TRAFFICKING DAN PROSTITUSI STUDI KASUS Gang Dolly Surabaya
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora ( S.Hum) Oleh: KHILFA ADIB NIM: 103022027511
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M.
ABSTRAKSI
Berbicara tentang perempuan tidak akan habisnya persoalan hidup yang merongrong kehidupan kaum hawa ini. Bahkan sejak Indonesia belum merdeka hingga mencapai kejayaannya nasib perempuan Indonesia masih belum juga banyak berubah. Walaupun pada saat ini perjuangan perempuan dalam menyuarakan persamaan hak dan derajatnya mulai menunjukan eksistensinya, namun di satu sisi tidak dapat di pungkiri bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang ditempatkan dalam kedudukan yang termarginalkan trafficking, prostitusi merupakan problem sosial yang sangat tua dia ada sejak manusia hadir di muka bumi ini, hingga kini prostitusi masih menjadi momok bagi struktur dan sistem sosial masyarakat, praktik prostitusi di Gang Dolly Surabaya, merupakan bagian dari problematika sosial yang terjadi di salah satu kota di Indonesia yaitu: Surabaya, praktik ini telah menjadi bisnis yang meraksasa yang relatif sulit menghapuskannya, di balik dinamika bisnis Gang Dolly Surabaya itu, pastinya selalu ada pihak-pihak yang merasa "di korbankan" atau yang "mengorbankan". Berbagai kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan telah menjadi masalah yang krusial. Mulai dari kekerasan rumah tangga, hingga perdagangan manusia. Perempuan menjadi bagian di dalam lingkaran setan itu.
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ...............................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah....................
3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................
5
D. Kerangka Konseptual................................................................
6
E. Metode Penelitian .....................................................................
8
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
11
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A
Letak Geografis .......................................................................
13
B
Penduduk dan Mata Pencahariannya .........................................
15
C
Sosial Kemasyarakatan .............................................................
18
BAB III TRAFFICKING, PROSTITUSI DAN PERMASALAHANNYA A. TRAFFICKING ........................................................................
20
1 Definisi Trafficking..................................................................
20
2 Sebab-sebab Terjadinya Trafficking .........................................
23
a
Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat .........................
24
b
Politik .............................................................................
26
c
Hukum ............................................................................
29
d
Agama ............................................................................
31
3
Bentuk-bentuk Trafficking .......................................................
32
4
Pelaku Trafficking....................................................................
34
5
Korban Trafficking...................................................................
36
B. PROSTITUSI ............................................................................
37
1 Definisi Prostitusi ......................................................................
37
2 Sebab-sebab Terjadinya Prostitusi..............................................
39
a
Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat ..........................
39
b
Politik ...............................................................................
41
c
Hukum ..............................................................................
42
d
Agama ..............................................................................
43
BAB IV PERKEMBANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI, DAMPAK SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA A. Perkembangannya........................................................................
45
1
Trafficking ...............................................................................
45
2
Prostitusi..................................................................................
47
B. Dampak Trafficking dan Prostitusi Terhadap Sosial . Kemasyarakatan ..........................................................................
51
C. Upaya Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi........................
54
1
Political will Pemerintah Dalam Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi...................................................................................
54
Masyarakat dan Lingkungan .....................................................
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
66
2
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Adanya hukum sebagai kaidah sosial tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dan masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum kehidupan manusia dalam masyarakat yang bermoral, munusia juga di atur pula oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah lainnya.1 Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini tentu akan timbul pula berbagai masalah baru, yang kesemuanya ini membutuhkan peninjauan baik dari segi hukum, kesusilaan serta kaidah-kaidah sosial lainnya. Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan generasi penerus, adalah meningkatnya praktik trafficking dan prostitusi. Bahwa prostitusi dapat menghancurkan betapapun besarnya sistem sosial,
ia dapat membuat
masyarakat bobrok moral bangsa, demi kepentingan moral dan tata susila.2 Meski di sadari bahwa praktik prostitusi dapat mengancam sendi-sendi moral masyarakat dan pada kenyataannya masih banyak masyarakat kita terjerumus di dalamnya. Dalam masyarakat modern, sebagai produk dari kemajuan teknologi misalnya, mekanisasi, industrialisasi migrasi dan urbanisasi dari desa–kota memunculkan banyak masalah sosial. Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang di anggap sebagai sakit secara sosial atau secara populer di kenal sebagai penyakit masyarakat itu, sebagai fungsi struktural dari totalitas sistem sosial, dengan kata lain penyakit masyarakat demikian ini merupakan produk sampingan atau konsekuensi yang tidak di harapkan dari sistem Sosio-Kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala sendiri.3 1
Chaidir Ali. Filsafat Hukum, Memories Book, Bandung 1972 hal. 5 AS Adam, SH. Tinjauan tentang zinah dalam rangkaian delik susila pada KUHP. Swada, Jakarta 1969 hal. 17 3 Kartini-Kartono, Pathologi Sosial, CV. Rajawali Press, Jakarta 1981 2
Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang telah ada sejak manusia mengenal perkawinan, sebab suatu penyimpangan dari norma-norma perkawinan yang sah, bisa merupakan prostitusi karena itulah masalah prostitusi ini merupakan masalah sosial yang tertua seperti halnya kemiskinan dan kemelaratan. Dengan adanya perkembangan masyarakat dewasa ini, maka perwujudan dari pelacuran pun semakin sulit dapat di kontrol oleh karena di samping bertambah banyaknya pelaku prostitusi itu sendiri, juga sangat sulit pula untuk mencari jalan keluarnya, wanita pelacur adalah wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki dengan menerima pembayaran atas servis yang di berikannya. Prostitusi yaitu penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.4 Gang Dolly Surabaya merupakan salah satu tempat yang menjadi lahan praktik trafficking dan prostitusi tumbuh subur dan berkembang, karenanya penulis mencoba mengangkat kasus ini di karenakan Gang Dolly merupakan Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Gang Dolly juga menjadi lokalisasi tertua di Indonesia dan di Legalkan oleh Pemerintah Daerah, serta di jadikan pemasukan khas pajak daerah dari bisnis lendir itu. Serta masih banyak sekali lika-liku Gang Dolly Surabaya yang patut untuk di ketahui. Serta sampai sejauh manakah usaha-usaha Pemerintah untuk mengatasi praktik trafficking dan prostitusi di Gang Dolly Surabaya. Hukum timbul bersama-sama dengan timbulnya rakyat dan menjadi kuatnya rakyat, dan akhirnya berangsur-angsur lenyap manakala suatu bangsa kehilangan suatu kepribadian rasionalnya.5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah Wanita-wanita yang menjadi pelacur (lepas dari latar belakang mereka) adalah sudah menjadi kebiasaan, yang cukup lama dan telah mengakar di masyarakat karena itu
menanggulangi perilaku
mereka agak sulit dan perlu penanganan yang unik. Namun demikian perlu terus di support sampai sejauh 4 5
P.J De Bruine Ploos Van Astal dalam Soedjono, S.H 1970 hal. 57 Ibid. 1969 hal. 3
manakah usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi praktek trafficking dan prostitusi di Gang Dolly Surabaya. Di antara kesulitan tidak semua orang membenarkan untuk mencari nafkah hidup yang sangat melampaui batas norma-norma masyarakat apalagi mengacu pada aturan agama maupun per Undangundangan. Namun ada beberapa alasan mengapa kaum pria menyokong praktik prostitusi. Sebagai suatu jalan keluar dari kekurangan kebutuhan sex, dan dalam arti lain, hal ini dalam penggantian yang lebih murah dari pada mengawini atau bergaul dengan seorang gadis.6 Dengan jalan ini mereka dapat melupakan tanggung-jawab lainnya atau ke khawatiran akan kehamilan. Yang berbahaya lagi ialah adanya wanita yang bersuami melakukan praktek melacurkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan perbuatannya itu malah terkadang mendapat izin dari suaminya. Terutama dengan kasus trafficking yang kini sedang marak dilakukan oleh oknum-oknum yang bekerja untuk membawa gadis desa yang lugu dan dengan perekonomian yang sangat kurang, terutama para gadis di bawah umur, mereka diiming-imingi kerja dan gaji yang sangat besar Rp.5.000.000 an perbulan tetapi mereka tidak di pekerjakan, tetapi di jual kemucikari seharga Rp.2.000.000 perorang,7 para korban terdiri atas perempuan-perempuan muda yang berusia 16-23 tahun yang rata-rata berasal dari keluarga petani yang kurang mampu. Dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh mucikari, maka pelacuran akan semakin sulit dapat di kontrol, mereka dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam melakukan operasinya dengan aman, bahkan hal demikianlah yang lebih memungkinkan banyaknya pengaruh jelek terhadap masyarakat di sekitarnya. Dalam realitasnya keadaan semacam ini perlu di Interpretasikan dan di deskripsikan sebagai sebuah kebebasan menuju ke arah kemajuan peradaban. Namun pada hakekatnya kemajuan yang ada
6 7
Kincy dalam Soedjono,Pathologi Sosial. S.H. 1970 hal. 24) Wawancara dengan oknum Trafficking yang disamarkan
merupakan sinyal akan adanya dekonstruksi sosio-kultural bangsa sebagai akibat adanya hegemoni budaya asing terhadap budaya lokal. Karena demikian luas dan kompleknya masalah itu, maka penelitian ini akan di batasi pada permasalahan: (1) keterlibatan perempuan dalam dunia prostitusi apakah sebagai profesi atau dieksploitasi (2) jika sebagai profesi atau di ekploitasi faktor apa yang menyebabkan realitas itu (3) bagaimana usaha pemerintah untuk mengatasi atau meminimalisir perilaku tersebut.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berbarengan dengan membludaknya pelacur di suatu daerah, barangkali erat kaitannya dengan istilah urbanisasi desa-kota, sebab urbanisasi merupakan salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk.8 Secara faktual, hingga kini perdagangan anak dan perempuan (trafficking) untuk prostitusi masih terus berlangsung, tanpa ada usaha cukup memadai dari Pemerintah untuk menanganinya. Berdasarkan atas apa yang di temui oleh penulis di lapangan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebab musabab dan faktor-faktor perempuan terjun ke dunia prostitusi dan lika liku kehidupan di Gang Dolly Surabaya, serta mencoba untuk mengangkat kasus trafficking dan prostitusi Gang Dolly Surabaya yang pastinya belum pernah di angkat lebih detail sebagai penelitian perbandingan secara mendalam di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta untuk menggugah sensitivitas gender masyarakat dan Civitas Akademik yang bersikap apatis terhadap issue trafficking dan prostitusi. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi perbaikan moral bangsa melalui jalur akademik, hingga mayoritas rakyat Indonesia memiliki sensitivitas gender yang selama ini masih terbelenggu oleh nilai-nilai moral yang secara kultural selalu menomor duakan kaum perempuan. Sehingga pada akhirnya di harapkan juga dapat bermanfaat bagi pihak terkait atau instansi terkait yang bertugas menangani permasalahan ini. 8
Rozy munir, Dasar-dasar Demografi 1981 hal. 115
D. Kerangka Konseptual Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba menggunakan kerangka berfikir secara Induktif. Bahwa perempuan selalu menjadi korban atas segala ketidakmampuan dan termarjinalkan sehingga banyak perempuan yang di jadikan alat untuk mengeruk keuntungan terutama dalam eksploitasi seksual. Bermula dari rasa kemanusiaan dan keingintahuan saya sebagai penulis ingin mendeskripsikan praktik trafficking dan prostitusi di Gang Dolly Surabaya. Terutama yang berperan langsung dalam proses terjadinya praktik tersebut seperti mucikari atau germo serta aparat-aparat yang tidak bertanggung jawab, yang di sebabkan keterbatasan pengetahuan serta lemahnya hukum di Indonesia. Dalam perkembangannya praktik trafficking dan prostitusi tetap tumbuh subur di Indonesia terutama di Gang Dolly Surabaya. Di mana pada praktiknya mempunyai peran masing-masing dan saling berkaitan, seperti calo yang mempunyai peran mencari wanita untuk bisa di tipu dengan bermacam iming-iming janji, lalu setelah terjerat di bawalah wanita tersebut untuk di tampung oleh mucikari yang berperan sebagai menampung untuk selanjutnya di perdagangkan untuk eksploitasi seksual yang mana praktik seperti ini juga di bekingi oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kerangka berpikir ini di tunjang oleh hasil temuan peneliti di lokasi penelitian Gang Dolly Surabaya, terutama dengan kasus Trafficking yang sedang marak di lakukan oleh oknum-oknum yang bekerja untuk membawa gadis desa yang lugu dengan perekonomian yang sangat kurang, mereka di iming-imingi kerja dan gaji yang sangat besar 5.000.000 an perbulan, tetapi mereka tidak diperkerjakan, tetapi dijual kemucikari seharga Rp. 2.000.000 perorang,9 dan para korban terdiri atas kaum perempuan. Di karenakan sekitar 81,2 % penduduk Indonesia bermukim di daerah sekitar pedesaan.10 sedang hanya 18,8 % saja yang bermukim di kota-kota besar. Kenyataan ini tentunya akan mengakibatkan bahwa kesempatan untuk mengejar uang di kota jauh lebih besar kemungkinannya di bandingkan dengan di daerah pedesaan. 9
Wawancara dengan oknum trafficking (disamarkan) Ashadi, Prawacana, dalam Yuyu AN. Krisna Menyusuri Remang-remang. Sinar 1981 harapan Jakarta. Hal. 55.
