BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
3.1. Kajian Teori Dalam membahas kajian teori, sumber-sumber yang digunakan di peroleh dari buku-buku yang tercamtum dalam daftar pustaka, sebagai berikut :
3.1.1. Kompetensi 3.1.1.1. Pengertian Kompetensi Kompotensi adalah karakteristik dari seseorang yang memungkinkan pegawai mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya. Boyatzis dalam Hutapea dan nuriana Thoha (2008) kompetensi adalah kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan. Makna kompetensi mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang bekerja baik dan kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. (Mulyana, 2008; 12) Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2007).
30
31
Competency merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowladge) dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasi. Kompetensi berorientasi pekerjaan adalah kemampuan, prilaku atau keterampilan yang telah diperlihatkan untuk menimbulkan atau memprediksi kinerja unggul dalam pekerjaan tertentu (Rampersad 2006; 188). Dessler (2006) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dari seseorang yang dapat diperlihatkan, yang meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude), yang dapat menghasilkan kinerja dan prestasi. Watson Wyatt (dalam Noor Fuad, 2009), mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Keterampilan, pengetahuan, dan perilaku itu dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi pegawai terhadap organisasinya. Menurut Susmanto (2008), APIP melakukan pengawasan fungsional terhadap pengelolaan keuangan Negara agar berdaya guna dan berhasil guna untuk membantu manajemen pemerintahan dalam rangka pengendalian terhadap kegiatan unit kerja yang dipimpinnya (fungsi quality assurance). Pengawasan yang dilaksanakan APIP diharapkan dapat pimpinan
penyelenggara
pemerintahan
memberikan masukan kepada
mengenai
hasil,
hambatan,
dan
penyimpangan yang terjadi atas jalannya pemerintahan dan pembangunan yang
32
menjadi
tanggung jawab para pimpinan penyelenggara pemerintahan tersebut.
Lembaga/badan/unit yang ada di dalam tubuh pemerintah (pengawas intern pemerintah),yang mempunyai
tugas
dan
fungsi melakukan pengawasan
fungsional adalah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang terdiri dari: pertama, BadanPengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); kedua, Inspektorat Jenderal Departemen; ketiga, InspektoratUtama/Inspektorat Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)/Kementerian; dan keempat, Lembaga Pengawasan Daerah atau Bawasda Provinsi/Kabupaten/Kota.
3.1.1.2. Teori Kompetensi a)
Menurut Michael Zwell (dikutip oleh Wibiwo, 2007) memberikan lima kategori kompetensi yang terdiri dari: 1) Task achievement merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan kinerja baik. Kompetensi
yang berkaitan dengan
task
achievement ditunjukkan oleh orientasi pada hasil, mengelola kinerja, mempengaruhi, inisiatif, inovasi dan keahlian teknis. 2) Relationship merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan Kompetensi dan bekerja baik dengan orang lain dan memuaskan kebutuhannya. Kompetensi yang berhubungan dengan relationship meliputi kerjasama, orientasi pada pelayanan, kepeduliaan antar pribadi, penyelesaian konflik. 3) Personal attribute merupakan kompetensi instrinsik individu dan menghubungkan bagaimana orang berpikir, merasa, belajar, dan
33
berkembang. Personal attribute merupakan kompetensi yang meliputi integritas dan kejujuran, pengembangan diri, ketegasan, kualitas keputusan, berpikir analitis, dan berpikir konseptual. 4) Managerial merupakan kompetensi yang secara spesifik berkaitan dengan pengelolaan, pengawasan, dan mengembangkan orang lain. Kompetensi manajerial berupa memotivasi,
memberdayakan,
dan
mengembangkan orang lain. 5) Leadership
merupakan kompetensi
yang berhubungan
memimpin organisasi dan orang untuk mencapai
dengan
maksud, visi, dan
tujuan organisasi. Kompetensi berkenaan dengan leadership meliputi kepemimpinan visioner, berpikir strategis, membangun komitmen organisasional. b)
Menurut Moeheriono (2009) tipe kompetensi dapat dibagi menjadi dua tipe kompetensi yaitu : 1) Kompetensi Individu. Dalam kompetensi individu ini dapat dikategorikan atau dikelompokkan menjadi: a) threshold competence atau dapat disebut kompetensi
minimum,
yaitu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seseorang, misalnya kemampuan pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan mambaca dan menulis. b) differentiating competence, yaitu kompetensi yang
membedakan
seseorang berkinerja tinggi atau berkinerja rendah dengan karyawan lainnya, misalnya seseorang yang yang memiliki orientasi motivasi
34
tinggi biasanya yang diperhatikan adalah pada tujuan melebihi apa yang ditargetkan oleh organisasi dalam standar kerja. Akan tetapi, justru kompetensi dari pengetahuan dan keterampilan atau keahlian labih mudah untuk dikembangkan apabila akan menambah atau meningkatkan kompetensi tersebut yaitu dengan cara menambah program pendidikan dan pelatihan bagi pegawai yang masih dianggap kurang kompetensinya. 2) Kompetensi Jabatan. Bahwa seseorang agar mendapat kinerja tinggi secara maksimal seharusnya kompetensi individu yang dimiliki harus sesuai atau cocok dengan kompetensi jabatan yang diembannya, hal ini akan mengakibatkan terjadi kecocokan dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan standar kompetensi pada kompetensi jabatan, tercakup dua komponen yang mendasar yaitu: a) Kompetensi utama, merupakan kompetensi yang harus dimiliki seseorang berkaitan dengan suatu jabatan atau tugas pekerjaan pada lingkup tertentu (Seperti Akuntabilitas, organisasi pembelajar, dan menentukan masalah dan memecahkannya). b) Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diperlukan untuk membantu atau mendukung terwujudnya pelaksanaan jabatan tertentu, yang terdiri dari Kompetensi dan teknologi informasi. c)
Menurut Wibowo (2007) mengatakan kompetensi dapat dipilah-pilah menurut stratanya yaitu:
35
1) Core competencies merupakan kompetensi inti yang dihubungkan dengan strategi organisasi sehingga harus dimiliki oleh semua karyawan dalam organisasi. 2) Managerial competencies merupakan kompetensi yang mencerminkan aktivitas manajerial dan kinerja yang diperlukan dalam peran tertentu. 3) Functional competencies merupakan kompetensi yang menjelaskan tentang kemampuan peran tertentu yang diperlukan dan biasanya dihubungkan dengan keterampilan profesional atau teknis. Merupakan kemampuan berdasar profesi dibidang teknis tertentu. d)
Menurut Spencer dan Spencer (dalam Palan 2007; 6), Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai tingkatan dan memperinci standar masing-masing tingkatan, mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh individual yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga mencapai standar kualitas profesional dalam bekerja, dan mencakup semua aspek catatan, manajemen kinerja, keterampilan dan pengetahuan tertentu, sikap, Kompetensi, aplikasi, dan pengembangan. Karakteristik kompetensi, sebagai berikut: 1) Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang yang menyebabkan tindakan. 2) Sifat adalah karakteristik fisik dan respon yang konsisten terhadap situasi atau informasi. Kecepatan reaksi dan ketajaman mata merupakan ciri fisik kompetensi seorang pilot tempur.
