BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS 2.1.
Conceptual Framework
Gagasan konsep pengembangan manufaktur pupuk organik berbahan baku sampah kota dilandasi oleh 8 faktor pertimbangan, sebagaimana Gambar 2.1. Faktor‐faktor pertimbangan dimaksud meliputi : •
Kelangkaan pasokan LNG (Liquefied Natural Gas) sebagai bahan baku pupuk kimia yang telah memberi implikasi menurunnya produksi pupuk secara nasional;
•
Permintaan dan kebutuhan pupuk secara nasional semakin meningkat, baik untuk subsektor tanaman pangan maupun perkebunan;
•
Adanya Kebijakan Pemerintah melalui Departemen Pertanian dalam mengalokasikan pupuk organik bersubsidi;
•
Kerusakan struktur tanah sebagai akibat pemakaian pupuk kimia telah menurunkan kesuburan lahan pertanian dan perkebunan
•
Pupuk organik belum banyak diproduksi dalam skala industri manufaktur;
•
Ketersediaan teknologi proses dekomposisi secara singkat untuk memproses sampah kota menjadi pupuk organik dengan metoda thermophilic aerobic digestion;
•
Laju timbulan sampah (municipal solid waste generation) di perkotaan, khususnya kota‐kota besar dan metropolitan belum dapat tersolusikan secara terpadu;
39
•
Iklim kerjasama antara Pemerintah dan Swasta dalam penanganan prasarana
perkotaan
(urban
infrastructure)
untuk
pengelolaan
persampahan semakin memberikan format yang lebih jelas
Kebijakan Pemerintah tentang Subsidi Pupuk Organik
Kelangkaan LNG menurunkan Produksi Pupuk Kimia
Permintaan terhadap pupuk secara Nasional
Kerusahan struktur tanah akibat pemakaian pupuk kimia
Timbulan Sampah Kota yang memerlukan pengelolaan
INDUSTRI PUPUK ORGANIK
Ketersediaan Teknologi Proses Produksi Pupuk Organik
Pupuk Organik belum banyak dibuat secara manufacturing
Kerjasama PemerintahSwasta dalam Pengelolaan Sampah
Gambar 2.1.
Faktor Pertimbangan Pengembangan Industri Pupuk Organik Sampah
Berdasarkan 8 faktor kunci terhadap potensi pengembangan bisnis pupuk organik berbahan baku sampah kota tersebut di atas, PT. Kwarsa Hexagon berencana untuk mengembangkan industri pupuk organik berbahan baku sampah kota dalam sekala industri manufaktur.
40
Strategi pendekatan studi yang digunakan dalam melakukan eksplorasi terhadap isu‐isu bisnis pengembangan manufacturing pupuk organik berbahan baku sampah kota ini, didasarkan pada pemikiran konseptual (conceptual framework), yang dimodifikasi dari konsep New Product & Process Development, [Kim B. Clark, p.163] meliputi : •
Strategi Marketing
•
Strategi Manufacturing
•
Analisis Industri menggunakan pendekatan Industry Analysis yang dikembangkan oleh Michael Porter
Conceptual framework Analisis Strategi Pengembangan Manufacturing Pupuk Organik berbahan baku sampah kota secara diagramatis sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2. berikut.
Cost Structure
Production Facilities
Process Technology
Manufacturing Strategy
Rivalry Among Existing Firms
Investment Cost
Strategi Pengembangan Bisnis Pupuk Organik
Relative Power of Stakeholders Bargaining Power of Suppliers
Industry Analysis
Market Size
Marketing Strategy Market Segmentation
Bargaining Power of Buyers Threat of Substitute Products
Marketing Mix
Threat of New Entrants
Gambar 2.2.
Peta Pemikiran Konseptual
41
Analisis terhadap strategi marketing dilakukan terhadap Market Size, Market Segmentation, dan Marketing Mix (Product Profile, Price Segment, Placement, dan Promotion) sebagai program marketing untuk produk pupuk organik. Industry Analysis bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi persaingan dengan menganalisis tingkat persaingan industri sejenis di pasar (Rivalry Among Existing Firms), ancaman terhadap masuknya ‘pemain’ baru (Threat of New Entrants), posisi tawar pembeli (Bargaining Power of Buyers), posisi tawar para pemasok (Bargaining Power of Suppliers), ancaman terhadap produk‐ produk substitusi (Threat of Substitute Product), dan tekanan berbagai stakeholder (Relative Power of Stakeholders). Analisis terhadap strategi manufaktur (Manufacturing Strategy) bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi proses produksi, komponen‐ komponen proses produksi, struktur biaya produksi, dan biaya investasi awal yang diperlukan, Dengan melakukan analisis secara rinci terhadap komponen‐komponen pemikiran konseptual tersebut di atas maka akar masalah dari isu bisnis pengembangan pupuk organik berbahan baku sampah kota ini dapat diidentifikasi, sehingga akan membantu dalam menyusun strategi pengembangan manufacturing yang paling feasible untuk dilaksanakan sebagai solusi bisnis. 42
2.2.
Analisis Situasi Bisnis
2.2.1.
Strategi Marketing
2.2.1.1.
Market Size
Industri Produk‐ produk Perkebunan
Industri Makanan & Minuman
Basic Needs Pangan
Market Size Pupuk Organik dipengaruhi oleh pertumbuhan demand nasional,
Produksi Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura
Produksi Komoditi Perkebunan
terhadap maupun
pertumbuhan industri
pangan oleh
produk‐produk
hilir
(downstream
industry) pada industri makanan dan
Produk Pupuk Organik Gambar 2.3. Struktur Market Size Pupuk Organik
minuman
dan
industri
produk‐produk perkebunan
(seperti produk‐produk karet/latex). Gambar 2.3. menjelaskan struktur demand (market size) pupuk organik. Untuk mengetahui trend pertumbuhan sektor‐sektor yang memberikan pengaruh langsung terhadap kebutuhan pupuk organik, dilakukan pendekatan analisis terhadap pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) pada sektor‐sektor industri terkait. 43
Pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) Sektoral
100%
90%
Services Keuangan, Real Estate, Jasa Bisnis Transportasi dan Komunikasi Perdagangan, Hotel, Restoran Konstruksi
Listrik, Gas, Air Bersih
80%
Industri Manufaktur Lainnya Pupuk dan Produk‐produk Karet & Kimia
Industri Makanan, Minuman, Tembakau
70%
Liquefied Natural Gas (LNG) Petroleum Refineray Tambang Non Migas & Kuari
60%
Minyak dan Gas Alam Peternakan, Kehutanan, Perikanan PERKEBUNAN
50%
TANAMAN PANGAN & HORTIKULTURA
40%
Industri Makanan, Minuman Tembakau, dan Produk Karet
Produk
30%
20% Minyak & Gas Alam
10%
0%
Sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan
2003
2004
2005 Tahun
2006
Bahan Baku
Gambar 2.4.
Distribusi GDP Sektoral
Kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan terhadap GDP dari tahun 2003‐2006 rata‐rata sebesar 9,1% (subsektor tanaman pangan 7,0% dan perkebunan 2,1%). Angka kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan ini hampir 2 kali dari kontribusi sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam yang hanya sebesar 5,5%. Komoditi Tanaman Pangan dan Perkebunan yang merupakan bahan baku bagi industri pangan dan produk‐produk perkebunan yang telah memberikan kontribusi GDP pada sektor industri manufaktur kelompok Industri Makanan, Minuman dan Tembakau sebesar 6,9%, serta kelompok industri Produk‐produk Karet sebesar 2,8%.
44
Kontribusi sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan dari kelompok sumberdaya alam yang sebesar 9,1% ini, tidak saja memberikan indikasi bahwa sektor ini masih menjadi fundamental perekonomian nasional yang perlu dipertahankan, namun perlu dikembangkan hingga menjadi produk‐produk industri pangan sehingga dapat memberikan peningkatan ekonomi nasional. Pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. disajikan masing‐masing angka distribusi dan pertumbuhan sektor‐sektor GDP Nasional. Tabel 2.1. Distribusi Gross Domestic Product (GDP) Sektoral
Berdasarkan
data
distribusi
dalam %
SEKTOR INDUSTRI
NO.
2003
2004
2005
2006
Rata‐
GDP sektoral pada Tabel 2.1.
rata
1.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan
dan Gambar 2.4., sektor Industri
15.2
14.4
13.0
12.9
13.9
7.8 2.3 5.1
7.2 2.2 5.0
6.5 2.0 4.5
6.4 1.9 4.6
7.0 2.1 4.8
Manufaktur
8.2
8.9
11.1
10.6
9.7
4.7 3.5
5.2 3.7
6.4 4.7
5.6 5.0
5.5 4.2
kontributor
Perikanan Tanaman Pangan & Hortikultura Perkebunan Peternakan, Kehutanan, Perikanan
2.
Tambang & Kuari Minyak dan Gas Tambang Non Migas & Kuari
3.
Industri Manufaktur
28.4
28.0
27.8
28.0
28.1
Petroleum Refinery
2.5
2.6
3.3
3.6
3.0
Liquefied Natural Gas (LNG) Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
1.4 7.7
1.5 7.1
1.7 6.4
1.6 6.4
1.6 6.9
Pupuk dan produk‐produk Kimia dan Karet Industri Manufaktur Lainnya
2.8 14.0
2.8 14.0
2.8 13.6
2.9 13.5
2.8 13.8
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih (Infrastruktur) 1.0
1.0
1.0
0.9
1.0
5.
Konstruksi
6.2
6.6
7.0
7.5
6.8
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
16.6
16.1
15.4
14.9
15.8
7.
Transportasi dan Komunikasi
5.9
6.2
6.5
6.9
6.4
8.
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Bisnis
8.6
8.5
8.3
8.2
8.4
9.
Services (Jasa)
9.9
10.3
9.9
10.1
10.1
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
JUMLAH
terbesar
pada
pertumbuhan ekonomi nasional, yakni memberikan kontribusi rata‐rata
28,0%,
berikutnya
disusul
oleh
sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2007
merupakan
15,8%,
dan
sektor
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sebesar 13,9%. Sementara itu, subsektor Minyak dan Gas
kontribusi lebih
memberikan sebesar rendah
dibandingkan
5,5%, jika dengan
subsektor tanaman pangan
Pertumbuhan GDP
8.0 6.0
Tanaman Pangan & Hortikultura
4.0
Perkebunan
2.0
Minyak & Gas
0.0 ‐2.0
Liquefied Natural Gas
2003
2004
2005
‐4.0
2006
Industri Makanan, Minuman, Tembakau NASIONAL
‐6.0 ‐8.0
dan hortikultura.
Gambar 2.5.
10.0
% Pertumbuhan
hanya
12.0
Pupuk, Produk Karet & Kimia
Tahun
45
Pertumbuhan sektor Tanaman Pangan mengalami penurunan dari tahun 2003‐ 2005 (dari 3,6% menjadi 2,6%). Untuk sektor Perkebunan mengalami penurunan secara drastis dari tahun 2003 (4,4%) menjadi 0,4% pada tahun 2004, kemudian pulih pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 pertumbuhan GDP sektor Perkebunan meningkat menjadi 3,2%. Tabel 2.2. Pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Sektoral
Sektor Industri Makanan, dalam %
NO.
SEKTOR INDUSTRI
2003
2004
2005
2006
rata
1.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan
3.8
2.8
2.7
3.0
3.1
3.6
2.9
2.6
2.7
3.0
Perkebunan
2.
Tambang & Kuari Minyak dan Gas
3.
Industri Manufaktur
4.4
0.4
2.5
3.2
2.6
(1.4) (4.5) 3.1
2.2
(0.2)
mulai tahun 2004 terus
5.3
6.4
4.6
4.6
5.2
(0.4) (3.2) (6.7) (1.4) (2.9)
Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau
2.7
1.4
2.7
7.2
3.5
Pupuk dan produk‐produk Kimia dan Karet
10.7
9.0
8.8
4.5
8.3
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih (Infrastruktur) 4.9
5.3
6.3
5.9
5.6
5.
Konstruksi
6.1
7.5
7.4
9.0
7.5
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5.4
5.7
8.4
6.1
6.4
7.
Transportasi dan Komunikasi
12.2
13.4
13.0
13.6
13.1
8.
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Bisnis
6.7
7.7
6.8
5.6
6.7
9.
Services (Jasa)
4.4
5.4
5.0
6.2
5.3
5.3
5.5
6.4
6.2
5.9
hingga pada tahun 2006 melebihi
pertumbuhan
GDP Nasional. Pertumbuhan Industri
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2007
kenaikan,
(4.7) (4.3) (1.8) (1.3) (3.0)
Liquefied Natural Gas (LNG)
NASIONAL
Tembakau
mengalami
Perikanan Tanaman Pangan & Hortikultura
Minuman,
Rata‐
Pupuk
Sektor dan
Produk‐produk Karet serta
Kimia menurun tajam dari angka pada tahun 2003 (10,7%) menjadi 4,5% pada tahun 2006. Sementara itu, sektor Minyak dan Gas serta LNG (Liquefied Natural Gas) masih mengalami pertumbuhan negatif. Pada Gambar 2.5. disajikan grafik pertumbuhan GDP untuk beberapa sektor. Kenaikan harga minyak dan gas dunia hingga masing‐masing mencapai U.S. $135 per barrel dan U.S. $9.0 per MMBTU diindikasikan belum memberikan perbaikan perekonomian nasional, mengingat pertumbuhan GDP di sektor tersebut selama tahun 2003‐2006 secara konsisten tumbuh secara negatif, dengan rata‐rata pertumbuhan sebesar ‐3,0%. Pertumbuhan negatif di subsektor Tambang Minyak dan Gas memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan subsektor LNG (Liquefied Natural Gas) yang 46
tumbuh sebesar negatif 2,9% per tahun selama periode 2003‐2006. Kemerosotan kondisi produksi LNG yang merupakan bahan baku pupuk kimia bagi para industri pupuk nasional, menjadi penyebab utama kelangkaan pupuk kimia di pasar nasional, seperti Urea, SP‐36, ZA, dan NPK. Di sisi lain, Pemerintah berencana untuk tetap meningkatkan produktivitas subsektor tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan, untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi nasionalnya, mengingat kedua sektor tersebut masih menjadi salah satu fundamental perekonomian nasional. Perkuatan dan pengembangan terhadap sektor tanaman pangan khususnya, akan mampu mewujudkan ketahanan pangan secara nasional, yaitu melalui swasembada pangan. Produksi komoditi dan
Gambar 2.6.
Ribu Ton
Produksi Komoditi Tanaman Pangan 60,000 55,000 50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 ‐
luas panen kelompok sektor tanaman pangan Padi Jagung Kedelai Ubi‐ubian
2003
2004
2005
2006
berdasarkan data tahun 2003‐2007,
yang
mencakup padi, jagung,
2007
kedelai, dan ubi‐ubian
Tahun Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
(ubi kayu dan ubi jalar),
Gambar 2.7.
Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan
sebagaimana
disajikan
14,000
pada Gambar 2.6. dan
Ribu Hektar
12,000 10,000 8,000
Padi
6,000
Jagung
4,000
Kedelai
2,000
Ubi‐ubian
‐ 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
Gambar 2.7. Rata‐rata produksi padi 54,4 juta ton/tahun (luas panen 11,8 juta Ha), jagung
11,9 juta ton/tahun (luas panen 3,5 juta Ha), ubi‐ubian 21,1 juta ton/tahun (luas
47
panen 1,4 juta Ha), sementara kedelai sebesar 712 ribu ton/tahun (luas panen 552 ribu Ha). Pertumbuhan produksi dan luas panen berdasarkan data tahun 2003‐2007, untuk komoditi padi mengalami pertumbuhan produksi rata‐rata sebesar 2,3% per tahun dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata sebesar 1,46% per tahun. Komoditi jagung mengalami pertumbuhan produksi rata‐rata sebesar 5,4% per tahun dengan pertumbuhan luas panen sebesar 1,46% per tahun. Komoditi ubi‐ubian tumbuh sebesar 0,43% pertahun dengan pertumbuhan luas panen mengalami pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐2,04% per tahun. Sementara itu, komoditi kedelai mengalami pertumbuhan produksi ‘negatif’ sebesar ‐1,7% per tahun dan luas panen juga tumbuh secara ‘negatif’ sebesar ‐2,36% per tahun. Perkembangan produksi
Gambar 2.8.
Produksi Komoditi Hortikultura
dan luas panen pada
7,000,000
kelompok
6,000,000
Ton
5,000,000 4,000,000
Sayur
3,000,000
Bawang Merah
2,000,000
Kentang
1,000,000
yang meliputi sayuran, bawang merah, kentang,
Cabe Merah
‐ 2002
2003
2004 Tahun
2005
dan
2006
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
cabe
sebagaimana
merah, disajikan
pada Gambar 2.8. dan
Gambar 2.9.
Luas Panen Komoditi Hortikultura
Gambar 2.9.
700,000 600,000
500,000
Hektar
hortikultura,
400,000
Sayur
300,000
Bawang Merah
200,000
Kentang
100,000
Produksi
komoditi
sayuran berdasarkan data
Cabe Merah
‐ 2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
tahun 2002‐2006, rata‐rata sebesar
5,9
juta
ton
dengan pertumbuhan 7,92% per tahun. Luas panen komoditi sayuran rata‐rata 603 ribu Ha dengan pertumbuhan rata‐rata 5,18% per tahun. 48
Produksi komoditi bawang merah rata‐rata sebesar 762,9 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan rata‐rata 1,01%. Luas panen komoditi bawang merah rata‐rata sebesar 85,9 ribu Ha dengan pertumbuhan 2,98% per tahun. Produksi komoditi kentang rata‐rata sebesar 999,5 ribu ton per tahun dengan luas panen sebesar 62,0 ribu Ha. Pertumbuhan produksi dan luas panen komoditi kentang rata‐rata sebesar 3,39% dan 1,34% per tahun. Produksi dan luas panen komoditi cabe merah rata‐rata sebesar 1,0 juta ton per tahun dan 182,7 ribu Ha, dengan pertumbuhan produksi tahunan rata‐rata sebesar 19,82% dan pertumbuhan luas panen tahunan sebesar 8,25%.
Gambar 2.10. Neraca Perdagangan Komoditi Perkebunan
dalam 000 U.S.$
6,000,000.0 5,000,000.0
Surplus Neraca Ekspor‐Impor Kakao
4,000,000.0
Surplus Neraca Ekspor‐Impor Sawit
3,000,000.0
Surplus Neraca Ekspor‐Impor Kopi
2,000,000.0 1,000,000.0
Surplus Neraca Ekspor‐Impor Karet
‐ 2003
2004 2005 Tahun
2006
Surplus Neraca Ekspor‐Impor Lada
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
Komoditi perkebunan merupakan penyumbang devisa negara dari surplus neraca perdagangan (ekspor‐impor). Berdasarkan data dari tahun 2003‐2006 (Gambar 2.10.), komoditi sawit memberikan surplus neraca perdagangan tertinggi, yakni mencapai rata‐rata U.S. $3,68 milyar, dimana surplus neraca perdagangan komoditi sawit tertinggi dicapai pada tahun 2005, yakni U.S. $5,54 milyar. 49
Komoditi karet merupakan penyumbang devisa terbesar kedua dari sektor perkebunan, yakni dengan surplus neraca perdagangan rata‐rata sebesar U.S. $2,30 milyar, disusul berikutnya komoditi kakao dengan surplus neraca perdagangan rata‐rata sebesar U.S. $927,15 juta, komoditi kopi senilai U.S. $347,58 juta, dan komoditi lada senilai U.S. $63,86 juta. Produksi komoditi sawit
Gambar 2.11.
Ton
Produksi Komoditi Perkebunan 15,000,000 14,000,000 13,000,000 12,000,000 11,000,000 10,000,000 9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 ‐
berdasarkan data tahun 2002‐2006 Kakao
rata‐rata
sebesar 11,23 juta ton per
Sawit Kopi
tahun
dengan
pertumbuhan
sebesar
Karet Lada 2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
8,66% pertahun.
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
Luas panen komoditi sawit rata‐rata sebesar 5,43 juta Ha, dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata 4,72% per tahun. Sementara itu, produksi
Gambar 2.12.
Luas Panen Komoditi Perkebunan
komoditi karet rata‐rata
7,000,000
sebesar 2,02 juta ton
6,000,000
Hektar
5,000,000
Kakao
4,000,000 3,000,000
Sawit
2,000,000
Kopi
1,000,000
Karet
‐
Lada 2002
2003
2004 Tahun
2005
dengan
pertumbuhan
sebesar 9,8% per tahun. Luas panen komoditi
2006
karet rata‐rata sebesar 3,3
Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI
juta
Ha,
dengan
pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐0,06% per tahun. Produksi kakao rata‐rata tumbuh sebesar 8,41% per tahun atau 697,7 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan luas panen rata‐rata 6,94% per tahun atau 1,06 50
juta Ha. Sementara itu untuk Komoditi kopi dan lada mengalami pertumbuhan ‘negatif’, baik pada angka produksi maupun luas panennya. Pertumbuhan produksi komoditi kopi mengalami pertumbuhan ‘negatif’ sebesar ‐1,08% per tahun atau rata‐rata produksi selama tahun 2003‐2006 sebesar 657,20 ribu ton per tahun dengan luas panen rata‐rata 1,32 juta Ha, pertumbuhan luas panen rata‐rata sebesar ‐2,0%. Pertumbuhan produksi komoditi lada sebesar ‐2,77% per tahun dan luas panen sebesar ‐1,57% per tahun. Produksi komoditi lada rata‐rata sebesar 83,2 ribu ton per tahun dengan luas panen rata‐rata sebesar 198,6 ribu Ha. Kebijakan Pembangunan Sektor Pertanian Kebijakan pembangunan sektor pertanian didasarkan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), dengan 6 agenda pembangunan pertanian, yang mencakup : a. Revitalisasi pertanian b. Peningkatan investasi dan ekspor komoditi non‐migas; c. Pemantapan stabilitas ekonomi makro; d. Penanggulangan kemiskinan; e. Pembangunan perdesaan; dan f. Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup 51
Agenda Revitalisasi Pertanian diarahkan untuk meningkatkan : a. Kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90‐95% dari kebutuhan nasional; b. Diversifikasi produksi dan konsumsi pangan; c. Ketersediaan pangan asal ternak; d. Nilai tambah dan dayasaing produk pertanian; dan e. Produksi dan ekspor komoditi pertanian Pemerintah melalui Departemen Pertanian RI telah menetapkan strategi pembangunan pertanian yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐2009, dimana 2 strategi penting diantaranya adalah : 1. Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan; 2. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian Strategi dalam memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan diarahkan pada : •
Perluasan dan pemanfaatan basis produksi secara berkelanjutan melalui konsolidasi;
•
Optimalisasi pemanfaatan lahan;
•
Pembukaan lahan baru terutama di luar Jawa; dan
•
Pelestarian dan konservasi sumberdaya lahan dan hayati
52
Pemanfaatan dan perluasan lahan pertanian diarahkan pada : •
Pemanfaatan lahan terlantar;
•
Perluasan lahan sawah di luar Jawa dengan potensi sekitar 16 juta Ha, terutama di Papua, Kalimantan dan Sumatera;
•
Perluasan lahan kering dengan potensi sekitar 25 juta Ha dan dapat digunakan untuk tanaman perkebunan dan buah‐buahan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua
Sementara itu, peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian diarahkan khususnya pada jaminan ketersediaan sistem sarana dasar produksi yang mencakup benih, pupuk, pestisida, dan peralatan mekanisasi pertanian. Berkaitan dengan kebijakan dan strategi pembangunan pertanian tersebut di atas, maka program pembangunan sektor pertanian yang dirumuskan Pemerintah, terdapat 3 Program Pokok, yaitu : 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan; 2. Program Pengembangan Agribisnis; dan 3. Program peningkatan Kesejahteraan Petani Program peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis, meliputi peningkatan produksi dan produktivitas pada : • • •
Subsektor Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, ubi‐ubian) Subsektor Hortikultura (sayur, bawang merah, kentang, dan cabe merah) Subsektor perkebunan (sawit, karet, kakao, kopi, dan lada)
Peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura akan dapat menjaga stabilitas harga pangan nasional yang pada gilirannya akan mampu menahan laju inflasi pada indeks harga makanan. Sementra itu produktivitas perkebunan diharapkan dapat ditingkatkan untuk memberikan peningkatan 53
pendapatan nasional dari surplus neraca perdagangan komoditi perkebunan, seperti kakao, sawit, dan karet. Departemen Pertanian RI melalui Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐ 2009 telah menetapkan sasaran pertumbuhan GDP untuk sektor pertanian dari 2,7% pada tahun 2005 menjadi 3,58% pada tahun 2009. Sasaran pertumbuhan produksi sektor pertanian sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005‐2009 adalah seperti yang disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Sasaran Pertumbuhan Produksi dan Produktivitas Pertanian
NO.
1.
2.
3.
Sumber :
KOMODITI
Sasaran Pertumbuhan Produksi
Sasaran Produktivitas
(% per tahun)
(Kwintal/Ha)
Tanaman Pangan Padi Jagung Kedelai Ubi-ubian Hortikultura Sayuran Bawang Merah Kentang Cabe Merah Perkebunan Kakao Sawit Kopi Karet Lada
produksi
pertanian
sebagaimana
Tabel 2.3., maka proyeksi produksi
1.21 4.23 6.50 0.39
45.92 34.36 12.90 151.07
4.00 7.65 3.68 2.74
97.80 88.95 161.27 54.73
5.30 6.21 4.37 4.79 6.48
9.55 29.33 6.91 8.06 7.36
Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, Departemen Pertanian RI, 2005
Berdasarkan angka pertumbuhan
dan luas panen untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan dari basis tahun 2005 hingga tahun 2025 dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 2.4 untuk subsektor tanaman pangan, Tabel
2.5.
untuk
subsektor
hortikultura, dan Tabel 2.6. untuk
subsektor perkebunan.
54
Proyeksi produksi dan luas panen dipergunakan untuk menghitung jumlah pupuk yang dibutuhkan. Jumlah pupuk yang dibutuhkan adalah dosis pemupukan untuk setiap jenis tanaman (kg per Ha) dikalikan dengan luas tanam atau luas rencana panen. Tabel 2.4. Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Tanaman Pangan (Basis data Tahun 2005)
KOMODITI
NO.
KETERANGAN
Produksi Luas Panen Produktivitas
(000 Ton)
Produksi Luas Panen Produktivitas
(000 Ton)
Produksi Luas Panen Produktivitas
(000 Ton)
2005
2010
2015
2020
2025
54,151 11,839 45.74
57,507 12,525 45.92
61,072 13,301
64,857 14,125
68,877 15,001
12,524 3,626 34.54
15,407 4,485 34.36
18,953 5,517
23,315 6,786
28,681 8,348
808 622 12.99
1,107 858 12.90
1,517 1,175
2,078 1,610
2,847 2,207
(000 Ton) 21,178 21,594 22,019 22,451 Ubi-ubian (Ubi Kayu dan Produksi (000 Ha) 1,391 1,429 1,458 1,486 Ubi Jalar) Luas Panen 152.25 151.07 Produktivitas (Ku/Ha) Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
22,893 1,515
1.
2.
3.
4.
Padi
Jagung
Kedelai
(000 Ha) (Ku/Ha)
(000 Ha) (Ku/Ha)
(000 Ha) (Ku/Ha)
55
Tabel 2.5. Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Hortikultura (Basis data Tahun 2005)
KOMODITI
NO.
KETERANGAN
Produksi Luas Panen Produktivitas
(Ton)
Produksi Luas Panen Produktivitas
(Ton)
Produksi Luas Panen Produktivitas
(Ton)
2005
2010
2015
2020
2025
6,301,734 612,288 10.29
7,667,023 783,916 9.78
9,328,106 953,753
11,349,067 1,160,386
13,807,875 1,411,788
732,610 83,614 8.76
1,059,115 119,065 8.90
1,531,134 172,129
2,213,520 248,842
3,200,026 359,745
1,009,619 61,557 16.40
1,209,574 75,002 16.13
1,449,130 89,857
1,736,130 107,653
2,079,971 128,973
Produksi 1,058,023 1,211,136 1,386,407 1,587,042 (Ton) (Ha) 187,236 221,307 253,334 289,995 Luas Panen 5.65 5.47 Produktivitas (Ton/Ha) Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
1,816,713 331,962
1.
2.
3.
4.
Sayuran
Bawang Merah
Kentang
(Ha) (Ton/Ha)
(Ha) (Ton/Ha)
(Ha) (Ton/Ha)
Cabe Merah
Tabel 2.6. Proyeksi Produksi dan Luas Panen Komoditi Perkebunan (Basis data Tahun 2005)
NO.
1.
KOMODITI
11,861,615 5,453,816 2,925
16,031,379 5,465,864 2,933
21,666,957 7,387,302
29,283,633 9,984,191
39,577,832 13,493,976
640,365 1,255,272 683
793,060 1,148,364 691
982,165 1,422,191
1,216,362 1,761,312
1,506,403 2,181,296
2,270,891 3,279,391 862
2,869,429 4,068,723 806
3,625,724 5,048,044
4,581,354 6,263,082
5,788,861 7,770,573
(Ton) 78,327 107,214 146,755 200,878 Produksi (Ha) Luas Panen 191,992 145,632 199,341 272,858 Produktivitas (Kg/Ha) 688 736 Sumber : Statistik Pertanian Tahun 2007, Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian RI & Hasil Analisis
274,962 373,488
5.
Karet
Lada
Produksi Luas Panen Produktivitas
(Ton)
Produksi Luas Panen Produktivitas
(Ton)
2025
2,103,534 2,203,576
4.