10
Manusia tidak lagi mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan, yang bermoral dan amoral, realita dan fantasi. Kondisi mental dan spiritual mereka berpusat pada satu titik yang tidak menentu sehingga mereka kehilangan makna sampai akhirnya bersifat permisif, apatis dan amoral karena standar moralitas dan agama telah hilang dalam kehidupan mereka. Dalam realitasnya keadaan semacam ini di interpretasikan sebagai sebuah kebebasan menuju ke arah kemajuan peradaban. Namun, pada hakekatnya kemajuan yang ada merupakan sinyal akan adanya dekonstruksi sosio-kultural sebagai akibat adanya hegemoni budaya asing terhadap budaya lokal. Peninjauan trafficking secara regional ini nampaknya penting pula untuk di telaah secara khusus, mengapa mereka bisa di perjualbelikan sebagai ekploitasi seksual di Gang Dolly yang merupakan daerah perkotaan yang berpenduduk padat sisi dan di sisi lain mereka melakukan usaha prostitusi, dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
E. Metode Penelitian Studi kasus11 merupakan: Penyelidikan mendalam (indepth studi) mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut. Cakupan studi kasus dapat meliputi keseluruhan siklus kehidupan atau dapat pula hanya meliputi segmen-segmen tertentu saja dapat terpusat pada beberapa faktor yang spesifik dan dapat pula memperhatikan keseluruhan elemen atau peristiwa. Penelitian studi kasus ini di gunakan untuk mendapatkan suatu hal yang terperinci tentang seseorang atau sesuatu unit selama kurun waktu tertentu, dan kita akan mendapatkan informasi yang mendalam dan menyeluruh terhadap tingkah laku seorang individu.12 Tujuan studi kasus dan penelitian lapangan adalah mempelajari secara intensif latar belakang, status terakhir dan interaksi sosial seperti individu, kelompok. Lembaga, atau komunitas. Dengan menggunakan studi kasus dapat beberapa keuntungan, antara lain, kita dapat melakukan penelitian lebih 11
Azwar. S (2005) metode penelitian Yogyakarta Pustaka Belajar
12
. Sevilla. G. C ; Ochave, A. J; punsalan. GT. Regalah. (1993) Metode pengantar penelitian Jakarta UI Press
mendalam. Dengan menggali lebih dalam seluruh kepribadian seseorang,yakni dengan memeperhatikan keadaannya sekarang, pengalaman masa lampau, latar belakang lingkungannya, mungkin kita dapat mengetahui kenapa orang itu berperilaku atau bersikap seperti itu. Serta dapat mendeskripsikan dan menganalisa secara lebih intensif terhadap satu sistem terbatas seperti seorang individu, suatu program, suatu peristiwa, suatu intervensi, atau suatu komunitas. Walaupun demikian, studi kasus juga mempunyai kelemahan, di antaranya,13 karena anggota sampel yang terlalu kecil, sehingga sulit di buat inferensi kepada populasi. Studi kasus sangat di pengaruhi pandangan subyektif dalam pemilihan kasus karena adanya sifat khas yang dapat saja terlalu di besarbesarkan. Dan dalam penempatan konteks yang bermakna menjurus pada Interpretasi subyektif, bahwa menggunakan metode deskriptif ialah untuk dapat melukiskan realitas sosial yang kompleks sehingga dapat diketahui relevansinya antara satu dengan yang lain.14 Terhadap proses-proses mengapa terjadi kasus-kasus trafficking dan prostitusi dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terjun di dalamnya, serta usaha pemerintah untuk dapat mengatasi dan meminimalisir perilaku tersebut. Lokasi penelitian di tetapkan di Surabaya,15 dengan pertimbangan kasus-kasus trafficking cukup sering terjadi di wilayah ini. Selain itu, peneliti memiliki akses untuk menggali data dari informan penelitian ini. Data di kumpulkan melalui metode wawancara bebas dan studi analisis isi (content analysis). Analisis isi digunakan untuk mendapatkan data dari bahan primer library reseach Fakih Mansoer, Analisis Gender & Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, dan Field research untuk mendapatkan data yang menyangkut permasalahan dan implementasinya yang berkaitan dengan kasus trafficking untuk prostitusi, dilakukan wawancara bebas terhadap PSK sebagai korban dan penghuni lokasi penelitian, calo/makelar, mucikari/germo, aparat-aparat yang terkait. Data dari wawancara bebas dan analisis isi, selanjutnya di analisis secara deskriptif dan di sajikan secara naratif dan
13
.Yin. R.K (2000) Studi kasus Jakarta PT Raja Grafindo Persada J. Vredenbreg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta 1978 : 31-33 15 LP Pusat Penelitian & Studi wanita Universitas Airlangga. No: 023/. LITIB PPK-SOM/ IV/2008
14
runut untuk dapat menggambarkan upaya aparat penegak hukum dalam melindungi korban trafficking dan prostitusi. Adapun data di peroleh dengan melalui alat pendekatan pengamatan mendalam dan wawancara. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data mengenai motivasi dan alasan-alasan para pelaku dan korban trafficking serta kegiatan-kegiatan usaha mereka. Wawancara bebas, digunakan untuk mendapatkan data yang menggambarkan situasi umum obyek penelitian, sehingga dapat ditentukan masalah-masalah yang relevan dengan subjek penelitian, teknik ini sebenarnya digunakan pada tahap penciuman pengamatan mendalam, dimaksud untuk memperoleh data mengenai perilaku sosial baik yang berkaitan dengan usaha mereka maupun yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan. Kemudian data yang telah terkumpul di pilah untuk di klasifikasikan. Untuk selanjutnya di deskripsikan dan di narasikan
F.
Sistematika Penulisan Penulisan ini di buat berdasarkan sistimatika pendekatan diakronis karangan di bagi dalam lima
bab yang dapat di uraikan secara singkat, dengan tujuan untuk memudahkan penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:
Bab 1. Pendahuluan Dalam bab ini menguraikan masalah-masalah yang akan diteliti yaitu berangkat dari suatu kerangka mengapa sesuatu itu dipermasalahkan sehingga jawabannya akan tercermin melalui penelitian, dari pendahuluan ini yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Dalam bab ini dikemukakan gambaran umum geografis penelitian yang meliputi desa dan keadaan alamnya, penduduk dan mata pencahariaannya, keadaan sosial dan lingkungan serta yang paling menonjol dalam pembahasan bab ini adalah pelaku dan korban trafficking dan prostitusi serta pola hubungan sosial yang mereka lakukan.
Bab III. Trafficking, Prostitusi dan Permasalahannya Dalam bab ini menjelaskan definisi trafficking dan Prostitusi dan permasalahannya, sebab terjadinya trafficking dan prostitusi ditinjau dari aspek Ekonomi dan Sosial Budaya, Politik, Hukum, dan Agama. Bentuk-bentuk trafficking, pelaku trafficking, dan korban trafficking dan prostitusi
Bab IV. Perkembangan Trafficking dan Prostitusi, Dampak Serta upaya Penanggulangannya Dalam bab ini membahas perkembangan trafficking dan prostitusi serta peran pemerintah dan masyarakat dalam upaya penanggulangannya dan dampak trafficking dan prostitusi terhadap sosial kemasyarakatan.
Bab V. Kesimpulan dan Saran Pada bab ini penulis memberikan jawaban dari permasalahan yang dibahas dengan efektif dan efisien mungkin, agar dapat di pahami secara keseluruhan, dan sekaligus membuat saran-saran yang konstruktif dan inovatif bagi para pembaca skripsi ini. Terakhir adalah daftar pustaka serta lampiran wawancara yang merupakan referensi penulis dalam menulis skripsi ini.
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Di bagian utara Surabaya, tepatnya di Bangunsari/Bangunrejo, kecamatan Krembangan. Tak jauh dari situ, ada lagi bisnis jasa seks di Kremil. Para pelacur di kedua tempat ini melayani kalangan kelas bawah, terutama para awak kapal dari Tanjung Perak. Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Surabaya, terdapat komplek pelacuran Moroseneng, di desa Sememi, Kecamatan Benowo. Berdampingan dengan lokasi ini, tumbuh juga kegiatan pelacuran di Desa Klakah Rejo, kecamatan Benowo. Kedua kawasan ini biasa digunakan untuk kalangan menengah. Kawasan Dolly, yang mencakup RW 12 dan RW 6 dan hanya sepanjang sekitar 150 meter, diperkirakan mempunyai 55 wisma dan sekitar 530 PSK. Masing-masing wisma menampung sekitar 1030 PSK. Itu menurut data terakhir yang dihimpun Yayasan Abdiasih, lembaga swadaya masyarakat di Dolly. Di lokalisasi Jarak perkampungan seberang Dolly yang seluas sekitar tiga hektar, itu ada 400-an wisma dengan 2.155 PSK yang tersebar di RW 10, RW 11, dan RW 3. 1. Gang Dolly utamanya terletak di pinggiran kota sekitar 100 meter dari pusat atau perbatasan kota yang berada pada wilayah industri. Hasil pengamatan terdahulu memperlihatkan bahwa daerah pinggiran kota banyak berperan pada proses migrasi. Baik migrasi dari luar maupun migrasi dari dalam kota sendiri. 2. Gang Dolly merupakan daerah pemukiman wilayah Surabaya, dengan atribut ‘kawasan industri’. Sampai saat penelitian ini di laksanakan di sekitar Gang Dolly telah berdiri industri dan pabrikpabrik. 3. Gang Dolly terletak tidak jauh dari terminal bis yang dapat berfungsi dua, yaitu: -
Sebagai pusat transportasi dan lalu lintas penumpang antar kota dan antar provinsi.
