BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS 2.1
Kondisi Industri Jasa Telekomunikasi Indonesia
Teknologi telekomunikasi saat ini telah memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi telekomunikasi berperan sebagai perangkat yang sangat efektif untuk mengubah efisiensi dan keefektifan interaksi manusia. Oleh karena itu, teknologi telekomunikasi saat ini berkembang menjadi salah satu area bisnis yang menjanjikan.
Industri jasa telekomunikasi di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1. Industri telekomunikasi kabel (wireline), dikelola sepenuhnya oleh dua badan usaha milik negara (BUMN) yakni PT Indosat untuk Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang kemudian melakukan duopoli dengan PT Satelindo, serta PT Telkom untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) maupun lokal. 2. Industri telekomunikasi nirkabel (wireless), dengan penetapan pemerintah dikelola oleh beberapa BUMN dan operator swasta.
Kondisi terakhir menunjukan bahwa industri telekomunikasi nirkabel berkembang jauh lebih pesat dibandingkan pesaingnya di industri telekomunikasi kabel. Bahkan operator telekomunikasi kabel sudah berpaling ke teknologi telekomunikasi kabel tetap (fixedwireless) untuk meningkatkan penetrasi pasarnya. Dengan beberapa perubahan kondisi dalam negeri, seperti munculnya teknologi baru, pergantian rezim politik, dinamika sosial masyarakat, serta desakan perluasan atau perubahan preferensi pasar, industri telekomunikasi diperkirakan masih memiliki kinerja yang cukup mengesankan.
Diantara negara-negara Asean maupun negara-negara di kawasan Asia Pasifik, penetrasi telepon tetap di Indonesia sampai 2004 masih sangat rendah, sekitar 4,5 telepon per 100 penduduk, sementara wilayah Asean sekitar 6,6 telepon per 100 penduduk. Pada pertengahan tahun 2005, jumlah pelanggan telepon tetap mencapai 12,1 juta sambungan telepon atau teledensitasnya sekitar 4,7. Dari total 12,1 juta sambungan, sekitar 71% merupakan sambungan kabel dan sisanya berupa sambungan nirkabel tetap (fixedwireless). Pertumbuhan sambungan kabel tetap periode Juni 2004 - Juni 2005 tercatat meningkat sebesar 2,5%, sementara pertumbuhan sambungan nirkabel tetap sebesar 366% (Economic review, juni 2006). Kondisi terakhir menyatakan bahwa telendesitas total (kabel dan nirkabel) sebesar 35% (KOMPAS, 15 Mei 2007). Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan sepanjang 2005-2009,
7
pertambahan telepon sambungan tetap akan mencapai 18,82 juta satuan sambungan telepon (SST). Dari jumlah tersebut 68,18% akan dikerjakan oleh PT Telkom, sisanya oleh PT Indosat 17,27% dan PT Bakrie Telecom 14,55%.
Jika dibandingkan dengan sarana telekomunikasi lainnya, perkembangan industri telepon seluler tercatat paling pesat. Dalam kurun waktu lima tahun (2000-2005), industri telepon seluler mengalami pertumbuhan sebesar 45,52% per tahun. Sementara itu Internet menempati urutan kedua dengan pertumbuhan 31,06% per tahun, sedangkan telepon tetap hanya 7,52%. Peningkatan jumlah pelanggan telepon seluler dalam lima tahun terakhir di Indonesia, menurut kalangan operator seluler, tidak terlepas dari murahnya harga kartu perdana prabayar dan pasca bayar saat ini, sehingga masyarakat mampu membelinya baik dari kalangan pelajar, ibu rumah tangga maupun karyawan.
Berdasarkan laporan dari lembaga Portio Research, Indonesia termasuk dalam jajaran negara dengan pertumbuhan industri seluler paling tinggi di dunia. Pada kurun waktu tahun 2006 sampai dengan 2011, Indonesia diperkirakan akan berada di peringkat tiga setelah India dan China. Pasar telepon seluler di dalam negeri memiliki potensi yang sangat besar karena industri telekomunikasi Indonesia merupakan yang terkuat di Asia Pasific. Dengan potensi pasar sedemikian besar, maka operator-operator telekomunikasi saling bersaing untuk mengembangkan bisnisnya masing-masing.
2.2
Kondisi Industri Perangkat Telekomunikasi Indonesia
Pada pertengahan 1970-an, dengan dipelopori oleh dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sebuah perusahaan swasta nasional, generasi pertama dari industri perangkat telekomunikasi muncul di Indonesia. Ketiga perusahaan ini tumbuh dengan pesat, baik dari sisi bisnis maupun teknologi. Pertumbuhan pesat tersebut didukung/disebabkan oleh kebijakan Pemerintah saat itu yang mewajibkan para pemasok teknologi dari luar bekerjasama dengan salah satu dari ketiga industri lokal tersebut.
Pada tahun 1980-an, kebijakan Pemerintah untuk mengadopsi teknologi digital switching dan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dengan dibentuknya Kementerian Upaya Peningkatan dan Pemberdayaan Produk Dalam Negeri (UP3DN), mendorong lahirnya gelombang kedua industri perangkat telekomunikasi dimulai pada tahun 1980-an. Kelompok yang termasuk dari generasi kedua ini adalah Hariff, CMI, EN, Citra, Nusa, Bakrie, dan Telnic.
8
Setelah mengalami pertumbuhan sampai 1980-an, industri perangkat telekomunikasi Indonesia mengalami kemunduran pada 1990-an. Pertumbuhan industri perangkat telekomunikasi tidak sebanding/relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan industri jasa telekomunikasi. Beberapa faktor seperti deregulasi pemerintah dalam dukungannya terhadap industri perangkat telekomunikasi, kurangnya alih teknologi, dan ketergantungan industri perangkat telekomunikasi terhadap bahan baku impor, menyebabkan stagnasi dan berkurangnya kemampuan industri perangkat telekomunikasi untuk mengembangkan diri. Antiklimaks dari perkembangan industri perangkat telekomunikasi di Indonesia terjadi pada akhir 1990-an, yaitu ketika terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Berdasarkan temuan organisasi Masyarakat Telematika (MASTEL), saat ini industri perangkat telekomunikasi di Indonesia sebagian besar sedang dalam tahap bertahan hidup, melakukan restrukturisasi, atau beralih fokus ke bidang lain.
2.3
Isu Bisnis PT. Hariff Daya Tunggal Engineering
Dua jenis industri yang diuraikan pada dua sub-bab pertama pada bab ini merupakan sebagian komponen penyusun value chain dari industri telekomunikasi. Industri perangkat telekomunikasi merupakan salah satu pemasok bagi industri jasa telekomunikasi. Meskipun rantai bisnisnya sangat dekat, kedua industri ini tidak berbagi kondisi yang sama.
Pada satu sisi, industri jasa telekomunikasi saat ini sedang berkembang dengan pesat. Jumlah end-user dari produk telekomunikasi meningkat secara drastis dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun terdapat teknologi mulai kurang diminati, tetapi teknologi lain dapat menggantikannya. Pertumbuhan total industri jasa telekomunikasi mencapai dua digit dan potensi pasarnya masih sangat besar. Jumlah operator telekomunikasi masih memungkinkan untuk terus bertambah.
Sementara itu, seperti yang telah diuraikan pada sub-bab 2.2, industri perangkat telekomunikasi Indonesia saat ini dalam kondisi kurang baik. Meski peluang untuk berkembang dengan pesat sangat besar, industri perangkat telekomunikasi lokal masih belum dapat memanfaatkannya. Industri perangkat lokal masih seringkali kalah bersaing dengan pesaing-pesaing yang menyediakan produk-produk luar.
9
Hariff, sebagai salah satu komponen dalam industri perangkat telekomunikasi, mengalami kendala yang serupa. Tekanan dari pihak pemasok, pesaing, dan pelanggan dirasakan sangat besar dan berpengaruh besar dalam aktivitas bisnisnya. Meskipun daya serap pasar terhadap produk-produk Hariff relatif besar untuk ukuran industri lokal, posisi tawar Hariff terhadap pihak pemasok dan pelanggan masih sangat rendah.
Salah satu upaya untuk tetap bertahan dalam persaingan, Hariff menerapkan strategi 100% service level policy. Dengan strategi tersebut, untuk sementara ini, Hariff berhasil untuk memantapkan posisinya dan berkembang menjadi semakin besar. Dampak positif dari strategi ini sangat besar. Seiring dengan ”booming” yang dialami oleh industri telekomunikasi beberapa tahun kebelakang, Hariff pun mengalami perkembangan yang serupa. Seperti yang telah diilustrasikan dalam Gambar 1.2, pada awal tahun 2000-an Hariff tumbuh dengan pesat.
Meski perkembangan ini, secara keseluruhan, bergerak secara positif, akan tetapi timbul kendala dalam internal perusahaan. Strategi perusahaan, yang selama ini diterapkan dan dianggap berhasil, adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan loyalitas pelanggan, melakukan penetrasi pasar, dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih baik.
Dalam prakteknya strategi ini seringkali menempatkan Hariff ke dalam posisi yang sulit. Pelanggan seringkali memberikan order yang sulit untuk dilaksanakan, namun bagi Hariff jauh lebih sulit untuk ditolak. Salah satu faktor penyebabnya adalah orientasi perusahaan yang dulu bersifat project-based, sehingga pelanggan menganggap Hariff sebagai problem-solver bagi setiap permasalahan dengan kondisi apapun.
Faktor lain yang menyebabkan kendala internal Hariff adalah fokus dari top management untuk mengembangkan ukuran (size) perusahaan sehingga sangat menekankan pada pertumbuhan pendapatan penjualan. Kecenderungan terakhir menunjukkan bahwa top management lebih menyukai untuk melakukan diversifikasi.
Beberapa penyesuaian telah dilakukan agar tetap kompetitif sekaligus dapat memperbaiki kinerja perusahaan. Selain restrukturisasi organisasi perusahaan, salah satu penyesuaian yang cukup besar dampaknya adalah perubahan orientasi produksi. Hariff yang sejak pendiriannya berorientasi project-based, kini berupaya melakukan peralihan menjadi make-to-stock. Peralihan yang mulai diterapkan pada semester akhir tahun 2006 ini masih
10
belum memperlihatkan dampak yang signifikan, bahkan beberapa divisi masih mengalami kesulitan untuk beradaptasi.
2.3.1
Value Chain PT. Hariff Daya Tunggal Engineering
Internal value chain Hariff saat ini masih cenderung bersifat project-based, dimana order yang diterima oleh Divisi Marketing & Sales tidak langsung diproses oleh Divisi Operasi, akan tetapi harus melewati Divisi Teknik yang bertugas untuk melakukan analisa dan perancangan dari order tersebut. Selain itu, value chain Hariff juga masih memiliki rantai project implementation karena setiap order dianggap sebagai proyek baru, setiap order harus dipasang serta dipastikan berfungsi dengan baik, dan setiap order harus disiapkan jadwal pemeliharaan serta perbaikan untuk beberapa waktu ke depan.
Dengan memodifikasi konsep value chain (Porter, 1985), Hariff membagi value chain-nya menjadi tiga rantai proses besar, seperti ditampilkan dalam Gambar 2.1, yaitu Management Process, Core Process, dan Support Process. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perancangan, pemetaan, analisa, dan perbaikan dari masing-masing proses. Uraian dari masing-masing value chain adalah sebagai berikut. 1. Peta value chain Management Process adalah gambaran dari kebijakan Hariff dalam upaya pemberian pedoman, pengawasan, dan pengembangan. Rantai-rantai proses yang terlibat antara lain yaitu: •
Strategic Management,
•
Business & Product Development Management,
•
Sales Management,
•
Quality & Environmental Management,
•
Risk Management, dan
•
Accounting & Controling.
Meski Hariff telah memetakan setiap Management Process, tidak semua berjalan semestinya. Sebagian masih dalam tahap penyusunan, pengembangan, dan perbaikan. Diantara yang telah berjalan dan dinilai telah berjalan dengan semestinya adalah Business & Product Development Management dan Accounting & Controling. Business & Product Development Management bahkan telah berhasil mengembangkan beberapa bisnis baru dan menambahkan value-add pada beberapa produk generic.
11
12
2. Peta value chain Core Process adalah rantai utama penciptaan nilai bagi perusahaan. Value chain Core Process Hariff terdiri dari tiga proses yang berjalan paralel, yaitu Project Realization Management, Order-Fulfillment Management, dan Service Support Management. Pembagian value chain Core Process ini dilakukan karena Hariff tidak hanya menyediakan produk-produk infrastruktur telekomunikasi, akan tetapi juga memberikan jasa implementasi dan pemeliharaan. Value chain OrderFulfillment Management yang terlibat yaitu: •
Marketing & Sales,
•
Teknik (Engineering),
•
Production Planning & Inventory Control,
•
Procurement,
•
Production,
•
Quality Control Process,
•
Logistic,
•
Project Planning,
•
Implementation Process, dan
•
After Sales Support.
Dengan rantai value chain seperti yang diulas diatas, orientasi operasi Hariff yang masih
bersifat
project-based
sangat
terlihat
pada
rantai
Order-Fulfillment
Management. Tidak seperti konsep value chain Porter, value chain Order-Fulfillment Management Hariff tidak melibatkan inbound logistic. 3. Peta value chain Support Process adalah pemetaan proses pendukung dari Core Process. Rantai-rantai proses yang terlibat yaitu: •
Information Technology (IT) Management,
•
Human Resources Management,
•
Finance & accounting,
•
Assets management, dan
•
Enterprise Resource Planning (ERP) Implementation.
2.3.2
Proses Bisnis Utama PT. Hariff Daya Tunggal Engineering
Proses bisnis utama dari Hariff adalah proses order-fulfillment dimana proses dimulai dari penerimaan order dan berakhir setelah order tersebut diimplementasikan. Proses ini dinilai sebagai proses utama karena output proses ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan nilai
13
proses pemeliharaan atau implemntasi yang diterima Hariff. Selain itu proses ini juga menyita sebagian besar sumber daya yang dimililiki Hariff.
Produk akhir dari proses order-fulfillment ini adalah Power System untuk Base Tranciever System (BTS) dari operator-operator telekomunikasi. Meskipun sebenarnya cukup rumit dan melibatkan berbagai divisi, proses-proses yang menyusun proses order-fulfillment ini, secara garis besar dijelaskan sebagai berikut. 1. Penerimaan order Proses ini merupakan tahap paling awal dari proses bisnis utama Hariff. Input dari proses ini adalah order yang diterima dari pelanggan, sedangkan outputnya adalah work-order untuk divisi Operasi. Process Owner dari proses ini adalah divisi Marketing. 2. Perhitungan kebutuhan Pada proses ini berlangsung pemeriksaan ketersediaan barang yang sesuai order, perencanaan pengadaan barang, perencanaan jadwal produksi, dan melakukan pengontrolan tingkat inventori. Process Owner dari proses ini adalah divisi Production, Planning, and Inventory Control (PPIC). 3. Produksi Selain melaksanakan jadwal produksi, pada proses ini juga terjadi distribusi pembagian jumlah produksi antara produksi internal dengan produksi yang dilakukan oleh sub-kontraktor. Process Owner dari proses ini adalah divisi Produksi. 4. Outbound Logistic Pada proses ini berlangsung aktivitas-aktivitas penerimaan dan penyimpanan barang hasil produksi, serta pengaturan pengiriman barang. Process Owner dari proses ini adalah divisi Gudang. 5. Implementasi Proses ini merupakan tahap akhir dari proses order-fulfillment. Setelah dilakukan pengiriman ke tempat proyek bersangkutan, barang tersebut diinstalasi. Process Owner dari proses ini adalah divisi Project.
Selain proses-proses diatas, terdapat dua proses pendukung dari proses order-fulfillment, yaitu: 1. Pengadaan Barang Aktivitas utama dari proses ini adalah pembelian bahan baku. Process Owner dari proses ini adalah divisi Purchasing.
14
15
2. Inbound Logistic Pada proses ini berlangsung aktivitas-aktivitas penerimaan dan penyimpanan bahan baku. Process Owner dari proses ini adalah divisi Gudang.
Selain proses order-fulfillment, terdapat pula beberapa proses bisnis lain yang menunjang kelangsungan bisnis dan operasi Hariff. Proses-proses tersebut diantaranya adalah 1. supply chain process, 2. sales & marketing process, 3. assets management process, 4. recruitment process, 5. human resources management process, 6.
financing & budgeting process,
7. accounting & controlling process, 8. strategic management process, 9. business & product development process, 10. quality & environmental management process, 11. risk management process, 12. IT management process, dan 13. ERP Implementation process.
Meski sebagian besar proses bisnis telah dipetakan dan dibakukan, seringkali terjadi bypass pada proses bisnis tersebut. Salah satu proses yang paling sering terjadi perlakuan ini adalah proses order-fulfillment. Proses by-pass ini seringkali menyebabkan keterlambatan dokumen order dan pada akhirnya menyebabkan panjangnya cash cycle perusahaan. Proses by-pass juga dapat mengganggu jadwal produksi dan jadwal implementasi proyek/order lainnya. Selain itu, dengan semakin panjangnya cash cycle perusahaan, likuiditas perusahaan menjadi terganggu dan pada akhirnya berimbas pada proses pengadaan barang. Kebijakan pengadaan barang yang berlaku di Hariff saat ini adalah pembelian independent (karena tidak ada kontrak kerjasama dengan pemasok), berdasarkan kebutuhan setiap order dan hanya dilakukan bila tersedia dana.
Oleh karena itu saat ini Hariff memfokuskan untuk memperbaiki kinerja proses orderfulfillment. Beberapa upaya telah dilakukan, diantaranya adalah BPR/BPM Project dan ERP Implementation. Mengingat pelaksanaannya baru berjalan satu tahun, dan belum
16
terlaksananya audit yang komprehensif, maka dampak positif dari upaya perbaikan ini belum dapat dirasakan dan malah cenderung dinilai menambah beban kerja.
2.4
Identifikasi Permasalahan
Penelusuran akar masalah ini merupakan identifikasi awal. Sudut pandang yang digunakan hanya sudut pandang internal yang menilai kondisi internal perusahaan, pasar eksisting dan pemasok yang langsung dihadapinya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan, beberapa masalah berhasil diidentifikasi. Masalah-masalah tersebut tersebar di seluruh divisi dan saling berkaitan. Oleh karena itu, sebagai salah satu langkah awal penyelesaian masalah, perlu dilakukan eksplorasi yang mendalam agar masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan.
Cara yang dipakai dalam proyek akhir ini adalah Current Reality Tree (CRT). Metoda ini dipilih karena dapat mengeksplorasi suatu masalah yang teridentifikasi di permukaan dan keterkaitannya dengan masalah lain sehingga dapat menelusurinya sampai ke akar permasalahannya. Metoda ini juga memudahkan penyusunan skala prioritas dalam penyelesaian masalah dan mempermudah pemilihan metoda yang dapat dipakai untuk menyelesaikannya.
Penelusuran masalah di Hariff dimulai dari masalah-masalah yang muncul di permukaan. Masalah-masalah tersebut adalah (a) error yang cukup besar antara forecast dengan realisasi kontrak, (b) sistem dokumentasi yang kurang baik, (c) order dadakan dengan delivery date yang sangat pendek, (d) demand yang semakin sulit diprediksi, (e) sering terjadinya stockout, dan (f) keterlambatan pembayaran kontrak.
Penelusuran ini berujung dengan identifikasi dua masalah utama dan satu akar masalah. Masalah utama yang berhasil teridentifikasi adalah lokasi pemasok yang berasal dari luar negeri dan pelatihan/wawasan karyawan. Sementara itu, akar dari lebih 80% masalah yang dihadapi berasal dari penyesuaian ketat antara sumber daya perusahaan dengan kebutuhan pasar. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelusuran ini adalah bahwa permasalahan terjadi pada product line DC power system.
17
Gambar 2.3 Current Reality Tree Hariff
18
2.5
Usulan Pemecahan Masalah
Banyak cara untuk menjawab tantangan bisnis global. Peningkatan/perbaikan kinerja suatu perusahaan dapat dilakukan baik secara terintegrasi maupun terdistribusi di masingmasing divisi. Selama ini Hariff masih melakukan perbaikan secara parsial dan perbaikan ini terkonsentrasi pada proses.
Merujuk pada penelusuran masalah pada sub-bab 2.4, proses bukan merupakan akar masalah, melainkan penyesuaian secara ketat antara sumber daya perusahaan dengan kebutuhan pasar. Upaya penyesuaian ini telah menempatkan Hariff dalam posisi yang lemah karena dinamika kebutuhan pasar sangat sulit diprediksi. Apabila kebutuhan pasar berubah, maka sumber daya pun harus menyesuaikannya secara cepat dan tepat. Meskipun demikian, bukan berarti kebijakan ini sepenuhnya keliru, karena telah terbukti dapat mempertahankan eksistensi perusahaan.
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di Hariff, diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif. Pendekatan yang diambil harus dapat berdampak positif bagi seluruh bagian di perusahaan, baik secara horisontal, maupun vertikal. Pendekatan tersebut juga harus dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, yaitu kepentingan korporat/bisnis, pasar/lingkungan, bagian lain dari perusahaan yang berkaitan, dan kepentingan operasional.
Dengan persyaratan-persyaratan yang dipaparkan diatas, formulasi strategi operasi merupakan alternatif paling logis untuk diterapkan di Hariff saat ini. Pilihan ini berdasarkan pada pertimbangan kemudahan penyusunan serta pelaksanaan, jumlah kebutuhan penambahan sumber daya, tingkat resiko yang akan dihadapi, dan dampak positif yang akan dihasilkan.
Dalam formulasi strategi operasi, terdapat beberapa faktor pertimbangan seperti digambarkan pada Gambar 2.4. Faktor-faktor tersebut adalah seperti penjelasan dibawah ini. •
Kondisi lingkungan serta Strategi korporat dan bisnis Faktor ini adalah pendefinisian tujuan/target perusahaan untuk menyikapi keadaan lingkungan bisnis. Tujuan/target perusahaan, yang dipaparkan lebih dalam strategi korporat dan bisnis perusahaan, merupakan pedoman dalam penyusunan strategi operasi.
19
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Strategi Operasi Sumber: diolah dari Slack&Lewis, 2002
•
Kebutuhan/persyaratan pasar Faktor ini merupakan kondisi spesifik dari pasar yang dilayani perusahaan dan merupakan analisa yang lebih mendalam berdasarkan segmentasi, target pasar, dan positioning perusahaan.
•
Sumber daya operasi Faktor ini merupakan sumber daya operasi yang dimiliki oleh perusahaan, tidak hanya terpaku pada satu bagian tertentu dari perusahaan saja. Faktor ini merupakan alat yang dapat digunakan dan dikontrol utuk mencapai tujuan/target perusahaan.
•
Pengalaman operasional Faktor ini merupakan alat penyesuaian agar strategi yang tersusun dapat tetap sesuai dengan kondisi terkini.
Dengan dasar-dasar pertimbangan diatas, maka diharapkan strategi operasi yang tersusun akan sesuai dengan keadaan lingkungan terkini dan dapat menjabarkan strategi korporat & bisnis perusahaan serta dapat mencapai visi serta objektif perusahaan, dengan mengoptimalkan sumber daya perusahaan dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pasar, namun tetap fleksibel terhadap perubahan.
20