BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1.
Kajian Pustaka
3.1.1. Ekuitas Merek Suatu merek bukanlah sekedar nama yang menempel pada produk bagi konsumen maupun produsen. Bahkan dengan majunya informasi tehnologi saat ini, konsumen pertama kali akan mengingat merek suatu produk, bukan produsennya. Ditinjau dari sisi konsumen, merek sangat membantu dalam
mempermudah
pembelian. Apabila tidak ada merek,
konsumen harus mengevaluasi semua produk yang tidak memiliki merek setiap kali mereka akan melakukan pembelian. Merek juga membantu meyakinkan konsumen bahwa mereka akan mendapat kualitas yang konsisten ketika mereka membeli produk tersebut. Dari sisi produsen, merek dapat dipromosikan. Merek dapat dengan mudah diketahui ketika diperlihatkan atau ditempatkan dalam suatu display. Selain itu, merek dapat dipakai untuk mengurangi perbandingan harga, karena merek adalah salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membandingkan produk-produk sejenis (Rangkuti, 2008:5). Pengelolaan dan pengembangan merek sangat penting karena merek lebih bermakna dari pada sekedar produk. Produk hanya menjelaskan atribut fisik berikut dimensinya, sehingga tidak lebih dari komoditi yang dapat dipertukarkan, sedangkan merek dapat menjelaskan emosi serta hubungan secara spesifik dengan pelanggannya. Hal ini dapat terjadi karena merek mengandung nilai-nilai yang jauh lebih bermakna dari 28
pada hanya atribut fisik. Merek mengandung nilai-nilai yang bersifat intangible, emosional, keyakinan, harapan, serta sarat dengan persepsi pelanggan (Rangkuti, 2008:xi). Simamora (2004:66) dalam bukunya Remarketing for Business Recovery, sebuah pendekatan riset mengatakan bahwa brand equity adalah kekuatan merek atau kesaktian merek yang memberikan nilai kepada konsumen. Dengan brand equity, nilai total produk lebih tinggi dari nilai produk sebenarnya secara obyektif. Hal ini berarti, apabila brand equity-nya tinggi, maka nilai tambah yang diperoleh konsumen dari produk tersebut akan semakin tinggi dibandingkan dengan merek-merek produk lainnya. Definisi ekuitas merek (brand equity) yang banyak dikutip adalah versi David A. Aaker ( dalam Tjiptono, 2005:39) yang menyatakan bahwa brand equity
adalah serangkaian asset dan kewajiban (liabilities)
merek yang terkait dengan sebuah merek, nama, dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan dan atau pelanggan perusahaan tersebut. Dalam Tjiptono (2005:41) Keller menjabarkan asset brand equity yang berkontribusi pada proses implementasi dan membutuhkan enam building blocks utama yaitu:1) Brand Salience, berkenaan dengan aspek-aspek awareness sebuah merek, seperti seberapa sering dan mudah sebuah merek diingat dan dikenali dalam berbagai situasi. 2) Brand Performance, berkenaan dengan kemampuan produk dan jasa dalam memenuhi kebutuhan fungsional konsumen. Hakikatnya, kinerja merek mencerminkan intrinsic properties merek dalam hal karakteristik inheren sebuah produk atau jasa. 3). Brand Imagery,
29
menyangkut extrinsic properties produk atau jasa, yaitu kemampuan merek dalam memenuhi kebutuhan psikologis ata social pelanggan. 4) Brand Judgements, berfokus pada pendapat dan evaluasi persoalan konsumen terhadap merek berdasarkan kinerja merek dan aosiasi citra yang dipersepsikannya. 5) Brand Feelings, yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap merek. Reaksi tersebut bisa berupa warmth, fun, excitement, security, social approval, dan self-respect. 6). Brand Resonance, mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan pelanggan terhadap merek tertentu. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat aktivitas yang ditimbulkan loyalitas tersebut (misalnya, tingkat pembelian ulang, usaha dan waktu yang dicurahkan untuk mencari informasi merek, dan seterusnya). Faktor-faktor diatas tersebut yang menjadikan persaingan brand equity dalam industry sepatu keselamatan kerja sangat ketat. Perusahaan yang memproduksi sepatu keselamatan kerja banyak melakukan inovasi untuk menciptakan produk sepatu keselamatan kerja yang berkualitas tinggi dan mempunyai brand yang bagus dibenak konsumen. Sehingga dengan brand equity yang kuat dan positif dibenak customer akan membawa dampak positif terhadap perusahaan. Menurut Durianto, dkk (2004:61), ekuitas merek dapat memberikan nilai bagi perusahaan. Berikut adalah nilai ekuitas bagi perusahaan: a. Ekuitas merek yang kuat dapat membantu perusahaan dalam upaya menarik minat calon konsumen serta upaya untuk menjalin hubungan yang
30
baik dengan konsumen dan dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek. b. Seluruh elemen ekuitas merek dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen karena ekuitas merek yang kuat akan mengurangi keinginan konsumen untuk berpindah ke merek lain. c. Konsumen memiliki loyalitas tinggi terhadap suatu merek tidak akan mudah untuk berpindah ke merek pesaing, walaupun pesaing telah melakukan inovasi produk d. Asosiasi merek akan berguna bagi perusahaan untuk melakukan evaluasi atas keputusan strategi perluasan merek e. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menentukan harga premium serta mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap promosi f. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menghemat pengeluaran biaya pada saat perusahaan memutuskan untuk melakukan perluasan merek g. Ekuitas merek yang kuat akan menciptakan loyalitas saluran distribusi yang akan meningkatkan jumlah penjualan perusahaan h. Empat elemen inti ekuitas merek (brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand loyaty) yang kuat dapat meningkatkan kekuatan elemen ekuitas merek lainnya seperti kepercayaan konsumen, dan lain-lain.
31
Aaker (2006) berpendapat bahwa terdapat lima indicator atau dimensi utama pada ekuitas merek. Kelima indicator tersebut adalah kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), perceived quality, loyalitas merek (brand loyalty) dan asset-aset lain yang berkaitan dengan merek (other brand-related assets). Pada prakteknya, hanya empat dari kelima indicator tersebut yang yang digunakan pada penelitian-penelitian mengenai consumerbased brand equity (CBBE), yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, perceived quality dan loyalitas merek. Hal ini dikarenakan asset-aset lain yang berkaitan dengan merek (seperti hak paten dan saluran distribusi) tidak berhubungan secara langsung dengan konsumen. Brand awareness (kesadaran merek) dalam Aaker (2006) didefinisikan sebagai kemampuan konsumen dalam menyadari, mengakui dan mengingat suatu merek. Tahap pertama untuk membangun sebuah ekuitas merek adalah dengan menciptakan kesadaran merek. Kesadaran merek mengacu kepada seberapa kuat sebuah merek dalam ingatan konsumen (Keller, 2008). Tingkatan kesadaran merek secara berurutan adalah sebagai berikut (Aaker, 1991 dalam Simamora 2011): -
Top of Mind Merek yang menjadi top of mind adalah merek yang muncul pertama kali di benak konsumen jika dikaitkan dengan produk tertentu.
