BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Konsep Kepemimpinan Transformasional Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Tjiptono dan Syakhroza, 1995:5). Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu
kepemimpinan
yang
memelihara
dan
melanjutkan
status
quo.
Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin. Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentankan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati, karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru (Locke, 1997:17).
25
26
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass,1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997). Bass (1990) dalam Hartanto (1991:2003) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence – Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana Inspirational Motivation), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Indivudualized Consideration). Tjiptono
dan
Syakhroza
(1999:5-13)
mengemukakan
pemimpin
transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara memperhatikan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan
27
motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan mempengaruhi dan mengarahkan orang lain, bawahan atau kelompok berdasarkan komponen (1) Idealized Influence (pengaruh ideal); (2) Inspirational Motivation (motivasi inspirasi);
(3)
Intellectual
Stimulation
(stimulasi
intelektual);
dan
(4)
Individualized Consideration (konsiderasi individu), dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pasolong (2008:116) telah mengidentifikasikan beberapa fenomena kelemahan kepemimpinan birokrasi publik pada umumnya, antara lain: 1. Pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senantiasa digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan sumber daya birokrasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam hal ini kebutuhan masyarakat. Khususnya untuk pola yang dikembangkan ini merupakan manivestasi gaya kepemimpinan otoriter atau setidaknya gaya kepemimpinan bersifat directive, sangat ketat di dalam memegang teguh peraturan dan sangat sedikit terjadi improvisasi kebijakan-kebijakan untuk mentoleransi adanya kekhususan, keberatan, kedaruratan, maupun peristiwa tidak terduga. Pemimpin senantiasa berpatokan pada aturan yang sudah ada. 2. Pemimpin birokrasi publik senantiasa mengendalikan kewenangan formal yang dimilikinya, kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan
28
bawahan. Mereka kurang memahami bawahan yang memiliki perbedaan karakteristik, seperti kemampuan, pengetahuan, sikap, perilaku, etos kerja dan sebagainya. Dalam kaitan ini, bilamana seseorang atasan mengenal karakter bawahannya, maka akan lebih mudah menggerakkan atau memberikan motivasi yang tepat bagi setiap pegawai yang akan berdampak kepada peningkatan kualitas pelayanan. 3. Pemimpin birokrasi publik memiliki kompetensi rendah. Hal ini tidak terlepas dari pola promosi pada birokrasi publik yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang diangkat. Seperti telah dikenal dalam birokrasi publik promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta penilaian DP3. Sementara dengan melalui indikator-indikator tersebut tidak mampu menginformasikan kinerja pemimpin secara obyektif. Pangkat, golongan, dan ruang di lingkungan birokrasi publik tidak memiliki basis penilaian yang rasional. Dasar kepangkatan dan golongan hanyalah diukur dengan indikator formal berupa latar belakang pendidikan dan lama bekerja. Sementara orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan lama kerja yang sama bisa jadi memiliki kompetensi yang berbeda. Hal ini menimbulkan bias di dalam sistem kepangkatan dan promosi pegawai. 4. Lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Tidak adanya transparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh birokrasi. Padahal akuntabilitas ini penting dilakukan agar warga masyarakat dapat
29
memberikan koreksi dan kontrol kepada birokrasi. Sistem akuntabilitas yang dilakukan hanyalah terbatas pada akuntabilitas administratif belaka. Fenomena lemahnya kepemimpinan birokrasi terutama rendahnya kompetensi kepemimpinan birokrasi publik menyebabkan kinerja pegawai menjadi tidak optimal, sehingga upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) masih jauh dari harapan. Untuk itu diperlukan pemimpin yang memiliki kompetensi kepemimpinan yang tinggi sehingga mampu membuat kebijakan yang tepat, tindakan yang efektif, serta pada ujungnya dapat mempengaruhi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Konsep mengenai kompetensi untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Boyatzis
pada
tahun
1982
(Yukl,2005:21)
yang
didefinisikan
sebagai
“kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerjadalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. Secara umum kompetensi diartikan sebagai tingkat keterampilan, pengetahuan dan tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang individu dalam melaksanakan tugas byang dibebankan kepadanya dalam organisasi. Menurut Aisworth, Smith dan Milership (2007:73), kompetensi merupakan kombinasi pengetahuan dan ketrampilan yang relevan dengan pekerjaan. Kompetensi adalah kapasitas untuk menangani suatu pekerjaan atau tugas berdasarkan satu standar yang telah ditetapkan. Sementara itu Suharman (2005:2) berpendapat bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
30
jabatannya, sehingga dapat melaksanakan tugasnya bsecara profesional, efektif dan efisien. Kompetensi menurut Mc. Ashan dalam BPPLSP (2004:10) adalah pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Arthur Anderson, kompetensi adalah karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya yang mampu membedakan seseorang yang perform dan tidak perform (BPPLSP, 2004:11). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural, dikemukakan bahwa kompetensi adalah dan karakteristikyang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabaannya sehingga PNS tersebut dapat melaksanakan tugas secara profesional, efektif, dan efisien. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil, disebutkan bahwa standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil pemangku jabatan struktural adalah kemampuan dalam hal: 1). Mengaktualisasikan nilai-nilai kejuangan dan pandangan hidup bangsa menjadi sikap dan perilaku dalam penyelenggaraan pemerintaan dan pembangunan.
