11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP, DAN MODEL PENELITIAN
Dalam bab ini dipaparkan mengenai kajian pustaka yang menjelaskan beberapa penelitian serupa untuk membandingkan penelitian yang diambil dengan penelitian yang pernah ada, landasan teori yang akan membantu dalam pemecahan permasalahan, konsep yang merupakan definisi operasional dari judul yang diambil serta model penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Kajian Pustaka yang dimaksud adalah berupa studi terhadap makalah, laporan penelitian maupun jurnal yang memiliki relevansi dengan topik penelitian ini. Relevansi tersebut dapat berupa pendekatan yang digunakan maupun objek yang dijadikan fokus studi dalam penelitian ini. Studi makalah yang telah dilakukan sebagai berikut: Pemanfaatan Tebing di Sepanjang Tepi Tukad Ayung dalam Industri Pariwisata dan Implikasinya terhadap Pelestarian Lingkungan oleh Bawa (2002) menyatakan bahwa setelah adanya perkembangan pariwisata, keberadaan tebing di sepanjang tepi Tukad Ayung dimanfaatkan sebagai areal bagi pembangunan aneka fasilitas dalam industri pariwisata seperti hotel, villa dan restoran. Adanya pemanfaatan tebing dalam industri pariwisata akan berdampak pada kelestarian lingkungan alam biofisik maupun lingkungan sosial. Difungsikannya area tebing sebagai areal bagi pembangunan aneka fasilitas dalam industri pariwisata didasari
11
12
oleh daya tarik berupa daerah perbukitan dengan panorama yang asri. Arah pengembangannya adalah pariwisata kerakyatan, dengan penerapan konsep sustainable development, dan konsepsi lokal Tri Hita Karana. Akibat lain dari pemanfaatan tebing adalah memberi dampak terhadap pelestarian lingkungan alam sosial seperti terjadinya pencemaran lingkungan maupun konflik dengan komunitas lokal. Sehubungan dengan itu upaya pengendalian sosial telah dilakukan terlihat dari sistem sosio-kultural maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Bawa dengan penelitian ini adalah berada pada lokasi yang sama, serta implikasi pemanfaatan lahan tebing Kedewatan terhadap pelestarian lingkungan. Akan tetapi kajian yang akan dilakukan lebih menekankan kepada proses bagaimana terjadinya pemanfaatan lahan ditilik dari mekanisme perizinan yang ada, sampai meneliti bagaimana keberlanjutan kawasan sebagai kawasan lindung dalam perkembangan akibat pemanfaatan lahan untuk fasilitas pariwisata. Konflik dalam Pemanfaatan Daerah Aliran Tukad Ayung, di Bali (Kajian Ekologi Manusia) oleh Sardi (2007). Hasil kajian menunjukkan bahwa sejalan dengan perkembangan industri pariwisata dan jumlah penduduk yang semakin padat, serta kedudukan DAS Ayung sebagai public property, kini muncul berbagai masalah dalam pemanfaatannya. Diantaranya adalah konflik kepentingan antara penduduk atau pemerintah di kawasan hulu dengan hilir atau zona tengah, konflik antar pengusaha pariwisata (hotel/restoran dengan arung jeram), konflik antara pengusaha pariwisata dengan masyarakat lokal, dan pengusaha real estate
13
dengan lembaga subak. Konflik juga disertai dengan adanya pelanggaran sempadan
jurang/sungai
oleh
pihak
pengusaha
pariwisata
atau
karena
pembangunan pemukiman/perumahan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sardi, dengan kawasan penelitian sepanjang DAS Ayung, menekankan akibat perkembangan industri pariwisata, timbul berbagai konfik dalam pemanfaatannya. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, adalah pada lokasi yang hanya mengambil kawasan DAS Ayung dalam lingkup Desa Kedewatan, serta meneliti keberlangsungan kawasan LTTAK sebagai kawasan lindung melalui berbagai mekanisme perizinan legal yang terjadi. Enggarani (2006) dalam tesisnya yang berjudul Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Perizinan Lokasi di Kota Surakarta mengungkapkan berdasarkan izin lokasi di Kota Surakarta yang dikeluarkan oleh Walikota Surakarta atas persetujuan Dinas Tata Kota dilaksanakan berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta pada kenyataannya masih terdapat bentuk pelanggaran dan penyimpangan dalam hal pemberian izin lokasi. Dibalik hasil pembangunan fisik kota yang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menunjang kesejahteraan masyarakat tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan masyarakat seperti gangguan lingkungan di sekitar pemukiman penduduk, banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase merupakan akibat dari pemanfaatan ruang yang mengabaikan kriteria peruntukan kawasan yang seharusnya sebagai kawasan penghijauan (sebagai penyangga) beralih menjadi kawasan perdagangan.
