19
BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIRAN, DAN HIPOTESIS
3.1 Pengertian Whistle Blowing System Whistle Blowing
secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai "peniupan
peluit". Peluit selalu dibunyikan dengan tujuan agar pihak tertentu memberi perhatian kepada si peniup peluit. Dalam organisasi, praktek menarik perhatian tertentu ini secara khusus digunakan untuk tindakan yang menunjukkan ketidaksetujuan individu terhadap praktek tidak benar bahkan tidak etis yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Apabila pengungkapan tersebut hanya ditujukan kepada pihak terkait dalam perusahaan maka disebut internal Whistle Blowing System. Sedangkan apabila pengungkapan itu dikemukakan oleh publik maka disebut sebagai eksternal Whistle Blowing (Jubb, 2000) Penggunaan istilah Whistle Blowing pertama kali digunakan tahun 1963 ketika salah satu pejabat mengungkapkan praktek tidak etis terkait kebijakan di departemen dalam negri Amerika Serikat, Vinten (2000). Selanjutnya, praktekpraktek Whistle Blowing semakin dikenal dengan latar belakang pengungkapan tidak terbatas pada organisasi publik tetapi juga sektor swasta. Semakin besar ukuran suatu organisasi maka semakin besar kemungkinan karyawannya melakukan tindakan Whistle Blowing . Demikian juga halnya dengan semakin kuatnya serikat pekerja dalam organisasi tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
DeGeorge dalam Lindlom (2007), mengemukakan 3 kondisi yang memperbolehkan praktek Whistle Blowing yaitu : kerugian pada pihak lain cukup besar karena praktek tidak etis dan atau tidak legal dari perusahaan, karyawan yang mengetahui hal tersebut melaporkan pada atasan langsung, telah menempuh prosedur formal lainnya di dalam organisasi ketika diabaikan oleh atasan langsung. Dasar hukum penerapan Whistle Blowing System adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2011 tanggal 19 Agustus 2011 tentang Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistle Blowing ) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Selain untuk menghindari penyelewengan wewenang yang dilakukan oleh oknum pegawai. Whistle Blowing System DJP juga dimaksudkan untuk membangun kembali public trust terhadap DJP. 3.1.1 Tujuan Whistle Blowing System. Adapun tujuan dari Whistle Blowing System adalah : 1. Sebagai sarana bagi pelapor untuk melaporkan tindakan fraud, pelanggaran terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik, dan benturan kepentingan tanpa rasa takut karena dijamin kerahasiaannya. 2. Agar fraud yang terjadi dapat dideteksi dan di cegah sedini mungkin. 3.1.2 Mekanisme operasional Whistle Blowing System. Menurut Surat Edaran DJP Nomor SE-11/PJ/2012, pengaduan dilakukan dengan cara:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
a. Secara langsung, yaitu melalui tatap muka dengan petugas Help Desk Direktorat
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur
(KITSDA); b. Secara tidak langsung, yaitu melalui saluran pengaduan yang disediakan berikut: 1. saluran telepon (021) 52970777; 2. Kring Pajak 500200; 3. Faksimili (021) 5251245; 4. Email
[email protected]; 5. Email
[email protected]; 6. Menu pengaduan pada Sistem Informasi Keuangan, Kepegawaian dan Aktiva (SIKKA) masing-masing pegawai; 7. Website layanan pengaduan (www.pengaduan.pajak.go.id); 8. Surat tertulis, kepada: Direktur Jenderal Pajak; Direktur
Penyuluhan, Pelayanan
dan
Hubungan
Direktur
KITSDA;
Masyarakat (P2Humas);
Direktur Intelijen dan Penyidikan; Pimpinan Unit Vertikal Direktorat Jenderal Pajak. 3.1.3 Manfaat Whistle Blowing System Survei yang dilakukan oleh Institute of Business Ethics (2007) menyimpulkan bahwa satu diantara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52%) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu. Keengganan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahui dapat diatasi melalui penerapan Whistle Blowing System yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sistem ini
diharapkan dapat
meningkatkan tingkat partisipasi karyawan melaporkan pelanggaran. Beberapa manfaat penyelenggaraan Whistle Blowing System yang baik adalah: 1. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman; 2. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif; 3. Tersedianya
mekanisme
deteksi
dini
(early
warning
System)
atas
kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran; 4. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik; 5. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi; 6. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran; 7. Meningkatnya
reputasi
perusahaan
dimata
pemangku
kepentingan
(stakeholders), regulator, dan masyarakat umum; dan 8. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang tindakan perbaikan yang diperlukan. Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, Whistle Blowing System, merupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka Whistle Blowing
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
System dapat menjadi ancaman (Komite Nasional Kebijakan Governance 2008).