31
2). Memahami
paradigma
pembangunan
yang
relevan
dalam upaya
mewujudkan good governance dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. 3). Merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan sesuai visi, misi, dan strategi yang ditetapkan. 4). Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip good governance secara serasi dan terpadu. 5). Memahami dan menjelaskan keragaman sosial budaya lingkungan dalam rangka peningkatan citra dan kinerja organisasi. 6). Mengaktualisasikan kode etik PNS dalam meningkatkan profesionalitas, moralitas, dan etos kerja. 7). Melaksanakan keseluruhan kegiatan pengelolaan kebijakan dan program termasuk pelaporan pertanggungjawabannya. 8). Menyiapkan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka pelaksanakan pengelolaan kebijakan dan/atau pelayanan sesuai dengan tanggung jawabnya. 9). Meningatkan akuntabilitas dan produktivitas aparatur. Sementara Spencer dan Spencer (1993:9) mendefinisikan kompetensi sebagai “an underlying characteristic of individual that is causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation” (karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berfikir dan bertindak , membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia).
32
Definisi kompetensi dari Spencer and Spencer tersebut banyak dianut oleh para praktisi manajemen SDM, termasuk praktisi di Indonesia, salah satunya adalah The Jakarta Conculting Group memberikan batasan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Berdasarkan definisi kompetensi di atas, komponen-komponen atau karakteristik yang membentuk sebuah kompetensi menurut Spencer & Spencer (1993:11) adalah: 1. Motives, yaitu konsistensi berfikir mengenai sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki seseorang sehingga menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing, memilih untuk menghadapi kejadian atau menghadapi kejadian atau tujuan tertentu. 2. Traits, yaitu karakteristik secara fisik atau tanggapan yang konsisten terhadap informasi tertentu. 3. Self concept, berupa sikap, nilai, atau citra diri seseorang. 4. Knowledge, berupa informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu. Komponen kompetensi ni sangat kompleks. Nilai dalam tes pengetahuan sering kali gagal dalam memprediksikan kinerja pekerjaan karena tes tersebut gagal untuk mengukur pengetahuan dan keahlian yang dalam keduanya seringkali digunakan secara aktual dalam pekerjaan.
33
5. Skills, yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental tertentu. Spencer dalam Gunawan (2006:81) membagi kompetensi perilaku dalam kamusnya menjadi enam kelompok yang disertai indikator-indikatornya yaitu: 1. Kelompok prestasi dan tindakan, yang terdiri dari kompetensi: orientasi pencapaian hasil kerja, kepedulian terhadap aturan, kualitas dan ketepatan, inisiatif, dan pencapaian informasi. 2. Kelompok membantu dan melayani, terdiri dari kompetensi: pengertian antar pribadi dan orientasi pada pelayanan pelanggan. 3. Kelompok dampak dan pengaruh yang terdiri dari kompetensi: dampak dan pengaruh, pemahaman organisasi, dan pengembangan hubungan. 4. Kelompok kepemimpinan, yang terdiri dari kompetensi: pengembangan organisasi, pengarahan, kerja sama tim, dan kepemimpinan tim. 5. Kelompok efektivitas pribadi, yang terdiri dari kompetensi: pengendalian diri, kepercayaan diri, fleksibilitas, dan komitmen pada organisasi. Pada dasarnya kompetensi itu terdiri dari tiga unsur utama, yaitu pengetahuan (cognitive domain), keahlian dan keterampilan (physicomotor domain), perilaku dan sikap (affectif domain). Ketiga unsur ini secara langsung mempengaruhi perilaku (behavior) pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepemimpinan aparatur dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dapat diklasifikasikan dalam empat kompetensi yaitu:
34
1. Kompetensi teknis (technical competence), yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi; 2. Kompetensi manajerial (managerial competence), yaitu kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi; 3. Kompetensi sosial (social competence), yaitu kemapuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokoknya; 4. Kompetensi
intelektual/stratejik
(Intelectual
competence/
strategic
competence), yaitu kemampuan untuk berfikir secara stratejik dan visi jauh ke depan. Kompetensi kepemimpinan yang sangat relevan untuk diterapkan pada era reformasi ini adalah kompetensi kepemimpinan transformasional. Istilah transformasional berasal dari kata to transform, yang berarti mentransformasikan atau mengubah sesuatu hal menjadi berbeda dengan sebelumnya. Misalnya mentransformasi visi menjadi kenyataan, misi menjadi kebijakan. Karena itu transformasi mengandung makna sifat-sifat yang dapat mengubah sesuatu menjadi bentuk lain misalnya motif berprestasi menjadi prestasi riil. Hakekat transformasi adalah adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Kepemimpinan
transformasional
terdiri
dari
dua
kata,
yaitu
kepemimpinan dan transformasional. Kepemimpinan adalah gaya (cara atau teknik = gaya) yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut atau bawahannya dalam melakukan kerja sama untuk mecapai tujuan yang telah
35
ditentukan. Sedangkan transformasional adalah mengubah sesuatu hal menjadi bentuk lain. Jadi kepemimpinan transformasional adalah mengubah pengikut (SDM) yang dipimpin ke arah pengembangan organisasi (Pasalong, 2008: 128). Yuki
(2005:304)
mengatakan
bahwa
konsep
kepemimpinan
transformasional pertama kali dikemukakan oleh Burns pada tahun 1978, dari penelitian deskriptif mengenai kepemimpinan politik. Burns menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses yaitu para pemimpin dan pengikut saling meningkatkan motivasi dan moralitas yang lebih tinggi. Para pemimpin tersebut mencoba meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menyerukan
cita-cita
yang
lebih
tinggi
dan
nilai-nilai
moral
dengan
