perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bagian ini akan membahas beberapa pokok bahasan antara lain: (1) kajian Pustaka, (2) Penelitian Relevan, (3) Kerangka Berfikir dan (4) Perumusan Hipotesis. A. Kajian Pustaka Pada kajian pustaka, akan membahas tentang: (1) Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika, (2) Kemampuan Metakognisi, (3) Pembelajaran Matematika, (4) Hasil Belajar. Adapun lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:
1. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika a. Pengertian Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika Sikap terhadap mata pelajaran merupakan suatu pola perilaku atau kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial terhadap suatu obyek atau mata pelajaran. Menurut Eloy Zalukhu (2012 : 50) “sikap adalah apa yang terjadi dalam diri seseorang, pikiran - pikiran dan perasaan - perasaan; tentang diri sendiri, orang lain, keadaan dan kehidupan secara umum”. Dengan demikian sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. “Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal”. Saifuddin Azwar (2000 : 6) mengatakan bahwa “sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau issue”.
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Menurut Azwar contoh sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. Menurut artikel yang ditulis dalam Wikipedia, the free encyclopedia diungkapkan “an attitude is a hypothetical construct that represents an individual's degree of like or dislike for an item. Attitudes are generally positive or negative views of a person, place, thing, or event this is often referred to as the attitude
object”.
(Allport,
http.en.wikipedia.org/wiki/Attitude_(psychology)).
Gordon,
1935;
Artinya sikap adalah suatu
pengembangan hipotetis yang menggambarkan / menunjukkan derajat kesukaan atau tidak sukaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap secara umum merupakan pandangan positif atau negatif dari seseorang, tempat, hal, atau peristiwa yang sering dikenal sebagai obyek sikap. Diungkapkan juga bahwa, “Attitudes are judgments. … Most attitudes are the result of either direct experience or observational learning from the environment”. Artinya sikap adalah sebuah penilaian dan pada umumnya sikap adalah hasil pembelajaran dari pengalaman atau pengalaman langsung dari lingkungan. commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Fishbein dan Ajzen
digilib.uns.ac.id 12
“sikap adalah predisposisi yang dipelajari
untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu obyek, situasi, konsep, atau orang” (Djemari Mardapi, 2008:105). Dari semua pengertian yang di ungkapan di atas dapat diambil sebuah pengertian tentang sikap, yaitu sikap adalah penilaian seseorang terhadap suatu obyek, situasi, konsep, orang lain maupun dirinya sendiri akibat hasil dari proses belajar maupun pengalaman di lapangan yang menyatakan rasa suka (respon positif) dan rasa tidak suka (respon negatif). Popham W menjelaskan tentang pengertian sikap sebagai berikut: “Sikap merupakan salah satu tipe karakteristik afektif yang sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam proses pembelajaran. Ranah ini penting untuk ditingkatkan karena sikap siswa akan menentukan seberapa jauh siswa mau belajar tentang sesuatu misalkan belajar matematika” (Popham W, 2008:179). Mar‟at megemukakan pendapat bahwa sikap diartikan sebagai : “attitude are learned, attitude have referet, attitude are social learnings, attitude have readness to respond, attitude are affective, attitude are very intensive, attitude are a time dimension, attitude have duration factor, attitude are complex, attitude are avaluation, attitude are inferred “ Mar‟at ( 1982 : 20-21). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Attitude are learned, yang berarti bahwa sikap tidaklah merupakan system fisiologis ataupun diturunkan, tetapi diungkapkan bahwa sikap dipandang sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi secara terus menerus dengan lingkungan.commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
2) Attitude have referet, yang berarti bahwa sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau ide. 3) Attitude are social learnings, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, ataupun di tempat lain yang melalui nasehat dan teladan. 4) Attitude have readness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara tertentu dengan obyek. 5) Attitude are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negative atau ragu-ragu. 6) Attitude are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau lemah. 7) Attitude are a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung akan tetapi belum tentu sesuai pada saat yang lainnya. Karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi. 8) Attitude have duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relative konsisten dalam sejarah hidup manusia. 9) Attitude are complex, yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu. 10) Attitude are avaluation, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan. 11) Attitude are inferred, yangcommit berarti tobahwa user sikap merupakan penafsiran dan
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadahi. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan faktor internal dalam diri seseorang yang sangat berperan dalam pengambilan suatu tindakan, lebih-lebih jika situasinya leluasa untuk memutuskannya. Sikap merupakan suatu pola perilaku seseorang mengenai perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap merupakan orientasi yang dipelajari oleh seseorang terhadap obyek. Sikap memiliki obyek atau kelompok obyek. Dengan demikian sikap terhadap mata pelajaran matematika merupakan suatu pola perilaku seseorang yang berupa perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) terhadap mata pelajaran matematika. Kecenderungan sikap dapat bersifat positif atau negative. Intensitas sikap dalam diri seseorang bersifat subyektif. Sikap seseorang tak terisolasi dari fungsi-fungsi psikisnya yang lain dan obyek sikap dapat bersifat umum atau spesifik.
b. Teori Sikap
Beberapa teori tentang perubahan sikap seperti teori stimulus respon dan reinforcement (penguatan), menitik beratkan bahwa perubahan sikap tergantung kepada kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Menurut Hosland dan Kelly dalam Mar‟at (1982:26) menyatakan bahwa: “Perubahan sikap adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap baru, ada tiga variabel penting yang menunjang commit toproses user belajar tersebut ialah perhatian,
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
pengertian, penerimaan”. Berdasarkan teori tersebut, maka sikap manusia dapat berubah karena adanya proses yang terjadi pada diri
masing-masing individu seperti
digambarkan dalam gambar berikut ini.
ORGANISME: PERHATIAN PENGERTIAN PENERIMAAN
STIMULUS
Reaksi (Perubahan Sikap)
Gambar 1. Teori Perubahan Sikap Proses tersebut menggambarkan perubahan sikap dan bergantung pada proses yang terjadi pada individu. 1) Stimulus yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Jika stimulus diterima oleh organisme berarti terjadi komunikasi adanya perhatian dari organisme, dalam hal ini stimulus adalah efektif dan ada reaksi. 2) Jika stimulus telah mendapat perhatian dari organisme, maka proses selanjutnya adalah mengerti terhadap stimulus. 3) Pada tahap berikutnya adalah organisme dapat menerima secara baik sehingga terjadi kesediaan untuk perubahan sikap. commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Teori konsistensi afektif kognitif dari Saifudin Azwar (2000:52), teori ini menyatakan bahwa: Hubungan antara komponen afektif dengan komponen kognitif yang saling konsistensi satu sama lainnya, maka sikap akan berada dalam keadaan stabil dan sebaliknya bila keadaan kedua komponen yang tidak konsistensi maka sikap dalam keadaan ketidakstabilan dan akan mengalami aktivitas spontan sampai keadaan aktifitas berakhir.