36
3) Konsep diri sendiri adalah sikap, nilai-nilai, atau citra diri seseorang 4) Percaya diri merupakan keyakinan orang bahwa mereka dapat efektif dalam hampir setiap situasi adalah bagian dari konsep diri orang. 5) Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki orang dalam bidang spesifik. Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks. Skor pada tes pengetahuan sering gagal memprediksi prestasi kerja karena gagal mengukur pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang sebenarnya dipergunakan dalam pekerjaan. 6) Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan tugas fisik atau mental tertentu. Kompetensi mental atau keterampilan kognitif termasuk berpikir analitis dan konseptual. Dari uraian teori tentang kompetensi tersebut di atas bahwa teori kompetensi menurut Dessler (2006), Wattson Wyatt (dalam Nur Fuad, 2009) dan Rampersad (2006) sesuai dengan obyek penelitian sehingga dimensi kompetensi dapat ditentukan sebagai berikut: a) Pengetahuan (knowledge); b) Keterampilan (skill) ; dan c) Prilaku (attitude).
3.1.1.3. Model Kompetensi Model kompetensi yang dikaitkan dengan strategi manajemen sumber daya manusia dimulai pada saat rekruitmen, seleksi, penempatan sampai dengan pengembangan karier pegawai sehingga pengembangan kompentensi pegawai
37
tidak merupakan aktifitas yang “instant”. Sistem rekrutmen dan penempatan pegawai
yang
berbasis
kompetensi
perlu
menekankan
kepada
usaha
mengidentifikasikan beberapa kompetensi calon pegawai seperti inisiatif, motivasi berprestasi dan kemampuan bekerja dalam tim. Usaha yang dilakukan adalah menggunakan sebanyak mungkin sumber informasi tentang calon sehingga dapat ditentukan apakah calon memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Metode penilaian atas calon yang dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti wawancara perilaku (behavioral event review) tes, simulasi lewat assessment centers, menelaah laporan evaluasi kinerja atas penilaian untuk promosi atau ditetapkan pada suatu pekerjaan berdasarkan atas rangking dari total bobot skor berdasarkan kriteria kompetensi. Karyawan yang dinilai lemah pada aspek kompetensi tertentu dapat diarahkan untuk kegiatan pengembangan kompetensi tertentu sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerjanya. Untuk melihat integrasi antara Manajemen Sumber Daya Manusia dengan Kompetensi Inti dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Intergrated HRM Around a Clear Understanding of Core Compentencies Sumber ; Endah (2005:4)
Pengaruh kompetensi terhadap SDM dapat dijelaskan pada Gambar 3.2
38
Succession Resourcing
Rewards
Model Kompetensi
Design
Managing Result
Learning & Growth
Gambar 3.2. Model Kompetensi di Dalam SDM Sumber: Shermon (2004: 105)
Kompetensi di dalam SDM dapat mempengaruhi kegiatan-kegiatan seperti: a) Resourcing Selection, Staffing and Retention b) Managing Result Performance Management c) Learning & Growth Employee Development d) Design Work design, Structuring including roles, tasks and benchmarks as relevant to performing the said role e) Rewards f)
Succession Planning
3.1.1.4. Aplikasi Model Kompetensi Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998) aplikasi dari model kompetensi pada sistem Manajemen Sumber Daya Manusia muncul pada area-area berikut (Endang, 2008: 2):
39
a) Staffing Strategi-strategi rekrutmen dan tes-tes yang digunakan untuk seleksi didasarkan atas kompetensi-kompetesi kritikal dari pekerjaan. b) Evaluasi Kinerja Penilaian kinerja dari pekerja didasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dikaitkan dengan target–target yang penting dari organisasi. c) Pelatihan Program-program pelatihan dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki pekerja dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pekerja. d) Pengembangan Para pekerja pertama kali diukur untuk mengenali kesenjangan kompetensinya ; kemudian mereka dibimbing untuk membuat rencanarencana pengembangan untuk menutupi kesenjangan yang ada. e) Reward & Recognition Para pekerja diberikan kompensasi untuk prestasi-prestasi dan tingkah laku-tingkah laku yang mencerminkan tingkat keterampilan mereka pada kompetensi-kompetensi kunci. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat dari Michael Amstrong dalam Handbook
of
Human
Resources
Management
Practice
(2001)
yang
mengemukakan bahwa penerapan kompetensi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dilakukan dalam proses rekrutmen dan seleksi, assessment centres,
40
manajemen kinerja, pengembangan SDM, dan manajemen balas jasa (Endang, 2008:2).
3.1.1.5. Manfaat Model Kompetensi Menurut Raymond J. Stone (2002:144) bahwa competency profiling is a job analysis method that focuses on the skills and behaviours needed to successfully perform a job (suatu metode analisis jabatan yang menitikberatkan pada keterampilan dan perilaku yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik). Lebih lanjut Raymond berpendapat bahwa model kompetensi memiliki tiga elemen kunci, yaitu : a) Underlying Characteristics, kompetensi merupakan bagian integral dari kepribadian seseorang. b) Causality, kompetensi dapat memprediksi perilaku dan kinerja. c) Performance, kompetensi memprediksi secara nyata dan efektif (dalam hal ini minimal dapat diterima) atau kinerja superior yang terukur sesuai dengan kriteria spesifik atau standar. Berhasil tidaknya kinerja seseorang tergantung dari kompetensi yang dimilikinya, apakah sesuai atau matching dengan kompetensi yang menjadi persyaratan minimal dari jabatan yang dipangkunya. Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 ditentukan bahwa Standar Kompetensi Jabatan Struktural adalah persyaratan kom-petensi minimal yang harus dimiliki seorang
41
Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan tugas jabatan struktural. Standar kompetensi jabatan ini meliputi kompetensi dasar dan kompetensi bidang. a)
Kompetensi Dasar Kompetensi dasar dapat dianalogikan dengan threshold competency Kompetensi ini wajib dimiliki oleh setiap pejabat struktural. Kompetensi dasar untuk Pejabat Struktural Eselon II, III, dan Eselon IV terdiri atas 5 (lima) kompetensi meliputi, integritas, kepemimpinan, perencanaan dan pengorganisasian, kerjasama, serta fleksibilitas. Kompetensi dasar, oleh Ruky (2003:110) disebut kompetensi inti (core competencies) yaitu kelompok kompetensi yang berlaku/harus dimiliki oleh semua orang dalam organisasi. Contoh kelompok core competency menurut Ruky (2003, 110) seperti: terfokus pada pelanggan, kesadaran bisnis, manajemen perubahan, orientasi pada prestasi/output, komunikasi, kerjasama kelompok, kepemimpinan, mengembangkan orang lain, berpikir analitis, dan pemecahan masalah.
b) Kompetensi Bidang. Kompetensi bidang adalah kompetensi yang diperlukan oleh setiap pejabat struktural sesuai dengan bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 ditentukan bahwa kompetensi bidang dipilih dari 33 (tiga puluh tiga) kompetensi yang tersedia dalam kamus kompetensi jabatan sesuai dengan bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, dengan jumlah antara 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) kompetensi.
