BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Guna mendapatkan gambaran mengenai penelitian yang dilakukan maka dalam bab ini dipaparkan tentang kajian pustaka, konsep, landasan teori yang digunakan dan model penelitian untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang akan dibahas. Dalam bab ini akan diulas mengenai beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik yang dibahas, konsep dan teori serta model penelitian yang digunakan dalam meneliti dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar. 2.1
Kajian Pustaka Ada sejumlah penelitian tentang topik terkait penelitian ini yang
dilaksanakan peneliti sebelumnya yaitu Pariyasa (2013), Negara (2010), Supasti, dkk. (2014), Sutapa dan Wisnawa (2013) serta Indrawati (2009). Penelitian mereka berfokus pada beberapa hal antara lain mengenai dampak yang terjadi akibat pesatnya pembangunan sarana akomodasi yang kemudian diatur oleh kebijakan kepariwisataan, selain itu membahas persepsi wisatawan dalam memilih sarana akomodasi serta tentang model pengaturan city hotel lokal dalam bersaing dengan city hotel franchising Internasional. Hasil penelitian tersebut, memberikan pengetahuan informatif tentang perkembangan bisnis akomodasi, tetapi tidak ada yang sampai membahas dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar.
15
16
Pariyasa (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Dampak Perkembangan Villa yang Menyebar Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kelurahan Seminyak Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung” melakukan penelitian mengenai dampak berkembangnya vila terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dalam penelitiannya menyampaikan bahwa perkembangan vila yang menyebar telah memberikan dampak positif dan negatif. Dampak sosial yang bersifat positif adalah meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat dan semakin eratnya solidaritas antar masyarakat sedangkan dampak negatif adalah meningkatnya kriminalitas. Dampak ekonomi dari sisi positif ditimbulkan adalah adanya kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitarnya sedangkan sisi negatifnya adanya peningkatan harga makanan di lokasi tertentu dan perubahan mata pencaharian pokok. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah obyek yang akan diteliti, yakni mengenai dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar. Dalam penelitian sebelumnya digunakan teori Hegemoni yang digunakan untuk membahas permasalahan tentang faktor-faktor penyebab timbulnya dampak perkembangan vila yang menyebar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Kelurahan Seminyak, sedangkan dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori dampak pariwisata. Teori Dampak Pariwisata digunakan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat pesatnya perkembangan city hotel di Kota Denpasar. Analisis dampak diidentifikasikan dari tiga aspek yakni aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Dari ketiga aspek tersebut dapat dilihat bahwa
17
perkembangan city hotel memberikan dampak positif dan negatif terhadap keberlangsungan usaha hotel melati di Kota Denpasar. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Negara (2010) yang berjudul “Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penataan Sarana Akomodasi Pariwisata Terhadap Perkembangan Villa di Kabupaten Badung“ mengulas mengenai dampak suatu pelaksanaan kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata terhadap sejumlah vila dan perilaku pengusaha vila di Kabupaten Badung. Penelitian tersebut
menyebutkan pelaksanaan kebijakan penataan sarana
akomodasi pariwisata, khususnya villa dapat memberikan efek positif terhadap pengendalian pembangunan vila yang selama beberapa tahun terakhir tidak terkendali. Teori dampak yang digunakan dalam penelitian ini menggambarkan suatu perubahan yang terjadi setelah adanya kebijakan yang menata sarana akomodasi di Kabupaten Badung karena dengan adanya pelaksanaan kebijakan tersebut, jumlah vila ilegal semakin menurun. Hal ini disebabkan adanya kesadaran pelaku usaha untuk mengurus izin villa. Meski demikian, jumlah villa ilegal masih lebih banyak dari villa yang sudah mengantongi izin, untuk itu disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Badung agar mensosialisasi secara luas pelaksanaan kebijakan penataan sarana akomodasi. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah mengenai permasalahan yang dihadapi di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yakni menjamurnya Denpasar
pembangunan villa di Kabupaten Badung sedangkan di Kota
pesatnya pembangunan city hotel.
