BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1
Kepemimpinan
3.1.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan prestasi kerja, baik pada tingkat individual, pada tingkat kelompok, dan pada tingkat organisasi (Sutrisno, 2009). Dengan demikian, tampak pemimpin selalu akan dikaitkan dengan kelompok, karena seorang pemimpin tanpa kelompok dan para anggota, tidak akan ada manfaatnya, meskipun individu tersebut mempunyai potensi yang baik untuk menjadi seorang pemimpin. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengelola atau mengatur organisasi secara efektif dan mampu melaksanakan kepemimpinan secara efektif pula, dan pada gilirannya tujuan organisasi akan tercapai (Sutrisno, 2009). Bermacam-macam pengetian mengenai kepemimpinan yang diberikan oleh para ahli, namun pada intinya kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang untuk menggerakkan orang lain dengan memimpin, membimbing, mempengaruhi orang lain, untuk melakukan sesuatu agar dicapai hasil yang diharapkan (Sutrisno, 2009). Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi yang relevan. Kepemimpinan memakai pengaruh dalam 13
14
lingkup atau situasi organisasi, untuk menghasilkan efek yang berarti dan berdampak langsung terhadap pencapaian tujuan yang menantang (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007). Hasibuan (2003), mengatakan pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya untuk mengerahkan orang lain serta bertanggung jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan. 3.1.2 Pendekatan Teori Kepemimpinan Pemimpin memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu organisasi untuk mencapai tujuan. Peran pemimpin dalam perusahaan atau organisasi adalah peran yang sentral, oleh karena itu keberadaan pemimpin merupakan faktor penting di dalam suatu organisasi. Maju mundurnya suatu organisasi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin dalam memimpin pegawai untuk mencapai tujuan bersama. Teori kepemimpinan mencoba menerangkan tentang faktor-faktor yang terdapat
dalam
kepemimpinan
yang
menentukan
keberhasilan
dalam
pelaksanaannya (Rustandi, 1992). Secara garis besar pendekatan teori kepemimpinan terbagi tiga aspek yaitu: pendekatan trait, pendekatan perilaku, pendekatan situasional (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). a) Trait Theory Trait Theory, bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin karena memiliki sifat-sifat sebagai pemimpin. Namun pandangan teori ini juga tidak memungkiri bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi melalui pendidikan dan pengalaman. Para penganut thrait theory ini berusaha menggeneralisasi sifat-sifat umum yang dipunyai oleh pemimpin seperti fisik,
15
mental, dan kepribadian. Dengan asumsi pemikiran, bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh kualitas sifat atau karakteristik tertentu yang dimiliki dalam diri pemimpin tersebut, baik berhubungan dengan fisik, mental, psikologis, personalitas dan intelektual (Sutrisno, 2009). Usaha identifikasi karakter khusus (fisik, mental, kepribadian) terkait kesuksesan pemimpin. Teori in mengandalkan riset yang mengaitkan berbagai trait terhadap criteria sukses tertentu. Pendekatan ini mengansumsikan bahwa seorang pemimpin yang efektif pasti memiliki sejumlah trait khusus (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). 1.
Intelegensi Dalam penelaahan terhadap 33 penelitian. Ralph Stogdill menemukan bahwa pemimpin harus lebih cerdas dari orang yang dipimpin. Namun salah satu penemuan yang penting adalah bahwa perbedaan intelegensi yang terlalu besr antara pemimpin dan orang yang dipimpin justru merugikan.
2.
Kepribadian Edwin Ghiselli mengidentifikasi trait kepribadian yang diasosiasikan dengan keefektifan pemimppin. Semakin tinggi posisi seseorang dalam organisasi, semakin penting trait ini. Ghiselli juga menemukan bahwa keyakinan diri berhubungan dengan posisi hierarkis dalam organisasi. Dan yang terakhir, Ghiselli menemukan bahwa orang yang menunjukkan individualitas ternyata menjadi pemimpin yang paling efektif.
16
3.
Karakteristik Fisik Penelitian tentang hubungan antara kepemimpinan yang efektif dan karakteristik fisik seperti usia, tinggi badan, berat badan, dan penampilan menunjukkan hasil yang kontradiktif. Meskipun demikian, Truman, Gandhi,, napoleon, dan stalin adalah contoh individu berpostur kecil yang mencapai kepemimpinan yang tinggi.
4.
Kemampuan Supervisi Ghiselli menemukan adanya hubungan positif antara kemampuan supervise dan level hierarkis organisasi.
b) Teori Perilaku Teori perilaku ini dilandasi pemikiran, bahwa kepemimpinan merupkan interaksi antara pemimpin dengan pengikut, dan dalam innteraksi tersebut pengikutlah yang menganalisis dan mempersepsikan apakah menerima atau menolak kepemimpinannya; pendekatan perilaku menghasilkan dua orientasi perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas atau yang mengutamakan penyelesaian tugas yang mengutamakan penciptaan hubungan-hubungan yang manusiawi (Sutrisno, 2009). Pemimpin dengan gaya job-centered (berorientasi kerjaan) berfokus pada penyelesaian pekerjaan dan menerapkan supervise yang ketat sehingga bawahan melakukan menggunakan prosedur yang spesifik. Pemimpin dengan gaya employee-centered (berorientasi pegawai) berfokus pada bawahannya yang melakukan tugas dan senantiasa membudidayakan pendelegasian pengambilan keputusan dan membantu bawahannya dalam memenuhi kebutuhan mereka dalam menciptakan lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin ini
17
peduli terhadap perkembangan, pertumbuhan dan pencapaian pribadi pengikutnya (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). Perilaku pemimpin yang berorientasi tugas menampilkan gaya kepemimpinan otokratik, sedangkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia menampilkan gaya demokratik atau partisipatif. Gaya kepemimpinan demokratik mendorong anggota untuk menentukan, antara lain: 1.
