,4 jam dengan kisaran 0-6 jam. Berdasarkan hasil pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak obes menghabiskan waktu untuk menonton TV, bermain game, dan internet lebih dari 2 jam per hari (85%). Pada kelompok anak berstatus gizi normal terdapat 60% anak yang menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari. Maka dapat dikatakan bahwa anak obes lebih banyak menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,363) lamanya menonton TV, bermain game, dan internet antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya. Waktu Bermain di Luar Waktu bermain di luar identik dengan permainan anak yang dilakukan secara aktif, seperti bermain bola, bermain sepeda, dan permainan lainnya yang melibatkan semua anggota tubuh untuk bergerak secara aktif. Selama beraktivitas, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada barapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006). Rata-rata waktu bermain di luar anak obes adalah 1,6 ± 1,0 jam dengan kisaran 0-4 jam, sedangkan pada anak berstatus gizi normal rata-rata waktu bermain di luarnya adalah 2,1 ± 0,8 jam dengan kisaran 0,75-4,25 jam. Tabel 21 menggambarkan bahwa anak obes sebagian besar menghabiskan waktu bermain di luar rumah kurang dari 2 jam perhari (70%), sedangkan pada
56
kelompok anak berstatus gizi normal sebanyak 55% menghabiskan waktunya bermain di luar rumah lebih dari 2 jam per hari. Maka dapat dikatan bahwa anak obes cenderung lebih sedikit bermain di luar dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,009) lamanya bermain di luar antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Kurangnya aktivitas bermain di luar berarti sedikitnya energi yang dikeluarkan anak. Padahal beraktivitas di luar rumah dimaksudkan agar anak secara tidak langsung mengurangi waktunya menonton TV, bermain game, internet atau kegiatan lain yang sifatnya sedentary. Adanya aktivitas fisik yang cukup, maka energi expenditure dapat dipakai lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011). Menurut RISKESDAS (2007), aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan
57
semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Obesitas Obesitas berhubungan dengan berbagai faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang dianalisis hubungan kemaknaannya dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak), faktor keturunan (IMT orang tua), riwayat makan anak (pemberian ASI Eksklusif, pemberian susu formula, pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (TKE, TKP, konsumsi lemak, konsumsi sayur dan buah, konsumsi cemilan, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan waktu bermain di luar rumah). Hasil uji korelasi antara variabel dependen dengan variabel independen dapat di lihat pada Lampiran 5. Hubungan Karakteristik Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi antara karakteristik anak (jenis kelamin dan berat badan lahir) dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Hubungan antara karakteristik anak dengan obesitas Variabel Karakterisitk Anak Jenis Kelamin Berat Badan Lahir
Obesitas r
p
-0.081 0.253*
0.476 0.023
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin anak dengan obesitas pada anak (p=0,476; r=-0,081). Namun hasil uji korelasi Pearson terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara berat lahir anak dengan obesitas pada anak (p=0,023; r=0,253). Hal ini berarti jika berat lahir anak tidak normal (BBLR/Lebih) kecenderungan anak mengalami obesitas lebih besar daripada anak dengan berat lahirnya normal. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kandungan menderita kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih
58
besar, sistem tubuh mereka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak lebih banyak dan lebih efisien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001). Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,320,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Hubungan Faktor Keturunan dengan Obesitas Hasil uji korelasi Pearson antara faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu) dengan obesitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hubungan antara faktor keturunan dengan obesitas Obesitas
Variabel Faktor Keturunan IMT ayah IMT ibu
r
p
0.408** 0.203
0.000 0.071
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara IMT ayah dengan obesitas (p=0,000; r=0,408). Namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ibu dengan obesitas (p=0,071; r=0,203). Hal ini berarti semakin tinggi IMT ayah maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
59
selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar (Zainun 2002). Hubungan Riwayat Makan Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi Spearman antara riwayat makan anak (pemberian ASI Eksklusif, pemberian susu formula, pemberian makanan padat) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Hubungan antara riwayat makan anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Riwayat Makan ASI Eksklusif Pemberian susu formula < 6 bulan Pemberian makanan padat <6 bulan
r
p
-0.130 -0.219 -0.142
0.250 0.051 0.208
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang terdapat pada Tabel 24 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif (p=0,250; r=-0,130), pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan dengan obesitas pada anak (p=0,051; r=-0,219), dan pemberian makanan padat dibawah usia 6 bulan (p=0,208; r=-0,142) dengan obesitas pada anak. Hubungan Kebiasaan Makan Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi antara kebiasaan makan anak (TKE, TKP, konsumsi lemak, sayur dan buah, cemilan, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi soft drink, dan frekuensi konsumsi makanan berlemak) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Hubungan antara kebiasaan makan anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Konsumsi TKE TKP Lemak Cemilan Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah Soft Drink Fast Food Makanan Berlemak
r
p
0.557** 0.125 0.458** 0.076
0.000 0.267 0.000 0.502
-0.022 ** 0.314 ** 0.311 0.469**
0.849 0.005 0.005 0.000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan Tabel 25, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara TKP (p=0,267; r=0,125), frekuensi konsumsi sayur dan buah (p=0,849; r=-0,022), dan kebiasaan ngemil (p=0,502; r=0,076) dengan kejadian obesitas pada anak.
60
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat kecukupan energi (TKE) dengan obesitas (p=0,000; r=0,557). Semakin tinggi tingkat kecukupan energi (TKE) maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Menurut Hartoyo (2007), obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas kurang berakibat obesitas. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsumsi lemak dengan status gizi obes anak (p=0,000; r=0,458). Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi lemak maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan pada frekuensi konsumsi soft drink (p=0,005; r=0,314), fast food (p=0,005; r=0,311), dan makanan berlemak (p=0,000; r=0,469) dengan obesitas pada anak. Hal ini berarti semakin sering frekuensi konsumsi soft drink maka semakin tinggi kejadian obesitas. Semakin sering frekuensi konsumsi fast food maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak, dan semakin sering frekuensi konsumsi makanan berlemak maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak.
61
Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Namun anak usia sekolah sangat menyukai jenis minuman ini. Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya. Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami
obesitas
jika
dibandingkan
dengan
mereka
yang
tidak
mengonsumsinya. Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007). Hasil uji korelasi Pearson yang tidak signifikan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan obesitas diduga karena penelitian ini hanya memperhatikan frekuensi contoh dalam mengonsumsi sayur dan buah dalam seminggu
tanpa
dilihat
kuantitas
dan
kualitasnya.
Walaupun
contoh
mengonsumsi sayuran setiap hari, tetapi dalam jumlah yang sedikit atau jenisnya yang tidak sesuai, maka belum tentu dapat memenuhi ketentuan untuk sampai kepada tindakan pencegahan kegemukan. Bahkan belum diketahui juga apakah konsumsi contoh sudah memenuhi kebutuhan yang dianjurkan. Hubungan Aktivitas Fisik Anak dengan Obesitas Hasil uji korelasi Pearson antara aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan waktu bermain di luar rumah ) dengan obesitas anak dapat dilihat pada Tabel 26.
62
Tabel 26 Hubungan antara aktivitas fisik anak dengan obesitas Obesitas
Variabel Tidur Nonton TV, bermain game, internet Bermain di luar
r 0.005 0.151 -0.271*
p 0.967 0.180 0.015
Berdasarkan Tabel 26 hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya waktu yang dihabiskan untuk tidur dalam satu hari (p=0,967; r=0,005) dan lamanya waktu yang dihabiskan untuk menonton TV, bermain game, dan internet (p=0,180; r=0,151) dengan obesitas pada anak. Namun hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara lamanya bermain di luar dengan obesitas pada anak (p=0,015; r=-0,271). Hal ini berarti semakin sedikitnya waktu yang dihabiskan untuk bermain di luar maka semakin tinggi kejadian obesitas pada anak. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Faktor Risiko Obesitas Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan kejadian obesitas pada anak.