mentransformasikan menggerakkan kebutuhan-kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi sebagaimana hierarki kebutuhan Maslow (1965). Kemudian dikembangkan oleh Bass (1985,1996), yang mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai kemampuan yang dimiliki kepemimpinan untuk mempengaruhi anak buahnya sehingga mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya. Bass dalam Gibson (1997:86) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan untuk memberi inspirasi yang memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal. Dengan mengungkapkan suatu visi, pemimpin transformasional membujuk para pengikut untuk bekerja keras mencapai sasaran yang digambarkan. Visi pemimpin memberikan motivasi bagi pengikut untuk bekerja keras yakni memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
36
Kompetensi transformasional seorang pemimpin dapat diukur dari kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasi. Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara: (1) meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan, (2) mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan kelompok dan organisasi, bukan kepada kepentingan pribadi, dan (3) mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin. Dengan demikian, kepemimpinan transformasional dapat memberikan pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, yang membutuhkan lingkungan kerja sama dari seluruh komponen organisasi untuk memecahkan masalah strategis. Model kepemimpinan transformasional tepat untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerja sama yang terbentuk dapat mengubah sikap mereka terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja, dan perhatian yang ditunjukkan oleh pemimpin juga akan menciptakan iklim kondusif dalam organisasi. Eriks Ress (2006), mengatakan bahwa model kepemimpinan transformasional ini akan bermuara pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh komponen organisasi. Kompetensi kepemimpinan transformasional yang semakin dirasakan penting, karena kompetensi kepemimpinan tersebut dapat memberikan kontribusi nyata dalam hal: (1) memberkan stimulan kepada bawahan meupun kolega untuk memandang pekerjaan dari perspektif yang baru; (2) menumbuhkan kepedulian
37
terhadap visi dan misi dari tim dan organisasi; (3) mengembangkan kolega dan bawahan agar dapat memiliki kemampuan dan potensi yang lebih tinggi; (4) memotivasi kolega dan bawahan untuk melakukan suatu hal secara berbeda dari biasanya; (5) memberikan harapan-harapan yang lebih menantang; dan (6) mendorong pencapaian kinerja organisasi yang lebih tinggi. Untuk dapat merealisasikan model kepemimpinan transformasional tersebut, seorang pemimpin birokrasi harus memiliki kompetensi empat komponen
atau
dimensi
kepemimpinan
transformasional
sebagaimana
dikemukakan Bass dan Riggio (2006:6-7). Dimensi pertama menurut Bass dan Riggio adalah kompetensi kepemimpinan pengaruh ideal (Idealized Influence) merupakan kemampuan memberi contoh teladan dalam melayani pengikut (to serve as role models for their followers); senantiasa dikagumi, dihormati, dan dipercaya (are admired, respected, and trusted); mendorong pengikut supaya berusaha menyamai bahkan melebihi kemampuan pemimpinnya (followers identify with the leaders and want to emulate them); memiliki kapabilitas yang tinggi, ketekunan, dan kebulatan tekad (as having extraordinary capabilities, persistence, and determination); berani mengambil resiko, selalu konsisten, dan tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan kepemimpinannya (take risk and are consistent rather than arbitrary). Kompetensi kepemimpinan pengaruh ideal (Idealized Influence) itu digambarkan Suryanto (2007:43) bahwa seorang pemimpin memilki keyakinan diri yang kuat. Ia selalu hadir di saat-saat sulit, iapun memegang teguh nilai-nilai
38
yang dijunjung tinggi. Komitmen yang tinggi selalu mengiringi langkah pemimpin ini. Ia menumbuhkan kebanggan pada pengikutnya. Ia seorang yang bervisi jelas, dan langkah-langkahnya selalu mempunyai tujuan pasti. Di atas segalanya, dia adalah seorang yang tekun. Dimensi yang kedua menurut Bass dan Riggio adalah kompetensi kepemimpinan motivasi inspirasi (Inspirational Motivation) menunjukkan bahwa pemimpin senantiasa mampu memberi motivasi dan menginspirasi pengikut (motivate and inspire) dengan memberi arti dan tantangan penyelesaian pekerjaan (providing meaning and challenge to their followers’ work); membangun tim yang bersemangat (team spirit is aroused); menunjukkan antusiasme dan optimisme (enthuasiasm and optimism are displayed); melibatkan pengikut untuk mencapai visi yang menarik (involved in envisioning attractive future states); menciptakan dan mengupayakan pencapaian tujuan dengan mengaomodasikan harapan pengikut dan memegang teguh komitmen (demonstrate commitment to goals and the shared vision). Suryanto
(2007:43)
menambahkan
bahwa
perilaku
pemimpin
transformasional dalam memberikan inspirasi para pengikutnya agar mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan. Ditantangnya karyawan mencapai standar yang tinggi. Ia mengajak karyawan untuk memandang ancaman dan masalah sebagai kesempatan belajar dan berprestasi. Oleh karenanya ia menciptakan budaya untuk berani salah, karena kesalahan itu adalah awal dari penglaman belajar segala sesuatu. Baginya kata adalah senjata utamanya. Dengan kata pula ia bangkitkan semangat karyawan. Ia gunakan simbol-simbol dan
39
metafora untuk memotivasi mereka. Pemimpin ini jika bicara selalu antusias dan optimis. Diajaknya para karyawan menemukan makna dalam bekerja. Dimensi yang ketiga menurut Bass dan Riggio adalah kompetensi stimulasi intelektual (Intellectual Stimulation) merupakan kemampuan pemimpin untuk mendorong upaya-upaya para pengikut dalam mencapai tujuan dengan inovasi dan kreativitas (transformasional leaders stimulate their followers’ efforts to be innovative and creative); membuka kritik seluas-luasnya (there is no public criticism of individual members’ mistakes); serta mendorong pengikut menemukan pendekatan-pendekatan baru dalam pelaksanaan pencapaian tujuan (followers are encouraged to try new approaches). Suyanto (2007:43) mengatakan bahwa Intellectual Stimulation, adalah senjata pemimpin transformasional dalam mengajak karyawan melihat perspektif baru. Imajinasi dipandu dengan intiusi namun dikawal dengan logika dimanfaatkan oleh pemimpin ini dalam mengajak karyawan berkreasi. Ia seorang yang risau dengan statusquo itu. Ia mengajak karyawan untuk menentang tradisi usang, dan ia ajak pula karyawan untuk bertanya tentang asumsi lama. Ia menyadari bahwa sering kali kepercayaan tertentu telah menghambat pola berfikir, oleh karenanya ia ajak karyawannya untuk mempertanyakan, meneliti, mengkaji, dan bila perlu mengganti kepercayaan itu. Seadangkan dimensi yang keempat menurut Bass dan Riggio adalah kompetensi kepemimpinan konsiderasi individu (Individualized Consideration) merupakan kompetensi pemimpin dalam hal memberikan perhatian khusus kepada tiap-tiap kebutuhan pengikut untuk pencapaian tujuan dan pengembangan