Kondisi internal yang harus dipunyai dalam mempelajari sikap adalah: 1) Pengetahuan intelektual/keterampilan, apabila yang dipelajari adalah sikap terhadap pengetahuan/keterampilan tadi. 2) Keterampilan motorik apabila yang dipelajari adalah sikap terhadap keterampilan motorik. 3) Rasa kagum atau respek terhadap orang yang mempunyai sikap seperti sedang dipelajarinya. Kondisi eksternal yang perlu dimanipulasi oleh pengajar yaitu: 1) Pengalaman emosional dalam melakukan sesuatu yang harus dipelajari. 2) Model tentang apa yang harus dipelajari. 3) Penguatan setiap kali siswa menunjukkan sikap yang diinginkan. Dari teori konsistensi tersebut ternyata perubahan sikap setiap orang akan berusaha untuk memelihara harmoni internal, yaitu harmoni yang ada dalam diri sendiri. Apabila harmoni terganggu, maka seseorang akan menyesuaikan dirinya dengan perubahan sikapnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa bila ingin megubah sikap seseorang yang dalam keadaan memiliki internal yang baik, maka haruslah pada jaminan bagi orang itu akan ketetapan harmoni yang telah commit to user dimilikinya itu. Tanpa jaminan ini, menurut teori konsistensi seseorang tidak 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
akan mau mengubah sikapnya. Teori fungsional yang dikemukakan oleh Kats dalam Saifudin Azwar (2000:53) mengatakan bahwa: “untuk memahami bagaimana sikap menerima dan menolak perubahan haruslah berangkat dari dasar motivasional sikap itu sendiri”. Teori fungsi tentang perubahan sikap menekankan hubungan seseorang dengan obyek sikap yang bersangkutan. Bila seseorang memandang bahwa suatu obyek mempunyai hubungan dengan dirinya, terutama bila hubungan tersebut memberi keuntungan, maka seseorang cenderung barubah sikapnya ke arah positif. Sebaliknya bila sesuatu obyek tidak memiliki keuntungan bagi dirinya, maka seseorang cenderung tidak mau merubah sikapnya. Teori nilai ekspektansi menurut Edward dalam Saifudin Azwar (2000:58) menyatakan bahwa: “konsepnya mengenai perilaku bertujuan (purposive), di mana manusia belajar akan suatu harapan atau ekspektansi yaitu rasa percaya bahwa suatu respons perilaku akan membawa kepada suatu peristiwa atau hal tertentu”. Teori pertimbangan sosial menggunakan pendekatan teori penerimaan penolakan yang dikembangkan pertama oleh Sherif dan Havrad dalam Mar‟at (1982:31) mengatakan bahwa: “Penolakan adalah suatu perubahan sikap melalui keputusan yang menjauhi asal, sedangkan penerimaan adalah perubahan sikap dari keputusan yang menuju pada tujuan sikap yang diharapkan”. Untuk keberhasilan mengubah sikap, komunikator senantiasa memperhatikan harapan yang diinginkan dari pihak lain. Tanpa memperhatikan hal ini, tidak mudah terjadi perubahan sikap. Variabel-variabel commit to userini menentukan keluaran sebagai
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
perubahan sikap dalam pengambilan keputusan-keputusan sosial di mana faktor internal dan eksternal senantiasa berinteraksi.
c. Komponen Sikap
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu “komponen kognitif, komponen afektif, komponen konatif” (Saifuddin Azwar, 2000: 23-27). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. 2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 3)
Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku”.
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Tingkatan sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni “receiving, responding, valuing, responsible” (Saifuddin Azwar, 2000:30). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2) Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. 4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri. commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
d. Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. “Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap” (Saifuddin Azwar, 2000:87-93).
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain “pengalaman pribadi, pengaruh orang lain, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, dan faktor emosional” (Saifuddin Azwar, 2000:30-38). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pengalaman pribadi untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3) Pengaruh kebudayaan tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. 4) Media massa dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif
cenderung
dipengaruhi
oleh
sikap
penulisnya,
akibatnya
berpengaruh terhadap sikap konsumennya. 5) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap. 6) Faktor emosional kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan commit to userego.
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
f. Sikap Positip Siswa terhadap Matematika
Seperti telah diuraikan di atas, tujuan pendidikan matematika antara lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika. Agar siswa dapat menerima pelajaran matematika atau memberikan respon positif setelah mengikuti pelajaran matematika perlu ditanamkan sikap positif siswa terhadap matematika. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Artinya setelah siswa belajar matematika, sikap siswa lebih positif terhadap matematika (mempunyai respon positif atau lebih menyukai matematika). Sikap positif siswa terhadap pelajaran menjadi hal yang sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan dirinya untuk meningkatkan prestasi dalam belajar. Menurut Baso Intang Sappaile (2003:75) bahwa : “Sikap siswa terhadap matematika berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika”. Sikap positif tersebut
seperti
yang
diungkapkan
oleh
William
Peirce
(2003:
http://www.academic.pgcc.edu /wpeirce/MCCCTR /index.html.) berikut ini. commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
A positive mental attitude is the belief that one can increase achievement through optimistic thought processes. A positive attitude comes from observational learning in the environment and is partially achieved when a vision of good natured change in the mind is applied toward people, circumstances, events, or behaviors. Artinya sikap mental positif adalah salah satu kepercayaan yang dapat meningkatkan prestasi melalui proses-proses pemikiran yang optimis. Sikap positif datang dari pengalaman pelajaran di dalam lingkungan dan secara parsial dicapai ketika suatu visi perubahan yang baik di dalam pikiran itu diterapkan terhadap orang-orang, keadaan, kejadian, atau perilaku-perilaku. Dari hasil wawancara terhadap beberapa siswa didapatkan bahwa mereka menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya. Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Dari pengalaman ini diharapkan siswa mempunyai commit to user pengalaman yang baik terhadap
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
pelajaran matematika sehingga mengalami perubahan berpikir tentang matematika menjadi pelajaran yang menyenangkan.
g. Definisi Konsep Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika
Dari beberapa pengertian dan teori sikap yang telah dijabarkan oleh beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sikap adalah suatu pola perilaku seseorang mengenai perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Adapun indikator sikap siswa terdiri atas tiga unsur yang saling menunjang yaitu: 1) Komponen Kognitif Adalah kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. 2) Komponen Afektif Adalah merupakan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. 3) Komponen Konatif Adalah kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek yang dihadapi.
