BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1.
Conceptual Framework Suatu sistem penelitian memiliki beberapa rangkaian proses yang terdiri
dari
langkah-langkah yang terencana, terstruktur dan sistematis, yang pada
akhirnya nanti akan mendapatkan suatu pemecahan permasalahan terbaik terhadap masalah yang dihadapi. Dalam mempermudah proses pencapaian tujuan dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya suatu conceptual framework (kerangka pemecahan masalah). Adapun kerangka sistem pemecahan masalah yang akan dikaji di dalam penelitian ini terdapat dalam Gambar 2.1 berikut ini.
Business Environment Internal Business Environment (SWOT Analysis)
External Business Environment (Porter 5 Forces)
Produk Ballast Domestik
Peta Proses Operasi
Bahan Baku
Proses Inspeksi - Bahan Baku - Proses Produksi - Produk Setengah Jadi - Produk Jadi
Sistem Pengendalian Mutu Perusahaan
SIX SIGMA
Define Phase
- Identifikasi Masalah/ Cacat Produk
Measure Phase
Analyze Phase
Improve Phase
Control Phase
- Peta Kontrol (Control Chart) - Pengukuran Kemampuan Proses (Process Capability) - Menentukan CTQ (Critical To Quality) - Perhitungan (DPO,DPMO,Sigma Level)
- Analisis Kapabilitas Melalui Performansi Kualitas proses - Mencari Penyebab Permasalahan dengan Interrelationship Diagraph - Identifikasi Faktor Penyebab Kecacatan Yang Mendapat Prioritas (PFMEA)
- Identifikasi Usulan Pengambilan Keputusan Mengenai Solusi Perbaikan
- Pemetaan Performansi Kualitas Melalui Peta Kontrol (Control Chart) - Perhitungan Performansi Proses (Process Capability) - Perhitungan (DPO,DPMO,Sigma Level) - Uji Verifikasi
Gambar 2.1 Conceptual Framework
8
2.2.
External/Business Environment
Faktor eksernal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan lajunya perusahaan. Dengan Porter’s Five Forces perusahaan dapat menggambarkan keadaan perusahaan dari sisi lingkungan eksternal yang juga dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi bisnis tersebut. Faktor-faktor eksternal mencakup competitor, new entrance, buyers, substitute product, dan suppliers. Hal tersebut dilihat pada Gambar 2.2.
THREAT FOR NEW ENTRANTS - Product differentiation - Product High Tech and Inovation - Access Distribution
BARGAINING POWER OF SUPPLIERS
COMPETITOR/ RIVALRY Philips Ballastron BASE Nasional
- Low Bargain Power - Materials,parts, components,and other resources
Political, Environment, Social, Technology and Natural Resource
BARGAINING POWER OF BUYERS - Customer - High Bargain Power
THREAT FOR SUBTITUTE PRODUCT - Energy Saving Lamp
Gambar 2.2 Porter’s Five Forces
2.2.1. Rivalry Pesaing utama yang dihadapi perusahaan Nikkatsu dalam memasarkan produk Ballast Domestik yaitu : Phillips, Ballastron, BASE, dan Nasional. Hingga saat ini para pesaing tersebut berkompetisi untuk mengadaptasi teknologi tercanggih dan berlomba untuk meningkatkan kualitas produknya.
2.2.2. Threat for New Entrants Terdapat beberapa Faktor yang menjadi penghalang untuk para pendatang baru dalam memasuki industri kelistrikan yaitu:
9
1. Product differentiation Membedakan produk yang ditawarkan kepada konsumen merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan oleh para pendatang baru dan hal tersebut menjadikan suatu hambatan bagi para pendatang baru untuk menghadapi produk yang sudah ada. 2. High Techology and Innovation Untuk memasuki Industri kelistrikan yang berbasis teknologi tinggi, maka para pendatang baru harus bisa mengadopsi teknologi yang lebih baru dan Inovasi
yang berkesinambungan,
karena konsumen akan semakin
membutuhkan suatu teknologi yang efektif dan efisien. Dengan adanya suatu teknologi dan daya inovatif yang tinggi maka akan berdampak pada ketersediaan modal yang akan dikeluarkan oleh perusahaan pendatang untuk mengadopsi teknologi tersebut. 3. Access Distribution Pendatang baru harus memiliki saluran distribusi yang banyak dan tepat, terlebih lagi produk ini ditujukan tidak hanya bagi pelanggan individu (consumer) namun juga bagi pelanggan bisnis (corporate). Dalam hal ini jika jumlah saluran distribusi seperti wholesaler dan retail terbatas, maka akan lebih sulit bagi perusahaan pendatang baru untuk dapat memasuki industri peralatan lampu ini.
2.2.3. Bargaining Power of Buyers Pihak yang merupakan pembeli (buyers) atau yang menggunakan Produk dari Nikkatsu yaitu Consumer dan Corporate. Bargaining power konsumen untuk produk di sektor kelistrikan cenderung mempunyai level yang tinggi sehubungan dengan banyaknya kompetitor yang bermain di sektor kelistrikan tersebut.
2.2.4. Bargaining Power of Suppliers Supplier merupakan pihak yang berfungsi sebagai pengadaan material dan komponen bagi perusahaan dalam hal ini supplier mempunyai bargaining power yang rendah karena supplier sudah terlalu banyak yang masuk ke perusahaan untuk menawarkan baik supplier dari domestik dan supplier dari luar negeri.
10
Karena produk yang diproduksi sebagian besar sesuai dengan stok yang harus diproduksi maka supplier yang dipilihnya pun berbeda-beda untuk setiap produk yang dipesan.
2.2.5. Substitute Product Produk pengganti (substitute products) untuk produk Tafo Ballast yang ditawarkan perusahaan saat ini akan semakin banyak kemungkinan yang terjadi, hal tersebut seiring dengan semakin tingginya teknologi yang semakin berkembang dan mempermudah konsumen. LHE (Lampu Hemat Energi) merupakan salah satu produk inovasi yang lebih effektif dan effisien yang akan menjadikan sebagai produk pengganti untuk Trafo Ballast.
2.3.
Analisis SWOT
Analisis SWOT digunakan untuk melihat faktor internal dalam perusahaan dan dapat juga dijadikan suatu tolak ukur bagi perusahaan untuk memantau laju perkembangan
perusahaan.
Dengan
analisis
SWOT
perusahaan
dapat
menggambarkan keadaan perusahaan dari sisi Kekuatan (Strength) yang dimiliki perusahaan, Kelemahan (Weakness) yang dimiliki perusahaan, Kesempatan (Opportunity) yang dimiliki perusahaan, dan Ancaman (Threat) yang mungkin akan terjadi pada perusahaan. Hasil analisis SWOT yang akan dijelaskan secara rinci dibawah ini merupakan hasil dari diskusi dengan pihak perusahaan.
2.3.1. Strengths Kekuatan perusahaan merupakan modal utama untuk menghadapi persaingan dengan kompetitor. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki perusahaan yaitu: 1. Tersedianya saluran distribusi untuk domestik dan ekspor PT. Nikkatsu sudah lama berdiri dari tahun 1971 di Indonesia, tentu saja perusahaan tersebut telah mempunyai saluran distribusi yang cukup banyak untuk memasarkan produknya di Indonesia dan di luar negeri seperti Jepang dan Saudi Arabia. Hal tersebut merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk memasarkan seluruh produknya.
11
2. Mempunyai Line Product yang banyak Jenis produk yang terdapat dipasaran bervariasi sehingga konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. 3. Kualitas Bahan Baku Sebagian bahan baku untuk pembuatan Trafo Ballast berasal dari Jepang yang mempunyai kualitas yang baik, seperti Steel Plate (Plat Baja) digunakan untuk membuat case yang kuat dan tahan lama. 4. Harga Competitive Harga produk yang ditetapkan untuk dipasarkan sejajar dengan harga yang ditetapkan kompetitor, hal tersebut dilakukan untuk melakukan persaingan dengan kompetitor dari segi harga. Selain itu dengan menetapkan harga tersebut dapat menjadi suatu alasan penting untuk menarik konsumen.
