20
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi
Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu 11,01%, diikuti bagian kulit (6,65%), cabang (1,92%), kayu gubal (1,54%), dan kayu teras (1,52%) (Tabel 2).
Tabel 2 Kadar ekstrak bagian pohon mindi 1)
Pelarut n-Heksan Etil asetat Metanol Total
Daun 1,37 8,43 1,21 11,01
Bagian pohon mindi Kulit Cabang Gubal 0,91 0,32 0,18 4,63 1,06 0,96 1,11 0,54 0,40 6,65 1,92 1,54
Total Teras 0,29 1,00 0,23 1,52
3,06 16,09 3,49 22,64
Keterangan: 1)Rerata 3 kali ulangan , % bobot kering tanur.
Daun memiliki kadar ekstrak tertinggi karena adanya senyawa klorofil atau zat hijau daun yang terdistribusi dalam daun dan dapat larut dalam pelarut organik yang digunakan. Harborne (1987) menyatakan bahwa sebagian besar klorofil terdistribusi dalam daun dan dapat larut dalam etanol, aseton, metanol, eter, dan kloroform. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahmawan (2011) yang menunjukan bahwa ekstrak daun lebih tinggi dari ekstrak ranting, kayu gubal, dan kayu teras. Kadar ekstrak kulit menempati urutan kedua tertinggi. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Meilani (2006) yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak etanol dari kulit Suren (T. sureni) lebih tinggi dibandingkan kayu teras cabangnya yang disebabkan oleh tingginya kandungan konstituen-konstituen lipofil dan hidrofil dalam kulit. Menurut Sjostrom (1998), kandungan ekstraktif tersebut lebih tinggi terdapat pada kulit dibandingkan dalam bagian kayunya. Bagian hidrofil seperti senyawa-senyawa fenol dan suberin dapat larut dalam air dan pelarut-pelarut polar seperti etanol, aseton, dan metanol.
21
Bagian cabang memiliki kadar ekstraktif lebih tinggi daripada kayu gubal dan teras baik untuk ekstrak n-heksan, etil asetat maupun ekstrak metanol. Penelusuran pustaka mengenai kadar ektraktif cabang mindi tidak ditemukan, namun hasil ini didukung penelitian Fuwape (1990) yang menunjukkan bahwa bagian cabang salah satu dari tiga sampel kayu Gmelina arborea yang ditelitinya mengandung kadar ekstrak tertinggi (9,7%) dibandingkan kadar ekstrak kayu teras (5,1%) dan kayu gubalnya (5,7%). Menurut Ekman (1979) dalam Fengel dan Wegener (1995), bagian cabang kayu dapat mengandung lebih banyak zat ekstraktif dibandingkan batangnya, seperti yang ditunjukkan oleh cabang Picea abies yang mengandung konsentrasi lignan yang lebih tinggi (4-6% dan 2-3%) dibandingkan bagian batangnya (0,1%). Pada umumnya kadar ekstrak kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal (Sjostrom 1998). Akan tetapi, fenomena ini berbeda dengan hasil penelitian. Data pada Table 2 menunjukkan bahwa kadar ekstrak total kayu gubal lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu terasnya. Hal ini diduga senyawa polar hasil metabolit primer seperti pati, gula, asam-asam amino, dan monosakarida yang lebih banyak terdapat pada kayu gubal ikut larut dalam metanol. Senyawa- senyawa tersebut mudah larut dalam metanol yang memiliki tingkat kepolaran tinggi. Metanol sendiri merupakan pelarut berbobot molekul rendah yang dapat membentuk ikatan hidrogen sehingga dapat larut dan bercampur dengan air dengan kelarutan yang tak terhingga. Ikatan hidrogen lebih mudah terbentuk pada pelarut metanol sehingga zat bioaktif lebih mudah larut dalam metanol (Hart 1987). Untuk mendukung hal tersebut maka dilakukan pengujian kelarutan kayu dalam air panas yang juga merupakan pelarut polar. Tingginya kelarutan dalam air panas dari kayu gubal (4,2%) dibandingkan dengan kayu teras (2,6%) menunjukkan bahwa senyawa metabolit primer (pati, gula, asam-asam amino, dan monosakarida) lebih banyak terdapat pada kayu gubal dibandingkan dalam kayu teras. Menurut Sjostrom (1998), kayu gubal mengandung lebih banyak bahan metabolit primer berupa pati dan gula sedangkan sangat sedikit mengandung senyawa-senyawa fenolik. Sunarsih (2001) juga menyatakan bahwa kadar pati bagian kayu gubal lebih tinggi dibandingkan dengan kayu teras pada kayu Damar.