42
Kompetensi bidang atau differentiating competencies (Spencer & Spencer) atau specific job competencies (dalam Ruky, 2003) merupakan karakteristik pribadi
yang spesifik dengan
bidang pekerjaan
yang
dilaksanakan serta pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang lebih bersifat teknis. Kompetensi dasar dan kompetensi bidang tersebut di atas perlu dimiliki oleh pejabat struktural eselon II, III, dan eselon IV agar menjadi pejabat yang professional. Berbicara Pegawai Negeri Sipil professional ini, Raymond (2002: 144) berpendapat bahwa kompetensi untuk SDM professional dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Goal and action management abilities cluster : efficiency orientation, planning, intiative or efficacy, attention to details, self - control, flexibility. b) Interpersonal / people management cluster : empathy, persuasiveness, networking, negotiating, self – confidence, group management or team leadership, developing others, oral communications. c) Analytic reasoning or cognitive cluster: systems thinking, pattern recognition, social objectivity, written communication.
43
3.1.1.6. Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi Dalam kamus Kompetensi dari LOMA dipaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan model-model kompetensi. Langkah-langkah tersebut adalah (Endang, 2008: 3) : a)
Kenali sasaran – sasaran organisasi
yang akan menjadi dasar bagi
pengembangan model kompetensi. Untuk berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model kompetensi, maka organisasi harus mempunyai alasan yang dari sisi bisnis memaksa organisasi untuk menerapkan model ini. Alasan-alasan yang mengarahkan organisasi untuk menerapkan model ini perlu dikenali dengan baik. Dengan demikian ketika model ini diterapkan akan membantu organisasi dalam mencapai sasaran-sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu: 1) Definisikan strategi organisasi Sebuah Model kompetensi akan efektif bila diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum membuat keputusan yang berkaitan dengan pengembangan model kompetensi, maka para perancang model kompetensi harus secara mendalam melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan juga sasaran-sasaran dari organisasi. 2) Kenali cara mengaplikasikan model kompetensi Pada langkah ini, para perancang model kompetensi harus melakukan evaluasi terhadap segala kemungkinan penggunaan model kompetensi di
44
dalam organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan pengembangan. Untuk aplikasi pertama, sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan yang dapat menunjukkan hasil yang cepat. 3) Tetapkan “ scope” dari model Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para perancang model kompetensi harus menetapkan cakupan dari pengembangan model kompetensi di dalam organisasi. Beberapa organisasi mengembangkan “Core Competency Model” berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan kemudian menambahkan “Job Specific Competencies” pada sekelompok kecil pekerjaan. b) Merancang Rencana Untuk Membuat Model. Pada tahap ini, para perancang model kompetensi akan mengambil langkah–langkah awal untuk mengembangkan kompetensi–kompetensi yang akan dimasukkan dalam model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi. Langkah – langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) Menentukan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses pengembangan model. Melibatkan orang-orang yang tepat dalam mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
45
Pada umumnya orang–orang yang membantu pengembangan model adalah mereka-mereka yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi dengan sukses. Pertimbangkanlah untuk melibatkan pihak-pihak berikut ini dalam proses pengembangan model kompetensi di organisasi: pimpinan puncak organisasi, para manajer yang terkait, para pemegang jabatan yang mempunyai prestasi yang sangat baik, staf Departemen SDM, dan ahli-ahli kompetensi. b) Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali kompetensikompetensi kritikal. Ada beberapa pendekatan atau metode yang dapat dipakai untuk mengenali Core Competencies atau Job Specific Competencies. c) Untuk mengenali core competencies, metode yang paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan dengan para pimpinan puncak organisasi. Dalam pertemuan ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran tersebut. d) Untuk mengenali job specific competencies, dapat digunakan beberapa metode seperti: Focus Group Discussion dan survey dengan para job expert atau Behavioral Event Interview dengan para pemegang jababan, baik yang prestasinya sedang-sedang saja, maupun yang prestasinya superior.
46
c)
Melakukan Pengumpulan Data. Setelah
menetapkan
pihak-pihak
yang
akan
terlibat
dalam
pengembangan model kompetensi, sumber data atau informasi dan metode pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para perancang model kompetensi adalah mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan Core Competencies (kompetensi inti) dan Job Specific Competencies (kompetensi khusus untuk pekerjaan tertentu). Langkahlangkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi Core Competencies bersama para pimpinan puncak organisasi. Sebelum memulai pertemuan dengan para pimpinan puncak organisasi (atau orang-orang yang mereka nominasikan), sebaiknya para perancang model kompetensi memberikan informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini: a) Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan puncak organisasi dalam mengenali Core Competencies, cara pengenalan job specific competencies oleh job expert, dan kaitan penggunaan Job Specific Competencies dan Core Competencies. b) Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan yang harus memiliki core competencies (misal: semua pekerjaan di bawah
47
level manajemen) dan cara aplikasi model kompetensi (misal: pengembangan karir, pelatihan, dsb-nya). c) Kaitan antara Core Competencies dan tantangan-tantangan, misi, dan sasaran –sasaran organisasi. d) Konsensus tentang rangkaian Core Competencies yang akan diaplikasikan di organisasi dan dukungan yang diperlukan untuk menerapkannya. 2) Kenali Job Specific Competencies melalui job expert. a) Focus Group Discussion (FGD). Dalam proses ini data atau informasi
yang
luas
mengenai
tantangan-tantangan
dan
persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahantambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis. b) Survey. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, sebuah survey dapat dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah besar job expert. Isi dari survey adalah kompetensi-komptensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil dari survey kemudian disimpulkan dan dianggap sebagai persepsi dari para pekerja tentang
48
kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan bagi pekerjaan yang sedang dinilai. c) Behavioral Event Interview (BEI). Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai prestasi kerja ratarata dan superior. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cara mereka menangani situasi-situasi kritis di dalam pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi dapat memperoleh interviewer yang terlatih. Kesimpulannya : Kompetensi adalah kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan, dengan indikator : a) Bagian kepribadian yang mendalam. b) Bagian kepribadian yang mendalam melekat pada seseorang. c) Perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan. d) Perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai tugas pekerjaan.
