Nomor :
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA -----------
RISALAH RDPU KOMITE III DPD RI DENGAN NARASUMBER MASA SIDANG IV TAHUN SIDANG 2015-2016
I.
KETERANGAN
1. 2. 3.
Hari Tanggal Waktu
: : :
Senin 25 April 2016 13.34 WIB - Selesai
4. 5.
Tempat Pimpinan Rapat
: :
R.Sidang 2 C Pimpinan Rapat 1. Fahira Idris, S.E, M.H. (Wakil Ketua Komite III) 2. Pdt. Carles Simaremare, S.Th. M.Si (Wakil Ketua Komite III)
6.
Sekretaris Rapat
:
7.
Acara
:
RDPU terkait Rancangan Undang-Undang tentang Tangggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR dengan: 1. Dr. Suryani Sidik Motik; 2. Drs. Suyoto, M.Si
8.
Hadir
:
Orang
9.
Tidak hadir
:
Orang
II. JALANNYA RAPAT :
RAPAT DIBUKA PUKUL 13.34 WIB
PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Bismillahirrahmanirrahiim. Kita mulai Bapak-Ibu. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami hormati Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, yang kami hormati Bapak Drs. Suyoto Bupati Bojonegoro, Jawa timur yang nantinya akan jadi Cagub DKI Jakarta, tepuk tangan dulu ini kita doakan dan yang kami hormati Ibu Dr. Suryani Sidik Motik dan hadirin yang berbahagia. Mengawali Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI pada siang hari ini marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan perkenannya kita semua dapat hadir kita hari ini. Sebelum kami membuka RDPU terlebih dahulu marilah kita berdoa menurut kepercayaan Bapak-Ibu sekalian agar kegiatan hari ini dapat berjalan dengan baik serta memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua. Berdoa dimulai, selesai. Yang terhormat Bapak-Ibu Anggota Komite III DPD RI, para narasumber dan hadirin yang kami hormati dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim, pada hari ini Senin tanggal 25 April 2016 Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI, dalam rangka pendalaman materi penyusunan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI, saya buka dan terbuka untuk umum. KETOK 1X Sebagaimana undangan yang telah di sampaikan oleh sekretariat kepada Bapak-Ibu Anggota Komite III dan tamu undangan, bahwa hari ini temanya adalah tentang rancangan Undang-Undang CSR. Oleh karena itu kita mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak Suyoto yang akrabnya dipanggil Kang Yoto dan juga kepada Ibu Suryani. Yang terhormat Bapak-Ibu sekalian, perusahaan dan CSR sesungguhnya dapat diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, perusahaan wajib menyediakan dana CSR untuk pemenuhan keinginan perusahaan dan masyarakat disekitarnya. Adapun implementasi CSR oleh perusahaan di Indonesia masih sangat sulit diwujudkan dengan kesadaran sendiri. Pandangan perusahaan-perusahaan terkait implementasi CSR di Indonesia masih belum seragam dan masih ada anggapan bahwa CSR dapat diwujudkan melalui pembayaran pajak perusahaan. CSR masih dipandang sebagai suatu kebijakan perusahaan dan tidak menjadi keharusan perusahaan untuk menyediakan dana tersebut. Indonesia mengenal CSR pada tahun 1983 melalui mandat BUMN yang bertujuan untuk membina usaha kecil. Kemudian CSR diperkenalkan pada tahun 2001 melalui Undang-Undang minyak dan gas bumi. Sebagian besar perusahaan di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya dan masih sebatas peduli pada aktivitas sosial. Secara umum implementasi CSR masih mengalami hambatan antara lain, yang RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
1
pertama perusahaan belum melihat atau memperoleh hasil yang diharapkan yang menguntungkan perusahaan baik secara langsung maupun tidak. Kedua, masyarakat disekitar lingkungan perusahaan sering kali belum merasakan secara langsung maupun tidak langsung manfaat dari kehadiran suatu perusahaan. Lembaga yang membina mengatur dana CSR ini juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dana CSR dapat memberi multiefek terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan operasional perusahaan masyarakat harus dijadikan sebagai mitra perusahaan sehingga masyarakat merasa memiliki bagi perusahaan tersebut karena kehidupannya sangat tergantung pada perusahaan tersebut. Fakta membuktikan bahwa masih banyak perusahaan yang belum menyadari bahwa CSR bukan merupakan kewajiban perusahaan sehingga sangat mungkin terjadinya berbagai permasalahan sebagai akibat dari ketidakharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Dana CSR perusahaan diartikan tidak hanya sebatas memberi hadiah kepada masyarakat, tetapi lebih dari pada itu yakni memberi perhatian terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan. Sehubungan dengan dana CSR ini maka sangat diperlukan perubahan paradigma perusahaan terhadap pentingnya dana CSR ini bagi keberlangsungan perusahaan dan pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat disekitar perusahaan. Perusahaan yang bijak biasanya akan menggunakan dana CSR untuk menemui berbagai kebutuhan perusahaan yang diperoleh melalui pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan. Atas dasar itulah Komite III DPD RI pada hari ini mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum guna memperoleh informasi dan pandangan dari narasumber terkait dengan penyusunan RUU tentang CSR, sehingga diharapkan hasil dari pertemuan ini dapat, kita dapatkan gambaran bagaimana RUU ini dapat diimplemetasikan dan dapat diterima oleh semua pihak. Yang terhormat Bapak-Ibu Anggota Komite III, para narasumber dan hadirin yang kami hormati. Demikianlah pengantar singkat kami untuk menyingkat waktu selanjutnya kami persilahkan kepada para narasumber untuk menyampaikan paparannya. Kami persilahkan kepada Kang Nyoto pertama, terima kasih. PEMBICARA : Drs. SUYOTO, M.Si (NARASUMBER) Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati Pimpinan Rapat, Anggota DPD RI Komite III, para tenaga ahli dan juga yang saya hormati rekan-rekan dari Kadin. Pertama saya mengucapkan terima kasih, hari ini saya mendapatkan kehormatan untuk memberikan masukan tentang Undang-Undang atau Rancangan Undang-Undang CSR dan saya kira ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk pembangunan Indonesia sekaligus, karena kata pembangunan itu sendiri itu mengisyaratkan tumbuh bersama-sama bukan tumbuh satu pihak. Nah izinkan saya memulai dari pengalaman dan pengamatan saya selama menggauli praktik CSR di Bojonegoro. Yang pertama yang pernah saya alami, di Bojonegoro itu ada perusahaan BUMN, ada perusahaan multinasional juga ada perusahaan lokal, dan kami melakukan riset atas hampir semua praktik CSR-nya. Sebagian riset itu ada didalam paper lampiran karena saya punya dua paper. Paper ini sebenenarnya adalah jaga-jaga kalau saya ngomongnya pendek, saya pakai yang ini kalau yang satu itu, kalau ngomongnya panjang itu pakai yang panjang tapi yang pertama CSR ini, yang saya temui adalah dimata rakyat saya CSR itu sering kali menjadi alat untuk meminta. Jadi kalau dengar CSR itu itu berlomba-lomba ngajukan proposal, wah ini kesempatan minta ini. Lalu bagi LSM, NGO itu, itu seringkali juga alat RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
2
mendapatkan pekerjaan, wah ini kesempatan saya bisa kerja ini, kerjakan ini gitu. Itu yang ketiga, ya ini celaka ini, bagi perusahaan CSR itu dipandang sebagai alat tutup mulut supaya orang itu tidak ribut. Jadi begitu, apalagi kalau yang menyangkut eksplorasi migas, waduh itu begitu eksplorasi migas, kemudian juga ada misalnya adalah perusahaan yang lain itu perusahaan breeding, penggemukan sapi yang punya bau itu. Jadi kalau diprotes lingkungannya maka tutup mulutnya itu ya dengan diberi uang CSR, uang tutup mulut namanya. Lalu kalau tidak pakai uang tutup mulut itu nanti enggak selesai-selesai. Nah bagaimana di mata politisi lokal seperti kami di Bojonegoro? CSR ini kerap kali menjadi kesempatan untuk tampil menjadi pahlawan maka dia tangkap kegelisahan masyarakat, disampaikan kepada pengusaha, lalu dia nekan pada pengusaha, wah ini kirakira kesempatan jadi pahlawan itu ya ini. Lalu kenapa ini muncul? Tentu yang pertama karena, karena situasi sosial politik yang jalan sendiri-sendiri, mengedepankan ego. Jadi semua bicara egonya, masing-masing stakeholder bicara egonya, tapi mengapa egoisme seperti ini bisa muncul? Jadi kalau saya boleh masuk lebih dalam, perusahaan pada umumnya itu hanya peka pada persoalan bisnis dan persoalan tekhnis karena itu bicara soal efisiensi itu menjadi rujukan utamanya. Perusahaan sangat peka terhadap persoalan teknis, bagaimana bisa jalan tapi persoalan sosial, lingkungan, di mana dia berada, dan bahkan juga lingkungan sosial internalnya itu kerap kali tidak menjadi perhatian utamanya. Itu kalau kita ngomong perusahaan. Saya punya pengalaman bagaimana mempertemukan antara berbagai kepentingan ini dan saya akhirnya memahami bahwa, oh perusahaan itu selalu peka terhadap persoalan bisnis dan tekhnis. Sementara pemerintah dan politisi itu selalu peka terhadap urusan sosial dan legal kenapa bicara legal? Karena legal inilah yang menjadi senjata untuk menghantam orang lain. Jadi legal itu selalu jadi senjata dan kemudian semuanya berlindung dibalik aturan. Orang lupa bahwa aturan itu bisa diubah setiap saat karena itulah melupakan esensi pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. Lah dari sisi masyarakat, masyarakat sendiri di lingkungan, itu umumnya dia tidak mau tahu, tutup mata sudahlah, yang penting kamu harus kasih itu, dan keinginan masyarakat itu tidak pernah terbatas karena selalu muncul setiap saat. Bagaimana dengan para politisi? Sama. Politisi ini umumnya adalah