BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS 2.1 Conceptual Framework Isu utama yang menjadi dasar pemikiran penulisan tugas akhir ini adalah “Bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan yang telah diberikan oleh RSU Bina Sehat selama ini?”. Kualitas pelayanan ini dipengaruhi oleh beberapa fakor baik dari dalam (internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal). Faktor internal meliputi segala kekuatan dan kelemahan sumber daya yang dimiliki oleh RSU Bina Sehat yaitu Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Fisik dan Sumber Daya Keuangan. Faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, kondisi sosial ekonomi, kebutuhan konsumen dan persaingan industri rumah sakit. Dengan segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (faktor internal), RSU Bina Sehat diharapkan dapat menangkap peluang yang ada sekaligus mempertahankan diri dari potensi ancaman (faktor eksternal). Seluruh faktor‐faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan RSU Bina Sehat dapat dilihat dalam kerangka pemikiran konseptual awal pada Gambar 2.1 berikut. Kerangka pemikiran ini ditentukan dengan melakukan studi pustaka serta wawancara dengan berbagai pihak terutama pihak manajemen RSU Bina Sehat.
15
Persaingan Industri Rumah Sakit
Kebijakan Pemerintah
RSU Bina Sehat Sumber Daya Manusia
Kebutuhan Konsumen
Sumber Daya Keuangan
Kondisi Sosial Ekonomi
Sumber Daya Fisik
Kualitas Pelayanan RSU Bina Sehat
Gambar 2.1 Skema Peta Pemikiran Konseptual
2.2 Analisis Situasi Bisnis Strategi Bisnis sebuah perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal perusahaan yang berupa peluang (opportunities) dan ancaman (threats) serta lingkungan internal perusahaan yaitu segala kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang dimilikinya. Analisis lingkungan eksternal meliputi analisis lingkungan mikro (industri) dan analisis lingkungan makro. Analisis lingkungan internal meliputi sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan.
16
2.2.1 Analisis Lingkungan External Perusahaan 2.2.1.1 Analisis Lingkungan Mikro (Analisis Industri) Menurut Porter (1985), setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi lingkungan sebuah industri. Faktor‐faktor tersebut adalah potensi ancaman masuknya pemain baru, kekuatan tawar menawar dari pemasok dan pembeli, ancaman adanya jasa pengganti dan para pesaing yang juga bergerak dalam industri yang sama (Gambar 2.2). Potential Entrants
Threats of New Entrants
Bargaining Power of Suppliers
Industry Competitors
Suppliers
Buyers Rivalry Among Existing Firms
Bargaining Power of Buyers
Threats of other Substitute Products or Services
Substitutes
Gambar 2.2 Porter’s 5 Forces
Ancaman Pemain Baru ‐ Masuknya pemain baru ke dalam industri menambah intensitas persaingan. Kapasitas dalam indutri menjadi bertambah dan menyedot konsumen sehingga para pemain lama akan menderita penyusutan pangsa pasar. Belum lagi bila terjadi perang harga yang memperparah penyusutan profit perusahaan. 17
Ancaman masuknya pemain baru dipengaruhi oleh seberapa besar penghalang untuk masuk (barriers to entry) yang ada. Salah satu penghalang terbesar di dalam industri rumah sakit adalah besarnya modal usaha (Capital Requirements). Dalam industri rumah sakit, penyediaan modal awal (starting capital) dibutuhkan cukup besar untuk mendirikan fasilitas‐fasilitas medis terutama yang berkaitan dengan teknologi kedokteran. Investasi seperti ini juga cukup beresiko mengingat sifatnya yang spesifik dan memiliki nilai jual kembali (salvage value) yang rendah. Penghalang lainnya adalah diferensiasi produk/jasa. Pelayanan medis yang ditawarkan oleh sebuah rumah sakit serupa dengan layanan rumah sakit lainnya. Pemain baru relatif sulit untuk mendapatkan keunggulan dari diferensiasi produk/jasa. Ancaman Produk dan Jasa Pengganti ‐ Produk atau jasa pengganti adalah produk atau jasa yang memiliki fungsi yang sama dengan produk atau