2. Kemampuan Metakognisi a. Pengertian Metakognisi Istilah metakognisi diungkapkan oleh Taccasu Project (2008:36) bahwa: Metakognisi dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan metacognition berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu meta dan kognisi (cognition). commit Yunani to user μετά yang dalam bahasa Inggris Istilah meta berasal ari bahasa
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
diterjemahkan dengan (after, beyond, with, adjacent), adalah suatu prefik yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan pada suatu abstraksi dari suatu konsep. Sementara itu William G Huitt (1997:50) menyatakan “cognition refers to the process of coming to know and understand; the process of encoding, storing, processing, retrieving information.” . Metakognisi (metacognition) merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Menurut Flavell, sebagaimana dikutip oleh Livingston dan Jennifer A (1997: 150) bahwa:
“metakognisi terdiri dari
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or regulation)”. Pengetahuan metakognitif menunjuk pada diperolehnya pengetahuan tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat dipakai untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan pengalaman metakognitif adalah proses-proses yang dapat diterapkan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan mencapai tujuan-tujuan kognitif. Sedangkan Livingston dan Jennifer A (1997:75) mendefinisikan “metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang berpikir”. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Sementara itu Margaret W. Matlin (1998: 256) dalam bukunya yang diberi judul Cognition, menyatakan: “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive process” . Metakognisi, menurut Matlin, adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap commit to user proses kognitif yang terjadi pada
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
diri sendiri. Menurut Wellman sebagaimana dikutip oleh Usman Mulbar (2008:75) menyatakan bahwa: “Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thinking process which involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a person’s cognition about cognition” Metakognisi, menurut Wellman, sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri. William Peirce mendefinisikan metakognisi secara umum dan secara khusus. Menurut William Peirce (2003:50), secara umum “metakognisi adalah berpikir tentang berpikir”. Sedangkan secara khusus, dia mengutip definisi metakognisi yang dibuat oleh Taylor, yaitu: An appreciation of what one already knows, together with a correct apprehension of the learning task and what knowledge and skills it requires, combined with the ability to make correct inferences about how to apply one’s strategic knowledge to a particular situation, and to do so efficiently and reliably. (William Peirce, 2003:51). Tokoh berikut yang juga mendefinisikan metakognisi antara lain Hamzah B. Uno. Menurutnya, “metakognisi merupakan keterampilan seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya” (Hamzah B. Uno, 2007: 134) Taccasu Project (2008:125) mendiskripsikan pengertian metakognisi sebagai berikut ini: 1) Metacognition is the part of planning, monitoring and evaluating the learning process. commit to one’s user own cognitive system; thinking 2) Metacognition is is knowledge about
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
about one’s own thinking; essential skill for learning to learning. 3) Metacognition includes thoughts about what are we know or don’t know and regulating how we go about learning. 4) Metacognition involves both the conscious awareness and the conscious control of one’s learning. 5) Metacognition is learning how to learn involves possessing or acquiring the knowledge and skill to learn effectively in whatever learning situation learners encounters. Metakognisi, sebagaimana dideskripsikan pengertiannya oleh Taccasu Project pada dasarnya adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui, yang terdiri dari tiga tahapan yaitu perencanaan mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana, kapan mempelajari, pemantauan terhadap proses belajar yang sedang dia lakukan, serta evaluasi terhadap apa yang telah direncanakan, dilakukan, serta hasil dari proses tersebut. Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan pada uraian di atas dapat diidentifikasi pokok-pokok pengertian tentang metakognisi sebagai berikut: 1) Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk dalam kelompok kognisi. 2) Metakognisi merupakan kemampuan untuk menyadari, mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 3) Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 4) Metakognisi merupakan kemampuan belajar bagaimana mestinya belajar dilakukan yang meliputi proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. commit to user 5) Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Dikatakan demikian 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
karena aktivitas ini mampu mengontrol proses berpikir yang sedang berlangsung pada diri sendiri. b. Komponen-komponen Metakognisi Banyak para ahli yang mencurahkan perhatiannya pada metakognisi, antara lain Livingstone dan Jennifer; mreka menyatakan bahwa “metakognisi memiliki dua komponen, yaitu 1) pengetahuan tentang kognisi, dan 2) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif” (Livingstone dan Jennifer A.,1997:175). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh William G Huitt (1997:23) bahwa terdapat “dua komponen yang termasuk dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita belajar” Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (OLRC News, 2004:150): 1) Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition) Pengetahuan metakognitif terdiri dari sub kemampuan sub kemampuan sebagai berikut : a) declarative knowledge b) procedural knowledge c) conditional knowledge 2) Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition) Regulasi metakognitif terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut: a) planning, b) information management strategies, c) comprehension monitoring, d) debugging strategies, dan e) evaluation. commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Pengetahuan tentang kognisi adalah pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kognisinya, yang mencakup tiga sub komponen. Komponen pertama, declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya
untuk
keperluan
belajar.
Komponen
kedua,
procedural
knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam declarative knowledge tersebut dalam aktivitas belajarnya. Komponen ketiga, conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain. Regulasi kognisi terdari dari sub komponen-sub komponen sebagai berikut. Pertama, planning, adalah kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya. Kedua, information management strategies, adalah kemampuan strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan. Ketiga, comprehension monitoring, merupakan kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut. Keempat, debugging strategies, adalah kemampuan strategi-strategi debugging yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar. Kelima, evaluation, adalah kemampuan mengevaluasi efektivits strategi belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
c. Peranan Metakognisi terhadap Keberhasilan Belajar Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan yang didalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: 1) Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar. 2) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar. 3) Menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru. 4) Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar. 5) Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar. 6) Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok. 7) Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu. 8) Belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu. 9) Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya. (Taccasu Project, 2008:127). Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa keberhasilan
seseorang
dalam
belajar
dipengaruhi
oleh
kemampuan
metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu pada indikator dari learning how to learn sebagaimana disebutkan di atas maka hasil optimal niscaya akan mudah dicapai.
d. Pengembangan Metakognisi Peserta Didik dalam Pembelajaran Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
dengan meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru atau dosen sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar.
Strategi
yang
dapat
dilakukan
guru
atau
dosen
dalam
mengembangkan metakognisi peserta didik melalui kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut: “membantu peserta didik dalam mengembangkan
strategi
belajar,
membimbing
pembelajar
dalam
mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik” (Taccasu Project, 2008:128132). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan: a) Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya. b) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif. c) Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari. d) Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya. e) Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang lain. 2) Membimbing pembelajar dalam kebiasaan peserta didik commitmengembangkan to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
yang baik melalui : a) Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan : (1) mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif); (2) memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah); (3) memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah, diskusi, penugasan, praktik di laboratorium, dst). b) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan : (1) meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan (2) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar. c) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis Kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan : (1) membuat keputusan dan memecahkan masalah dan (2) memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru. d) Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan : (1) mengidentifikasi ide-ide atau
konsep-konsep
utama
dan
bukti-bukti
pendukung;
(2)
membangkitkan minat dan motivasi; dan (3) memusatkan perhatian dan daya ingat. commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
e. Definisi Konsep Kemampuan Metakognisi Dari beberapa pengertian kemampuan metakognisi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan metakognisi adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui, yang terdiri dari tiga tahapan yaitu perencanaan mengenai apa yang harus dipelajari, bagaimana, kapan mempelajari, pemantauan terhadap proses belajar yang sedang dia lakukan, serta evaluasi terhadap apa yang telah direncanakan, dilakukan, serta hasil dari proses tersebut.
Adapun indikator
kemampuan metakognisi siswa dapat dirangkum sebagai berikut: 1) Pengetahuan tentang
ketrampilan
dan
kemampuan
intelektual
yang
dimiliki (declarative knowledge). 2) Pengetahuan
tentang
cara-cara
belajar
yang
efektif (procedural
knowledge). 3) Keyakinan
terhadap
faktor-faktor
yang mempengaruhi
hasil belajar
(conditional knowledge)) 4) Perencanaan, penentuan tujuan, dan penyediaan faktor pendukung dalam belajar (planning). 5) Strategi yang digunakan untuk memproses informasi secara lebih efisien (information management strategies). 6) Penilaian terhadap cara belajar seseorang atau strategi yang digunakan (comprehension monitoring). 7) Strategi menanggulangi berbagai kesulitan ketika sedang memecahkan suatu masalah (debugging strategies) commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
8)
digilib.uns.ac.id 34
Evaluasi ketercapaian tujuan belajar dan efektivitas strategi yang digunakan (evaluation).
3. Pembelajaran Matematika a.
Pengertian Belajar Meningkatkan prestasi siswa sangat tergantung bagaimana proses belajar
yang dilakukan oleh siswa yang sedang belajar itu sendiri. Pentingnya proses belajar ini maka banyak ahli psikologi pendidikan yang telah mencurahkan perhatian terhadap masalah belajar. Ini terlihat dengan banyaknya definisi belajar yang
berbeda-beda.
Kimble
dalam
Simanjuntak
Lisnawaty
(1993:222)
menjelaskan bahwa : belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan syaraf atau dengan kata lain bahwa mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang belajar. Adapun “belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek dan latihan” (Nana Sudjana, 1991:5). Hal ini seperti dikemukakan oleh Djamarah Syaiful Bahri (2002: 11) bahwa “belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku”. Sedangkan menurut Slameto (2003:2) “belajar adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman commit to user sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sadar, bersifat permanen sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi hasil dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku. b. Proses Belajar Mengajar Matematika Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tetapi memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku. Seperti dikemukakan oleh Sudjana dalam Djamarah Syaiful Bahri (2002:45) bahwa “mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar mengajar”. Nasution dalam Muhibbin Syah (2002: 182) mengemukakan bahwa “mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses yakni proses mengatur, mengorganisasikan lingkungannya sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar”. Matematika sendiri berasal dari bahasa latin „manhenern‟ atau „mathema’ yang berarti belajar atau hal yang harus dipelajari, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut „wiskunde’ atau ilmu pasti commitpenalaran. to user Jadi matematika itu memiliki yang kesemuanya berkaitan dengan
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, terstruktur yang berkaitan antara konsep yang kuat. Dari berbagai pendapat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar matematika merupakan suatu proses belajar yang dilakukan dengan sadar dan terarah dimana individu belajar matematika dengan tujuan untuk melatih cara berfikir dan bernalar serta melatih kemampuan memecahkan masalah. c. Prestasi Belajar Matematika Istilah “prestasi” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “hasil yang dicapai”. Jadi prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan usaha belajar. Prestasi belajar matematika merupakan salah satu ukuran mengenai tingkat keberhasilan siswa setelah mengalami belajar. Proses belajar yang dilakukan oleh siswa akan menghasilkan suatu perubahan atau pemahaman dalam bidang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa. Menurut Djamarah Syaiful Bahri (1997:119) “prestasi adalah tingkat keberhasilan dimana seluruh bahan pelajaran yang diberikan dapat dikuasai oleh siswa atau minimal bahan pelajaran diajarkan
60 % telah dikuasai siswa”.
Prestasi belajar siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam waktu tertentu. Menurut Simanjuntak Lisnawaty (1993: 229) bahwa “salah satu faktor pendukung berhasil tidaknya pengajaran matematika adalah menguasai teori commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
belajar mengajar matematika”. Teori belajar mengajar matematika yang dikuasai para tenaga pendidik akan dapat diterapkan pada peserta didik jika dapat memilih strategi mengajar yang tepat, mengetahui tujuan pendidikan dan pengajaran atau pendekatan serta dapat melihat apakah anak atau peserta didik sudah mempunyai kesiapan atau kemampuan belajar. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan belajar mengajar tentu saja diketahui setelah diadakan evaluasi dan seperangkat item soal sesuai dengan rumusan beberapa indikator hasil belajar. Jadi prestasi belajar matematika merupakan hasil belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran dengan waktu tertentu. Setiap proses belajar mengajar, keberhasilannya diukur dari sejauh mana hasil belajar yang dicapai siswa, disamping diukur dari segi prosesnya.
4. Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar Tu‟u,
Tulus
(2004:75)
mengemukakan
bahwa
“prestasi
belajar
adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa “Prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan dan dikerjakan. Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan dari seseorang setelah memperoleh pengalaman belajar atau mempelajari sesuatu” commit to user(Depdiknas, 2003: 895).