-
Sebagai pemukiman penduduk pinggir kota. Adanya terminal bis tersebut mempermudah pendatang untuk keluar masuk daerah tersebut.
Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo. Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah Ibukota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya di kepung bisnis jasa seks itu. Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah di kenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak. Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik., seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di kawasan Monumen Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau di kata, Kota Surabaya seperti di kepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok “Kota Prostitusi”. Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya, sampai-sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.
B. Penduduk Dan Mata Pencaharian
Terlepas dari kacamata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol “barang najis” di satu kawasan tertentu. Di situ, pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan, keamanan, narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran ke mana-mana dan menjadi semakin sulit di kendalikan. Para penduduk yang menempati lingkungan lokalisasi,sebagian besar merupakan PSK, mucikari/germo, pengelola wisma. Dan sebagian besar mata pencarian mereka bersumber dari bisnis “sex". Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang di sulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp. 20.000, motor Rp. 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat. Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh “teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu. “Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp. 400.000 per malam,” kata Supin (46), pedagang kaki lima yang menjual aneka rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly. Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan di seberang Dolly, juga begitu. Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain. “Cuci satu baju Rp. 1.000, celana panjang Rp. 1.500, satu singlet Rp. 500. Satu hari, saya bisa dapat Rp. 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun berakhir.
Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki. Keberadaan bisnis seks itu terlanjur memberikan multiplying effect (dampak berganda) yang menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari situ. Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp. 70.000 – Rp. 130.000 untuk sekali kencan selama satu jam. Di Jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp. 60.000 – Rp. 70.000 sekali kencan. Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam? Jika satu PSK melayani 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000 sekali kencan, uang yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan penghitungan satu PSK di Jarak punya tiga tamu dengan tarif Rp. 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai RP 452,55 juta per malam. Jadi, total uang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu diperpanjang selama satu bulan, total peredaran uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 miliar per bulan! Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah. Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga sekitar Rp 250.000 per kerat, maka transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. “Itu hitungan minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam,” kata Bambang (42) pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly. Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi masuk kantong germo atau mucikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk membiayai operasional wisma, membayar makelar, preman, keamanan, dan berbagai pungutan lain.
Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini. Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir. Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi masyarakat.
C. Sosial Kemasyarakatan Meski kerap disebut “lokalisasi”, yang berarti pembatasan pada suatu kawasan tertentu, hampir semua kawasan pelacuran di Kota Surabaya bersinergi dengan masyarakat setempat. Rumah bordil dan rumah tangga biasa kerap berbaur dalam satu lingkungan. Di Dolly-Jarak, rumah warga biasa sering ditempeli tulisan “rumah tangga”, sedangkan rumah bordil disebut wisma. Namun, penghuni rumah tangga, termasuk anak-anak bebas saja berkeliaran di tengah suasana mesum itu. Anak-anak kecil di Jarak, misalnya, leluasa bermain di antara para perempuan bergincu yang mejeng sejak sore. Saat malam, ketika musik dangdut koplo berdentum-dentum, anak-anak masih blusukan di gang-gang sempit yang jadi tempat transaksi seks. “Kami bentengi anak-anak dengan belajar mengaji di masjid. Kami selalu kontrol agar mereka tidak keluyuran,” kata Dwi (27), warga yang hidup di tengah lokalisasi di Jarak. Dua anaknya, Ari (9) dan Adi (2), tampak tumbuh baik-baik saja. Di Bangunrejo, Moroseneng, atau Kremil (tiga kawasan pelacuran lain di Surabaya), juga tak ada batas antara lingkungan hunian umum dan wisma bordil. selama ini suasana hampir damai-damai saja. Dan ironis ketika peneliti menemukan sebuah kegiatan agama berupa pengajian rutin malam jumat, dimana para peserta pengajian itu adalah para PSK dan di imami oleh pengurus masjid itu,akan
tetapi selepas mereka melakukan aktivitas tersebut mereka kembali memperdagangkan diri mereka. sebagai pemuas nafsu birahi kaum lelaki (PSK) Dan yang lebih ironisnya adalah ternyata sang pengurus masjid tersebut adalah seorang mucikari yang mempunyai Wisma di kawasan Gang Dolly. Sehingga di kawasan Prostitusi Gang Dolly sangat terkenal istilah STMJ (Sholat Tetap Maksiat Jalan)
BAB III TRAFFICKING, PROSTITUSI DAN PERMASALAHANNYA
A. Trafficking 1. Definisi trafficking Definisi trafficking : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. 16 Tabel di bawah ini, yang di sarikan dari Definisi PBB di atas, adalah alat yang berguna untuk menganalisa masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafficking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat di katakan sebagai trafficking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan. Process
Cara/Jalan
+
Tujuan
Perekrutan
Ancaman
Prostitusi
Atau
Atau
Atau
Pengiriman Atau Pemindahan
16
+
D A N
Pemaksaan Atau Penculikan
D A N
Pornografi Atau Kekerasan/Eksploitasi Seksual
Atau
Atau
Atau
Penampungan
Penipuan
Kerja Paksa/dengan upah yang tidak
Atau
Atau
layak
Sari, Dian Kartika. “Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan & Anak DalamTinjauan Hukum” (makalah di sampaikan pada semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif Agama & Budaya, Jakarta, 8 Agustus, 2002)
Penerimaan
Kebohongan
Atau
Atau
Perbudakan/Praktek-praktek lain serupa
Kecurangan
perbudakan
Atau Penyalahgunaan Kekuasaan
•
1
+
1
+
1
PERSETUJUAN KORBAN TIDAK RELEVAN Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya adalah trafficking. Persetujuan korban tidak relevan apabila sudah ada salah satu dari jalan/cara diatas. Untuk anak-anak, persetujuan korban tidak relevan dengan atau tanpa jalan/cara di atas. Terminologi istilah perdagangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak di tandatangani Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women (CEDAW) dan telah di ratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian di pertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand tahun 1994. Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional di keluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisir Transnasional
tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling di terima secara umum dan di gunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut : a. Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang sangat mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. b. Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan ; c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus di anggap sebagai perdagangan manusia walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang di sebutkan dalam ayat (a) pasal ini; d. Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun.
2. Sebab-sebab Terjadinya Trafficking Latar belakang keluarga dengan ekonomi yang sangat lemah dan miskin, keadaan atau kondisi keluarga dengan pendidikan yang sangat rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, serta gaya hidup konsumtif, merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga. Sementara itu sosial budaya, seolah merupakan hak milik yang dapat di perlakukan sekehendak orang tuanya, ketidakadilan gender, atau posisi perempuan yang di anggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan masyarakat desa dan termarjinalkan.
Maka perempuan sebagai objek utama trafficking, akan terus-menerus menjadi korban, baik itu korban ekploitasi seksual, di pekerjakan dengan tanpa di beri upah/gaji, ataupun berbagai korban kekerasan lainnya. Dan biasanya perdagangan perempuan selalu bermuara pada eksploitasi seksual. Selain itu mengingat bahwa kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya angka perdagangan perempuan, untuk memenuhi bisnis ilegal ini. Khususnya di Kota Surabaya, orang asing yang berdatangan di kota heterogen ini bukan hanya untuk melakukan usaha dan bisnis semata, tetapi juga karena tertarik akan pelayanan seksual yang mudah didapat dan murah di lokalisasi gang Dolly.
a. Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Ekonomi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ekonomi yang memprihatinkan seringkali membuat orang lupa diri dan dengan mudahnya melakukan tindak pidana dengan faktor ekonomi sebagai alasan pembenarnya. Demikian pula dengan perdagangan perempuan. Faktor utama maraknya trafficking terhadap perempuan dan anak adalah kemiskinan. Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk berimigrasi ke luar ataupun di dalam negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Kemiskinan akibat multi krisis, kurangnya kesempatan kerja dan peluang berusaha menyebabkan orang tua tega menjual anaknya. Keinginan untuk hidup layak dan dengan kemampuan yang minim serta kurang mengetahui informasi pasar kerja menyebabkan perempuan dan anak yang terjebak dalam lilitan hutang pada penyalur tenaga kerja dan menyeret mereka kedalam praktik prostitusi. Selain itu materialisasi dan gaya konsumtif merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak baru gede (ABG) sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini.
Di samping itu dari sisi bisnis, trafficking ini merupakan bisnis yang menguntungkan hingga mencapai milyaran dolar setahun. Bahkan perdagangan perempuan dan anak ini di anggap sebagi sumber keuntungan terbesar ketiga bagi kriminal yang terorganisir di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata. Mereka bisa menghasilkan atau meraup keuntungan milyaran dolar setiap tahunnya Perdagangan perempuan tidak terlepas dari keberadaan lingkungannya dan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat. Faktor sosial menjadi faktor yang dominan ketika dia berhadapan dengan korban yang memiliki pendidikan rendah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan apakah seorang perempuan dapat di rekrut dengan cara penipuan untuk kemudian di perdagangkan "Buta huruf dan pendidikan rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan kerentanan terhadap perdagangan, rendahnya pendidikan dan kurangnya keterampilan menyebabkan para perempuan sulit untuk mendapatkan pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga mereka. Penyebab maraknya kasus trafficking, di sebabkan oleh faktor-faktor ekonomi miskin, budaya patriarkhis seperti budaya pemaksaan menikah dini, pembatasan akses bagi anak dan perempuan dan keinginan orang tua yang menginginkan anaknya secepatnya bekerja tanpa di bekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Di lain pihak, para calo secara gencar mendatangi penduduk miskin untuk membujuk dan merayu para orang tua dan anak-anak untuk bekerja di kota atau di luar negeri. Anak-anak di rekrut oleh calo melalui pendekatan dari rumah ke rumah di pedesaan dan pegunungan. Para calo menjanjikan penempatan kerja ke kota, bergaji tinggi dan hidup mewah. Berbagai tipu daya di lakukan guna mengajak dan merayu anak-anak desa untuk bekerja di lain tempat.
b. Politik Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang kemudian di ratifikasi oleh pemerintah negara RI melalui UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, merupakan konvensi Internasional yang menjadi salah satu dasar dari penerbitan UU PTPPO,No. 23 tahun 2004.