40
kariernya, dengan kata lain pemimpin bertindak sebagai pelatih atau mentor (transformasional lesders pay special attention to each individual followers needs for achievement and growth by acting as a coach or mentor); menerima bebagai perbedaan individu (acceptance of individual differences); mendorong komunikasi dua arah (a two way exchange in communication is encouraged); mempraktekan manajemen dengan berkeliling (management by walking arround workspaces is practiced); melakukan interaksi secara personal (interactions with followers are personalized e.g., the leader remembers previous conversations, is aware og individual concerns, and sees the individual as s whole person rather than as just an employee); mendengar masukan pengikut dengan efektif (listens effectively); serta memberikan delegasi tugas-tugas dalam rangka mengembangkan pengikut (delegates tasks as a means of developing followers). Suryanto (2007:44) mengatakan bahwa Individualized Consideration, adalah perilaku pemimpin transformasional, di mana ia merenung, berfikir, dan selalu mengidentifikasi kebutuhan para karyawannya. Ia berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan karyawannya. Dibangkitkannya semangat belajar pada para karyawannya, tidak itu saja, ia juga memberi kesempatan belajar seluasluasnya. Ia bahkan menjadi pelatih mereka, dan ia selalu mendengar karyawannya dengan penuh perhatian. Ia sadar bahwa ia tidak bisa sendiri, maka ia adalah seorang yang berani mendelegasikan kewenangnnya. Baginya karyawan yang diberdayakan adalah kunci kesuksesan sebuah karya.
41
3.2. Konsep Motivasi Berprestasi Tingkah laku manusia selalu timbul oleh adanya “kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu” yang disebut motivasi. Secara hakiki manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang pada saat tertentu menuntut pemuasan. Hal-hal yang dapat memberikan pemuasan pada kebutuhan tertentu menjadi tujuan dari kebutuhan tersebut. Kebutuhan dan tujuannya itu menimbulkan dan mendorong adanya usaha yang terlihat sebagai tingkah laku. Kebutuhan yang ada pada manusia sedemikian banyak dan semua itu menuntut pemuasan. Lalu timbul kebutuhan lain lagi dan perlu pemuasan lagi. Begitu seterusnya. Karena tingkah laku manusia pada umumnya tidak ditentukan oleh satu macam kebutuhan saja, maka tidaklah mudah untuk benar-benar secara tajam menentukan kebutuhan apa yang membentuk motivasi tertentu di belakang suatu tingkah laku. Tingkah laku yang berlainan dapat didasari oleh motivasi yang sama. Sebaliknya tingkah laku yang sama dapat ditimbulkan oleh motivasi yang berlainan. Motivasi adalah proses psikologis yang mendasar dan merupakan salah satu unsur yang dapat menjelaskan perilaku seseorang. Dalam suatu organisasi, motivasi merupakan salah satu faktor penentu dalam mencapai tujuan organisasi. Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti bergerak atau menggerakkan. Tetapi dalam perkembangannya motivasi mempunyai arti yang lebih luas. Rivai (2009:837) memberikan penjelasan tentang motivasi yaitu merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk
42
mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan sesuatu yang invisible yang memberikan kekuatan untuk mendorong individu bertingkah laku dalam mencapai tujuan. Dorongan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu: arah perilaku (kerja untuk mencapai tujuan), dan kekuatan perilaku (seberapa kuat usaha individu dalam bekerja). Motivasi meliputi perasaan unik, pikiran dan pengalaman masa lalu yang merupakan bagian dari hubungan internal dan eksternal perusahaan. Selain itu motivasi dapat pula diartikan sebagai dorongan individu untuk melakukan tindakan karena mereka ingin melakukannya. Apabila individu termotivasi, mereka akan membuat pilihan yang positif untuk melakukan sesuatu, karena dapat memuaskan keinginan mereka. Gitosudarmo (2001) seperti yang dikutip oleh Sutrisno (2009:115) memberikan definisi motivasi sebagai faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. David McClelland seperti yang dikutip oleh Rivai (2009:840-841) menganalisis tentang tiga kebutuhan manusia yang sangat penting di dalam organisasi tentang motivasi mereka. Teori yang dikemukakan oleh McClelland ini menyatakan bahwa seseorang bekerja memiliki energi potensial yang dapat dimanfaatkan tergantung pada dorongan motivasi, situasi, dan peluang yang ada. Kebutuhan pekerja yang dapat memotivasi gairah kerja adalah: 1. Kebutuhan akan prestasi (Achievement Motivation), adalah keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dari pada orang lain. Orang yang mempunyai motif prestasi tinggi adalah : Mengambil tanggung
43