14
Tujuan penelitian yang dilakukan Enggarini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tingkat konsistensi (kesesuaian) pemberian izin lokasi sebagai pengendali pemanfaatan ruang dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Surakarta. Penelitian yang dilakukan ini tergolong ke dalam penelitian studi dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemberian izin lokasi oleh Pemerintah Kota Surakarta konsisten atau sesuai dengan peruntukan dalam RUTRK Surakarta, sesuai dengan konsep awal izin lokasi diberikan, yaitu selain meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menunjang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan telah sesuai dengan kewenangannya, sehingga kebijakan yang menyertai pemberian izin lokasi di Kota Surakarta dapat berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Enggarini memiliki persamaan dengan penelitian oleh penulis dalam tataran meneliti mengenai proses perizinan pada suatu kawasan. Perbedaannya terletak pada lokasi yang diteliti, serta peneliti menitikberatkan pada bagaimana mekanisme yang terjadi saat ini berdampak terhadap relevansi keberlangsungan kawasan LTTAK sebagai suatu kawasan lindung terkait dengan kecenderungan pemanfaatan lahan yang terjadi saat ini. Analisis Peruntukan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan Kaitannya Dengan Perencanaan Tata Ruang oleh Syahrial (2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ketersediaan lahan DAS Belawan, mengetahui perencanaan tata ruang wilayah DAS Belawan saat sekarang dan gambaran rencana tata ruang wilayah ke depan DAS. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa
15
kebutuhan manusia akan lahan yang sering bertambah seiring dengan pertumbuhan suatu wilayah tidak jarang untuk tidak memperhatikan ekosistem yang ada. Ekosistem DAS Belawan yang memanjang dari hulu ke hilir melintasi pusat pertumbuhan Kota Medan dan Daerah Pengembangan Kabupaten Deli Serdang. Hal tersebut mengakibatkan perlunya pertimbangan dalam perencanaan suatu wilayah kabupaten/kota maka ekosistem tersebut akan terancam punah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kondisi faktual yang ada, pada DAS yang melintasi pusat Kota Medan seperti zona penyangga, zona pemanfaatan dan zona perlindungan sudah mengalami kelumpuhan. Juga ditemukan adanya penyimpangan pemanfaatan lahan terhadap Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara 2003 – 2018. Persamaan terkait penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah, adanya melihat bagaimana pemanfaatan yang terjadi saat ini terhadap peraturan yang berlaku. Akan tetapi, penelitian yang akan dilakukan tidak saja melihat pelanggaran yang terjadi tetapi juga melihat kesesuaian mekanisme perizinan yang berlaku dengan keberlanjutan fungsi kawasan sebagai sebagai suatu kawasan lindung. Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi oleh Iftitah (2005) menyatakan pesatnya kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, seringkali berakibat pada terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahannya. Oleh karena itu perlu ada suatu penataan ruang yang diarahkan pada tercapainya keseimbangan kawasan budidaya dan kawasan
16
lindung. Penentuan kawasan lindung sebagai faktor pembatas suatu pemanfaatan ruang, harus berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, dan dalam implementasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kawasan yang berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari aspek biofisik wilayahnya; 2) menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung; dan 3) menganalisis besarnya indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung. Metode analisis dilakukan dengan pendekatan sistem informasi geografi serta menggunakan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan kriteria Departemen Kehutanan. Indikasi tekanan penduduk ditentukan dengan perhitungan nilai indeks tekanan penduduk. Berdasarkan rencana pemanfaatan ruang yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa terdapat kemungkinan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso sebesar hampir 93% dan ketidaksesuaian pengalokasian pemanfaatan ruang sebesar 97.57%. Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan eksisting pada kawasan yang seharusnya berfungsi lindung, terdapat kemungkinan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sebesar 79.33%, yaitu untuk penggunaan tegalan, sawah, semak belukar, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan padang rumput serta pasir. Kriteria penetapan kawasan lindung oleh Departemen Kehutanan dapat digunakan sebagai kriteria tambahan dalam penetapan kawasan lindung di wilayah-wilayah tertentu, misalnya pada wilayah hulu suatu DAS atau pada wilayah-wilayah yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.
17
Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis terkait mengenai perubahan pemanfaatan pada kawasan lindung. Perbedaannya terletak pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih menekankan kepada mekanisme perizinan yang berlaku sehingga memungkinkan terjadinya perubahan fungsi lahan tersebut. 2.2
Landasan Teori Dalam menganalisis hal-hal yang sudah dipaparkan dalam rumusan
permasalahan di penelitian ini, dipergunakan beberapa teori yang memiliki keterkaitan diantaranya teori mengenai pemanfaatan lahan, pembangunan kepariwisataan berkelanjutan serta teori mengenai kawasan lindung. Teori–teori tersebut akan dipaparkan sebagai berikut. 2.2.1 Pemanfaatan Lahan dan Beragam Kepentingan yang Mempengaruhi Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tata guna lahan (land use) dapat diartikan sebagai suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan lain-lainnya. Tata guna lahan merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan karena keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan. Dalam mempelajari faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan lahan perlu diidentifikasikan tiga kelompok besar yang berperan secara umum dan substansial yaitu faktor ekonomi yang berorientasikan pada pengembangan modal finansial (profit making values) sebagai salah satu faktor penentu dalam kegiatan penataan
18
lahan di suatu kawasan, faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values) serta faktor nilai-nilai sosial yang bertumbuh kembang di daerah di mana lahan itu berada (socially rooted values) terkait dengan proses penataan lahan di suatu kawasan (Suartika, 2010: 40). Chapin juga memaparkan bahwa dalam pemanfaatan lahan terdapat setidaknya empat kelompok yang terlibat dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan. Keempat kelompok tersebut adalah (a) pemerintah; (b) pihak–pihak yang berhubungan dengan lahan, pasar, dan ekonomi; (c) pihak yang terkait dengan kepentingan tertentu dan (d) pihak perencana pemanfaatan lahan. PEMERINTAH Negara Daerah Lokal
PASAR Pemilik Lahan Pihak Pengembang Kontraktor Agen Penjual Bangkir
PERATURAN PERMAINAN (Prosedur Perencanaan dan Pengambangan )
PERENCANA LAHAN Masa Depan Pemanfaatan Lahan Penggunaan Lahan Saat Ini
Gambar 2.1 Teori Tentang Aturan Permainan Sumber: Suartika, 2010: 41
KEPENTINGAN Lingkungan Pihak Pengembang Ekonomi Petani Kelompok Minortitas
19
Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati, 1997: 505). Akan
tetapi
sebagai
terminologi
dalam
kajian-kajian
land
economics,
pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan meningkatnya nilai lahan (Pierce dalam Yusran, 2006: 48). Perubahan tata guna lahan terjadi seiring peningkatan pertumbuhan penduduk yang memicu lebih lanjut terhadap terjadinya pertumbuhan aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Kasier memaparkan berdasarkan kepada pandangan Chapin sebelumnya mengidentifikasi tiga nilai utama dalam perubahan pemanfaatan lahan yaitu (Suartika, 2010: 42). a.
Nilai Sosial: menampilkan nilai yang diberikan masyarakat kepada peraturan pemanfaatan lahan terhadap kehidupannya. Pandangan ini melihat pemanfaatan lahan merupakan fasilitator pola tindakan dan aspirasi social masyarakat tersebut;
b.
Nilai Pasar: mengungkapkan nilai yang diberikan masyarakat kepada tanah sebagai suatu komoditi, pandangan ini melihat penggunaan lahan sebagai media keuntungan riil pemerintah;
c.
Nilai Ekologis: mengungkapkan nilai yang diberikan masyarakat terhadap sistem alam. Pandangan ini melihat pemanfaatan lahan berpotensi mengancam keberadaan kondisi lingkungan.