. Sidang umum PBB membentuk sebuah komite ad hoc dalam mengelaborasi sebuah konvensi melawan kejahatan terorganisir lintas batas. Konvensi PBB ini meliputi sebuah protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum trafficking (perdagangan) manusia terutama perempuan dan anak. Kemudian pada bulan Maret 2007, Indonesia telah menerbitkan Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Definisi tentang trafficking pada UU PTPPO, sebagai berikut : “Perdagangan orang adalah tindakan Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain, atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh”.: Faktor penting dalam pengertian diatas dalam konteks di Indonesia yaitu bahwa Persetujuan dari korban tidak di anggap sebagai persetujuan, apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penipuan dan kecurangan. Karena meningkatnya perempuan dan anak-anak Indonesia yang mencari pekerjaan keluar desa, kota bahkan ke luar negeri. Seorang anak (setiap manusia di bawah usia 18 tahun) yang telah di rekrut, di kirim, di pindahkan dari satu tempat ke tempat lain, di tampung atau di terima untuk tujuan eksploitasi haruslah di kategorikan sebagai seorang “korban trafficking” meskipun anak tersebut tidak di ancam, di paksa, di culik, di tipu, di aniaya,dijual ataupun di sewakan Secara singkat kita dapat kenali trafficking dengan unsur-unsur : •
Adanya tindakan/proses (transportasi,transfer dll)
•
Adanya sarana (paksaan, penipuan, kecurangan dll)
•
Adanya tujuan (eksploitasi)
Berbagai konvensi yang terkait dengan perempuan dalam kedudukannya sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, telah di keluarkan lewat lembaga
Internasional, dan berbagai negara ikut menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut termasuk negara Indonesia. Di antara konvensi yang di tandatangani oleh negara Indonesia adalah konvensi mengenai hak-hak Politik Perempuan (Convention On The Political Right of Woman) pada tanggal 16 Desember 1958, bahkan lebih dahulu dari yang di lakukan oleh negara Amerika Serikat yang baru meratifikasi tanggal 8 april 1976.17 Dan permasalahannya terdapat pada Kendala struktural yang berkaitan dengan berbagai kebijakan baik yang umum maupun yang khusus di tujukan pada kaum perempuan yang secara prinsipil justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi ini seperti dalam pasal 1, dapat di simpulkan bahwa pemenuhan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah prasyarat mutlak untuk dapat terlaksananya konvensi ini. Namun tampaknya ada ketidakkonsistenan dari pemerintah, di satu pihak menandatangani dan meratifikasi konvensi hak asasi manusia lainnnya, seperti konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik dan konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.18
c.
Hukum
Sejak di sahkannya Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu bulan April 2007, maka yang di maksud dengan perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau mamfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
17 18
Apik, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan Bogor, 1996, hal. 118 Apik, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan Bogor, 1996, hal. XIV
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Pengertian perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam protokol yang dikeluarkan oleh PBB. Begitu lambatnya penanganan perdagangan manusia ini oleh pemerintah, sampai-sampai Departemen Luar Negeri Amerika memasukkan Indonesia ke dalam kelompok tier 3, yaitu kelompok negera-negara dengan penanganan perdagangan manusia terburuk. Lemahnya perangkat hukum, mudahnya petugas di bayar, banyaknya daerah perbatasan antarnegara yang tidak di jaga dengan baik, adalah faktor yang menyebabkan perdagangan manusia di Indonesia di kategorikan terburuk.
Di sisi lain, undang-undang sebagai landasan hukum menghadang perdagangan manusia pun di Indonesia tidak memadai untuk menjerat dan menghukum si pelaku. Kelemahan KUHP Menangani Tindak Kekerasan pada Perempuan Perkosaan: Dalam KUHP, perkosaan dibatasi bila hanya terjadi penetrasi. Yaitu, masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam vagina. Sehingga dalam pembuktiannya sangat sulit dilakukan. Karena harus adanya bukti sperma. Pasal yang mengatur tegas adalah pasal 285, 381 KUHP. Masalah Pelecehan Seksual: Dalam KUHP, perbuatan itu hanya di kenal dengan istilah perbuatan cabul. Sementara, perbuatan ini sendiri lebih banyak terjadi kepada korban yang berada dalam relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Pasal yang mengatur adalah pasal 387, 294 KUHP. Perdagangan Perempuan: Secara umum, perbuatan ini adalah dalam sektor pemaksaan kehendak. Seperti memaksa seseorang untuk menjadi pelacur, tenaga kerja ataupun pekerjaan lainnya untuk keuntungan si pelaku. Pasal terkait yaitu pasal 295, 296, dan pasal 393 KUHP.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Dalam peristiwa ini, baik KUHP maupun rancangan KUHP tidak memuat secara tegas pasal-pasal yang mengatur atau memberikan ketegasan. Namun ada beberapa pasal seperti 338, 339 dan 340 tentang penganiayaan yang bisa dipakai menjerat para pelaku. Pornografi: Dalam KUHP, pornografi diatur dalam pasal 282, yang terkait erat dengan pasal 281. Untuk pasal 282 sendiri, lebih di fokuskan untuk melindungi kesusilaan dan gangguan melalui media tulisan atau gambar. Aborsi: Hukum kita dengan jelas melarang hal apapun mengenai hal ini, terkecuali dengan alasan medis bagi si pengandung. Bahkan, sanksi yang diberikan menurut pasal 346 KUHP adalah empat tahun penjara. Sementara untuk pasal lainnya mengacu pada UU Kesehatan no 23 Tahun 1992 dan pasal 374, 375 KUHP.
d. Agama Begitulah dari sisi mana kita melihat, akan menentukan warna pandangan. Sementara perilaku jual-beli itu tak pernah berubah dari abad ke abad. Dan semakin terbelah sikap memandang, semakin bervariasi pula spektrum warna pandangan. Nilai sosial pun yang relatif. kecuali barangkali jika dikembalikan pada sumber nilai yang paling asasi, prinsip agama. Tapi sejauh manakah prinsip agama masih fungsional dalam kehidupan sosial? Jika prinsip agama beranjak dari rasa taqwa pada Tuhan, dan ini sifatnya sangat individual, siapakah yang menganggapnya masih relevan terhadap kehidupan sosial dalam lingkungan pelacur. Mau tak mau di sini agama di ajak bersikap adil dalam menilai. Keadilan hanya arti memberikan apa yang menjadi hak seseorang. Lalu bagaimana perkiraan tentang hak sosial seorang pelacur? Lalu sampai berapa jauh batas toleransi akan hak sosial itu? Kesemuanya pertanyaan tentang tak mungkin memperoleh jawaban dari prinsip-prinsip yang tegas. Norma hanya bersikap menghukum, barangkali penilaian yang adil memerlukan pemahaman realita.
Karena itu gambaran tanpa prasangka di perlukan agar kehidupan penjaja seks ini bisa di kendali lebih dalam lagi.
Remangkah kehidupannya, ataukah cemerlang dalam pesta pora eksekutif, sebenarnya menyatu dalam sikap dasar yang sama, sikap dasar ini bertolak dari pandangan mengenai tubuh sendiri, dan makna seks bagi dirinya. Bahwa tubuh merupakan modal kerja, dan seks adalah aktivitas yang punya nilai jangkauannya tidak sebatas rumah tangga. Dari sikap dasar semacam ini lahirlah motif yang beraneka.
3. Bentuk-Bentuk Trafficking Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan: •
Kerja paksa dan eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam banyak kasus perempuan dan anak-anak di janjikan bekerja sebagai buruh migran. PRT, pekerja restoran, penjaga toko atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian di paksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
•
Pembantu rumah tangga (PRT) -baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Di eksploitasi ke dalam kondisi pekerjaan yang sewenang-wenang termasuk : jam kerja sangat panjang, penyekapan, upah yang tidak di bayar atau di potong, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak di beri makan atau kurang makanan dan tidak boleh menjalankan agamanya atau di perintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lainnya untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
•
Bentuk lain dari kerja migran- baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia, meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnya di janjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran atau toko kecil, beberapa dari buruh
migran ini di eksploitasi ke dalam kondisi pekerjaan yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak di bayar sama sekali. •
Penari penghibur dan pertukaran budaya, terutama di luar negeri, perempuan dan anak-anak di janjikan bekerja sebagai duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing, pada saat kedatangannya banyak dari perempuan di paksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi yang sangat mirip dengan perbudakan.
•
Pengantin pesanan- terutama di luar negeri, beberapa perempuan dan anak yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah di tipu dengan perkawinan. dalam kasus semacam itu. Para suami mereka memaksa istri-istri baru itu untuk bekerja untuk keluarga dengan kondisi yang sangat mirip dengan perbudakan, atau mereka menjual ke industri seks.
•
Beberapa bentuk buruh/pekerja anak- terutama di indonesia beberapa anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekera di perkebunan telah di eksploitasi ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
•
Trafficking/penjualan bayi- baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat negeri dan kemudian mereka di paksa untuk menyerahkan bayinya untuk di adopsi secara ilegal.
4. Pelaku Trafficking •
Perusahaan perekrut tenaga kerja/PJTKI
•
Agen/calo tenaga kerja
•
Aparat pemerintah, jika memalsukan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran, dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara ilegal
•
Majikan, jika menempatkan pekerja secara eksploitatif . tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan seksual, fisik, memaksa terus bekerja aau menjerat pekerja dengan hutan
•
Pemilik atau pengelola rumah bordil.
•
Orang tua, sanak saudara dapat di anggap sebagai pelaku manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudarannya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka dengan penghasilan yang akan di terima oleh anak mereka nantinya.
•
Suami juga bisa menjadi pelaku, jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim istrinya ke tempat baru untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak atau memaksanya melakukan praktik prostitusi.
Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Pasal
Hukuman
Tindak Pidana
387 R. KUHP 281 KUHP 374 R. KUHP 375 R. KUHP 346 KUHP 282 KUHP 338 KUHP 339 KUHP 340 KUHP 295 KUHP 393 R. KUHP 296 KUHP 285 KUHP 381 R.KUHP
2 Tahun 2 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 4 Tahun 2 Tahun 15 Tahun 20 Tahun Seumur Hidup 7 Tahun 3 Tahun 5 Tahun 12 Tahun 3 Tahun
Pelecehan seksual Tindak pidana pornografi Aborsi Pelaku aborsi Tindak pidana aborsi Penyebaran gambar porno Perkosaan di sertai pembunuhan Pembunuhan di sertai tindak pidana Pembunuhan dengan perencanaan Perbuatan cabul Penjualan wanita Membiarkan perbuatan cabul Perkosaan dengan kekerasan Persetubuhan di sertai pencabulan
Populasi penelitian ini ialah daerah Gang Dolly Surabaya terutama para pelaku Trafficking dan Prostitusi mucikari di Gang Dolly Surabaya. Pengambilan kasus ini dengan pertimbangan bahwa Gang Dolly sudah terkenal sejak lama, merupakan lokalisasi Surabaya. Adapun sampelnya secara purposive dengan mengambil perilaku mucikari dan perilaku prostitusi dan pelaku trafficking.
