7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama, yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut. Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan, subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan. Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP. Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata
7
8
urutan dan terkait dengan tidak adanya afiks, maka pemarkahan dilakukan melalui tata urutan yang ketat. Tipologi tata urutan berakibat pada pemetaan sejajar dan pemetaan silang untuk klausa transitif. Berdasarkan tipologi pemarkahan sintaksis bahasa Sikka berada di perbatasan antara bahasa akusatif dan bahasa S-terpisah (split-S) karena ada bukti yang kuat untuk kedua tipologi itu. Temuan hasil penelitian Sedeng (2000) di atas secara konseptual memiliki faedah yang relevan dengan penelitian ini. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian tersebut dijadikan
sebagai rujukan untuk dijadikan referensi pada
kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Sedeng (2000) secara ilmiah dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis struktur dasar kalimat BB dan BJ berdasarkan kategori predikat. Hasil penelitian Ana (2000) berjudul “Tipologi Kausatif Bahasa Bali”. Penelitian ini menggunakan Teori Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan teori-teori lain, seperti yang dikemukakan oleh Jackendoff (1991), Davis (1981), Talmy (1976), dan Hopper dan Thompson (1980) sebagai teori pendukung. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan, antara lain bahwa tipologi kausatif bahasa Bali dapat dibagi menjadi tiga, yaitu perifrastik, morfologis, dan leksikal. Kausatif perifrastik bahasa Bali ditandai oleh penggunaan konjungsi bermakna kausatif, seperti sawireh, mawinan, mawanan, dening, makada, santukan, dadosne, raris, laut, dan pemarkah suprasegmental dalam bahasa lisan. Kausatif morfologis bahasa Bali ditandai dengan akhiran {ang} dan {-in} yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan valensi verba asalnya. Secara semantik, kausatif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif langsung dan kausatif taklangsung.
9
Penelitian yang dihasilkan oleh Ana (2000) di atas juga secara konseptual dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Sementara itu, secara ilmiah hasil temuan Ana (2000) dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif BB dan BJ. Hasil penelitian Mayani (2004) berjudul “Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Madura”. Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yaitu Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan Teori Tata Bahasa Relasional yang dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984). Di samping dua teori utama tersebut juga digunakan teori penunjang, yakni Teori Relasi Gramatikal yang dikemukakan oleh Blake (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur dasar kalimat bahasa Madura terdiri atas enam tipe, yaitu S-P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-Ket, S-P-O-Pel, dan S-P-O-Ket. Berdasarkan tipetipenya, konstruksi kausatif dalam bahasa Madura terdiri atas kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Konstruksi aplikatif bahasa Madura dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konstruksi aplikatif instrumental, konstruksi aplikatif benefaktif, dan konstruksi aplikatif resipien. Secara konseptual temuan yang diperoleh Mayani (2004) di atas dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Mayani (2004) secara ilmiah dapat
10
memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BB dan BJ. Penelitian Arafiq (2005) berjudul “Relasi Gramatikal Konstruksi Kausatif dan Aplikatif Bahasa Bima”. Penelitian ini dilandasi dua teori, yakni Teori Tipologi Kausatif oleh Comrie (1989) dan dilanjutkan dengan teori sintaksis formal, yaitu Teori Tata Bahasa Relasional oleh Perlmutter dan Postal (1984). Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif morfologis yang dimarkahi oleh prefiks {ka-} dengan variasi {ca-}, kausatif analitik yang dibentuk dengan menggunakan verba nalawi, dan kausatif leksikal yang dibentuk dari verba dasar transitif. Berdasarkan parameter semantis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Aplikatif dalam bahasa Bima terdiri atas aplikatif benefaktif yang dimarkahi oleh {wea-}, aplikatif instrumental, dan aplikatif pasien yang dimarkahi oleh {-kai}. Hasil penelitian yang ditemukan oleh Arafiq di atas secara konseptual juga memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini sehingga hasil penelitian tersebut juga dijadikan rujukan sebagai referensi pada kajian pustaka penelitian ini. Secara ilmiah hasil penelitian Arafiq juga dapat memberikan kontribusi positif penelitian ini dalam menganalisis konstruksi kausatif dan aplikatif BB dan BJ. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek penelitian yang digunakan sama,
11
tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil-hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. Lien (2005) melakukan penelitian terhadap konstruksi pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, baik dalam tipe-tipe pasif maupun relasi gramatikalnya. Kesamaan antara konstruksi pasifnya adalah (1) keduanya memiliki pemarkahan morfologis pada pasif, yaitu prefiks diuntuk bahasa Indonesia dan sufiks (r)areru untuk bahasa Jepang; (2) keduanya memiliki pemarkah agen, yaitu oleh untuk bahasa Indonesia dan ni, ni yotte, kara, dan de untuk bahasa Jepang; (3) kehadiran agen opsional pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi; (4) perubahan relasi gramatikal memiliki revaluasi yang sama pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi, yakni subjek langsung konstruksi aktif menjadi subjek konstruksi pasif dan subjek konstruksi aktif menjadi chomeur. Dalam hal ini chokusetsu ukemi dapat disejajarkan dengan pasif kanonis dalam bahasa Indonesia. Perbedaan pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang adalah (1) bahasa Indonesia memiliki prefiks me- untuk konstruksi aktif, sedangkan bahasa Jepang tidak; (2) bahasa Indonesia tidak memiliki pemarkah morfologis pada pasif tak kanonis, dalam hal ini pasif yang mengalami pengedepanan agen, sedangkan bahasa Jepang memiliki pemarkah morfologis pada semua tipe pasif, chokusetsu ukemi, mochinushi no ukemi, dan daisansha no ukemi; (3) dalam bahasa Indonesia, hanya verba transitif yang dapat dipasifkan, sedangkan dalam bahasa Jepang, baik verba transitif maupun verba intransitif, dapat dipasifkan; (4) dalam bahasa Indonesia, pemarkah agen opsional pada tipe kanonis, sedangkan
12
dalam bahasa Jepang pemarkah agen wajib hadir pada semua tipe pasif; (5) dalam bahasa Indonesia, relasi gramatikal tipe tak kanonis tidak dapat ditangani oleh teori tata bahasa relasional karena alasan pragmatis, sedangkan dalam bahasa Jepang, bentuk pasif seperti mochinusi no ukemi dan daisansha no ukemi yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat ditangani oleh teori tata bahasa relasional dengan kendala-kendala tersendiri. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagai referensi karena sama-sama menggunakan bahasa Jepang sebagai objek. Selain itu, penelitian tersebut juga dalam bidang sintaksis sehingga beberapa konsep yang digunakan dapat dipakai sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai verba „menberi‟ bahasa Jepang dan bahasa Bali. Aryani (2007) melakukan penelitian mengenai pelesapan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada struktur koordinatif
fungsi
gramatikal
subjek,
predikat,
dan
objek
mengalami
keterpulangan. Pelesapan fungsi gramatikal pada struktur ini dapat bersifat anaforis atau kataforis. Pada struktur subordinatif, keterpulangan tersebut terjadi pada subjek, predikat, dan keterangan. Pada struktur ini pun pelesapannya dapat bersifat anaforis atau kataforis. Pada klausa dalam dialog, pelesapan tersebut dapat terjadi pada fungsi gramatikal subjek, predikat, subjek- predikat, dan keterangan. Selain itu, pada dialog bahasa Jepang, memungkinkan terjadinya pelesapan sebuah klausa. Dengan demikian, penelitian tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk meneliti struktur verba „berargumen tiga‟ bahasa Bali dan bahasa Jepang.
