BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Untuk menunjukkan keaslian, menemukan teori, landasan berpikir, inspirasi dan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan penelitian, maka diperlukan penelusuran terhadap bahan pustaka berupa hasil penelitian terdahulu maupun bahan pustaka berupa buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. Kajian pustaka bermanfaat untuk menambah wawasan, member inspirasi, sebagai acuan men -dapatkan teori dan konsep, memahami metode serta relevansinya dengan penelitian. Adapun kajian pustaka yang digunakan adalah buku teks, bahan paduan spiritualitas seminari, dan artikel dari majalah AGAPE, dan majalah “Hidup”. Kajian tentang tantangan spiritualitas calon imam di Seminari Menengah Tuka Dalung belum pernah dilakukan. Dengan demikian bahan acuannya akan diambil dari beberapa studi lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Penelitian Patrisius Woda Fodhi Trisno (2009), Misteri Salib Mgr. Gagriel Manek, SVD: Inspirasi Bagi Penghayatan Imamat para Imam Diosesan di tengahtengah Umat“ mengatakan, Spiritualitas Imam Diosesan bersumber dari Yesus Kristus. Ia mengilhami semangat Yesus Kristus di Keuskupan dengan seluruh kekayaan social, budaya, religius yang ada pada umat. Spiritualitas Imam Diosesan secara mandiri bersumber dari keprihatinan, sejarah, komitmen,dan pergumulan Keuskupan terkait. Spiritualitas Yesus hidupi adalah Yesus yang senantiasa bekerja dan berdoa. 14
15
Tulisan tersebut mempunyai kesamaan atau relevansi dengan penulisan tesis ini terutama pada kajian spiritualitas, bagaimana mengupas semangat kehidupan seorang imam sehingga dapat digunakan sebagai pijakan dalam pemahaman konsep spiritualitas pendidikan calon imam. Perbedaannya terletak pada
subyek penelitian. Penelitian Trisno lebih kepada penelitian pustaka,
sedangkan subyek penelitian ini tertumpu pada para siswa seminari . Dalam buku yang berjudul Religiositas, Agama & Spiritualitas karya Agus M. Hardjana (2005), dikatakan bahwa Spiritualitas merupakan peningkatan hidup beragama yang bersumber pada religiositas. Dalam spiritualitas, hidup beragama diangkat mengatasi formalitasnya dan dibawa pada sumbernya, yaitu Allah sendiri. Dengan menghayati spiritualitas, orang beragama menjadi orang spiritual, yaitu orang yang menghayati Roh Allah dalam hidup nyata sehari-hari sesuai dengan panggilan dan peran hidupnya. Ia menyerap seluruh nilai spiritual dan mengarahkan diri serta hidupnya berdasarkan nilai-nilai spiritualitas yang menciptakan gaya hidup serta perilaku menurut nilai-nilai spiritual itu. Dalam penghayatan agama, orang spiritual memahami dogma, menjalankan ibadat, melaksanakan moral, dan mendayagunakan lembaga agama secara berbeda dan dalam tingkat yang lebih tinggi daripada orang yang hanya menjalankan agama. Martasudjita (2007:26) dalam bukunya “Spiritualitas Tahan Banting”, mengatakan kemunduran hidup rohani disebabkan kemalasan dalam doa. Dikatakan bahwa orang yang malas berdoa akan mudah mengalami krisis rohani. Selanjutnya kurangnya disiplin dalam pengekangan diri (askese atau matiraga) terhadap hal-hal lahiriah-ragawi. Ajaran iman kristiani sangat menghargai
16
kemanusiaan atau hal-hal manusia Tubuh amat bernilai dan terhormat dalam tata penciptaan. Akan tetapi, tentu tidak dibenarkan segala bentuk penyalahgunaan hal-hal lahiriah ragawi. Orang perlu mengekang diri terhadap berbagai hal yang mengagungkan kenikmatan ragawi, kecenderungan dan keinginan
yang
konsumeris dan hedonis, keinginan yang serba nyaman dan lengkap, baik dalam hal elektronik, alat- alat komunikasi (misalnya handphone) maupun transportasi. Juga perlu disiplin terhadap kecenderungan tubuh atau gaya hidup yang ingin serba enak dan nikmat. Paulinus Yan Olla (2008:128) dalam bukunya “Dipanggil menjadi Saksi Kasih: Spiritual Misioner dalam Teologi Spiritual Seorang misionaris” mengatakan pada dasarnya seseorang dipanggil untuk memelihara dan memupuk dalam hidupnya kepekaan akan karya Roh Kudus (pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal, yang menuntut orang Kristiani hidup sejalan dengan kehendak Tuhan). Ketaatan total pada dorongan dan karya Roh Kudus merupakan unsur pokok dalam spiritualitas missioner. Misionaris dalam ketaatan tanpa syarat akan bimbingan Roh Kudus memberi kemungkinan pada Roh Kudus untuk berkarya dalam dirinya. Karya Roh Kudus tidak lain adalah membentuk sang misionaris dari dalam dirinya semangat dan sikap hati yang semakin lama semakin menyerupai semangat dan sikap hati Yesus misionaris sejati
lebih lanjut
dikatakan bahwa kontemplasi dan doa
sebagai unsur fundamental dalam hidup rohani menjadi tuntutan yang diserukan agar dihayati para misionaris. Perjalanan hidup rohani para religious dalam doa