-
Brand Recall
32
Merek yang masuk kategori ini adalah merek yang dapat disebutkan oleh konsumen dengan cepat dan diluar kepala ketika dikaitkan dengan produk tertentu. -
Brand Recognition Pada tingkatan ini, konsumen tidak ingat akan sebuah merek, tetapi konsumen akan kembali ingat dan sadar akan merek tersebut setelah diingatkan kembali.
-
Unware of Brand Merek pada tingkat ini adalah merek yang sama sekali tidak diingat oleh konsumen. Dengan kata lain, konsumen tidak enyadari adanya merek tersebut. Brand association (asosiasi merek) merupakan segala sesuatu dalam
ingatan konsumen yang berkaitan dengan suatu merek. Asosiasi merek sangat berhubungan dengan kesadaran merek dimana keduanya merupakan ConsumerBrand Contact (Fournier, 2008). Pengalaman konsumen terhadap suatu merek mendorong dan menciptakan asosiasi pribadi dalam benak mereka. Asosiasi tiap individu berbeda-beda, tergantung dari fitur produk yang dibutuhkan dari merek tertentu (Osselaer dan Alba, 2010). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa asosiasi merek adalah sama dengan citra merek. Perceived Quality (persepsi kualitas) didefinisikan sebagai penilaian atau persepsi konsumen terhadap kualitas dan keunggulan suatu merek, baik pada produk maupun jasa (Zeithhalm, 1988 dalam Gil et al 2007 h.189). Persepsi kualitas yang tinggi muncul ketika konsumen mengakui perbedaan dan 33
keunggulan sebuah merek dibandingkan dengan merek yang lain (Yasin et al, 2007). Perceived Quality yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan konsumen, dimana dapat meningkatkan ekuitas merek. Bagi pelaku pasar, penciptaan ekuitas merek melalui perceived quality yang tinggi membantu mereka menetapkan harga premium, sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan (Yoo et al, 2000). Brand Loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu bentuk respon atau sikap konsumen dan merupakan proses psikologi (Jacoby dan Keyner, 2005). Loyalitas merek adalah komitmen konsumen untuk tetap memberikan penilaian positif terhadap suatu merek dan melakukan pembelian berulang (Mustafa,2009), Konsumen yang loyal merupakan kekayaan perusahaan. Reichheld (2006 dalam Mustafa 2009) menjelaskan bahwa loyalitas merek dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Keuntungan berkelanjutan 2. Mengurangi biaya pemasaran 3. Meningkatkan per-customer revenue growth 4. Mengurangi biaya operasional 5. Meningkatkan harga premium 6. Menciptakan keunggulan kompetitif Ekuitas merek mencerminkan posisi suatu produk dalam benak konsumen. Suatu produk dikatakan mempunyai ekuitas jika merek tersebut mampu mempengaruhi perilaku konsumen dalam mempertahankan merek di pikiran
34
mereka, dan pada akhirnya akan mempengaruhi minat beli baik dimasa sekarang maupun di masa yang akan datang. Aaker (2007:23) mengungkapkan bahwa ekuitas merek menciptakan nilai baik pada perusahaan maupun pada konsumen. Ekuitas merek dapat diartikan sebagai kekuatan dari sebuah merek. Menurut Morgan (2005:76), dari sisi perusahaan, melalui merek yang kuat perusahaan dapat mengelola asset-aset dengan baik, meningkatkan arus kas, memperluas pangsa pasar, menetapkan harga premium, mengurangi biaya promosi, meningkatkan penjualan, menjaga stabilitas, dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Sedangkan menurut Shoker (2004:151) apabila dikaiykan dengan perspektif konsumen, ekuitas amerek sebagai bentuk peningkatan perceived utility dan nilai sebuah merek dikaitkan dengan suatu produk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek merupakan persepsi konsumen terhadap keistimewaan suatu merek dibandingkan merek yang lain. Beberapa peneliti mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan indicator atau dimensi yang terdapat dalam ekuitas merek. Keller (2005:56), menyebutkan pengetahuan merek (brand knowledge) dan citra merek (brand image) yang terdiri atas kesadaran merek (brand awarenesss) dan citra merek (brand image) sebagai indicator ekuitas merek. Shocker dan Weitz dalam Gil (2007:191), mengklasifikasikan dimensi ekuitas merek menjadi dua yaitu citra merek (brand image) dan loyalitas merek (brand loyalty). Agarwal dan Rao dalam Gil (2007:191), mengemukakan dua indicator
35
utama pada ekuitas merek yaitu kualitas keseluruhan (overall quality) dan minat memilih (choice intention). Namun yang paling umum digunakan adalah pendapat Aaker (2007:25), yaitu bahwa terdapat lima indicator atau dimensi utama pada ekuitas merek. Kelima indicator tersebut adalah kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand associations), kualitas yang dirasakan (perceived quality), loyalitas merek (brand loyalty) dan asset-aset lain yang berkaitan dengan merek (other brandrelated assets). Pada prakteknya, hanya empat dari kelima indicator tersebut yang digunakan pada penelitian-penelitian mengenai consumer-based brand equity, yaitu kesadaran merek, asosiasi meek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Hal ini dikarenakan asset-aset lain yang berkaitan dengan merek (seperti hak paten dan saluran distribusi), tidak berhubungan secara langsung dengan konsumen. Menurut Simamora (2005:68), ekuitas merek tidak terjadi dengan sendirinya. Ekuitas merek dibangun oleh elemen-elemen ekuitas merek yang terdiri dari: a. Kesadaran merek (brand awareness) b. Asosiasi merek (brand association) c. Persepsi Kualitas (perceived quality) d. Loyalitas merek (brand loyalty) e. Asset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets), seperti hak paten, akses terhadap pasar, akses terhadap teknologi, akses terhadap sumber daya dan lain-lain.
36
Menurut Durianto, dkk (2004:4), empat elemen brand equity diluar asset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Konsep brand equity ini dapat ditampilkan pada gambar 1 yang memperlihatkan kemampuan brand equity dalam menciptakan nilai bagi perusahaan atau konsumen atas dasar lima kategori asset yang telah disebutkan.