dia selalu tidak terbatas karena dia selama masih memerlukan untuk jadi pahlawan maka dia hanya soal siapa yang dihajar dan untuk siapa dia akan membela. Tergantung situasinya. Bagi pemerintah, birokrat, birokrat ini, saya tidak ngomong politisi sekarang, ngomong birokrat. Birokrat ini kerapkali CSR ini adalah ajang untuk menunjukkan kekuasaan karena birokrat ini dilindungi oleh Undang-Undang maka inilah kesempatan untuk menunjukkan kekuasaannya. Dia bisa meras ke kanan-kiri, dia bisa meras kanan-kiri karena bisa meras kanan-kiri maka orang harus bernegoisasi dengan dia. Nah celakanya lagi membangun masyarakat itu mestinya adalah tanggung jawab pemerintah, tapi acap kali diserahkan kepada perusahaan yang menurut saya sebenarnya berlebihan kalau perusahaan. Mengapa ini muncul? Sekali lagi karena itu tadi, semua bicara egoismn, tidak bicara semangat gotong royong, tidak bicara kebersamaan maka partnership sinergitas, kolaboratif action menjadi tidak ada, dia absen disitu. Ketika semuanya itu hadir dengan gairah, hasrat, dengan hassle-nya masing-masing dan tidak ketemu maka sebenarnya justru CSR ini menjadi isu untuk pertarungan. Bahkan dengan berbagai peraturan yang ada, itu seolah-olah CSR ini sebenarnya melegalkan bagaimana pertarungan antara masyarakat CSO, politisi dan para pengusaha. Nah dari apa yang saya coba baca, saya mohon maaf ini, karena saya kemarin minta staf saya riset gitu ya, dari semua peraturan yang sudah saya coba baca, ada putusan Menteri BUMN nomor 5 tahun 2007, nah kemudian ada Undang-Undang Perseroan Terbatas, ada Undang-Undang Penanaman Modal, ada Undang-Undang tentang minyak dan gas, pada umumnya ini belum mengatur kolaboratif action atau partnership. Yang saya baca misalnya RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
3
keputusan menteri BUMN nomor 5 tahun 2007 itu sebenarnya lebih mengatur urusan internal perusahaan, bagaimana menyalurkan dana lewat program dan bantuan yang disebut dengan CSR. Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 40 tahun 2007 lebih menitikberatkan pada penganggaran yang harus memenuhi unsur kepatuhan dan kewajaran dalam pelaksanaannya. Demikian juga PP yang menjadi turunannya, Undang-Undang Penanaman Modal tahun 2005 tahun 2007 subjek utamanya sebenarnya adalah perusahaan dan mengatur tentang sanksinya. Untuk pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat, diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi nomor 22 tahun 2001, tapi sekali lagi, ini bicara kewajiban perusahaan. Bahkan ketika ada pengentasan kemiskinan, CSR, Undang-Undang CSR disebut dalam Undang-Undang Pengentasan Kemiskinan karena dianggap potensi sumber dananya. Nah karena itu, itu diatur dalam Permensos nomor 13 tahun 2012 tentang adanya, pentingnya ada forum kemitraan perusahaan dan pemerintah. Jadi sebenarnya belum ada satupun undang-undang yang mendorong adanya kolaboratif action antara para stakeholder yang kemudian melahirkan sinergitas dan partnership. Saya kira disinilah relevansinya, mengapa Undang-Undang yang baru ini harusnya dibikin dengan new perspective new mission, kira-kira begitu. Ya jadi perspektif apa kalau begitu? Nah hal yang mendasar menurut saya yang harus disepakati lebih dahulu adalah jadi CSR ini alat untuk apa dan alatnya siapa? Undang-undang ini nanti? Menurut saya CSR ini harus menjadi alat bagi sustainable development dan semangatnya harus SDG’s ya, karena SDG’s ini bagus sekali menurut saya. Beda dengan Millenium Development Goals yang menempatkan orang miskin dan apa istilahnya, orang miskin, ada kemiskinan, ada hunger, ada kelaparan, satu sisi kemudian ada orang yang dianggap kaya gitu lalu harus, tapi semangat sustainable development itu bagus karena ada equality, ada partnership, ada kesadaran global, maka menurut saya kenapa Undang-Undang ini harus lahir? Karena konteksnya sekarang sudah SDG's bukan lagi Millenium Develoment Goals sehingga bagi perusahaan maka CSR nanti itu menjadi bagian dari stategis pengembangan bisnis maka inilah cara untuk berkembang perusahaan itu ya dengan CSR itu, bukan cara untuk diperas, tapi inilah cara untuk berkembang. Inilah cara ber-partner dengan menyiapkan basis sosial sekaligus menyiapkan basis human development di perusahaannya. Nah tidak ada perusahaan yang tumbuh berkembang secara berkelanjutan kecuali ia dapat mewujudkan tanggung jawab sosial, baik secara internal maupun di lingkungan bisnisnya yang menjadi mata rantainya. Dengan cara ini menurut saya undang-undang CSR harus menjadi alat yang mendorong dan memaksa, mohon maaf ini bahasanya agak memaksa, karena undang-undang itu harus memaksa ya, memaksa siapa? Memaksa politisi, penguasa, memaksa lingkungan sosial, memaksa para pengusaha atau perusahaan untuk saling memahami kunci sinergitas yang diperlukan. Jadi saling memahami itu kuncinya, dengan misi masing-masing. Perusahaan punya misi, masyarakat punya misi, pemerintah punya misi, tapi bagaimana sekarang diciptakan sinergitas. Jadi undang-undang ini nanti menurut saya, tidak boleh menjadi alat untuk menegasikan diantara stakeholder, tidak boleh dijadikan alat untuk menekan, memperlemah tapi harus mempertemukan bagi semuanya. Apa hal-hal yang dipertemukan untuk saling sinergi dan bagaimana mekanisme kontrol dan sanksinya? Saya baru bisa mencatat lima hal yang pertama adalah undangundang ini harus memastikan ada forum saling bertemu, dalam tahap apa harus bertemu apa. Jadi tahap perencanaan, tahap menengah, tahap lanjutan, kira-kira bertemu apa. Kedua undang-undang ini harus bisa mempertemukan untuk saling memahami niat visi dan misinya masing-masing karena kolaboratif action, sinergitas partnership itu enggak mungkin kalau tidak saling ngerti, demokrasi sekarang bukanlah debat approach-nya tetapi dialogis karena itulah hakiki permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bukan oleh kemarahan. Jadi jangan sampai kemarahan semangatnya dengan perusahaan itu satu dengan yang lain, semangatnya adalah hikmah dan kebijaksanaan karena itulah hakekat RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
4
permusyawaratan. Yang ketiga undang-undang ini harus menjamin adanya lahirnya rumusan, apa yang harus ada dan tidak boleh ada, yang menjamin pertumbuhan berkelanjutan. Jadi undang-undang ini harus mengatur misalnya bagaimana sih ada kesepakatan konsensus bersama. Apa yang harus ada, apa yang tidak boleh ada dalam partnership itu misalnya yang tidak boleh ada itu bahwa perusahaan tiba-tiba dia mengeksploitasi lingkungan, perusahaan bisa mengeksploitasi sosial, perusahaan bisa acuh sosial, itu tidak boleh ada. Dalam sinergitas itu misalnya tidak boleh penguasanya juga memaksa menggunakan CSR menjadi alat politiknya, itu tidak boleh menurut saya. Jadi approach-nya inikan sekarang gimana maksa perusahaan, tidak bagaimana duduk bersama-sama untuk tumbuh bersama-sama. Yang keempat adalah supaya tumbuh saling percaya maka harus ada mekanisme keterbukaan, open mechanism, gunanya apa? Untuk memperkuat komitmen diantara para pihak dan dalam rangka trust building, menumbuhkan saling percaya diantara semua stakeholder. Yang kelima mengingat capaian SDG's itu menjadi tanggung jawab masingmasing stakeholders maka Undang-Undang ini harus memastikan adanya mekanisme assessment terhadap kondisi kira-kira apa sih? Dimana kita ini sekarang berada dalam konteks SDG's? Yang kedua, mendorong lahirnya rencana aksi. So kalau begitu apa rencana aksinya? Nah dari rencana-rencana aksi yang dipahami bersama itu, maka baru ditanya kontribusinya masing-masing. Dalam pengalaman saya di Bojonegoro walaupun itu ada perusahaan multinasional yang sangat besar yang saya lakukan adalah saya mendengar bagaimana perusahaan itu melakukan social assessment, need assessment, kami juga melakukan, kami juga dengarkan masyarakat, bertemu NGO, bertemu politisi dari situ kemudian kita buat platform bersama dan dalam platform bersama itulah kita mengambil peran masing-masing tanggung jawab. Membangun infrastruktur tetap kepada pemerintah tapi bagaimana dia ingin ikut melakukan proses pemberdayaan, baik yang berbasis lahan berbasis ketrampilan, berbasis kolaboratif action, itu bisa sebagian diambil oleh perusahaan. Bahkan ketika kami kemudian meminta bagian dari social security approach yaitu karyawan-karyawan harus direkrut di situ, kami kemudian biaya training-nya itu, itu bukan menjadi tanggung jawab perusahaan, ya trainingnya dibiayai oleh government, yaitu oleh pemda. Tahun lalu misalnya saya mengeluarkan 12.000 paket untuk siapa yang mau pelatihan supaya dia bisa direkrut dan sosialisasi kami kepada rakyat adalah dia hadir ikut membuka usaha saja itu sudah membantu kita pada hakikatnya. Nah jadi dengan cara ini maka orang tidak kehilangan tanggung jawab masing-masing. Jadi Undang-Undang CSR tidak boleh dipakai untuk melempar tanggung jawab perusahaan punya tanggung jawab, politisi punya tanggung jawab, pemerintah punya tanggung jawab, masyarakat, NGO, semua punya tanggung jawab. Jadi CSR ini sekali lagi sama sekali tidak boleh dipakai alat untuk mengubah, memindah tanggung jawab pembangunan dari pemerintah kepada perusahaan. Kira-kira itulah poin-poin yang ingin saya sampaikan dan ini sebagian detailnya, case-case-nya saya sudah tulis, sudah tulis cukup lengkap di sini. Terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih banyak Kang Yoto, untuk selanjutnya kami persilakan yang terhormat Ibu Suryani Sidik Montik. Beliau adalah Wakil Ketua bidang CSR persaingan usaha dari Kadin Indonesia. Kami persilakan.
RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
5
PEMBICARA : Dr. SURYANI SIDIK MOTIK (NARASUMBER KADIN) Terima kasih. Ini bentuk kolaborasi yang baik antara pemerintah dan swasta. Kita mau ngomong saja sudah lansung dipencetin. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ibu Pimpinan Rapat yang saya hormati, teman-teman dari DPD, tim ahli dan juga Pak Nyoto yang sangat populer. Ya saya sih setuju saja Pak, kalau Bapak nyalon jadi DKI Pak, langsung kampanye. Saya orang Betawi loh Pak. Ibu Pimpinan Rapat dan teman-teman, saya kira tadi sudah banyak yang digambarkan oleh Pak Nyoto mengenai CSR ya, terutama penekanan yang cukup baik sekali yang saya sangat salut datangnya dari pihak pemerintah karena belakangan ini dalam kurun waktu satu minggu, kalau kita lihat mulai dari koran “Jakarta Post”, kemudian “Pikiran Rakyat Bandung”, banyak sekali koran koran berita-berita yang mengangkat soal CSR dan kaitannya hubungannya dengan pemerintah, persis dengan apa yang dikatakan oleh Pak Nyoto. CSR ini dijadikan alat untuk pemerintah dalam artian negara, dalam artian apakah nanti gubernurnya apakah pemdanya begitu untuk meminta dana yang akibatnya nanti berakibat buruk ke kedua belah pihak. Ada kasus misalnya ASTRA, kita beberapa kali mengadakan FGD itu dimintai CSR-nya akibatnya dua-duanya masuk penjara karena dianggapnya uang sogokan gitu karena oleh pihak lawannya kemudian pengusaha, ke pengusaha dibilang uang sogokan ke pemerintahnya sendiri dianggap uang, sama saja uang itu juga korupsi juga gitu loh. Nah itu banyak kasus muncul kita belum lama lagi ada satu daerah yang mengungkapkan bahwa mereka tidak akan memperpanjang izin perusahaan karena dana CSR-nya kurang. Ini kasus-kasus yang belakangan ini baru muncul. Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam bergaul didalam tataran lingkungan dunia, kita juga meratifikasi peraturan-peraturan yang disepakati oleh dunia. Dalam konteks CSR, dulu kalau dilihat sejarahnya memang sebelum kita meratifikasi ISO 26000, CSR itu identik dengan community development. Jadi mulai dari zaman Pak Harto kita pernah dengar ada program anak angkat, bapak angkat, program BUMN kemudian keuntungan BUMN yang 1 – 5 %, kemudian juga yang kemudian diintrodusir jadi program anak angkat, bapak angkat itulah pemahaman CSR yang selama ini dipahami oleh kita semua. Kita dalam artian mayoritas orang Indonesia, mayoritas perusahaan juga, mayoritas pejabatnya juga dan mayoritas politisinya juga. Oleh sebab itu KADIN sebagai organisasi yang menaungi para pengusaha kita juga bekerja keras untuk menjelaskan keanggota kita, baik di pusat maupun di daerah-daerah, kita sudah lakukan sosialisasi dan kita alhamdulillah sudah berhasil membuat buku pedoman yang akan kita bagi ini, pedoman CSR. Apa itu CSR? CSR bagi KADIN adalah kita meratifikasi ISO 26000. Didalam ISO 26000 itu apa? Bahwa CSR tidak hanya meluluh pada soal pembahasan kemiskinan, fokusnya setuju tadi yang dibilang Pak Nyoto adalah sustainability karena Kadin, karena perusahaan, sustainability dari perusahaan itu sendiri, kalau kita bicara sustainability berarti juga kebaikan dari stakeholders-nya perusahaan. Stakeholder itu siapa? Masyarakatnya juga, pegawainya juga, kemudian lingkungannya juga. Saya ini cocok banget sama Pak Nyoto, ini begitu bahwa memang sustainability konteksnya itu. Jadi tidak mungkin perusahaan akan berjalan berkembang dengan baik kalau misalnya masyarakat, daya beli dimasyarakat sekitarnya tidak berkembang, tidak nambah, tidak mungkin perusahaan akan sustainability dan bisa berkembang kalau kita tidak mampu menyerap tenaga kerja di lingkungan yang ada. Kita bawa tenaga kerja dari Jawa, perusahaannya di Kalimantan pasti akan menimbulkan social unrest, itu juga tidak diinginkan oleh perusahaan. Kenapa misalnya investasi di China besar-besaran bawa tenaga kerja Indonesia marah? Karena persoalan itu juga kan, jadi ini persoalan sustainability, jadi dalam konteks itu, benar. Kemudian sepakat RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
6
juga saya dalam kontek bahwa balik lagi bicara CSR itu, itu ada motif, ini kalau bicara di sini itu ada relation motive, ada moral base motive, ada instrumental motive. Jadi bukannya apa, tidak, CSR itu tidak semata-mata hanya keinginan dari perusahaan itu sendiri, tapi pasti bergeraknya ditujuh area termasuk pendidikan, termasuk misalnya kesehatan, lingkungan kemudian termasuk juga soal HAM didalamnya ada. Jadi ada 7 hal, nanti bisa di bagikan bukunya. Nah sebelumnya saya lupa, saya ingin memperkenalkan ini dari KADIN ada dua ahli. Ibu Maya ini juga pemikir, konsultan dan praktisi dibidang CSR, Pak Asida juga, dan sebenarnya ada satu lagi Ibu Nita yang sekarang menjadi tim ahlinya disini, ini tim kita untuk CSR di KADIN, menyelundupkan diri. Kalau dalam konteks tadi yang dijelaskan oleh Pak Nyoto, saya setuju, jadi, namun saya melihat begini yang hari ini kalau kita mau bicara soal strategi bersama kita juga senang para pengusaha, misalnya begini, kita ingin sebenarnya para pengusaha itu kalau pemerintah apakah di pusat ataukah di daerah punya maping-nya. Ini loh yang kita butuhkan, misalnya untuk pengembangan daerah, kekurangan kita ini, kan perusahaan hadir. Kalau bicara kewajiban perusahaan, perusahaan itu sudah punya kewajiban yang namanya pajak. Ini adalah sukarela, motifnya sukarela bukannya wajib CSR. Jangan salah, nanti kita diketawain sama dunia kalau kita bilang ini kewajiban. Kewajiban kita itu hanya adalah pajak. Ini beyond dari kewajiban, kalau beyond dari kewajiban kan lebih. Kalau wajib lebih dari yang wajib itu saya tidak tahu apa lagi namanya, sunnah muakad jauh lebih ibadahnya yang sudah melebihi dari kewajiban yang ada. Jadi beyond dari kewajiban yang ada ini CSR. Kenapa? Karena pasti kalau orang pengusaha yang berpikirnya untuk sustainable pasti mereka akan melakukan CSR walaupun, dan CSR ini tidak hanya pada perusahaan yang besar, yang kecil juga melakukan CSR sesuai dengan kapasitasnya. Jadi UKM-UKM kita sebenarnya, kalau kita rumuskan, UKM-UKM kita sudah melalukan CSR dalam bentuk misalnya ada keluarga orang tuanya sakit, dikasih pinjami uang, itu kan CSR dalam bentuk yang lain, anaknya mau masuk sekolah tidak punya uang, nah ini dalam bentuk-bentuk kecil. Nah yang belum dilakukan hari ini memang, ini public private partnership yang belum ada, jadi dalam CSR juga bisa dikembangkan yang namanya public private partnership. Misalnya perusahaan punya dana atau pemerintah punya, kita paham bahwa para pemerintah punya keterbatasan dalam konteks anggaran, tetapi jangan minta ke pengusaha anggarannya, ini loh pemerintah punya program kedepan katakanlah pemerintah daerah ingin, atau punya persoalan di daerahnya tidak punya rumah sakit atau tidak punya, dijelaskan persoalan-persoalannya, tingkat pendidikannya mayoritas masih SD dan sebagainya, atau katakanlah tidak punya air bersih. Lalu dikumpulkan misalnya pengusaha-pengusaha yang ada disetempat. ini loh maping-nya daerah ini, persoalanpersoalan kita, pasti perusahaan akan dengan sukarela, oke, karena usaha saya misalnya Aqua, air saya akan lebih cocok kalau saya bermitra dengan pemerintah dalam konteks CSR saya masuk pengadaan air bersih, misalnya. Perguruan tinggi saya akan sediakan beasiswa untuk anak-anaknya misalnya, nah ini bentuk kemitraan CSR yang memang belum banyak dibahas antara pemerintah dengan swasta. Ini masih satu pihak. biasanya pengusahanya juga sudah. saya tidak memungkiri ada juga pengusaha yang menganggap ini biaya tutup mulut tapi pengusaha juga banyak yang ketakutan penyaluran CSR kalau dikasih lewat pemerintahan karena akibatnya nanti bermasalah balik lagi ke mereka gitu loh. Ini berimplikasi hukum. Oleh sebab itu, menurut saya nanti teman-teman akan menambahkan mungkin, saya kira kalau misalnya kita mau, DPD atau mau mengusulkan Undang-Undang CSR, mungkin tidak tepat istilah CSR, karena CSR itu hanya attach kepada coorporate sementara yang kita jelaskan tadi, itu tanggungjawabnya bukan hanya di korporasi tapi tanggung jawabnya di pemerintah, di kita semua. Jadi lebih kepada citizenship, jadi citizenship responsibility.
RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
7
Kita ini sebagai warga negara semua yang bertanggungjawab kalau misalnya mau coorporate kita sudah ada Undang-Undangnya, di Undang-Undang PT Undang-Undang PT Perusahaan. Nah ini kalau kita buat lagi Undang-Undang CSR nanti kita akan benturan dengan Undang-Undang PT yang ada, begitu dan juga tidak, tidak hanya mengatur perusahaan saja sementara yang tadi Pak Nyoto dan saya bahas semua, kita tidak hanya mengatur perusahaan, kita mengatur perilaku dari warga negara, perilaku dari civic gitu loh. Civic duties ini lebih kepada tanggung jawab warga negara Indonesia secara keseluruhan. Saya melihatnya seperti itu secara umum begitu, kalau tantangan hambatan saya kira kita sudah paham semua karena pemahaman yang masih salah akibatnya kita tahu tidak jarang kasus misalnya CSR yang masuk ke pengadilan, akhirnya masuk penjara karena identik dengan korupsi, dan tidak benar juga kalau misalnya dana CSR diserahkan pemerintah, pemerintah yang menyalurkan. Itu banyak kasus juga, lihat saja kasus DKI sekarang, salah satunya kan karena CSR juga. Yang benar adalah misalnya ini list-nya lets the perusahaan yang menjalankan kemudian perusahaan juga harus mem-publish-nya dengan baik. Ini loh yang sudah saya lakukan gitu supaya ada transparansi. Kita ke depan bicara transparansi. Mungkin dari saya sementara itu, mungkin Mba Maya ada yang ingin di tambahkan? Monggo. PEMBICARA : MAYA (KADIN) Baik, terima kasih, mohon izin. Pada intinya saya ingin melengkapi saja Bu, jadi bahwa CSR ini kalau misalnya ingin menjadi efektif dan efisien memang semua pihak harus mengakui dulu bahwa CSR, sorry, maaf, tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab semua pihak karena ketika tanggung jawab hanya dibebankan kepada perusahaan maka semua menjadi seolah-olah tugas perusahaan itu sendiri. Jadi semua pihak ini mempunyai kompetensi dan kapasitas masingmasing jadi dalam setiap kegiatan perusahaan tetap perlu dipertahankan pada kompetensinya masing-masing dan tahun lalu dari Kadin sudah berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian, kita sudah melakukan beberapa sosialisasi ke daerah, dan ternyata di daerah itu sudah ada yang forum yang dibentuk oleh Kemenko Perekonomian dan juga dengan Kemendagri yaitu FPED, Forum Pengembangan Ekonomi Daerah. Jadi forum ini sebetulnya lebih cocok untuk membicarakan permasalahan pengembangan daerah termasuk CSR kalau pun memang diperlukan forum CSR nantinya, itu sebaiknya ada dibawah FPED dan ketika perusahaan bicara dengan stakeholder-nya termasuk pemerintah, ketika yang dibicarakan adalah pengembangan daerah itu akan yang diberikan dikontribusikan oleh perusahaan itu bukan hanya sekedar dana donasi, tapi juga mungkin investasi. Jadi sangat penting untuk membicarakan CSR ini dengan diforum yang agak berbeda. Kemudian juga permasalahan yang ada di lapangan kenyataannya adalah banyak isu isu pembangunan yang ditangani oleh lebih dari satu sektor. Contohnya misalnya soal sanitasi, air bersih itu ya, itu ditangani oleh PU kemudian, lingkungan juga sosial dan juga kesehatan, mereka, daerah tertinggal juga ya Bu, ya kalau di daerah tertentu. Kemudian permasalahannya setiap kementerian, setiap dinas punya, program sendiri punya prioritas sendiri yang tidak sama, kemudian punya indikator yang berbeda sehingga ketika suatu perusahaan yang sudah mau melakukan kegiatannya ini kadang-kadang terbentur ketika dinas yang satu atau kementerian yang satu merasa ditinggalkan kalau perusahaan mengikuti peraturan atau mekanisme yang dibuat oleh kementerian dan dinas lain. Jadi yang diperlukan adalah komunikasi bukan hanya antara perusahaan, antar perusahaan dengan pemerintah secara sektoral itu juga perlu membuat kordinasi yang lebih baik supaya tidak menjadi membingungkan. Demikian mungkin sementara tambahan dari saya. Terima kasih Bu.
RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
8
PEMBICARA : KADIN Saya pikir tadi sudah dicakup hampir seluruhnya oleh Ibu-Ibu, jadi saya pikir cukup dari Kadin. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Ya terima kasih banyak kepada para narasumber yang kami hormati atas penjelasannya, luar biasa. Kita beri applause dulu karena itu kami persilakan kepada BapakIbu Anggota untuk menanggapi atau ingin kira-kira ada yang ingin tanyakan kepada narasumber kami persilakan. Ya, yang pertama yang terhormat Bapak Ahmad Jajuli, Senator dari Lampung. PEMBICARA : HI. AHMAD JAJULI, S.IP (LAMPUNG) Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semuanya. Bapak-Ibu Anggota, Bapak-Ibu Pimpinan dan narasumber yang hadir hari ini. Yang pertama kami menyampaikan rasa terima kasih telah diberikan sudut pandang dari dua yang berkepentingan dalam hal ini, yaitu Pemerintah Daerah dan Industri atau perusahaan ya dan senang sekali pengayaan yang begitu bermafaat dalam rangka untuk penyempurnaan draft yang sedang disusun terkait dengan RUU CSR. Mengawali kesempatan saya menanggapi, yang pertama saya pernah ke Pemerintah Daerah di Kabupaten Peringsewu di Lampung, saya Ahmad Jajuli dari Lampung, itu mereka bersemangat bahwa pemerintah daerah itu sebenarnya sudah banyak dibantu oleh perusahaan-perusahaan daerah, perusahaan-perusahaan kecil, leasing motor tetapi UndangUndang CSR yang lama tidak memasukkan dalam norma Undang-Undangnya yaitu hanya pada perusahaan gas, mineral dan perusahaan besar waktu dulu karena itu kenapa ini harus direvisi. Salah satunya karena belum menyangkut kepada perusahaan yang kecil yang ada di daerah. Pengalaman pemerintah daerah juga sama seperti Kang Yoto tadi nampaknya ketika mereka adalah perusahaan besar dan atau perusahaan cabang dari induknya maka di daerah tidak terlalu banyak manfaat CSR-nya. Bagi mereka, sekali lagi, kami tidak bermasalah katanya untuk mengeluarkan dana tetapi kami juga jangan diperas, jadi kata diperas ini agak kasar sebenarnya yang kami tangkap. Ternyata memungkinkan pejabat pemerintah daerah, oknum yang tertentu menjadikan ini sebagai ATM, apalagi kalau sudah mendekati Kang Yoto mungkin mendekati pemilu dan pilkada itu menjadi bagian dan sangat mengerikan ketika tidak diatur dalam Undang-Undang, kira-kira begitu. Karena itu Undang-Undang yang akan diarahkan nanti adalah Undang-Undang yang menyelamatkan baik untuk entah di perusahaan besar maupun kecil termasuk juga scope-nya, harus masuk ke daerah dan termasuk juga kewajiban pemerintah daerah terhadap perusahaan yang ada di, yang dikenai, ya kewajiban CSR tersebut. Ketika kami tanyakan bagaimana menurut Bapak dan Ibu soal pilihannya mandatori, wajib atau sunnah, pilihan mereka bilang kami lebih senang diwajibkan saja dan tidak keluar duit setelah itu. Jadi ada juga ya pernyataan yang menarik bagi saya begitu, tentukan saja dengan aturan-aturan yang baku Undang-Undang itu mengikat kami untuk mengeluarkan uang itu tetapi kami jangan diminta lagi yang lain. Apakah Kang Nyoto juga setuju sebagai pemerintah daerah seperti itu? Itu perusahaan yang bicara begitu ya karena dibalik itu ternyata banyak ya, namanya juga fulus ya, untuk memuluskan berbagai hal terjadi di daerah juga tapi terakhirnya mampus dan menarik gitu ya apa yang sampaikan oleh pemerintah RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
9
daerah Kabupaten Bojonegoro ya Kang Nyoto ya. Ternyata memang perlu sekali keterbukaan antara dua pihak. Nah kemudian beralih ke yang kedua, soal kewajiban kami di DPD RI adalah agar bisa Undang-Undang ini menjadi payung semua kepentingan karena menjadi payung bagi semua kepentingan tentu kecil apalagi besarnya itu harus dilindungi sebagai entitas warganegara bangsa yang memang Undang-Undang ini bisa. Jadi bukan semata-mata kita dalam rangka menyukseskan pembangunan tapi juga memperlemah posisi perusahaan, ya kira-kira begitu, tapi juga kami tidak ingin membiarkan perusahaan itu juga ke pusat terus, sementara di daerah itu yang paling banyak. Perusahaan meledakkan split batu meledakan gunung, ambil jalannya tidak pernah beres karena memang truknya truk fuso besar, tapi ketika diminta oleh kita tentang CSR-nya, sebenarnya pemerintah DPRD provinsi juga kabupaten sama kesulitan gitu. Nah contoh-contoh ini menurut saya, belum berlakunya Undang-Undang CSR secara efektif yang lalu, kira-kira, kira-kira selain poin-poin yang tadi yang Bapak dan Ibu sampaikan hal apa lagi yang memang harus diatur dalam UndangUndang tersebut? Karena setiap kali cerita narasumber yang disampaikan kepada kita di DPD RI ini adalah terpikir oleh kami adalah pasal, jadi ini masuk ke pasal mana, norma ini pasti masuk kemana, perdebatan apa pun kami tangkap, ujungnya norma apa ini? Masuk ke dalam pasal mana, kira-kira begitu. Nah belum juga diceritakan dari dua narasumber pandangan tentang hukumannya, sanksi kalau tidak melaksanakan kewajibannya. Mohon nanti ditambahkan lagi seperti apa sebaiknya Undang-Undang ini. Terima kasih Ibu Ketua. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih banyak Pak Ahmad Jajuli. Selanjutnya Ibu Maria silakan. PEMBICARA : MARIA GORETI, S.Sos., M.Si (KALBAR) Terima kasih Ibu Pimpinan, Ibu-Bapak Anggota Komite III, Ibu dan Bapak narasumber dan staf ahli yang saya hormati. Selamat sore salam sejahtera bagi kita semua. Sudah berapa kali ya kami mendapatkan tema-tema ini, tapi masih belum juga bagi saya secara pribadi, tidak menjadi tajam sayanya sendiri gitu, karena apalagi tadi setelah mendapat masukan dari Ibu Dr. Suryani Sidik Motik bahwa ini bukan beyond dari kewajiban begitu ya, tapi kami memahaminya Bu tanggung jawab. Ini tanggung jawab, ini tanggung jawab atau kewajiban ya? Karena saya rasa agak sedikit berbeda antara dua ini, terminologi ini tanggung jawab atau kewajiban. Kalau di lihat dari pemikiran Pak Bupati agak sedikit berbeda lagi begitu. Nah saya mau mencontohkan begini, kami, saya Maria Goreti dari provinsi Kalimantan Barat di tempat kami itu ada perusahaan besar dulu namanya PT. Yamaker. PT. Yamaker itu ambil intan dan kayu, kayunya namanya kayu belian kayu ulin, rumah-rumah di Jakarta ini banyak juga yang atapnya itu atap sirap namanya, itu dari kayu ulin, banyak juga yang di ekspor ke luar negeri, dan tentu saja ini terjadi sebelum orde baru berakhir begitu. Saya, pada saat saya masih wartawan saya pernah terancam jiwanya karena saya membuka satu rekening gendut dari Danrem, komandan regional kita di Indonesia tapi empat region Kalimantan timur, barat, selatan dan tengah, begitu. Nah semua Danremdanrem kita di kawasan, di empat gugus Kalimantan ini, itu besar-besar sekali tapi pada saat itukan media tidak seberani sekarang. Tentu kami melaksanakan investigasi ini dengan diamdiam. Nah kemudian saya punya energi untuk melihat napak tilas dari perusahan Yamaker ini, disepanjang 1.333 perbatasan kami memang dikuasai oleh PT. Yamaker ini Ibu dan Bapak sekalian, dan kalau kita lihat di sana masyarakatnya benar-benar sangat miris. Sekolah tidak ada, Pustu tidak ada, Puskesdes tidak ada, jadi benar-benar kayak binatang dibuat RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
10
mayarakat. Sementara kayu-kayunya itu besar-besaran dan Tuhan hanya memberikan pada bumi Kalimantan, memberikan kayu ulin itu. Nah sebenarnya menurut saya, Undang-Undang ini terlambat, setelah tanah habis kayu habis, kami juga punya tambang jadi saya tadi membagi kekayaan Indonesia itu ada yang dibawah tanah ada yang diatas tanah sekarang ini kita bangsa Indonesia hanya menguasai yang di atas tanah lagi sawitnya, karetnya kaya-kaya begitu. Nah memang kalau menurut saya sih terlambat kalau Pak Bupati tadi menyampaikan ini wajib apa tadi pakai terminologi seharusnya sudah ada begitu tapi saya merasa ini belakangan sekali Ibu, setelah bangsa kita habis, kekayaan alamnya baru kita ngomongkan tanggung jawab sosial. Kalau saya masih pakai pemahaman CSR ini tanggung jawab sosial dan sebenarnya menurut saya perusahaan ataupun apapun nanti, mungkin memang harus diatur seperti tadi Ustadz Jajuli sampaikan. Kami kan mendengarkan apa katakanlah basis argumentasi dari Ibu dan Bapak sekalian lalu kami ini harus punya energi lagi dibantu staf ahli untuk bagaimana membuat basis argumentasi Ibu dan Bapak yang sangat baik-baik ini tadi kedalam perUndangUndangan atau klausul-klausul begitu dan itukan ada ilmunya tersendiri begitu Bu. Jadi mungkin perlu diluruskan ini kewajiban atau tanggung jawab atau bagaimana yang sudah terjadi masa lalu, tadi juga sanksi. Bisakah kita misalnya, soalnya masih ada tuh kaya contoh PT Yamaker ini masih ada, mereka mengganti nama menjadi perusahaan-perusahaan lain. Biasanya ujung-ujung nama mereka itu pakai lestari atau ceria kaya begitu-begitu, kalau kita lihat siapa dibelakang perusahaan-perusahan itu pastilah, mohon maaf, saja saya sebutkan saja tentara. Biarpun kita disini ada yang bersuamikan atau beristrikan tentara ya menurut saya mereka memang jadi orang yang punya dosa asal juga kepada bangsa ini, terima kasih itu saja dari saya Ibu. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih banyak Ibu Maria, yang selanjutnya KH. Ahmad Sadeli Karim, Senator dari Banten. PEMBICARA : KH. AHMAD SADELI KARIM, LC (BANTEN) Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ibu Pimpinan Rapat, para Anggota DPD, narasumber yang saya banggakan dan juga rekan-rekan staf ahli. Cukup luar biasa narasumber dengan dua sisi kepentingan pada saat yang pertama adalah pemerintah kedua adalah pengusaha. Kalau di Jakarta cocok ini, elum adakan wakil gubernur dari perempuannya kayanya. Saya orang Banten, saya pernah reses itu ke Cilegon, Bojonegara. Bojonegara itu ya itu pabrik, disana besar-besar. Jadi ketika saya tentang CSR mereka bilang kami hanya dikasih tong buat sampah, tong, sedangkan Kapolda mendapat 20 motor. Ini kan jelas bahwa perusahaan itu ingin aman, jadi mereka sekuriti yang mereka pertahankan bukan tanggung jawab sosial. Jelas kan itu. Mereka mengeluh, mengajak saya untuk menghadap ke perusahaan itu. Saya bilang begini saja, buat surat ke DPD, tugas negara, kalau selonong begitu juga tidak bagus, kita juga harus ada surat DPD baru saya akan datang dengan tim, saya bilang gitu, tapi kan kita juga tidak bisa berbuat apa-apa karena undang-undang-nya belum ada. Ini salah satu contoh bahwa di Banten saja, rakyat mati di lumbung padi. Istilahnya perusahaan besar-besar tapi rakyatnya sama juga di pabrik kimia di Cilegon itu, yang besar ada Sahid Mas, ada juga satu lagi yang punya, siapa itu, itu setiap saya ke belakang, saya ke belakang pabrik itu ada kampung, di sana itu baunya bukan main karena mereka tidak punya apa-apa lagi, tanah mereka disitu, mereka tidak mau pergi ya seperti RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
11
