2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Agropolitan Pada dasarnya, konsep agropolitan hampir sama dengan konsep minapolitan
yaitu pengembangan sistem pengelolaan sumber daya berbasis wilayah dan pengembangan produk unggulan dalam rangkaian sistem agribisnis. Kedua konsep tersebut juga memandang bahwa kemudahan-kemudahan atau peluang yang biasanya ada di perkotaan perlu dikembangkan di pedesaan. Perbedaaan yang mencolok terdapat pada karakteristik wilayah dan komoditas yang dikembangkan di masing-masing pusat pengembangan program. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan ketidakseimbangan antara pedesaan dan perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah suatu model
pembangunan
yang
mengandalkan
desentralisasi,
mengandalkan
pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah pedesaan, sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif). Pendekatan ini bisa mendorong penduduk pedesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah pedesaan. Agropolitan bisa mengantarkan tercapai tujuan akhir menciptakan daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat subordinatif. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tahapan pengembangan agropolitan adalah 1) penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan lokasi agropolitan, 2) penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan (dihindari langkah penyeragaman organisasi), 3) penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindar adanya peluang
10 pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali ke luar kawasan, dan 4) pengembangan infrastruktur. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi persyaratan utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan. Ciri-ciri kawasan agropolitan yang sudah berkembang adalah 1) peran sektor pertanian (sampai ke tingkat agro processingnya) tetap dominan, 2) pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, dan telekomunikasi, serta infrastruktur sosial seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olah raga, 3) aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas jalan yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer, dan 4) mempunyai produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi 2006). 2.2
Minapolitan Program minapolitan telah menjadi salah satu program unggulan
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, tinjauan pustaka mengenai pengertian, batasan, konsep, tujuan maupun lokasi program sebagian besar mengacu pada pedoman umum program minapolitan. 2.2.1 Pengertian minapolitan Minapolitan terdiri dari kata mina dan kata politan (polis). Mina berarti ikan dan politan berarti kota, sehingga minapolitan dapat diartikan sebagai kota perikanan atau kota di daerah lahan perikanan atau perikanan di daerah kota. Dalam pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan, yang dimaksud minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya.
Kota
perikanan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota pedesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa
11 hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor perikanan, tetapi juga membangun sektor secara luas seperti usaha perikanan (on farm dan off farm), industri kecil, dan jasa pelayanan. Minapolitan berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan) yang mana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan tersebut (termasuk kotanya) disebut kawasan minapolitan (KKP 2009). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.18/MEN/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan mendefinisikan beberapa pengertian terkait minapolitan sebagai berikut: 1) Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis
kawasan
berdasarkan
prinsip-prinsip
terintegrasi,
efisiensi,
berkualitas dan percepatan; 2) Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya; 3) Sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran adalah kumpulan unit produksi pengolahan, dan/atau pemasaran dengan keanekaragaman kegiatan di suatu lokasi tertentu; 4) Unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran adalah satuan usaha yang memproduksi, mengolah dan/atau memasarkan suatu produk atau jasa; 5) Rencana induk adalah rencana pengembangan kawasan minapolitan di daerah kabupaten/kota yang memuat kebijakan dan strategi pengelolaan potensi kelautan dan perikanan yang disusun dalam konsep arah kebijakan pengembangan kawasan jangka menengah dalam kurun waktu 5 (lima) tahunan yang diimplementasikan melalui rencana pengusahaan dan rencana tindak; 6) Rencana pengusahaan adalah rencana pengembangan sektor dan produk unggulan sebagai penggerak perekonomian di kawasan minapolitan dalam kurun waktu lima tahunan sesuai dengan rencana induk; 7) Rencana tindak adalah rencana implementasi pengembangan kawasan minapolitan di daerah kabupaten/kota yang disusun secara tahunan dengan
12 mengacu pada tahapan pembangunan lima tahunan sebagaimana yang tercantum dalam rencana induk. 2.2.2 Ciri-ciri, batasan dan konsep minapolitan Dalam pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan (KKP 2009) dijelaskan bahwa suatu kawasan minapolitan yang sudah dikembangkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan perikanan (minabisnis); 2) Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan perikanan, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan hasil perikanan, perdagangan hasil perikanan (termasuk perdagangan untuk tujuan ekspor), perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan permodalan, minawisata dan jasa pelayanan); 3) Hubungan
