BAB III KAJIAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kajian Teori 3.1.1. Kepemimpinan Otoriter 3.1.1.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan baik pada masa lalu, sekarang maupun pada masa yang akan datang, karena kepemimpinanlah yang akan membawa suatu organisasi ke arah pencapaian tujuan perjuangan.
Kapan dan
bagaimana tujuan perjuangan itu dapat dicapai, akan banyak tergantung pada sifat, bentuk dan kualitas kepemimpinan yang ada. Perlu disadari bahwa masalah kepemimpinan merupakan masalah yang
sangat
rumit
dan
peka,
karena
kepemimpinan
selalu
berhubungan dengan masalah manusia. Kepemimpinan adalah Seni dan kecakapan dalam mempengaruhi dan membimbing orang bawahan sehingga dari pihak yang dipimpin timbul kemauan, kepercayaan, hormat dan ketaatan yang diperlukan dalam penunaian tugas-tugas yang dipikulkan padanya, dengan menggunakan alat dan waktu, tetapi mengandung keserasian antara tujuan kelompok atau kesatuan dengan kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan perorangan. Secara umum ada beberapa definisi kepemimpinan dimana pada
hakikatnya
mengandung 28
maksud
yang
sama.
Definisi
29
kepemimpinan
tersebut
mengandung
unsur-unsur
seni,
ilmu,
mempengaruhi dan menuntun, manusia dan tujuan. 1)
The American College Dictionary, menyebutkan : Leadershif is The Position, function or guidance of the leader, atau “Leadershif is the ability to lead”. (Kepemimpinan itu adalah suatu posisi, fungsi atau pedoman dari seorang pemimpin adalah kemampuan untuk memimpin).
2)
John N Pfiffner & R.U. Presthus dalam buku “Public administration”, menyebutkan : “Leadershif is the art of coordinating
individuals and Groups to achiev ends”.
(Kepemimpinan adalah seni mengkoordinasikan/ mengkoordinir individu-individu dan kelompok untuk mencapai tujuan/hasil akhir). 3)
George R Terry dalam Buku “Principls Of Management”, menyebutkan : Leadershif is the activity of influencing people to strife willingly for mutual benefit”. (Kepemimpinan itu adalah aktivitas/ kegiatan/ tindakan untuk mempengaruhi orang untuk berargumen dengan sukarela untuk saling menguntungkan). Definisi kepemimpinan di atas menggambarkan pengertian
mengenai kepemimpinan pada umumnya, pengertian kepemimpinan secara khusus atau secara fungsional, yakni kepemimpinan militer atau tepatnya “pengertian kepemimpinan TNI” dalam Sesko TNI (2012) disebutkan sebagai berikut, kepemimpinan adalah seni dan
30
kecakapan dalam mempengaruhi dan membimbing orang bawahan sehingga dari pihak yang dipimpin timbul kemauan, kepercayaan, hormat dan ketaatan yang diperlukan dalam penunaian tugas-tugas yang dipikulkan padanya, dengan menggunakan alat dan waktu, tetapi mengandung keserasian antara tujuan kelompok atau kesatuan dengan kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan perorangan. Dari definisi kepemimpinan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu selalu tidak akan terlepas dan bahkan akan merupakan pencerminan kepribadian atau identitas pemimpin, karena baik buruknya suatu tujuan dan cara-cara yang ditempuh dalam mencapai tujuan itu tidak dapat terlepas dari kepribadian pemimpin itu. Kepribadian yang baik merupakan faktor yang paling utama bagi pembentukan kepemimpinan yang baik, sebaliknya kepemimpinan yang baik merupakan pencerminan kepribadian yang baik. Hal itu antara lain telah diteladankan oleh Almarhum Jenderal Soedirman dan Almarhum Jenderal Oerip Soemohardjo.
3.1.1.2. Teori-Teori Kepemimpinan Dalam dunia pustaka kepemimpinan, dikenal paling tidak delapan kelompok teori kepemimpinan. Hal ini terutama diungkapkan dalam literatur kepemimpinan yang tersohor dari Ralph M.Stogdill yang kemudian diperluas oleh Bass (1981) di dalam Salusu (2005: 198-201).
31
1)
Teori-Teori Orang Besar (Great-Man Theories ). Banyak tokoh dunia yang telah menentukan arah perjalanan sejarah umat manusia.Tanpa Winston Churchill misalnya, Inggris sudah hilang
dalam
melengkapi
tahun
atribut
1940.
Faktor
keberuntungan
juga
seorang tokoh dunia yang berhasil
mengarahkan sejarah. Misalnya Lenin, andaikata ia digantung oleh rezim lama dan tidak diasingkan, maka sejarah Uni Soviet akan lain pula. 2)
Teori-teori Sifat (Trait Theories). Sifat-sifat seperti “pemimpin dilahirkan, bukan dibuat’, kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat seperti kecendikiawanan, ketergantungan, pertanggung jawaban, ditambah lagi dengan faktor fisik, kesehatan, dan sebagainya.
3)
Teori-teori Lingkungan (Environmental Theories). Banyak teori sebelumnya yang mengungkapkan bahwa tampilnya seorang pemimpin adalah sebagai hasil ramuan dari waktu, tempat, dan situasi atau keadaan.Tiap masa mempunyai keunikan dan melahirkan pemimpin yang mampu mengisi kekosongan pada saat itu.
4)
Teori-Teori Situasional-Pribadi (Personal-Situational Theories). Teori ini mengawinkan teori “orang besar” dengan teori situasional. Dalam kedua teori terdahulu, interaksi antara individu dan situasi terlupakan. Teori yang baru ini menganggap perlu untuk menganalisis karakteristik pribadi seperti sifat-sifat
32
intelektual dari pemimpin tersebut sekaligus dikaitkan dengan situasi khusus tempat ia tampil. 5)
Teori-Teori Psikoanalitik (Psychoanalytic Theories). Teori ini menginterpretasikan pemimpin sebagai figur seorang ayah, sebagai sumber dari kasih dan ketakutan, sebagai simbol dari superego, sebagai tempat pelampiasan kekecewaan, prustasi dan agresivitas para pengikut, tetapi juga sebagai orang yang membagi kasih kepada pengikutnya.
6)
Teori-Teori
Antisipasi-Interaksi
(Interaction-Expectation
Theories). Teori ini terdiri atas paling tidak tujuh teori atau model, antara lain Leader Role Theory. Variabel utama dari kepemimpinan ini ialah action, interaction, dan sentiments. Apabila frekuensi interaksi dan peran serta dalam aktivitas bersama itu meningkat maka perasaan saling memiliki akan timbul dan norma-norma kelompok akan makin jelas. 7)
Teori-Teori manusiawi (Humanistic Theories). Teori ini menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan dari suatu organisasi yang efektif dan kohesif. Kalau manusia adalah organisme yang dapat dimotivasi, maka organisasi justru dapat dimanipulasi dan dikendalikan. Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan
disini
adalah
memodifikasi
organisasi
sedemikian rupa sehingga orang-orang dalam organisasi merasa memiliki
kebebasan
untuk
merealisasikan
potensi
33
motivasionalnya dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi juga pada saat yang bersamaan dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi. 8)
Teori-Teori
Pertukaran
(Exchange
Theories).
Teori
ini
berpandangan bahwa sebenarnya interaksi sosial merupakan suatu bentuk pertukaran (a form of exchange) yang anggotaanggota kelompok memberi dan menerima kontribusi secara sukarela atau cuma-cuma.
3.1.1.3.
Pola Umum Kepemimpinan
Dalam
kepustakaan
mengenai
kepemimpinan,
dijumpai
beberapa pola kepemimpinan (leadershif patterns), salah satunya menurut sifatnya yaitu sebagai berikut (Sesko TNI, 2012) : 1)
Kepemimpinan Otoriter. Dalam hal ini pemimpin tidak bersifat membimbing,
tetapi
lebih
bersifat
memerintah
dan
mengendalikan bawahan agar mereka dengan disiplin yang keras dan rasa loyalitas yang tinggi, dapat mencapai misi atau tujuan yang dikehendaki oleh pemimpin itu. Kekuasaan penting bagi pemimpin yang demikian itu, karena tanpa kekuasaan ia akan kehilangan sarana untuk mencapai tujuan.
Pola
kepemipinan otoriter baik atau buruk, masih harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi lingkungan yang ada.
