BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1.
Kerangka Pemikiran Corporate Social Responsibility (CSR)
Banyak perusahaan telah menggeser paradigmanya dengan merubah orientasi seluruh kegiatan perusahaan yang dahulu hanya berorientasi pada profit, dimana aktifitas apapun harus ditakar dari sudut menambah keuntungan finansial secara langsung bagi perusahaan, dirubah dengan menambahkan orientasi pada tanggung jawab legal kepada pemerintah dan tanggung jawab yang bersifat sosial pada masyarakat sekitar. Kesadaran tentang pentingnya mempraktekkan CSR di Indonesia, menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan. Di samping itu, beberapa peristiwa penting yang terjadi belakangan ini, turut menyadarkan sejumlah perusahaan akan arti penting penerapan CSR. Peristiwa PT. Freeport Indonesia di Papua, peristiwa TPST Bojong di Bogor, peristiwa PT. Newmont di Buyat, atau bahkan yang lebih fenomenal yaitu peristiwa lumpur panas di ladang migas PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo. Pada peristiwa-peristiwa tersebut perusahaan dibuat ekstra sibuk, karena mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit bahkan terhenti operasionalnya akibat adanya komplain masyarakat.
Dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keungannya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkunganya. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait lainnya, termasuk dimensi sosial dan lingkungan. Fakta telah menunjukkan bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahan yang dianggap tidak memperhatikan faktor sosial dan lingkungan. Menghadapi tren tersebut, perusahaan mulai melihat serius pengaruh dimensi sosial, dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.
17
Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial dan lingkungan ini, perusahaan memang perlu memiliki pandangan bahwa CSR adalah investasi masa depan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sebagai sentra laba (profit centre) di masa mendatang.
Saung Angklung Udjo sebagai salah satu perusahaan yang sudah melaksanakan CSR dengan baik, masih memiliki beberapa kendala pada penerapan CSR-nya. (Taufik Hidayat Udjo, Wawancara Pribadi, 15/04/2008). Sehingga pada saat sekarang ini isu bisnis yang dihadapi oleh Saung Angklung Udjo adalah : “Bagaimana memperbaiki dan mengembangkan model CSR yang lebih baik bagi SAU, menjadikannya sebagai model percontohan CSR bagi industri pariwisata di Jawa Barat, serta menggunakan model CSR tersebut sebagai pembangkit jati diri bangsa ?”
Perbaikan dan pengembangan model CSR pada SAU dapat dilakukan dengan cara menyederhanakan konsep CSR yang selama ini sudah dijalankan oleh SAU dalam bentuk sebuah model. SAU sendiri sebenarnya sudah memakai konsep Kemitraan Tripartit, hanya saja pihak SAU belum menyadari konsep apa yang sedang dipakai dan masih belum disederhanakan menjadi sebuah model. Langkah selanjutnya adalah melakukan penyempurnaan model CSR pada SAU dan melengkapinya dengan mengacu pada konsep Good Coporate Governance (GCG), konsep Sustainable Development, dan Konsep Triple Bottom Line.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan model CSR pada SAU digambarkan dalam kerangka pemikiran di bawah ini.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Model CSR 18
2.1.1. Konsep Kemitraan Tripartit Upaya perusahaan dalam meningkatkan perannya dalam pembangunan kesejahteraan lingkungan membutuhkan sinerji multipihak yang solid dan baik. Karena sangatlah tidak mungkin apabila persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini hanya diselesaikan oleh salah satu pihak. Sinergi yang paling diharapkan adalah, adanya kemitraan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Sinergi ini biasa disebut Kemitraan Tripartit.
2.1.2. Perusahaan Perusahaan selain berpacu mengejar profit sebesar-besarnya dan mendorong laju perekonomian, juga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang optimal untuk masyarakat sekitar. Dalam hal ini SAU sebagai pelopor seni dan budaya di Jawa Barat, sudah mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar. Selain menyerap sekitar 70 orang masyarakat sekitar sebagai pegawai tetapnya, SAU juga turut melibatkan masyarakat sekitar dalam hal pembuatan angklung dengan menggunakan dua buah rumah penduduk sebagai workshop pembuatan angklung. Hal ini dilakukan SAU dengan tulus tanpa khawatir adanya peniruan terhadap produk-produk SAU.
