IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS INVENTORI Analisis inventori yang dilakukan meliputi input kebutuhan bahan baku, penggunaan alat dan energi yang dibutuhkan serta output yaitu produk dan pencemaran lingkungan berupa limbah padat, cair, dan emisi yang ditimbulkan. Bahan baku utama yang digunakan adalah Limbah Tanaman Jagung (LTJ) meliputi tongkol, kelobot, batang, dan daun. Karakteristik LTJ yang digunakan sebagai bahan baku industri adalah LTJ dengan kadar awal selulosa 39.96%, hemiselulosa 22.45%, dan lignin 19.05% berat kering bahan awal dengan kadar air 10%. Kapasitas industri yang ditetapkan pada penelitian ini adalah produksi etanol sebanyak 500 liter dengan kadar 95% dalam satu hari. Kebutuhan bahan baku masing-masing rancangan untuk menghasilkan 500 liter bioetanol 95% dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.
Rancangan
Tabel 10. Kebutuhan bahan baku Jumlah LTJ (KA: 25%)a) Kg/Hari
Kg/Tahunb)
R1
3,904.68
937,124.18
R2
5,150.62
1,236,148.61
R3
3,882.59
931,821.92
R4
5,119.90
1,228,775.86
R5
3,540.04
849,610.64
R6
4,664.77
1,119,544.22
R7
2,392.80
574,272.05
R8
3,156.25
757,500.20
a) KA 25% merupakan kadar air awal LTJ saat baru dipanen (Firmansyah et al, 2007) b) Jumlah hari kerja dalam 1 tahun adalah 240 hari (5 hari kerja dalam satu minggu)
Industri ditetapkan berlokasi di Jawa Barat dengan skala produksi yaitu satu kabupaten. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan diketahui bahawa produktivitas dari beberapa wilayah sampel di Jawa Barat adalah 1,033.59 sampai 27,777.78 kg/ha/tahun dengan rata-rata produktivitas 9,772.43 kg/ha/tahun. Produktivitas limbah tanaman jagung, sesuai proporsinya menurut Anggraeny et al. (2006) sebesar 90% dari berat keseluruhan satu tanaman jagung, yaitu 930.23 sampai 25,000.00 kg/ha/tahun dengan rata-rata produktivitas 8.795,19 kg/ha/tahun. Data penunjang lain yang digunakan yaitu luas wilayah tanam jagung di Jawa Barat menurut BPS (2009) adalah 123,785 ha, sehingga dapat diketahui bahwa Jawa Barat mampu menghasilkan limbah tanaman jagung sebanyak 115,148,644.34 sampai 3,094,625,247.57 kg/ha/tahun dengan rata-rata produksi adalah1,088,712,222.80 kg/ha/tahun. Produktivitas tersebut berdasarkan kebutuhan bahan baku untuk masing-masing rancangan jumlahnya mencukupi. Nilai produktivitas limbah tanaman jagung untuk masing-masing wilayah sampel dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Potensi limbah tanaman jagung per tahun di wilayah Jawa Barat Desa
Produktivitas (Kg/Ha/Tahun)
Potensi Limbah
Karanganyar
2,380.95
2,142.86
Sagara
7,936.51
7,142.86
Cinangsih
3,055.56
2,750.00
Cibogo
1,033.59
930.23
Tambakbaya
1,111.11
1,000.00
Banyuresmi
23,809.52
21,428.57
Sukakarya
1,666.67
1,500.00
Sukaraja
15,873.02
14,285.72
Leles
15,873.02
14,285.72
Tambakbaya
22,222.22
20,000.00
Karajan
1,058.20
952.38
Sukaraja
1,111.11
1,000.00
Sinagalih
11,904.76
10,714.28
Cimahi tengah
27,777.78
25,000.00
Rata-rata
9,772.43
8,795.19
1. Pengangkutan Bahan Baku LTJ yang telah terkumpul diangkut menggunakan truk terbuka. Jarak tempuh dari industri sampai ke tempat bahan baku diasumsikan 30 km, berdasarkan luas cakupan wilayah industri yaitu satu kabupaten. Penetapan tersebut berdasarkan informasi bahwa jarak antar kecamatan dalam satu kabupaten untuk wilayah Jawa Barat rata-rata adalah 30 km (Jawa Barat, 2010). Berdasarkan asumsi tersebut, maka jarak dari industri hingga kembali ke industri adalah 60 km. Pengangkutan dilakukan sebanyak dua kali dengan jumlah truk untuk masing-masing rancangan yaitu sebanyak tiga unit. Spesifikasi truk yang digunakan didasarkan pada hasil wawancara secara langsung kepada pengguna truk, spesifikasi truk yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan lengkap mengenai kebutuhan energi manusia dan truk saat pengangkutan bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil perhitungan menunjukan bahwa rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis (R7) membutuhkan energi truk dan manusia paling sedikit. Jumlah energi yang diperlukan oleh truk dipengaruhi oleh spesifikasi truk yang digunakan. Truk yang semakin hemat dalam penggunaan bahan bakar, maka energi yang dikeluarkan juga semakin kecil. Energi yang dibutuhkan oleh tenaga kerja manusia dihitung berdasarkan perhitungan yang dilakukan menurut laporan FAO (2001). Nilai energi manusia dipengaruhi oleh jumlah LTJ yang harus diangkut kedalam truk. Semakin besar beban pengangkutan, maka semakin besar energi manusia yang harus dikeluarkan.
27
Energi yang dikeluarkan truk berdasarkan jumlah penggunaan bahan bakar serta jumlah energi tenaga kerja selama pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 12.
Rancangan
Tabel 12. Energi pada tahap pengangkutan Kebutuhan Energi Truk Jumlah Tenaga
Energi Tenaga
Solar (Liter)
(MJ)
Kerja (Orang)
Kerja (MJ)
R1
22.50
868.50
1
10.29
R2
25.71
992.57
1
10.28
R3
22.50
868.50
1
10.05
R4
25.71
992.57
1
10.28
R5
22.50
868.50
1
9.99
R6
25.71
992.57
1
10.19
R7
20.00
772.00
1
9.79
R8
21.18
817.41
1
9.92
Penggunaan truk pengangkutan berbahan bakar solar akan berdampak pada pelepasan emisi ke udara. Faktor emisi solar menurut Tarigan (2009) untuk CO 2 adalah 2.74 kg/l, CO 0.04 kg/l, NOx 0.01 kg/l, dan HC 0.02 kg/l. Berdasarkan nilai faktor emisi tersebut, maka jumlah emisi yang dilepaskan pada saat tahapan pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 13.