Dalam
keadaan darurat atau sangat darurat terutama pada saat-saat
34
bawahan tidak mempunyai lagi inisiatif dan semangat juang, pola kepemimpinan otoriter sering kali diperlukan. Sebaliknya dalam kondisi bawahan cukup mempunyai inisiatif dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya, kepemimpinan yang demikian kiranya tidak perlu.
Adapun ciri-ciri
perilaku/gaya kepemimpinan otoriter serta reaksi bawahannya dapat digambarkan sebagai berikut : a)
Wewenang mutlak terpusat di pimpinan.
b)
Semua kebijaksanaan ditentukan oleh pimpinan.
c)
Komunikasi berlangsung satu arah.
d)
Langkah kegiatan teknis ditentukan oleh pimpinan pada saat
tertentu,
sehingga
biasanya
langkah-langkah
berikutnya tidak ada kepastian. e)
Tugas-tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif.
f)
Pimpinan cenderung untuk mencela atau memuji secara personal dan tetap menjauhkan diri dari kegiatan kelompok. Dalam Oxford Dictionary, otoriter (authority) didefinisikan
sebagai power to give orders; expert. Dalam dunia politik atau pemerintahan dan bisnis, definisi pertama yang sering digunakan. Authority menunjukkan sifatnya sedangkan otoriter merupakan pelakunya. Power to give orders bisa berarti kekuasaan tak terbatas (unlimited power) yang membuat orang yang berkuasa tersebut dapat memberikan (to give) perintah
35
(orders) sesuai kemauan dan keinginannya. Kepemimpinan jenis ini cocok diterapkan di lingkungan militer yang membutuhkan loyalitas dan disiplin tinggi dari anak buah terhadap atasannya. Kepemimpinan otoriter ini pada umumnya diterapkan hampir oleh semua pemimpin militer di dunia termasuk juga di lingkungan TNI. Menurut Sesko TNI (2012), dilihat dari segi sifatnya, pola kepemimpinan militer/ TNI adalah Otoriter. Hal ini dengan pertimbangan bahwa TNI sebagai organisasi militer profesional memerlukan kepemimpinan yang bersifat otoriter untuk menegakkan disiplin militer yang kuat. Tanpa tegaknya disiplin militer yang kuat organisasi militer hanya akan merupakan
gerombolan
bersenjata
yang
justru
akan
membahayakan kondisi hukum itu sendiri. 2)
Kepemimpinan Demokratis. Dalam hal ini pemimpin bersifat membimbing bawahan. Ia menjelaskan kebijaksanaan umum kepada
bawahan
dengan
pedoman-pedoman
yang
tidak
mengikat. Bawahan diharapkan dapat memilih cara-cara yang dikehendaki dalam mencapai tujuan dan dengan demikian secara spontan timbul rasa kesadaran akan tanggung jawab bawahan terhadap pencapaian tujuan bersama.
Bawahan diharapkan
bergerak sendiri, namun apabila ada penyimpangan barulah pemimpin
memberikan
pengarahannya.
Adapun
ciri-ciri
36
perilaku/gaya
kepemimpinan
Demokratis
serta
reaksi
bawahannya dapat digambarkan sebagai berikut : a)
Wewenang pimpinan tidak mutlak.
b)
Semua kebijaksanaan dibahas dan ditentukan bersama oleh kelompok dengan dorongan dan bantuan pimpinan.
c)
Komunikasi berlangsung timbal balik.
d)
Prospektif kegiatan diperoleh selama masa pembahasan, langkah-langkah umum kebijaksanaan kelompok digariskan lebih dulu dan jika diperlukan dapat meminta nasehat teknis.
e)
Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan dan bawahan.
f)
Pimpinan selalu obyektif dan berpikir serba fakta dalam memberikan pujian atau kritikan, serta berusaha memberi semangat kepada kelompok tanpa banyak mencampuri urusan pekerjaan.
3)
Kepemimpinan Liberal. Pola kepemimpinan liberal memberikan kebebasan mutlak kepada para bawahannya untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama. Pemimpin hanya akan memberikan nasehat apabila diminta oleh bawahan. Inisiatif diserahkan sepenuhnya kepada bawahan, garis-garis umumnya saja yang ia jelaskan pada tingkat awal tugas. kepemimpinan
otoriter
menitik
beratkan
Apabila
inisiatif
dan
37
kemampuan pada diri pemimpin dan kepemimpinan demokratis menitik beratkan inisiatif dan kemampuan pada kelompok dan keseluruhannya, maka pada kepemimpinan liberal inisiatif dan kemampuan ada pada masing-masing individu.
Kebebasan
individu menjadi pangkal tolak yang utama. Adapun ciri-ciri perilaku/gaya kepemimpinan liberal serta reaksi bawahannya dapat digambarkan sebagai berikut : a)
Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan.
b)
Keputusan lebih banyak dibuat oleh bawahan.
c)
Pimpinan berkomunikasi bila diperlukan bawahan.
d)
Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan.
e)
Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh orang perorang.
4)
Kepemimpinan Paternalistis.
Pola kepemimpinan ini banyak
terdapat di negara-negara Asia, termasuk pula di Indonesia. Dalam kepemimpinan ini pemimpin dianggap juga sebagai seorang ayah yang harus melindungi bawahan seperti keluarga sendiri.
Pemimpin sebagai pola seorang ayah harus dapat
menjadi panutan, yaitu seorang yang dapat dianut. Karena itu ia harus dapat memberikan teladan kepada bawahannya. Masih banyak pola-pola kepemimpinan lainnya, yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Perlu diingat, bahwa setiap pola
38
kepemimpinan yang ada mempunyai segi-segi positif dan segisegi negatifnya, yang harus diteliti lebih lanjut dan disesuaikan dengan keadaan, lingkungan dan kebutuhan setempat.
3.1.1.4 . Pola Kepemimpinan TNI Dilihat dari segi sifatnya, pola kepemimpinan TNI menurut Sesko TNI, 2012 adalah : 1)
Otoriter.
TNI
sebagai
organisasi
militer
profesional
memerlukan kepemimpinan yang bersifat otoriter untuk menegakkan disiplin militer yang kuat. Tanpa tegaknya disiplin militer yang kuat organisasi militer hanya akan merupakan gerombolan bersenjata yang justru akan membahayakan kondisi hukum itu sendiri. 2)
Demokratis.
Menempatkan figur pemimpin yang mampu
membawakan
suatu
kepemimpinan
yang
dapat
mengakomodasikan aspirasi anggota bawahannya melalui mekanisme permusyawarahan untuk mencapai mufakat. Oleh karena itu kedudukan seorang pemimpin bersifat menampung berbagai saran staf yang terbaik untuk dilaksanakan sebagai suatu keputusan.
39
3.1.1.5. Azas-azas Kepemimpinan TNI Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia yang merupakan ledakan semangat dan tekad untuk merdeka, ditandai dengan tampilnya para pemimpin perjuangan dari berbagai strata masyarakat pada saat itu, yang masing-masing bersatu dengan pribadinya yang diwarnai sifat kebhinekaan, serta diikat oleh rasa persatuan dengan sasaran yang bulat untuk mencapai Indonesia merdeka.
Banyak pemimpin tampil
di depan antara lain dalam kehidupan organisasi yang kemudian berkembang menjadi TNI sekarang ini, diantaranya ialah Panglima Besar Jenderal Soedirman yang selanjutnya memberikan warna khas kepemimpinan TNI dalam pertumbuhannya dan dalam perjuangan TNI sampai masa kini.
Sikap kepemimpinan Jenderal Soedirman
dilengkapi dengan berbagai ajaran yang berkembang dalam sejarah TNI, baik yang berasal dari Panglima besar sendiri, maupun dari para pemimpin lainnya yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Nusantara, berhasil dihimpun, kemudian diambil intinya untuk selanjutnya dirumuskan menjadi azas-azas kepemimpinan TNI, untuk selanjutnya azas kepemimpinan TNI ini diimplementasikan pada setiap babakan perjuangan dan juga dalam sejarah perjuangan dan pengabdian TNI. Azas-azas Kepemimpinan TNI adalah sebagai berikut. 1)
Taqwa,
yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, taat
kepada-Nya.
40
2)
Ing Ngarso Sung Tulodo,
yaitu memberi suri tauladan di
hadapan anak buah. 3)
Ing Madyo Mangun Karso, yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat di tengah anak buah.
4)
Tutwuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberi dorongan kepada anak buah.