antara
kota
dan
daerah-daerah
hinterland/daerah-daerah
sekitarnya di kawasan minapolitan bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan; 4) Kehidupan masyarakat di kawasan minapolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan minapolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. Batasan suatu kawasan minapolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, dsb) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan minapolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan minabisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan minapolitan dapat meliputi satu Desa/Kelurahan atau Kecamatan atau Kabupaten (KKP 2009). Dalam lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Nomor KEP.18/MEN/2011 Tentang Pedoman Umum Minapolitan menjelaskan bahwa secara konseptual, minapolitan mempunyai 2 unsur utama yaitu 1) minapolitan sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan perikanan
13 berbasis wilayah, dan 2) minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama produk kelautan dan perikanan. Selanjutnya, konsep minapolitan akan dilaksanakan melalui pengembangan kawasan minapolitan di daerah-daerah potensial unggulan. Kawasan-kawasan minapolitan akan dikembangkan melalui pembinaan sentra produksi yang berbasis pada sumber daya kelautan dan perikanan. Setiap kawasan minapolitan beroperasi beberapa sentra produksi berskala ekonomi relatif besar, baik tingkat produksinya maupun tenaga kerja yang terlibat dengan jenis komoditas unggulan tertentu. Dengan pendekatan sentra produksi, sumber daya pembangunan, baik sarana produksi, anggaran, permodalan, maupun prasarana dapat dikonsentrasikan di lokasi-lokasi potensial, sehingga peningkatan produksi kelautan dan perikanan dapat dipacu lebih cepat. Menurut Pedoman Umum Minapolitan tersebut, penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa sentra produksi dan perdagangan perikanan tangkap, perikanan budi daya, pengolahan ikan, atau pun kombinasi ketiga hal tersebut. Sentra produksi dan perdagangan perikanan tangkap yang dapat dijadikan penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan adalah pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan (TPI). Sementara itu, penggerak utama minapolitan di bidang perikanan budi daya adalah sentra produksi dan perdagangan perikanan di lahan-lahan budi daya produktif. Sentra produksi pengolahan ikan yang berada di sekitar pelabuhan perikanan juga dapat dijadikan penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan. 2.2.3
Asas, prinsip dan struktur minapolitan Pedoman Umum Minapolitan menyebutkan bahwa konsep minapolitan
didasarkan pada 3 asas, yaitu 1) demokratisasi ekonomi kelautan dan perikanan pro rakyat, 2) keberpihakan pemerintah pada rakyat kecil melalui pemberdayaan masyarakat, dan 3) penguatan peran ekonomi daerah dengan prinsip daerah kuatbangsa dan negara kuat. Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan perumusan kebijakan dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan agar pemanfaatan
sumber
daya
kelautan
dan
perikanan
benar-benar
untuk
14 kesejahteraan rakyat dan menempatkan daerah pada posisi sentral dalam pembangunan. Dijelaskan
pula
bahwa
dengan
konsep
minapolitan
diharapkan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan dapat dilaksanakan secara terintegrasi, efisien, berkualitas, dan berakselerasi tinggi. 1) Prinsip integrasi, diharapkan dapat mendorong agar pengalokasian sumber daya pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara menyeluruh atau holistik dengan mempertimbangkan kepentingan dan dukungan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan pusat dan daerah, kalangan dunia usaha maupun masyarakat. Kepentingan dan dukungan tersebut dibutuhkan agar program dan kegiatan percepatan peningkatan produksi didukung dengan sarana produksi, permodalan, teknologi, sumber daya manusia, prasarana yang memadai, dan sistem manajemen yang baik; 2) Prinsip efisiensi, pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus dilaksanakan secara efisien agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan biaya murah namun mempunyai daya guna yang tinggi. Dengan konsep minapolitan pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien dan pemanfaatannya pun diharapkan akan lebih optimal. Selain itu prinsip efisiensi diterapkan untuk mendorong agar sistem produksi dapat berjalan dengan biaya murah, seperti memperpendek mata rantai produksi, efisiensi, dan didukung keberadaan faktor-faktor produksi sesuai kebutuhan, sehingga menghasilkan produk-produk yang secara ekonomi kompetitif; 3) Prinsip berkualitas, pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus berorientasi pada kualitas, baik sistem produksi secara keseluruhan, hasil produksi, teknologi maupun sumber daya manusia. Dengan konsep minapolitan pembinaan kualitas sistem produksi dan produknya dapat dilakukan secara lebih intensif; 4) Prinsip berakselerasi tinggi, percepatan diperlukan untuk mendorong agar target produksi dapat dicapai dalam waktu cepat, melalui inovasi dan kebijakan terobosan. Prinsip percepatan juga diperlukan untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara pesaing, melalui peningkatan market share produk-produk kelautan dan perikanan Indonesia di tingkat dunia.