Rancangan
Tabel 13. Emisi pada tahap pengangkutan Kandungan Emisi (Kg) CO2
CO
NOx
HC
Total
R1
61.66
0.85
0.22
0.51
63.24
R2
70.47
0.97
0.25
0.58
72.27
R3
61.66
0.85
0.22
0.51
63.24
R4
70.47
0.97
0.25
0.58
72.27
R5
61.66
0.85
0.22
0.51
63.24
R6
70.47
0.97
0.25
0.58
72.27
R7
54.81
0.76
0.19
0.45
56.21
R8
58.03
0.80
0.20
0.48
59.52
Rancangan yang membuang kandungan emisi terkecil berdasarkan tabel di atas adalah R7 (delignifikasi biologis menggunakan jamur pelapuk putih Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis). Peningkatan kandungan emisi yang dibuang dipengaruhi oleh jenis truk yang digunakan, semakin banyak bahan bakar yang dibutuhkan, kandungan emisi yang dilepaskan pun akan semakin tinggi.
28
2. Penggunaan Boiler Seluruh kegiatan pada tahapan proses produksi membutuhkan suhu tertentu, suhu tersebut dicapai dengan memanfaatkan penggunaan steam yang dihasilkan oleh boiler. Boiler yang digunakan adalah boiler pipa api dan air dengan bahan bakar yaitu kayu serta limbah padat yang dihasilkan pada tahapan proses produksi. Perbandingan penggunaan limbah padat dengan kayu adalah 9:1, penggunaan kayu lebih sedikit dikarenakan hanya digunakan sebagai pembakaran awal. Penggunaan limbah padat lebih banyak, dimaksudkan untuk memanfaatkan hampir seluruh limbah yang dihasilkan, sehingga jumlahnya yang dibuang ke lingkungan menjadi berkurang. Spesifikasi boiler yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Kebutuhan uap untuk masing-masing rancangan diperoleh berdasarkan penjumlahan kebutuhan uap seluruh tahapan dan nilainya dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Penggunaan energi pada tahap penggunaan boiler Kebutuahan Bahan Bakar Kebutuhan Uap Energi Boiler (Kg) Rancangan Panas (Kg) (MJ) Kayu Limbah Padat
Energi Manusia (MJ)
R1
24,194.52
58,999.93
165.27
1,439.02
0.53
R2
33,462.53
81,600.57
228.57
1,990.26
0.73
R3
24,061.52
58,675.61
164.36
1,431.11
0.52
R4
33,281.59
81,159.35
227.34
1,979.50
0.72
R5
24,032.80
58,605.57
164.16
1,429.40
0.51
R6
33,245.01
81,070.15
227.09
1,977.32
0.72
R7
23,859.41
58,182.73
162.98
1,419.09
0.52
R8
33,019.85
80,521.06
225.55
1,963.93
0.72
Jumlah uap panas dan energi manusia paling sedikit dibutuhkan oleh R7, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis. Jumlah uap panas yang dibutuhkan dipengaruhi oleh lama waktu proses produksi dan kadar etanol yang dihasilkan. Waktu yang singkat dan semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan, akan berdampak pada pengurangan kebutuhan uap panas dan bahan bakar. Rancangan dengan delignifikasi biologis membutuhkan waktu lebih lama dalam menghilangkan lignin dibandingkan dengan rancangan delignifikasi kimiawi, namun rata-rata memiliki kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan rancangan delignifikasi kimiawi. R7 membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan etanol, namun kadar etanol pada cairan SSF nya paling tinggi yaitu 11.85 gram/liter, sehingga uap yang dibutuhkan juga menjadi semakin sedikit dibandingkan dengan rancangan yang lain. Nilai energi manusia dipengaruhi oleh banyaknya bahan bakar boiler yang harus diangkat. Semakin banyak kebutuhan uap akan semakin banyak bahan bakar yang dibutuhkan dan semakin besar energi manusia yang harus dikeluarkan. Perhitungan lengkap
29
mengenai kebutuhan uap boiler, energi manusia, dan energi mesin boiler dapat dilihat pada Lampiran 4. Penggunaan limbah padat serta kayu sebagai bahan bakar dalam menghasilkan uap akan memberikan dampak berupa pelepasan emisi hasil pembakaran. Emisi yang dilepaskan oleh kayu dan limbah padat diasumsikan sama, menurut ULET (2010) faktor emisi CO 2 adalah 2.54 kg/kg, CO 0.03 kg/kg, NOx 2.50E-3 kg/kg, dan HC 0.02 kg/kg. Berdasarkan nilai faktor emisi tersebut, maka jumlah emisi yang dilepaskan pada saat tahapan penggunaan boiler dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Emisi penggunaan boiler
Rancangan
Kandungan Emisi (Kg) CO2
CO
Nox
HC
Total
R1
4,070.88
56.15
4.01
33.53
4,164.57
R2
5,630.28
77.66
5.55
46.37
5,759.86
R3
4,048.50
55.84
3.99
33.35
4,141.68
R4
5,599.84
77.24
5.52
46.12
5,728.72
R5
4,043.67
55.77
3.98
33.31
4,136.74
R6
5,593.69
77.15
5.51
46.07
5,722.42
R7
4,014.50
55.37
3.96
33.07
4,106.89
R8
5,555.80
76.63
5.47
45.76
5,683.66
Rancangan yang membuang kandungan emisi terkecil adalah R7. Peningkatan kandungan emisi yang dibuang dipengaruhi oleh penggunaan bahan bakar, semakin banyak bahan bakar yang digunakan akan semakin besar emisi yang dilepaskan ke udara bebas. Boiler membutuhkan air yang telah mengalami perlakuan terlebih dahulu untuk memperpanjang umur pemakaian dari boiler. Tahap awal yang dilakukan dalam pengkondisian air umpan boiler adalah penyaringan menggunakan pasir kuarsa kemudian penyaringan menggunakan resin untuk menghilangkan kesadahan dan terakhir penghilangan gas-gas berbahaya yang terkandung dalam air dengan memanaskan air pada suhu 90 0C, suhu tersebut dicapai dengan memanfaatkan cairan hasil hidrotermal I.
3. Penggunaan Listrik Listrik yang digunakan ditetapkan berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan pembangkitnya batu bara. Listrik digunakan oleh beberapa alat, seperti pompa air, pompa pengalir bahan, serta pengaduk yang digunakan oleh beberapa tangki. Jumlah keseluruhan pompa untuk rancangan dengan delignifikasi biologis adalah sebanyak 10 unit dan pengaduk sebanyak 28 unit, sedangkan delignifikasi kimiawi membutuhkan pompa sebanyak 7 unit dan pengaduk 24 unit. Selain jumlah alat yang digunakan, energi yang dikeluarkan juga dipengaruhi oleh lama alat tersebut digunakan.
30
Penggunaan listrik terkecil berdasarkan perhitungan adalah R1, yaitu rancangan yang dalam tahapan delignifikasinya menggunakan Ca(OH)2 dan fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis. Peralatan listrik yang digunakan untuk seluruh tahapan dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan untuk perhitungan total energi yang digunakan dari pemakaian listrik dapat dilihat pda Lampiran 5. Kebutuhan listrik hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 16.