5)
Waspada Purba Wisesa, yaitu selalu waspada mengawasi serta sanggup memberi koreksi kepada anak buah.
6)
Ambeg Parama Arto, yaitu dapat memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan.
7)
Prasojo, yaitu tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebihlebihan.
8)
Satya,
yaitu sikap loyal yang timbal balik dari atas terhadap
bawahan, bawahan terhadap atasan dan kesamping. 9)
Gemi Nastiti,
yaitu kesadaran dan kemampuan untuk
membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan. 10)
Belaka,
yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk
pertanggung jawaban tindakan-tindakannya. 11)
Legawa, yaitu kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggung jawab dan kedudukannya kepada generasi berikutnya.
41
Rumusan 11 Azas-azas Kepemimpinan TNI tersebut di atas (Sesko TNI, 2012) dapat dikategorikan sebagai dasar Standard Operating Procedure (SOP) kepemimpinan TNI.
3.1.1.6. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan TNI Prinsip-prinsip
kepemimpinan
TNI
adalah
kebenaran
fundamental yang telah diakui dan terbukti kebenarannya dalam suatu pelaksanaan kepemimpinan. Prinsip-prinsip kepemimpinan dijadikan pedoman/petunjuk dalam melaksanakan kepemimpinan, adapun prinsip kepemimpinan (Sesko TNI, 2012) adalah meliputi : 1)
Mahir dalam soal-soal teknis dan taktis.
2)
Ketahui diri sendiri dan cari serta usahakan perbaikanperbaikan.
3)
Yakinkan bahwa tugas itu dimengerti, diawasi dan dijalankan.
4)
Ketahui anak buah dan jaga kesejahteraannya.
5)
Jaga anak buah agar anak buah tahu sesuatu (mendapat cukup informasi).
6)
Berilah contoh.
7)
Tumbuhkan rasa tanggung jawab di antara anak buah.
8)
Latih anak buah sebagai satu tim.
9)
Buatlah keputusan yang sehat dan pada waktunya.
10)
Pekerjaan komando anda sesuai dengan kesanggupannya.
42
11)
Bertanggung jawablah atas apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh satuan anda.
3.1.1.6. Bentuk Implementasi Kepemimpinan Militer Menurut buku yang dikeluarkan Sesko TNI (2012) tentang Kepemimpinan TNI, bentuk implementasi kepemimpinan militer dapat dikategorikan ke dalam 3 kriteria yaitu Komando, Manajemen dan Administrasi. 1)
Komando. Pemimpin tidak bersifat membimbing, melainkan lebih bersikap memerintah dan mengendalikan bawahan secara otoriter, agar mereka dengan disiplin yang keras dan rasa loyalitas yang tinggi dapat mencapai misi atau tujuan yang dikehendaki oleh pimpinan itu.
2)
Manajemen.
Pemimpin akan banyak memanfaatkan
keahliannya/ kemahiran teknis, oleh karena itu diperlukan kelonggaran
penerapan
kepemimpinan
kepemimpinan demokratis.
otoriter
maupun
Dalam keadaan darurat atau sangat
darurat, terutama pada saat-saat bawahan tidak lagi mempunyai inisiatif dan semangat juang, pola kepemimpinan otoriter seringkali diperlukan.
Sebaliknya dalam kondisi dimana
bawahan cukup mempunyai inisiatif dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya, kepemimpinan otoriter kiranya tidak diperlukan, sebab inisiatif "Keahlian" oleh para ahli maupun
43
spesialis yang pada umumnya memiliki ciri-ciri ilmiah teknis seyogyanya tidak di "matikan". 3)
Administrasi.
Pemimpin akan banyak memanfaatkan
keahlian/kemahiran
teknis.
Penelitian
ilmiah
maupun
pengumpulan dan pengolahan data akan banyak dilakukan. Setiap keputusan akan dilakukan dengan lebih berhati-hati. Untuk itu semua diperlukan tenaga ahli yang cukup banyak jumlahnya.
Lagi pula pemimpin akan selalu berpegang pada
undang-undang dan peraturan-peraturan yang ketat dalam mengadministrasikan sumber daya manusia, alat peralatan, uang, metoda dan prasarana. Pemimpin bersifat membimbing bawahan. Ia menjelaskan kebijaksanaan umum kepada bawahan dengan pedoman pelaksanaan yang tidak mengikat. Bawahan diharapkan dapat memilih cara-cara yang dikehendaki dalam mencapai tujuan dan dengan demikian secara spontan timbul rasa kesadaran dan tanggung jawab bawahan terhadap pencapaian tujuan bersama.
Bawahan diharapkan bergerak
sendiri, namun apabila ada penyimpangan barulah memberikan pengarahannya. Dengan demikian kepemimpinan demokratis lebih banyak diterapkan.
Namun bila saja terjadi pada saat-
saat tertentu, bawahan tidak lagi mempunyai inisiatif dan semangat juang, misalnya karena pengaruh lingkungan yang membuatnya resah, kepemimpinan otoriter dapat saja dalam
44
waktu-waktu terbatas diterapkan
dan bila hal ini terpaksa
dilakukan tidak boleh mengorbankan "keahlian" ilmiah teknis. Bagaimana juga untuk kepemimpinan administrasi pendekatan persuasif lebih diutamakan agar inisiatif "Keahlian" tetap dapat dipelihara.
3.1.1 Budaya Organisasi 3.1.2.1 Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara tepat karena budaya ini hanya dapat disimpulkan dari keluasannya dan observasi dari yang dikatakan, dilukis dan dilakukan oleh anggota organisasi.(French, 1994). Menurut Schein dalam (Wibowo, 2010) budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena mempelajari dan menguasai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja dengan cukup baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berpikir dan dirasakan dengan benar dalam hubungan dengan masalah tersebut. Budaya organisasi (corporate culture) sering diartikan sebagai nilai-nilai, simbol-simbol yang dimengerti dan dipatuhi bersama, yang dimiliki suatu organisasi sehingga anggota organisasi merasa satu keluarga dan menciptakan suatu kondisi anggota organisasi tersebut
45
merasa berbeda dengan organisasi lain (Waridin dan Masrurukhin , 2006). Selanjutnya Waridin dan Masrukhin (2006) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasaan dan falsafah dasar pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu memacu organisasi kearah perkembangan yang lebih baik (Robbins, 2006). Adapun penerapan budaya tersebut di dalam organisasi menjadi budaya organisasi. Di antara para pakar memberikan pengertian tentang budaya organisasi dengan cara sangat beragam, karena masing-masing memberikan tekanan pada sudut pandang masing-masing. Hal seperti itu adalah wajar, seperti kita memandang sebuah benda dari sudut yang berbeda, maka masing-masing akan mendeskripsikan apa yang terlihat dalam pandangannya. (Wibowo, 2010). Namun, di antara pendapat para pakar tersebut pada umumnya bersumber pada pandangan Edgar Schein yang mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah sebagai filosofi yang mendasari, aturan main untuk bergaul, dan perasaan atau iklim yang dibawa oleh persiapan fisik organisasi ( Vecchio, 1995 dalam Wibowo, 2010).
46
Sementara Robert P. Vecchio (1995) dalam Wibowo (2010) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai dan normanorma bersama yang terdapat
dalam suatu organisasi dan
mengajarkan pada pekerja yang datang. Definisi ini menganjurkan bahwa budaya organisasi menyangkut keyakinan dan perasaan bersama, keteraturan dalam perilaku dan proses historis untuk meneruskan nilai-nilai dan norma-norma. Adapun Jerald Greenberg dan Robert A. Baron (2003) manyatakan budaya organisasi sebagai kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi. Akar setiap budaya organisasi adalah serangkaian karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota organisasi. Pengertian-pengertian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi adalah kebiasaan yang berlaku pada organisasi. Bisa jadi, dengan demikian antara satu organisasi dengan organisasi lainnya mempunyai kebiasaan yang berbeda meski keduanya bergerak pada bidang aktifitas yang sama. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam sebuah organisasi tersebut sesungguhnya berasal dari nilai-nilai organisasi (organizational values). (Hofstede, 1997) atau nilai-nilai yang bersifat idealistik, karena merupakan elemen yang tidak tampak kepermukaan (hidden) dan hanya orang-orang organisasi saja yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi
47
tersebut didirikan. Sebagai elemen yang tidak tampak dan bersifat idealistik sehingga merupakan inti dari budaya organisasi (core of culture). 3.1.2.2 Tipe Budaya Organisasi Sesuai dengan pemahaman sebelumnya, budaya organisasi merupakan filosofi dasar yang memuat keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai bersama yang menjadi karakteristik inti tentang bagaimana cara melakukan sesuatu dalam organisasi. (Widodo, 2010). Luasnya pengertian budaya organisasi tersebut membuka peluang timbulnya berbagai pandangan pula tentang adanya tipe-tipe budaya organisasi. Pendapat mereka beragam dengan justifikasi dan sudut pandang masing-masing. Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (2000: 107) mengelompokkan budaya dalam empat tipe yang disusun dalam empat budaya generik, yaitu sebagai berikut : 1)
The tough-guy, macho culture. Merupakan dunia para individualis yang secara regular mengambil resiko tinggi dan mendapatkan umpan balik cepat apabila tindakan mereka benar atau salah.