2.3.2. Weaknesses Kelemahan merupakan faktor yang dapat memberikan nilai negatif bagi perusahaan, dan faktor tersebut harus segera ditanggulangi agar bisa tetap bersaing dengan kompetitor lainnya. Kelemahan-Kelemahan yang dimiliki perusahaan saat ini : 1. Promosi Kegiatan promosi yang yang dilakukan oleh perusahaan saat ini belum begitu optimal, sebagai buktinya bahwa masyarakat secara luas belum mengenali dengan baik merek dagang “sinar”. 2. Adaptasi Teknologi Adaptasi teknologi harus secara berkala disesuaikan, teknologi yang di adopsi perusahaan cenderung lambat sehingga mengakibatan keterlambatan dalam proses inovasi produk ke arah yang lebih canggih.
2.3.3. Opportunities Agar dapat memenangkan suatu persaingan dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan harus dapat melihat secara cermat kesempatan-kesempatan yang mungkin terjadi untuk memenangkan suatu persaingan, Kesempatan-kesempatan yang dapat ditempuh perusahaan yaitu :
12
1. Perluasan Sistem Distribusi Perluasan sistem distribusi merupakan suatu kesempatan bagi PT.Nikkatsu untuk menjadikannya lebih fokus. Dengan mengandalkan sistem distribusi yang telah ada maka perusahaan seharusnya berusaha untuk lebih memperluas lagi jaringan distribusinya sampai ke pelosok Indonesia. 2. Pengembangan Produk (Inovasi) Untuk menjadikan produk PT. Nikkatsu sebagai market leader, maka harus peka terhadap perkembangan konsumen dengan melakukan inovasi dan peningkatan kualitas terhadap produk. 3. Promosi Kegiatan promosi merupakan salah-satu kegiatan yang vital dalam kegiatan perusahaan, dimana kegiatan promosi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan produk ke masyarakat secara luas. Promosi dapat dilakukan dengan lebih rutin atau berkala serta dilakukan dengan lebih jelas lagi dengan membawa brand image “sinar” untuk menarik kosumen.
2.3.4. Threats Ancaman merupakan faktor yang harus diwaspadai oleh perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, Ancaman yang akan terjadi datang dari kompetitor baru yaitu perusahaan-perusahaan yang berasal dari Negara Korea dan China yang menyediakan produk-produk peralatan listrik yang lebih murah dari produk Nikkatsu.
2.4.
Mekanisme Kerja Perusahaan
Untuk melihat aktivitas perusahaan selama terjadinya order sampai produk tersebut siap untuk dikirimkan ke konsumen akan digambarkan pada gambar 2.3. Mekanisme alur kerja perusahaan diawali pada saat bagian pemasaran memperoleh data yang harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen, kemudian bagian pemasaran memberikan laporan mengenai jumlah yang harus di produksi. Bagian laboratorium teknik berperan serta dalam penelitian pembuatan produk baru, pembelian bahan baku yang akan digunakan selama berproduksi dan melaporkan biaya yang harus disiapkan ke bagian keuangan. Bahan baku yang
13
diperoleh bisa didapatkan dari supplier lokal maupun luar negri, setelah bahan baku tersebut dipesan kemudian dilakukan pemeriksaan dibagian inspection material, jika terdapat bahan baku yang dianggap cacat maka bahan baku tersebut dikembalikan kepada supplier dan jika bahan baku tersebut layak untuk diproduksi maka bahan tersebut bisa langsung diproses di bagian produksi.
Konsumen
Pemasaran
Factory Manager Akunting Master of Planning Control
Teknisi Advisor Keuangan
Produk Baru
Laboratorium & Teknik Ya
Pembelian Bahan
Suplier Luar Negri
Tidak Impor
Suplier Lokal
Fasilitas BAPEKSTA
Incoming Material Inspection
Tidak Bahan Baik Ya Produksi
Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Perusahaan
14
Ekspedisi
Konsumen
2.5.
Produk (Trafo Ballast Domestik)
Ballast merupakan bagian komponen yang digunakan untuk perlengkapan lampu neon, fungsi dari ballast tersebut yaitu sebagai pengatur tegangan listrik dan memberikan penerangan terhadap lampu.
Gambar 2.4 Produk Ballast Domestik
Pada bagian dalam produk ballast, terdapat beberapa penggabungan dari berbagai bagian/ part seperti bagian Terminal, Core E, Kabel, Hasil Solder, Lilitan kawat pada Bobbin dan Case sebagai penutup. Untuk lebih jelas lagi bagian dalam dari produk ballast dapat dilihat secara lengkap pada gambar 2.5 di bawah ini:
Terminal
Solder Bobbin
Case
Core E
Case
Core E
Kabel
Lilitan Kawat
Gambar 2.5 Bagian dalam Produk Ballast TB 210 (Sumber : Bagian Quality Control di PT. Nikkatsu)
15
2.5.1. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada pembuatan produk ballast terdiri dari steel plate (plat baja), bobbin, kawat, kabel, lem, varnish, label, timah dan terminal. 1. Steel Plate (Plat Baja) Steel Plate (Plat baja) digunakan untuk pembuatan Core, Case dan Terminal yang akan diproses melalui mesin press. Untuk bahan baku seperti plat baja standar kriteria pemilihan bahan lebih ditekankan pada dimensi (ukuran) dan jenis bahan. Dimensi ukuran yang digunakan seperti panjang, lebar dan tebal plat baja, sedangkan untuk bahan dibutuhkan bahan yang kuat dan anti korosif. 2. Bobbin Bobbin digunakan sebagai tempat untuk melilitkan kawat yang terbuat dari bahan plastik. Untuk bahan baku bobbin standarisasi pemilihan ditekankan pada dimensi (ukuran), Jenis bahan yang kuat dan tidak mudah mengkerut, dan warna dasar plastik berwarna putih. 3. Kawat Untuk bahan baku seperti kawat standarisasi pemilihan ditekankan pada dimensi (ukuran) ketebalan yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan serta jenis bahan kawat yang tentunya jenis bahan yang baik untuk menghantarkan arus listrik. 4. Kabel Untuk bahan baku kabel digunakan standarisasi pemilihan yang ditekankan pada dimensi (ukuran) ketebalan kawat yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan serta jenis bahan kawat yang tentunya jenis bahan yang baik untuk menghantarkan arus listrik dan jenis bahan karet yang tahan lama. 5. Lem Lem digunakan untuk menggabungkan suatu part, untuk itu kriteria pemilihan untuk bahan baku seperti lem harus mempunyai viskositas yang baik agar part yang telah digabungkan tidak mudah lepas atau rusak. Untuk warna dipakai warna yang netral untuk memberikan nilai tambah secara visual.
16
6. Varnish Untuk Bahan baku seperti Varnish kriteria pemilihan ditekankan pada warna dan tingkat viskositas. 7. Label Label digunakan sebagai lambang atau identitas pembuat produk, untuk itu kriteria, pemilihan bahan untuk label ditekankan pada dimensi (ukuran), jenis kertas yang digunakan, dan warna untuk membedakan dengan produk yang lain. 8. Timah Timah digunakan untuk proses penyolderan, untuk itu kriteria pemilihan yang ditekankan yaitu pada jenis bahan, warna, dan tingkat viskositas yang baik agar hasil proses penyolderan tidak mudah lepas dan dapat menghantarkan arus listrik dengan baik. 9. Terminal Terminal terbuat dari bahan plastik berwarna putih yang digunakan untuk menutupi C&C (hasil penggabungan core E dengan Core I atau core E dengan Core E yang telah dilapisi dengan tape pembungkus). Kriteria pemilihan pada jenis bahan baku terminal yaitu pada ukuran terminal yang telah ditentukan spesifikasinya, jenis bahan, dan warna bahan.
2.5.2. Proses Pembuatan produk Proses pembuatan ballast dari mulai bahan baku sampai dengan produk jadi dapat digambarkan pada peta proses operasi, dimana pada peta tersebut dapat didapatkan beberapa informasi mengenai proses-proses yang terlibat dalam pembuatan produk, waktu tiap-tiap proses, material yang digunakan, tempat dan alat yang digunakan. Pada gambar 2.6 dapat dilihat secara lengkap proses pembuatan produk ballast dari mulai bahan baku sampai produk tersebut jadi dan dikirimkan ke bagian gudang. 1. Proses Winding (O-1) Proses winding adalah proses melilitkan kawat pada bobbin, mesin yang digunakan pada proses winding adalah mesin semi otomatis jenis MT 880.