15 Menurut Sutisna (2010a), beberapa persyaratan menjadi minapolitan di antaranya adalah komitmen daerah, komoditas unggulan, memenuhi persyaratan untuk mengembangkan komoditas unggulan, ada kesesuaian renstra dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kelayakan lingkungan serta terdapat unit produksi, pengolahan dan pemasaran. Sunoto
(2010)
menjelaskan
bahwa
program
nasional
minapolitan
mengangkat konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan struktur yang meliputi 1) ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah dimana Indonesia dibagi menjadi sub-sub wilayah pengembangan ekonomi berdasarkan potensi SDA, prasarana dan geografi, 2) kawasan ekonomi unggulan minapolitan dimana setiap propinsi dan kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kawasan ekonomi unggulan bernama minapolitan, 3) sentra produksi dimana setiap kawasan minapolitan terdiri dari sentra-sentra produksi dan perdagangan komoditas kelautan dan perikanan dan kegiatan lainnya yang saling terkait, dan 4) unit produksi/usaha dimana setiap sentra produksi terdiri dari unitunit produksi atau pelaku-pelaku usaha. 2.2.4
Tujuan, sasaran dan lokasi minapolitan Dalam Pedoman Umum Minapolitan, tujuan minapolitan mencakup 3 hal
pokok yaitu 1) meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk kelautan dan perikanan, 2) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan yang adil dan merata, dan 3) mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Ketiga tujuan tersebut sudah cukup komprehensif, namun perlu dijabarkan secara detail capaian indikator dari masing-masing tujuan yang realistis dan terukur. Tujuan peningkatan produksi harus memperhatikan daya dukung sumber daya dan lingkungan sehingga keberlanjutan sumber daya tersebut dapat terjaga. Hal ini berarti bahwa peningkatan produksi harus berbasis pada komoditas unggulan daerah yang berdaya saing dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan harus berorientasi pada peningkatan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan yang adil dan merata. Artinya, praktek monopoli dari industri-industri modern yang berinvestasi di
16 kawasan minapolitan harus dapat diminimalisir. Peran pemerintah sangat penting untuk menciptakan iklim yang kondusif melalui pengembangan kemitraan yang adil (win-win partnerships). Sasaran pelaksanaan minapolitan, meliputi: 1) Meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan skala mikro dan kecil, antara lain berupa (1) penghapusan dan/atau pengurangan beban biaya produksi, pengeluaran rumah tangga, dan pungutan liar, (2) pengembangan sistem produksi kelautan dan perikanan yang efisien untuk usaha mikro dan kecil, (3) penyediaan dan distribusi sarana produksi tepat guna dan murah bagi masyarakat, (4) pemberian bantuan teknis dan permodalan, serta, (5) pembangunan prasarana untuk mendukung sistem produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran produk kelautan dan perikanan; 2) Meningkatkan jumlah dan kualitas usaha kelautan dan perikanan skala menengah ke atas sehingga berdaya saing tinggi, antara lain berupa (1) deregulasi usaha kelautan dan perikanan, (2) pemberian jaminan keamanan dan keberlanjutan usaha dan investasi, (3) penyelesaian hambatan usaha dan perdagangan (tarif dan non-tarif barriers), (4) pengembangan prasarana untuk mendukung sistem produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran, dan (5) pengembangan sistem insentif dan disinsentif ekspor-impor produk kelautan dan perikanan; 3) Meningkatkan sektor kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi regional dan nasional, antara lain berupa (1) pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah, (2) pengembangan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal, (3) revitalisasi sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran sebagai penggerak ekonomi masyarakat, dan (4) pemberdayaan kelompok usaha kelautan dan perikanan di sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32/MEN/2010, telah ditetapkan sebanyak 197 lokasi minapolitan, yang terdiri atas 159 lokasi berfokus pada perikanan budi daya, dan 38 lokasi yang berbasis pada perikanan tangkap. Namun, pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Perikanan
17 Tangkap KKP memprioritaskan pada sembilan lokasi sebagai kawasan percontohan (Medan Bisnis 2010; KKP 2011) yaitu: 1) PPN Palabuhanratu Sukabumi (Jawa Barat) 2) PPS Cilacap (Jawa Tengah) 3) PPN Tamperan Pacitan (Jawa Timur) 4) PPN Muncar Banyuwangi (Jawa Timur) 5) PPN Ternate (Maluku Utara) 6) PPN Sungai Liat Bangka (Bangka Belitung) 7) PPS Bitung (Sulawesi Utara) 8) PPS Belawan Medan (Sumatera Utara) 9) PPN Ambon (Maluku) Penetapan 9 lokasi minapolitan berbasis perikanan tangkap tersebut cukup realistis sebagai daerah percontohan pada tahap inisiasi program. Di samping itu, daerah-daerah tersebut merupakan pusat produksi perikanan tangkap dan mewakili karakteristik perikanan tangkap di Indonesia. 2.2.5