Kebijakan mereka sendiri;
2.
Memberi pandangan tentang langkah dan hasil yang diperoleh;
3.
Memberi kebebasan untuk memulai tugas;
4.
Mengembangkan inisiatif;
5.
Memelihara komunikasi dan interaksi yang luas;
6.
Menerapkan hubungan yang sportif, dan lain-lain Sebaliknya, gaya kepemimpinan otokratik mempunyai cirri antara lain:
1.
Menentukan kebijakan untuk anggotanya;
2.
Member tugas secara instruktif;
3.
Menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan anggotanya;
4.
Mengendalikan secara ketat pelaksanaan tugas;
5.
Interksi dengan anggota terbatas;
6.
Tidak mengembangkan inisiatif anggota, dan lain-lain
c) Teori Situasional Teori situasi mencoba mengembangkan kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Dalam pandangan ini, hanya pemimpin yang mengetahui situasi dan
18
kebutuhan organisasi yang dapat menjadi pemimpin yag efektif (Sutrisno, 2009). Teori ini menyatakan bahwa keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi kepemimpinan. Pendekatan kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami perilakunya sendiri (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). 1.
Model kontingensi Kepemimpinan dari Fiedler Gaya kepemimpinan diukur dengan Least-PreferrednCo-Worker Scale
(LPC), sebuah instrument yang dikembangkan Fiedler, yang mengukur tingkat perasaan positif atau negatif yang dimiliki seseorang terhadap orang lain yang paling tidak dipilih untuk bekerja sama. Nilai yang rendah dalam LPC dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang task-oriented (berorientasi tugas), yaitu gaya yang mengontrol dan terstruktur. Nilai yang tinggi diasosiasikan dengan gaya kepemimpinan yang relationship-oriented (berorientasi hubungan), yaitu gaya yang pasif dan memiliki kepedulian (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). Fiedler mengajukan tiga faktor yang menentukan seberapa menguntungkan lingkungan yang dimiliki seorang pemimpin atau tingkat keuntungan situasional, yaitu: a. Hubungan pemimpin-pengikut menunjukkan tingkat kepercayaan, keyakinan, dan rasa hormat yang dimiliki pengikut terhadap pemimpin mereka. Faktor dari model kontingensi Fiedler yang terkait derajat keyakinan, kepercayaan, dan penghargaan yang didapat pemimpin dari bawahannya. b. Struktur tugas, adalah faktor kedua terpenting yang menunjukkan sejauh mana tugas yang dilakukan para pengikut terstruktur. Faktor dari model kontingensi
19
Fiedler mengenai struktur pekerjaan berkitan dengan persyaratan, alternative solusi, dan umpan balik mengenai kesesuaian pencapaian tugas. c. Position power adalah faktor terakhir dan merupakan kekuatan yang dimiliki oleh posisi pemimpin. Umumnya otoritas yang lebih tinggi merupakan tanda position power yang lebih tinggi. Faktor dari model kontingensi Fiedler yang berkaitan dengan kekuasaan yang berkaitan dengan kekuasaan yang dikandung pada posisi kepemimpinan. Secara keseluruhan, ketiga faktor ini menentukan seberapa menentukannya sebuah situasi bagi pemimpin. Hubungan pemimpin-pengikut yang baik , struktur tugas yang tinggi, dan position power yang tinggi dianggap sebagai situasi yang menguntungkan. Hubungan yang buruk, struktur yang rendah, dan position power yang lemah dianggap sebagai situasi yang paling tidak mengutungkan. 2.
Model Kepemimpinan Vroom – Jago Model kepemimpinan Vroom – Jago adalah mode kepemimpinan yang
menetapkan prosedur pengambilan keputusan yang paling efektif dalam situasi tertentu. Model ini memberikan norma dan petunjuk yang dapat digunakan oleh para pemimpin dalam situasi pengambilan keputusan. Asumsi pendekatan mereka adalah tidak adanya kepemimpinan tunggal yang sesuai untuk semua situasi, maka pemimpin harus fleksibel untuk mengubah gaya kepemimpinan agar sesuai situasi spesifik. Untuk memahaminya perlu memperhatikan tiga komponen pentingnya: (1) spesifikasi dari kriteria yang digunakan untuk menilai keefektifan dari keputusan, (2) adanya kerangka yang menggambarkan perilaku atau gaya kepemimpinan yang
20
spesifik, (3) variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). 1) Keefektifan Keputusan Melibatkan dua kriteria keefektifan keputusan: kualitas keputusan dan komitmen bawahan. Kualitas keputusan berkaitan dengan sejauh mana keputusan mempengaruhi kinerja kerja. Komitmen bawahan berkaitan dengan seberapa penting bawahan berkomitmen atau menerima keputusan agar keputusan tersebut dapat di implementasikan. 2) Gaya keputusan Membedakan dua tipe situasi keputusn yang dihadapi oleh pemimpin:individu dan kelompok.