Rancangan
Tabel 16. Energi penggunaan listrik Kebutuhan Listrik (KWh) Kebutuhan Energi (MJ)
R1
495.11
1,782.41
R2
545.53
1,963.91
R3
706.99
2,545.16
R4
791.03
2,847.70
R5
687.32
2,474.36
R6
815.21
2,934.76
R7
642.16
2,311.77
R8
684.27
2,463.39
Penggunaan energi listrik menimbulkan dampak berupa emisi, faktor emisi listrk menurut ULET (2010) untuk CO2 adalah 0.72 kg/kWh, CO 0.01 kg/kWh, NOx 2.40E-3 kg/kWh, dan HC 4.60E-3 kg/kWh. Berdasarkan nilai faktor emisi tersebut, maka jumlah emisi yang dilepaskan pada saat tahapan penggunaan listrik dapat dilihat pada Tabel 17.
Rancangan
Tabel 17. Emisi penggunaan listrik Kandungan Emisi (Kg) CO2
CO
NOx
HC
Total
R1
355.99
4.90
1.19
2.28
364.35
R2
392.24
5.40
1.31
2.51
401.46
R3
508.32
7.00
1.70
3.25
520.27
R4
568.75
7.83
1.90
3.64
582.12
R5
494.18
6.80
1.65
3.16
505.80
R6
586.14
8.07
1.96
3.75
599.91
R7
461.71
6.36
1.54
2.95
472.56
R8
491.99
6.77
1.64
3.15
503.56
Emisi yang dihasilkan dipengaruhi oleh seberapa besar penggunaan energi, sehingga emisi paling kecil ditimbulkan oleh rancangan yang juga menggunakan energi paling kecil yaitu R1.
31
4. Persiapan Bahan Persiapan bahan meliputi pembiakan jamur yang akan digunakan pada tahap delignifikasi, pembiakan starter untuk digunakan saat fermentasi, dan penghancuran bahan yang akan digunakan untuk pembuatan bioetanol. Jamur dan starter yang akan digunakan dibiakkan secara bertahap dengan tahapan pembiakan 1 liter inokulum kemudian 5 liter, 20 liter, 200 liter, lalu pembiakan kebutuhan untuk jamur dan starter. Pembiakan jamur dan starter dilakukan dengan menggunakan tangki-tangki yang telah diberi pengatur suhu sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan, sedangkan tahapan penghancuran bahan menggunakan hammer mill dengan kapasitas penghancuran 2000 kg/jam berbahan bakar solar.. Kondisi untuk jamur yaitu 300C selama 7 hari dan untuk starter 300C selama 1 hari. Tangki pada saat pembiakan untuk jamur dan starter dilengkapi dengan pengaduk yang memiliki kecepatan 100 rpm. Kecepatan tersebut digunakan berdasarkan hasil penelitian Arnata (2009) yang melakukan pembiakan Saccharomyces cerevisiae dan juga hasil penelitian di laboratorium dengan menggunakan shaker, dimana kecepatan shaker yang digunakan diindustri adalah antara 100-150 rpm. Spesifikasi alat dan tangki yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Uap panas yang digunakan, dipengaruhi oleh kebutuhan jamur ataupun starter yang harus dibiakkan. Kebutuhan jamur dipengaruhi oleh kemampuan jamur pelapuk putih dalam mendelignifikasi LTJ, sedangkan kebutuhan starter dipengaruhi oleh kemampuan kombinasi starter yang digunakan dalam mengkonversi bahan menjadi bioetanol. Pada tahap persiapan bahan menggunakan energi manusia dalam mengolah bahan, nilai energi manusia dihitung berdasarkan perhitungan FAO (2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan adalah jumlah bahan yang diolah serta tahapan yang harus dilalui oleh rancangan. Perhitungan lengkap energi manusia, hammer mill dan kebutuhan uap panas pada saat tahapan persiapan bahan dapat dilihat pada Lampiran 6, 7, dan 8. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa rancangan yang paling sedikit membutuhkan uap panas adalah R1 (delignifikasinya menggunakan Ca(OH)2 dan fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis). Pada saat kegiatan pembiakan inokulum jamur nilai kebutuhan uap dan energi untuk R1 dan R2 adalah 0 karena pada rancangan tersebut tidak membutuhkan jamur. Kebutuhan energi manusia dan energi mesin terkecil terdapat pada R7, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis. Jumlah kebutuhan uap dan energi hammer mill dipengaruhi oleh banyaknya bahan yang harus disiapkan, sedangkan energi manusia yang paling berpengaruh adalah pada tahap penghancuran bahan. Kebutuhan energi serta uap untuk masing-masing rancangan pada tahap persiapan bahan dapat dilihat pada Tabel 18.
32
Tabel 18. Energi pada tahap persiapan bahan Kebutuhan Uap (Kg) Rancangan
Energi Hammer
Pembiakan
Pembiakan
Jamur
Starter
R1
0.00
3.14
3.14
R2
0.00
3.90
R3
6.55
R4
Total
Mill (MJ)
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
Energi Tenaga Kerja (MJ)
Pembiakan Jamur Penghancuran Pembiakan Pembiakan Penghancuran
Total
dan Starter
Bahan
Jamur
Starter
Bahan
15.26
1
1
0.00
1.87
3.58
5.45
3.90
20.13
1
1
0.00
1.87
6.23
8.10
2.45
9.00
15.17
1
1
1.40
1.87
3.54
6.81
7.85
2.90
10.74
20.01
1
1
1.40
1.87
6.15
9.43
R5
7.85
2.67
10.51
13.84
1
1
1.40
1.87
2.94
6.22
R6
9.25
3.18
12.44
18.23
1
1
1.40
1.87
5.11
8.38
R7
9.25
2.23
11.49
9.35
1
1
1.40
1.87
1.34
4.62
R8
10.78
2.67
13.44
12.34
1
1
1.40
1.87
2.34
5.61
33
Penggunaan solar pada hammer mill akan menghsilkan emisi dalam jumlah tertentu berdasarkan banyaknya penggunaan bahan bakar. Faktor emisi solar menurut Tarigan (2009) untuk CO2 adalah 2.74 kg/l, CO 0.04 kg/l, NOx 0.01 kg/l, dan HC 0.02 kg/l. Jumlah emisi yang dilepaskan masing-masing rancangan pada saat penghancuran bahan dapat dilihat pada Tabel 19.