20
Manajemen Perubahan Pemanfaatan Lahan Nilai Sosial
Nilai Pasar
Nilai Ekologi
Pembangunan Berkelanjutan
Gambar 2.2 Bangku Tiga Kaki Manajemen Perubahan Pemanfaatan Lahan Sumber: Suartika, 2010: 43
2.2.2
Pengendalian Pemanfaatan Lahan Pengendalian pemanfaatan lahan dapat dijelaskan sebagai upaya
mengatur kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaannya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Zulkaidi, 2011: 7). Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan atau rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang (Laelasari, 2008: 11).
21
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 17 dijelaskan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Hal ini menegaskan bahwa kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai piranti manajemen yang terkait dengan mekanisme perizinan. Penyelenggaraan Penataan Ruang
Pengaturan
Pembinaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Perencanaan
Pemanfaatan
Pengendalian
Penyusunan
Program Penataan Ruang
Peraturan Zonasi Perizinan
Penetapan
Evaluasi
Pembiayaan Penatagunaan lahan, air, udara dan Sda Lainnya
Insentif & Disintensif Sanksi
Gambar 2.3 Framework of Control Sumber: Denny Zulkaidi 2010:17
Menurut Putra (2008: 1), Perizinan merupakan upaya mengatur kegiatan-kegiatan
yang memiliki
peluang menimbulkan gangguan pada
kepentingan umum. Mekanisme perizinan yaitu melalui penerapan prosedur ketat dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan suatu pemanfaatan lahan. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan
22
bersifat pengendalian yang dimiliki pemerintah, merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat.
IZIN PEMANFAATAN RUANG
maksud
tujuan
diberikan
terdiri atas
Sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang Menghindari dampak negatif pemanfaatan ruang Melindungi kepentingan umum Oleh pemerintah daerah kabupaten/kota Kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona berdasarkan arahan rencana pola ruang
Izin prinsip Izin lokasi Izin penggunaan pemanfaatan lahan Izin mendirikan bangunan Izin lain berdasarkan peraturan perundang - undangan
Gambar 2.4 Diagram Izin Pemanfaatan Ruang Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009: 15
23
Prosedur pemberian izin pemanfaatan lahan ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
PROSEDUR PEMBERIAN IZIN
Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu kepada rencana tata ruang dan peraturan zonasi Ketentuan lanjut mengenai pedoman teknis pemberian izin pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan menteri
Gambar 2.5 Diagram Prosedur Pemberian Izin Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009: 19
Perizinan dalam pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu: 1.
Izin kegiatan atau sektor, merupakan persetujuan pengembangan kegiatan aktivitas sarana prasarana yang menyatakan bahwa aktivitas budidaya yang akan mendominasi kawasan apakah memang sesuai atau masih dibutuhkan atau merupakan bidang yang terbuka di wilayah tempat kawasan itu terletak. Izin ini diterbitkan oleh instansi pembina atau pengelola sektor terkait dengan kegiatan dominan tadi. Tingkatan instansi ditetapkan sesuai aturan di departemen lembaga terkait. Pada dasarnya dikeluarkan dua tingkatan izin kegiatan sektor, yaitu sebagai berikut: a. Izin prinsip, merupakan persetujuan pendahuluan yang dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lokasi.
24
b. Izin tetap, merupakan persetujuan akhir setelah izin lokasi diperoleh. Izin lokasi menjadi persyaratan, mengingat sebelum memberikan persetujuan final tentang pengembangan kegiatan budi daya, lokasi kawasan yang dimohon bagi pengembangan aktivitas tersebut telah sesuai. Selain daripada itu, kelayakan pengembangan kegiatan dari segi lingkungan hidup harus telah diketahui melalui hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2.
Izin pemanfaatan lahan merupakan persetujuan penggunaan lahan yang diawali dengan izin lokasi dan dilanjutkan dengan penertiban sertifikasi hak atas lahan. Izin ini meliputi: a. Izin lokasi, merupakan persetujuan lokasi bagi pengembangan aktivitas atau sarana prasarana yang menyatakan kawasan yang dimohon pihak pelaksana pembangunan atau pemohon, sesuai untuk dimanfaatkan bagi aktivitas dominan yang telah memperoleh izin prinsip. Izin lokasi akan dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan perolehan lahan melalui suatu pengadaan tertentu dan dasar bagi penggunaan hak atas lahan. Acuan yang sering digunakan dalam penertiban izin lokasi adalah: i.
Kesesuaian lokasi bagi pembukaan atau pengembangan aktivitas dilihat dari RTRW dan keadaan pemanfaatan ruang eksisting.
ii.
Bagi lokasi di kawasan tertentu, suatu kajian khusus mengenai dampak lingkungan pengembangan aktivitas budi daya dominan terhadap kualitas ruang yang ada, hendaknya menjadi pertimbangan dini. Persyaratan tambahan yang dibutuhkan adalah surat persetujuan
25
prinsip dan surat pernyataan kesanggupan memberi ganti rugi atau penyediaan tempat penampungan bagi pemilik yang berhak atas lahan yang dimohon. b. Hak atas lahan, walaupun sebenarnya bukan merupakan perizinan namun dapat
dianggap
sebagai
persetujuan
kepada
pihak
pelaksana
pembangunan untuk mengembangkan kegiatan budi daya di atas lahan yang telah diperolehnya. c. Macam hak yang akan diperoleh sesuai dengan sifat kegiatan budi daya dominan yang akan dikembangkan. Pada tingkat kawasan, hak yang diberikan umumnya bersifat kolektif tergantung sifat aktivitas dan budi dayanya. 3.
Izin perencanaan dan bangunan meliputi: a. Izin perencanaan menyatakan persetujuan terhadap aktivitas budi daya rinci yang akan dikembangkan dalam kawasan. Izin pengembangan merupakan istilah lain yang digunakan oleh beberapa pemda. b.
Izin mendirikan bangunan atau IMB merupakan izin bagi setiap aktivitas budi daya rinci yang bersifat hiasan atau bangunan jika akan dibangun. Perhatian utama diarahkan pada kelayakan struktur bangunan melalui penelaahan rancangan rekayasa bangunan; rencana tapak di setiap blok. Peruntukan (terutama bangunan berskala besar) atas rancangan arsitek di setiap persil.
26
4.