3.1.4 Dimensi Whistle Blowing System Menurut
kementerian
keuangan
yang
ditulis
dalam
websitenya
(http://www.pajak.go.id/content/article/mengintip-WhistleBlowing-System-dangerakan-anti-korupsi-di-pajak) Whistle Blowing System di DJP menganut tiga azas, yaitu: 1. Mencegah Pelaku Melakukan Pelanggaran (Azas Prevention) 2. Mendorong antusiasme Whistle blower (Azas Early Detection) 3. Penanganan yang efektif (Azas Proper Investigation)
3.1.4.1 Azas Pencegahan mencakup: 1. Peraturan dan Kampanye Peraturan Whistle Blowing
yang membuat
pelaku/calon pelaku risih dengan gaya hidupnya sendiri; 2. Pelaku/calon pelaku merasa terancam dengan kehadiran orang lain yang tahu atau ingin mengetahui kekayaannya; 3. Ancaman hukuman yang berat memaksa calon pelaku mengurungkan niat melakukan pelanggaran. 3.1.4.2 Azas Deteksi Dini meliputi: Kewajiban setiap pegawai untuk melaporkan pelanggaran/ indikasi pelanggaran (pengawasan oleh lingkungan terdekat) dengan dijaminnya:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
1. Kerahasiaan Whistleblower 2. Pelapor diberikan perlindungan 3. Laporan ditindaklanjuti 4. Diberikan reward kepada pelapor. 3.1.4.3 Azas Penanganan Azas Penanganan Efektif mencakup: 1.
Setiap pelaporan ditangani secara memadai dan konsisten
2.
Mengedepankan pendekatan “Tindak Pidana Fiskal” terhadap pegawai DJP
3.
Pendekatan
Fiskal
tidak
menghapuskan
kewenangan
DJP
untuk
menjatuhkan hukuman disiplin atau meneruskan kasusnya kepada penegak hukum 4.
Hasil dikomunikasikan dengan Whistle blower
5.
Fitnah dicegah.