2)
The work hard-play hard culture. Dalam budaya ini yang menjadi aturan adalah kegembiraan dan tindakan, dan pekerja mengambil sedikit resiko, semuanya dengan umpan balik cepat. Untuk berhasil, budaya mendorong mereka menjaga aktivitas dengan resiko rendah pada tingkat yang relative tinggi.
48
3)
The bet-your company culture. Merupakan budaya dengan keputusan yang mengandung taruhan besar, di mana beberapa tahun berlalu sebelum pekerja tahu bahwa keputusan telah memberikan hasil. Budaya ini berisiko tinggi dan lingkungan dengan umpan balik lambat.
4)
The process culture. Merupakan budaya dengan tanpa atau sedikit umpan balik di mana pekerja menemukan sulit untuk mengukur apa yang mereka lakukan, malahan mereka mengkonsentrasikan pada bagaimana hal tersebut dilakukan. Nama lain dari budaya ini ketika prosesnya menjadi di luar kontrol adalah birokrasi.
3.1.2.3 Ciri Budaya Organisasi Menurut buku Kepemimpinan TNI yang dikeluarkan Sesko TNI (2012), ada 3 ciri budaya organisasi yaitu sebagai berikut : 1)
Komando (Suatu Budaya Militer). Memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a)
Terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas militer di lapangan dan sering dilakukan secara otoriter.
b)
Seringkali dilakukan dalam keadaan lingkungan yang menegangkan bahkan krisis.
c)
Dilakukan dalam sistem hirarki.
49
d)
Sering bekerja dalam tekanan (stress) yang berat dan dalam waktu terbatas.
e) 2)
Seringkali harus mengambil resiko "yang diperhitungkan".
Manajemen (Suatu Budaya Industri). Memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a)
Terlibat dalam proses produksi serta peningkatan surplus dan keuntungan.
b)
Seringkali dilakukan dalam keadaan lingkungan yang menegangkan, tidak pasti dan bahkan krisis
c)
Bekerja dalam tekanan (stress) yang berat dan dalam waktu terbatas (serverce time pressures).
d)
Seringkali harus mengambil resiko "yang diperhitungkan".
e)
Didorong oleh motivasi "keberhasilan".
f)
Lebih mementingkan pencapaian hasil "efektif" dari pada pemecahan yang "sehat", tetapi dengan seoptimal mungkin memanfaatkan keahlian.
3)
Administrasi (suatu Budaya Birokrasi). Memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a)
Secara relatif lebih mempersoalkan hal-hal yang sudah struktural.
b)
Dilakukan dalam sistem yang rasional dan hirarki.
c)
Selalu mencoba menghindari kesalahan dan resiko yang tidak perlu dengan memanfaatkan dan memakai keahlian.
50
d)
Secara berhati-hati menitik beratkan pada prosedur, keputusan yang mantap/sehat dan proses penyelesaiannya dari pada hasil yang dikehendaki.
e)
Lebih mengutamakan kompromi dalam menentukan caracara bertindak yang realistis dalam rangka memecahkan masalahnya.
f)
Sangat
dipengaruhi
oleh
proses-proses
maupun
pertimbangan-pertimbangan politik. Dari ketiga ciri budaya organisasi tersebut maka budaya organisasi yang hidup di lingkungan militer berciri budaya Komando.
3.1.3 Kinerja Personel 3.1.3.1. Pengertian Kinerja Secara sederhana disebutkan bahwa istilah kinerja berasal dari kata job perfomance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sungguhnya yang dicapai oleh seseorang), sedangkan yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Kinerja berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
51
dan sesuai dengan moral maupun etika (Sedarmayanti, 2007:55). Dalam melaksanakan sebuah pekerjaan, seorang pegawai akan berusaha untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut dengan sungguhsungguh agar dapat memberikan hasil yang baik sesuai dengan kemampuan, pengalaman, kesungguhan serta waktu pengerjaan tugas yang dibebankan kepadanya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Hasibuan (2001:94) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Selanjutnya Lester (1994:219) menjelaskan bahwa kinerja pegawai adalah hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melakukan tugasnya dan perannya dalam organisasi. Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan
kerja.
Kinerja
dipergunakan
manajemen
untuk
melakukan penilaian secara periodik mengenai efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kinerja, organisasi dan manajemen dapat mengetahui sejauhmana keberhasilan dan kegagalan karyawannya dalam menjalankan amanah yang diterima. Sedangkan menurut Rao (1992:1) mengemukakan bahwa yang dimaksud kinerja adalah hasil sebuah mekanisme untuk memastikan
52
bahwa orang-orang pada tiap tingkatan mengerjakan tugas-tugas menurut cara yang diinginkan oleh atasannya. Menurut Mangkunegara (2002), kinerja pegawai adalah hasil kerja secara kuantitas, yaitu jumlah atau banyaknya pekerjaan yang dihasilkan pegawai dan mutu, yaitu mutu pekerjaan yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan waktu menyelesaikan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Hasil kerja, atau prestasi itu merupakan gabungan dari tiga faktor yaitu 1). Minat dalam bekerja; 2) Penerimaan delegasi tugas dan 3) Peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Robbins (2010) mengatakan kinerja adalah jawaban atas pertanyaan ”apa hasil yang dicapai seseorang sesudah mengerjakan sesuatu”. Sedangkan menurut Mangkuprawira (2008) kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran, atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian kinerja pegawai, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai adalah hasil kerja yang dicapai karyawan dalam melakukan tugas maupun peranannya dalam suatu organisasi.
53
3.1.3.2 Faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Perusahaan sebagai suatu organisasi mempunyai tujuan yakni memperoleh keuntungan. Organisasi dapat beroperasi karena kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh para pegawai yang ada di dalam organisasi. Aktivitas tersebut diharapkan mampu menghasilkan mutu baik, atau biasa disebut dengan kinerja. Kinerja yang baik didukung oleh lingkungan baik, sedangkan kinerja kurang baik didukung oleh lingkungan kurang baik. Menurut Sutrisno (2010), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai adalah 1) Efektif dan efisien; 2) Otoritas dan tanggungjawab; 3) Disiplin dan; 4) Inisiatif. Sedangkan dalam suatu organisasi, akan terdapat perbedaan kinerja antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya yang menurut Devis (1964 : 484), perbedaan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor kemampuan (ability), dan faktor motivasi (motivation), dijelaskan bahwa kinerja yang dihasilkan antara karyawan tersebut berbeda karena adanya faktor-faktor individu yang berbeda seperti faktor kemampuan dan faktor motivasi yang ada pada diri karyawan. 1)
Faktor kemampuan, diterangkan bahwa kemampuan (ability) pegawai/karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ), dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, jika karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
54
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan mudah mencapai kinerja yang diharapkan. 2)
Faktor motivasi, motivasi ini terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan diri karyawan, yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sedang
sikap
mental
merupakan
kondisi
mental
yang
mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai kinerja secara maksimal. 3)
Faktor komunikasi, menurut Dwidjowijoto (2004 : 26) komunikasi
adalah
perekat
penghubung
mempererat
dalam
rantai-rantai
organisasi, manajemen
menjadi untuk
pergerakkan organisasi dalam mencapai tujuannya serta meningkatkan kinerja. 4)
Dari perbedaan yang disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja seseorang dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Seseorang yang memiliki kondisi yang baik, mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi, yang pada gilirannya tercermin pada kegairahan bekerja dengan tingkat kinerja yang tinggi dan sebaliknya. Disamping itu kinerja individu juga berhubungan dengan kemampuan yang harus dimiliki oleh individu agar ia berperan dalam lingkungan organisasi.