(Ton)
2020
1,624,829 1,702,104
Kopi
Produksi Luas Panen Produktivitas
2015
1,255,064 1,314,754
3.
(Ton)
2010
969,447 1,015,553 955
Sawit
Produksi Luas Panen Produktivitas
2005
748,828 1,167,046 921
2.
Kakao
KETERANGAN
(Ha) (Kg/Ha)
(Ha) (Kg/Ha)
(Ha) (Kg/Ha)
(Ha) (Kg/Ha)
56
Penyediaan Pupuk Nasional Pemberian pupuk bertujuan untuk memberikan masukan hara (unsur yang dibutuhkan tanaman) guna mengisi kekurangan unsur hara (N, P, K, dan S) yang tidak dapat disediakan oleh tanah itu sendiri. Kandungan unsur hara di dalam tanah secara alamiah diperoleh antara lain melalui residu tanaman, kandungan zat organik dalam air irigasi, dan zat organik dari kotoran hewan. Pemenuhan kebutuhan pupuk di Indonesia selama ini bersumber dari pupuk kimia (berbahan baku gas alam – LNG), yang terdiri dari Urea (untuk memenuhi unsur hara Nitrogen), SP‐36/TSP (untuk memenuhi unsur hara Posfor), ZA (untuk memenuhi unsur hara Sulfur), dan pupuk majemuk NPK (untuk memenuhi unsur hara Nitrogen, Posfor, dan Kalium). Pemakaian pupuk kimia secara nasional pada tahun 2006‐2007, berdasarkan alokasi pupuk bersubsidi menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 505/Kpts/SR.130/12/2005 untuk subsektor tanaman pangan dan perkebunan, untuk Urea mencapai 6,9 juta ton, SP‐36 sebanyak 3,25 juta ton, ZA mencapai 1,95 juta ton, dan NPK sebanyak 1,49 juta ton. Tabel 2.7. Kebutuhan Pupuk Kimia Tahun 2006-2007 dalam Ton KEBUTUHAN PUPUK NO.
1. 2. 3. 4.
PUPUK KIMIA Urea SP-36 ZA NPK
Tanaman Pangan
Perkebunan
Rata-rata
Total
2006
2007
2006
2007
2006
2007
4,300,000 700,000 600,000 400,000
4,300,000 800,000 700,000 700,000
2,600,000 2,500,000 1,300,000 940,000
2,600,000 2,500,000 1,300,000 940,000
6,900,000 3,200,000 1,900,000 1,340,000
6,900,000 3,300,000 2,000,000 1,640,000
Sumber : Pedoman Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Sarana Produksi - Ditjen. Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI, 2006
6,900,000 3,250,000 1,950,000 1,490,000
Saat ini kebutuhan pupuk kimia nasional sebagian besar dipenuhi oleh 5 (lima) industri pupuk nasional, yakni PT. Pupuk Sriwijaya (Palembang), PT. Pupuk Kaltim (Bontang), PT. Petrokimia Gresik (Gresik), PT. Pupuk Kujang (Purwakarta), dan PT. Pupuk Iskandar Muda (Banda Aceh). 57
Kapasitas produksi secara nasional dari seluruh industri pupuk di Indonesia (Tabel 2.8.) untuk pupuk kimia yang terdiri dari Urea sebesar 8,03 juta ton, SP‐ 36 sebesar 1,0 juta ton, ZA sebesar 650 ribu ton, dan NPK sebesar 460 ribu ton. Sementara untuk jenis pupuk organik hanya diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik sebesar 3.000 ton. Tabel 2.8 menyajikan kapasitas produksi pupuk dari setiap industri pupuk nasional. Tabel 2.8. Kapasitas & Realisasi Produksi Pupuk Kimia
NO.
1.
PRODUK & PRODUSEN
KAPASITAS PRODUKSI (Ton)
REALISASI PRODUKSI (Ton) 2005 2006
RATA-RATA REALISASI PRODUKSI (Ton)
PT. Pupuk Sriwidjaja Urea SP-36 ZA NPK
2,262,000 -
28.2% 0.0% 0.0% 0.0%
2,045,860 -
2,051,250 -
2,048,555 -
90.56%
462,000 1,000,000 650,000 460,000 3,000
5.8% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
404,364 819,704 644,320 333,132 3,000
331,677 647,868 631,645 496,690 3,000
368,021 733,786 637,983 414,911 3,000
79.66% 73.38% 98.15% 90.20% 100.00%
1,156,000 -
14.4% 0.0% 0.0%
537,563 -
851,579 -
694,571 -
60.08%
2,980,000 -
37.1% 0.0% 0.0% 0.0%
2,665,021 -
2,214,961 -
2,439,991 -
81.88%
1,170,000 14.6% 0.0% 0.0% 0.0% TOTAL Urea 8,030,000 100.0% SP-36 1,000,000 100.0% ZA 650,000 100.0% NPK 460,000 100.0% Pupuk Organik 3,000 100.0% Sumber : PT. Pupuk Sriwijaya, http://www.pusri.co.id/indexB07.php
195,847 -
205,225 -
200,536 -
17.14%
5,848,655 819,704 644,320 333,132 3,000
5,654,692 647,868 631,645 496,690 3,000
5,751,674 733,786 637,983 414,911 3,000
71.63% 73.38% 98.15% 90.20% 100.00%
2.
PT. Petrokimia Gresik Urea SP-36 ZA NPK Pupuk Organik
3.
PT. Pupuk Kujang Urea SP-36 ZA NPK
4.
PT. Pupuk Kalimantan Timur Urea SP-36 ZA NPK
5.
PT. Pupuk Iskandar Muda Urea SP-36 ZA NPK
Total kebutuhan pupuk secara nasional (Tabel 2.7.) pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan untuk tahun 2006, sebagaimana dijelaskan di atas,
58
adalah Urea sebesar 6,9 juta ton, SP‐36 sebesar 3,25 juta ton, ZA sebesar 1,95 juta ton, dan NPK 1,49 juta ton. Sementara itu, realisasi produksi pupuk dari kelima industri pupuk nasional tersebut (Tabel 2.8.) di tahun 2006 untuk Urea sebesar 5,75 juta ton, SP‐36 sebesar 733,79 ribu ton, ZA sebesar 637,98 ribu ton, dan NPK sebesar 414,91 ribu ton. Berdasarkan data kebutuhan pupuk dan realisasi produksi pupuk yang dihasilkan oleh kelima industri pupuk nasional tersebut di atas, memperlihatkan bahwa terjadi ‘gap’ antara produksi dan kebutuhan sesuai ketentuan Pemerintah. Produksi Urea (dengan kapasitas produksi terpakai 71,63%) hanya dapat memenuhi 83,36% dari kebutuhan, produksi SP‐36 (dengan kapasitas produksi terpakai 73,38%) hanya dapat memenuhi 22,58% dari total kebutuhan, produksi ZA (dengan kapasitas produksi terpakai 98,15%) baru dapat memenuhi 32,72% dari total kebutuhan, dan produksi NPK (dengan kapasitas produksi terpakai 90,20%) baru dapat memenuhi 27,85% dari total kebutuhan. Tabel 2.9. Ratio Produksi/Kebutuhan Pupuk Kimia
Total
(Berdasarkan Data Kebutuhan 2006-2007)
Ratio NO.
1. 2. 3. 4.
PUPUK
Kebutuhan
Produksi
Produksi/
KIMIA
(Ton)
(Ton)
Kebutuhan
6,900,000 3,250,000 1,950,000 1,490,000
5,751,674 733,786 637,983 414,911
Urea SP-36 ZA NPK
Sumber : Hasil Analisis
83.36% 22.58% 32.72% 27.85%
kapasitas
produksi terpasang di kelima industri pupuk nasional tidak dapat dioperasikan
secara
optimum, seperti yang terjadi
pada
PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. Pupuk Kujang. Investasi untuk penambahan kapasitas produksi pada industri pupuk nasional yang 59
kesemuanya adalah perusahaan milik Negara dengan status BUMN (Badan Usaha Milik Negara), bukanlah hal mudah untuk dilakukan di tengah kondisi keuangan yang belum membaik. Di samping adanya kendala keuangan, faktor‐faktor lain yang dihadapi oleh para industri pupuk nasional dalam operasional adalah sebagai berikut : •
Kurangnya pasokan gas alam cair (LNG) sebagai bahan baku utama pembuatan pupuk kimia;
•
Harga LNG yang terus naik, meningkatkan biaya produksi;
•
Harga jual pupuk di pasar dalam negeri yang tidak terjangkau oleh para petani dan pemilik perkebunan, jika disesuaikan dengan kenaikan harga LNG
Dampak Negatif Pemakaian Pupuk Kimia Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dan berkepanjangan akan menimbulkan dampak kerusakan struktur tanah, sehingga tanah menjadi tidak subur lagi akibat musnahnya mikroorganisme pengurai yang terdapat di dalam tanah. Dengan musnahnya mikroorganisme pengurai di dalam tanah, maka residu pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman akan terakumulasi di dalam tanah dan kondisi tanah menjadi bersifat asam, keras dan bergumpal. Dampak negatif penggunaan pupuk kimia di atas sebagaimana diterangkan Sudaryanto Djamhari dalam Jurnal Sain dan Teknologi BPPT [PEMASYARAKATAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK DI DESA SEMBALUN LAWANG NUSA TENGGARA BARAT, 2003], bahwa “produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman di atasnya dapat menurun dan apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka akan terjadi leveling‐ off , yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman”.
60
Kebutuhan Pupuk Organik Penggunaan pupuk kimia yang telah dilakukan secara besar‐besaran hampir lebih dari 30 tahun terakhir diindikasikan telah memberikan implikasi terhadap degradasi kesuburan tanah pada lahan‐lahan pertanian dan perkebunan. Untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah diperlukan pemupukan dengan pupuk organik atau dengan melakukan pemupukan berimbang antara pupuk kimia khususnya Urea dengan pupuk majemuk organik. Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menetapkan kebijakan penting tentang pupuk organik, yaitu melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/1/2006 tentang Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi sebagai acuan penerapan pola pemupukan berimbang antara pupuk kimia dan pupuk organik. Peraturan lainnya yang menjadi pendorong bagi perkembangan pupuk organik
di
Indonesia
adalah
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Menyusul kedua peraturan penting tentang pupuk organik tersebut di atas, pada 28 Desember 2007, Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 76/Permentan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk Organik yang dialokasikan secara khusus untuk sektor Tanaman Pangan, dengan total alokasi sebesar 345 ribu ton untuk tahun 2008.
61
Industri pupuk yang ditugasi untuk memproduksi pupuk organik bersubsidi sebagaimana peraturan tersebut, meliputi 4 industri pupuk nasional, yaitu : •
PT. Petrokimia Gresik, sebanyak 300 ribu ton
•
PT. Pupuk Kalimantan Timur, sebanyak 25 ribu ton
•
PT. Pupuk Sriwijaya, sebanyak 10 ribu ton, dan
•
PT. Pupuk Kujang, sebanyak 10 ribu ton
Dari keempat produsen pupuk nasional tersebut, hanya PT. Petrokimia Gresik saja yang telah mempunyai instalasi pengolahan pupuk organik dengan merk Petroganik yang memiliki kapasitas produksi 3.000 ton per tahun. Menurut Bambang
Tjahjono,
Direktur
Pemasaran
PT.
Petrokimia
Gresik
[http://www.antara.co.id], mengatakan “Saat ini memang jumlah pupuk organik bersubsidi masih kecil, baru sebesar 345 ribu ton, tapi tahun‐tahun mendatang akan terus meningkat terkait kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas tanah”.
Proyeksi kebutuhan pupuk organik, berdasarkan proyeksi produksi dan luas panen yang disajikan pada Tabel 2.4, Tabel 2.5, dan Tabel 2.6., maka pada Tabel 2.10 berikut disajikan proyeksi kebutuhan pupuk organik. Tabel 2.10.
Proyeksi Kebutuhan Pupuk Organik DOSIS 2005 2010 2015 2020 2025 PUPUK Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan Luas Panen Kebutuhan ORGANIK Pupuk Pupuk Pupuk Pupuk Pupuk (Kg/Ha) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton) (000 Ha) (Ton)
NO.
KOMODITI
I.
TANAMAN PANGAN Padi Jagung Kedelai Ubi-ubian
50 60 60 25
11,839.0 3,626.0 622.0 1,391.0
591,950.0 217,560.0 37,320.0 34,775.0
12,524.7 4,484.5 857.9 1,429.5
626,236.7 269,070.4 51,477.0 35,736.3
13,301.0 5,516.7 1,175.5 1,457.5
665,052.1 331,001.2 70,527.9 36,438.6
14,125.5 6,786.4 1,610.5 1,486.2
706,273.3 407,186.4 96,629.3 37,154.7
15,001.0 8,348.4 2,206.5 1,515.4
750,049.5 500,906.8 132,390.6 37,884.9
HORTIKULTURA Sayuran Bawang Merah Kentang Cabe
60 60 60 60
612.3 83.6 61.6 187.2
36,737.3 5,016.8 3,693.4 11,234.2
783.9 119.1 75.0 221.3
47,034.9 7,143.9 4,500.1 13,278.4
953.8 172.1 89.9 253.3
57,225.2 10,327.7 5,391.4 15,200.0
1,160.4 248.8 107.7 290.0
69,623.2 14,930.5 6,459.2 17,399.7
1,411.8 359.7 129.0 332.0
84,707.3 21,584.7 7,738.4 19,917.7
PERKEBUNAN Kakao Sawit Kopi Karet Lada
300 300 200 300 200
1,167.0 5,453.8 1,255.3 3,279.4 192.0
350,113.8 1,636,144.8 251,054.4 983,817.3 38,398.4
1,015.6 5,465.9 1,148.4 4,068.7 145.6
304,665.8 1,639,759.1 229,672.7 1,220,617.0 29,126.3
1,314.8 7,387.3 1,422.2 5,048.0 199.3
394,426.1 2,216,190.6 284,438.1 1,514,413.1 39,868.2
1,702.1 9,984.2 1,761.3 6,263.1 272.9
510,631.3 2,995,257.4 352,262.4 1,878,924.5 54,571.6
2,203.6 13,494.0 2,181.3 7,770.6 373.5
661,072.9 4,048,192.8 436,259.3 2,331,171.8 74,697.6
II.
III.