22 Bila didasarkan pada klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia
(Lestari dan Pari 1990), maka kadar ekstraktif mindi yang diperoleh dapat dibagi dalam dua kelas yaitu kelas tinggi dan rendah. Kadar ekstraktif kayu gubal dan kayu teras termasuk ke dalam kelas rendah karena nilainya kurang dari 2%. Zat ekstraktif pada setiap jenis kayu dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda tergantung sifat dari zat ekstraktif tersebut dan pelarutnya. Zat ekstraktif bersifat polar dapat terekstrak dalam pelarut yang bersifat polar, dan sebaliknya. Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstraktif dari semua bagian yang larut pada pelarut etil asetat memiliki nilai tertinggi yaitu 16,09%, diikuti pelarut metanol (3,49%), dan yang terendah adalah n-heksan (3,06%). Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar ekstraktif didominasi oleh senyawa semipolar yang terlarut dalam etil asetat, sedangkan untuk ekstrak n-heksan memiliki kadar ekstraktif terendah. Umumnya keberadaan senyawa nonpolar cenderung paling sedikit dibandingkan senyawa ataupun fraksi semipolar dan polar (Meilani 2006). Besarnya rendemen ekstraksi dengan pelarut etil asetat mungkin disebabkan oleh sifat etil asetat yang semipolar yang dapat mengekstrak komponen glikon yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula sehingga ekstrak ini memiliki rendemen ekstraksi yang besar (Harwood dan Moody 1989). Tabel 3 menunjukkan bahwa berdasarkan posisi batang pohon, kadar ekstrak yang diperoleh beragam. Kadar ekstrak tertinggi yaitu bagian pangkal 1,59% diikuti oleh bagian tengah (1,51%), dan bagian ujung (1,49%). Menurut Sjostrom (1998), variasi kadar ekstraktif dalam pohon dipengaruhi oleh spesies pohon (genetik), umur pohon, dan posisi dalam pohon. Namun nilai kadar ekstrak ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut Caron (2010), ketinggian batang yang berbeda tidak memberikan pengaruh pada kadar ekstrak kayu Sitka spruce yang ditelitinya. Akan tetapi, umumnya zat ekstraktif pada pangkal pohon lebih tinggi dibanding bagian batang di atasnya. Hal ini berkaitan dengan pembentukan kayu teras pada bagian pangkal yang diikuti terjadinya deposit metabolit sekunder dan adanya sel yang mati. Oleh sebab itu, zat ekstraktif hasil metabolisme sekunder yang banyak terdapat pada kayu teras bagian pangkal akan lebih tinggi dibandingkan bagian atasnya dimana sel-selnya masih aktif membelah.
23
Tabel 3 Nilai kadar ekstrak kayu mindi berdasarkan posisi batang dalam pohon
n-Heksan 0,24 0,21 0,25
Posisi Pangkal Tengah Ujung
Etil asetat 1,03 0,96 0,95
Metanol 0,32 0,34 0,30
Total (1) 1,59 1,51 1,49
Keterangan: 1) Rerata 3 kali ulangan, % bobot kering tanur.
