KONSEP SYURA DALAM PEMERINTAHAN ISLAM PRAKTEK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Sucilawati NIM: 104033201146
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Praktik Syura Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 11 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hendro Prasetyo, MA NIP: 19640719 199003 1 001
Joharatul Jamilah, M.Si. NIP: 19680816 199703 2 002
Anggota,
Dr. Nawiruddin, MA. NIP: 19720105 2001121 003
Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001
Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA. NIP: 19540605 200112 1 001
Konsep Syura dalam Islam Praktek Syura pada Masa Umar bin Khattab
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Sucilawati NIM: 104033201146
Pembimbing
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19660805 200112 1 001
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Sucilawati
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Konsep Syura Dalam Pemerintahan Islam: Praktek Syura Pada Masa Umar bin Khattab” Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak diantaranya: 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly. MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu diantara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini. 5. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya. 6. Teruntuk Ayah dan Ibuku, H. M Said dan Hj. Asnimah. Doa dan harapanmu telah memberikan arti tersendiri bagi penulis dalam memberikan yang terbaik selama dalam kehidupan ini. Kakak Penulis, Ade Herman, dan Adik penulis Hafsah, juga patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan pengertiannya. Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini. 7. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Praga, Gusti ‘ajo’ Ramli, Yudi, Ikbal, Jabar, Husni, Irwansyah, Rifki, Basit, Iin, Zubeir, Yunus dan kawan-kawan PPI
angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas diskusi, sukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini. 8. Untuk Abangku yang selalu memotivasi penulis serta pengertiannya sepanjang penyusunan karya ini. Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga Allah menerima usaha ini sebagai ‘amal jariyah dan mengampuni kesalahan dalam karya ini, untuk itu penulis sendiri yang bertanggung jawab. Jakarta, 20 Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................
.i
DAFTAR ISI..............................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
7
C. Metode Penelitian.......................................................................
7
D. Tujuan Penelitian .......................................................................
8
E. Sistematika Penulisan.................................................................
9
BAB II PROFIL UMAR BIN KHATHAB ...............................................
10
A. Riwayat Hidup Umar Bin Khathab .............................................
10
B. Kepribadian Umar Bin Khathab .................................................
15
C. Perjuangan Umar Bin Khathab Bersama Rasulullah SAW..........
16
D. Pengangkatan Umar bin Khathab Sebagai Khalifah ....................
20
BAB III SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM ..........................................................................
25
A. ..............................................................................................Definisi Syura..........................................................................................
25
B. ..............................................................................................Landasan Syura Dalam Al-qur’an Dan Sunnah ..........................................
27
C. ..............................................................................................Karakteri stik Syura Dalam Isalm ..............................................................
32
D. ..............................................................................................Prinsipprinsip Syura Dalam Islam .........................................................
34
E................................................................................................Ijmak Sebagai Substansi Syura.............................................................
39
F................................................................................................Komitme n Syura Terhadap Syari’at ..........................................................
41
G. ..............................................................................................Syura dan Demokrasi ...........................................................................
42
BAB IV PRAKTEK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATHAB ...
45
A. ..............................................................................................Pemiliha n Umar bin Khathab Sebagai Khalifah........................................
45
B. ..............................................................................................Impleme ntasi Nilai-nilai Syura Pada Masa Pemerintahan Umar Bin Khathab ..................................................................................................47 1...........................................................................................Persamaa n Dan Kebebasan..................................................................
48
2...........................................................................................Penegaka n Keadilan / Hukum..............................................................
51
3...........................................................................................Prioritas Musyawarah Dalam Hal-hal Yang Menyangkut Orang Banyak
55
4. Pembentukan Team Suksesi Pemilihan Ustman Bin Affan…
57
BAB V PENUTUP ...................................................................................
62
A. ..............................................................................................Kesimpul an ...............................................................................................
62
B. ..............................................................................................Saran ..................................................................................................64 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
65
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangan selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai wahyu yang terakhir kepada manusia, yang mengaplikasikannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioprasionalkan oleh sunnah Rasulullah.1 Konsep syura dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata musyawarah. Pengertian musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang meminta pendapat kepada orang lain tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk menerima saran yang diajukan.
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah
mengenal musyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Bahkan musyawarah telah dijadikan alat dalam hal memilih kepala suku mereka. Lembaga ini disebut “Dewan (Nadi)”2 Setelah Islam datang, Al-Qur’an menjustifikasikannya dengan istilah “Syura” dan menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial. Kemudian risalah Muhammad SAW mengembangkan institusi ini menjadi konsep baru, yang mana sebelumnya hanya sebuah institusi komunal kesukuan dan
1
Amiur Nuruddin, “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428): h. 22 2 Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 16-17.
berhubungan dengan darah (kekeluargaan) menjadi sifat sosial yang berhubungan dengan sifat keimanan.3 Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya untuk memegang prinsip syura (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan. Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti prinsip tersebut, syura juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah keadilan.4 Syura tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saja. Melainkan juga dilaksanakan pada tatanan kehidupan sehari-hari. Misalnya musyawarah yang diterapkan dalam urusan keluaga, pekerjaan, sosial, ekonomi dan juga dalam bermasyarakat. Secara umum syura dapat diartikan sebagai segala yang mencakup bentuk pemberian advice (nasihat). Oleh karena itu, gagasan saling menasehati atau konsultasi melahirkan terbentuknya syura atau lembaga konsultatif di awal sejarah Islam, hak pemberian suara, pemilihan perwakilan-perwakilan, pendirian parlemen, dan pemilihan pemimpin-pemimpin republik Islam di zaman modern ini. 5 Dan juga pada prinsipnya musyawarah itu adalah merupakan sisi sosial dari doktrin tauhid. Ia juga merupakan sarana untuk menciptakan suatu harmonisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dan musyawarah juga merupakan suatu bukti nyata penghormatan terhadap akal manusia; yang bisa kita lihat suatu bukti pemuliaan Allah kepada manusia, karena itu musyawarah dapat memberikan suatu kemaslahatan; dan dengan musyawarah pula dapat menghasilkan suatu solusi. Dan dengan musyawarah juga
3
Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi” dalam “Pengantar” buku Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.ix-x. 4 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.272. 5 Masykur Hakim, Pemikiran Politik Islam Modern (Jakarta: Pelita Insani, 2002), h. 108.
semua orang akan mempunyai kesempatan yang sama tanpa membedakan, semua orang bebas mengemukakan pendapat. Apalagi dalam hal menentukan pemimpin umat, musyawarah mempunyai peran penting dalam hal itu. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah tidak terdapat petunjuk secara eksplisit tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat, yang ada hanya petunjuk yang sifatnya umum dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu kebijakan dengan cara musyawarah. Dengan demikian, musyawarah menjadi suatu hal yang perlu dalam menentukan seorang pemimpin umat dan kepala negara. Sehingga kepemimpinan empat al-Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah. Sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dasarnya adalah “Syura” (musyawarah), yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Asy Syuura ayat 38: !"# !$%& '() *+ , - . /1 2☺ 456 /)7 , 8 9:;/< “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka". Dan pada firman-NYA yang ditujukan kepada Nabi dalam surah Al-Imran ayat 159: ☺=>? @A☺BC , DEF G HI/ 45 HIJ-K L9? ⌧NO=$⌧P Q$?$:) ,R⌧;STU BE @ C 4 B? T ;) WCX '(,⌧ Y= Z[\] ^=_? HI)D` aK
? Y! G # c8=: 1$-d e= fK
4☺) “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Quran yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syura, beberapa hadis telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syura, karena dengan syura maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta negara akan dengan mudah didapatkan.6 Kalau kita melihat ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syura, maka itulah yang melatar belakangi para intelektual muslim untuk tidak pernah melepaskan tema tersebut ke dalam karya-karyanya. Khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinam dan pemerintahan. Beberapa pemikir tersebut diantaranya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Fazlur Rahman. Ketiga pemikir tersebut secara serentak mengatakan bahwa dalam pemerintahan Islam, konsep syura harus ditegakkan. Sebab, apabila ada suatu permasalahan apalagi dalam sebuah pemerintahan harus ada musyawarah untuk mencapai sebuah kemufakatan bersama. Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang memberikan pendapat kepada khalifah tidak pula berhak memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu
kekuasaan penuh tetap di
tangan khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan kepada umat yang telah mengangkatnya.7
6
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press,2000), h.
54. 7
Haekal, Umar bin Khattab, h, 646.
Dalam pengambilan keputusan para khalifah itu terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior atau Ahl al-syura, yang kemudian oleh para ulama disebut sebagai Ahl Hall Wa Al’-Aqd, kumpulan para ahli yang kompeten dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi.8 Syura adalah hak seluruh kaum muslimin terhadap khalifah. Karena itu, mereka memiliki hak terhadap khalifah agar dalam banyak persoalan khalifah merujuk kepada mereka untuk meminta pendapatnya.9 Bahkan rakyat biasapun dapat menyampaikan pendapat-pendapatnya dihadapan para khalifah dengan bebas, termasuk mengkoreksi pendapat khalifah yang salah. Dan kalaupun seorang khalifah sampai melampaui hak dan melanggar ketentuan Allah dan Rasulnya, maka rakyat atau umat lah yang akan meluruskannya. Seorang tokoh seperti Umar tidak hanya pemberani, melainkan dia juga suka bermusyawarah. Dan dia juga dekat dengan Rasulullah SAW. Kedekatannya tidak hanya dengan Rasulullah saja, melainkan dengan seluruh masyarakat. Dan Rasulullah pun mempercayai Umar untuk menjadi penasehat utamanya. Sebagai seorang yang suka bermusyawarah, Umar bin Khattab pada akhirnya terpilih menjadi khalifah melalui usulan dari Abu Bakar dan sahabat-sahabat senior. Seperti diketahui adanya kekhawatiran akan terjadinya perpecahan pasca Rasulullah SAW wafat terulang kembali. Khalifah Abu Bakar As-siddiq bermusyawarah dengan para sahabat. Musyawarah itu sendiri dilakukan melalui forum tertutup yang dihadiri
8
Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, h. x. Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan AlBanna. Penerjemah Wahid Ahmadi (Solo: Era Intermedia, 2001), h 262. 6
oleh Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan dari kaum muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kaum anshar.10 Mengenai anggota dewan syura yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan kaum Quraisy dan Anshar adalah orang yang mempunyai hak yang sama untuk dipilih menjadi khalifah. Pada masa Umar bin Khattab anggota dewan syura terdiri dari Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Ada satu lagi anggota yaitu Abdullah bin Umar memiliki hak memilih tetapi tidak memiliki hak dipilih, sebagaimana yang menjadi keputusan Umar bin Khattab (ayah Abdullah). Dari tujuh orang tersebut Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura melakukan dan menunjuk Ustman bin Affan sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai’at.11 Praktik syura yang diterapkan Umar bin Khattab pada masa pemerintahan saat itu menjadi sebuah panutan bagi umat di masa berikutnya. Majelis Syura yang dibentuk Umar menjadi sebuah konsep yang tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saat itu, melainkan juga dipraktekkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan sistem pemerintahan di negara Islam sampai saat ini. Praktik syura pada masa pemerintahan kekhilafahan Umar bin Khattab itu menjadi cikal bakal pengimplementasian secara institusional konsep syura dalam sejarah politik umat Islam di zaman modern ini. Untuk itu, melacak praktek syura pada masa pemerintahan Umar menjadi suatu kajian yang tak kalah menarik untuk dibahas di tengah dinamika politik yang ada.