JUMLAH KEBUTUHAN PUPUK MAJEMUK
4,197,815.4
4,478,318.8
5,640,500.3
7,147,303.5
9,106,574.3
Sumber : Hasil Analisis Data
62
Berdasarkan Tabel 2.10. di atas, maka proyeksi Market Size pupuk organik adalah sebagai berikut : •
Tahun 2010, sebesar 4,48 juta ton
•
Tahun 2015, sebesar 5,64 juta ton
•
Tahun 2020, sebesar 7,15 juta ton
•
Tahun 2025, sebesar 9,11 juta ton
Berdasarkan data proyeksi kebutuhan pupuk organik untuk sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan pada tahun 2010 adalah sebesar 4,48 juta ton, sementara produksi pupuk kimia NPK (pupuk majemuk) dari kelima industri pupuk nasional sebesar 414.911 ton, atau 9,26% dari total kebutuhan pupuk majemuk. Dengan demikian, market size pupuk organik majemuk adalah sebesar 90,74% dari total kebutuhan, atau 4,1 juta ton. Pada Tabel 2.11. berikut disajikan proyeksi Market Size pupuk organik pada Tahun 2010‐2025. Tabel 2.11. Proyeksi Market Size Pupuk Organik (2010‐2025)
Produksi NPK - Pupuk Kimia Tahun 2006-2007 (Ton)
TAHUN
2010 2015 2020 2025 Sumber :
KEBUTUHAN PUPUK MAJEMUK (N, P, K) (juta Ton) 4.48 5.64 7.15 9.11 Pengolahan Data
414,911
RATIO PRODUKSI/ KEBUTUHAN NPK (Kimia) 9.26% 7.36% 5.81% 4.56%
MARKET SIZE PUPUK ORGANIK % juta Ton 90.74% 4.1 92.64% 5.2 94.19% 6.7 95.44% 8.7
63
2.2.1.2. Segmentasi Pasar Segmentasi pasar merupakan suatu proses dalam membagi pasar ke dalam beberapa jenis konsumen berdasarkan derajat kebutuhannya dan menentukan segmen yang akan dijadikan sebagai sasaran. Proses segmentasi pasar selanjutnya akan menentukan market share dari produk yang akan dipasarkan. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, [Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006]. Market Segmentation Produk pupuk organik yang akan diproduksi harus dapat digunakan pada berbagai kelompok tanaman yang membutuhkan unsur‐unsur majemuk (Nitrogen‐N, Posfor‐P, Kalium‐K, dan Belerang‐S), sebagai substitusi pupuk kimia NPK. Kelompok tanaman, baik yang termasuk dalam golongan tanaman pangan (padi, jagung, kacang, dan kedelai), hortikultura (sayur, buah‐buahan, dan tanaman hias), serta perkebunan (kakao, sawit, kopi, dan karet) sangat membutuhkan masukan unsur‐unsur majemuk N, P, K, dan S. Daerah pemasaran sebagai segmen geografis masih diprioritaskan bagi pemenuhan pupuk organik di tingkat nasional, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dapat meraih pasar internasional. 64
Market Targeting Target pasar yang akan menjadi sasaran untuk dipenetrasi adalah pasar pupuk nasional untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Sementara untuk perkebunan diprioritaskan untuk perkebunan kakao dan sawit. Product Positioning Produk pupuk organik dengan spektrum penggunaan yang luas, efisien, dan efektif akan menjadi konsep positioning produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. Untuk meraih posisi tersebut maka proses dan rekayasa formula produk akan dilakukan secara menerus melalui program R&D (research & development) dalam bentuk pengujian langsung pada petak‐petak uji (demonstration plot) terhadap berbagai varietas tanaman. Formula pupuk organik yang akan dipasarkan, baik sebelum dipasarkan maupun selama produksi (secara periodik) akan dilakukan pengujian kualitas dan efektifitas dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 teranggal 10 Februari 2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah.
Pupuk Majemuk dengan aplikasi luas, efektif dan efisien
Positioning
Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura & Perkebunan Sawit, Karet dan Kakao
Targeting
Sektor Pertanian dan Perkebunan
Gambar 2.13. Diagram Market Segmentation, Targeting, dan Positioning
Segmentation
65
2.2.1.3. Marketing Mix Profil Produk Produk pupuk organik berbentuk granule dan cair (liquid), dengan kandungan bahan‐bahan pupuk mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006, yaitu sebagaimana tertuang pada Tabel 2.12., berikut : Tabel 2.12.
Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik NO. 1. 2. 3.
4.
PARAMETER
SATUAN %
> 12 10 ‐25
Granule Curah
%
4 ‐ 12 13 ‐20
%
Kadar Total %
< 5 < 5
< 5 < 5
%
Max. 0.500
Max. 0.250
%
Max. 0.500
Max. 0.250
%
Max. 0.500
Max. 0.250
%
Max. 0.002
Max. 0.0005
%
Max. 0.250
Max. 0.125
%
Max. 0.001
Max. 0.001
%
Max. 0.400
Max. 0.040
%
Kadar Unsur Mikro Zn (Seng) Cu (Tembaga) Mn (Mangan) Co (Cobalt) B (Boron) Mo (Molibdat) Fe (Besi)
6. 7.
Cair
≥ 4,5
C‐Organik C/N Ratio Kadar Air
P2O5 K2O
5.
Persyaratan Padat
pH Mikroba Patogen
4 ‐ 8
4 ‐ 8
cell/gram
Dicantumkan
Dicantumkan
ppm
ppm
≤ 10 ≤ 1 ≤ 50 ≤ 10
≤ 10 ≤ 1 ≤ 50 ≤ 10
%
Max. 2
(E.coli, Salmonella sp)
8.
Kadar Logam Berat As (Arsen) Hg (Merkuri) Pb (Timbal) Cd (Kadmium)
9.
ppm ppm
Bahan Ikutan (kerikil, beling, plastik, dll.)
Sumber :
Peraturan Menteri Pertanian, No. 02/Pert/HK.060/2/2006
66
Segmen Harga Harga pupuk organik mempedomani target market, yakni pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan, dimana berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 76/Pementan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk Organik, yakni dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) khusus bagi sektor tanaman pangan di petani adalah Rp 1.000 per kg (dengan subsidi harga dari Pemerintah 50%), artinya harga jual produsen sebesar Rp 2.000 per kg. Sementara itu untuk segmen harga bagi target market perkebunan, disetarakan dengan harga NPK pupuk kimia yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 505/Kpts/SR.130/12/2005, yakni dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 1.600 per kg (subsidi dari Pemerintah 50%), atau harga jual produsen sebesar Rp 3.200 per kg. Channel Distribusi Channel distribusi penjualan pupuk organik di pasar dalam negeri dilakukan melalui kolaborasi dengan industri pupuk nasional, yakni : •
PT. Pupuk Iskandar Muda untuk distribusi penjualan wilayah Nangroe Aceh Darussalam (NAD);
•
PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri) untuk distribusi penjualan wilayah Sumatera dan sebagian Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat;
•
PT. Pupuk Kujang untuk distribusi penjualan wilayah Jawa Barat;
•
PT. Petrokimia Gresik untuk distribusi penjualan wilayah Jawa Timur;
•
PT. Pupuk Kalimantan Timur untuk distribusi penjualan wilayah Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua
67
Pembagian wilayah distribusi dan penjualan pupuk oleh produsen pupuk nasional tersebut di atas mengacu pada Keputusan Menteri Perdagangan No. 03/M‐DAG/PER/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk sektor Pertanian dan Perkebunan. Promosi Strategi promosi pupuk organik dilakukan dengan mekanisme edukasi terhadap pasar melalui kerjasama dengan Departemen Pertanian RI, khususnya dengan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Pusat Penyuluhan Pertanian dan Pusat Data & Informasi Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Edukasi dilakukan baik secara langsung kepada para petani dan perkebunan melalui Mantri Tani dan Penyuluh Pertanian yang tersebar di seluruh desa di Indonesia, maupun tidak langsung melalui penyelenggaraan seminar dan workshop pada Fakultas Pertanian di beberapa Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. 2.2.2.
Strategi Manufacturing
2.2.2.1. Teknologi Proses Produksi Proses pembuatan pupuk organik dari sampah sejauh ini masih dilakukan secara konvensional dengan metoda pengomposan (composting), sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi produk pupuk organik. Oleh karena itu pembuatan pupuk organik dengan metoda pengomposan umumnya hanya dapat dilakukan dalam jumlah terbatas.
68
Prinsip dasar pengomposan adalah proses penguaraian senyawa‐senyawa Karbon (C) oleh bakteri yang digunakan sebagai sumber energi bagi dirinya, dan dengan adanya senyawa‐senyawa Nitrogen (N) pada bahan baku akan disintesa oleh bakteri tersebut menjadi protein yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Ratio C/N pada suatu bahan akan menentukan tingkat kecepatan proses pengomposan menjadi pupuk organik. Ratio C/N yang dibutuhkan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembang berkisar antara 30 – 40. Kadar Ratio C/N yang terlampau tinggi memberikan indikasi bahwa kandungan Nitrogen (N) rendah, oleh karena itu bakteri akan kekurangan Nitrogen yang dapat disintesa menjadi protein, sehingga tidak berkembang biak. Melalui rekayasa pemisahan fraksi organik pada sampah kota yang dikenal dengan proses organic fraction separation (OFS), yaitu memisahkan sampah‐ sampah yang memiliki kandungan organik dari sampah‐sampah lainnya seperti plastik, karet, dan logam, maka Ratio C/N sampah akan mencapai angka 30, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan proses pengomposan sampah menjadi pupuk organik secara singkat. Metoda pengomposan yang dipercepat ini menggunakan Teknologi Aerobic Digestion dengan bakteri jenis thermophilic. Penerapan teknologi pengolahan sampah dengan rekayasa pemisahan fraksi organik dari sampah kota akan mampu menyelesaikan persoalan pengelolaan persampahan di kota‐kota besar, khususnya dalam meniadakan kesulitan mencari lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah, seperti yang dihadapi oleh kota Bandung, Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar dan Makassar. 69
Sistem Pengelolaan Sampah Kota Besar (Kasus Kota Bandung) Sumber timbulan sampah kota dikelompokkan berdasarkan 4 kategori, yaitu permukiman, daerah komersial dan fasilitas umum, pasar, dan jalan. Proses pengumpulan hingga Gambar 2.14. Diagram Pengelolaan Sampah Kota
pengangkutan
ke
Tempat
Pembuangan Sementara (TPS), untuk sumber dari permukiman, menjadi tanggungjawab masyarakat, sementara pengangkutan sampah dari TPS menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh Dinas Kebersihan Kota (DKK) atau Perusahaan Daerah Kebersihan Kota (PD Kebersihan). Sementara, untuk sumber daerah komersial dan fasilitas umum, pasar, dan jalan, pengelolaan sampah dari proses pengumpulan hingga pengangkutan ke TPA seluruhnya menjadi tanggungjawab PD Kebersihan. Tabel 2.13.
Timbulan Sampah Kota Besar (Contoh Kasus : Kota Bandung)
NO.
1. 2. 3. 4.
Sumber :
SUMBER
Permukiman Pasar Jalan Komersial & Fasilitas Umum a. Toko b. Kantor c. Rumah Makan d. Hotel e. Industri f. Rumah Sakit Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota Bandung, LIPI & Teknik Lingkungan ITB, 1994
Satuan
TIMBULAN
Lt/Org/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari Liter/Hari
1.980 256,894.76 268,012.00 107,778.810 30,238.00 42,044.00 9,976.43 7,118.00 6,628.57 11,773.81
70
Berdasarkan data Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota (Kasus Kota Bandung) Tahun 1994 yang dilakukan oleh PD Kebersihan Kota Bandung bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jurusan Teknik Lingkungan ITB, sebagaimana Tabel 2.13. diperoleh gambaran bahwa laju timbulan sampah dari sumber permukiman sebesar 1,98 liter/orang/hari. Sementara itu, jumlah timbulan sampah dari sumber pasar, yaitu sebesar 256.894,76 liter/hari yang berasal dari seluruh pasar di kota Bandung. Sampah yang berasal dari jalan sebanyak 268.012 liter/hari, dan yang berasal dari daerah komersial & fasilitas umum (toko, kantor, rumah makan, hotel, industri, dan rumah sakit) sebanyak 107.778,81 liter/hari. Komposisi sampah organik (sampah basah dan dedaunan) untuk masing‐masing sumber,
Gambar 2.15.
Komposisi Organik Sampah Kota Bandung (%)
62.28
Pasar
76.82 85.05
Jalan Toko
79.44 84.32
52.97 25.92 32.57
pada
Gambar 2.15. Kandungan Permukiman
72.69
seperti
Kantor Rumah Makan Hotel Industri Rumah Sakit
sampah organik tertinggi berasal dari sumber sampah pasar,
yaitu
dengan
kandungan sampah organik sebesar
85,05%,
disusul
berikutnya rumah makan sebesar 84,32%, hotel 79,44%, permukiman 76,82%, rumah sakit 72,69%, industri 62,28%. Sementara itu, sumber sampah dari jalan, toko, dan kantor memiliki kandungan organik di bawah 60%, yakni masing‐masing jalan 52,97%, kantor 32,57%, dan toko 25,92%. Berdasarkan data komposisi sampah kota Bandung (Tabel 2.14), menjelaskan bahwa kandungan sampah organik dari seluruh sumber timbulan sampah, mencapai 63,56%. Dengan kata lain bahwa 63,56% dari jumlah sampah kota Bandung merupakan sampah basah yang dapat di‐dekomposisi secara biologis. 71
Data secara lengkap mengenai komposisi fisik sampah kota Bandung dan berat jenis sampah disajikan pada Tabel 2.14. dan Tabel 2.15. Tabel 2.14.
Komposisi Fisik Sampah Kota Besar (Contoh Kasus : Kota Bandung)
Permu‐ kiman %
Rumah‐ makan %
Hotel
Jalan
SUMBER Kantor
Toko
Pasar
%
%
%
%
SAMPAH ORGANIK Sampah basah Dedaunan SAMPAH AN‐ORGANIK Kertas Tekstil Karet Plastik Kayu Kulit Pecah‐belah Logam Lain‐lain
76.82 59.71 17.11 23.18 5.05 0.84 0.26 8.50 1.41 1.26 1.18 0.16 4.52
84.32 76.68 7.64 15.68 3.23 1.34 0.28 3.87 2.20 0.03 0.77 0.21 3.75
79.44 73.51 5.93 20.56 5.61 0.63 0.45 7.40 0.28 ‐ 2.76 1.10 2.33
52.97 1.17 51.80 47.03 5.36 0.90 0.62 9.69 1.90 0.10 0.29 0.52 27.65
32.57 24.16 8.41 67.43 30.35 2.13 0.20 13.14 2.44 0.05 1.81 0.79 16.52
JUMLAH
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
KOMPOSISI
NO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11
Sumber :
Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota Bandung, LIPI & Teknik Lingkungan ITB, 1994
Industri
%
Rumah‐ sakit %
%
Rata‐ rata %
25.92 16.62 9.30 74.08 23.15 2.95 2.99 19.18 2.68 0.86 2.00 1.96 18.31
85.05 57.17 27.88 14.95 3.06 0.28 0.27 3.32 0.79 ‐ 0.21 0.28 6.74
72.69 55.32 17.37 27.31 7.49 3.58 0.31 6.16 1.74 ‐ 1.07 0.39 6.57
62.28 43.35 18.93 37.72 10.44 2.25 1.22 9.98 3.08 ‐ 0.68 0.47 9.60
63.56 45.30 18.26 36.44 10.42 1.66 0.73 9.03 1.84 0.26 1.20 0.65 10.67
100.00
100.00 100.00 100.00
100.00
‐
Tabel 2.15.