13
Purnawati (2009) melakukan penelitian mengenai sistem pemarkahan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang, interaksi fungsi gramatikal dan topik dalam bahasa Jepang, dan interaksi fungsi gramatikal dan fokus dalam bahasa jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sistem pemarkahan fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang merupakan suatu sistem yang kompleks karena sebuah pemarkah tidak selalu memarkahi fungsi gramatikal yang sama. Hal tersebut bergantung pada predikat yang digunakan pada kalimat yang bersangkutan. Fungsi gramatikal yang ditemukan dalam bahasa Jepang terdiri atas fungsi argumen dan nonargumen. Fungsi argumen meliputi pemarkahan subjek, objek, oblik, posesor, dan komplemen, sedangkan pemarkahan fungsi nonargumen hanya ada satu, yaitu pemarkahan adjung. Fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang dimarkahi oleh partikel kasus atau posposisi. Partikel kasus terdiri atas nominatif ga, datif ni, topik wa, akusatif o, dan genetif no, sedangkan posposisi terdiri atas ni,de, to, e, kara, made. Fungsifungsi gramatikal tersebut dapat berinteraksi dengan topik sehingga sebuah konstituen dalam kalimat memiliki dua fungsi, yaitu sebagai salah satu fungsi gramatikal dan sekaligus sebagai topik dalam kalimat yang bersangkutan. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah subjek, objek, oblik, posesor, dan adjung. Fungsi gramatikal yang juga berfungsi sebagai topik dapat dimarkahi hanya dengan topik wa. Selain itu, juga dapat dimarkahi oleh partikel kasus atau posposisi yang menunjukkan fungsi gramatikalnya ditambah topik wa. Meskipun suatu konstituen terletak di bagian tengah atau belakang kalimat, selama konstituen tersebut dimarkahi oleh topik wa, konstituen tersebut dapat disebut
14
topik. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah fungsi gramatikal yang berbeda. Selain itu, ditemukan juga dua topik dalam satu kalimat yang terdiri atas satu klausa. Kedua topik tersebut masing-masing berinteraksi dengan fungsi gramatikal yang berbeda, sehingga memunculkan topik tematis dan topik kontrastif. Selain dengan fungsi pragmatik topik, fungsi-fungsi gramatikal juga dapat berinteraksi dengan fokus, yaitu subjek, objek, oblik, adjung. Fokus tidak memiliki pemarkah khusus. Jika konstituen merupakan informasi baru yang dapat dibuktikan dengan pertanyaan informatif, maka konstituen yang bersangkutan merupakan fokus tanpa adanya penggantian atau penambahan fungsi gramatikal. Dalam satu kalimat, selain fokus, muncul juga topik kalimat. Hal ini disebabkan oleh fokus dapat dipilih dari konstituen yang bukan merupakan topik dalam suatu kalimat. Selain itu, jika semua konstituen dalam satu kalimat merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai fokus seluruh kalimat. Dengan demikian, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan karena banyak mengulas fungsi gramatikal bahasa Jepang.
2.2 Konsep Konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini meliputi sejumlah konsep yang relevan dengan penelitian ini. Konsep dasar yang digunakan sebagai piranti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat dikatakan
15
berkategori verba hanya dalam perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinan satuan itu didampingi dengan partikel di, ke, dan dari. Verba (verbs) atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat. Argumen adalah unsur (sintaksis/semantik) yang diperlukan oleh sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan yang dinyatakan oleh verba predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa jumlah argumen dalam suatu klausa/kalimat ditentukan oleh verba sebagai inti klausa/kalimat tersebut (Williams, 1991:100; Culicover, 1997:1617). Dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen yang diperlukan verbanya adalah subjek. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa fungsi yang paling tinggi dalam hierarki sintaksis dan pada umumnya bersifat wajib adalah subjek (Arka, 1998:15). Klausa transitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba transitif. Verba transitif adalah verba yang mewajibkan hadirnya sekurang-kurangnya dua argumen inti. Salah satu argumennya berfungsi sebagai subjek dan yang lainnya berfungsi sebagai objek (Mtthews, 1997; Kridalaksana, 1993). Klausa ditransitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba ditransitif atau verba berargumen tiga. Dalam tata bahasa relasional ada tiga relasi gramatikal yang murni bersifat sintaksis, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tidak langsung. Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya Pred ˂1,2,3˃ yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred ˂agen, pasien, resipien˃ dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred ˂S,OL,OTL˃. Di
16
samping itu, ada relasi yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif, instrumental, dan sebagainya yang secara kolektif disebut relasi oblik (lihat Blake, 1991; Palmer, 1994; Matthews, 1997; Artawa, 2000; Djunaidi, 2000).
2. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang Argumen adalah bentuk linguistik yang diperlukan oleh verba yang biasanya berkolerasi dengan manusia dan benda-benda yang terlibat dalam suatu aktivitas atau keadaan yang dinyatakan oleh predikat (Haegeman, 1991). Argumen subjek dalam bahasa Jepang dapat dilihat pada contoh berikut. (2.1) 彼が来ました。 Kare ga Kimashita Pp1 Nom datang „Dia [laki-laki] datang‟ Argumen objek adalah argumen inti kedua setelah subjek. Dalam klausa ekatransitif, objek menempati posisi internal FV. Hal ini dibuktikan dengan tidak diizinkannya penyisipan adjung waktu di antara objek dan verba. Argumen objek dalam bahasa Jepang dapat dicermati pada contoh berikut. (2.2) 彼女はコーヒーを飲みました。 Kanojo wa kohii o nomimashita Pp3 Nom kopi Acc minum KL „Dia [perempuan] sudah minum kopi] (2.3) *彼女はコーヒー けさを飲みました。 Kanojo wa kohii kesa o nomimashita Pp3 Nom kopi tadi pagi Acc minum KL „ Dia [perempuan] tadi pagi minum kopi‟
Dalam klausa ditransitif bahasa Jepang argumen objek langsung (OL) dimarkahi partikel o, argumen objek tak langsung (OTL) dimarkahi partikel ni.
17
Kata ageru „memberi‟ dalam bahasa Jepang, misalnya tampak pada contoh berikut. (2.4) 私は 友達に 本をあげる。 Watashi wa tomodachi ni hon o ageru Pp1 Nom teman Dat buku Acc memberi „Saya memberi buku kepada teman‟ Kalimat (2.4) memerlukan tiga argumen, yaitu watashi „saya‟(yang memberi) hon „buku‟ (sesuatu yang diberi) tomodachi „teman‟ (yang diberi). Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya ageru ˂1,2,3˃ yang secara semantis dipresentasikan menjadi ageru ˂agen, pasien, resipien˃ dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred ˂S,OL, OTL˃.
3. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka, misalnya Pred ˂1,2,3˃ yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred ˂agen, pasien, resipien˃. Pilihan verba menjadi tergantung pada status sosial yang ditanggung oleh argumen agen dan argumen resipien. Oleh karena itu, makna verba berargumen tiga bahasa Bali berkaitan dengan tingkat tutur.
4. Makna Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang
Makna verba berargumen tiga bahasa Jepang juga ada yang berkaitan dengan tingkat tutur, terutama pada verba yarimorai „beri-terima‟. Selain berkaitandengan tingkat tutur, juga berkaitan dengan pronomina persona (Pp).
18
5. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali Verba berargumen tiga bahasa Bali merupakan verba turunan atau verba yang sudah mengalami proses morfologis. Proses morfologis tersebut dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks –ang, (ii) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks –in, dan (iii) verba berargumen tiga dengan penambahan sufiks –a atau prefiks –ka.
6. Proses Morfologis Verba Berargumen Tiga Bahasa Jepang Proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Jepang dapat melalui proses morfologis dan tanpa proses morfologis pada morfem –r(u). Verba berargumen tiga yang mengalami proses morfologis mengandung makna „memberi
dan
menerima‟,
„mengatakan‟,
dan
memperlihatkan‟.
Verba
berargumen tiga tanpa mengalami proses morfologis mengandung makna „memberi dan menerima, „kausatif‟, „pasif kausatif‟, dan „pasif‟. Namun, baik yang mengalami proses morfologis maupun yang tidak mengalami proses morfologis pada morfem –r(u), tidak memengaruhi jumlah argumen.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini mempunyai dua masalah yang mendasar, yaitu (1) struktur kalimat dan proses morfologis verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa Jepang serta (2) perbandingan fungsi-fungsi sintaksis verba berargumen tiga bahasa Bali dan bahasa Jepang. Secara umum masalah-masalah itu dianalisis berdasarkan teori sintaksis, yakni Teori Tipologi Kausatif dan Teori Tatabahasa
19
Relasional. Permasalahan pertama dianalis dengan Teori Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1981). Permasalahan kedua dianalisis dengan menggunakan
Teori
Tatabahasa
Relasioanl.
Teori
ini
pada
mulanya
dikembangkan oleh David M. Pelmutter dan Paul M. Postal pada permulaan tahun 1970 (Blake, 1990).
2.3.1 Teori Tipologi Kausatif Deskripsi mengenai Teori Tipologi Kausatif diawali dengan penjelasan tentang cara tipologi kausatif. Adapun cara tipologi kausatif adalah sebagai berikut. Comrie (1981b) mengajukan tiga cara tipologi kausatif, yaitu kausatif analitik, morfologis, dan leksikal. Menurutnya, kausatif analitik adalah jenis kausatif yang di dalamnya terdapat pemisahan antara predikat yang menyatakan sebab dengan yang menyatakan akibat, yaitu makna kesebaban direalisasikan dengan kata tersendiri yang terpisah dari kata yang menunjukkan aktivitas yang disebabkan. Kausatif morfologis adalah kausatif yang ada kaitan antara predikat kausatif dan yang nonkausatif serta dimarkahi secara morfologis, misalnya dengan afiksasi. Penggunaan verba kausatif atau afiks ini sangat bergantung pada tipe morfologis suatu bahasa. Bahasa isolasi cenderung menggunakan verba kausatif, sedangkan bahasa aglutinasi cenderung menggunakan proses afiksasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua proses tersebut digunakan pada (satu) bahasa yang sama. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, konstruksi kausatif
20
dibentuk dengan menggunakan verba kausatif „menyebabkan‟ atau dengan menggunakan konfiks {me-kan} (cermati Arka, 1993). (2.14) Amir membuat adiknya jatuh. (2.15) Amir menjatuhkan adiknya. Kausatif ketiga, kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya berkorespondensi dalam predikat nonkausatif tidak terkait secara morfologis dengan verba kausatif. Artinya, keterhubungan antara predikat yang menyatakan akibat dan yang menyatakan, baik sebab maupun akibat, tidak berlangsung secara sistematis, seperti yang dapat dicontohkan dengan kata bahasa Inggris die dan kill. Perhatikan verba membunuh dalam kalimat berikut. (2.16) Macan itu membunuh mangsanya. Contoh (2.16) di atas sudah memiliki gambaran yang menjelaskan bahwa „mangsanya mati‟, tanpa diekspresikan secara eksplisit. Artinya suatu peristiwa disebut pembunuhan jika si korban mati. Comrie (1989) mengusulkan tipe-tipe kausatif yang agak berbeda dengan apa yang diusulkan Shibatani (1976). Dalam membagi kausatif, Comrie (1989) melihatnya berdasarkan dua parameter, yakni parameter morfosintaksis dan semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif dibagi menjadi tiga, yakni kausatif analitik, leksikal, dan morfologis. Kausatif analitik adalah kausatif yang menggunakan verba kausatif, sedangkan kausatif leksikal adalah kausatif yang verbanya sudah mengandung makna kausatif. Di pihak lain kausatif morfologis adalah kausatif yang dibentuk melalui proses afiksasi. Kausatif produktif menurut Shibatani (1976) dibedakan menjadi dua oleh Comrie karena
21
istilah tersebut masih menyisakan kekaburan antara penggunaan verba kausatif dan afiks. Oleh karena itu, tipe kausatif yang diterapkan dalam tulisan ini adalah tipe kausatif yang diusulkan oleh Comrie (1989). Walaupun Comrie membedakan tipologi kausatif dengan tegas, diakuinya bahwa tidak semua bahasa dapat dikelompokkan dengan tepat ke dalam salah satu tipe di atas. Parameter lain yang digunakan Comrie (1989) dalam membedakan tipetipe kausatif adalah parameter semantik. Berdasarkan parameter ini, kausatif dibedakan
berdasarkan
tingkat
kendali
yang
diterima
oleh
cause
(tersebab/penyebab yang tersebab) dan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat dalam situasi makro atau kausatif. Berdasarkan tingkat kendali yang diterima oleh cause, Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif permisif (permissive causative) dan kausatif sejati (true causative). Pada kedua konstruksi tersebut, komponen sebab, dalam hal ini agen, memiliki kendali atas terjadi atau tidaknya komponen akibat. Dalam kausatif sejati, komponen sebab tidak memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat, sedangkan dalam kausatif permisif, komponen sebab atau agen memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya akibat. Cermati contoh berikut. (2.17) Adi broke his arm. (2.18) Adi let the ball roll. Penyebab Adi pada kalimat (2.17) tidak dapat melakukan sesuatu untuk menghindari his arm is broken, sementara Adi pada kalimat (2.18) sebenarnya mampu mencegah terjadinya akibat the ball roll. Istilah true causative dan
22
permissive causative yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah direct causative dan indirect causative menurut Shibatani (1976). Berdasarkan kedekatan hubungan antara komponen sebab dan akibat, Comrie (1989) membedakan kausatif menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung. Kausatif langsung adalah kausatif yang komponen sebab dan akibatnya memiliki hubungan sangat dekat, sedangkan dalam kausatif taklangsung hubungan antara komponen sebab dan akibat lebih jauh. Walaupun komponen sebab selalu diikuti oleh komponen akibat, dalam kausatif taklangsung komponen akibat terjadi beberapa saat setelah komponen sebab terjadi. Perhatikan contoh berikut. (2.19) Wa
Ani no-fo-ngkora-mo Wa Fitri ainiinii. ART KP/3T-KAUS-duduk-PAST ART Fitri tadi „Si Ani telah mendudukkan Si Fitri tadi‟ (2.20) Wa Dani ne-fanahi o oe. ART Dani KP/3T-panasi ART air „Si Dani memanasi air‟ (Musfirah, 2005 : 70)
Kedekatan hubungan antara komponen sebab „Wa Ani melakukan sesuatu terhadap Wa Fitri’ dan komponen akibat „Wa Fitri nengkora’ pada kalimat (2.19) bersifat langsung karena „Wa Fitri’. Sementara itu, pada kalimat (2.20), komponen akibat o oe ‘air’ tidak terjadi secepat Wa Fitri nengkora. Dengan kata lain, tindakan „Wa Dani melakukan sesuatu terhadap o oe’ membawa akibat tidak langsung, yaitu o oe menjadi panas’. Istilah kausatif langsung dan tak langsung yang digunakan Comrie (1989) ini dapat disejajarkan dengan istilah point causation dan event causation yang digunakan oleh Shibatani (1976).
23
Untuk menampilkan hubungan antara perubahan valensi verba pada konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif, Comrie (1989) menjelaskan seperti berikut ini. a.
Jika verba nonkausatifnya berupa verba intransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya.
b.
Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL akan tetap menempati posisi OL pada konstruksi kausatifnya.
c.
Jika verba nonkausatifnya berupa verba monotransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi OTL pada konstruksi kausatifnya.
d.
Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi S akan menempati posisi oblik pada konstruksi kausatifnya.
e.
Jika verba nonkausatifnya berupa verba ditransitif, causee yang sebelumnya menduduki posisi OL dan OTL masing-masing akan menempati posisi OL dan OTL pada konstruksi kausatifnya. Munculnya argumen penyebab mengakibatkan perubahan relasi gramatikal
causee (walaupun ada yang berfungsi tetap) menjadi tak terelakkan. Di samping itu, juga berdampak pada perubahan peran argumen-argumen konstruksi kaustif tersebut. Ranah peran causee menurut Comrie (1989) adalah instrumental, datif, dan akusatif. Datif adalah entitas yang bermanifestasi sebagai pengalam, misalnya
24
resipien. Hierarki peran yang dikemukakan oleh Comrie (1989) berdasarkan tingkat kendali yang mampu diberikan causee dalam satu situasi makro, yakni instrumental > datif > akusatif. Dalam hierarki ini instrumental dianggap sebagai argumen yang memiliki tingkat kendali yang paling tinggi, sedangkan akusatif dianggap sebagai argumen dengan kendali yang paling rendah.
2.3.2 Relasi Gramatika Menurut Teori Tatabahasa Relasional Tatabahasa Relasional (TR) adalah teori yang bersifat multistratal. Artinya argumen sebuah verba bisa mempunyai relasi gramatikal yang berbeda pada tataran yang berbeda. Struktur klausa dalam tiap tataran terdiri atas tiga jaringan yang terkait satu sama lain. Ketiga jaringan yang dimaksud, yakni : a)
seperangkat simpai (node) yang menggambarkan semua unsur linguistik (klausa, frasa, kata, dan morfem);
b) seperangkat tanda relasi (relational sign) yang menggambarkan relasi gramatikal (S dan O); dan c)
koordinat yang menggambarkan tataran-tataran yang berbeda dari relasi-relasi yang dihasilkan. Dalam versi TR, promosi adalah revaluasi dengan relasi gramatikal pada
strata x + 1 lebih rendah hierarkinya daripada relasi gramatikal pada Revaluasi mengacu pada hieararki relasi gramatikal berikut. S > OL > OTL > OBL 1> 2 >
3 > OBL
(> dibaca “lebih tinggi daripada”)
.
25
Revaluasi ini sendiri diatur oleh tiga hukum, yaitu Oblique Law (OLaw) Chomeur Advancement Ban (CAB), dan Motivated Chomage Law (MCL). OLaw menyatakan bahwa suatu relasi OBL Harus berada pada tataran awal dan OLaw melarang relasi suku (relasi 1, 2, dan 3) direvaluasi menjadi OBL. CAB menegaskan bahwa suatu konstituen dengan relasi penganggur (Cho) tidak mungkin mengalami perubahan pemajuan menjadi relasi inti. Dengan kata lain, nomina penganggur akan tetap menjadi penganggur. Sementara itu, MCL menerangkan bahwa demosi ke posisi chomeur akan terjadi jika suatu nomina merebut relasi nomina lain melalui pemajuan (cermati relasi OBL pada
yang
menggeser relasi 2 menjadi Cho pada diagram 3). Blake (1990) menjabarkan revaluasi dalam sebuah kalimat sebagai berikut : Pemajuan atau promosi : -
2
1
-
3
1
-
OBL
1
-
3
2
-
OBL
2
-
OBL
3
Pemunduran atau demosi : -
1
2
-
1
3
-
1
Cho
-
2
3
-
2
Cho
-
3
Cho
26
Selain tiga hukum di atas, dua hukum penting lain yang perlu diperhatikan dalam TR adalah Stratal Uniqueness Law (SUL) dan Final 1 Law (F1L). SUL menyatakan bahwa hanya satu nomina yang dapat menanggung relasi suku dalam satu strata yang sama. Pada strata 1 diagram 4, misalnya, terlihat relasi 1 hanya ditanggung oleh “Ima” relasi 2 oleh “ikan” , dan relasi 3 oleh “Usman”. Begitu pula halnya dengan nomina-nomina pada strata2 dan strata3, hanya satu nomina yang menanggung satu relasi suku. Sementara itu, pemajuan relasi 2 “Usman” menjadi S (relasi 1) pada strata, dilakukan untuk memenuhi kaidah FIL yang menegaskan bahwa S harus hadir pada strata akhir. Secara sintaksis, yang dimaksud dengan relasi atau fungsi gramatika adalah peran yang diberikan oleh predikat kepada argumen-argumennya berdasarkan hubungan gramatika. Dalam perkembangannya, tata bahasa tradisional melihat OTL dan OL berdasarkan pertimbangan semantik bukan sintaksis. Artinya, OL secara langsung terkena oleh tindakan yang dibawa oleh verba, sedangkan OTL terkena tindakan secara tidak langsung. Selain itu, penamaan OTL dalam tata bahasa tradisional juga diterapkan pada frasa berpreposisi. Cermati contoh berikut ini (Purwo dan Moeliono, 1985 : 14). (2.25) John bought Mary a book‟. OTL
OL
(2.26) John bought a book for Mary. OL
OTL
Sementara aliran transformasional yang dipelopori oleh Chomsky (1965) tidak begitu ketat lagi memegang batasan-batasan semantik terhadap istilah OL
27
dan OTL. Di satu pihak, penganut aliran ini memperlakukan S dan O secara semantik, seperti terkuak pada pemakaian istilah logical subject/object, deep subject/object, underlying subject/object, semantic subject/object. Di pihak lain, S dan O juga dipakai secara sintaksis, seperti terlihat pada pemakaian istilah surface subject/object, grammatical subject/object, dan syntactic subject/object. Fungsifungsi yang dikemukakan oleh Chomsky dalam struktur batin adalah S, yakni FN yang secara langsung diatasi oleh kalimat dan OL adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, sedangkan OTL tidak terlalu mendapat perhatian khusus karena OTL disejajarkan dengan FN lain yang berpreposisi. Setelah Teori Transformasional, muncul TR yang dipelopori oleh Perlmutter dan Postal (1984a). Keduanya menganggap Teori Transformasional tidak dapat diterapkan pada bahasa VSO. Pernyataan transformasi yang menyatakan bahwa Ol adalah FN yang secara langsung diatasi oleh FV, ditantang oleh TR. Hal itu cukup beralasan karena pada bahasa VSO, OL tidak secara langsung diatasi FV. Sebaliknya, subjeklah yang langsung diatasi oleh FV. Dengan demikian, OL transformasi diganti oleh OL TR menjadi FN yang secara langsung menyusul FV. Sebagai pengikut TR, Blake (1990) membagi fungsi atau relasi gramatikal menjadi S, OL, OTL, dan OBL. S dan O adalah relasi suku, sedangkan OBL (seperti benefaktif, lokatif, dan instrumental) adalah relasi bukan suku. Relasi bukan suku lain OBL yang amat penting dalam TR adalah penganggur, yang dalam bahasa Perancis disebut chomeur. Sebuah konstituen diberi relasi Cho jika konstituen itu kehilangan posisinya dalam sebuah strata, misalnya, dari relasi suku (S, OL, dan OTL) menjadi relasi bukan suku yang kehadirannya bersifat manasuka (optional).
28
TR juga menjelaskan adanya hierarki fungsi-fungsi gramatika, yaitu S berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan OL dan OTL. Hierarki ini dibentuk berdasarkan kenyataan bahwa fungsi yang selalu hadir dalam sebuah kalimat adalah fungsi S. S adalah satu-satunya FN yang menjadi argumen inti pada kalimat intransitif, sedangkan pada kalimat transitif, S adalah FN yang menduduki posisi tertinggi dalam hierarki fungsi gramatikal. Hierarki ini dapat digambarkan sebagai S > OL > OTL > fungsi lain (OBL).
2.4 Model Penelitian Kerangka berpikir yang diuraikan di atas dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini. Bagan 2 Model Penelitian Verba Berargumen tiga
Data
Bahasa Jepang
Bahasa Bali
Teori Tipologi Kausatif Teori Tatabahasa Relasioanal
Perbandingan
Temuan
29