jasa industri dimaksud. Jasa layanan medis berupa layanan pengobatan mengalami ancaman dari jasa pengobatan alternatif seperti pengobatan dengan metoda tusuk jarum, refleksi dan tenaga dalam. Pengobatan alternatif menawarkan harga yang relatif lebih murah dibandingkan pengobatan medis. Umumnya pengobatan alternatif lebih banyak diminati oleh kalangan menengah ke bawah dengan taraf pendidikan yang rendah. Produk farmasi juga mengalami ancaman serupa dari obat‐obatan tradisional seperti obat dari ekstrak tumbuhan (herbal) dan jejamuan. Kekuatan Tawar Menawar Pemasok dan Pembeli – Pasokan penting terhadap operasional rumah sakit terdiri atas obat‐obatan, peralatan medis dan tenaga. Kesediaan pasokan obat‐obatan dan peralatan medis termasuk banyak. Di industri mereka sendiri, persaingan cukup ketat. Pendekatan personal pemasok kepada manajemen rumah sakit serta ketatnya persaingan harga memberikan keuntungan bagi pihak rumah sakit. Mengenai tenaga, 18
pasokan tenaga medis perawatan relatif banyak, akan tetapi pada tenaga medis dokter khusunya yang memiliki kemampuan spesialis dan subspesialis relatif sedikit. Begitu juga sama halnya dengan tenaga medis non‐perawatan. Pesaing Industri ‐ Hingga saat ini, terdapat 2 rumah sakit umum yang berlokasi di Bandung Selatan berdekatan dengan RSU Bina Sehat. Rumah Sakit Al‐Ihsan yang berlokasi di Bale Endah, memiliki kapasitas sebanyak 139 tempat tidur. Al‐Ihsan menawarkan layanan medis yang lebih lengkap dari pada RSU Bina Sehat antara lain adalah spesialis jantung, jiwa dan bedah plastik. Fasilitas penunjung medik pun lebih lengkap antara lain adalah CT Scanning, Mammografi, ESWL, Echo Kardiografi, EEG, Colonoscopy dan Laparoscopy. Kemudian Rumah Sakit Sartika Asih milik Kepolisian Republik Indonesia. Sartika Asih yang memiliki kapasitas 150 tempat tidur juga menawarkan layanan spesialis jiwa dan jantung yang tidak dimiliki oleh RSU Bina Sehat. Dari sisi fasilitas penunjang medik, RSU Bina sehat menawarkan fasilitas yang serupa dengan Sartika Asih. Berbeda dengan RSU Bina Sehat yang memfokuskan targetnya pada segmen bawah, kedua rumah sakit ini bermain pada semua segmen. Hal ini memberikan keuntungan bagi RSU Bina Sehat yang bermain pada satu segmen untuk lebih memusatkan pengembangan strategi bisnisnya (focus). Dari sisi kebijkan tarif, RSU Bina Sehat melakukan pembandingan (benchmarking) dengan kedua rumah sakit ini untuk tetap mempertahankan perletakannya (positioning) sebagai rumah sakit rendah biaya (lowfare hospital). Salah satu komitmen pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas adalah program Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin). Program ini berlaku bagi seluruh rumah sakit pemerintah, TNI/POLRI dan rumah sakit yang bekerja sama dengan PT. Askeskin 19
termasuk di antaranya adalah Al‐Ihsan. Bagi masyarakat golongan ekonomi mengengah ke bawah, biaya perawatan dan pengobatan gratis di rumah sakit bisa jadi merupakan alternatif utama dalam pemilihan rumah sakit yang ditujunya. RSU Bina Sehat yang belum menerima pasien Askeskin tentunya mengalami kerugian berupa hilangnya sebagian pangsa pasar. 2.2.1.2 Analisis Lingkungan Makro Analisis lingkungan makro meliputi kondisi sosial ekonomi, kondisi sosial dan kebijakan pemerintah, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3 berikut. Government
The Industry Environment Suppliers New entrants Substitutes Customers Competition
Social Structure & Demography
Economies
Gambar 2.3 Faktor Lingkungan Makro
Kondisi Sosial ‐ Kabupaten Bandung merupakan kabupaten di Jawa Barat dengan jumlah penduduk paling banyak dan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Dengan luas wilayah 3.022,65 m2 dan total penduduk 4,399,128 jiwa, Kabupaten Bandung menempati posisi kabupaten ketiga terpadat di Jawa Barat setelah Cirebon dan Bekasi, yaitu 1,411 km2/orang dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3.07% (BPS Provinsi Jawa Barat 2006).
