9
blok Cikatomas seluas 120 ha; (2) Blok II yang disebut blok Cimenyan seluas 125 ha; dan (3) Blok III yang disebut blok Tangkalok atau Seuseupan seluas 114 ha. Jenis Tanah dan Topografi Berdasarkan peta tanah Gunung Walat (1981) skala 1:10.000, tanah Gunung Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (Latosol merah kekuningan), Tropodult Tipik (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kuning) dan Tropopent Lipik (Litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di daerah lembah terdapat tanah podsolik (Marwitha 1997). Gunung Walat merupakan sebagian dari pebukitan yang berderet dari timur ke barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti punggung-punggung bukit yang memanjang dan landai dari utara ke selatan. Di bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat pada titik triangulasi KQ 2212. Di bagian timur dengan ketinggian 726 m dpl dapat dilihat pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian lebih dari 500 m dpl, hanya lebih kurang 10% dari bagian selatan berada dibawah ketinggian tersebut.
Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di HPGW termasuk iklim tipe B dengan nilai Q 18.42% yaitu daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika. Berdasarkan data curah hujan tahun 1999 sampai dengan 2004, distribusi curah hujan HPGW DAS Cipeureu, Sukabumi rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Desember yaitu sebesar 453.4 mm dan curah hujan rata-rata terendah jatuh pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai masing-masing yaitu sebesar 53.18 mm dan 53.52 mm. Selanjutnya untuk nilai rata-rata bulan basah diperoleh sebesar 289.56 mm dan rata-rata bulan kering sebesar 53.35 mm (Laboratorium Pengaruh Hutan Fahutan IPB 2004 diacu dalam Buliyansih 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik perbanyakan anakan alam puspa sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering (1 bulan, 2 bulan), persentase daun gugur (1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1. Ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa teknik pemanfaatan anakan alam puspa berpengaruh sangat nyata terhadap parameter pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering 1 bulan, 2 bulan, persentase daun gugur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan. Selain itu, hasil sidik ragam teknik pemanfaatan anakan alam tidak berpengaruh nyata terhadap persentase bibit hidup, dan persentase daun kering 3 bulan, kemudian di uji lanjutkan menggunakan uji Duncan yang akan di bahas pada setiap parameter.
10
Tabel 1 Ringkasan hasil sidik ragam teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) Perlakuan Teknik pemanfaatan anakan alam puspa Parameter Persentase bibit hidup tn Pertambahan tinggi ** Pertambahan jumlah daun ** Persentase daun kering 1B ** Persentase daun kering 2B ** Persentase daun kering 3B tn Persentase daun gugur 1B ** Persentase daun gugur 2B ** Persentase daun gugur 3B ** **= perlakuan berpengaruh nyata pada taraf uji 99%, tn = perlakuan tidak berpengaruh nyata 1B = 1 Bulan, 2B = 2 Bulan, 3B = 3 Bulan
Persentase Bibit Hidup Bibit hidup yaitu bibit yang tumbuh dan berkembang selama pengamatan dilakukan. Persentase bibit hidup dihitung untuk melihat bagaimana ketahanan suatu tanaman dalam satu perlakuan selama penelitian dilakukan. Ketersediaan air di dalam tanah yang semakin berkurang sementara proses metabolisme dan transpirasi masih terus berlangsung (Slatyer 1967, diacu dalam Dianingsih 1994), menjelaskan bahwa kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan jika kondisi cukup berat akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut. Air merupakan bagian terbesar dari jaringan tanaman dan sangat berperan dalam kehidupan tanaman. Tjondronegoro (1999) menyebutkan bahwa air merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan faktor lingkungan lainnya, hal ini terbukti karena lebih dari 80% berat basah tanaman terdiri air sehingga ketersediaannya merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebab air penting untuk pembelahan dan pembesaran sel. Teknik pemanfaatan anakan puspa tidak berpengaruh nyata terhadap persentase bibit hidup pada taraf uji 99% (Tabel 1), dikarenakan tidak ada perbedaan yang nyata, tapi semua menunjukkan persentase bibit hidup yang tinggi terhadap teknik pemanfaatan anakan alam puspa. Hal ini menunjukkan bahwa semua teknik yang digunakan dilihat dari persentase bibit hidup baik digunakan untuk pemanfaatan anakan alam puspa (Gambar 5).