Izin lingkungan merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas budidaya rinci yang terdapat dalam kawasan yang dinilai layak dari segi lingkungan hidup. Izin ini meliputi: a. Izin HO atau undang-undang gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup (bukan objek AMDAL). b. Persetujuan rencana pengelolaan lingkungan atau RKL dan rencana pemanfaatan lingkungan atau RPL untuk kawasan yang sifat kegiatan budidaya rinci yang berada dalamnya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdampak terhadap lingkungan hidup.
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin sebelum dilakukannya pemanfaatan ruang dan wajib melaksanakan ketentuan perizinan dalam pemanfaatan ruang. IZIN PEMANFAATAN RUANG Dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar
Batal demi hukum
Diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW
Dapat dibatalkan
Akibat RTRW
adanya
perubahan
Penggantian/ganti kerugian yang layak
Gambar 2.6 Diagram Izin Pemanfaatan ruang Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2009: 20
27
Kegiatan yang melibatkan pemohon Pemohon ijin harus memberikan informasi yang berkaitan dengan jenis dan tingkat investasi
Jenis Perizinan
Pemerintah Daerah
Izin Prinsip
pemerintah daerah akan mengkonfirmasi kesesuaian proyek dengan zoning yang telah ditetapkan pada kawasan tersebut
Diperoleh dari pemerintah daerah yang telah disetujui oleh gubernur
Izin Lokasi izin yang diperlukan untuk pembangunan selanjutnya
Badan Pertanahan Nasional
Rencana Tapak
Rencana Tapak harus ada setelah izin lokasi disetujui
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan diperlukan untuk mengetahui bahwa pembangunan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan
untuk mengetahui bahwa lahan yang diperlukan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan tata ruang kabupaten maupun propinsi
Bappeda
IMB Izin untuk membangun bangunan
PEMBANGUNAN
Gambar 2.7 Sistem Development Control di Bali Sumber: Suartika, 2010: 121
Dinas PU/Dinas Perizinan
28
2.2.3 Pembangunan Kepariwisataan yang Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan menurut World Commission on Environmental and Development diartikan sebagai pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Hadi, 2001: 2). Dalam hal ini terdapat dua konsep utama yang dikemukakan, yaitu kebutuhan dan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Dengan demikian diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Emil Salim dalam Hadi (2001: 3) menjelaskan hal yang harus diperhatikan dalam konsep pembangunan berkelanjutan: 1.
Pembangunan berkelanjutan menghendaki penerapan perencanaan tata ruang (spasial planning).
2.
Perencanaan pembangunan menghendaki adanya standar lingkungan.
3.
Penerapan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
4.
Rehabilitasi lingkungan khususnya di daerah kritis seperti sungai-sungai yang menjadi tempat pembuangan dan di lahan kritis.
5.
Usaha untuk memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam perhitungan ekonomi sebagai dasar untuk kebijakan ekonomi lingkungan.
29
Walaupun isu keberlanjutan telah bergulir semenjak tahun 1970-an, akan tetapi terdapat urgensitas yang halus atas problematik global pada awal abad 21 ini (Adams,2006: 7-9). Bagaimanapun juga, dekade pertama abad ini menawarkan banyak kesempatan untuk kemudian melakukan pemikiran ulang terhadap bagian dominan dari pembangunan global. Kritik para pakar lingkungan pembangunan pada 30 tahun terakhir mengungkapkan bahwa model pembangunan konvensional tidak mampu mempertahankan keberlanjutan. Dewasa ini beberapa pihak menawarkan sebuah pandangan unik guna mendeskripsikan fakta-fakta tersebut, dan mengumpulkan sebuah forum diskusi baru tentang masa depan manusia dan lingkungan. Pada abad 21 ini, beberapa negara berkembang telah mengawali pencapaian pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi dengan model ini. Penjabaran tentang model tersebut, kemudian disebut Adams (2006: 11-14) sebagai konsep baru atau pemikiran baru. Model ini menghendaki adanya sustainability and resilience (keberlanjutan
dan
kelentingan),
sustainability
and
human
well-being
(keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat), a new economy (ekonomi baru) dan presenting new idea (pemikiran atau paradigma baru). Sejatinya terdapat permasalahan mendasar, yaitu permasalahan degradasi lingkungan yang biasanya menyertai pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan inti pemikiran utama keberlanjutan adalah adanya gagasan tiga dimensi yaitu kelestarian lingkungan, sosial dan ekonomi. Tiga dimensi tersebut saling memiliki hubungan dan digambarkan ke dalam suatu lingkaran yang saling berkaitan (Adams 2006:1-2).
30
Sosial
Dapat dipertahankan
Adil
Berkelanjutan
Lingkungan
Layak
Ekonomi
Gambar 2.8 Skema Pembangunan Berkelanjutan Sumber: Adams, 2006: 2.
Rochajat Harun dalam Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan (koran online kabarindonesia.com, 2008) menjelaskan The World Commission on Environment and Development yang didirikan tahun 1983 dan diketuai oleh Harlem Bruntland - sering kali disebut juga sebagai Komisi Bruntland - sebagai respon atas resolusi Majelis/Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyampaikan laporannya yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Di dalam laporan tersebut untuk pertama kali dinyatakan pentingnya Pembangunan Berkelanjutan yang didefinisikan sebagai: “Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Development which meets the needs of
31
present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Pendekatan pembangunan berkelanjutan hanyalah sebuah gagasan yang jika tidak diimplementasikan ke dalam tindakan yang dapat mengurangi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh model pembangunan yang selama ini dilaksanakan.
Dalam
United
Nation
Conference
on
Environment
and
Development -the Earth Summit- di Rio de Janeiro pada tahun 1992, dirumuskan program tindak yang menyeluruh hingga abad ke-21 yang disebut Agenda 21. Program ini selayaknya diadopsi oleh 182 negara peserta konferensi termasuk Indonesia. Agenda 21 merupakan cetak biru untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan dari planet bumi dan merupakan dokumen semacam itu yang pertama mendapatkan kesepakatan internasional yang sangat luas, menyiratkan konsensus dunia dan komiment politik di tingkat yang paling tinggi. Dalam
tataran
kepariwisataan
internasional,
pertemuan
Rio
ditindaklanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 yang merekomendasikan pemerintah negara dan daerah untuk segera menyusun rencana tindak pembangunan berkelanjutan untuk pariwisata serta merumuskan dan mempromosikan serta mengusulkan Piagam Pariwisata Berkelanjutan. Prinsip-prinsip dan sasaran-sasaran dari piagam tersebut adalah bahwa:
32
1.