10
Rais, Teori Politik Islam, h.133. Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,1990), h.26. 11
Berdasarkan dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat skiripsi dengan judul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB.”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Sebagaimana pemaparan di atas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab. Kalaupun sudah ada beberapa penulis yang menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya, namun pada kajian ini penulis hanya lebih menitikberatkan kepada praktek syura pada masa Umar bin Khattab. Karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar dalam sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab. Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pengangkatan Umar sebagai khalifah? 2. Seperti apa implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan
Umar
bin Khattab?
C. Metode Penelitian Dalam pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan menelaah bukubuku, majalah-majalah, beberapa artikel dan surat kabar, serta internet yang penulis anggap relevan dengan pokok permasalahan. Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan mendeskripsikan data-data yang ada (baik data primer maupun data sekunder),
kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan Nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Adapun metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan KaryaI Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang berjudul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB” adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana cara pengangkatan Umar sebagai khalifah 2. Mengetahui implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar bin Khattab 3. Mengetahui proses pembentukan tim suksesi pemilihan Ustman bin Affan
E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah memahami dari isi skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini menjadi enam bab, tiap bab yang didalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, serta sistematika penulisan, sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami isinya secara keseluruhan. Bab Kedua memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Umar bin Khathab, dari perjuangannya bersama Rasulullah, serta tindak tanduknya dalam pemerintahan. Bab Ketiga berisi mengenai bahasan umum tentang syura sebagai sistem pemerintahan dalam Islam. Bab Keempat menjelaskan mengenai Praktik Syura, dan implementasi nilainilai syura pada masa Umar bin Khathab, serta pembentukan tim suksesi pemilihan Utsman bin Affan. Bab kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab, untuk melengkapi pembahasan dalam sripsi ini.
BAB II PROFIL UMAR BIN KHATTAB
A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riba’ah Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin Ka’ab. Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail Al-Mahzumi AlQuraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah bin Umar bin Makzum. Bani Makzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu dari bani Umayyah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan Quraisy dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi dari orangorang Arab.12 Dilihat dari keturunan Umar bin Khattab. Ia merupakan orang yang terlahir dari keluarga yang terpandang dari suku Quraisy. Sehingga hal ini menjadi dasar dalam kepemimpinannya sebagai khalifah kedua. Umar dilahirkan di kota Makkah kota kosmopolitan di semenanjung Arab, dan ia lahir lebih muda dari Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil, Umar dikenal sebagai seorang yang pemberani dan pribadinya yang dikenal keras sehingga ia digelari dengan “singa padang pasir”.13 Umar bin Khattab selalu dipercaya menjadi komandan pasukan perang, setiap kali suku Quraisy mengumumkan dan melakukan peperangan terhadap suku-suku Arab lainnya. Sebagai kesatria perang, khattab (ayah Umar) mengajari kepada anaknya berbagai macam tradisi kelelakian khas semenanjung Arab, mulai dari memanah, 12
Hamdani Anwar, “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.38 13 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika press, 2003), h.67
menggembala ternak, berburu, menunggang kuda dan hal-hal yang bisa menunjang masa depan mereka sesuai dengan tradisi bangsa Arab. Pada masa kecilnya Umar ikut membantu ayahnya memelihara hewan ternak, dan ikut berdagang hingga Syiria. Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi yang sangat terpandang dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari lingkungan keluarga kaya raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan.14 Sehingga Umar sudah terbiasa sejak kecil bekerja keras seperti lazimnya orang-orang Arab dan ia didukung oleh ilmu pengetahuan dalam lingkungan keluarga Umar bin Khattab. Pada waktu Umar masih muda ia sangat pandai menulis dan membaca syair, disamping itu ia juga banyak menghafal syair-syair Arab terkenal. Riwayat termasyhur menyatakan bahwa Umar di lahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran Rasulullah, atau sekitar tahun 586 M, akan tetapi tidak banyak yang tahu kapan pastinya Umar di lahirkan. Ketika Umar beranjak dewasa, Umar mulai menekuni perniagaan. Selain mendapat pengalaman berniaga, Umar juga mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Umar sering pergi berdagang keluar semenanjung Arab, sehingga wawasan dan kecakapan Umar semakin terbuka luas, Umar juga mampu menguasai beberapa bahasa. Umar juga sangat dihormati dan disegani dikalangan orang Arab. Umar diangkat oleh suku Quraisy sebagai juru diplomasi, utusan khusus, duta besar mereka, ketika Bani Quraisy berseteru dengan suku-suku Arab lainnya. Peristiwa Umar bin Khattab masuk Islam terjadi pada suatu hari dibulan dzulhijjah tahun ke enam kenabian, Umar bin Khattab tercatat sebagai orang yang ke
14
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h.67
empat puluh memeluk Islam. Pada waktu itu umat Islam masih sangat sedikit sehingga dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mereka belum berani menampakkan keislamannya. Umar adalah orang pertama yang berani berdakwah dan mengumumkan keislamannya secara terang-terangan. Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan istrinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keIslaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam bertambah dengan pesat.15 Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah seorang tokoh Arab Quraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika disampaikan kepadanya bahwa adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk islam, Umar mendadak menjadi geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia segera pergi kerumah adiknya. Sesampainya disana, ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur’an. Begitu melihat Umar, mereka semua lalu terdiam membisu dan tidak berani bergerak sedikitpun. Dengan emosi yang meluap-luap Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakan dari pukulan Umar. Dipuncak kemarahanya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Dengan tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surah Taha. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap dihatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. Umar pun
15
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol.v (Jakarta: PT ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.125.
bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah Al-Arqam dimana Nabi SAW sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.16 Al-Faruq (sang pembeda). Demikian julukan yang diberikan Rasulullah untuk Umar, karena ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang batil, yang baik dan yang buruk. Namun, sebagian kalangan mengartikan Al-faruq sebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa membangkang dan melawan dakwah Rasulullah.17 Pada masa awal Umar memeluk Islam Umar bertanya kepada Rasulullah kenapa kita sembunyi-sembunyi dalam berdakwah, dan menyampaikan kepada Rasulullah sudah saatnya umat Islam berdakwah secara terang-terangan. Kemudian Rasulullah keluar untuk berdakwah dengan didampingi dua sosok yang ditakuti dan disegani suku Quraisy, yaitu Umar dan Hamzah, sehingga ketika mereka memasuki ka’bah tidak seorangpun dari orangorang suku Quraisy yang berani mengganggu mereka, karena itulah Umar bin Khattab dipanggil dengan sebutan Al-Faruq. Umar juga di juluki Abu Hafsh (ayah Hafshah), perempuan mulia yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih Rasul kepada seorang mukminah yang telah menjanda karena di tinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah al-Sahami, yang berjihad di jalan Allah dan gugur pada perang Badar.18 Ketika itu Umar sangat sedih. Karena di usia yang masih muda putrinya sudah menjadi janda. Ketika itu Umar berniat menikahkan puterinya (Hafshah) dengan seorang muslim yang saleh yang bertujuan agar hatinya kembali tenang setelah ditinggalkan oleh suaminya yang telah gugur pada perang Badar. Pada waktu itu, Umar pun pergi kerumah Abu Bakar dan 16
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994), h. 125 17 Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 15 18 Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 16
meminta kesediannya untuk menikahi putrinya (Hafshah). Abu Bakar pun diam, dan tidak menjawab sedikitpun. Setelah itu, Umar pun menemui Utsman bin Affan dengan permintaan yang sama. Akan tetapi Utsman pun menolak permintaan Umar tersebut. Karena ketika itu Utsman masih dalam suasana berkabung karena istrinya yang bernama Ruqayah bin Muhammad baru saja meninggal dunia. Umar pun kecewa atas penolakan Utsman tersebut. Pada akhirnya Umar pun menemui Rasulullah, dan mengadukan sikap kedua sahabatnya itu kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mendengar penuturan Umar, akhirnya Rasulullah pun mengatakan bahwa “Hafshah akan menikah dengan seorang laki-laki yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar”. Umar pun langsung mengerti bahwa Nabi sendirilah yang akan menikahi putrinya itu. Disitulah terjadi pernikahan antara Rasulullah dan putrinya yaitu (Hafshah). Umar juga dicatat sebagai orang pertama yang digelari Amir al-Mu’minin (pemimpin orang yang beriman).19 Hal ini berawal dari seorang utusan yang berasal dari Irak, utusan tersebut datang menghadap Umar bin Khattab untuk memberitakan keadaan wilayah pemerintahan di Irak. Ketika utusan itu tiba di Madinah ia bertemu dengan Amr bin Ash dan bertanya tentang khalifah Umar. Utusan itu memanggil Umar dengan sebutan Amir Al Mukminin, karena Umar adalah pemimpin (amir) sementara kita adalah orang-orang beriman (mukmin). Sejak itulah gelar Amirul mukminin melekat pada diri Umar dan para khalifah sesudahnya.
B. Kepribadian Umar Bin Khattab Sifat-sifat terpenting yang membentuk “sifat keprajuritan” dalam sifatnya yang tinggi adalah keberanian, ketegasan, kekasaran, ketenangan, teratur, taat, 19
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 17
menghargai kewajiban dan iman kepada kebenaran dan suka melaksanakan dalam batas-batas tanggung jawab.20 Karisma
Umar
menggetarkan,
tetapi
kepribadiannya
meneduhkan.
Keridhoannya adalah kemuliaan. Amarahnya menjelma hikmah.21 Umar sangat muak dengan ketidak adilan, umar selalu menangis ketika melihat orang-orang kecil yang tertindas. Dalam menempuh dunianya dia selama hidup sebagai mujahid (pejuang) ditengah-tengah medan. Sebab itu, dia mengutamakan kesederhanaan dan merasa puas dengan kebutuhan seminimal mungkin yang tidak mungkin diabaikan.22 Umar menyuruh prajuritnya untuk belajar memanah, berenang, menunggang kuda, bergulat, dan berolahraga supaya prajuritnya menjadi terlatih dan berkembang baik badannya serta akhlaqnya. Tabi’at yang menjadi fitrahnya adalah dia menyukai apa yang baik bagi prajurit mengenai makanan dan pakaiannya dan membenci apa yang tidak dipandang baik pada prajurit.23 Untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat misalnya, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Aspek yang tak lepas dari diri Umar bin Khattab adalah masalah ijtihad berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada nashnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-hadis. Beberapa ijtihad yang di lakukan Umar diantaranya adalah soal penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ketika
20
Abbas Mahmoud Al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 86 21 Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 11 22
Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.