17
Proses ini dikerjakan oleh mesin di mana apabila masih ada kawat pada mesin, maka mesin akan melilitkan kawat secara otomatis ke bobbin. 2. Proses Kupas Email (O-2) Setelah kawat selesai dililitkan pada bobbin, kemudian diselotip. Setelah itu dilakukan proses kupas email dimana kupas email adalah proses menghilangkan lapisan luar kawat. Proses kupas email dikerjakan dimeja perakitan dan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan alat bantu. 3. Proses Press Core E (O-3) Proses press digunakan pada pembuatan Core E dan case (Case atas dan Case bawah), bahan baku yang digunakan pada proses operasi ini yaitu steel plate. Jenis mesin yang digunakan pada proses press yaitu jenis mesin ISIS dan mesin Komatsu. 4. Proses Inserting/Assembly 1 (O-4) Setelah dilakukan proses kupas email, selanjutnya dilakukan penggabungan antara Coil (Bobbin yang sudah dililit dengan kawat dan sudah dilakukan kupas email) dengan Core E disebut ½ Core, proses penggabungan dilakukan dengan menggunakan lem pada bagian Core dan Coil. 5. Proses Soldering (O-5) Setelah proses penggabungan ½ Core
dengan Core E selesai, kemudian
dilakukan proses soldering dengan melakukan pemasangan terminal terlebih dahulu (menjadi C&C). Proses soldering dilakukan untuk menyambungkan bagian kawat yang telah dikupas emailnya sebagian dengan bagian terminal. 6. Proses Test Ampere Tanpa Case (O-6 & I-1) Setelah proses soldering selesai dilakukan kemudian dilakukan proses Test Ampere dan pemeriksaan pada C&C. Proses Test Ampere dilakukan pada mesin Test Meter dengan cara menempelkan ujung kabel Test Meter ke bagian hasil solderan pada bagian terminal. Proses Test Ampere dilakukan untuk mengetahui besaran ampere yang terjadi pada C&C setelah dilakukan beberapa proses sebelumnya. 7. Proses Press Case Atas (O-7) dan Proses Press Case Bawah (O-8) Proses press digunakan pada pembuatan core dan case (Case atas dan Case bawah), bahan baku yang digunakan pada proses operasi ini yaitu steel plate.
18
Jenis mesin yang digunakan pada proses press yaitu jenis mesin ISIS dan mesin Komatsu. 8. Proses Inserting/Assembly 1 (O-9) Setelah proses Test Ampere selesai dilakukan kemudian selanjutnya dilakukan proses penggabungan antara C&C dengan Case (atas dan bawah). Proses penggabungan tersebut dilakukan dengan menggunakan lem pada bagian permukaan dalam Case (atas dan bawah). 9. Proses Melipat Kasime (O-10) Untuk menguatkan proses penggabungan (C&C dengan Case) dilakukan proses melipat kasime. Kasime adalah bagian pada Case yang fungsinya sebagai pengunci antara case atas (penutup) dengan case bawah dengan cara membengkokkan bagian kasime. Proses melipat kasime dilakukan di meja perakitan. 10. Proses Test Ampere Memakai Case (O-11 & I-2) Setelah proses penggabungan Case selesai dilakukan kemudian dilakukan proses Test Ampere dan pemeriksaan. Proses Test Ampere dikerjakan pada mesin Test Meter dengan cara menempelkan ujung kabel Test Meter ke bagian hasil solderan pada terminal. Proses Test Ampere dilakukan untuk mengetahui
besaran
ampere
yang
terjadi
setelah
dilakukan
proses
penggabungan Case. 11. Proses PreOven (O-12) Setelah proses Test Ampere dengan memnggunakan case selesai dilakukukan, kemudian dilakukan proses PreOven pada ballast yang fungsinya untuk mengeringkan lem pada bagian permukaan Case dalam. 12. Proses Varnish (O-13) Setelah proses PreOven dilakukan kemudian ballast didinginkan terlebih dahulu, setelah temperaturnya turun kemudian dilakukan proses varnish pada ballast. Proses varnish dilakukan pada mesin varnish, mesin varnis dapat menampung 14 jala. Operator sesekali harus memeriksa kadar varnis dalam mesin (dapat dilakukan selama proses vernis berjalan), serta mengawasi mesin, misalnya menghentikan mesin bila ada ballast yang terjatuh dari hanger. Proses dalam mesin varnis sendiri berjalan berkesinambungan, artinya
19
setiap ada satu hanger keluar, maka satu hanger berikutnya dapat langsung dimasukkan ke mesin varnis. 13. Proses Oven (O-14) Setelah proses varnish selesai, kemudian dilakukan proses Oven pada ballast yang fungsinya untuk mengeringkan varnish pada ballast. Oven memiliki 3 pintu dan ketiganya dapat menampung 54 jala (1 jala terdiri dari 39 buah produk). Proses pengovenan dimulai bersamaan antara pintu kesatu, kedua, dan ketiga. Hal ini disebabkan karena ruang dalam oven sebenarnya satu walaupun pintunya ada tiga. Panas yang timbul disalurkan secara konveksi, jadi selama proses ketiga pintu oven tidak boleh dibuka, karena dapat mempengaruhi suhu ruangan oven. 14. Proses Pengawatan (O-15) Setelah ballast selesai dioven kemudian dilakukan proses pengawatan yaitu memberi kabel pada ballast. Proses pengawatan dikerjakan dengan cara menyolder kabel pada bagian terminal (bagian solder pada terminal). 15. Proses Test Ampere (O-16 & I-3) Test Ampere dilakukan kembali di mesin Test Meter setelah proses pengawatan selesai dilakukan. 16. Proses Labelling (O-17) Setelah proses Test Ampere selesai dilakukan, kemudian dilakukan proses menempelkan label pada bagian permukaan luar Case atas (penutup). Proses Labelling dikerjakan dimeja perakitan dan dikerjakan oleh 2 operator yang berhadapan. 17. Proses Packing (O-18) Setelah proses labelling selesai, kemudian dilakukan proses packing. Proses Packing dikerjakan dengan cara memasukan ballast pada kardus yang sudah disiapkan, Setelah kardus tersebut terisi semua kemudian kardus dikirimkan ke bagian gudang dan selanjutnya akan dikirimkan kepada agen – agen yang akan mendistribusikannya ke masyarakat.
20
PETA PROSES OPERASI (OPC) Nama Objek Dipetakan Oleh Tanggal dipetakan
: TB 210 Ballast Domestik : TUKINO : 13 Februari 2002
CASE BAWAH (Steel Plate)
BOBBIN (Plastik)
CORE E (Steel Plate)
CASE ATAS (Steel Plate)
Wire
2,4'
Press
2,1'
0-8
Press Mesin Press
Winding
2.1'
0-3
0-7
Mesin Press
Press
1,2'
O-1
Mesin Press
Mesin PBO.13
Magn Wire Insul Tape
Kupas Email
0.5' 0-2
Meja Perakitan Lem
0.6' 0-4
Inserting/ Assembly1 Meja perakitan
Terminal Sold Wire
Soldering
3.5' 0-5
Mesin Solder
Test No Case
3' 0-6 I-1
Mesin Test Meter
Lem
Assembly 1
3.9' 0-9
Meja Perakitan
Kasime
1.5' 0-10
Mesin Kasime
3.0'
Test With Case 0-11 I-2
2.96'
(Mesin Test Meter)
Pre Oven 0-12
Mesin Oven Varnish
2.78'
Varnish 0-13
Mesin Cat
2.96'
Oven 0-14
Mesin Oven Lead Wire
Pengawatan
3.25' 0-15
Meja Perakitan
RESUME 3.0' Activity
Sum
0-16 I-3
Time
Test With Case (Mesin Test Meter)
Label
15
54,23' Labeling
2.1' Process
0-17
Meja perakitan Kart Box
3
9' 21.18'
Test Meter
Packing 0-18
Meja Perakitan 1
Gudang
Werehouse TOTAL
19
63,23'
Gambar 2.6 Peta Proses Operasi pada Trafo Ballast TB 210
21
2. 6.
Sistem Pengendalian Mutu Perusahaan
Perusahaan saat ini telah mempunyai bagian yang khusus menangani masalah pengendalian mutu yaitu bagian Quality Control, Adanya prosedur pengendalian kualitas produk didalam perusahaan dimaksudkan untuk mengatur tata cara penanganan produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau pun penanganan dalam pembuatan produk. Pertanggung jawaban pelaksanaan pengendalian kualitas dapat dilakukan oleh : 1. Manager Jaminan Mutu ( QA Manager) Bertanggung jawab terhadap efektifitas pelaksanaan prosedur ini secara tepat. 2. Manager produksi Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan prosedur ini secara tepat dan cepat. 3. Kepala bagian laboratorium dan atau yang ditunjuk Bertanggung jawab membuat laporan terhadap produk yang tidak sesuai bersama-sama dengan kepala bagian yang bersangkutan terhadap masalah tersebut. Prosedur pengendalian kualitas yang akan ditempuh untuk menyelesaikan masalah ketidak-sesuaian pada produk meliputi: 1. Pengaduan Masalah a. Kepala bagian produksi membuat laporan dan stratifikasi masalah. b. Barang yang ditemukan tidak sesuai standar atau masuk dalam kategori NG (Not Good) karena sesuatu sebab, dipisahkan dengan kartu warna merah dengan memberikan keterangan masalah, tanggal terjadi masalah dan untuk kemudian dicari permasalahannya. c. Kepala bagian membuat laporan masalah. d. Kepala Departemen Produksi dan atau yang mewakili melaporkan masalah ke bagian Laboratorium dan diketahui oleh bagian QC untuk selajutnya dilakukan penanganan masalah. 2. Penanganan Produk yang tidak sesuai a. Kepala Bagian Produksi dan atau yang mewakili bersama-sama dengan bagian Laboratorium dan QC meneliti penyebab permasalahan yang timbul dari produk yang tidak sesuai.
22
b. Bagian QC dan atau Laboratorium atau yang mewakili mencatat, mendokumentasikan dengan form yang telah ditentukan dan melaporkan kepada kepala Departemen yang bersangkutan. c. Tindakan – tindakan penanggulangan masalah (Test Ulang, Barang dibongkar, analisis masalah dan keputusan diperbaiki atau di buang) d. Setiap permasalahan yang muncul dan penaggulangan yang telah dilakukan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh bagian yang bersangkutan. Untuk dapat menghasilkan mutu produk yang sesuai dengan standar dan spesifikasi yang telah ditetapkan maka perusahaan harus dapat menerapkan sistem pengendalian mutu. Pengendalian mutu sangat diperlukan dalam memproduksi segala jenis produk, mulai produk tersebut dalam rencana produksi sampai dengan produk tersebut siap dijual ke pasaran. 1. Inspeksi Pada Bahan Baku Metoda pemeriksaan yang digunakan untuk pengendalian bahan baku yaitu dengan menggunakan metoda AQL (Acceptable Quality Level) atau konsep taraf mutu diterima. Pada saat ini perusahaan menggunakan tingkat AQL 1,25% yang artinya proporsi cacat maksimum yang masih dapat diterima yaitu 1,25% dari jumlah seluruh lot yang ada. Tabel 2.1 menjelaskan mengenai ukuran standar bahan baku yang digunakan pada saat pemeriksaan bahan baku: Tabel 2.1 Pemeriksaan Standard Bahan baku No 1 2 3 4 5 6 7 8 7
Jenis Bahan Baku
Kriteria Bahan Baku yang Diizinkan Dimensi (Ukuran)
Jenis Bahan
Warna
Viskositas
Steel Plate Bobbin Kawat Kabel Lem Varnish Label Timah Terminal
Keterangan : Warna kuning menunjukkan pemeriksaan standar bahan baku
23
2. Inspeksi pada proses produksi Inspeksi pada proses produksi lebih difokuskan pada penyetelan mesin, dimana kegiatan inspeksi dilakukan pada awal pengerjaan (set-up) dan pada akhir proses tersebut selesai. Inspeksi pada proses produksi dapat dilakukan oleh bagian operator dan secara keseluruhan tugas tersebut dibebankan pada bagian supervisior. 3. Inspeksi pada produk setengah jadi Produk ballast melewati beberapa proses pengerjaannya, proses inspeksi yang dilakukan pada produk dalam keadaan setengah jadi dimulai pada stasiun kerja Winding dan stasiun kerja Assembling dimana di dalam masing-masing stasiun kerja tersebut terdapat proses pemeriksaan. 4. Inspeksi pada produk jadi Untuk proses pemeriksaan tahap akhir pada produk jadi, dilakukan pada stasiun kerja Packing. Standar mutu yang ditetapkan oleh perusahaan pada produk akhirnya, yaitu tidak terdapatnya kotoran pada produk akhir, wujud produk yang presisi dari segi dimensi, besaran Ampere dan Voltage sesuai, dan produk dapat bekerja dengan optimal.
2.7.
Six Sigma
Kata Sigma (σ), merupakan sebuah huruf dalam bahasa Yunani yang digunakan di dalam statistik untuk mengukur variasi dari rata-rata suatu proses yang dihasilkan suatu data, yang menggambarkan suatu distribusi atau penyebaran data terhadap rata-rata proses /standar deviasi (Breyfogle, 2003). Definisi mengenai Six Sigma ” Suatu sistem yang komprehensif dan fleksible untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data dan analisis statistik serta terus-menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha” (Miranda, 2002). Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorola
24
dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem-sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Banyak sistem manajemen kualitas, seperti: Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA), ISO 9000, dan lain-lain, hanya menekankan pada upaya peningkatan terus menerus berdasarkan kesadaran mandiri dari manajemen, tanpa memeberikan solusi yang ampuh dalam hal kesadaran mandiri dari manajemen, tanpa memberikan solusi yang ampuh dalam hal terobosan-terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma Motorola mampu menjawab tantangan ini, dan terbukti perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun setelah implementasi konsep Six Sigma telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (defect per million opportunities – kegagalan per sejuta kesempatan). Beberapa keberhasilan Motorola yang patut di catat dari aplikasi program Six Sigma adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan produktivitas rata-rata: 12,3 % per tahun 2. Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84%. 3. Eliminasi tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata: 17% dalam penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola.
2.7.1. Starategi Six Sigma Tiga strategi Six Sigma yang dilakukan selama proses implementasi didalam perusahaan meliputi (Miranda, 2002): 1. Perbaikan proses (Process Improvement) Perbaikan proses berarti menemukan solusi untuk mencapai target. Meliputi strategi untuk mengembangkan solusi untuk menghilangkan akar penyebab masalah pada kinerja usaha. Disebut juga ” Continous Improvement” (Perbaikan
kesinambungan),
”Incremental
Improvement”
(Perbaikan
tambahan), “Kaizen” (Perbaikan Kesinambungan ala Jepang).
25
2. Desain Ulang Proses (Process Design) Desain ulang proses berarti membangun bisnis yang lebih baik. Tujuan dari desain ulang proses bukan untuk menyesuaikan suatu proses tetapi cenderung menembaptkan suatu proses dengan proses yang baru. Juga sering disebut dengan “Desain Six Sigma”, yaitu prinsip-prinsip Six Sigma digunakan untuk membuat produk atau jasa baru yang berhubungan erat dengan kebutuhan pelanggan dan divalidasikan dengan data serta pengujian. 3. Manajemen Proses (Process Management). Strategi ketiga ini sifatnya paling revolusioner karena melibatkan perubahan dari kesalahan dan arah fungsi hingga pemahaman dan pemudahan proses, yang merupakan aliran kerja yang melibatkan nilai pelanggan dan pemegang saham. Pada manajemen proses ini, kebijakan dan metoda Six Sigma menjadi bagian yang menyatu dalam menjalankan usaha seperti : a) Pencatatan dan pengaturan
proses ”end to end” dan tanggung jawab
dibuat sedemikian rupa untuk menjamin adanya manajemen proses lintas fungsional (cross-functional) yang kritis. b) Kebutuhan pelanggan diartikan secara jelas dan dimutakhirkan secara teratur, Pengukuran keluaran, aktivitas proses dan masukan yang menyeluruh dan berarti. c) Manajer dan bawahannya (termasuk orang yang bersangkutan dengan proses tersebut) menggunkan pengukuran dan pemahaman proses untuk menilai kinerja pada ”saat yang tepat” dan mengambil tindakan untuk mengetahui permasalahan dan kesempatan apa yang muncul. d) Perbaikan proses dan desain ulang proses yang dilaksanakan bersamaan dengan alat-alat perbaiakan Six Sigma digunakan secara terus-menerus untuk meningkatkan kinerja, daya saing dan profitabilitas perusahaan.
26
2.7.2. Keuntungan Implementasi Six Sigma Keuntungan dari penerapan Six Sigma akan berbeda untuk setiap peruahaan yang bersangkutan, tergantung pada usaha yang dijalankannya, biasanya ada perbaikan pada hal-hal berikut ini (Miranda, 2002) : 1. Pengurangan biaya 2. Perbaikan produktivitas 3. Pertumbuhan pangsa pasar 4. Pengurangan waktu siklus 5. Retensi pelanggan 6. Pengurangan cacat 7. Perubahan budaya kerja 8. Pengembangan produk/jasa
2.7.3. Istilah-Istilah Dalam Six Sigma Beberapa istilah yang sering digunakan dalam metode Six Sigma, yaitu : 1. Black Belt Meruapakan pemimpin (team leader) yang bertanggung jawab untuk pengukuran, analisis, peningkatan, dan pengendalian proses-proses kunci yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dan atau pertumbuhan produktivitas. Black Belt adalah orang yang menempati posisi pemimpin penuh waktu (fulltime position) dalam proyek Six Sigma. Calon Black Belt harus menguasai prinsip-prinsip statistika dan mahir dalam pengoperasian paket-paket software statistika, seperti: Minitab, Statgraphics, SPSS, dan lain-lain. 2. Green Belt Serupa dengan Black Belt, kecuali posisinya tidak penuh waktu (not full-time position). 3. Master Black Belt Guru yang melatih Black Belt, sekaligus merupakan mentor atau konsultan proyek Six Sigma yang sedang ditangani oleh Black Belt. Kriteria pemilihan atau kualifikasi dari seorang Master Black Belt adalah keterampilan analisis kuantitatif yang sangat kuat dan kemampuan mengajar serta memberikan konsultasi tentang manajemen proyek yang berhasil. Master Black Belt
27
merupakan posisi penuh waktu. Seorang Master Black Belt dapat menangani sekitar 25-30 orang Black Belt. 4. Champion Dalam struktur Six Sigma, Champion merupakan individu yang berada pada manajemen atas (top management) yang memahami Six Sigma dan bertanggung jawab untuk keberhasilan dari Six Sigma itu. Dalam organisai besar, Six Sigma akan dipimpin oleh individu penuh waktu, high level champion, seperti seorang Excecutive Vice-President. 5. Critical to Quality (CTQ) Adalah atribut-atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. 6. Defect Kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. 7. Defect Per Opportunity (DPO) Ukuran kegagalan yang dihitung dalam Program Peningkatan Kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula: DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan banyaknya unit yang diperiksa. Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities = DPMO. Jadi, DPMO = DPO x 1.000.000. 8. Defect Per Miliion Opportunities (DPMO) Ukuran kegagalan dalam Program Peningkatan Kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kagagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ (critical to quality) adalah hanya 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO).
28
9. Process Capability Kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. Process Capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 10. Variation Merupakan apa yang pelanggan lihat dan rahasiakan dalam proses transaksi antara pemasok dan pelanggan itu. Semakin kecil variation akan semakin disukai, karena menunjukkan konsistensi dalam kualitas. Variasi mengukur suatu perubahan dalam proses atau praktek-praktek bisnis yang mungkin mempengaruhi hasil yang diharapkan. 11. Stable Operation Jaminan konsistensi, proses-proses yang dapat diperkirakan dan dikendalikan guna meningkatkan apa yang pelanggan lihat dan rasakan, meningkatkan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. 12. Design for Six Sigma (DFFS) Suatu desain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan kemampuan proses (process capability). DFSS merupakan suatau metodologi sistematik yang menggunakan peralatan, pelatihan, dan pengukuran untuk memungkinkan pemasok mendesain produk dan proses yang memenuhi ekspektasi dan kebutuhan pelanggan, serta dapat diproduksi atau dioperasikan pada tingkat kualitas Six Sigma. 13. Define, Measure, Analyze, Improve and Control (DMAIC) Merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic, scientific and fact based). Proses closed-loop ini (DMAIC) menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
29
14. Six Sigma Suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang atau jasa). Suatu upaya yang terus menerus menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol). 2.8.
Metode Six Sigma
Six Sigma merupakan suatu metode yang didalam dalam proses implementasinya mempunyai
tahapan-tahapan
yang
harus
dilakukan
untuk
dapat
diimplementasikan. Secara umum tahapan itu adalah :
2.8.1. Define Fase Pertama DMAIC yang menentukan masalah, proses dan persyaratan pelanggan; karena siklus DMAIC iteratif, maka masalah proses, aliran dan persyaratan harus diverifikasi dan diperbaharui di sepanjang fase-fase yang lain guna untuk mendapatkan kejelasan (Pande, 2000). Tahap Definisi (Define Phase): terdiri dari tahapan identifikasi masalah/cacat produk, Pada tahap ini diidentifikasi dan didefinisikan produk atau proses yang nantinya akan menjadi kriteria penelitian dengan menggunakan metode Six Sigma. Kriteria yang dipilih yaitu kriteria presentase cacat untuk proses akibat kualitas buruk dalam memilih produk/proses paling bermasalah. Tahap ini menentukan harapan dari usaha perbaikan yang akan dilakukan pada tahap berikutnya, dan menjaga agar tetap berfokus pada persyaratan pelanggan terhadap produk. Output dari tahap ini adalah beberapa informasi mengenai kualitas kritis suatu produk (barang/jasa) yang disebut Critical to Quality (CTQ). Dari hasil survey dan wawancara yang dilakukan dengan bagian produksi dan bagian Quality Control, terdapat beberapa kategori jenis cacat pada beberapa proses untuk pembuatan produk Ballast Domestik TB 210 yang dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini :
30
Tabel 2.2 Kategori Jenis Cacat Ballast TB 210 No.
1
Proses
Winding
2
Assembling
3
Packing
Jenis Cacat (Masalah)
Keterangan
- Lost - Kawat Miring - Gemuk
Kekurangan Lilitan karena karena gulungan kawat habis Posisi Kawat tidak presisi dan terlalu miring Posisi alur kawat terlalu menumpuk ditengah
- Putus Awal
Kawat putus pada awal proses winding
- Putus Akhir
Kawat putus di akhir proses winding
- Bobbin Cacat (Bolong) - Kawat Terjepit - Kawat Putus - Kawat Kotor - Kontak - Ampere Tinggi - Ampere Rendah - Short - Noise - Kawat Putus - Kawat Kotor - Kontak - Ampere Tinggi - Ampere Rendah - Short - Noise - Layer Lepas
Bobbin tempat penggulungan kawat bocor (bolong) Posisi kawat terlalu minggir dan terjepit kawat lain Kawat putus saat produk dalam kondisi setengah jadi Terdapat kotoran pada kawat seperti oli dan karat Terjadinya hubungan antara kawat dengan bahan besi (Core) Nilai ampere pada produk berada di atas nilai standar Nilai ampere pada produk berada di bawah nilai standar Terjadinya hubungan antara kawat dengan kawat Terjadi bunyi jika saat produk dioperasikan Kawat putus saat produk dalam kondisi 100% Terdapat kotoran pada kawat seperti oli dan karat Terjadinya hubungan antara kawat dengan bahan besi (Core) Nilai ampere pada produk berada di atas nilai standar Nilai ampere pada produk berada di bawah nilai standar Terjadinya hubungan antara kawat dengan kawat Terjadi bunyi jika saat produk dioperasikan Lapisan pelindung kawat (layer) pada bobbin Lepas
Terdapat 3 kategori umum jenis ketidaksesuaian yang sering terjadi selama proses produksi. Ketiga jenis ketidaksesuaian tersebut dikategorikan secara umum kedalam setiap proses Winding, Assembling dan Packing. Pemeriksaan terhadap produk dapat dilakukan pada saat produk tersebut dalam keadaan setengah jadi dan dalam keadaan produk seratus persen. Pada saat proses produksi berlangsung pemeriksaan dapat dilakukan oleh operator yang bersangkutan.
2.8.2. Measure Pada Tahap ini dilakukan pengukuran terhadap proses yang terjadi untuk menentukan kemampuan perusahaan saat ini. Tahap measure ini berfungsi untuk memvalidasi atau menyaring masalah dan memulai meneliti akar masalah sasaran analyze (Pande, 2000). Tahap Pengukuran (Measure Phase) terdiri dari tahapan : 1. Peta Kontol (Control Chart) Peta kontrol adalah peta yang menunjukkan pergerakan atau variasi data dari waktu ke waktu. Suatu bagan kontrol terdiri atas suatu garis tengah yang diapit oleh batas kontrol atas dan kontrol bawah. Bagan kendali dapat digunakan untuk :
31
a) Membedakan variasi yang bersifat acak (random) terhadap variasi yang timbul akibat sebab-sebab tertentu. b) Memonitor terjadinya perubahan proses. c) Membantu menentukan sebab-sebab terjadinya suatu variasi. Bagan kendali Shewhart merupakan salah satu alat terpenting dalam pengendalian mutu secara statistik. Keunggulan dari bagan kendali Shewhart ini terletak pada kemampuan untuk memisahkan sebab-sebab terusut dari keragaman mutu. Ada 4 (empat) alat kerja statistik paling umum dalam pengendalian kualitas, yaitu : a) Bagan-bagan kendali Shewhart untuk karakteristik mutu yang terukur, yang dinyatakan sebagai bagan-bagan variabel atau sebagai bagan X dan R. b) Bagan kendali Shewhart untuk bagian yang ditolak, yang dinyatakan sebagai bagan p. c) Bagan kendali Shewhart untuk banyaknya ketaksesuaian per unit, yang dinyatakan sebagai bagan c. d) Bagian dari teori penarikan sampel yang berhubungan dengan proteksi mutu yang diperoleh dari prosedur penarikan sampel penerimaan. Dari alat kerja statistik untuk pengendalian kulaitas yang ada, dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis (Breyfogle, 2003), yaitu: a) Peta Kendali Variabel Peta Kendali Variabel ini digunakan untuk memeriksa kualitas suatu produk berdasarkan karakteristik yang terukur misalnya : dimensi, berat dan lain-lain. Yang termasuk dalam Peta Kendali Variabel adalah : Peta kendali X Peta kendali R Batas kendali yang umum digunakan adalah 3 sigma sehingga secara umum persamaan batas kendali dapat dirumuskan sebagai berikut : UCL x = x + 3σ LCL x = x − 3σ
32
(2.1)
b) Peta Kendali Atribut Peta Kendali Atribut digunakan untuk memeriksa kualitas suatu produk berdasarkan karakteristik yang tidak terukur misalnya jumlah cacat, warna dan lain-lain. Yang termasuk dalam Peta Kendali Atribut adalah : Bagan p Bagan p digunakan untuk bagian yang ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi. Bagan p merupakan rasio dari banyaknya barang yang tidak sesuai terhadap total barang yang diperiksa. Batas kendali untuk bagan kendali p adalah : UCL p = p + 3 LCL p = p − 3
p (1 − p ) ni p (1 − p )
(2.2)
ni
Bagan np Bagan np merupakan bagan kendali yang digunakan untuk banyaknya butir/unit yang tidak sesuai. Bagan np hanya digunakan untuk ukuran sampel yang sama.Batas kendali untuk bagan kendali np adalah : UCLnp = n p + 3 n p (1 − p ) LCLnp = n p − 3 n p (1 − p )
(2.3)
Bagan c Bagan c merupakan bagan kendali yang digunakan untuk banyaknya ketaksesuaian dalam suatu subgroup yang berukuran konstan. Bagan kendali c tidak terbatas pada satu jenis ketaksesuaian, bisa juga digunakan untuk berbagai macam ketaksesuaian yang diamati pada setiap unit produk.
33
Penentuan bagan kendali c didasarkan pada distribusi poisson. Asumsi yang digunakan adalah kesempatan munculnya ketaksesuaian banyak sekali dan munculnya ketaksesuaian pada satu titik kecil. Batas kendali untuk bagan kendali c adalah :
UCLc = c + c LCLc = c − c
(2.4)
Bagan u Bagan kendali u digunakan untuk banyaknya ketaksesuaian persatuan atau sejumlah unit yang ditolak dalam subgroup yang berukuran berbeda-beda. Batas kendali untuk bagan kendali u adalah : UCLu = u + LCLu = u −
3 u ni
(2.5)
3 u ni
2. Pengukuran Kemampuan Proses (Process Capability) Kemampuan proses adalah determinasi dari apakah sebuah proses, dengan variasi normal, mampu memenuhi persyaratan pelanggan: mengukur tingkat proses dalam memenuhi atau tidak memenuhi persyaratan pelanggan, dibandingkan dengan distribusi proses (Pande, 2000). Indeks yang digunakan untuk menyatakan kemampuan proses adalah Cp dan Cpk. Cp adalah ukuran dari sebaran data toleransi yang diperbolehkan, dibagi sebaran data 6 σ aktual. Sedangkan Cpk mempunyai perbandingan yang serupa dengan Cp, kecuali bahwa perbandingan tersebut dipilih berdasarkan pergeseran dari nilai rata-rata, realtif terhadap spesifikasi sentral target (Breyfogle, 2003). Dengan kata lain, Cp hanya digunakan untuk menunjukan range/jangkauan distribusi hasil. Sedangkan Cpk menggambarkan kemampuan proses untuk mencapai nilai spesifikasi target. Cp dan Cpk dinyatakan sebagai berikut:
34
Cp
= (USL –LSL) / 6 σ
(2.6)
CPU
= (USL - µ) / 3 σ
(2.7)
CPL
= (µ - LSL) / 3 σ
(2.8)
Cpk
= min (CPU ; CPL)
(2.9)
Dalam program Six Sigma Motorola, menyebutkan bahwa kondisi yang baik adalah nilai Cpk ≥ 1,5 dan nilai Cp ≥ 2, 267. 3. Menentukan CTQ (Critical to Quality) Critical to Quality (CTQ) adalah atribut–atribut yang sangat penting untuk diperhatikan, karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek– praktek yang berdampak langsung pada pelanggan. Berdasarkan data historis dan juga hasil wawancara dengan pihak perusahan, permasalahan yang sedang dihadapi oleh PT. Nikkatsu adalah tingginya jumlah cacat di lantai produksi pembuatan produk Ballast TB 210 terutama untuk proses winding. Sehingga jumlah cacat ini harus segera diatasi supaya tidak mengakibatkan kerugian yang besar bagi pihak perusahaan. Oleh karena itu dalam proyek akhir ini masalah yang menimbulkan dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan dicari faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan (defect) dengan menggunakan metode-metode Six Sigma. Sehingga masalah yang memiliki dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan dijadikan sebagai karakteristik kritis atau Critical To Quality (CTQ). Biayabiaya yang diperhitungkan antara lain: a) Besarnya biaya tenaga kerja. b) Besarnya biaya bongkar pasang. c) Besarnya biaya komponen yang terlibat.
35
4. Perhitungan Level Sigma Tahap ini mencakup perhitungan kemampuan proses (Process Capability Analysis) dengan menghitung DPMO (Defects per Million Opprtunities), dan Tingkat Sigma (Sigma Level) untuk menilai apakah proses yang menjadi karakteristik kritis (CTQ) mampu atau tidak memenuhi target spesifikasi yang telah ditentukan. Dengan data yang terkumpul dilakukan analisis kemampuan proses dengan langkah sebagai berikut: a) Menghitung Defect Per Opportunities (DPO) DPO = Jumlah Cacat / (Jumlah Produksi x CTQ Potensial)
(2.10)
b) Menghitung Defect Per Million Opportunities (DPMO) DPMO = DPO X 1.000.000
(2.11)
c) Menentukan Tingkat Sigma Tingkat sigma diperoleh dengan menerjemahkan DPMO ke nilai sigma dengan menggunakan tabel konversi DPMO ke nilai sigma berdasarkan konsep Motorola. Nilai sigma = Normsinv ((1.000.000-DPMO)/1.000.000) + 1,5 (2.12)
Level Sigma ditentukan melalui konversi nilai DPMO yang didapat ke nilai terdekat dari DPMO yang ada pada Nilai Sigma di Lampiran (hal. L-4) : Konversi DPMO ke Nilai Sigma Berdasarkan Konsep Motorola.
2.8.3. Analyze Pada tahap ini, detail proses akan diperiksa secara cermat untuk peluang-peluang perbaikan. Selain itu pada tahap ini, data diinvestigasi dan diverifikasi untuk membuktikan akar masalah yang diperkirakan dan memperkuat pernyataan masalah (Pande, 2000).
36
Tahap Analisis (Analyze Phase): terdiri dari tahapan analisis kapabilitas proses melalui performansi kualitas proses, mencari penyebab potensial permasalahan dengan menggunakan The Interrelationship Diagraph serta identifikasi faktor penyebab kecacatan yang mendapat prioritas (PFMEA). 1. Analisis Kapabilitas Melalui Performansi Kualitas Proses Tahap ini mencakup analisis kemampuan proses (Process Capability Analysis) dengan menghitung DPO, DPMO, dan Tingkat Sigma (Sigma Level) untuk menilai apakah prosesnya mampu atau tidak memenuhi target spesifikasi yang telah ditentukan dan juga ukuran DPO, DPMO, dan Sigma Level itu untuk mengetahui ukuran performansi perusahaan saat ini maupun setelah adanya proses perbaikan terhadap proses produksi pembuatan produk (barang/jasa). Berdasarkan pola data DPMO hasil perhitungan kemudian dilakukan analisis untuk membandingkan DPMO periode dengan DPMO proses dan juga dilakukan analisis berdasarkan pola data Level Sigma hasil perhitungan untuk membandingkan Level Sigma periode dengan Level Sigma proses. 2. Mencari Penyebab Permasalahan Melalui Interrelationship Diagraph. Setelah mengetahui kinerja saat ini, maka perlu dicari penyebab dan akar masalah yang mengakibatkan kecacatan atau kegagalan. Pengidentifikasian tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan brainstorming, dilanjutkan dengan menggambarkan The Interrelationship Diagraph dengan mengidentifikasikan faktor-faktor kunci/penyebab-penyebab mendasar, seperti format Gambar 2.7 berikut ini.
6
2
4
Problem 1
Problem 3
3
5 1
Causal Faktor 1
Problem 2
Gambar 2.7 Format The Interrelationship Diagraph
37
3. Identifikasi Faktor Penyebab Kecacatan yang mendapat Prioritas (PFMEA) PFMEA (Potential Failure Mode and Effect Analysis) adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah
potensial
(kegagalan).
Langkah-langkah
yang dapat
dilakukan untuk membuat PFMEA yaitu (Pyzdeck, 2002) : a. Mengidentifikasi proses atau produk/jasa. b. Mendaftarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul (Failure Modes). c. Beri skala pada masalah berdasarkan kerumitannya, kemungkinan terjadi atau kemampuan terdeteksi. Dengan menggunakan skala 1- 10, berikan skor pada masing-masing faktor untuk setiap masalah potensial. Masalahmasalah yang paling serius mendapatkan rating lebih tinggi. d. Menghitung RPN (Risk Priority Number) dan tindakan-tindakan yang diutamakan. Rating resiko keseluruhan diperoleh dengan mengalikan tiga skor bersama-sama. e. Melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu potential failure mode and effect analysis (Breyfogle,2003) : a. Potential Failure mode, menggambarkan keadaan dimana suatu bagian atau proses dapat gagal memenuhi spesifikasi yang diinginkan, dapat meliputi sebab potential failure mode di level tinggi atau rendah dari proses step tersebut. b. Potential effect(s) of failure, adalah pengaruh jika failure mode tidak dicegah atau diperbaiki. c. Potential Causes(s) of failure, menunjukan hal apa yang akan membuat komponen, proses atau produk gagal dalam usaha memenuhi apa yang diharapkan melalui potential failure mode. d. Severity (SEV),
pengaruh buruk yang merupakan suatu estimasi atau
perkiraan subyektif tentang bagaimana buruknya pelanggan akan merasakan akibat dari kegagalan tersebut. Pelanggan yang dimaksud bisa berarti pelanggan akhir dan atau proses operasi selanjutnya.
38
e. Occurance (OCC), adalah kemungkinan (likehood) yang merupakan suatu perkiraan subyektif tentang probabilitas atau peluang bahwa penyebab itu akan terjadi. f. Detection (DET), perkiraan subyektif tentang bagaimana kemampuan dari metode pencegahan atau deteksi menghilangkan failure mode. g. Current Design Control, merupakan identifikasi metode-metode yang ditetapkan untuk mencegah penyebab kegagalan terjadi. h. Risk Priority Number (RPN), merupakan kalkulasi angka resiko untuk suatu failure mode. RPN = SEV x OCC x DET
(2.13)
Nilai RPN terbesar menunjukan prioritas proses yang perlu mendapat penganan utama. Namun pertimbangan khusus perlu diberikan untuk peringkat severty yang tinggi, meskipun peringkat occurance dan detection-nya rendah. Rating Severity, Occurrence, dan detection dinyatakan kedalam skala dari 1 sampai dengan 10, untuk lebih spesifik tentang rating tersebut dapat dilihat pada halaman L-5 di lampiran.
2.8.4. Improve Improve adalah tahap dimana solusi-solusi dan ide-ide secara kreatif dibuat dan diputuskan. Peter S. Pande dalam bukunya ” The Six Sigma Way” menyatakan ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap improve ini yaitu (Pande, 2000): 1. Berkonsentrasi untuk melihat proses dalam cara yang baru 2. Menentukan kriteria kinerja untuk menganalisis rancangan 3. Memperbaiki dan meningkatkan proses secara iteratif 4. Melakukan uji coba proses dalam banyak fase ketika diperlukan Tahap Perbaikan (Improve Phase): terdiri dari tahapan identifikasi usulan pengambilan tindakan pengendalian terhadap solusi perbaikan.
39
1. Identifikasi Usulan Pengambilan Tindakan Pengendalian Terhadap Solusi Perbaikan Fase perbaikan mengkonfirmasikan solusi yang diusulkan untuk dapat memenuhi atau melampaui target perbaikan mutu atau kualitas produk. Dalam fase perbaikan, dilakukan test solusi yang diusulkan untuk memastikan bahwa penyebab variasi telah diatasi dan solusi akan signifikan bekerja jika diimplementasikan. Output dari fase ini berupa solusi yang diusulkan dan diimplementasikan
2.8.5. Control Control Berarti menjaga sebuah proses beroperasi dalam range variasi yang dapat diprediksi. Sasarannya adalah untuk memelihara kinerja yang baik dari sebuah proses yang stabil dan konsisten. Tahap control merupakan tahap dimana setelah solusi-solusi diimplementasikan maka ukuran-ukuran tidak terhenti untuk mengikuti dan memverifikasi stabilitas perbaikan dan prediktabilitas dari proses (Pande, 2000). Tahap Pengendalian (Control Phase): terdiri dari tahapan Pemetaan performansi kualitas melalui peta kontrol, Perhitungan performansi proses, perhitungan level sigma dan melakukan uji verifikasi untuk melihat adanya perbaikan hasil atau tidak setelah imlementasi. 1. Pemetaan Performansi Kualitas Melalui Peta Kontrol (Contol Chart) Pembuatan peta kendali harus dilakukan secara berkala setelah proses implementasi dilakukan. Dalam tahap control hasil pemetaan akan terlihat perubahan dari waktu ke waktu yang menunjukkan penyimpangan. Peta kendali yang akan digunakan adalah peta kendali p, dimana bagan p digunakan untuk bagian yang ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan
spesifikasi. 2. Perhitungan Performansi Proses Setelah dilakukan pemetaan performansi proses setelah implementasi kemudian dilakukan kembali pengujian kemampuan proses winding untuk mengetahui berapa indeks kapabilitas proses (Cp dan Cpk). Untuk mengetahui perkiraan
40
kemampuan
proses
ini,
data
pengukuran
diolah
dengan
menggunakan bantuan program Minitab versi 13.1 atau dengan menggunakan rumus manual pada rumus 2.6, 2.7, 2.8 dan 2.9. 3. Perhitungan Level Sigma Selanjutnya setelah dilakukan tahap perbaikan kemudian dilakukan kembali perhitungan level sigma untuk mengetahui kapabilitas proses. Setelah nilai kapabilitas proses implementasi diperoleh dan mengalami peningkatan, maka selanjutnya akan dibuktikan dalam uji proporsi. Dengan data yang terkumpul dilakukan perhitungan paramater kualitas dengan langkah-langkah seperti rumus 2.10, 2.11, serta 2.12. 4. Uji Verifikasi Uji verifikasi ini dimaksudkan untuk melihat adanya perbaikan hasil atau tidak sebelum perbaikan dengan sesudah perbaikan dengan menggunakan uji selisih proporsi.