Situasi
keputusan
individu
adalah
keputusan
yang
hanya
mempengaruhi satu pengikut. Situasi keputusan yang mempengaruhi beberapa pengikut diklasifikasikan sebagai keputusan kelompok. Lima gaya kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan masing-masing situasi individual dan kelompok, yaitu: a) Otokratik (A, Autocratic): anda (pemimpin) mengambil keputusan tanpa iput dari bawahan atau anda (pemimpin) mengumpulkan input dari bawahan dan mengambil keputusan sendiri. b) Konsultatif (C, Consultatif): bawahan memberikan beberapa input, tetapi tetap anda yang mengambil keputusan. c) Kelompok (G, Group): kelompok mengambil keputusan; anda (pemimpin) hanyalah salah satu anggota kelompok.
21
d) Delegasi (D, Delegation); anda (pemimpin) member tanggung jawab eksklusif pada bawahan. 3) Prosedur Diagnostik Untuk menentukan gaya pengambilan keputusan yang paling tepat untuk situasi tertentu, Vroom menyarankan pemimpin membuat diagnosis situasi. Untuk mencapai diagnosis, harus diajukan serangkaian pertanyaan mengenai situasi. 4) Aplikasi model Aplikasi sebenarnya dari model ini dapat berbeda secara signifikan, tergantung dari tingkat kompleksitas, kerumitan, dan spesifikasinya, tergantung dari tujuan tertentu dimana model ini digunakan tergantung dari kebutuhan pengambilan keputusan. 5) Validitas model Model Vroom-jago memiliki kekurangan dalam hal bukti empiris yang komplet untuk membangun validitasnya. Tentu saja model ini dianggap konsisten dengan apa yang sekarang kita ketahui mengenai keuntungan dan kerugian dari partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan. 3.
Model Kepemimpinan Jalur-Tujuan (Path-Goal Leadership Model) Teori ini menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi
bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar model ini adalah teori motivasi ekspektasi. Teori awal dari path-goal menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan tersebut menjadi satu kesatuan dengan pencapaian bawahan yang spesifik. Beberapa orang berpendapat bahwa peran penting seorang pemimpin
22
adalah memberikan klarifikasi kepada bawahan tentang perilaku yang paling mungkin menghasilkan pencapaian tujuan. Aktifitas ini dinamakan klarifikasi jalur yaitu usaha pemimpin memperjelas perilaku yang paling mungkin menghasilkan pencapaian tujuan (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). Teori Path-Goal memberikan empat klarifikasi perilaku pemimpin. Klasifikasi ini mencerminkan empat tipe perilaku pemimpin yang dapat diadopsi oleh seorang pemimpin. Empat gaya klasifikasi tersebut menurut House 1971 dalam Mangkunegara (2005), antara lain: a)
Gaya kepemimpinan Direktif (Directive Leadership) Gaya kepemimpinan direktif adalah suatu gaya kepemimpinan dimana pemimpin mengupayakan para bawahannya untuk mengetahui dengan tepat apa yang diharapkan pemimpin, perilaku bagaimana yang diinginkan dan prestasi kerja yang bagaimana yang diharapkan. Sehingga terlihat disini gaya kepemimpinan direktif memperlihatkan bahwa bawahan tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan organisasi, jikapun ada hanyalah keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan rutin dan operasional saja, sedangkan kegiatan yang berupa ataupun bersifat pemikiran yang dapat berpengaruh strategis bagi perusahaan bawahan tidak boleh ikut serta. Digambarkan sebagai pemimpin yang menunjukkan dominasi dalam mengarahkan, mengawasi dan mengatur bawahan secara ketat seperti apa yang harus bawahan kerjakan, bagaimana caranya, kapan, dimana, dan sebagainya. Perilaku pemimpin lebih banyak membuat perencanaan, membuat jadwal kerja, menentukan tujuan kinerja, dan standar perilaku
23
bawahan, serta menekankan pemenuhan terhadap aturan dan peraturan yang ada dalam organisasi. Gaya kepemimpinan yang memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas, dan perhatian yang minimum terhadap hubungan kerja (Wirjana, 2006). b) Gaya Kepemimpinan Supportif (Supportive leadership) Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin relative terbuka kepada bawahan serta mudah didekati dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan dan bebas ataupun diberi kesempatan untuk menyampaikan saran maupun kritik yang membangun terhadap pimpinan, disamping itu dalam gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin bersedia untuk menjelaskan senidri apaapa yang harus dikerjakan disamping itu pemimpin juga juga memiliki perhatian kemanusiaan diluar pekerjaan terhadap bawahannya. Digambarkan sebagai pemimpin yang menunjukkan perhatian yang besar pada kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan bawahan. Perilaku pemimpin dengan gaya ini bersifat terbuka, bersahabat, dan dapat didekati dengan mudah. Pemimpin menciptakan iklim tim kerja dan menganggap bawahan sebagai rekan-kerja (equal), memunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahannya. Kepemimpinan supportif ini mempunyai kesamaan dengan pemimpin yang berorientasi pada orang atau hubungan (Wirjana, 2006). c)
Gaya Kepemimpinan partisipatif (Participative Leadership) Kepemimpinan gaya pertisipatif adalah merupakan gaya kepemimpinan dimana seorang pemimpin dalam gaya ini selalu memberikan suatu kesempatan yang seluas-luasnya pada bawahan dalam rangka ambil bagian serta dalam
24