Minapolitan perikanan tangkap Minapolitan
perikanan
tangkap
didefinisikan
sebagai
kawasan
pengembangan ekonomi wilayah berbasis usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah (KKP 2010b). Konsep pengelolaan minapolitan perikanan tangkap didasarkan pada konsep membangun sistem pengelolaan perikanan tangkap yang berbasis pada kemudahan nelayan bekerja dan memotivasi mereka untuk meningkatkan pendapatan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Di samping itu, juga memberikan kemudahan nelayan dalam bekerja dengan penyediaan sarana dan prasarana (pelabuhan perikanan, galangan kapal, bengkel, SPDN/SPBN, unit pengolahan ikan, pabrik es dan unit pemasaran) di sentra-sentra nelayan, penyederhanaan perijinan dan penyediaan permodalan (KKP 2010b). Pelaksanaan konsep minapolitan harus disesuaikan dengan tujuannya, yaitu peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas untuk kesejahteraan rakyat dan
18 pembangunan ekonomi daerah. Terkait dengan minapolitan perikanan tangkap (KKP 2011), paket-paket kegiatan
perikanan tangkap sekurang-kurangnya
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Komoditas unggulan dan target produksi; 2) Distribusi wilayah penangkapan pro nelayan; 3) Struktur armada nasional; 4) Sistem pengkayaan stok, moratorium, dan peningkatan produksi; 5) Sistem pelayanan perijinan; 6) Sistem pengelolaan pelabuhan perikanan dan TPI efisien pro nelayan; 7) Sistem insentif usaha dan investasi; 8) Teknologi penangkapan dan penanganan ikan di atas kapal; 9) Bantuan teknis, seperti sarana dan permodalan serta pendampingan; dan 10) Pembangunan prasarana. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa langkah-langkah strategis dalam menggerakan produksi di bidang perikanan tangkap sebagai berikut: 1)
Sasaran (1) Pelabuhan perikanan dan TPI menjadi sentra produksi pro nelayan, pendaratan, perdagangan dan distribusi hasil penangkapan ikan mampu menggerakkan ekonomi nelayan; dan (2) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) yang potensial dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dengan produktivitas dan kualitas tinggi pro nelayan.
2)
Kegiatan (1) Menetapkan pelabuhan perikanan dan TPI unggulan sebagai sentra produksi binaan; (2) Meningkatkan aksesibilitas nelayan terhadap sumber daya alam dengan memperluas hak-hak pemanfaatan dan perlindungannya; (3) Revitalisasi sarana tempat pendaratan ikan, pelelangan, cold storage, dan pabrik es; (4) Revitalisasi prasarana, seperti jalan, air bersih dan listrik;
19 (5) Bantuan teknis dan permodalan, menghadirkan lembaga keuangan, pusat penjualan sarana produksi, BBM dan logistik murah di pelabuhan dan TPI; (6) Mengembangkan sistem manajemen pelabuhan efisien, bersih, dan sehat; (7) Menertibkan pungutan-pungutan dan retribusi yang memberatkan masyarakat; (8) Restrukturisasi armada, wilayah penangkapan ikan, dan perijinan; (9) Pengkayaan stok ikan (stock enhancement) sebagai penyangga produksi; (10) Pengembangan alat penangkapan ikan yang produktif dan tidak merusak (seperti set net); (11) Mengembangkan investasi perikanan tangkap terpadu. 2.3
Minapolitan Perikanan Tangkap Palabuhanratu Kawasan minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu adalah suatu
kawasan pengembangan ekonomi berbasis usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara terintegrasi oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi wilayah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat kawasan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi (Kabupaten Sukabumi 2011). Dijelaskan pula bahwa program minapolitan (kota perikanan) yang akan diterapkan di Palabuhanratu, dilaksanakan melalui konsep kerja sama usaha intiplasma. Dalam pengelolaan usaha inti-plasma itu, akan dibentuk jaringan usaha antara industri perikanan dengan
beberapa unit usaha yang dijalankan oleh
masyarakat nelayan dan pesisir. Melalui jaringan usaha inti-plasma ini, semua kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir akan terintegrasi dalam satu manajemen usaha. Adapun tujuan program minapolitan melalui konsep usaha intiplasma ini, tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pesisir di Palabuhanratu. Minapolitan dengan konsep usaha inti-plasma dilaksanakan dibawah pengelolaan Pemkab Sukabumi sedangkan untuk usaha intinya akan dikelola langsung oleh PPN Palabuhanratu dengan membawahi
20 sejumlah unit bisnis perikanan. Sementara usaha plasma, dikerjakan oleh beberapa unit usaha yang dilakukan kelompok masyarakat nelayan dan pesisir. Sutisna (2011) dalam Seminar Nasional Perikanan Tangkap IV menjelaskan komoditas unggulan minapolitan perikanan tangkap di lokasi percontohan tahun 2011 (9 lokasi) dan di lokasi percontohan tahun 2012 (10 lokasi). Khusus untuk komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi (Palabuhanratu) adalah tuna, layur dan cakalang.