Pembangunan pariwisata harus berdasarkan kriteria keberlanjutan dapat didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2.
Pariwisata harus berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia.
3.
Pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan.
4.
Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan dan memperkuat bantuan, langsung atau tidak langsung, kepada projek-projek pariwisata yang berkontribusi kepada perbaikan kualitas lingkungan.
5.
Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerja sama teknis dan bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.
6.
Promosi/dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
7.
Pemerintah harus mendukung dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk penelitian, diseminasi informasi dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
8.
Penetapan kebijakan pariwisata berkelanjutan memerlukan dukungan dan sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan
33
untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai projek percontohan dan pengembangan program kerjasama internasional. Sebagai salah satu industri besar di dunia, pariwisata juga memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi kondisi lingkungan, keadaan sosial dan ekonomi dunia. Agar pariwisata dapat secara efektif memberikan kontribusi yang positif, program tindak global Agenda 21 dan prinsip-prinsip pariwisata
berkelanjutan
dalam
Piagam
Pariwisata
Berkelanjutan
perlu
diterjemahkan ke dalam langkah-langkah nyata yang relevan bagi kegiatan pariwisata itu sendiri. World Tourism and Travel Council (WTTC) bersama-sama dengan
World
Tourism
Organization
dan
Earth
Council
kemudian
menerjemahkannya ke dalam program tindak bagi industri perjalanan dan pariwisata yang disebut Agenda 21 untuk Industri Perjalanan dan Pariwisata. 2.2.4
Pengendalian Pemanfaatan Tebing Pada DAS Sebagai Kawasan Lindung Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
menjelaskan bahwa kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung terdiri atas kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya serta kawasan rawan bencana alam. Kawasan lindung terkait dengan lokasi penelitian meliputi kawasan-kawasan sebagai berikut:
34
A.
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya a) Kawasan hutan lindung dengan perlindungan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan dengan kriteria : i.
Kawasan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor
ii.
Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih
iii.
Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 meter atau lebih.
b) Kawasan resapan air dengan perlindungan yang dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu
untuk
keperluan
penyediaan
kebutuhan
air
tanah
dan
penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan dengan kriteria curah hujan yang tinggi struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. B. Kawasan perlindungan setempat a) Sempadan sungai dengan perlindungan yang dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir, dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Kriterianya adalah sebagai berikut :
35
i.
Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar area pemukiman
ii.
Sungai di kawasan permukaan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 -15 meter.
b) Kawasan sekitar mata air melindungi mata air dari kegiatan budi daya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. Kriteria kawasan adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. C. Kawasan suaka alam dan cagar budaya dengan perlindungan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan serta pembangunan pada umumnya. a) Kawasan rawan bencana alam dengan perlindungan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia. Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, dan tanah longsor. Menurut Khadiyanto (2005: 7) lahan yang bisa dinyatakan sebagai kawasan lindung dapat diketahui dari beberapa kriteria di antaranya: (a) seluruh bentang lahan memiliki kemiringan lereng > 45%; (b) jenis tanahnya sangat peka terhadap erosi (regosol, litosol, organosol, dan renzina) dengan kemiringan lapangan >
36
15%; (c) merupakan jalur pengaman antar sungai, sempadan waduk, mata air, dan sejenisnya sekurang-kurangnya 200 meter dari muka air pasang; (d) guna kepentingan khusus dan ditetapkan sebagai kawasan lindung; (e) merupakan daerah rawan bencana; (f) merupakan daerah cagar budaya dan benda-benda arkeologi (taman) nasional atau tempat pencagaran terhadap jenis flora dan fauna tertentu yang dilindungi; dan (g) memiliki ketinggian lahan pada elevasi 2.000 meter di atas permukaan laut atau lebih (≥ 2.000 mdpl). Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian
pemanfaatan
kawasan
lindung.
Kawasan
lindung
dalam
pengelolaannya memiliki beberapa arahan pemanfaatan, dalam pengertian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak dapat dilakukan. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan pemanfaatan kawasan lindung terkait lokasi penelitian adalah pengendalian pemanfaatan pada daerah aliran sungai, sempadan sungai, tingkat kelerengan yang ada serta pengendalian pada kawasan rawan bencana longsor. Uraian terkait pengendalian ini dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut ini: 1.
Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber daya Air dalam Kajian Model
Pengelolaan DAS Terpadu menyatakan ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian tengah merupakan daerah peralihan dengan ciri sebagai distributor dan pengatur air, sedangan DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu memiliki arti penting terutama dari segi
37
perlindungan fungsi tata air, dimana kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Ekosistem DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu sering kali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2002: 10). 2.
Pengendalian Pemanfaatan Sempadan Sungai Secara nasional pengendalian pemanfaatan sempadan sungai telah diatur
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah (a) untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan; (b) kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan; (c) untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan; (d) untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum; (e) untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api; (f) untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai; dan (g) untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Kegiatan yang dilarang pada sempadan sungai adalah (a) membuang sampah, limbah padat atau cair; (b) mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan
38
tempat usaha. Pemanfaatan tersebut harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat berwenang dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Lebih jelasnya, penjelasan dapat dilihat pada lampiran 2. 3.
Pengendalian Pemanfaatan Lahan di Sepanjang Tebing Tukad Ayung yang Rawan Bencana Longsor Lahan yang rawan bencana longsor, memiliki keterkaitan dengan tingkat
kelerengan dan jenis tanah lahan itu sendiri. Keterkaitan tersebut karena tingkat kelerengan dan jenis tanah mempengaruhi kepekaan lahan tersebut terhadap erosi. Tanah secara umum diartikan sebagai lapisan dari muka atau kulit bumi sampai ke bawah dengan batas aktivitas biologis, yaitu kedalaman yang masih dapat dicapai oleh kegiatan organisme. Tanah sebagai salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesesuaian penggunaannya.