dalam berbagai kegiatan mulai dari kegiatan yang merupakan perencanann maupun perancangan tujuan, perumusan dalam pengambilan kebijakan operasional perusahaan. Sehingga terlihat disini bahwa gaya kepemimpinan partisipatif pemimpin selalu berusaha memberikan kesempatan pada bawahan untuk memberikan saran maupun kritik, namun tetap pengambilan keputusan akhir adalah berada ditangan pemimpin. Kepemimpinan ini merupakan suatu hal yang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin organisasi. Efektivitas seorang pemimpin tergantung kepiawaiannya mempengaruhi dan mengarahkan seluruh anggota yang ada perusahaan. Dalam hal mempertimbangkan bahwa karakter karyawan adalah saling berbeda, maka dalam menjalankan tugas kepemimpinan yang efektif diperlukan pemahaman sifat dan perilaku karyawan. Sehingga karyawan akan memperoleh kepuasan jika dapat merasakan gaya kepemimpinan dari pihak atasan yang sesuai dengan situasi dan kondisi di perusahaan (Wirjana, 2006). d) Kepemimpian Orientasi Prestasi (Achievement Oriented Leadership) Bentuk-bentuk tingkah laku atau merupakan seperangkat tindakan pemimpin perusahaandalam mempengaruhi persepsi, motivasi karyawan dalam melaksanakan tugas orientasi dalam mencapai prestasi kerja pada khususnya dan tujuan organisasi pada umumnya. Karakteristik pola perilaku kepemimpinan yang berotientasi perstasi adalah menetapkan tujuan yang menantang, menuntut karyawan mencapai prestasi kerja pada tingkat tertinggi, menunjukkan keyakinan diri yang tinggi pada diri karyawan, dan secara terus menerus
25
berupaya agar karyawan mencapai prestasi terbaik, serta berkomunikasi yang harmonis terhadap karyawan. Mangkunegara (2005) mengutip pendapat dari Steers, Tosi, dan Rizzo, menyatakan bahwa asumsi yg mendasari pola perilaku kepemimpinan orientasi prestasi adalah: 1. Perilaku kepemimpinan dapat diterima oleh karyawan apabila mereka merasa puas atau paling tidak tercapainya kepuasan pada diri mereka untuk masa datang. 2. Perilaku pemimpin dinilai efektif jika: a. Karyawan merasa puas atau memimpin mencapai prestasi maksimum. b. Pemimpin memberikan bimbingan, pengarahan kerja secara jelas, dan adanya rewards bagi karyawan. Dalam kepemimpinan orientasi prestasi, variabel situasi merupakan variabel yang sangat menentukan apakah pola perilaku kepemimpinan orientasi prestasi dapat mempengaruhi karyawan dan dapat memotivasi mereka bekerja. Mangkunegara (2005), mengutip pendapat Yukl, Mitchell dan Larson, mengemukakan bahwa variabel situasi sangat menentukan efektif atau tidaknya kepemimpinan pimpinan dan manajer perusahaan. Variabel situasi mencakup dua faktor, yaitu: a. Faktor lingkungan organisasi, terdiri dari: struktur tugas, system kewenangan organisasi, norma yang berlaku dan hubungan interpersonal yang terjadi dalam lingkungan perusahaan/organisasi.
26
b. Faktor karakteristik karyawan, terdiri dari: sifat kepribadian, ketrampilan karyawan, serta kemampuan karyawan. 4.
Model Kepemimpinan Situasional Hersey-blanchard Model kepemimpinan situasional (Situational Leadership Model/SLM) adalah
pendekatan kepemimpinan yang menganjurkan agar pemimpin memahami perilakunya sendiri. SLM memberi penekanan lebih pada pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin harus bisa menilai dengan tepat atau menilai secara intuitif tingkat kematangan dari pengikut mereka dan menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan tersebut (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). Hersey dan Blanchard menggunakan penelitian OSU (Ohio State University) untuk kemudian mengembangkan 4 gaya kepemimpinan yang biasa dipakai oleh para manajer: a. Telling-menyuruh, pemimpin menetapkan peran yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas dan memerintahkan para pengikutnya apa, dimana, bagaimana, dan kapan melakukan tugas tersebut. b. Selling-menjual, pemimpin memberikan instruksi terstruktur, tetapi juga bersifat suportif. c. Participating-berpartisipasi,pemimpin dan para pengikutnya bersama-sama memutuskan bagaimana cara terbaik menyelesaikan tugas yang berkualitas. d. Delegating-delegasi, pemimpin tidak banyak memberikan arahan yang jelas dan spesifik ataupun dukungan pribadi kepada para pengikut.
27
3.2
Iklim Organisasi
3.2.1 Pengertian Iklim Organisasi Sebelum membahas tentang iklim organisasi perlu didefinisikan terlebih dahulu konsep mengenai organisasi. Menurut Tossi, Rizzo dan Carroll dalam Munandar (2001), organisasi adalah: “… a group of people, working towards objectives, which develops and maintains relatively stable and predictable behavior patterns, even though the individuals in the organizations in terms of how they differ on three dimensions: complexity, formalization and centralization.” Organisasi terdiri dari kelompok orang-orang, atau dapat dikatakan juga terdiri dari kelompok-kelompok tenaga kerja (dalam hal organisasi perusahaan) yang bekerja untuk mencapai tujuan organisasinya. Untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dikembangkan dan dipertahankan pola-pola perilaku sebelumnya. Pengembangan dan pertahanan pola-pola perilaku tersebut, untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, akan tetap berlangsung, meskipun orang-orangnya berganti. Dengan kata lain organisasi tetap ada, meskipun orang-orang atau anggota-anggota organisasi berubah-ubah. Sejalan dengan Munandar, Robbins (2001) mendefinisikan organisasi adalah suatu unit sosial yang dikoordinasikan secara sengaja, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi pada suatu basis yang relatif berkesinambung untuk mencapai tujuan atau serangkaian tujuan. Berdasarkan definisi di atas tampak bahwa organisasi merupakan kumpulan individu-individu yang memiliki satu tujuan yang sama.