Gambar 2.2. Sosialisasi Budaya Angklung Pada Anak-Anak Salah satu bentuk CSR tulus lainnya adalah mensosialisasikan budaya angklung pada anak-anak usia dini, dengan harapan anak-anak ini akan mampu menguasai budaya angklung dan tidak melupakan budaya bangsanya sendiri. Di tahun 2008 tercatat 400 anak-anak sebagai keluarga besar SAU. SAU selain memperbolehkan anak-anak untuk belajar mengenai serba-serbi angklung, juga memberikan beasiswa serta memberikan santunan yang merupakan itikad baik perusahaan untuk meringankan beban perekonomian masyarakat sekitar. Banyaknya minat masyarakat sekitar untuk turut serta berpartisipasi merupakan masalah tersendiri bagi SAU. Keadaan infrastruktur yang tidak lagi memadai, masalah dana untuk memperluas area pariwisata, dan minimnya perhatian PEMDA terhadap SAU, membuat SAU membatasi jumlah pekerjanya. 19
2.1.3.Pemerintah Pemerintah memiliki peran yang sangat menentukan dalam membangun usaha yang kondusif dan tidak manipulatif. Diharapkan beberapa upaya yang dilakukan perusahaan dalam membangun nilai-nilai sosial dan lingkungan yang berkelanjutan mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, baik dari sisi fasilitasi maupun dari sisi regulasinya.
Pertumbuhan aktivitas pariwisata dewasa ini secara jelas menunjukkan bahwa, pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling menjanjikan dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah. Berdasarkan press
release
yang
dikeluarkan
Departemen
Kebudayaan
dan
Pariwisata
(depbudpar.go.id, 2006), Jumlah kunjungan internasional mengalami peningkatan yang sangat luar biasa, dari sekitar 25 juta wisatawan pada tahun 1950, menjadi sekitar 806 juta wisatawan pada akhir tahun 2005. Pemicu utamanya adalah kemakmuran dunia yang terus berlanjut, terjadinya peningkatan pendapatan, dan juga pengaruh lainnya seperti pengembangan berkelanjutan pada penerbangan berbiaya rendah yang menyebabkan fasilitas transportasi yang tersedia bagi wisatawan menjadi lebih banyak.
Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang berkenaan dengan pengaturan kedatangan wisatawan asing ke Indonesia. Hasilnya adalah 11 negara memperoleh fasilitas Bebas Visa untuk Kunjungan Singkat (BVKS), yang diatur dalam Keppres No.103/2003 yang menggantikan Keppres No.18/2003. Sesuai dengan Keppres tersebut, pemerintah juga memberikan fasilitas Visa pada Saat Kedatangan (Visa on Arrival / VoA) kepada 63 negara. Kebijakan ini membuat sektor pariwisata kembali bergairah, dikarenakan wisatawan asing menjadi lebih mudah memperoleh visa pada saat berkunjung ke Indonesia.
Tabel 2.1. Negara yang Memperoleh Bebas Visa untuk Kunjungan Singkat (BVKS) Brunei Darussalam Chili Filipina Hong Kong SAR (Daerah Administrasi Khusus) Makao SAR Malaysia
Maroko Peru Singapura Thailand Vietnam
Sumber: http://www.budpar.go.id/page.php?ic=630&id=181, 2006.