3.2. Definisi Disiplin Davis (1985) dalam Mangkunegara (2009) mendefinisikan disiplin sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Singedimedjo (2002) dalam Sutrisno (2009) mengatakan bahwa disiplin adalah sikap kesediaan dan kerelaan seseorang untuk mematuhi dan menaati normanorma peraturan yang berlaku disekitarnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
Kedisiplinan dalam organisasi harus ditegakkan, sebab tanpa dukungan dari sikap disiplin karyawan yang baik akan sulit bagi perusahaan untuk DJP untuk mewujudkan tujuannya. Bentuk disiplin yang baik akan tercermin pada suasana yaitu : 1. Tingginya rasa kepedulian terhadap pencapaian tujuan perusahaan 2. Tingginya semangat dan gairah kerja serta inisiatif para karywan dalam melakukan pekerjaan 3. Besarnya rasa tanggung jawab para karyawan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya 4. Berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi dikalangan karyawan, Sutrisno (2009) Tujuan tindakan disiplin adalah untuk melindungi organisasi dari para pegawai yang tidak produktif. Prosedur-prosedur pengaduan, disatu pihak, dikembangakn untuk melindungi para pegawai terhadap lokasi yang tidak adil dari sanksi-sanksi dan imbalan-imbalan dari organisasi. Adalah penting bagi satu instansi untuk menetapkan prosedur-prosedur keluhan internal yang formal dan informal. Langkah-langkah sangat dianjurkan : 1. Informal counseling (pembinaan informal) 2. Formal grievance (keluhan formal) 3. Konsultasi antar supervisor dengan direktur kepegawaian 4. Pengadilan 5. Pengaduan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
6. Setelah keluar dari pemeriksaan pengadilan, kedua belah pihak bisa mengadu kepada pimpinan instansi bagi suatu evaluasi kembali atas keputusan yang telah diambil, Faustino (2003) Asumsi bahwa pemimpin mempunyai pengaruh langsung atas kebiasaan yang diperoleh karyawan. Kebiasaan itu ditentukan oleh pemimpin, baik dalam iklim atau suasana kepemimpinan maupun melalui contoh diri pribadi. Karena itu, untuk mendapat disiplin yang baik, maka pemimpin harus memberikan kepemimpinan yang baik pula. Menurut Singodimedjo (2000), faktor yang mempengaruhi disiplin pegawai adalah : 1. Besar kecilnya pemberian kompensasi 2. Ada tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan 3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan 4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan 5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan 6. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan 7. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin. Sutrisno (2009) 3.2.1 Dimensi Disiplin Menurut Rivai (2004) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia untuk perusahaan menyatakan terdapat 4 (empat) perspektif yang menyangkut kedisiplinan yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
1. Disiplin Retributif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah. 2. Disiplin korektif (Corrective Discipline), yaitu berusaha membantu karyawan mengoreksi prilakunya yang tidak tepat. 3. Perspektif hak-hak individu (Individual Rights perspective), yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner. 4. Perspektif Utilitarian (Utilitarian Perspective), yaitu berfokus pada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Retributif Disiplin
Korektif Perspektif hak-hak individu Perspektif utilitarian
Gambar 3.1 Dimensi Disiplin Sumber: Veithzal Rivai (2004)
3.3 Definsi Kinerja Kinerja bisa mempengaruhi berlangsungnya kegiatan organisasi DJP, semakin baik kinerja yang ditunjukkan oleh pegawai atau karyawan akan sangat membantu dalam perkembangan organisasi atau perusahaan. Kinerja pegawai atau karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak kontribusi kepada organisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Rivai (2011) "kinerja merupakan prilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya di perusahaan". Mangkunegara (2009) menyatakan "hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadnya". Kinerja berasal dari akar kata "to perform"yang dapat berarti : 1. Perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang berdaya guna. 2. Pencapaian/prestasi seseorang berkenaan dengan tugas yang diberikan kepadanya, Sedarmayanti (2007) Faktor yang paling umum dalam penilaian: pengetahuan tentang pekerjaan, pemimpinan, inisiatif, kulaitas pekerjaan, kerjasama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, inteligensi, pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi, organisasi. Tujuan penilaian kinerja: 1. Membantu meningkatkan kinerja 2. Menetapkan sasaran bagi kinerja perseorangan. 3. Menilai kebutuhan pelatihan dan pengembangan 4. Menyepakati rencana dan pengembangan karyawan di masa depan 5. Menilai potensi di masa depan untuk kenaikkan pangkat 6. Memberi umpan balik kepada karyawan mengenai kinerja mereka 7. Memberi konsultasi kepada karyawan mengenai peluang karir 8. Menentukan taraf kinerja karyawan untuk maksud peninjauan gaji
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
9. Mnedorong pemimpin untuk berpikir cermat mengenai kinerja staf pada umumnya dan faktor yang mempengaruhinya 3.3.1 Manfaat kinerja Menurut Sedarmayanti (2007) manfaat kinerja yaitu: 1. Perbaikan kinerja 2. Penyesuaian kompensasi 3. Keputusan penempatan 4. Kebutuhan pelatihan dan pengembangan 5. Perencanaan dan pengembangan karir 6. Kekurangan dalam proses penyusunan karyawan 7. Kesempatan kerja yang sama 8. Tantangan dari luar 9. Umpan balik terhadap sumber daya manusia. 3.3.2 Dimensi Kinerja Menurut Sentono (2008), kinerja dapat dinilai dan diukur oleh beberapa indikator berikut: 1. Efektifitas dan Efisiensi Efektifitas dapat dikatakan bila dapat mencapai tujuan tertentu, dan efisiensi bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak. 2. Tanggung Jawab Wewenang adalah hak seseorang untuk memberikan perintah (kepada bawahan), sedangkan tanggung jawab adalah bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut. bila ada wewenang, berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