4.2 Sifat Antioksidan Ekstrak Bagian Pohon Mindi
Ekstrak berbagai bagian pohon mindi memiliki aktivitas antioksidan yang beragam. Hasil pengujian 15 jenis ekstrak berbagai bagian pohon mindi menunjukkan bahwa hanya empat jenis ekstrak yang memiliki kemampuan antioksidan yang kuat karena memiliki IC50 kurang dari 200 ppm, yaitu ekstrak etil asetat bagian kayu teras (IC50 1,88 ppm), ekstrak metanol bagian kayu teras (IC50 67,23 ppm), ekstrak etil asetat bagian cabang (IC50 146,11 ppm), dan ekstrak etil asetat bagian kayu gubal (IC50 172,65 ppm) (Tabel 4).
Tabel 4 Aktivitas antioksidan zat ekstraktif berbagai bagian pohon mindi berdasarkan nilai IC50
Bagian Daun
Kulit
Cabang
Gubal
Teras
Jenis pelarut IC50 (ppm) Aktivitas1) 10 n- Heksan 1,07x10 tidak kuat Etil asetat 4,46x105 tidak kuat Metanol 1,16x104 tidak kuat 26 n- Heksan 1,11x10 tidak kuat Etil asetat 3,83x104 tidak kuat 4 Metanol 2,55x10 tidak kuat n- Heksan 7,79x1013 tidak kuat Etil asetat 146,00 kuat Metanol 4,82x102 tidak kuat n- Heksan 2,35x1027 tidak kuat Etil asetat 173,00 kuat Metanol 4,68x102 tidak kuat n- Heksan 5,34 x 109 tidak kuat Etil asetat 1,88 kuat Metanol 67,23 kuat
Keterangan:1) berdasarkan Blois (1958) dalam Hanani (2005).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi persentase inhibisinya (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan
24 ekstrak memiliki aktivitas antioksidan sehingga semakin banyak ekstrak yang
diaplikasikan, maka semakin tinggi tingkat penghambatan radikal bebas. Interaksi antara konsentrasi dan persentase inhibisi dapat dinyatakan dengan kurva hubungan antara konsentrasi dan persen inhibisi yang menghasilkan persamaan regresi (Gambar 5). 90 80
Teras etil asetat y = 6,75 ln(x) + 45,74 IC 50 = 1,88
70 (%)Inhibisi
60
Teras metanol
50
y = 16,62 ln(x) - 19,94 IC50 = 67,23
40
Gubal etil asetat
30
y = 13,38 ln(x) - 19,23 IC50 = 172,65 Cabang etil asetat
20 10 0 50
‐10 0
100 150 200 konsentrasi ekstrak (ppm)
250
y = 12,76 ln(x) - 13,61 146,11
Gambar 5 Kurva hubungan antara konsentrasi ekstrak berbagai bagian pohon mindi dengan persen inhibisi.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa daun dan kulit dari pohon mindi yang tumbuh di Nepal memiliki aktivitas antioksidan kuat (Ghimeray et al. 2009; Nahak dan Sahu 2010a; Nahak dan Sahu 2010b). Akan tetapi, pada penelitian ini bagian daun dan kulit mindi baik untuk ekstrak n-heksan, etil asetat maupun metanol tidak memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena nilai IC50 lebih dari 200 ppm. Perbedaan hasil tersebut diduga karena sampel yang dianalisis berbeda umur, asal, dan kondisi tempat tumbuh. Perbedaan ini dapat menyebabkan jenis dan komposisi zat ekstraktif di dalam sampel uji berbeda sehingga aktivitas antioksidannya juga berbeda (Utami 2010). Perbedaan ini juga disebabkan oleh perbedaan metode dan pelarut yang digunakan. Menurut Fengel dan Wegener (1995), faktor lain yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam tanaman selain umur, tempat tumbuh, genetik dan kecepatan pertumbuhan adalah jenis
25 pelarut. Setiap jenis pelarut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak ada
pelarut yang dapat melarutkan semua zat ektraktif. Ekstrak etil asetat bagian kayu teras memiliki aktivitas antiosidan yang sangat kuat karena memiliki nilai IC50 yang jauh lebih rendah dari 200 ppm. Selain itu, ekstrak
metanol kayu teras juga memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi kedua setelah ekstrak etil asetatnya dari semua sampel yang diuji. Kayu teras memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan yang lain karena pada kayu teras banyak mengandung senyawa-senyawa fenol (Sjostrom 1998) yang diduga berperan dalam menghambat radikal bebas.