20
Tabel 2.2. Negara yang Memperoleh Fasilitas Visa pada Saat Kedatangan (Visa on Arrival) Afrika Selatan Aljazair Amerika Serikat Argentina Australia Austria Bahrain Belanda Belgia Brazilia Bulgaria Czech Denmark Estonia Fiji Finlandia Hungaria India Iran Irlandia Islandia
Italia Jepang Jerman Kamboja Kanada Korea Selatan Kuwait Laos Latvia Libya Liechtenstein Lithuania Luxemburg Maladewa Malta Meksiko Mesir Monako Norwegia Oman Panama
Polandia Portugal Prancis Qatar Republik Rakyat Cina Rumania Rusia Saudi Arabia Selandia Baru Siprus Slovakia Slovenia Spanyol Suriname Swedia Swiss Taiwan Tunisia Uni Emirat Arab United Kingdom Yunani
Biaya: 7 hari: US$ 10 30 hari: US$ 25 Sumber: http://www.budpar.go.id/page.php?id=184&ic=630, 2006.
Berdasarkan press release yang dikeluarkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (depbudpar.go.id, 2007), “VoA bagi wisatawan Rusia yang berkunjung ke Indonesia telah mendorong meningkatnya arus kunjungan wisatawan dari negeri tersebut ke Indonesia, sehingga di tahun 2006 melonjak tajam hingga 99.06% mencapai 34,116 wisatawan dari tahun sebelumnya, dan peringkatnya meningkat ke posisi 9 dari keseluruhan wisatawan Amerika dan Eropa yang berkunjung ke Indonesia.”. Fenomena tersebut merupakan bukti bahwa regulasi pemerintah sangat mempengaruhi tingkat jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.
Perhatian lainnya yang ditunjukkan oleh pemerintah pada sektor pariwisata dapat dilihat pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 sebagai berikut : “…mengembangkan pariwisata melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.” Pelaksanaan GBHN selanjutnya dituangkan dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
21
Pada Bab VIII Propenas dijelaskan bahwa, basis pengembangan pariwisata adalah potensi sumber daya keragaman budaya, seni, dan alam (pesona alam). Pengembangan sumber daya tersebut dikelola melalui pendekatan peningkatan nilai tambah sumber daya secara terpadu antara pengembangan produk pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengembangan pariwisata (community-based tourism development). Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Salah satu sasaran yang ingin dicapai melalui Propenas adalah mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Pada Bab IX Propenas dijelaskan juga bahwa, pemerintah melaksanakan program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi, dan rehabilitasi sumber daya alam untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam (hutan, laut, air, udara, dan mineral), dan lingkungan hidup. Pelaksana kegiatan pariwisata dapat mendukung usaha pemerintah ini melalui strategi pengembangan jasa pariwisata yang berwawasan lingkungan di berbagai kawasan yang memiliki ekosistem berciri khusus.
Selain itu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), sebagai unsur pemerintah yang bertanggung jawab atas bidang budaya dan pariwisata telah membuat Rencana Strategis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Renstra Budpar) 2005-2009. Rencana strategis ini menunjukkan suatu keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mengembangkan pariwisata di Indonesia.
Walaupun pemerintah sudah memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan pariwisata di Indonesia, namun pada kenyataannya konsep pariwisata budaya di Indonesia masih mengalami banyak kendala baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Kendala tersebut terutama terletak pada masalah-masalah substansial seperti esensi pariwisata budaya itu sendiri, pengembangan produk, pasar dan pemasaran, serta dampaknya bagi berbagai lapisan masyarakat.
22
Kompleksitas masalah tersebut pada intinya bersumber pada belum adanya kebijakan yang terpadu yang dapat dijadikan landasan atau pedoman bagi strategi pengembangan dan teknis pelaksanaan pariwisata budaya dalam kerangka pembangunan kepariwisataan nasional. Oleh karena itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menganggap perlu dan mendesak untuk segera melakukan kajian atas berbagai masalah berkenaan dengan pariwisata budaya.
Berdasarkan pada isu-isu strategis tersebut dan urgensinya bagi kepentingan kepariwisataan nasional, maka salah satu program kegiatan kelitbangan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata adalah melakukan kajian atas berbagai kebijakan lintas sektoral yang berkaitan langsung atau tidak langsung terhadap pengelolaan kepariwisataan di Indonesia. Dengan pendekatan ilmiah, diharapkan konsep research-base policy dapat diimplementasikan ke dalam penyusunan kebijakan strategis dan teknis-operasional kepariwisataan nasional. Salah satu kegiatan yang menunjang kajian tersebut adalah mengadakan diskusi panel yang terkait dengan kebijakan Pengembangan Pariwisata budaya.