20
Selain dari kependudukan, parameter lain yang penting untuk dikaji dalam melihat gambaran umum kondisi sosial antara lain adalah apresiasi masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan kualitas hidup. Pendidikan menjadi jembatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkorelasi dengan tingkat kemakmuran. Untuk taraf pendidikan, warga Kabupaten Bandung memiliki tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan formal yang relatif rendah. Angka Partisipasi Sekolah (Tabel 2.1) menurut penggolongan usia pendidikan menunjukkan bahwa inisatif masyarakat untuk menyekolahkan anggota keluarganya hingga tahap perguruan tinggi masih sangat rendah. Mayoritas warga Kabupaten Bandung hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar sederajat (39.24%) sementara jumlah lulusan universitas atau lebih hanya sebanyak 1.65% (Tabel 2.2). Tabel 2.1 Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten Bandung (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Kelompok Usia Usia Usia Usia Usia
7-12 13-15 16-18 19-24
Tidak/Belum Sekolah n 12,327 -
% 2.24 0 0
Masih Sekolah n 531,079 220,922 129,420 42,086
% 96.36 80.44 57.81 9.01
Tidak Sekolah Lagi n % 7,763 1.41 53,729 19.56 94,449 42.19 424,808 90.99
Jumlah n 551,169 274,651 223,869 466,894
% 100 100 100 100
Tabel 2.2 Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Kabupaten Bandung Menurut Ijazah Terakhir (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Ijazah Terakhir Tidak/Belum Pernah Sekolah
Jumlah
%
59,371
1.68%
688,567
19.51%
1,384,830
39.24%
SLTP/MTs Sederajat
737,511
20.90%
SLTA Sederajat
449,574
12.74%
SM Kejuruan
94,415
2.68%
DI/DII
31,328
0.89%
DIII/ Sarmud
25,443
0.72%
DIV/ Universitas Ke atas
58,279
1.65%
3,529,318
100.00%
Tidak/Belum Tamat SD SD/MI
21
Rendahnya tingkat pendidikan warga Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, rendahnya tingkat pemasukan keluarga relatif terhadap biaya pendidikan. Dilihat dari kecenderungannya, terdapat keinginan yang cukup besar untuk menyekolahkan anggota keluarga hingga ke tahap pendidikan menengah atas atau kejuruan. Akan tetapi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, faktor biaya menjadi penghalang utama bagi keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah. Sebagai konsekuensinya, mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dan masuk ke dalam angkatan kerja. Kedua, masih ada anggapan bahwa tingkat pendidikan tidak menjamin perbaikan taraf hidup. Anggapan seperti ini biasa terjadi dalam keluarga dengan orang tua yang memiliki pengalaman pendidikan yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Dari keseluruhan jumlah rumah tangga di Kabupaten Bandung yang memiliki balita, tercatat sebanyak 322,261 (95.62%) rumah tangga memeriksakan anggota keluarganya ke tenaga kesehatan dan mayoritas dari mereka memeriksakan kehamilannya setiap bulan (Tabel 2.3). Tercatat pula bahwa sebanyak 48.88% rumah tangga mengeluarkan biaya kesehatan perbulan lebih dari Rp. 150.000,00 (Tabel 2.4). Statistik ini menunjukkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat akan pentingnya kesehatan cukup tinggi terutama yang berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, bayi, dan balita. Tabel 2.3 Frekuensi Rumah Tangga yang Memeriksakan Bumil ke Tenaga Kesehatan (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Trimester I II III