Persentase bibit hidup (%)
11
a
a
100
a
a
a
A4
A5
A6
a
90 80 70 60 A1
A2
A3 Teknik
Gambar 5 Persentase bibit hidup pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)
Pertambahan Tinggi Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang dapat diukur, misalnya saja tinggi merupakan pertambahan kesatu arah (Salisbury dan Ross 1995), sehingga pengukuruan tinggi dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi tanaman. Teknik perbanyakan anakan alam sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi pada taraf uji 99% (Tabel 1). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A6 yaitu teknik putaran dengan tinggi ≥30 cm memberikan respon pertumbuhan yang tinggi dan lebih baik jika dibandingkan dengan teknik lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 6. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik A6 (teknik putaran dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai rataan pertambahan tinggi yang paling besar yaitu 3.03 cm, sehingga dapat dikemukakan bahwa A6 sangat berbeda nyata dengan teknik yang lainnya yang ditunjukkan oleh huruf c. Hal ini dikarenakan teknik puteran merupakan teknik pemindahan bibit lengkap dengan media tanahnya (keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 272/Menhut-V/2004) sehingga, kerusakan pada sistem perakarannya sangat rendah dibandingkan dengan teknik yang lainnya. Menurut Mulyana (2010) tinggi tanaman ≥30 cm sudah memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit, pertumbuhan tanaman sudah seimbang dan telah melalui proses aklimatisasi. Selain itu, tinggi tanaman ≥30 cm, mempunyai biomassa yang lebih besar, maka mempunyai persediaan air yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kekeringan.
12
Tinggi (cm)
4.00 bc
3.00 2.00
a
ab
ab
c abc
1.00 0.00 A1
A2
A3
A4
A5
A6
Teknik
Gambar 6 Pertambahan tinggi tanaman pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)
Pertambahan jumlah Daun Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintesis pada tumbuhan karena paling banyak mengandung klorofil sehingga daun sangat diperlukan untuk penyerapan dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia untuk pertumbuhan (Gardner et al. 1991). Pengamatan daun sangat diperlukan selain sebagai indikator pertumbuhan juga sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi (Sitompul dan Guritno 1995). Berdasarkan ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), teknik perbanyakan anakan puspa berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada taraf uji 99%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm dan teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm memiliki respon yang baik untuk pertambahan jumlah daun dibandingkan dengan teknik lainnya, seperti yang tersaji pada Gambar 7. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rataan jumlah daun yang paling tinggi adalah perlakuan A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) dengan nilai 26.60 dan perlakuan A5 (teknik puteran dengan tinggi 2−29 cm) dengan nilai 25.40, sedangkan untuk perlakuan A1 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman 2-29 cm), A2 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman ≥30 cm), A3 (cabutan dengan penggemburan dengan tinggi tanaman 2-29 cm) dan A4 (cabutan dengan penggemburan dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang rendah terhadap pertambahan jumlah daun. Hal ini membuktikan bahwa pada teknik puteran, terdapat ketersediaan air yang cukup pada perakaran, sehingga transpirasi tidak terjadi secara berlebihan dan akibatnya tanaman tidak banyak merontokan daun sedangkan perlakuan lainnya mengalami kekurangan air yang mengakibatkan rontoknya daun sebagai akibat gangguan secara fisiologis. Bila transpirasi
13
Jumlah daun (helai)
berlebihan yang tidak seimbang dengan aliran air yang masuk, maka jaringan akan kehilangan turgiditasnya, tumbuhan menjadi layu atau bahkan mengering dan mati (Salisbury dan Ross 1995). b
b
30 a
a
a
a
20 10 0 A1
A2
A3
A4
A5
A6
Teknik
Gambar 7 Pertambahan jumlah daun pada setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)