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ada dua macam yaitu “faktor internal dan faktor eksternal “ (Slameto, 2003:54). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Faktor Internal Faktor Internal adalah faktor yang ada dalam individu yang sedang belajar seperti: a) Faktor Jasmaniah, meliputi: (1) Faktor kesehatan Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan orang terganggu, selain itu juga akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, mengantuk, kurang darah atau gangguan fungsi alat indera. (2) Cacat tubuh Cacat tubuh ini dapat berupa buta, tuli, patah kaki dan patah tangan. b) Faktor Psikologis, meliputi (1) Motivasi Seseorang akan berhasil
dalam
belajarnya
bila
mempunyai
penggerak atau pendorong untuk mencapai tujuan. Penggerak atau pendorong inilah yang disebut dengan motivasi. (2) Intelegensi Siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
(3) Minat Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat menambah kegiatan belajar. (4) Perhatian Perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu obyek benda/hal atau sekumpulan obyek. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. (5) Bakat Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. (6) Kematangan Kematangan adalah suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Belajar akan berhasil bila anak sudah siap (matang). (7) Kesiapan Kesiapan adalah kesediaan untuk memberikan respon atau bereaksi. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar mengajar karena jika siswa sudah memiliki kesiapan dalam belajar maka hasil belajarnya akan lebihcommit baik. to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
(8) Faktor Kelelahan Faktor kelelahan dibedakan menjadi dua macam yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglai, sedangkan kelelahan rohani terlihat dengan kelesuan dan kebosanan. 2) Faktor Eksternal a) Keadaan sekolah Lingkungan sekolah adalah lingkungan di mana siswa belajar secara sistematis. Kondisi ini meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, metode belajar dan fasilitas yang mendukung lainnya. b) Keadaan keluarga Keluarga merupakan lingkungan utama dalam proses belajar. Keadaan yang ada dalam keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam pencapaian prestasi belajar misalnya cara orang tua mendidik, relasi anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua. c) Keadaan masyarakat Siswa akan mudah kena pengaruh lingkungan masyarakat karena keberadaannya dalam lingkungan tersebut. Kegiatan dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, lingkungan tetangga merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi siswa sehingga perlu diusahakan lingkungan yang positif untuk mendukung belajar siswa. Dari berbagai faktor-faktor commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
internal dan eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa maka peneliti mengkaji sikap siswa dan kemampuan metakognisi siswa dalam belajar matematika.
c. Definisi Konsep Hasil Belajar Matematika Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor setelah menempuh kegiatan belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang ada dalam diri siswa dan lingkungan sosial yang mempengaruhinya. Jadi dapat dikatakan perubahan tingkah laku merupakan wujud hasil belajar seseorang setelah mempelajari sesuatu objek. Jika objeknya matematika, maka perubahan tingkah laku tersebut yaitu perubahan pengetahuan, sikap, minat, kecenderungan atau tindakan yang terkait dengan matematika. Bentuk-bentuk perubahan dimaksud dapat berupa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak berminat menjadi berminat, dari tidak cekatan menjadi cekatan dan sebagainya. Hasil belajar matematika dapat diartikan sebagai perwujudan dari proses kerberhasilan pembelajaran matematika yang dicerminkan dengan perubahan tingkah laku dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotor seseorang setelah mendapatkan pengalaman belajar matematika. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sudjana yang mengatakan bahwa ”Hasil belajar adalah kemampuan - kemampuan yang dimiliki siswa setelah memiliki pengalaman belajarnya” (Nana Sudjana, 1991:56). Hal ini dapat disimpulkan bahwa serseorang yang sudah belajar tidak sama commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
keadannya dengan saat ketika belum belajar. Seorang yang belajar akan memperoleh kematangan dari proses pengalaman belajar dalam bentuk kecakapan-kecakapan. Perbedaan antara sebelum dengan sesudah mendapatkan pengalaman belajar itulah yang dimaksud dengan hasil belajar. Hasil belajar matematika terwujud dari kecakapan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan konsep-konsep matematis. Indikasi kemampuan matematika siswa terwujud dari hasil belajar dan pengalaman belajarnya sebagai indikator pencapaian tujuan pembelajaran. Menurut Hudoyo “Tujuan belajar matematika adalah pencapaian transfer belajar”. Dari pendapat tersebut, menunjukkan bahwa pencapaian tranfer belajar merupakan tujuan utama pengajaran matematika di sekolah. Oleh karenanya tingkat kualitas hasil belajar matematika akan sangat dipengaruhi adanya proses transfer belajar. Pada penelitian ini hasil belajar yang dimaksudkan adalah hasil belajar mata pelajaran Matematika pada kelas VII MTs Negeri 2 Kudus. Sebagaimana silabus yang telah ada pada awal tahun pelajaran, maka peneliti menentukan Standar Kompetensi (SK) tentang “memahami bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) dari SK tersebut adalah:
melakukan operasi pada bentuk aljabar,
menyelesaikan
persamaan linear satu variabel, dan menyelesaikan pertidaksamaan linear satu variabel. Uraian standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator hasil belajar Matematika pada materi bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel dapat dilihat dalam tabelcommit berikuttoini. user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Tabel 1. Hasil Belajar Matematika Pada Materi Bentuk Aljabar, Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel SK
KD
Indikator
2. Memahami 2.1 Mengenali bentuk aljabar, bentuk aljabar persamaan dan dan unsurpertidaksaunsurnya. maan linear satu variabel
Menentukan unsur-unsur bentuk aljabar (variabel, konstanta, factor, suku dan suku sejenis)
2.2 Melakukan Melakukan operasi hitung, tambah, operasi pada kurang, kali, bagi dan pangkat pada bentuk aljabar. bentuk aljabar, Menerapkan operasi hitung, pada bentuk aljabar untuk menyelesaikan soal-soal, Menyelesaikan pecahan aljabar dengan penyebut satu suku. 2.3 Menyelesaikan persamaan linear satu variabel
Menentukan PLSV dalam berbagai bentuk dan variabel Menentukan bentuk setara dari PLSV dengan cara kedua ruas ditambah, dikurangi, dikalikan atau dibagi dengan bilangan yang sama Menentukan penyelesaian PLSV
2.4 Menyelesaikan pertidaksamaan linear satu variabel
Menentukan PtLSV dalam berbagai bentuk dan variabel Menentukan bentuk setara dari PtSLV dengan cara kedua ruas ditambah, dikurangi, dikalikan, atau dibagi dengan bilangan yang sama Menentukan penyelesaian PtSLV
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
B. Penelitian Relevan Agar penelitian ini lebih baik, sempurna dan memiliki manfaat yang tinggi, maka peneliti akan membandingkan dengan beberapa penelitian penelitian terdahulu yang masih relevan, yaitu sebagai berikut: 1.