Berat Jenis dan Komposisi Sampah Kota Besar (Contoh Kasus : Kota Bandung)
SUMBER
NO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Permukiman Pasar Jalan Toko Kantor Rumah Makan Hotel Industri Rumah Sakit
JUMLAH Sumber :
Berat Jenis (Kg/M3)
Komposisi Fisik Organik An‐Organik % %
185.22 292.04 130.84
76.82 85.05 52.97
23.18 14.95 47.03
103.27 99.69 239.08 277.76 278.30 295.08
25.92 32.57 84.32 79.44 62.28 72.69
74.08 67.43 15.68 20.56 37.72 27.31
211.25
63.56
36.44
Penelitian Timbulan dan Karakteristik Sampah Kota Bandung, LIPI & Teknik Lingkungan ITB, 1994
72
Berdasarkan jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2003, yaitu sebesar 2.228.268 jiwa dengan laju pertumbuhan 1,4% pertahun, serta laju timbulan sampah sebagaimana disajikan pada Tabel 2.13. di atas, serta berat jenis sampah (Tabel 2.15.), maka jumlah timbulan sampah kota Bandung dapat diproyeksikan pada tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 yang disajikan pada Tabel 2.16. sebagai berikut. Tabel 2.16.
Proyeksi Timbulan Sampah Kota Bandung (Basis Data Tahun 2003)
TAHUN
JUMLAH PENDUDUK
TIMBULAN SAMPAH PERMUKIMAN
TIMBULAN SAMPAH PASAR
TIMBULAN SAMPAH KOMERSIAL & JALAN
TIMBULAN SAMPAH TOTAL
(Jiwa)
(m3/hari)
(Ton/hari)
(m3/hari)
(Ton/hari)
(m3/hari)
(Ton/hari)
(m3/hari)
(Ton/hari)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020 2025
2,228,268 2,259,464 2,291,096 2,323,172 2,355,696 2,388,676 2,422,117 2,456,027 2,632,830 2,822,362 3,025,537
4,412 4,474 4,536 4,600 4,664 4,730 4,796 4,863 5,213 5,588 5,991
817 829 840 852 864 876 888 901 966 1,035 1,110
257 257 257 257 257 257 257 257 257 257 257
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
376 376 376 376 376 376 376 376 376 376 376
79 79 79 79 79 79 79 79 79 79 79
5,045 5,106 5,169 5,233 5,297 5,362 5,428 5,496 5,846 6,221 6,623
972 983 995 1,006 1,018 1,030 1,043 1,055 1,120 1,189 1,264
Sumber : Pengolahan Data
Jumlah timbulan sampah hasil proyeksi sebagaimana Tabel 2.16. di atas, dengan mengambil asumsi jumlah timbulan sampah dari sumber pasar, dan komersial & jalan tetap, maka : •
Timbulan sampah tahun 2010 : 5.496 m3/hari atau 1.055 ton/hari
•
Timbulan sampah tahun 2015 : 5.846 m3/hari atau 1.120 ton/hari
•
Timbulan sampah tahun 2020 : 6.221 m3/hari atau 1.189 ton/hari
•
Timbulan sampah tahun 2025 : 6.623 m3/hari atau 1.264 ton/hari
73
Komposisi sampah organik
Tabel 2.17.
Proyeksi Komposisi Sampah Kota Bandung
yang
(Basis Data Tahun 2003)
TIMBULAN SAMPAH TOTAL
TAHUN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020 2025
KOMPOSISI SAMPAH (Ton/Hari)
(m3/hari)
(Ton/hari)
ORGANIK
NON‐ORGANIK
5,045 5,106 5,169 5,233 5,297 5,362 5,428 5,496 5,846 6,221 6,623
972 983 995 1,006 1,018 1,030 1,043 1,055 1,120 1,189 1,264
618 625 632 640 647 655 663 671 712 756 803
354 358 362 367 371 375 380 384 408 433 461
Sumber : Pengolahan Data
berpotensi
untuk
dijadikan bahan baku pupuk organik, yakni 63,56%, dengan demikian pada tahun 2010 terdapat 671 ton/hari sampah organik sebagai bahan baku pupuk organik. Tabel 2.17. disajikan proyeksi komposisi
sampah organik selengkapnya. Pengelolaan Pembuangan Akhir Sampah Pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di hampir setiap kota besar masih menghadapi persoalan. Hal ini dikarenakan belum adanya upaya untuk menerapkan teknologi dalam pengelolaan sampah di TPA. Hampir setiap kota besar hanya menerapkan prinsip ‘open dumping’, yakni membuang sampah tanpa perlakuan apapun ke lahan TPA. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan sanitasi perkotaan, seperti pencemaran airtanah dan menjadi tempat perkembangbiakan berbagai hewan pembawa penyakit, seperti lalat. Di samping itu, proses dekomposisi sampah akan menimbulkan gas methan (CH4) yang bersifat eksplosif dan beracun. Sistem pengolahan sampah dengan perlakukan penerapan teknologi, terdapat 3 jenis, yaitu : •
Sanitary Landfill
•
Incineration, dan
•
Pemisahan Fraksi Organik 74
MUNICIPAL SOLID WASTE MANAGEMENT SANITARY LANDFILL
FINAL DISPOSAL MANAGEMENT
INCINERATION
Large space needed Land cover needed Ground water pollution Low combustible due to high water content Air pollution (Particulate, SOx, NOx, COx, HC, Dioxin)
BIOGAS
ORGANIC FRACTION SEPARATION
Limited usage
ORGANIC FERTILIZER
Recycable Materials
Gambar 2.16. Diagram Pengelolaan Sampah di TPA
Sanitary Landfill merupakan proses penimbunan sampah secara bertahap dan terencana yang dilengkapi dengan sistem pengumpul leachate (air sampah) dan sistem pengumpul gas. Sampah yang masuk ke area sanitary landfill, dilakukan penghamparan hingga setinggi maksimum 100 cm kemudian ditutup dengan tanah penutup setebal 30 cm, [Tchobanoglous, p321]. Sebagai gambaran mengenai kebutuhan lahan dan perkiraan investasi lahan Sanitary Landfill, pada Tabel 2.18. berikut disajikan proyeksi kebutuhan lahan Sanitary Landfill berdasarkan proyeksi timbulan sampah yang tertuang pada Tabel 2.17. di atas. Tabel 2.18.
Perkiraan Kebutuhan Lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah (Basis Data Tahun 2003)
TAHUN
Per Hari m3
Timbulan Sampah Per Tahun Kumulatif 000 m3
2003 5,045 1,841.30 2004 5,106 1,863.84 2005 5,169 1,886.71 2006 5,233 1,909.89 2007 5,297 1,933.39 2008 5,362 1,957.23 2009 5,428 1,981.39 2010 5,496 2,005.90 2015 5,846 2,133.68 2020 6,221 2,270.65 2025 6,623 2,417.49 Sumber : Pengolahan Data
Kedalaman 6m
Kebutuhan TPA Harga Lahan Biaya Lahan
000 m3
Ha
Rp/m2
000 Rp
1,841.30 3,705.14 5,591.85 7,501.74 9,435.13 11,392.35 13,373.75 15,379.65 17,513.33 19,783.98 22,201.46
30.69 61.75 93.20 125.03 157.25 189.87 222.90 256.33 291.89 329.73 370.02
30,000 30,000 30,000 40,000 40,000 50,000 50,000
47,175,639 56,961,770 66,868,741 102,530,994 116,755,506 164,866,474 185,012,188
75
Berdasarkan Tabel 2.18. di atas, dapat dijelaskan bahwa untuk menampung timbulan sampah Kota Bandung hingga tahun 2015, diperlukan lahan seluas 291,89 Ha dengan perkiraan biaya investasi lahan sebesar Rp 116,9 milyar. Jelas bahwa dengan kebutuhan lahan yang luas dan investasi yang besar bagi teknologi sanitary landfill, menyebabkan tidak satupun kota menerapkan teknologi ini, dan cenderung hanya menerapkan prinsip open dumping (tanpa sentuhan pengolahan apapaun). Persoalan kebutuhan lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) inilah yang hingga saat belum terpecahkan. Incineration merupakan proses pemusnahan sampah melalui pembakaran yang terkendali. Pada sistem incineration, yang perlu diperhatikan adalah kadar air dari sampah, bahan‐bahan plastik, dan temperatur pembakaran. Temperatur pembakaran yang diperlukan berkisar antara 800oC hingga 1.000oC untuk menjamin tidak teremisikannya zat dioxin yang bersifat mutagenic terhadap manusia. Karakteristik kimia sampah kota Bandung, [LIPI & Teknik Lingkungan ITB, 1994] adalah sebagai berikut : •
Kadar Air : 60,02%
•
Kadar Abu : 22,72%
•
C/N Ratio : 12,78%
•
Nilai Kalor : 3.484 Cal/gram
Berdasarkan karakteristik kimia tersebut di atas, maka teknologi pengolahan sampah kota Bandung yang paling memungkinkan adalah teknologi pemisahan fraksi organik yang diintegrasikan dengan teknologi dekomposisi bahan organik untuk dijadikan pupuk.
76
Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah Pemilihan teknologi pengolahan sampah kota ditentukan berdasarkan 3 faktor utama, yaitu : •
Daya Tampung
•
Teknik dan Biaya Operasi dan Pemeliharaan, dan
•
Biaya Investasi
Aspek Daya Tampung memperhatikan 2 faktor, yakni mampu menampung timbulan sampah jangka panjang dan mampu mengatasi persoalan sampah di kota‐kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar. Aspek Teknik dan Biaya Operasi dan Pemeliharaan memperhatikan 6 faktor, yaitu ketersediaan teknologi proses; mudah dioperasikan; biaya operasi murah; biaya pemeliharaan murah; suku cadang tersedia di dalam negeri; suku cadang memungkinkan dilakukan reverse engineering. Aspek Biaya Investasi terdiri dari 4 faktor, yaitu memberikan return terhadap biaya investasi; biaya investasi lahan; biaya investasi alat berat; dan biaya investasi teknologi proses. Sebagai parameter kunci spesifikasi teknis pengolahan sampah kota besar terdapat 3 parameter, yaitu : •
Lahan
•
Teknik Proses, dan
•
Lingkungan Hidup
77
Pada parameter lahan terdapat 3 parameter, yaitu kebutuhan luas lahan; proses penguasaan lahan; dan memenuhi peraturan penataan ruang dan wilayah. Parameter Teknik Proses terdiri dari 5 parameter, yaitu pengurangan volume sampah secara mekanik (compaction); pengurangan volume sampah secara kimia (incineration), pengurangan ukuran sampah secara mekanik (shredding); pemilahan komponen sampah (separation); dan pengurangan kadar air (drying dan dewatering). Berdasarkan matriks House of Quality (Gambar 2.17) antara Parameter Kebutuhan (Daya Tampung, Operasi & Pemeliharaan, dan Investasi) terhadap Parameter Teknis (Lahan, Teknik Proses, dan Lingkungan Hidup), maka Teknologi Pemisahan Fraksi Organik Sampah lebih unggul dibandingkan dengan Teknologi Incineration, apalagi dengan Teknologi Sanitary Landfill. 78
KAPASITAS
OPERASI & PEMELIHARAAN
+ ‐
+
+
94
76
64
64
64
747
5%
PERCENTAGE OF TOTAL
Organic Fraction Separation Incineration Sanitary Landfill
Supporting Trade‐off
1 Weak Interrelationship
5%
6%
9%
13%
13% 13%
10%
9%
9%
9% 100%
Gambar 2.17.
10%
7%
7%
11%
5%
5%
12%
8%
11% 11% 11% 11% 8%
5%
5%
27.60
1.00
4.00
4.00
5.00
1.00
0.80 0.80 2.00 2.00 1.00
2.00
100%
4%
14%
14%
3%
4%
3% 3% 7% 7% 4%
7%
14%
Weight
4.00
MATRIKS HOUSE OF QUALITY PERBANDINGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH
18.67 100%
2.00
1.00
1.00
1.67
9%
13.42 100%
1.33
4
Biaya Investasi Teknologi Proses
41
1.00
4
TECHNICAL PRIORITIES
1.00
4
Biaya Investasi Lahan
Biaya Investasi Alat Berat
1.25
5
1.50
2.00 2.00 2.00 2.00 1.50
1.00
1.00
Weight
IMPROVEMENT
6%
10% 10% 10% 10% 6%
7%
7%
Weight
Memberikan Return Terhadap Biaya Investasi
100
Expectati on
0.75
94
5
Excellent
4
3
67
3
Suku cadang memungkinkan dilakukan reverse engineering
Suku cadang tersedia di dalam negeri
Biaya pemeliharaan murah
Biaya operasi murah
Mudah dioperasikan
42
2
1.33 1.33 1.33 1.33 0.75
1
Poor
1.00
41
LINGKUNGAN HIDUP
4 4 4 4 3
Kebutuhan Luas Lahan (Ha)
4
Proses Penguasaan Lahan
Ketersediaan Teknologi Proses
Memenuhi Peraturan Penataan Ruang dan Wilayah
Mampu Mengatasi Persoalan Sampah Kota Besar
Mechanical Volume Reduction (Compaction)
1.00
Chemical Volume Reduction (Incineration)
4
Component Separation
TEKNIK PROSES Mechanical Size Reduction (Shredding)
LAHAN Drying & Dewatering (Moisture Content Reduction)
+ + + + + ‐ ‐ + + ‐ ‐ ‐ + ‐ + + ‐ ‐ ‐ ‐ + ‐ + ‐ + ‐ ‐ + + + + ‐ ‐ + + + ‐ ‐ + ‐ ‐ ‐ + ‐ + + + + + ‐
‐
‐
Memenuhi Standar Kualitas Efluen Air Limbah
Mampu Menampung Timbulan Sampah Jangka Panjang
Remarks 9 Strong Interrelationship 3 Medium Interrelationship
INVESTASI
Emisi Memenuhi Standar Kualitas Udara
Tidak Menimbulkan Bau (Fly Index)
‐
79
Teknologi Pengolahan Organic Fraction Separation (OFS) Prinsip dasar teknologi Organic Fraction Separation (OFS) adalah memisahkan komponen anorganik sampah kota, seperti yang disajikan pada Tabel 2.14. di atas, yakni komponen sampah kertas, tekstil, karet, plastik, kayu, kulit, logam, kaca dan pecah‐belah. Dengan memisahkan komponen anorganik sampah kota, maka yang akan tinggal adalah komponen sampah organik, yaitu jenis sampah basah dan dedaunan.