101 23 Abbas Mahmoud Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 88-89
itu kekhalifahan di pegang sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, sedangkan Umar adalah salah satu pembantunya di pemerintahan.24 Allah juga mengaruniai Umar wibawa besar yang menggetarkan hati dan menggoyahkan nyali orang yang berhadapan dengannya. Ia dapat meruntuhkan hati orang-orang yang sombong. Namun, wibawa Umar yang agung tidak membuatnya berbuat zalim terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lemah. Dan sumber wibawa Umar yaitu dari ketakwaan dan ketakutannya kepada Allah. Selain tegas dan berwibawa, Umar juga mempunyai sifat sabar. Kemarahannya tidak pernah terpancing oleh kezaliman.25
C. Perjuangan Umar bin Khattab Bersama Rasulullah SAW Setelah masuk Islam, Umar mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya untuk membela dakwah Rasul. Ia menjadi sahabat dekat Rasulullah, orang terpercaya sekaligus penasehat utamanya. Ketika umat Islam hendak hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) karena tekanan dan ancaman orang Quraisy yang semakin lama semakin kuat, akhirnya Nabi pun menyerukan para sahabatnya agar berangkat diamdiam dan berpencar karena khawatir dihadang musuh.26 Tapi justru Umar sebaliknya, ia mengumumkan rencananya untuk berangkat hijrah kepada orang-orang Quraisy. Setelah sampai di kota tujuan, Rasulullah menganggap saudara kepada orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Ketika itu, Madinah menjadi periode baru sejarah Islam dan kehidupan umat Muhammad.
24
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 41-42 25 Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 178-179 26
Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar Ibn Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009). H,29-31
Dua tahun setelah Nabi dan umat Islam menetap di Madinah (2 H/624 M), mereka dihadapkan pada sebuah perang, yaitu Badr al-Kubra, Badar yang besar. Awalnya, Abu Sufyan (kepala klan Quraisy) bersama sekelompok dagangnya baru saja kembali dari Damaskus dengan membawa barang niaga. Ketika itu ditengah perjalanan, Abu Sufyan mendengar kabar bahwa pengikut Muhammad akan menyerang dan merampok kafilah dagang Abu Sufyan. Ketika Abu Sufyan setiba di Makkah ia langsung menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Tidak lama setelah kabar itu menyebar, orang-orang Makkah pun langsung mengangkat senjata. Dan Abu Sufyan pun menjadi panglima pasukan Makkah yang jumlahnya hampir seribu orang. Dan segera bergerak menuju Madinah untuk melawan Muhammad dan para pengikutnya. Ketika itu Rasulullah sudah mendengar bahwa pasukan Quraisy sudah bergerak dan akan menyerang umat Islam. Rasulullah pun bergegas menyiapkan pasukan. Akan tetapi, sebagian dari mereka nampak ragu mengikuti perlawanan tersebut. Karena mereka mengetahui bahwa jumlah pasukan Makkah jauh lebih banyak daripada mereka. Tetapi kenyataanya, lewat perang Badar tersebut umat Islam memperoleh kemenangan pertamanya sekaligus menjadi tonggak eksistensi dakwah Islam dan bukti kekuatan umatnya setelah kurang lebih tiga belas tahun ditindas oleh kaum kafir Quraisy. Ternyata orang Quraisy tidak bisa menerima kekalahannya diperang Badar tersebut. Akhirnya Abu Sufyanpun kembali mengumpulkan para pembesar Quraisy dan beberapa klan Arab. Abu Sufyanpun memutuskan untuk perang. Ia pun mengatakan bahwa pasukan Muhammad harus dihancurkan. Rasulullah pun langsung mengatur strategi setelah mengetahui bahwa pasukan Quraisy akan menyerang umatnya. Rasulullah pun berhasil mengumpulkan tujuh ratus pasukan muslim.
Setibanya mereka di gunung Uhud, Rasulullah pun segera membagi pasukan menjadi dua: satu di tempatkan dikaki gunung Uhud, dan yang satu lagi di bukit gunung Ainain. Tak lama setelah pasukan Muhammad selesai shalat shubuh pasukan Quraisy mulai menyerang, pasukan muslimpun menyambut serangan tersebut dengan gemuruh tahlil dan takbir. Ditengah perang tersebut tersiar kabar bahwa Muhammad telah gugur. Dan perlahan-lahan perang itupun reda, karena Abu Sufyan merasa yakin bahwa Muhammad telah wafat. Pada paruh tahun ke-4 hijriyah kerusuhan merebak di Madinah. Bani Nadhir, salah satu klan Yahudi-Arab Madinah, mengingkari ikrar damai sebagaimana disepakati dalam traktat perjanjian yang ditandatangani bersama kaum muslain. Bani Nadhir bahkan berencana membunuh Muhammad. Sebelumnya, Bani Qainuqa, salah satu klan Yahudi lainnya, juga melanggar janji damai itu dan memberontak kepada Rasulullah dan umat Islam. Umat Islampun mengusir mereka dari Madinah. Bani Qainuqa lari ke Suriah. Sebagian besar membentuk komunitas Yahudi di wilayah Khaibar. Dalam perang parit Salman al-Farisi, seorang kesatria perang asal persia, mengusulkan untuk menggali parit (khandak) itu bertujuan untuk membendung serangan sekaligus menjadi benteng pertahanan. Dari balik parit, supaya pasukan muslim dapat dengan mudah membakar parit, menjebak, dan memanah musuh. Akhirnya Rasulullah menyetujui strategi yang diusulkan Salman al-Farisi. Perjanjian Hudaibiyah pun terjadi pada tahun ke-6 Hijriyah ketika Rasulullah bersama kaum muslimin pergi ke kota Makkah. Tetapi bukan untuk perang, melainkan untuk umrah. Ditengah perjalanan, tepatnya di Hudaibiyah mereka dihadang oleh beberapa utusan Quraisy. Mereka mengatakan bahwa penduduk Makkah tidak memberi izin Muhammad dan umatnya untuk memasuki Ka’bah.
Akhirnya, Rasulullah mengajak orang-orang Quraisy berunding. Rasulullah mengutus Utsman untuk menghadap para pembesar Makkah, karena banyak adiantara mereka saudara dekat Utsman. Disitulah terjadinya traktat Hudaibiyah. Pada suatu ketika Rasulullah dan para pasukannya memasuki kota Makkah dengan penuh wibawa. Tanpa perlawanan dan pertumpahan darah. Perlahan-lahan beliau memesuki pelataran Ka’bah, bertawaf, mencium hajar aswad, bersembahyang di Ka’bah, dan menghancurkan ratusan patung dewa-dewa Arab disekitar tempat ibadah itu. Tidak lebih dari dua tahun kemudian, sejumlah utusan klan tiba dari seluruh penjuru
semenanjung Arab
untuk menyatakan bergabung dengan
Muhammad. Pada tahun itu juga (10 H/632 M) Rasulullah melaksanakan ibadah haji yang terakhir. Pada suatu ketika kabung duka telah menyelimuti seluruh semenanjung. Bahwa, Muhammad sang utusan Allah telah meninggal dunia. Hingga akhir hayat Rasulullah, Umar berada disamping Rasulullah. Ketika kabar meninggalnya Rasulullah sampai kepada Umar, ia hanya mematung dan sangat terpukul atas kepergian Rasulullah.
D. Pengangkatan Umar Sebagai Khalifah Kepala Negara Islam dipilih dari individu umat Islam dan umatlah pemilik hak dalam memilih khalifahnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, cara apa yang mungkin dapat diikuti umat untuk memilih penguasanya? Pertanyaan ini mengantarkan pada kenyataan bahwa Islam tidak tergantung pada cara tertentu untuk memilih kepala Negara dan tidak mengharuskan umat mengikuti cara tertentu. Umat memilih kepala Negara apabila ia memenuhi syarat-syarat tertentu dan yang paling
mendasar adalah adil dan dengan musyawarah, tidak dipersoalkan setelah itu mengenai teknik dan cara pemilihannya.27 Bisa kita lihat sewaktu wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Illahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah sebab utamanya mengapa pada masa empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu di tentukan melalui musyawarah, walaupun pola musyawarah tersebut dilalui dengan beraneka ragam cara.28 Untuk selanjutnya yang akan kita bahas yaitu bagaimana cara pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah? Ketika itu Abu Bakar merasa bahwa ajalnya telah dekat dan mau tidak mau Abu Bakar harus memilih pengganti dirinya sebagai khalifah. Setelah musyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah. 27
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam. Penerjemah, Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h.152. 28 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPress, 1993), h. 21.
Ketika itu sebagian sahabat menemui Abu Bakar dan menentang pencalonan Umar karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Akhirnya setelah para sahabat itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun menyepakati pencalonan Umar untuk menjadi penerus khalifah. Dalam masalah ini At-Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara dengan orang banyak yang berkerumun di bawah : “Apakah kalian menerima orang yang akan saya calonkan sebagai pengganti saya ?” tanya Abu Bakar.
“Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam
menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan saya”. Mereka semua menjawab, “Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan mentaati tuan”. Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman dan membacakan naskah yang berisi penunjukkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Utsman bin Affan sangat setuju dengan penunjukkan Umar sebagai khalifah, karena ia seorang yang tegas dan bijaksana. Abu Bakar meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 624 M. Dalam usia 63 tahun. Shalat jenazah dipimpin oleh Umar bin Khattab, dan dimakamkan di rumah aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW. Masa kekhalifahannya lebih kurang 2 tahun 3 bulan 11 hari. Dengan meninggalnya Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khattab. Karena ia telah ditunjuk oleh Abu Bakar dan disetujui oleh seluruh masyarakat Islam secara aklamasi, dengan tidak meninggalkan azas demokrasi Islam, yaitu musyawarah untuk menentukan siapa pengganti Abu Bakar sebagai khalifah rasyidah. Akhirnya Umar diangkat sebagai pengganti Abu Bakar, dimana kebijaksanaan Abu Bakar ini segera diikuti dengan beramai-ramai para sahabat membai’at Umar
sebagai khalifah. Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah rasulillah (pengganti dari pengganti Rasul Muhammad) untuk memimpin masyarakat Islam sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan pendahulunya. Ia juga mendapat gelar Amir al Mukminin (komandan orang-orang mukmin) karena berkaitan dengan perannya dimana saat itu dihadapkan pada penaklukan-penaklukan yang dilakukan sebagai komando pasukan Islam.29 Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar dengan sejumlah prestasi yang gemilang, yang diantaranya usaha-usaha yang telah dicapai Abu Bakar ternyata dilanjutkan oleh Umar. Ketika itu di zamannya, gelombang pembebasan pertama terjadi. Dan ketika itu kota Damaskus jatuh pada tahun 635 M, dan setahun kemudian setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran yarmuk, dan daerah Suriah pun jatuh ke tangan tentara Islam. Dan masih banyak lagi prestasi Umar untuk memperjuangkan Islam. Tidak hanya itu saja prestasi Umar. Tetapi Umar juga berjasa dalam menyusun dewan-dewan dalam pemerintahan, membuat mata uang emas, mendirikan baitul mal, mengangkat hakim-hakim, membentuk pasukan tentara untuk menjaga tapal batas, menciptakan tahun hijrah, mengatur perjalanan pos, dan masih banyak lagi prestasi Umar setelah diangkat menjadi khalifah. Kehidupan Umar terkesan sangat sederhana. Setelah menjadi khalifah pun kesederhanaan itu selalu tetap terjaga. Dan ia juga seorang khalifah yang selalu memakai pakaian lusuh, memakai sepatu yang dijahit sendiri, dan ia pun rela memikul sendiri makanan untuk diberikan kepada seorang janda. Umar pun hidup tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Rumah, pakaian, makanan, dsb itu sama seperti apa yang orang-orang kebanyakan.
29
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 68.