Menurut
Nasrudin
(2010)
komoditas
unggulan
di
perairan
Palabuhanratu adalah tuna dan layur, namun demikian pengembangan budi daya lobster juga dinilai prospektif karena benihnya cukup tersedia di alam. Beberapa dukungan Pemda Kabupaten Sukabumi terhadap minapolitan perikanan tangkap meliputi 1) penyediaan RUTRW untuk kawasan minapolitan Palabuhanratu (PERDA), 2) membantu proses penyediaan lahan untuk perluasan PPNP menjadi PPS, 3) peningkatan akses jalan di sekitar dan menuju wilayah minapolitan, 4) Kemudahan pelayanan perizinan untuk mendorong investasi, 5) jaminan ketersediaan air bersih, 6) jaminan ketersediaan pasokan listrik (adanya PLTU), dan 7) bantuan penguatan modal, pengetahuan dan keterampilan bagi KUB sektor kelautan dan perikanan. Di samping itu juga ada dukungan dari stakeholder terkait seperti 1) adanya kegiatan-kegiatan dari investasi swasta untuk pembangunan pasar Palabuhanratu menjadi pasar modern, 2) adanya pengadaan armada kapal > 5 GT secara swadaya, dan 3) adanya penguatan modal usaha penangkapan ikan dari perbankan (Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi 2011). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu akan berhasil apabila dapat mengembangkan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan integrasi dan optimalisasi komponen-komponen utama seperti SDI, armada perikanan tangkap, nelayan, sarana penunjang produksi, pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil tangkapan dan unit pengolahan ikan. 2.4
Perkembangan Teori Klaster Sejak Porter (1990) mempublikasikan ”Competitive Advantage of Nations”,
konsep klaster banyak diperbincangkan berbagai kalangan pelaku bisnis, ekonom,
21 akademisi hingga pengambil keputusan. Bahkan tidak kurang dari 30 review dengan publikasi mencapai 50 artikel (Davies dan Ellis 2000). Porter (1998) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari industri-industri dan institusi yang saling berhubungan dalam suatu bidang tertentu. Klaster terdiri dari rangkaian industri-industri terkait dan entitas penting lainnya yang saling berkompetisi. Dalam dunia modern, kompetisi tergantung pada produktivitas dan tidak tergantung pada akses input atau skala perusahaan. Klaster mempengaruhi kompetisi dalam 3 hal yaitu 1) produktivitas, 2) inovasi, dan 3) stimulasi pembentukan bisnis baru. Industri cenderung beraglomerasi (Malecki 1991, diacu dalam Nuryadin et al. 2007). Selanjutnya, Montgomery (1998) menjelaskan definisi aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Keuntungan-keuntungan eksternal dari konsentrasi spasial sebagai akibat dari scale economies disebut agglomeration economies (Bradley dan Gans 1996, diacu dalam Tarigan 2008). Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Gagasan ini merupakan sumbangan pemikiran Alfred Marshall yang menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti istilah ekonomi aglomerasi. Ahli Ekonomi Hoover juga membuat aglomerasi menjadi 3 jenis yaitu large scale economies, merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan karena membesarnya skala produksi perusahaan tersebut pada suatu lokasi, localization economies, merupakan keuntungan yang diperoleh bagi semua perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi dan urbanization economies merupakan keuntungan dari semua industri pada suatu lokasi yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi (penduduk, pendapatan, output atau kemakmuran) dari lokasi tersebut. Berbeda dengan pendapat O‟Sullivan (2002) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini yang dimaksud ekonomi aglomerasi adalah eksternalis positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar
22 perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat (Tarigan 2008). Dalam beberapa kasus, aglomerasi lebih merupakan hasil dari “natural advantages” seperti kesesuaian iklim dan topografi, kedekatan pada bahan baku dan lokasi dengan akses pada jalur transportasi. Weber (1929) juga mengemukakan bahwa aglomerasi akan menghemat biaya transportasi (Bekele dan Jackson 2006; Ellison et al. 2010). Selanjutnya, Porter (1998) mengembangkan konsep aglomerasi menjadi klaster dengan dua elemen kunci yaitu 1) adanya keterkaitan antara perusahaan, dan 2) kedekatan lokasi.