17
dan kontemplasi serta penyerahan hidupnya melalui profesi kaul-kaul religious merupakan salah satu cara menempuh kesucian hidup. Paul Suparno (2009) dalam bukunya “Saat Jubah Bikin Gerah, hidup berkomunitas, tugas perutusan, doa & motivasi “ mengatakan demikian dalam Injil Yesus bersabda, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak berbuat apa-apa “(Yoh 15:5). Hanya jika menyatu dengan dengan pokok, ranting akan hidup, dan akhirnya dapat menghasilkan buah. Tanpa bersatu dengan pokok itu, ranting akan kering dan mati. Gambaran bagi kaum membiara menunjukan kesatuan dengan Tuhan secara pribadi menjadi dasar penting karena kesatuan itulah yang menghidupkan panggilan hidup. Persamaannya adalah relasi pribadi dengan Yesus itu dapat dipupuk dengan bermacam-macam cara seperti melakukan karya kerasulan Tuhan, menerima sakramen, melakukan ibadat, bertukar pengalaman iman dengan sahabat, membaca dan mendengarkan sabda Tuhan dalam Kitab Suci, hidup dalam kasih, berdoa bersama, dan terutama dengan doa pribadi kepada Yesus sendiri. Lewat doa pribadi itulah dibina secara khusus dan intim relasi dengan Tuhan. Perbedaannya ada pada substansi penelitiannya. Beberapa tulisan yang digambarkan di atas memberi inspirasi kepada penulis untuk membantu mengindetifikasikan masalah dan menemukan solusi bagi para Pembina untuk membantu pembinaan bagi para siswa Seminari Roh Kudus Tuka Dalung.
18
2.2 Konsep Konsep merupakan angan yang ada dalam pikiran manusia yang dituangkan dalam makna yang dibatasi agar bisa menuntun alur dalam penelitian. Koentjaraningrat (1993: 21) mengatakan konsep adalah unsur pokok dari suatu penelitian, didefinisikan secara singkat sebagai “sekelompok fakta atau gejala dari apa yang diamati dalam penelitian”. Konsep merupakan pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit dalam menggambarkan keadaan individu, kelompok, dan masyarakat yang menjadi obyek perhatian juga merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga bisa dijadikan pedoman dalam melangkah ke depan. Singarimbun (1995: 45) menyatakan konsep digunakan untuk menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan istilah yang dapat digeneralisasikan. Semakin dekat konsep dengan realita, semakin mudah konsep tersebut diukur dan diartikan. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah istilah-istilah kunci (pokok) untuk menggambarkan fenomena yang hendak diteliti. Konsep-konsep pokok yang diketengahkan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini adalah konsep tantangan pengembangan spiritualitas calon imam, konsep spiritualitas calon imam, konsep pendidikan calon imam, konsep seminari Roh Kudus, konsep dusun Tuka Dalung Bali. Masing-masing konsep akan diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Tantangan Pengembangan Spiritualitas Calon Imam Tantangan ialah (a) panggilan untuk terlibat dalam perkelahian, kontes, atau kompetisi, (b) tindakan atau pernyataan membangkang, sebuah konfrontasi,
19
(c) permintaan untuk penjelasan atau pembenaran tentang sebuah teori, (d) sebuah tes terhadap kemampuan atau sumber daya seseorang sekaligus memberdayakan (http://www.thefreedictionary.com) Kesuksesan terbesar hadir lewat kebiasaan berurusan dengan serangkaian tantangan bukan dengan menghindari tantangan. Tantangan akan menggairahkan seseorang, memberi arah, dan membangkitkan yang terbaik dalam diri seseorang. Tantangan mendorong setiap individu untuk mempelajari ketrampilan baru, meraup pengetahuan baru. Dengan kata lain tantangan memotivasi seseorang untuk memberi hasil terbaik dari dalam dirinya. Ada tantangan bukan untuk memojokkan tetapi untuk mendorong, memotivasi agar menghasilkan yang terbaik dalam mencapai target. Memang tantangan itu sulit dan tidak menye nangkan. Tetapi hal itulah yang memberikan arti dan nilai. Setiap perjalanan selalu ada tantangan, ada kebimbangan, dan keraguan. Tetapi para seminaris perlu memandang setiap tantangan sebagai bentuk peluang untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam artikel yang dilansir (http://www.id.articlestreet.com/) dipaparkan bahwa untuk pertumbuhan secara rohani di dunia ditentukan oleh kekuasaan, uang. Kemudahan modern seperti peralatan elektronik, gadget, dan peralatan serta hiburan melalui televisi, majalah, dan web telah membatasi perhatian banyak orang untuk kebutuhan fisik dan keinginan. Introspeksi diri diperlukan untuk melihat hal-hal yang terjadi dalam diri baik perbuatan buruk maupun perbuatan baik. Setiap Manusia harus melihat dari dekat dan merenungkan pikiran, perasaan, keyakinan, dan motivasi. Secara
20