jawab pribadi atas perbuatannya, mencari feed back tentang perbuatannya, memilih resiko yang moderat dan berusaha melakukan sesuatu denga cara baru. Kebuthan ini penting dalam manajemen karena untuk sukses diperlukan dorongan untuk maju. Kebutuhan ini meningkat seiring dengan perkembangan usia. 2. Kebutuhan akan afiliasi (affiliation motive), adalah keinginan seseorang untuk menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan orang lain. Ciri-ciri orang yang mempunyai motif afiliasi tinggi adalah : Lebih suka berada bersama orang lain, sering berhubungan dengan orang lain, melakukan pekerjaan lebih efektif jika bekerja sama dengan orang lain. Kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempengaruhi perilaku pekerja. 3. Kebutuhan akan kekuasaan (power motive), adalah keinginan untuk mengendalikan, mempengaruhi tingkah laku dan bertanggung jawab untuk orang lain. Ciri seseorang yang mempunyai motif kekuasaan tinggi adalah: Aktif dalam menentukan arah kegiatan organisasi, peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dalam organisasi, berusaha menolong orang lain tanpa diminta. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu dorongan yang dimiliki oleh manusia dalam kehidupan berorganisasi adalah adanya motivasi untuk memenuhi kebutuhan mencapai prestasi Need for achievement. Seperti yang dikemukakan oleh Rivai (2009: 841), bahwa beberapa orang memiliki keinginan untuk mencapai kesuksesan. Mereka berjuang untuk memenuhi ambisi secara pribadi daripada mencapai kesuksesan dalam bentuk
44
penghargaan perusahaan atau organisasi. Sehingga mereka melakukannya selalu lebih baik dan lebih efisien dari waktu ke waktu. Mereka tergolong kedlam kelompok high achiever, maksudnya adalah bahwa mereka adalah seseorang atau karyawan yang dalam menyelesaikan tugasnya selalu lebih baik dari yang lain (better than others). Mangkunegara (2002:103) mengemukakan bahwa Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Lebih lanjut Rivai menyatakan bahwa mereka ini (high achiever) selalu mencari suasana kerja dalam suatu proyek atau keadaan di mana mereka dapat memikul tanggung jawab secara pribadi untuk memecahkan masalahnya dan memperoleh kembali jawaban yang cepat dari suasana tersebut. Jadi, dapat mereka katakan mudah untuk mengetahui sulit atau tidaknya, bahkan dapat meningkatkannya atau tidak dalam suatu pekerjaan. Mereka tidak berfikir untunguntungan tetapi dengan perhitungan yang akurat dan tepat. Mereka merencanakan dengan matang segala sesuatunya, mereka bukanlah meraih kesempatan dalam kesempitan untuk meraih kesuksesan. Mereka ini berkinerja bagus dan baik ketika mereka menerima tanggung jawab dengan kemungkinan 50:50 atau seimbang. Mereka akan menghadapinya dengan penuh tanggung jawab baik dalam kegagalan atau kesuksesan dalam menyelesaikan tugasnya atau pekerjaannya. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Rivai, Suryana (2003:33-34) mengemukakan bahwa kebutuhan berprestasi terlihat dalam bentuk tindakan
45
untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Seseorang atau karyawan yang memiliki motivasi berprestasi pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Ingin mengatasi sendiri kesulitan dan persoalan-persoalan yang timbul pada dirinya. 2. Selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan. 3. Memiliki tanggung jawab personal yang tinggi. 4. Berani menghadapi resiko dengan penuh perhitungan. 5. Menyukai tantangan dan melihat tantangan secara seimbang (fifty-fifty). Jika tugas yang diembannya sangat ringan, maka wirausaha merasa kurang tantangan, tetapi ia selalu menghindari tantangan yang paling sulit yang memungkinkan pencapaian keberhasilan sangat rendah.
Muray (1938) seperti yang dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan manusia akan prestasi sebagai sebuah keinginan untuk: “...Melaksanakan tugas atau pekerjaan sulit. Menguasai, memanipulasi atau mengorganisasi objek-objek fiskal, manusia atau ide-ide untuk melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”. (Muray dalam Winardi, 2001:81)
46
Selanjutnya David McClelland seperti yang dikutip oleh Mangkunegara (2002:103) menguraikan indikator-indikator untuk motivasi berprestasi adalah sebagai berikut: 1. Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. 2. Berani mengambil dan memikul resiko. 3. Memiliki tujuan yang realistis. 4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan. 5. Memanfaatkan umpan balik yang konkret dalam semua kegiatan yang dilakukan. 6. Mencari
kesempatan
untuk
merealisasikan
rencana
yang
telah
diprogramkan. Hampir senada dengan McClelland, selanjutnya Edward Muray seperti yang dikutip oleh Mangkunegara (2002:103) berpendapat bahwa karakteristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi adalah sebagai berikut: 1. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. 2. Melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan. 3. Menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan. 4. Berkeinginan menjadi orang terkenal atau menguasai bidang tertentu. 5. Melakukan pekerjaan yang sukar dengan hasil yang memuaskan. 6. Melakukan sesuatu yang berarti. 7. Melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain. 8. Menulis novel atau cerita yang bermutu.
47
Berdasarkan pendapat McClelland dan Muray tersebut, selanjutnya Mangkunegara (2002:104) mengemukakan bahwa karakteristik pegawai yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, antara lain: 1) Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi. 2) Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya. 3) Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya. 4) Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan. 5) Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.
3.3. Konsep Kinerja Pegawai 1.3.1. Pengertian Kinerja Pegawai Menurut Mangkunegara (2000:67) kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh sesorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Rivai (2009:548) menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan
48
dan keterampilan seseorang tidaklah cukuf efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya. Ndraha (2003:196) memberikan penjelasan rinci mengenai kinerja berdasarkan asal usul kata kerja bahasa Inggris perform berarti to act, to carry, to execute. Kata performance mengandung arti luas. Beberapa artinya adalah entertainment, the act of performing, the execution or accomplishment of work, acts, etc. Jadi performance bisa diartikan seagai produk (dalam hal entertaining: jasa atau layanan), dan dapat diartikan sebagai proses yang terdiri dari dimensidimensi input, throughput, output, dan jika diperluas meliputi outcome, diwarnai oleh nilai-nilai efisiensi, dan produktivitas. Kinerja sebagai model input, throughput, output, dan outcome diperjelas oleh Dharma (2005:42) sebagai berikut: 1.