Dalam memimpin khalifah pun terkenal merakyat. Kalaupun Umar sudah menjadi seorang pemimpin, dalam menjalankan tugas Umar tidak pernah menyuruh bawahannya untuk melihat keadaan rakyatnya. Akan tetapi, ia sering melakukan inspeksi langsung ke daerah-daerah perkampungan untuk melihat dari dekat rakyat yang dipimpinnya. Umar juga sangat tegas, adil, dan tidak pernah melihat pandang bulu untuk menegakkan hukum. Setelah Umar menjabat sebagai khalifah ternyata Umar telah membuat kebijakan sesuai dengan ijtihadnya dalam pengambilan suatu keputusan. Apabila sahabat dapat mencapai suatu kesepakatan dalam sidang majelis terhadap suatu permasalahan, maka khalifah Umar di sini menetapkan keputusan itu berdasarkan suara bulat sebagai ijma’. Akan tetapi persoalan timbul bila perbedaan pendapat terjadi di dalam sidang majelis permusyawaratan. Karena dianggap setiap keputusan Umar itu adalah suatu tindakan yang tepat untuk kemaslahatan umat.
BAB III SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
A. Definisi Syura Secara umum dapat dikatakan bahwa, kata Syura memiliki banyak pengertian dan alangkah baiknya kita mengetahui dari mana asal kata Syura itu dibentuk. Kata Syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, syawir berarti: berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Ada pula yang mengartikan Syura dengan arti menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu. Kata Syura yang berasal dari bahasa Arab ini, kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi kata musyawarah yang memiliki arti mengumpulkan dan menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok.30 Musyawarah yang terambil dari akar kata syawara menurut Quraish Shihab bermakna ‘mengeluarkan madu dari sarang lebah’. Sejalan dengan makna dasarnya yaitu madu untuk obat. Madu yang dihasilkan oleh lebah. Jadi, musyawarah seharusnya bagaikan lebah yaitu makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan, di manapun hinggap tidak pernah merusak, tak mengganggu kecuali diganggu.31 Dengan demikian, secara tidak langsung, Syura berarti memilih ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang sekiranya memiliki argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat, serta syarat lain yang sekiranya bisa memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang benar.
30
Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam (Ciputat: LSIP, 2004), h. 25-
26. 31
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001), h. 20
Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling bertukar pendapat; syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah. 32 Menurut Imam Syahid Hasan Al-Banna, Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.33 Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan atau mengajukan pendapat dan akhirnya akan diambil satu keputusan. Dengan kata lain juga bisa dikatakan bahwa Syura atau musyawarah itu adalah bertukar pendapat, yang akhirnya menghasilkan suatu ide yang menghasilkan satu keputusan bersama lewat musyawarah. Al-Qurtubi mengatakan bahwa, musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat.34 Dan Ibn al-Arabi pun mengatakan, bahwa musyawarah adalah pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.35
32
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 124. 33 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan AlBanna. Penerjemah, Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 262. 34 Abdul Aziz Dahlan, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 18. 35 Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 21.
Syura, atau pengambilan pendapat dalam Islam, adalah salah satu konsepsi politik di antara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah manyarakat Islam, dan menjadi keistimewaan sistem pemerintahan Islam dari sistem-sistem pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga eksistensinya dalam kehidupan politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, dalam bentuk kekontinuan merujuknya penguasa kepada rakyat untuk melahirkan keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan masyarakat luas, yang berangkat dari kesadaran, kematangan dan pemahaman, dan untuk menjadikan kekuasaan agung atas manusia dekat dengan pemikiran kaidah-kaidah umum bagi umat Islam.36 Secara garis besar pengertian Syura menurut penulis berdasarkan penjelasan sebelumnya adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan atau hukum yang berlandaskan pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling berkaitan yang didasari tuntunan atau kaidah yang terdapat pada Al-Qur’an dan AsSunnah, demi tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama. B. Landasan Syura Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Sejak masa awal dakwah Islam, ketika kaum Muslim di Makkah menjadi pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, al-Qur’an telah menumbuhkan dari mereka suatu masyarakat yang memiliki rasa kesetiakawanan yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan solidaritas, yaitu iman kepada Allah dan menyembahNya dengan mendirikan shalat dan gotong royong dengan tukar menukar pendapat dan menetapi Syura. 36
Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam (Bogor: Al Azhar Press, 2004), h. 196
Dengan demikian,
Syura
dijadikan salah satu
dari elemen-elemen
kesetiakawanan sosial. Disamping itu, Allah telah memuliakan Syura dengan menjadikannya sebagai nama dari salah satu surat dalam Al-Qur’an.37 Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat, namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki dasar fundamental dalam Al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah didalam Al-Qur’an. Karena musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan bernegara Islam dan termasuk kedalam pembahasan Negara, maka pembahasan tentang prinsip Syura pun terdapat dalam Al-Qur’an.38 Ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang berisi anjuran untuk melakukan musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri dari latar belakang yang berbeda. Ayat pertama yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi:
*+ , - '() !"# !$%& 456 /)7 , 2☺ . /1 ghj 8 9:;/< Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
37
Taufiq Muhammad as-Syawi, Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 65-66 38 Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 12-13.
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.39
Ayat pertama ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin yaitu mereka menerima (mematuhi) perintah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah. Ayat kedua yaitu pada surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi:
HI/ G DEF @A☺BC , ☺=>? ⌧NO=$⌧P L9? HIJ-K 45 BE ,R⌧;STU Q$?$:) T 4 B? @ C WCX ;) Z[\] Y= '(,⌧ Y! aK
? HI)D` ^=_? 1$-d c8=: # G gk=Rj e= fK
4☺) Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.40
Ayat kedua ini menjelaskan bahwa menjadikan urusan di antara kaum muslim diselesaikan dengan cara musyawarah. Dan ayat ketiga yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
39 40
Surah As-Syura, Ayat 38 Surah Ali-Imran, Ayat 159
DE'mk< 4l=l
) _ je C 2E'(n6 8 p , BE☺ jo!$⌧K Y! # AHks cqQr< 2E45')7, u p - AS?t m'AS?t= 2E'
wK xU # 5' {U=: zs);S 4 y$*' xU # (
= |"=l s,xR' # ~!
= uC }p - xU a ,
) Y! 6UH&? p , 8=_? * @l^ , TF E 8=: * ☺!$ "J
x⌧? 'mkw!a 8 p , /
x⌧? -Kn6 c \B☺y$ ^=: -*)O!$. * mN1'AS?t= q-r)O 9:c ";* c8 4☺!$B ghhj }m& 8 '$ ' Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.41
41
Surah Al-Baqarah, ayat 233
Ayat ketiga ini menjelaskan bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami istri ingin menyapih anak mereka atas kerelaan dan musyawarah, dengan maksud kemaslahatan anak, mereka sepakat menghentikan susuan atau menyapihnya sebelum sampai masa dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan. Bagi umat Islam As-Sunnah atau hadis merupakan landasan yang kedua setelah Al-Qur’an. Maksud sunnah di sini yaitu sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan,
perbuatan atau
persetujuan.
Sesungguhnya orang berpegang pada sirah Rasul SAW, akan menjumpai bahwa beliau melaksanakan musyawarah disebagian besar urusan kaum muslim, dalam banyak kondisi beliau meminta kepada kaum muslim untuk memberikan pendapat mereka. Dari Abi Hurairah ra, ia berkata:
ِ ا َ ِ َِِْ َ ِ َأَ ًا َأآَْ ُ َُْ َر ِة ُ َْ َرَأ “ Saya tidak melihat seorangpun yang lebih banyak musyawarahnya daripada Rasul SAW terhadap para sahabatnya”42 Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan ditunjuki kepada perkara yang paling benar”.43 Rasulpun pernah mengatakan kembali:
ِْ&َ(َ) ِْ!َ&َْ' $ُ َ%ْ َا#ُِا َذ اﻥْ!َ َر َأَ ُ آ “Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan petunjuk kepadanya”44 42 43
Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 207 Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 98
Hadits
di
atas
menerangkan
dan
menyerukan
betapa
pentingnya
bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik tentang persoalan dunia maupun persoalan akhirat. Karena dengan cara bermusyawarah dapat memudahkan seseorang untuk keluar dari permasalahan yang terdapat pada dirinya.
C. Karakteristik Syura Dalam Islam Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan pengambilan keputusan terikat dengannya. Pendapat majelis Syura pun sekedar bersifat konsultatif, karenanya menjadi relatif dan tidak mengikat sesuai keinginan penguasa. Kewajiban seorang penguasa hanya dalam hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambilpun dipikul penguasa untuk melaksanakan hasil keputusan. Selain itu, Syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas, seperti dikenal dalam konsep demokrasi, dan tidak memberi batas mengenai kuantitas. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku. Adakalanya pemimpin (penguasa) mengambil sebagian pendapat majelis Syura, keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan majelis Syura.45 Tetapi karakteristik ketetapan yang berlaku setelah jelas bagi mayoritas bahwa dialah yang paling dekat kepada kebenaran dan keadilan setelah diadakan dialog dan tukar pendapat bebas adalah bahwa ketetapan itu hanya merupakan ketetapan yang nisbi, tidak qaht’i. Artinya, pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan 44 Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibnu Majah juz II, Ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.1233 45 Zada dan Arofah, Diskursus Politik Islam, h. 29-30
didiskusikan tidak dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat kembali pada kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam Islam.46 Ciri-ciri atau karakter Syura sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan keputusan yang bersifat tidak mengikat, tidak di dasari pada sebuah keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas dan tidak terbatas pada kuantitas saja serta Syura tidak mengenal rumusan baku, sehingga keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak yang bermusyawarah. Akan tetapi keputusan yang diambil dalam Syura adalah sebuah ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun tidak menutup kemungkinan ide atau gagasan yang tidak menjadi ketetapan pada Syura di lain waktu bisa digunakan, tergantung pada situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam hal itu dibolehkan. D. Prinsip-prinsip Syura Dalam Pemerintahan Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal, valid dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta menjunjung tinggi, menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar dalam bermusyawarah. Prinsipprinsip dasar tersebut adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan.47 Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip persamaan dalam musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip bahwa Islam tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang ataupun 46 47
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 107-108. Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 35
hukum, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para penguasa, ataupun rakyat jelata sekalipun, tetap mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum. Al-Qur’an tidak mentolerir perbedaan antara mukmin yang satu dan yang lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan tersebut, Al-Qur’an menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses pengambilan keputusan masyarakat.48 Ada satu contoh dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Setiap kabilah membanggakan ashabiyyat (kepanatikan kepada keluarga, suku, dan golongan) dan nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus kedalam pertentangan, kekacauan politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan ashabiyyat itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh kabilah yang lain yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lain. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lain.49 Contoh tersebut diatas sungguh tidak manusiawi. Manusia dihadapan hukum ataupun keadilan adalah sama. Maupun itu bisa dilihat dari hak-hak pribadi ataupun sipil. Islam juga tidak mengakui secara mutlak apapun bentuk pengistimewaan di antara manusia yang bisa dilihat dalam hak, ras, kesukuan, ataupun warna kulit. Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani Hasbi pada dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya dengan wajar 48
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 122 49 Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 149
dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong menolong dan sifat kepedulian sosial dalam ruang lingkup yang luas.50 Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikannya sebagai pilar kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat adalah “keadilan”. Yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan kepada semua yang berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai individu atau kelompok, atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau mengurangi,
sehingga
tidak
sampai
mengurangi
haknya
dan
tidak
pula
menyelewengkan atau menzhalimi hak orang lain.51 Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan menjadi salah satu sistem perundang-undangan Negara Madinah. Semua warga Negara, baik muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapat keadilan.52 Jadi, keadilan itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta, dan itupun harus adil dan tidak memihak kesalah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban, jujur, mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta tepat menurut peraturan yang sudah ditetapkan. Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari umat manusi, semenjak mereka mulai berfikir. Dari persoalan yang sederhana dalam
50
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 37 Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 128 52 Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 223-224 51
masyarakat, sampai menginjak pada pola kehidupan politik bernegara dalam suatu pemerintahan.53 Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi bila di pahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang menyatakan bahwa bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus ada dasar persamaan dan adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan diterima bersama.54 Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena didalam Musyawarah semua peserta memiliki persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan.55 Prinsip yang ketiga yaitu prinsip kebebasan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan” yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan penjajahan. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.56 Kata bebas di sini sering sekali disalah gunakan. Sebab, bebas sesungguhnya bukan berarti lepas dari segala keterikatan. Justru sebaliknya, bebas di sini selalu mengandalkan keterikatan oleh norma-norma. Begitu juga kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat oleh ikatan-ikatan syar’i.
