23 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Untuk memosisikan penelitian ini di antara penelitian sebelumnya maka perlu ada kajian pustaka. Konsep merupakan ruang lingkup penelitian yang digunakan sebagai pembatas agar jangan melebar pada persoalan-persoalan yang tidak punya kaitan dengan penelitian. Landasan teori digunakan sebagai pisau analisis persoalan yang telah dirumuskan sebelumnya. Perangkat teoretis yang dipakai adalah teori ideologi dan hegemoni yang dikembangkan oleh Althuser dan Gramci untuk melihat relasi kuasa. Sementara untuk dinamika dan pemaknaan dipakai pisau analisis semiotika yang dikembangkan oleh Barthes. Agar penelitian menjadi
terarah dan
tersistematis
maka
perlu model penelitian
yang
memperlihatkan jalan dari proses penelitian dari awal sampai akhir. Hal ini merupakan langkah untuk mencapai temuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
2.1 Kajian Pustaka Penelitian relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman Sumatera Barat mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya sebagai kajian pustaka, yang berkaitan secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kajian pustaka ini sangat bermanfaat dan memberikan informasi, wawasan tentang hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. Penelusuran berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian 23
24 sebelumnya, maka penelitian ini diarahkan kepada relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman. Wilayah budaya lainnya adalah dinamika dan sistem sosial masyarakatnya yang dihubungkan dengan pertunjukan tari ulu ambek Pariaman itu sendiri. Penelitian tentang kebudayaan Sumatra Barat secara umum, Pariaman khususnya sudah banyak dilakukan dengan fenomena yang beragam. Namun, penelitian tentang relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman belum pernah dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa buku dan hasil penelitian yang relevan untuk diacu dalam penelitian ini sebagai kajian pustaka, seperti berikut ini. Laporan penelitian Bakar Hatta yang berjudul “Tari Luambek di Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman” (1983). Dalam tulisan ini digambarkan secara deskriptif tentang pelaksanaan tari luambek mengenai peristiwa yang terjadi pada alek pauleh tinggi di nagari Sicincin. Tulisan Bakar Hatta menjadi perbandingan untuk mengamati gejala sosial masyarakat yang terjadi pada Alek Pauleh Tinggi dan gerak tari luambek yang ada di daerah Sicincin. Tulisan ini hanya berisi deskripsi sederhana tentang tari ulu ambek dan fenomena alek pauleh tinggi. Sementara penelitian ini mengarah pada pendalaman kajian yang belum ditemukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek yang menyeluruh dari objek penelitian. Hal ini akan menjadi temuan tentang bagaimana sebenarnya fenomena yang terjadi dalam penciptaan tari ulu ambek. Tesis yang berjudul “Baluambek dalam Festival Adat Alek Pauleh Tinggi
25 pada Kebudayaan Masyarakat Sicincin di Minangkabau Sumatera Barat” (1997) yang ditulis oleh Yusfil. Penelitian ini membahas keberadaan luambek yang berhubungan dengan alek pauleh tinggi dalam kebudayaan masyarakat Sicincin di Minangkabau. Alek pauleh tinggi adalah upacara adat masyarakat Sicincin yang bertujuan untuk malewakan gala datuak (penobatan penghulu suku). Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori fungsi dan teori simbol. Teori fungsi digunakan untuk membahas fungsi Luambek dalam festival adat Alek Pauleh Tinggi pada kebudayaan masyarakat Sicincin. Teori simbol membahas
properti yang berkaitan dengan pertunjukan luambek dalam alek
pauleh tinggi. Sementara penelitian ini mengarah pada kajian yang belum ditemukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek yang menyeluruh dari objek penelitian. Hal ini akan menjadi temuan tentang bagaimana sebenarnya fenomena yang terjadi dalam penciptaan tari ulu ambek. Laporan penelitian Erlinda (2006) dengan judul “Sistem Manajemen Pertunjukan dalam Acara Alek Pauleh Randah di Pariaman Sumatera Barat”. Tulisan ini membahas pengelolaan alek nagari di Pariaman. Pelaksanaan alek nagari di Pariaman dilaksanakan secara gotong royong termasuk pencarian dana untuk acara tersebut. Penelitian ini mengkhususkan pada manajemen dari pelaksanaan pesta rakyat bukan pada nilai yang terkandung dalam seni yang dipertunjukkan pada alek nagari. Padahal alek nagari memiliki tari ulu ambek yang sangat penting untuk diberikan makna yang dalam. Sementara penelitian yang dilakukan di sini
26 lebih mengarah pada relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat yang tergambar dalam tari ulu ambek. Buku Daryusti yang berjudul Hegemoni Penghulu dalam Perspektif Budaya (2006). Tulisan ini membahas eksistensi penghulu di Minangkabau dengan segala bentuk ritualnya yang ada dalam tari Alang Suntiang Penghulu. Penelitian ini diarahkan pada bentuk dan karakter tari Alang Suntiang Penghulu, fungsi dan penanda serta petanda yang terdapat dalam tari tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kekuasaan Simon dan Markoff, teori fungsionalisme strukturalis Parson, Molenowski, dan Levi-Strauss, serta teori semiotika Saussure dan Umberto Eco. Tulisan ini menambah wawasan peneliti berkaitan dengan topik yang diteliti dan sebagai acuan untuk mendapatkan teori. Penelitian penulis yang sekarang diarahkan pada relasi kuasa dan dinamika tari ulu ambek di Desa Bari Nagari Sicincin Kabupaten Padang Pariaman. Penelitian ini dirahkan pada relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman secara umum, tidak terbatas pada penghulu saja. Penelitian ini menggunakan teori ideologi, hegemoni, dan teori semiotika. Dari penelitian di atas diketahui bahwa belum ada tulisan tentang relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman Sumatera Barat. Tari ulu ambek sebagai seni tradisi memiliki fungsi untuk membangun mentalitas masyarakat yang ahkir-ahkir ini berhadapan dengan sistem modernisasi dan globalisasi. Pertunjukan seni tradisi sangat penting untuk dilestarikan dan dikembangkan. Hal ini sangat berguna bagi pengembangan kesenian lain yang ingin mengambil akar dari kesenian tersebut. Jadi, fokus penelitian ini berbeda
27 dan akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Hal yang paling berbeda antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini untuk menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan tari ulu ambek di Pariaman. Penemuan tersebut berupa (1) bentuk relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek, (2) dampak dan makna relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek. (3) keberlanjutan tari ulu ambek di Pariaman dimasa yang akan datang.
2.2 Konsep Pengertian konsep secara singkat adalah rancangan atau menggambarkan secara tepat fenomena yang berkaitan dengan penelitian karena melalui konsep batas-batas pengertian penulisan akan lebih jelas. Konsep diartikan juga sebagai gagasan abstrak atau ide yang digeneralisasikan untuk melukiskan suatu gejala dengan ciri-ciri tertentu. Pengertian konsep menurut Ratna adalah sebagai alat untuk memahami gejala, konsep berada di luar bahasa. Setiap kata, bahkan setiap simbol adalah konsep. Konsep dibedakan menjadi leksikal dan operasional (2010:465-466).
Menurut Mely G. Tan (dalam Koentjaraningrat, 1994:21),
konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Ia sebagai definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa pengertian dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian, yaitu relasi kuasa, dinamika tari ulu ambek, dan masyarakat Pariaman Sumatera Barat.