Input: keahlian, pengetahuan, dan kepiawaian yang dibawa oleh individu kepada pekerjaannya (attribute).
2.
Proses: begaimana individu berprilaku dalam melaksanakan pekerjaan mereka, kompetensi keprilakuan yang mereka bawa dalam memenuhi tanggung jawabnya.
3.
Output: hasil yang dapat diukur dicapai oleh individu menurut tingkat kinerja yang dicapai dalam melaksanakan tugasnya.
49
4.
Outcome: dampak dari apa yang telah dicapai oleh kinerja individu terhadap hasil kelompok, departemen, unit kerja atau fungsi serta organisasi. Ini adalah kontribusi, yang merupakan ukuran penting bagi efektivitas pekerjaannya.
Secara filosofi konsep kinerja disokong oleh falsafah yang bersumber dari teori motivasi, seperti yang dikemukakan oleh Dharma (2005:35) bahwa manajemen kinerja disokong oleh falsafah yang bersumber dari: teori motivasi, konsep efektivitas organisasi dan kontribusi manajemen kinerja terhadap efektivitas organisasi, serta keyakinan tentang bagaimana mengelola organisasi. Jika dikaitkan dengan pengertian kinerja sebagai produk dan proses, maka baik sebagai produk jasa atau layanan, maupun sebagai proses, kinerja merupakan pendekatan suatu sistem, artinya terdapat berbagai elemen yang masing-masing berfungsi menunjang keberhasilan proses dan produk kinerja tersebut. Banyak sekali ahli yang mengemuakan pengertian mengenai kinerja, baik dari sudut pandang pemerintahan, ekonomi, administrasi, manajemen maupun teknik. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian kinerja Timpe (200:329) memberikan arti kinerja atau performance dengan prestasi, sedangkan kinerja kerja adalah ulminasi tiga elemen yang saling berkaitan: keterampilan, upaya, dan sifat keadaan-keadaan eksternal. Oleh karena itu, tiga elemen itu akan menjadi penentu baik buruknya kinerja pegawai. Lembaga Administrasi Negara (1997:9) menjelaskan bahwa pengertian dari performance yang diterjemahkan menjadi kinerja berarti prestasi kerja, hasil
50
kerja atau unjuk kerja ataupun penampilan kerja. Prawiro Suntoro (Tika, 2006:121) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Pendapat senada dikemukakan oleh Bernard dan Russel seperti yang dikutip oleh Gomes (2003:135) yang mendefinisikan bahwa kinerja itu sebagai “the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time periode”. Catatan outcome apa yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu. Handoko dalam Tika (2006:121) memberi batasan mengenai kinerja sebagai proses yang mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Sementara itu, Bastian dalam Hessel (2005:175) berpendapat bahwa kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi tersebut. Menurut Ndraha (2003:196) berdasarkan teori kinerja pemerintahan, dapat dikonstruksikan pengertian kinerja pemerintahan. Dari sudut acountability, kinerja adalah perintah pelaksanaan tugas atau perintah (task accomplishment), dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji (penepatan janji), dan dari segi cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa) yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas perilaku pemerintahan yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi)nya.
51
Dikaitkan dengan konteks manajemen, Dharma (2005:25) menyebutkan bahwa manajemen kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok, dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target, standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan. Selanjutnya Dharma (2005:26) menambahkan bahwa manajemen kinerja berfokus pada tiga hal. Pertama, bagaimana para manajer dan pemimpin kelompok bekerja secara efektif dengan orang-orang yang berada di luar mereka. Kedua, bagaimana para individu bekerjasama dengan para manajer dan kelompok. Ketiga,
bagaimana
individu
dapat
dikembangkan
untuk
meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan kepiawaian mereka dan tingkat kompetensi serta kinerja mereka. Menurut Mathis dan Jackson (2006:113), kinerja pegawai (performance) dirumuskan sebagai hasil perkalian antara kemamuan (ability), usaha yang dicurahkan (efforts), dan dukungan organisasi (supports). Dengan kata lain kinerja pegawai adalah hasil pekerjaan seorang pegawai (output) yang dicapai berdasarkan kemampuan, upaya yang dicurahkan, dan dukungan organisasional.
1.3.2. Penilaian Kinerja Penilaian Kinerja menurut Mangkunegara (2006:10) penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan
52
sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik dimasa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan. Selanjutnya Mathis dan Jackson (2002:81) mengemukakan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian melakukan komunikasi informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut dengan istilah pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil. Pendapat senada dikemukakan oleh Bacal (2005:112) yang menyatakan bahwa evaluasi kerja sebagai proses untuk menaksir dan mengevaluasi kinerja peroragan. Proses ini adalah jawaban bagi sebuah pertanyaan sederhana, ”seberapa baiknyakah kinerja seorang karyawan selama jangka waktu tertentu?” Evaluasi kinerja hanyalah salah satu bagian dari manajemen kinerja. Penilaian kinerja pegawai di lingkungan pemerintahan secara historis dimulai dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1952. Pegawai dibuatkan daftar pernyataan untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun kenaikan gaji setiap tahun. Daftar pernyataan kecakapan, ditetapkan oleh yang mengangkat dan memberhentikan pegawai dan dapat didelegasikan. Adapun daftar pernyataan kecakapan, dibuat secara rahasia dan disimpulkan dengan katakata: istimewa, amat baik, baik, lebih dari cukup, cukup, belum cukup, tidak cukup, dan tidak baik.