53
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 38. Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 208. 55 Ibid., h. 208-209. 56 Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, h. 113. 54
Dan kebebasan dalam sosial politik biasanya disebut dengan “kemerdekaan”. Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi substansi Syura adalah kebebasan dan kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam kelompok.57 Jika diperhatikan, ketetapan Piagam Madinah yang tidak eksplisit tentang pentingnya musyawarah dan postulasi historis tentang praktek Nabi melaksanakan musyawarah. Beliau tidak memberi petunjuk mengenai pola dan bentuknya yang tertentu, dan jumlah peserta musyawarah tidak tetap, terkadang beliau hanya bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabatnya, dan terkadang hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Bahkan dalam pengambilan keputusanpun terkadang beliau mengikuti pendapat sahabat, baik pandapat kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan prosedur pengambilan keputusannya, mereka tetap berpegang teguh pada prinsipprinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam berbicara dalam mengemukakan pendapat.58 Prinsip-prinsip Syura dalam pemerintahan meliputi aspek persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan, karena dalam Islam seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an diatur bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia, baik muslim maupun non muslim, antara laki-laki dan perempuan dan antara orang miskin atau rakyat jelata sekalipun, dan tidak dibedakan pula berdasarkan warna kulit atau dibedakan berdasarkan suku. Karena itu semuanya dianggap sama di mata hukum.
57 58
Ibid., h.46-47 Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 215-217.
Dalam arti kata di dalam Syura atau hukum Islam sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Sehingga segala yang diputuskan atau ditetapkan dalam Syura dapat bersifat adil. Karena tujuan bermusyawarah atau Syura adalah menetapkan keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak dan demi kemaslahatan bersama. E. Ijmak Sebagai Substansi Bagi Syura Syura atau musyawarah dalam rangkaian penjelasannya selalu dihubungkan dengan pembahasan tentang ijmak. Ijmak dari bahasa Arab artinya konsensus atau kesepakatan. Dalam istilah ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para imam mujtahid dikalangan umat Islam tentang hukum Islam pada suatu masa pasca Rasulullah SAW wafat. Menurut kebanyakan ulama ushul fiqh, ijmak dipandang sebagai salah satu sumber Islam sesudah Al-Qur’an dan hadis.59 Di samping adanya kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah, kaum muslim pada setiap masa telah bersepakat mengenai wajibnya syura, kendati terjadi berbagai penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa. Menurut Taufiq Asyawi yang dimaksud dengan ijmak adalah bentuk yang sempurna darinya, yaitu ijmak yang komprehensip bagi umat atau suatu hukum syara yang disepakati oleh seluruh anggota. Dan bisa dikatakan juga bahwa ijmak itu adalah kesepakatan umat atas suatu hukum syara.60 Satu contoh, para sahabat ra telah sepakat mengenai kewajiban mengangkat pemimpin umum. Ijmak ini telah banyak dinukil oleh para ulama, di antaranya oleh al-Mawardi yang mengatakan: “ imamah dimaksudkan untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan menangani urusan duniawi. Memberikan akad (ikatan) imamah kepada orang yang melaksanakannya wajib menurut ijmak; 59 60
Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, h.24. Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 99-102
perbedaan yang ada hanyalah mengenai apakah ini wajib menurut akal atau menurut syara’. Sebab, imam melaksanakan urusan-urusan yang berhubungan dengan syari’ah.61 Dan ijmak sahabat juga sebagai salah satu sumber hukum yang banyak menonjol dalam masalah konstitusi dan undang-undang. Syura pun eksis dan gamblang tergambar dalam sistem pemerintahan pada keseluruhan masa Khulafa ‘arRasyidin, bahkan hampir-hampir mereka tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali setelah bermusyawarah, dan yang demikian itu terjadi dalam segala persoalan.62 Pemikiran tentang Ijmak ini telah berkembang sejak masa sahabat sampai masa para imam mujtahid. Sahabat Umar bin Khatab misalnya, pernah mengumpulkan para sahabat untuk bertukar pikiran. Jika mereka bersepakat atas suatu masalah tertentu, umar menjalankan politiknya; tetapi jika bersilisih atau berbeda pandangan, mereka mengkaji kembali permasalahan tersebut sampai mendapatkan kesepakatan. 63 Berdasarkan hasil penjabaran di atas, dapat kita tarik sebuah pemahaman tentang diperbolehkannya syura adalah ijmak sahabat, karena ijmak merupakan salah satu dari sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan apapun yang diputuskan atau ditetapkan pada syura harus melalui kesepakatan para pihak yang sedang bermusyawarah. Pada intinya antara syura dan ijmak saling berkaitan, syura ditetapkan berdasarkan ijmak dan apa yang ditetapkan dalam syura harus berdasarkan ijmak orang yang sedang bermusyawarah.
61
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah Maufur (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 108 62 Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 210 63 Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, h. 25.
F. Komitmen Syura Terhadap Syariat Apabila kita ingin mengetahui Syura lebih jauh, ada baiknya kita terlebih dahulu membatasi pengertian dan harus membedakannya dari apapun yang berhubungan dengan teori-teori impor agar jangan sampai menghasilkan hukumhukum yang tidak tepat. Syura dalam arti yang sempit yaitu sarana yang mewajibkan syari’at untuk mengeluarkan ketetapan dari jamaah yang harus dipegang teguh olehnya, para pribadi, dan penguasa. Sebelum kita menjelaskan komitmen Syura terhadap syari’at, sebaiknya kita terlebih dahulu mengetahui penjelasan Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad yang terlebih dahulu akan menjelaskan perbedaan antara Syura dan demokrasi. Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad berusaha secara sungguh-sungguh menjelaskan perbedaan substansial antara Syura dengan demokrasi Eropa, yaitu bahwa Syura ditegakkan atas dasar akidah dan syariat ilahiyah dengan penjelasan seperti berikut: “ Sesungguhnya pendapat-pendapat seorang muslim tentang kebenaran sistem, keadilan, dan kemerdekaan itu tunduk kepada akidah ketuhanannya dan tidak mendahuluinya. Datangnya bentuk pemerintahan sedunia (pemerintahan Allah), seperti diharuskan oleh kaidahnya, merupakan teladan tertinggi dari pemerintahan yang tidak mengenal kelaliman di dalamnya dan penyelewengan dari syariat atau teladan tertinggi dari pemerintahan demokrasi sebagaimana mestinya.” Mari kita anjurkan kepada orang yang mengatakan bahwa Syura itu sama dengan demokrasi, haruslah menambahkan sifat keislamannya seperti apa yang dilakukan oleh al-Aqqad. Karena tanpa memberikan ciri sifat ini mengakibatkan sebagian orang akan mengambil pengertian bahwa demokrasi sudah cukup tanpa
syariat. Mereka akhirnya hanya mencukupkan bahwa demokrasi atau suara mayoritas itu suatu perkara yang cukup bernilai dan dapat dianggap sah tanpa harus dibahas sampai dimana komitmennya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah.64 Telah dijelaskan di atas bahwa antara syura dan demokrasi itu berbeda, karena syura didasari pada akidah dan syariat ilahiyah. Karena dengan dilandasi pada akidah dan syariat ilahiyah dapat menghindarkan pengambilan keputusan yang bersifat otoriter dari pemimpin atau orang yang memiliki kepentingan terhadap sebuah permasalahan. Dan pada proses penetapan dan pengambilan keputusannya pun berbeda antara syura dan demokrasi, karena dalam syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas seperti yang terdapat pada demokrasi. Oleh karena itu pengambilan keputusan dalam syura terasa lebih adil, dapat diterima oleh semua pihak yang terkait dan dapat dipertanggung jawabkan oleh pemimpinnya.
G. Syura dan Demokrasi Di awal bab ini sudah dijelaskan definisi Syura dari beberapa pendapat di antaranya seperti yang dikatakan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.65 Adapun demokrasi secara etimologi berasal dari kata “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “Cratein” yang berarti kekuasaan atau
64 65
Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 105-106. Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, h. 262.
kedaulatan. Jadi “Demos-Cratein” atau demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya, kedaulatan di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.66 Dan demokrasi juga selalu menjadi wacana karena demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudayaan. Selalu ada perdebatan antara Islam dan demokrasi maupun Syura dan demokrasi. Dan di sini bisa kita lihat ada beberapa kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dalam melihat hubungan antara demokrasi dan Islam. Kelompok pertama, yaitu mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam. Alasannya karena Islam berasal dari Allah, sedangkan demokrasi merupakan hasil karya manusia. Dan alasan yang kedua, demokrasi merupakan kedaulatan rakyat, sedangkan Islam adalah hukum Allah. Alasan yang ketiga, demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak padahal suara terbanyak belum tentu merupakan suatu kebenaran. Alasan yang keempat, demokrasi merupakan sesuatu hal yang baru, dan itu termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama, sedangkan generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya demokrasi. Alasan yang kelima, demokrasi merupakan produk bangsa Barat. Kelompok yang kedua, mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika negara, rakyat, dan tanah air. Kelompok yang ketiga, mereka menyatakan bahwa unsur positif dalam demokrasi pada hakikatnya merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan
66
h. 129
Inu Kencana Syafi’i, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005),
ajaran Islam. Salah satu pemikir Islam yang termasuk dalam kelompok ketiga ini adalah Yusuf Al Qardawi. Yusuf Al Qardawi melihat bahwa di dalam demokrasi terdapat dasar-dasar Syura, juga aspek nasehat dalam agama, amar makruf dan nahi munkar, saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, menegakan keadilan, memberantas kezhaliman dan mencapai maslahat sekaligus menghindari dari kerusakan dan sebagainya. Ia menambahkan bahwa demokrasi yang diinginkan ialah demokrasi yang tetap mengedepankan dan mengagungkan keyakinan, norma, dasar-dasar agama, wawasan dan akhlak, serta memprioritaskan semua nilai luhur tersebut di atas demokrasi itu sendiri.67 Secara filosofis supremasi perintah Tuhan (syari’ah) yaitu sebagai standar dasar, yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi di terapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsipprinsip musyawarah atau Syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
67 Yusuf Al Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme. Penerjemah Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008), h. 193-194.