22
< 2 kali 65,285 28.48% 36,115 15.76% 22,225 9.70%
2 kali 44,450 19.39% 56,951 24.85% 52,784 23.03%
≥ 3 kali 119,459 52.12% 136,127 59.39% 154,185 67.27%
Jumlah 229,194 100% 229,194 100% 229,194 100%
Tabel 2.4 Golongan Pengeluaran Kesehatan PerKapita Perbulan (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Golongan Pengeluaran Kesehatan PerKapita Perbulan 30,000 s.d. 39.999 678 5.23%
40,000 s.d. 59.999 1,119 8.62%
60,000 s.d. 79.999 1,178 9.08%
80,000 s.d. 99.999
100,000 s.d. 149.999
> 150,000
1,499 11.55%
2,159 16.64%
6,343 48.88%
Rata-rata Per Kapita 5,399
Dari persentase penolong kelahiran bayi (Tabel 2.5), hanya sebesar 8.87% yang ditolong oleh dokter dan 47.13% oleh bidan. Persentase ini menunjukkan bahwa peluang bagi RSU Bina Sehat masih cukup besar dalam menjemput pasar terutama dari golongan penolong bidan. Koordinasi yang baik antara bidan‐bidan dan pihak rumah sakit dapat menolong sosialisasi keberadaan RSU Bina Sehat dan menciptakan potensi pasar baru mengingat RSU Bina Sehat juga memfokuskan segmennya pada kelas bawah yang dilayani oleh para bidan. Tabel 2.5 Persentase Penolong Kelahiran di Jawa Barat (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Penolong Kelahiran Dokter Bidan Paramedis Lain Dukun Famili/Lainnya
% 8.87% 47.13% 0.64% 41.84% 1.52%
Kondisi Ekonomi ‐ Perekonomian di Kabupaten Bandung didominasi oleh tiga sektor dengan persentase yang relatif berimbang yaitu sektor industri 25.97%, pertanian 24.04% dan perdagangan 21.04%. Sementara sektor jasa menempati urutan keempat hanya dengan 10.72%. (Tabel 2.6) Tingkat Partispasi Angkatan Kerja pada tahun 2006 sebesar 52.65% dengan perbandingan TPAK laki‐laki sebesar 72.61% dan perempuan 32.35%. Hal ini menunjukkan bahwa peran laki‐laki masih mendominasi angkatan kerja di
23
Kabupaten Bandung. Akan tetapi apabila dilihat dari kecendurangan perubahan komposisi TPAK, peran perempuan dalam angkatan kerja juga semakin bertambah. Pada tahun 2005 komposisi TPAK laki‐laki berbanding TPAK perempuan adalah 74.33% berbanding 30.88%. Hal ini disebabkan oleh keterpaksaan perempuan untuk masuk ke angkatan kerja yang merupakan akibat dari tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga (Penyusunan Data Suseda Provinsi Jawa Barat 2006). Tabel 2.6 Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung berdasarkan Lapangan Pekerjaan (Sumber: Survey Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2006) Mata Pencaharian Pertanian
Jumlah
%
370,889
24.04%
9,668
0.63%
400,590
25.97%
5,391
0.35%
Konstruksi
111,881
7.25%
Perdagangan
324,610
21.04%
Angkutan & Komunikasi
134,343
8.71%
14,592
0.95%
165,324
10.72%
5,319
0.34%
1,542,607
100.00%
Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air
Keuangan Jasa Lainnya
Kebijakan Pemerintah ‐ Pada awalnya, rumah sakit di Indonesia hanya boleh dikelola oleh pemerintah daerah dan yayasan. Akan tetapi sejak tahun 1992, pemerintah merubah kebijakan mengenai pihak yang berwenang dalam kepemilikan dan pengelolaan rumah sakit. Pihak swasta menjadi diperbolehkan untuk terjun dalam industri ini. Dan pada tahun 1997, pemerintah mengizinkan pihak swasta asing untuk berinvestasi di dalam industri ini walaupun pemerintah membatasi kepemilikan saham pihak asing maksimal 5% dan pada 2004 menjadi maksimal 49%.
