HUKUM ABORSI BAYI TERDETEKSI VIRUS HIV MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: A. Fitriani 104043101265
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
HUKUM ABORSI BAYI TERDETEKSI VIRUS HIV MENURUT MUI (MAJELIS ULAMA’ INDONESIA)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Anisa Fitriani 104043101265
Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. NIP : 150 165 267
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul HUKUM ABORSI BAYI TERDETEKSI VIRUS HIV/AIDS MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009. Skripsi ini telah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Jakarta, 27 Februari 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. NIP 150 210 442 Panitia ujian Ketua
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. (…………...…….....) NIP 150 210 442
Sekretaris
: H. Muhammad Taufiki, M. Ag.
(…………...…….....)
NIP 150 290 159 Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA.
(…………...…….....)
NIP 150 165 267 Penguji I
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. (…………...…….....) NIP 150 210 442
Penguji II
: Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.Ag. NIP 150 294 051
(…………...…….....)
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelas strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Februari 2009
A.FITRIANI
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah swt, yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang Islam yang selalu mengikuti langkahlangkahnya hingga akhir zaman. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Mukri Adji, MA selaku Ketua Program Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan dalam berkonsultasi dan mengarahkan penulis dalam mengikuti perkuliahan. 3. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., sebagai Sekertaris Program Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam memberikan pelayanan administrasi hingga terselesainya skripsi ini.
4. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati serta nasihat-nasihat berharga yang telah diberikan. 5. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 6. Seluruh pegawai perpustakaan utama dan perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu menunjukkan buku-buku yang penulis perlukan. 7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Zaenuri dan Ibunda Sugiyem atas cinta dan kasih sayang dan pengorbanannya, teruntuk adik tersayang Asih Mutmainah dan Dayu Diana Zahir, terimakasih telah memberi semangat dan cinta. 8. Terima kasih kepada Bapak Supandi dan istri, terima kasih atas bantuan doa hingga skripsi ini terselesaikan. 9. Terima kasih kepada Muslim, S.Th.I yang telah menolong dalam penulisan skripsi ini dan Siti Rosidah yang telah memberikan tumpangan jika penulis kemalaman dalam mengerjakan skripsi. 10. Ucapan terima kasih kepada sahabatku Ilma Maula Nurul Nasihah dan Andriyanto yang selalu setia menemani dan memberikan masukan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 11. Rekan-rekan semua dari PMH angkatan 2004, Atun, Ulfa, Dede dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dorongan kepada penulis.
Demikian kata pengantar ini, penulis berdo’a semoga partisipasi aktif semua pihak yang tersebut di atas dan yang tidak sempat disebutkan, benar-benar menjadi bagian dari rangkaian amal saleh. Penulis menyadari skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan koreksi yang konstruktif sangat penulis harapkan dari semua pihak. Akhirnya kepada Allah Swt, jualah penulis serahkan segalanya, semoga amal baik seluruh pihak menjadi amal ibadah. Jakarta, 20 Januari 2009 M 23 Muharram 1430 H Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10 D. Metode Penelitian ............................................................................. 11 E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP ABORSI ....................................... 13 A. Awal Terjadinya Manusia Sebelum Dilahirkan ............................... 13 B. Pengertian Aborsi dan Macamnya ....................................................17 C. Sebab Seseorang Melakukan Aborsi ............................................... 21 D. Metode Aborsi ................................................................................. 24 E. Berbagai Dampak Aborsi ................................................................ 26
BAB III PERKEMBANGAN VIRUS HIV/AIDS ............................................. 29 A. Sejarah HIV/AIDS di Indonesia ....................................................... 29 B. Proses Penyebaran Virus HIV .......................................................... 34 C. Penularan Ibu ke Anak............... ...................................................... 39
D. Pencegahan terhadap Virus HIV ...................................................... 41
BAB IV PANDANGAN MUI TENTANG HUKUM ABORSI BAYI YANG TERDETEKSI VIRUS HIV.................................................................. 44 A. Pandangan Imam Mazhab Tentang Aborsi ........................................ 44 B. Pandangan Ulama MUI Tentang Aborsi ........................................... 59 BAB V
PENUTUP ............................................................................................... 68 A. Kesimpulan ........................................................................................ 68 B. Saran-Saran ........................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 70 LAMPIRAN ............................................................................................................. 73
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks aborsi tak aman yang dapat menimbulkan tingginya angka kematian ibu, bukan merupakan persoalan yang sederhana, tetapi memiliki demensi sosial yang kompleks baik secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psikososial bagi lingkungannya, fiqh dalam hal ini harus berorentasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh atau tidak boleh, tetapi harus memberi jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persolan sosial yang dihadapi perempuan.1 Aborsi merupakan dilema khas perempuan karena hanya perempuan yang mempunyai sistem dan fungsi reproduksi yang memungkinkannya hamil, dan hanya perempuan yang dapat mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Latar belakang terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan sangat beragam. Mulai dari ketidaktahuan perempuan perihal sistem reproduksinya sampai dengan kegagalan melindungi diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki (sudah memakai kontrasepsi, tetapi karena tidak semua alat kontrasepsi sama efektifnya, maka terjadinya kegagalan).
1
Sahal Mahfudh, Fiqh Sosial; Upaya Pengembangan Mazhab Qouli dan Mazhab Manhaji, (Jakarta: UIN, 2003), h. 18.
Dilema aborsi alami perempuan ketika perlu memilih dan memutuskan bagaimana menghadapi kehamilan yang tidak dikehendaki karena ia harus memutuskan sesuatu yang secara langsung merupakan bagian dari dirinya. Dilema
aborsi
yang
dihadapi
perempuan
bervariasi.
Variasi
pilihannya
dipengaruhi oleh faktor kondisi pribadi atau keluarganya, nilai-nilai agama, dan budaya. Fatwa tentang aborsi adalah haram berkontribusi besar pada dilema yang dihadapi perempuan (Islam) Indonesia yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan karena tidak seorangpun ingin menanggung rasa dosa karena tindakan yang dipilih. Sehingga di tengah-tengah pandangan tentang aborsi yang sangat beragam dan perdebatan pro dan kontra yang masih terus bergulir, adalah perempuan yang secara konkret harus menghadapinya. Seringkali harus menghadapinya sendiri. Aborsi adalah isu emosional dan kontroversial. Mungkin saja bahwa tidak ada perempuan yang ingin melakukan aborsi, tetapi mereka perlu melakukannya. Perempuan di berbagai belahan dunia sejak dahulu kala selalu membutuhkan melakukan aborsi. Tetapi, masih adanya negara yang mengkriminalisasi aborsi (seperti Indonesia) dengan berbagai stigma tentang aborsi, berakibat bahwa perempuan seringkali dipojokkan, malahan didorong, untuk memilih cara aborsi yang tidak aman dengan resiko yang membahayakan kesehatannya dan kehidupannya. Aborsi merupakan fakta yang menjadi problem serius masyarakat. Isu aborsi memang merupakan isu yang kontroversial, khususnya bagi kalangan yang
mengakaitkan dengan nilai-nilai moral, demikan juga dengan sikap undangundang yang memandang aborsi sebagai suatu tindak pidana. Hal ini, disebabkan bahwa aborsi sering diasumsikan hanya pada kasus-kasus kehamilan di luar nikah. Aborsi memang tidak identik dengan kesehatan perempuan, tetapi terkait dengan kesehatannya secara menyeluruh. Karena itu, perempuan yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki mengalami berbagai emosi seperti rasa panik, rasa malu, rasa takut, rasa tidak mau berdosa yang semuanya bercampur aduk dalam dirinya. berarti kehamilan yang tidak direncanakan jelas berdampak negatif pada kesehatan mental/psikis dan sosialnya. Kontroversi yang berkembang hingga sekarang berbeda antarnegara dan antarbudaya. Tetapi, kontroversi yang ada bersama dengan berbagai perasaan seperti bingung, panik, takut yang dialami perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki tidak bisa dipisahkan dari masih adanya hukum yang mengkriminalisasi aborsi dan keputusan agama bahwa aborsi adalah tindakan a-moral dan dosa. Suatu vonis yang harus ditanggung oleh perempuan. Bagi perempuan Indonesia kondisi ini sekaligus mencerminkan bahwa nilai budaya yang masih dianut meluas di Indonesia cenderung menyalahkan perempuan bila ia mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Artinya: adalah perempuan yang harus bertanggung jawab atas akibat relasi intim seorang perempuan dan seorang laki-laki, termasuk sebagai pasangan resmi yang sedang mengasuh keluarga bahagia.
Besarnya angka dan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) pada setiap tahunnya bisa jadi disebabkan karena tidak ada aturan mengenai pelayanan aborsi yang aman, sehingga angka tersebut bukannya berkurang, tetapi justru memberi peluang yang besar terjadinya pratik aborsi secara diam-diam tanpa pedoman, prosedur dan standar kesehatan. Kondisi seperti ini merupakan masalah yang sungguh memprihatinkan bagi kita semua. Padahal, Indonesia sendiri sudah menandatangani Kesepakatan Cairo 1994 Chapter VII tentang hak-hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi yang salah satu programnya adalah mengeliminir aborsi ilegal dan tidak aman. Di Indonesia aborsi belum dilegalkan. Hal ini nyata terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi termasuk pembunuhan yang terselubung. Pasal 299, 346, 348, dan 349 KUHP melarang melakukan aborsi dan sanksi hukumannya cukup berat, bahkan hukumanya tidak hanya ditujukan kepada perempuan yang tersangkut, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat dituntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat, dan sebagainya yang mengobati atau yang menyuruh atau yang membatu atau yang melakukannya sendiri.2 Permasalahan aborsi di Indonesia pernah dibicarakan dalam forum symposium yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta pada Desember 1964 dari berbagai macam sudut pandang antara lain sudut susila 2
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), h. 78.
kedokteran, sosial/masyarakat, hukum, psikiater, agama Islam dan katolik. Symposium itu diambil keputusan mengajukan pendapat kepada pemerintah.3 Di kalangan ahli hukum di Indonesia ada yang mempunyai ide/saran agar abortus itu dapat dilegalisasi seperti di negara maju/sekuler, berdasarkan pertimbangan antara lain bahwa kenyataannya abortus tetap dilakukan secara ilegal di mana-mana dan kenyataannya banyak dilakukan oleh tenaga-tenaga non medis, seperti dukun, sehingga bisa membawa resiko yang besar berupa kematian atau cacat berat bagi perempuan yang bersangkutan. Maka sekiranya abortus dapat dilegalkan dan dapat dilakukan oleh dokter yang ahli, maka resiko tersebut dapat dihindari atau dikurangi.4 Dalam sejarah pemikiran fiqh, aborsi cukup mendapat tanggapan yang serius dari para ulama. Keragaman pandangan para ulama mazhab dalam melihat persoalan pengguguran kehamilan seakan tenggelam, oleh pandang apriori masyarakat melihat sudut padang aborsi dari perspektif agama, sehingga seringkali agama terkesan memingirkan hak-hak reproduksi yang dimiliki perempuan. Dalam hal aborsi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga satu-satunya yang memiliki mandat membuat fatwa agama Islam didirikan oleh pemerintah. Dalam fatwa MUI Nomer 4 Tahun 2005 telah mengharamkan aborsi 3
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan keIslaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 162. 4
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan, h. 162.
sejak terjadinya implatansi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).5 Sedangkan wacana fiqh aborsi yang dihasilkan Munas Ulama Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2002 adalah aborsi dilarang karena merupakan pembunuhan terhadap calon manusia, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibunya.6 Begitu juga keputusan Majelis Tarjih Muhammmadiyah pada Muktamar Tarjih XXII di Malang menyebutkan aborsi dilarang karena merupakan perbuatan yang menentang harkat dan martabat manusia.7 Padangan ulama fiqh dalam melihat aborsi umumnya hanya menggunakan pendekatan fisik, dengan ukuran-ukuran langsung yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Sehingga indikasi-indikasi yang tidak tampak secara fisik semisal dampak beban psikologis tidak banyak dibahas. Bahkan dalam literatur fiqh tidak ada satupun ulama yang membahas aborsi secara komprehensif dari berbagai sudut pandang. Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terus berkembang, tahap-tahap pertumbuhan janin dapat dipantau setiap saat, sehingga memungkinkan melakukan suatu pendekatan yang lebih komprehensif terjadinya aborsi.8
5
Majlis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa MUI Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, (Jakarta: Komisi Fatwa MUI, 2005), h. 8. 6
Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Keputusan dan Rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konfrensi NU, (Jakarta, 25-28 Juli 2002.) 7 8
Majelis Tarjih, Putusan Tarjih Muhammadiyah, pada Muktamar di Malang 1989.
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 42.
Tentang aborsi, para ulama berbeda pendapat jika ruh ditiupkan sebelum 4 bulan, sebagian berpendapat membolehkan dan tidak mengandung unsur kriminal karena tidak ada kehidupan dalam janin tersebut. Sebagian ulama yang lain berpendapat itu haram atau makruh, karena dalam janin tersebut terdapat pertumbuhan dan perkembangan. Imam Ghazali membedakan antara aborsi dan pencegahan kehamilan. Karena aborsi adalah tindakan pidana terhadap makhluk yang memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan pertama kehidupan adalah nutfah (sperma) dalam rahim dan bercampur dengan ovum perempuan, lalu siap menerima kehidupan. Jika nutfah menjadi alaqoh (segumpal darah) maka pidana tersebut lebih berat.9 Ajaran Islam membolehkan mencegah terjadinya kehamilan, tetapi melarang mengadakan pengguguran kandungan, baik MR (Menstrual Regulation) maupun abortus. Tetapi perlu diketahui bahwa perbuatan abortus, lebih besar dosanya dari pada MR, karena abortus merupakan tindakan yang melenyapkan janin yang telah nyata wujudnya, maka sudah termasuk pembunuhan. Oleh karena itu, sepakat ulama hukum Islam menetapkan, bahwa perbuatan itu termasuk tindakan kriminal, yang wajib dikenai sanksi hukum berupa diyat (denda pembunuhan).10
9
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Cairo: Dâr al-Qalam, th), Jilid 3, h. 289-291.
10
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), cet. I, h. 78.
Pendasaran hukum aborsi menjadi layak untuk dipikirkan kembali baik oleh hukum agama maupun hukum negara. Hal tersebut tentu saja diiringi dengan mempertimbangkan hak-hak reproduksi yang dimiliki perempuan, sehingga pendekatan masalah aborsi tidak cukup semata-mata hanya dari perspektif moral dan hukum. Dengan demikian, merumuskan kembali persoalan aborsi dari perspektif agama menjadi penting tanpa meninggalkan nilai-nilai moral, spiritual, dan siosial yang menjadi tujuan agama. Dengan melihat secara proporsional di antara pilihan yang paling bermanfaat dan maslahat untuk memberikan solusi yang resikonya seminimal mungkin. Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur'an:
ًَ وََْ أَ'َْ ه$َِ% َ س#َْ َََ َ ًْ َِِْ َ ٍْ أَوْ ََ دٍ ِ اَْرْضِ َ!ََ َ َََ ا َ:9َِ(َ ذ9ْ$َ ْ+ُ-ْ#9ِ ًِا7َ إِن آ+ُ4 َِ ت#2َ3ْ ِ َ#ُ/ُْ رُﺱ+ُ-َْ ءَﺕ% ْ(َ)ًََ و$َِ% َ س#َ!ََ َ أَ'َْ ا (32 :5 / )ا ?(ة. َِ اَْرْضِ َُُِْ<ن
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Q.S. al-Maidah [5]: 32) HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukan atau keluhan penyakit. HIV hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peran penting. Makin besar jumlah virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah firus yang banyak ada dalam darah, cairan
sperma, cairan vagina dan serviks dan cairan otak. Dalam saliva, air mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali. Kasus terjadinya HIV pada anak-anak tertular karena bayi atau anak-anak yang menerima berbagai produk darah atau karena bayi yang ibu atau kedua orangtuanya termasuk dalam kelompok yang mempunyai resiko untuk tertular AIDS.11 Dari uraian di atas, bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS sangat pesat perkembangannya dimana tidak hanya orang dewasa saja akan tetapi bayi dalam kandunganpun dapat tertular virus HIV/AIDS tersebut dan seks bebaslah yang sangat merajalela dalam penebaran penyakit tersebut. Dengan melihat realita di atas, beragam dampak negatif yang terjadi akibat aborsi, bagaimanakah pandangan (fatwa) ulama MUI? Untuk melihat tingkat keshahihan fatwa mazhab fiqh dari segi syar’i, diperlukan pengamatan ushul fiqh terhadap proses perumusan fatwa-fatwa itu, sehingga penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang hukum aborsi bayi yang terdeteksi suatu virus yang membahayakan tersebut dengan mengkaji dan mengolah data yang penulis himpun. Penelitian tersebut penulis kemas dalam bentuk skripsi dengan judul: Hukum Aborsi Bayi Terdeteksi Virus HIV Menurut MUI (Majlis Ulama Indonesia).
11
Luc Montagnier, dkk, Para Ahli Menjawab Tentang AIDS, (Jakarta : Pustaka Utama, 1987), cet. ke 1, h. 58.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penulis perlu melakukan pembatasan serta membuat perumusan masalah agar penelitian ini lebih terfokus, sistematik, dan tidak kabur. Pembatasan dari masalah ini terkonsentrasi pada pendapat-pendapat Ulama MUI pusat serta pendapat penulis sendiri. Untuk lebih memfokuskan arah penelitian ini, penulis memberikan batasan kepada pembahasan terhadap hukum aborsi bayi yang terdeteksi virus HIV dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara sistematis pembatasan masalah tersebut dapat penulis rumuskan sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan aborsi ? 2. Bagaimanakah hukum aborsi ? 3. Bagaimana fatwa MUI tentang hukum aborsi bayi yang terdeteksi virus HIV? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui tentang aborsi secara global. 2. Untuk mengetahui proses penyebaran virus HIV terhadap bayi dalam kandungan yang mengakibatkan terjadinya aborsi. 3. Untuk mengetahui pandangan MUI tentang hukum aborsi bayi yang terdeteksi virus HIV. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperkaya khazanah intelektual penulis khususnya dan umat muslim umumnya pada tataran pemikiran hukum
yang perlu dicermati, dengan mengkaji fatwa ulama fiqh kita dapat menemukan konteks dan definisi bagi hukum Islam terhadap masalah hukum aborsi bayi terdeteksi virus HIV, serta untuk mengangkat derajat manusia dengan mengurangi tingkat kematian. D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Metode yang penulis terapkan antara lain : 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas atau ciri-ciri data yang dialami sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di masa masyarakat melalui pendekatan kualitatif . 2. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research (kajian kepustakaan). Studi pustaka antara lain melalui beberapa buku dan literatur yang dipandang mewakili (representatif) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian. Objek penelitan yang dimaksud adalah pandangan MUI terhadap hukum aborsi bayi yang terdeteksi virus HIV. 3. Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pandangan MUI terhadap hukum aborsi bayi yang
terdeteksi virus HIV, maka dari hasil kajian kepustakaan akan dianalisis secara deskriptis analitis setelah melalui proses penyuntingan. Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu kebulatan dari masalah yang diteliti. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan, di dalamnya mencakup: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta merumuskan sistematika penulisan agar lebih terarah.
Bab II
Tinjauan umum terhadap masalah aborsi yang meliputi awal terjadinya manusia sebelum dilahirkan, pengertian aborsi dan macamnya, sebab seseorang melakukan oborsi, metode aborsi, berbagai dampak aborsi.
BAB III
Perkembangan Virus HIV/AIDS yang meliputi sejarah HIV/AIDS di Indonesia, proses penyebaran virus HIV, penularan ibu ke anak, dan pencegahan terhadap virus HIV.
Bab IV
Pandangan MUI tentang hukum aborsi bayi yang terdeteksi virus HIV yang terdiri dari tinjauan Imam mazhab, fatwa MUI tentang aborsi.
Bab V
Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP ABORSI A. Awal Terjadinya Manusia Sebelum Lahir 1. Fase-fase perkembangan janin dalam rahim a. Fase Nuthfah Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa nuthfah adalah sperma laki-laki sendiri yang memancar ke dalam rahim perempuan, karena Allah SWT telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa Dia menciptakan manusia dari air yang memancar:
) #$% !"
(9-8 :86/ رقGا Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, Para jumhur (kesepakatan para ulama’) mengatakan bahwa nuthfah adalah sperma laki-laki dan indung telur perempuan secara bersamaan. Dengan demikian, yang dimaksud nuthfah adalah sperma laki-laki dan indung telur perempuan apabila bersatu didalam rahim perempuan12, dan itulah fase pertama janin. b. Fase ‘Alaqah Al-Qurthubi dalam menafsirkan firman Allah,
12
Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fida’, Tafsir al-Quran al-Adzîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid IV, h. 498.
*& ) ( & $' (2 :96/K/$ )ا, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (QS. Al ‘Alaq (96): 2) Maksudnya; Allah menciptakan dari darah, bentuk jamak dari ‘alaqah yang berarti darah darah yang menggupal. Apabila darah mengalir disebut masfuh.13 Al-Qurthubi juga mengatakan bahwa firman Allah ’dari segumpal darah mengandung bentuk jamak, karena yang dimaksud dengan manusia gabungan. Mereka semua diciptakan dari ‘alaqah setelah fase nuthfah. ‘Alaqah adalah darah yang lembab, disebut demikian kerena ia mengait (‘allaqa) apa yang dilewatinya karena ia basah. Jika kering ia tidak disebut ’alaqah. c. Fase Mudhghah Mudhghah berarti seukuran kunyahan. Sedangkan yang dimaksud Mudhghah dalam fase janin adalah sepotong daging yang seukuran kunyahan, yang terbentuk dari ‘alaqah. Dari penjelasan di atas, janin melewati tiga fasenuthfah, ‘alaqah, dan mudhghah sebelum ditiupkan ruh di dalamnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
( 01.& $ )- . #/ :; 9, 67 5 23 & 4 D6 ?@⌧B)C = 0 $:$> I;:; 9 67GH" #E F ?@ .& J @⌧B)CE?# ?1.& $
@ .& $:1# ?1.& $K 13
1, h. 25.
Abbas Syauman, Hukum Aborsi dalam Islam, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2004), cet
?1.& $K ?@)M O☺
@)M☺1# O☺1=R ; :1# PQ H T. $ = 3S(/ I;:; X! ⌧VE2W U $ 9 67Y. Z1R )=/
(14-12 :23/<ن#L)ا
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Qs. al-Mukminun(23): 12-14) Al-Razi menafsirkan firman Allah, “Lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging......”. Maksudnya, kami menjadikan darah yang menggupal itu mudhghah yaitu sepotong daging seolah-olah ukurannya sebesar kunyahan. Seperti kata ghurfah yang berarti seukuran gayung. Perubahan ini disebut dengan kata khalaq (menciptakan), karena Allah menghilangkan sifat-sifat sementara padanya kemudian menciptakan sifatsifat sementara lainnya, sehingga penciptaan sifat-sifat ini di sebut khalaqa, dan seolah-olah Allah menciptakan organ tambahan padanya. 14 4. Waktu peniupan ruh ke janin Tidak ada perselisihan pendapat antar ulama bahwa ruh tidak ditiupkan hingga setelah fase mudhghah. Hal ini setelah melalui fase empat 14
Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi bi al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih alGhaib (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), juz ke-23, h. 85.
bulan kehamilan. Kemudian, di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa ruh ditiupkan setelah sempurna empat bulan, yaitu setelah seratus dua puluh hari. Riwayat Ibnu Abbas dan Sa’id bin Musayyib, Imam Ahmad mengatakan bahwa ruh ditiupkan ke janin setelah empat bulan sepuluh hari, maksudnya setelah seratus tiga puluh hari. Mereka berdalil dengan firman Allah:
ًْاUَVٍَُ و-ْTََ أSَ$َِْ أَر-ُِ ْ َِ َْRًَََ ی%َرُونَ أَزْوَاPَْ وَی+ُ!ْ#ِ َِیَ یَُ<َ<ْنPوَا َِ ُZ/ُْوفِ وَا$َْ ِ ِ-ُِ ْ ََْ ِ أ/َ$َ َِ ْ+ُ!َْ/َV ََ ح#ُ% َ/َ ُ-َ/َ%َََْ أ/َ ِذَاWَ (234 :2/)ة3 )ا. ٌِ3َ\ َُ<ن/َْ$َﺕ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Qs. Al-Baqarah [2]: 234) Iddah perempuan yang ditingggal suaminya sebab wafat adalah empat
bulan sepuluh hari. Menurut Zajaj, gunanya supaya dapat diketahui apakah dia hamil atau tidak, karena dalam waktu sepanjang itu dapat diketahui gerakgerik anak yang berada dalam perut ibunya dan kalau sebenarnya dia telah hamil, maka dia berpindah masa iddah hamil.15 Sa’id bin Musayyab ditanya tentang ‘iddah kematian empat bulan sepuluh hari, “ada apa dengan sepuluh hari?” Ia menjawab, “ Pada waktu itu ruh ditiup”.16
15
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 138.
16
Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 61.
Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa pada umur empat bulan sepuluh hari nyawa/ruh ditiupkan pada bayi. Oleh karena itu, peniupan ruh adalah sebab penciptaan kehidupan manusia pada janin. Maka, perlu adanya perlakuan khusus pada bayi yang sudah ditiupkan ruh tersebut dengan tidak sembarangan
melakukan
aborsi
ataupun
tindakan
lain
yang
bisa
membahayakan janin. B. Pengertian Aborsi dan Macamnya 1. Pengertian Aborsi Dalam kamus istilah GKKBN (Gerakan Keluarga Berencana Nasional), aborsi diartikan sebagai keluarnya hasil konsepsi sebagian atau seluruhnya yang dapat terjadi secara spontan atau sengaja sebelum kehamilan 28 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.17 Aborsi Provocatus merupakan istilah latin yang secara resmi di pakiai dalam kalangan kedokteran dan hukum, maksudnya ialah dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seorang perempuan hamil dengan spontan gugur. Secara medis, aborsi ialah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan
17
Anonim, “Abortus”, Kamus Istilah Gerakan Keluarga Berencana Nasional (Jakarta: GKKBN, 1990), h. 1.
(viabiliti). Umur janin bisa hidup di luar kandungan ini ada yang memberi batas 20 minggu, tetapi ada pula yang memberi batas 24 minggu.18 Saifullah, pakar hukum Islam mengatakan bahwa yang dimaksud aborsi adalah suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan atau konsepsi (pembuahan) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. 19 Menurut istilah kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28 minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram. 20 Sardikin Gina Putra mengartikan aborsi sebagai pengakhiran masa kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin hidup di luar kandungan. Sedangkan, Maryono Reksodipura memahaminya sebagai pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah). 21 Lebih jauh Abul Mohsin Ebrahim mengemukakan bahwa aborsi adalah pengakhiran kehamilan, baik secara tidak sengaja, spontan akibat kelainan fisik perempuan, atau akibat penyakit biomedical internal, maupun dengan cara
18
Laporan akhir penelitian tentang aspek hukum pelaksanaan aborsi akibat perkosaan, badan pembinaan hukum nasional departemen kehakiman dan hak asasi manusia, di bawah pimpinan Dr. Mien Rukmini, S.H.,M.S., h. 18. 19
Saifullah, Aborsi dan Permasalahannya, suatu kajian hukum islam, dalam bukunya, Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Ansyary AZ, Problematika Hukum Islam Kontempore, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LISK), Jakarta, 2002, h 129. 20
Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 33.
21
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), cet. VII, h. 78.
yang yang disengaja melalui campur tangan manusia.22 Sedangkan al-Ghazali mengartikan aborsi sebagai penghilangan jiwa yang sudah ada di dalam janin. 23
2. Macam-Macam Aborsi Dari penjelasan definisi di atas, secara umum pengguguran kandungan dapat dibagi dalam dua macam, yaitu aborsi spontan (spontaneous abortus) dan pengguguran buatan atau di sengaja (aborsi provoccatus). Abortus (pengguguran) ada 2 macam, ialah: a. Aborsi Spontan (spontaneous abortus) Abortus spontan ialah abortus yang tidak disengaja. Abortus spontan bisa terjadi karena penyakit syiphilis, kecelakaan, dan sebagainya. Aborsi spontan dalam ilmu kedokteran di bagi lagi menjadi empat yaitu:24 1) Abortus Imminens (threatened abortion), yaitu adanya gejala-gejala yang mengancam akan terjadinya aborsi. Dalam hal demikian kadangkadang kehamilan masih dapat dilaksanakan.
22
Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. I, h. 25. 23
Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), h. 73. 24
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 63.
2) Abortus Incipiens (inevitable abortion), artinya terdapat gejala akan terjadinya aborsi, namun buah kehamilan masih berada di dalam rahim. Dalam hal demikian kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi. 3) Abortus Incompletus, apabila sebagian dari buah kehamilan sudah keluar dan sisanya masih berada dalam rahim. Pendarahan yang terjadi biasanya cukup banyak, namun tidak fatal, untuk pengobatan perlu dilakukan pengosongan rahim secepatnya. 4) Abortus Completus, pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim. keadaan demikian biasanya tidak memerluikan pengobatan. b. Aborsi Buatan (abortus provocatus/ induced pro abortion) 1) Abortus Artificialis Therapicus Abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa membahayakan jiwa si calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat dan penyakit ginjal yang berat. Biasanya aborsi jenis ini dilakukan dengan mengeluarkan janin dari rahim meskipun jauh dari masa kelahiran. 25 2) Abortus Provocatus Criminalis Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya abortus yang dilakukan untuk 25
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 37.
meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. 26 Sementara kitabkitab fiqh klasik, aborsi dapat digolongkan menjadi 5 bagian yaitu;27 a) Aborsi spontan (isqath al-zhaty), artinya janin gugur secara alamiah tanpa Adanya pengaruh dari luar, atau gugur dengan sendirinya. b) Aborsi karena darurat dan pengobatan (al-Isqath al-Dharuri/ al‘Ilajy). c) Aborsi dilakukan karena khilaf atau secara tidak sengaja (Khatha’). d) Aborsi dilakukan dengan cara menyerupai kesengajaan (Syibha amd). e) Aborsi dilakukan secara sengaja dan terencana (al-‘Amd). Istilah aborsi dimaksudkan adalah mengakhiri kehamilan sebelum umur kandungan mencapai 28 minggu. Walaupun begitu, ada kecenderungan untuk menurunkan batas ini menjadi 22 minggu.28
26
Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1986),
h. 38-39. 27
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, Fiqh Aborsi Review Kitab Klasik dan Kontemporer (Jakarta: Fatayat Nadlatul Ulama dan The Ford Foundation , 2004), h. 19. 28
Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana (Perawata Kesuburan), (Bandung: Elstas, 1980), h. 14.
Dari uraian di atas, bahwa aborsi merupakan perbuatan yang disengaja untuk mengakhiri kehamilan seorang perempuan sebelum janin diberi kesempatan hidup di luar kandungan. Oleh karena itu, aborsi bisa disamakan dengan hukum membunuh. C.
Sebab Seseorang Melakukan Aborsi Sementara itu, untuk faktor yang menjadi latar belakang dari dilakukanya aborsi dari paparan diatas penelitian di atas menyebutkan bahwa alasan mengapa melakukan aborsi, sebagian besar 41,2 persen karena jumlah anak sudah cukup. 16,1 persen karena anak terlahir masih kecil, dan belum siap punya anak 10,2 persen. Tetapi, menurut Ninuk Widyantoro 58 persen karena alasan psikososial dan 36 persen karena gagal KB, 4 persen lainnya terindikasi kesehatan, 0,1 persen karena kekerasan dan 2 persen sebab lainnya.29 Dari data di atas, dapat digambarkan bahwa aborsi dilakukan karena faktor kelahiran yang tidak dikehendaki yang terjadi pada perempuan yang hamil dalam perkawinan yang sah, hamil di luar nikah atau kehamilan yang dialami oleh remaja. Dengan penyebab kehamilan yang bermacam-macam, antara lain disebabkan ada yang normal suka sama suka, tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi, atau menggunakan alat kontrasepsi namun gagal, namun ada yang karena terpaksa melakukan hubungan seksual di bawah ancaman, hamil kerena pemerkosaan baik karena orang dekat yang memiliki 29
Ninuk Widyantori, Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, (Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan, 2003), h. 3.
hubungan darah (incest) maupun orang lain yang sama sekali tidak mempunyai hubungan kekerabatan apapun. Dari penjelasan di atas, dapat diidentifikasi beberapa faktor yang melatarbelakangi seorang perempuan untuk melakukan aborsi, antara lain : 1. Kehamilan akibat hubungan seks di luar perkawinan yang sah termasuk pemerkosaan. 2. Kehamilan yang tidak di kehendaki karena jarak kehamilan yang tidak teratur. 3. Kehamilan yang dapat mengancam jiwa si ibu. 4. Beban psikologis yang belum mampu menerima kehadiran seorang anak. 5. Secara ekonomi tidak mampu menanggung bebab biaya kehidupan seorang bayi. 6. Alasan untuk menjaga dan mempertahankan kebugaran dan kecantikan.
30
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu atau menjalani pilihan lain yang tersedia: aborsi! Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga
30
Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), h. 7.
berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus dimana sebagian besar dilakukan oleh dukun. Dari penelitian yang dilakukan PKBI tahun 2005 di sembilan kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya. 31 Dari penjelasan di atas, bahwa aborsi dilakukan oleh seorang perempuan dijadikan sebagai alternatif terakhir. Maka, aborsi banyak dilakukan oleh dukun sebagai tindakan yang illegal. D.
Metode Aborsi Untuk melakukan aborsi banyak cara yang dapat ditempuh, di antaranya dengan cara menggunakan jasa ahli medis di rumah-rumah sakit. Cara seperti ini pada umumnya dilakukan oleh perempuan-perempuan yang hidup negara-negara tempat pengguguran diizinkan atau tidak dikenakan ancaman hukuman tuntutan kejahatan. Tetapi di beberapa negara yang melarang aborsi atau tidak dapat
31
www. http://dunia wanita. com/index.php?
memperbolehkan bantuan ahli medis untuk menggugurkan kandungan, dijumpai jutaan perempuan yang harus menyerahkan diri ke tangan para dukun, atau karena putus asa mereka menggugurkan sendiri kandungannya dengan memakai alat-alat kasar.32 Sedangkan pengguguran yang dilakukan secara medis di beberapa rumah sakit, biasanya menggunakan metode berikut: 1. Curattage & Dilatage (C & D) 2. Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim kemudian janin di-kiret (di-curet) dengan alat seperti sendok. 3. Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil. 4. Hyteronomi (Operasi).33 Banyak cara yang dilakukan orang di dalam melakukan aborsi. Eckholm melihat ada 4 cara yang sering dilakukan dalam melakukan aborsi, yaitu: 1. Menggunakan jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat praktek, 2. Menggunakan jasa dukun pijat, 3. Menggugurkan sendiri kandungannya dengan alat-alat kasar, dan 4. Menggunakan obat-obat tertentu.34
32
Laporan akhir penelitian tentang aspek hukum pelaksanaan aborsi akibat perkosaan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di bawah pimpinan Dr. Mien Rukmini, S.H.,M.S., h. 24. 33 34
Majfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 74.
Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontempore, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), h. 76.
Cara-cara aborsi sangat beragam seiring banyaknya sebab-sebab aborsi. Cara aborsi dapat dikelompokkan pada tiga jenis: Pertama, cara-cara aktif, maksudnya adalah aborsi yang terjadi selepas dari satu aksi, baik itu berasal dari ibu, atau dari orang lain. Contoh aborsi ini adalah tindak kejahatan terhadap ibu seperti pikulan dan sejenisnya, yang berdampak pada ibu dan janinnya secara bersamaan, atau pada janin saja tanpa pada ibu. Kedua, cara-cara pasif, maksudnya adalah ibu tidak mau melakukan sesuatu yang penting bagi keberlangsungan kehamilan, sehingga mengakibatkan bahaya pada kehamilan. Ketiga, cara-cara medis, yaitu cara-cara yang dilakukan dokter untuk mengaborsi janian. Cara ini sangat beragam, antara lain: a. Menginjeksi anti zat Progesteron yang berfungsi mengutkan rahim. b. Menggunakan zat Prostagelamizin yang membunuh janin dengan cara menyuntik pada pembuluh darah atau urat atau rahim atau kapsul vagina. c. Melakukan operasi currette, melebarkan dan membersihkan rahim. d. Melakukan operasi pelebaran leher rahim dengan melakukan beberapa fiber kering di leher rahim yang akan mengembangang kerena menyedot air, sehingga leher rahim melebar dan janin jatuh. e. Melakukan operasi medis menyerupai caesar untuk mengeluarkan janin dalam rahim.35 E.
Berbagai Dampak Aborsi
35
Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, h. 77.