28 2.2.1 Relasi Kuasa Relasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) artinya hubungan; perhubungan; pertalian. Sementara kuasa artinya kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan; wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu; pengaruh (gengsi, kesaktian, dsb) yang ada pada seseorang karena jabatannya (martabatnya); mampu; sanggup; dan orang yang diserahi wewenang. Jadi relasi kuasa artinya hubungan yang didasari kemampuan atas sesuatu yang menjadi wewenangnya. Kemampuan penghulu (diangkat berdasarkan martabatnya) memiliki hubungan dengan tari ulu ambek berdasarkan wewenangnya. Tari ulu ambek adalah wewenang penghulu karena seni ini menggambarkan posisi penghulu di dalam masyarakat. Saat ini Penghulu, pemerintah, dan pengaruh perkembangan zaman secara ideologis merupakan alat hegemoni yang paling berpengaruh untuk melanggengkan kekuasaan atas tari ulu ambek. Relasi kuasa dalam fenomena tari ulu ambek merupakan hubungan antara kekuasaan penghulu sebagai pucuk pimpinan masyarakat dengan kekuasaan yang datang dari barat (globalisasi). Kedua kekuasaan ini saling mempengaruhi masyarakat terutama pada ideologi yang menjadi landasan hidup masyarakat Pariaman. Kekuasaan penghulu menitik beratkan pada cara hidup dan cara pandang masyarakat yang beradat yang turun temurun sejak zaman dahulu. Kekuasaan penghulu di Pariaman membawahi seluruh lapisan masyarakat. Penghulu merupakan salah satu unsur pimpinan masyarakat disamping ulama dan cadiak
29 pandai (cerdik pandai). Tiga unsur pimpinan dalam masyarakat Pariaman dikenal juga dengan tungku tigo sajarangan (tungku tiga satu jerangan). Ketiganya saling mengisi satu sama lain, penghulu bergerak di bidang adat, ulama bergerak di bidang agama, dan cerdik pandai bergerak di bidang pemerintahan. Sementara tari ulu ambek merupakan wilayah adat dan kekuasaannya berada di tangan penghulu. Kekuasaan penghulu adalah kekuasaan seorang laki-laki yang dituakan pada sebuah suku di Minagkabau, yang membidangi tentang seluk beluk urusan adat. Penghulu dalam kehidupan sehari-hari dipanggil “datuk” fungsi seorang penghulu di Minangkabau adalah sebagai pemimpin suku dalam urusan adat. Namun begitu kekuasaan penghulu harus dilandasi atau agama yang dibawahi oleh ulama serta pemerintahan nagari yang dibawahi oleh cerdik pandai. Artinya kekuasaan penghulu merupakan kekuasaan tungku tigo sajarangan, akan tetapi dalam berurusan tentang adat penghulu lebih didahulukan dan sebagai pengambil keputusan. Alim ulama adalah pemimpin masyarakat Minangkabau termasuk Pariaman dalam urusan agama, yaitu orang yang dianggap alim. Seorang yang alim
adalah
orang
yang
memiliki
ilmu
yang
luas
dan
memiliki
keimanan.keberadaannya di masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini diuangkapkan dalam adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adanya alim ulama di dalam masyarakat Minangkabau membidangi agama islam/syarak. Cerdik pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta pemikiran yang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi adalah
30 merupakan kumpulan orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang yang cepat mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas. Kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Minangkabau adalah Tuah Sakato, yaitu hal-hal yang telah terjadi menjadi kesepakatan bersama, artinya segala sesuatu yang bersifat mengatur di dalam kehidupan masyarakat harus terlebih dahulu dimusyawarahkan. Tiga unsur pemimpin inilah yang menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan hasil musyawarah itu selanjutnya dikukuhkan dalam suatu rapat yang dihadiri seluruh wakil masyarakat, biasanya bertempat di balai adat. Pada hakikatnya mereka sama-sama bertanggung jawab memimpin masyarakat ke arah kesejahteraan dan kemakmuran inilah dikenal dengan sebutan tungku tigo sajarangan, karena kekuatan tungku tigo sajarangan masyarakat tidak akan tersesat, kacau dan rusak. Jika ketiga tungku itu masih tetap bekerjasama menempatkan diri di posisinyamasing-masing. Di dalam adapt minagkabau diungkapkan sebagai adat basandi syarak, syarak basandi kitabulah. Adat dan agama tidak ada pertentangan, yaitu; Syarak memberikan hukum atau syariat; adat melaksanakan seperti diungkapkan syarak mangato adat mamakai (agama mengatakan adat yang menjalankan); dan undangundang sebagai pengaturan. Dengan demikian ada adat, agama dan undangundang yang ketiganya memiliki hukum sendiri-sendiri yang tidak bertentangan satu sama lain. Ketika datang arus globalisasi maka kekuasaan baru muncul yaitu kekuasaan modern yang mempengaruhi cara berperilaku masyarakat. Akibatnya
31 ada kekuasaan yang harus dikompromikan. Tari ulu ambek yang membawa kekuasaan penghulu mau tidak mau berhadapan dengan keuasaan global. Menipisnya minat generasi muda dalam mendalami tari alu ambek disebabkan oleh pengaruh globalisasi. Untuk itu harus ada jalan agar kedua kekuasaan ini bisa tumbuh bersamaan dan sama-sama saling menguntungkan. Dalam penelitian ini relasi kuasa mengarah pada pembentukan budaya tari ulu ambek yang diolah dengan konsep kekinian dengan tidak meninggalkan norma-norma yang berlaku dalam tari ulu ambek sebelumnya. Jadi ada bagianbagian yang harus dirobah seperti jadwal pelaksanaan yang dahulunya hanya boleh siang hari, sementara sekarang sudah boleh malam hari, begitu juga dengan busana dahulu penari memakai warna hitam, sekarang sudah boleh memakai baju kemeja yang tidak berwarna hitam. Hal ini merupakan relasi kuasa yang kompromistis.
2.2.2 Dinamika Tari Ulu Ambek Dinamika berarti perubahan dan dapat diartikan sebagai suatu yang memandang manusia sebagai organisme, sebagai makhluk hidup, maka ia pasti mengalami perubahan. Jika dinamika digunakan dalam memandang tingkah laku manusia secara hakiki, maka objek studi khususnya diarahkan kepada dinamika perubahan budaya manusia dari tingkat yang paling sederhana menuju yang tertinggi (dalam Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994:5). Dinamika merupakan perjalanan kebudayaan yang terus mengalami perubahan atau mengalami kemajuan. Menurut Rabindranath Tagore (Kirpalani,
32 2000:xxii) bahwa kemajuan adalah kadar fasilitas, material, dan moral bagi pembangunan segala bidang dan ekspresi bebas bagi personalitas manusia tanpa diskriminasi. Selanjutnya, di bidang kreativitas, Rabindranath Tagore mengatakan (dalam Ikranegara, 1997:4) bahwa ia tidak berorientasi kepada estetika Inggris atau Barat, melainkan berangkat dari yang ada di dalam budaya dan alam. Malah lebih dari itu mengolah khasanah asli itu sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa menjadi milik dunia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas jelaslah bahwa tari ulu ambek adalah seni yang mengalami perubahan tanpa menghilangkan nilai budaya, nilai spiritual, dan keminangkabauannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tagore bahwa tari ulu ambek yang tadinya tidak boleh dilaksanakan pada malam hari, kemudian berubah boleh dilaksanakan pada malam hari dengan pertimbangan bahwa zaman sekarang waktu sangat berarti. Pengertian tari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 1144) adalah gerakan badan atau tangan yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik, gamelan dsb), ulu berarti hulu, dan ambek berarti meng.am.bek. Secara etimologis tari ulu ambek memiliki tiga pengertian yang terkait dengan seni itu sendiri, yaitu sebagai berikut. a. Luambek berasal dari kata lalu dan ambek, lalu berarti lewat dan ambek berarti menghambat. Jadi, pengertian luambek adalah permainan yang menyajikan ada yang lalu dan ada yang menghambat (Hatta, 1983:74). b. Alo Ambek berasal dari kata alo, alau, halau dan ambek. Alo atau alau berarti halau, menghalau dan ambek berarti menghambat. Jadi, alo ambek
33 adalah permainan yang menyajikan ada yang menghalau dan ada yang menghambat (Navis, 1984:268). c. Ulu ambek berasal dari kata ulu (ulua) dan ambek. Ulu (ulua) berarti agiah atau beri, berikan, antar, antarkan, ulurkan, dan ambek berarti hambat atau menghambat. Dalam hal ini tari ulu ambek berarti permainan yang menyajikan aktraksi atau gerakan berupa antarkan, ulurkan, berikan dalam bentuk serangan dan menghambat atau ambek (Asril, 2011:7). Dari ketiga pengertian ulu ambek di atas bunyi huruf “ u “ yang lemah telah mengubah arti dari seni itu sendiri. Berkaitan dengan hal di atas pengertian tari ulu ambek ini ditegaskan oleh Asril dalam tulisannya yang berjudul “Ulu ambek, Alau Ambek, Luambek” (2011:7) seperti di bawah ini: “ nyaris tidak ada orang Pariaman, terutama para pelaku, pendukung, dan pemerhati hati tradisi ulu ambek mengucapkan kata untuk seni tradisi yang dimaksud Alau Ambek atau Luambek. Karena seni tradisi itu bukan dimaksudkan dengan halau dan lalu. Mungkin saja terdengar dari ucapan mereka (orang Pariaman) seperti luambek, huruf u nya tidak begitu jelas atau lemah, tetapi bila diminta penjelasan mereka; maka mereka akan menyebutkan dengan tari ulu ambek”. Tari ulu ambek menggambarkan kehidupan seorang pemimpin (datuk, penghulu, raja) dalam melangkah, bertindak, dan berpikir untuk kemakmuran rakyatnya. Dalam konteks adat masyarakat Pariaman, tari ulu ambek diungkapkan dengan kata “suntiang niniak mamak – pamainan nan mudo-mudo”. Artinya, tari ulu ambek sebagai suntiang niniak mamak merupakan lambang kebesaran niniak mamak (panghulu dan rajo) di Pariaman yang diekspresikan atau dipertunjukkan melalui budaya dalam acara Alek Nagari. Tari ulu ambek diiringi oleh nyanyian yang disebut vokal dampeang dengan irama yang sangat menyetuh perasaan.
34 Tidak ada iringan musik yang lain, hanya musik vokal dari tukang dampeang yang mengiringi tari ulu ambek.. Bunyi (irama) musik vokal ini sangat mengibaiba dan terkesan sedih. Tari ulu ambek di Pariaman berangkat dari tradisi silat yang berkembang di hampir seluruh wilayah di Minangkabau. Permainan tari ulu ambek dimainkan oleh dua orang penari dengan posisi yang berbeda, yakni satu menyerang dan yang satu lagi dalam posisi bertahan. Akan tetapi dalam pertunjukannya mereka tidak pernah bersentuhan. Pencak silat merupakan seni beladiri tertua di Minangkabau termasuk juga pengembangannya di Piaman. Setiap wilayah di Minangkabau memiliki gerak silat tersendiri dan memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Gerak dan gaya silat Kumango berbeda dengan gerak silat Piaman. Tari ulu ambek telah menjadi pencak silat atau pengembangan silat itu sendiri. Tari ulu ambek dimainkan atau dipertunjukkan pada acara alek nagari di Piaman. Menurut Yusfil, alek berarti pesta atau upacara, sedangkan nagari berarti wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin oleh seorang penghulu (KBBI, 2001:771). Kata yang menunjukkan makna serupa dengan upacara adalah tata cara dalam ritual, perayaan, seremonial, atau festival (1997:38). Alek nagari ini terdiri atas dua kategori yaitu alek tuo dan alek mudo. Alek tuo merupakan alek ninik mamak (penghulu) yang mencerminkan kebudayaan yang tinggi di Piaman. Sementara alek mudo merupakan alek anak-anak muda yang penuh gurauan dan bersifat menghibur. Tari ulu ambek berada pada posisi alek tuo (alek ninik mamak) yang memang
35 dihadiri oleh penghulu-penghulu yang mempunyai kepentingan atau yang diundang. Posisi duduk para penghulu, pendekar, dan sebagainya diatur sedemikian rupa oleh janang atau kapalo mudo nagari agar tidak terjadi silang sengketa atau menyalahi adat. Tari ulu ambek dimainkan selama tiga hari. Awalnya malam hari tidak boleh tari ulu ambek dimainkan. Permainan dimulai sekitar pukul 14.00 WIB siang dan berakhir menjelang senja. Satu hari tari ulu ambek menampilkan dua kelompok, yaitu kelompok tuan rumah dan kelompok tamu. Setiap tamu memiliki tim yang akan diturunkan atau ditampilkan dan pemain setiap tim disesuaikan dengan lawan. Artinya tidak ada anak-anak melawan orang dewasa. Sekarang di beberapa daerah di Pariaman tari ulu ambek sudah mulai dimainkan pada malam hari. Hal ini merupakan perubahan terhadap efektivitas permainan. Kalau hanya dilaksanakan pada malam hari, akan menambah waktu atau memperpanjang waktu permainan. Kalau dilaksanakan hanya siang hari, mungkin pelaksanaan bisa lima hari. Kalau dilaksanakan sampai malam hari, maka pelaksanaan hanya membutuhkan dua atau tiga hari. Aktivitas manusia mencakup berbagai macam kegiatan, di antaranya adalah seni yang di dalamnya termasuk tari. Fungsi setiap kegiatan seni tari selalu dilakukan berulang-ulang, seperti upacara pengangkatan penghulu di Pariaman, yang merupakan bagian dalam kehidupan sosial. Medium
tari adalah tubuh
manusia yang digerakkan dan diolah secara komposisi dalam ruang dan waktu sehingga menjadi suatu gerak tari yang indah. Berkaitan dengan hal di atas, Soedarsono (1977:17) juga menjelaskan
36 bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Kehadiran tari dalam masyarakat kadangkala sebagai kesenangan. Seni juga didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk yang menyenangkan, baik kesenangan untuk penciptanya sendiri maupun untuk orang lain. Di samping sebagai kesenangan atau hiburan, kehadiran tari juga sebagai bentuk pemujaan yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan bersifat sakral atau suci (Hadi, 2007:18). Tari merupakan karya cipta manusia yang berkembang dari aktivitas kognitif murni dengan cara-cara yang biasa dipakai di lingkungan tempat seni itu ada. Oleh karena itu, keberadaan seni telah berakar kuat dalam sebuah kerangka kerja tentang kehidupan kolektif, dalam bentuk komunitas yang intens sehingga menambah kekuatan komunikasi dan memperluas maknanya. Keberadaan seni tari ditempatkan sebagai salah satu unit komponen superstruktur, seni ini tidak sekadar dilihat realitas empiris saja, tetapi keberadaan seni tari juga berfungsi ritual (Hadi, 2007:35), seperti tari ulu ambek dalam masyarakat Pariaman. Upacara ritual sebagai pengalaman emosi keagamaan, upacara adat, kehadiran tari di dalamnya sebagai sarana pengungkapan kepercayaan atau keyakinan. Tari ulu ambek sebagai seni tradisi masyarakat Pariaman dalam penelitian ini adalah tari yang mendapatkan pembaruan dalam agama Islam sebab sebelum agama Islam masuk seni tari ulu ambek sulit diprediksi, baik bentuk maupun maknanya secara kebudayaan. Maka tari tradisi ulu ambek dengan nilai agama Islam muncul di Pariaman sekitar abad ke 16-M dengan penanda masuknya agama Islam di Pariaman.
37 Penciptaan sebuah tarian didasari konsepsi estetika. Pencipta tari berdasarkan konsepsi itu mengembangkan wawasan dan memunculkan serta menyeleksi gagasan-gagasannya. Semua dituangkan dalam sebuah kerangka dasar dalam bentuk design. Design ini disuguhkan kepada penari. Tugas penari di sini adalah mengembangkan segala kemampuan dirinya untuk memenuhi tuntutan dari design yang disuguhkan. Penari bukanlah seseorang yang hanya disuruh bergerak ke sana kemari tanpa memahami apa yang digerakkannya atau apa yang diinginkan sebuah konsep tari. Penata-penata lainnya akan menyusun semua unsur menjadi sebuah kesatuan tari yang siap untuk dipertunjukkan. Begitu juga proses kerja pencipta musik tari, pemusik, dan penata musik tari. Penari-penari
yang tidak memahami
hal
ini
tidak akan dapat
menyampaikan apa-apa kepada penontonnya. Begitu juga sebuah tari tidak akan bicara apa-apa kepada penontonnya tanpa konsepsi yang jelas, cita rasa yang tinggi, kemampuan selektivitas terhadap unsur-unsur yang diciptakan atau “sesuatu” yang ingin disampaikan pencipta tari. Jika hal demikian tidak tercapai, tari hanya merupakan sebuah senam irama, parade gerak, akrobatik atau konfigurasi semata. Dengan demikian, jelas kiranya perbedaan antara “tari tradisi” (latar belakang masyarakat, proses munculnya tari, perkembangan) dan “tradisi tari’ (konsepsi-konsepsi estetika, momen-momen dan unsur-unsur artistik, kaidahkaidah panggung). Dalam fungsionalismenya, Parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga sistem tindakan sosial yang lain, yaitu sistem kultural dan sistem kepribadian yang saling terorganisasi, merupakan suatu kompleks fenomena sosial terpadu
38 yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia. Sistem kultural (cultural system) merupakan sistem nilai dan makna simbolis (symbolic system of meaning) di antaranya berupa realitas sebagaimana yang diyakini, seperti agama atau praktik-praktik kepercayaan lainnya (dalam Hadi, 2007:37).
Dalam
pengertian ini, maka tari ritual dapat ditempatkan sebagai salah satu realitasnya. Ditambahkan oleh Soedarsono (2002:125) bahwa fungsi-fungsi ritual seni pertunjukan di Indonesia banyak berkembang di kalangan masyarakat yang dalam tata kehidupannya masih mengacu pada nilai-nilai budaya agraris serta masyarakat yang memeluk agama yang dalam kegiatan-kegiatan ibadahnya melibatkan seni pertunjukan. Hal ini bisa dilihat pada seni di Bali yang ditulis Bandem dan deBoer (2004:183-215), Jawa, dan sebagainya yang sampai saat ini masih dilaksanakan. Lebih jauh Sedyawati (1981:58) mengatakan bahwa tari sebagai seni pertunjukan memiliki hubungan yang erat dengan manyarakat di mana tari tersebut tumbuh dan berkembang. Masalah-masalah stratifikasi sosial juga memengaruhi keberadaan seni tari di Indonesia terutama di Jawa dan Bali yang menjadikan seni tari sebagai ritual masyarakat. Sementara Suwandono (dalam Sedyawati, ed. 1979:39) menambahkan bahwa pengembangan seni tari yang bernilai ritual harus dilaksanakan untuk pelestarian seni. Berkaitan dengan pelestarian seni tari sebagai seni pertunjukan, Wiratini (2009:311-312) mengatakan bahwa di Bali, masuknya peran perempuan dalam seni pertunjukan mengandung makna pelestarian, revitalisasi, dan pengembangan yang tidak saja terbatas pada fisik, tetapi juga prinsip-prinsip estetikanya. Secara
39 sosial ikutnya perempuan dalam seni meningkatkan rasa solidaritas antara kaum wanita di kalangan masyarakat setempat.
2.2.3 Masyarakat Pariaman Sumatera Barat Masyarakat Pariaman adalah masyarakat yang diikat oleh adanya kesatuan tempat, wilayah, dan budaya yang disebut Pariaman. Pariaman sebagai daerah pesisir terletak di pantai barat Sumatera. Wilayah ini memiliki budaya dan seni tradisi yang unik, yaitu tari ulu ambek, indang, gandang tambua, yang menjadi identitas budaya masyarakat Pariaman. Seni tradisi tersebut biasanya ditampilkan dalam acara Alek Nagari (pesta desa) yang merupakan sebuah institusi budaya yang sangat penting dalam masyarakat Pariaman di Minangkabau Sumatera Barat. Pariaman adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dengan batas wilayah, yaitu (1) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Agam; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan; (3) sebelah barat berbatasan dengan Samudra Indonesia; (4) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Sedangkan secara geografis, Piaman atau Pariaman terletak dalam posisi membujur sepanjang pantai barat Sumatera dengan posisi: 0 11-3 30 LS, dan antara 98 36-100 40 BT. Menurut Ediwar (1999:43-44) berdasarkan letaknya Pariaman dapat dibagi menjadi dua, yaitu daerah pesisiran dan daerah pedalaman. Daerah pesisiran adalah daerah berbatasan langsung dengan pantai barat Sumatera dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut, sedangkan daerah pedalaman merupakan daerah yang membujur ke arah pinggang Bukit Barisan yang
40 mencapai ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut. Daerah Piaman merupakan daerah yang memiliki tingkat kepanasan udara yang tinggi karena daerahnya dekat pantai. Daerah pantai merupakan daerah yang dipenuhi oleh rawa dan hanya bisa ditumbuhi daun nipah, rumbia, dan kelapa. Sementara daerah pedalaman memiliki banyak areal pertanian dan perkebunan. Hasil pertanian berupa padi dan sayuran dipanen secara periodik. Perkebunan menghasilkan buah-buahan, seperti durian, manggis, kopi, pala, dan sebagainya. Variabel dan indikator dalam penelitian relasi kuasa dalam dinamika tari Ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera barat sebagai berikut: Bentuk relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat pariaman, sumatera barat terdiri atas: 1) relasi kuasa dalam tari ulu ambek yang berisi tentang kuasa penghulu secara umum dan kuasa penghulu atas tari ulu ambek, 2) dinamika tari ulu ambek yang berisi kondisi tari ulu ambek sebelum Islam masuk sampai saat ini, 3) elemen penting tari ulu ambek yang berisi tentang gerak, penari, busana, dan musik, 4) elemen pendukung tari ulu ambek yang berisi tentang properti serta tempat pelaksanaan tari ulu ambek, dan 5) bentuk estetika tari ulu ambek yang terdiri atas estetika tageh dan estetika tradisi Pariaman.
2.3 Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini merupakan landasan berpikir untuk menuntun peneliti dalam memecahkan berbagai permasalahan. Landasan teori berfungsi sebagai kerangka berpikir yang mengarahkan peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan. Penelitian relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek
41 dalam masyarakat Pariaman menggunakan teori ideologi, hegemoni dan semiotika yang digunakan secara eklektik dalam mengkaji kebudayaan. Eklektik menurut Ratna (2010:461) adalah penggunaan sejumlah teori, sejumlah metode, sejumlah teknik secara bersama-sama secara ‘mana suka’. Semula berarti memilih ajaran yang terbaik, kemudian berarti penggabungan gaya dalam arsitektur dan karya seni yang lain. Dalam hal ini,
setiap fenomena yang kompleks selayaknya
dianalisis menggunakan teori secara eklektik untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid. Eklektisisme (Eclecticism) adalah suatu cara pandang yang menyatakan bahwa berbagai strategi teoretis harus digunakan secara kombinasi agar diperoleh penjelasan yang dapat diterima (Sanderson, 2010:618).
Pendekatan secara
eklektik digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan kajian budaya karena pada teori-teori
tertentu memiliki kekuatan dan kelemahan sehingga
pengombinasian beberapa teori lebih valid dalam konteks yang utuh. Ada beberapa teori yang relevan digunakan secara ekletik
sebagai
landasan bagi pelaksanaan penelitian, yakni teori ideologi, hegemoni dan semiotika. Teori ideologi digunakan untuk melihat relasi kuasa tari ulu ambek dalam masyarakat Pariaman. Teori hegemoni diperlukan dalam melihat faktor terjadinya relasi kuasa dalam tari ulu ambek di masyarakat Pariaman. Sementara teori semiotika digunakan untuk membongkar makna dan dampak relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman.
42 2.3.1 Teori Ideologi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:417) kata ‘ideologi’ diartikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi digunakan sebagai dasar usaha untuk pembebasan manusia. Dalam hal ini, ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu (Takwin, 2009:5). Gagasan-gagasan dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan tindakan yang menjadi cerminan bagi kelompok tertentu. Ideologi dalam arti positif terdapat dalam jiwa. Jiwa mengandung pengetahuan yang benar (episteme). Sementara badan menjadi sumber pengetahuan palsu yang diperoleh dalam waktu singkat tanpa refleksi (Plato dalam Takwin, 2009: 13). Menurut Althusser (dalam Barker, 2009: 58-59), ada empat pandangan tentang ideologi, yakni (1) ideologi memiliki fungsi umum untuk membangun subjek; (2) ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu; (3) ideologi sebagai kesalahan dalam memahami kondisi nyata eksistensi adalah sesuatu yang palsu; dan (4) ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Ideologi adalah istilah yang banyak digunakan dalam lingkungan ilmu sosial. Gramsci (Barker, 2004: 62-63) menyatakan adanya dua wilayah analisis yang bisa difungsikan sebagai sarana evaluatif hubungan antagonistik antara kaum borjuis dan kelas pekerja. Hubungan antagonistik klasik ini pada akhirnya menjadi
43 penentu pandangan analisis kultur dan ideologi yang diletakkan dalam perspektif teori Marxis kritis. Tradisi awal Marxisme melihat bahwa hubungan kultural dan ideologi antara kelas dominan dan kelas subordinat tidak menjadi hal yang pokok. Pengertian dalam tataran positif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia (world-view, welttanschaung) yang menyatakan sistem nilai kelompok atau komunitas sosial tertentu untuk melegitimasikan kepentingannya. Sementara itu, pengertian dalam tataran negatif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan deceptive pemahaman manusia mengenai realitas sosial. Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi mengalami banyak pemaknaan. Akan tetapi, secara ringkas, ideologi dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok. Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna netral. Artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial serta komunitas kebudayaan tertentu. Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Pengertian ideologi sebagai kesadaran palsu menyatakan bahwa ideologi merupakan sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ideologi dalam pengertian ini adalah sarana kelas atau kelompok sosial tertentu untuk mengesahkan atau melegitimasikan asal-sumber serta praksis kekuasaaan secara tidak wajar. Dalam pengertian ini, makna ideologi justru bernilai negatif. Artinya, ideologi merupakan perangkat claim yang tidak biasanya atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai kebenaran, tetapi sudah mengambil sikap
44 berpihak pada kepentingan tertentu. Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak rasional. Artinya, bahwa ideologi merupakan sekadar rangkaian sistem kepercayaan dan keyakinan subjektif (belief system). Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan pertanggungjawaban rasional dan objektif. Akan tetapi, hal penting dalam pembahasan tulisan ini adalah konsep ideologi yang dikemukakan oleh Louis Althusser. Althusser dalam Barker, (2009:59-61) melihat ideologi sebagai dialektika yang dicirikan dengan kekuasaan yang dominan. Ideologi dalam perspektif ini dilihat secara lebih jauh. Ideologi dilihat sebagai praksis sosial. Argumentasi ideologi sebagai praksis didasarkan pada asumsi bahwa negara mempunyai dua hakikat yang tidak terpisahkan, yaitu represif dan ideologis. Dua hakikat ini berkaitan erat dengan cara keberadaan negara sebagai bagian dari alat perjuangan kelas. Bahasan penting lainnya dalam tema ideologi Althusser adalah soal subjek. Ideologi membutuhkan subjek. Subjek membutuhkan ideologi. Ideologi merupakan hasil rumusan dari subjek-subjek tertentu. Keberlakuan nilai ideologi menuntut adanya subjek-subjek pelaku. Tidak dapat dimungkiri bahwa ideologi menciptakan subjek. Artinya, ideologi menempatkan individu bukan hanya dalam posisi dalam relasi sosial, melainkan juga hubungan antara individu dan relasi sosial tersebut. Dalam hal ini, Stuart Hal juga mencoba memberikan makna ideologi sebagai sebuah kesatuan interpretatif. Pertama, ideologi tidak terdiri atas konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau
45 unsur yang berbeda menuju perbedaan makna. Kedua, statuta ideologis selalu dibuat secara individual, tetapi ideologi sendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum individu ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar. Ketiga, ideologi bekerja melalui konstruk sosial untuk posisi subjek individual dan kolektif dari keseluruhan identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-nilai ideologis. Menurut Hartley (2010:106) ideologi adalah pengetahuan dan karakteristik ide dari atau dalam kepentingan kelas. Hal ini merupakan pengembangan terhadap konsep Karl Marx yang melihat bahwa suatu kekuasaan akan didominasi oleh kelas penguasa yang menindas kelas bawah. Ideologi tercipta disebabkan oleh adanya hegemoni dari satu kelas terhadap kelas yang lain. Ideologi dari asal katanya dapat dipecah menjadi kata idea dan logos. Secara harfiah dapat diartikan sebagai aturan atau hukum tentang ide. Pandangan Plato (dalam Takwin, 2009:8) idea merupakan kebenaran sejati, rujukan bagi benda-benda yang ada di dunia fisik yang ditempati manusia sekarang. Dalam konteks masyarakat, ideologi digunakan sebagai pembebasan manusia. Dalam hal ini pengertian ideologi adalah sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu (Takwin, 2009:5). Storey (1996:5) mengatakan bahwa ideologi merupakan konsep sentral dalam cultural studies. Ideologi mencakup seluruh praktik kehidupan, pada
46 tindakan kecil dan besar, pada pikiran awam dan ilmiah, pada percakapan tentang cuaca hari ini dan iklim politik negeri ini, pada sela-sela terkecil kehidupan manusia. Setiap benda di dunia ini merupakan tiruan dari pikiran atau ideanya masing-masing di dunia idea. Benda tiruan bersifat maya dan fana, sedangkan idea bersifat sejati dan kekal. Dengan pengertian ide sebagai kebenaran hakiki, maka pengertian ideologi adalah hukum tentang kebenaran sejati. Teori ideologi sebagai sebuah praktik dikembangkan oleh Louis Althusser, Marxis generasi kedua yang dipengaruhi gagasan-gagasan Saussure dan Freud, dan orang yang membawa teori-teori struktur dan teori ketidaksadaran untuk menunjang teori-teori Marx yang bersifat ekonomistik. Bagi Marx, ideologi digunakan untuk ide-ide kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan masyarakat sebagai alami dan wajar. Marx memahami bahwa para anggota kelas subordinat, yakni kelas pekerja, digiring untuk memahami pengalaman sosial dan relasi sosial mereka sehingga memahami mereka sendiri dengan menggunakan serangkaian gagasan yang bukan miliknya sendiri, tetapi datang dari kelas yang kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial serta politiknya tidak hanya berbeda dari mereka tetapi juga secara aktif bertentangan dengan mereka (dalam Fiske, 2010: 238-239). Kesadaran manusia tentang siapa dirinya, bagaimana mereka berelasi dengan bagian lain dari masyarakat, dan karena itu pengertian mereka tentang pengalaman sosialnya dihasilkan oleh masyarakat, bukan oleh alam atau biologi. Kesadaran ditentukan oleh masyarakat tempat kita dilahirkan, bukan oleh alam atau psikologi individu.
47 Menurut Gramscian (Barker, 2009:63), ideologi dipahami sebagai ide, makna dan praktik yang mengklaim sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, tetapi ia adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan perilaku praktis tuntunan moral yang sepadan dengan agama yang secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait (Gramsci, 1971:349). Jadi, satu kesatuan kultural diperoleh melalui aneka ragam kehendak, yang tujuan heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke satu tujuan tunggal, sebagai basis suatu konsepsi tentang dunia yang adil dan alamiah. Pembentukan, peneguhan, atau penanggalan konsepsi umum tentang dunia merupakan suatu aspek dari perjuangan ideologis yang melibatkan tranformasi pemahaman melalui kritik terhadap ideologi popular yang ada. Thwaites (2009:256-257) mengatakan bahwa ketika pemecahan ideologis atau konflik dan kontradiksi sosial ini dilakukan dalam narasi didapati proses fabulasi. Fabulasi menceritakan kisah tentang bagaimana konflik itu muncul, dan bagaimana konflik dipecahkan; fabulasi menceritakan kisah tentang kebaikan suatu masyarakat. Fabulasi melakukan ini dengan membuat atau melaksanakan ide dan nilai sosial melalui dilema tertentu. Di samping itu, memecahkan ide dan nilai itu dengan cara yang secara khusus bersifat naratif, seperti melalui aksi para karakter, yakni fabulasi mengajak kita untuk mengambil semacam pemecahan yang mungkin dalam suatu cerita untuk menyimbolkan pemecahan relasi sosial
48 yang sebenarnya tetap bersifat konflik dan kontradiksi. Dalam masyarakat kontemporer kapitalis, kelompok pengatur dan yang diatur, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi memiliki tatanan sosial yang berbeda. Pada masyarakat seperti itu terdapat struktur dominasi. Untuk mempertahankan
dominasi
itu,
kelompok
yang
dominan
berusaha
merepresentasikan dunia sesuai dengan keinginannya, yang disertai dengan kekuasaan (power) yang dimiliki. Namun, kelompok dominan juga perlu menampakkan solidaritas. Bagi Althuser (dalam Barker, 2009:60-62) keterkaitan antara kelompok dominan dan kebertahanan kelompok yang didominasi menimbulkan kegandaan ideologi sehingga muncul ideological complexes, yaitu ideologi yang dipandang sebagai kesadaran yang keliru yang merepresentasikan dunia secara terbalik (upside down) dan dalam bentuk yang diinversi. Dunia atau suatu realitas dilihat dari sudut pandang kelompok dominan dan pada saat yang sama juga dilihat dari sudut pandang kelompok yang didominasi. Ideological complexes muncul untuk menjaga hubungan antara kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Komponen ideological complexes terdiri atas dua model, yaitu model relasional (klasifikasi jenis
social agent, aksi, objek, dan lain-lain) dan model aksi
(spesifikasi aksi dan perilaku yang diharuskan, diizinkan, dilarang). Dengan demikian, ideologi dan ideological (content) digunakan untuk menunjukkan tingkat makna sosial dengan orientasi dan fungsi yang berbeda bagi setiap kelas sosial. Ideological complexes dirancang dengan tujuan untuk membatasi perilaku
49 melalui penstrukturan realitas yang mendasari aksi sosial dengan cara tertentu. Setiap pembuat suatu pesan bersandar sepenuhnya kepada si penerima. Konsekuensinya penerima pesan harus memiliki pengetahuan bagaimana cara membaca pesan itu. Contoh sederhana adalah joke. Pembuat joke seakan berkeyakinan bahwa pembaca atau lawan bicara mengetahui bahwa sesuatu yang disampaikan tidak untuk ditanggapi dengan serius walaupun kadang-kadang sesuatu yang disampaikan itu disertai oleh penanda joke. Namun, penerima bisa saja tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Di sini akan terjadi semacam ketidaksetaraan berpikir dan muncul semacam pengaturan fungsi pesan. Mekanisme kontrol seperti itu disebut sistem logonomis ‘logonomic system’. Logos berarti berpikir atau sistem berpikir yang kemungkinannya disajikan melalui kata atau wacana. Nomos berarti mekanisme pengontrolan atau pengaturan. Jadi, logonomic system adalah seperangkat kaidah yang menentukan pembuatan dan penerimaan makna berdasarkan spesifikasi siapa yang mengawali (memproduksi dan mengomunikasikan) atau mengetahui (menerima, memahami) makna tentang suatu topik, dalam suatu kondisi, dan dengan modus tertentu (bagaimana, kapan, mengapa). Logonomic system menentukan perilaku semiotika pada saat memproduksi dan menerima pesan sehingga kita bisa membedakan wilayah yang memproduksi (production regimes) dan wilayah yang menerima (reception regimes). Logonomic system dapat juga dianggap seperangkat pesan (isi komunikasi baik berupa joke, maupun yang lain), bagian dari ideological complexes dan dalam
praktiknya
berusaha
untuk
tidak
ambigu.
Logonomic
system
50 mengimplikasikan suatu teori masyarakat, suatu epistemologi, dan suatu teori modalitas sosial. Logonomic system merefleksikan kontradiksi dan konflik dalam formasi sosial. Logonomic system berkaitan dengan ideological complexes dari segi fungsi dan isi (content), terutama sekali dalam pengontrolan perilaku (semiosis). Teori ideologi digunakan untuk melihat ide atau gagasan pada setiap struktur yang ada dalam pertunjukan tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman. Penelitian ini pembahasannya diarahkan pada rumusan masalah pertama, yaitu bentuk relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Sementara Santosa (2010:3) mengatakan bahwa ideologi berarti kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga bermakna cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Pengertian lain adalah ideologi merupakan teori, paham, dan tujuan yang merupakan suatu program sosial.
2.3.2 Teori Hegemoni Hegemoni menurut Gramsci (dalam Barker, 2004:62) berarti situasi di mana suatu blok historis faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan konsesnsus. Hegemoni dibentuk melalui serangkaian aliansi di mana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Istilah hegemoni berasal kata heigeishtai yang berarti memimpin (Ratna,
51 2010:478). Memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan dalam hal ini bukan atas dasar paksaan, melainkan kesepakatan. Konsep hegemoni menjadi populer setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, tetapi melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat
atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . Nilai dominasi ideologis yang melahirkan teori yang menyatakan realitas hegemoni. Dari sekian banyak teori hegemoni, teori hegemoni Antonio Gramsci mempunyai kedudukan yang penting. Gramsci membangun teori yang menyatakan bagaimana akseptasi kelompok yang didominasi oleh dan dengan keberadaan kelompok dominan. Proses akseptasi tersebut berlangsung dalam proses yang damai tanpa represi kekerasan. Atau dengan kata lain, hegemoni borjuis tidak melalui proses pemusnahan kelas pekerja, tetapi melalui artikulasi budaya dan afiliasi ekonomi-politik masyarakat. Ini berarti bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat
52 material, tapi juga bersifat budaya. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan dari kelompok yang didominasi oleh kelas elite penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral, dan politik. Melalui hegemoni, penyebaran (distribusi) ide dan nilai memasuki ruang kewajaran. Dalam arti tertentu, ideologi yang hegemonik mengandaikan percampuran dengan praksis sosial. Rudiyansjah (2009:22) menambahkan bahwa kekuasaan memiliki dampak yang sangat pesat terhadap masyarakat. Foucault (dalam Audifax, 2006:228) mengatakan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem untuk dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk terhadap beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan tidak dipahami dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, tetapi berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan. Dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan legitimasi. Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu memegang mandat kekuasaan. Keabsahan di sini selalu diartikan sebagai sifat normatif. Upaya mempertanyakan keabsahan wewenang kekuasaan berarti memperbandingkan wewenang dengan norma. Apabila sesuai dengan norma yang berlaku, maka wewenang itu sah. Apabila tidak, wewenang itu tidak sah. Strategi legitimasi akan sangat efektif bila mampu berasosiasi dengan akal sehat, norma, dan ideologi yang berlaku secara umum. Wajar apabila dalam kepentingan ini, kelompok dominan cenderung mengontrol institusi yang mempunyai akses terhadap ilmu pengetahuan dan opini publik. Institusi ilmu
53 pengetahuan dan opini publik mempunyai otoritas yang kuat, bahkan dapat disebut sebagai pusat “klaim kebenaran”. Klaim kebenaran bukan semata-mata karena mereka mempunyai akses utama terhadap media massa atau wacana publik, melainkan semata-mata karena institusi tersebut mempunyai hasil atau produk yang incontrovertible, dapat diandalkan, dan ilmiah. Hegemoni dapat memengaruhi atau berdampak terhadap kehidupan pihak yang terhegemoni (Sukeni, 2010:17). Teori hegemoni digunakan untuk melihat faktor penyebab terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman. Pembahasan penelitian ini diarahkan pada rumusan masalah kedua, yaitu apakah faktor pendorong terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat.
2.3.3 Teori Semiotika Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion, yang berarti tanda. Ferdinand de Saussure banyak meneliti sistem tanda dalam bahasa dan menyebut ilmunya itu dengan semiologi (Teeuw, 1984:46-47). Charles Sanders Peirce, seorang ahli filsafat Amerika banyak meneliti tanda menyebut ilmunya itu dengan semiotika (Zoest, 1993:1-7). Antara semiotika dan semiologi mempunyai pengertian yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda (Santoso, 1993:3). Istilah semiologi lebih cenderung mengacu kepada Saussure, sedangkan pemakaian semiotika lebih cenderung mengacu kepada Peirce. Semiotika adalah studi semiosis secara umum, yaitu proses dan efek-efek dari produksi, reproduksi, penerimaan, dan sirkulasi makna dalam semua bentuk yang digunakan oleh semua
54 pihak yang terlibat dalam komunikasi. Untuk penelitian ini teori semiotika yang dipakai adalah model yang dikembangkan oleh Roland Barthes yang menggunakan perspektif sosiologis (Aart van Zoest, 1996:82-88). Barthes melihat hubungan antara langue dan parole dalam hubungannya dengan sistem objek, gambar, atau sikap yang belum dipelajari
dalam
semantik.
Menurut
Barthes,
sistem
pembedaan
yang
dikemukakan oleh Saussure mungkin sedikit diubah dalam melihat kostum atau busana. Dalam busana yang tertulis, artinya digambarkan oleh suatu majalah mode dengan bantuan bahasa yang diucapkan, sehubungan dengan itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada parole yang mengartikan bahwa busana yang "digambarkan" tidak pernah sesuai dengan realisasi individual aturan-aturan dalam mode. Ini merupakan suatu kesatuan sistematik tanda dan aturan yang merupakan langue dalam keadaan yang murni. Roland Barthes, tokoh semiotika Perancis mencoba menuntun pembaca atau penonton untuk memeroleh modus transaksi amanat. Tujuannya adalah agar tidak sia-sia melakukan interpretasi terhadap makna sebuah karya seni. Dia menawarkan lima kode untuk memeroleh modus transaksi amanat, yaitu (1) kode teka-teki (the hermeneutic code), (2) kode konotatif (the code of semes or signifiers), (3) kode simbolis (the syimbolic code), (4) kode aksian (the proairetic kode), dan (5) kode budaya (the cultural code or reference code) (Santosa, 1993:31 - - 34). Selden (1993:80) menegaskan juga dengan istilah yang lebih singkat dari pada kelima kode tersebut, yaitu hermeneutik, semik, simbolik, proairetik, dan kultural. Ditambahkan Selden (1993:79) bahwa Barthes adalah
55 pelaksanaan pascastrukturalis yang paling mengesankan. Ia mulai dengan singgungan atas kesia-siaan ambisi kaum naratologis strukturalis yang berusaha melihat semua cerita dunia. Kaelan (2009:163) menjelaskan prinsip semiologi Barthes mengarah pada bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal, segala sesuatu (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengomunikasikan
(to
communicate).
Sementara
Martinet
(2010:158)
mengatakan bahwa Barthes memahami istilah konotasi itu dan dalam pikiran Barthes konsep konotasi menjadi kekuatan sentral dari semiologi. Semiotika terutama sekali mengkaji semiosis manusia sebagai suatu fenomena sosial yang inheren, baik dari segi fungsi, sumber, konteks, maupun efeknya.
Semiotika
juga
berkaitan
dengan
makna-makna
sosial
yang
dikonstruksikan melalui berbagai bentuk semiotika, teks semiotika, dan praktikpraktik semiotika pada semua masyarakat manusia dan dalam semua periode sejarah manusia. Dalam Elements of Semilogy (1964), Barthes mengungkapkan elemen-elemen semiotika yang dapat dilihat pada objek penelitian. The Elements here presented have as their sole aim the extraction from linguistics of analytical concepts, which we think a priori to be sufficiently general to start semiological research on its way. In assembling them, it is not presupposed that they will remain intact during the course of research; nor that semiology will always be forced to follow the linguistic model closely.' We are merely suggesting and elucidating a terminology in the hope that it may enable an initial (albeit provisional) order to be introduced into the heterogeneous mass of significant facts. In fact what we purport to do is to furnish a principle of classification of the questions. Kode teka-teki merupakan belitan tanda tanya dalam batin yang dapat membangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban sebuah
56 pertanyaan inti yang tergantung dalam sebuah karya seni. Kode teka-teki dipakai bilamana berhadapan dengan sesuatu yang tidak segera dapat dipahami dan di situlah diperlukan usaha interpretasi. Sebuah pertunjukan tari ulu ambek banyak memerlukan interpretasi terhadap hal-hal yang ambiguitas, metafora, gerak-gerak arkais, lambang-lambang transendental, dan mitos. Dalam peristiwa semiotika, bagian analisis yang penting adalah wacana. Wacana adalah proses semiosis bukan produk atau teksnya. Wacana direalisasikan melalui teks dan tidak bisa dipindahkan dari teks. Karena wacana adalah signified dari suatu teks, analisis semiotika teks harus berbeda dari anlisis wacana. Kode
konotatif
ataupun
kode
semantis
merupakan
dunia
yang
ditransformasikan ke dalam pertunjukan yang bersifat lihatan. Pertama adalah transformasi dari pakaian penghulu ke permainan anak nagari. Dalam tari ulu ambek, tanda-tanda verbal itu menemukan keutuhannya. Makna pernyataan seluruh peristiwa yang ada dalam pertunjukan tari ulu ambek merupakan sebuah keutuhan pula. Penyebab konotatif itu sendiri adalah fakta sejarah yang telah dimodifikasi, artifisial, dan interpretatif yang sesuai dengan konteks action yang diinginkan subjektivitas pengarangnya. Relasi material tanda dalam suatu pesan adalah signifier dan acuannya (referent) adalah signified. Struktur sistem pesan dihubungkan ke struktur referent melalui kode yang mengorganisasi signified dan signifier melalui struktur paradigmatik yang kompetibel. Kode simbolik merupakan dunia perlambangan, yaitu dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Hal ini dapat dikenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau berbagai bentuk yang teratur,
57 mengulangi bermacam-macam mode dan bermacam-macam maksud dalam sebuah teks pementasan yang akhirnya menghasilkan pengertian tentang makna kode tersebut. Sistem tanda akan berfungsi lebih efektif dalam menghasilkan makna jika ada hubungan yang jelas antara signifiers dan signifieds dirasakan oleh semua pengguna tanda. Namun, hubungan yang kurang jelas dalam peristiwa semiotika menimbulkan tendensi berlawanan. Hubungan yang kurang tepat antara signifier dan signified, menyebabkan rusaknya sistem hubungan keduanya. Jadi, tanda ada yang transparan dan ada yang kabur (opague), bergantung pada tingkat kejelasan hubungan antara signifier-singnified. Kode aksian merupakan prinsip bahwa di dalam sebuah pertunjukan tari ulu ambek, perbuatan-perbuatan harus disusun dengan linier. Di dalam sebuah pertunjukan tari ulu ambek sebuah peristiwa atau kejadian tidak akan sama dengan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam seni tradisi lain. Pesan ditata melalui pemanfaatan metatanda. Metatanda menandai aspek-aspek yang berbeda dari suatu peristiwa semiotika dengan tujuan untuk membatasi perilaku semiotika pertisipan. Metatanda umumnya mengena dalam mengonstruksi pesan dan biasanya terdiri atas tanda transparan sebagai penanda. Kode budaya atau kode acuan merupakan peranan metalingual. Hal ini terlihat pada saat sebuah pertunjukan tari ulu ambek dihubungkan dengan persoalan-persoalan realitas budaya yang membangunnya. Latar sosial budaya yang terdapat dalam sebuah pertunjukan tari ulu ambek memungkinkan adanya kesinambungan budaya sebelumnya. Bisa juga merupakan penyimpangan budaya sebelumnya, baik sebagian maupun keseluruhannya, terhadap budaya yang telah
58 mapan. Dalam pertunjukan tari ulu ambek terlihat budaya yang melingkupinya, yaitu kebudayaan Pariaman, Minangkabau, dan kebudayaan Islam. Zoest (1993:1) mempertegas bahwa semiotika adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Robert Hodge dan
Gunter Kress,
dalam
Social
Semiotics
(1991:19),
mengemukakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda yang ada dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, semiotika menjadi ilmu dalam bidang kajian, seperti studi kebudayaan, studi sosial, studi media, film, fashion, dan barang-barang konsumer (Yasraf, 1998:262). Semiotika mempelajari semua sistem semiotika manusia karena ini bersifat sosial secara intrinsik dalam semua isi dan kondisinya. Semiotika mencakup kajian komunikasi antara entitas nonmakhluk (studi kode genetis, pertukaran energi dalam fisik). Komunikasi antara mesin (komputer) juga termasuk lingkup semiotika karena merupakan produk manusia dan mempunyai fungsi sosial. Fenomena semiotika selalu mempunyai dimensi acuan dan dimensi sosial dan harus dideskripsikan dari segi mimetic plane (realitas sebagai acuan) dan dari segi semiosic plane (peristiwa semiotika yang menghubungkan produser) dan penerima signifier dan signified dalam suatu hubungan yang signifikan. Pada pengkajian semiotika estetis dapat ditemukan adanya korelasi tandatanda estetis dengan masalah-masalah kesenian. Korespondensi antara penanda dan petandanya perlu mendapatkan pertimbangan secara estetis. Sifat tanda-tanda dalam karya seni adalah kreatif dan dinamis sehingga harus dapat ditemukan
59 kembali oleh penafsir. Kaidah penandaan dalam seni tidak pernah tetap, tetapi selalu berubah-ubah. Setiap seniman menciptakan tanda dalam karya seninya selalu bersifat individual, khusus, subjektif, dan berciri khas diikuti oleh mknamakna sertaan (Santosa, 1993:20). Pengkajian semiotika di bidang estetis mencakup semua jenis seni, yaitu seni bangunan, teater, lukis, pahat, ukir, patung, seni rupa, susastra, seni suara, musik, tari, arsitektur, interior, batik, dan sebagainya (Santosa, 1993:20). Semiosic plane (peristiwa semiotika) merupakan konteks yang penting bagi mimetic plane (realitas sebagai acuan) dan realitas sebagai acuan merupakan konstituen penting dari peristiwa semiotika. Interaksi keduanya penting untuk menghasilkan makna. Keduanya dimunculkan oleh proses dan struktur homologous
walaupun bisa
memicu makna yang berkontradiksi. Di samping semiologi Roland Barthes, kajian ini juga ditunjang oleh semiotika Charles Sanders Pierce. Pemikiran Pierce tentang objek bisa dibagi atas dua bagian yaitu pertama objek tanda atau objek representasi (immediete object) yang mendudukkan objek sebagaimana yang direpresentasikan oleh tanda dan kedua objek dinamik (dynamic object) berupa objek yang tidak bergantung pada tanda, malahan objek inilah yang merangsang penciptaan tanda (Cobley dan Jansz, 2002:22). Tanda merupakan suatu rangkaian secara sintagmatik yang diperlakukan sebagai suatu kesatuan. Rangkaiannya dipadu, baik secara sintagmatik
maupun
secara
paradigmatik
(sistem
klasifikasi).
Struktur
paradigmatik ditata berdasarkan seperangkat pilihan dan maknanya diturunkan dari tanda itu berdasarkan konteks dan latar sejarahnya.
60 Menurut C.S. Pierce (dalam Cobley dan Jansz, 2002:23 dan Budiman, 2011:17-23) setiap gagasan adalah tanda (every thought is sign). Pierce juga menekankan proses studi tanda. Semiotika baginya adalah doktrin
dari sifat
esensial dan variasi fundamental dari semiosis. Semiosis di sini adalah suatu proses, aksi tanda, bukan struktur bahasa atau kode. Yang dimaksud semiosis adalah aksi, suatu pengaruh, yang melibatkan kerja sama tiga subjek: tanda (sign), objeknya, dan interpretant. Semiosis adalah proses menghubungkan tanda, objek, dan interpretant. Interpretant adalah ide yang dihubungkan dengan tanda. Hubungan antara tanda dan interpretant masih dikontrol oleh relasi dengan objek dan eksistensi material. Aliran yang terus-menerus dari interpretant dikontrol oleh kebiasaan (habit), pengendalian berpikir (sistem logonomik) sesuai dengan unsur budaya tertentu. Pierce melihat makna sebagai suatu proses, bukan kualitas tanda atau teks. Begitu juga dengan interpretant yang dibagi atas tiga wilayah, yaitu sebagai berikut. Pertama, makna pertama (immediete interpretant) yang memanifestasi ketika memahami tanda secara bebas. Ini merupakan efek pertama atau potensi makna sebuah tanda sebelum adanya penafsir. Kedua, makna dinamis (dynamic interpretant) yang merupakan efek langsung tanda. Efek langsung yang betulbetul dihasilkan sebuah tanda pada penafsir, yang berbeda dari satu penafsiran lainnya. Ketiga, makna akhir (final interpretant) yang merupakan efek tanda yang relatif jarang berfungsi. Ini merupakan sesuatu yang pada akhirnya diputuskan sebagai tafsiran yang sebenarnya (Danesi, 2011:33-40). Satuan makna terkecil yang bisa memiliki eksistensi materi dengan bebas adalah pesan (message). Pesan
61 harus memiliki setidaknya satuan makna berupa tanda, yang ditata secara sintagmatis. Sintagmatis adalah kombinasi tanda dalam ruang dan waktu. Kolaborasi tiga sisi Peirce masih harus disandingkan dengan tiga wujud fenomena, yaitu kepertamaan (firstness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan (thirdness). Kepertamaan merupakan wilayah yang agak sulit dimengerti dan memahaminya harus dengan perasaan. Kepertamaan tidak memiliki relasi dan tidak untuk dihadapkan dengan benda lain. Kepertamaan hanya sebuah kemungkinan, seperti musik dalam kesenian ulu ambek, warna pakaian pemain ulu ambek, dan sebagainya. Kekeduaan adalah fakta langsung yang muncul dari sebuah relasi. Kekeduaan adalah sensasi yang muncul seketika saat pintu yang hendak ditutup, misalnya, ternyata macet karena ada yang mengganjal. Serta merta sebuah relasi muncul dan dunia menampakkan dirinya sebagai kumpulan benda dalam hubungannya dengan benda-benda lain. Keketigaan adalah wilayah hukum atau aturan umum. Keketigaan merupakan unsur mental dari fakta. Keketigaanlah yang menghubungkan yang pertama dan kedua. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada skema berikut. Skema 1 Jaringan Semiotika Charles Sanders Peirce
Representamen Kepertamaan Objek Kekeduaan Interpretant
Kualitas Kepertamaan
Fakta nyata Kekeduaan
Hukum/aturan Keketigaan
Qualisign
Sinsign
Legisign
Icon
Index
Symbol
Rheme
Dicent
Argument
62 Keketigaan Sumber: Mengenal Semiotika For Beginners, Paul Cobley dan Litza Jansz, 2002:31 Keterangan tabel: 1. Qualisign: representamen yang terbentuk oleh kualitas. 2. Sinsign: representamen yang terbentuk dari realitas fisis yang nyata. 3. Legisign: representamen yang terbuat dari hukum atau aturan. 4. Icon: tanda terhubung dengan objek tertentu karena keserupaan. 5. Symbol: tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan. 6. Index: tanda terhubung dengan objek tertentu karena hubungan sebab akibat. 7. Rheme: tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah kemungkinan. 8. Dicent: tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah fakta. 9. Argument: tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah nalar. Jacques Maquet (1986:98) menjelaskan semiotika Peirce dalam bukunya yang berjudul The Aesthetic Experience: An Anthropologist Looks at the Visual Arts sebagai berikut. Peirce’s icons include images, maps, and diagrams. Our notion of image agrees with his accptation of this term. For him, in “maps” and “diagrams” the similarity of sign and signified derives from internal organization and not from visual appearance. Peirce’s symbol is a conventional sign. In our use, referent corresponds to what calls symbol. We part company with Peirce and his followers in the social sciences on this important matter. Signification by participation is an essential type of relationship in the aesthetic field, and the word symbol was and still is used to denote it in the tradition of the humanities. This tradition is expressed in many important works. For instance, the used symbols as
63 nonconventional signs is constant in Jung. In the dictionary compiled by the members of the Societe francaise de Philosophie, the symbolic relationship is described as natural, and syimbol, as a sign “opposed to artificial sign in that it possesses an internal power of represetation; for example, the serpent biting its tail as symbol of eternity”. Peirce’s index “which refers to the Object that it denotes by virtue of being really affected by that Object” is a concept between indicator and symbol in our terminology. Like our indicator, the index is firmly associated to its signified, but like our symbol, it is connatural to it. For Peirce, the height of a mercury column in a thermometer is an index of temperature, and the symptoms of a disease are indices of that disease. Sebagai contoh dalam tari ulu ambek, seorang pemain kalau tidak hati-hati atau terlalu sombong, akan mendapat hukuman, yaitu ia seperti orang dungu dan takut hadir di arena tari ulu ambek. Gerak yang tidak menyentuh lawan juga merupakan simbol. Akan tetapi, gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan menyerang dan bertahan seperti halnya silat biasa. Namun, dalam tari ulu ambek gerak itu hanya dari jarak jauh dan ini merupakan fakta nyata, dan termasuk dalam dicent-indexical-sinsign (sebuah gerak yang muncul dan memerlukan penjelasan atas gerak tersebut dalam tari ulu ambek). Pierce mengklasifikasikan tanda menjadi tiga bagian, yaitu icon, index, dan symbol. Icon adalah tanda berdasarkan identitas seperti tanda lalu lintas. Index adalah tanda berdasarkan hubungan kausalitas seperti asap tanda ada api. Symbol adalah tanda yang menyatakan hubungan konvensional atau tanda yang bersifat manasuka seperti yang dikemukakan oleh Saussure, misalnya kuda, ayam, itik, dll. Pierce mengemukakan bahwa hubungan antara siginifier dan signified sering dapat diamati dengan mudah oleh pembuat tanda, tetapi tidak oleh penerima. Pierce menyatakan hubungan yang mudah diamati disebut transparent, sedangkan yang sulit diamati disebut opaque. Paparan di atas memperlihatkan dua
64 kemungkinan hubungan signifier dan signified, yaitu berhubungan secara alamiah atau tidak. Kemanasukaan pengungkapan tanda merupakan prinsip determinasi sosial tanda itu sendiri. Kemanasukaan (arbitrariness) pengungkapan tanda dapat dilihat pada iklan Marlboro yang telah dibicarakan pada bagian sebelumnya. Pergeseran dari Mild /maild/ ke Vile /vail/ tidak begitu kentara, tetapi maknanya sangat kontras. Di sini terlihat kemanasukaan bunyi pada dua buah kata. Kata cough kurang bersifat manasuka (arbitrary), tetapi lebih transparan. Ini didukung dengan adanya hack, cuck, cack, dan bunyi-bunyi lainnya yang relevan. Model huruf adalah jenis tanda yang mempunyai hubungan yang jelas dengan makna. Makna yang direfleksikan melalui model huruf, baik yang ditulis tangan maupun tidak, merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Jadi, tanda benar-benar transparan atau bersifat spesifik bagi masyarakat-masyarakat tertentu karena tanda itu bermakna akibat sentuhan teknologi maju sehingga tidak semua orang dapat menangkap makna di baliknya (Santoso, 1993:23). Fenomena tari ulu ambek merupakan dialektika antara teks pertunjukan dan penonton. Apabila kaidah dialektis itu diformulasikan, terlebih dahulu harus diketahui dan dijelaskan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh penonton; peneliti harus mengetahui apakah penonton diharuskan melihat apa yang di lihat atau penonton diberikan suatu kebebasan; dan peneliti harus menempatkan persepsi dalam urutan utama. Paradigma metodologis penelitian yang menjadi tumpuan semiotika adalah paradigma kualitatif (Hoed, 2011:7). Secara sosial (masyarakat), semiotika mengarah pada kelompok sosial yang memerlukan penanda kelompok. Penanda
65 tersebut akan menunjukkan identitas, kepaduan, dan yang membedakan dari kelompok lain. Sistem tanda yang menjadi penanda itu membawa makna sosial yang begitu penting. Makna yang dikomunikasikan melalui sistem tanda itu mengandung ideologi kelompok yang bersangkutan. Teori semiotika digunakan untuk melihat dampak dan makna dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman. Pembahasan penelitian ini diarahkan pada rumusan masalah ketiga, yaitu apakah dampak dan makna relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Tari merupakan komunikasi nonverbal yang lebih banyak menonjolkan gerak yang memiliki makna. Gerak tersebut dikomunikasikan dengan penonton sehingga penonton tidak bisa secara langsung memahami apa yang menjadi tujuan gerak. Gerak hanya perlambang dalam komunikasi. Hal ini dikatakan oleh Liliweri (2002:178) bahwa komunikasi nonverbal merupakan komunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, dan kontak mata. Konsep kebudayaan sebagai suatu simbol menurut Spradley (2007:7) memiliki makna yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Masyarakat sebagai pendukung kebudayaan menjadikan simbol seni sebagai bagian dari nilai yang menjadi rujukan mereka. Rujukan tari ulu ambek di Pariaman mengarah pada nilai kepemimpinan sehingga apa yang menjadi simbol selalu dikaitkan dengan simbolnya.
66 2.4 Model Penelitian Bagan model penelitian bisa dilihat seperti berikut ini. Budaya Pengangkatan Penghulu di Pariaman
Kuasa Penghulu
Tari Ulu Ambek
Globalisasi
Dinamika Tari Ulu Ambek
Teori Ideologi, teori Hegemoni, dan teori Semiotika
Bentuk Relasi Kuasa dalam Dinamika Tari Ulu Ambek pada masyarakat Pariaman
Faktor Pendorong Terjadinya Relasi Kuasa dalam Dinamika Tari Ulu Ambek pada masyarakat Pariaman
Makna Relasi Kuasa dalam Dinamika Tari Ulu Ambek pada masyarakat Pariaman
Temuan; eksistensi penghulu, tageh, bataratik, eksistensi kreatifitas
Relasi Kuasa dalam Dinamikan Tari Ulu Ambek pada Masyarakat Pariaman Sumatera Barat Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan Tanda: : Hubungan satu arah : Hubungan dua arah
67 Keterangan Model Penelitian ini dimulai dengan melihat adat dan budaya Pariaman dimana di dalamnya terdapat tari ulu ambek.
Tari ulu ambek merupakan kuasa dari
penghulu di Pariaman. Kondisi sekarang tari ulu ambek mengalami dinamika disebabkan oleh kuasa penghulu sebagai pemilik seni dan kuasa globalisasi yang datang kemudian. Hal ini bisa dilihat dari cara berpakaian, proses pelaksanaan dan waktu pelaksanaan. Dinamika dalam tari ulu ambek juga secara tidak langsung merupakan perubahan bentuk perilaku masyarakat Pariaman. Pengaruh globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan (Abdullah, 2009: 107). Nilai-nilai kebudayan luar yang beragam membentuk sub-sub kebudayaan sendiri dengan kebebasan berekspresi. Pengaruh budaya luar biasanya tidak disesuaikan dengan budaya yang berkembang pada masyarakat sehingga memengaruhi kultural yang ada pada masyarakat setempat. Perilaku masyarakat Pariaman akan dipengaruhi oleh perilaku yang datang kemudian yang menyebabkan terjadinya perubahan kekuasaan. Kuasa sebelumnya diperankan oleh penghulu, namun setelah globalisasi masuk maka kuasa juga berubah. Penghulu tidak sepenuhnya menentukan fenomena tari ulu ambek, tetapi juga kondisi global. Untuk itu perlu ada relasi kuasa agar kebertahanan tari ulu ambek bisa terus berlangsung tanpa ada yang dirugikan. Dinamika tari ulu ambek sebetulnya mulai sejak zaman pra Islam, zaman Islam dan kondisi sekarang. Fenomena tari ulu ambek secara tidak langsung juga menggambarkan kondisi masyarakat Pariaman. Dalam tari ulu ambek terdapat
68 etika dan estetika. Tari ini dipertunjukkan dalam acara alek nagari (pesta desa) pengangkatan penghulu yang merupakan sebuah institusi budaya dalam masyarakat Pariaman. Etika dan estetika tari ulu ambek ini secara tidak langsung menggambarkan kondisi masyarakat Pariaman. Untuk mengungkapkan kondisi masyarakat tari ulu ambek tersebut digunakan teori ideologi. Teori hegemoni membedah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman. Faktor utama adalah adat dan budaya dimana di dalamnya terdapat perilaku terhadap dinamika sosial, pendidikan, ritual, agama, estetika, ekonomi dan moralitas. Sementara faktor pendukung lainnya adalah pemerintah yang mengambil peran terhadap hegemoni masyarakat Pariaman. Bentuk ideologi dan faktor yang mempengaruhi terjadinya relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek di masyarakat Pariaman harus dimaknai agar ditemukan cara yang pas untuk kebertahanan yang masih sesuai dengan kondisi sekarang. Proses pengungkapan makna ini dipergunakan teori semiotika dimana seluruh tanda budaya memiliki makna. Simbolisme adat, ritual kemanusian, estetika masyarakat, solidaritas dan kesejahteraan masyarakat merupakan wilayah pemaknaan. Hal ini akan mempermudah jalan untuk menemukan perilaku yang pas untuk masyarakat Pariaman. Kebertahanan dilakukan dengan konsep bataratik, tageh dan kreativitas untuk eksistensi. Bataratik merupakan wilayah perilaku manusia dalam berkesenian dan dalam hidup bermasyarakat. Tageh merupakan wilayah estetika seni yang terurai lewat keindahan gerak tari ulu ambek. Sementara kreativitas untuk eksistensi merupakan wilayah pengembangan
69 seni untuk masa depan. Tiga hal yang menjadi temuan merupakan hal yang perlu ditindaklanjuti agar menjadi etika dan estetika berkesenian dan etika dan estetika bermasyarakat bagi masyarakat Pariaman. Etika dan estetika berkesenian dan etika dan estetika masyarakat merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Antara seni dan perilaku manusia selalu ada kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung.