BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Terbitan-terbitan yang memberikan informasi tentang masyarakat Bali Aga khususnya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga, Kabupaten Buleleng sangat terbatas jumlahnya. Andaipun ada, informasi yang diberikan tentang budaya masyarakat tersebut sangat minim. Sebuah buku yang berjudul Beberapa Desa Unik di Bali yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 2003 memberikan informasi yang sangat terbatas tentang budaya masyarakat Bali Aga di desa adat Cempaga. Dalam buku ini diulas sedikit tentang sistem kemasyarakatan masyarakat Desa Cempaga yang bersifat sangat hierarkhis berdasarkan catatan perkawinannya. Mereka yang tercatat sebagai pengantin tertua akan didudukkan sebagai Tugun Desa yang memiliki posisi penting dalam ritual di Pura Desa. Diuraikan pula secara sepintas tentang sistem perkawinan dan sistem penguburan mayat masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga. Buku ini tampaknya
diarahkan
untuk
kepentingan
para
wisatawan
guna
lebih
memperkenalkan keadaan desa-desa Bali Kuno. Oleh karena itu isinya hanya mendeskripsikan secara singkat potret desa Bali Kuno, namun demikian buku ini dapat memperkaya data penelitian ini. Informasi yang agak memadai tentang masyarakat Bali Aga di desa Cempaga diperoleh dari tesis yang ditulis oleh I Made Juwika (2006), seorang alumnus Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Meskipun dalam tesis tersebut penelitian lebih difokuskan pada Upacara Sabha Kuningan di Desa Adat Cempaga, Kecamatan Banjar,
20
Kabupaten Buleleng, namun di dalamnya digambarkan pula tentang peran masing-masing tokoh dalam hierarki masyarakat sebagai pemeran penting dalam kegiatan ritual Saba Kuningan yang dilakukan selama tiga hari mulai dari Saniscara Wuku Kuningan. Tulisan ini memberikan informasi yang memadai tentang pelaksanaan upacara Sabha Kuningan dan dirasakan sangat membantu dalam penelitian ini. Tentu saja apa yang disajikan dalam penelitian awal yang dilakukan oleh Juwika tersebut hanya bersifat potret di permukaan saja dari pergulatan pemikiran dalam bidang agama dan budaya yang terjadi pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng. Dengan demikian karya tulis ini dapat dijadikan bahan-bahan untuk memperkaya kajian dalam penelitian ini, sehingga akan memudahkan untuk mendalami berbagai persoalan yang berkembang dalam masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng. Kajian yang sangat mendalam tentang masyarakat Bali Aga ditulis oleh Thomas A. Reuter dalam buku berjudul Custodians of the Sacred Mountains, Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Wilayah yang menjadi setting penelitiannya adalah masyarakat dan budaya Bali Aga, khususnya menyangkut sosio kultural masyarakat serta ritual-ritual penting di Pura Puncak Penulisan Kintamani. Dalam penelusurannya tentang budaya dan masyarakat Bali pegunungan tersebut ditemukan bahwa mereka dipandang sebagai masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Bali yang bertempat tinggal di dataran. Mereka dipandang sebagai masyarakat yang kurang baik dalam menjalankan ajaran Hindu, kasar, kurang pandai berbahasa Bali halus,
serta
berbagai stigma yang kurang baik lainnya. Representasi tentang orang Bali Aga
21
ini mungkin dihasilkan secara bersama-sama oleh ilmuwan Barat dan tuan rumah mereka orang Bali, yaitu nara sumber utama mereka di istana-istana dan rumah tangga di Bali bagian selatan (Reuter, 2005, 434). Kenyataan yang ditemukan oleh Reuter setelah penelitian panjangnya adalah bahwa orang-orang Bali Aga ternyata memiliki kekenyalan budaya dalam usaha mereka mempertahankan eksistensinya melalui proses resistensi, adaptasi, dan revivalisasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan para pendatang yang belakangan memasuki Bali melalui sistem banua (Reuter, 2005, 36-37). Dibahas pula tentang bentuk-bentuk resistensi masyarakat Bali Aga terhadap intervensi yang terlalu jauh dari Badan Pelaksana Pembina Lembaga Adat serta Parisada Hindu Dharma terhadap tata pelaksanaan ritual yang tidak menggunakan pedanda; serta sistem kepemimpinan ulu apad mereka yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bentukbentuk resistensi yang mereka lakukan
adalah dengan jalan membangkitkan
kewajiban keagamaan regional sebagai pembenaran untuk mempertahankan dewan-dewan desa itu (Reuter,2005: 425). Kajian Reuter terhadap budaya dan masyarakat Bali Aga memang harus diakui sangat konprehensif, namun demikian jelas penelitian ini belum memotret keseluruhan dari budaya dan masyarakat Bali Aga di Bali. Penelitian Reuter cenderung berpandangan bahwa orang-orang Bali Aga mampu bertahan dengan segala bentuk tradisi keagamannya. Penelitian ini kurang memberikan informasi tentang perubahan-perubahan mendasar yang juga terjadi pada mereka. Penelitian antropolog
ini
cenderung
dikuasasi
oleh
romantisme
dan
eksotisme,
membayangkan sebuah kebudayaan dari satu komunitas etnik sebagai sesuatu
22
yang mandiri, utuh, dan karenanya statis. Masih banyak desa-desa Bali Aga yang mengalami situasi yang hampir sama dengan apa yang dicermati oleh Reuter di pegunungan Kintamani tersebut, seperti misalnya desa-desa Bali Aga di daerah pegunungan Singaraja seperti Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, dan Pedawa. Akibat tekanan-tekan secara sosio kultural yang mereka alami kini terjadi perubahan perubahan yang sangat besar pada masyarakat tersebut. Modernisasi disadari maupun
tidak
telah
mendorong
terjadinya
perubahan-perubahan
dalam
masyarakat Bali Aga. Penelitian yang dilakukan oleh Reuter digunakan sebagai model dalam mengkaji tentang pergulatan budaya yang terjadi pada masyarakat Bali Aga pada lokasi yang berbeda. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Suyasa (2002) di Desa Sidetapa, desa yang letaknya bertetangga dengan Desa Cempaga menemukan bahwa telah terjadi reformasi agama akibat adanya deprivasi relatif pada masyarakat Bali Aga karena mereka telah termarjinalkan dalam struktur masyarakat Bali. Hal ini terjadi karena Simagama yang mereka yakini selama ini dianggap bukan agama di mata masyarakat Bali. Hal telah mendorong terjadinya reformasi agama pada masyarakat Bali Aga di Desa Sidatapa. Pemarjinalan tersebut juga disebabkan karena masyarakat Bali Aga pada umumnya tidak dapat menunjukkan kawitannya. Hal ini mendorong masyarakat Bali Aga untuk berusaha mencari kawitannya dengan berorientasi pada budaya Bali dataran sebagai pengusung tradisi besar, sehingga memunculkan gerakan ngalih soroh pada masyarakat Bali Aga. Penelitian yang dilakukan Notiasa (2005) di Desa Sidatapa paling tidak saat ini masyarakat Bali Aga di Desa Sidatapa telah terpolarisasi menjadi 19 (sembilan belas) soroh.