Rancangan
Tabel 19. Emisi pada tahap persiapan bahan Kandungan Emisi (Kg) Kebutuhan solar (Liter)
CO2
CO
NOx
HC
Total
R1
0.40
1.08
0.01
0.00
0.01
1.11
R2
0.52
1.43
0.02
0.01
0.01
1.47
R3
0.39
1.08
0.01
0.00
0.01
1.10
R4
0.52
1.42
0.02
0.00
0.01
1.46
R5
0.36
0.98
0.01
0.00
0.01
1.01
R6
0.47
1.29
0.02
0.00
0.01
1.33
R7
0.24
0.66
0.01
0.00
0.01
0.68
R8
0.32
0.88
0.01
0.00
0.01
0.90
Berdasarkan tabel di atas, rancangan yang membuang kandungan emisi terkecil adalah R7, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis. Jumlah emisi dipengaruhi oleh penggunaan mesin, semakin singkat bahan yang masuk akan semakin sedikit waktu penggunaan sehingga semakin sedikit bahan bakar yang dibutuhkan dan emisi yang dilepaskan akan semakin kecil.
5. Perlakuan Awal Bahan Perlakuan awal bahan meliputi delignifikasi dan hidrotermal dua tahap. Tahapan delignifikasi dibedakan menjadi delignifikasi biologis dan delignifikasi kimiawi. Delignifikasi kimiawi dilakukan pada R1 dan R2, tahap awal dalam delignifikasi kimiawi adalah pemasakan. Bahan-bahan yang digunakan adalah LTJ, air, dan Ca(OH) 2. Tahap pemasakan pada R1 dan R2 menggunakan suhu 74.6 0C selama 2 jam, setelah tahap pemasakan selesai lalu air hasil pemasakan dibuang dan kemudian LTJ dicuci meggunakan air. Air yang digunakan untuk pemasakkan dan pencucian berasal dari sumur. Suhu untuk tiap tangki dicapai dengan memanfaatkan steam dari boiler. Delignifikasi biologis dilakukan pada R3 sampai R8, menggunakan jamur pelapuk putih untuk menghilangkan kandungan lignin pada LTJ. Tahap awal yang dilakukan adalah pemasakan LTJ pada suhu 100 0C selama 1 jam. Setelah dimasak kemudian LTJ disterilisasi pada suhu 121 0C selama 1 jam, setelah disterilisasi bahan diinkubasi setelah sebelumnya diinokulasikan jamur. Suhu inkubasi masing-masing rancangan berbeda, pada R3 sampai R6 adalah 168 jam pada suhu 30 0C, sedangkan R7 dan R8 adalah 168 jam pada suhu 43,9 0C.
34
LTJ hasil inkubasi kemudian dicuci sebelum diproses ke tahap berikutnya. Suhu dicapai dengan memanfaatkan steam dari boiler. Aliran bahan seluruh rancangan pada tahapan delignifikasi (pemasakan) adalah sinambung sebanyak dua kali pemasakan sedangkan untuk inkubasi dan sterilisasi aliran bahan adalah curah. Kebutuhan uap serta energi manusia yang dibutuhkan selama tahapan delignifikasi dapat dilihat pada Tabel 20.
Rancangan
Tabel 20. Energi pada tahap delignifikasi Jumlah Kebutuhan Uap (Kg) Tenaga Sterilisasi dan Kerja Pemasakkan Total Inkubasi (Orang)
Energi Tenaga Kerja (MJ)
R1
694.15
0.00
694.15
1.00
0.93
R2
915.52
0.00
915.52
1.00
1.09
R3
519.47
45.33
564.80
1.00
0.88
R4
685.73
55.25
740.98
1.00
1.02
R5
495.71
45.33
541.04
1.00
0.84
R6
653.86
55.25
709.12
1.00
0.97
R7
337.99
106.84
444.83
1.00
0.70
R8
446.12
132.43
578.56
1.00
0.79
Berdasarkan perhitungan, rancangan yang membutuhkan uap panas dan energi manusia paling sedikit adalah R7, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis. Kebutuhan uap dan energi manusia pada tahap delignifikasi, dipengaruhi oleh jumlah bahan yang digunakan selama tahapan berlangsung. Jumlah tangki yang digunakan beserta spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan untuk perhitungan energi manusia dan kebutuhan steam pada tahap delignifikasi dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Pada tahap ini dihasilkan limbah cair dari pemasakkan dan pencucian. Limbah cair yang dihasilkan pada seluruh rancangan akan ditampung sementara sebagai penukar panas. Pada R1 dan R2 limbah cair dimanfaatkan untuk menurunkan suhu pada tangki hidrotermal sebelum bahan memasuki tahap pre-hidrolisis dan pada tangki pre-hidrolisis sebelum bahan bahan memasuki tahap fermentasi. Pada R3 sampai R8 limbah cair dimanfaatkan untuk menurunkan suhu pada tangki sterilisasi sebelum bahan memasuki tahap inkubasi, pada tangki hidrotermal sebelum bahan memasuki tahap pre-hidrolisis dan pada tangki prehidrolisis sebelum bahan memasuki tahap fermentasi. Jumlah limbah untuk tiap rancangan dapat dilihat pada Tabel 21. Pada tabel tersebut diketahui bahwa rancangan yang menghasilkan limbah cair paling banyak adalah R4, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan jamur Pleurotus ostreatus dan SSF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis.
35
Tabel 21. Limbah pada tahap delignifikasi Rancangan Limbah Cair (Kg) R1
117,266.42
R2
154,667.54
R3
159,098.89
R4
209,800.68
R5
144,643.27
R6
190,598.52
R7
97,847.58
R8
129,066.99
Limbah tanaman jagung yang telah melalui tahapan delignifikasi akan mengalami perubahan komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin di dalam bahan. Kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada bahan setelah melalui tahapan delignifikasi dapat dilihat pada Tabel 22 di bawah ini.
Tabel 22. Karakteristik limbah tanaman jagung setelah delignifikasi % dari Berat Kering Bahan Awal Rancangan Hemiselulosa Selulosa Lignin R1
15.30
19.02
9.22
R2
15.30
19.02
9.22
R3
18.32
21.49
14.80
R4
18.32
21.49
14.80
R5
12.40
24.63
13.75
R6
12.40
24.63
13.75
R7
14.31
31.68
14.99
R8
14.31
31.68
14.99
Delignifikasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan bahan ekstraktif yang tidak digunakan selama proses fermentasi. Penghilangan lignin yang terjadi pada tahap delignifikasi akan membantu struktur selulosa dan hemiselulosa lebih mudah ditembus pada saat tahapan hidrolisis enzimatis serta sakarifikasi dan fermentasi simultan (Sierra, 2008). Hidrotermal I dan hidrotermal II dilakukan menggunakan tangki yang sama. Bahan yang dimasukkan saat tahap awal hidrotermal I adalah air dan LTJ terdelignifikasi yang kemudian akan menghasilkan keluaran berupa cairan hasil hidrotermal I serta padatan I. Hidrotermal I dilakukan selama 121 0C selama 1 jam. Bahan yang dimasukkan pada hidrotermal II adalah padatan I dan air yang kemudian menghasilkan cairan hidrotermal II dan padatan II. Hidrotermal II dilakukan selama 0,33 jam pada suhu 180 0C. Sistem aliran bahan pada tahap hidrotermal untuk seluruh rancangan adalah sinambung dengan pemasukan bahan sebanyak dua kali.