BAB IV PRAKTIK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATTAB
A. Pemilihan Umar bin Khattab Sebagai Khalifah Ketika Abu Bakar sakit keras dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia segera memutuskan untuk mengangkat pengganti dirinya. Abu Bakar tampaknya tidak mau mewariskan konflik dalam menentukan posisi kepemimpinan umat Islam seperti yang pernah terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu pasukan muslim sedang berperang melawan tentara Romawi dan Persia. Mereka tentunya sangat membutuhkan dukungan moral dan politis dari Madinah. Atas dasar itulah Abu Bakar memutuskan untuk menyiapkan calon penggantinya.68 Maka bermusyawarahlah Abu Bakar dengan Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dari kaum Muhajirin dan As’ad ibn Khudair dari Anshar. Demi kemaslahatan umat Abu Bakar meminta bahwa kesepakatan penunjukan Umar sebagai khalifah pengganti agar tidak sampai bocor.69 Setelah melihat bahwa mereka semua sependapat dengannya dalam masalah ini, dia mendiktekan kepada Ustman bin Affan surat wasiatnya yang tertulis sebagai berikut, “ Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Inilah yang diwasiatkan oleh Abu Bakar kepada kaum muslimin. Amma ba’du, sesungguhnya aku telah menunjuk untuk kalian Umar ibnu Khattab sebagai khalifah pengganti. Kemudian seperti yang disebutkan oleh ath-Thabari, Abu Bakar memandang khalayak ramai (setelah mendiktekan wasiatnya itu), seraya berkata, “Apakah kalian rela dengan orang yang aku tunjuk sebagai khalifah untuk kalian? Demi Allah, 68
Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h.23 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 68 69
sesungguhnya aku tidak melakukan ini tanpa bermusyawarah dan aku juga tidak menunjuk sanak kerabat, dan sesungguhnya aku telah menunjuk Umar ibnul Khattab sebagai khlaifah pengganti untuk kalian. Maka dengarkanlah dia dan taatilah.” Merekapun menyambut serempak,” Sami’naa wa athaa’naa (kami mendengar dan kami taat)70 Dipilihnya Umar bin Khattab pada waktu itu dipercaya sebagai ketua lembaga peradilan negara; dan secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah nantinya. Pilihan ini tidak serta merta diputuskannya sendiri, melainkan juga dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan para sahabat besar. Setelah disepakati, baru diumumkan calon khalifah penggantinya itu.71 Dikukuhkannya Umar sebagai khalifah mempunyai nilai yang sangat penting bagi perkembangan Islam sebagai kekuatan politik. Pada masanya, sebuah pemerintahan yang solid dan didukung oleh birokrasi yang cukup sophisticated terpancang dari semenanjung Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia, sampai Mesir. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya mendapat respek yang luar biasa dari umat Islam, kecuali golongan Syiah.72
B. Implementasi Nilai-nilai Syura pada Masa Pemerintahan Umar bin Khattab Kepemimpinan umat telah diserahkan kepada Umar bin Khattab melalui bay’at. Khalifah Umar memegang tampuk pemerintahan berarti ia memegang amanat
70
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah, Abdul Hayyi al-Kattani, (Jakarta: aGema Insani Press, 2001), h. 134 71 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 104 72 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), h. 23-24
kepemimpinan. Umar berupaya menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, sekalipun ia telah mempunyai kekuasaan, namun Umar tidak ingin mengandalkan segala tindakannya kepada faktor kekuasaan. Bahkan dengan musyawarah tersebut, kekuasaan dan kewibawaan Umar semakin nampak integritasnya terhadap umat, sebagaimana yang diucapkan dalam pidatonya bahwa ia seperti salah seorang diantara mereka, karenanya Umar tidak bisa melepaskan diri dari sahabatnya. Akan tetapi sebagai kepala Negara Umar merasa bertanggung jawab dan siap menerima pendapat melalui berbagai aktivitas musyawarah yang dilaksanakan.73 Seperti yang sudah diketahui, bahwa Umar diangkat menjadi khalifah melalui musyarawah yang sekaligus menunjukkan bahwa masa pemerintahan Abu Bakar telah berakhir. Dan Umar tetap memperhatikan musyawarah dalam kepentingan umat, dan disamping itu juga memperlihatkan komitmennya terhadap syura. Musyawarah telah ada sejak masa pemerintahan Abu Bakar dan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, dan dari sinilah Umar bin Khattab menbangun musyawarah yang merupakan pengembangan dari dasar-dasar prinsip musyawarah yang telah ada dan di bangun dari masa kepemimpinan sebelumnya. Dan oleh Umar bin Khattab prinsip-prinsip ini diperkuat menjadi suatu institusi untuk menghargai pendapat umat. Mulai dari sinilah Umar memberikan hak dan kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya suatu lembaga musyawarah (Majlis Syura) dalam pemerintahan. Pembentukan lembaga ini menunjukkan suatu perkembangan yang luar biasa pada saat itu. Karena dengan adanya lembaga tersebut suatu hasil keputusan yang diangkat dari lembaga Majlis Syura dan segala keputusan yang diambil bisa lebih terarah dan dapat cepat diselesaikan. 73
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001), h. 107
Pada masa pemerintahan Umar aktivitas musyawarah semakin meningkat dibanding sebelumnya, karena pada waktu itu banyak permasalahan yang harus dihadapi, disamping perkembangan Islam yang semakin melebar. Persoalan masalah kenegaraan maupun keagamaan itupun timbul dan harus dibicarakan dalam forum musyawarah. Umar bin Khattab sangat menghormati para sahabat dan memanfaatkan kreatifitas pemikiran dan pendapat mereka, karena para sahabat tersebut menurut Umar
merupakan
peserta
musyawarah
yang
memiliki
hak
utama
untuk
mengungkapkan pendapat secara jelas. Mereka itu para sahabat ahl al syura yang berdomisili di kota Madinah dan tidak diperkenankan meninggalkan kota. Berikut disampaikan nilai-nilai syura sebagai berikut:
1. Persamaan dan Kebebasan Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang terbesar sepanjang sejarah
Islam
sesudah
Nabi
Muhammad.
Kebesarannya
terletak
pada
keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli, dalam membangun sebuah Negara besar yang ditegakkan atas prinsipprinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai mujtahid, Umar termasuk pada ranking pertama dalam tujuh besar sahabat-sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa, dan orang terdepan membawa panji-panji mazhab ra’y yang kepergiannya ke hadirat Allah dengan membawa sembilan persepuluh ilmu, menurut Bin Mas’ud.74 Umar juga berusaha menanamkan rasa persamaan dan kemerdekaan di kalangan rakyatnya. Satu contoh pada saat ia melakukan tindakan tegas kepada 74
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Bin Al-Khattab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428), h. 31-32.
pemilik tanah, tapi di sisi lain juga ia ramah kepada rakyat biasa. Para jenderal dan gubernur pun selalu mengigil ketakutan disaat berhadapan dengan Umar. Tapi sebaliknya, orang-orang kecil dan rakyat akan merasa bebas untuk mengomentari pembicaraannya saat dia berada didepan publik. Dari situ kondisinya memang sangat terlihat menggambarkan sebuah persamaan dan kemerdekaan. Selain itu, persamaan di depan hukum dalam islam dipertegas lagi dengan persamaan di depan peradilan. Semua warga Negara sama di depan peradilan, baik dari segi kepatuhan mereka terhadap keputusan, prosedur yang dipenuhi dalam melakukan
dakwaan,
dasar-dasar
pengaduan,
prinsip-prinsip
memutuskan,
pelaksanaan keputusan, pelaksanaan hukum maupun kewajiban berlaku adil di antara orang yang berselisih. Tidak ada perbedaan satu individu dengan yang lain, bahkan musuh pun merasakan keadilan dan persamaan di depan peradilan.75 Dan khalifah Umar bin Khattab mengusahakan dan memperjuangkan prinsip persamaan di depan undang-undang, yang merupakan suatu ijtihad luar biasa dari Umar yang didasarkan pada sumber hukum Islam, dimana sampai saat ini masih banyak negara yang hendak mewujudkan prinsip-prinsip ini. Hal ini dapat dilihat juga dari beberapa peristiwa revolusi yang terjadi di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19 yang tidak lain bertujuan untuk mewujudkan adanya persamaan di depan undangundang dan pengadilan. Umar telah mengusahakan prinsip persamaan di depan undang-undang dan pengadilan ini atas dasar hukum Islam sejak Umar menjabat sebagai khalifah karena Umar memang sudah menghadapi perkembangan orangorang Arab dari keadaan kesukuan di pedalaman yang memang tidak mengenal administrasi pemerintahan dan pengadilan masyarakat kepada keadaan sebagai
75
Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 9
masyarakat madani serta sistem Islam yang berdiri di atas dasar persamaan di depan undang- undang dan di depan pihak yang melaksanakan undang-undang itu. Di bidang ekonomi, Umar menerapkan sistem intervensi pemerintahan (kebebasan positif) dalam hal tertentu dengan membuat kebijakan baru, seperti tanahtanah pertanian yang baru dibebaskan oleh tentara Islam di negeri Syiria. Irak, Persia dan Mesir. Dinasionalisasikan, penggarapannya tetap pemilik asli yang lama dengan syarat mereka dikenakan pajak penghasilan. Hasil pajak itu dibagikan kepada seluruh lapisan masyarakat.76 Dengan diterapkannya sistem tersebut semua pihak dapat merasakan keadilan dan semuanya merasa diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan sehingga semuanya dapat menikmati hasil dari pertanian yang digarapnya. Rakyat yang kurang mampu atau yang tidak terlibat dalam urusan penggarapan pertanian juga dapat menikmati hasilnya melalui perbaikan sarana dari hasil pajak yang diambil dari keuntungan penghasilan pertanian tersebut.