3. Inisiatif. berkaitan dengan daya pikir, kreatifitas, dalam bentuk suatu ide yang berkaitan dengan tujuan perusahaan.
Efektifitas dan efisiensi Tanggung Jawab
Kinerja Pegawai
Inisiatif
Gambar 3.2 Dimensi Kinerja Karyawan Sumber: Prawirosentono (2008)
3.4. Definisi Kepercayaan Kepercayaan menurut Sheth dan Mithal, 2004 dalam Tjiptono (2007) "Trust exist, when one party has confidence in an exchange partner's reliability and integrity" (kepercayaan ketika suatu pihak mempunyai keyakinan dalam satu pertukaran, keandalan dan integritas mitra). Menurut Moorman, Deshpande dan Zalman, (1993) dalam Jasfar (2005),"A willingness to rely on an exchange partner in whom one has confidence"(Suatu kesediaan untuk bersandar pada satu mitra pertukaran didalam suatu keyakinan). Aydin dan Ozer (2005), menulis bahwa trust terjadi bila ketika suatu kelompok kepercayaan bahwa yang dilakukan kelompok lebih akan menyebabkan hal positif bagi mereka. Akibatnya untuk mempercayai sesuatu pelanggan harus meyakini kualitas sebagai hal positif. Trust juga mempengaruhi kredibilitas, dan kredibilitas
mempengaruhi
orientasi
jangka
panjang
pelanggan
mengurangi persepsi terhadap resiko yang dihubungkan
dengan
dengan sikap
opportunities perusahaan dalam hal ini adalah DJP. Secara spesifik, trust
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
mengurangi ketidakpastian dalam suatu kondisi dimana pelanggan ( wajib pajak) merasa tidak nyaman ketika mereka tahu bahwa mereka dapat menaruh trust pada sesuatu. Menurut Steven dan Tom (2007) kepercayaan harus dijadikan sebagai tindakan nyata dalam memperkuat persepsi konsumen ( wajib pajak ) terhadap keandalan para penyedia pelayanan. Tindakan nyata ini diperlukan mengingat : 1) kepercayaan merupakan bentuk dari ekspektasi konsumen ( wajib pajak ). Karena kepercayaan merupakan perjanjian pertukaran nilai dan nilai bersifat tidak tetap, ini berarti bahwa upaya untuk membangun kepercayaan perlu mencakup mekanisme tertentu untuk memperbaiki proporsinya. Banyak hal menjadikan nilai hari ini berbeda dari nilai esok hari sehingga perlu dipikirkan ekspektasi-ekspektasi konsumen. 2) Kepercayaan diawali dengan informasi yang jelas Bangun kepercayaan dimulai ketika melintasi ambang pintunya. Informasi yang jelas diawal akan dapat menciptakan permulaan hubungan yang baik dengan konsumen ( wajib pajak ) 3) Kepercayaan muncul dari kompetensi yang nyata. Untuk mendapatkan kepercayaan konsumen (wajib pajak) para penyedia jasa layanan (DJP) harus bisa menunjukkan bahwa mereka layak dipercaya. Mereka melakukan apa yang sudah dijanjikan. Hal ini mencakup kompetensi, mandat dan perbutan ini dapat menambah kredibilitas layanan (DJP). 4) Kepercayaan dapat bertambah apabila konsumen (wajib pajak) dilibatkan. Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan. Dan kepercayaan konsumen
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