Dalam rangka mengantisipasi pengembangan pariwisata budaya ke depan, Puslitbang Kebudayaan dan Pariwisata dengan strategi Research Based Policy akan mengkaji sesegera mungkin kebijakan pariwisata sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan bersama pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Akan lebih baik apabila pemerintah juga memberikan bantuan berupa dana dan fasilitasi pada tempat-tempat pariwisata yang bisa dijadikan model percontohan, antara lain adalah Saung Angklung Udjo yang berada di Jawa Barat.
Diharapkan dengan memperbaiki model CSR pada SAU, Indonesia khususnya Jawa Barat dapat memposisikan dirinya sebagai salah satu destinasi pariwisata kelas dunia yang memiliki keragaman budaya sesuai tema promosi. Sebagai catatan dengan sedikit memodifikasi penjelesan G. Keillor dalam pidatonya di White House tahun 1995 tentang pemahaman Cultural tourism: "We need to think about cultural tourism because really there is no other kind of tourism. It's what tourism is...People don't come to .... say that West Java for our airports, people don't come to West Java for its hotels, or the recreation facilities....They come for our culture, or imagined -- they come here to see the real West Java culture, Sundanesse culture." 23
2.1.4. Masyarakat Masyarakat yang terdiri dari unsur komunitas, LSM, akademisi, dan representasi mereka (Dewan Perwakilan Rakyat / DPR), sangat menentukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan kelancaran dalam berusaha. Masyarakat juga mempunyai peran penting sebagai pendukung socio economic sustainability dimana masyarakat dapat mengkoreksi dampak negatif perusahaan, serta aktif menjadi dinamisator keberdayaan publik. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia yaitu sebesar 39,140,812 jiwa di tahun 2004, memiliki masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Suku Sunda merupakan mayoritas dari masyarakat Jawa Barat. (id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat, 2008). Suku Sunda sendiri dikenal dengan budaya Sundanya, yaitu budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah ramah tamah, murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. (id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Sunda, 2008).
Angklung itu adalah bambu, dan bambu itu adalah sangat identik sekali dengan masyarakat Sunda. Saung Angklung Udjo yang berada di Bandung, Jawa Barat memilki keuntungan tersendiri dikarenakan masyarakat Sunda disekitarnya mau menerima SAU dengan baik. Hubungan simbiosis mutualisme antara SAU dan masyarakat sekitar yang notabene didominasi oleh suku Sunda dapat berjalan dengan lancar selama kurang lebih setengah abad.
Salah satu pendorong SAU dalam melakukan CSR adalah untuk membangkitkan jati diri bangsa yang dirampas oleh bangsa lain. Angklung sendiri merupakan jati diri kebudayaan Sunda. Karena apabila seseorang berbicara tentang angklung pasti akan teringat dengan masyarakat Sunda. Sasaran utama dari model CSR yang dikembangkan oleh SAU adalah masyarakat Sunda, dikarenakan produk SAU merupakan kebudayaan Sunda itu sendiri. Untuk menjamin keberlanjutan usahanya dan membangkitkan jati diri bangsa, SAU sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat Sunda. Jadi diharapkan dengan adanya perbaikan model CSR pada perusahaan, dukungan dari masyarakat Sunda pada kegiatan SAU menjadi lebih optimal, dan dapat menciptakan Udjo-Udjo baru yang dapat melestarikan kebudayaan Sunda secara berkelanjutan.
24
2.2.