Perceived Quality Brand Awareness Brand Association Brand Loyalty
Brand Other propiertary Brand assets
Equity
Memberikan nilai kepada konsumen dengan memperkuat •
• •
Interpretasi / proses informasi Rasa percaya diri dalam pembelian Pencapaian Kepuasan dari konsumen
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat •
• • • • •
Efisiensi dan efektifitas program pemasaran Brand Loyalty Harga / laba Perluasan merek Peningkatan perdagangan Keuntungan kompetitif
Sumber : Durianto, dkk (2004:4) Gambar 3.1 Konsep Ekuitas Merek
37
Gambar diatas menunjukkan bahwa ekuitas merek merupakan asset yang dapat memberikan nilai tersendiri dimata konsumennya dalam bentuk: a. Aset yang dikandungnya dapat membantu konsumen dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. b. Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, asosiasi dengan karakteristik merek. c. Dalam kenyataannya, persepsi kualitas dan asosiasi merek dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen
3.1.1.1. Elemen-elemen Ekuitas Merek a. Brand Awareness Aaker dalam Handayani, dkk (2010:62) mendefinisikan kesadaran merek adalah kemampuan dari konsumen potensial untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu merek termasuk ke dalam kategori produk tertentu. Sedangkan menurut Duriyanto, dkk (2004:30), brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan elemen ekuitas merek yang sangat penting bagi
perusahaan
karena
kesadaran
merek
dapat
berpengaruh
secara
langsungterhadap ekuitas merek. Apabila kesadaran konsumen terhadap merek rendah, maka dapat dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga akan rendah.
38
Kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat merek suatu produk berbeda, tergantung pada tingkat komunikasi merek atau persepsi konsumen terhadap merek produk yang ditawarkan. Berikut adalah tingkatan brand awareness yang dikemukakan oleh Handayani, dkk (2010:65): 1) Unware of Brand Pada tahap ini, konsumen merasa ragu atau tidak yakin apakah sudah mengenal merek yang disebutkan atau belum. Tingkatan ini yang harus dihindarkan oleh perusahaan. 2) Brand Recognition Pada tahap ini, konsumen mampu mengidentifikasi merek yang disebutkan. 3) Brand Recal Pada tahap ini, konsumen mampu mengingat merek tanpa diberikan stimulus. 4) Top of mind Pada tahapan ini konsumen mengingat merek sebagai yang pertama kali muncul di pikiran saat berbicara mengenai kategori produk tertentu.
Kesadaran merek akan sangat berpengaruh terhadap ekuitas suatu merek. Kesadaran merek akan mempengaruhi persepsi dan tingkah laku seorang konsumen. Oleh karena itu meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek merupakan prioritas perusahaan untuk membangun ekuitas merek yang kuat.
39
Durianto, dkk (2004:57), mengemukakan bahwa tingkat kesadaran konsumen terhadap suatu merek dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya sebagai berikut: 1) Suatu merek harus dapat menyampaikan pesan yang mudah diingat oleh para konsumen. Pesan yang disampaikan harus berbeda dibandingkan dengan merek lainnya. Selain itu pesan yang disampaikan harus memiliki hubungan dengan merek dan kategori produknya. 2) Perusahaan disarankan memakai jingle lagu dan slogan yang menarik agar merek lebih mudah diingat oleh konsumen 3) Simbol yang digunakan perusahaan sebaiknya memiliki hubungan dengan mereknya. 4) Perusahaan dapat menggunakan merek untuk dapat melakukan perluasan produk, sehingga merek tersebut akan semakin diingat oleh konsumen. 5) Perusahaan dapat memperkuat kesadaran merek melalui suatu isyarat yang sesuai dengan kategori produk, merek, atau keduanya. 6) Membentuk
ingatan
dalam
pikiran
konsumen
akan
lebih
sulit
dibandingkan dengan memperkenalkan suatu produk baru, sehingga perusahaan harus selalu melakukan pengulangan untuk meningkatkan ingatan konsumen terhadap merek.
b. Brand Association Aaker dalam Handayani, dkk (2010:76), mendefinisikan brand association sebagai segala sesuatu yang terhubung di memori konsumen terhadap suatu merek. Schiffman dan Kanuk (2000:111), menambahkan bahwa asosiasi
40
merek yang positif mampu menciptakan citra merek yang sesuai dengan keinginan konsumen, sehingga dapat menciptakan rasa percaya diri konsumen atas keputusan pembelian merek tersebut. Menurut Simamora (2003:63), asosiasi merek adalah segala sesuatu yang berkaitan tentang merek dalam ingatan. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004:61), asosiasi merek merupakan segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Keller (2003:731), mengemukakan secara konseptual asosiasi merek dibedakan dalam tiga dimensi, yaitu: 1) Strength (kekuatan) Kekuatan dari asosiasi merek tergantung dari banyaknya jumlah atau kuantitas dan kualitas informasi yang diterima oleh konsumen. Semakin dalam konsumen menerima informasi merek, semakin kuat asosiasi merek yang dimilikinya. Dua faktor yang mempengaruhi kekuatan merek yaitu hubungan personal dan informasi tersebut dan konsistensi informasi tersebut sepanjang waktu. 2) Favorable (kesukaan) Asosiasi merek yang disukai terbentuk oleh program pemasaran yang berjalan efektif mengantarkan produk-produknya menjadi produk yang disukai oleh konsumen 3) Uniqueness (keunikan) Asosiasi keunikan merek tercipta dari asosiasi kekuatan dan kesukaan yang membuat merek menjadi lain daripada yang lain. Dengan adanya
41
asosiasi merek yang unik, akan tercipta keuntungan kompetitif dan alasanalasan mengapa konsumen sebaiknya membeli merek tersebut. Asosiasi merek yang unik dirancang agar konsumen “tidak ada alasan untuk tidak” memilih merek tersebut. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa asosiasi merek merupakan segala hal atau kesan yang ada di benak seseorang yang berkaitan denganingatannya mengenai suatu merek. Kesan-kesan terkait dengan merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi atau menggunakan suatu merek tertentu. Menurut Durianto, dkk (2004:69), asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal sebagai berikut: 1) Atribut produk (products attributes) Atribut produk yang paling banyak digunakan dalam strategi positioning adalah mengasosiasikan suatu obyek dengan salah satu atau beberapa atribut atau karakteristik produk yang bermakna dan saling mendukung, sehingga asosiasi bisa secara langsung diterjemahkan dalam alasan untuk pembelian suatu produk. 2) Atribut tak berwujud (itangibles attributes) Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, inovasi, atai kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang obyektif. 3) Manfaat bagi konsumen (customer benefits)
42
Biasanya terdapat hubungan antara atribut produk dan manfaat bagi konsumen. Terdapat dua manfaat bagi konsumen, yaitu: (a) manfaat rasional (rational benefit), adalah manfaat yang berkaitan erat dengan suatu atribut produk dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan
keputusan
yang
rasional;
(b)
manfaat
psikologis
(psychological benefit), seringkali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut. 4) Harga Relatif (relative price) Evakuasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga. 5) Penggunaan (application) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu 6) Pengguna/konsumen (user/customer) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau konsumen dari produk tersebut. 7) Orang terkenal.khalayak (celebrity/person) Mengkaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh seorang terkenal atau artis ke merek tersebut. 8) Gaya Hidup/kepribadian (lifestyle/personality)
43
Gaya hidup sangat berpengaruh terhadap asosiasi merek karena sebuah merek bisa diilhami oleh para konsumen merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama. 9) Kelas produk (product class) Beberapa merek perlu membuat keputusan positioning yang menentukan dan melibatkan asosiasi-aosiasi kelas produk 10) Para Pesaing (competitors) Mengetahui pesaing dan berusaha menyamai atau bahkan mengungguli pesaing 11) Negara/wilayah geografis (country/geographic area) Sebuah Negara dapat menjadi symbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.
Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand imagenya) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitas pada merek tersebut. Dalam prakteknya, terdapat banyak sekali kemungkinan asosiasi dan varian dari asosiasi merek dapat memberikan nilai bagi suatu merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna merek tersebut. Menurut Simamora (2003:82), nilai-nilai asosiasi merek adalah seperti yang diperlihatkan pada Gambat 2 antara lain: 1) Proses penyusunan informasi Asosiasi-asosiasi dapat embantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para konsumen
44
2) Pembedaan Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain. 3) Alasan untuk membeli Asosiasi merek yang berhubungan dengan atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat pembeli gunakan sebagai alasan untuk menggunakan merek tersebut 4) Menciptakan sikat atau perasaan positif Asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merambat pada merek yang bersangkutan 5) Landasan untuk perluasan Asosiasi dapat menjadi dasar perluasan sebuah merek dengan menciptakan kesan kesesuaian antara merek tersebut dan produk baru perusahaan. Membantu proses/penyusunan informasi
Diferensiasi Posisi
Asosiasi Merek
Alasan Pembelian
Menciptakan sikap/perasaan positif
Basis Perluasan
Sumber: Simamora (2003:82) Gambar 3.2 Nilai Asosiasi Merek
45
c. Perceived Quality Aaker dalam Handayani, dkk (2010:84), mendefinisikan perceived quality sebagai persepsi konsumen terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa sehubungan dengan tujuan yang diinginkannya, dibandingkan denganalternatif-alternatif lain. Aaker mengukur kualitas dengan teknik kuantitatif dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar kualitas produk dan jasa 1) Kualitas produk a) Performance (kinerja): seberapa baik suatu produk melakukan fungsinya. b) Features (karakteristik produk) c) Conformance with specifications (kesesuaian dengan spesifikasi) d) Reliability (keterhandalan) e) Serviceability (pelayanan) f) Fit and Finish (hasil akhir) 2) Kualitas jasa a) Reliability (keterhandalan) b) Responsiveness (ketanggapan) c) Assurance (jaminan) d) Emphaty (empati) e) Tangible (bentuk fisik) Menurut Simamora (2003:78), menyatakan bahwa persepsi kualitas adalah persepsi konsumen terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa
46
layanan ditinjau dari fungsinya secara relative dengan produk-produk. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004:96), persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi dari konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan harapan konsumennya. Persepsi kualitas mencerminkan perasaan konsumen secara menyeluruh mengenai suatu merek. Untuk memahami persepsi kulaitas suatu merek diperlukan pengukuran terhadap dimensi yang terkait dengan karakteristik produk. Mengacu kepada pendapat Garvin dalan Durianti, dkk (2004:98), dimensi persepsi kualitas dibagi menjadi tujuh, yaitu: 1) Kinerja Melibatkan berbagai karakteristik operasional utama 2) Pelayanan Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut 3) Ketahanan Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut 4) Kehandalan Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya 5) Karakteristik produk
47
Bagian-bagian tambahan dari produk (feature). Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. 6) Kesesuaian dengan spesifikasi Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan diuji. 7) Hasil Mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan hasil akhir produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas yang penting. Persepsi kualitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangun suatu merek, dalam banyak konteks persepsi kulaitas sebuah merek dapat menjadi alasan yang penting pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan konsumen yang pada
gilirannya akan mempengaruhi konsumen dalam
memutuskan merek mana yang akan dibeli. Secara umum menutut Durianto, dkk (2004:109), persepsi kualitas yang diperlihatkan pada Gambar 3 dapat menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut: 1) Alasan Untuk membeli Keterbatasan informasi, uang dan waktu membuat keputusan pembelian konsumen dan minat membeli ulang sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas suatu merek di benak konsumen, sehingga seringkali alasan
48
keputusan pembeliannya hanya didasarkan pada persepsi kualitas dari merek yang kan dibelinya 2) Diferensiasi atau posisi Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi persepsi kualitas, yaitu apakah merek tersebut super optimum, optimum, bernilai, atau ekonomis. Juga, berkenaan dengan persepsi kualitas, apakah merek tersebut terbaik atau sekedar kompetitif terhadap merek-merek lain. 3) Harga Premium Keuntungan
persepsi
kualitas
memberikan
pilihan-pilihan
dalam
penetapan harga premium (price premium). Harga premium bisa meningkatkan laba perusahaan dan atau member sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini digunkan untuk membangun merek, seperti menguatkan kesadaran atau asosiasi atau mutu produk 4) Minat saluran distribusi Persepsi kualitas juga mempunyai arti penting bagi para pengecer, distributor, dan berbagai saluran distribusi lainnya. Sebuah pengecer atau saluran distribusi lainnya dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi kualitas yang tinggi dengan harga yang menarik dan menguasai lalu lintas distribuso tersebut. Pos saluran distribusi dimotivasi untuk menyalurkan merek-merek yang diminati oleh konsumen. 5) Perluasan merek
49
Suatu merek dengan persepsi kualitas yang kuat dapat dieksploitasi kea rah perluasan merek. Merek dengan persepsi kualitas yang kuat dapat digunakan untuk memperkenalkan kategori baru yang beraneka macam. Produk dengan persepsi kualitas yang kuat mempunyai kemungkinan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan merek dengan persepsi kualitasnya yang lemah, sehingga perluasan produk dari merek dengan persepsi kualitas merek yang kuat memungkinkan memperoleh pangsa pasar yang lebih besar. Dalam hal ini persepsi kualitas merupakan jamian yang signifikan atas perluasan merek tersebut. Alasan untuk membeli
Diferensiasi / Posisi
Persepsi Kualitas
Harga Premium
Minat Saluran distribusi
Perluasan Merek
Sumber: Durianto, dkk (2004:109) Gambar 3.3 Nilai Persepsi Kualitas d. Brand Loyalty Aaker (1997:56), mengemukakan definisi brand loyalty adalah sebuah ukuran ketertarikan konsumen terhadap suatu merek. Menurut Rangkuti
50
(2006: 60), loyalitas merek adalah satu ukuran kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Simamora (2010:70), menyatakan bahwa loyalitas merek adalah ukuran kedekatan konsumen pada sebuah merek. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004:126), loyalitas merek merupakan satu ukuran keterkaitan seorang konsumen kepada sebuah merek. Loyalitas merek sering dianggap sebagai komitmen internal untuk membeli dan membeli ulang suatu merek tertentu. Loyalitas merek dapat didefinisikan sebagai keinginan melakukan dan perilaku pembelian ulang. Dapat juga dikatakan bahwa loyalitas merek adalah hasil dari aktivasi kognisi dan pengambilan keputusan membeli (Peter, 2010). Pendeteksian adanya loyalitas merek dapat dilakukan dengan cara menguji: 1. Struktur keyakinan (kognitif) artinya informasi merek yang dipegang oleh konsumen yaitu keyakinan konsumen harus menunjuk pada merek fokal yang dianggap superior dalam persaingan 2. Struktur sikap (afektif) artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi dari pada merek saingan, sehingga ada preferensi afektif yang jelas pada merek local. 3. Struktur niat (konaktif) konsumen terhadap merek fokal, artinya konsumen harus mempunyai niat membeli merek fokal, bukannya merek lain ketika keputusan membeli dilakukan (Basu swastha Dharmaesta, 2009).
51
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas merek merupakan ukuran kesetiaan, kedekatan atau keterkaitan konsumen pada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mingkin tidaknya seorang konsumen beraih ke merek produk yang lain. Dalam kaitannya dengan loyalitas merek suatu produk, diperoleh adanya beberapa tingkatan loyalitas merek, Masing-masing tingkatan menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus asset yang dapt dimanfaatkan. Adapun tingkatan loyalitas merek tersebut menurut Durianto, dkk (2004:19), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 adalah sebagai berikut: 1) Switcher (berpindah-pindah) Adalah tingkatan loyalitas paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen
berpidah
dari
satu
merek
ke
merek
yang
lain
mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Cirin yang paling tampak dari jenis konsumen ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah dan banyak konsumen yang membeli produk tersebut 2) Habitual Buyer (Pembeli yang bersifat kebiasaan) Adalah pembeli yang tidak mengalami ketidakpuasan
dalam
mengkonsumsi suatu merek produk. Tidak ada alasan yang kuat untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan biaya, usaha, atau pengorbanan lainnya.
52
3) Satisfied Buyer (pembeli yang puas) Adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang dikonsumsi. Namun, pembeli ini dapat saja berpindah merek dengan menanggung biaya peralihan (switching cost), seperti waktu, biaya, atau resiko yang timbul akibat tindakan peralihan merek tersebut. Untuk menarik minat pembeli kategori ini, pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli dengan menawarkan berbagai manfaat dengan kompensasi. 4) Likes the Brand (menyukai merek) Adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Rasa asosiasi yang berkaitan deng symbol, rangkaian pengalaman menggunakan merek tersebut atau persepsi kualitas yang tinggi. Mereka menganggap merek sebagai sahabat. 5) Commited Buyer (Pembeli yang berkomitmen) Adalah kategori pembeli yang setia. Pembeli ini mempunyai kebanggaan dalam menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat penting baik dari segi fungsi maupun sebagai ekspresi siapa sebenarnya penggunanya. Ciri yang tampak pada kategori ini adalah tidakan pembeli untuk merekomendasikan / mempromosikan merek yang digunakannya kepada orang lain.
53
committed
Liking the Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher
Sumber: Durianto, dkk (2004:19) Gambar 3.4 Piramida Loyalitas merek
Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merek dapat menjadi asset strategis bagi perusahaan. Menurut Durianto, dkk (2004:61), loyalitas merek yang disajikan pada Gambar 5 dapat memberikan nilai kepada perusahaan dalam bentuk: 1) Mengurangi biaya pemasaran (reduced marketing costs) Biaya pemasaran untuk mempertahankan konsumen akan lebih murah dibandingkan dengan biaya pemasaran untukmendapatkan konsumen baru. 2) Mendongkrak perdagangan (trade leverage) Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. 3) Menarik minat konsumen baru (attracting new customers) Perasaan puas dan suka terhadap suatu merek akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon konsumen untuk mengkonsumsi merek tersebut dan
54
biasanya akan merekomendasikan/mempromosikan merek yang ia pakai kepada orang lain, sehingga kemungkinan dapat menarik konsumen baru. 4) Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan (provide time to respond to competitive threats) Bila pesaing mengembangkan produk yang lebih unggul, komsumen yang loyal akan memberikan waktu bagi perusahaan untuk merespon pesaing dengan memperbaiki produknya.
Mengurangi biaya Pemasaran
Meningkatkan /mendongrak perdagangan Loyalitas Merek Menarik minat konsumen baru
Memberi waktu merespos ancaman pesaing
Sumber: Durianto, dkk (2004:109)
Gambar 3.5 Nilai Loyalitas Merek
3.1.2. Kepuasan Pelanggan Pada dasarnya setiap perusahaan yang berorientasi pada konsumen akan mempelajari setiap keinginan, kebutuhan dan perilaku yang tampak serta berusaha untuk memenuhinya agar tecapai kepuasan konsumen. Pelanggan yang memperoleh kepuasan dalam pelayanan merupakan modal dasar bagi perusahaan
55
dalam membentuk loyalitas pelanggan. Banyak perusahaan menyadari bahwa pelayanan dan kepuasan pelanggan merupakan hal yang paling utama dalam rangka bertahan dan memenangkan persaingan. Menurut Tjiptono (2005: 195), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan sebagai evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok dengan tujuan pemakaiannya. Hal ini berarti bahwa kepuasan adalah semacam langkah perbandingan antara pengalaman dengan hasil evaluasi. Puas atau tidak puas yang dirasakan pelanggan atau produk yang dibeli atau dikonsumsi bukan merupakan emosi melainkan sesuatu hasil evaluasi dari emosi. Selanjutnya Swan dalam Tjiptono (2005: 205), menyatakan bahwa persepsi dan harapan pelanggan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Kebutuhan dan keinginan yang dirasakan ketika sedang melakukan transaksi dengan perusahaan b. Pengalaman masa lalu ketika mengonsumsi produk dari perusahaan maupun dari pesaing-pesaingnya c. Pengalaman dari teman-teman yang menceritakan kualitas produk yang akan dibeli d. Komunikasi melalui iklan dan pemasaran Swan dalam Tjiptono (2005: 105), menyatakan bahwa perusahaan yang memperhatikan kepuasan pelanggannya akan memperoleh manfaat: a. Reputasi perusahaan semakin positif di mata pelanggan 56
b. Dapat mendorong terciptanya loyalitas c. Memungkinkan terciptanya rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan perusahaan d. Meningkatkan keuntungan e. Hubungan antara perusahaan dan pelanggan menjadi harmonis f. Mendorong setiap anggota organisasi untuk bekerja dengan tujuan serta kebanggaan yang lebih baik. Menurut Umar (2003: 51), faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah mutu produk dan pelayanannya, kegiatan penjualan, pelayanan setelah penjualan dan nilai-nilai perusahaan. Tjiptono (2005: 261), menyatakan bahwa terdapat kesamaan paling tidak dalam 6 (enam) konsep inti mengenai objek pengukuran kepuasan konsumen, yaitu: a. Kepuasan Pelanggan Keseluruhan (Overall Customer Satisfaction) Cara yang paling sederhana untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah langsung menanyakan kepada pelanggan seberapa puas mereka dengan produk atau jasa spesifik tertentu. Biasanya ada dua bagian dalam proses pengukurannya yaitu: 1) mengukur tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan bersangkutan, dan 2) menilai dan membandingkannya dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan terhadap produk atau jasa para pesaing. b. Dimensi Kepuasan Pelanggan Berbagai penelitian memilih kepuasan pelanggan ke dalam komponenkomponennya. Umumnya, proses ini terdiri atas empt langkah, yaitu: 57
1) mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci kepuasan pelanggan 2) meminta konsumen menilai produk atau jasa perusahaan berdasarkan item-item spesifik, seperti kecepatan pelayanan, fasilitas pelayanan, atau keramahan staf pelayanan pelanggan, 3) meminta pelanggan menilai produk atau jasa pesaing berdasarkan item-item spesifik yang sama, dan 4) meminta para pelanggan untuk menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka paling penting dalam menilai kepuasan pelanggan secara keseluruhan. c. Konfirmasi Harapan (Confirmation of Expectations) Dalam konsep ini, kepuasan tidak diukur langsung, namun disimpulkan berdasarkan kesesuaian/ketidaksesuaian antara harapan konsumen dengan kinerja actual produk perusahaan pada sejumlah atribut atau dimensi penting. d. Minat Pembelian ulang (Repurchase Intent) Kepuasan konsumen diukur secara behavioral dengan jalan menanyakan apakah pelanggan akan berbelanja atau menggunakan jasa perusahaan lagi e. Kesediaan untuk Merekomendasi Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relatif lama atau bahkan hanya terjadi satu kali pembelian (seperti pembelian mobil, broker rumah, asuransi jiwa, tur keliling dunia, dan sebagainya), kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan produk kepada teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting untuk dianalisis dan ditindaklanjuti. f. Ketidakpuasan Pelanggan (Customer Dissatisfaction)
58
Beberapa
macam aspek
yang sering ditelaah guna
mengetahui
ketidakpuasan konsumen, meliputi: 1) Komplain, 2) Return atau pengembalian produk, 3) biaya garansi, 4) product recall atau penarikan kembali produk dari pasar, gethok tular negatif, dan 6) defections atau konsumen yang beralih ke pesaing Tzeng (2009) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan adalah batasan antara pelayanan standard yang diharapkan dan pelayanan standar yang aktual dan respon emosional berdasakan batasan ini. Literature diatas menujukkan bahwa kepuasan pelanggan berhubungan dengan harapan customer; harapan customer meliputi kemitraan pelayanan perusahaan, buzz dan pengalaman terakhir pembelian dan bentuk basis ke harapan standar customer. Parasuraman dkk mengemukakan bahwa batas antara servis yang diharapkan menentukan kepuasan pelanggan.
3.1.3. Resonansi Merek Dalam model Customer-Based Brand Equity (CBBE) yang diusulkan oleh Keller (1993), resonansi merek sudah diusulkan secara resmi. Kemudian Keller (2001) mendefinisikan resonansi merek sebagai hubungan antara konsumen dan merek, atau sejauh mana konsumen merasakan merek tersebut, dan ada perbedaan dalam potensi emosional konsumen dengan resonansi merek, yang dapat dibagi kedalam empat level yaitu attachment, behavioral loyalty, sense of community, dan active engagement. Keller (2005) menunjukkan bahwa untuk bergaung dengan brand tertentu, konsumen membutuhkan tidak hanya sering menggunakan
59
produk merek tersebut, tetapi juga membutuhkan untuk secara aktif concern tentang informasi yang berhubungan dengan merek, pembentukan attachment psikologi yang kuat terhadap merek. Chang (2011) kemudian menjelaskan resonansi merek, percaya bahwa kesetiaan konsumen disebabkan oleh resonansi merek bisa diekspresikan kedalam 2 jalan, yaitu behavioral loyalty dan emotional loyalty. Hal ini dipercayai bahwa emotional loyalty mengharuskan adanya behavioral loyalty, tetapi sebaliknya mungkin tidak benar. Resonansi merek adalah hubungan antara merek dan penggunanya termasuk kesediaan pelanggan untuk membeli dan merekomendasikan kepada orang lain. Kekuatan merek terletak pada pikiran pelanggan, pada efek dari pengalaman dan pembelajaran tentang merek, serta pada respon mereka terhadap merek tersebut (Keller, 2005). Masih menurut Keller, resonansi merek berada pada puncak piramida ekuitas merek karena merupakan hal yang paling sulit dan merupakan level yang paling diinginkan untuk dicapai. Perusahaan dapat mencapai resonansi merek apabila pelanggannya merasa mempunyai ikatan emosional yang mendalam secara psikologi dengan merek tersebut.
3.1.4. Minat Pembelian Ulang Berdasarkan Cronin dan Morris (2009) dan Cronin dan Taylor (2005) niat pembelian kembali mengacu pada komitmen psykologi terhadap produk atau jasa yang timbul setelah menggunakannya, menimbulkan ide untuk mengkonsumsi kembali. Jones dan Sasser (2005) menemukan bahwa niat pembelian kembali sangat
penting
untuk
keuntungan
dan
evakuasi.