Leonard dan Supardi U.S.(2010)
dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa Pada Matematika, Dan Kecemasan Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika, FT dan FMIPA Universitas Indraprasta PGRI.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hipotesis 1 dinyatakan signifikan, yang artinya ada pengaruh positif dan signifikan antara konsep diri siswa terhadap hasil belajar matematika siswa. Dengan kata lain, siswa yang memiliki kepercayaan diri dan persepsi serta cara pandang yang positif tentang dirinya sendiri akan mampu meningkatkan hasil belajar matematika. Hipotesis 2 dinyatakan nonsignifikan. Artinya, tidak ada pengaruh positif dan signifikan antara konsep diri terhadap hasil belajar matematika melalui kecemasan siswa. Hipotesis 3 dinyatakan nonsignifikan, yang artinya tidak ada pengaruh positif dan signifikan antara sikap siswa pada matematika terhadap hasil belajar matematika melalui kecemasan siswa. Hipotesis 4 dinyatakan non signifikan, yang artinya tidak ada pengaruh positif dan signifikan antara kecemasan siswa terhadap hasil belajar matematika. Hasil ini membuktikan kecemasan siswa tidak memberikan pengaruh bagi peningkatan hasil belajar matematika. Hipotesis 5 dinyatakan signifikan, walaupun nilainya tidak terlalu besar, tetapi commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara konsep diri siswa terhadap sikap siswa pada matematika. Atau dengan kata lain, siswa yang memiliki kepercayaan diri dan persepsi serta cara pandang yang positif tentang dirinya sendiri akan mampu memperbaiki sikapnya pada matematika. 2.
Mansyur (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Model Assessment For Learning Pada Pembelajaran Matematika di SMP”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model assessment for learning yang dikembangkan memiliki lima karakteristik utama. Pembelajaran lebih memberikan rasa keadilan bagi semua siswa, dan cocok diterapkan untuk semua mata pelajaran. Beberapa temuan dalam penelitian ini yaitu: (1) informasi yang diperoleh melalui penggunaan Model-AfL akurat dan sesuai dengan kebutuhan nyata siswa dan (2) penerapan Model-AfL dalam pembelajaran
matematika
meningkatkan
motivasi,
kepercayaan
diri,
kesadaran diri siswa, perilaku siswa selama pembelajaran, dan kemampuan siswa terhadap matematika; dan (3) kemajuan belajar siswa ditampilkan melalui profil individu dan profil kelas. 3.
Muhammad Romli Membangun
(2012), dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi
Metakognisi
Siswa
SMA
Dalam
Pemecahan
Masalah
Matematika”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai commit to user proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
terwujud, maka seseorang dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya. Metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang menjadi lebih efektif dan efisien. dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya, siswa terlatih untuk selalu merancang strategi terbaik dalam memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya, serta dalam menyelesaikan masalah. Melalui pengembangan kesadaran metakognisi, siswa diharapkan akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Guru dapat membangun kesadaran metakognisi siswa, sehingga siswa mengetahui dan menyadari kekurangan maupun kelebihan dan dapat merencanakan, mengontrol dan mengevaluasi apa yang akan dan telah dikerjakan. 4.
P. S. Mariati (2012) dalam penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Dan Pemahaman Konsep Mahasiswa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu model pembelajaran fisika berbasis problem solving yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa. Model ini dikembangkan dengan metode R and D melalui langkah-langkah 4-D, yaitu: define, design, develop, and disseminate. Pembelajaran berbasis problem solving dapat meningkatkan commit to user konsep mahasiswa pada topik kemampuan metakognisi dan pemahaman
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Kinematika Partikel, termasuk dalam kategori sedang. 5.
Maulana (2010) dalam penelitian yang berjudul “Pendekatan Metakognitif Sebagai
Alternatif
Pembelajaran
Matematika
Untuk
Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa PGSD, khususnya pada aspek-aspek: membuat generalisasi dan mempertimbangkan hasil generalisasi, mengidentifikasi relevansi, merumuskan masalah ke dalam model
matematika,
membuat
deduksi
dengan
menggunakan
prinsip,
memberikan contoh inferensi, dan merekonstruksi argumen 2. Sikap positif mahasiswa terhadap model pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif menggambarkan bahwa pembelajaran ini dapat dijadikan model yang disukai mahasiswa, sehingga dosen memiliki modal yang berharga karena model belajar seperi ini telah menciptakan lingkungan belajar yang efektif. 3. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif menekankan pada aktivitas mahasiswa dalam proses belajar dengan mengoptimalkan keterlibatan mahasiswa, dan ternyata memberikan hasil yang cukup efektif. Untuk menciptakan suasana belajar seperti ini diperlukan keterampilan seorang pengajar dalam hal materi matematika maupun metodologi pembelajaran. Oleh karena itu para dosen atau pengajar diharapkan selalu berusaha meningkatkan kemampuan mengajar dan kemampuan matematiknya melalui berbagai sumber, misalnya hsil-hasil penelitian commit toatau userjurnal.
47
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id 48
Thomas D. Cox and University of Memphis. 2008. Dalam Learning Styles and Students’ Attitudes Toward the Use of Technology in Higher and Adult Education Classes. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji sikap siswa terhadap penggunaan teknologi dan untuk menentukan apakah sikap terhadap penggunaan teknologi berbeda berdasarkan gaya belajar. Sikap Lukow itu Menjelang Penggunaan Teknologi Survey (ATUTS) sikap diukur terhadap penggunaan teknologi, dan gaya belajar diukur menggunakan Kolb Gaya Belajar Inventarisasi (LSI). Para peserta penelitian yang terdaftar di Tinggi dan Pendidikan Orang Dewasa (HIAD) program di musim panas dan gugur semester 2004 di Departemen Kepemimpinan di The University of Memphis. Sebuah satu arah analisis varians (ANOVA) digunakan untuk menentukan apakah sikap terhadap penggunaan teknologi berbeda bagi peserta berdasarkan gaya belajar. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada temuan yang signifikan, yang menunjukkan bahwa dalam populasi ini studi, ada hubungan ada antara sikap terhadap penggunaan teknologi dan gaya belajar. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah ada hubungan antara gaya belajar siswa
dan
sikap
mereka
terhadap
penggunaan
teknologi.
Agar
mengidentifikasi perbedaan antara gaya belajar dengan kaitannya dengan Total Nilai Sikap, satu-way ANOVA dilakukan. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada yang signifikan hasil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap terhadap penggunaan teknologi dan gaya belajar yang siswa. Selanjutnya, hasil non-signifikan mendukung Lukow (2002) anggapan commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
bahwa tidak peduli bagaimana seorang siswa memilih untuk belajar, yang siswa dapat sebelumnya telah terkena tingkat kecukupan teknologi, dan memilikimengembangkan sikap mereka terhadap teknologi jauh sebelum mereka memasuki Tinggi dan Program Pendidikan Orang Dewasa. Ini mungkin benar terutama dengan sampel ini diberikan rentang usia responden. Sebanyak 52% dari responden berada dalam kategori usia 21-35 tahun. 7.
Andrew E. Finch. tt. Promoting Positive Attitude Change:
Interactive
Learner Journals. Kyungpook National University. Metodologi penelitian yang digunakan dalam studi kasus ini mengakui bahwa perubahan sikap tidak bisa disebabkan oleh faktor terisolasi, dan bahwa setiap faktor diperiksa harus dilihat dalam konteks memesan untuk memiliki arti apapun. Hal ini juga diakui bahwa sikap mewakili realitas bagi masyarakat yang memiliki mereka, dan bahwa perubahan sikap adalah fungsi dari perubahan keyakinan subyektif dan persepsi, bukan pemeriksaan obyektif dan eksternal. Penelitian oleh karena menyelidiki perubahan sikap seperti yang dirasakan
dan
dilaporkan
oleh
subyek
sendiri.
Ada
upaya
untuk
mengidentifikasi faktor penyebab, karena itu tidak mungkin untuk menyelidiki seluruh gamut konektivitas berdampak pada siswa, dan juga ada upaya untuk membandingkan hasil dengan kelompok kontrol, atau untuk menggeneralisasi hasil. Studi kasus meneliti penerapan teori pendidikan di sekolah tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan spesifik peserta. Lingkungan belajar dari penelitian ini adalah konstan dan peserta menanggapi penelitian kooperatif, to waktu. user Hasil penelitian menunjukkan konsisten, alami, dan selamacommit periode
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
indikasi mendorong perubahan sikap seperti yang terjadi dalam konteks: a) penggunaan interaktif / reflektif jurnal pelajar, b) pembelajaran nonmengancam lingkungan, dan c) penilaian berbasis kelas. Analisis pre/postkursus kuesioner dalam format wawancara oleh siswa menunjukkan peningkatan penggunaan kosakata yang positif, dan penurunan yang sesuai dalam penggunaan kosakata negatif, menunjukkan bahwa persepsi sub-sadar dan perspektif telah berubah, bersama dengan bahasa yang digunakan untuk menggambarkan mereka. Perubahan ini ditunjukkan dalam interaktif/reflektif pelajar jurnal, yang merupakan faktor yang pasti dalam perubahan sikap. 8.
F.A. Adesoji. 2008. dalam Managing Students’ Attitude towards Science through Problem. Solving Instructional Strategy. Penelitian ini dirancang untuk lebih memperjelas klaim oleh beberapa penulis bahwa metode pengajaran bisa mengubah sikap siswa positif terhadap ilmu pengetahuan. Ini adalah keyakinan penulis bahwa jika siswa diizinkan untuk mengembangkan proses kognitif yang lebih tinggi melalui strategi pemecahan masalah, baik sebagai guru diarahkan atau self-directed, sikap mereka terhadap kimia mungkin berubah positif. Oleh karena itu, pengaruh gurudiarahkan dan mengarahkan diri sendiri strategi pemecahan masalah pada sikap siswa terhadap kimia diselidiki. Empat tahap (logis) model memecahkan masalah Kimia seperti yang disarankan oleh Ashmore, Casey dan Frazer (1979) diadopsi untuk penelitian. Itu Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok eksperimen dikembangkan sikap yang
lebih
positif
commitkimia to user setelah terhadap
50
perawatan.
Saat
itu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
direkomendasikan bahwa guru harus menerapkan strategi pemecahan masalah dalam mengajar mereka untuk memenangkan lebih banyak siswa untuk kimia. Selain memberikan siswa isi, proses ini sama pentingnya bagi mereka untuk memahami beberapa konsep ilmiah dan prinsip-prinsip. Ini bisa membuat mereka berkembang sikap yang lebih positif terhadap pembelajaran sains. Temuan penelitian ini memiliki lebih menetapkan fakta bahwa metode yang dapat diterima dari instruksi mampu mengubah siswa sikap terhadap ilmu pengetahuan. Kelompok PST mengembangkan sikap yang lebih positif setelah pengobatan. 9.
Fengfeng Ke and Barbara Grabowski. 2007. Dalam Gameplaying For Maths Learning: Cooperative Or Not? Penelitian ini meneliti efek gameplaying di kelas lima 'matematika kinerja dan sikap. Seratus dua puluh lima kelas yang direkrut dan ditugaskan untuk koperasi Teams-Games-Tournament (TGT), interpersonal yang kompetitif atau tidak ada kondisi gameplaying. Sebuah standar-negara matematika berbasis ujian dan inventarisasi pada sikap terhadap matematika yang digunakan untuk pretest dan posttest. Jender siswa, status sosial-ekonomi dan sebelum kemampuan matematika diperiksa sebagai variabel moderat dan kovariat. Analisis multivariat kovarians (MANCOVA) menunjukkan bahwa gameplaying lebih efektif dari pada latihan dalam mempromosikan kinerja matematika, dan koperasi gameplaying paling efektif untuk mempromosikan matematika positif sikap terlepas dari perbedaan individu siswa. Temuan commitgameplaying to user menunjukkan bahwa matematika tidak mempromosikan tes
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
berbasis belajar kognitif prestasi. Selain itu, gameplaying konteks (TGT koperasi atau antar pribadi kompetitif) memainkan peran penting dalam memoderasi pengaruh game pendidikan tentang afektif hasil belajar. Selain itu, penelitian ini memberikan temuan bermanfaat tentang menggunakan teknik TGT dalam matematika-learning pengaturan. Kerjasama TGT lebih efektif dari pada kompetisi antar pribadition dalam memfasilitasi sikap positif matematika, tetapi tidak dalam mempromosikan kinerja matematika. 10. Ziya Argün. 2009. dalam International Electronic Journal of Mathematics Education. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki bagaimana para siswa "refleksi metadiscursive melalui kegiatan dramatis mereka bisa mempengaruhi evolusi wacana matematika mereka selama pemecahan masalah mereka aktivitas dalam kelas matematika. Menurut hasil penelitian kami, siswa "keterlibatan dalam kegiatan dramatis tampaknya menawarkan banyak peluang untuk refleksi pada kolaborasi mereka dalam matematika dalam metadiscursive serta dalam kolektif tingkat. Dalam tingkat metadiscursive, mereka memberi mereka kesempatan untuk: mengalami lawan mereka "s emosi, mengekspresikan emosi mereka diprovokasi oleh / nya lawan nya "s tindakan, berkorelasi perilaku konkret dalam diskusi matematika dengan generasi emosi beton, mengevaluasi evolusi kolaborasi mereka dalam matematika ketika mereka berpikir tentang perubahan yang terjadi di dalamnya, merefleksikan elemen spesifik dari diskusi matematika mereka, to userpembenaran. seperti pengobatan kesalahancommit dan perlunya
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
11. Chun-Yi Shen & Hsiu-Chuan Liu. 2011. dalam Metacognitive Skills Development: A Web-Based Approach In Higher Education. Meskipun ada studi yang mempresentasikan aplikasi pelatihan keterampilan metakognitif, penelitian tentang pelatihan keterampilan metakognitif berbasis web. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang pembelajaran berbasis web lingkungan dan selanjutnya menguji pengaruh pelatihan berbasis web. Sebuah pretest-posttest kuasi-eksperimental desain yang digunakan dalam penelitian ini. Lima puluh tiga mahasiswa ditugaskan ke kelompok eksperimen dan kontrol. Setelah periode pelatihan empat minggu, hasil berpasangan-sampel t-test menunjukkan bahwa kelompok eksperimen itu posttest skor secara signifikan lebih tinggi dari skor pretest diri-plan, selfmonitor, dan total skor, sementara ada tidak ada signifikansi pada kelompok kontrol. Selain itu, siswa pada kelompok eksperimen yang dibuat secara signifikan lebih besar keuntungan dibandingkan dengan kelompok kontrol diri rencana. 12. Annemie Desoete. 2007. Evaluating And Improving The Mathematics Teaching-Learning Process Through Metacognition. Hasil penelitian ini ada bukti bahwa bagaimana Anda mengevaluasi apa yang Anda
dapatkan.