Gambar 2.18. Diagram Teknologi Organic Fraction Separation
Diagram proses pemisahan
ORGANIC-FRACTION SEPARATION Ferro
kota sebagaimana Gambar
1
MSW (Municipal Solid Wastes)
komponen organik sampah
3
2
2.18. terdiri dari 5 langkah
MAGNETIC SEPARATOR
proses. Water
Plastics
SIZE REDUCTION
1. Sampah
kota
yang
Oversize
4 5
PULPER / SLURRYING Heavies
SCREEN
Organicfraction MSW
diangkut
setiap
hari
dibongkar
pada
area
pengumpulan (Tipping
Floor),
sementara untuk
kemudian di‐transfer dengan conveyor melawati Magnetic Separator Chamber; 2. Di Magnetic Separator Chamber, komponen sampah logam (fero) dipisahkan, selanjutnya sampah di‐transfer dengan conveyor ke dalam alat Size Reduction; 3. Prinsip kerja alat Size Reduction adalah melakukan pemotongan (shredding) sampah menjadi ukuran kecil, selanjutnya sampah di‐transfer dengan conveyor menuju Pulper Chamber (Slurrying); 80
4. Prinsip kerja Pulper (Slurrying) adalah mencampurkan sampah yang telah dipotong dengan air sehingga tercampur merata. Proses pencampuran dibantu dengan steerer (pengaduk mekanik), sehingga floating materials seperti sampah plastik, tekstil, dan kulit dapat dipisahkan atau dikeluarkan dengan alat scrapper. Selanjutnya slurry sampah dialirkan dengan bantuan pompa jenis screw pump menuju saringan atau Screen Chamber; 5. Screen Chamber bertujuan untuk menyaring ukuran‐ukuran sampah yang lebih besar dan berada pada posisi paling bawah pada Pulper Chamber (mengendap) seperti karet, katu, kaca, dan pecah belah. Selanjutnya komponen sampah yang tidak lolos pada Screen dibuang, sedangkan komponen sampah yang lolos Screen merupakan komponen sampah organik yang berbentuk pulp. Pulp Komponen Sampah Organik selanjutnya diproses secara aerobic digestion, yakni proses dekomposisi materi organik dengan bakteri thermophilic, sehingga hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menjadi pupuk organik. Teknologi Proses Aerobic Digestion Komponen proses utama dalam pembuatan pupuk organik dari sampah pada prinsipnya hanya terdapat 2 (dua) komponen, yakni komponen digester (fermentasi bahan organik menjadi zat organik) dalam waktu yang sesingkat mungkin dan komponen granulasi (pelletizing) untuk membentuk zat organik dalam bentuk butiran‐butiran kering. 81
Gambar 2.19 Aerobic Digestion
Prinsip
dasar
teknologi
biodegradasi secara cepat adalah proses penguaraian materi oraganik oleh bakteri termofilik bacteria)
(thermophilic dalam
kondisi
beroksigen (aerobic), yang dikenal dengan proses aerobic digestion. Gambar 2.20. Aerobic Digestion (ATAD)
Teknologi
aerobic
digestion
telah
diaplikasikan di berbagai negara maju, seperti yang diproduksi Fuchs (Jerman) dengan trademark ATAD (Autoheated Thermophilic
Aerobic
Digestion)
dan
AMAD (Autoheated Mesophilic Aerobic Digestion). Faktor
yang
membedakan
antara
teknologi ATAD dan AMAD terletak pada jenis bahan organik yang akan didegradasi dan jenis bakterinya. Teknologi ATAD digunakan untuk menguraikan bahan‐bahan organik yang berasal dari Lumpur air limbah dan sampah, dimana jenis bakteri yang digunakan adalah thermophilic bacteria (jenis bakteri yang berkembang optimum pada temperature 55oC – 70oC). Sedangkan teknologi AMAD digunakan untuk mengurakaian bahan‐bahan organik dari kotoran hewan, dengan jenis bakteri yang ditanam adalah bakteri mesofilik (mesophilic bacteria, yakni jenis bakteri yang berkembang secara optimum pada termperatur 37oC). Trademark teknologi aerobic digestion lainnya 82
adalah EATAD (Enhanced Autogenous Thermophilic Aerobic Digestion) seperti yang dimiliki oleh IBR (International Bio Recovery), Canada, dengan prinsip proses yang sama dengan ATAD Fuchs. Pada Gambar 2.21. disajikan diagram teknologi proses pembuatan pupuk
organik berbahan baku sampah kota.
ORGANIC FERTILIZER PROCESS
Exhaust Gas
Thermophilic Bacteria
Organicfraction MSW
AEROBIC DIGESTION TANK
55 ‐ 70oC
AERATOR
DEWATERING
DRYING
Liquid
CLARIFYING
PALLETIZING
Liquid Organic Fertilizer
Granular Organic Fertilizer
Gambar 2.21. Diagram Teknologi Proses Pembuatan Pupuk Organik 83
Gambar 2.22. Aerobic Digestion (Skematik)
Komponen fraksi organik sampah kota yang telah dilakukan proses pada proses Organic Fraction Separation (OFS), dalam bentuk pulp, dimasukkan ke dalam tanki digester, sebagaimana Gambar 2.22. Selanjutnya
bakteri
jenis
Thermophilic Bacteria dmasukkan ke dalam tanki digester yang telah berisi pulp sampah organik ditambahkan molasse sebagai zat tambahan nutrisi bakteri. Oksigen dialirkan ke dalam tanki secara kontinu untuk menjamin proses respirasi bakteri. Proses dekomposisi secara aerobic akan menghasilkan materi organik stabil (pupuk organik) dan gas CO2 dan NH3. Gas‐gas yang dihasilkan tersebut, dikeluarkan (exhausting) dari tanki digester. Keseluruhan proses Aerobic Digestion yang menggunakan Thermophilic Bacteria membutuhkan waktu 3 hari, dengan penjelasan secara reaksi bio‐kimia sebagai berikut : Mollas es S el T hermophilic B ac teria Materi F raks i O rg anik S ampah C aH bO c NdS eP f
+
O ks ig en O2
Materi Org anik S tabil C p H q O rN s S tP u
+
Air H 2O
+
G as C O 2
+
G as NH 3
Materi Organik Stabil hasil dekomposisi masih mengandung air, sehingga perlu dilakukan proses Dewatering. Cairan yang terpisah setelah dilakukan proses Clarifying merupakan Produk Pupuk Organik Cair, yang siap dilakukan packaging dan dipasarkan. Sedangkan materi padatnya adalah merupakan Produk Pupuk Organik Padat. Selanjutnya materi padat dari proses Dewatering berikutnya dilakukan pengeringan pada alat pengering atau Drying untuk mengurangi kadar air.
84
Proses Finishing Produk Gambar 2.23. Palletizing Disc (Feeco, Inc.)
Proses finishing produk Pupuk Organik Padat berbentuk butiran (granule) dilakukan dengan teknologi pelletizing yang menggunakan cakram pelletizing (pelletizing disc). Prinsip kerja Sistem Pelletizing adalah pembentukan butiran padat (granule) dengan melewatkan materi pupuk organik berbentuk pasta setelah melalui proses dewatering dan drying pada cakram pelletizing sambil ‘ditembaki’ dengan semprotan air bertekanan tinggi. Butiran‐butiran (granule) selanjutnya dikeringkan dalam alat Rotary Dryer, kemudian dilakukan pengayakan (vibrating screen). Butiran‐butiran yang pecah (gagal) akibat proses pengayakan, diproses ulang pada sistem recycle. Gambar 2.24. Diagram Proses Pelletizing
Produk
butiran
hasil
pengayakan merupakan produk akhir dari Pupuk Organik Padat yang siap dilakukan packaging dan dipasarkan.
85
2.2.2.2. Ketentuan Persyaratan Produk Produk pupuk organik sebelum disalurkan ke pasar terlebih dahulu dilakukan beberapa proses sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, yaitu berikut : •
Uji mutu pupuk untuk memenuhi standar kualitas formula pupuk organik pada lembaga penguji yang telah ditunjuk oleh Pemerintah;
•
Pendaftaran produk pupuk organik pada Pusat Perizinan dan Investasi Departemen Pertanian, dengan melampirkan sertifikat Uji Mutu dan Efektifitas;
•
Permohonan izin produksi dan pengedaran produk pupuk organik dari Pusat Perizinan dan Investasi
Produk pupuk organik wajib mencantumkan label yang memuat merk dagang, jenis pupuk organik (cair atau padat), komposisi, volume/berat bersih, nama dan alamat produsen. Komposisi atau formula produk pupuk organik yang wajib dicantumkan dalam label, minimal meliputi : •
Kandungan C‐organik (Karbon Organik)
•
Rasio C/N (Carbon to Nitrogen Ratio)
•
pH dan Kadar Air (untuk jenis pupuk padat)
86
2.2.2.3. Komponen Proses Produksi Komponen proses produksi pupuk organik berbahan baku sampah kota terdiri dari 2 kelompok proses produksi, yaitu : •
Proses Pemisahan Fraksi Organik Sampah, dan
•
Proses Pupuk Organik
Komponen proses pemisahan fraksi organik sampah, meliputi : •
Tipping Floor (lantai kerja), sebagai penerima sampah kota, termasuk sistem conveyor
•
Sistem Magnetic Separator, termasuk sistem conveyor
•
Sistem Size Reduction, termasuk sistem conveyor
•
Pulper/Slurrying Tank, termasuk screw pump
•
Water Supply System & Waste Water Treatment
•
Sistem Screen Chamber, termasuk screw pump
Komponen proses pupuk organik, terdiri dari : •
Sistem Aerobic Digestion
•
Sistem Dewatering
•
Sistem Clarifying
•
Sistem Packaging Poduk Pupuk Cair
•
Sistem Pelletizing
•
Sistem Packaging Produk Pupuk Padat (granule)
87
2.2.2.4. Struktur Biaya Investasi Struktur biaya investasi sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan biaya investasi pengembangan industri pupuk organik berbahan baku sampah, terdiri dari : A.
Biaya Pra Konstruksi 1. Biaya Studi Kelayakan Teknis 2. Biaya Studi Amdal 3. Biaya Perizinan 4. Biaya Detailed Engineering Design
B.
Biaya Pengadaan Lahan (Land Acquisition)
C.
Biaya Pembersihan Lahan (Land Clearing)
D.
Biaya Konstruksi OFS Manufacturing Plant 1. Tipping Floor 2. Magnetic Separation Unit • • • •
Building Magnetic Separator Transfer Conveyor System Mechanical & Electrical Works
3. Size Reduction Unit • • • •
Bulding Size Reduction Equipment Transfer Conveyor Mechanical & Electrical Works
4. Pulper/Slurrying Tank • • • • •
Water Supply System Pulper/Slurrying Tank Screw Pumping System Centrifugal Pumping System Mechanical & Electrical Works 88
5. Screen & Collecting Chamber • •
Building Screen & Collecting Tank
6. Pulp OFS Pumping System • • •
Piping System Pumping System Mechanical & Electrical Works
7. Waste Water Treatment Plant • • •
Waste Water Treatment Unit Pumping System Mechanical & Electrical Works
E.
Biaya Konstruksi Organic Fertilizer Manufacturing Plant 1. Aerobic Digestion Tank • • • • • •
Bacteria Feeder Aeration System pH‐Regulator System (Lime Tank & Dosing Pump) Mollase Feeder (Nutrition) Pumping System Mechanical & Electrical Works
2. Dewatering Unit • • • • •
Building Dewatering Tank Pumping System untuk Bentuk Padat (pasta) Pumping System untuk Bentuk Cair Mechanical & Electrical Works
3. Clarifying Tank (Bentuk Cair) • • • •
Building Clarifying Tank Pumping System Mechanical & Electrical Works 89
4. Drying Unit (Bentuk Pasta) • • • •
Building Drying Unit Transfer Conveyor System Mechanical & Electrical Works
5. Pelletizing Unit • • • • • • •
Building Treated Water Supply System Pelletizing Disc Rotary Drayer Vibrating Screen Transfer Conveyor System Mechanical & Electrical Works
6. Product Packaging Unit • • • • •
Building Packaging Produk Cair Packaging Produk Granule Mechanical & Electrical Works Warehouse
F.
Exterior Works 1. OFS Manufacturing Plant • • • • •
Jalan Masuk (Accsess Road) Jalan Di Lingkungan Pabrik Landscape Saluran Drainase Pagar
2. Organic Fertilizer Manufacturing Plant • • • • •
Jalan Masuk (Accsess Road) Jalan Di Lingkungan Pabrik Landscape Saluran Drainase Pagar
90
G.
Bangunan Lainnya 1. OFS Manufacturing Plant • •
Kantor Operation Room
2. Organic Fertilizer Manufacturing Plant • • • •
Kantor Operation Room Dormitory Office Building
2.2.2.5. Struktur Biaya Produksi Biaya Produksi (Manufacturing Cost) pupuk organik berbahan baku sampah terdiri dari : A.
Biaya Produksi OFS Manufacturing 1. 2. 3. 4. 5. 6.
B.
Labor Energi Listrik Retribusi Air Baku Pengolahan Air Limbah Maintenance Pengangkutan Materi Sampah Terbuang
Biaya Produksi Organic Fertilizer Manufacturing 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Labor Energi Listrik Thermophilic Bacteria dan Mollase Larutan Kapur Pengatur pH Kemasan Produk Cair Kemasan Produk Granule Maintenance Kompensasi Penjualan Kepada Distributor 91
2.2.3.
Aspek Kelayakan Investasi
Kelayakan investasi terhadap strategi pengembangan manufaktur pupuk organik berbahan baku sampah kota akan dilakukan kajian melalui proses Capital Budgeting terhadap 2 Strategi Pengembangan, yakni : 1. Strategi Pengembangan terhadap keseluruhan komponen proses produksi, yakni proses manufacturing pupuk organik sekaligus dengan proses pemisahan fraksi organik sampah kota; dan 2. Strategi Pengembangan hanya terhadap proses manufacturing pupuk organik saja, sementara proses pemisahan fraksi organik dilakukan oleh Pemerintah Daerah Dalam melakukan analisis kelayakan investasi, akan dilakukan kajian terhadap 3 aspek utama, yaitu : •
Income statement, untuk memperoleh Free Cashflow (FCF);
•
Penentuan discount rate; dan
•
Performa Investasi
Rate of Return yaitu average rate pengembalian Cost of Capital investasi bagi investor, baik kepada Kreditur dalam hal Debt sebagai sumber Capital, maupun Owner’s Equity dalam hal Equity sebagai sumber Capital. Cost of Capital dalam hal sumber Capital berasal dari kombinasi Debt dan Equity digunakan WACC (Weighted Average Cost of Capital) sebagai Rate of Return.