Konsep Pengembangan Model Corporate Social Responsibility Pada SAU
CSR sebagai sebuah konsep yang makin populer ternyata belum memiliki sebuah definisi tunggal. CSR sendiri lebih menekankan tentang nilai dan standart yang dilakukan berkaitan dengan beroperasinya korporat. Dalam pelaksanaannya timbul suatu pertanyaan, bagaimana korporat besar berusaha untuk memenuhi kebutuhan modal dari para pemegang saham sementara dipihak lain dalam waktu yang bersamaan meningkatkan dampak positif pada masyarakat secara umum (Patir, Ziva dari Standards Institute of Israel, 2002).
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) in Fox, et al (2002), sebuah lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120 multinational company yang berasal lebih dari 30 negara misalnya, mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan, sebagai komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Yusuf Wibisono dalam bukunya Membedah Konsep & Aplikasi CSR, mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak postif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. (2007: 8)
Walaupun konsep ini tidak memiliki definisi tunggal, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Menyikapi hal tersebut Bambang Rudito dkk dalam bukunya Corporate Social Responsibility : Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, menyatakan bahwa tanggung jawab sosial (social responsibility) diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dan keberlanjutan hidup dan hubungan kemitraan yang saling timbal balik antara perusahaan dengan rekanannya (stakeholders lainnya). Dan tanpa dukungan dan jalinan kemitraan dengan stakeholders lainnya, bisa dipastikan dalam waktu dekat, mereka mengalami kerugian secara sosial dan ekonomi, akibat berbagai tekanan dan claim yang menyudutkan keberadaan perusahaan mereka, bahkan keberlanjutan dan reputasi perusahaan mereka. (2004: 101) 25
2.2.1. Konsep Good Corporate Governance (GCG) Dalam melakukan usahanya Saung Angklung Udjo, tidak hanya mempunyai kewajiban yang bersifat ekonomis dan legal, namun juga kewajiban yang bersifat etis. Dalam keadaan bersaing ketat memperebutkan pasar demi mengejar keuntungan semaksimal mungkin, tentu mudah terjadi pelanggaran etika, maka dari itu diperlukan tatakelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku para pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dijadikan rujukan.
Kendatipun sampai dengan saat ini belum ada kata sepakat tentang definisi GCG, umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Dalam arti luas, GCG digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Yusuf Wibisono dalam bukunya Membedah Konsep & Aplikasi CSR, menuliskan lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisniss. Lima prinsip GCG tersebut adalah Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasa diakronimkan menjadi TARIFF. (2007: 11) 1. Transparency (Keterbukaan Informasi) Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, SAU dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya. 2. Accountability (Akuntabilitas) Yang dimaksud akuntabilitas adalah adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila SAU menerapkan prinsip ini secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggungjawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi. 3. Responsibility (Pertanggungjawaban) Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. 26
Dengan menerapkan prinsip ini SAU diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya. 4. Indepandency (Kemandirian) Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar SAU dikelola secara professional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. 5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat mendorong SAU untuk dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
SAU sebaiknya melaksanakan Good Corporate Governance dengan serius, karena selain kinerja perusahaan terus membaik, harga saham dan citra perusahaan terus terdongkrak. Bahkan, kredibiltas perusahaan akan terus terdorong melampaui batas-batas negara, baik dimata investor, mitra, kreditor dan juga stakeholders lainnya.
2.2.2. Konsep Sustainable Development Pembangunan berkelanjutan (sustainable development), secara sederhana biasa didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Sejak masa Orde Baru, Indonesia menempatkan pembangunan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Karena itu, perhatian terhadap masalah lingkungan dan masalah sosial masih lebih banyak menjadi wacana ketimbang realita. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dilakukan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berlebihan dan kurang memperhitungkan kaidah konservasi. Pembangunan berkelanjutan juga masih menjadi jargon beraroma manis. Bukan hanya di level bawah, bahkan para pengambil keputusanpun belum mempunyai pemahaman dan komitmen yang kuat. Ini menunjukkan bahwa mindset eksekutif maupun legislatif sebagai pengambil keputusan tentang pembangunan berkelanjutan masih perlu ditingkatkan.