Antioksidan alami
kebanyakan dalam bentuk fenolik. Gugus fenol pada antioksidan inilah yang memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas (Aini 2007). Tumbuhan berkayu diketahui mengandung banyak senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan seperti flavonoid, alkaloid, senyawa fenol, terpenoid, dan masih banyak lagi (Irawan 2006). Ekstrak etil asetat bagian cabang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi ketiga karena dalam cabang terdapat kayu teras yang memiliki aktivitas antioksidan yang tertinggi. Walaupun jumlahnya kecil, kayu teras yang terkandung pada bagian cabang berkontribusi pada tingginya daya hambat terhadap radikal bebas sehingga lebih tinggi dibandingkan kayu gubal. Hal ini disebabkan oleh ekstraktif hasil metabolisme sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan lebih banyak terkandung pada kayu teras dibandingkan kayu gubal. Perbedaan nilai aktivitas antioksidan ini disebabkan oleh kandungan senyawa antioksidan masing-masing ekstrak berbeda. Menurut Sjostrom (1998), zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari komponen kayu yang larut dalam pelarut-pelarut organik dan air. Ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Ekstraktif fenol terdapat dalam kayu teras dan dalam kulit. Namun dari hasil pengujian, ekstrak dari bagian kulit ternyata tidak memiliki aktivitas antioksidan karena tidak semua senyawa dalam zat ekstraktif yang banyak terdapat pada kulit berperan sebagai antioksidan, misalnya saja tidak semua yang berpotensi sebagai antikanker atau antibakteri juga berperan sebagai antioksidan. Hasil penelitian Juniarti (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun Saga dilaporkan memiliki potensi sitotoksik
26
terhadap larva udang dengan nilai LC50 606,74 ppm, untuk aktivitas antioksidannya justru tidak aktif. Penggunaan pelarut yang berbeda menghasilkan kadar ekstrak yang berbeda dan mengisolasi senyawa yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak. Bila dilihat dari jenis pelarutnya, ekstrak etil asetat memiliki daya hambat paling tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap daun dan kulit pohon mindi asal Nepal, dimana ekstrak terlarut etil asetat juga memiliki aktivitas yang lebih kuat dibandingkan ekstrak n- heksan dan metanol (Ghimeray et al. 2009). Senyawa yang terlarut dalam n- heksan diduga berupa senyawa nonpolar seperti lemak, lilin, dan minyak sehingga tidak memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa yang larut dalam etil asetat adalah senyawa-senyawa semipolar yang berpotensi sebagai antioksidan. Walaupun ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat namun aktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan ekstrak n- heksan karena senyawa-senyawa polar yang memiliki aktivitas antioksidan yang belum larut pada etil asetat dapat larut pada metanol. Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang memiliki aktivitas yang kuat sebagai antioksidan dan banyak digunakan. Sebagian besar vitamin C yang ada di pasaran adalah vitamin C sintetis. Dalam penelitian ini vitamin C digunakan sebagai kontrol positif yang juga diukur aktivitas antioksidannya.
Vitamin C
mempunyai nilai IC50 yang kecil yaitu 3,05 ppm sehingga dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat. Ekstrak etil asetat kayu teras memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat bila dilihat dari nilai IC50 dan lebih kuat jika dibandingkan dengan antioksidan komersial (vitamin C) (Gambar 6), sehingga memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan sebagai antioksidan alami.