28
Stringer dalam Wirawan (2007) menyatakan bahwa budaya dan iklim organisasi merupakan dua hal yang berbeda. Budaya organisasi menekankan diri pada asumsi-asumsi tidak diucapkan yang mendasari organisasi, sedangkan iklim organisasi berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, terutama yang memunculkan motivasi, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Iklim berasal dari kata “Climate” dalam bahasa Inggris yang artinya adalah keadaan, suasana dan lingkungan. Kata Iklim pada penjelasan lebih lanjut dalam penelitian ini, digunakan untuk menggambarkan keadaan psikologis dari suatu lingkungan kerja individu. Pengertian iklim organisasi disini tidak terbatas hanya untuk menggambarkan kondisi alam tetapi juga dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat psikologis. Gilmer (Oktary, 2004) mengatakan bahwa iklim organisasi berarti menunjukkan karakteristik yang dapat membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya dan dapat mempengaruhi tingkah laku orang-orang didalam organisasi tersebut. Scheneider dan Snyder dalam Jewel and Siegel (1998) menyatakan bahwa iklim dapat dipikirkan sebagai konsep deskriptif yang berdasarkan pada persepsi lingkungan sosial organisasi. Dari definisi ini tampaknya dapatlah kita sebut bahwa iklim (apapun itu) mempengaruhi perilaku karyawan. Karena ini mengenai persepsi seseorang terhadap lingkungan sosial organisasinya maka sangatlah mungkin pengukurannya menggunakan skala. Pengukuran konsep iklim organisasi biasanya diukur dengan menggunakan skala. Mungkin sekali kerumitan konsep iklim organisasi tidak memungkinkan
29
pengukuran yang tepat dewasa ini; meskipun demikian kelihatannya merupakan konsep yang berguna untuk mencapai pengertian yang lebih baik dari perilaku orang dalam organisasi. Penelitian dengan skala yang tersedia seperti BOCI (The Business Organization Climate Index) pada saat ini menunjukkan bahwa iklim memang mempengaruhi perilaku dan sikap karyawan (Jewel and Siegel, 1998) Furnham dalam Andrian (2007) menyatakan iklim organisasi diartikan sebagai jumlah karakteristik atau sejumlah ciri yang menggambarkan suatu organisasi yang (1). membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, (2). secara relatif berlaku dalam suatu periode, dan (3). berpengaruh terhadap perilaku orang di dalam organisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa iklim organisasi merupakan suatu konsep sistem yang dinamis. Oleh karena itu Isaksen, Lauer, Ekvall dan Britz dalam Andrian (2007) mengemukakan definisi iklim organisasi sebagai pola perilaku, sikap, dan perasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan karakteristik atau ciri-ciri kehidupan dalam suatu organisasi. Pada tingkat analisis individu, konsep tersebut dikenal dengan psychological climate. Pada tahap ini, konsep iklim organisasi tersebut merujuk kepada persepsi mengenai pola perilaku individu. Bila dikumpulkan, konsep tersebut dikenal dengan organizational climate yang merupakan persepsi bersama secara obyektif sebagai karakteristik kehidupan dalam organisasi. Meskipun setiap individu mempersepsikan iklim di tempat kerja, keberadaan iklim itu sendiri bebas dari persepsi-persepsi tersebut dan terkait dengan atribut organisasi.
30
Mylle dalam Andrian (2007) mengemukakan pendapatnya saat meneliti iklim organisasi di Angkatan Bersenjata Belgia, yaitu: iklim organisasi adalah persepsi bersama yang ditiru dari sejumlah aspek internal organisasi yang relatif stabil dialami dan dijelaskan oleh anggota-anggotanya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mylle di atas. Chandan dalam Andrian (2007) menyatakan bahwa iklim organisasi sesungguhnya merefleksikan tentang persepsi yang dialami atau dirasakan seseorang dalam organisasi. Iklim organisasi ini terdiri dari sejumlah karakteristik atau faktor-faktor yang dirasakan oleh karyawan perihal organisasinya yang berfungsi sebagai kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku para karyawan. Menurut Tagiuri dan Litwin, Iklim Organisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi; mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi (Wirawan, 2007). Berdasarkan beberapa konsep iklim organisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah suatu hasil dimana anggota-anggota organisasi mempersepsikan lingkungan internal kerjanya yang dapat dilihat atau dikaji melalui berbagai karakteristik atau dimensi yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi saat bekerja dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kinerja organisasi. 3.2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Iklim Organisasi Robert Stringer (Wirawan, 2007) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya iklim suatu iklim organisasi, yaitu:
31
a)
Lingkungan Eksternal dan Internal Kondisi dari luar organisasi dapat menyebabkan terbentuknya iklim organisasi.
Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum perusahaan-perusahaan asuransi umumnya sama. Demikian juga iklim organisasi pemerintah, sekolah dasar atau perusahaan angkutan di Indonesia, mempunyai iklim umum yang sama. Sedangkan faktor internal yang dapat membentuk iklim organisasi adalah bentuk dukungan atasan dan rekan kerja, struktur organisasi dan pengakuan dari organisasi terhadap para karyawannya. b) Strategi Organisasi Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategi (apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi, dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Strategi yang berbeda menimbulkan pola iklim organisasi yang berbeda. Strategi mempengaruhi iklim organisasi secara tidak langsung. c)
Pengaturan Organisasi Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh paling kuat terhadap iklim
organisasi. Menurut Stringer, banyak sekolah menengah yang menjadi contoh baik bagaimana pengaturan iklim organisasi menentukan iklim organisasi. Asosiasi guru yang kuat sering mengontrol sistem imbalan dimana kenaikan upah merupakan hasil dari pendidikan level pascasarjana dan tahun pengalaman kerja, bukan dari kinerja dalam melaksanakan pekerjaan.
32
d) Kekuatan Sejarah Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya. e)
Kepemimpinan Perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong
motivasi karyawan. Kepemimpinan masuk ke semua unit dan aktivitas organisasi. Faktor-faktor penentu iklim organisasi lainnya seperti pengaturan organisasi dan strategi dikomunikasikan kepada anggota organisasi melalui kata-kata dan tindakan manajer atau pemimpin kelompok kerja yang diekspresikan sebagai kepemimpinan. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya iklim organisasi adalah: lingkungan eksternal dan internal, strategi organisasi, pengaturan organisasi, kekuatan sejarah dan kepemimpinan. 3.2.3 Dimensi Iklim Organisasi Menurut Litwin dan Stringer dalam Andrian (2007) dimensi-dimensi iklim organisasi meliputi: a)
Clarity (kejelasan) Kejelasan mencakup tingkat pemahaman seseorang terhadap tujuan. Sasaran
dan kebijakan organisasi dimana orang tersebut memahami segala persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan tugasnya. Kejelasan mencapai tingkat tinggi bila setiap individu mengetahui betul apa yang diminta oleh pekerjaannya dan memahami sepenuhnya tujuan, sasaran dan kebijakan organisasi. Agar tercipta suatu kejelasan yang baik, maka pekerjaan harus direncanakan dan
33
diorganisasikan serta informasi yang ada seharusnya dapat berjalan atau mengalir dengan mulus melalui saluran-saluran komunikasi yang tersedia. b) Fleksibility (keluwesan) Fleksibilitas adalah suatu tingkat dimana orang percaya mengenai pentingnya untuk mengikuti peraturan, kebijakan dan prosedur. Tidak peduli apakah anggota organisasi benar atau salah, daripada hanya sekedar melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginan para anggota organisasi. Oleh karenanya, fleksibilitas bernilai rendah sangat dibutuhkan suatu lingkungan dan merupakan indikasi bahwa ide-ide baru dimunculkan secara aktif. c)
Standards (standar) Standar merupakan penekanan manajemen yang ditempatkan pada kinerja dan
tekanan tersebut digunakan kepada karyawan untuk memperbaiki kinerja. Standar yang tinggi dikembangkan, contohnya seperti demonstrasi manajemen tentang komitmen dan tindakan pribadi dalam mencapai tujuan. d) Responsibility (tanggung jawab) Tanggung jawab adalah suatu tingkat dimana karyawan merasa bertanggung jawab secara pribadi atas segala pekerjaannya. Tanggung jawab berada pada tingkat yang tinggi manakala setiap individu diharapkan untuk mencari solusi atas segala persoalan yang ditemui dan membuat keputusan sendiri. Inisiatif setiap individu didorong untuk tumbuh dan penyelesaian setiap masalah yang muncul dihargai atau dipercaya.
34
e)
Rewards (penghargaan) Penghargaan mencakup perasaan bahwa ketika melakukan tugas dengan baik,
maka keberadaan seseorang diakui dan dihargai. Kinerja yang bagus lebih sering dihargai daripada kinerja buruk yang selalu dikritik. Tegasnya, penghargaan dihubungkan dengan kinerja yang prima. Dalam hal ini, penghargaan diberikan dalam bentuk non-moneter. f)
Team Commitment (komitmen tim) Komitmen tim mencakup beberapa ciri atau karakter, yaitu: perasaan memiliki
terhadap organisasi, kepaduan, saling mendukung dan bergotong royong, saling percaya dan memiliki kebanggaan terhadap organisasi. Dalam menjalankan suatu pekerjaan, komitmen tim yang kuat serta karyawan dan manajemen yang saling percaya atau menghormati satu sama lain adalah hal-hal yang harus terus dipikirkan dan diupayakan secara seksama. Untuk memperkuat pendapatnya Litwin dan Stringer, Wirawan (2007) berpendapat bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi mempengaruhi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu, iklim organisasi dapat melukiskan dan diukur dalam pengertian dimensi tersebut. Terdapat enam dimensi yang diperlukan untuk mengukur iklim organisasi. Keenam dimensi tersebut adalah: a)
Struktur Struktur organisasi merefleksikan perasaan diorganisasi secara baik dan
mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi jika anggota organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara
35
baik. Struktur rendah jika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan mempunyai kewenangan mengambil keputusan. b) Standar-standar Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja. Standar-standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. c)
Tanggung jawab Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa karyawan menjadi
“bos diri sendiri” dan tidak memerlukan keputusannya dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi menunjukkan bahwa anggota organisasi merasa didorong untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan resiko dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan. d) Penghargaan Penghargaan mengindikasikan bahwa anggota organisasi merasa dihargai jika mereka dapat menyelesaikan tugas secara baik. Penghargaan merupakan ukuran penghargaan yang dihadapkan dengan kritik dan imbalan atas penyelesaian pekerjaan. Iklim organisasi yang menghargai kinerja berkarakteristik keseimbangan antara imbalan dan kritik. Penghargaan rendah berarti penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak konsisten.