27
Dalam menyusun program pembangunan, eksekutif seringkali tidak melibatkan kelompok-kelompok utama. Terdapat sembilan kelompok utama (major groups), yang sebaiknya dilibatkan yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemuda, buruh, petani dan nelayan, pemerintah (local goverment), bisnis / industri, perempuan, ilmuwan, dan pemuka adat.
Di sisi lain, kapasitas sumber daya manusia, dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan juga masih sangat terbatas. Barangkali disinilah pentingnya peran pendidikan supaya kualitas sumberdaya manusia bisa ditingkatkan, sehingga pembangunan berkelanjutan bisa dipahami secara mendalam. Jika tidak, akan timbul kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang antara lain terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada beberapa sektor strategis, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Hal terpenting lainnya adalah lemahnya penegakan hukum dan belum terimplementasikannya good governance secara lebih serius.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pembangunan berkelanjutan adalah masalah yang kompleks. Persoalan ini berakar dari paradigma yang masih bersifat economic minded. Karena itu perlu pergeseran tekanan paradigma pembangunan yang lebih menekankan masalah lingkungan dan sosial. Meskipun perubahan paradigma ini kemungkinan akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, namun kerusakan sumberdaya alam bisa dikurangi.
Pendekatan pembangunan yang terintegrasi ini memang masih sangat jarang dilakukan, terlebih di era otonomi. Umumnya, pemerintah hanya berpikir bagaimana bisa mendongkrak PAD (Pendapatan Asli Daerah), sedangkan mengenai dampak lingkungan dipikirkan belakangan. Otonomi daerah juga menyebabkan kerjasama antardaerah nyaris tidak ada. Apalagi wewenang Gubernur untuk mengkoordinasi kegiatan ini juga dipangkas. Inilah yang kemudian mengakibatkan permasalahan kian bertambah.
Karena itu semua pihak harus proaktif dalam memahami berbagai konsep pembangunan berkelanjutan untuk kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah dalam hal ini tidak mungkin bekerja sendirian. Kerjasama multi pihak merupakan suatu keharusan, terutama dengan dunia usaha dan masyarakat.
28
2.2.3. Konsep Triple Bottom Line Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya yang berjudul Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentienth Century Business. Elkington membagi konsep triple bottom line menjadi 3 bagian yaitu economic prosperity (profit), environmental quality (planet) dan social justice (people).
Melalui buku tersebut, Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan 3P. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk gambar 2.4 berikut.
Gambar 2.3. Konsep Triple Bottom Line (aia.org/SiteObjects/files/conted_TH1107.pdf, 2007) Dalam konsep tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi finansialnya saja, melainkan juga mengharuskan perusahaan untuk lebih memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.
Profit (Keuntungan) Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan guna menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan SAU untuk menaikkan profit antara lain adalah meningkatkan produktifitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
29
Dalam hal ini peningkatan produktivitas dapat diperoleh dengan melakukan pada perbaikan manajemen kerja melalui penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Termasuk juga dalam hal efisiensi biaya, SAU dapat menggunakan material sehemat mungkin dan mengurangi biaya produksi serendah mungkin.
People (Masyarakat Pemangku Kepentingan) Masyarakat merupakan stakeholders penting bagi perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan dalam hal ini SAU. Dikarenakan operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat, maka SAU harus berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat sekitar.
Keberlanjutan perusahaan juga hanya akan terjamin apabila SAU memperhatikan dimensi terkait lainnya, termasuk dimensi sosial. Sudah sangat cukup fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak peduli dengan keadaan masyarakat disekitarnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sudah saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial dari setiap aktivitas bisnisnya, dikarenakan aspek tersebut bukanlah suatu pilihan yang terpisah melainkan harus dilaksanakan bersamaan guna meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. SAU dalam hal ini harus lebih santun dan arif dalam mengelola community relationship-nya. Dikarenakan banyak fakta yang membuktikan bahwa masyarakat paling tidak suka jika suatu perusahaan tidak melakukan komunikasi dengan mereka, bersifat arogan, dan tidak memberikan kontribusi atau manfaat bagi lingkungan sekitar.