itulah kondisinya. Saya tanya apakah perusahaan ada? Silakan ibu nanti sebelum Anyer itu ada pabrik sebelah kiri, besar, kimia itu kita ke belakang ada kampung Pak. Jadi begitu kita sampai ke situ ya kasihan juga melihatnya sudah bau kimia, kan bau limbahnya luar biasa. Ya wallahu a'lam saya tidak tahu, apakah mereka airnya seperti apa tapi kan jelas sekali tanggung jawab sosial mereka itu tidak ada. Kemudian juga saya pernah juga di Jawilan itu ada pabrik limbah B3, jaraknya hanya 90 meter dari pabrik itu 50 meter kampung. Nah itu kembali ke sana dan masyarakatnya itu banyak yang gatal-gatal ya dan mereka datang ke sini, demo mereka ke sini dan saya 3 hari kemudian saya datang ke sana, saya periksa betul, saya foto segala macam, saya lapor ke Pak Farouk dan beliau ke menteri KLH dan alhamdulillah delapan bulan yang lalu ini sudah di tutup dan LSM di sana dan ini karena apa? Ini kan izinnya ini kadangkala kepala daerah ini izinnya sembarangan saja yang penting adalah ini juga kenapa? Karena juga pilkadanya kan memerlukan uang jadi memang demokrasi yang cost-nya tinggi ini. Ini melibatkan kepala daerah juga banyak yang kemudian tidak mengerti apa yang, Batang itu tempatnya dimana juga tidak tahu, yang penting tanda tangan saja, yang penting ada. Ini sebenarnya benang kusut ya, adanya kaitan-kaitan gitu. Nah ini sebenarnya maka itu harus dibuat Undang-Undang ini. Lain ketika kita misalnya pergi ke Aceh, mungkin pada teman-teman yang pernah ke Aceh ya ini saya pernah ke Aceh bersama Pak Sudirman ke Aceh yang Perancis, punya modalnya Perancis. Kami kesana itu juga masalah CSR tentang apa itu kue dibawa sama kita itu buatan masyarakat mereka itu perusahaan itu sebelum membangun.... (suara tidak jelas, red) Orang kecamatan situ yang tua sehingga CSR-nya itu membuat masyarakat itu buat kue buat untuk pekerjaan-pekerjaan yang bisa, jadi mereka membuat apa pemberdayaan-pemberdayaan terhadap masyarakat. Artinya baju yang mereka pakai itu dibuat oleh masyarakat, kami ini seragam pabrik ini semua itu buatan masyarakat yang kita biayai dan kita latih sebagai penjahit ini. Nah ini kan bagus ini, itu kan kelangsungan perusahaan juga bagus ya, masyarakat juga menjadi sejahtera, buruh juga orang situ tidak ada masalah. Jadi tidak harus kemudian sekuriti harus bayar apa 20 motor misalnya, berapa ya ke danrem itu tidak usah ada kalau memang kepala daerah yang menentukan izin itu bisa baik dan itu harus diatur. Itu mungkin, terima kasih. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Ya terima kasih Pak Kyai. Yang selanjutnya Pak pendeta silakan . PEMBICARA : Pdt. CARLES SIMAREMARE, S.Th. M.Si (PAPUA) Terima kasih kalau saya dapat bagian kesempatan untuk bertanya sekaligus mungkin bikin berdiskusilah tentang CSR ini. Begini Bapak dan Ibu narasumber, pada reses yang lalu saya sengaja melakukan pertemuan dengan PT. Freport khususnya yang menangani sosial ya karena tidak spesifik mereka sebut CSR tetapi adalah bagian sosiallah seperti itu. Nah dari hasil pertemuan itu mereka mempresentasikan kegiatan yang mereka lakukan baik disekitar areal tambang maupun di areal Timika. Jika saya menghitung dan mereka juga hitung bersama, total yang mereka keluarkan itu bisa sampai 3 triliun satu tahun, mereka menyembut dana 1% itu salah satu mereka sebut walaupun dana 1% ini diserahkan kepada lembaga adat di situ yang mengelola. Kedua mereka juga menyebut adalah mereka punya rumah sakit sehingga masyarakat Papua disekitar situ semua berobat gratis. Sekolah juga mereka bangun dan mereka beri sekolah gratis. Bahkan juga mereka membangun ada bandara-bandara di perkampungan dan distrik-distrik yang sekitar di sana dan juga sarana sosial dan sarana umum lainnya. Nah jadi mereka meng-cover ini semua sampai sebesar itu. Nah yang saya khawatir seperti yang disampaikan tadi apabila dana ini mereka gunakan untuk kepentingan politik mereka bisa RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
12
menentukan siapa mau jadi gubernur, siapa mau jadi bupati. Nah hal-hal seperti ini mungkin perlu kita diskusikan bagaimana mengaturnya supaya jangan sampai pengelolaan anggaran seperti ini tidak diterimakan tunai oleh pemerintah atau pengelolaannya tidak diserahkan kepada pemerintah tetapi seperti saran Ibu tadi. Pemerintah cukup mengajukan hal-hal apa program yang didukung oleh perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat di sekitar. Mungkin itu saran saya, tapi ya mohon tanggapan. Terima kasih. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Selanjutnya yang terhormat Bapak Senator Abdul Aziz Senator dari Sumatera Selatan. PEMBICARA : ABDUL AZIZ, SH (SUMSEL) Iya terima kasih ketua. Yang saya hormati teman-teman Senator, terima kasih atas doanya kemarin pada Almarhum Ibu saya. Pak Bupati Bojonegoro yang top sekali ini, Bu Suryani sampai kebelet ini mau nyalonin Bapak jadi gubernur itu ya. Di sini saya menanggapi tentang CSR ini adalah memang ada sepakatnya, tidak sepakatnya dengan Bu Suryani. Pertama memang tanggung jawab sosial itu adalah kewajiban warga, seluruh warga negara, dan adalah kewajiban lebih wajib lagi pemerintah. Untuk itu maka secara prinsip, saya juga tidak juga ingin sama dengan dunia bicara tentang CSR, bahwa Indonesia berbeda karena Indoensia punya cita-cita kemerdekaan sendiri dan menjadi negara yang punya mimpi untuk menyejahterakan, kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya kira itu yang menjadi prinsip pertamanya sehingga CSR itu diadopsi di dunia dan juga konstitusi kita. Nah sedangkan kewajiban untuk menyejahteraan negara bangsa itu adalah pemerintah maka kalaupun memang warga negara memang terlibat, pemerintah punya kewajiban dan juga sesuai dengan konstitusi kita, kita adalah masyarakat yang gotong-royong. Jadi saya sih berpikir bukan berarti beyond, betul ini lebih dari soal kewajiban ya. Di luar itu, lebih dari itu, saya kira mesti diatur secara normatif sehingga apa tanggung jawab sosial itu secara praktis pemerintah tetapi harus bergotong-royong dengan warga dan para pebisnis apa istilahnya yakan, jadi saya lebih sepakat kalau memang ini sebuah kewajiban. Bagi karena begini kita ini pemerintah ini kan sekarang ini kita hutangnya banyaknya minta ampun kan. Lalu kita membangun ini dengan dana yang sangat terbatas hingga apa tidak ada mimpi sejahtera itu, kita sampai mati kita tidak mungkin kalau tidak gotong royong, maka saya punya prinsip kalau perusahaan seluruh Indonesia itu yang berdiam dan hidup di Indonesia, mencari uang di Indonesia itu wajib untuk bergotongroyong. Jadi di luar di luar pajak Bu ya, ini bicara sosial ya, bicara sosial maka kita wajib bergotong royong dengan pemerintah maka ada tadi bicara sinergi. Jadi kalau dia sudah diwajibkan dan tidak hanya menurut saya CSR kan dari sejarahnya adalah perusahaan-perusahaan besar yang merusak lingkungan kan tidak hanya di situ tetapi perusahaan-perusahaan yang hidup di Indonesia juga harus mengeluarkan CSR, menurut saya hingga keterlibatan perusahaan ya terhadap cita-cita Indonesia untuk sejahtera itu disitu diletakkan. Kalau gak pemerintah ini kedodoran Ibu Ketua, tidak akan pernah menurut saya Indonesia itu sejahtera kalau kita tidak kita keroyokan gitu loh bahasanya. Jadi yang cari duit itu mesti disisihkan melalui keuntungan. Memang ada problem lagi nanti pasti ada ya biasakan, ya bagaimana supaya dia kecil keuntungannya, ya itu hal lain menurut saya tapi kalau misalnya ini menjadi kewajiban dulu yang harus disisihkan, karena begini Pak, kita ini kalau tidak diwajibkan perusahaan itu enggak, di luar perusahaan yang ini ya yang menggali alam ya, yang mengeksploitasi alam itu enggak, gak peduli RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
13