36
e)
Dukungan Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus
berlangsung di antara anggota kelompok kerja. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa mereka menjadi bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. f)
Komitmen Komitmen menggambarkan perasaan bangga anggota terhadap organisasinya
dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen berarti karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. 3.2.4 Aspek-aspek Iklim Organisasi Berdasarkan definisi yang dikemukakan Davis dan Newstrom (Amriany, Probowati dan Atmajdi, 2004), aspek-aspek penting yang menentukan iklim organisasi adalah: a)
Kualitas Kepemimpinan Kualitas kepemimpinan ini diukur dari persepsi karyawan yang berkenaan
dengan kepemimpinan atasan, yakni kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, meliputi pemberian instruksi dalam melaksanakan tugas, kapan dan bagaimana pekerjaan dilakukan dan hasil yang akan dicapai.
37
b) Kejelasan Tujuan Organisasi Hasil ini diukur melalui persepsi karyawan mengenai tujuan organisasi yang dipandang sebagai arah yang jelas, yang dibuat untuk program jangka pendek dan jangka panjang, serta dapat dijabarkan dalam kerja s c)
Keadilan kompensasi Keadilan kompensasi diukur dari persepsi karyawan tentang keadilan terhadap
imbalan yang diterimanya dalam organisasi sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dilakukan, yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. d) Tanggung Jawab dan Kepercayaan Hal tanggung jawab dan kepercayaan ini diukur dari persepsi individu terhadap tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan organisasi pada karyawannya. Tanggung jawab dan kepercayaan itu berupa kesempatan untuk menjadi “atasan” bagi dirinya sendiri, sehingga tidak lagi memiliki kewajiban untuk selalu melapor pada atasan setiap kali membuat keputusan. Selain itu organisasi juga memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengatur pekerjaannya. e)
Partisipasi Tingkat partisipasi karyawan diukur berdasarkan persepsi individu mengenai
tingkat peran serta karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi merupakan peran serta bawahan dalam situasi kelompok yang mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan.
38
f)
Komunikasi Pengukuran terhadap komunikasi berarti mengukur persepsi karyawan mengenai
tingkat kapasitas individu atau kelompok untuk meminta atau memberikan informasi, kerjasama dalam mendefinisikan masalah dan mencari jalan keluarnya, termasuk didalamnya adalah sikap terbuka terhadap informasi dan pendapat-pendapat yang baru, membina hubungan yang baik dan saling percaya antar karyawan. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja dari suatu organisasi, yang merupakan hasil persepsi individu terhadap aspek kepemimpinan, kejelasan tujuan organisasi, keadilan kompensasi, tanggung jawab dan kepercayaan, partisipasi serta komunikasi. 3.3
Prestasi Kerja
3.3.1 Pengertian Prestasi Kerja Istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yaitu prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dapat dicapai individu. Terdapat pandangan yang lebih spesifik dengan mengatakan bahwa setiap pekerjaan dapat diukur kualitas dan kuantitas. Hal ini diungkapkan Mangkunegara (2001) dengan menyatakan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada pegawai. Prestasi kerja seringkali memiliki arti yang mirip dan tumpang tindih dengan istilah proficiency, merit dan produktivitas. Wexley dan Yukl dalam As’ad, (2004), mengatakan bahwa proficiency memiliki arti yang lebih luas karena sekaligus mencapai segi effort, job, performance, inisiatif, loyalitas, potensi kepemimpinan, dan
39
moral kerja. Sedangkan merit menurut Maier, seperti yang dikutip oleh Moh As’ad (2004) lebih merupakan aspek umum dari pada
proficiency tersebut dan
produktivitas kerja adalah perbandingan antara input dan output. Pengertian job performance atau prestasi kerja lebih sempit sifatnya, yaitu hanya berkenaan dengan apa yang dihasilkan individu dari tingkah laku kerjanya. Biasanya individu yang memiliki level of performance tinggi disebut individu yang produktif, dan sebaliknya individu yang level of performance-nya tidak mencapai standar, dikatakan tidak produktif. Byars dan Rue dalam Sutrisno (2009) mengartikan prestasi sebagai tingkat kecakapan seseorang pada tugas-tugas yang mencakup pada pekerjaannya. Maier dalam As’ad, (2004) mengemukakan bahwa pada umumnya prestasi kerja diberi batasan sebagai tingkat kesuksesan individu dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan Lowler dan Porter dalam As’ad, (2004) lebih tegas lagi menyatakan bahwa prestasi kerja adalah successful role achievement yang diperoleh individu dari perbuatannya. Sedangkan As’ad ( 2004) mendefinisikan prestasi kerja sebagai hasil yang dicapai oleh individu menurut ukuran dan standar yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan, sehingga prestasi kerja dapat dikatakan berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi individu dalam bekerja. Menurut Hasibuan (2005), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada pegawai yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai pegawai baik secara kualitas maupun kuantitas dalam
40
melaksanakan tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada pegawai menurut ukuran dan standar yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan dengan harapan mencapai apa yang menjadi tujuan organisasi atau instansi. 3.3.2 Aspek-Aspek Penilaian prestasi Kerja Rivai (2004), menyatakan bahwa aspek-aspek penilaian prestasi kerja dapat dikelompokkan menjadi : a)
Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
b) Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yang pada intinya individu tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggungjawabnya sebagai seorang karyawan. c)
Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi dan lain-lain.