53
1.3.3. Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil Sejak tahun 1979 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1952 diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 Tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku hingga saat ini dan belum ada perubahan. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 lebih maju substansinya dari pada peraturan sebelumnya. Daftar Pernyataan Kecakapan diubah menjadi Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3 PNS) yang merupakan suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang Pegawai Negeri Sipil dalam jangka waktu 1 tahun, yang dibuat oleh pejabat penilai yang merupakan atasan langsung dari pegawai yang dinilai. Tujuan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3 PNS) untuk memperoleh bahan-bahan pertimbangan yang obyektif dalam pembinaan PNS berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja. DP3 bersifat rahasia yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur penilaian yang meliputi kesetiaan, kejujuran, prestasi kerja, kerja sama, tanggung jawab, prakarsa, ketaatan dan kepemimpinan. Penilaian baru dapat diberikan oleh pejabat penilai apabila telah membawahi PNS yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 bulan. Nilai yang diberikan sudah dalam bentuk sebutan dengan skor tertentu, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1. berikut:
54
Tabel 3.1: Skor Penilaian Kinerja PNS
Nomor
Prestasi
Skor
1
Amat Baik
91-100
2
Baik
76-90
3
Cukup
61-75
4
Sedang
51-60
5
Kurang
50 ke bawah
Sumber: PP Nomor 10 Tahun 1979 Dalam domain pemerintahan, kenyataan empirik menunjukkan proses penilaian kinerja PNS berdasarkan DP3 cenderung merosot ke dalam proses formalitas belaka. DP3 PNS telah kehilangan arti dan makna substantif, tidak terkait langsung dengan apa yang telah dikerjakan PNS. Selain itu DP3 PNS tidak efektif dan tidak optimal memberikan daya dukung pada tujuan pengembangan dan pemanfaatan potensi PNS yang berorientasi peningkatan produktivitas kinerja Disamping kedua persoalan itu, DP3 PNS juga secara substantif tidak dapat digunakan sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas dan kontribusi PNS terhadap organisasi. Seberapa besar keberhasilan dan/atau kegagalan PNS dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Delapan unsur yang dinilai yang meliputi kesetiaan, kejujuran, prestasi kerja, kerja sama, tanggung jawab, prakarsa, ketaatan dan kepemimpinan bagi penilai DP3 PNS, lebih berorientasi pada penilaian kepribadian (personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukkan karakter individu dengan menggunakan kriteria
55
behavioral, belum terfokus pada kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan pemanfaatan potensi. Proses penilaian lebih bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai edukatif, karena hasil penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Pengukuran dan penilaian prestasi kerja PNS tidak didasarkan pada target goal (kinerja standar.harapan), sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subyektif, antara lain terlalu pelit atau murah, nilai jalan tengah dengan rata-rata baik untuk menghindari nilai amat baik atau kurang, apabila diyakini untuk promosi dinilai tinggi, bila tidak untuk promosi cenderung mencari alasan untuk menilai sedang atau kurang. Atasan langsung sebagai pejabat penilai, hanya sekedar menilai, belum/tidak memberi klarifikasi hasil penilaian dan tindak lanjut penilaian. Atasan pejabat penilai belum berfungsi sebagai reviewer untuk mengevaluasi seberapa efektif dan konsistensi pejabat penilai dalam melaksanakan proses penilaian. Permasalah yang dihadapi dalam penilaian PNS saat ini sesuai dengan pendapat Dessler (1997:20) yang mengemukakan ada lima masalah utama yang dapat merusak dalam penilaian kinerja, yaitu: standar kerja yang tidak jelas, adanya efek halo, adanya kecenderungan sentral, sikap terlalu longgar dan terlalu keras, dan adanya prasangka (bias). Untuk mengurangi masalah-masalah dalam penilaian kinerja tersebut, maka diperlukan sikap yang netral dan kemampuan atasan yang memadai, serta penguasaan secara umum tentang tugas dan fungsi bawahannya. Khusus di lingkungan pemerintahan maka penilaian kinerja pegawai perlu dilaksanakan
56
berdasarkan sistem prestasi kerja, serta untuk menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan
pengangkatan
dalam
jabatan
dan
kepangkatan.
Penyempurnaan DP3 PNS secara umum diarahkan sesuai dengan perkembangan tuntutan dalam pembinaan untuk membangun dan mendayagunakan perilaku kerja produktif sesuai dengan cita-cita pelaksanaan reformasi birokrasi dewasa ini.
1.3.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penilaian Kinerja Menurut Mahmudi (2005:21) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja, yakni: 1. Faktor personal/individual, yang meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. 2. Faktor kepemimpinan, yang meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader. 3. Faktor tim, yang meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan keeratan anggota tim. 4. Faktor sistem, yang meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi. 5. Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.
57
Kinerja organisasi pada dasarnya merupakan tanggung jawab setiap individu yang bekerja dalam organisasi. Tanggung jawab terhadap manajemen kinerja sebenarnya tidak lahir dari manajer maupun individu. Apabila dalam organisasi setiap individu bekerja dengan baik, berprestasi, bersemangat, dan memberikan kontribusi terbaik mereka terhadap organisasi, maka kinerja organisasi keseluruhan akan baik. Mathis dan Jackson (2006:113) mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai secara individu, yaitu kemampuannya, usaha yang dicurahkan, dan dukungan organisasi yang diterimanya. Sebagian unit SDM dalam organisasi ada untuk menganalisis dan menyampaikan bidang ini. Peran yang sebenarnya dari unit SDM dalam organisasi seharusnya tergantung pada apa yang diharapkan oleh manajemen atas. Sehubungan dengan fungsi manajemen manapun, aktivitas manajemen SDM harus dikembangkan, dievaluasi, dan diubah bila perlu sehingga mereka dapat memberikan kontribusi pada kinerja kompetitif organisasi dan individu di tempat kerja. Mangkunegara (2006:18) mengemukakan bahwa aspek-aspek standar pekerjaan atau kinerja terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif melipui: 1 . Proses pekerjaan dan kondisi pekerjaan, 2 . Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, 3 . Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, 4 . Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
58
Sedangkan aspek kualitatif meliputi: 1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan, 2. Tingkat kemampuan dalam bekerja, 3. Kemampuan
menganalisis
data/informasi,
kemampuan/kegagalan
menggunakan peralatan kerja, 4. Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen) Sehingga komponen atau dimensi pertama yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai adalah aspek kuantitatif yang meliputi: proses pekerjaan dan kondisi pekerjaan, waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, serta jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan komponen atau dimensi kedua yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai adalah aspek kualitatif yang meliputi: ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan, tingkat kemampuan dalam bekerja, kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan peralatan kerja, kemampuan mengevaluasi.