55
3.1.3.3 Pengukuran dan penilaian Kinerja Menurut Tsui et al (1997) ada 8 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja karyawan yaitu : 1) Tingkat kualitas hasil kerja; 2) Tingkat keuletan dan daya tahan kerja; 3) Tingkat disiplin dan absensi; 4) Tingkat kerja sama antar rekan sekerja; 5) Tingkat kepedulian akan keselamatan kerja; 6) Tingkat tanggung
jawab
akan
hasil
pekerjaannya;
7)
Tingkat
inisiatif/kreatifitas yang dimiliki dan; 8) Tingkat profesionalitas kerja yang dimiliki. Sedangkan pengukuran kinerja pegawai menurut TR Mitchell seperti yang dikutip Sedarmayanti dalam bukunya Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja(2001:51), meliputi beberapa aspek yaitu : 1)
Quality of work (kualitas kerja). Kualitas kerja yaitu mutu yang dihasilkan berhubungan dengan baik tidaknya hasil pekerjaan yang telah dicapai. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu atau hasil pekerjaan. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
2)
Promtness (ketepatan). Berkaitan dengan sesuai atau tidaknya waktu penyelesaian pekerjaan dengan target waktu yang telah direncanakan dan pemanfaatan waktu yang seefisien mungkin.
56
Setiap pekerjaan diusahakan untuk selesai sesuai dengan rencana agar tidak mengganggu pada pekerjaan lain. 3)
Initiative
(inisiatif).
pengambilan
Inisiatif
keputusan
ini
yang
adalah
dimiliki
berupa
wujud
pegawai
dalam
menyelesaikan pekerjaan. Seorang pimpinan harus memberikan dorongan
dan
kesempatan
kepada
bawahannya
untuk
berinisiatif, dengan memberikan kebebasan agar bawahannya aktif memikirkan dan menyelesaikan sendiri tugas-tugasnya. Maksudnya agar bawahan menjadi aktif berusaha tidak tergantung pada atasannya. 4)
Capability
(kemampuan).
Kemampuan
pegawai
yaitu
kecakapan, sikap mental dan unsur fisik yang dimiliki pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya. Setiap pegawai harus benar-benar mengetahui bidang pekerjaan yang ditekuninya. Serta mengetahui arah yang diambil organisasi, sehingga jika telah menjadi keputusan, mereka tidak ragu-ragu lagi untuk melaksanakannya dalam mencapai tujuan organisasi. 5)
Communication
(komunikasi).
Komunikasi
menyangkut
kelancaran berinteraksi dalam organisasi baik secara vertikal maupun horizontal. Seorang pimpinan dalam mengambil keputusan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada bawahannya mengemukakan saran dan pendapatnya. Pimpinan mengajak para bawahannya untuk ikut berpartisipasi dalam
57
memecahkan masalah yang dihadapai, keputusan terakhir tetap berada ditangan pimpinan. Akan menimbulkan kerjasama yang lebih baik dan hubungan-hubungan yang semakin harmonis. Juga menimbulkan perasaan-perasaan senasib sepenanggungan.
3.2
Pengembangan Model 3.2.1 Variabel Kepemimpinan Otoriter Kepemimpinan
Otoriter
adalah
kepemimpinan
yang
secara
operasional banyak diterapkan di jajaran organik TNI, yang meliputi kepemimpinan lapangan yang diterapkan dalam tugas-tugas operasi maupun taktik
di
lapangan,
kepemimpinan
manajerial
dan
kepemimpinan
administratif. Dilihat dari segi sifatnya, pola kepemimpinan militer/ TNI adalah Otoriter (Sesko TNI, 2012). Hal ini dengan pertimbangan bahwa TNI sebagai organisasi militer profesional memerlukan kepemimpinan yang bersifat otoriter untuk menegakkan disiplin militer yang kuat.
Tanpa
tegaknya disiplin militer yang kuat organisasi militer hanya akan merupakan gerombolan bersenjata yang justru akan membahayakan kondisi hukum itu sendiri. Adapun ciri-ciri perilaku/gaya kepemimpinan militer yang otoriter serta reaksi bawahannya dapat digambarkan sebagai berikut : a.
Wewenang mutlak terpusat di pimpinan.
b.
Semua kebijaksanaan ditentukan oleh pimpinan.
c.
Komunikasi berlangsung satu arah.
58
d.
Langkah kegiatan teknis ditentukan oleh pimpinan pada saat tertentu, sehingga biasanya langkah-langkah berikutnya tidak ada kepastian.
e.
Tugas-tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif.
f.
Pimpinan cenderung untuk mencela atau memuji secara personal dan tetap menjauhkan diri dari kegiatan kelompok. Dalam penelitian ini, keenam point tersebut di atas menjadi acuan
penelitian untuk variabel kepemimpinan militer
Gambar 3.1. Variabel Kepemimpinan Otoriter
3.2.2 Variabel Budaya Organisasi Lingkungan organisasi militer memiliki budaya organisasi yang unik dan khas yang bercirikan kekentalan disiplin, hirarki dan loyalitas bawahan terhadap atasannya. Oleh karena itu dalam penelitian ini, budaya organisasi yang akan menjadi salah satu pokok bahasan penulis adopsi dari budaya organisasi yang berlaku secara universal di lingkungan militer. Sesuai buku petunjuk tentang kepemimpinan militer (TNI) yang dikeluarkan Sesko TNI (2012) maka terdapat tiga ciri budaya organisasi yakni budaya komando
59
(yang hidup dalam organisasi militer), budaya manajemen (suatu budaya organisasi industri) dan budaya administrasi yang hidup di lingkungan organisasi birokrasi. Khusus untuk budaya komando yang identik dengan budaya organisasi di lingkungan militer memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a.
Terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas militer di lapangan dan sering dilakukan secara otoriter.
b.
Seringkali dilakukan dalam keadaan lingkungan yang menegangkan bahkan krisis.
c.
Dilakukan dalam sistem hirarki.
d.
Sering bekerja dalam tekanan (stress) yang berat dan dalam waktu terbatas.
e.
Seringkali harus mengambil resiko "yang diperhitungkan". Kelima ciri budaya organisasi tersebut di atas selanjutnya menjadi
indikator pengukuran untuk variabel budaya organisasi dalam penelitian ini (lihat gambar 3.2)
Gambar 3.2. Variabel Budaya Organisasi
60
3.2.3 Variabel Kinerja Personel Penilaian dan pengukuran kinerja karyawan dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat TR Mitchell seperti yang dikutip Sedarmayanti dalam bukunya Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja(2001:51), meliputi beberapa aspek yaitu : a.
Quality of work (kualitas kerja)
b.
Promtness (ketepatan)
c.
Initiative (inisiatif)
d.
Capability (kemampuan)
e.
Communication (komunikasi)
Gambar 3.3. Variabel Kinerja Personel
61
3.3
Pengaruh Antar Variabel 3.3.1 Pengaruh Kepemimpinan Otoriter terhadap Kinerja Pegawai Kepemimpinan pada dasarnya adalah proses mempengaruhi orang lain.
Selain
itu
kepemimpinan
juga
berarti
kemampuan
untuk
mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang untuk tujuan tertentu. Dalam upaya mempengaruhi tersebut seorang pemimpin menerapkan gaya yang berbedabeda dalam setiap situasi. Dimana menurut Stoner et. al (1996) gaya kepemimpinan (leadership styles) merupakan berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh
atasan
mempunyai
pengaruh
terhadap
bawahan
dan
dapat
membangkitkan semangat dan kegairahan kerja maupun sebaliknya. Dalam hal ini maka kinerja pegawai tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpinnya.