5. Korban Trafficking
Korban perdagangan anak tidak pandang bulu, siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban perdagangan khususnya perempuan dan anak? •
Anak-anak jalanan
•
Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan di pilihnya
•
Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
•
Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
•
Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara
•
Perempuan dan anak yang keluarganya di\ terjerat hutang
•
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
•
Perempuan yang menjadi korban perkosaan
Adapun pengertian korban kejahatan berdasarkan deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 di sebutkan bahwa korban kejahatan adalah : “Victims means person who, individually or collectively, heve suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including those laws proscribing criminal abuse of power”. Bahwa penulis mengatakan: “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.”
Pada tahap ini korban akan menderita kerugian sebagai korban kejahatan dan sebagai korban struktural.19
B. PROSTITUSI 1. Definisi Prostitusi Prostitusi yaitu penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.20penyebab dan dampaknya di katakan bahwa praktik prostitusi merupakan profesi tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada praktik prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada kehidupan manusia. Hal ini berdasarkan pendapat penulis melalui hasil penelitiannya dapat di simpulkan bahwa di dalam praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1. Para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan pernikahan. 2. Peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang di lakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan. 3. Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan) .Bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang di hasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparat seksualitas sampai abad ke-20.21 Kata prostitusi atau pelacuran selalu menggiring pikiran dan imaji orang tentang seksualitas yang di tabukan atau di nistakan karena secara moral di anggap bertentangan dengan nilai agama dan
19
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Presindo, 1993. P.J De Bruine Ploos Van Astal dalam Soedjono, S.H 1970 hal. 57 21 Foucault dalam History of Sexuality (1976) 20
kesusilaan. Pandangan demikian biasanya berasal dari kelompok orang atau penguasa yang hanya melihat prostitusi sebagai bentuk pelampiasan seksual yang tidak sejalan dengan norma sosial masyarakat umum. Seks sebagai “komoditi” telah menimbulkan suatu profesi yang memerlukan totalitas dari sebagai modal kerja. Hubungan seks antara dua jenis manusia sudah setua adanya manusia di muka bumi ini.
2. Sebab-Sebab Terjadinya Prostitusi Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern. Masalah "Drive Thru Girl" (penjualan diri) yang di lakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG di luar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa di diamkan begitu saja. Menyimak kehidupan malam yang di lakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik di cermati. Betapa pendidikan yang di tempuhnya tidak bisa mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika, norma, agama dan sosial.
a. Ekonomi dan Sosial Budaya Masyrakat Dari aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar hubungan supply and demand, jelas bahwa di dalam praktek prostitusi terlihat sebagaimana.tekanan ekonomi sebagai akibat di tinggal suami merupakan alasan klasik untuk timbulnya prostitusi, yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan (kuantitas dan kualitas kehidupan) manusia khususnya di daerah-daerah perkotaan. Maka faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya prostitusi antara lain: 1). Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi penduduk
wanita
lebih
banyak
dari
pada
penduduk
laki-laki.
2). Perkembangan teknologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik termasuk operasi
plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan; teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di bidang
industri. 3). Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang di terapkan terhadap
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut dapat di lakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelola hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan, sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas. 4). Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam (fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktik prostitusi. Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain "publik"; Menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "culture" masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, "tradition" setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut. Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan di dukung oleh "backing" aparat keamanan.
b.
Politik Dalam konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (di ratifikasi Pemerintah RI
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa di masukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.22 Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.
c. Hukum Nuansa bias gender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi di tangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, di data, di beri penyuluhan dan di suruh membayar denda, atau di masukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. Kasus prostitusi yang menggerakkan pemerintah untuk memproduksi sebuah undang-undang (KUHP) sepertinya bukan khas kebingungan Indonesia. Bila di Indonesia kebingungan itu lebih pada menyoal menentukan batas moral dan amoral – yang sama-sama kabur, di negara lain praktik prostitusi di perdebatkan karena beberapa perkara. Misalnya prostitusi di jerat sebagai aktivitas kriminal. Pandangan ini menyakini bahwa prostitusi merupakan sebentuk perbudakan wanita. Karena itu, tidaklah berlebihan bila prostitusi di haramkan, dan pelakunya harus di jebloskan penjara.
d. Agama
22
Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949
Demikian pula dalam hal sulitnya menindak pelacuran. Agama tidak bisa langsung bertindak sebagai "Lembaga Inkuisisi" dengan menjatuhkan sanksi (‘uqubat) terhadap pelacuran. Dalam fikih Islam sendiri terdapat ragam beda pendapat, misalnya dalam kasus pelacuran. Menurut Abu Hanifah, perbuatan seks dengan wanita bayaran tidak bisa di kenai hukum Hadd karena hukum transaksinya (al-Ijarah) masih samar (syubhat), sedangkan pelaksanaan hukum Hadd, seperti di sabdakan nabi, harus bebas dari segala kesamaran.23 Persoalan mendasar membangun ideologi patriarkhi bersumber pada pemegang kekuasaan dan pemilik pengetahuan yang tidak netral. Setiap kuasa pengetahuan mempengaruhi wacana yang membangun perspektif kultural dan praktik sosial di masyarakat. Gagasan kebebasan untuk memberikan peran lebih luas dengan persaingan yang kompetitif selalu berbentur pada kepentingan yang mempunyai modal besar. Seringkali kehendak penafsir dalam memberikan pendapat atau menentukan aturan (role) membelenggu kesadaran perempuan. Seperti banyaknya penafsiran tentang poligami dari sudut pandang laki-laki, di kaitkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Perempuan hanya di jadikan subjek dari hasil penafsiran tanpa sedikitpun terlibat dalam produksi tafsir yang kreatif. .Jika menelaah kitab tafsir klasik banyak pendapat yang bias gender, karena penafsirnya laki-laki, sehingga secara nyata kepentingan laki-laki masuk dalam penafsiran mereka. Untuk memberikan imbangan pada realitas saat ini, maka perempuan perlu mampu mengakses kitab suci dan memberikan interpretasi sesuai dengan kepentingan dan kepekaan yang di miliki oleh kaum perempuan. Misalnya, berkenaan dengan masalah reproduksi, perempuan harus berbicara dan berpendapat tentang apa yang di alami oleh tubuhnya ketika menstruasi, hamil dan melahirkan serta menyusui,. Laki-laki tidak akan bisa memahami secara nyata, karena laki-laki tidak bisa menggantikan atau mengalami peran reproduksi kalangan perempuan. 23
Sirajuddin Abu Hafsh, Al-Ghurrah al-Munifah, Maktabah Imam Abu Hanifah, Beirut, 1988, hal 169-170, Cet II
BAB IV PERKEMBANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI, DAMPAK SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA
A. PERKEMBANGANNYA 1. Trafficking Meningkatnya jumlah korban trafficking dari tahun ke tahun membuat resah. Berdasarkan hasil survei di Provinsi Jawa Timur dalam satu tahun terakhir tahun 2008, jumlah kasus trafficking meningkat 300 %. Jika pada tahun 2005 jumlah kasus trafficking hanya 28.892 kasus, pada 2006 melonjak 86.676 kasus24 Angka peningkatan kekerasan yang merisaukan. Selain itu mengingat bahwa kemajuan bisnis Pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan Pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya angka perdagangan perempuan, untuk memenuhi bisnis ilegal ini. Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk di perdagangkan, daerah tersebut adalah Jawa Barat (Indramayu, Karawang, Kuningan), Jawa Tengah (Semarang,DI Yogyakarta, Pati, Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Surabaya, Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan). Faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan perdagangan manusia dan sangat perlu di perhatikan di antaranya adalah sebagai berikut a. Faktor Ekologis, kepadatan penduduk dan mobilitas sosial; kota dan pedesaan; dan urbanisasi. b. Faktor Ekonomi, sebab pengaruh kemiskinan dan kemakmuran c. Faktor Budaya, sebab kejahatan karena masalah-masalah suku, agama, d. Kelompok Minoritas 24
LP Pusat Penelitian & Studi wanita Universitas Airlangga. No: 023/. LITIB PPK-SOM/ IV/2008
e. Faktor Penegakan Hukum Perkembangan perdagangan perempuan di Indonesia dalam sejarah pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. masa Kerajaan-kerajaan di Jawa, perdagangan orang yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistim pemerintahan Feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan Raja di gambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia, kekuasaan Raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang di milikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri Bangsawan yang di serahkan kepada Raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang di jual atau di serahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga Istana sehingga dapat meningkatkan statusnya. Terutama dengan kasus Trafficking yang kini sedang marak di lakukan oleh Oknum-oknum yang bekerja untuk membawa gadis desa yang lugu dan dengan perekonomian yang sangat kurang, terutama para gadis di bawah umur, mereka diiming-imingi kerja dan gaji yang sangat besar Rp.5.000.000’an perbulan tetapi mereka tidak di pekerjakan, tetapi di jual kemucikari seharga Rp.2.000.000 perorang, para korban terdiri atas perempuan-perempuan muda yang berusia 16-23 tahun yang rata-rata berasal dari keluaga petani yang kurang mampu.25 Dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh mucikari, maka pelacuran akan semakin sulit dapat di kontrol, mereka dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam melakukan operasinya dengan aman, bahkan hal demikianlah yang lebih memungkinkan banyaknya pengaruh jelek terhadap masyarakat di sekitarnya.
2. Prostitusi Tindak prostitusi di bagi ke dalam Dua kategori: mereka yang menjadi korban dan mereka yang bukan. Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-anak dan remaja, dan 25
Wawancara dengan oknum trafficking
penyerangan seksual masuk ke dalam kategori tindak kriminal karena seseorang telah menjadi korban. Sementara itu, aktivitas seksual yang di persiapkan melalui persetujuan kedua belah pihak, prostitusi dan pornografi, "tidak ada korbannya" (victim-less). Artinya, pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling di rugikan. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an, muncul lokalisasi yang terkenal, yaitu Kembang Jepun. Para pelacur di situ melayani hasrat seks tentara yang mencari hiburan di tengah perang. Setelah kemerdekaan, bisnis seks di kota ini bukannya berhenti, tetapi malah semakin marak. Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Dolly memang punya sejarah unik, lokasi strategis, dan cara menjajakan pelacur yang dramatis. Menurut Tjahjo Purnomo Wijadi, peneliti Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS), yang pernah meneliti prostitusi Dolly untuk skripsi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada mulanya Dolly hanyalah kawasan pemakaman China di daerah pinggiran kota yang sepi. Tahun 1960-an, makam itu banyak di bongkar untuk di jadikan hunian. Tahun 1967, seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina, Dolly Khavit, mendirikan rumah bordil di Jalan Kupang Timur I. Lantaran dianggap sebagai perintis, Dolly kemudian diabadikan sebagai nama daerah itu. “Dari hanya beberapa wisma, Dolly lantas berkembang menjadi kawasan pelacuran yang ramai tahun 1980-an,” kata Tjahjo.26 Kenapa prostitusi tumbuh subur di Surabaya? “Karena Surabaya itu kota besar dan kota pelabuhan. Banyak orang singgah di sini dan itu pasar bagi prostitusi. Artinya, ujung-ujungnya kan soal supply and demand,” kata L Dyson P, Ketua Program Studi S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Unair Surabaya.27
26 27
Wawancara dengan peneliti Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) UNAIR Wawancara dengan ketua studi S3 Ilmu Sosial UNAIR
Fenomena prostitusi menggeliat bersama perkembangan kota. Hampir semua kota di dunia punya kawasan “Lampu Merah”. “Pada kasus Surabaya, germo dan pelacur sangat berperan dalam membuka kawasan baru dan mengembangkannya jadi kota,” kata Dyson menambahkan. Menurut Guru Besar Ilmu Sosial Unair, Soetandyo Wignyosoebroto, suka atau tidak suka, pelacuran memang nyata-nyata ada dan hidup bersama masyarakat Surabaya. Kegiatan itu ada karena punya fungsi sosial. “Prostitusi di kota itu bagaikan septic tank di rumah kita. Fungsinya untuk menampung kotoran atau sampah,” katanya.28 Sebut saja namanya, Eiffel (19). Meski mengaku baru tiga minggu menjadi penghuni Dolly, perempuan berkulit kuning langsat dan semampai tubuh 162 cm ini menjadi salah satu primadona laris Wisma “B”. Orang bilang, wajah cantik Eiffel mirip penyanyi Nafa Urbach. “Baru tiga bulan saya bercerai. Anak saya dua tahun, kini di asuh ibu,” ungkap Eiffel, yang lulusan SMA Negeri di sebuah kota di Jawa Tengah. “Ayah saya pensiunan pegawai PEMDA” katanya. Sang ibu, menurut Eiffel, hanya tahu kalau dirinya bekerja di pabrik di Surabaya. Uang memang menjadi pangkal segala alasan, mengapa tiga minggu lalu ia merantau dengan bus ke Surabaya. Dan, jurus kepepet (terdesak), menjadi pemicu utamanya melakukan pekerjaan jadi pelacur.29 Namun pekerjaan ini ia lakukan bukan semata-mata di dorong karena kemiskinan atau trafficking umumnya alasan yang membawa perempuan seperti Eiffel ini melakukan pekerjaan sebagai pemuas seks. “Sejak kelas III SMA saya memakai sabu, ikut-ikutan pacar yang dulu memerawani saya. Lepas waktu saya jadi (perempuan) panggilan, untuk cari uang buat beli sabu,” ungkap Eiffel, yang mengaku kebiasaannya dulu adalah siang sekolah, sore nyabu, malam belajar dan terkadang “menerima panggilan”. “Anehnya, jika saya usai nyabu lalu belajar malam harinya, pelajaran seperti menempel di kepala saya. Maka, saya pun peringkatnya di kelas selalu urutan 1-3...,” ungkap perempuan yang tangkas dan 28 29
Wawancara dengan guru besar Ilmu Sosial UNAIR Wawancara dengan PSK di kawasan Dolly
selalu nyambung jika di ajak bicara ini. Tetapi, gara-gara harus memenuhi kebutuhan sabu, Eiffel harus mengorbankan kemolekan tubuhnya untuk terkadang jadi panggilan. Maka, tubuh pun di pakai untuk pengayuh tiga tujuan: merengkuh pacar, meraup uang demi membeli kebutuhan sabu... Namun, lantaran kebiasaan parasit sang pacar yang di kemudian hari jadi suami (tak mau kerja akan tetapi pengennya Cuma “numpang mulya” sama istri), Eiffel pun tiga bulan lalu bercerai. Demi menghidupi anak dan memenuhi kebutuhan dirinya, Eiffel pun kini mendamparkan dirinya ke Dolly. Ia bahkan mengaku, ingin meneruskan kuliah lagi suatu saat nanti. “Kerja dari pukul 16.00 sampai pukul 03.00, Saya biasa melayani sekitar 10 tamu,” ungkap Ana (28),30 perempuan berambut lurus, berkulit putih asal Pekalongan, yang baru jadi penghuni Wisma “I” di Dolly sejak sekitar bulan September 2007. Ana menjadi pelacur, setelah cerai dari suaminya, Usman (32), yang selingkuh dengan teman dekatnya.31 Apapun alasan yang membawa Eiffel dan Ana serta perempuan lain di Dolly dan Jarak –kompleks pelacuran yang lebih luas di sekitar Dolly mereka mau tak mau harus menjalani ini: jadi mesin uang untuk diri sendiri dan orang sekitarnya jika jadi pekerja seks. Di samping alasan Moral, Agama dan Ekonomi, "prostitusi" perlu di amankan karena berkaitan dengan eksploitasi. Pelacuran adalah produk masyarakat patriarkal, kekuasaan pria yang berlebihan berarti kelemahan wanita. Di Indonesia dalam kasus "prostitusi" KUHP yang paling banyak mendapat keuntungan adalah germo dan mucikari, dan mereka jelas banyak melanggar hukum. Tapi kenyataannya di lapangan, yang di tangkap justru pelacurnya. Repotnya, banyak aparat hukum, seperti hakim, saksi, pembuat BAP (polisi) atau jaksa, senantiasa mengawali ucapannya dengan kalimat "demi Tuhan". Tuhan saja di perjualbelikan, apalagi "hanya" anak gadis!!! 30 31
Wawancara dengan PSK kawasan Dolly Wawancara dengan PSK kawasan Dolly
B. DAMPAK TRAFFICKING DAN PROSTITUSI TERHADAP SOSIAL KEMASYARAKATAN Di sadari bahwa prostitusi di tinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain: (a) secara Sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat. (b) dari aspek Pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. (c) dari aspek ke Wanitaan, prostitusi merupakan kegiatan yang merendahkan martabat wanita. (d) dari aspek Ekonomi, prostitusi dalam praktiknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. (e) dari aspek Kesehatan, praktik prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. (f) dari aspek Kamtibmas, praktik prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal. (g) dari aspek Penataan Kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan. Namun tanpa memperhatikan dampak negatif yang di timbulkan, serta haram dan halalnya uang yang mereka peroleh, suatu kenyataan bahwa dari praktik prostitusi mereka dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, dan bahkan dapat menyekolahkan anak atau dirinya, serta membangun rumahnya. Bisnis pelacuran memang menimbulkan “dilema”. Tak jarang bahkan Pemerintah Daerah berkepentingan terhadap eksistensi lokalisasi karena berbagai alasan, seperti, "meningkatkan pendapatan daerah", "membuka lapangan kerja", maupun sebagai "stok" untuk "menyuguh" relasi bisnis atau pejabat yang doyan "daun muda". Singkat kata, bicara tentang prostitusi adalah bicara tentang hal yang sangat kompleks mengingat peradaban yang termasuk tertua di dunia ini tidak pernah absen dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, prostitusi sulit di hapuskan. Yang juga ‘ironis’ adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.
Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk Stigmatisasi, juga Diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi di tangkap dan di proses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, di data, di beri penyuluhan dan di suruh membayar denda, atau di masukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan terhadap pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. Dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh mucikari, maka pelacuran akan semakin sulit dapat di kontrol, mereka dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain dalam melakukan operasinya dengan aman, bahkan hal demikianlah yang lebih memungkinkan banyaknya pengaruh jelek terhadap masyarakat di sekitarnya. Seks sebagai “komoditi” telah menimbulkan suatu profesi yang memerlukan totalitas dari sebagai modal kerja. Hubungan seks antara dua jenis manusia sudah setua adanya manusia di muka bumi ini.
C. UPAYA PENANGGULANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI 1. Peran Pemerintah (Political Will) Dalam Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi Salah satu upaya political will Pemerintah Indonesia untuk memerangi trafficking tercermin dengan (The Convention on the Elimination of Discrimination Against Women ‘CEDAW’). Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi ini (Kopenhagen) pada tanggal 29 Juli 1980. Ratifikasi ini di lakukan dengan mereservasi pasal 29 ayat 1 yang pada pokoknya mengatur tentang prosedur mekanisme penyelesaian perselisihan antara Negara-negara peserta konvensi tentang penafsiran dan penerapan konvensi dan membawanya kepada Mahkamah Internasional. Pengertian diskriminasi dalam konvensi ini pada pokoknya di artikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap aktualisasi sepenuhnya hak asasi manusia yang meliputi hak sosial, politik, ekonomi, dan budaya kaum perempuan sesuai konvensi-konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seperti misalnya konvensi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta deklarasi hak atas pembangunan.
Dengan kata lain, konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai parameter atau tolak ukur bagi ada atau tidaknya diskriminasi terhadap perempuan.32 Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming). Dalam Inpres di nyatakan bahwa setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam sektor dan daerah masingmasing untuk mewujudkan target Millennium Development Goals (MDG), yaitu kesetaraan dan keadilan gender yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia secara keseluruhan. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan menjadi sumber penggerak (driving force) di seluruh sektor pembangunan nasional. Pembangunan sumberdaya manusia merupakan bagian yang integral dari program-program pembangunan di Indonesia dan terkait erat dengan komitmen internasional dalam mewujudkan Millenium Development Goals (MDG) yang telah di canangkan sejak tahun 2000 melalui Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa Penguatan komitmen Pemerintah RI dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) dan pengajuan Rencana Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO) kepada DPR RI untuk disahkan. Dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009, RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada di urutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas. Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian RI berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2007-2008 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas. Dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3
32
Nur Syahbani Katjasungkana (Penyunting, penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan, APIK, tt, hal. 4 )
bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah rnernbuahkan di jatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker.33 Peningkatan
perlindungan
kepada
korban
perdagangan
orang
dilaksanakan
dengan
meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak LSM dan organisasi masyarakat yang mendirikan women's crisis centre, Drop In Center. atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Lembaga bantuan hukum dan LSM yang sebagian tugasnya juga memberikan bantuan hukum kepada korban perdagangan orang kini semakin banyak tersebar di berbagai kabupaten/kota. Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural (terkait dengan nilai-nilai budaya patriarkal) dan sekaligus bersifat struktural (di mapankan oleh tatanan sosial politik yang ada) tersebut, maka di perlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan. Untuk itu, di perlukan political will yang kuat agar semua kebijakan dan program pembangunan memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender serta peduli anak. Prioritas dan arah kebijakan pembangunan yang akan di lakukan adalah: 1. Memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalarn proses politik dan jabatan publik; 2. Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta program- program lain, untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumberdaya kaum perempuan; 3. Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak; 4. Menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap dalam melindungi setiap individu dari
33
Laporan tahunan KOMNAS PP 2008
kekerasan dalam rumah tangga; 5. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; dan 6. Memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan peningkatan partisipasi masyarakat. Melalui program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan. tujuan program ini untuk meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; dan meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Kegiatan pokok yang di lakukan antara lain: 1. Meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui aksi afirmasi, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, politik, dan ekonomi; 2. Meningkatkan upaya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya; 3. Mengembangkan dan menyempurnakan perangkat hukum dan kebijakan peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah; 4. Melakukan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), peningkatan kualitas hidup, dan perlindungan perempuan di tingkat nasional dan daerah; 5. Menyusun sistem pencatatan dan pelaporan, dan sistem penanganan dan penyelesaian kasus tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan; 6. Membangun pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit dan berbasis masyarakat di tingkat propinsi dan kabupaten/kota sebagai sarana perlindungan perempuan korban kekerasan, termasuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; serta 7. Meningkatkan peran masyarakat dan media dalam penanggulangan pornografi dan pornoaksi. Meski di atas kertas perlindungan terhadap anak di jamin oleh berbagai peraturan, hal itu belum
sepenuhnya di jalankan negara, Undang-Undang 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pada kenyataannya belum dijalankan dengan baik oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan realitas tersebut, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1984, dengan Undangundang RI No.7 tahun 1984, telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk terhadap diskriminasi.34 Dan turut di tandatanganinya Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women pada tahun 1998. Plan of Action ini merupakan konsensus bagi negara-negara di wilayah regional AsiaPasifik dalam memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Dalam hal ini pemerintah menetapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) sebagai vocal point dalam menindaklanjuti pemberantasan perdagangan perempuan. Namun, Annual Trafficking in Person Report menunjukkan, bahwa pada periode antara April 2001 dan Maret 2002, Indonesia termasuk dalam negara yang di anggap tidak memenuhi ketentuan standar minimum The Trafficking Victims Protection Act of 2000 (pencegahan, perlindungan, penindakan) dan upaya-upaya mengeliminasi perdagangan orang, padahal Indonesia termasuk dalam kategori sumber trafficking dengan peringkat Tier 3 (kategori nilai terendah), khususnya untuk perdagangan perempuan belia. Evaluasi di atas paling tidak menstimulasi pemerintah untuk meningkatkan upaya dalam mengatasi hal ini, salah satunya dengan di sahkannya UU PTPPO. Ini di ikuti dengan upaya-upaya lain yang signifikan, terutama oleh Meneg PP sebagai vocal point. Pertemuan Regional II Pemberdayaan Lembaga Masyarakat yang di laksanakan di Manado, 19-21 Juni 2007 atas kerja sama antara Meneg PP dan Biro Pemberdayaan Perempuan Sulawesi Utara untuk wilayah Indonesia Timur adalah salah satu di antara upaya tersebut. Pertemuan ini di maksudkan untuk ‘penguatan kelembagaan’ dalam upaya memperkuat
34
Perisai Perempuan, Op.Cit, APIK hal. 155
jaringan antar-organisasi pemerintah dan non-pemerintah agar aktivitas masing-masing dapat saling bersinergi untuk memerangi segala bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat. Penguatan kelembagaan ini merupakan bagian dari amanat UU No 21/2007 (Pasal 46) tentang pembentukan pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan korban tindak perdagangan orang yang di buat berdasarkan “Kesepakatan Bersama” antara Meneg PP, Menteri Kesehatan dan Kepala Kepolisian RI yang di tandatangani pada tanggal 23 Oktober 2002 yang lalu. Sebagai realitas sosial, prostitusi dianggap mengganggu ketenteraman masyarakat ataupun pemerintah setempat. Oleh karena itu, ketika Otonomi Daerah di berlakukan, beberapa daerah melakukan hal yang sama, yaitu membuat peraturan yang melarang praktik pelacuran. Peraturan Daerah (PERDA) tersebut kemudian menjadi kekuatan hukum bagi Pemerintah Daerah menangkap seseorang yang di anggap atau di curigai sebagai pelaku prostitusi. Political will terhadap prostitusi dengan mengeliminir pekat - karena istilah ‘memberantas’ nyaris mustahil di gang Dolly Surabaya tentu di perlukan adanya political will pemerintah. Solusinya antara lain : Pertama : dengan mengimplementasikan semua ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Di atas kertas, UU dan peraturan itu sudah bagus, atau sudah memadai, namun implementasinya, nihil. Selama ini, minimnya kemauan politik dan penegakan hukum menjadi penyebabnya. Tarik ulur kepentingan pemilik modal dan pejabat negara (eksekutif, legislative dan yudikatif) seringkali terjadi. Pembuatan UU baru juga sangat diperlukan. Salah satu contoh tentang UU pornografi dan proaksi, MUI dan LSM pemerhati pornografi mendorong UU segera disahkan, sampai sekarang belum juga selesai. Kedua : perlunya pendidikan agama dan budi pekerti di rumah tangga, Pendidikan keluarga merupakan fondasi pertama untuk meletakkan nilai-nilai agama dan budi pekerti. Ketiga : media massa perlu menyikapi secara arif berbagai penyakit masyarakat. Kearifan itu di perlukan dalam membentuk sikap dan perilaku masyarakat dengan positif. Selama ini, sebagian media
terkesan masih kurang peduli terhadap dampak negatif pemberitaan atau penayangannya, mengekspose pornografi dan pornoaksi, tindak kekerasan dan lain-lain yang merugikan masyarakat.35 Wacana relokasi Dolly-Jarak sudah muncul sejak tahun 1984, ketika Kota Surabaya dipimpin oleh Walikota Muhaji Wijaya. Namun, hingga kini, wacana itu timbul-tenggelam tanpa kejelasan. Banyaknya kepentingan yang bermain dalam bisnis miliaran rupiah di situ akhirnya mengandaskan rencana relokasi. Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Muhammad Munif menegaskan, Pemerintah tidak pernah memberi izin pada lokalisasi di Dolly-Jarak yang tumbuh alami sejak tahun 1960-an. “Secara hukum sudah jelas, prostitusi dilarang. Tapi, kami tidak bisa merelokasi begitu saja karena masalahnya sangatlah kompleks,” katanya.36 Meskipun demikian, menurut Camat Sawahan Dwi Purnomo, isu relokasi itu “hanya baru sebatas wacana saja”. Di kalangan masyarakat setempat di Dolly dan Jarak sendiri, menurut Dwi Purnomo, “tidak ada gejolak”. Artinya, tak ada protes warga setempat terhadap kegiatan di Dolly. “Saya sendiri belum dengar adanya rencana penggusuran. Kalau toh ada, tentunya saya orang pertama yang di beritahu. Itu baru sebatas wacana saja,” kata Dwi Purnomo.37 Memang, wacana relokasi perlu di sertai berbagai pertimbangan sosial-ekonomi yang matang. Salah satunya, jika Dolly-Jarak di pindah, bagaimana nasib ribuan orang yang terlanjur menggantungkan hidupnya dari bisnis seks itu?
2. Masyarakat dan Lingkungan Trafficking dan prostitusi dan pengembangan kota Dalam teori/konsepsi perkotaan, prostitusi dapat di ibaratkan sebagai jaringan riool kota atau jaringan pembuang kotoran. Riool kota yang berbau busuk, namun bila riool kota tersebut di tutup, maka bau busuk tersebut akan menjalar ke seluruh penjuru kota. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di perlukan kesadaran para warga kota, agar dalam membangun 35
LBH-APIK dan JKP3 Jakarta 2008 36 Wawancara dengan Kepala Dinas Sosial kota Surabaya 37 Wawancara dengan Camat Sawahan kawasan Dolly
rumah di lengkapi pula dengan adanya kakus, septic tank, dan sumur peresapan yang memenuhi persyaratan, dengan lokasi yang tidak mengganggu tetangga sebelah. Seperti halnya pengatasan air kotor (limbah) keluarga, prostitusi pengatasannya di mulai dari ruang lingkup terkecil yakni keluarga. Dengan pondasi rumah tangga yang kuat berupa pendidikan, baik pendidikan Formal (pengetahuan Ilmiah dan Teknologi) maupun pendidikan budi pekerti dan keagamaan bagi suatu keluarga merupakan dasar yang kuat untuk dapat menghindari agar tidak terjerumus ke dalam lembah prostitusi. Suatu dilema, bila di sadari dari aspek apapun prostitusi merupakan suatu hal yang negatif, namun sangat sulit atau bahkan mungkin tidak dapat di hilangkan dari kehidupan masyarakat atau merupakan penyakit
mayarakat.
Karenanya
permasalahan prostitusi bukan hanya
merupakan
permasalahan pemerintah kota khususnya dinas atau instansi terkait, tetapi juga permasalahan masyarakat secara umum. kata Supriyono, pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Gerbang Permata di Kelurahan Pakis agar dampak negatif tersebut tidak menyebar atau menular ke lingkungan sekitar, maka di perlukan berbagai pembatasan dalam prakteknya, yang antara lain melalui lokalisasi.38 Menurut pengamat sosial dari Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto, sebagian masyarakat yang tinggal di daerah lokalisasi, justru memiliki daya resistensi atau pertahanan sendiri. Meski begitu, masyarakat tetap perlu di berdayakan agar bisa menjaga diri dari potensi terkena penyakit menular seksual, HIV/AIDS, peredaran narkoba, dan kriminalitas. Menurut catatan Yayasan Abdiasih, jumlah penduduk dan pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Dolly yang positif menderita HIV/AIDS tiga tahun terakhir ini mencapai 50 orang. Empat di antaranya sudah meninggal. “Peredaran penyakit ini banyak yang lewat jarum suntik narkoba atau seks bebas,” kata Vera, yang nama aslinya Lilik Sulistyowati, Direktur Yayasan Abdiasih. Beberapa LSM di sekitar Dolly sengaja menggalakkan program pemberdayaan masyarakat dan kampanye kesehatan reproduksi dan bahaya HIV/AIDS. “Kami prihatin, banyak remaja SMP atau SMA di
38
Wawancara dengan Pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat
sini yang suka jajan PSK di wisma. Kalau sudah ketagihan dan kepepet, remaja itu bisa melakukan apa saja untuk dapat uang, termasuk berbuat kriminal,” kata Supriyono, pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Gerbang Permata di Kelurahan Pakis. Lokalisasi di gang Dolly Surabaya sebagai tempat penampungan dan praktek prostitusi merupakan tempat pembinaan dan pengentasan prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada peran serta berbagai pihak (lembaga dan instansi pemerintah dan swasta) terkait, termasuk masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di lokalisasi antara lain: a. Pendidikan budi pekerti/moral dan agama, dengan harapan agar peserta dapat memahami dan menyadari akan etika, dan norma-norma yang ada di dalam mayarakat. Adapun pesertanya adalah: gadis, germo/mucikari, dan penjaja seks. b. Pendidikan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan kerja, dengan tujuan agar peserta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pesertanya adalah: gadis desa, germo dan penjaja seks. c. Pengetahuan kesehatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui dan menjaga diri dari terjangkitnya penyakit sebagai akibat hubungan seks bebas. Pesertanya adalah germa dan penjaja seks. d. Permodalan dengan tujuan agar peserta (germo dan penjaja seks) dapat mengetahui cara/ prosedur memperoleh kredit modal kerja. e. Sosial/kemasyarakatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui hak dan kewajiban warga mayarakat dalam hidup bermasyarakat secara rukun damai, dan dapat menerima mantan germo dan penjaja seks.dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar lokalisasi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Masalah-masalah sosial zaman yang menjadi penyakit sosial, dan di kenal oleh masyarakat, dan hingga kini masih tetap menjangkiti masyarakat dan selalu yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Terutama gadis-gadis di bawah umur nan lugu, berasal dari desa dan dengan perekonomian yang sangat kurang, mereka di iming-imingi untuk bekerja dengan gaji yang besar, akan tetapi setelah para perempuan tersebut terpedaya oleh bujuk rayu calo atau makelar, mereka di bawa lalu di tampung dan kemudian di ambil identitas diri mereka agar tidak mencoba untuk kabur, kemudian mereka di jual ke mucikari untuk di jadikan sebagai pelampiasan untuk memuaskan nafsu seksual kaum lelaki. Surabaya merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan juga mempunyai reputasi sebagai kota prostitusi, di karenakan banyak terdapat kawasan lokalisasi dan salah satu dari lokalisasi tersebut menyandang predikat sebagai lokalisasi terbesar se Asia Tenggara. Yakni, gang Dolly Surabaya dan masih banyak lokalisasi-lokalisasi yang lain tetapi tidak sebesar gang Dolly Surabaya. Bersamaan dengan berputarnya roda bisnis seks di kawasan gang Dolly Surabaya, maka perputaran ekonomi masyarakat yang berada di sekitar kawasan lokalisasi tersebut ikut berdenyut, mulai dari penjaja makanan, penganan kecil, minuman dan rokok, hingga jasa pencuci baju, bahkan sampai pengemis pun ikut merasakan sedikit rejeki dari perputaran roda bisnis seks di sekitar kawasan lokalisasi gang Dolly Surabaya. Selain itu di balik ramainya praktik prostitusi di gang Dolly Surabaya terdapat pula tempat penampungan yang sekaligus tempat pembinaan dan pengentasan prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada peran serta berbagai pihak (lembaga, instansi pemerintah dan swasta) termasuk masyarakat.
Berbagai macam modus operandi dalam memenuhi kebutuhan para pengumbar hasrat seksual di kawasan gang Dolly Surabaya yakni, dengan memperdagangkan perempuan untuk melayani kaum lelaki yang sedang butuh untuk melampiaskan hasrat seksual mereka. Praktik trafficking dan prostitusi yang terjadi di gang Dolly Surabaya yang hingga kini masih tetap eksis dan bertahan mempengaruhi beberapa faktor yang membuat banyak kaum perempuan menjadi korban. Antara lain: faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat, juga faktor politik yang mempelopori akan adanya kebijakan dalam mengelaborasi kejahatan terorganisir yang selalu menjadikan kaum perempuan tereksploitasi, faktor hukum juga ikut berperan dalam membantu para korban trafficking untuk mendapatkan hak-hak sebagai perempuan seutuhnya, dan dari faktor agama juga ikut menentukan pola pikir dan sudut pandang terhadap praktik trafficking dan prostitusi yang sampai saat ini masih fungsional dan relevan untuk di ajak bersikap adil yang berarti memberikan apa yang menjadi hak seseorang untuk bersosialiasi dengan baik dan toleransi pada hak sosial korban trafficking dan prostitusi. Berkembangnya praktik trafficking dan prostitusi di gang Dolly Surabaya juga memberi dampak yang sangat di risaukan oleh banyak kalangan masyarakat, di sebabkan dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh para mucikari, maka praktik trafficking dan prostitusi akan semakin sulit di kendalikan terutama dalam tindak prostitusi yang terbagi dalam dua kategori: mereka yang menjadi korban seperti pemerkosaan dan kekerasan baik secara fisik maupun secara seksual. Hal itu masuk dalam kategori tindak kriminal, adapun bila sebelumnya terjadi persetujuan antara kedua belah pihak di mana pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling di rugikan ataupun menjadi korban. Adapun praktik trafficking dan prostitusi memberi dampak negatif terhadap sosial kemasyarakatan, di karenakan praktik prostitusi yang merupakan perbuatan amoral dan juga kegiatan yang demoralisasi untuk merendahkan martabat kaum perempuan dan sangat memungkinkan menjadi media yang efektif untuk menularkan berbagai macam penyakit serta menimbulkan tindak kriminal.
Akan tetapi bisnis praktik tersebut menimbulkan suatu dilema di karnakan tidak jarang pemerintah daerah setempat juga mendapatkan peningkatan pendapatan daerah dan juga membuka banyak ruang lapangan kerja serta memakmurkan perekonomian masyarakat setempat yang sudah terlanjur menggantungkan hidup mereka dari bisnis lendir tersebut. Berbagai macam upaya pemerintah untuk menanggulangi praktik trafficking dan prostitusi yaitu dengan melalui di tandatanganinya konvensi (kopenhagen) lalu mereservasi pasal 29 ayat 1 yang mengatur tentang mekanisme penyelesaian perselisihan antara Negara-negara peserta konvensi tentang penafsiran dan penerapan konvensi hingga mahkamah internasional. Tentang diskriminasi dalam konvesi ini pada pokoknya di artikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap aktualisasi sepenuhnya akan Hak Asasi Manusia yang di jadikan sebagai parameter akan ada atau tiadanya diskriminasi kaum perempuan. Yang menjadikan Negara Indonesia masuk dalam kategori sumber trafficking dengan tingkat Tier 3 (paling rendah), dalam menangani korban praktik trafficking dan prostitusi khususnya kaum perempuan. Yang di mana para perempuan tersebut pada awalnya mereka menyadari menjadi korban eksploitasi dari praktik trafficking dan prostitusi namun dengan seiring berjalannya waktu dan untuk menyambung hidup mereka sehari-hari, mereka menjadikan praktik ini sebagai profesi yang mampu memenuhi semua kebutuhan mereka tiap harinya.
B. SARAN Sebagai bangsa yang "bermoral" dan "beragama", perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah trafficking dan prostitusi. Langkah pertama yang harus di lakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma trafficking dan prostitusi sebagai "perbuatan asosial" terhadap "kesenangan seksual" (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan dengan "kesenangan seksual" yang menjadi hak asasi seseorang. Dan yang penting di pertimbangkan untuk di lakukan pemerintah adalah Liberalisasi seks komersial tersebut. Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi
pada praktik trafficking dan prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas seksual? Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan Liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekwensi yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar trafficking dan prostitusi di berantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit untuk di lakukan siapa pun dan di mana pun.
DAFTAR PUSTAKA
Apik, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan Bogor, 1996, hal. XIV AS Adam, SH. Tinjauan tentang zinah dalam rangkaian delik susila pada KUHP. Swada, Jakarta 1969 Ashadi Siregar, Prawacana, dalam Yuyu AN. c Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan dalam Prespektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhadhika Press, 2004 Chaidir Ali, Filsafat Hukum, Memories Book, Bandung 1972 Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985 Fakih Mansoer, Analisis Gender & Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 Foucault dalam History of Sexuality (1976) Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Presindo, 1993. Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan I, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005 Hastadewi, Yuli dkk, Kondisi dan Situasi Pekerja Anak, Jakarta: UNICEF, 2003 International Labour Organization, Bunga-bunga di atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, Jakarta: ILO-IPEC, 2004 Ivan A. Hadar, Permasalahan Gender dalam Pengembangan Masyarakat, 1989 Jawa Pos, 24 Januari 2007 J. Vredenbreght, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta 1978 Kartini-Kartono, Pathologi Sosial, CV. Rajawali Press, Jakarta 1981 Katherine Young Gender and World Religius, 1999
Kitab Undang Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Moeljatno, cet. 22, Jakarta: Grafika Offset, 2003 Koentjaraningrat, Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi terapan. LP3ES. Jakarta 1982 Koran Kompas, Terbit 21 Oktober 2002 Koran Pelita, Terbit 08 Januari 2004 LBH-APIK dan JKP3 Jakarta 2008
LP Pusat Penelitian & Studi wanita Universitas Airlangga. No: 023/. LITIB PPK-SOM/ IV/2008 Laporan Tahunan KOMNAS PP 2008 Muladi dan Barda Nawawi Arief , Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992. Mulyadi, Lilik, Kapita selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta: Djambatan, 2004 Mulyanto Sumardi dan Hans-Dieter Evers, ed. Sumber Pendapatan, Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, YIIS, JakartaMuftham Al Amin, Wanita dan Keluarga, dalam Harian Terbit Minggu tangggal 1 November 1987 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif al-Qur’an, 1999 Nur Syahbani Katjasungkana Penyunting, penghapusan diskriminasi terhadap
kaum
perempuan,
APIK, tt, hal. 4 Parjoko dkk, Berbagai Upaya memerangi Perdagangan Manusia (Perempuan dan Anak), dalam Jurnal Perempuan No. 29, cetakan kedua, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, (Oktober 2004): 33-47 Perda No 11/1988 P.J De Bruine Ploos Van Astal dalam Soedjono, S.H (1970 : 57) Reksodiputro, Mrdjono. Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban. Jakarta : Pustaka, 1987 Research Associate on Social Security and Welfare Development Badan Litbang Sosial, Departemen Sosial, Jakarta
Rosenberg, Ruth, ed., Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: USAID, 2003. Rozi Munir, Migrasi dalam Dasar-dasar Demografi, Fak. Ekonomi UI Sanford Labofitz, Introduction to Sosial Research, Mc. Grow-Hill Unc, New York City Sari, Dian Kartika. “Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan & Anak Dalam Tinjauan Hukum” (Makalah Disampaikan pada semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif Agama & Budaya, Jakarta, 8 Agustus, 2002) Selo Sumarjan, Setangkai Bunga Sosiologi, Universitas Indonesia Fak. Ekonomi Jakarta 1974 Sirajuddin Abu Hafsh, Al-Ghurrah al-Munifah, Maktabah Imam Abu Hanifah,
Beirut, 1988, hal 169-
170, Cet II Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. Pertama, Radjawali Pers: Jakarta, 1990 Sudjono, SH, Pathologi Sosial, Alumi Bandung 1970 Suryono Sukamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Universitas Indonesia Jakarta 1978 Syafaat, Rachmad, Dagang Manusia, cet. 1, Jakarta: Lappera Pustaka Utama, 2003. TB. Chaeruddin, Tinjauan Umum Masalah Pelacuran dan Lokalisasi, Univeersitas Padjadjaran. Bandung. 1974 Utrecht, E. Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986 WA. Bonger, Kriminologi dalam terjemahan MA. Kasum, Pembangunan. Jakarta 1962
DAFTAR WAWANCARA Tjahjo Purnomo Wiyadi sebagai Peneliti Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) L Dyson P, sebagai Ketua Program Studi S-3 Ilmu-ilmu Sosial di UNAIR Surabaya Soetandyo Wignyosoebroto sebagai Guru Besar Ilmu Sosial di UNAIR Surabaya Bagong Suyanto sebagai Pengamat Sosial dari UNAIR Surabaya Lilik Sulistyowati sebagai Direktur Yayasan Abdi Asih Supriyono sebagai Pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat Muhammad Munir sebagai Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Dwi Purnomo sebagai Camat Sawahan Kartono sebagai Mucikari di Dolly Bambang sebagai Pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly Supin sebagai Pedagang kaki lima yang menjual rokok di ujung gang Dolly Narti sebagai warga yang menekuni jasa cuci baju untuk penghuni wisma Eiffel sebagai PSK Dolly wisma B Ana sebagai PSK Dolly wiswa I Dwi sebagai warga yang hidup ditengah lokalisasi kawasan Dolly