2. Penegakkan Keadilan/Hukum Dalam melaksanakan pemerintahan, Umar membuat beberapa peraturan baru. Peraturan tersebut dihasilkan atas dasar musyawarah. Misalnya, pembinaan pemerintahan dengan mendirikan kantor-kantor, meletakan dasar-dasar peradilan dan administrasi, membentuk bait al-mal, mengatur jaringan pos, dan menempatkan pasukan-pasukan di daerah perbatasan. Dengan banyaknya tugas yang diemban oleh Umar, Umar senantiasa meminta pendapat dari para sahabat besar dalam
76
Ibid; h, 135
menyelesaikan beberapa permasalahan melalui lembaga permusyawaratan yang telah dibentuknya.77 Lembaga permusyawaratan ini terbagi menjadi tiga. Yaitu, sidang umum, sidang khusus, dan sidang terbatas. Pertama sidang umum. Yaitu merupakan pertemuan bagi khalayak umum di kota Madinah. Dari situ, mereka diundang untuk hadir di masjid Nabawi dan setelah melaksanakan shalat mereka berkumpul dan khalifah Umar pun menyampaikan permasalahan yang perlu dibicarakan. Dalam sidang umum seperti ini peserta musyawarah terdiri dari sejumlah besar warga masyarakat dan para sahabat yang sekiranya mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing. Lembaga permusyawaratan yang kedua yaitu sidang khusus, sidang ini biasanya dilaksanakan dengan anggota tetap majelis, yang diadakan pada waktuwaktu tertentu setelah sidang umum selesai. Di sini, khalifah memerlukan pendapat orang-orang yang dipandang sebagai ahl al-hall wa al-aqd. Bila ia belum dapat memutuskan suatu masalah meskipun masalah itu sebelumnya telah dipersoalkan dalam sidang umum, atau ada di antara para sahabat yang belum merasa puas dengan hasil kesepakatan sidang umum. Sehingga keputusan tersebut belum dapat dikatakan sebagai hasil final, tetapi baru merupakan suatu usulan yang mendapat dukungan mayoritas peserta musyawarah. Kemudian sahabat besar bermusyawarah kembali dengan khalifah. Inilah yang dikatakan sebagai kategori sidang khusus.78 Lembaga permusyawaratan yang ketiga yaitu sidang terbatas. Sidang ini hanya dilakukan bila ada suatu permasalahan yang dihadapkan kepada khalifah. Sebetulnya, permasalahan tersebut bisa saja hanya khalifah sendiri yang
77 78
Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 107. Ibid., h. 109
memutuskannya. Akan tetapi, ia masih tetap melaksanakan musyawarah dengan para sahabat meski dalam jumlah terbatas. Dan pada masa pemerintahan Umar juga ada beberapa bentuk sidang. Yaitu sidang resmi dan sidang darurat. Sidang resmi biasanya diadakan di ibu kota Negara, sedangkan sidang darurat tidak mesti diadakan di ibu kota, disamping tidak terikat dengan peraturan-peraturan. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah ada seorang laki-laki yang mencuri suatu barang di bait al-mal tetapi Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan kepada pencuri itu. Dan juga ada beberapa budak mencuri seekor unta, itupun tidak diberi hukuman potong tangan karena terbukti kelaparan. Jadi, bagi Umar tidak selamanya hukuman potong tangan itu harus dilaksanakan. Penangguhan potong tangan juga dilaksanakan dalam peperangan. Larangan Rasulullah untuk memotong tangan-tangan pencuri dalam peperangan diartikan oleh Umar agar pencuri ketika itu tidak lari dan bergabung dengan musuh. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu jelas mempengaruhi pemikiran Umar dalam menerapkan ketentuan ayat yang menerangkan tentang hukuman potong tangan, sehingga penafsirannya tidak kering dan terpaut dengan teks-teks perundangundangan dalam Islam. Selain itu pertimbangan Umar tidak melakukan pemotongan tangan juga bertolak dari pengecualian yang ditentukan dalam Al-Qur’an terhadap orang yang berada dalam keterpaksaan.79 Pada waktu Umar menjabat sebagai khalifah juga pernah tidak membagikan zakat kepada salah satu muallaf. Karena Umar berpendapat pada waktu itu Nabi masih hidup orang-orang muallaf diberikan zakat dengan tujuan untuk memperkuat Islam, tetapi pada masa Umar keadaan itu sudah berubah dan Islam pun sudah kuat. Dengan demikian bagian itu sudah tidak berlaku lagi. 79
Nuruddin, Ijtihad Umar Bin Khattab, h. 35.
Dalam memelihara keutuhan Negara, Umar pun memerlukan adanya kekuatan militer yang tangguh. Umar pun mulai membentuk tentara reguler dengan sistem imbalan oleh Negara dari baitul mal. Baitul mal dalam hal ini memiliki fungsi sebagai kas Negara dan pusat pembekalan Negara. Dalam hal ini terkenal Diwan Umar, yaitu suatu daftar orang-orang dalam lasykar yang diatur menurut suku masing-masing. Diwan itu juga memberikan ketetapan jumlah gaji yang harus diterima. Malah lebih jauh diwan tersebut menjelaskan pengelompokan jumlah gaji tersebut berdasarkan masa waktu mereka memeluk Islam.80 Pada masa Umar juga penjara mulai didirikan. Awal mulanya Umar membeli rumah Shafwan bin Umayyah seharga empat ribu dirham untuk dialihfungsikan menjadi penjara. Dan akhirnya penjarapun didirikan. Awalnya penjara tersebut ditempatkan bagi para pelanggar kejahatan saja. Tetapi, orang yang berutang dan tidak mampu bayarpun dikirim ke penjara. Lembaga konsultasi hukum yang juga merupakan pendamping lembaga pengadilan dan penegakkan hukum itu juga ada dalam pemerintahan Umar. Lembaga ini berfungsi untuk masyarakat awwam yang ingin memperkarakan suatu hal di pengadilan, mengetahui hak dan kewajiban mereka dimata hukum. Maksud Umar membentuk lembaga tersebut untuk rakyatnya mengenai peraturan hukum. Jika ada orang ingin mengetahui hukum sesuatu, ia dapat menanyakan pada ahli hukum yang diangkat Umar di setiap kota atau pemukiman yang besar. Dibidang hukum juga Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dan Umar juga orang yang pertama meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang di,kirim kepada Abu Musa Al-Asyary. Risalah
80
Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 38
tersebut kemudian disebut Dustur Umar (konstitusi Umar), atau risalah Al-Qadha (surat peradilan). Untuk meningkatkan mekanisme pemerintahan di daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf, seperti sekretaris kepala, sekretaris militer, pejabat perpajakan, pejabat kepolisian, pejabat keuangan, dan hakim serta pejabat jawatan keagamaan.81 Dalam masa pemerintahan Umar sangat menjunjung tinggi keadilan dan persamaan hak di depan hukum, contohnya pada masa itu Mesir yang merupakan salah satu provinsi dalam daerah kekuasaan Umar terdapat rumah seorang yang beragama Yahudi yang letaknya bersebelahan dengan istana gubernur, dan rumah tersebut akan dirobohkan oleh gubernur untuk dijadikan taman kota, akan tetapi orang yahudi tersebut menolak rumahnya untuk dirobohkan, dia mengadu kepada gubernur, namun tidak dihiraukan oleh sang gubernur, akhirnya orang Yahudi tersebut melapor kepada khalifah Umar, dan Umar mengirimkan pesan berupa tulang Unta yang telah diberi garis lurus oleh pedang khalifah Umar. Kemudian pesan tersebut diterima oleh gubernur Mesir tersebut, setelah menerima pesan dari khalifah Umar, gubernur langsung meminta maaf kepada orang yahudi dan mendirikan kembali rumah orang Yahudi itu. Dalam pesan itu tersirat betapa adilnya Umar terhadap rakyat dan betapa tegasnya Umar terhadap para anak buahnya yang menjalankan pemerintahan. Khalifah Umar sangat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan, baik persoalan yang menimpa rakyatnya ataupun masalah tentang hukum dalam agama, Umar tidak selalu sendirian dalam menyelesaikannya setiap permasalahan itu, lebih banyak Umar menyelesaikan permasalah tersebut dengan para ahli syura yang memang memiliki kompetensi di bidangnya masing-
81
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakar Hingga Nasr dan Qardhawi (Jakarta: Hikmah, 2003) h. 41
masing, sehingga setiap keputusan yang diambil bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyatnya.
3. Prioritas Musyawarah dalam Hal-hal yang Menyangkut Orang Banyak Dalam syari’ah Islam ditegaskan bahwa kebijaksanaan pemimpin yang menyangkut rakyat harus mengikuti prinsip kemaslahatan dan ini merupakan kaidah yang sudah disepakati oleh para imam. Seorang pemimpin menempatkan dirinya dihadapan Allah seperti kedudukan wali kepada anak yatim. Hal ini seperti yang dicontohkan dalam hal pengelolaan baitul mal. Jika seseorang membutuhkan maka bisa mengambil dari harta itu, dan jika kebutuhannya sudah cukup maka harus mengembalikannya, dan bagi yang berkecukupan maka harus menahan diri untuk tidak mengambil hak di baitul mal itu. Jika seorang pemimpin membagikan zakat hendaklah membagikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan tidak boleh berlebihan dalam pembagian. Hal ini berarti membagi rata jika kebutuhannya juga sama. Seorang pemimpin tidak boleh mengesahkan wasiat kepada orang yang tidak memiliki ahli waris lebih dari sepertiga hartanya. Juga, seorang pemimpin tidak boleh mengeluarkan harta dari baitul mal lalu memberikannya kepada orang yang tidak membutuhkan dan mengabaikan orang yang membutuhkan. Umar bin Khattab pernah mengangkat Amar bin Yasir sebagai imam shalat dan sekaligus komandan perang. Kemudian mengangkat Abdullah bin Mas’ud menjadi hakim dan mengurus baitul mal, mengangkat Utsman bin Hunaif menangani pembagian tanah. Umar memberi gaji atau tunjangan harian bagi tiga orang ini, berupa seekor kambing yang diambil dari baitul mal, dan harus dibagi diantara mereka bertiga. Bagian lambung dan perutnya menjadi bagian Amar. Seperempat
bagian yang lain menjadi bagian Abdullah bin Mas’ud, dan seperempat bagian lagi menjadi bagian Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini, Umar berkata, “Aku menempatkan diriku di tengah kalian dalam menangani harta ini seperti kedudukan wali yatim. Dalam surah An-Nisa ayat 5 disebutkan,” Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut cara yang patut.” Atas dasar inilah pemimpin tidak boleh melebihkan pembagian dan harus membagibagikannya di antara orang-orang muslim menurut haknya. Khalifah Umar dalam menjalankan pemerintahanya selalu memperhatikan kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadinya, bagi Umar seorang pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang tahu apa yang dibutuhkan oleh orang yang dipimpinnya atau rakyatnya, Umar pun tidak segan-segan berkorban untuk kepentingan rakyatnya, contohnya Umar terjun langsung untuk melihat keadaan rakyatnya, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dari keputusan yang sudah ditetapkannya dan Umar terhindar dari perbuatan zalim yang dilarang oleh agama. 4. Pembentukan Tim Suksesi Pemilihan Utsman bin Affan Ketika Umar menghadapi sakaratul maut setelah ditikam oleh orang Majusi, Abu Lu’lu’ah, Umar menunjuk enam orang sahabat besar.82 Keenam sahabat besar yang merupakan khalifah tersebut bermusyawarah dan memilih salah seorang di antara mereka, setelah bertanya kepada khalayak ramai. Setelah Umar meninggal dunia, mereka menyerahkan urusan penyelidikan dan permusyawarahan dengan rakyat kepada salah seorang di antara mereka, yaitu Abdurrahman bin Auf. Setelah
82
Mereka adalah Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, az-Zubair binul Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah.