akan sangat kuat bila mereka merasa dilibatkan atau dapat berpatisipasi dalam kegiatan para penyedia jasa layanan (DJP). 3.4.1 Dimensi Kepercayaan Kepercayaan sangat penting dalam menciptakan hubungan dengan wajib pajak juga merupakan suatu perekat agar memungkinkan DJP menggunakan sumber daya yang efektif dalam menciptakan nilai tambah. kepercayaan adalah suatu alat ampuh dalam membina hubungan karena tingginya kepercayaan dari suatu organisasi yang menyebabkan organisasi kuat dalam membina hubungan dengan kelompok stakeholder (pegawai, wajib pajak, dan pemerintah). Suatu organisasi yang sudah dipercaya akan berkurang kepastiannya maupun kerapuhannya, karena memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga perusahaan mampu mengatasi banyak masalah. adapun dimensi kepercayaan adalah, Rofiq (2007): 1. Kompetensi yaitu keandalan (memiliki kemampuan dan ilmu pengetahuan, memegang janji, konsistensi/menepati, apa yang dijanjikan serta ability yaitu kemampuan atau keterampilan yang harus dimiliki pegawai). 2. Fairness yaitu sikap tentang keadilan dan kejujuran (integritas baik dalam proses maupun struktur dan memegang nilai etik dan moral).
Kompetensi Kepercayaan Fairness
Gambar 3.3 Dimensi Kepercayaan. Sumber: Rofiq (2007)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
3.5 Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Hasil Penelitian Terdahulu
No.
Judul Jurnal
Peneliti
1
Èffect of Whistle Blowing Practice on Organizational Performance in the Nigerian Public Sector: Empirical Facts From Selected Local Government in Lagos & Ogun State
Taiwo, Sunday Felix, May 2015
2
Encouraging Whistle Blowing to Improve Corporate Governance? A Malaysian Initiative
3
Whistle-Blowing Methods for Navigating Within and Helping Reform Regulatory Institutions
Shanty Rachagan and Kalaithasan Kuppusamy, July 2012 Richard P.Nielsen, September 2011
4
Predicting intentions to report administrative and disciplinary infractions: Applying the reasoned action.
Ellis, Shmuel; Arieli, Shaul 1999
Jenis
Hasil Penelitian
Jurnal adanya pengaruh antara kinerja pegawai sektor publik dengan WhistleBlowing System. Jurnal ini menyimpulkan bahwa Whistle Blowing System harus di implementasikan untuk meningkatkan kinerja di organisasi sektor publik. Jurnal mencapai suatu tata kelola perusahaan yang lebih baik, Whistle Blowing System harus dipandang sebagai alat untuk menampung inisiatif. Jurnal menyatakan keefektifan dalam WhistleBlowing System dapat membantu dalam menyelesaikan masalah disiplin institutional dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jurnal adanya penyimpangan pada administrasi di kegiatan Pertahanan Israel dimana kemudian pemerintah menerapkan WhistleBlowing System untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang lebih lanjut. Hailnya, pemerintah menilai WhistleBlowing System cukup membantu dalam pemberantasan penyimpangan tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
5
Whistleblowing as Planned Behavior - A Survey of South Korean Police Officer
6
Organisational Whistleblowing Policies : Making Employees Responsible or Liable WhistleBlowing review finds no evidence of 'serious failings' at trust.
7
8
Corruption and Fraud Detection by Public Sector Auditors
9
Crisis Prevention and Damage Control: Managing Whistle Blowers
10
Whistle Blowing System Protections Extend to Some Private Companies
Heungsik Park, John Blenkinshop 2010
Jurnal WhistleBlowing System membantu memberikan efek positif terhadap kepolisian di Korea Selatan dalam pengontrolan tingkah laku anggota polisi yang mencoba melakukan tindakan fraud Eva Jurnal Terdapat dampak perubahan Tsahuridu terhadap kinerja polisi yang dapat 2008 lebih bertanggungjawab setelah whistle blowing system diterapkan Hazel, Will. Jurnal terjadi penurunan tingkat 2014 kepercayaan setelah WhistleBlowing System di implementasikan. Kenneth M, Jurnal Whistle blowing system membantu para auditor 2010 meningkatkan performa kinerja mereka dalam mendeteksi fraud dan korupsi David M, Dalam pencegahan krisis 1999 pemerintah Amerika menggunakan whistle blowing system sebagai sistem yang dapat membantu mengontrol agar terhindar tindakan fraud Deschenaux, Jurnal Whistle Blowing System telah Joanne menyelamatkan kurang lebih 2014 5000 perusahaan swasta di Amerika dari tindakan fraud
Sumber: Penelitian Terdahulu Tahun 2010- 2015
3.6 Kerangka Pemikiran Terdapat kaitan langsung antara implementasi WhistleBlowing dengan kinerja karyawan, disiplin karyawan, dan Kepercayaan Masyarakat dalam Perspektif Pegawai DJP.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35 Pengaruhnya terhadap Kedisiplinan
permasalahan: - Peningkatan sanksi disipiln.
Pengaruhnya terhadap kinerja pegawai
Implementasi Whistle Blowing System
- Target tidak Tercapai. - Public trust tidak mencapai 100%
Pengaruhnya terhadap Kepercayaan Masyarakat dalam Perspektif Pegawai DJP
Gambar 3.4 Kerangka Pemikiran
3.7 Konseptualisasi Model Penelitian Berdasarkan teori-teori, penelitian-penelitian sebelumnya dan analisis yang berpedoman pada hubungan-hubungan tersebut diatas, dapat disusun suatu konseptualisasi model penelitian pada gambar 3.5
Y1 Kinerja
Y2 Y3 X1 1
Whistle Blowing
Disiplin
Z1 Z2
W1 X1
X2
X3
Kepercayaan Publik
Gambar 3.5 Konseptualisasi Model Penelitian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
W2
36
Konseptualisasi model tersebut di atas menentukan hubungan yang dihipotesiskan antara variabel laten dan mempresentasikan kerangka teoritis untuk diuji. Disini bisa dilihat mana yang menjadi variabel eksogen yang selalu menjadi variabel independen sehingga tidak dipengaruhi oleh variabel lain yaitu Whistle Blowing System (X), serta variabel endogen yang dipengaruhi oleh variabel lain dalam suatu model. sedangkan variabel endogen yang dipengaruhi oelh variabel eksogen adalah Kinerja (Y), Disiplin (Z), dan Kepercayaan publik (W). Dalam konseptualisasi model tersebut diatas terdapat beberapa dimensi untuk mengukur variabel laten tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa variabel WhistleBlowing memiliki 3 variabel yaitu : azas prevention (X1), azas early detection (X2), dan azas proper investigation (X3). Variabel Kinerja memiliki 4 dimensi yaitu : efektifitas dan efisiensi (Y1), tanggung jawab (Y2), disiplin (Y3), dan inisiatif (Y4). Variabel disiplin mempunyai 2 dimensi yaitu : preventif (Z1) dan korektif (Z2) dan yang terakhir variabel kepercayaan mempunyai 2 dimensi yaitu : competence (W1) dan fairness (W2).
3.8 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan konspetualisasi model tersebut diatas, hipotesis-hipotesis penelitian ditetapkan sebagai berikut : 1. Terdapat pengaruh Whistle Blowing System terhadap kinerja pegawai DJP 2. Terdapat pengaruh Whistle Blowing System terhadap tingkat disiplin pegawai DJP 3. Terdapat pengaruh Whistle Blowing System terhadap kepercayaan masyarakat dalam perspektif pegawai DJP kantor wilayah jakarta selatan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/