Teori
Path
Goal
(Evans,
1970;
House,
1971;
House&Mitchell, 1974 dalam Yukl, 1989) mengatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatankegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Demikian pula dengan Luthans yang memberikan penekanan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan adalah
62
faktor atasan di dalam memberikan pembimbingan, bantuan dalam memberikan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh bawahan, atasan yang memperhatikan kesejahteraan para karyawannya, komunikasi yang baik dan kondusif. (Luthans, 2004;144) Bagaimana dengan karyawan atau personel yang berada di bawah seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang otoriter, di mana pemimpin tidak bersifat membimbing, tetapi lebih bersifat memerintah dan mengendalikan bawahan agar mereka dengan disiplin yang keras dan rasa loyalitas yang tinggi, dapat mencapai misi atau tujuan yang dikehendaki oleh pemimpin itu?. Di lingkungan militer di dunia termasuk TNI, pola kepemimpinan otoriter ini masih diterapkan. TNI sebagai organisasi militer profesional memerlukan kepemimpinan yang bersifat otoriter ini untuk menegakkan disiplin militer yang kuat. Tanpa tegaknya disiplin militer yang kuat organisasi militer hanya akan merupakan gerombolan bersenjata yang justru akan membahayakan kondisi hukum itu sendiri (Sesko TNI, 2012). Gaya kepemimpinan ini juga disadari oleh seluruh prajurit TNI sehingga kepemimpinan otoriter pada umumnya hanya sedikit berpengaruh terhadap kinerja personel. Lain halnya apabila kepemimpinan otoriter ini diterapkan di lingkungan “sipil” di mana umumnya akan berdampak negatif pada penurunan kinerja personel atau karyawan. Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan otoriter memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan. Pengaruh yang signifikan akan terjadi apabila kepemimpinan otoriter tersebut diterapkan
63
dalam suatu organisasi non militer. Sedangkan apabila diterapkan di lingkungan militer kurang begitu signifikan pengaruhnya terhadap kinerja personel karena pada umumnya seluruh personel telah menyadari pentingnya kepemimpinan otoriter di dalam suatu organisasi militer.
3.3.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tidak hanya di tentukan oleh keberhasilan implementasi prinsip-prinsip manajemen, seperti Planning, organizing, leading dan controlling saja, tetapi ada faktor lain yang lebih menentukan, yaitu budaya organisasi. Pegawai atau personel yang memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilainilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi akan menjadikan nilainilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut
akan
diwujudkan
menjadi
perilaku
keseharian
dalam
bekerja,sehingga akan menjadi kinerja individual. Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan, karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan untuk memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh organisasinya. Dalam rangka mewujudkan budaya organisasi yang cocok diterapkan pada sebuah organisasi, maka diperlukan adanya dukungan dan partisipasi dari semua anggota yang ada dalam lingkup organisasi tersebut. Para karyawan membentuk persepsi keseluruhan berdasarkan karakteristik budaya organisasi yang antara lain meliputi
64
inovasi, kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku pemimpin, orientasi tim, karakteristik tersebut terdapat dalam sebuah organisasi atau perusahaan mereka. Persepsi karyawan mengenai kenyataan terhadap budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperilaku. Dari persepsi tersebut memunculkan suatu tanggapan berupa dukungan pada karakrteristik organisasi yang selanjutnya mempengaruhi kinerja karyawan ( Robbins; 1996). Lingkungan militer atau TNI di Indonesia memiliki karakteristik budaya organisasi yang khas berbeda dengan budaya organisasi seperti di suatu perusahaan. Budaya organisasi yang khas militer ini juga pada umumnya akan mempengaruhi kinerja personel. Seperti halnya di organisasi perusahaan maka di lingkungan TNI, untuk mengetahui kinerja karyawan apakah telah sesuai dengan budaya organisasi diadakan pula suatu penilaian kinerja. Hal ini sesuai dengan tujuan-tujuan dari program penilaian kinerja (Oberg, 1998) yaitu mendorong atau menolong para supervisor untuk mengamati bawahannya secara lebih dekat untuk melakukan pekerjaan secara lebih baik. Menurut Schein (1996) kegagalan yang paling mencolok dari sistem penilaian kinerja adalah karena sistem yang sangat sederhana tidak mengakui realitas pekerjaan dan budaya organisasi. Seharusnya, penilaian kinerja dikaitkan dengan budaya organisasi sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan seberapa baik karyawan berkinerja sesuai dengan budaya organisasi. Sistem penilaian kinerja dapat membantu menemukan dan merumuskan aspek-aspek penting dari budaya
65
dengan spesifikasi perilaku dan kompetensi yang dieprhikan untuk menyumbang keberhasilan organisasi, unit, kelompok, atau posisi. Jadi, sistem penilaian yang baik seharusnya digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan, mempengaruhi dan memperkuat budaya organisasi. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi baik di lingkungan militer maupun non militer berpengaruh terhadap kinerja karyawan atau personel. Tolok ukur nilai keterpengaruhannya dilakukan melalui sistem penilaian kinerja karyawan dikaitkan dengan budaya organisasi sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan seberapa baik karyawan berkinerja sesuai dengan budaya organisasi.
3.3.3. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter dan Budaya Organisasi secara bersama-sama terhadap Kinerja Pegawai. Pengaruh kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi (khas militer) secara bersama-sama terhadap kinerja personel, sampai saat ini belum dapat diketahui dikarenakan belum ada penelitian terdahulu yang mengupas secara khusus tentang kepemimpinan otoriter dan bdaya organisasi khas militer. Meski demikian dapat di duga, kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap kinerja personel.
66
3.3.4. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter (X1) terhadap Kinerja Personel (Y) Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan otoriter terhadap kinerja personel, maka diperlukan analisa hubungan antar dimensi kepemimpinan otoriter dengan kinerja personel, sebagai berikut: a.
Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan dimensi Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan Kualitas Kerja (Y1). Wewenang terpusat yang dimiliki seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando, hierarki dan loyalitas yang kuat dapat menentukan kualitas kerja personel. 2) Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan Ketepatan (Y2). Ketepatan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan seorang personel /karyawan ikut ditentukan oleh adanya wewenang terpusat yang dimiliki seorang pemimpin otoriter. 3) Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan Inisiatif (Y3). Personel atau karyawan dapat melakukan inisiatif atau tidak dalam melaksanakan tugas/ pekerjaan tergantung dari beberapa hal salah satunya karena adanya wewenang terpusat yang dimiliki seorang pemimpin otoriter.
67
4) Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan Kemampuan (Y4). Wewenang terpusat yang dimiliki seorang pemimpin otoriter ikut menentukan pemberdyaaan kemampuan personel /karyawan. 5) Hubungan dimensi Wewenang Terpusat (X11) dengan Komunikasi (Y5). Wewenang terpusat yang dimiliki seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando mempengaruhi komunikasi yang dibangun personel/ karyawan baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. b. Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan dimensi Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan Kualitas Kerja (Y1). Seorang pemimpin otoriter di mana semua kebijakan ditentukan olehnya pada hakikatnya akan berpengaruh terhadap mutu dan kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan Ketepatan (Y2). Kebijaksanaan yang ditentukan pimpinan otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando mempengaruhi ketepatan pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang dilakukan personel/ karyawan. 3) Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan Inisiatif (Y3). Kebijaksanaan yang dominan ditentukan seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer
68
dengan sistem satu komando ikut berpengaruh terhadap inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan Kemampuan (Y4). Kebijaksanaan yang diitentukan Pimpinan otoriter akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan (X12) dengan Komunikasi (Y5). Kebijaksanaan Ditentukan Pimpinan sebagai salah satu ciri pemimpin otoriter pada hakikatnya mempengaruhi komunikasi yang dibangun personel/ karyawan baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. c.
Hubungan dimensi Komunikasi Satu Arah (X13) dengan dimensi Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Komunikasi Satu Arah (X13) dengan Kualitas Kerja (Y1). Komunikasi satu arah yang merupakan ciri seorang pemimpin otoriter pada umumnya kurang bisa mendukung kualitas kerja yang baik dari personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Komunikasi Satu Arah (X13) dengan Ketepatan (Y2). Ketepatan kerja yang baik dari seorang pekerja/ karyawan/ personel umumnya sangat didukung dari adanya komunikasi yang baik dari atas ke bawah.