terus menerus bermusyawarah dengan masyarakat selama tiga hari, Abdurrahman bin Auf mendapatkan bahwa sebagian besar rakyat lebih memilih Utsman bin Affan. Maka, ia mengadakan pertemuan umum di masjid Madinah, dan setelah saling mengeluarkan pendapat, pertemuan tersebut berakhir dengan diangkatnya Utsman bin Affan sebagai khalifah yang diikuti dengan pembaiatan oleh seluruh manusia secara aklamasi.83 Musyawarah atas terpilihnya Utsman berawal dari gagasan Umar sebelum ia wafat. Setelah Umar wafat berkumpulah para ahl al syura di rumah al-Miswar bin Makhramat selama beberapa hari untuk membahas mengganti khalifah. Pada pertemuan pertama belum membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan yang terlihat hanya persaingan antara Bani Umiyah dan Bani Hasyim yang masing-masing pihak mencalonkan Utsman dan Ali. Ketika itu Abdurahman bin Auf mengusulkan kepada anggota sidang majelis dengan tawaran siapa yang akan mengundurkan diri sebagai calon, dialah yang diberi hak penuh untuk menetapkan siapa yang akan menjadi khalifah. Hal tersebut tidak didukung oleh seorangpun peserta musyawarah. Hal ini dimanfaatkan oleh Abdurahman bin Auf untuk mencabut dirinya sebagai calon khalifah dan meminta kepada peserta musyawarah agar ditunjuk sebagai ketua pemilihan dan akhiranya hal tersebut disetujui oleh anggota majelis, kecuali Ali bin Abu Thalib yang hanya bersikap diam. Pada akhirnya, Ali berkata setelah didesak oleh Abdurahman bin Auf untuk berjanji bahwa Abdurahman bin Auf tidak akan mengikuti hawa nafsu serta tidak memilih keluarga ia sendiri dan tidak akan membuat umat dalam keadaan susah. Dari perkataan Ali tersebut, terlihat kekhawatiran Ali
83
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori politik Islam. Penerjemah, Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 135
terhadap ketua pemilihan karena adanya hubungan keluarga bagi calon-calon yang akan dipilih. Abdurahman bin Auf sendiri tidak terlalu berambisi untuk menggunakan wewenang peserta musyawarah yang diamanatkan kepadanya. Hal ini dibuktikan Abdurahman bin Auf dalam menggunakan cara bermusyawarah. Abdurahman bin Auf tidak hanya mengandalkan sidang-sidang resmi saja, tetapi juga menggunakan cara dengan berkeliling menemui para tokoh atau semacam melakukan dengar pendapat dengan orang-orang di luar sidang majelis yang terkemuka, yaitu sahabatsahabat besar, bahkan panglima dan para cendikiawan di Madinah. Dari hasil musyawarah dengan para tokoh yang ada dalam dengar pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa mayoritas umat lebih cenderung kepada Ustman bin Affan. Tindakan Abdurahman bin Auf ini merupakan referendum untuk mengetahui sejauh mana pendapat umat, dan hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ketika sidang musyawarah akan dimulai lagi, perdebatan sengit terjadi antara pendukung Utsman dan Ali. Hal ini menunjukan bahwa dalam bermusyawarah dibolehkan adanya kebebasan dan kemerdekaan dalam berpendapat. Sebagai contoh, ketika Ali ditanya terlihat bahwa ia enggan untuk berjanji apabila ia menjabat sebagai pemimpin untuk bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta kedua khalifah sebelumnya. Ali menjawab dengan kalimat spontanitas dan kurang tegas, ia pun berkata, “Saya berharap demikian, saya akan berbuat sesuai dengan ilmu dan kemampuan saya. Saya akan memberikan yang terbaik.”. Hal ini dapat dimaklumi karena Ali dikenal sebagai sahabat yang luas ilmu, dan seorang yang sholeh, sehingga ia melihat segala sesuatu sesuai dengan pandangan dan pengetahuannya. Meski sikap ini dinilai kurang menguntungkan secara politis, karena seorang pemimpin dituntut
untuk bersikap tegas dalam menghadapi segala permasalahan dan persoalan hidup yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan ini, Utsman bin Affan menjawab dengan tegas, ia berkata, “iya, saya laksanakan”. Dan secara politis Utsman memperoleh kemenangan karena ia telah menyakinkan ketua pemilihan Abdurrahman bin Auf dihadapan para anggota sidang majelis dan para pemuka dengan sikapnya yang tegas dan pantas dan menjadi pemimpin. Abdurrahman bin Auf langsung mengucapkan kalimat syahadat bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya dan kemudian membai’at Utsman sebagai khalifah diikuti oleh para hadirin peserta sidang musyawarah. Pelaksanaan musyawarah untuk menentukan khalifah ketiga ini lebih baik dari sebelumnya walaupun masih ada beberapa pihak yang merasa kurang puas. Dari segi perolehan suara, Utsman mendapatkan tiga suara sementara Ali memperoleh dua suara. Keputusan hasil musyawarah ini tidak hanya berdasarkan semata-mata dari hasil sidang, tetapi juga memperhatikan pendapat umum warga masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kegigihan Abdurrahman bin Auf saat menemui para tokoh dan para intelektual untuk melakukan dengar pendapat, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ketua pemilihan melakukan kecenderungan untuk tidak adil. Dalam pelaksanaan musyawarah pemilihan khalifah ketiga ini, meskipun atas prakarsa Umar sebelum wafat -sebagaimana halnya Rasulullah- Umar lebih suka meninggalkan masalah kepemimpinan itu tetap terbuka dan membiarkan umat atau masyarakat memecahkan persoalan dan permasalahan mereka sendiri. Berbeda dengan Rasulullah, Umar lebih memilih untuk menyerahkan persoalan tersebut kepada suatu tim atau majelis yang merupakan perwakilan umat. Hal ini menunjukan bahwa adanya perkembangan dalam pelaksanaan musyawarah yang berbeda dengan apa yang telah dilaksanakan oleh khalifah pertama Abu Bakar Siddiq. Pemilihan
khalifah ketiga ini dapat dikategorikan sebagai musyawarah yang terakhir dalam pemerintahan Umar bin Khattab sekaligus ini juga merupakan awal musyawarah dari era pemerintahan Utsman bin Affan. Pada dasarnya pada masa kepemimpinan Umar tetap melanjutkan sistem musyawarah atau syura yang sebelumnya sudah di gariskan dalam Al-Qura’an dan yang sudah ada pada masa khalifah Abu Bakar, namun tidak hanya sekedar melanjutkan saja, tapi Umar juga ikut andil dalam menyempurnakan tata cara pelaksanaannya, sehingga pada masa kepemimpinannya syura merupakan sebuah pencapaian yang gemilang dari masa pemerintahan khalifah Umar, karena beragam masalah atau persoalan sudah banyak yang diselesaikan dengan jalan bermusyawarah atau dengan cara syura.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pada pemaparan bab-bab sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, proses pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah di awali ketika Abu Bakar merasa bahwa ajalnya telah dekat, Abu Bakar merasa harus memilih pengganti dirinya sebagai khalifah. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat atau orangorang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah. Pada waktu itu sebagian sahabat menentang pencalonan Umar karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Namun setelah para sahabat itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun akhirnya menyepakati pencalonan Umar untuk menjadi pengganti Abu Bakar. Kemudian Umar diangkat sebagai penerus Abu Bakar disertai para sahabat untuk membai’at Umar sebagai khalifah. Umar diangkat menjadi khalifah melalui musyarawah yang sekaligus menunjukkan bahwa masa pemerintahan Abu Bakar telah berakhir. Umar berupaya menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dan memperlihatkan komitmennya terhadap syura. sekalipun ia telah mempunyai kekuasaan, namun Umar tidak ingin mengandalkan segala tindakannya kepada faktor kekuasaan. Akan tetapi sebagai kepala Negara Umar merasa bertanggung jawab dan siap menerima pendapat melalui berbagai aktivitas musyawarah yang dilaksanakan. Musyawarah telah ada sejak masa pemerintahan Abu Bakar dan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, dan dari sinilah Umar bin
Khattab membangun musyawarah yang merupakan pengembangan dari dasar-dasar prinsip musyawarah yang telah ada dan di bangun dari masa kepemimpinan sebelumnya. Dan oleh Umar bin Khattab prinsip-prinsip ini diperkuat menjadi suatu institusi untuk menghargai pendapat umat. Umar memberikan hak dan kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya suatu lembaga musyawarah (Majlis Syura) dalam pemerintahan. Pembentukan lembaga ini menunjukkan suatu perkembangan yang luar biasa pada saat itu. Karena suatu hasil keputusan diangkat dari lembaga tersebut. Umar bin Khattab sangat menghormati para sahabat dan memanfaatkan kreatifitas pemikiran dan pendapat mereka, karena para sahabat tersebut menurut Umar
merupakan
peserta
musyawarah
yang
memiliki
hak
utama
untuk
mengungkapkan pendapat secara jelas. Selanjutnya
dapat dilihat nilai-nilai syura yang terdapat pada masa
pemerintahan Umar bin Khatab meliputi Persamaan dan kebebasan, Penegakkan keadilan/hukum. Umar mengatakan bahwa di dalam bermusyawarah itu tidak ada perbedaan di depan hukum. Baik itu dilihat dari suku, miskin atau kaya, pejabat atau pegawai biasa, itu sama dimata hukum. Dan Umar juga memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk menegur hal apapun kepada kepala Negara nya apabila melanggar peraturan yang subah ditetapkan.
Prioritas musyawarah dalam hal-hal yang
menyangkut orang banyak. Karena kebijaksanaan seorang pemimpin yang menyangkut rakyat itu harus mengikuti prinsip kemaslahatan, dan ini merupakan suatu kaidah yang sudah disepakati oleh para imam. B. Saran Pemimpin merupakan tokoh penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik dan tidaknya sebuah pemerintahan ditentukan oleh sikap atau perilaku yang dilakukan
oleh pemimpinnya, maju atau mundurnya sebuah Negara juga tergantung pada pemimpinnya. Karena seorang pemimpin yang adil dan bijaksana merupakan sumber dari sebuah pengelolaan pemerintahan dan Negara yang baik. Hal itu dapat tercermin pada seorang pemimpin yang menerapkan sistem syura pada pengambilan keputusannya di dalam pemerintahan. Syura bukan hanya kata tanpa makna, namun syura merupakan sebuah kata yang sarat akan makna yang berartikan suatu cara dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu jangan hanya memaknai kata syura pada tataran kehidupan bernegara dan kehidupan berpolitik saja, walaupun kita tidak dapat terlepas dari seputar permasalahan tersebut, namun juga harus dipahami bahwa syura merupakan salah satu perintah yang ada di dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat global dan universal maka suatu keharusanlah untuk setiap umat Islam melaksanakan perintah tersebut dalam menghadapi berbagai permasalahan. Syura pada saat ini masih bisa dilakukan, karena dalam syura terdapat nilainilai keadilan dan dapat menyelesaikan beragam masalah. Akan tetapi pada saat ini sudah banyak orang atau pihak yang meninggalkan syura, khususnya di Negara kita Indonesia, kebanyakan orang lebih menerapkan sistem demokrasi dari Barat dan lebih mengutamakan suara mayoritas dalam menyelesaikan masalah, baik masalah tentang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, contohnya dalam mencari pemimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah Maufur Jakarta: Robbani Press, 2000. Ahmad, Mumtaz. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1993. Al Akkad, Abbas Mahmoud. Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme. Penerjemah Khoirul Amru Harahap Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008. Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan AlBanna. Penerjemah Wahid Ahmadi Solo: Era Intermedia, 2001. Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam Bogor: Al Azhar Press, 2004. Qardhawy, Yusuf. Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999. Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman Yogyakarta: UII Press, 2000. Anwar, Hamdani. “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. As-Syawi, Taufiq Muhammad. Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Asyri, Zul. Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin Jakarta: Kalam Mulia, 1996. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Fadlali, Ahmad dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004. Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Penerjemah Ali Audah Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002. Hakim, Masykur. Pemikiran Politik Islam Modern Jakarta: Pelita Insani, 2002.
Hasbi,Artani. Musyawarah dan Demokrasi Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001. Murad, Mustafa. Kisah Hidup Umar Bin Khattab, Jakarta: Zaman, 2009. Nuruddin, Amiur. “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, Zulqa’dah 1428. Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994. Pulungan, Suyuthi Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah, Abdul Hayyi alKattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Saefuddin, Didin. Sejarah Peradaban Islam Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007. Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, Jakarta: Hikmah, 2003. Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI-Press, 1993. Syafi’i, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Surabaya: Pustaka Islamika press, 2003. Zada, Khamami dan Arief R. Arofah. Diskursus Politik Islam Ciputat: LSIP, 2004.