Untuk memperkokoh komiten dalam tanggung jawab sosial ini SAU memang perlu memiliki pandangan bahwa CSR adalah investasi masa depan. Artinya CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre), melainkan sentra laba (profit centre) di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan dikarenakan melalui hubungan yang harmonis dan citra yang baik, akan mendorong masyarakat untuk melakukan timbal balik demi ikut menjaga eksistensi perusahaan. Konsep CSR Saung Angklung Udjo pada saat ini sudah tepat, dengan melakukan empowerment terhadap masyarakat sekitar, apabila suatu saat SAU bubar maka akan muncul Udjo-Udjo lainnya yang dapat meneruskan bisnis Saung Angklung itu sendiri.
30
Planet (Lingkungan) Unsur ketiga yang harus diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika SAU ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh kegiatan manusia. Lingkungan dapat menjadi teman atau musuh manusia, tergantung bagaimana manusia memperlakukannya.
Di zaman sekarang banyak pelaku industri yang hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal apabila sebuah perusahaan melestarikan lingkungan, perusahaan tersebut akan memperoleh banyak keuntungan antara lain dari sisi kesehatan, kenyamanan, dan ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya. Dan sebaliknya, apabila perusahaan kurang memiliki kepedulian terhadap lingkungan maka yang akan terjadi adalah timbulnya bermacam penyakit, bencana lingkungan atau kerusakan alam lainnya. Kasus luapan lumpur panas di Sidoarjo merupakan contoh yang paling tepat dalam menjelaskan tentang kelalaian menjaga lingkungan. Menaikkan laba dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang penting, namun yang tidak kalah penting adalah memperhatikan juga kelestarian lingkungan. Disinilah perlunya SAU menerapkan konsep triple bottom line secara lebih serius.
2.3.
Akar Masalah
Perumusan akar masalah dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif untuk menjaring masalah pada model CSR yang sudah dijalankan SAU. Berdasarkan observasi langsung pada Saung Angklung Udjo yang terletak di Jl. Padasuka 118 Bandung, Jawa Barat, serta hasil dari depth interview dengan beberapa pihak terkait, terlihat bahwa CSR yang dijalankan oleh SAU selama ini masih memiliki beberapa kelemahan yang harus disempurnakan. Beberapa pihak yang terkait yang dilibatkan disini adalah dari pihak SAU, Direktur SAU, Taufik Hidayat Udjo, dari pihak pemerintah, Administrator website Disbudpar Jawa Barat, dan dari pihak masyarakat, K.H.Dr.Yusuf Syaroni, sesepuh masyarakat sekitar. Orang-orang tersebut dipilih dikarenakan kompetensi dan info yang didapat dari mereka, dapat menjaring permasalahan pada model CSR yang sudah dijalankan oleh SAU.
31
Mengacu pada konsep kemitraan tripartit, terjadi gangguan hubungan antara masing-masing aspek yang ada pada model CSR SAU tersebut. Apabila diteliti lebih mendalam ternyata SAU memiliki beberapa kelemahan pada kondisi intern perusahaannya, hubungannya dengan pemerintah, dan juga hubungannya dengan masyarakat sekitar.
Berikut ini merupakan penjabaran dari tiap-tiap kelemahan pada CSR SAU berdasarkan hasil observasi dan depth interview : 1. Kelemahan yang berkaitan dengan kondisi intern SAU.
Keadaan infrastruktur yang tidak lagi memadai.
Keterbatasan bahan baku bambu.
Keterbatasan sumber daya manusia pembuat angklung.
2. Kelemahan yang berkaitan dengan hubungan SAU terhadap pemerintah. Minimnya perhatian Pemerintah Daerah Jawa Barat terhadap SAU. Belum adanya regulasi pelestarian budaya. 3. Kelemahan yang berkaitan dengan hubungan SAU terhadap masyarakat sekitar. Jumlah pengunjung yang terlalu banyak. Animo masyarakat sekitar yang terlalu besar.
32