padahal ribuan Ketua, perusahaan yang dapat duit dari kerja di Indonesia ini. Masa sih bisa begitu jadi kalau ini kita jadikan pendulum untuk bicara kesejahteraan sosial Indonesia ini saya kira ini instrumennya. Kalau tidak mau pakai apalagi, saya kira ini salah satu instrumen untuk menuju Negara Indonesia sejahtera ini, kalau tidak, saya kira jangan juga cuma dibebankan kepada perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam ya kan karena jumlahnya juga tidak besar, sangat kecil karena perusahaan-perusahaan yang lain itu tadi itu kalau dia tidak tanggung jawab ya kira-kira ya, inikan tanggung jawab sosial kalau mereka tidak tanggung jawab dia tidak dikenakan sanksi. Sedangkan visi bangsa ini dia tidak apalagi yang dari luar negerikan kelompok-kelompok yang sekarang ini sudah mulai kita berdatangan kan, kita saja Indonesia saja nasionalisme saja dipertanyakan, apalagi dari luar maka saya saya sih sepakat kalau CSR itu wajib bagi seluruh perusahaan. Tinggal diatur misalnya besaran-besarannya dari keuntungan begitu, terutama ya yang mengeksploitasi alam. Jadi saya tidak sepakat kalau dengan Kadin ini bagaimana, saya kira cita-citanya itu dulu saya sih, lebih ke prinsipnya bagaimana Indonesia itu sejahtera, kita gotong royong sama-sama kita bisa bayangkan seperti apa, terus kita atur sama-sama, bersinergi dengan pemerintah dan seluruh masyarakat bangsa ini. Saya kira prinsip itu dulu Ketua, baru yang lain-lain kalau sudah ketemu bisa kita atur kemudian. Terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Wa'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih banyak kepada Bapak-Ibu Anggota Komite III. Sekarang kami persilakan kepada para narasumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi silakan. NARASUMBER : Drs. SUYOTO, M.Si (BUPATI BOJONEGORO) Terima kasih. Saya kira saya tidak berpretensi untuk menjawab atau memberikan pandangan tapi lebih pada, juga tidak ingin menegasikan semua pendapatan tadi itu, lebih bagaimana kirakira kita ingin mempertajam dan memperkaya wawasan pandangan yang nantinya akan menjadi pilihan-pilihan didalam memutuskan sebuah Undang-Undang. Saya akam memulai dari apakah tanggung jawab sosial ini sebenarnya adalah kewajiban? Menurut saya sebenarnya tidak perlu dikontradiksikan bahwa setiap entitas dalam sosial itu pasti punya tanggung jawab sosial. Jadi menurut saya ya sifatnya pasti wajib, kalau disebut wajib karena ini undang-undang bahwa setiap perusahaan, setiap usaha pasti punya kewajiban yang namanya adalah tanggung jawab lingkungan hidup, yang kedua adalah tanggung jawab sosial itu menurut saya sudah pasti. Masalahnya adalah karena yang punya tanggung jawab sosial itu bukan hanya perusahaan, masyarakat itu juga punya tanggung jawab terhadap sedirinya. Yang kedua adalah pemerintah punya tanggung jawab terhadap masa depan bersama karena itu dari sisi kewajiban tanggung jawab sosial menurut saya itu sudah seharusnya. Tinggal bagaimana kita mengatur mekanisme, dimana partnership atau kolaborasi tadi itu itu bisa terjadi. Saya punya kasus yang sungguh berbeda, tergantung kasusnya, pada kasus perusahaan multinasional yang mereka sudah sangat paham untuk bagaimana melakukan tanggung jawab sosial maka sinerginya itu jauh lebih gampang. Begitu kita bikin social assessment, kita bikin bersama social assessment-nya lalu kita duduk bareng-bareng, ini yang kemudian bahasa kami waktu itu tinggal begini “eh ini masalah sosial kita, masalah lingkungan hidup kita ini.” Semua kita itu ingin ini berubah lebih baik, masyarakat sudah kita RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
14
tanya apakah anda ingin lebih baik? Iya, tadinya itu seperti yang dibilang Pak Kyai dari Banten tadi, pilihan perusahaan nasional itu lebih gampang melakukan biaya, membiayai petugas keamanan. Lalu kami yakinkan berdasarkan mitigasi dari sisi Pemkab karena Pemkab itukan punya alat sebenarnya, punya alat Pakesbang yang alat Kominda untuk melakukan mitigasi dari sisi keamanan dan sosial. Lalu kami menemukan ada tiga pemicu konflik. Yang pertama adalah ketika lingkungan, tata ruangnya tidak di tata dengan baik, itu bisa menimbulkan konflik untung ada Undang-Undang Migas yang mengatakan bahwa semua perusahaan itu wajib menghormati hak-hak lokal, hak adat. Nah dari mitigasi kami ketika perusahaan off shore yang 600 hektar lebih itu dia harus memecah-mecah beberapa desa. Kami kemudian menemukan masyarakat, kan bahaya Pak, kami bisa terpisah secara sosial. Nah ini sebenarnya bagian dari tanggung jawab sosial itu yang implementasinya kemudian adalah dalam tata ruang malahan, approach-nya adalah lingkungan hidup. Lalu yang kedua adalah kami mitigasi lagi apa yang membuat masyarakat ini tidak bisa, sebenarnya kadang kenapa kok dia reaktif sekali? Nah bahasanya orang CSR itu bagaimana gaining socialize to operate, cukup kira-kira apa sih yang membuat masyarakat itu rela? Kemudian kami tanya yang kedua apa yang Bapak-Ibu aspirasikan? Pak, kami ingin dapat pekerjaan pak dalam proyek itu terus yang ketiga apa? Pak kami ingin juga ada bisnis disitu. Lalu kami mitigasi lagi, anda bisa kerja apa? Karena anda setelah kita tanya anda bisa kerja apa, kami indentifikasi, lalu tinggal perusahaan kita tanya perusahaan multinasional. Anda nanti ada project ini, ini bisa tidak anda menyampaikan apa pekerjaan yang kira-kira memungkinkan untuk orang lokal lakukan? Lalu perusahaan mengatakan yang ini kira-kira bisa Pak, kalau yang ini bagaimana? Wah ini ada perlu Pak semi skill, saya bilang bagaimana kalau kita training yang bisa itu supaya bisa? Wah oke Pak kalau memang bisa di training nanti bisa diterima Pak disitu? Nah kemudian bagaimana perluang bisnisnya? Peluang bisnisnya begini Pak, Pak kami tidak bisa kalau langsung tapi kalau sub kontraktor, dari situlah kemudian kami bikin mekanismenya supaya pertama pengusaha lokal tidak bisa minta semena-mena, tidak cakap pun tidak bisa begitu, tapi kemudian jangan juga dia diperlakuan standar internasional, maka kami minta turunkan standarnya karena sambil mengedukasi. Kalau perlu diedukasi bagaimana membuat invoice, buat macam-macam ini perusahaan lokal yang kelasnya tidak bisa begitu kalau dia harus buat invoice dengan standar internasional. Lalu para pengusaha ini justru kita didik, mana yang Pemkab didik, mana yang perusahaan didik, karena apa? Harus ada keberpihakan. Ide keberpihakan ini sebenarnya lebih murah daripada kita mengeluarkan biaya untuk keamanan yang bisa 30-40 miliar di dalam sebulan, karena apa? Ini jatuhnya lebih murah orang-orang ini. Bahasa kami kemudian lebih murah membuat pagar mangkok daripada membuat pagar baja, pagar mangkok itu bikin orang gembira itu loh tetapi kalau pagar kawat itukan takut. Itu sebenarnya semua orang. Nah ini dimungkinkan karena kemudian kita sevisi tentang tanggung jawab sosial bahwa ini kita memerlukan dukungan sosial, tidak mungkin ini bisa jalan perusahaan ini. Pada kasus seperti ini kita perlukan begitu, tapi ada kasus yang lain, yaitu ketika kami di Bojonegoro itu membuat policy insentif investasi untuk perusahaan-perusahaan yang mau membuka usaha di lingkungan orang miskin. Jadi kami ini di Bojonegoro saya membuat peraturan bupati, insentif investasi untuk orang-orang apa, bagi pengusaha yang mau buka di kawasan kantong-kantong kemiskinan. Apa investasinya? Tidak berlaku UMK, UUP karena kami memilih human productivity approach. Yang kedua misalnya izin kami urus yang ketiga itu adalah bebas pajak. Lima tahun diberikan bebas pokoknya semuanya bebas pajak. Yang keempat infrastrukturnya costumize, apa yang diminta kami berikan. Nah ini yang kelima ini tidak boleh dimintai bantuan. Jadi kami bikin konsensus tidak boleh ada orang minta bantuan pada perusahaan ini, mengapa? Karena dia hadir disitu. Mempertaruhkan uangnya dan menciptakan lapangan RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
15