Pada dasarnya seorang perempuan yang melakukan aborsi akan mengalami; penderitaan kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%), terjerat obat-obat terlarang (41%), dan tidak bisa menikmati hubungan seksual (59%). Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan hidup seorang perempuan. Tidak benar jika dikatakan bahwa “seseorang yang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang”. 36 Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap perempuan, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi. Resiko kesehatan terhadap perempuan yang melakukan aborsi beresiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd; resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang perempuan pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah: (1) Kematian mendadak karena pendarahan hebat; (2) Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal; (3) Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan; (4) Rahim yang sobek (Uterine Perforation); (5) Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya; (6) Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen 36
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, h. 70.
pada perempuan); (7) Kanker indung telur (Ovarian Cancer); (8) Kanker leher rahim (Cervical Cancer); (9) Kanker hati (Liver Cancer); (10) Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya; (11) Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy); (12) Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease); dan (13) Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).37 Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang perempuan secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang perempuan. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review.38 Uraian di atas menunjukkan bahwa aborsi yang tidak berhasil akan berdampak terhadap kelangsungan hidup seorang perempuan yang melakukan tindakan tersebut. Hal itu, terlihat dari berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan, seperti kanker, mandul bahkan terjadi kelainan pada plasenta akan berakibat pada saat melahirkan anak terjadi pendarahan yang hebat. Oleh karena itu, resiko
37
Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, h. 79.
38
Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, h. 80.
kesehatan terhadap seorang perempuan yang melakukan aborsi dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan dan keselamatan, baik secara fisik maupun gangguan psikologis.
BAB III PERKEMBANGAN VIRUS HIV/AIDS A. Sejarah HIV/AIDS di Indonesia Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981 pada sekelompok kaum homoseks di California dan New York, dimana ditemukan adanya adanya sarkoma kaposi dan pneumonia pneumocystis carinii dan beberapa gejala klinis yang tidak biasa. Kemudian gejala penyakit tersebut semakin diketahui sebagai akibat adanya kegagalan sistem imun, karena itu disebut AIDS. Pelaku aborsi, menurut hasil penelitian Prof. Dr. Sudraji Sumapraja, sebagian besar adalah perempuan yang sudah menikah sebanyak 99,7 %. Sedangkan hasil data penelitian yang dilakukan oleh Indrawasridari FISIP UNPAD tahun 1997 menyimpulakan 85 % sebagian besar adalah perempuan yang sudah menikah. Sedangkan angka aborsi di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 1995 memperkirakan sebanyak 11 %. Tetapi WHO (1997) memperkirakan lebih tinggi sebesar 13 % karena komplikasi dari aborsi tak aman. Penelitian tahun 2001 menunjukkan sekitar 2 juta kasus aborsi pertahun terjadi di Indonesia. Angka tersebut sama dengan 37 % aborsi per 100.000 perempuan usia 15- 49 tahun, atau 43 % aborsi per 100 kelahiran hidup, atau 30 % dari total kehamilan.39
39
Budi Utomo et.al, Insiden dan Aspek Psiko-Sosial Aborsi di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) dan UNFPA, 2001), h. 25.
Faktor terjadinya aborsi dari penelitian di atas adalah 41,2 % karena jumlah anak sudah cukup; 16,1 % anak terlahir masih kecil, dan belum siap punya anak 10,2 %. Akan tetapi, menurut Ninuk Widyantoro: 58 % karena psikososial; 36 % karena gagal KB, 4 % terindikasi kesehatan, 0,1 % karena kekerasan dan 2 % sebab lainnya.40 Dari faktor-faktor di atas, aborsi memiliki resiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang. Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi. Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi beresiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review.
40
Ninuk Widyantori, Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, (Jakarta; Yayasan Kesehatan Perempuan, 2003), h. 3.
Oleh sebab itu, yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik dan benar. Dan memberikan kepada remaja tersebut penekanan yang cukup berarti dengan cara meyampaikan; jika mau berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala resikonya yakni hamil dan penyakit kelamin. Namun disadari, masyarakat (orang tua) masih memandang tabu untuk memberikan pendidikan, pengarahan seks kepada anak. Padahal hal ini akan berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran akan hal seks tersebut. Salah satu penyebab aborsi adalah karena bayi terdeteksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV adalah virus yang merusak kekebalan tubuh manusia sehingga seseorang tersebut terkena penyakit AIDS. AIDS merupakan penyakit yang terbilang baru, kasus yang pertama kali muncul diakhir tahun 1970, sejak itu penyakit ini terdapat di seluruh dunia dengan frekuensi yang terus meningkat, dan kebanyakan yang tertular virus HIV lewat hubungan seksual dengan orang yang telah terinveksi virus tesebut. 41 Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan RI tahun 1987 yaitu seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosa AIDS dan hasil tes Elisa tiga
41
Diane Richaedson, Perempuan dan AIDS, (Yogyakarta; Media Presindo, 2002), cet. 1, h. 11.
kali diulang dinyatakan positif. Hanya tes Western Blot yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo pada pasien hemofilia masa Inkubasi. 42 Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi. Sampai akhir Desember 2005 tercatat ada 5.321 kasus AIDS dan 4.244 kasus HIV yang telah dilaporkan. Sebanyak 60 % adalah perempuan dan sebagian besar adalah laki-laki (82%).43 AIDS adalah sindrom kumpulan berbagai gejala dan infeksi sebagai akibat dari kerusakan spesifik sistem kekebalan tubuh karena infeksi virus HIV pada manusia. AIDS merupakan akronim dalam bahasa Inggris dari Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (sindrom defisiensi imun dapatan). Nama virusnya sendiri, yaitu HIV, merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus ('virus defisiensi imun manusia' atau 'virus penurun kekebalan manusia'). AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia Pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis Jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. 42
H. Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 138. 43
H. Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, h. 140.
AIDS merupakan penyakit yang terbilang baru, kasus yang pertama muncul diakhir tahun 1970, sejak itu penyakit ini terdapat di seluruh dunia dengan frekuensi yang terus meningkat, dan kebanyakan orang tertular virus HIV/AIDS lewat hubungan seksual dengan orang yang telah terinveksi virus tersebut. Hubungan seksual dengan vagina atau dubur sangat beresiko tinggi dalam penularan virus ini, tidaklah benar bahwa jika berpikir bahwa HIV hanya dapat tertular lewat orang-orang gay walaupun diketahui bahwa AIDS pertama-tama diasosiasikan dengan kaum gay, virus HIV dapat ditularkan lewat hubungan hiteroseksual baik dari laki-laki kepada perempuan ataupun dari perempuan kepada laki-laki dan virus ini juga dapat tertular karena dokter menggunakan jarum suntik yang sama dan tidak steril pada orang yang berbeda, penularan juga dapat terjadi karena penggunaan sumbangan darah tersebut dites terlebih dahulu.44 Tiga dari infeksi HIV awal yang diketahui adalah: 1. Sampel plasma diambil tahun 1959 dari laki-laki dewasa yang tinggal di Kinshasa, kini merupakan bagian dari Republik Demokratik Kongo. 2. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari "Robert R.", remaja AfrikaAmerika berusia 15 tahun yang meninggal di St. Louis tahun 1969.
44
11-18.
Diane Richardson, Perempuan dan AIDS (Yogyakarta: Media Presindo, 2002), Cet. 1, h.
3. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari Arvid Noe, pelaut Norwegia yang meninggal sekitar tahun 1976.45 Tidak cukup sampai di situ, tentunya perilaku tersebut berimplikasi pada permasalahan lain, seperti HIV/AIDS dan aborsi. Ternyata HIV/AIDS tidak hanya menjangkit para pekerja seks komersial (PSK) saja, tetapi juga kalangan remaja, baik pelajar maupun mahasiswa. Yayasan AIDS Indonesia (YAI) mengungkapkan bahwa 50% pengidap HIV/AIDS adalah usia produktif (15-29 tahun). Dipertegas dengan catatan Departemen Kesehatan (2006) bahwa sebagian besar pengidap HIV/AIDS adalah mahasiswa. Sebut saja di Malang, mahasiswa pengidap HIV/AIDS mencapai angka 58,1% (Kompas, 2001) dan Jawa Barat, mencapai angka fantastis 82,56% (Pikiran Rakyat, 2004). Di Jawa Timur sendiri, 45% pengidap HIV/AIDS adalah pelajar dan mahasiswa (BKKBN, Oktober 2006). Sedangkan Jember merupakan kota dengan jumlah pengidap HIV/AIDS kedua tertinggi di Jawa Timur (Radar Jember, April 2007). Begitu pula fenomena aborsi, bukan lagi merupakan hal yang tabu di kalangan remaja di Indonesia. Setiap tahunnya, sekitar 2,3 juta kasus aborsi terjadi di Indonesia, di mana 20% dilakukan oleh remaja. Bahkan dilaporkan oleh sebuah media terbitan tanah air diperkirakan praktek aborsi yang dilakukan remaja mencapai 5 juta kasus per tahun.46
45 46
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-note-hooperBMJ-129. http://oetami.blogspot.com/2007/06/remaja-seks-hivaids-aborsi.html.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa fenomena aborsi banyak ragam untuk melakukan tindak aborsi di berbagai negara. Aborsi ini dilakukan tidak di kalangan para perempuan dewasa, tapi juga dilakukan para remaja. B. Proses Penyebaran Virus HIV HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seorang yang tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakitr. HIV hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung denga cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peran penting. Makin besar jumlah virusnya makin besar kemungkinan inveksinya. Jumlah virus yang banyak ada pada darah, sperma, cairan vagina, dan serviks serta cairan otak. Dalam saliva, air mata, urin, keringat dan iar susus hanya ditemukan sedikit sekali.47 Dalam penularan virus HIV ini melalui berbagai cara. Cara penularan HIV tersebut antara lain :48 1. Hubungan seksual, baik secara vagina, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari soal kasus sedunia. 2. Kontak langsung dengan darah/ produk darah/ jarum suntik:
47
Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h.142. 48
Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, h. 142.
a. Tranfusi darah / produk darah yang terkena HIV, resikonya sangat tinnggi, sampai lebih dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5% total dari kasus sedunia. b. Pemakaian jarum tidak steril/ pemakaian bersama jarum sempit dan sempitnya pada para pecandu narkotik suntik. Resikonya sekitar 0,11% dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia. c. Penularan lewat kecelakaan termasuk jarum pada petugas kesehatan resikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia. 3. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik secara hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan. Resiko sekitar 2540%, terdapat kurang dari 0,1 dari total kasus sedunia. Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75% terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja. 49 Beberapa kesalahpahaman telah terjadi tentang HIV/AIDS. Terdapat tiga kesalahpahaman yang paling umum terjadi, yaitu AIDS dapat menyebar melalui kontak sehari-hari, hubungan seksual dengan perawan akan menyembuhkan
AIDS,
dan HIV hanya dapat
menginfeksi
laki-laki
homoseksual dan pemakai narkoba. Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa
49
http://ninahamzah.wordpress.com/akibat-terjadinya-pergaulan-bebas.
seks anal antara laki-laki homoseksual dapat menyebabkan infeksi AIDS, dan membuka diskusi homoseksualitas dan HIV di sekolah menyebabkan meningkatnya homoseksual dan AIDS.50 AIDS ini akan menimbulkan gejala-gejala yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Gejala-gejala tersebut di antaranya: (1) Rasa lelah berkepanjangan; (2) Sesak nafas dan batuk berkepanjangan; (3) Berat badan turun secara menyolok; (4) Pembesaran kelenjar (di leher, ketiak, lipatan paha) tanpa sebab yang jelas; (5) Bercak merah kebiruan pada kulit (kanker kulit); (6) Sering demam (lebih dari 38° C) disertai keringat malam tanpa sebab yang jelas; dan (7) Diare lebih dari satu bulan tanpa sebab yang jelas.51 Stigma sosial yang disebabkan oleh HIV/AIDS lebih berat dibandingkan stigma sosial akibat kondisi yang disebabkan penyakit lainnya yang sama-sama dapat mengakibatkan kematian. Stigma sosial ini bahkan memiliki akibat yang luas, di luar akibat langsung yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Bahkan, stigma ini juga ikut menimpa petugas kesehatan dan sukarelawan yang terlibat merawat orang yang hidup dengan HIV. Pada Januari 2006, UNAIDS sebagai badan PBB yang menangani penanggulangan penyakit AIDS dan HIV (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) bekerjasama dengan WHO (World Health Organization), badan
50
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-note-144.
51
http://www.petra.ac.id/science/aids/aids3.htm.
PBB untuk kesehatan dunia, memperkirakan AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Oleh karena itu, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. Pada tahun 2005 saja, AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa; lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.
C.