49
3.1.2. Independensi Pengertian Independensi menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) adalah sebagai berikut : “Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental independen tersebut harus meliputi Independece in fact dan independence in appearance”. Independence in fact menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) adalah sebagai berikut : “Independen dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelakksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan tidak berprasangka”. Independence in appearance menurut siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) adalah sebagai berikut : “Independen dalam penampilan adalah hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Auditor akan dianggap tidak independen apabila auditor tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen”.
50
Sedangkan pengertian Independensi menurut Sukrisno Agoes dan I Cenik Ardana (2009:146) adalah : “Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.” Sehingga penulis menarik kesimpulan dari pengertian diatas tentang Independensi, yaitu seorang auditor pada saat pelaporan hasil pemeriksaan audit kepada managemen senior dan dewan atau pada setiap periode pelaporan audit haruslah memperhatikan tanggung jawabnya sebagai seorang auditor, yaitu dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Selain itu sifat utama seorang auditor adalah tidak memihak (netral) untuk menghasilkan laporan audit yang independen. Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi itu sendiri. Independensi memiliki penilaian apabila auditor mengamati hasil audit,sehingga klien dapat menilai apakah auditor tersebut bersifat independensi atau justru sebaliknya terhadap kualitas audit yang diperiksanya. David Arthur dalam bukunya Independence: yes, but where do we draw the line (1978) menyatakan bahwa independensi dapat diartikan dalam dua maksud yaitu ketiadaan hubungan dan kebebasan dari kekuasaan. Independensi erat hubungannya dengan integritas dan objektivitas. Oleh sebab itulah independensi dapat diklasif ikasikan dalam dua bentuk, yaitu independensi dalam kenyataan (in
51
fact) dan independensi dalam penampilan (in appearance). In fact, independensi bersumber langsung dari dalam diri seseorang terkait dengan sikap objektif dan integritasnya. Independence in fact akan menumbuhkan kepercayaan, bila seseorang itu adalah public figure maka dia akan mendapatkan kepercayaan publik. Bila dia itu berwujud institusi, maka untuk menilai independensi institusionalnya adalah dengan melihat independensi orang - orang di dalamnya. Independence in appearance mengasumsikan suatu konsepsi tertentu yang digunakan sebagai parameter untuk menampilkan kepada masyarakat bahwa dirinya independen dan tidak berkepentingan politik tertentu. Dalam konsepsi ini, setiap orang maupun institusi yang menyatakan dirinya independen harus menghindari perilaku dan situasi - situasi yang menyebabkan masyarakat meragukan independensinya. Independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisiskan dirinya dengan auditee nya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya. Independen juga dapat diartikan bahwa Perwira Pemeriksa tidak mudah dipengaruhi. Perwira Pemeriksa tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Perwira Pemeriksa berkewajiban untuk jujur khususnya kepada pimpinan yang memberikan perintah. dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan pemeriksaan. Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip
52
integritas dan objektivitas. The CPA Handbook E.B. Wilcox menyatakan bahwa independensi merupakan suatu standar auditing yang penting, karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun.
3.1.2.1. Pengertian Independensi Independensi disadur dari bahasa asing Independence yang artinya merdeka. Istilah ini lebih sering digunakan pada profesi pemeriksa ntuk menunjukkan bahwa pemeriksa tu bebas dari segala macam bentuk pengaruh yang buruk dalam melakukan tugasnya. Selain itu istilah independensi juga sering dipakai oleh para hakim untuk memperlihatkan bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara bebas dari segala macam bentuk intervensi sehingga diharapkan mereka akan memutuskan suatu perkara dengan adil. Independensi dalam suatu kegiatan pemeriksaan dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu independency in mind dan independency in appearance. a)
Independency in Mind Seorang auditor sebelum melaksanakan pemeriksaannya harus membebaskan
pikirannya dari keinginan untuk melakukan sesuatu yang buruk dalam pemeriksaan bahkan seharusnya mereka tidak mengharapkan untuk melakukan pemeriksaan hanya pada klien tertentu. Auditor tidak boleh mengharapkan klien tertentu untuk menjadi kliennya karena kalau dia sudah mengharapkan klien tersebut maka nanti auditor akan mengikuti keinginan klien walaupun klien nya
53
melakukan kesalahan jika mengharapakan dapat imbalan dari klien atau auditor akan berusaha menjatuhkan klien kalau seorang auditor mengharapkan suatu klien untuk mengejar kesalahan, maka akan menjadikan auditor bias dalam menilai sesuatu, sehingga walaupun kliennya benar tetep saja seorang auditor akan menyalahkannya. b) Independency in Appearence Dalam istilah auditor, independency in appearence adalah auditor harus memiliki
penampilan
yang
independen,
artinya
auditor
tidak
punya
ketergantungan pada klien. Contoh ketergantungan kepada klien adalah apabila klien lebih mengetahui peraturan daripada auditor atau tragisnya auditorlah yang diajarin oleh klien mengenai sesuatu yang akan diperiksa. Atau auditor punya ketergantungan finansial kepada klien contohnya auditor tidak bisa makan kalau tidak ditraktir oleh klien. dalam kehidupan kita juga dituntut untuk tidak memiliki ketergantungan mutlak kepada yang lain (tentunya kecuali ketergantungan kepada Allah SWT) kenapa demikian karena dengan adanya ketergantungan dengan yang lain kita menjadi tidak independen yang pada akhirnya auditor tidak bisa bebas menentukan sikapnya sendiri karena bukan kita yang menentukan tetapi orang lain . Menurut Taylor dalam Susiana & Arleen (2007) ada dua aspek independensi yaitu independensi sikap mental dan independensi penampilan, penelitian ini menguji pengaruh dari independensi terhadap integritas laporan keuangan yang dinyatakan melalui berapa besar fee audit yang dibayarkan klien kepada auditor,
54
jika Kantor Akuntan Publik (KAP) menerima fee audit yang tinggi maka KAP akan menghadapi tekanan ekonomis untuk memberikan opini bersih.
3.1.2.2. Teori Independensi Independensi secara esensial merupakan sikap pikiran seseorang yang dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas profesionalnya. Hal ini senada dengan America Institute of Certified Public Accountant (AICPA) dalam Meutia (2004) menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan objektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya. Di lain pihak, objektivitas merupakan sikap tidak memihak dalam mempertimbangkan fakta, kepentingan pribadi tidak terdapat dalam fakta yang dihadapi (Mulyadi, 2002). Selain itu AICPA dalam Meutia (2004) juga memberikan prinsip-prinsip berikut sebagai panduan yang berkaitan dengan independensi, yaitu sebagai berikut: a) Auditor dan organisasi tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien. b) Auditor dan organisasi seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang akan mengangggu objektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang mempengaruhi laporan keuangan.