Porter kemudian mengembangkan konsep integrasi
klaster vertikal dan horizontal dalam bentuk model berlian (van Hofe dan Chen 2006). Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung (Gambar 2). Empat faktor utama yang menentukan daya saing suatu komoditi adalah kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure, and rivalry). Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Daryanto 2004; Tarigan 2008). 1) Kondisi Faktor (Factor Condition) Sumber daya yang dimiliki suatu bangsa merupakan suatu faktor produksi yang sangat penting untuk bersaing. Kondisi faktor atau faktor input dalam analisis Porter ini merupakan variabel-variabel yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu klaster industri. Ada lima kelompok dalam faktor sumber daya, yaitu: (1) Sumber daya manusia yang meliputi jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, etika kerja dan
23 tingkat
upah
yang
berlaku.
Dimana
semuanya
ini
sangat
mempengaruhi daya saing nasional; (2) Sumber daya modal yang terdiri dari jumlah dan biaya yang tersedia, jenis
pembiayaan
atau
sumber
modal,
aksesibilitas
terhadap
pembiayaan, serta kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. Selain itu juga diperlukan peraturan-peraturan seperti peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat dan kondisi moneter dan fiskal; (3) Sumber daya alam atau fisik yang meliputi biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran. Sumber daya alam juga harus meliputi ketersediaan air, mineral, energi serta sumber daya pertanian, perikanan dan kelautan, perkebunan, kehutanan serta sumber daya lainnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis, dan lain-lain; (4) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), merupakan sumber daya yang terdiri dari ketersediaan pengetahuan tentang pasar, pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dalam memproduksi barang dan jasa. Selain itu ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi dapat pula berasal dari perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya; (5) Sumber daya infrastruktur yang terdiri dari ketersediaan jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing, seperti halnya sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain. Adapun kelima kelompok sumber daya tersebut sangat mempengaruhi daya saing nasional. 2) Kondisi Permintaan (Demand Condition) Kondisi permintaan merupakan merupakan sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Kondisi permintaan ini sangat
24 mempengaruhi daya saing terutama mutu permintaan. Mutu permintaan merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan untuk bersaing secara global. Mutu permintaan juga memberikan tantangan bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya dengan memberikan tanggapan terhadap persaingan yang terjadi. Menurut Porter (1998), kondisi permintaan dalam diamond model dikaitkan dengan sophisticated and demanding local customer. Artinya semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi permintaan pelanggan lokal yang tinggi. Dalam hal ini kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga dari luar negeri karena adanya globalisasi. 3) Industri Terkait dan Industri Pendukung (Related and Supporting Industry) Keberadaan industri terkait dan pendukung (related and supporting industry) akan mempengaruhi daya saing dalam hal industri hulu yang mampu memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Begitu pula dengan industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Jika industri hilirnya berdaya saing global, maka dapat menarik industri hulunya menjadi ikut berdaya saing. Adapun manfaat industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost, technology sharing, informasi, ataupun skills (keahlian dan keterampilan) tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Selain itu dengan adanya industri pendukung dan terkait, maka akan meningkatkan produktivitas yang dapat menciptakan daya saing.
25 4) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy, Structure, and Rivalry) Adanya tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan inovasi. Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki mutu serta pelayanan. Dalam hal ini, strategi perusahaan dibutuhkan untuk memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Struktur perusahaan atau industri dapat menentukan daya saing dengan melakukan perbaikan dan inovasi. Dalam situasi persaingan, hal ini juga akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan perusahaan atau industri. Pada akhirnya persaingan di dalam negeri yang kuat akan mendorong perusahaan untuk mencari pasar internasional. 5) Peran Pemerintah (Government) Peran pemerintah akan berpengaruh terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat daya saing. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar perusahaan dan industri semakin meningkatkan daya saingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi daya saing global melalui regulasi-regulasi dan kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing tersebut. Pemerintah juga dapat memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor daya saing sehingga dapat berdaya guna secara efisien dan efektif. 6) Peran Kesempatan (Chance Factor) Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah untuk mempengaruhi daya saing. Hal-hal seperti keberuntungan merupakan peran kesempatan, seperti penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang konstan akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang. Selain itu dapat juga terjadi karena peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan daya saing.