24
Berdasarkan data statistik (Tabel 2.7) Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PDPERSI), rata‐rata pertumbuhan tahunan jumlah rumah sakit di Indonesia selama kurun waktu 10 tahun sejak 1997 hingga 2006 adalah sebesar 1.87%. Berdasarkan kepemilikannya, rumah sakit yang memiliki pertumbuhan paling tinggi adalah rumah sakit milik swasta dengan rata‐rata pertumbuhan tahunan sebesar 2.85%. Tingginya pertumbuhan rumah sakit milik swasta dibandingkan dengan yang lain disebabkan oleh privatisasi industri rumah sakit yang dilakukan oleh pemerintah. Tabel 2.7 Jumlah Rumah Sakit di Indonesia Berdasarkan Kepemilikan (Sumber: Data Statistik PDPERSI Desember 2007) Kepemilikan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah Rumah Sakit Umum Depkes Propinsi/Kab/Kota TNI / POLRI DEP LAIN / BUMN Swasta
15 327 111 69 351
15 330 112 68 363
14 325 110 68 370
14 328 110 68 390
14 330 110 70 411
Depkes Propinsi/Kab/Kota TNI / POLRI DEP LAIN / BUMN Swasta
45 30 2
45 30 1
45 30 1
45 29 1
17 56 1
140
148
148
160
169
14 332 110 70 427
14 339 110 71 432
2005
2006
13 348 110 71 434
13 365 110 71 436
13 377 110 71 441
18 56 2 7 187
18 56 2 7 190
18 56 2 7 197
Jumlah Rumah Sakit Khusus 17 57 2 8 178
17 57 2 7 185
Pertumbuhan jumlah rumah sakit khususnya milik swasta diperkirakan akan lebih tinggi lagi pada tahun 2010 mengingat industri rumah sakit adalah salah satu sektor jasa yang akan diliberalisasi oleh pemerintah. Pada saat itu, pihak asing diperbolehkan untuk memiliki saham rumah sakit hingga 100%. Semenjak 3 September 2007, pemerintah menetapkan Standarisasi Tarif Pelayanan Rumah Sakit. Kebijakan ini berlaku bagi unit kelas 3 pada seluruh rumah sakit pemerintah. Kebijakan ini pula disusul dengan standarisasi tarif bagi kelas 2 pada Desember 2007. Kebijakan ini memberi manfaat yang besar 25
bagi masyarakat terutama kelas bawah. Pengajuan biaya pelayanan kesehatan melalui Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) menjadi dipermudah. 2.2.2 Analisis Lingkungan Internal Perusahaan Generic Competitive Strategies dari Porter (1985) mengatakan bahwa terdapat tiga strategi generik dalam memperoleh sustained competitive advantage, yaitu Cost Leadership, Differentiation dan Focus. Strategi Cost Leadership menekankan pada rendahnya biaya operasional sementara Differentiation menekankan pada keunikan produk atau jasa yang ditawarkan dan Focus menekankan pada pemusatan perhatian terhadap kelompok, segmen atau geografis tertentu.
Gambar 2.4 Three Generic Strategies
Bila dilihat dari pendekatan strategi generik, RSU Bina Sehat berada dalam daerah irisan strategi Overall Cost Leadership dan Focus. RSU Bina Sehat memposisikan dirinya sebagai low‐fare hospital. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan tarif yang ditetapkan oleh RSU Bina Sehat. Tarif yang diberlakukan secara umum relatif lebih murah dibandingkan dengan tarif yang diberlakukan oleh rumah sakit lainnya. Pada strategi Focus, RSU Bina Sehat
26
lebih mentargetkan kepada konsumen dari golongan menengah ke bawah. Di samping itu, pada saat ini RSU Bina Sehat lebih memfokuskan pada konsumen yang berdomisili di wilayah Bandung sesuai visinya yaitu menjadi rumah sakit bedah dan kandungan unggulan di wilayah Bandung Selatan. Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh RSU Bina Sehat adalah sumber daya manusia khususnya pada Staf Medis Fungsional. Studi terdahulu mengenai tingkat kepuasan pelanggan (Rina Nuraeni, Tingkat Kepuasaan Pasien Rawat Rumah Sakit Umum Bina Sehat, 2006) menunjukkan bahwa pada dimensi keandalan (reliability) yang meliputi ketepatan waktu kunjung dokter, kesigapan personalia dalam menangani pasien, ketepatan waktu kontrol perawat dan keterampilan personalia mencapai tingkat kepuasan sebesar 78.9%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat respon positif para konsumen terhadap personel RSU Bina Sehat dari sudut pandang profesionalitas. Pada dimensi ketanggapan (responsiveness) yang meliputi respon personel ketika datang ke ruang rawat inap, respon personel dalam menjawab pertanyaan serta kejelasan petugas dalam menyampaikan informasi memperoleh tingkat kepuasan pelanggan sebesar 77.49%. Dimensi lainnya yaitu dimensi kepedulian (empathy) memperoleh tingkat kepuasan sebesar 77.08%. Hasil survey ini menunjukkan bahwa para pasien cukup puas dengan pelayanan yang diberikan oleh RSU Bina Sehat dan ini merupakan cerminan dari keberhasilan RSU Bina Sehat dalam menerapkan disiplin nilai keintiman terhadap kustomer (customer intimacy). Untuk meningkatkan sumber pendapatannya, RSU Bina sehat mengadakan kerjasama dengan berbagai perusahaan (business to business). Bentuk kerja sama yang dijalankan berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan para 27