92
Performa investasi sebagai suatu indikator kelayakan investasi yang akan dianalisis mencakup : •
Pay Back Period
•
NPV (Net Present Value)
•
IRR (Internal Rate of Return), dan
•
ROI (Return on Investment)
2.2.3.1. Income Statement Income Statement, [Gitman, p.47], merupakan ringkasan keuangan hasil operasi suatu usaha pada perioda tertentu, yang menyajikan perhitungan Laba/Rugi (Profit/Lost) dari selisih pendapatan (Revenues/Sales) terhadap seluruh beban biaya. Beban‐beban biaya terdiri dari 3 komponen biaya, yaitu Biaya Produksi (Manufacturing Cost) atau disebut juga Cost of Goods Sold (COGS); Biaya Operasi (Operating Expenses) yang meliputi Biaya Penjualan (Selling Expense), Biaya Umum (General Expense), Biaya Administrasi (Administrative Expense) dan Biaya Penyusutan (Depreciation Expense). Selisih antara Revenues/Sales terhadap COGS menghasilkan Gross Profits, dan selisih antara Gross Profit dengan Operating Expense menghasilkan Operating Profits. Oleh karena pada Operating Profits belum mempertimbangkan biaya‐ biaya bunga dan pajak (Interest & Tax Costs), maka Operating Profits dikenal juga dengan sebutan Earnings Before Interest and Taxes, atau EBIT. EBIT setelah dikurangi Interest Expense, yaitu ongkos pembiayaan (Financial Cost) atau dikenal juga sebagai biaya bunga, menghasilkan Earnings Before Taxes (EBT) atau Net Profits Before Taxes.
93
Selanjutnya biaya pajak‐pajak atas EBT dihitung berdasarkan Tax Rates yang berlaku, dan EBT setelah dikurangi Tax Cost menghasilkan Earnings After Taxes (EAT). Dalam hal suatu perusahaan
INCOME STATEMENTS 1. 2. 3. 4.
Sales/Revenues Less : COGS (Manufacturing Costs) Gross Profits Less : Operating Expenses Selling Expense General and Administrative Expense Depreciation Expense
5. 6. 7. 8. 9.
Earnings Before Interest and Taxes (EBIT) Less : Interest Expense Earnings Before Taxes (EBT) Less : Taxes Earnings After Taxes (EAT)
mempunyai
Preferred
Stock,
[Libby, p.564], yakni saham‐ saham istimewa yang memiliki karakter risiko rendah, tidak mempunyai voting rights, dan dividen bersifat tetap (fixed dividend rate), maka Earnings Available
for
Common
Stockholders adalah EAT setelah dikurangi Preferred Stock. Apabila earnings available for common stockholders dibagi terhadap jumlah common stock outstanding (jumlah saham yang beredar), maka menghasilkan indikator Earnings per Share (EPS). 2.2.3.2. Free Cash Flow (FCF) Free Cash Flow (FCF), [Gitman, p.113], menggambarkan sejumlah cash flow (aliran dana tunai) yang dapat digunakan oleh investor, baik oleh kreditur (creditors) yang menyediakan utang (debt) maupun oleh owners (equity), setelah terpenuhinya seluruh kebutuhan operasional dan investasi pada net operating working capital (NOWC) dan investasi pada assets(baik fixed assets maupun current assets).
94
Dengan demikian, Free Cash Flow (FCF) = After Tax Operating Cash Flows – Investment in Assets Investment in Assets = Investment in Net Operating Working Capital – Investment in Fixed Assets and Other Assets
LIABILITIES AND EQUITY
ASSETS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Cash Account Receivable Inventories Other Current Assets Total Current Assets Gross Plant, Property & Equipment Less: Accumulated Depreciation Net Fixed Assets Other Assets Total Assets
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Account Payable NIBCL Accrued Expenses Income Tax Payable Short‐term Notes Other Interest Bearing Current Liabilities Total Current Liabilities Long‐term Debt Total Liabilities
9. 10. 11. 12. 13. 14.
Common Stock (par value) Paid in Capital Retained Earnings Less: Treasury Stock Total Common Equity Total Liabilities & Equity
After Tax Operating Cash Flow = EBIT + Depreciation – Cash Tax Payments Operating Cash Flow (OCF) = EBITDA – Cash Tax Payments
atau, OCF = NOPAT + Depreciation
atau, OFC = EBIT x (1‐Tax rate) + Depreciation
Investasi pada Net Operating Working Capital (NOWC) adalah perubahan pada Current Assets dikurangi perubahan pada Non Interest‐bearing Current Liabilities (NIBCL), atau, 95
Investment in NOWC = Change in Current Assets – Change in NIBCL
Sementara itu, Investasi pada Fixed Assets & Other Assets = Change in Gross Fixed Assets and Other Assets.
Secara ringkas dalam menghitung Free Cash Flow, digunakan langkah‐langkah sebagi berikut : Langkah‐1 : Menghitung After Tax Operating Cash Flow
AFTER TAX OPERATING CASH FLOW +/+ EBIT +/+ Depreciation EBITDA ‐/‐ Taxes ‐/‐ Change in Income Tax Payable ‐/‐ Cash Taxes After Tax Operating Cash Flow
see:
Income Statement
see:
Income Statement
see:
Income Statement
see:
Liabilities
Langkah‐2 : Menghitung Investment in NOWC
INVESTMENT IN CURRENT ASSETS +/+ Change in Current Assets ‐/‐ Change in NIBCL Change in NOWC
see:
Assets
see:
Liabilities
Langkah‐3 : Menghitung Investment in Fixed & Other Assets INVESTMENT IN FIXED ASSETS & OTHER ASSETS +/+ Change in Gross Fixed Assets see: Assets +/+ Change in Other Assets see: Assets Change in Gross Fixed Assets & Other Assets
Langkah‐4: Free Cash Flow
FREE CASH FLOW +/+ After Tax Operating Cash Flow ‐/‐ Investment in NOWC ‐/‐ Investment in Fixed & Other Assets
Free Cash Flow
96
2.2.3.3. Rate of Return Struktur permodalan (Capital Structure) merupakan sumber bagi pendanaan investasi, baik berasal dari pinjaman kreditur dalam bentuk Debt, maupun berasal dari sumber internal dalam bentuk Equity. Penggunaan modal (Capital) untuk investasi menuntut adanya return sehingga menjamin adanya keuntungan bagi investor (debt ataupun equity), inilah yang disebut sebagai Rate of Return atau dikenal juga dengan Cost of Capital. Cost of Capital sebagai Rate of Return merupakan ‘benchmark’ atau ‘hurdle rate’ terhadap suatu tindakan penggunaan modal untuk investasi, artinya suatu tindakan investasi dikatakan worthwhile apabila menghasilkan di atas Rate of Return tersebut. Oleh karena itu Rate of Return tersebut akan dijadikan sebagai acuan (benchmark) dalam membandingkan IRR (Internal Rate of Return) dan sebagai Discount Rate Free Cash Flow dari perhitungan Net Present Value (NPV) dari suatu investasi. Cost of Capital yang terdiri dari Cost of Debt dan Cost of Equity memiliki karakter yang sangat dinamis, [Gitman, p.498], sangat dipengaruhi oleh faktor‐faktor kondisi ekonomi dan karakter suatu perusahaan. Oleh karena itu dalam menghitung Cost of Capital, beberapa pertimbangan terhadap risiko perlu dilakukan, seperti :
97
•
Interest Rate Risk, risiko yang harus dipertimbangkan akibat kenaikan tingkat suku bunga kredit, yang akan memberikan pengaruh terhadap Cost of Debt
•
Market Risk, yakni risiko yang akan mempengaruhi Cost of Equity akibat fluktuasi harga saham, meskipun risiko ini bersifat psikologis.
Cost of Capital dihitung sebagai rata‐rata bobot proporsional Debt dan Equity dikalikan dengan masing‐masing biayanya (cost), yang disebut juga sebagai WACC (Weighted Average Cost of Capital), [Gitman, p.511], atau dengan persamaan umum sebagai berikut, n
WACC =
Σ Weight
Costsource
source x
source = 1
Persamaan di atas secara rinci adalah :
WACC = [Kd x (D/(D+E)] + [Ke x (E/(D+E)] dimana, WACC D E Kd Ke
= = = = =
Weighted Average Cost of Capital, dalam % Debt Equity Cost of Debt, dalam % Cost of Equity, dalam %
Cost of Debt (Kd) yang digunakan adalah suku bunga kredit investasi yang berlaku di perbankan Nasional, sebagai gambaran bahwa Suku Bunga Kredit Investasi pada Bank Mandiri, [www.bankmandiri.co.id], per Mei 2008 adalah sebesar 13,5%, dengan persyaratan struktur permodalan untuk Kredit Investasi Bank Mandiri adalah 65% Debt dan 35% Equity. 98
Cost of Equity (Ke) dihitung dengan menggunakan pendekatan CAPM (Capital Asset Pricing Model), yakni dengan persamaan :
Ke =
KRF + (Km ‐ KRF)β
dimana, Ke KRF
= =
Km ‐ KRF = β =
Cost of Equity Risk‐free Rate (Suku Bunga Bebas Risiko), dalam % Equity Market Risk Premium, dalam % Reaksi Nilai Saham Perusahaan terhadap Volatilitas Indeks Harga Saham di Pasar Saham
Risk‐free Rate (KRF) atau suku bunga bebas risiko yang lebih mewakili untuk kondisi Indonesia, adalah Suku Bungan Bank Indonesia (BI‐rate), sebesar 8,25%. Equity Market Return (Km) adalah return dari investasi pada pasar saham, dengan mengambil asumsi rata‐rata return di Bursa Efek Jakarta, sebesar 23,0%. Dengan demikian Equity Market Risk Premium (Km‐KRF) untuk kondisi investasi di Indonesia adalah sebesar 14,75%. 2.2.3.4. Performa Investasi Performa sebagai indikator kelayakan investasi yang paling utama adalah : •
NPV (Net Present Value), dan
•
IRR (Internal Rate of Return)
NPV sebagai indikator performa investasi yang sudah memperhatikan Time Value of Money, yakni menghitung Present Value (PV) Bersih dari Discounted Free Cash Inflow dikurangi Initial Investment, [Gitman, p.423]. 99
Present Value (PV) merupakan nilai sekarang atas nilai uang yang diinvestasikan pada tahun ke‐t (FVt) dengan rate of return (r), atau dapat dijelaskan dengan persamaan berikut :
FVt
PV =
(1 + r)t
Dengan demikian Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang bersih dari akumulasi nilai uang yang akan datang (dalam hal ini Free Cash Inflow), atau dapat dijelaskan dengan persamaan berikut : n
NPV =
Σ
t = 1
CFt (1 + r)t
CF0
dimana, NPV CFt r CF0
=
Net Present Value
=
Cash Inflow pada tahun ke‐t
=
Rate of Return pada WACC
=
Cash Outflow (Initial Investment)
Berdasarkan persamaan NPV di atas, jelas bahwa suatu investasi dikatakan ‘layak’ jika nilai NPV > 0. Internal Rate of Return (IRR) adalah rate of return (r) yang menyebabkan nilai NPV = 0, karena Present Value dari Cash Inflow sama dengan Initial Investment. Oleh karena itu IRR dari suatu investasi harus memiliki nilai yang lebih besar dari Rate of Return (r) pada WACC, atau IRR > WACC.
100
Persamaan yang menjelaskan bahwa IRR adalah discount factor (rate of return) Present Value of Free Cash Flow yang menyebabkan NPV = 0, adalah : n
0 =
Σ
t = 1
CFt (1 + IRR)t
CF0
Atau, n
Σ
t = 1
CFt (1 + IRR)t
=
CF0
Performa investasi lainnya yang akan dikaji untuk melengkapi performa pada basis Time Value of Money, adalah : •
Pay Back Period
•
Profitability Index
•
Return on Investment (ROI)
Pay Back Period merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan Initial Investment, atau dengan kata lain adalah akumulasi Cash Inflow yang dibutuhkan sehingga sama dengan Initial Investment. Sebagai ilustrasi, jika akumulasi cash inflow pada tahun ke 5 sama dengan Initial Investment, artinya Pay Back Period investasi adalah 5 tahun. Profitability Index (PI) merupakan ratio antara akumulasi cash inflows terhadap cash outflows dalam konteks present value. Suatu investasi dikategorikan ‘layak’, apabila memiliki PI > 1.
101
Return on Investment (ROI) merupakan tingkat pengembalian ekonomis dari suatu investasi, atau Basic Business Profitability (BBP). ROI juga dikenal dengan Return on Total Assets (ROA), [Gitman, p.68], yaitu mengukur efektivitas manajemen dalam menghasilkan profit dengan aset yang dimiliki. Secara umum, ROI atau ROA dihitung dengan persamaan :
ROA atau ROI =
Earnings available for common stockholders Total Assets
Dalam hal menilai tingkat pengembalian ekonomis dari suatu investasi baru, maka ROA atau ROI dihitung dari efektivitas rata‐rata Present Value EBIT (Earnings Before Interest and Taxes) terhadap aset yang diinvestasikan atau Initial Investment, atau dengan persamaan berikut :
ROA atau ROI =
Rata‐rata PV EBIT Initial Investment
Nilai ROI ini sangat bermanfaat sebagai informasi para stakeholders, yakni kreditur (untuk potensi terbayarnya bunga pinjaman), Pemerintah (untuk potensi terbayarnya pajak‐pajak), dan owner equity (untuk potensi keuntungan).
102
2.2.4.