27
3.05
3.5 3
IC50(ppm)
2.5 2
1.88
1.5 1 0.5 0 Teras etil asetat Vitamin C
Gambar 6 Nilai IC50 ekstrak etil asetat kayu teras dan vitamin C menggunakan metode DPPH.
4.3
Fitokimia Ekstrak Teraktif
Aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam bahan. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan dalam ekstrak teraktif. Ekstrak teraktif adalah ekstrak etil asetat kayu teras mindi. Hasil analisis fitokimia serbuk kayu teras menunjukkan terdeteksi adanya alkaloid, triterpenoid, flavonoid, dan glikosida. Sementara Itu, hasil analisis mendeteksi adanya
saponin, alkaloid, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, steroid, dan glikosida dalam ekstrak etil asetat kayu teras (Tabel 5). Analisis fitokimia menunjukan hasil yang berbeda antara serbuk dan ekstrak etil asetat kayu teras. Perbedaan ini karena persentase zat ekstraktif dari kelompok saponin, fenolik, dan steroid yang larut dalam serbuk kandungannya sangat rendah sehingga tidak terdeteksi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Setiawan (2008) yang menunjukkan bahwa kandungan flavonoid yang terdeteksi pada serbuk daun jati belanda dan ekstrak metanol serta ekstrak etanolnya berbeda- beda, dimana kandungan senyawa flavonoid yang terdeteksi pada serbuk lebih lemah dibandingkan dalam ekstrak metanol dan etanolnya.
28
Tabel 5 Hasil analisis fitokimia secara kualitatif terhadap serbuk dan ekstrak teraktif mindi
Kayu teras mindi
Kelompok senyawa
Serbuk Ekstrak etil setat - + + + - - - + + + + + - + + +
Saponin Alkaloid Tanin Fenolik Flavonoid Triterpenoid Steroid Glikosida
Keterangan : (+) = senyawa terdeteksi, (-) = senyawa tidak terdeteksi.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa dari golongan fenolik yang diduga paling berperan sebagai antioksidan. Flavonoid dan alkaloid merupakan senyawa pereduksi yang baik. Senyawa flavonoid secara umum bertindak sebagai antioksidan yaitu sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil. Flavonoid bersifat sebagai reduktor sehingga dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas.
Zat flavonoid berfungsi sebagai
penangkal radikal bebas yang dapat mengacaukan sistem keseimbangan tubuh dan dapat memicu timbulnya kanker (Silalahi 2006). Diduga sebagian besar senyawa fenolik yang terkandung dalam kayu teras mindi dan berperan sebagai antioksidan dapat terlarut dalam etil asetat.
Sementara itu, golongan fenolik yang tidak
terdeteksi oleh uji fitokimia pada serbuk kayu teras menunjukkan bahwa jenis pelarut etil asetat mampu melarutkan senyawa-senyawa fenolik selain flavonoid dengan baik. Berdasarkan penelitian Salim (2006), alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin berperan dalam menghambat reaksi oksidasi lipid.
Mangan (2003)
melaporkan bahwa saponin yang terkandung dalam tanaman cuplikan (Physalis angulota Linn.) berkhasiat selain sebagai antioksidan, juga sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker terutama kanker usus besar. Keanekaragaman
zat
ekstraktif
yang dapat
diekstraksi
biasanya
membutuhkan serangkaian proses ekstraksi yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Selain itu, keanekaragaman zat ekstraktif dipengaruhi oleh pelarut
29 yang digunakan karena zat ekstraktif sering tersembunyi di belakang dinding sel,
bergantung pada derajat polimerisasi dan ketidaklarutannya. Perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan perbedaan jenis dan komposisi senyawaan fitokimia serta mempengaruhi aktivitas antioksidan (Dehkharghanian et al. 2010). Selain mempunyai rendemen yang paling tinggi, ekstrak etil asetat juga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding ekstrak metanol dan n- heksannya. Senyawa semipolar yang dilaporkan dapat terekstrak oleh etil asetat, meliputi senyawa alkaloid, aglikon, glikosida (Houghton dan Raman 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999).