69
3) Hubungan dimensi Komunikasi Satu Arah (X13) dengan Inisiatif (Y3). Komunikasi satu arah yang dilakukan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap inisiatif karyawan/ personel. 4) Hubungan
dimensi
Komunikasi
Satu
Arah
(X13)
dengan
Kemampuan (Y4). Komunikasi satu arah yang dilakukan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap pemberdayaan kemampuan personel/ karyawan terutama dalam melaksanakan tugas pokoknya. 5) Hubungan dimensi Komunikasi Satu Arah (X13) dengan Komunikasi (Y5). Komunikasi satu arah yang dibangun pemimpin otoriter sangat mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukan para karyawan/ personel. d. Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan dimensi Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan Kualitas Kerja (Y1). Maksimal dan tidaknya kualitas kerja seorang karyawan/ personel ditentukan oleh Langkah Ditentukan Pimpinan di mana pemimpin terkadang ikut campur tangan dalam hal-hal teknis pekerjaan/ tugas. 2) Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan Ketepatan (Y2). Langkah yang ditentukan pemimpin otoriter pada
70
umumnya akan mempengaruhi ketepatan personel/ karyawan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan . 3) Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan Inisiatif (Y3). Langkah Ditentukan Pimpinan yang dimiliki seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando mempengaruhi inisiatif personel di mana umumnya inisiatif personel kurang berkembang. 4) Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan Kemampuan (Y4). Penentuan langkah mutlak yang dilakukan seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando akan berpengaruh terhadap kemampuan personel/ karyawan dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Langkah Ditentukan Pimpinan (X13) dengan Komunikasi (Y5). Langkah Pimpinan seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando pada umumnya akan mempengaruhi komunikasi yang dibangun personel/ karyawan baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. e.
Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) dengan dimensi Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) dengan Kualitas Kerja (Y1). Tugas Secara Instruktif yang dimiliki seorang pemimpin
71
otoriter pada umumnya dapat mempengaruhi baik tidaknya kualitas kerja seorang personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) dengan Ketepatan (Y2). Sikap seorang pemimpin otoriter yang memberikan tugas secara instruktif pada hakikatnya berpengaruh terhadap ketepatan personel dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan . 3) Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) dengan Inisiatif (Y3). Tugas Secara Instruktif yang merupakan salah satu sikap seorang
pemimpin
otoriter
umumnya
ikut
mempengaruhi
perkembangan dan kemajuan inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) Kemampuan
(Y4).
Seorang
memberikan
tugas
secara
mempengaruhi
kemampuan
pemimpin
otoriter
instruktif
pada
personel
dalam
dengan
yang
umumnya
selalu ikut
menterjemahkan
perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Tugas Secara Instruktif (X14) dengan Komunikasi (Y5). Tugas Secara Instruktif yang merupakan ciri seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando akan mempengaruhi komunikasi yang dibangun personel/ karyawan baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah.
72
f.
Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan dimensi Kinerja Personel (Y) : 1) Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan Kualitas Kerja (Y1). Cenderung Memuji Secara Personal seorang pemimpin otoriter pada umumnya dapat mempengaruhi kualitas kerja personel dan antar personel. 2) Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan Ketepatan (Y2). Cenderung Memuji Secara Personal yang dilakukan seorang pemimpin otoriter terutama di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando akan mempengaruhi ketepatan personel dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan . 3) Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan Inisiatif (Y3). Seorang pemimpin otoriter yang cenderung memuji secara personal pada umumnya dapat mematikan dan juga menghidupan inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan Kemampuan (Y4). Cenderung Memuji Secara Personal yang dilakukan seorang pemimpin otoriter pada umumnya dapat berdampak positif maupun negatif terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Cenderung Memuji Secara Personal (X15) dengan Komunikasi (Y5). Seorang pemimpin otoriter yang cenderung
73
memuji secara personal berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. Dari analisis hubungan dimensi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diduga terdapat pengaruh positif dan negatif antara kepemimpinan otoriter (X1) dengan kinerja personel (Y). 3.3.5. Pengaruh Budaya Organisasi (X2) terhadap Kinerja Personel (Y) Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja personel, maka diperlukan analisa hubungan antar dimensi budaya organisasi dengan kinerja personel, sebagai berikut: a.
Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21) dengan Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21) dengan Kualitas Kerja (Y1). Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter yang dilakukan seorang pemimpin otoriter pada umumnya mempengaruhi kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21)dengan Ketepatan (Y2). Seorang pemimpin otoriter yang pelaksanaan tugasnya secara otoriter pada umumnya mempengaruhi ketepatan personel dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan . 3) Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21) dengan Inisiatif (Y3). Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter seorang pemimpin
74
otoriter pada hakikatnya dapat berdampak mematikan dan juga menghidupan inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21) dengan Kemampuan (Y4). Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter yang dilakukan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Pelaksanaan Tugas Secara Otoriter (X21) dengan Komunikasi (Y5). Seorang pemimpin otoriter yang pelaksanaan tugasnya secara otoriter berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. b.
Hubungan dimensi Lingkungan Menegangkan (X22) dengan Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Lingkungan Menegangkan (X22) dengan Kualitas Kerja (Y1). Lingkungan menegangkan di suatu organisasi yang dipimpim
seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan
mempengaruhi kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi
Lingkungan Menegangkan (X22) dengan
Ketepatan (Y2). Seorang pemimpin otoriter yang menjadi sebab adanya lingkungan kerja yang menegangkan akan mempengaruhi ketepatan personel dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan .
75
3) Hubungan dimensi Lingkungan Menegangkan (X22) dengan Inisiatif (Y3). Lingkungan menegangkan yang ada pada suatu organisasi yang dipimpin seorang pemimpin otoriter pada hakikatnya dapat berdampak mematikan inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Kemampuan
(Y4).
Lingkungan Menegangkan (X22) dengan Lingkungan
Menegangkan
dikarenakan
pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi
Lingkungan Menegangkan (X22) dengan
Komunikasi (Y5). Seorang pemimpin otoriter yang menjadi salah satu sebab terjadinya lingkungan kerja yang menegangkan akan berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. c.
Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Kualitas Kerja (Y1). Hirarki yang kuat di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter seperti yang terjadi di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando pada umumnya akan berdampak positif dan negatif terhadap kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Ketepatan (Y2). Hirarki yang kuat di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan
76
seorang pemimpin otoriter ikut menentukan ketepatan personel/ karyawan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaannya . 3) Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Inisiatif (Y3). Hirarki yang kuat di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada hakikatnya dapat berdampak pada inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Kemampuan (Y4). Hirarki yang kuat di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan dimensi Hierarki Kuat (X23) dengan Komunikasi (Y5). Hirarki yang kuat di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter akan berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. d.
Hubungan dimensi Bekerja Dalam Tekanan (X24) dengan Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Bekerja Dalam Tekanan (X24) dengan Kualitas Kerja (Y1). Bekerja dalam tekanan di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter seperti yang terjadi di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando pada
77
umumnya akan berdampak positif dan negatif terhadap kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Bekerja Dalam Tekanan (X24) dengan Ketepatan (Y2). Bekerja dalam tekanan di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter ikut menentukan ketepatan personel/ karyawan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaannya . 3) Hubungan dimensi Bekerja Dalam Tekanan (X24) dengan Inisiatif (Y3). Bekerja dalam tekanan di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada hakikatnya dapat berdampak pada inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Bekerja Dalam Tekanan (X24)
dengan
Kemampuan (Y4). Bekerja dalam tekanan di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. 5) Hubungan
dimensi
Bekerja
Dalam
Tekanan
(X24)
dengan
Komunikasi (Y5). Bekerja dalam tekanan di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter akan berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah.
78
e.
Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Kinerja Personel (Y): 1) Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Kualitas Kerja (Y1). Harus mengambil risiko di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter seperti yang terjadi di dalam organisasi militer dengan sistem satu komando pada umumnya akan berdampak positif dan negatif terhadap kualitas kerja personel/ karyawan. 2) Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Ketepatan (Y2). Harus mengambil risiko di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter ikut menentukan ketepatan personel/ karyawan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaannya . 3) Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Inisiatif (Y3). Harus mengambil risiko di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada hakikatnya dapat berdampak pada inisiatif personel/ karyawan. 4) Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Kemampuan (Y4). Harus mengambil risiko di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter pada umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan personel dalam menterjemahkan perintah maupun kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan.
79
5) Hubungan dimensi Harus Mengambil Risiko (X25) dengan Komunikasi (Y5). Harus mengambil risiko di dalam suatu organisasi di bawah pimpinan seorang pemimpin otoriter akan berpengaruh terhadap komunikasi yang dibangun personel baik itu komunikasi ke atas, ke samping maupun ke bawah. Dari analisis hubungan dimensi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diduga terdapat pengaruh positif dan negatif antara Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja Personel (Y). 3.3.3. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter dan Budaya Organisasi (X1 dan X2) secara bersama-sama terhadap Kinerja Personel (Y) Di dalam suatu organisasi, faktor kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan faktor penting dalam menentukan kinerja karyawan/ personel. Pemimpin yang baik dengan budaya organisasi yang baik pula maka secara otomatis akan meningkatkan kinerja personel, sebaliknya kepemimpinan yang kurang baik dengan budaya organisasi yang buruk secara otomatis dapat menurunkan kinerja personel. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, di mana dari masing-masing dimensi Kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi diduga mempunyai pengaruh terhadap kinerja pegawai, maka secara bersama-sama diduga bahwa kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi juga mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja pegawai.