pekerjaan, itu bukannya tanggung jawab sosial, itu tanggung jawab kebangsaan bahasa saya. Jadi ada istilah tanggung jawab yang lebih tinggi lagi itu tanggung jawab kebangsaan itu ya. Jadi ada tanggung jawab kebangsaan dan tanggung jawab sosial. Ini di atasnya tanggung jawab sosial sudah. Kenapa? Karena itu jangan sampai dia mati justru lingkungan itulah yang ingin perusahaan ini tidak mati karena kalau sampai perusahaan ini mati nanti tidak dapat pekerjaan. Jadi sebenarnya mengatur rigit Undang-Undang ini itu justru menurut saya paling penting bukan kewajiban anda bayar berapa, bukan itu menurut saya, tapi bagaimana sebenarnya perusahaan itu hadir dan saling stakeholder tadi itu masyarakat, pemerintah itu kemudian diwajibkan justru pada mekanisme untuk berkolaborasinya itu yang paling penting menurut saya karena kalau menyangkut anggaran, menyangkut dana itu bisa jadi tidak perlu dana. Jadi perusahaan yang saya sebutkan terakhir itu tidak perlu dana sama sekali itu, justru kita yang bantu, wong training-nya kita bantu, gorong-gorong semua kita bantu, yang ngurusinkan listrik kita, kenapa? Ya dia murni hanya bicara bisnisnya karena bagi kami dia hadir di bisnis itu sudah memberi sesuatu yang luar biasa, bagian dari tanggung jawab negara inikan. Saya setuju dengan yang disebut Bapak-bapak Senator tadi inilah pendekatan gotong royong, pendekatan musyawarah yang agak, yang sekarang sudah tak hadir begitu ya. Kalau boleh bahasa saya itu bagaimana undang-undang ini itu membangkitkan gairah kearifan bukan gairah keserakahan dari semua pihak. Jadi inikan gariah kearifan sebenarnya dibangkitkan, kenapa? Ada kearifan sosial bersama-sama dan kalau ini tidak hadir menurut saya, bangsa kita malah colapse, kenapa? Karena ketika perusahaan dengan kapitalisme approach lalu penguasanya menjadi bos yang mendistribusikan uang tapi ada luka sosial, itu jauh lebih mahal ongkosnya dan luka sosial ini ketika menemukan tempat simplifikasi dengan isu etnik dan agama maka bangsa Indonesia tidak memiliki social capital lagi dan jauh lebih berbahaya. Karena itulah menurut saya Undang-Undang CSR ini arahnya adalah membangkitkan kearifan sosial ini dan itu jati diri daripada Pancasila kita karena seluruh sila kita sebenarnya disitu ujung-ujungnya maka tidak boleh misalnya ini melahirkan jagoanjagoan atau warior. Bagaimana ini mengurangi, membuat politisinya arif perusahaannya arif, masyarakat arif, memahami masalah bersama-sama kemudian bersama-sama berkabolarasi melahirkan masa depan yang lebih baik untuk perusahaan. Saya kira itu Pak tanggapan saya. PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih banyak Kang Yoto. Kami persilakan kepada Ibu Suryani untuk menjawab. NARASUMBER : Dr. SURYANI SIDIK MOTIK (KADIN) Terima kasih. Saya bersyukur sekali diundang sama DPD RI hari ini partner-nya Kang Nyoto saya tidak kebayang kalau partner-nya yang lain pasti akan lebih setengah mati lagi begitu loh karena secara prinsip apa yang disampaikan oleh Kang Nyoto itulah yang sebenarnya hakekatnya yang diinginkan oleh kita, dalam konteks CSR tadi. Dan saya setuju banget kalau istilah Kang Nyoto kita pakai, daripada kita pakai Undang-Undang CSR, produk asing. Misalnya kita bikin Undang-Undang Kearifan Sosial, jadi kenapa ketika kita bicara, kalau bicara Undang-Undang CSR karena kalimat C didepannya saja sudah koorperasi hanya mengikat perusahaan, tidak mengikat pemerintah, tidak mengikat masyarakat. Yang kita ingin ikat hari ini adalah seluruh pihak dan pengalaman memang pengalaman kita ketika bicara dengan teman-teman perusahaan di KADIN yang sukses program CSR itu ketika ketiga pihak ini, jadi public, private, partnership itu itu kumpul dan bicara buat balik lagi. Sekali lagi buat perusahaan, ketika mereka investasi disatu tempat di RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
16
satu daerah itu risikonya luar biasa, investasi itu tidak bisa ditutup dalam waktu sebulan kalau anda investasi di pasar, di market misalnya beli saham beli derivatif bisa saat ini juga pergi tapi kalau anda sudah bangun pabrik disitu itu, itu akan cepat berangkat. Jadi tidak ada satupun perusahaan yang menginginkan untuk menggali sebanyak-banyaknya kemudian meninggalkan begitu saja dan tidak ada satu perusahaan pun yang tidak ingin sustainable. Nah saya ingin menjawab saja kalau rakyat mati kelaparan, kemudian lingkungan hidupnya berantakan, itu bukan salahnya perusahaan, pemdanya tidak hadir untuk masyarakatnya. Kewajiban untuk menyejahterakan yang utama, kewajiban misalnya tadi untuk kalau misalnya ada perusahaan yang katakanlah menyimpang, tidak mengikuti aturan kan ada lingkungan hidup, Amdal. Berarti Amdalnya dong yang salah dan itu harus ditinjau tutup saja, silakan. Kasih pelajaran juga buat perusahaannya kalau misalnya ada masyarakatnya yang tidak, tidak, katakanlah tidak usah jauh-jauh deh, memang daerah Bapak daerah yang paling parah kan. Kita tahu penyebabnya apa, pemerintah yang korup, duitnya tidak jatuh ke masyarakat. Bukan salahnya perusahaan kan? Perusahaan bayar pajak, harusnya pajaknya dikembalikan lagi, program-program bagaimana untuk menyejahterakan masyarakat. Nah tidak bisa bahwa lewat CSR ini kita bertugas, atau kalau kita bicara konteks CSR ya bukannya bicara tadi kearifan sosial, kalau CSR berarti kan korporasi jadi tanggung jawabnya hanya di di swasta saja, ini tidak tepat penggunaannya. Kalau yang mau khas Indonesia, spesifik Indonesia kita buat kearifan sosial. Itu pas banget begitu, ini istilah yang ini saya perkuat saja begitu daripada kita bikin Undang-Undang CSR. Kalau Undang-Undang CSR hanya mewajibkan swasta dan itu tidak ada dan tidak tepat, kita semua sepakat hari ini semua kita kepingin, pemerintah seperti ini, pemerintah yang benar kita ambil ini, alhamdulillah hari ini. Nah swasta yang benar, balik lagi swasta yang benar, kita juga kepingin misalnya kita punya uang ini, mereka bilang kita kepingin supaya perusahaan ini sustainable. Apa itu sustainable? Tersedianya lapangan kerja tersedianya tenaga kerja yang baik yang bisa disiapkan di lingkungan setempat. Buat perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar itu cost, social cost juga cost kan. Dia juga mesti menyediakan tempat tinggalnya juga belum lagi budaya dengan lokalnya cocok. Jadi yang paling baik sebenarnya buat perusahaan adalah kalau mereka bisa mempekerjakan sebanyak mungkin orang setempat. Kemudian supply change-nya pasti perusahaan lebih suka supply change-nya kalau diambil dari lokal setempat, kenapa? Pasti lebih murah. Kontrolnya juga bisa apalagi perusahaan pemerintahnya mau mengedukasi pasti juga akan lebih senang perusahaan mengedukasi juga bagaimana suplay change. Ini kunci keberhasilan perusahaan-perusahaan di Jepang, bukan hanya jadi mantan-mantan pegawainya itu menjadi supplyer-nya karena paham budayanya orang-orang lokal. Nah itu yang memang sepakat kita ingin bangun itu tetapi tidak bisa kalau misalnya, kalau alasan tadi dan sebagainya itu saya kira ketidakhadiran negara. Jadi ketidakhadiran negara di dalam satu daerah, tidak bisa dibebankan kepada perusahaan. Saya kira itu tapi kalau sepakat perusahaan punya tanggung jawab untuk pengembangan masyarakat, tidak usah diminta, itu memang keinginan dari perusahaan Pak. Tidak ada perusahaan milih satu daerah kalau daerah itu resources-nya tidak memungkinkan. Jadi kenapa misalnya perusahaan tidak banyak yang mau masuk ke Papua, mohon maaf kalau ada teman-teman dari Papua, karena ketersediaan, ketidaktersediaan SDM dengan baik sehingga mereka harus mendatangkan cost-nya lebih tinggi, misalnya lebih tinggi sehingga perusahaan-perusahaan yang besar yang mau kesana padahal peluangnya banyak sekali. Nah saya kira itu, mungkin Pak Sida ingin menambahkan. Oh sudah. Saya kira pada prinsipnya balik lagi, balik lagi kita alhamdulillah pada hearing kali ini terjadi kesepakatan antara saya dengan pihak pemerintah, itu tidak ada permusuhan, tidak ada perbedaan begitu, kita sepakat, kita sejalan, kita cocok alhamdulillah, dan terima kasih buat pengundangnya juga begitu. Nah keinginan kita memang kita ingin ke depan Indonesia yang lebih maju, Indonesia yang lebih makmur, Indonesia yang lebih baiklah. Saya kira itu. Terima kasih. RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
17
PIMPINAN RAPAT : FAHIRA IDRIS, S.E, M.H. (WAKIL KETUA KOMITE III) Terima kasih banyak kepada narasumber atas penjelasannya yang telah diberikan. Dengan demikian kita telah menyelesaikan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum hari ini maka dengan mengucapan hamdallah, kita akhiri rapat pada sore hari ini. Terima kasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. KETOK 3X. Mohon izin pada Kang Nyoto dan Ibu Suryani, mau foto bersama dulu dengan dengan Anggota. RAPAT DITUTUP PUKUL 15.09 WIB
RDPU KOMITE III DPD RI MS IV TS 2015-2016 DENGAN NARASUMBER (SIANG) SENIN, 25 APRIL 2016
18