Persentase Daun Kering Penyebab terjadinya daun menjadi kering salah satunya adalah karena kurangnya air yang tersedia sehingga tanaman mengeringkan atau merontokan daun untuk mengurangi penguapan yang terjadi. Teknik pemanfaatan anakan puspa berpengaruh nyata terhadap persentase daun gugur pada bulan pertama (1 bulan) dan bulan kedua (2 bulan), sedangkan pada bulan ketiga (3 bulan), persentase daun gugur tidak berpengaruh nyata terhadap pemanfaatan anakan alam puspa (Tabel 1). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa untuk bulan pertama (1 bulan) dan bulan kedua (2 bulan) nilai tertinggi persentase daun kering ditunjukkan oleh teknik A2 (cabutan langsung dengan tinggi ≥30 cm) dengan nilai 21.01% dan 26.41%, sehingga A2 merupakan teknik yang menghasilkan daun kering yang tertinggi dibandingkan teknik lainnya. Hal ini dikarenakan kemampuan metabolisme bibit dalam merespon kekeringan berbeda pada setiap individunya (Permata 2009). Air seringkali membatasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Respon tanaman terhadap kekurangan air relatif terhadap aktivitas metabolismenya, morfologinya, tingkat pertumbuhannya dan potensial hasil panennya (Gardner et al. 1991).
Persentase daun kering (%)
14
b
30 b 20 10
a
a
a
a a a
1 Bulan a a
a a
A5
A6
2 Bulan
0 A1
A2
A3
A4 Teknik
Gambar 8 Persentase daun kering untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)
Persentase Daun Gugur Proses gugurnya daun atau absisi, terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi asam absisat pada suatu pangkal daun. Hormon ini menstimulus lepasnya daun dari batang tempat dia melekat. Konsentrasi absisat ini sangat bergantung pada konsentrasi air pada tubuh tumbuhan. Ketika konsentrasi air rendah, jumlah asam absisat akan meningkat dan menyebabkan daun-daun berguguran (Mulyani 2006). Berdasarkan ringkasan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase daun gugur berpengaruh nyata setiap bulannya yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan. Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur nilai terendah terlihat pada A5 (puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm) dan A6 (puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada teknik A5 dan A6 memiliki air yang tersedia pada tanaman sehingga terjadi rendahnya pengguguran daun. Rontoknya daun sebagai mekanisme untuk beradaptasi dikarenakan ketersedian air yang minim dapat memicu penimbunan asam absisat sehingga mengakibatkan daun gugur (Permata 2009). Gugurnya daun dapat mengurangi luasan transpirasi tanaman, dengan demikian akan mengurangi hilangnya air dari tanaman (Jones et al 1981, diacu dalam Dedywiryanto 2006). Selain itu, air yang tersimpan di dalam tanah (kapasitas lapang) pada titik pelayuan permanen tidak dapat diserap oleh tanaman (air yang tersedia) (Gardner er al. 1991). Titik pelayuan permanen terjadi karena terjadinya plasmolisis. Plasmolisis adalah suatu proses lepasnya protoplasma dari
15
Persentase daun gugur (%)
dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury dan Ross 1995).
60
c
c
b c
c b bc c
b bcbc
b
40 a
20
a
a
a
a
a
1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan
0 A1
A2
A3 A4 Teknik
A5
A6
Gambar 9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur. Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pertambahan tinggi dan pertambahan jumlah daun, teknik A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang tinggi dan untuk persentase daun kering dan persentase daun gugur memiliki nilai yang rendah sehingga teknik A6 yang paling baik digunakan untuk teknik pemanfaatan anakan alam. Selain itu, untuk persentase bibit hidup tidak ada yang berbeda nyata pada taraf uji 99%.
Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi kerja karena secara umum keenam teknik perlakuan memperlihatkan efektifitas yang sama tetapi dalam penelitian ini efisiensi kerja belum diukur. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh teknik perlakuan terhadap bibit setelah ditanam di lapangan.