Perbedaan
jenis
tanah
lebih
dipengaruhi oleh proses pembentukannya, yaitu dipengaruhi oleh faktor-faktor: iklim (terutama suhu dan curah hujan), organisme hidup (terutama vegetasi), sifat dari bahan induk (tekstur, struktur, susunan kimia dan mineral), topografi, dan rentang waktu selama bahan induk diubah menjadi tanah (Suryanto 2007 : 55). Deskripsi jenis tanah dan kepekaannya terhadap erosi dapat dilihat pada Tabel 2.1
39
Tabel 2. 1 Deskripsi Jenis Tanah dan Kepekaan Terhadap Erosi Kelas
Jenis Tanah
Kepekaan
Tanah 1 2 3 4 5
Skor
Terhadap Erosi Aluvial, Gley, Planosol, Hidromorf kelabu biru, Latent berair tanah Latosol Tanah hutan coklat, coklat tak bergamping, mediteran Andosol, laterit, grumosol, podsol, podsolik Regosol, litosol, organosol, renzina
Tidak peka
15
Agak peka Kurang peka
30 45
peka
60
Sangat peka
75
Sumber: SK Mentan No.837/KPTSS/Um/11/80 Kemiringan lahan adalah perbedaan ketinggian tertentu pada relief yang ada pada suatu bentuk lahan. Penentuan kemiringan lahan rata-rata pada tiap kelompok pemetaan dapat dilakukan dengan membuat hubungan antara titik-titik. Panjang satu garis menunjukkan kelerengan yang sama. Kemiringan lahan menunjukkan karakter daerah yang harus dipertimbangkan dalam arahan penggunaan lahan. Kemiringan lahan tiap daerah berbeda-beda tetapi secara umum dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok (Suryanto 2007: 57). Deskripsi kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2: Deskripsi Kelas Lereng Kelas Lereng
Interval (%)
Deskripsi
1 2 3 4 5
0-8 8-15 15-25 25-45 >45
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat curam
Sumber: SK Mentan No.837/KPTSS/Um/11/80
40
Berdasarkan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor oleh Penataan Ruang Pekerjaan Umum dijelaskan bahwa pada umumnya kawasan rawan longsor merupakan kawasan : 1.
dengan tingkat curah hujan rata-rata yang tinggi, atau
2.
kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan o
lereng lebih curam dari 20 . Dalam kawasan ini sering dijumpai alur-alur dan mata air, yang pada umumnya berada di lembah-lembah dekat sungai. Kawasan dengan kondisi seperti di atas, pada umumnya merupakan kawasan yang subur, sehingga banyak dimanfaatkan untuk kawasan budidaya, terutama pertanian dan permukiman. Daerah rawan longsor dibagi menjadi tiga yaitu (1) tipologi A daerah lereng bukit/perbukitan atau gunung/pegunungan, (2) tipologi B daerah lereng bukit/perbukitan atau gunung/pegunungan dan (3) tepian sungai termasuk ke dalam tipologi C (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2003:4-1). Karakteristik LTTAK sebagai daerah tebing atau lembah sungai sesuai dengan karakter sungai tipologi C yang akan dijelaskan sebagai berikut: a.
Daerah belokan sungai (meandering) dengan kemiringan tebing sungai lebih dari 10° (40%).
b.
Lereng tebing sungai tersusun oleh tanah residual. Tanah kolovial atau batuan sedimen hasil endapan sungai dengan ketebalan lebih dari 2 m.
c.
Curah hujan mencapai 70 mm/jam atau 100 mm/hari, curah hujan tahunan mencapai lebih dari 2500 mm, sehingga debit sungai dapat meningkat dan mengerosi kaki tebing sungai.
41
d.
Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, tertitama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih berpori.
e.
Lereng pada daerah rawan gempa sering pula rawan terhadap gerakan tanah.
Gambar 2.9 Tipologi Zonasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Berdasarkan Hidrogeomorfologi Sumber: Modul Terapan Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor (Departemen Pekerjaan Umum 2008: 40)
Berdasarkan Modul Terapan Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor (Departemen Pekerjaan Umum, 2008: 38), variasi tingkat kerawanan suatu kawasan rawan bencana longsor dibedakan menjadi tiga kawasan sebagai berikut:
42
1)
Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Tinggi
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah dan cukup padat pemukimannya, atau terdapat konstruksi bangunan sangat mahal atau penting. Kawasan ini sering mengalami gerakan tanah (longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi. 2)
Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Menengah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang terancam relatif tidak mahal dan tidak penting. 3)
Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Rendah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, akan tetapi tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia ataupun resiko terhadap bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untuk mengalami longsoran, tetapi di dalamnya terdapat permukiman atau konstruksi penting/mahal, juga dikategorikan sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan rendah. Secara garis besar dapat disebutkan bahwa rekomendasi pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut. Tabel 2.3: Arahan Pemanfaatan Ruang Terhadap Tingkat Kerawanan No
Tingkat Kerawanan
1.
Tingkat Kerawanan Tinggi
2.
Tingkat Kerawanan Menengah
3.
Tingkat Kerawanan Rendah
Arahan Pemanfaatan Ruang Untuk Kawasan Lindung (tidak layak dibangun) sehingga mutlak dilindungi Dapat dibangun/dikembangkan bersyarat Dapat dibangun/dikembangkan dengan sederhana
Sumber: Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003: 4-6)
43
Mekanisme perizinan dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana longsor dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu untuk tingkat kerawanan tinggi, menengah dan rendah yang akan dijelaskan sebagai berikut (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor. Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah 2003:4-8): 1)
Mekanisme
Perizinan
Pengendalian
Pemanfaatan
Ruang
pada
Kawasan yang Rawan Bencana Longsor dengan Tingkat Kerawanan Tinggi Arahan mekanisme perizinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi, tetap berpegang pada konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk mengalah atau menyesuaian dengan kondisi alam, dengan terlebih dahulu menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada. Sesuai dengan rekomendasi yang diberikan, yaitu diutamakan sebagai kawasan lindung (tidak layak dibangun), maka secara prinsip tidak diizinkan untuk memanfaatkan kawasan ini. Secara rinci prioritas pemanfaatan lahan pada kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi, meliputi: 1.
Tipologi A: diutamakan untuk kawasan hutan lindung
2.
Tipologi B: diutamakan untuk kawasan pertanian
3.