berkala memeriksa pengalaman, keputusan yang dibuat, hubungan yang ada, dan hal-hal yang terlibat dalam memberikan wawasan yang berguna pada tujuan hidup ,pada sifat-sifat yang baik yang harus dpertaihankan dan sifat-sifat buruk yang harus membuang. Selain itu, memberikan petunjuk tentang bagaimana bertindak, bereaksi, dan melakukan sendiri di tengah-tengah situasi apa pun. Seperti keterampilan apapun, introspeksi bisa dipelajari, yang dibutuhkan adalah keberanian dan kemauan untuk mencari kebenaran yang terletak di dalam diri sendiri. Pengembangan diri merupakan bagian dari proses transformasi menjadi manusia dengan kesadaran seutuhnya. Pengembangan mengungkapkan upaya pencapaian kondisi yang ideal. Pemgembangan berarti proses, cara, perbuatan mengembangkan menjurus ke sasaran yang dikehendaki. Dengan mengetahui proses, cara dan konsep perkembangan seseorang akan memudahkan pencapaian pembelajaran yang efektif, efesien, terarah sesuai dengan perkembangan siswa. Pengembangan panggilan, termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi
seminari
pertama begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur. Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat
21
menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela. Hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri. Menuru Agis Triatma dalam artikel yang ditulis 30 Maret 2012, tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan serta segala tenaga maupun daya-upaya. Hendaknya mereka, sebagai bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya. Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakat-bakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka. Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayanGereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja. Konsili terutama menganjurkan upayaupaya bantuan kerja sama umum yang tradisional, misalnya doa yang tekun, ulah
22
pertobatan kristen, serta pembinaan umat beriman yang makin mendalam melalui pewartaan dan katekese, pun dengan memanfaatkan pelbagai upaya komunikasi sosial, semuanya untuk menjelaskan betapa perlu panggilan imam itu, dan hakekat maupun keluhurannya. (dari internet, Iman Katolik, Media informasi dan sarana katekese, http://www.imankatolik.or.id/ kvii). Selain itu Konsili memerintahkan, supaya karya-karya untuk panggilan, yang menurut dokument-dokument kepausan yang bersangkutan telah atau masih harus didirikan disetiap keuskupan, daerah atau negara, mengatur secara metodis dan serasi seluruh kegiatan pastoral untuk menumbuhkan panggilan, dan selanjutnya dengan bijaksana dan penuh semangat memajukan kegiatan itu. Sementara itu hendaklah jangan diabaikan upaya-upaya pendukung, yang penuh manfaat disediakan oleh ilmu-ilmu psikologi dan sosiologi zaman sekarang. Begitu pula karya untuk mengembangkan panggilan, dijiwai hati yang lapang terbuka, harus melampaui batas-batas masing-masing keuskupan, negara, tarekat religius dan ritus, sertamemperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta, pertama-tama membantu daerah-daerah, yang secara lebih mendesak membutuhkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur Tuhan.
2.2.2
Spiritualitas Calon Imam Membangun spiritualisme adalah usaha melakukan penyegaran dan
penguatan mental atau rohani berupa keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman atau tuntunan. Membangun spiritualitas dapat dilakukan dengan berbagai media. Salah satunya adalah membangun spiritualitas yang bersumber
23
dari agama atau religi, yang dinamakan spiritualitas religius. Spiritualias religius pada dasarnya merupakan bentuk spiritualitas yang bersumber pada ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spitual yang lebih kuat, murni,suci, terarah dan abadi. Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasi “spirit” sebagai berikut (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian). Menurut Hardjana (2005: 64), spiritual berasal dari kata Latin spiritus yang berarti roh, jiwa, semangat. Dari kata Latin ini terbentuk kata Perancis l’esprit dan kata bendanya la spiritualite, yang dalam Bahasa Indonesia dijadikan spiritualitas. Spiritualitas merupakan kata yang dilawankan dengan kata “material “atau “korporalitas”. Konsep di atas menunjukan spiritualitas bersifat atau berkaitan dengan roh yang berlawanan dengan materialitas atau berkaitan dengan kebendaan atau korporalitas yang berarti bersifat tubuh, badani, atau berkaitan dengan tubuh atau badan. Spiritualitas sering diartikan hidup saleh dan berbakti kepada Allah (devout life). Agar penghayatan spiritualitas menjadi konkrit dan jelas, maka dalam praktek spiritualitas diwujudkan dengan mengikuti jejak atau hidup tokoh-tokoh agama entah para pendiri agama atau para pengikut agama yang dapat diteladani.