3.2.3
Indikator-Indikator Prestasi Kerja Martoyo (2000), menyatakan bahwa indikator-indikator prestasi kerja
karyawan adalah :
41
a)
Karyawan diberikan kesempatan menunjukkan potensi dalam upayanya mengembangkan diri untuk kepentingan perusahaan atau organisasi.
b) Karyawan yang memiliki disiplin, dedikasi baik berinisiatif positif, sehat jasmani dan rohani, mempunyai semangat bekerja dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan tugas, pandai bergaul akan diberikan penilaian prestasi yang tinggi. Heidjrachman (2000) menyatakan indikator-indikator yang dinilai dalam prestasi kerja adalah a)
Kuantitas dan kualitas pekerjaan,
b) Kerjasama, c)
Kepemimpinan,
d) Kehati-hatian, e)
Pengetahuan mengenai jabatan,
f)
Kejujuran,
g) Kesetiaan, h) Dapat tidaknya diandalkan, dan i)
Inisiatif. Martoyo (2000), mengungkapkan bahwa beberapa sifat yang paling umum
dinilai dari karyawan a)
Kualitas pekerjaan,
b) Jumlah pekerjaan, c)
Pengetahuan tentang pekerjaan dan
d) Kemampuan berdikari.
42
3.4
Kerangka Pikir Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Iklim Organisasi dengan Prestasi Kerja Berhasilnya kepemimpinan pada suatu organisasi belum tentu akan berhasil
pada suatu organisasi di lain tempat, jika metode yang sama dipergunakan untuk situasi dan kondisi yang berlainan sekalipun kegiatannya tetap sama. Gaya kepemimpinan efektif sangat dibutuhkan dalam setiap organisasi untuk menentukan tinggi rendahnya prestasi yang dapat dicapai para pegawainya. Hersey dan Blanchard dalam Munandar (2001) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang efektif berhubungan dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya, oleh karena itu bawahan
merupakan
faktor
yang
penting
dalam
situasi
kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian organisasi yang relevan (Ivancevich, Konopaske, and Matteson, 2007). Kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan prestasi kerja, baik pada tingkat individual, pada tingkat kelompok, dan pada tingkat organisasi (Sutrisno, 2009). Pada kepemimpinan saat ini di bagian SDM BMKG terjadi suatu peningkatan yang terjadi pada pegawainya, ini dapat diketahui dari tingkat absensi yang tidak cukup tinggi dan adanya komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan. Selain gaya kepemimpinan, salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah iklim organisasi, atau yang biasa disebut atmosfir psikologis dari suatu organisasi. Untuk lingkungan kerja pegawai bagian SDM terjadi perpindahan gedung ke gedung yang lebih baru dengan tata ruang yang lebih nyaman. Dengan kondisi seperti ini diharapkan agar pegawai dapat bekerja lebih maksimal dengan fasilitas-
43
fasilitas yang sudah semakin mendukung untuk menghasilkan output yang lebih memuaskan. Iklim organisasi digambarkan sebagai kondisi psikis dari suatu organisasi, dimana tiap-tiap orang mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda-beda, seperti halnya kondisi udara yang ada diberbagai area geografis dimuka bumi. Kondisi lingkungan psikis secara langsung maupun tidak, mempengaruhi tingkah laku orangorang yang ada di dalam organisasi. Beberapa penelitian juga fokus pada menjelaskan peran kepemimpinan dalam mengelola iklim dan berhubungan ini untuk hasil organisasi seperti baik produktivitas (Ekvall dan Ryhammar, 1998), dan inovasi (Jung et al., 2003; Mumford, Scott, Gaddis dan Aneh, 2002) (dalam Dorthe Dojbak Haakonsson, 2008). Gambar 3.1 Model Kerangka Pemikiran Penelitian
Gaya Kepemimpinan (X1) Dimensi: 1. Supportive Leadership 2. Directive Leadirship 3. Participate Leadership 4. Achievement Oriented Leadership Iklim Organisasi (X2) Dimensi: 1. Kualitas Kepemimpinan 2. Kejelasan Tujuan Organisasi 3. Keadilan Kompensasi 4. Tanggung Dan 3.4 Hipotesisjawab Penelitian. Kepercayaan 5. Partisipasi 6. Komunikasi
Prestasi kerja (Y) Dimensi: 1. Kuantitas dan Kualitas Pekerjaan 2. Kerjasama 3. Kepemimpinan 4. Kehati-hatian 5. Pengetahuan Mengenai Jabatan 6. Kejujuran 7. Kesetiaan 8. Dapat Tidaknya Diandalkan 9. Inisiatif
44
3.5 H1:
Hipotesis Penelitian Diduga Gaya Kepemimpinan berkontribusi terhadap Prestasi Kerja pegawai di bagian SDM BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika).
H2:
Diduga Iklim Organisasi berkontribusi terhadap Prestasi Kerja pegawai di bagian SDM BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika)
H3:
Diduga Gaya Kepemimpinan dan Iklim Organisasi berkontribusi simultan terhadap Prestasi Kerja pegawai di bagian SDM BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ).