BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Tentang Pariwisata Berbasis Masyarakat Pariwisata berbasis masyarakat merupakan suatu bentuk kepariwisataan yang mengedepankan kepemilikan dan peran serta aktif masyarakat, memberikan edukasi kepada
masyarakat
lokal maupun pengunjung,
mengedepankan
perlindungan kepada budaya dan lingkungan, serta memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat lokal. Sebagai sebuah konsep pengembangan pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat bukanlah konsep yang kaku (Tasci et al, 2013). Penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat harus disesuaikan dengan karakteristik suatu destinasi, baik kondisi fisik, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, serta sistem ekonominya. Meskipun implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat akan berbeda di setiap destinasi, namun prinsip-prinsip yang diterapkan pada dasarnya dapat ditentukan, dengan memperhatikan karakteristik destinasi tersebut. Asker et al (2010) mengemukakan tiga prinsip pariwisata berbasis masyarakat yaitu pemberdayaan
masyarakat,
mengedepankan
budaya
dan
mengedepankan
lingkungan. Selain 3 prinsip tersebut, Haussler dan Strasdas (2003) menambahkan prinsip lain yaitu manfaat terbesar harus dinikmati masyarakat, dan adanya unsur edukasi bagi masyarakat maupun pengunjung mengenai pentingnya perlindungan terhadap alam dan budaya. Terkait dengan hal tersebut, terdapat banyak penelitian
10
11
yang mengkaji mengenai penerapan pariwisata berbasis masyarakat. Namun kebanyakan dari penelitian tersebut hanya mengkaji salah satu dari prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Raja Othman, Mohamad, Hamzah, Abdul Razzaq dan Khalifah (2011) dengan judul “Community Capasity Building for Sustainable Tourism Development, Experience From Miso Walay Homestay” dilakukan di Miso Walay Homestay di daerah Sabah, Malaysia, merupakan salah satu penelitian yang mengkaji penerapan prinsip pariwisata berbasis masyarakat. Penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus empiris kualitatif untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai implementasi pariwisata berbasis masyarakat di Malaysia. Persamaan antara penelitian Raja Othman et al (2011) dengan penelitian ini terletak pada usaha untuk mengetahui faktor-faktor yang
mendukung
kesuksesan
maupun
mengakibatkan kegagalan dalam
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian dimana pada studi yang dijadikan acuan lebih berfokus pada pengkajian satu prinsip dari pariwisata berbasis masyarakat saja yaitu “community” atau masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat sebagai salah satu prinsip pariwisata berbasis masyarakat memegang peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengembangan pariwisata di suatu daerah. Sejalan dengan penelitian Raja Othman et al (2011), Lopez-Guzman, Sanchez-Canizarez dan Pavon (2011) juga mengemukakan pentingnya dukungan masyarakat sebagai salah satu prinsip untuk menjamin berhasilnya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Penelitian mereka dilakukan dengan metode
12
kualitatif di El Salvador dengan judul “Community-Based Tourism In Developing Countries, a Case Study”. Persamaan antara penelitian Lopez-Guzman et al (2011) dengan penelitian ini adalah pada objek kajian dan metode yang digunakan. Perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya dimana penelitian Lopez-Guzman et al berusaha untuk mengetahui persepsi masyarakat jika daerahnya dikembangkan sebagai destinasi wisata berbasis keramahan penduduk, keanekaragaman kekayaan ekologi serta partisipasi masyarakatnya. Penelitian ini mengungkapkan bahwa menurut masyarakat El Salvador, pengembangan kepariwisataan berbasis masyarakat dapat menciptakan lapangan kerja serta menumbuhkan kesejahteraan bagi masyarakat. Penelitian (tesis) yang dilakukan oleh Sri Widowati (2012) menunjukkan perlunya melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Penelitian tersebut berjudul “Kajian Potensi Serta Evaluasi Penerapan Prinsip-prinsip Dan Kriteria Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Kawah Ijen Desa Taman Sari”, dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian ini mengkaji mengenai potensi ekowisata Kawah Ijen serta mengevaluasi penerapan prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata yang diterapkan di Taman Wisata Alam Kawah Ijen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kawah Ijen memiliki potensi besar bagi pengembangan ekowisata, meskipun belum sepenuhnya dikembangkan. Hasil evaluasi atas pelaksanaan ekowisata menunjukkan bahwa beberapa indikator yang diamati memenuhi beberapa kriteria ekowisata dan bahwa untuk meningkatkan implementasi konsep ekowisata atau kriteria, diperlukan pelatihan. Selain itu masyarakat setempat harus dilibatkan dalam
13
program. Persamaan antara penelitian Sri Widowati dengan penelitian ini terletak pada usaha untuk mengkaji penerapan prinsip (implementasi) suatu konsep. Perbedaan utamanya terletak pada objek kajiannya, dimana penelitian Sri Widowati mengkaji ekowisata, sedangkan penelitian ini mengkaji mengenai pariwisata berbasis masyarakat Penelitian yang dilakukan oleh Arif Satria, Yoshiaki Matsuda dan Masaaki Sano (2005) di Lombok Barat mengkaji mengenai prinsip masyarakat dan ekonomi dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Penelitian tersebut berjudul “Questioning Community Based Coral Reef Management System, Case Study of Awig-Awig in Gili Indah Indonesia”, dilakukan dengan metode riset lapangan dimana data dikumpulkan melalui wawancara individu dan focus group discussion (FGD). Persamaan antara penelitian Arif Satria et al (2005) dengan penelitian ini terletak pada usaha untuk mengetahui proses penerapan suatu konsep (implementasi). Perbedaan utamanya terletak pada objek yang diimplementasikan, dimana pada studi Arif Satria et al (2005) yang diimplementasikan adalah awig-awig dalam kerangka pariwisata berbasis masyarakat, sedangkan penelitian ini lebih berfokus pada usaha untuk mengetahui bagaimana proses penerapan (implementasi) dari konsep pariwisata berbasis masyarakat di suatu daya tarik wisata. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa awig-awig sebagai bentuk implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat untuk mengelola kawasan tidak mampu menjalankan perannya sebagai perangkat aturan untuk mengelola kawasan terumbu karang di Gili Indah, Lombok Barat
14
sebagai akibat tingginya kesenjangan sosial-ekonomi dan perbedaan kepentingan di kalangan masyarakat. Pengkajian terhadap prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang lebih menyeluruh dilakukan oleh Nurhidayati (2013). Penelitian tersebut berjudul “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas Di Kota Batu, Jawa Timur” menunjukkan diimplementasikannya prinsip ekonomi, sosial, lingkungan dan politik dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Penelitian Nurhidayati (2013)
juga
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penerapan prinsip pariwisata berbasis masyarakat dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini berhasil merumuskan sebuah model pariwisata berbasis masyarakat yaitu CBT Plus yang merupakan penyempurnaan dari konsep pariwisata berbasis masyarakat yang selama ini banyak diterapkan. Persamaan antara penelitian Nurhidayanti dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti mengenai penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat. Perbedaannya terletak pada metodenya, dimana penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Disamping itu, penelitian Nurhidayanti dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan mengenai prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di Kota Batu, sedangkan penelitian ini diawali dengan usaha untuk mengungkap prinsip pariwisata berbasis masyarakat apa saja
yang diterapkan di Pantai Kedonganan,
dilanjutkan dengan
mengungkapkan tahapan/proses penerapannya, kendala dan pendukungnya, serta modelnya.
15
Keberhasilan penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat di suatu destinasi ditentukan oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat. Penelitian Raja Othman at al (2011), dan Lopez-Gusman et al (2011) dan Sri Widowati (2012) menunjukkan keterlibatan dan dukungan masyarakat sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan maupun kegagalan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Arif Satria et al (2005) dimana dukungan masyarakat mempengaruhi keberhasilan penerapan awig-awig dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Lombok Barat. Penelitian Arif Satria et al (2005) juga menunjukkan bahwa kesenjangan di bidang sosial-ekonomi di antara warga Lombok Barat menghambat pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di daerahnya. Lebih lanjut, Nurhidayanti (2013) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan prinsip pariwisata berbasis masyarakat adalah struktur perekonomian masyarakat, peran pemerintah, status kekhususan suatu daerah, kekayaan sumber daya alam, kekuatan budaya setempat, berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap informasi, etos kerja lokal, kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas. 2.1.2. Penelitian Tentang Pariwisata di Kedonganan Pantai Kedonganan telah berkembang sebagai daerah tujuan wisata semenjak tahun 1995, dan semenjak tahun 2007 telah dikelola dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Namun hingga kini masih belum banyak penelitian yang membahas mengenai kepariwisataan di Pantai Kedonganan, khususnya pariwisata berbasis masyarakat. Beberapa penelitian mengenai
16
kepariwisataan di Pantai Kedonganan yang berhasil ditelusuri yaitu seperti yang dipaparkan dalam paragraf berikut. Sucipta (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui penataan Pantai Kedonganan sebagai daya tarik wisata kuliner berbasis masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa pengelolaan pariwisata di Pantai Kedonganan dilakukan berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang menekankan pentingnya keseimbangan hubungan di antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan serta manusia dengan penciptanya. Penelitian di Kedonganan lainnya dilakukan oleh Sardana (2013) untuk mengetahui implikasi pengaturan usaha pariwisata di Pantai Kedonganan dan Pantai Kuta terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedongaan dan Kuta Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung Provinsi Bali. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang hukum, dimana hasilnya adalah bahwa dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/I/HK/2008 yang berdasarkan Pasal 61 dan 62 Undang-Undang Wilayah Pesisir menimbulkan implikasi positif bagi warga Desa Adat Kedonganan, dimana hak penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan Pantai Kedonganan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung telah memberikan dampak positif baik secara ekonomi, sosial dan budaya bagi warga Desa Adat Kedonganan sebagai masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayah Pantai Kedonganan. Penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan Pantai Kedonganan memberikan dampak positif bagi warga Desa Adat Kedonganan. Namun penelitian tersebut tidak mengungkap proses yang dilalui sehingga
17
perkembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan mampu memberikan berbagai dampak positif tersebut. Penelitian tersebut juga tidak memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang harus ditekankan dan diterapkan dalam pengelolaan kepariwisataan untuk bisa memaksimalkan dampak positifnya serta meminimalkan dampak negatifnya, sehingga mampu memberikan gambaran dan inspirasi bagi pengembangan kepariwisataan di daerah lain.
2.2
Konsep
2.2.1 Implementasi Kata imlementasi berasal dari kata “implementation” yang berarti pelaksanaan (Echols & Shadily, 2000). Berdasarkan hal tersebut, kata “implementasi” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pelaksanaan atau penerapan
konsep
pariwisata
berbasis
masyarakat
dalam
pengelolaan
kepariwisataan di Pantai Kedonganan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Adapun pelaksanaan atau penerapan yang dimaksud adalah proses, atau rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penerapan prinsip-prinsip dari konsep pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan, termasuk di dalamnya kendala maupun faktor pendukungnya. 2.2.2 Pariwisata Berbasis Masyarakat Dalam istilah aslinya, pariwisata berbasis masyarakat disebut sebagai community based tourism (CBT). Pariwisata berbasis masyarakat merupakan kepariwisataan yang umumnya diselenggarakan dalam skala kecil dimana di dalamnya terjadi interaksi antara pengunjung dan masyarakat tuan rumah.
18
Pariwisata berbasis masyarakat biasanya lebih cocok untuk diterapkan di daerah pedesaan, dikelola dan dimiliki oleh masyarakat lokal dan untuk masyarakat lokal, dengan mengedepankan penyedia pelayanan pariwisata lokal dan berfokus pada budaya dan lingkungan sebagai daya tariknya (Asker dkk., 2010 : 1). Definisi lain menyatakan bahwa pariwisata berbasis masyarakat bertujuan untuk mempromosikan partisipasi dan kepemilikan masyarakat lokal terhadap kepariwisataan yang dikembangkan di daerahnya (UNWTO – STEP Foundation, 2011). Hausler and Strasdas (2003 : 3) menyatakan bahwa pariwisata berbasis masyarakat
merupakan
sejenis
kepariwisataan
yang
perkembangan dan
pengelolaannya dikontrol oleh masyarakat lokal, dimana bagian terbesar dari manfaat yang dihasilkan kepariwisataan tersebut dinikmati oleh masyarakat lokal, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kepariwisataan tersebut, serta memberikan pendidikan bagi pengunjung maupun masyarakat lokal mengenai pentingnya usaha konservasi terhadap alam dan budaya. Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan definisi operasional dari konsep “pariwisata berbasis masyarakat” untuk penelitian ini yaitu suatu bentuk kepariwisataan yang mengedepankan kepemilikan dan peran serta aktif masyarakat, memberikan edukasi kepada masyarakat lokal maupun pengunjung, mengedepankan perlindungan kepada budaya dan lingkungan, serta memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat lokal. 2.2.3 Daya Tarik Wisata (DTW) Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
19
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan ayat 5; Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009 – 2029). Dalam pasal 66 ayat (6) Peraturan Daerah tentang RTRW Bali tersebut juga dinyatakan bahwa DTW mencakup segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. DTW dapat mencakup dan/atau berupa kawasan/hamparan, wilayah desa/kelurahan, masa bangunan, bangun bangunan dan lingkungan sekitarnya, jalur wisata yang lokasinya tersebar di wilayah kabupaten/kota baik yang berada di dalam maupun di luar Kawasan Pariwisata dan/atau KDTWK. 2.2.4 Café Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition, kata cafe didefinisikan sebagai “a place where you can buy drinks and simple food”. Cafe juga didefinisikan sebagai “a small shops/store that sells sweets, newspapers, food, etc and usually stays open later than other shops/stores‟. Dalam Kamus Inggris Indonesia, disebutkan bahwa cafe merupakan restoran, rumah makan dan bisa juga berarti warung kopi. (Echols & Shadily, 2000). Dari beberapa definisi tersebut dapat dirumuskan definisi cafe untuk penelitian ini adalah sebuah tempat dimana pembeli bisa membeli makanan dan minuman. Dalam konteks cafe di Pantai Kedonganan, makanan yang disajikan adalah makanan dengan bahan utama ikan laut (sea food).
20
2.3
Landasan Teori
2.3.1 Teori Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata Burkart dan Medlik (1974 : 41) menyatakan bahwa untuk dapat berkembang dengan baik sebagai sebuah daerah tujuan wisata, diperlukan ketersediaan beberapa faktor yang disebut sebagai The Tourist Qualities of a Destination, yang terdiri atas 4 hal yaitu daya tarik wisata (tourist attraction), aksesibilitas (accessibility), fasilitas wisatawan (tourist facilities) dan organisasi kepariwisataan (tourist organization). Daya tarik wisata merupakan faktor yang utama yang menarik wisatawan untuk datang dan berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Daya tarik wisata dapat berupa daya tarik wisata alam, budaya maupun buatan manusia. Aksesibilitas menyangkut kemudahan untuk mencapai suatu daerah tujuan wisata dengan atraksinya. Yang dimaksud kemudahan untuk mencapai adalah dalam hal transportasi dan informasi. Fasilitas wisatawan menyangkut infrastruktur dan suprastruktur yang mendukung keberadaan suatu atraksi wisata, seperti misalnya instalasi listrik, air bersih, sanitasi, kesehatan, keamanan, sistem transportasi, bandara udara, pelabuhan laut dan sebagainya, dan juga sarana wisata seperti misalnya penginapan, restoran, penukaran mata uang asing, agen perjalanan dan lainnya. Organisasi kepariwisataan merupakan faktor penting yang akan mengelola 3 hal di atas, untuk memastikan ketiganya bersinergi dalam harmoni untuk menciptakan sebuah daerah tujuan wisata yang mampu menarik minat wisatawan untuk datang mengunjunginya.
21
Gunn, dalam bukunya Vacationscape (1972 : 40 – 42) menyatakan bahwa sebuah atraksi wisata sebaiknya ditata atau didisain dengan memperhatikan 3 unsur dari suatu atraksi wisata (Tripartite Attraction Design Model). 3 unsur tersebut yaitu zona inti (the nucleus), zona penyangga (the inviolate belt) dan zona pemanfaatan (the zone of closure). Zona inti merupakan komponen utama dari sebuah atraksi wisata. Gunn mencontohkan bahwa jika atraksi tersebut berupa sebuah air terjun, maka yang disebut sebagai zona inti adalah jatuhnya air tersebut. Jika misalnya atraksinya berupa gunung, maka zona intinya adalah puncaknya, kawahnya ataupun bisa juga lembahnya. Zona penyangga merupakan suatu zona di seputar zona inti yang memisahkan antara zona inti dengan zona pemanfaatan. Zona ini menjadi suatu penanda bahwa seorang wisatawan akan segera memasuki suatu kawasan inti dari suatu atraksi wisata.
Zona pemanfaatan merupakan suatu zona
yang
diperuntukkan bagi penyiapan pelayanan bagi wisatawan. Zona ini merupakan titik akhir transportasi menuju suatu atraksi wisata serta tempat penyediaan berbagai pelayanan untuk wisatawan seperti misalnya akomodasi, restoran dan sebagainya. 2.3.2
Teori Pariwisata Berbasis Masyarakat
2.3.2.1 Prinsip-prinsip, Manfaat, Pendukung dan Penghambat Pariwisata Berbasis Masyarakat Pariwisata berbasis masyarakat merupakan sejenis kepariwisataan yang perkembangan dan pengelolaannya dikontrol oleh masyarakat lokal, dimana bagian terbesar dari manfaat yang dihasilkan kepariwisataan tersebut dinikmati
22
oleh masyarakat lokal baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kepariwisataan tersebut. Pariwisata berbasis masyarakat memiliki beberapa karakteristik yaitu adanya pendidikan dan interpretasi sebagai bagian dari produk wisatanya, meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dan pengunjung terhadap pentingnya upaya konservasi, umumnya diperuntukkan bagi wisatawan dalam jumlah kecil oleh usaha jasa yang dimiliki masyarakat lokal, meminimalisir dampak negatif terhadap alam dan lingkungan sosial-budaya dan mendukung upaya perlindungan terhadap alam. (Hausler dan Strasdas, 2002). Dari uraian tersebut dapat dirumuskan prinsip-prinsip dari konsep pariwisata berbasis masyarakat (CBT) yaitu prinsip partisipasi masyarakat, prinsip pendidikan (edukasi), prinsip konservasi alam, prinsip konservasi budaya, dan prinsip
ekonomi
lokal.
Penelitian
ini dilakukan untuk
menggali
dan
mengidentifikasi prinsip apa saja yang diterapkan dalam penataan dan pengelolaan
kepariwisataan
di
Pantai
Kedonganan,
serta
bagaimana
langkah/proses penerapannya, siapa yang terlibat dalam proses tersebut dan bagaimana cara/metode ataupun proses penerapannya. Jika diimplementasikan dengan baik, pariwisata berbasis masyarakat dapat memberikan manfaat ekonomi yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui keuntungan usaha dan kesempatan kerja, mengentaskan kemiskinan, memulihkan kondisi ekonomi dan memperbaiki infrastruktur. Pariwisata berbasis masyarakat bahkan mendukung efektifitas ekonomi lain baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata. Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat dapat membangun jejaring antara sektor yang terkait dan
23
menciptaan pasar untuk produk wisata yang telah disiapkan, berkontribusi untuk menyeimbangkan pembangunan, menyediakan keragaman ekonomi, menghapus ketergantungan
ekonomi
terhadap
sektor
tertentu,
meratakan
distribusi
kesempatan kerja dan kesempatan memperoleh penghasilan. Di
bidang
sosial-budaya,
pariwisata
berbasis
masyarakat
dapat
meningkatkan kualitas SDM lokal melalui program pelatihan dan pendidikan, mendukung organisasi masyarakat lokal dalam hal meningkatkan kapasitas, membangun jejaring dan keterlibatan mereka dalam pengembangan pariwisata di daerahnya dan memungkinkan terciptanya tata kelola kepariwisataan yang baik melalui keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan di segala tingkatan. Pariwisata berbasis masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan kebanggaan mereka terhadap daerah dan budayanya, meningkatkan
kerukunan,
memberdayakan
masyarakat
dan
menciptakan
persamaan sosial, mengurangi emigrasi dan memicu imigrasi. Pariwisata berbasis masyarakat
juga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat
lokal,
meningkatkan tingkat kesehatan melalui perbaikan sanitasi dan sistem pengelolaan limbah, fasilitas umum dan infrastruktur (air, listrik dan telekomunikasi), menjaga dan mempromosikan budaya lokal, tempat bersejarah, dan alam melalui peningkatkan kesadaran masyarakat lokal terhadap pentingnya konservasi serta menyediakan dukungan dana yang dihasilkan dari keberadaan kepariwisataan di
suatu
daerah.
Pariwisata
berbasis
masyarakat
dapat
meningkatkan hubungan dan jejaring antar budaya melalui pertukaran budaya dan dialog antara masyarakat lokal dan wisatawan.
24
Manfaat pariwisata berbasis masyarakat terhadap lingkungan adalah dapat mendorong pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang sensitif, menghindari eksploitasi dan ketergantungan terhadap satu sumber daya, mendukung pemanfaatan sumber daya alam secara tidak konsumtif, meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan di tingkat nasional dan lokal, serta meningkatkan
pemahaman
terhadap
hubungan
antara
lingkungan
dan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. (Tasci et al, 2013). Untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat dengan baik, kondisi yang mendukung sangat dibutuhkan (Tasci et al, 2013; Asker et al, 2010). Tasci et al (2013 : 12) menyatakan sebagai berikut: “several CBT programs failed due to lack of some critical factors such as tangible benefits and employment creation, benefits from the land, management, marketing and entrepreneurial skills, community involvement and participation, sense of ownership of the project amongst the community members, and the lack of local financial resources or heavy reliance on foreign donors“ Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kegagalan program pariwisata berbasis masyarakat di antaranya diakibatkan oleh ketidakmampuan program tersebut menciptakan lapangan pekerjaan serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Ketidakmampuan tersebut pada dasarnya berpangkal dari ketidakmampuan masyarakat pelaksana program untuk memastikan diperolehnya manfaat baik dari penguasaan lahan, kurangnya kemampuan dalam hal pengelolaan, termasuk pemasaran dan keterampilan wirausaha, kurangnya keterlibatan masyarakat, kurangnya rasa memiliki masyarakat, serta kesulitan dalam hal pendanaan. Berkaitan dengan hal tersebut, Asker et al (2010 : 4) menyatakan bahwa agar
25
pariwisata berbasis masyarakat dapat diterapkan dengan baik, dibutuhkan suatu pre-kondisi sebagai berikut: “1).The community is already well organized and cohesive, 2).When community members, women, men and youth are, widely involved in decision making processes, and financial management around the CBT, 3).Land ownership and other „resource‟ issues are clear and well defined, 4).‟Bottom up desire‟, in the community reflected in the facility design, decisionmaking and management structures, 5).Decision for CBT is made by the community based on informed choice, of impact, options, risk, and outcomes, 6).High participation levels, 7).Driver is not purely income generation but also cultural and natural heritage conservation and intercultural learning, 8).The activity is supported by good marketing mechanisms, 9).A strong plan for expansion, and/or to limit visitor numbers in balance with the carrying capacity of the community and environment to avoid adverse affects on both, 10).Strong partnership with local NGOs, relevant government bodies and other supporters, 11). Approaches are contextually and locally appropriate and not just „imported‟ from other contexts, 12).CBT is part of a broader/wider community development strategy, 13).Linked to visitor education on the value of culture and resources present. 14). Clear zoning of visitor and non visitors areas” Asker et al menyatakan bahwa kesamaan visi di antara anggota masyarakat merupakan syarat penerapan pariwisata berbasis masyarakat, karena kesamaan visi dapat memunculkan aspirasi untuk menerapkan pariwisata berbasis masyarakat dan pada akhirnya menentukan pula tingkat partisipasi mereka. Kesamaan visi ini akan tercapai apabila masyarakat telah bersatu dan terorganisir, yang artinya bahwa usaha penyamaan visi serta faktor kepemimpinan untuk menunjang koordinasi sangat dibutuhkan. Selain
kesamaan
visi
seluruh
anggota
masyarakat,
kemampuan
menghasilkan rencana pengembangan yang tepat juga sangat dibutuhkan. Rencana tersebut harus disusun dengan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dan memungkinkan masyarakat terlibat dalam program tersebut. Rencana tersebut juga harus mempertimbangkan aspek pemasaran sehingga keberlanjutan program
26
tersebut dapat dimaksimalkaan. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh manfaat dari program tersebut sehingga pada akhirnya akan semakin memunculkan kesadaran dan upaya untuk melestarikan sumber daya baik alam/lingkungan, maupun sosial budaya yang menjadi daya tarik utama program pariwisata berbasis masyarakat mereka. Satu hal yang sangat penting juga mengenai rencana penerapan pariwisata berbasis masyarakat menurut Asker et al adalah bahwa rencana tersebut harus terintegrasi dengan rencana pengembangan yang lebih luas di suatu daerah sehingga dukungan dari berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah sangat diperlukan. Dukungan tersebut akan dapat terwujud apabila ada usaha untuk senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah sehingga tercipta sinergi yang baik bukan hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan pemangku kepentingan lainnya. 2.3.2.2 Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Kata partisipasi diserap dari bahasa Inggris “participation” yang berarti “the act of taking part in an activity or event” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary), yang artinya adalah tindakan berupa ikut serta dalam suatu kegiatan atau acara. Keikutsertaan masyarakat (partisipasi masyarakat) merupakan salah satu karakteristik penting dari pariwisata berbasis masyarakat. (Hausler & Strasdas, 2002; Asker et al, 2010; Tasci et al, 2013). Partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengembangan kepariwisataan di destinasi pariwisata bahkan dikatakan sebagai syarat utama keberhasilannya (Pitana 1999, dalam Prasiasa, 2013).
27
Kajian-kajian mengenai partisipasi masyarakat telah lama memperoleh perhatian para pakar. Arnstein (1969) yang mengemukakan mengenai “ladder of participation” merupakan salah satu pakar yang banyak dirujuk di bidang partisipasi (Cornwall, 2008). Arnstein (1969) memberikan definisi mengenai partisipasi sebagai berikut: “Citizen participation is the redistribution of power that enables the havenot citizens, presently excluded from the political and economic processes, to be deliberately included in the future. It is the strategy by which the have nots join in determining how information is shared, goals and policies are set, Tax resources are allocated, programs are operated, and benefits like contracts and patronage are arceled out. In short it is the means by which they can induce significant social reform which enables them to share in the benefits of the affluent society” Arnstein menyatakan bahwa partisipasi warga Negara merupakan pendistribusian kembali kemampuan yang memungkinkan warga Negara yang tidak mampu untuk tidak lagi terpinggirkan secara politik maupun ekonomi. Partisipasi merupakan strategi yang memungkinkan warga Negara yang tidak mampu untuk ikut bergabung dalam menentukan bagaimana informasi dibagikan, bagaimana tujuan dan kebijakan ditentukan, bagaimana pajak dialokasikan, program dijalankan, serta bagaimana manfaat dirasakan secara lebih merata. Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu alat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menimbulkan terjadinya perubahan sosial yang akan memberdayakan mereka dalam masyarakat. Arnstein (1969) menyatakan bahwa terdapat 8 tipe partisipasi yang disusun seperti susunan tangga (ladder of participation). Tangga terbawah menunjukkan tipe partisipasi dengan kadar paling rendah. Semakin tinggi posisi anak tangga, semakin tinggi pula kadar partisipasinya. Adapun tipe partisipasi
28
menurut Arnstein dari kadar terendah sampai tertinggi adalah: Manipulation, Theraphy, Informing, Consultation, Placation, Partnership, Delegated Power, dan Citizen control. Delapan tipe partisipasi tersebut dibagi lagi oleh Arnstein menjadi 3 kelompok tipe partisipasi, dimana tipe manipulation dan theraphy dikelompokkan sebagai “non-participation”, tipe informing, consultation dan placation dikelompokkan sebagai “Degrees of Tokenism”, dan partnership, delegated power, dan
citizen control dikelompokkan sebagai “Degrees of
Citizens Power”. Pakar lain yaitu Pretty (1995) membagi partisipasi menjadi 7 tipe. Adapun 7
tipe
partisipasi
tersebut
adalah
Manipulative
Participation,
Passive
Participation, Participation by Consultation, Participation for Matherial Incentives,
Functional
Participation,
Interactive
Participation
dan
Self
Mobilization. Manipulative participation merupakan tipe partisipasi yang paling tidak diinginkan, sedangkan self mobilization merupakan tipe yang paling diinginkan. Tipologi partisipasi masyarakat yang dikemukakan oleh Pretty (1995) menekankan mengenai pentingnya motivasi dalam menerapkan pendekatan partisipasi, sedangkan tipologi Arnstein (1969) menunjukkan bahwa partisipasi pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan dan control (Cornwal, 2008). 2.3.3 Teori Modal Sosial (Social Capital) Social capital merupakan sebuah konsep yang berkaitan dengan kehidupan sosial manusia, keterhubungan mereka serta pengaruhnya terhadap individu maupun struktur sosial. Teori tentang Social capital telah ada sejak lama,
29
diformulasikan oleh Durkheim, Marx, Weber and Tönnies (Quibria, 2003; Portes, 1998, dalam Tzanakis, 2013). Pakar yang telah berkontribusi besar dalam perkembangan konsep social capital adalah Coleman, Putnam dan Bourdieu (Tzanakis, 2013). Meskipun terdapatan kesamaan dalam formulasi mereka, namun ada perbedaan khususnya mengenai ideologi yang mendasari mereka dalam memformulasikan teorinya. Coleman (1988) menyatakan bahwa: “It is not a single entity but a variety of different entities, with two elements in common: they all consist of some aspect of social structures, and they facilitate certain actions of actors-whether persons or corporate actors-within the structure. Like other forms of capital, social capital is productive, making possible the achievement of certain ends that in its absence would not be possible. Like physical capital and human capital, social capital is not completely fungible but may be specific to certain activities. A given form of social capital that is valuable in facilitating certain actions may be useless or even harmful for others” Coleman menyatakan bahwa social capital terdiri atas 2 elemen, yaitu adanya struktur sosial, serta bahwa social capital tersebut mengakibatkan terjadinya tindakan tertentu dari seseorang maupun perusahaan di dalam struktur sosial tersebut. Coleman juga menyatakan bahwa social capital bersifat produktif yang memungkinkan seseorang untuk mampu mencapai tujuannya (Tzanakis, 2013). Putnam (1995) menyatakan pandangannya mengenai social capital sebagai berikut: “No doubt the mechanisms through which civic engagement and social connectedness produce such results-better schools, faster economic development, lower crime, and more effective government--are multiple and complex. While these briefly recounted findings require further confirmation and perhaps qualification, the parallels across hundreds of empirical studies in a dozen disparate disciplines and subfields are striking. Social scientists in several fields have recently suggested a common framework for understanding these phenomena, a framework that
30
rests on the concept of social capital. By analogy with notions of physical capital and human capital--tools and training that enhance individual productivity-"social capital" refers to features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit” Putnam menyatakan bahwa social capital terdiri atas networks (jaringan), norms (norma-norma) dan social trust (kepercayaan) sebagai faktor yang mampu menumbuhkan koordinasi dan kerjasama demi tercapainya keuntungan bersama, seperti misalnya sekolah yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, tingkat kejahatan yang rendah, maupun pemerintahan yang lebih efektif. Pernyataan Putnam (1995) mempertegas pendapat Coleman (1988) bahwa tanpa adanya social capital maka tidak mungkin suatu tujuan dalam sebuah struktur sosial akan tercapai. Pakar lain yaitu Bourdieu (1986 dalam Tzanakis 2013) memberikan definisi tentang social capital sebagai berikut: “Social capital is defined as „the aggregate of the actual potential resources which are linked to possession of a durable network of more of less institutionalized relationships of mutual acquaintance or recognition” Bourdieu menyatakan bahwa social capital sangat terkait dengan ukuran dari sebuah jaringan serta akumulasi dari modal sosial yang sebelumnya telah dikumpulkan oleh seseorang. Lebih lanjut Bourdieu berpendapat bahwa keuntungan (profit) merupakan penggerak utama orang mau terlibat dalam sebuah jaringan sosial serta mempertahankannya posisinya dalam jaringan tersebut. Keuntungan tersebut tidak harus keuntungan ekonomi, namun pada akhirnya keuntungan tersebut akan dapat ditrasformasikan ke dalam keuntungan ekonomi.
31
Pretty & Ward (2001) menyatakan bahwa selain mengurangi biaya untuk bekerja bersama, social capital juga mendorong terjadinya kerjasama. Social capital mengakibatkan orang-orang dalam suatu masyarakat mau terlibat dalam kegiatan kolektif dengan anggapan bahwa anggota masyarakatnya yang lain juga akan melakukan hal yang sama. Mereka tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan, juga karena orang lain tidak akan melakukan hal tersebut. Lebih lanjut, Pretty & Ward (2001) menyatakan ada 4 bentuk social capital yaitu relations of trust (kepercayaan), reciprocity and exchanges (hubungan timbal balik), common rules, norms and sanctions (aturan, norma dan sanksi), dan connectedness, networks and groups (keterhubungan, jaringan dan kelompok). Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Coleman, Putnam, Bourdieu maupun Pretty & Ward menunjukkan bahwa tindakan seseorang dalam suatu struktur sosial atau komunitas masyarakat didorong oleh suatu hal yang tidak harus bersifat ekonomi. Tindakan tersebut adalah untuk mencapai suatu tujuan, dimana tercapainya tujuan tersebut sangat tergantung kepada beberapa faktor seperti misalnya jaringan, norma-norma, kepercayaan dan hubungan timbal balik. Faktor-faktor tersebut yang diistilahkan sebagai social capital.
2.4
Model Penelitian
Penelitian ini berangkat dari fenomena penataan ulang kepariwisataan di Pantai Kedonganan dengan menerapkan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Setelah dilakukan penataan kembali, terlihat daerah yang sebelumnya tidak teratur menjadi lebih teratur. Pencemaran air laut, jumlah cafe yang terlalu banyak,
32
pemandangan ke arah pantai yang terhalang, persaingan harga, kurangnya kepemilikan lokal dan terganggunya praktek sosial, budaya dan keagamaan dapat teratasi. Berdasarkan uraian tersebut, model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Pariwisata Kabupaten Badung
Perkembangan cafe di Pantai Kedonganan
Desa Adat Kedonganan
Prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan dalam penataan Pantai Kedonganan
Faktor pendukung dan penghambat penerapan prinsip pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan
Konsep 1. Implementasi 2. Pariwisata Berbasis Masyarakat 3. Daya Tarik Wisata
Teori 1. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. 2. Pariwisata Berbasis Masyarakat. 3. Teori Sosial
Hasil Gambar 1. Model Penelitian Keterangan : : Pengaruh : Saling mempengaruhi
Model pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan dalam penataan Pantai Kedonganan
33
Model penelitian tersebut menunjukkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan Pantai Kedonganan sebagai daya tarik wisata. Selain itu, diteliti juga faktor pendukung dan penghambat penerapan pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan Pantai Kedonganan sebagai daya tarik wisata dan model pariwisata berbasis masyarakat yang dikembangkan di Pantai Kedonganan. Data yang terkumpul dianalisis dengan dukungan teori Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, teori Pariwisata Berbasis Masyarakat dan teori Sosial mengenai Social Capital. Adapun konsep yang dipergunakan yaitu konsep implementasi, pariwisata berbasis masyarakat, daya tarik wisata dan cafe. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis dan dapat menjadi
rekomendasi
bagi
pihak-pihak
yang
pengembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan.
berkepentingan
terhadap