Analisis
dilakukan
terhadap
seluruh
variabel
independen
yang
berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat dan
63
beberapa variabel independen yang memiliki kemungkinan memiliki faktor risiko obesitas pada anak. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada anak. Terdapat sebelas variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko kejadian obesitas pada anak, diantaranya ialah: BBLR/Lebih, IMT ayah, IMT ibu, pengetahuan gizi ibu, pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan, TKE, frekuensi konsumsi soft drink, frekuensi konsumsi fast food, frekuensi konsumsi makanan berlemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, dan lamanya bermain di luar. Hasil uji regresi logistik disajikan pada Lampiran 6. Hasil uji lanjut dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan metode Enter mendapatkan 5 faktor risiko obesitas pada anak yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak, diantaranya IMT ayah, IMT ibu, TKE, frekuensi konsumsi fast food, dan frekuensi konsumsi makanan berlemak. Hasil uji regresi logisitk mengenai faktor risiko obesitas pada anak dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Faktor risiko obesitas pada anak Faktor Risiko
B
IMT ayah 0,402 IMT ibu 0,369 TKE 0,070 Frekuensi Konsumsi Fast Food 1,393 Frekuensi Konsumsi Makanan 2,205 Berlemak Konstanta -30,931 *signifikansi atau p-value bermakna (p<0,10)
Sig
OR
0,018 0,019 0,005 0,078
1,494 1,446 1,073 4,028
0,008
9,071
0,006
0,000
90,0% C.I. for OR Lower Lower 1,129 1,977 1,117 1,872 1,030 1,117 1,097 14,793 2,300
35,783
Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak adalah IMT ayah (OR: 1,494; Cl 90%: 1,129-1,977), IMT ibu (OR: 1,446; Cl 90%: 1,117-1,872), TKE (OR: 1,073; Cl 90%: 1,030-1,117), frekuensi konsumsi fast food (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793), dan frekuensi konsumsi makanan berlemak (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Anak dari ayah yang status gizi obes akan berisiko 1,494 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ayah yang memilki status gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ayah obes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk obes. Anak dari ibu yang status gizi obes akan berisiko 1,446 kali menjadi obes dibandingkan anak dari ibu yang memilki status
64
gizi tidak obes, sehingga anak yang memilki ibu obes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk obes. Menurut Zainun (2002), orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar. Anak yang mengonsumsi fast food setiap hari akan berisiko 4,028 kali menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi fast food tidak setiap hari. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR: 4,028; Cl 90%: 1,097-14,793). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsinya (WHO 2000). Menurut hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), menunjukkan bahwa prevalensi obesitas di SD cukup tinggi (13,6 %). Prevalensi ini lebih tinggi pada sekolah swasta (18,2 %) dibandingkan anak sekolah negeri (12,4%). Banyaknya macam makanan cepat saji (fast food) yang dimakan berhubungan dengan naiknya risiko obesitas (OR: 6,5; Cl 95%: 1,4-30,7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa makanan cepat saji berhubungan erat dengan obesitas pada anak Sekolah Dasar. Anak yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari akan berisiko 9,071 kali menjadi obes dibandingkan anak yang mengonsumsi makanan berlemak tidak setiap hari (OR: 9,071; Cl 90%: 2,300-35,783). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya makanan berlemak seperti makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan
65
tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007). Anak yang konsumsi energinya lebih dari kecukupannya memiliki risiko 1,073 kali menjadi obes dibandingkan dengan anak yang konsumsi energinya cukup
(OR:
1,073;
Cl
90%:
1,030-1,117).
Obesitas
terjadi
karena
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan (Hartoyo 2007). Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).