Teori yang digunakan dalam
penelitian sebelumnya adalah teori dampak untuk mengetahui perubahan-
18
perubahan yang ditimbulkan dari adanya suatu kebijakan pemerintahan sedangkan dalam penelitian ini digunakan teori penawaran dan permintaan dalam menyeimbangkan ketersediaan sarana akomodasi di Kota Denpasar, terutama city hotel yang perkembangannya semakin meningkat dengan jumlah menginap wisatawan
ke Kota Denpasar agar tingkat hunian kamar di seluruh sarana
akomodasi stabil dan tidak terjadi kelebihan jumlah kamar. Dengan adanya keseimbangan antara ketersediaan jumlah kamar dan jumlah wisatawan menginap tentu dapat mengurangi persaingan ketat akibat kelebihan jumlah kamar. Keseimbangan dapat dicapai apabila adanya payung hukum yang mengatur pembangunan sarana akomodasi terutama city hotel yang semakin meningkat. Laporan Akhir Penelitian Hibah Penelitian Riset Invensi Udayana yang dilakukan oleh Supasti, dkk. (2014) yang berjudul “Model Pengaturan City Hotel Wirausaha Lokal Berbasis Penguatan Kemitraan Dengan Berbagai Stakeholders Bagi Ketahanan dan Keberlangsungan Ekonomi Masyarakat Bali Dalam Kegiatan Kepariwisataan”, mengulas mengenai keberadaan city hotel bertaraf internasional format “Franchising” kian mengancam city hotel lokal yang dikelola secara lokal. Permasalahan muncul ketika city hotel lokal tidak mampu bersaing dari segi kualitas prasarana maupun manajemen layanan jasa. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu ditemukan solusi
model pengaturan yang relevan untuk
menguatkan dan memberdayakan city hotel wirausaha lokal dalam menghadapi persaingan city hotel franchising. Pengaturan yang tidak bertentangan dengan WTO Agreement yaitu tidak mendiskriminasi pelaku bisnis dari manapun. Dalam penelitan tersebut disarankan model pengaturan yang relevan adalah dalam bentuk
19
PERDA dan
Self
Regulatory Body dari para stakeholders terkait dengan
menggunakan model
CSR
(Corporate Social
Responsibility). Substansi
rancangannya menekankan pada permodalan dan jaringan manajemen melalui pelatihan yang dilakukan dengan model kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) yang diberikan oleh manajemen franchising. Ulasan mengenai over capacity Pembangunan Fasilitas Akomodasi di Bali dalam Persepektif Ekonomi dan Bisnis yang ditulis dalam Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013 oleh Sutapa dan Wisnawa (2013) menyebutkan bahwa pembangunan fasilitas akomodasi di Bali telah mengalami over capacity, hal ini disebabkan adanya pergeseran investasi dari sektor akomodasi menjadi sektor property, adanya kemudahan perizinan yang diberikan pemerintah, adanya resesi di Eropa, pajak tanah tinggi hingga budaya konsumtif masyarakat Bali. Dalam penelitian ini juga disebutkan banyaknya jumlah kamar hotel telah memberikan dampak positif seperti terserapnya tenaga kerja, meningkatnya permintaan akan bahan makanan dan minuman yang memberikan pendapatan daerah. Namun dampak negatif tidak dapat dihindari yaitu persaingan tidak sehat dalam tarif ,menurunnya tingkat hunian kamar menjadi di bawah 40 persen dan tergesernya hotel-hotel lama dengan munculnya city hotel atau budget hotel. Untuk menstabilkan dampak positif dan negatif dari over capacity tersebut adalah dengan menghentikan
pembangunan sarana akomodasi
di Bali Selatan,
kemudian memberlakukan standar harga kamar dan perlakuan tegas bagi pengusaha yang tidak mengindahkan aturan standar tersebut. Penelitian ini sangat relevan dengan penelitian yang akan dilakukan karena pesatnya perkembangan
20