Penularan Ibu Ke anak Penularan HIV secara umum dapat melalui tiga tahap. Tiga rute utama masuknya HIV adalah hubungan seksual, paparan dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, dan dari ibu ke fetus atau anak selama periode perinatal. Pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, dapat ditemukan HIV, tetapi tidak ada kasus infeksi oleh hal ini, dan resiko infeksi tidak berarti. HIV dan virus-virus sejenisnya ditransmisikan melalui kontak langsung antara membran mukosa atau aliran darah dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Transmisi ini dapat terjadi melalui hubungan seksual (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, pertukaran HIV antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin atau menyusui, serta kontak lain dengan salah satu cairan tubuh tersebut. UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja,
akses perawatan antiretroviral bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anakanak. 52 Cara terbaik untuk menghindarkan diri ibu dan bayi yang dikandung dari tertular HIV/AIDS adalah melakukan pencegahan tingkat pertama. Perilakuperilaku beresiko seperti menggunakan narkoba, melakukan hubungan seksual dengan pengguna narkoba, dan prostitusi dapat menyebabkan seorang perempuan dan bayinya beresiko tertular HIV/AIDS, kecanduan obat dan berbagai penyakit lainnya. Kondom dapat menurunkan resiko tertular, tetapi solusi terbaik yang paling sederhana adalah menghindari hubungan seksual dengan seseorang yang memiliki kemungkinan positif HIV.53 Kabar baiknya adalah bahwa seorang yang hamil tidak selalu menularkan virusnya kepada bayi yang dikandung. Ada 75% kesempatan bahwa bayi yang dikandung sama sekali tidak tertular jika ibu yang hamil dan positif HIV tidak melakukan suatu tindakan apapun. Nilai odds (rasio untuk terkena dibanding untuk tidak terkena) untuk bayi yang dikandung tidak terinfeksi HIV adalah 8% lebih rendah jika ibu hamil diobati dengan ZDV (AZT) selama kehamilannya.
52
53
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-UNAIDS 2006-4 http://www.kesrepro.info/?q=node/313
Oleh karena itu, disarankan untuk ibu-ibu hamil untuk melakukan tes HIV segera setelah kehamilannya diketahui. Karena bayi dalam kandungan mengikuti sistem imunitas ibunya, bayi yang baru lahir akan memiliki antibodi HIV, sehingga jika dites akan mengahsilkan hasil positif. Sampai usianya 18 bulan baru akan diketahui apakah bayi tersebut terinfeksi HIV atau tidak. Walaupun anak-anak yang terkena HIV/AIDS memiliki prognosis yang jelek, beberapa di antaranya tetap sehat dan menjalani kehidupan tanpa terpengaruh. Di Amerika, ada keluargakeluarga yang mau mengadopsi bayi-bayi yang positif HIV.54 Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi in utero selama mingguminggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat transmisi antara ibu dan anak selama kehamilan dan persalinan sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretroviral dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat transmisi hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi resiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi resikonya). Menyusui meningkatkan resiko transmisi sebesar 10-15%. Resiko ini bergantung pada faktor klinis dan dapat bervariasi menurut pola dan lama menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretroviral, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang transmisi HIV dari ibu ke 54
http://www.kesrepro.info/?q=node/313
anak. Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui transmisi ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. D.
Pencegahan Terhadap Virus HIV Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus AIDS. Karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual maka penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak bergantiganti pasangan seksual. Pencegahan lain kontak darah, misalnya pencegahan penggunaan jarum suntik yang diulang, pengidap virus tidak boleh menjadi donor darah. Pertemuan Konperensi Internasional AIDS ke XI di Vancouver bulan Juli 1996 melaporkan penggunaan tiga obat kombinasi (triple drugs) yang mampu menurunkan viral load hingga jumlah minimal dan memberikan harapan penyembuhan. Kendala yang dihadapi untuk pengobatan adalah biaya yang mahal untuk penyediaan obat dan biaya pemantauan laboratorium, yang mencapai US$ 16.000 - US$ 25.000/tahun. Kendala lain adalah kepatuhan penderita untuk minum obat secara disiplin dalam jangka waktu 1,5 - 3 tahun, karena obat yang diminum secara tidak teratur akan menyebabkan resistensi.
Diperkirakan karena mahalnya biaya pengobatan, maka hanya ada 5-10% pengidap HIV yang mampu berobat dengan menggunakan triple drugs ini. Jika masalah biaya ini tidak bisa diatasi, maka adanya obat tidak akan mampu memberantas HIV/AIDS secara bermakna. 55 Penelitian untuk menemukan vaksi pencegahan HIV juga terus dilakukan. Biaya vaksinasi diperkirakan tidak akan semahal triple drugs. Seandainya ditemukan vaksin untuk pencegahan HIV, kendalanya adalah harus dicapainya jumlah cakupan vaksinasi yang tinggi (80%) jika diinginkan dampak pemberantasan HIV. Untuk
mencapai cakupan sebesar
ini,
diperkirakan akan membutuhkan biaya yang cukup mahal dan sulit disediakan oleh negara berkembang.56 Dampak sampingan dari mahalnya obat dan ketersediaan biaya untuk pelaksanaan vaksinasi, menyebabkan munculnya isu diskriminasi baru yaitu kaya dan miskin. Pengidap HIV yang kaya akan mampu menyediakan biaya untuk triple drugs, tetapi yang miskin tetap akan mati. Negara industri kaya bisa menyediakan biaya untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi, sedangkan negara berkembang mungkin tidak akan mampu. 57 Telah lebih dari satu dekade sejak diketahuinya penyebab AIDS. Berjutajuta dolar telah dihabiskan di dalam riset AIDS di seluruh dunia. Namun hingga 55
Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, h. 153.
56
Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, h. 155.
57
http://www.petra.ac.id/science/aids/aids6a.htm
kini masih belum dapat ditemukan vaksin terdapat inveksi HIV. Dan masih belum juga diperoleh suatu obat yang ampuh terhadap AIDS. Zidovudine atau AZT, obat yang paling terkenal selam ini ternyata mempunyai efektivitas yang terbatas. Oleh karena itu, pendekatan yang terbaik terhadap HIV/AIDS adalah pencegahan, sebagaimana halnya dengan penyakit-penyakit lainnya yang erat hubungannya dengan perilaku dan gaya hidup manusia.58 Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretroviral secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).59 PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.60 Penanganan untuk infeksi HIV terdiri dari terapi antiretroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy), HAART. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak diperkenalkan pada tahun 1996 setelah ditemukannya HAART yang menggunakan inhibitor protease.61 Ada pula rumusan pendekatan ABC ini dalam bahasa Indonesia: 58
Ronald Hupea, AIDS dan PSM dan Pemerkosaan, (Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2003), h. 92.
59
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-fan-77
60
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-PEPpocketguide-84
61
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-palela-5
“Anda jauhi seks, Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom”.
BAB IV HUKUM ABORSI BAYI YANG TERDETEKSI VIRUS HIV/AIDS DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM A. Pandangan Imam Mazhab Empat Tentang Aborsi Padangan ulama fiqh dalam melihat aborsi umumnya hanya menggunakan pendekatan fisik, dengan ukuran-ukuran langsung yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Sehingga indikasi-indikasi yang tidak tampak secara fisik semisal dampak beban psikologis tidak banyak dibahas. Bahkan dalam literatur fiqh tidak ada satupun ulama yang membahas aborsi secara komprehensif dari berbagai sudut pandang.62 Tentang aborsi, para ulama berbeda pendapat jika ruh ditiupkan sebelum 4 bulan, sebagian berpendapat membolehkan dan tidak mengandung unsur kriminal karena tidak ada kehidupan dalam janin tersebut. Sebagian ulama yang lain berpendapat itu haram atau makruh, karena dalam janin tersebut terdapat pertumbuhan dan perkembangan. Para ulama dari empat mazhab mempunyai pendapat yang beragam, ada yang membolehkan hingga mengharamkan mutlak. Kontroversi tersebut bisa terjadi di kalangan antar mazhab maupun di dalam internal mazhab. Di bawah ini penulis mengklasifikasikan pendapat para ulama empat mazhab.
62
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 42.
1. Mazhab Hanafi Ulama Hanafiyah membolehkan aborsi yang qabla nafkhi al-ruh, tapi harus disertai dengan syarat-syarat yang rasional. Di sini, yang perlu diperhatikan adalah syarat yang ditetapkan, sebab bila melihat pembolehannya saja tanpa melihat syaratnya, maka orang akan mengganggap ringan masalah pengguguran janin tersebut. Ali al-Qami, salah seorang ulama Hanafiyah kenamaan dan sangat terkenal pada zamannya beliau memakruhkan aborsi. Menurut al-Qami, sebagaimana yang dikutip oleh al-Asrusyani, pengertian makruh dalam aborsi ini lebih condong pada makna dilarang (haram) dikerjakan, bila dikerjakan pelaku dianggap berdosa dan patut diberi hukuman yang setimpal. Akan tetapi, pendapat tersebut ditolak al-Haskafi, salah satu pengikut Hanafi yang lain, ketika ditanya: "Apakah pengguguran kandungan dibolehkan?" Beliau menjawab: “Ya, sepanjang belum terjadi penciptaan dan penciptaan itu hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.” Pendapat yang membolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari adalah Ibnu Abidin, Salah satu pengikut Hanafi, menyatakan: Fuqaha mazhab ini memperbolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal daging, atau segumpal darah dan belum membentuk anggota badan. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin sempurna adalah
setelah janin berusia 120 hari. Mereka membolehkan sebelum waktu itu, karena janin belum menjadi manusia”. Para Syaikh dari mazhab Hanafi umumnya mengatakan tidak makruh, sebagaimana difatwakan oleh penulis kitab al-Muhîth dan Imam Ali al-Qami memakruhkannya, demikian juga fatwa Abu Bakar Muhammad bin al-Fadhl. Prof. Gamal Serour menulis bahwa menurut Mazhab Hanafi: Aborsi pada umumnya diizinkan sebelum 120 hari, yakni qabla nafkhir rûh, karena begitu dikandung, janin mempunyai potensi hidup. Salah satu indikasi yang paling jamak menurut mazhab ini ialah bilamana si ibu hamil saat itu sedang menyusui anak dan ASI-nya terhenti, sementara si ayah tidak mempunyai pendapatan untuk menyediakan susu pengganti. Ini dibenarkan untuk memelihara kehidupan si anak yang sedang menyusu. Indikasi lain ialah kesehatan yang buruk dari si ibu, atau apabila ada resiko melahirkan yang sulit terutama apabila penyakit seperti itu adalah terjadi pada kehamilan sebelumnya. Kaidah yang mendasarinya ialah “ resiko yang lebih besar di jauhkan dengan resiko yang lebih kecil” dan nyawa si ibu didahulukan atas nyawa si janin, karena si ibu adalah sumber asalnya. 63 Menurut ulama kontemporer Dr. Al-Bûthi “aborsi diperbolehkan sebelum bulan keempat kehamilan dalam tiga kasus yaitu: pertama, apabila dokter khawatir bahwa kehidupan ibu bahwa kehidupan ibu terancam akibat 63
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, “Fiqh Aborsi Review Kitab Klasik dan Kontemporer”, (Jakarta: Fatayat Nahdlatul Ulama dan The Ford Foundation , 2004), h. 33.
kehamilan; kedua, jika kehamilan dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit pada ibunya; ketiga, apabila kehamilan yang baru akan menyebabkan terhentinya proses menyusui bayi yang sudah ada dan kehidupannya sangat tergantung pada susu ibunya”.64 Para fuqaha Hanafiyah ini membolehkan penguguran kandungan sebelum peniupan ruh baik itu karena ada alasan-alasan tertentu atau tidak. Mereka membolehkan masalah ini secara mutlak. Meskipun sebagian mereka membolehkannya dengan syarat yaitu harus ada izin dari bersangkutan dan suaminya. Hal tersebut seperti yang dikatakan Ibnu ‘Âbidîn dalam Hâsyiyahnya yang dikutip Nu’aim Yasin: “Tidak boleh bagi orang luar untuk menggugurkan kandungan istri kecuali atas izinnya dan izin suaminya”. Di luar hal ini berarti telah melakukan penganiayaan kepada sang ibu, sehingga yang bersangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh hakim namun tidak harus mengantinya dengan budak. Begitu juga istri yang menggugurkan janin tak seizin suaminya, maka dia berdosa dan memberi ganti rugi, karena suami mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Namun, pengharaman di sini bukan karena membunuh janin, melainkan karena melanggar hak orang
64
Al-Bûthi dalam Abu Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, (Bandung : Mizan, 1998), h. 158.
lain tanpa seizinya. Sebagian dari fuqaha Hanafiyah, di antaranya Abdullah Mahmud berpendapat aborsi diperbolehkan sebelum janin berusia 42 hari. 65
2. Mazhab Maliki Ulama Malikiyah terkenal sebagai ulama yang tidak memberikan pilihan sama sekali dalam menyikapi masalah aborsi. Menurut mereka, sejak konsepsi atau pembuahan sudah tidak boleh diganggu. Prof. Gamal Serour menuliskan: “Aborsi tidak diizinkan dalam mazhab Maliki bahkan sebelum janin berusia 40 hari. Imam Malik mengganggap saat konsepsi adalah awal kehidupan manusia, karena itu aborsi sejak awal tidak dibenarkan. Jika di langgar, pelakunya wajib dikenai hukuman, sesuai dengan usia janin yang digugurkan. Semakin tua usia kandungan yang digugurkan, semakin besar pula tebusan yang wajib dibayarkan kepada ahli warisnya. Jumhur fuqaha Malikiyah sepakat untuk memberi hukuman ta’zir bagi pelaku aborsi pada janin qabla nafkhir rûh. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa kehidupan sudah dimulai sejak terjadinya konsepsi. Oleh karena itu menurut mereka, aborsi tidak diizinkan bahkan sebelum janin berusia 40 hari. Hal tersebut dikemukakan dalam Hasyiah al-Dasuki bahwa "Tidak diperbolehkan melakukan aborsi bila air mani telah tersimpan dalam rahim, meskipun belum berumur 40 hari". Begitu juga 65
Said Ramadhan al-Buthi dalam buku Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 95.
menurut al-Laisy, jika rahim ataupun salah satu dari mereka menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan. Al-Qurthubî dalam kitab Bidâyah al-Mujtahid, menukil pendapat Imam Malik, merinci bahwa: “Apa saja yang terlepas dari ibu hamil, walaupun dalam bentuk mudghah atau alaqah, apabila ia diyakini sebagai anak dalam kandungan, maka pihak yang bertanggung jawab wajib menebusnya dengan ghurrah”. Syaikh al-Laisy berkata,”Jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh suami istri ataupun salah satu dari mereka menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan”. 66 3. Mazhab Hanbali Dalam pandangan jumhur Ulama Hanabilah, janin boleh digugurkan selama masih dalam fase segumpal daging (mudghah), karena belum berbentuk anak manusia, sebagaiman ditegaskan Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni: “Pengguguran terhadap janin yang masih berbentuk segumpal darah (mudghah) dikenai denda (ghurrah), bila menurut tim spesialis ahli kandungan janin sebelum
terlihat
bentuknya.
Namun,
apabila
baru
memasuki
tahap
pembentukan, dalam hal ini ada dua pendapat: pertama yang paling shahih adalah pembebasan hukuman ghurrah, karena janin belum terbentuk misalnya baru berupa alaqah, maka pelakunya tidak dikenai hukuman, dan pendapat
66
Al-Fath Al-Ali Al-Malik, juz I, h. 399.
kedua; ghurrah tetap wajib karena janin yang digugurkan sudah memasuki tahap penciptaan anak manusia”67 Prof. Gamal Serour menuliskan bahwa Mazhab Maliki: "aborsi dihalalkan sebelum 40 hari, lebih dari itu, diharamkan”. Pendapat senada dikemukakan oleh Prof. Abd. Rahim Omran, “Menurut Mazhab Hanbali, mengunakan obat-obatan untuk mengeluarkan kandungan sebelum 40 hari diizinkan, lebih dari itu dilarang”. 68 Pernyataan bahwa aborsi qabla nakhi al-ruh di izinkan, diperbolehkan atau dihalalkan bukan berarti pelaku terbebaskan dari dosa. Ia tetap berdosa, hanya saja dosa yang ia lakukan belum sampai pada batas hukum. Pelaku aborsi diangap telah merusak sesuatu yang sangat berharga, yakni al-maujud al-hashil (hasih pembuahan). Artinya boleh saja melakukan aborsi asal di srtai alasan-alasan yang dibenarkan syara.69 Sebagian ulama Hanabilah secara mutlak membolehkan penggguguran kandungan sebelum peniupan ruh. Hasil ini di kutip oleh penulis kitab al-Furu’ dari Ibnu Aqil. Di antaranya ulama Hanabilah yang juga berpendapat seperti itu
67
Abi Muhammad Abdullah Ahmad bim Muhammad bin Qudamah, al_Mughni, Cairo: Hajar, 1992, jilid 12, h.62 dalam buku Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 96. 68
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, “Fiqh Aborsi Review Kitab Klasik dan Kontemporer”, (Jakarta: Fatayat Nadratul Ulama dan The Ford Foundation , 2004), h 39. 69
Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib, “Fiqh Aborsi Review.
adalah Yusuf bin Abdul Hadi yang berkata: “Boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang berupa segumpal darah” Pendapat yang paling ketat dari mazhab ini seperti dikemukakan oleh Ibnu Jauzi yang menyatakan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak baik sebelum atau sesudah penyawaan pada usia 40 hari.70 Menurut mazhab Hanbali aborsi dihalalkan sebelum 40 hari, lebih dari itu, diharamkan. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Omran, menurut mazhab Hanbali, mengunakan obat untuk mengeluarkan kandungan sebelum 40 hari diizinkan, lebih dari itu dilarang. Pernyataan bahwa aborsi qabla nafkhi ruh diizinkan, dibolehkan atau dihalalkan sebagaimana keterangan Serour dan Omran, bukan berarti pelaku terbebas dari dosa. Ia tetap berdosa hanya saja dosa yang ia lakukan belum sampai pada batas hukuman. Sebab, pelaku abortus, dianggap telah merusak sesuatu yang sangat berharga, yakni al-maujud al-hashil (hasil pembuahan), dalam fiqih, merusak telur binatang buruan bagi orang yang sedang ihram saja ada sanksi hukumannya, apalagi merusak cikal bakal anak Adam, sungguh sangat nista. Artinya boleh saja melakukan abortus asal disertai alasan-alasan yang dibenarkan syara.71
70
Abi Muhammad Abdullah Ahmad bim Muhammad bin Qudamah, al_Mughni, (Cairo: Hajar, 1992), jilid 12, h. 64 dalam buku Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 97. 71
H. Jurnalis Uddin, PAK dkk, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, (Jakarta: Universitas Yarsi, 2007), cet 2, h, 86.
Sebagian ulama Hanabilah membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara mutlak tanpa mensyaratkan fase-fase tertentu. Hal ini dinukilkan oleh penulis kitab Al-Furû’ dari Ibnul Aqil dan ia berkata seperti itu. Umumnya ulama Hanabilah tidak mengizinkan aborsi atas janin pada fase mudghah, karena diyakini janin tersebut sudah berbentuk sempurna dan sudah diberi ruh. sebagaimana keterangan hadis. Imam Alauddin menukil pendapat al-Zarkasyi dalam al-Inshaf mengatakan: “Setiap pengguguran kandungan ada ghurrahnya, jika janin yang digugurkan sudah berbentuk bayi, jika belum berbentuk bayi, maka ghurrahnya dibebaskan. Dikatakan, ghurrah tetap wajib meskipun janin yang digugurkan baru fase mudghah dan belum berbentuk apapun”. Janin yang baru memasuki tahap mudghah, belum berbentuk bayi sedikitpun. Sebab, jika dalam mudghah tersebut sudah terlihat bayangan bentuk anak Adam, maka jika digugurkan, ia wajib diganti dengan ghurrah. Namun alZarkasyi baru menjatuhkan sanksi hukum bila janin yang digugurkan sudah berbentuk bayangan anak Adam. Ia meyakini peniupan ruh dilakukan setelah lewat bulan keempat, sedangkan yang lain nafkhir ruh dilakukan setelah janin berusia 40 hari.72 Ulama Hanabilah termasuk ulama yang sangat hati-hati (ihtiyah) dalam pemberian fatwa masalah aborsi. Mereka bahkan mewajibkan orang yang bertanggung jawab untuk membayar diyat kamilah jika aborsi dilakukan
72
Jurnalis Uddin, dkk, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, h. 87.
setelah janin lewat enam bulan. Alasan mereka adalah janin setelah usia setengah tahun ke atas sudah berbentuk sempurna, dan diyakini akan mampu bertahan hidup jika lahir premature. Oleh sebab itu, siapapun yang merusak atau melakukan jinayat terhadap anak dalam kandungan tersebut wajib dikenai sanksi.73 Dari paparan pendapat di atas, para fuqaha Hanabilah cenderung sebagian besar berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya penciptaan yaitu sekitar janin sebelum berusia 40 hari. 4. Mazhab Syafi’i Ulama-ulama Syafi’iyah berselisih pendapat mengenai aborsi sebelum 120 hari. Ada yang mengharamkan seperti Ibnu al-Imad, ada pula yang membolehkan selama masih berupa nutfah dan alaqah (80 hari) seperti Muhammad Abi Sad, dan lainnya lagi yang membolehkan sebelum janin berusia 120 hari, yakni sebelum janin diberi ruh. Al-Qurtubi dalam kitab Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa menurut imam Syafi’i “aborsi pada janin yang belum berbentuk sempurna, maka tidak diwajibkan membayar ghurrah, namun bila sudah ada kehidupan pada janin tersebut maka wajib membayar ghurrah”74 73
74
Jurnalis Uddin, dkk, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, h. 88.
Al-Qurtubi, Bidayah al-Mujtahid, dalam Maria Ulfa Anshor dan Abdullah Ghalib “ Fiqh Aborsi Review Kitab Klasik dan Kontemporer” Fatayat Nadratul Ulama dan The Ford Foundation ,
Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi`i dalah Ihya` `Ulum alDin, tahqiq Sayyid `Imram jika nuthfah (sperma) telah bercampur (ikhtilâth) dengan ovum di dalam rahim dan siap menerima kehidupan (isti`dad li-qabul al-hayah), maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah).75 Imam
al-Ghazali
membedakan
antara
aborsi dan
pencegahan
kehamilan. Karena aborsi adalah tindakan pidana terhadap makhluk yang memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan pertama kehidupan adalah nutfah (sperma) dalam rahim dan bercampur dengan ovum perempuan, lalu siap menerima kehidupan. Jika nutfah menjadi alaqoh (segumpal darah) maka pidana tersebut lebih berat.76 Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, abortus yang dilakukan sebelum janin berusia 4 bulan adalah haram dan apabila abortus dilakukan sesudah sesudah janin bernyawa maka di kalangan ulama telah ada ijma tentang keharamannya.77 Sebagian ulama ada juga yang menentikan batas penyawaan adalah 42 hari, artinya aborsi boleh dilakukan sebelum kandungan berusia 42 hari dan haram dilakukan sesudahnya. Dasar yang digunakan adalah hadist Nabi SAW:
]99 و ه99 أ99 3\ ح أ99 ﺱ99 و99V 99 (99' ا99 ه99G< ا99^ أ#4(99' S9 4 و9 9V أن:9 ا9a^ ا9 أV و ا ا` رثV ^ 3\أ 2004, h 41 75
Sayyid `Imrab (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), juz II, hal.67
76
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Cairo: Dâr al-Qalam, th), Jilid 3, h. 289-291.