24
Menurut Dictionary of Advanced Leaners, spirit yang merupakan akar kata dari spiritualitas memiliki beberapa pengertian seperti soul, demon, dan magic. Sementara dapat dipahami bahwa spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak kasat
mata, intangible, namun bisa dirasakan
eksistensinya. Dalam konteks jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai atau kualitas di balik sosok atau perwujudan suatu benda atau obyek. Muhammad Arkoun berpendapat bahwa, “The concept of spirituality is loaded with complex and different meanings; it is used loosely in contex different as religion, architectura, music, painting literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology, esoteric knowledge, et cetera.”
Menurutnya, konsep spiritualitas itu memiliki spektrum intrepretasi yang sangat luas. Hal ini setidaknya memberikan kesempatan bagi seseorang untuk memiliki pemahaman sekaligus memberikan interpretasi yang beragam terhadap kata spiritualitas itu sendiri, bergantung kepada konteks di mana kata spiritualitas itu dipergunakan atau diasosiasikan. Menurut Hardawiryana (2000:12) istilah “Spiritualitas “dalam arti“ corak hidup“, berkaitan erat dengan pengertian πνєυμάτικκоς (“ pneumatikos “, manusia rohani), orang yang hidup oleh Roh (bdk. Rom 8: 1-17), menghayati eksistensi Kristiani. Sejak abad XVII, di Prancis istilah “espiritualité “ makin mantap yang berarti hubungan pribadi manusia dengan Allah, dengan kian menekankan aspek subyektifnya. Spiritualitas dihayati sebagai sikap dasar praktis atau eksistensial orang beriman yang mencakup cara-caranya yang biasanya beraksi dan bereaksi
25
selama hidupnya menurut pendirian rohani beserta keputusan-keputusannya yang obyektif terdalam. Bertitik tolak dari konteks seperti itu, tantangan pengembangan spiritualitas calon imam seminari Tuka, pemenuhan aspek spiritual pada para seminaris tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi manusia yang harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinteraksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya. Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja,dewasa dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek spiritual dilihat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi.
2.2.3 Pendidikan Calon Imam Secara etimologi kata calon artinya bakal (yang akan menjadi), orang yang dikemukakan atau di usulkan supaya dipilih (diangkat dsb) menjadi, kandidat, misalnya nama-nama untuk pemilihan umum sudah disampaikan kepada Panitia Pemilihan. Sedangkan imam adalah pemimpin solat (pada solat yang digunakan bersama-sama seperti pada hari jumat), yang diikut pemimpin, kepala (dipakai juga
sebagai
gelar,
yang
berarti)
pemimpin,
penghulu,
paderi
yang
mempersembahkan kurban Misa atau memimpin upacara-upacara gereja Katolik
26
Roma. Calom imam berarti seseorang yang bakal menjadi pemimpin gereja atau seorang yang dipilih, ditahbiskan yang kemudian akan menjadi pemimpin umat. Seorang calon imam yang berkepribadian dan berkerohanian baik harus benar-benar melaksanakan dan menghayati ekaristi dan doa. Melalui doa seorang calon imam menjalin relasi interpersonal dan menjalin dialog cinta dengan Allah. Selain itu, dapat memberikan kekuatan bagi calon imam agar berani menghadapi setiap tantangan yang dihadapi dalam perjalanan panggilannya. Doa adalah kekuatan dan partner hidup seorang calon imam. Untuk dapat menyukseskan cita-cita ini, para calon imam yang sedang mengikuti pandidikan dan pembinaan di seminari, harus belajar dengan sungguh-sungguh dan menaati aturan-aturan yang ditetapkan seminari. Dengan menyadari dan menaatinya, seorang calon imam mantap dalam intelektual maupun rohani atau kepribadian dan siap untuk menerima tritugas Yesus menjadi Imam, Raja dan Nabi yang akan diembannya nanti.
2.2.4
Seminari Roh Kudus Tuka Dalung Seminari merupakan sebuah lembaga khusus dan istimewa karena
seminari adalah wadah pendidikan dan pembinaan orang-orang terpanggil untuk menjadi imam. Lembaga khusus yang memberikan pendidikan dan pembinaan para calon imam sangat berbeda dengan lembaga pendidikan setingkat lainnya. Lembaga pendidikan swasta yang mendidik dan membina calon-calon agen pastoral membantu bekerja di ladang Tuhan. Seseorang yang mau menjadi imam, pada prinsipnya perlu menjalani proses pendidikan dan pembinaan di seminari menengah. Seminari menengah
27
menjadi tempat pertama untuk menyemaikan benih-benih panggilan orang-orang terpanggil sebelum ke seminari tinggi hingga ditahbiskan menjadi imam. Seminari merupakan tempat persemaian benih-benih panggilan memiliki komponen-komponen keberlangsungannya.
khusus
yang
Komponen-komponen
dianggap tersebut
sebagai terdiri
atas
penunjang lembaga
keagamaan (KWI dan Keuskupan), para guru dan pembina, orang tua, karyawan, dan pihak-pihak terkait lain yang langsung atau tidak langsung ikut mendukung panggilan para calon imam. Semua komponen ini dengan cara dan kemampuannya ikut mendukung, mendidik, dan membina para seminaris tersebut. Sebagai lembaga calon imam, seminari menghadirkan pelbagai kegiatan rohani demi mendukung perkembangan kepribadian dan kerohanian calon imam. Kegiatan-kegiatan itu seperti ekaristi (perjamuan suci, holy communion), doa, meditasi, sharing, bacaan rohani, dan lain-lain. Seminari Roh Kudus yang terletak di Desa Tuka Dalung ini didirikan pada tahun 9 Juli 1953 oleh seorang pastor berkebangsaan Amerika P. Nobert Shadeg, SVD. Kerinduannya agar tumbuh benih- benih panggilan yang ada dalam diri anak-anak di Keuskupan Denpasar. Dengan motivasi serta dana yang minim, dibangunlah beberapa unit bangunan seperti asrama, ruang kelas, kapela dan dapur. Pada tahun 1981 Seminari Roh kudus membuka tingkat SMU (Sekolah Menengah Umum) namun kegiatan belajar mengajarnya bergabung dengan SMAK (Sekolah Menengah Atas Katolik) Thomas Aquino Tangeb. Tahun 2010 Seminari Roh Kudus resmi menjadi sekolah yang mandiri semua kegiatan belajar
28
mengajar dilakukan di seminari dengan fasilitas yang memadai. Seminari Roh Kudus telah berusia 58 tahun. Lembaga pendidikan calon imam ini telah melewati perjalanan sejarah yang panjang.
1.2.5
Dusun Tuka Dalung Tuka adalah sebuah dusun kecil terletak di wilayah kecamatan Kuta Utara
yang berada di selatan Pulau Bali, kabupaten Badung kurang lebih tujuh kilo meter dari kota Denpasar. Mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di desa Tuka ini iman umat Katolik tumbuh dan berkembang. Karya misi gereja yang dimulai sejak 1935 telah berakar kuat dalam budaya setempat. Umat katolik Tuka dengan kekhasannya tidak hanya hidup dalam kultur Bali tetapi juga dalam merayakan imannya. Karya misi sebagai dialog antar budaya berkembang di Tuka. Menurut Gusti Bagus Kusumawanta (2009: 14), dalam bukunya Gereja Katolik di Bali mengatakan, kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaan (rwabhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala), dan kondisi riil di lapangan (patra) menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan seperti nilai religious, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan. Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial
29
yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali. Bagi umat beriman Katolik budaya Bali merupakan bagian dari hidup beriman yang harus terus dipelihara.
2.3 Landasan Teori Dalam mengungkapkan fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menginterpretasi data dalam penelitian ini digunakan beberapa teori untuk memudahkan dalam pengorganisasian data. Teori dimanfaatkan menelaah hasil penelitian. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variable merupakan karakteristik dari orang-orang, bendabenda, atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda misalnya, usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya (Soekanto, 2006: 26). Adapun teori yang digunakan adalah
teori pendidikan kritis, teori budaya anak muda, teori
dekonstruksi dan teori kritis. Teori-teori tersebut dirinci dan dideskrisikan sebagai berikut.
30
2.3.1
Teori Pendidikan Kritis Secara etimologis istilah kritis (critic dan kritikos) dalam bahasa Yunani
artinya kemampuan untuk mengenali atau menganalisa dan menilai sesuatu (dalam kamus Webster). Kritik berarti kemampuan untuk mengemukakan opini atau argument dengan alasan yang jelas tentang sesuatu (Lubio, 2006: 8). Selanjutnya, Lubio mengatakan, ilmu kritis (critical knowledge, emansipatory knowledge) yang dikembangkan melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Ada kepentingan untuk membebaskan individu atau masyarakat dari kondisi ketidakadilan. Istilah pendidikan menurut Umi Chulsum dan Windy Novin (2006: 195) mengatakan secara etimologis berasal dari kata didik (mendidik) yang berarti memberi ajaran atau tuntutan mengenai tingkah laku kesopanan dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya dijelaskan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang, kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Paulo Freire (2008: 37) memiliki pandangan bahwa pendidikan bukanlah hanya sekedar proses transfer ilmu, tetapi lebih dari itu merupakan proses kejiwaan atau secara lebih luas proses serta praktek kebudayaan menuju penyadaran diri
(conscientizacao). Selanjutnya
dikatakan secara
krusial
pendidikan adalah proses penyadaran secara kritis. Proses ini bisa disebut sebagai proses emansipatoris. Teori ini muncul untuk memahami simpul-simpul kunci untuk mengurai atau menganalisis permasalahan yang sedang terjadi dengan
31
menggunakan titik pandang kajian budaya untuk menjelaskan fenomena kehidupan masyarakat kontemporer. Teori pendidikan kritis ini bermanfaat sebagai fungsi pengontrolan terhadap sistem pendidikan yang berlaku. Setiap masalah yang berkaitan dengan dunia pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan selalu ditanggapi dengan sikap kritis dari semua pemangku kepentingan, karena ia akan selalu mengkritisi pendidikan calon imam di Seminari Tuka, Dalung, Bali. Teori ini untuk membahas rumusan masalah pertama, yaitu tentang upaya yang dilakukan untuk mendukung spiritualitas pendidikan calon imam di Seminari Roh Kudus Tuka Dalung. Makna dialog dalam konsep Freire dirujuk pula. Dialog dengan Tuhan dalam doa dapat dijadikan dasar pembedaan fenomena “berdoa” yang kering dan jarang di kalangan siswa Seminari Tuka. Dengan demikian secara teoritis pula pengembangan kebiasaan berdoa diupayakan secara bersistem dalam pendidikan calon imam.
2.3.2 Teori Dekonstruksi Teori dekonstruksi Derrida (Barker,79:2004) banyak dihubungkan dengan praktik dekonstruksi. Mendekonstruksi berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi suatu teks verbal dan non verbal. Dekonstruksi melibatkan pelucutan oposisi biner hierarkis semisal tuturan/tulisan, realitas/kenampakan alam/ kebudayaan, nalar, dan lain-lain, yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian ‘inferior’ oposisi biner tersebut. Dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks, asumsi yang tak diketahui akan menjadi landasan kerja.
32
Tejdoworo (2001: 68) mengatakan fungsi dekonstruksi mengandaikan bahwa imajinasi tidak sekadar membangun keterkaitan konsep atau imaji dalam suatu keseluruhan keterpahaman (inteligibilitas) yang kokoh, melainkan juga meruntuhkan keseluruhan itu menjadi fragmen-fragmen yang sering kali tak berhubungan lagi. Imajinasi menjadi semacam self- decontructor, penghancur apa yang dihasilkannya sendiri. Menghancurkan keseluruhan itu menjadi kepingankepingan bahkan kadang menjadi remah-remah atau debu yang tak berarti lagi. Dan hanya imajinasilah yang sanggup melakukan ini, melepas-lepas unsur-unsur yang menyusun keseluruhan, namun tidak sebagaimana ketika menkonstruksinya, hingga menghasilkan fragmen-fragmen yang sama sekali lain dengan
bahan
dasar-nya. Dekonstruksi adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang tersembunyi di balik konsep-konsep dan keyakinan yang melekat selama ini. Dengan demikian teori ini akan membantu penulis untuk membahas masalah kedua yakni membongkar dan mengubah struktur pemahaman sebagai faktor yang memengaruhi tantangan pengembangan spiritualitas juga membongkar kesenjangan yang ada dalam lembaga pendidikan Seminari Roh Kudus Tuka. 2.3.3
Teori Budaya Anak Muda (Yuoth Culture) Menurut Parso (dalam Barker, 2000: 425) anak muda atau remaja
merupakan suatu kategori sosial yang muncul seiring perubahan peran keluarga yang disebabkan oleh perkembangan kapitalisme. Di masyarakat pra-kapitalis keluarga memenuhi semua fungsi biologis, ekonomis, dan kultural yang utama dalam reproduksi sosial. Transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan
33
ditandai oleh ritual-ritual perpindahan dan bukan oleh suatu periode masa muda atau remaja tersendiri. Peran pekerjaan dan orang dewasa terspesialisasi, universal dan rasional, timbullah diskontinuitas antara keluarga dengan masyarakat yang lebih luas dan perlu diisi dengan suatu periode transisi dan pelatihan bagi anak muda. Ini menandai bukan hanya lahirnya kategori anak muda tetapi juga sebuah moratorium ketidakbertangungjawaban yang terstruktur antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang memungkinkan munculnya budaya kaum muda, yang fungsi intinya adalah untuk mensosialisasi diri. Teori ini digunakan untuk membedah masalah ke tiga yakni makna dan dampak tantangan pengembangan spiritualitas calon imam di Seminari Menengah Roh Kudus Tuka.
2.3.4 Teori Kritis Teori kritis dikembangkan oleh Max Horkheimer (1895-1973) dan Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Teori ini bermula dari optimisme Horkheimer dalam upayanya membangun suatu teori yang bisa member kesadaran untuk mem -bedol masyarakat dari keadaan irasional. Dengan kata lain, Horkheimer berusaha membangun suatu teori yang mampu memberi kesadaran untuk mengubah masyarakat irasional menjadi rasional, di mana martabat dan kepenuhan individu dapat dipenuhi (Sindhunata, 1983:71). Oleh karena itu, teori kritis disebut sebagai teori emansipatoris. Teori ini mau menumbuhkan kesadaran kritis, untuk menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang tidak manusiawi. Kehidupan masyarakat industri maju diwarnai kontradiksi, frustrasi, penindasan. Semua segi kehidupan masyarakat di dalamnya menimbulkan kesan
34
semu, bahwa semuanya baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya bermanfaat, produktif, efisien, dan lancar. Kesan semu seperti itu didekonstruksi, dibedah untuk mendapat gambaran realitas sebenarnya. Pada tataran konsep di atas, teori kritis tidak bersifat parsial, artinya, tidak hanya mengkritik kekurangan-kekurangan, mengupas tuntas sisi-sisi gelap dalam kehidupan seminari. Sebaliknya teori kritis hendak mengkritisi praktik hidup seminari secara keseluruhan, misalnya hal-hal yang tidak manusiawi maupun tata kehidupan kemanusiaan yang mapan, serta hubungan antara struktur yang ada dalam lembaga seminari, dan arah perkembangan hidup para calon imam di masa yang akan dating. Teori kritis adalah unsur hakiki dalam usaha sejarah manusia untuk menciptakan suatu dunia yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Teori kritis dalam hal ini merupakan inspirasi yang dapat memberikan kesadaran dan membebaskan manusia dari masyarakat irasional, memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional, tempat manusia dapat merumuskan semua kebutuhan dan harapannya. Ada beberapa cirri teori kritis seperti, curiga dan kritis, historis, tidak memisahkan teori dan praxis, mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia, mau mengubah mau menjadi praktis, analisis baru, pembebasan manusia dari segala belenggu pengisapan dan penindasan, pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri (Suseno,1992: 162). Kesemua ciri tersebut bermuara pada satu tujuan, yakni pembebasan manusia dari berbagai unsur yang membelenggu dan menindas harkat dan martabat, baik sebagai individu maupun
35
masyarakat. Pada tataran demikian, teori kritis searah dengan usaha dan cita-cita dalam ajaran Gereja Katolik yang disebut teologi pembebasan. Latar lahirnya teologi pembebasan adalah situasi kehidupan di Amerika Latin yang sangat tidak manusiawi, seperti sikap dan tindakan kaum kapitalis yang menindas kaum miskin yang tak berdaya. Gereja Katolik setempat prihatin pada situasi ini, dan berupaya melawan system tersebut dengan menyadarkan kaum tertindas supaya keluar dari situasi yang tidak berperi kemanusiaan itu. Tantangan pengembangan spiritualitas pendidikan calon imam perlu dikritisi, dan didekonstruksi. Teori kritis dalam hal ini merupakan suatu model pendekatan untuk mengetahui baik kebertahanan serta nilai-nilai yang terkandung dalam pembinaan para seminaris calon imam maupun kegagalan di tenganh pengaruh perubahan sosial dewasa ini. Upaya mengupas tantangan pengembangan spiritualitas calon imam seminari Roh Kudus Tuka, merupakan suatu bentuk kajian kritis terhadap fenomena pembinaan calon imam yang ada.
2.4
Model Penelitian Model Penelitian
tantangan spiritualitas calon imam di Seminari Roh
Kudus Tuka Dalung seperti gambar 2.1
36
Gambar 2.1 Model Penelitian
LEMBAGA PENDIDIKAN SEMINARI
Internal -Kurikulum, -Pembina -Guru -Orangtua -Seminaris -Sosial, -Ekonomi
Bentuk Tantangan Pengembangan Spiritualitas Calon Imam Di Seminari Roh Kudus Tuka Dalung Bali
GLOBALISASI
Tantangan Pengembangan Spiritualitas Calon Imam di Seminari Roh Kudus Tuka Dalung Bali
Faktor-Faktor yang menghambat pengembangan spiritualitas calon imam di Seminari Roh Kus Tuka Dalung Bali
Eksternal -Teknologi komunikasi (internet,facebook) -Media cetak dan elektronik (majalah,tabloid,televi si,radio) - Budaya global yang cenderung homofin
Dampak dan Makna Tantangan Pengembangan Spiritualitas Calon Imam di Seminari Roh Kudus Tuka Dalung Bali
37
Dalam gambar 2.1 dijelaskan bahwa Pendidikan atau Lembaga sebagai payung pengerak membawahi seluruh komponen yang ada. Komponen lainnya yang mendukung keberlangsungan kehidupan Seminari adalah para pembina, guru, karyawan, orang tua dan pihak terkait lainnya yang secara langsung atau tidak langsung mendukung panggilan para calon imam. Secara umum gambar 2.1 dapat dijabarkan sebagai berikut. Lembaga pendidikan Seminari Roh Kudus Tuka mempunyai hubungan saling terkait dengan dampak globalisasi yang bergerak begitu cepat, pengaruh timbal balik antara lembaga pendidikan seminari dan globalisasi bersama-sama memengaruhi model serta bentuk tantangan spiritualitas seminari Roh Kudus Tuka. Selanjutnya tantangan spiritualitas seminari saling memengaruhi dengan aspek internal berupa kurikulum pengajaran di seminari yang dirasakan rigid dan kaku, motivasi siswa seminaris, fasilitas pendukung, gizi yang tersedia bagi siswa seminaris di usia pertumbuhan yang masih labil, peranan para pamong, pendamping siswa yang akrab bersahabat, membangun iklim belajar yang humanis, dinamis dan kondusif bagi perkembangan peserta didik kearah yang semakin positif. Peranan para pendamping juga tidak kalah penting karena menjadi teladan dan panutan yang mudah ditiru oleh peserta didik. Profesionalitas dan latar belakang pendidikan dari tenaga pengajar dan pembina, sistem pendidikan, aspek ekonomi, sosial, budaya, serta latar belakang keluarga asal seminaris. Serta mempunyai hubungan
saling keterkaitan antara faktor eksternal berupa
ketersediaan berbagai media elektronik dan audio visual yang representatif bagi terlaksananya proses pendidikan serta pembinaan spiritualitas siswa seminari
38
dengan baik. Berbagai model media teknologi, facebook, twitter, internet, facximale, televisi dan berbagai model media elektronik lainnya. Tantangan spiritualitas di seminari berpengaruh vertikal terhadap faktor pendorong serta faktor penghambat pembentukan spiritualitas di seminari dan mempunyai hubungan saling terkait dengan aspek bentuk pengembangan spiritualitas seminaris, disisi lain berpengaruh timbal balik dengan aspek makna pembinaan spritualitas seminaris. Bentuk-bentuk pengembangan Spiritualitas iman para seminaris dan serta berbagai bentuk penyimpangan perilaku siswa seminaris mempunyai hubungan saling keterkaitan dengan berbagai faktor yang mendukung spiritualitas seminaris serta faktor-faktro penghambat perkembangan pengembangan spitiualitas salon imam, seperti faktor internal seminaris, motivasi, niat serta minat untuk sungguh-sungguh mempersiapkan disi menjadi seminaris yang berkualitas emosional, spiritualitas serta inteligensi. Dukungan keluarga orang tua, sesama rekan seminaris, para pendamping, pamong guru dan pembina di seminari serta sarana-prasarana belajar serta berdoa yang memadai demi pertumbuhan siswa yang baik. Sebaliknya faktor penghambat perkembangan iman para seminaris antara lain, lingkungan keluarga yang kurang mendukung, modernitas, keteladanan para pembina dan pendampingan dari guru dan pendidik. Faktor eksternal yakni pengaruh globalisasi menyebabkan merosotnya nilai kehidupan bagi seorang seminaris. Dalam era global yang serba instant, konsumeristis dan hedonis, berbagai sosial dalam penentuan kebijakan yang berujung pada melahirkan ketidakadilan baru yang semakin kompleks.
39
Faktor internal dari dalam diri seminaris sendiri yang kurang dimurnikan dan dikuatkan sehingga cenderung bimbang dan melemahnya benih panggilan dalam diri siminaris itu sendiri. Kurangnya perhatian para pembina menyebabkan gaya hidup siswa seminari yang nota bene hidup dalam keteraturan dan kedisiplinan pun bisa terpengaruh oleh gaya hidup modern dapat melupakan tradisi-tradisi pendiri seminar. Nilai-nilai religius perlahan bergeser, kurangnya pernghargaan terhadap nilai-nilai religius hal tersebut berhubungan balik dengan aspek proses pemaknaan nilai spritualitas dalam diri seminaris serta kemampuan siswa
seminaris
memaknai
semua
bentuk
tantangan
pengembangna
sipirtualitasnya sebagai suatu peluang untuk semakin dekat dengan sang guru ilahi, yakni Yesus Kristus sebagai tokoh sentral dalam diri seorang seminaris sebagai calon imam.