city hotel di Kota Denpasar perlahan-lahan akan memberi dampak negatif seperti menurunnya tingkat hunian hotel karena adanya kelebihan kamar dan terjadinya perang tarif sewa kamar. Indrawati (2009) mengulas “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia Pada Fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur” dalam Jurnal Mudra, Institut Seni Indonesia. Disampaikan bahwa wisatawan lanjut usia lebih memilih akomodasi yang berarsitektur lokal dengan kenyamanan dan keamanan di sekitar hotel. Pemilihan akomodasi juga berdasarkan keterbatasan fisik dan tidak jauh dari area yang menjadi daya tariknya yaitu pantai. Dari artikel ini ditemukan fakta bahwa persepsi wisatawan sebagai tamu terhadap sebuah
akomodasi memiliki peranan utama pada saat memutuskan
untuk menginap di suatu hotel. Artikel ini dapat dijadikan acuan karena dapat memberikan gambaran bahwa pengusaha hotel harus mencermati kebutuhan tamu yang menjadi sasarannya. Karena dengan memenuhi kebutuhan dan keperluan tamu tentu akan memberikan citra positif terhadap hotel. Selain sesuai dengan kebutuhan tamu, lokasi juga memegang peranan penting dalam menarik minat tamu, karena lokasi yang strategis tentu dapat mengundang banyak tamu. Dalam artikel yang diteliti adalah tamu yang merupakan wisatawan lanjut usia sedangkan dalam penelitian ini yang diteliti adalah tamu dari berbagai kalangan yang menginap di city hotel dan hotel melati. Dengan mengetahui karakteristik tamu yang menginap maka dapat diketahui pangsa pasar yang disasar dan yang telah dimiliki oleh city hotel
21
dan hotel melati serta mengetahui kebutuhan yang diperlukan dan keinginan tamu dalam memilih sebuah hotel. Perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian dalam tesis ini adalah lebih berfokus faktor-faktor penyebab serta dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar. Perkembangan city hotel juga menimbulkan persaingan sehingga perlu adanya strategi bisnis antar-city hotel dan hotel melati di Kota Denpasar. 2.2
Konsep Konsep yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap terminologi
teknis dan menghubungkan variabel–variabel yang akan dibahas dalam penelitian antara lain : 2.2.1 City Hotel Penggolongan dan klasifikasi usaha sarana akomodasi di Indonesia menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel terdiri atas golongan kelas hotel bintang dan hotel melati. Penggolongan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kualitas hotel secara fisik dan pelayanan yang diberikan kepada konsumen dan menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha perhotelan yang bertanggungjawab. Ismayanti dalam buku Pengantar Pariwisata (2010:139) menyebutkan bahwa tipe hotel dapat dibagi menjadi beberapa aspek sebagai berikut : Pertama, berdasarkan lokasi, hotel dapat dibedakan menjadi city hotel adalah hotel yang berlokasi diperkotaan, resort hotel merupakan hotel yang berlokasi di daerah wisata,seperti pantai atau pegunungan, suburb hotel adalah
22
hotel yang berlokasi di luar kota dan airport hotel, hotel yang berlokasi di sekitar bandara. Kedua, berdasarkan jenis tamu, hotel dibedakan menjadi sebagai berikut: family hotel atau hotel keluarga, yang kebutuhan kamar dan fasilitasnya dibangun sesuai dengan kebutuhan tamu keluarga seperti ruang bermain ataupun adanya ruang makan keluarga. Business hotel atau hotel bisnis untuk tamu pebisnis berada di pusat bisnis dan di tengah kota. Hotel dengan tamu wisatawan disebut tourist hotel atau hotel wisata. Tamu yang menginap bertujuan untuk berlibur, sehingga fasilitas yang disediakan juga sesuai dengan kebutuhan wisatawan seperti