77
Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Dîn,
وZ9 أ9G ^9 KT ^)U<د ی)<ل ا$ c( ا3V d ﺱZ اZ4(' Z9/V c^ ا/9 ﺹc< أﺹ` ب رﺱ% ﺕ^ رg hV( و$ا 9<ل ا9 9 :P9 Z9 رى `(ﺱ9 (ی( ا9 أﺱ9 S9 یP\ :Z9 <ل9) ی+/و ﺱ ]k$ اﺕ: % اZ ) لV % رKU یj<د ) ل و آ$ S9 G# اذا:<ل9) ی+/9 وﺱZ/V c^ ا/ ﺹc رﺱ<ل اl$ ^ ﺱ:ذ -$999 ﺱK999/\<ره وR999 999!/ 999- اc اm999$ S999/ <ن999$ ن و أر999#4 ^997 أم أ99 رب أذآ99 ی: ل99 +994 99- 99nV و99-`( ه و99/%ه وo99وی 9 :9<ل ر9) Z9/% ی رب أ: ی)<ل+4 :] ا#! ء ویT :^ رo) ]99! ئ وی99T :99<ل ر99) Z99 رب رز99 ی:<ل99) ی+994 :99/] ا99! ء وی99T g)روا.t)#9 یuاد وa9 یv9 g(9^ ی9) S `R :/ج اs ی+4 :/ا (+/ Artinya: Abu Al Thahir bin Amr Sarh menceritakan kepada saya, bahwa Abi Wahab memberi kabar kepada saya dari Abdullah al-Zubair alMakky bahwa 'Amir bin Watsilah menceritakan kepadanya, bahwa dia mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata: Yang celaka adalah yang celaka di dalam perut ibunya dan yang bahagia adalah yang memberi nasihat kepada orang lain. Kemudian seorang lelaki dari sahabat Rosul SAW yang bernama Khudzaifah bin Asid al-Ghifari datang, kemudian menceritakannya yang demikian dari perkataan Ibni Mas'ud maka Amir berkata: Bagaimanakah celakanya seseorang tanpa amal perbuatan? Lelaki itu menjawab: Apakah Anda heran tentang hal itu, sesungguhnya saya mendengar Rasullulah SAW berkata: Apabila nuthfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah mengutus Malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, daging dan tulangnya, kemudian Malaikat bertanya: Wahai Tuhanku: Apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan apa yang dikehendakinya, lalu Malaikat menulisnya: Malaikat bertanya lagi: Wahai Tuhanku: Ajalnya? Maka Tuhanmu mengatakan apa yang Dia kehendaki, lalu Malaikat menulisnya: Kemudian Malaikat bertanya lagi: Wahai Tuhanku: Rizkinya? Maka Allah memutuskan apa yang Dia kehendaki, lalu Malikat menulisnya kemudian Malaikat itu keluar membawa lembaran catatan di tangannya, tidak ditambah dan tidak dikurangi". (H. R. Muslim)
Para Ulama Syafi’iyah memang bersilang pendapat tentang hukum aborsi sebelum peniupan ruh, tetapi mereka sepakat mengharamkan aborsi sesudah peniupan ruh, sebagaiman dikatakan al-Qashby sebagai berikut: Para ulama sepakat mengharamkan pengguguran kandungan yang dilakukan sesudah peniupan ruh atau setelah 4 bulan, dan tidak dihalalkan bagi kaum muslimin melakukannya karena hal itu merupakan pelanggaran pidana atas makhluk yang hidup”78 Ulama
Syafi’iyah
lainnya
mengatakan
bahwa
aborsi diizinkan
sepanjang janin yang berada dalam kandungan belum berbentuk manusia, yakni belum terlihat bentuk tangan dan kakinya, tidak ada pula kepalanya, rambut dan bagian-bagian tubuh lainnya. Ulama yang memperbolehkan aborsi sebelum melewati usia 42 hari, adalah al-Romli, dalam kitab al-Nihayah. Beliau mengemukakan alasan boleh karena belum ada penyawaan pada janin itu. Tetapi jika usia janin sudah mendekati 40 hari maka aborsi dimakruhkan, karena tak seorang pun mampu mengetahui kapan kepastian ruh tersebut ditiupkan kepada janin. Yang pasti, aborsi dalam bentuk apapun harus disertai alasan yang logis, sebab umat Islam dilarang membuang barang berharga tanpa alasan yang jelas.
78
Al-Qashby Mahmud Zalath, Al-Islam wa al-Thafulah dalam al-‘Ulum al-Sukkaniyah, (Cairo: Jami’ah Al Azhar, 1991), volume 10, h. 97 dalam buku Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2006), cet. 1, h. 101.
Syaikh `Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa al-Azhar) dalam Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, mengatakan: Jika kehamilan (kandungan) itu akibat zina, dan ulama mazhab Syafi`i membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu berlaku pada (kehamilan akibat) perzinaan yang terpaksa (perkosaan) dimana (si wanita) merasakan penyesalan dan kepedihan hati. Sedangkan dalam kondisi dimana (si wanita atau masyarakat) telah meremehkan harga diri dan tidak (lagi) malu melakukan hubungan seksual yang haram (zina), maka saya berpendapat bahwa aborsi (terhadap kandungan akibat zina) tersebut tidak boleh (haram), karena hal itu dapat mendorong terjadinya kerusakan (perzinaan).79 Sementara itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat, bahwa janin mempunyai dua kehidupan: Pertama, seperti kehidupan tumbuhan yang diciptakan oleh Allah sebelum peniupan ruh, sehingga dia bergerak, tumbuh dan makan tidak berdasarkan kehendak. Kedua, kehidupa manusiawi yang terjadi pada janin setelah peniupan ruh kepadanya, sehingga dia bisa merasa dan bergerak sesuai dengan keinginan.80 Sebagaimana yang dikutip oleh Jurnalis Uddin, bahwa Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111M), salah seorang ulama mazhab Syafi’i kenamaan, sangat tidak menyetujui pelenyapan janin, walaupun baru berbentuk nuthfah. 79
Syaikh `Athiyyah Shaqr, Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, (al-Qahirah: Dâr al-Ghâd al-`Arabi, tth.), juz IV, h. 483. 80
Al-Qurtubi, Al-Jami' Ahkam al-Qur'an, Juz XII, h. VI.
Pelenyapan nuthfah dikategorikan sebagai jinayah meski kadarnya kecil. Sementara ulama Syafi’i lainnya mengatakan bahwa aborsi diizinkan sepanjang janin yang berada dalam kandungan belum berbentuk manusia, yakni belum terlihat bentuk tangan dan kakinya tidak ada pula kepalanya, rambut dan bagian tubuh-tubuh lainnya. Ulama yang membolehkan aborsi sebelum berbentuk mudghah atau belum melewati usia 42 hari, adalah alRamli dalam kitab al-Nihayah, mengatakan dengan alasan karena belum adanya penyawaan pada janin itu.81 Meski demikian, jika usia janin sudah mendekati 40 hari maka aborsi dimakruhkan, karena tak seorangpun mampu mengetahui kapan kepastian ruh tersebut duitiupkan kepada janin. Dan yang pasti, aborsi dalam bentk apapun harus disertai aasa yang logis (ma'gul), sebab umat umat Islam dilarang membuang barang berharga tanpa alasan yang jelas.82 Sejumlah kecenderungannya
fatwa kepada
mufti
kontemporer
pengharaman
aborsi
juga
menunjukkan
dalam
semua
fase
kehidupannya. Syaltut dalam al-Fatawa menegaskan bahwa para ulama klasik sepakat atas keharaman aborsi sesudah peniupan ruh. Adapun sebelum itu, terdapat perbedaan pendapat antara yang membolehkan, memakhruhkan dan yang mengharamkan. Ia juga mengutip dengan agak panjang uraian al-Gazali, 81
Muhammad Sallam Madkur, al-Janîn wa al-Ahkâm al-Muta’alliqah bihi fi al-Fiqh alIslami (Bahs Muqaran, 1969), h. 305. 82 Jurnalis Uddin, PAK dkk, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi (Jakarta: Uneervsitas Yarsu, 2007), cet. 2, H. 78.
dan mengutip salah satu argument beliau, yaitu bahwa pertemuan sperma dan ovum seperti terjadinya ijab dan kabul dalam akad. Apabila seseorang mengucapkan ijab, dan belum ada kabul dari lawan janji, orang itu dapat menarik ijabnya. Tetapi apabila telah terjadi kabul, ijab tidak dapat lagi ditarik. Begitu juga sperma apabila telah bertemu dengan ovum, tidak dapat digugurkan lagi. Kemudian ia menyatakan bahwa para ulama klasik yang membolehkan aborsi sebelum ditiupkan ruh disebabkan mereka hanya menekankan arti hidup seperti hidup sesudah ditiupkan ruh dimana ibu merasakan gerak janin yang ada di dalam kandungannya.83 Sebenarnya kehidupan itu sudah ada sejak awal konsepsi sesuai dengan pandangan kedokteran. Dengan kata lain mereka yang membolehkan tidak menyadari detail kehidupan janin setelah terjadinya konsepsi. Apabila para ulama
tersebut
menyadari
hal
ini,
maka
sesungguhnya
tidak
ada
perbedaanpendapat lagi tentang keharaman aborsi pada periode sebelum ditiupkannya ruh itu.84 Intinya Syaltut ingin menegaskan kecenderungannya kepada pendapat yang mengharamkan. B.
Fatwa MUI Tentang Hukum Aborsi Bayi yang Terdeteksi Virus HIV/AIDS Hukum aborsi menurut hukum Islam adalah haram sejak bertemunya sel telur dengan sperma, namun untuk aborsi bayi terdeteksi virus HIV harus dikaji
83
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Cairo: Dâr al-Qalam, th), Jilid 3, h. 289.
84
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, h. 292.
ulang. Penyakit AIDS sampai saat ini memang belum ditemukan obatnya, namun data dari Rusullulah adalah tidak ada penyakit kecuali telah diturunkan obatnya. Jika saya membolehkan maka saya mendahului kehendak Allah SWT, siapa tahu saja jika bayi itu dilahirkan sudah ada obat untuk mematikan virus HIV pada tubuh bayi tersebut. Namun jika saya tidak membolehkan artinya saya membiarkan virus HIV tersebut menyebar lebih banyak. Dari keterangan di atas harus di timbang dulu lebih berat maslahahnya atau mafsadatnya. 85 Aborsi boleh dilakukan jika mengancam jiwa si ibu dan itupun harus dari keterangan ahli (Dokter) misalnya, si ibu sudah 2 kali atau 3 kali melahirkan taruhannya nyawa kalau ini untuk yang kesekian kalinya akan menjadi begitu artinya membahayakan ibunya, ada sebagian ulama yang membolehkan itupun sebelum umur 4 bulan, karena kedepannya sudah menjadi makhluk hidup. Walaupun itu termasuk pendapat ulama kontemporer. Dasar fatwa MUI tentang hukum aborsi bayi dalam kandungan yang terdeteksi adanya virus HIV/AIDS dengan mengingat firman Allah swt di antaranya pada surat al-An’âm [6]: 151 sebagai berikut:86
ًََ وَِ ْ<َاِ(َیِْ إِ'َْ ً وyَْT ِZِ ِْآُ<اUُْ أَ ﺕ+ُ!َْ/َV ْ+ُ!xََ َ<ْا أَﺕُْ َ 'َمَ ر$َُْ ﺕ َ-ْ#ِ ََ-َ{ َ َzِ'ْ وََ ﺕَ)َُْ<ا اْ َ<َا+ُْ وَإِی ه+ُ!َُُ قٍ َ`ُْ َْز/ِْْ ِْ إ+ُُ<ا أَوَْ دَآ/ُْ)َﺕ ْ+ُ!/َ$َ ِZِ ْ+ُْ وَﺹ آ+ُ!َِ ذ2Kَ`ْ ِ ُِ إZ/ َْ اِ 'َمَ ا#ُ<ا ا/ُْ)َََ وََ ﺕGَ ََو (151 :6/ م$ | )ا. َُ<ن/ِ)ْ$َﺕ 85 86
Wawancara dengan Mashuri Naim (Komisi Fatwa MUI Pusat) tanggal 3 Desember 2008. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h. 1.
Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (Q.S. al-An’âm [6]: 151) Kemudian dalam surat al-Furqân [25]: 63-71:
ُ<نَ َ ُ<ا/َِ هkُْ ا+ُ-َ3َ} َ\ َ^ اَْرْضِ هَ<ْ ً وَإِذَا/َV َُ<نUَِْیَ یPَ دُ ا'َِْ ا3ِVَو #َV َْ اﺹِْف#َِیَ یَ)ُ<ُ<نَ رPوَا. ً ََِ(ًا وkُْ ﺱ+ِ-2َِ َُِ<ن3َِیَ یPوَا. ً َ/َﺱ ِیَ إِذَاPوَا. ً َ)ََُ ﺱَ ءَتْ َُْ)َا و- ِإ. ًَ آَ نَ ~ََا-ََاPَV َ إِن+#َ-َ% ََابPَV ِZ/َ اdَ َُ<نVْ(َِیَ َ یPوَا. ًَ َ<َا:َِْ یَ)ُُْوا وَآَ نَ ََْ ذ+ََْ یُُِْ<ا و+َ أَ ْ َ)ُ<ا َْ$ْ َْ ُ<نَ وََْ یaَ وََ ی2Kَ`ْ ِ ُِ إZ/ َْ اِ 'َمَ ا#ُ<نَ ا/ُْ)ًَ ءَا\ََ وََ ی-َِإ َإِ َْ ﺕَ ب. ً َ-ُ ِZِ ْ(ُ/ْsَِ وَیSَ َِ)َْابُ یَ<ْمَ اPَ$ُْ اZَ ْjَV َoُی. ً َ4ََ أKْ/ََ ی:َِذ ُ ~َ ُ<رًاZ/َ تٍ وَآَ نَ ا#ََ' ْ+ِ-َِ ﺕy2َُ ﺱZ/لُ ا2(َ3َُ ی:ِyًَ ﺹَ ِ`ً َُو/ََV ََِVَوَءَاََ و :25/ )ا ن. ً ََ ِZ/ُ یَُ<بُ إَِ^ اZ ِWَ ً`ِ َََِ ﺹVَوََْ ﺕَ بَ و. ًِ'َر (71-63 Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orangorang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya
Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Q.S. al-Furqân [25]: 63-71) Selain dari itu, MUI juga mengambil dasar dengan cara memperhatikan beberapa pendapat para ulama di bawah ini:87 1. Pendapat para ulama : a. Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi`i dalah Ihya` `Ulum alDin, tahqiq Sayyid `Imrab (al-Qahirah: Dâr al-Hadits, 2004), juz II, hal.67: jika nutfah (sperma) telah bercampur (ikhtilath) dengan ovum di dalam rahim dan siap menerima kehidupan (isti`dad li-qabul alhayah), maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah). b. Ulama al-Azhar dalam Bayan li al-Nas min al-Azhar al-Syarif (t.t.: Mathba`ah
al-Mushhaf
al-Syarif,
t.th.),
juz
II,
h.
256:
Jika aborsi dilakukan sebelum nafkhi al-ruh, maka tentang hukumnya terdapat empat pendapat fuqaha`. Pertama, boleh (mubah) secara 87
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h. 5-7.
mutlak, tanpa harus ada alasan medis (`uzur); ini menurut ulama Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi –walaupun sebagian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi`i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hanbali. Kedua, mubah karena adanya alasan medis (`uzur) dan makruh jika tanpa `uzur; ini menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi`i. Ketiga, makruh secara mutlak; dan ini menurut sebagian ulama Maliki. Keempat, haram; ini menurut pendapat mu`tamad (yang dipedomani) oleh ulama Maliki dan sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan `azl (coitus interruptus); hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang. Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi al-ruh pada janin, maka semua pendapat fuqaha` menunjukkan bahwa aborsi hukumnya dilarang (haram) jika tidak terdapat `uzur; perbuatan itu diancam dengan sanksi pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati; dan sanksi tersebut oleh fuqaha` disebut dengan ghurrah.. c. Syaikh `Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) dalam Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, (al-Qahirah: Dâr al-Ghâd al-`Arabi, t.th.), juz IV, h. 483: Jika kehamilan (kandungan) itu akibat zina, dan ulama mazhab Syafi`i membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu berlaku pada (kehamilan akibat) perzinaan yang terpaksa (perkosaan) dimana (si wanita) merasakan penyesalan
dan kepedihan hati. Sedangkan dalam kondisi dimana (si wanita atau masyarakat) telah meremehkan harga diri dan tidak (lagi) malu melakukan hubungan seksual yang haram (zina), maka saya berpendapat bahwa aborsi (terhadap kandungan akibat zina) tersebut tidak boleh (haram), karena hal itu dapat mendorong terjadinya kerusakan (perzinaan). 2. Fatwa Munas MUI No.1/Munas VI/MUI/2000 tentang Aborsi. 3. Rapat Komis Fatwa MUI, 3 Februari 2005; 10 Rabi`ul Akhir 1426 H/19 Mei 2005 dan 12 Rabi`ul Akhir 1426 H/21 Mei 2005. Pertama : Ketentuan Umum 1. Darurat adalah suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. 2. Hajat adalah suatu keadaan di manaseseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan berat. Kedua : Ketentuan Hukum 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). 2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter. 2) Dalam keadaan dimana kehamilan mengancam nyawa si ibu. b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah: 1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan. 2) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama. c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari. 3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mashuri Naim (Wakil ketua komisi fatwa MUI pusat) Pada umumnya hukum aborsi sesudah peniupan ruh mutlak dilarang (haram), namun aborsi sebelum peniupan ruh ada perbedaan pendapat antar ulama, ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan dengan mengemukakan alasan masing-masing. Alasan-alasan yang memang diprediksi mendekati kebenaran. Para ulama sepakat bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan setelah terjadinnya penyawaan adalah dilarang(haram mutlak), kecuali dalam
keadaan darurat yang dapat mengakibatkan meninggalnya nyawa seorang ibu. Meskipun terjadi kontroversi dalam memastikan kapan persisnya ruh ditiupkan ke dalam janin, namun para ulama membiarkan persoalan ruh ini sebagai rahasia Tuhan. Dalam dunua kedokteran, pengguguran kandungan diatas 20 minggu juga tidakdikategorikan sebagai aborsi tetapi pembunuhan janin (infantiside). Ada dua pandangan hukum mengenai batasan usia kehamilan yang dikategorikan telah terjadi penyawaan. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa peniupan ruh terjadi setelah kandungan berusia 120 hari, dasarnya adalah QS. Al Mukminun/23:11-14 dan hadist yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim mengenai proses kejadian manusia. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa peniupan ruh terjadi sebelum maupun sesudah 42 hari dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa MUI mengharamkan aborsi jika tidak mengancam jiwa si ibu dan anak yang dikandung tetapi jika membahayakan anak boleh digugurkan dengan catatan kandungan belum lewat usia 40 hari. Kecuali, jika terdeteksi virus HIV/AIDS sesudah lewat dari 40 hari atau beberapa bulan kehamilan baru ketahuan, maka dibolehkan aborsi dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas, yaitu mengancam jiwa si ibu atau anak yang dalam kandungan berapapun usia kehamilan. Aborsi dilakukan sebelum janin berusia 40 hari, karena janin pada 40 hari sudah berbentuk segumpal darah (alaqah). Hal itu disebabkan telah adanya perhatian pada
janin. Janin berkembang dari nuthfah menjadi alaqoh, dengan begitu telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang hingga menjadi manusia seutuhnya.88 Hal ini diilustrasikan pada surat al-Mukminûn pada ayat 13-14 yang menjelaskan bahwa setiap 40 hari terjadinya perubahan pada janin mulai dari mutfah, alaqah sampai pada mudhgah. Karena pada tahap tumbuh kembang janin adalah 120 hari sesuai dengan keterangan al-Qur'an dan tahap perkembangannyapun melewati 3 fase sehingga 120 hari dibagi 3 fase sehingga menghasilkan angka 40 hari. Tidak hanya lewat ilustrasi hal ini juga diperkuat oleh hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h. 4) dan juga hadis yang diriwayatkan oleh muslim dijelaskan bahwa nuthfah yang telah melewati 42 hari, maka Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, daging dan tulangnya. Nutfah (sperma ) yang telah bercampur dengan ovum di dalam rahim dan siap meneima kehidupan, maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah) sebagaimana menurut Imam al-Ghazali di atas.
88
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, h. 4.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Aborsi adalah tindakan dengan sengaja mengakhiri kehidupan dalam kandungan di dalam rahim seorang perempuan hamil sebelum janin itu bisa hidup di luar kandungan dengan melalui campur tangan manusia untuk menghilangkan jiwa yang sudah ada dalam janin. 2. Hukum aborsi menurut ulama adalah aborsi sesudah peniupan ruh mutlak dilarang (haram), namun aborsi sebelum peniupan ruh ada perbedaan pendapat antar ulama, ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan dengan mengemukakan alasan masing-masing. Alasan-alasan yang memang diprediksi mendekati kebenaran. 3. Fatwa MUI mengharamkan aborsi jika tidak mengancam jiwa si ibu dan anak yang dikandung tetapi jika membahayakan anak boleh digugurkan dengan catatan kandungan belum lewat usia 40 hari. kecuali, jika tereteksi virus HIV/AIDS sesudah lewat dari 40 hari atau beberapa bulan kehamilan baru ketahuan, maka dibolehkan aborsi dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas, yaitu mengancam jiwa si ibu atau anak yang dalam kandungan berapapun usia kehamilan. Setelah mencermati fatwa MUI tentang hukum
aborsi bayi terdeteksi virus HIV bahwa bayi yang terjangkit virus HIV untuk saat ini boleh dilakukan sebelum janin berumur 40 hari. Diperbolehkannya aborsi sebelum 40 hari karena janin masih belum diberi nyawa selain itu janin dalam kandungan masih berupa nuthfah. Artinya janin belum berbentuk segumpal darah. Sedangkan aborsi setelah 40 hari di
larang. Hal itu
disebabkan telah adanya perhatian pada janin. Janin berkembang dari nuthfah menjadi alaqoh, dengan begitu telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang hingga menjadi manusia seutuhnya. Fatwa ini bisa dipertanggungjawabkan karena mengambil sumber-sumber referensi dari pemikiran para imam Mazhab melalui buku-buku yang telah ada. Selain itu, juga dilakukan wawancara dengan Komisi Fatwa MUI Pusat yang memang ahli dalam bidangnnya. B. Saran-saran 1. Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka ulama sangat berperan ketika dalam menghadapi persoalan harus sebijaksana mungkin dalam mengambil keputusan. 2. Ulama-ulama khususnya MUI yang mempunyai kapasitas dalam memberikan suatu hukum terhadap segala bentuk tindakan aborsi harus disikapi dan diteliti lebih mendetail. 3. Pemerintah negara ini sebaiknya memberikan peraturan tentang boleh tidaknya tindakan aborsi bayi yang masih dalam kandungan terdeteksi virus HIV.
4. Warga masyarakat harus sadar pergaulan bebas akan akibat yang ditimbulkan seperti bahaya virus HIV yang menular dan ganas. Oleh karena itu, solusi agama yang mendalam akan meminimal atau menghilangkan penyakit tersebut. 5. Aborsi bukanlah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Hal itu perlu dokter-dokter untuk menemukan obat yang tepat dengan tidak membahayakan ibu dan bayi yang dikandungnya.
Daftar Pustaka Anshor, Maria Ulfa, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Jakarta: Kompas, 2006. ______________ dan Abdullah Ghalib “Fiqh Aborsi Review Kitab Klasik dan Kontemporer”, Jakarta: Fatayat Nadlatul Ulama dan The Ford Foundation , 2004. Al-Bûthi dalam Abu Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Bandung : Mizan, 1998. Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan keIslaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, 1996. Ebrahim, Abdul Fadl Mohsin, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan, 1997. Al-Fida’, Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi Abu, Tafsir al-Quran al-Adzîm, Beirut: Dâr al-Fikr, tth. http://www. dunia wanita. com/index.php? http://www.kesrepro.info/?q=node/313 http://ninahamzah.wordpress.com/akibat-terjadinya-pergaulan-bebas. http://oetami.blogspot.com/2007/06/remaja-seks-hivaids-aborsi.html. http://www.petra.ac.id/science/aids/aids3.htm. http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS#cite-note-hooperBMJ-129. Hupea, Ronald, AIDS dan PSM dan Pemerkosaan, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 2003. Mahfudh, Sahal, Fiqh Sosial; Upaya Pengembangan Mazhab Qouli dan Mazhab Manhaji, Jakarta: UIN, 2003. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 1990. Majlis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa MUI Nomor: 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, Jakarta: Komisi Fatwa MUI, 2005.
Majelis Tarjih, Putusan Tarjih Muhammadiyah, pada Muktamar di Malang 1989. Montagnier, Luc, dkk, Para Ahli Menjawab Tentang AIDS, Jakarta : Pustaka Utama, 1987. Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Keputusan dan Rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konfrensi NU, Jakarta, 25-28 Juli 2002. Qudamah, Abi Muhammad Abdullah Ahmad bim Muhammad bin, al-Mughni, Cairo: Hajar, 1992. Rajab, Ibnu, Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr, tth. Al-Razi, Muhammad Fakhruddin, Tafsir Fakhr al-Razi bi al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985. Richaedson, Diane, Perempuan dan AIDS, Yogyakarta; Media Presindo, 2002. Saifullah, Aborsi dan Permasalahannya, Suatu Kajian Hukum Islam, dalam bukunya, Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Ansyary AZ, Problematika Hukum Islam Kontempore, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Jakarta: LISK, 2002. Sardjana dan Hoirun Nisa, Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Shaqr, Syaikh `Athiyyah, Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, al-Qahirah: Dâr al-Ghâd al`Arabi, tth. Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa, Cairo: Dâr al-Qalam, tth. Syauman, Abbas, Hukum Aborsi dalam Islam, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2004. Tim Penulis, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. Uddin, H. Jurnalis, PAK dkk, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, Jakarta: Universitas Yarsi, 2007. Utomo, Budi et.al, Insiden dan Aspek Psiko-Sosial Aborsi di Indonesia, Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) dan UNFPA, 2001.
Wawancara dengan Mashuri Naim (Komisi Fatwa MUI Pusat) tanggal 22 Desember 2008. Widyantori, Ninuk, Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan, 2003. Zuhdi, Masjfuk, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, 1986. ___________, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1991. Zalath, Al-Qashby Mahmud, Al-Islam wa al-Thafulah dalam al-‘Ulum al-Sukkaniyah, Cairo: Jami’ah Al Azhar, 1991.