80
3.4
Penelitian Terdahulu Penulis mengambil beberapa penelitian sebelumnya yang menurut penulis
memiliki relevansi dengan penelitian yang akan penulis teliti dan kaji, yaitu tentang analisa hubungan kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi dengan kinerja personel Pusat Penerangan TNI. Beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat dilihat dalam tabel 3.1
Tabel 3.1. Penelitian Terdahulu No 1
2
3
Judul Penelitian Pengaruh Motivasi Dan Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi Dan Kinerja Karyawan Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Efektivitas Komunikasi Terhadap Kinerja Pegawai Badan Promosi Dan Perizinan Penanaman Modal Daerah (BP3MD ) Provinsi Sumatera Selatan Analisis Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Kinerja pegawai pada Kantor Kesatuan Bangsa Dan Masyarakat Di Kabupaten Wonogiri
Peneliti
Maria Angella Widya Puspasari (2014)
Frecilia Nanda Melvani (2012)
Variabel yang diukur Motivasi, Budaya Organisasi, Komitmen dan Kinerja Karyawan
Gaya Kepemimpinan, Efektivitas Komunikasi dan Kinerja Pegawai
M. Wahyudi Kepemimpinan, dan Djumino Motivasi dan (2010) Kinerja pegawai
Hasil Motivasi dan Budaya Organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Komitmen dan Kinerja Karyawan
Gaya Kepemimpinan dan Efektivitas Komunikasi berpengaruh signifikasi terhadap Kinerja Pegawai.
Kepemimpinan dan motivasi mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap kinerja pegawai pada kantor Kesatuan Bangsa dan Masyarakat di kabupaten Wonogiri
81
Tabel 3.1. Penelitian Terdahulu (Selanjutnya)
No
Judul Penelitian
Peneliti
4
Analisis Faktor Gaya Kepemimpinan dan Faktor Etos Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada organisasi yang telah menerapkan SNI 19-9001-2001
Biatna Dulbert Tampubolon (2011)
5
Impact of Organizational Culture on Employee Performance
6
Impact of Organizational Culture on Employee Performance and Productivity: A Case Study of Telecommunication Sector in Bangladesh
Alharbi Mohammad Awadh Dan Alyahya, Mohammed Saad (2013) Mohammad Jasim Uddin, Rumana Huq Luva dan Saad Md. Maroof Hossian (2013)
Variabel yang diukur Gaya Kepemimpinan, Etos Kerja dan Kinerja pegawai
Hasil
Gaya Kepemimpinan dan Faktor Etos Kerja secara Persial berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pegawai Organisasi, Sedangkan secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Pegawai Organisasi. Budaya Budaya organisasi Organisasi dan membantu dalam Kinerja meningkatkan kinerja. Karyawan Budaya organisasi yang kuat menjadikan manajemen efektif dan efisien Kepemimpinan Penelitian ini Transformasional menunjukkan bahwa dan kinerja banyak atribut budaya organisasi memiliki pengaruh positif yang signifikan atas kinerja organisasi. serta menunjukkan hubungan penting antara budaya dan kinerja.
Sumber : Hasil penelitian sebelumnya (2010-2014)
3.5. Kerangka Proses Penelitian Berdasarkan kajian pustaka yang mendasari perumusan masalah yang diajukan, selanjutnya dibentuk sebuah kerangka proses penelitian yang akan penulis gunakan sebagai acuan dalam pemecahan masalah. Kerangka proses penelitian tersebut ditampilkan pada gambar 3.4.
82
Judul Penelitian Pengaruh Kepemimpinan Otoriter dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Personel Puspen TNI
Latar Belakang Penelitian Disiplin rendah Pemberdayaan SDM kurang merata Rewards and punishment belum dilaksanakan dengan baik Penilaian kurang obyketif
• • • •
Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Apakah gaya kepemimpinan otoriter berpengaruh terhadap kinerja personel. 2. Apakah Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kinerja personel 3. Apakah Kepemimpinan Otoriter dan Budaya Organisasi berpengaruh secara bersama- sama terhadap kinerja personel.
1. 2. 3.
Landasan Teori Teori tentang Kepemimpinan Otoriter Teori tentang Budaya Organisasi Teori tentang Kinerja Personel
1. 2. 3.
1. 2. 3.
Hipotesis Kepemimpinan otoriter berpengaruh terhadap kinerja personel Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja personel Gaya kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja personel
Metode Penelitian Lokasi Penelitian : Puspen TNI Metode Pengumpulan Data : Penelitian Survey menggunakan angket Metode pengolahan data : Teknik analisa regresi
Variabel Penelitian 1. Kepemimpinan Otoriter 2. Budaya Organisasi 3. Kinerja Personel
Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan 2. Tahap Seminar Proposal Penelitian 3. Tahap Pengumpulan Data dan Studi Lapangan 4. Tahap Pengolahan Data 5. Tahap Penyelesaian 6. Tahap Ujian Sidang 7. Tahap Penggandaan
•
•
Daftar Pustaka Gibson, et al, (2005), Organisasi :Perilaku, Struktur, Proses. Edisi kelima,Jilid 1, Cetakan 8, Jakarta: Penerbit Erlangga Sesko TNI, (2012). Kepemimpinan TNI, Bandung, Sesko TNI
Indikator Penelitian 1. Kepemimpinan Otoriter • Wewenang terpusat • Kebijaksanaan ditentukan pimpinan • Komunikasi satu arah • Langkah ditentukan pimpinan • Pemberian Tugas secara instruktif • Cenderung mencela/memuji secara personal 2. Budaya Organisasi • Otoriter • Lingkungan menegangkan • Hirarki kuat • Bekerja dalam tekanan • Harus mengambil resiko 3. Kinerja Personel • Kualitas Kerja • Ketepatan • Inisiatif • Kemampuan • Komunikasi
Gambar 3.4. Kerangka Proses Penelitian
83
3.6. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini penulis menyajikan kerangka pemikiran untuk mempermudah memahami permasalahan yang sedang diteliti. Kerangka pemikiran disajikan dalam bentuk skema atau gambaran yang menunjukkan hubungan masing-masing variabel yaitu sebagai berikut:.
Gambar 3.5. Kerangka Pemikiran Penentuan dimensi kepemimpinan otoriter ada 5 (lima) yaitu: Wewenang terpusat, Kebijaksanaan ditentukan pimpinan, Komunikasi satu arah, Langkah ditentukan pimpinan, Pemberian Tugas secara instruktif dan Cenderung mencela/memuji secara personal. Untuk budaya organisasi ada 5 (lima) dimensi yaitu Pelaksanaan tugas secara otoriter, Lingkungan yang menegangkan, Sistem hirarki yang kuat, Bekerja dalam tekanan dan Harus mengambil resiko. Sedangkan kinerja personel sebagai variabel terikat atau variabel dependen terdiri
84
dari 5 (lima) dimensi yaitu Quality of work (kualitas kerja), Promtness (ketepatan), Initiative (inisiatif), Capability (kemampuan) dan Communication (komunikasi). Variabel bebas atau variabel independen yang terdiri dari kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi, berpengaruh terhadap variabel terikat atau variabel dependen yaitu kinerja personel.
3.7. Hipotesis Hipotesis adalah hasil dari tinjauan pustaka atau proses rasional dari penelitian yang telah mempunyai kebenaran secara teoritik. (Muhammad & Djaali, 2005). Namun demikian kebenaran hipotesis masih harus diuji secara empirik. Oleh karena itu hipotesis penelitian merupakan dugaan awal atau kesimpulan sementara pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen sebelum dilakukan penelitian dan harus dibuktikan melalui penelitian. Di mana dugaan tersebut diperkuat melalui teori dan konsep yang mendasari dan hasil dari penelitian terdahulu. Berdasarkan pada kerangka pikir di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha1 :
Kepemimpinan otoriter berpengaruh terhadap kinerja personel Pusat Penerangan TNI.
Ha2 :
Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja personel Pusat Penerangan TNI.
Ha3 :
Gaya kepemimpinan otoriter dan budaya organisasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja personel Pusat Penerangan TNI.