Tampaknya
kuesioner
Anak
tidak
mencerminkan
keterampilan yang sebenarnya, tetapi mereka berguna untuk mengevaluasi metakognitif
“pengetahuan” dan “keyakinan” anak-anak muda. Pikirkan
keras protocol analisis ditemukan akurat, namun teknik memakan waktu untuk menilai metakognitif
“keterampilan” commit to useranak-anak dengan tingkat yang
53
perpustakaan.uns.ac.id
memadai
verbal
digilib.uns.ac.id 54
kefasihan.
Data
menunjukkan
bahwa
ketrampilan
metakognitif dinilai oleh peringkat guru menyumbang 22,2% dari tikarhematics pertunjukan. Selain itu, kajian literatur menunjukkan bahwa metakognisi dapat trai-ned dan memiliki beberapa nilai tambah dalam intervensi anak-anak memecahkan matematika masalah. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa guru yang tertarik metakognisi pada anak-anak menggunakan desain multi-metode, termasuk kuesioner guru untuk mendapatkan
gambaran
lengkap
keterampilan
metakognitif.
Dengan
mempertimbangkan sifat kompleks pembelajaran matematika, mungkin berguna untuk mengevaluasi keterampilan metakognitif pada anak-anak dalam rangka untuk fokus pada faktor-faktor ini dan peran mereka dalam pembelajaran dan pengembangan matematika. Studi juga menunjukkan bahwa metacognition dapat dilatih dan memiliki beberapa nilai tambah dalam intervensi anak kecil pemecahan masalah matematika. Hal ini
menunjukkan bahwa keterampilan metakognitif
perlu diajarkan eksplisit dalam rangka meningkatkan dan tidak dapat diasumsikan untuk mengembangkan secara bebas mengalami matematika. Sangatlah mungkin bahwa dengan lebih banyak waktu dialokasikan untuk instruksi metakognitif, proses belajar-mengajar matematika dapat meningkatkan. C. Kerangka Pemikiran Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, dibuatlah pemikiran yang merangkaikan teori-teori tersebut sekaligus dapat menghasilkan jawaban sementara dari permasalahan yang dikemukakan. Adapun kerangka pemikiran commit to user yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
1. Hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
Secara umum bahwa sikap merupakan elemen penting yang akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Baik sikap itu bernuansa positif maupun negatif. Sikap positif siswa pada suatu pembelajaran maka akan berdampak baik pada hasil belajar siswa. Sebaliknya, jika sikap yang dimiliki siswa pada suatu pembelajaran bernuansa negatif, maka akan berpengaruh kurang baik pada perkembangan hasil belajar siswa, dalam hal ini adalah pembelajaran matematika.
2. Hubungan antara kemampuan metakognisi dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
Kemampuan
metakognisi
merupakan
kemampuan
berfikir
dalam
mengenali aspek kognitif bagi siswa. Pengenalan aspek kognitif merupakan langkah awal sebagai dasar untuk mengenali aspek yang lain yang lebih tinggi. Oleh karenanya, kemampuan metakognisi ini memiliki hubungan yang cukup erat bagi perkembangan hasil belajar siswa. Asumsi dasar dalam korelasi ini adalah, jika kemampuan metakognisi siswa rendah maka akan berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa, demikian berlaku sebaliknya. Hal ini menyarankan agar pada pebelajaran matematika, kemampuan metakognisi siswa bisa tertata secara teratur meningkat untuk mendapatkan hasil belajar siswa yang maksimal. commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
3. Hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dan kemampuan metakognisi dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dan kemampuan metakognisi siswa merupakan dua variabel yang saling mendukung kaitannya dalam meningkatkan hasil belajar matematika. Pembelajaran matematika yang selama ini diasumsikan oleh sebagian besar siswa sebagai momok mata pelejaran yang berat dan sulit sebisa mungkin menjadi suatu gambaran yang mata pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Hal ini tiada lain sebagai PR bagi guru dalam mengelola kelas secara maksimal, baik dalam penggunaan media maupun metode yang tepat. Hal ini guna membangun sikap siswa yang positif pada pembelajaran matematika, juga untuk mengembangkan kemampuan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika. Diasumsikan jika sikap siswa pada mata pelajaran matematka dan kemampuan metakognisi yang dimiliki siswa itu baik dan positif, maka akan mudah menumbuhkan peningkatan hasil belajar siswa.
Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Matematika Hasil Belajar Siswa Kemampuan Metakognisi
Gambar 2 : Skema Kerangka Pikir commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangkan berfikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian adalah sebagai berikut 1.
Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
2.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan metakognisi dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
3.
Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dan kemampuan metakognisi secara bersama dengan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Kudus.
commit to user
57