Seiders
dkk
(2005)
mengemukakan pembelian kembali mengacu pada seberapa jauh konsumen 60
berkeinginan untuk membeli produk atau jasa kembali. Dan secara sederhana , objective dan bisa diobservasi perilaku pembelian yang diharapkan. Collier dan Bienstock (2006) juga mengungkapkan bahwa pembelian kembali tak hanya kemungkinan
membeli
produk
tetapi
mungkin
juga
termasuk
merekomendasikannya kepada saudara dan teman. Minat (intention) merupakan pernyataan sikap mengenai bagaimana seseorang akan berperilaku di masa yang akan datang (Soderlund dan Ohman, 2003). Minat pembelian ulang (repurchase intention) merupakan suatu komitmen konsumen yang terbentuk setelah konsumen merasa puas terhadap pembelian tersebut (Hicks et al, 2005). Butcher (2005) berpendapat bahawa minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang adalah salah satu ukuran dari keberhasilan dari suatu perusahaan. Menurut Helier et al (2003) minat pembelian ulang merupakan keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali suatu produk atau jasa berdasarkan apa yan telah diperoleh dari perusahaan yang sama, melakukan pengeluaran untuk memperoleh barang dan jasa tersebut dan ada kecenderungan dilakukan secara berkala. Akumulasi dari pengalaman dan pengetahuan konsumen terhadap suatu merek merupakan faktor yang dapat mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian kembali merek yang sama. Konsumen beranggapan bahwa hal ini lebih ekonomis dan efisien daripada konsumen harus kembali mencari tahu tentang brand yang lain (Youne dan Suna, 2004). Menurut Ferdinand (2002), terdapat empat faktor atau indikator untuk mengukur minat pembelian ulang, yaitu: -
Minat transaksional
61
Minat transaksional merupakan kecenderungan seseorang untuk membeli produk -
Minat eksploratif Minat eksploratif menggambarkan perilaku seseorang yang selalu ingin mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut
-
Minat Preferensial Minat preferensial merupakan minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki preferensi utama pada produk tersebut, preferensi ini dapat berubah bila terjadi sesuatu dengan produk preferensinya
-
Minat Referensial Minat referensial adalah kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk kepada orang lain Ekuitas merek tidak hanya memberikan keuntungan jangka pendek bagi
perusahaan, namun juga memberikan keuntungan jangka panjang. Kelangsungan hidup sebuah merek dapat ditentukan melalui ekuitasnya, Huang, Chun-Chen et al (2014) dalam penelitian mereka mengemukakan bahwa ekuitas merek berpengaruh positif terhadap minat pembelian kembali (repurchase intention). 3.2. Penelitian Terdahulu 3.2.1. Pengaruh Ekuitas Merek terhadap Minat Pembelian Ulang Jurnal internasional yang berjudul The Relationship among Brand Equity, Customer Satisfaction, and Brand Resonance to Repurchase Intention of Culture 62
and creative Industries in Taiwan oleh Huang et al (2014). Jurnal ini bertujuan untuk mengekplorasi efek dari ekuitas merek, kepuasan pelanggan, dan resonansi merek pada minat pembelian ulang. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Kedua dimensi ekuitas merek dan kepuasan pelanggan bisa meningkatkan resonansi merek konsumen terhadap produk 2) Ketiga dimensi ekuitas merek, kepuasan pelanggan, dan resonansi merek semua secara langsung mempengaruhi minat pembelian ulang 3) Resonansi merek mempunyai efek moderat dalam pengaru ekuitas merek terhadap minat pembelian ulang dan resonansi merek mempunyai efek moderat yang lengkap pada pengaruh kepuasan pelanggan terhadap minat pembelian ulang. Jurnal internasional dengan judul The Influence of Brand Equity on Consumer Responses oleh Buil et al (2013). Tujuan dari jurnal ini adalah untuk mengajukan dan melakukan tes sebuah model untuk pemahaman mengenai ekuitas merek yang lebih baik. Juenal ini menginvestigasi pengaruh ekuitas merek terhadap respon konsumen dengan menggunakan data dari 2 negara Eropa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi ekuitas merek saling berhubungan. Kesadaran merek secara positif berpengaruh terhadap persepsi kualitas dan asosiasi merek. Loyalitas merek secara pokok dipengaruhi oleh asosiasi merek. Akhirnya, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan loyalitas merek adalah pemicu utama dari keseluruhan ekuitas merek. Penemuan juga menunjukkan pengaruh positif ekuitas merek terhadap respon konsumen (price premium, brand extention, brand preference, and purchase intention).
63
Jurnal internasional dengan judul Re-examining the effect of service recovery: the moderating role of brand equity oleh Huang et al. Jurnal ini bertujuan untuk menginvestigasi peran dari ekuitas merek dalam kegagalan dalam menangani pelayanan dan menguji pengaruh dari ekuitas merek terhadap perbaikan pelayanan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekuitas merek yang kuat menyediakan keuntungan dalam peningkatan perbaikan pelayanan dan behavior intentions (repatronage intention dan word-of mouth behavior).
3.2.2. Pengaruh Kepuasan Pelanggan terhadap Minat Pembelian Ulang Jurnal internasional yang berjudul The consequence of appraisal emotion, service quality, perceived value and customer satisfaction on repurchase intent in the performing arts oleh Hume et al (2010). Jurnal ini bertujuan untuk menguji hubungan appraisal emotion, kualitas pelayanan, perceived value dan kepuasan pelanggan terhadap minat pembelian ulang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa minat pembelan ulang secara garis besar dipengaruhi oleh kepuasan pelanggan yang dimediasi oleh perceived value. Jurnal internasional dengan judul An investigation into Relationships among Constructs of Sevice Quality, customer Satisfaction, and Repurchase Intention in Korean Private Golf Courses oleh Kim et al (2012). Penelitian ini dirancang untuk menginvestigasi hubungan antara konstruk kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan dan minat pembelian ulang di Kursus Privat Golf Korea. Model regresi terkait lima faktor kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan menunjukkan hubungan yang segnifikan dengan 58% dari kepuasan pelanggan
64
dijelaskan dari faktor kualitas pelayanan. Model regresi sederhana untuk kepuasan pelanggan dan minat pembelian ulang ditemukan mempunyai interaksi yang signifikan diantara para responden. Jurnal internasional dengan judul Identifying The Key Drivers of Customer Satisfaction and Repurchase Intentions: An Empirical Investigation of Japanese B2B Services oleh Khan et al (2012). Jurnal ini bertujuan untuk menguji kepuasan pelanggan dan minat pembelian kembali antara pelayanan B2B di Jepang. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa dimensi pelayanan pengiriman account rep dan performance teknisi sama dengan persepsi produk sangat kuat berkaitan dengan kepuasan pelanggan dimana sangat kuat pula berkaitan dengan mina pembelian kembali.