23
Pemikiran yang bersifat oposisi biner, seperti pusat dan pinggiran, masyarakat dataran dengan masyarakat pegunungan dengan memposisikan bahwa masyarakat pegunungan berada dalam posisi lebih rendah dari masyarakat Bali dataran yang lebih banyak mendapat pengaruh Hindu seperti itu sudah bukan zamannya lagi, apabila dikaitkan dengan pemikiran Derrida (Hart, 2003: 76; Agger, 2003: 119). Alam pikiran modern yang menempatkan Hindu sebagai metanarasi, meminjam pemikiran Lyotard (dalam Barker, 2005: 196) sudah kurang relevan pada era postmodern saat ini. Bagi Lyotard alam pikiran modern yang mendasarkan diri pada ketertarikannya terhadap metanarasi, yaitu kisahkisah sejarah yang agung yang mengaku memiliki validitas universal. Sebaliknya, kondisi postmodern, dengan meyakini bahwa pengetahuan bersifat spesifik terhadap permainan bahasa, merangkul banyak pengetahuan lokal yang plural dan beragam.
Sejalan dengan alam pikiran postmodern maka penelitian tentang
ragam budaya pada aras lokal menjadi sesuatu yang cukup signifikan dalam era globalisasi. Para ahli masih berbeda pandangan tentang dampak dari globalisasi. Disatu sisi ia dapat mengarah pada keseragaman namun di sisi lainnya terdapat pandangan yang mengaitkan globalisasi dengan bentuk baru keragaman kultural. Roland Robertson misalnya menyatakan bahwa membangkitkan bentuk budaya
lokal.
arus global seringkali
Hasilnya bukanlah meningkatkan
homogenisasi cultural, melainkan ’glokalisasi’ interaksi yang komplek antara global dan lokal yang bercirikan peminjaman budaya ; atau berujung pada penggabungan hasrat homogenisasi dan heterogenisasi yang kerap disebut “hibridasi” atau kreolisasi (Lihat buku yang ditulis Manfred B.Steger berjudul Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar. 2002. Yogyakarta: Lafadl Pustaka; lihat
24
juga tulisan Gde Parimartha berjudul Pemahaman Lintas Budaya Nusantara dan Internasional dalam Sarathi Vol 10 No.1 Februari 2003) Penelitian yang dilakukan oleh Suyasa (2002) maupun yang dilakukan oleh Notiasa (2005), menjadi inspirasi dalam penelitian ini untuk mencermati lebih dalam tentang adaptasi budaya masyarakat Bali Aga sehubungan dengan adanya regulasi negara dalam bidang agama di Desa Cempaga yang letaknya bersebelahan dengan Desa Sidatapa. Bagus (2004) mengatakan bahwa masyarakat Bali Aga pada umumnya menempati daerah-daerah pegunungan, seperti Sembiran, Cempaga, Sidatapa, Pedawa, dan Tigawasa di Kabupaten Buleleng. Menurut Bagus faktor komunikasi, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak perubahan pada masyarakat dan kebudayaan dari desa-desa tersebut, tanpa merinci lebih jauh tentang perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut. Informasi singkat ini telah memberikan jalan bagi penelitian ini untuk menelusuri lebih mendalam tentang masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng. Sementara itu menurut Triguna (1986; Faruk, 2005:14) perubahan yang terjadi pada masyarakat paling tidak melibatkan dua faktor yaitu internal dan eksternal. Konsep faktor internal dimaksudkan sebagai hakikat bahwa masyarakat pada intinya tidak statis dan itu didukung oleh lingkungan sosial budayanya. Sedang dengan konsep eksternal dimaksudkan, perubahan itu direncanakan dalam seperangkat rencana pembangunan. Dimensi lain dari perubahan dalam masyarakat bisa juga dilihat dari dimensi vertikal maupun horizontal. Dalam hal pertama, menurut Triguna yang mengutip R.Redfield, Swellengrebel dan Mc.Kean menjelaskan bahwa dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali
25
berkembang menurut tingkat-tingkat (1) tradisi kecil; (2) tradisi besar, dan; (3) tradisi modern. Sementara dalam hal yang kedua, dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali telah memperluas tingkat-tingkat integrasinya melalui integrasi komunitas, integrasi regional serta integrasi nasional dan atau internasional. Unsur-unsur tersebut di atas akan menimbulkan perubahan dalam masyarakat. Secara ideal perubahan tersebut diharapkan bukan menjadi sesuatu yang asing dalam masyarakat, sehingga dalam gejala tersebut unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur yang datang sesudahnya dapat saling melengkapi. Namun dalam realitas tidak tertutup kemungkinan terjadinya resistensi terhadap hal yang datang belakangan, akibat ketidak seimbangan antara perubahan struktural dan kultural. Informasi ini telah membantu dalam penelitian ini terutama menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng, baik karena faktor internal, eksternal, vertikal, maupun horizontal. Meminjam batasan agama yang dikemukakan oleh Durkheim bahwa agama adalah sistem keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral komunitas pemeluknya. Moral komunitas ini memperlihatkan bahwa agama berfungsi sebagai perekat atau kohesi sosial antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia secara kolektif. Dengan kata lain manusia berada dalam posisi pasif yang diatur oleh satu sistem moral yang terintegrasi dalam mekanisme kelembagaan masyarakat. Menurut Durkheim, keyakinan-keyakinan keagamaan merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, dan dengan ritual keagamaan solidaritas kelompok diperkuat dan tatanan moral dipertegas kembali. Tokoh lain, Bellah menyatakan
26
bahwa agama sipil (civil religion) sebagai landasan bagi integrasi moral pluralis. Statemen Bellah bahwa agama sipil selayaknya dijadikan landasan bagi terbentuknya moral pluralis secara implisit menunjuk pada multikulturalisme (Abdullah dkk.,2008:4) Abdullah dkk.,dalam bukunya berjudul Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, menjelaskan bahwa berangkat dari pandangan Bellah tersebut berlakunya hukum-hukum lokal yang menyertai kebijakan-kebijakan publik dalam kerangka teologi keagamaan merupakan kearifan mendasar yang harus dijadikan basis kebijakan dalam setiap pengambilan keputusan terkait praktik keagamaan. Dengan demikian, perspektif yang meletakkan penekanan pada kesatuan formulasi-formulasi (integrative formulation) untuk dikonsumsi secara general ke dalam struktur sistem sosial tertentu, akan mengalami resistensi dan bahkan ditolak (Abdullah dkk.,2008:5). Munculnya berbagai konflik sosial keagamaan belakangan ini diindikasikan sebagai akibat diabaikannya aspek-aspek lokalitas dalam masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa aspek-aspek lokalitas (khususnya kearifan lokal) menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan dalam upaya menjaga kohesi sosial dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Sementara itu menurut John Haba bahwa kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayaai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Berdasarkan inventarisasi Haba paling tidak ada enam signifikansi sebuah kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam menyelesaikan sebuah konflik.
27
Pertama, sebgai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkannya di atas common ground kebudayaan yang dimiliki. Keenam,
kearifan lokal
berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Haba dalam Abdullah,2008:7-8). Buku ini memberikan rujukan tentang penggunaan pendekatan berbasis kearifan lokal (local wisdom), karena sumber-sumber budaya menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebuah kumunitas. Konflik-konflik yang muncul diyakini dapat dikelola dengan kearifan lokal dimaksud, dan tidak harus melibatkan politik kekuasaan. Inilah yang menurut Abdullah sebagai kelebihan dalam pendekatan yang menggunakan kearifan lokal yang menurut istilah Abdullah sebagai sebuah ”pendekatan dari dalam” dalam penyelesaian konflikkonflik sosial keagamaan. Buku ini memberikan inspirasi bagi penelitian ini karena berangkat dari ide yang sama, yaitu untuk mengangkat kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas lokal dalam hal ini masyarakat Bali Aga. Regulasi negara dalam
28
bidang agama yang bersifat top down yaitu penekanan pada kesatuan formulasiformulasi untuk dikonsumsi secara general ke dalam struktur sistem sosial tertentu, disamping akan mengalami akomodasi, adaptasi, resistensi dan bahkan ditolak. Pustaka lain yang juga sangat memberikan inspirasi dalam penelitian ini adalah buku berjudul Sinergi Agama & Budaya Lokal, yang merupakan kumpulan tulisan tentang dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal. Komaruddin Hidayat salah seorang penulis menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara agama dan budaya yang kemudian tampil dalam berbagai bentuk festival keagamaan, namun sangat kentyal dengan warna budaya lokalnya sekalipun pesan dan pemaknaannya selalu ditarik ke tataran universal. Hal ini terkait dengan hakikat manusia dengan kemanusiaan yang bersifat homo ludens, karena senang dengan ragam permainan, homo religious, karena selalu mencari dan merindukan Tuhan, dan juga homo festivus mengingat kegemarannya berfentival (Hidayat, 2003:9). Menurut pandangan Hidayat dalam tulisannya berjudul Dialektika Agama dan Budaya, agama hendaknya mampu mentransendensikan diri, berada di atas pluralitas budaya dan bangsa, lalu memberikan visi, motivasi dan pencerahan kemanusiaan dalam bingkai kebangsaan dan kebudayaan. Gerakan keagamaan pada akhirnya adalah gerakan kebudayaan karena manifestasi akhir dan perilaku seseorang tampil dalam ranah budaya. Dan jika sebuah agama tidak mampu mengartikulasikan diri dalam wadah budaya sebagai gerakan emansipatoris, maka agama akan ditinggalkan orang. Sebaliknya, gerakan kebudayaan yang tidak memiliki dimensi transenden juga tidak akan mampu memperoleh dukungan
29
abadi dan militan. Dalam pada itu, agama apapun pada akhirnya akan diuji oleh sejarah dengan ukuran-ukuran kemanusiaan secara empiris (Hidayat, 2003:11). Tulisan-tulisan dalam buku ini menunjukkan bahwa adanya sinergi antara agama dan kebudayaan. Tulisan tulisan dalam buku ini sangat membantu penelitian ini mengingat bahwa persoalan kebudayaan akan terkait dengan persoalan keagamaan, demikian sebaliknya. Sementara itu hasil penelitian Mulder tentang adaptasi budaya yang terjadi antara agama Islam dengan budaya Jawa; antara agama Katolik dengan budaya Filipina, dan antara agama Budha dengan budaya Thailand
sampai pada
kesimpulan bahwa antara ketiganya menunjukkan persamaan-persamaan yang khas. Persamaan-persamaan itu adalah apa yang disebut oleh Mulder dengan istilah lokalisasi. Konsep ini menyoroti inisiatif dan sumbangan masyarakatmasyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggungjawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan cara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal, atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokan itu akan berkembang dan berbuah (Mulder, 1999: 5). Hasil penelitian Mulder ini menjadi rujukan penting dalam penelitian ini karena pada dasarnya menunjukkan kesamaan, meskipun cakupan wilayah penelitiannya lebih sempit. Penelitian Mulder tentu bisa menjadi tuntunan dalam
30
mengkaji persoalan-persoalan adaptasi budaya di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng antara Agama Hindu dengan budaya lokal. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Smith (1985) menunjukkan bahwa modernisasi telah menyebabkan agama-agama harus melakukan relevansi dengan pembangunan. Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam proses tersebut. Pertama, walaupun di sana-sini terdapat sinkritisme (pencampuradukan), namun agama yang merupakan tradisi-tradisi besar itu secara ketat telah terpadu dengan budaya-budaya tradisional di dunia ketiga dan pengharuhnya yang tidak akan habis-habisnya jelas tidak dapat dipungkiri. Kedua, pada saat pendidikan masuk ke desa, perubahan pandangan dunia yang pertama kali tidak menuju ke sekulerisme melainkan kepada konsepsi-konsepsi warisan keagamaan yang lebih sempurna dan lebih masuk akal. Konsepsi-konsepsi yang bersifat magis dan animistis adalah korban-korban dari adanya pendidikan bersifat modern. Ketiga, sebagian besar
diantara
orang-orang
yang
berpendidikan modern
dan
berkesadaran politik ternyata berbuat sejalan dengan lambang-lambang agama sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci (agama skriptural). Istilah agama skriptural disampaikan oleh Schraf dalam buku Kajian Sosiologi Agama, 1995, diterbitkan oleh PT.Tiara Wacana Jogja. Dari paparannya yang sangat mendalam tentang perkembangan agamaagama di dunia ketiga dalam buku berjudul Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analitis yang diterbitkan di Indonesia tahun 1985 (dari judul asli Religion and Political Developmnet, An analitytic Studi, 1970), Smith sampai pada kesimpulan bahwa modernisasi telah menyebabkan terjadi sekularisasi. Penelitian ini cenderung memvonis bahwa modernisasi dalam masyarakat secara
31
otomatis akan melunturkan dan kemudian melenyapkan tradisi. Dalam kenyataannya modernisasi seringkali menjadi pelengkap dari tradisi dan sama sekali tidak menghapusnya. Pandangan Smith tersebut di atas kiranya perlu diuji di lapangan terutama menyangkut asumsinya bahwa modernisasi telah menyebabkan terjadinya sekulerisasi dan pudarnya tradisi.
2.2 Konsep Berkenaan dengan penelitian yang berjudul “ Adaptasi Budaya Masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara dalam Bidang Agama” terdapat beberapa konsep yang perlu mendapat penjelasan lebih rinci sehingga mencegah terjadinya bias pengertian serta dapat lebih mengarahkan penelitian ini.