Analisis Industri
Dalam melakukan kajian strategi pengembangan manufaktur pupuk organik berbahan baku sampah kota, maka digunakan Model Industry Analysis yang dikembangkan oleh Michael Porter, sebagaimana diagram berikut. Gambar 2.25. Industry Analysis (Porter)
Industri pupuk organik berbahan baku sampah kota, memberikan 4 manfaat, yaitu : •
Memenuhi kebutuhan pupuk nasional yang akhir‐akhir ini mengalami kesulitan dalam memenuhi pupuk kimia akibat kelangkaan dan kenaikan harga gas alam;
•
Pemakaian pupuk organik akan memperbaiki tingkat kesuburan tanah yang telah rusak akibat pemakaian pupuk kimia berkepanjangan;
•
Penggunaan pupuk organik akan lebih disukai oleh konsumen pangan, karena tidak mengandung bahan‐bahan kimia yang akan diserap oleh tanaman; dan
•
Industri pupuk organik berbahan baku sampah kota akan dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah di kota‐kota besar yang hingga kini belum tersolusikan
103
Potential New Entrance Kebutuhan investasi pada industri pupuk organik yang sekaligus mampu menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah kota yang relatif tinggi, sehingga memberi implikasi sedikitnya para investor termasuk Pemerintah untuk memulai bisnis ini. Teknologi sistem proses pemisahan fraksi komponen organik dari sampah dan teknologi sistem proses aerobic digestion belum diterapkan di Indonesia dalam skala manufaktur. Kondisi ini juga memberikan implikasi belum tersentuhnya potensi sampah kota sebagai bahan baku pupuk organik, kalaupun ada masih dalam skala kecil dengan teknologi sederhana dan produk yang dihasilkan hanya berupa kompos yang kurang efektif sebagai pupuk tanaman. Dengan pertimbangan tersebut di atas, dapat diartikan bahwa ancaman terhadap pemain baru pada industri ini, atau Threat of New Entrance masih rendah. Buyers Pengguna pupuk sebagai customers adalah para petani tanaman pangan & hortikultura dan perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar, oleh karena itu harga menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rencana pengembangan industri ini. Belum tersosialisasinya penggunaan pupuk organik secara baik di tingkat petani dan perkebunan akibat terlambatnya Pemerintah dalam mendorong penggunaan pupuk organik, akan memberikan implikasi secara psikologis terhadap produk pupuk organik. Atas pertimbangan tersebut, dengan demikian Bargaining Power of Buyers akan tinggi. 104
Strategi yang akan ditempuh adalah melalui kerjasama dengan industri pupuk Nasional yang ada melalui kontrak penjualan. Konsep kerjasama pembelian pupuk organik ini telah dilakukan oleh PT. Petrokimia Gresik dengan beberapa produsen pupuk organik skala kecil (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah – UMKM), dengan merk dagang Petroganik. Konsep kerjasama sebagaimana yang telah dilakukan oleh PT. Petrokimia Gresik untuk pupuk organik, juga akan dilakukan oleh produsen‐produsen pupuk nasional lainnya, sebagaimana amanat Peraturan Menteri Pertanian No. 76/Permentan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk Organik yang dialokasikan secara khusus untuk sektor Tanaman Pangan, dengan total alokasi sebesar 345 ribu ton untuk tahun 2008. Product Substitution Pupuk organik merupakan produk substitusi dari pupuk kimia NPK, dimana akhir‐akhir ini telah mengalami berbagai persoalan kelangkaan pupuk, baik yang disebabkan oleh kelangkaan gas alam sebagai bahan baku pupuk kimia, maupun oleh perubahan strategi kebijakan pembangunan pertanian yang mendorong penggunaan pupuk organik. Oleh karena itu produk substitusi pupuk organik, atau ancaman dari produk‐ produk substitusi – Threat of Substitute Product dapat diartikan rendah. Suppliers Pemerintah Daerah sebagai instansi yang menanggungjawabi pengelolaan sampah kota adalah sebagai supplier pada industri pupuk organik berbahan baku sampah kota. Dengan adanya gagasan pengembangan pengolahan sampah kota menjadi pupuk organik, maka Pemerintah Daerah sangat 105
diuntungkan dalam hal tidak perlu lagi mengalami kesulitan mencari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Dengan adanya industri pengolahan sampah menjadi pupuk organik, maka Pemerintah Daerah akan memperoleh biaya penjualan (tipping fee) atas sampah yang akan diolah sebagai bahan baku pupuk organik. Hal ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan jika hanya dibuang pada TPA di wilayah administratif daerah lain yang harus membayar, sebagai contoh Pemerintah DKI Jakarta membayar sebesar Rp 86.000 per ton sampah yang dibuang di TPA Bantar Gebang, Bekasi. Konsep lain yang memungkinkan untuk dikerjasamakan antara Pemerintah Daerah dengan Industri Pupuk Organik Berbahan Baku Sampah (Swasta) : 1. Pemerintah Daerah melakukan investasi pada Industri Pemisahan Fraksi Organik Sampah, sehingga akan memperoleh penjualan Fraksi Organik Sampah dari Industri Pupuk Organik dan penjualan recycable materials seperti plastik, kertas, dan besi 2. Swasta melakukan investasi pada proses manufacturing pupuk organik, dimana bahan baku fraksi organik sampah dibeli dari Pemerintah Daerah Dengan demikian Bargaining Power of Suppliers dalam hal pengadaan bahan baku atau sampah dapat dikategorikan rendah.
106
Stakeholders Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pertanian telah memberikan kesempatan dan dorongan terhadap penggunaan pupuk organik melalui beberapa peraturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan, yaitu : 1. Rencana
Pembangunan
Pertanian
Tahun
2005‐2009,
yang
mencanangkan program peningkatan produktivitas pertanian dengan memanfaatkan pupuk organic; 2. Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/I/2006 tentang Rekomendasi Pemupukan NPK Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi, yang mengatur tatacara perimbangan penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik pada padi sawah sesuai dengan kondisi tanah di seluruh Indonesia; 3. Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, yang mengatur produksi dan distribusi pupuk organik di Indonesia; 4. Peraturan Menteri Pertanian No. 76/Permentan/O.T.140/12/2007 tentang Subsidi Pupuk Organik yang dialokasikan secara khusus untuk sektor Tanaman Pangan, dengan total alokasi sebesar 345 ribu ton untuk tahun 2008 Dengan
demikian
Departemen
Pertanian
sebagai
institusi
yang
menanggungjawabi pembangunan pertanian, telah memberikan dorongan terhadap penggunaan pupuk organik. Industri ini juga akan memberikan kontribusi terhadap keberhasilan Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan sampah kota, yang pada akhirnya dapat memberikan kebersihan dan keindahan kota serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dari bahaya penyebaran penyakit
107
akibat sampah, pencemaran airtanah, dan pencemaran udara akibat pembakaran sampah, serta meniadakan ketergantungan lahan TPA yang harus berpindah‐pindah. Penggunaan pupuk organik pada tanaman yang bebas bahan kimia, akan mendukung program bahan pangan organik, seperti padi organik dan sayur organik yang akhir‐akhir ini sangat diminati oleh konsumen. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa Stakeholders memberikan support terhadap gagasan pengembangan industri pupuk organik berbahan baku sampah kota. Kondisi Persaingan Produk‐produk pupuk organik yang beredar di Indonesia saat ini masih dalam kemasan kecil, baik dalam bentuk cair maupun granule yang digunakan untuk segmen market terbatas pada tanaman hias dan pertanian sayur hidrofonik. Tingginya harga produk pupuk organik yang beredar menjadikan mustahil untuk digunakan dalam skala pertanian dan perkebunan yang lebih besar. Pupuk organik yang diproduksi dalam skala manufaktur dengan harga terjangkau oleh petani dan perkebunan, antara Rp 2.500 hingga Rp 4.000 per kg, saat ini baru mulai diperkenalkan oleh PT. Petrokimia Gresik, dengan merk Petroganik, melalui mekanisme kerjasama dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Bahan baku bagi pupuk organik yang diperkenalkan tersebut berasal dari kotoran hewan (manure) dan limbah ampas tebu. Dengan keterbatasan jenis bahan baku tersebut, memberikan implikasi kecepatan produksi akan lebih lambat dibandingkan dengan sampah kota sebagai bahan baku. 108
Berdasarkan analisis tentang kondisi persaingan tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa Rivalry Among Existing Firms dalam industri pupuk organik masih sangat rendah. Adapun ringkasan Analisis Industri Manufaktur Pupuk Organik Berbahan Baku Sampah Kota adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 2.26. berikut. MENDUKUNG
RENDAH
Kebijakan Pemerintah Perkembangan Minat Produk Pangan "Organik"
Biaya Investasi Tinggi Kompleksitas Teknologi
RENDAH UKM Binaan PT. Petrokimia Gresik (merk Petroganik)
TINGGI Harga sesuai kemampuan Petani Kuatnya Persepsi Thd Pupuk Kimia
RENDAH
RENDAH
Permasalahan Sampah Kota Kesulitan Tempat Pembuangan Akhir
Kelangkaan Pupuk Sebagai Substitusi Pupuk Kimia
Gambar 2.26. Analisis Industri Manufaktur Pupuk Organik Berbahan Baku Sampah Kota
2.2.5.
Analisis Faktor Strategis
Analisis terhadap faktor‐faktor strategis, baik internal factors maupun external factors berdasarkan uraian‐uraian di atas, disusun dalam bentuk matriks, atau yang dikenal dengan TOWS Matix (Threats, Opportunities, Weaknesses, dan Strengths), sebagaimana Gambar 2.27. berikut. Strategi‐strategi yang akan diambil, disusun berdasakan matriks antara Internal Factors yang dimiliki oleh PT. Kwarsa Hexagon sebagai perusahaan 109
jasa konsultan teknik dan External Factors yang mempengaruhi industri pupuk organik berbahan baku sampah kota. Berdasarkan TOWS Matrix, terdapat 4 strategi, yaitu : •
SO Strategies, yaitu strategi yang muncul akibat interaksi antara Strengths yang dimiliki dan Opportunities industri pupuk organik berbahan baku sampah
•
WO Strategies, yaitu strategi yang diambil akibat Weaknesses yang dimiliki terhadap Opportunities industri pupuk organik berbahan baku sampah
•
ST Strategies, yakni strategi yang diambil akibat Strengths yang dimiliki terhadap Threats pada industri pupuk organik berbahan baku sampah, dan
•
WT Strategies, yaitu strategi‐strategi yang dimabil berkaitan dengan respons Weaknesses yang ada terhadap Threats industri pupuk organik berbahan baku sampah
110
STRENGTHS (S)
INTERNAL FACTORS EXTERNAL FACTORS
WEAKNESSES (W)
S1. Kualifikasi SDM tersedia
W1. Keterbatasan Finansial
S2. Memiliki Strategi Pengembangan Bisnis
W2. Belum ada konsep kerjasama dalam
S2. Memiliki Network Internasional
memproduksi dan menyalurkan dengan
S3. Memiliki Pengalaman dalam bekerja‐
pihak industri pupuk incumbent
sama dengan Pemerintah dan BUMN
W3. Belum ada konsep kerjasama dalam
S4. Teknologi Proses Memungkinkan
pengelolaan sampah kota dengan Pemerin‐
dirakit di Indonesia
OPPORTUNITIES (O)
tah Daerah
SO STRATEGIES
WO STRATEGIES
O1. Kebijakan Pembangunan Pertanian Dalam Penggunaan
1.
Pupuk Organik O2. Kebijakan Pemerintah Dalam Memberikan Fasilitas Subsidi
2.
Harga Pupuk Organik O3. Kelangkaan Pasokan Gas Alam
3.
Sebagai Bahan Baku Pupuk Kimia Yang Dialami Oleh Indistri Pupuk Nasional
4.
O4. Persoalan TPA Sampah di kota‐ kota besar yang belum tersolusikan
5.
O5. Meningkatnya permintaan produk‐
Membuat prototype produk untuk didaftarkan di Departemen Pertanian Menjajagi sumber‐sumber pendanaan investasi Menjajagi kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah Melakukan proses perizinan investasi dan Studi Amdal Melakukan Detailed Engineering Design
1. Menjalin kerjasama dengan industri pupuk incumbent dalam penyaluran produk pupuk organik 2. Menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah kota menjadi pupuk organik 3. Menjalin kerjasama dengan pihak‐ pihak perbankan dalam memenuhi struktur permodalan
produk pangan organik
THREATS (T) T1. Masuknya FDI (Foreign Direct Invest‐
ST STRATEGIES
WT STRATEGIES
1.
Menjalin kerjasama pembelian tekno‐ logi proses produksi dari China atau Canada
1. Menjalin kerjasama lisensi teknologi proses produksi dengan negara lain (China atau Canada)
2.
Menjalin kerjasama penjualan produk pupuk organik dengan industri pupuk BUMN incumbent dengan margin harga yang memberikan keuntungan
2. Menjalin kerjasama investasi industri pupuk organik dengan produsen pupuk incumbent
ment) pada industri pupuk organik berbahan baku sampah T2. Kecepatan Entrance produsen pupuk Nasional (incumbent) dalam mengembangkan pupuk organik T3. Masuknya produk‐produk pupuk organik dari China dan Canada
Gambar 2.27. TOWS Matrix
Untuk mewujudkan gagasan konsep pengembangan industri pupuk organik berbahan baku sampah kota ini, dipilih “WO‐Strategies”, dimana dibutuhkan 2 bentuk kerjasama, yaitu : •
Kerjasama Business to Business (B to B) dengan industri pupuk BUMN incumbent
•
Kerjasama dengan Pemerintah (Private to Government) dalam pengelolaan sampah kota
Kerjasama B to B misalnya dilakukan dengan para industri pupuk Nasional seperti PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Sriwijaya, ataupun PT. Pupuk Iskandar Muda. 111
Bentuk kerjasama B to B dengan industri pupuk Nasional, yang memungkinkan untuk dilkakukan diantaranya kontrak penjualan produk pupuk organik. Sebagaimana diketahui bahwa PT. Petrokimia Gresik adalah satu‐satunya produsen pupuk organik dengan kapasitas produksi 3.000 ton per tahun dengan merk Petrogranik. Produksi pupuk organik yang diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik tersebut baru memenuhi 1% dari rencana kebutuhan Pemerintah sebesar 300.000 ton di tahun 2008, dimana Pemerintah telah menugaskan kelima industri pupuk Nasional tersebut untuk dapat memproduksi pupuk organik dengan harga eceran tertingi (HET) yang telah disubsidi. Kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah kota yang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik sangat dimungkinkan, namun sudah barang tentu dengan skim atau model kerjasama yang saling menguntungkan dan transparan. 2.3.
Akar Masalah
Berdasarkan analisis industri yang menggunakan pendekatan Industry Analysis Michael Porter dan Analisis terhadap Faktor‐faktor Strategis yang menggunakan TOWS Matrix, maka pokok masalah dalam merealisasikan rencana pengembangan bisnis pada industri pupuk organik berbahan baku sampah kota adalah meliputi : •
Pemilihan teknologi proses produksi, yang melibatkan 2 tahap proses, yakni proses pemisahan fraksi organik dari sampah kota dan proses manufacturing pupuk organik dari fraksi organik sampah;
112
•
Kebutuhan biaya investasi yang relatif besar sehubungan dengan teknologi proses tersebut di atas terhadap margin harga produk pupuk organik agar dapat terjangkau oleh para pengguna pupuk dalam skala besar;
•
Adanya bargaining power dari Pemerintah Daerah dalam membangun kerjasama dalam pengelolaan akhir sampah kota; dan
•
Adanya bargaining power dari industri pupuk incumbent (BUMN) dalam hal menyalurkan produk pupuk organik
Akar masalah yang telah diuaraikan di atas selanjutnya dijadikan sebagai alat dalam menyusun alternatif‐alternatif solusi bisnis, sebagaimana diagram Gambar 2.28. berikut. Manufacturing Fraksi Organik Sampah Kota
Manufacturing Pupuk Organik
Skenario Pengembangan Manufacturing
Market Segment 4 Ps Marketing Program
Tidak Kelayakan Investasi
Ya Tidak
Analisis Sensitivitas Ya
Implementasi
Gambar 2.28. Diagram Sulusi Bisnis 113
Konsep‐konsep Manufacturing Fraksi Organik Sampah dengan Pemerintah Daerah dan Manufacturing Pupuk Organik yang harus mempertimbangkan Marget Segment dan 4Ps Marketing Mix (Product, Price, Promotion, dan Placement/Distribution Channel) perlu dikemas dalam suatu alternatif Strategi Pengembangan Manufacturing, sehingga investasi yang dilakukan dengan berbagai kajian sensitivitas menjadi layak. Strategi Pengembangan Manufacturing yang layak selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam Rencana Implementasi Bisnis. 114