55
c) Auditor dan organisasi seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan menganggu objektivitasnya auditor. Dalam aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota Kantor Akuntan Publik (KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance) (Amani dan Sulardi, 2005).
3.1.2.3. Teori Auditor Sampai saat ini belum ada definisi yang pasti mengenai apa dan bagaimana kualitas audit yang baik itu. Tidak mudah untuk menggambarkan dan mengukur kualitas audit secara obyektif dengan beberapa indikator. Hal ini dikarenakan kualitas audit merupakan sebuah konsep yang kompleks dan sulit dipahami, sehingga sering kali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya. Hal ini terbukti dari banyaknya penelitian yang menggunakan dimensi kualitas audit yang berbeda-beda. De Angelo (dalam Alim dkk, 2007) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi auditee. Sedangkan Deis dan Groux (dalam Alim dkk, 2007) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada
56
kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Menurut Marxen), sebagaimana dikutip oleh Sososutikno (2003), buruknya kualitas audit disebabkan oleh beberapa perilaku disfungsional,
yaitu:
Underreporting of time, premature sign off, altering/ replacement of audit procedure. Underreporting of time menyebabkan keputusan personel yang kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time pressure untuk audit di masa datang yang tidak di ketahui. Premature sign-off (PMSO) merupakan suatu keadaan yang menunjukkan auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur audit tanpa menggantikan dengan langkah yang lain. Sedangkan altering / replacing of audit procedure adalah penggantian prosedur audit yang seharusnya yang telah ditetapkan dalam standar auditing. Dalam
sektor
publik,
Government
Accountability
Office
(GAO)
mendefinisikan kualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar profesi dan ikatan kontrak selama melakdisanakan audit (Lowenshon et al, 2005). Standar audit menjadi bimbingan dan ukuran kualitas kinerja aditor (Messier et al, 2005). Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008, pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya yang dilakukan oleh APIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam lampiran 3 SPKN disebutkan bahwa: “Besarnya manfaat yang diperoleh dari pekerjaan pemeriksaan tidak terletak pada temuan pemeriksaan
57
yang dilaporkan atau rekomendasi yang dibuat, tetapi terletak pada efektivitas penyelesaian yang ditempuh oleh entitas yang diperiksa. Manajemen entitas yang diperiksa
bertanggung
jawab
untuk
menindaklanjuti
rekomendasi
serta
menciptakan dan memelihara suatu proses dan sistem informasi untuk memantau status tindak lanjut atas rekomendasi pemeriksa dimaksud. Jika manajemen tidak memiliki cara semacam itu, pemeriksa wajib merekomendasikan agar manajemen memantau status tindak lanjut atas rekomendasi pemeriksa. Perhatian secara terusmenerus terhadap temuan pemeriksaan yang material beserta rekomendasinya dapat membantu pemeriksa untuk menjamin terwujudnya manfaat pemeriksaan yang dilakukan” (paragraf 17). Audit yang berkualitas adalah audit yang dapat ditindaklanjuti oleh auditee. Kualitas ini harus dibangun sejak awal pelaksanaan audit hingga pelaporan dan pemberian rekomendasi. Dengan demikian, indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas audit antara lain kualitas proses, apakah audit dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur, sambil terus mempertahankan sikap skeptis. Kesimpulannya : Independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas yang tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik, yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya. Aspek-aspek dimensi dari independensi tersebut, antara lain: a) Auditor dan organisasi tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien.
58
b) Auditor dan organisasi seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang akan mengangggu objektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang mempengaruhi laporan keuangan. c) Auditor dan organisasi seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan menganggu objektivitasnya auditor.
3.1.3. Prestasi Kerja Istilah prestasi kerja mengandung berbagai pengertian. Prabowo (2005) mengemukakan bahwa prestasi lebih merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang untuk mengetahui sejauh mana seseorang mencapai prestasi yang diukur atau dinilai. Suryabrata (1984) menyatakan bahwa prestasi adalah juga suatu hasil yang dicapai seseorang setelah ia melakukan suatu kegiatan. Dalam dunia kerja, prestasi kerja disebut sebagai work performance (Prabowo, 2005). Ukuran terakhir keberhasilan dari suatu departemen personalia adalah prestasi kerja. Karena baik departemen itu sendiri maupun karyawan memerlukan umpan balik atas upayanya masing-masing, maka prestasi kerja dari setiap karyawan perlu dinilai. Oleh karena itu Penilaian prestasi kerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja. Menurut Heidrahman dan Suad Husnan (2010:126), faktor-faktor prestasi kerja yang perlu dinilai adalah sebagai berikut :
59
a) Kuantitas Kerja. Banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pekerjaan dapat diselesaikan. b) Kualitas Kerja. Mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan. Biasanya diukur melalui ketepatan, ketelitian, ketrampilan, kebersihan hasil kerja. c) Keandalan. Dapat
atau
tidaknya
karyawan
diandalkan
adalah
kemampuan memenuhi atau mengikuti instruksi, inisiatif, hati-hati, kerajinan dan kerjasama. d) Inisiatif. Kemampuan mengenali masalah dan mengambil tindakan korektif, memberikan saran-saran untuk peningkatan dan menerima tanggung jawab menyelesaikan. e) Kerajinan. Kesediaan melakukan tugas tanpa adanya paksaan dan juga yang bersifat rutin. f) Sikap. Perilaku karyawan terhadap organisasi atau atasan atau teman kerja. g) Kehadiran. Keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan waktu/jam kerja yang telah ditentukan.
3.1.3.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Kerja Zeitz (dalam Baron & Byrne, 2004) mengatakan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu faktor organisasional (organisasi) dan faktor personal. Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan,
60
beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya. Penilaian prestasi kerja dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Oleh karena itu kegunaan penilaian prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut: a) Perbaikan Prestasi Kerja Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat membetulkan kegiatan-kegiatan mereka. b) Penyesuaian-penyesuaian Kompensasi Evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya. c) Keputusan-Keputusan Penempatan Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu.
61
d) Kebutuhan-Kebutuhan Latihan dan Pengembangan Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kebutuhan latihan. Demikian juga, prestasi yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus di kembangkan. e) Perencanaan dan Pengembangan Karier Umpan balik prestasi kerja mengarahkan keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti f)
Penyimpangan-Penyimpangan Proses Staffing Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia
g) Ketidak-akuratan Informasional Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Akibatnya keputusan-keputusan yang diambil menjadi tidak tepat. h) Kesalahan-Kesalahan Desain Pekejaan Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut. i)
Kesempatan Kerja yang Adil Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusankeputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.
62
j)
Tantangan-Tantangan Eksternal Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh faktor di luar lingkungan kerja seperti keluarga, kesehatan, kondisi finansial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian prestasi, departemen personalia mungkin dapat menawarkan bantuan.(T. Hani Handoko, 2007:135-136)
3.1.3.2. Konsekuensi dari Prestasi Kerja Hal utama yang dituntut oleh organisasi dari karyawannya adalah prestasi kerja mereka yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh organisasi. Prestasi kerja karyawan akan membawa dampak bagi karyawan yang bersangkutan maupun organisasi tempat ia bekerja. Prestasi kerja yang tinggi akan meningkatkan produktivitas organisasi, menurunkan tingkat keluar masuk karyawan (turn over), serta memantapkan manajemen organisasi. Sebaliknya, prestasi kerja karyawan yang rendah dapat menurunkan tingkat kualitas dan produktivitas kerja, meningkatkan tingkat keluar masuk karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan organisasi. Bagi karyawan, tingkat prestasi kerja yang tinggi dapat memberikan keuntungan tersendiri, seperti meningkatkan gaji, memperluas kesempatan untuk dipromosikan, menurunnya kemungkinan untuk didemosikan, serta membuat ia semakin ahli dan berpengalaman dalam bidang pekerjaannya. Sebaliknya, tingkat prestasi kerja karyawan yang rendah menunjukkan bahwa karyawan tersebut sebenarnya tidak kompeten dalam pekerjaannya, akibatnya ia sukar untuk dipromosikan ke jenjang pekerjaan yang tingkatannya lebih tinggi, memperbesar
63
kemungkinan untuk didemosikan, dan pada akhirnya dapat juga menyebabkan karyawan tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja.
3.1.3.3. Data Prestasi Kerja a)
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2002:67), prestasi kerja adalah : “Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.”
b) Menurut Suyadi Prawiro Sentono (2009:2), kinerja atau prestasi kerja adalah “Performance (kinerja) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”. c)
Menurut Moenir (2005:148), prestasi kerja adalah : “Suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan’. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa
prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai seorang karyawan, melalui totalitas kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan organisasi.
64
3.1.3.4. Teknik Penilaian Prestasi Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah sebagai berikut : a)
Faktor Kemampuan. Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realiti (knowledge + skill). Artinya, karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110 - 120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan seharihari, maka ia akan lebih mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan. Oleh karena itu, karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man on the right place, the right man on the right job).
b) Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri karyawan untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap mental seorang karyawan harus sikap mental yang siap secara psikofisik (siap secara mental, fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, seorang karyawan harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai, mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja aman dan nyaman sesama karyawan.
65
Menurut Moenir (2005:9) terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan standar prestasi kerja, yaitu: a) Kualitas kerja yang meliputi ketepatan, ketelitian, keterampilan serta kebersihan. b) Kuantitas kerja yang meliputi output rutin serta output non rutin (ekstra). c) Keandalan atau dapat tidaknya diandalkan yakni dapat tidaknya mengikuti instruksi, kemampuan inisiatif, kehati-hatian serta kerajinan. d) Sikap yang meliputi sikap terhadap organisasi, karyawan lain, pekerjaan serta kerjasama. Dalam sebuah organisasi, penilaian prestasi kerja karyawan merupakan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan dan standar prestasi kerja karyawan dan memotivasi kinerja karyawan dalam waktu tertentu. Penilaian prestasi kerja berguna sebagai alat ukur untuk menentukan nilai keberhasilan pelaksanaan tugas para karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Penilaian prestasi kerja karyawan menjadi dasar bagi keputusan-keputusan yang mempengaruhi gaji, promosi, pemberhentian, pelatihan, transfer, dan kondisi kepegawaian lainnya. Penilaian prestasi kerja adalah sebagai salah satu fungsi manajemen yang berusaha untuk mempertanyakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana sekaligus mengukur seobjektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan itu dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang mengukur rencana.
66
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2007:69), terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan standar penilaian prestasi kerja, yaitu: a) Kualitas kerja yang meliputi ketepatan, ketelitian, keterampilan serta kebersihan. b) Kuantitas kerja yang meliputi output rutin serta output non rutin (ekstra). c) Keandalan atau dapat tidaknya diandalkan yakni dapat tidaknya mengikuti instruksi, kemampuan inisiatif, kehati-hatian serta kerajinan. d) Sikap yang meliputi sikap terhadap organisasi, karyawan lain, pekerjaan serta kerjasama.
3.1.3.5. Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja Penilaian prestasi kerja dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Oleh karena itu kegunaan penilaian prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut: 1) Perbaikan Prestasi Kerja Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat membetulkan kegiatan-kegiatan mereka. 2) Penyesuaian-penyesuaian Kompensasi Evaluasi
prestasi
dalammenentukan kompensasi lainnya.
kerja
membantu
para
pengambil
kenaikan
upah,
pemberian
bonus
keputusan dan
bentuk
67
3) Keputusan-keputusan Penempatan Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu. 4) Kebutuhan-kebutuhan Latihan dan Pengembangan Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kebutuhan latihan. Demikian juga, prestasi yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus di kembangkan. 5) Perencanaan dan Pengembangan Karier Umpan balik prestasi kerja mengarahkan keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti. 6) Penyimpangan-penyimpangan Proses Staffing Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia. 7) Ketidakakuratan Informasional Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Akibatnya keputusan-keputusan yang diambil menjadi tidak tepat. 8) Kesalahan-kesalahan Desain Pekerjaan Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahankesalahan.
68
9) Kesempatan Kerja yang Adil Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi. 10) Tantangan-Tantangan Eksternal Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh faktor di luar lingkungan kerja seperti keluarga, kesehatan, kondisi finansial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian prestasi, departemen personalia mungkin dapat menawarkan bantuan.(T. Hani Handoko,2007:135-136).
3.1.3.6. Aspek Dimensi Prestasi Kerja Carroll dan Schneir membuat model penilaian prestasi kerja yang mencakup ketiga aspek di dalamnya, antara lain: identification, measurement, dan management mengenai prestasi kerja karyawan di dalam organisasi. a) Identification Mengidentifikasi segala ketentuan yang menjadi area kerja seorang manajer untuk melakukan uji penilaian prestasi kerja. Identifikasi secara rasional dan legal memerlukan sistem pengukuran berdasarkan job analysis. Sistem
penilaian
akan
terfokus
pada
prestasi
kerja
yang
mempengaruhi keberhasilan organisasi dari pada karateristik yang tidak berhubungan dengan prestasi kerja seperti ras, umur, dan jenis kelamin. Dimensi ini langkah awal yang penting di dalam proses penilaian. Apabila dimensi yang signifikan itu gagal, moril karyawan yang diinginkan untuk mendapatkan tipe karyawan yang bekerja dengan baik pada dimensi
69
tersebut tidak akan diterima dan dihargai. Apabila sudah tidak relevan dan dimensi tersebut tidak dihiraukan maka karyawan merasa bahwa proses penilaian tidak memiliki arti secara keseluruhan. b) Measurement Pengukuran (measurement) merupakan bagian tengah dari sistem penilaian, guna membentuk managerial judgment prestasi kerja karyawan yang memilah hasil baik-buruknya. Pengukuran prestasi kerja yang baik harus konsisten melalui organisasi. Sehingga seluruh manajer di dalamnya diharuskan menjaga standar tingkat perbandingannya. Pengukuran prestasi kerja karyawan melibatkan sejumlah ketetapan untuk merefleksikan perilaku karyawan pada pengenalan beberapa karakteristik maupun dimensi. Secara teknis, sejumlah ketetapan itu seperti halnya predikat excellent (sempurna), good (baik), average (cukup), dan Poor (kurang) dapat digunakan dengan pemberian nomor dari 1 hingga 4 untuk tingkatan prestasi kerja karyawan. Dari segi alat pengukuran, Gomez-Mejia dkk (2001:227). memiliki format penilaian yang diklasifikasikan pada dua cara : (1) the type of judgment that is required (relative or absolute), dan (2) the focus of the measure (trait, behavior, or outcome). Hal ini disimpulkan pada tabel berikut ini :
70
Tabel 3.1. Format Penilaian Prestasi kerja
Sumber : Gomez-Mejia, et.al., 2001. Managing Human Resource, New Jersey : Prentice Hall
Relative judgement merupakan format penilaian yang menganjurkan supervisor untuk membandingkan prestasi kerja sesama karyawan yang satu dengan yang lain pada jenis pekerjaan yang sama. Sedangkan absolute judgment menyangkut format penilaian yang menganjurkan supervisor untuk membuat penilaian mengenai prestasi kerja karyawan berdasarkan
standar.
diklasifikasikan
dengan
Sistem bentuk
pengukuran data
yang
prestasi terfokus
kerja pada:
dapat trait
(karakteristik) data, behavior (perilaku) data, dan outcome (hasil) data. Trait appraisal instruments (penilaian sifat atau karakter) menjadi tugas supervisor untuk membuat penilaian mengenai karakter-karakter pekerja yang cenderung konsisten dan berlangsung lama. Sistem kedua dari pengukuran prestasi kerja adalah behavioral appraisal instruments (penilaian perilaku) terfokus pada aspek penilaian perilaku karyawan. c) Management Penilaian prestasi kerja karyawan memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar-standar kerja serta memotivasi karyawan di masa berikutnya. Hal
71
ini dapat dipahami sebagai suatu tahapan yang dirancang untuk memperbaiki kinerja organisasi secara keseluruhan melalui perbaikan prestasi kerja karyawan oleh manajer lini.
Gambar 3.3. A Model of Performance Appraisal Sumber : Gomez-Mejia, et.al., 2001. Managing Human Resource, New Jersey: Prentice Hall.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Prestasi kerja adalah suatu hasil yang dicapai seseorang setelah ia melakukan suatu kegiatan. Aspek-aspek dari Prestasi kerja, antara lain sebagai berikut : a) Identification Mengidentifikasi segala ketentuan yang menjadi area kerja seorang manajer untuk melakukan uji penilaian prestasi kerja. Identifikasi secara rasional dan legal memerlukan sistem pengukuran berdasarkan job analysis. b) Measurement Pengukuran (measurement) merupakan bagian tengah dari sistem penilaian, guna membentuk managerial judgment prestasi kerja karyawan yang memilah hasil baik-buruknya. Pengukuran prestasi kerja yang baik harus konsisten melalui organisasi. Sehingga seluruh manajer di dalamnya diharuskan menjaga standar tingkat perbandingannya.
72
c) Management Penilaian prestasi kerja karyawan memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar-standar kerja serta memotivasi karyawan di masa berikutnya.
73
3.2. Penelitian Terdahulu
Tabel 3.2. Peneliti Internasional Peneliti
Judul Penelitian
Variabel Persamaan Ali Mansouri Audit Competence and independence Assistant Prof. Department of Audit Quality: Case in Accounting and Management Emerging Economy Zanjan University, Iran
Variabel Perbedaan Independence, Audit quality, Competence, Detection fraud, Iran
Hasil Penelitian Without independence the audit quality and audit detection duty is questionable. The results of this study shows that specialization of IACPA strongly affects on fraud detection, in addition the comp etency of IACPA member affects on detecting important fraud.
74
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti Chrystelle Richard , 2006.
Judul Penelitian
Variabel Persamaan Why an auditor can't Independensi, be competent and Competition, independent: A french case study
Variabel Perbedaan Audit quality appears as a balance between its two determinants, competence and independence.
Hasil Penelitian This interpretative conception leads to a redefinition of the relationship between a finance director and an auditor as a peers' relationship. The emergence conditions of a peers' relationship are the sharing of professional and cultural norms, the frequency of relationship and the multiplexity of relationship. A peers' relationship is characterised by a hybrid trust, a joint generation of knowledge and a role equality. This parity conception of a relationship leads to a new reading of the foundations of audit quality that are auditor independence and competence.
75
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti Nor Hashimah Johari, Norman Mohd Saleh, Romlah Jaffar And Mohamat Sabri Hassan
Judul Penelitian
Variabel Persamaan The Influence of Board Independensi, Independence, Competition, Competency and Ownership on Earnings Management in Malaysia
Kimberly H. Kim, Andrew Improving Clinical Independensi, Young Lee, Lynn Eudey, & Competence and Competition, Marlene Wong Dea, Confidence of Senior Nursing Students through Clinical Preceptorship
Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Board of The results also indicate that Directors, the minimum composition of Independence, one-third independent director, Expertise, as suggested by the Code of Management Corporate Governance in Ownership, Malaysia is not adequate to Earnings monitor the management from Management earnings management practices. Clinical There was a significant Competence, correlation between the overall Confid perceived competency level ence, Nursing and confidence level of Preceptorship, students; however there was no Senior relationship between the Nursing Students, amount of preceptor interactio Quality and n and the degree of Safety Education perceived confidence. This for Nurses information is useful to nursing (QSEN) education as educators continue striving to reconcile the lack of preparedness for new staff roles that employers see in new graduates.
76
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti
Variabel Persamaan Ramona Browder Lazenby, EdD, Nursing at its Best: Independensi, RN, FNP-BC, CNE Competent and Caring Competition,
Omar Troutman University of South Carolina - Columbia,
[email protected] Catherine Packer-Williams Jefferson Davis Community College,
[email protected]
Judul Penelitian
Moving Beyond Independensi, CACREP Standards: Competition, Training Counselors to Work Competently with LGBT Clients
Variabel Perbedaan The authors conclude with a discussion of these themes and recommendations for student recruitment, curricular emphasis, and future research in this area. Many studies have emphasized the particular knowledge and competencies that special education teachers who deliver transition services are required to obtain to succeed in their mission
Hasil Penelitian Emerging themes for motivation reflected nursing values, especially altruism, and coincided with students’ beliefs of self-efficacy and goal attainment. Student responses indicated their understanding of the need for competence and revealed idealistic perceptions of caring. The findings indicated that teachers reported having negative perceptions of the transition service aspect of their preparation programs. No differences according to gender or educational background were observed. Implications and recommendations for teacher in-service and preservice programs are discussed.
77
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti
Judul Penelitian
Variabel Persamaan Filiz Evran Acar, Asst. Prof., An Assessment Of Independensi, Duzce University, Faculty of Social Studies Competition, Technical Education, Turkey. Competency Of
[email protected] Turkish Classroom Teachers
Variabel Perbedaan competency of teacher, so cial studies, assessment of competence
Hasil Penelitian The average of their acquiring levels for the determined competencies is lower than their importance level av erage. In other words, some meaningful differences between the averages of th e social studies importance and acquiring levels were found. The teachers could not have the co mpetency on the social studies in a manner compatible with its importance
78
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti A. Kovacevic, V. Rakocevic, K. Exarchou, M. Jeshani City University, School Of Engineering And Mathematical Sciences
Judul Penelitian
Variabel Persamaan Teaching An Independensi, Engineering Design Competition, Course In An Interdisciplinary International Academic Virtual Environment
Variabel Perbedaan Borderless education, academic virtual enterprise, virtual team work, design competencies, competence development
Hasil Penelitian A qualitative research has been completed with the involvement of 46 students to make out how our approach contributed to the development of the elementary design competencies. The conclusion has been that our approach equally well supports the development of both the holistic design competence and the elementary design competencies that are needed by product designers to be able to successfully operate in geographically dispersed virtual enterprises. The students’ opinion has been that the course was challenging but rewarding from the point of view of their future carrier as product designers.
79
Lanjutan Tabel 3.2. Peneliti
Variabel Persamaan Hing Keung Ma, Department of Social Competence as Independensi, Education Studies, Hong Kong a Positive Youth Competition, Baptist University, Hong Kong Development Received 1 September 2011; Construct: A Accepted 1 October 2011 Conceptual Review
Theodore R. Burnes (Chair), Anneliese A. Singh (Presidential Initiative), Amney Harper, Denise L . Pickering, Sean Moundas, Thomas Scofield , Will Maxon, Brandon Harper Alex Roan & Julia Hosea (Committe e Members Emeriti)
Judul Penelitian
Algbtic Competencies Independensi, For Counseling Competition, Transgender Clients 1 Association For Lesbian, Gay, Bisexual, And Transgender Issues In Counseling (Algbtic) Competencies For Counseling With Transgender Clients
Variabel Perbedaan competency of teacher, so cial studies, assessment of competence
Hasil Penelitian
The issues concerning the assessment of social competence are clearly delineated, and the discussion serves as a basis for future studies. Finally, five current issues concerning the launch of the “Moral and National Education (MNE) Subject” in Hong Kong primary and secondary schools are discussed. he authors of advocating for transgender these communities, and having competencies relationships with transgender come from people. diverse theoretical and professional backgrounds in working with transgender clients.
80 3.3. Kerangka Pikir Pada dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi : a)
Alur jalan pikiran secara logis dalam menjawab masalah yang didasarkan pada landasan teoretik dan atau hasil penelitian yang relevan.
b) Kerangka logika (logical construct) yang mampu menunjukan dan menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam kerangka teori. c)
Model penelitian yang dapat disajikan secara skematis dalam bentuk gambar atau model matematis yang menyatakan hubungan-hubungan variabel penelitian atau merupakan rangkuman dari kerangka pemikiran yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga pada akhir kerangka pemikiran ini terbentuklah hipotesis. Dengan demikian, uraian atau paparan yang harus dilakukan dalam kerangka
berpikir adalah perpaduan antara asumsi-asumsi teoritis dan asumsi-asumsi logika dalam menjelaskan atau memunculkan variabel-variabel yang diteliti serta bagaimana kaitan di antara variabel-variabel tersebut, ketika dihadapkan pada kepentingan untuk mengungkapkan fenomena atau masalah yang diteliti. Di dalam menulis kerangka berpikir, ada tiga kerangka yang perlu dijelaskan, yakni: kerangka teoritis, kerangka konseptual, dan kerangka operasional. Kerangka teoritis atau paradigma adalah uraian yang menegaskan tentang teori apa yang dijadikan landasan (grand theory) yang akan digunakan untuk menjelaskan fenomena yang diteliti. Kerangka konseptual merupakan uraian yang menjelaskan konsepkonsep apa saja yang terkandung di dalam asumsi teoritis yang akan digunakan untuk mengabstraksikan (mengistilahkan) unsur-unsur yang terkandung di dalam fenomena
81 yang akan diteliti dan bagaimana hubungan di antara konsep-konsep tersebut. Kerangka operasional adalah penjelasan tentang variabel-variabel apa saja yang diturunkan dari konsep-konsep terpilih tadi dan bagaimana hubungan di antara variabel-variabel tersebut, serta hal-hal apa saja yang dijadikan indikator untuk mengukur variabel-variabel yang bersangkutan.
ANALISIS PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI TERHADAP PRESTASI KERJA ANGGOTA IRJEN TNI
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Uji kuesioner
Uji kuesioner
a.Variabel : Kompetensi (X1) b.Variabel : Independensi (X2)
Regresi Berganda dan sederhana
Gambar 3.4. Diagram Alir Kerangka Berpikir
a. Variabel : Prestasi Kerja (Y1)
Pembuktian Hipotesis
82 Keterangan : 1) Variabel Kompetensi (X1), dengan indikator : a) Bagian kepribadian yang mendalam. b) Bagian kepribadian yang mendalam melekat pada seseorang. c) Perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan. d) Perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai tugas pekerjaan. (Boyatzis dalam Hutapea dan nuriana Thoha (2008)) 2) Variabel Independensi (X2), dengan indikator : a) Auditor dan organisasi tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien. b) Auditor dan organisasi seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang akan mengangggu obyektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang mempengaruhi laporan keuangan. c) Auditor dan organisasi seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan menganggu obyektivitasnya auditor. (Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati, 2009:51) 3) Prestasi Kerja (Y): a) Identification b) Measurement c) Management Prabowo (2005)
83 3.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka hipotesis penelitian dalam tesis ini, antara lain : 1) Adanya Pengaruh Kompetensi Terhadap Prestasi Kerja Anggota Inspektorat Jenderal dan Perbendaharaan TNI. 2) Adanya
Pengaruh
Independensi
Terhadap
Prestasi
Kerja
Anggota
Inspektorat Jenderal dan Perbendaharaan TNI. 3) Adanya Pengaruh Kompetensi dan Independensi secara bersama-sama Terhadap Prestasi Kerja Anggota Inspektorat Jenderal dan Perbendaharaan TNI.