2.9.
Data Jumlah Cacat
Dalam proses Winding (Proses pelilitan kawat pada Bobbin), terdapat 7 jenis cacat yang sering terjadi (Berdasarkan standar pengujian Quality Control), berikut adalah jumlah cacat yang terjadi selama semester ke-1 pada tahun 2008.
Tabel 2.3 Data Jumlah Cacat Proses Winding No.
Jenis Cacat
Proses
(Masalah) - Lost - Kawat Miring
Winding 1
- Gemuk - Putus Awal - Putus Akhir - Bobbin Cacat (Bolong) - Kawat Terjepit
Total Cacat (Unit) Total Produksi (Unit) Presentase (%)
Total
Bulan keJanuari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
persemester
28 0 5 3 0 3 0 39 5753 0.68
35 5 3 2 0 0 0 45 6350 0.71
15 0 2 0 0 0 0 17 5100 0.33
43 20 0 0 0 0 0 63 12326 0.51
52 15 0 2 5 0 2 76 9480 0.80
93 30 7 1 0 6 5 142 19620 0.72
266 70 17 8 5 9 7 382 58629 0.65
Untuk proses Assembling (Perakitan), terdapat 7 kategori jenis cacat yang paling sering terjadi. Pada tabel 2.4 dapat dijelaskan jumlah cacat yang terjadi selama semester 1 2008.
41
Tabel 2.4 Data Jumlah Cacat Proses Assembling No.
Jenis Cacat
Proses
Assembling 2
(Masalah) - Kawat Putus - Kawat Kotor - Kontak - Ampere Tinggi - Ampere Rendah - Short - Noise
Total Cacat (Unit) Total Produksi (Unit) Presentase (%)
Total
Bulan keJanuari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
persemester
0 0 3 3 2 0 0 8 5035 0.16
2 0 0 4 3 0 0 9 5024 0.18
0 4 0 2 0 1 0 7 4964 0.14
0 2 0 0 0 0 3 5 3575 0.14
0 6 0 0 0 0 0 6 7003 0.09
40 41 0 0 0 0 0 81 24479 0.33
42 53 3 9 5 1 3 116 50080 0.23
Dalam proses Packing (pengepakan), terdapat 8 jenis cacat yang sering terjadi (Berdasarkan standar pengujian Quality Control), berikut adalah jumlah cacat yang terjadi selama semester ke-1 pada tahun 2008.
Tabel 2.5 Data Jumlah Cacat Proses Packing No.
Jenis Cacat
Proses
Packing 3
(Masalah) - Kawat Putus - Kawat Kotor - Kontak - Ampere Tinggi - Ampere Rendah - Short - Noise - Layer Lepas
Total Cacat (Unit) Total Produksi (Unit) Presentase (%)
2.10.
Total
Bulan keJanuari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
persemester
5 0 0 3 0 2 0 2 12 1989 0.60
0 3 0 0 0 0 2 7 12 2056 0.58
0 0 0 5 2 0 0 2 9 1980 0.45
0 2 0 0 0 0 7 5 14 2770 0.51
3 0 5 7 0 0 0 29 44 6320 0.70
0 4 6 23 10 0 0 13 56 17960 0.31
8 9 11 38 12 2 9 58 147 33075 0.44
Rumusan Permasalahan
Untuk membantu perusahaan dalam meminimasi tingginya jumlah cacat pada produk Ballast domestik TB 210, maka diperlukan suatu alat pengendalian kualitas yang mampu meminimasi jumlah cacat yang terjadi pada perusahaan saat ini. Hingga saat ini proses pemeriksaan pada proses produksi ballast TB 210 dibagi menjadi 3 pemeriksaan yaitu pada proses Winding, Assembling, dan Packing. Dari hasil pengumpulan data kecacatan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2008, diperoleh persentase kecacatan terbesar yaitu pada stasiun kerja Winding yaitu sebesar 0.65 %. Untuk membantu perusahaan dalam pelaksanaan pengendalian kualitas pada stasiun kerja Winding untuk perioda semester 1 tahun
42
2008 maka penulis akan menggunakan alat pengendalian mutu secara statistika dengan menggunakan Six Sigma yang diharapkan akan membantu kelancaran proses produksi perusahaan, serta meningkatkan kualitas produk sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan oleh PT. Nikkatsu dan para konsumen. Six Sigma dapat dikatakan sebagai metode yang berfokus pada proses dan pencegah cacat (defect). Pencegahan cacat dilakukan dengan cara mengurangi variasi yang ada dalam setiap proses dengan menggunakan teknik-teknik statistika yang sudah dikenal secara umum. Oleh karena itu dalam penelitian tugas akhir ini masalah yang menimbulkan dampak biaya akibat cacat yang terbesar akan dicari faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan (defect) dengan menggunakan metode Six Sigma. Sehingga kegagalan yang terjadi dapat dikendalikan dan jumlahnya dapat dikurangi dan pada akhirnya dapat dihilangkan.
2.11.
Unit Analisis Penelitian
Unit analisis yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini difokuskan pada produk yang dipasarkan secara domestik dan masalah yang dihadapi perusahaan pada saat ini yaitu terjadinya sejumlah cacat pada produk Trafo Ballast TB 210. Dengan adanya sejumlah cacat yang terjadi pada saat ini tentunya akan merugikan perusahaan dalam hal waktu, biaya, bahan baku dan tenaga kerja. Supaya pembahasan yang dilakukan dapat lebih terarah maka pembatasan permasalahan sangat perlu dilakukan. Adapun batasan-batasanya adalah sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada Departemen Quality Control dan Departemen Produksi. 2. Proses Pengambilan data dilaksanakan melalui sistem dokumentasi data perusahaan, survey, dan wawancara. 3. Pemeriksaan kualitas dilakukan berdasarkan standar pengujian kualitas perusahaan. 4. Data jumlah pemeriksaan hanya dilakukan pada bulan Juni 2008. 5. Penelitian yang dilakukan tidak dibahas mengenai biaya yang dikeluarkan untuk melakukan usulan perbaikan.
43
2.12.
Tujuan Penelitian
Selama melaksanakan penelitian di perusahaan, terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengetahui jenis cacat apa saja yang sering terjadi pada proses pembuatan produk Ballast TB 210. 2. Membantu perusahaan dalam upaya mengurangi sejumlah cacat yang terjadi pada proses Winding melalui penerapan metode Six Sigma. 3. Pemenuhan target perusahaan dalam upaya mengurangi persentase kecacatan untuk jenis cacat Lost sampai dengan 0,3 %. 4. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan adanya sejumlah cacat Lost pada proses Winding. 5. Menentukan tindakan perbaikan yang sesuai untuk mengurangi adanya sejumlah cacat Lost pada proses Winding.
44