Tipologi C: diutamakan untuk kawasan hutan lindung dan kawasan pertanian terbatas. Dalam rangka mendukung pelaksanaan perizinan, perlu dilakukan beberapa
hal terkait, yaitu sebagai berikut:
44
a)
Pengupayaan pengawasan ketat terhadap aktivitas yang dilakukan di kawasan rawan bencana dengan tingkat kerawanan tinggi/sangat tinggi.
b)
Melakukan monitoring di lapangan, terkait dengan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut.
c)
Melakukan pengecekan data dan perhitungan kembali (review) terhadap analisis yang dilakukan, dengan skala kawasan yang lebih detail atau setempat, yang ditunjang dengan pelaksanaan penyelidikan lapangan secara periodik.
d)
Menindak tegas terhadap semua pelanggaran yang terjadi, dengan sistem insentif dan disinsentif.
2)
Mekanisme
Perizinan
Pengendalian
Pemanfaatan
Ruang
pada
Kawasan yang Rawan Bencana Longsor dengan Tingkat Kerawanan Menengah Mengingat kawasan ini tidak diijinkan dimanfaatkan untuk industri (pabrik), namun dapat dimanfaatkan secara bersyarat untuk permukiman, pariwisata transportasi, pertanian dan pertambangan. Mekanisme perizinan dilakukan sesuai dengan mekanisme standar perizinan umum untuk pengadaan tanah dan bangunan. Mendukung rekomendasi pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan sebelumnya, maka arahan untuk mekanisme perizinan adalah sesuai dengan ketentuan berikut: a) Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perizinan umum b) Dilengkapi dengan laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungan dengan hasil dan rekomendasi teknis untuk (i) penyelidikan geologi teknik,
45
(ii) analisis kestabilan lereng, (iii) analisis daya dukung tanah/lereng, (iv) dalam kondisi tertentu perlu dilengkapi dengan AMDAL c) Dilengkapi dengan gambar dan rencana (i) perkuatan lereng dalam rangka penanggulangan longsoran, (ii) gambar rencana bangunan < 2 lantai (khusus untuk permukiman, dalam rangka meminimalkan pembebanan pada lereng, (iii) gambar rencana lintasan jalan, sesuai dengan kontur lahan, (iv) sistem drainase lahan sebagai bagian dari satu kesatuan sistem drainase yang lebih besar. 3)
Mekanisme
Perizinan
Pengendalian
Pemanfaatan
Ruang
pada
Kawasan yang Rawan Bencana Longsor dengan Tingkat Kerawanan Rendah Secara umum mekanisme perizinan pemanfaatan ruang/pengelolaan di kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan rendah pengelolaan dilakukan dengan sederhana. Arahan pengendalian pemanfaatan terkait tipologi kerawanan dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini.
49
Tabel 2.4: Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Terkait Tipologi Kerawanan
No
tipologi
Tipologi Kerawanan
1
Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Longsor
2 C
3 Daerah Sungai
Tinggi (potensi terjadi longsoran tinggi serta ada resiko korban jiwa dan atau kerusakan bangunan penting/mahal) 4
Tebing
- Peternakan - Pertambangan - Peruntukan industri - Industri - Permukiman - Transportasi
Menengah (potensi terjadi longsoran tinggi namun kecil resiko atau tidak beresiko mengakibatkan korban jiwa dan atau kerusakan bangunan) 5 -
Hutan produksi Hotan kota Hutan rakyat Pertanian sawah Pertanian semusim Perkebunan Perikanan Pariwisata
Arahan Pengendalian Pemanfaatan
Arahan Kebijakan
Rendah (potensi terjadi longsoran rendah)
Tinggi
Menengah
Rendah
6
7
8
9
- Tidak diizinkan untuk kegiatan seperti disebutkan pada kolom 4 - Diizinkan untuk kegiatan hutan kota, hutan rakyat dan hutan produksi dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan c. Untuk jenis kegiatan penelitian - Diizinkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Pemilihan jenis vegetasi dan teknik pengelolaan - Diizinkan untuk kegiatan pariwisata dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Jenis wisata air - Untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan akan dikembalikan kepada kondisi dan fungsi semula secara bertahap.
- Diizinkan untuk kegiatan peternakan dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Menjaga kelestarian lingkungan - Diizinkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Menjaga kelestarian lingkungan c. Pengendalian kegiatan pertambangan sesuai dengan peraturan yang ada - Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan syarat : a. Rekayasa teknik/rumah panggung b. Pemilihan tipe bangunan rendah hingga sedang c. Menjaga kelestarian lingkungan - Diizinkan untuk kegiatan transportasi dengan syarat : a. Rekayasa teknik b. Mengikuti pola kontur
- Fungsi berubah
tidak
-
-
Fungsi tidak berubah/diubah sebagai kawasan lindung Diperlukan kegiatan pengawasan tinggi terhadap pemanfaatan ruang Ijin tidak diberikan untuk kegiatan budidaya
10 -
-
-
-
Jika fungsi tidak berubah sebagai kawasan hutan lindung, maka akan diberikan intensif dan disintensif bagi kawasan lindung dan sekitarnya, melalui pola bagi hasil Perlu dirumusakan pola dan mekanisme kerjasama antar wilayah administrasi, yang tercakup dalam kesatuan fisik SWS Dirumuskan konsep intensif bagi pendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana serta desintensif bagi kepada para pemanfaatan ruang Sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan arah pengendalian pemanfaatan ruang dan kawasan bencana longsor
Sumber: Pedoman Pengendalian Pemanfaatan ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor. (Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah 2003: 4-49)
46
47
2.2.5 Kawasan Budi Daya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa kawasan budi daya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan yang termasuk dalam kawasan budi daya yaitu (1) kawasan peruntukan hutan produksi; (2) kawasan peruntukan pertanian; (3) kawasan peruntukan pertambangan; (4) kawasan peruntukan permukiman; (5) kawasan
peruntukan industri; (6) kawasan
peruntukan
pariwisata; dan (7)
kawasan peruntukan perdagangan dan jasa. 2.2.6
Konsepsi Tri Hita Karana Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata tri yang
berarti ‘tiga’, hita berarti ‘kebahagiaan’, dan karana yang berarti ‘sebab’ atau ‘yang menyebabkan’. Dengan demikian tri hita karana dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Tri Hita Karana terdiri
dari
Parahyangan,
Palemahan
dan
Pawongan
(Wiana
dalam
Dwipayana,2011:8). Parahyangan dijelaskan sebagai hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pawongan merupakan hubungan
yang
harmonis
antara
manusia
dengan
sesamanya,
sedangkan palemahan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Terkait dengan topik penelitian, kawasan tebing merupakan satu kesatuan dengan aspek Tri Hita Karana khususnya palemahan yaitu hubungan yang harmonis dengan lingkungan. Pada kawasan Desa Kedewatan, palemahan
48
dikaitkan dengan ruang-ruang tebuka yang ada, dan keberadaan tebing tepian Tukad Ayung dan perkembangan pemanfaatannya saat ini memerlukan suatu perhatian khusus. Pembangunan keruangan yang terjadi kini, sering kali tidak memperhatikan dampaknya terhadap kondisi lingkungan, dan tentu saja akan berdampak terhadap hubungan yang harmonis dengan lingkungan itu sendiri. Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan keberlangsungan kondisi lingkungan ke depannya tentunya dapat berakibat negatif terhadap berbagai kepentingan yang ada. Oleh sebab itu perlu diketahui bagaimana unsur Palemahan sebagai salah satu bagian dari Tri Hita Karana, diterapkan pada kawasan penelitian. 2.3
Konsep Pada bagian ini diuraikan mengenai definisi operasional dari judul penelitian
yaitu sebagai berikut: 2.3.1 Pemanfaatan Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan (LTTAK) Arsyad dalam jurnal pendidikan geografi memaparkan bahwa pemanfaatan lahan (land use) merupakan segala bentuk interfensi atau campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya baik dari segi materiil
maupun
spiritual.
Pada
umumnya
penggunaan
lahan
dapat
dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu pemanfaatan lahan pertanian dan pemanfaatan lahan bukan pertanian. Berdasarkan hal itulah dapat dikenal berbagai macam pemanfaatan lahan seperti tegalan, sawah, kebun, hutan lindung dan lain sebagainya.
49
Dardak (2006: 1) menyatakan bahwa dalam perspektif ekonomi, tujuan utama dalam pemanfaatan lahan adalah untuk mendapatkan nilai tambah tertinggi dari kegiatan yang diselenggarakan di atas lahan. Akan tetapi, harus disadari bahwa kegiatan tersebut memiliki berbagai keterkaitan dengan berbagai kegiatan lainnya di antaranya aspek lingkungan hidup dan aspek sosial budaya masyarakat. Dalam penyeleggaraan pemanfaatan lahan dapat menimbulkan berbagai dampak yang perlu diantisipasi dengan pengaturan pemanfaatan lahan. Dalam praktiknya sering kali terjadi konversi pemanfaatan lahan dari satu jenis pemanfaatan menjadi pemanfaatan lainnya yang sejatinya memerlukan penanganan khusus. Di antaranya pemanfaatan lahan berfungsi lindung menjadi lahan budidaya nonpertanian yang berakibat pada menurunnya kemampuan kawasan dalam melindungi kekayaan plasma nutfah dan menurunnya keseimbangan tata air wilayah. Tebing menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai bagian tepi sungai (jurang) yang tinggi dan terjal (hampir tegak), dapat juga dijelaskan sebagai bagian lereng gunung atau bukit. Tukad Ayung merupakan salah satu sungai terpanjang di Bali, panjang total sekitar 68,5 km. Tukad Ayung terdiri dari tiga anak sungai yang cukup besar, yaitu Tukad Bangkung, Tukad Mengani dan Tukad Siap. Ketiga anak sungai tersebut bersatu di daerah Payangan. Dalam penelitian ini tidak secara keseluruhan daerah aliran sungai (DAS) Ayung dipergunakan, akan tetapi hanya terbatas kepada lingkup kawasan yang termasuk kedalam kawasan Desa Kedewatan.
50
Pada saat ini kawasan LTTAK ini saat ini selain dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian juga digunakan sebagai lahan untuk industri pariwisata. Pemanfaatan selain aktivitas pertanian khususnya industri pariwisata, sejatinya saat ini terjadi hampir disepanjang tebing Tukad Ayung. Hal tersebut disebabkan karena pelaku ekonomi menjual view kawasan untuk mendatangkan pendapatan dengan membangun akomodasi wisata. 2.3.2 Kajian terhadap Pemanfaatan Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai definisi masing-masing bagian dalam judul, maka dapat dijelaskan bahwa penelitian dilakukan pada LTTAK dalam rangka untuk mengetahui apakah diperlukan perubahan posisi LTTAK saat ini untuk memperjelas status LTTAK. Penelitian ini dilakukan menilik telah terjadi kerancuan dalam pemanfaatan LTTAK, yang mengakibatkan sering terjadi pertentangan pendapat mengenai fungsi kawasan. Pada saat ini, secara kasat mata dapat dilihat bahwa telah terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan antara fungsi sebagai kawasan lindung dengan fungsi kawasan budi daya peruntukan pariwisata. Pemanfaatan khususnya pembangunan yang terjadi saat ini pada LTTAK, pada kenyataannya telah dilegalkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui secara lebih rinci fungsi-fungsi yang ada saat ini pada kawasan, patut dipertanyakan bagaimana mekanisme perizinan yang telah ditetapkan dan kesesuaian pelaksanaannya dengan prosedur yang berlaku, sehingga apakah diperlukan perubahan posisi LTTAK sebagai kawasan lindung menjadi kawasan bukan lindung.
51
Orientasi Terhadap Propinsi Bali
Orientasi Terhadap Kabupaten Gianyar
Desa Kedewatan
Gambar 2.10 Orientasi Lokasi sumber:Monografi Desa Kedewatan
52
2.4. Model Penelitian
RTRW Mewadahi Fungsi KAwasan Lindung
RDTR Mewadahi Fungsi Kawasan Budi Daya Peruntukan Pariwisata
Pembangunan LTTAK
Mekanisme Perizinan
Kecenderungan pemanfaatan LTTAK berdasarkan data saat ini?
Bagaimanakan konsepsi pemanfaatan LTTAK selanjutnya?
Bagaimana mekanisme perizinan yang terjadi?
Teori -
Peraturan Terkait – –
Pemanfaatan Lahan dan Beragam Kepentiangan yang Mempengaruhi Pengendalian Pemanfaatan Lahan Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan Pemanfaatan lahan dengan Pengendalian di Kawasan Lindung
Produk Rencana Tata Ruang Proses Perizinan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.11 Model Penelitian Sumber: Hasil analisis. 2012
53