pegawai perusahaan. Hingga saat ini sebanyak 30 perusahaan masih menjalin kerjasama dengan RSU Bina Sehat. Dari total keseluruhan, 12 di antaranya menjalin kontrak kerjasama dan 18 lainnya bersifat insidentil (Maret 2008). Selain kegiatan usaha, RSU Bina Sehat juga mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan di wilayah setempat. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk corporate social responsiblity RSU Bina Sehat yang sejalan dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. Kegiatan tersebut antara lain yang pernah dilaksanakan pada tahun 2007 adalah penyuluhan dan konsultasi mengenai kesehatan lingkungan, gizi bayi dan balita serta khitanan massal bagi warga di sekitar wilayah rumah sakit. Salah satu kelemahan yang dimiliki oleh RSU Bina Sehat adalah sumber daya teknologi khususnya alat kedokteran. Penanaman modal baru pada alat kedokteran menjadi wacana di RSU Bina Sehat terutama antara kalangan SMF dan pihak manajemen. Pihak SMF yang berkepentingan menginginkan adanya pembaharuan dan penambahan alat kedokteran tertentu demi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan. Sementara pihak manajemen masih belum menganggap investasi baru pada alat kedokteran sebagai hal yang mendesak. Yang menjadi alasan manajemen untuk menunda pengadaan fasilitas medis yang padat modal adalah pertama, RSU Bina sehat masih dapat melayani kebutuhan dari segmen yang ditargetkannya. Kedua, penanaman modal pada alat kedokteran memberikan risiko yang besar mengingat nominalnya yang relatif besar. Target pasar yang dituju oleh RSU Bina Sehat adalah segmen bawah dengan margin yang relatif rendah. Investasi yang kurang tepat sasaran dikhawatirkan berdampak pada rendahnya tingkat pengembalian investasi (Return On Investment, ROI). Dan apabila sebagian biaya investasi harus dibebankan pada konsumen, maka dapat merusak positioning RSU Bina Sehat sebagai low‐fare hospital. 28
Kelemahan lain yang ditemukan di lapangan adalah mengenai peningkatan keterampilan bagi para perawat. Program pengembangan tenaga masih dirasakan kurang oleh para perawat. RSU Bina Sehat sendiri sebetulnya selalu mengikutsertakan program pelatihan bagi pawa perawat akan tetapi realisasinya masih tidak sesuai dengan harapan para perawat terutama yang berkaitan dengan sertifikasi. Hal ini juga berkaitan dengan kebijakan RSU Bina Sehat dalam mengalokasikan dana pengembangan bagi para staf. Kelemahan lain yang juga ditemukan di lapangan adalah mengenai sistem evaluasi kinerja. Pelaksanaan evaluasi kinerja masih belum dirasakan efektif bagi para perawat terutama dalam rangka peningkatan keterampilan. 2.2.3 Analisis SWOT Berdasarkan analisis mengenai lingkungan internal perusahaan, untuk mengidentifikasi strengths dan weaknesses; dan analisis lingkungan eksternal perusahaan, untuk mengidentifikasi opportunities dan threats maka dapat ditentukan Matriks SWOT seperti terilhat pada Gambar 2.5 berikut. Strengths (Kekuatan) Kualitas SDM (Staf Medis Fungsional). Keberhasilan penerapan disiplin nilai customer intimacy. Pelaksanaan kegiatan Corporate Social
Weaknesses (Kelemahan) Fasilitas fisik (tangibles) terutama pada alat kedokteran Kebijakan mengenai pengembangan staf Kebijakan mengenai evaluasi kinerja
Responsiblity. Penerapan B2B Marketing. Opportunities (Kesempatan)
Threats (Ancaman)
Apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap
Kebijakan pemerintah yang
kesehatan terutama ibu dan anak. Segmen menengah ke atas yang belum disasar oleh RSU Bina Sehat.
mempermudah proses pembayaran dengan Askeskin. Potensi ancaman masuknya rumah sakit swasta terutama asing dengan adanya liberalisasi industri rumah sakit.
29
Gambar 2.5 Matriks SWOT RSU Bina Sehat
2.3 Akar Permasalahan Permasalahan yang dihadapi oleh RSU Bina Sehat berkaitan dengan tingkat kualitas jasa dapat dilihat melalui telusuran masalah seperti pada Gambar 2.6 berikut.
Gambar 2.6 Penelusuran Akar Permasalahan 30