36
Proses hidrotermal berrtujuan menghilangkan komponen pada limbah tanaman jagung yang dapat mengganggu proses sakarifikasi dan fermentasi simultan Munawar (2008). Karakteristik limbah tanaman jagung setelah melalui tahap hidrotermal II akan kembali mengalami perubahan komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin di dalam bahan. Karakteristik limbah tanaman jagung setelah hidrotermal II dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Karakteristik limbah tanaman jagung setelah hidrotermal II % dari Berat Kering Bahan Awal Rancangan Hemiselulosa Selulosa Lignin R1
9.83
19.02
5.70
R2
9.83
19.02
5.70
R3
11.77
21.49
9.14
R4
11.77
21.49
9.14
R5
7.96
24.63
8.49
R6
7.96
24.63
8.49
R7
9.19
31.68
9.26
R8
9.19
31.68
9.26
Pada tahap hidrotermal, selain dihasilkan padatan juga dihasilkan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 24. Berdasarkan tabel tersebut, limbah cair pada tahapan hidrotermal, paling banyak dihasilkan oleh rancangan dengan delignifikasi menggunakan Ca(OH)2 dan SSF menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis (R2).
Tabel 24. Limbah pada tahap hidrotermal Rancangan Limbah Cair (Kg) R1
26,235.32
R2
34,607.13
R3
30,039.53
R4
39,612.56
R5
24,439.21
R6
32,203.90
R7
13,195.71
R8
17,405.96
Spesifikasi tangki yang digunakan pada tahapan hidrotermal dapat dilihat pada Lampiran 2. Energi manusia yang dikeluarkan serta uap panas yang dibutuhkan selama tahapan hidrotermal dapat dilihat pada Tabel 25 dan perhitungan lengkap nya dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan perhitungan, rancangan yang membutuhkan uap panas dan energi manusia paling sedikit adalah R1, yaitu rancangan dengan delignifikasi
37
kimiawi menggunakan Ca(OH)2 serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan Pichia stipitis. Kebutuhan uap dan energi manusia pada tahap hidrotermal, dipengaruhi oleh jumlah bahan yang digunakan pada tahap hidrotermal I dan II.
Rancangan
Tabel 25. Energi pada tahap hidrotermal Jumlah Kebutuhan Uap (Kg) Tenaga Hidrotermal I
Hidrotermal II
Total
Kerja (Orang)
Energi Tenaga Kerja (MJ)
R1
18.28
3.17
21.45
1.00
0.14
R2
21.80
3.78
25.57
1.00
0.14
R3
28.50
4.64
33.15
1.00
0.27
R4
35.01
5.70
40.72
1.00
0.27
R5
28.50
4.64
33.15
1.00
0.27
R6
35.01
5.70
40.72
1.00
0.27
R7
22.55
3.68
26.23
1.00
0.27
R8
26.43
4.31
30.74
1.00
0.27
6. Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Tahapan SSF didahului dengan tahapan pre-hidrolisis. Cairan hidrotermal II dan padatan II yang dihasilkan dialirkan ke tangki pre-hidrolisis. Menurut Xu et al. (2009) perbandingan jumlah cairan hidrotermal II dengan padatan yang digunakan adalah 6.67. Tahapan pre-hidrolisis dilakukan pada suhu 50 0C selama 24 jam. Bahan yang dimasukkan pada tahapan ini selain padatan II dan cairan hidrotermal II adalah sitrat fosfat (pH=5), enzim xilanase, selulase, dan -glukosidase (penelitian di laboratorium TIN, 2010). Seluruh bahan yang telah melalui tahap pre-hidrolisis kemudian dibiarkan didalam tangki untuk difermentasi. Menurut Runkel and Wiliter (1951), hemiselulosa terdegradasi pada suhu antara 130o 194 C. Sehingga pada saat hidrotermal II dengan penguapan suhu 180 oC terdapat sejumlah hemiselulosa yang terlarut dalam cairan hasil hidrotermal II. Menurut Olofsson et al. (2008), konsentrasi padatan yang tidak terlarut dalam air tidak boleh lebih dari 10% agar diperoleh konsentrasi bioetanol yang tinggi. Cairan hasil hidrothermal II dapat dimanfaatkan sebagai substrat sakarifikasi dan fermentasi simultan karena mengandung sejumlah hemiselulosa dan juga dapat membuat kondisi enzim dapat bekerja lebih baik pada kondisi lingkungan yang basah yang dikenal dengan istilah kondisi indorush. Tangki yang digunakan untuk fermentasi menggunakan pengaduk dengan kecepatan 100 rpm dengan daya 100 W. Kondisi fermentasi untuk jenis kombinasi starter Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis yaitu pada suhu 38 0C selama 72 jam, sedangkan untuk kombinasi starter Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis pada suhu 38 0C selama 48 jam. Bahan tambahan yang dimasukkan pada saat tahap ini adalah urea dan starter (penelitian di
38
laboratorium TIN, 2010). Hasil yang diperoleh adalah cairan hasil fermentasi, padatan, serta CO2. Aliran bahan pada tahapan pre-hidrolisis dan SSF adalah curah. Cairan fermentasi yang dihasilkan pada tahap SSF untuk masing-masing rancangan memiliki faktor konversi yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan pada perlakuan awal bahan dan kombinasi starter. Faktor konversi etanol yang terdapat pada cairan hasil fermentasi untuk masing-masing rancangan dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Faktor konversi etanol pada cairan SSF Rancangan Faktor Konversi (g/l) R1
8.36
R2
6.06
R3
9.64
R4
6.99
R5
9.44
R6
6.85
R7
11.85
R8
8.59
Nilai faktor konversi tersebut didapatkan dengan melakukan perbandingan menggunakan data yang diperoleh pada penelitian di Laboratorium TIN (2010) dengan angka teoritis berdasarkan persentase keberadaan selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada bahan. Nilai tersebut memberikan informasi jumlah etanol dalam satuan gram pada satu liter cairan SSF yang dihasilkan, sebagai contoh apabila melakukan pembuatan etanol dengan cara R1 maka akan dihasilkan etanol sebanyak 8.36 gram dalam satu liter cairan hasil SSF. Kebutuhan uap serta energi manusia pada tahap SSF dapat dilihat pada Tabel 27.
Rancangan R1
Tabel 27. Energi pada tahap SSF Kebutuhan Uap Jumlah Tenaga Kerja (Kg) (Orang) 17.05 1.00
Energi Tenaga Kerja (MJ) 2.35
R2
14.15
1.00
2.35
R3
15.40
1.00
2.35
R4
12.96
1.00
2.35
R5
15.40
1.00
2.35
R6
13.64
1.00
2.35
R7
13.67
1.00
2.35
R8
11.65
1.00
2.35
Rancangan yang membutuhkan uap panas paling sedikit berdasarkan perhitungan adalah R8, yaitu rancangan dengan delignifikasi menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis. Jumlah kebutuhan
39
uap dipengaruhi oleh hasil padatan saat delignifikasi, semakin sedikit padatan, uap panas yang dibutuhkan semakin sedikit. Jumlah padatan dipengaruhi kemampuan penghilangan lignin. Semakin sedikit padatan maka semakin sedikit padatan II dan cairan hasil hidrotermal II yang kemudian berpengaruh pada jumlah pemakaian bahan saat tahapan pre-hidrolisis dan fermentasi. Selain jumlah bahan, kebutuhan uap juga dipengaruhi lamanya waktu fermentasi. Kombinasi starter Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis mebutuhkan waktu fermentasi 72 jam, Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis membutuhkan 48 jam. Sehingga rancangan dengan kombinasi Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis akan membutuhkan uap panas lebih sedikit. Kebutuhan energi tenaga kerja dipengaruhi oleh jumlah bahan serta limbah padat saat tahapan fermentasi yang harus diangkut. Perhitungan lengkap kebutuhan energi manusia dan uap dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. Spesifikasi tangki yang digunakan pada tahap SSF dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada tahap SSF dihasilkan limbah padat yang jumlahnya dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam mengkonversi bahan-bahan yang dimasukkan. Jumlah limbah untuk masing-masing rancangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Limbah pada tahap SSF Rancangan Limbah Padat (Kg) R1
31,975.00
R2
39,545.18
R3
27,681.84
R4
34,236.31
R5
28,275.99
R6
34,943.44
R7
22,452.10
R8
27,792.34
Limbah padat yang dihasilkan paling banyak berdasarkan tabel di atas yaitu pada rancangan dengan delignifikasi kimiawi dan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis.
7. Pemurnian Kadar bioetanol awal hasil fermentasi yang masih sangat kecil dinaikkan dengan melakukan distilasi menggunakan evaporator dan distilator. Prinsip penggunaan evaporator dan distilator yang digunakan didasari pada proses pemurnian bioetanol di PT.Panca Jaya Raharja seperti yang diamati oleh Suhendri tahun 2008. Cairan hasil fermentasi akan dimasukkan ke dalam evaporator kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 90 0C lalu uap nya dialirkan ke distilator dan didinginkan. Perbedaan temperatur penguapan air (100 0C)
40
dan etanol (78 0C) menyebabkan pemisahan antara air dan bioetanol. Suhu pada destilator harus terus dijaga pada suhu 79 0C untuk menghasilkan bioetanol dengan kadar 95%. Tangki evaporator dan distilator yang digunakan diberi pengatur suhu sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Jumlah tangki yang digunakan beserta spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 2. Aliran bahan pada tahapan pemurnian adalah sinambung dengan pemasukan cairan hasil SSF sebanyak empat kali untuk seluruh rancangan. Pada tahap ini akan dihasilkan limbah cair yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah umpan yang masuk ke tangki pemurnian. Kebutuhan uap, energi manusia, dan jumlah limbah cair untuk masingmasing rancangan pada tahap pemurnian dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Kebutuhan uap panas, energi, dan limbah yang dikeluarkan saat pemurnian Kebutuhan Jumlah Energi Tenaga Jumlah Rancangan Uap Tenaga Kerja Kerja Limbah (Kg) (Orang) (MJ) (Kg) 23,450.16 1 0.94 31,975.00 R1 32,490.80 1 0.94 39,545.18 R2 R3
23,450.16
1
0.94
27,681.84
R4
32,490.80
1
0.94
34,236.31
R5
23,450.16
1
0.94
28,275.99
R6
32,490.80
1
0.94
34,943.44
R7
23,450.16
1
0.94
22,452.10
R8
32,490.80
1
0.94
27,792.34
Tabel 29 menunjukan, rancangan yang membutuhkan uap panas paling sedikit adalah seluruh rancangan dengan fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis. Kebutuhan uap panas dipengaruhi cairan hasil fermentasi dan kadar etanol yang dihasilkan. Semakin sedikit cairan hasil fermentasi dan tinggi kadar etanol, semakin sedikit uap panas yang dibutuhkan. Bahan pada tahap ini dialirkan ke tangki penampungan menggunakan pipa dengan aliran gravitasi. Penggunaan energi manusia pada tahap ini tidak ada perbedaan, karena kegiatan dilakukan dalam lama waktu yang sama dan tidak ada perlakuan kegiatan yang berbeda. Perhitungan energi manusia dan kebutuhan uap panas saat pemurnian dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Berdasarkan hasil bioetanol yang dicapai maka dapat diketahui faktor konversi bioetanol berdasarkan jumlah bahan baku yang digunakan. Berdasarkan perhitungan, rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan jamur Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis memiliki nilai faktor konversi tertinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi bahan setelah dilakukan perlakuan awal, bahan tersebut masih mengandung kadar selulosa dan hemiselulosa yang tinggi. Jumlah etanol tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam menkonversi bahanbahan tersebut menjadi etanol. Nilai faktor konversi tersebut dapat dilihat pada Tabel 30.
41
Tabel 30. Faktor konversi etanol berdasakan penggunaan bahan baku Rancangan Faktor Konversi (l/kg berat kering bahan) R1
0.15
R2
0.12
R3
0.15
R4
0.12
R5
0.17
R6
0.13
R7
0.25
R8
0.19
Nilai faktor konversi yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa nilai faktor konversi bioetanol yang didapatkan dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Faktor konversi etanol hasil penelitian terdahulu Faktor Konversi Bahan Baku Sumber (l/kg berat kering bahan) Tongkol jagung
0.36
Kuhad dan Singh, 1993
Batang jagung
0.22
Kuhad dan Singh, 1993
Limbah jagung
0.26
Wooley et al., 1999
Tongkol jagung
0.32
Aden et al., 2002
Batang jagung
0.23
Demirbas, 2005
8. Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Limbah cair yang dihasilkan pada tahapan proses produksi diukur kadar COD nya dan didapatkan bahwa kadar COD dari limbah cair yang dihasilkan adalah 918.71 mg/liter. Nilai COD tersebut menunjukkan total organik terlarut dalam limbah cair. Nilai COD tersebut menunjukkan bahwa limbah tersebut tidak boleh dilepas langsung ke badan air, karena menurut kepmenlh no: KEP-02/MENKLH/I/1988, limbah cair yang diperkenankan batas maksimumnya adalah 600 mg/liter. Berdasarkan hal tersebut maka limbah cair yang dihasilkan akan diolah dahulu sebelum dibuang ke badan air. Tahapan awal adalah limbah dari seluruh tahapan dialirkan ke kolam penampungan untuk diturunkan suhunya, karena suhunya terlalu tinggi untuk diolah secara biologis. Tahapan selanjutnya yaitu limbah cair akan dialirkan ke kolam anaerobik. Pada tahapan ini 90% bahan-bahan organik yang terkandung dalam limbah akan dikonversi menjadi metana, karbon dioksida dan sulfat akan dikonversi menjadi hidrogen sulfida, dan sludge. Tahap terakhir, limbah akan dialirkan ke kolam aerobik, pada tahap ini 90% cairan yang terolah akan menghasilkan 30% sludge. Sludge yang dihasilkan harus dibersihkan dari kolam aerobik untuk menjaga keefektivan kinerja kolam (Aden et al., 2002). Energi yang dibutuhkan dalam mengelola 1 liter limbah/jam menurut Aden et al. (2002) adalah 2x10-9 MJ/liter. Nilai tersebut kemudian diaplikasikan ke delapan rancangan, selain itu pada tahap pengelolaan limbah cair juga diperhitungkan nilai energi manusia yang
42
dibutuhkan. Perhitungan lengkap nilai energi manusia dapat dilihat pada Lampiran 17. Nilai energi pengolahan limbah cair untuk masing-masing rancangan dapat dilihat pada Tabel 32. Limbah cair yang dihasilkan dan penggunaan energi paling sedikit berdasarkan perhitungan adalah pada rancangan dengan delignifikasi menggunakan Trametes vercolor dan SSF menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis (R7). Jumlah limbah cair dipengaruhi oleh penggunaan air selama tahapan proses serta kemampuan starter dalam mengkonversi bahan menjadi cairan dan menghasilkan padatan. Energi manusia dipengaruhi oleh jumlah sludge yang dihasilkan dan jumlah sludge tersebut dipengaruhi oleh limbah cair yang dihasilkan. Energi alat untuk pengelolaan limbah tersebut didasari pada perhitungan yang telah dilakukan oleh Aden et al., 2002 dan juga dipengaruhi oleh jumlah limbah cair yang dihasilkan.
Rancangan
Tabel 32. Energi pengolahan limbah cair Energi (MJ) Jumlah Limbah Jumlah sludge Cair (Kg)
(Kg)
Alat
Manusia
Total
R1
230,560.77
62,251.41
4.61.E-04
20.38
20.38
R2
280,973.30
75,862.79
5.62.E-04
24.84
24.84
R3
261,585.59
70,628.11
5.23.E-04
23.13
23.13
R4
347,517.06
93,829.61
6.95.E-04
30.72
30.72
R5
241,251.81
65,137.99
4.83.E-04
21.33
21.33
R6
320,513.56
86,538.66
6.41.E-04
28.34
28.34
R7
164,796.91
44,495.17
3.30.E-04
14.57
14.57
R8
219,467.59
59,256.25
4.39.E-04
19.40
19.40
Keseluruhan bahan yang digunakan selama proses produksi untuk masing-masing rancangan ditampilkan dalam bentuk neraca massa yang dapat dilihat pada Lampiran 18 sampai dengan Lampiran 25. Analisis inventori kemudian dijadikan dasar dalam mengetahui jumlah limbah dan emisi secara keseluruhan untuk masing-masing rancangan serta melihat keseimbangan energi antara energi yang dihasilkan bioetanol dengan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan bioetanol. Nilai energi output serta selisih antara energi input dan output dapat dilihat pada Tabel 33 dan 34, sedangkan nilai total emisi dan limbah yang dihasilkan untuk seluruh rancangan, dapat dilihat pada Tabel 35 dan 36.
Perhitungan
Tabel 33. Energi output biotenol dari LTJ Nilai Satuan
Energi yang dihasilkan
Keterangan
122.00
Mj/kg
Hambali (2007)
Massa jenis
0.80
Kg/l
Rinaldi (2003)
Konversi energi
97.60
MJ/l
Energi dihasilkan x massa jenis
Bioetanol yang dihasilkan
500.00
l
48,800.00
MJ
Nilai energi bioetanol
Penetapan Konversi x jumlah dihasilkan
43
Tabel 34. Selisih energi input output Energi Input (MJ)
Total Energi
Selisih energi
Rancangan
A
B
C
D
E
F
G
H
Total
Output (MJ)
(MJ)
R1
878.79
59,000.46
1,782.41
5.45
1.07
2.35
0.94
20.38
61,691.85
48,800.00
-12,891.85
R2
1,002.85
81,601.30
1,963.91
8.10
1.22
2.35
0.94
24.84
84,605.51
48,800.00
-35,805.51
R3
878.55
58,676.13
2,545.16
6.81
1.15
2.35
0.94
23.13
62,134.21
48,800.00
-13,334.21
R4
1,002.85
81,160.07
2,847.70
9.43
1.29
2.35
0.94
30.72
85,055.35
48,800.00
-36,255.35
R5
878.49
58,606.09
2,474.36
6.22
1.11
2.35
0.94
21.33
61,990.88
48,800.00
-13,190.88
R6
1,002.77
81,070.87
2,934.76
8.38
1.24
2.35
0.94
28.34
85,049.64
48,800.00
-36,249.64
R7
781.79
58,183.25
2,311.77
4.62
0.98
2.35
0.94
14.57
61,300.25
48,800.00
-12,500.25
R8
827.34
80,521.78
2,463.39
5.61
1.07
2.35
0.94
19.40
83,841.87
48,800.00
-35,041.87
A B C D E F G H
: : : : : : : :
Pengangkutan Bahan Baku Penggunaan Boiler Penggunaan Listrik Persiapan Bahan Perlakuan Awal Bahan SSF Pemurnian IPAL
44
Tabel 34 menunjukkan secara keseluruhan energi yang dibutuhkan dalam menghasilkan bioetanol lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan bioetanol. Selisih energi terkecil terdapat pada rancangan dengan delignifikasi menggunakan Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis (R7), hal ini menunjukan bahwa R7 lebih efisien energi dibandingkan dengan rancangan yang lain.
Rancangan
Tabel 35. Perbandingan emisi keseluruhan Kandungan Emisi (Kg)
Total
Pengangkutan
Boiler
Listrik
Persiapan
R1
63.24
4,164.57
364.35
1.11
4,593.27
R2
72.27
5,759.86
401.46
1.47
6,235.05
R3
63.24
4,141.68
520.27
1.10
4,726.29
R4
72.27
5,728.72
582.12
1.46
6,384.56
R5
63.24
4,136.74
505.80
1.01
4,706.78
R6
72.27
5,722.42
599.91
1.33
6,395.93
R7
56.21
4,106.89
472.56
0.68
4,636.34
R8
59.52
5,683.66
503.56
0.90
6,247.64
Rancangan
Tabel 36. Perbandingan limbah keseluruhan Limbah Padat Limbah Cair (Kg) (Kg)
Total
Pre-treatment
Pemurnian
Total
SSF
R1
143,501.74
31,975.00
175,476.74
31,975.00
207,451.74
R2
189,274.67
39,545.18
228,819.85
39,545.18
268,365.03
R3
189,138.42
27,681.84
216,820.26
27,681.84
244,502.10
R4
249,413.24
34,236.31
283,649.55
34,236.31
317,885.86
R5
169,082.48
28,275.99
197,358.47
28,275.99
225,634.45
R6
222,802.43
34,943.44
257,745.87
34,943.44
292,689.31
R7
111,043.30
22,452.10
133,495.39
22,452.10
155,947.49
R8
146,472.95
27,792.34
174,265.29
27,792.34
202,057.63
Berdasarkan perhitungan, R7 (delignifikasi menggunakan jamur Trametes vercolor dan fermentasi dengan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis) merupakan rancangan yang paling sedikit melepaskan emisi dan limbah.
B. ANALISIS DAMPAK Analisis dampak dilakukan pada seluruh tahapan. Tujuan dilakukan analisis dampak lingkungan adalah untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang dapat terjadi dari
45
pelaksanaan seluruh kegiatan. Langkah awal yang dilakukan dalam analisis dampak adalah dengan membuat matriks dampak yang dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Parameter Terkena Dampak Komponen Fisik Kimia Kualitas Tanah Kualitas Air Kualitas Udara dan Debu Kebisingan Komponen Ekonomi + : Dampak Positif - : Dampak Negatif
A B C D
Matriks dampak A B C
D
E
F
G
H
-
-
-
+ -
+
+
+
+
+
: Pengangkutan : Penggunaan boiler : Penggunaan listrik : Persiapan bahan
+
-
+
+ E F G H
: Perlakuan awal bahan : SSF : Pemurnian : IPAL
Sumber: Jensen et al. (1997)
Dampak negatif terhadap kualitas tanah pada tahap penggunaan boiler adalah saat persiapan air umpan. Air dengan kondisi yang tidak baik mengalami penyaringan hingga kondisinya siap digunakan dan akan meninggalkan kotoran-kotoran tersaring yang kemudian akan dibuang. Dampak negatif yang ditimbulkan pada tahapan IPAL adalah pelepasan gas, menurut Doorn et al. (2006), limbah cair ketika ditangani secara anaerobik dapat menjadi sumber emisi CH4 dan N2O. Dampak negatif terhadap kualitas air ditimbulkan pada tahapan perlakuan awal bahan dan pemurnian, sedangkan dampak positif ditimbulkan pada saat IPAL. Dampak negatif yang ditimbulkan secara keseluruhan dikarenakan penggunaan air yang disertai bahan-bahan penunjang dalam proses seperti penggunaan Ca(OH)2 ataupun jamur. Penggunaan bahan-bahan tersebut menyebabkan perubahan pada air yang dapat memperburuk kualitas air, terutama penggunaan bahan kimia (Ca(OH)2). Dampak positif ditimbulkan karena air limbah yang dalam kondisi tidak baik akan dirubah pada saat tahapan IPAL, sehingga limbah cair yang dihasilkan dapat dibuang ke badan air dalam kondisi aman. Tahapan pengangkutan, penggunaan boiler, listrik, dan persiapan bahan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas udara melalui pembuangan emisi yang dihasilkan oleh alat-alat yang digunakan. Alat-alat yang digunakan juga dapat menimbulkan kebisingan. Dampak negatif pada udara juga ditimbulkan saat tahapan SSF, dampak tersebut berupa pelepasan gas CO2 saat kegiatan berlangsung akibat adanya aktivitas dari mikroorganisme. Komponen ekonomi pada semua tahapan akan menimbulkan dampak positif, karena akan menimbulkan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Tahapan selanjutnya yang dilakukan pada analisis dampak adalah pembuatan bagan alir dampak penting. Gambar bagan tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.
46
Nilai Positif (+)
Nilai Negatif (-) Tahap Proses Produksi
Debu
Polusi Udara
Kebisingan
Kesempatan Kerja dan Peluang Usaha
Kesehatan Masyarakat Pendapat Masyarakat Keresahan Masyarakat
Penilaian Masyarakat Terhadap Kegiatan Produksi Bioetanol dari Limbah Tanaman Jagung
Keterterangan : Dampak Primer Dampak Turunan
Gambar 11. Bagan alir evaluasi dampak penting (Jensen et al., 1997)
C. PENENTUAN RANCANGAN TERBAIK Penentuan rancangan terbaik dari delapan rancangan yang telah ditentukan sebelumnya, dilakukan menggunakan metode bayes. Parameter yang dijadikan penilaian adalah penggunaan bahan baku, energi, emisi, limbah padat, serta limbah cair yang dihasilkan. Bahan baku dan energi dipilih karena, penggunaan nya untuk setiap rancangan dalam menghasilkan bioetanol 500 liter berbeda-beda. Jumlah yang berbeda tersebut, menunjukkan nilai efisien suatu rancangan dalam mengkonversi bahan baku menjadi bioetanol. Limbah padat, cair, serta emisi yang dihasilkan dipilih untuk mewakilkan dampak yang ditimbulkan oleh rancangan terhadap lingkungan. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 38, menggunakan metode Bayes, diketahui bahwa rancangan terbaik dari seluruh rancangan yang telah dianalisis adalah R7, yaitu rancangan dengan delignifikasi biologis menggunakan jamur pelapuk putih Trametes vercolor serta fermentasi menggunakan kombinasi starter Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis.
47
Tabel 38. Penentuan rancangan terbaik dengan metode bayes Rancangan Parameter
Nilai Kepentingan
Bobot
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
N
B
N
B
N
B
N
B
N
B
N
B
N
B
N
B
Bahan Baku
3
0.18
5
0.88
8
1.41
4
0.71
7
1.24
3
0.53
6
1.06
1
0.18
2
0.35
Energi
5
0.29
2
0.59
6
1.76
4
1.18
7
2.06
3
0.88
8
2.35
1
0.29
5
1.47
Emisi
4
0.24
1
0.24
5
1.18
4
0.94
7
1.65
3
0.71
8
1.88
2
0.47
6
1.41
Limbah Padat
4
0.18
5
0.88
8
1.41
4
0.71
6
1.06
3
0.53
7
1.24
1
0.18
2
0.35
Limbah Cair
4
0.24
3
0.71
6
1.41
5
1.18
8
1.88
4
0.94
7
1.65
1
0.24
2
0.47
Jumlah
17
1
3.29
Keterangan : N = Nilai Kepentingan (1 sampai 8) dimana: 1 = sangat sangat baik 5 = cukup tidak baik 2 = sangat baik 6 = tidak baik 3 = baik 7 = sangat tidak baik 4 = cukup baik 8 = sangat sangat tidak baik B = Bobot m Total Nilaii = Σ Nilaiij (Kritj) J=1 dimana: Total Nilai i = total nilai akhir dari alternatif ke-i Nilai ij = nilai dari alternatif ke-i pada kriteria ke-j Krit j = tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j i = 1,2,3,…n; n = jumlah alternatif j = 1,2,3,…m; m = jumlah kriteria
7.18
4.71
7.88
3.59
8.18
1.35
4.06
48