3.4. Kerangka Pemikiran Sekretariat Wakil Presiden RI adalah lembaga pemerintah yang berkedudukan dan bertanggung jawab langsung kepada Wakil Presiden RI dengan tugas dan fungsinya memberikan dukungan teknis dan pelayanan administrasi
59
kepada Wakil Presiden RI. Untuk dapat mengoptimalkan tugas dan fungsi Sekretariat Wakil Presiden memiliki perencanaan startejik yang di dalamnya berisi visi, misi, dan tujuan yang realistis dalam rangka terwujudnya dukungan teknis dan pelayanan administrasi secara prima, profesional, transparan, dan akunTabel kepada Wakil Presiden RI. Pencapaian sasaran, tujuan, visi, dan misi diwujudkan dalam kinerja organisasi Sekretariat Wakil Presiden RI. Seperti yang dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel (2005:175) bahwa kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi tersebut. Dharma (2005:26) mengemukakan bahwa manajemen kinerja berfokus pada tiga hal, yaitu bagaiman para manajer dan pemimpin kelompok bekerja secara efektif dengan orang-orang yang berada diluar mereka, bagaimana para individu bekerjasama dengan para manajer dan kelompok, dan bagaimana individu dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan kepiawaian mereka, serta tingkat kompetensi dan kinerja mereka. Mahmudi mempengaruhi
(2005:21)
kinerja
mengemukakan
diantaranya
adalah
tentang faktor
faktor-faktor
individu
dan
yang faktor
kepemimpinan. Faktor kepemimpinan meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader, sedangkan faktor personal/individual meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu.
60
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kinerja berkaitan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya yaitu dari dalam diri pegawai maupun dari luar diri pegawai seperti keberhasilan kepemimpinan yang berorientasi pada kompetensi, pengembangan sumber daya pegawai, komunikasi yang efektif dan pengambilan keputusan yang tepat, dan tipe kepemimpinan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah tipe kepemimpinan transformasional. Seperti yang dikemukakan oleh Locke (1997:17), bahwa kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati, karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru. Sedangkan
Bass
dalam
Gibson
(1997:86)
berpendapat
bahwa
kepemimpinan transformasional adalah kemampuan untuk memberi inspirasi yang memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal. Dengan mengungkapkan suatu visi, pemimpin transformasional membujuk para pengikut untuk bekerja keras mencapai sasaran yang digambarkan. Selanjutnya Bass (Hartanto (1991:2003) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan transformasional terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence – Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol
61
untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana Inspirational Motivation), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Indivudualized Consideration). Selanjutnya faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai lainnya menurut Mahmudi (2005:21) adalah faktor individu yang ada dalam diri pegawai sendiri seperti faktor motivasi. Dimana faktor motivasi yang mendorong seseorang untuk mencapai prestasi melalui kinerja yang lebih baik adalah motivasi berprestasi (Achievement Motivation). Mangkunegara (2002:103) mengemukakan bahwa Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Selanjutnya
Mangkunegara
(2002:104)
mengemukakan
bahwa
karakteristik pegawai yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, antara lain: 1. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi. 2. Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya. 3. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya. 4. Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan.
62
5. Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu. Berdasarkan uraian konseptual, kerangka pemikiran penelitian ini dikonstruksi dari tiga konsep dasar, yaitu: 1. Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan untuk memberi inspirasi yang memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal dalam empat komponen: (1) Pengaruh Ideal (Idealized; (2) Motivasi Inspirasi (Inspirational Motivation; (3) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation); dan (4) Konsiderasi Individu (Indivudualized Consideration). (Bass dan Rigio, 2006: 5-6) 2. Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaikbaiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji, dengan 5 komponen yaitu: (1) Tanggung jawab pribadi yang tinggi., (2) Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya, (3) Kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya; (4) Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan; dan (5) Keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu. (Mangkunegara, 2002:104)
63
3. Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh sesorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dalam dua aspek yaitu aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. (Mangkunegara, 2000:67) Kerangka pemikiran penelitian selanjutnya dapat diilustrasikan dalam model kerangka pemikiran pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Model Kerangka Pemikiran KOMPETENSI KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
1. 2. 3. 4.
Pengaruh Ideal Motivasi Inspirasi Stimulasi Intelektual Konsiderasi Individu
MOTIVASI BERPRESTASI
1) Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi. 2) Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya. 3) Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya. 4) Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan. 5) Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.
KINERJA PEGAWAI
1. Aspek Kuantitatif - proses pekerjaan dan kondisi pekerjaan - waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan - jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan - jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. 2. Aspek Kualitatif - ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan - tingkat kemampuan dalam bekerja - kemampuan menganalisis data/informasi - kemampuan/kegagalan menggunakan peralatan kerja - kemampuan mengevaluasi
64
3.5. Hipotesis Berdasarkan
teori-teori
tentang
kompetensi
kepemimpinan
transformasional, motivasi berprestasi, dan kinerja pegawai, selanjutnya penulis menentukan hipotesis penelitan yaitu: 1. Kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja pegawai. 2. Motivasi berprestasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai. 3. Kepemimpinan transformasional dan motivasi berprestasi secara bersamasama berpengaruh terhadap kinerja pegawai.