2.2.1 Adaptasi Budaya Masyarakat Bali Aga Kata adaptasi berasal dari bahasa Inggris adaptation secara umum berarti menyesuaikan dengan kebutuhan atau tuntutan baru, atau dapat pula berarti usaha mencari keseimbangan kembali ke keadaan normal (Shadily, 1980: 75). Kata budaya dalam KBBI berarti : (1) pikiran, akal budi; (2) adat istiadat; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah (Ali, 1993: 149). Arti yang hampir sama dari kata budaya diperoleh dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta. Dalam kamus ini kata budaya diartikan sebagai : (1) pikiran, akal budi; (2) yang sudah berkembang (beradab, maju) (2007: 180). Kata adaptasi jika digabungkan dengan kata budaya menimbulkan pengertian sebagai
32
perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan yang menyebakan unsur-unsur itu dapat berfungsi lebih baik bagi manusia yang mendukungnya (Ali, 1993:6). Menurut Parson bahwa setiap unsur kebudayaan mengalami proses perubahan, terlebih lagi dalam situasi urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung cepat. Perubahan unsur kebudayaan juga dapat disebabkan oleh adanya gerakan sosial, oleh karenanya diperlukan adaptasi budaya. Dalam adaptasi budaya, setiap individu membutuhkan individu lain dalam rangka memberi respons dan menciptakan dunia sosialnya. Kebutuhan akan dunia sosial, memperkuat asumsi bahwa manusia tidak dapat hidup secara baik jikalau mereka terasing dari lingkungan sosialnya. Bukan hanya itu, manusia juga harus selalu berusaha memelihara hubungan yang selaras dengan alam dan lingkungan di sekitarnya berdasarkan prinsip hubungan timbal balik. Parson kemudian mengajukan teori tentang empat sistem tindakan untuk menjaga eksistensi yang disebut AGIL yaitu Adaptation (Adaptasi), Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration (Integrasi), dan Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola). Adaptasi dalam hubungan ini diartikan bahwa sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhan (Ritzer,2004:121). Sejalan dengan pandangan Parson tersebut Kaplan (2000:112) adaptasi
adalah
proses
yang
menghubungkan
menyatakan bahwa
sistem
budaya
dengan
lingkungannya. Sementara itu menurut Sanderson (2003:68) adaptasi adalah suatu trait sosial (sifat atau perangai sosial) yang muncul sebagai akibat adanya kebutuhan, tujuan dan hasrat individu. Adaptasi erat kaitannya dengan sebuah pola
33
sosiokultural, sebab bentuk-bentuk sosiokultural baru muncul sebagai adaptasi. Sanderson juga menambahkan bahwa inovasi sosiokultural dilakukan secara sengaja dan sama sekali tidak acak, oleh karenanya maka evolusi sosiokultural biasanya berlangsung sangat cepat (Sanderson,2003:72) Orang-orang Bali Aga adalah salah satu etnik di antara 101 etnik yang ada di Indonesia (Jamil, 2008: 43). Kata Aga berarti gunung. Bali Aga adalah sebutan untuk orang Bali asli ( Dinas Pendidikan Dasar Prop. Dati I Bali, 1991: 6). Nenek moyang orang-orang Bali Aga diperkirakan adalah orang-orang Austronesia yang disebut juga Proto Melayu. Sebutan Bali Aga adalah untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang diperkirakan sebagai penduduk awal yang mendiami Pulau Bali dan relatif sedikit kena pengaruh Hindu. Mereka pada umumnya berada di daerah pegunungan. Adanya sebutan tersebut adalah untuk membedakan dengan orang–orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali yaitu mereka pada umumnya
datang dari Jawa (Dharmayuda, 1995:33; Sudharta,2006:1),
sementara Bagus (2004:286) menyebutnya dengan istilah Bali-Majapahit yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah dataran. Berangkat dari pengertian adaptasi dari Parson dan Sanderson tersebut maka adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam penelitian ini adalah upaya sistematis yang dilakukan oleh masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng untuk menyesuaikan sistem budayanya dengan sistem budaya yang datang kemudian dalam rangka mempertahankan eksistensi budayanya. Hal ini bisa terjadi karena adanya tekanan dari luar atau bisa juga karena keinginan mereka untuk melakukan perubahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Bali Aga dapat memilah dan memilih sistem budaya yang tepat untuk
34
lingkungan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi tersebut selalu berubah maka dalam upaya pengadaptasian tersebut manusia terus mengikuti, mengamati, dan menginterprestasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi budaya yang dilakukan tidak semata-mata ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan tujuan yang bersumber pada kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat.
2.2.2 Regulasi Negara di Bidang Agama Kata regulasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengaturan (Ali, 1993;827). Kata negara memiliki dua pengertian yaitu (1) organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; (2) kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
tujuan nasionalnya
(Ali,1993; 685). Sementara itu Oommen (2009:29) menjelaskan bahwa negara adalah suatu institusi legal yang menyediakan perlindungan bagi penghuninya dari gangguan internasional dan agresi eksternal. Pengaturan atau regulasi negara di bidang agama sebenarnya hanya bisa tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan dalam rangka melindungi keselamatan umum, tatanan, kesehatan, moral, atau hak-hak fundamental orang lain. Penting untuk ditekankan di sini bahwa meskipun pembatasan-pembatasan atas ruang lingkup kebebasan beragama atau berkepercayaan dibutuhkan, namun pembatasan-pembatasan itu harus ditafsirkan
35
sesempit mungkin dengan tujuan untuk memaksimalkan ruang kebebasan. Ketentuan-ketentuan pembatasan yang kaku dapat membahayakan kebebasan itu sendiri. Oleh karena itu pembatasan-pembatasan itu harus diarahkan untuk melindungi agama dan potensi-potensinya bagi kebaikan, sekaligus pula menyaring akibat-akibat latennya yang cenderung negatif. Pembatasan atau pengaturan kebebasan beragama oleh negara ditujukan paling tidak untuk mencapai lima hal (1) menjaga keselamatan publik, (2) menjaga tatanan publik, (3) menjaga kesehatan publik, (4) menjaga moral publik, (5) menjaga hak dan kebebasan orang lain (Baidhawi, 2005: 15). Regulasi negara dalam bidang agama menurut pandangan Jamil (2007: 4748) diartikan sebagai politik agama, yang tak lain merupakan kebijakan agama yang diintrodusir melalui produk peraturan dan kebijakan bidang agama. Menurut Jamil kerangka kebijakan negara dalam setiap periode kekuasaan politik di Indonesia terhadap agama, dilandaskan pada tiga hal pokok. Pertama, berkaitan dengan hubungan antaragama dan negara; kedua, menyangkut relasi antara agama; dan ketiga imajinasi politik untuk memainkan ”kartu agama” di dalam percaturan politik, baik untuk kepentingan mengontrol dan menguasainya, maupun mobilisasi untuk meraih dukungan agama untuk kepentingan politiknya Menurut Duverger, negara di dalam bangsa dan kekuasaan yang terorganisir dalam kolektivitas memainkan peranannya didalam integrasi sosial dengan turut mengambil bagian, terutama dalam membangun dan memperkuat aturan-aturan dan prosedur-prosedur. Aturan dan prosedur pertama-tama berfungsi untuk membatasi ekspresi antagonisme dalam masyarakat. Kekuasaan pemerintah turut campur baik untuk melindungi pihak yang lemah dari penguasaan pihak yang kuat
36
atau untuk menghindari persetujuan pribadi yang akan berlawanan dengan kepentingan umum masyarakat (Duverger, 2005: 326-327). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa regulasi negara di bidang agama dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pengaturan oleh negara di bidang agama (Hindu) dengan jalan membuat aturan-aturan maupun prosedur-prosedur guna menata masalah agama, mencegah terjadinya ekspresi antagonisme, melindungi pihak yang lemah dari penguasaan pihak yang lebih kuat, dan untuk melindungi agama dan potensi-potensinya bagi kebaikan, sekaligus pula menyaring akibat-akibat latennya yang cenderung negatif.
2.3 Landasan Teori Cultural Studies adalah kajian yang berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial budaya kontemporer. Oleh karena itu, menurut Lubis (2006:181) yang tepat untuk kajian ini adalah kritis, dekonstruksi, dan konstruktivisme. Paradigma adalah suatu cara pandang yang memberikan arah umum (Saifuddin,2005:30; Triguna dkk.:1987:19). Dengan demikian paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalanpersoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Pada penelitian ini digunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini bukanlah model berpikir positivis, universal, linear, dan statis, tetapi model berpikir yang melihat sosial budaya dinamis, kontekstual, plural, dan lokal. Asumsi ontologis yang demikian secara paradigmatis lebih cocok dengan paradigma konstruktivisme. Lubis juga
37
mengatakan bahwa pengetahuan bukanlah pernyataan (klaim) sebagai penemuan mengenai obyek sejati, akan tetapi konstruksi-konstruksi interpretatif mengenai obyek. Teori sebagai klaim (interpretatif) dapat dianggap benar atau setidaknya mendekati kebenaran berdasarkan perspektif/paradigma si peneliti. Oleh karena itu, paradigma konstruktivisme (seperti pascastrukturalisme dan postmodernisme) menganggap klaim-klaim kebenaran teori lebih dilihat sebagai produksi kebenaran dalam permainan bahasa (language game) tertentu. Dengan kata lain bila meminjam pemikiran Ricoeur (2006: 333) bahwa semua pengetahuan didukung oleh kepentingan. McGuigan mengajukan metode yang disebutnya multiperspektif, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian ini harus mempertimbangkan politik, budaya, dan kekuasaan. Pendekatan multiperspektif meneliti bagaimana hubungan antara ekonomi, politik, representasi , teks dan audien bersamaan dalam keterlibatannya
dengan kebijakan budaya
(Lubis,2006:182).
Berdasarkan
pandangan tersebut maka cultural studies diharapkan mampu : (a) menunjukkan bagaimana produksi budaya berlangsung di dalam relasi historis, politik, dan ekonomi yang secara khusus menstrukturkan makna tekstual; (b) menunjukkan bagaimana masyarakat kapitalis diorganisir menurut cara produksi dominan yang terpusat pada komodifikasi dan upaya mengejar keuntungan; (c) memperhatikan fakta bahwa budaya diproduksi di dalam faktor dominasi dan subordinasi;
38
(d) membuka batas-batas dan cakupan diskursus dan teks ideologis dan politis yang mungkin terjadi pada alur historis tertentu (Barker, 2005: 487; Lubis, 2006: 182). Untuk mempertajam hasil analisis diperlukan teori yang tepat sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori sosial, yaitu sebagai berikut.
2.3.1 Teori Strukturalisme Genetis Salah seorang pemikir yang digolongkan dalam kelompok poststrukturalis adalah Pierre Bourdieu. Ia memusatkan perhatiannya pada praktik, yang menurut pandangannya adalah sebuah hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan. Untuk menggambarkan hubungan dialektika antara struktural dan cara orang membangun realitas sosial, ia mengatakan orientasi teoretisnya dengan ”strukturalisme konstruktivis”, atau ” konstruktivisme strukturalis” atau ” strukturalisme genetis” (Rey, 2007:40). Menurut Bourdieu yang dimaksud dengan strukturalisme genetis diuraikan sebagai berikut. Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga taraf tertentu, merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asalusul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (dimana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini) (Ritzer dan Goodman, 2004: 519) Menurut Bourdieu analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asalusul struktur mental aktor individual yang hingga tarap tertentu adalah produk dari gabungan struktur sosial, juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri. Kelemahan teori Bourdieu adalah ketidakmampuannya
39
untuk mengatasi subjektivitas. Namun demikian dalam teori Bourdieu ini peran aktor sangat penting karena dipandang mampu melakukan improvisasi secara teratur, meski dihasilkan tanpa sengaja. Inti teori Bourdieu adalah upayanya menjembatani subjektivisme dan objektivisme, dalam konsepnya tentang habitus dan lingkungan dan hubungan dialektika antara keduanya (Ritzer dan Goodman, 2004: 577).
Habitus Habitus terdapat dalam pikiran aktor, sementara itu lingkungan berada di luar pikiran mereka. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika Habitus adalah produk internalisasi struktur dunia sosial (dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 522; Harker,dkk. 2005: 13; Triguna, 2008:6) Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); di pihak lain, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Walau habitus adalah sebuah struktur yang diinternaslisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukan. Namun demikian menurut Boudieu, habitus sematamata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan mencerminkan berperannya habitus. Habistus menyediakan prinsip-
40
prinsip dan dengan prinsip itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Bourdieu juga menyatakan bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada (Ritzer dan Goodman, 2004: 524)
Lingkungan Lingkungan (field) menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan
bukanlah
intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi dikendalikan oleh struktur lingkungan. Dalam kehidupan sosial terdapat sejumlah lingkungan semi otonom (seperti kesenian, keagamaan, ekonomi) dan semuanya dengan logika khususnya sendiri-sendiri dan semuanya membangkitkan keyakinan di kalangan aktor mengenai sesuatu yang dipertaruhkan dalam lingkungan. Menurut Bourdieu lingkungan adalah sebuah arena pertarungan. Struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Didalamnya juga
41
termasuk persoalan politik (kekuasaan) ; hierarkhi hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan lain. Untuk menganalisis masalah lingkungan ini Bourdieu mengajukan tiga langkah proses. Langkah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik. Langkah ke dua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menemukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Menurut Bourdieu, pada lingkungan atau arena inilah agen saling ’bertarung’ memperebutkan posisinya dengan mempertaruhkan paling tidak empat modal yaitu ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik. Teori Bourdieu memusatkan perhatiannya pada hubungan antara habitus. modal dan lingkungan (field, habitus, and capital) (Rey, 2007: 43). Hubungan ini berperan dalam dua cara. Di satu pihak, lingkungan mengondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun lingkungan sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai (Ritzer dan Goodman, 2004: 527; Ritzer, 2008: 584). Teori ini digunakan dalam hubungan dengan rumusan masalah kedua yaitu, hal-hal yang mendorong terjadinya adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng dalam merespons regulasi negara dalam bidang agama, dengan asumsi bahwa lingkungan akan memberi pengaruh terhadap kebudayaan dan agama. Berangkat dari unsur penting dalam teori Bourdieu yaitu habitus dan lingkungan, dalam penelitian ini wilayah Bali Aga khususnya daerah Cempaga dilihat sebagai wilayah pertarungan simbolik antara agama negara
42
dengan agama lokal. Bourdieu melihat negara sebagai tempat bertarung memperebutkan monopoli atas kekerasan simbolik dalam arti kekerasan yang digunakan terhadap agen sosial dengan keterlibatannya. Kekerasan simbolik adalah tindakan tak langsung yang umumnya melalui mekanisme kultural yang berbeda dari bentuk-bentuk kontrol yang lebih langsung. Bahasa, makna, sistem simbol mereka yang berkuasa, dipaksakan terhadap anggota masyarakat yang ditundukkan. Ini membantu menopang posisi penguasa (Ritzer an Goodman, 2004:526). Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tiga pilar penting dalam teori Bourdieu adalah habitus, capital, field (Furseth,2007:6). Pada arena ini atau di daerah Cempaga ’terjadi pertarungan’ antara habitus agama negara dengan habitus yang dimiliki penduduk lokal. Dengan demikian akan terjadi proses adaptasi budaya akibat adanya regulasi negara dalam bidang agama. Teori ini juga membantu menganalisis permasalahan pertama tentang proses adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara dalam bidang agama terutama menyangkut peran para agen dalam proses adaptasi budaya tersebut.
2.3.2 Teori Hegemoni Teori ini dikemukakan oleh Gramsci yang lahir pada tanggal 22 Januari 1891 di Ales, Sardinia dan meninggal di Roma 27 April 1937. Gramsci mewariskan perubahan besar dalam berbagai perdebatan pemikiran dan teori perubahan sosial (Simon, 2004: IX). Pertama, jauh sebelum perdebatan dan kritik mengenai perlunya pendekatan yang pluralistik, Gramsci telah merenung kan dan
43
mewaspadai tendensi reduksionisme di kalangan Marxisme. Teorinya tentang hegemoni sebenarnya merupakan kritik terselubung terhadap reduksionisme dan esensialisme di kalangan penganut Marxisme, yakni konsep pemikiran yang mereduksi dan menganggap esensi terhadap suatu entiti tertentu sebagai satusatunya kebenaran mutlak. Pemikiran reduksionisme dalam perbincangan teori pengetahuan diyakini sebagai berbahaya. Kedua, pemikiran Gramsci juga merupakan kritik terhadap kecenderungan positivistic dan mekanistik para pengikut Marxisme ortodok, terutama teori perubahan sosial dan revolusi (Fakih, 2004: XIV). Oleh karena itu Gramsci dikelompokkan sebagai pemikir neomarxisme. Pemikiran yang sangat terkenal dari Gramsci adalah konsep hegemoni. Konsep ini menyatakan bahwa ada suatu “blok historis” dari faksi kelas penguasa yang menerapkan “otoritas sosial” dan “kepemimpinan” terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni terjadi prosesproses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Barker, 2000: 467). Sejalan dengan pemikiran Barker tersebut, Storey (2004:172-173) mengatakan bahwa hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses dimana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat dimana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar dimana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.
44
Hegemoni Gramscian menggabungkan kekuatan dan kesepakatan dengan tergantung pada situasi, yang akhirnya melahirkan warga negara yang melalui pendisiplinan diri lantas menyesuaikan dirinya pada norma-norma yang telah disediakan negara, sebab warga negara melihat bahwa itulah cara paling aman untuk bertahan hidup dan sejahtera dalam dunia dimana praktik-praktik terstruktur di sekitarnya tercipta oleh campur tangan kekuasaan publik ke dalam wilayah privat (Beilharz, 2003:203). Sementara itu Simon (2004: 19) menyatakan bahwa hegemoni Gramsci bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
melainkan
hubungan
persetujuan
dengan
menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis (Ratna,2005:188). Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Penggunaan kekuatan koersif negara hanya sebagai pilihan terakhir ketika “kesadaran spontan” menemui kegagalan. Lebih jauh hal ini menunjukkan
bahwa
kecenderungan
kelompok
berkuasa
mengandalkan
kekuasaan koersif negara untuk menjaga kekuasaannnya hanya menunjukkan kelemahan ideologis maupun kulturalnya dari pada keperkasaannya (Sugiono, 2006:37). Storey (2004: 174) juga mengingatkan bahwa meskipun hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi namun hal itu tidak berarti bahwa masyarakat tidak sedang berada pada situasi tanpa konflik. Apa yang dilakukan hegemoni adalah membatasi konflik dan menyalurkannya pada saluran yang secara ideologis aman. Gramsci juga membahas secara mendalam tentang problem hegemoni dalam Passato a presente. Kelas-kelas yang tersubordinat harus memiliki kesadaran akan eksistensi mereka dan akan kekuatan mereka. Kesadaran itu akan dimiliki sejauh mereka sanggup mengamati dan mengevaluasi
45
eksistensi dan kekuatan kelas yang mendominasi. Kelas yang tersubordinasi yang secara historis bersifat defensif, hanya bisa menjadi sadar akan dirinya melalui negasi-negasi, dan melalui kesadaran akan kepribadiannya (Pozzolini,2006:80). Pemikiran penting lainnya dari Gramsci adalah tentang peran kelompok intelektual dan hubungan mereka dengan peserta-peserta perjuangan sosial yang lain. Gramsci membagi kelompok intelektual ini menjadi dua kelompok, yaitu intelektual “tradisional” dan “organik”. Intelektual tradisonal adalah mereka yang menempati berbagai posisi ilmiah, literer, filosofis, dan religius dalam masyarakat, termasuk juga dalam universitas, sekolah, gereja, media, lembagalembaga medis, penerbitan, dan firma-firma hukum. Mereka yang termasuk dalam kategori ini bisa berasal dari berbagai latar belakang kelas yang berbeda-beda, status, posisi dan fungsi mereka membuat mereka memandang dirinya sebagai kelompok yang independen, lepas dari komitmen kelas atau peran ideologis manapun. Meski demikian, dalam pandangan Gramsci, para intelektual tradisional ini justru memproduksi, mempertahankan, dan menyebarkan ideologi-ideologi yang membentuk hegemoni yang kemudian tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat. Sebaliknya, intelektual organik disebut oleh Gramsci sebagai bagian konstitutif dari perjuangan kelas pekerja (dan di kemudian hari, juga bagian dari perjuangan feminis, pasca kolonial, dll); mereka terlibat dalam pemikiran dan pengorganisasian berbagai elemen kelas kontrahegemonik dan sekutu-sekutunya (Barker, 2005: 469-470; Ratna, 2005:189). Penggunaan teori hegemoni ini membantu mempertajam analisis tentang rumusan masalah kedua yaitu hal-hal yang mendorong masyarakat Bali Aga di desa Cempaga Buleleng melakukan adaptasi budaya dalam merespons regulasi
46
negara dalam bidang agama, terutama menyangkut peran agen-agen intelektual baik intelektual tradisional maupun agen intelektual organik. Menurut Gramsci, agama ataupun organisasi keagamaan dapat dimainkan sebagai organisasi yang membantu beberapa kelompok, atau kelas, untuk mencapai hegemoni dalam suatu masyarakat (Bocock, 2007: 74). Selama ini memang tidak pernah tercatat penolakan secara terang-terangan dari masyarakat Bali Aga terhadap hegemoni negara baik lewat Departemen Agama maupun Parisada Hindu Dharma Indonesia yang berusaha menanamkan ajaran agama Hindu (mainstream). Namun demikian tidak berarti bahwa tidak terjadi resistensi budaya dalam masyarakat Bali Aga di desa Cempaga. Pergulatan budaya antara Hindu (mainstream) dengan budaya lokal masyarakat Bali Aga di desa Cempaga terus berlangsung sehingga memunculkan bentuk-bentuk revivalisasi, revitalisasi, hibridasi. Proses ini berdampak pada kesadaran identitas etnik pada masyarakat Bali Aga di desa Cempaga.
Adaptasi budaya
bukanlah satu-satunya
penyebab
terjadinya
rekonstruksi identitas etnik, modernisasi dan globalisasi melalui jalur pendidikan (Atmadja,2001:19) dan media masa juga sangat
dipertimbangkan sehingga
mempercepat proses dimaksud.
2.3.3 Teori Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan dari Foucault Pada umumnya kekuasaan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau suatu lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak lain. Pengertian semacam ini telah digunakan oleh para pengamat sejarah, politik, dan sosial. Kekuasan semacam itu dipandang sebagai hal yang bersifat represif. Akan tetapi Foucault memiliki pandangan yang berbeda
47
dalam melihat kekuasaan. Bagi Foucault “kebenaran” bukanlah sesuatu yang seolah sudah senantiasa ada “di sana” (given) tak tersentuh oleh waktu dan tinggal menemukannya, melainkan terjalin secara intrinsik dalam relasi antara wacana yang digunakan manusia untuk mengungkapkan kebenaran itu, sistem kekuasaan yang berlaku dan kedudukan subjek-subjek yang terlibat. Ketiga hal inipun sekaligus merupakan kenyataan yang menyejarah bersama kebenaran yang direngkuhnya. Dengan kata lain bahwa “ kebenaran” suatu wacana tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang mengatakan, kapan dan dimana ia mengatakannya. Ringkasnya kebenaran suatu wacana tergantung pada konteks ( Storey, 2004: 135; Sturrock,2004:175-176). Foucault berusaha menjelaskan bahwa kekuasaan dikendalikan oleh wacana dan bagaimana wacana itu selalu berakar dalam kekuasaan, ‘ kekuasaan menghasilkan pengetahuan, kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya, atau bahwa suatu pengetahuan tidak akan menuntut dan membentuk hubungan kekuasaan pada waktu yang sama. Dengan kata lain Foucault berpandangan bahwa tidak ada pengetahuan abadi yang berlaku di segala jaman. Sementara itu menurut Gidden (2005: 52) dalam ilmu, tidak ada satu pun yang pasti. Tidak ada pengetahuan dalam kondisi modernitas yang merupakan pengetahuan dalam pengertian “lama” dimana “ mengetahui” berarti yakin. Ini berlaku pada ilmu alam dan ilmu sosial. Foucault sebenarnya telah mengadopsi pemikiran Nietzsche (Best, 2003: 38) tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, tetapi hubungan itu lebih banyak dianalisisnya secara sosiologis. Dalam genealogis kekuasaan,
48
Faucoult membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di antaranya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan. Foucault juga memberi perhatian cukup besar pada teknik, teknologi yang berasal dari pengetahuan (terutama yang berasal dari ilmu pengetahuan ilmiah), dan memperhatikan cara teknologi digunakan oleh berbagai instansi untuk memaksakan kekuasaan terhadap manusia. Meski ia melihat kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan, namun ia yakin bahwa pengetahuan dan kekuasaan selalu bersaing; antara keduanya selalu terjadi resistensi (Ritzer, 2003: 115; Ritzer, 2005: 610). Dasar pertimbangan digunakannya teori kekuasaan Foucault tersebut di atas adalah untuk mempertjam analisis rumusan masalah kedua menyangkut halhal yang mendorong masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng melakukan adaptasi budaya terutama menyangkut relasi antara kekuasaan ( negara lewat tokoh-tokoh agama maupun lembaga-lembaga formal seperti Departemen Agama dan PHDI ) sebagai agen yang selalu berusaha menyebarluaskan konsep-konsep Hindu (mainstream) ke dalam masyarakat Bali Aga khususnya di desa adat Cempaga Buleleng. Relasi antara agama dan kekuasaan kiranya sesuatu yang mustahil sebab
agama merupakan lembaga produksi kekuasaan- pengetahuan
yang dahsyat terutama dalam masyarakat seperti di Indonesia. Dia tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas yang akan memudahkan mendapat kepatuhan baik dari pemeluknya, maupun ketakutan dari
49
mereka yang tidak termasuk bagiannya. Teori ini juga sangat membantu dalam memahami bentuk-bentuk resistensi masyarakat Bali Aga terhadap ajaran agama Hindu (mainstream) sehingga menghasilkan akomodasi, revitalisasi, revivalisasi, demikian
pula
dengan
dampak-dampak
yang
ditimbulkannya
sehingga
mendorong masyarakat Bali Aga untuk melakukan adaptasi budaya. Dengan demikian teori ini sangat membantu dalam menganalisis rumusan masalah ketiga yaitu dampak dan makna dari adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara dalam bidang agama. Sekilas tampak ada persamaan antara teori hegemoni yang disampaikan oleh Gramsci dengan teori relasi kekuasaan dan pengetahuan yang dikemukakan Faucoult dalam aplikasinya untuk membantu mempertajam analisis tentang pergulatan budaya masyarakat Bali Aga. Namun sebenarnya antara kedua teori tersebut memiliki domain yang sedikit berbeda namun bersifat komplementer. Secara lebih rinci Bennet memberikan deskripsi tentang persamaan dan perbedaan antara keduanya dalam mengkaji masalah kajian budaya sebagai berikut. Faucoultdian
Gramscian
Konseptualisasi kebudayaan yang berfokus pada kepemerintahan
Berpusat pada konsep-konsep ideologi, kesadaran dan perebutan persetujuan /dukungan sadar (kebudayaan yang berpusat pada makna dan representasi)
Tatanan hubungan antar berbagai praktik (yang terbentuk secara kontingen) harus dipetakan melalui materialisme yang kental
Revisionis, dan terlalu diskursif dimana pertempuran dianggap terjadi terutama pada level bahasa dan ideologi
Tidak ada sumber tunggal yang menjadi asal muasal kekuasaan. Kekuasaan adalah sesuatu yang tersebar, dan konflik bersifat spesifik, khas menurut “wilayah” kebudayaan yang teknologi yang relevan dengannya
Konseptualisasi arah aliran ideologi (hegemoni) mengarah pada upaya untuk mengorganisir perlawanan-perlawanan umum para subordinat melawan sebuah sumber kekuasaan tunggal, sebuah perlawanan kontra-hegemoni
50
Menuntut sebuah “politik yang terperinci” agar bias efektif dalam kaitannya dengan teknologi pemerintahan, kebijakan budaya, dan teknologi-teknologi kultural.
Kurang memberi perhatian pada kekhasan berbagai lembaga, teknologi, dan apparatus kebudayaan, dan terlalu berkonsentrasi pada analisis tekstual dan pada pencapaian-pencapaian personal yang didapat dari “gaya etis” tertentu yang secara berlebihan, merayakan marginalitas. (Disarikan dari pandangan Bennet (1998) sebagaimana dikutif Barker (2005: 492-493).
2.3.4 Teori Resepsi Pada awalnya teori ini digunakan untuk menganalisis karya sastra, namun akhirnya berkembang untuk menganalisis persoalan-persoalan sosial. Secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca terhadap satu karya sastra. Terdapat dua model resepsi yaitu sinkronis dan diakronis. Pertama, model resepsi sinkronis dapat dilakukan melalui tanggapan orang atau sekelompok orang yang sengaja dikelompokkan dalam rangka memberikan penilaian terhadap karya sastra. Kesimpulan diperoleh melalui keragaman pendapat kelompok-kelompok yang diteliti. Sementara itu model yang kedua yaitu resepsi diakronis dalam hubungan dengan studi kultural lebih signifikan karena, pertama, perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketahui tokoh dan kekuatan yang berdiri di belakangnya (Ratna, 2005: 209). Dalam pandangan Barker (2005:43) pemirsa (baca masyarakat Bali Aga) merupakan pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan teks (baca regulasi negara dalam bidang agama). Jika pemirsa berada dalam kerangka
51
kultural yang sama dengan para produser teks, maka penciptaan makna masih tak berbeda dengan tekstual. Tapi kalau pemirsa bertempat dalam posisi sosial yang berbeda dari para produser, dengan segala sumber daya kultural yang ada pada mereka akan bisa membaca/menafsirkan program-program itu secara alternatif. Berangkat dari asumsi dasar teori resepsi tersebut di atas terutama menyangkut tokoh serta kekuatan di belakang perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng dalam merespons adanya regulasi negara dalam bidang agama, maka teori ini akan sangat membantu dalam menganalisis rumusan masalah pertama; serta dapat pula digunakan membantu analisis dalam rumusan masalah ketiga yaitu tentang dampak dan makna adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng dalam merespons regulasi negara dalam bidang agama.
52
2.4 Model Penelitian.
Agama Bali Aga (Agama Lokal)
Agama Hindu
Adaptasi Budaya Masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng dalam merespons regulasi negara
Faktor Eksternal Politik Ekonomi Pendidikan PHDI Media Massa
Proses Adaptasi Budaya masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara di bidang agama di Desa Cempaga Buleleng
Faktor-faktor pendorong adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara di bidang agama
Keterangan : Saling berpengaruh Berpengaruh
Faktor Internal Keinginan berubah Peran Intelektual
Dampak dan makna adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam merespons regulasi negara di bidang agama
53
Penjelasan Model Penelitian Masyarakat Bali Aga selama ini telah teridentifikasi sebagai masyarakat yang sangat sedikit mendapat pengaruh Hindu, bertempat tinggal di daerah pegunungan Bali serta bersifat sangat egaliter (Bagus,2002; Suada,2003; Bagus,2004). Masa penjajahan yang membawa pengaruh modernisme lewat pendidikan menyebabkan perubahan besar dalam pola pikir masyarakat Bali. Di Singaraja mulai muncul media masa Surya Kanta dan Bali Adnyana yang memberikan pencerahan pada masyarakat, sekaligus memberikan indikasi bahwa masyarakat Bali mulai memasuki wilayah kosmoplitan (Agung, 1991/1992; Triguna, 1997; Atmadja, 2001:50; Picard, 2004:60). Hal ini tentu membawa konsekuensikonsekuensi terhadap pola pikir masyarakat termasuk dalam bidang agama dam kebudayaannya. Berakhirnya masa penjajahan Belanda mengantarkan masyarakat Bali memasuki masa kemerdekaan di bawah naungan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat Bali pada waktu itu adalah masalah identitas keagamaan sebab apa yang mereka anut selama ini dipandang bukan sebagai agama melainkan semacam animis. Oleh karena itu, sistem keagamaan yang berkembang saat itu di Bali tidak ditempatkan dalam naungan Departemen Agama RI. Untuk merespons hal ini mulailah para intelektual Bali merumuskan bentuk keagamaan yang mereka anut sehingga memenuhi format sebagai agama. Dalam upaya mendapat pengakuan pemerintah tentang agama yang mereka anut, mulailah gerakan regulasi agama yang sebelumnya sangat beragam (agama Tirtha, agama Siwa Buddha, agama Bali)
54
menjadi agama Hindu yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu pengaruh Jawa dan Hindu India. Peran Narendra Pandit Sastri sebagai missionaries Arya Samaj dari India cukup signifikan dalam penataan ajaran agama Hindu guna memenuhi kriteria yang dibutuhkan saat itu untuk mendapat pengakuan sebagai agama resmi di Indonesia. Peran Pandit Sastri kemudian dilanjutkan oleh Yadap Somvir pada era tahun 90an (lihat tulisan Ramstedt ed., 2004. Hinduisme in Modern Indonesia. London and New York: Routledge Curson). Proses ini membutuhkan pemikiran dan waktu cukup panjang. Dengan ditetapkannya agama Hindu sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Bali berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 5 September 1958 (Sudharta dan Surpha, 2006:27), regulasi agama pada masyarakat Bali Aga menjadi sangat intensif dilakukan lewat lembaga Departemen Agama dan Parisada Hindu Dharma Indonesia. Diakui ataupun tidak, dengan meminjam pemikiran Faucoult (Best, 2003: 38) tentang relasi kuasa dan pengetahuan, serta pemikiran Gramsci tentang hegemoni (Simon, 2004; Storey: 2004; Pozzolini, 2006; Sugiono, 2006; Bocock,2007:74) maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi hegemonisasi agama dan budaya Hindu terhadap budaya dan agama lokal Bali Aga. Dengan masuknya agama Hindu sebagai agama resmi di jajaran Departemen Agama RI melalui surat keputusan Menteri Agama RI tgl 5 September 1958, dimulailah masa pengaturan sistem keberagamaan Hindu oleh Negara melalui Departemen Agama dan Parisada Hindu Dharma (PHDI). Dengan kata lain mulai adanya regulasi negara dalam bidang agama. Masuknya ajaran agama Hindu yang dibawa oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia serta konsep-
55
konsep tentang Desa Pakraman yang dibawa oleh Badan Pembina dan Pengembangan Lembaga Adat (sekarang bernama Majelis Madya Desa Pakraman), menyebabkan terjadinya adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng yang ditandai oleh adanya akomodasi, akulturasi dan resistensi ajaran agama Hindu. Terjadinya adaptasi budaya ini di samping karena adanya faktor eksternal seperti politik, ekonomi, pendidikan, PHDI, dan media massa, juga adanya faktor internal yaitu keinginan untuk berubah dan peran intelektual. Dengan kata lain bahwa telah terjadi lokalisasi ajaran agama Hindu. Lokalisasi Hindu yang dimaksud adalah
inisiatif dan
sumbangan masyarakat-masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggungjawab atas hasil-hasil pertemuan budaya lokal dengan bentuk-bentuk budaya yang datang dari luar. Dalam hal ini, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah yang lebih aktif dalam menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan cara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup mereka. Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokan itu akan berkembang dan berbuah (Mulder, 1999: 5; Nordholt, 2006: 11). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu yang dibawa oleh lembaga PHDI, ada yang diterima namun ada juga penolakan terhadap hal-hal yang dipandang kurang cocok untuk dikembangkan di daerah tersebut (akomodasi dan resistensi). Disamping itu masuknya ajaran agama Hindu dapat menguatkan (revitalisasi) sistem keyakinan yang telah berkembang di Desa Cempaga, namun ada juga yang mengarah pada penggalian, pemertahanan dan
56
menghidupkan kembali budaya yang selama ini telah terlupakan dengan menolak segala unsur yang datang dari luar (revivalisasi).Adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga dalam merespons regulasi negara dalam bidang agama bukan hanya didorong oleh faktor- eksternal namun juga disebabkan oleh faktor internal yaitu adanya keinginan untuk berubah serta munculnya aktor- intelektual setempat sebagai kelompok pembaharu. Regulasi Negara dalam bidang agama menimbulkan respons dalam masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng sehingga memunculkan tiga permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini yaitu, proses adaptasi budaya, faktor-faktor pendorong terjadinya adaptasi budaya, serta implikasi adaptasi budaya masyarakat Bali Aga dalam merespon regulasi Negara di bidang agama. Lokasi masyarakat Bali Aga telah menjadi ajang kontestasi budaya atau pertarungan wilayah simbolik antara Hindu (mainstream) dengan Hindu lokal sehingga memunculkan adaptasi budaya dari masyarakat Bali Aga untuk mempertahankan eksistensi budayanya. Dengan demikian terjadilah dialektika antara kebudayaan setempat dengan pengaruh yang datang dari luar. Proses ini berlangsung cukup lama dan akan terus terjadi, karena pada dasarnya tak ada sesuatu apapun yang bisa menutup diri dari interaksi dengan dunia luar pada masa sekarang ini. Harus diakui bahwa perubahan memang tidak terbantahkan akibat pergaulan antarbudaya sehingga beberapa dampak yang muncul salah satu diantaranya adalah menyebabkan munculnya budaya hibridasi pada masyarakat Bali Aga di Cempaga Kabupaten Buleleng Bali. Hibridasi berangkat dari teori biologi, merujuk pada kemunculan budaya baru sebagai hasil adaptasi budaya
57
lokal dengan bentuk budaya lain yang berkembang di lokasi budaya lokal tersebut berkembang (Eriksen, 2002: 153). Kajian dilakukan dengan meminjam teori relasi pengetahuan dan kekuasan Foucault (sebagaimana tertuang dalam tulisan-tulisan Rabinow, 2002; Storey, 2004; Macdonell; 2005) yang ditandai oleh akomodasi, revitalisasi, revivalisasi, serta resistensi (Trijono, 2004).