26
FIRM STRATEGY, STRUCTURE, AND RIVALRY
Change
FACTOR CONDITIONS
DEMAND CONDITIONS
RELATED AND SUPPORTING INDUSTRIES
Government
Sumber: Porter (1990)
Gambar 2 Model Berlian dalam peningkatan daya saing industri. 2.5
Klaster Industri Berbasis Perikanan Tangkap Akhir-akhir ini muncul gagasan dan perilaku di kalangan pebisnis perikanan
untuk mengembangkan industri perikanan, utamanya usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) dengan sistem klaster. Di kalangan pemerintah, pendekatan klaster dijalankan untuk membina UKM, terutama untuk komoditas perikanan yang memiliki nilai jual yang tinggi namun dihasilkan dengan teknologi produksi skala kecil sederhana. Setidaknya ada dua prinsip penting pada sistem klaster suatu industri yaitu 1) adanya kohesi kelompok yang sangat kuat di antara perusahaan-perusahaan
yang
berlokasi
di
suatu
kawasan
tertentu
dan
menghasilkan komoditas yang sama, serta 2) adanya integrasi atau keterpaduan vertikal antara industri inti dengan industri sebagai pemasok faktor produksi dan pembeli komoditas yang dihasilkan (Nikijuluw 2005). Supomo (2006) mendefinisikan klaster industri sebagai kelompok industri spesifik yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/ peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun non bisnis. Para pelaku (stakeholder) klaster industri biasanya dikelompokkan kepada industri inti,
27 industri pemasok, industri pendukung, industri terkait dan pembeli serta institusi pendukung (non industri). Menurut Widodo et al. (2003), diacu dalam Supomo (2006) menjelaskan beberapa pengertian elemen-elemen dalam klaster industri sebagai berikut: 1) Industri inti meliputi (1) industri yang merupakan perhatian atau tematik dan biasanya dijadikan titik masuk kajian, dapat merupakan sentra industri, dan (2) industri yang maju (dicirikan dengan adanya inovasi); 2) Industri pemasok meliputi (1) industri yang memasok dengan produk khusus, dan (2) pemasok khusus (spesialis) yang mendukung kemajuan klaster dimana yang dipasok seperti bahan baku, bahan tambahan dan aksesoris; 3) Pembeli meliputi (1) distributor atau pemakai langsung, dan (2) pembeli yang sangat “penuntut” yang
dapat menjadi pemacu kemajuan klaster.
Pembeli antara lain terdiri dari distributor, pengecer, dan pemakai langsung; 4) Industri pendukung meliputi (1) jasa barang, termasuk layanan pembiayaan (bank, modal ventura), (2) jasa (angkutan, bisnis distribusi, konsultan bisnis), (3) infratruktur (jalan raya, telekomunikasi, listrik), (4) peralatan (permesinan, alat bantu), (5) jasa pengemasan dan (6) penyedia jasa pengembangan bisnis (business development services provider); 5) Industri terkait meliputi (1) industri yang menggunakan infrastruktur yang sama dengan industri inti, dan (2) industri yang menggunakan sumber daya dari sumber yang sama; 6) Lembaga pendukung meliputi (1) lembaga pemerintah yang berupa penentu kebijakan atau melaksanakan peran publik, (2) asosiasi profesi yang bekerja untuk kepentingan anggota, dan (3) lembaga pengembang swadaya masyarakat yang bekerja pada bidang khusus yang mendukung. Selanjutnya Nikijuluw (2005) menjelaskan pula bahwa klaster industri terdiri dari 1) perusahaan sejenis, umumnya perusahaan yang sama ukuran skala dan kapasitas usahanya, dan 2) UKM yang sejenis yang berkolaborasi atau dikolaborasikan dengan perusahaan lain yang lebih besar skala dan kapasitas bisnisnya sebagai perusahaan pengelola atau pembina. Meskipun bukan merupakan hal yang mutlak, kehadiran perusahaan besar ini bisa sangat
28 membantu menyehatkan dan menjamin keberlangsungan hidup klaster industri yang terdiri dari perusahaan UKM yang sejenis. Biasanya perusahaan besar ikut dalam klaster sebagai pembina manajemen dan teknologi produksi, serta menjamin pemasokan bahan baku, menjamin kualitas dan kontrol kualitas produk, serta menjamin pasar. 2.6
Supply Chain Management
2.6.1 Definisi supply chain management Supply Chain Management (SCM) merupakan pengelolaan kegiatankegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah menjadi barang dalam proses atau barang setengah jadi dan barang jadi dan kemudian mengirimkan barang tersebut ke konsumen melalui saluran distribusi. Kegiatan-kegiatan ini mencakup fungsi
pembelian
tradisional
ditambah
kegiatan
penting
lainnya
yang
berhubungan antara pemasok dan distributor (Heizer dan Render 2001, diacu dalam Septanto 2006). Menurut David et al. (2000) dalam Indrajit dan Djokopramono (2002), diacu dalam Marimin dan Maghfiroh (2011) menyebutkan bahwa SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha gudang (warehouse), dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien, sehingga produk yang dihasilkan
dan
didistribusikan kepada konsumen dengan kuantitas dan kualitas yang tepat, lokasi yang tepat, serta waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan konsumen. Mengacu pada pendapat tersebut, minapolitan dapat dianalogikan sebagai suatu organisasi yang menghubungkan antara pemasok (supplier) dengan customer/retailer, berfungsi untuk mengintegrasikan tuntutan kedua lembaga tersebut agar sinergis dan dapat menjamin kecepatan dan ketepatan dalam distribusi produk. Hubungan antara pemasok, minapolitan dan retailer ini akan membentuk suatu rantai pemasok (supply chain). Marimin dan Maghfiroh (2011) juga menjelaskan bahwa untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin meningkat, produsen dituntut untuk memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Namun tidak hanya produsen, distributor dan penjual sebagai pihak yang memasok hingga ke
29 konsumen juga harus memiliki keunggulan kompetitif agar produk yang didistibusikan dapat terjaga kualitasnya, tinggi tingkat ketersediaannya, dan singkat waktu penyediaannya. Keunggulan kompetitif tersebut diwujudkan ke dalam kemampuan untuk memasok/menyediakan produk kepada konsumen dengan baik, memadai, cepat, dan tepat. Oleh karena itu, penataan dan penyempurnaan SCM mulai dari produsen hingga ke konsumen menjadi sorotan yang penting. Dijelaskan pula bahwa kajian SCM dapat meliputi kajian deskriptif pada struktur dan anggota rantai, sasaran rantai, manajemen rantai, proses bisnis rantai, performa rantai, hambatan-hambatan, serta rekomendasi. Kemudian dapat dilanjutkan pada kajian strategi peningkatan kinerja SCM. Pada penelitian ini analisis SCM hanya dibatasi pada kajian deskriptif struktur rantai, manajemen rantai, proses bisnis rantai dan sumberdaya rantai. 2.6.2
Perkembangan konsep supply chain management Pada tahun 1959 dan 1960, kebanyakan perusahaan manufaktur menerapkan
produksi masal untuk meminimalkan biaya produksi sebagai strategi utama dalam beroperasi dengan tingkat fleksibilitas yang rendah. Tingkat pengembangan produk baru relatif rendah dan sangat tergantung pada teknologi dan kapasitas yang dimiliki. Operasi yang cenderung menghasilkan kondisi “bottleneck” didukung dengan tingkat inventori yang besar untuk mempertahankan aliran barang yang seimbang yang mengaitkan besarnya tingkat investasi pada work in process inventory (WIP). Berbagai teknologi dan kelebihan dengan pelanggan dan supplier dianggap terlalu beresiko dan tidak dapat diterima. Pada tahun 1970, konsep manufacturing resource planning (MRP) diperkenankan dan para manager kemudian menyadari besarnya pengaruh WIP yang besar terhadap biaya produksi, kualitas, pengembangan produk baru dan waktu pengiriman. Produsen kemudian beralih kepada konsep manajemen baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Septanto 2006). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kompetisi global yang meningkat pada tahun 1980 memberi tekanan pada organisasi untuk dapat menawarkan produk dengan biaya rendah, berkualitas tinggi dan dapat diandalkan. Produsen kemudian menerapkan konsep just-in-time (JIT) dan konsep manajemen lainnya untuk dapat
30 meningkatkan efisiensi produksi dan cycle time. Seiring waktu berjalan, para produsen menyadari bahwa hubungan yang terjalin baik dengan pembeli dan supplier akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar sehingga muncul konsep supply chain management yang pada awalnya merupakan langkah eksperimental dari para produsen. Evolusi dari SCM berlanjut sampai pada tahun 1990 dimana setiap organisasi berupaya untuk mengembangkan praktek manajemen dengan memasukkan fungsi pemasok dan logistik ke dalam value chain. 2.7
Penelitian Terkait Maringi (2009) melakukan penelitian untuk mengembangkan pembangunan
pedesaan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Boyolali. Status berkelanjutan dianalisis berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Hasil analisis prospektif diperoleh lima faktor kunci (faktor penentu) keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, yaitu 1) teknologi budi daya ikan lele, 2) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budi daya, 3) permintaan ikan lele, 4) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya, dan 5) standarisasi mutu produk. Asmara (2010) melakukan penelitian untuk analisis keberlanjutan kawasan Minapolitan di Kabupaten Banyumas sedangkan Setiawan (2010) menganalisis kinerja dan status keberlanjutan kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Tar (2010) mengkaji arahan pengembangan kawasan minapolitan Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.