3.2.3. Pengaruh Resonansi Merek terhadap Minat Pembelian Ulang Jurnal internasional yang berjudul The Relationship among Brand Equity, Customer Satisfaction, and Brand Resonance to Repurchase Intention of Culture and creative Industries in Taiwan oleh Huang et al (2014). Jurnal ini bertujuan untuk mengekplorasi efek dari ekuitas merek, kepuasan pelanggan, dan resonansi merek pada minat pembelian ulang. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Kedua dimensi ekuitas merek dan kepuasan pelanggan bisa meningkatkan resonansi merek konsumen terhadap produk 2) Ketiga dimensi ekuitas merek, kepuasan pelanggan, dan resonansi merek semua secara langsung mempengaruhi minat pembelian ulang 3) Resonansi merek mempunyai efek moderat dalam pengaru ekuitas merek terhadap minat pembelian ulang dan resonansi merek mempunyai
65
efek moderat yang lengkap pada pengaruh kepuasan pelanggan terhadap minat pembelian ulang. Jurnal internasional yang berjudul Evaluating the Affective Elements on The Repurchase Intention of The Customer:Wang Model Processing in Iran’s Mobile Industry oleh Rasoulidizaji et al (2012). Tujuan utama dari study ini adalah untuk menentukan faktor utama yang mempengaruhi minat pembelian ulang di Industry Handphone.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
resonansi merek adalah salah satu faktor yang mempengaruhi minat pembelian Ulang. Jurnal internasional dengan judul Global brand equity model: combining customer-based with product-market outcome approaches oleh Wang et al (2008). Jurnal ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan struktural antara variabel CAA dan CBBE dan hasil produk marketnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara CAA, kesadaran merek, persepsi kualitas dan resonansi merek yang perlu diperkenalkan dalam system manajemen di perusahaan. Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini yang sudah diuraikan diatas digambarkan dengan tabel sebagai berikut:
66
Tabel 3.1 Penelitian Terdahulu Judul Jenis The Relationship Jurnal Among Brand Equity, Customer Satisfaction, and Brand Resonance to Repurchase Intention of Culture and Creative Industries in Taiwan
Peneliti Hasil Penelitian Huang, et al Hasil dari penelitian ini adalah (2014) 1) Kedua dimensi ekuitas merek dan kepuasan pelanggan bisa meningkatkan resonansi merek konsumen terhadap produk 2) Ketiga dimensi ekuitas merek, kepuasan pelanggan, dan resonansi merek semua secara langsung mempengaruhi minat pembelian ulang 3) Resonansi merek mempunyai efek moderat dalam pengaru ekuitas merek terhadap minat pembelian ulang dan resonansi merek mempunyai efek moderat yang lengkap pada pengaruh kepuasan pelanggan terhadap minat pembelian ulang.
The Influence of Jurnal Brand Equity on Consumer Responses
Buil et (2013)
Re-examining
the Jurnal
al Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi ekuitas merek saling berhubungan. Kesadaran merek secara positif berpengaruh terhadap persepsi kualitas dan asosiasi merek. Loyalitas merek secara pokok dipengaruhi oleh asosiasi merek. Akhirnya, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan loyalitas merek adalah pemicu utama dari keseluruhan ekuitas merek. Penemuan juga menunjukkan pengaruh positif ekuitas merek terhadap respon konsumen (price premium, brand extention, brand preference, and purchase intention). Huang et al Hasil dari penelitian ini
67
effect of service recovery: the moderating role of brand equity
(2011)
The consequence of Jurnal appraisal emotion, service quality, perceived value and customer satisfaction on repurchase intent in the performing arts An investigation into Jurnal Relationships among Constructs of Sevice Quality, customer Satisfaction, and Repurchase Intention in Korean Private Golf Courses
Hume et al (2010)
Kim et al (2012)
Identifying The Key Jurnal Drivers of Customer Satisfaction and Repurchase Intentions: An Empirical Investigation of Japanese B2B Services
Khan et al (2012)
Evaluating the Jurnal Affective Elements on The Repurchase Intention of The Customer:Wang Model Processing in Iran’s Mobile
Rasoulidizaji et al (2012)
68
menunjukkan bahwa ekuitas merek yang kuat menyediakan keuntungan dalam peningkatan perbaikan pelayanan dan behavior intentions (repatronage intention dan word-of mouth behavior) Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa minat pembelan ulang secara garis besar dipengaruhi oleh kepuasan pelanggan yang dimediasi oleh perceived value Model regresi terkait lima faktor kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan menunjukkan hubungan yang segnifikan dengan 58% dari kepuasan pelanggan dijelaskan dari faktor kualitas pelayanan. Model regresi sederhana untuk kepuasan pelanggan dan minat pembelian ulang ditemukan mempunyai interaksi yang signifikan diantara para responden. dari penelitian ditemukan bahwa dimensi pelayanan pengiriman account rep dan performance teknisi sama dengan persepsi produk sangat kuat berkaitan dengan kepuasan pelanggan dimana sangat kuat pula berkaitan dengan mina pembelian kembali Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa resonansi merek adalah salah satu faktor yang mempengaruhi minat pembelian Ulang.
Industry Global brand equity Jurnal model: combining customer-based with product-market outcome approaches
Wang et al Jurnal ini bertujuan untuk (2008). mengeksplorasi hubungan struktural antara variabel CAA dan CBBE dan hasil produk marketnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara CAA, kesadaran merek, persepsi kualitas dan resonansi merek yang perlu diperkenalkan dalam system manajemen di perusahaan
3.3. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian pustaka yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disusun kerangka pemikiran terlihat pada gambar berikut:
Ekuitas Merek(X1):
X1.1. Kesadaran Merek X1.2. Asosiasi Merek X1.3. Persepsi Kualitas
H1
X1.4. Brand Loyalty
KepuasanPelanggan (X2) X2.1 Kepuasan Pelanggan Keseluruhan X2.2 Konfirmasi Harapan
Minat Pembelian Kembali (Y)
H2
Y1.1 Minat Transaksional Y1.2 Minat Ekploratif Y1.3 Minat Preferensial Y1.4 Minat Referensial
H3 Resonansi Merek (X3) X3.1 Behavioral Loyalty X3.2 Emotional Loyalty
H4
69
3.2.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian, kajian pustaka, dan kerangka
pemikiran penelitian yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukkan adalah sebagai berikut: H1
: Ekuitas merek memiliki pengaruh yang positif terhadap minat pembelian ulang sepatu keselamatan kerja merk King’s.
H2
: Kepuasan Pelanggan memiliki pengaruh yang positif terhadap minat pembelian ulang sepatu keselamatan kerja merk King’s.
H3
: Resonansi Merek memiliki pengaruh yang positif terhadap minat pembelian ulang sepatu keselamatan kerja merk King’s.
H4
: Ekuitas merek, kepuasan pelanggan dan resonansi merek secara bersama-sama memiliki pengaruh yang positif terhadap minat pembelian ulang sepatu keselamatan kerja merk King’s.
70