fasilitas rekreasi dan pelayanan yang ramah. Hotel untuk tamu pelancong yang singgah sementara disebut transit hotel atau hotel singgah. Hotel ini biasanya menawarkan sewa kamar berdasarkan jam dan hari tergantung dari kebutuhan istirahat tamu. Hotel dengan tamu para pasien yang hendak memulihkan kesehatan disebut cure hotel atau hotel pengobatan atau panti rehabilitasi. Tamu yang datang pada tahap pemulihan ataupun tahap penyembuhan atas rekomendasi atau didampingi oleh dokter. Hotel untuk peserta konvensi dan pertemuan yang lebih dikenal dengan convention hotel atau hotel konvensi. Mencermati dari beberapa pengertian di atas, yang dimaksud dengan city hotel adalah sebuah sarana akomodasi yang berlokasi di pusat kota atau tengah kota yang diperuntukkan para pebisnis. City hotel yang berkembang di Kota Denpasar kebanyakan berada di pusat dan tengah kota seperti di Jalan Teuku Umar atau Jalan Gatot Subroto. Tamu-tamu yang menginap di city hotel tidak
23
hanya para pebisnis namun juga para wisatawan domestik. Bila diklasifikasikan berdasarkan fungsi, city hotel di Kota Denpasar memiliki ruang pertemuan berkapasitas sekitar 100 orang, dengan desain minimalis modern dan eksterior yang lebih terbuka. City hotel yang saat ini sedang berkembang menyediakan jumlah kamar diatas 100 buah dengan klasifikasi yang bervariasi hotel bintang dan non-bintang. Harga sewa kamar yang ditawarkan hampir sama dengan hotel melati yakni sekitar Rp. 300.000 sampai Rp. 450.000 dengan fasilitas lengkap seperti kamar memiliki AC, kamar mandi dengan shower air panas dan dingin, disediakan sarapan, kolam renang ataupun free wifi di ruang tertentu. Dengan tampilan fisik yang menarik, fasilitas lengkap dan berada di tengah kota dengan harga sewa kamar yang terjangkau membuat city hotel banyak diminati oleh para pebisnis ataupun wisatawan, sehingga persaingan harga sewa kamar antar pengusaha hotel di kota Denpasar tidak dapat dihindari. Meskipun istilah city hotel telah populer di kalangan masyarakat, namun istilah tersebut belum ada dalam peraturan pemerintah. Demikian pula halnya dengan belum adanya kejelasan penggolongan kelas hotel
untuk city hotel.
Faktanya di lapangan ditemukan penggolongan kelas hotel atas city hotel sangat bervariasi. Sebagai contoh, dalam Direktori Pariwisata Kota Denpasar 2013 menunjukkan beberapa hotel seperti Hotel All Season sekarang bernama Ibis Lifestyle, Hotel Pop Haris Teuku Umar ataupun Fave Hotel yang berada di Jalan Teuku Umar, Kecamatan Denpasar Barat, masuk dalam kategori hotel bintang. Sedangkan Hotel Puri Ayu, Hotel Ratu (ex Queen) ataupun Hotel Santhi yang
24
berlokasi di sekitar jalan Sudirman, di seputaran Kecamatan Denpasar Barat, masuk dalam klasifikasi hotel melati, meskipun dengan fasilitas dan pelayanan yang ditawarkan tidak jauh berbeda. Dalam penelitian ini jenis akomodasi yang dibahas adalah city hotel, yang merupakan sebuah istilah hotel berdasarkan letak hotel dengan klasifikasi hotel kelas bintang. 2.2.2 Hotel Melati Hotel melati dalam
Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel adalah hotel yang belum memenuhi persyaratan minimal sebagai hotel bintang 1 (satu). Pengertian Hotel melati dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 24
Tahun 2001 tentang Usaha Hotel Melati adalah suatu usaha komersial yang menggunakan seluruh atau sebagian bangunan yang khusus disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan. Pengusaha hotel melati juga dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makanan dan minuman dan dengan jumlah kamar minimal 15 kamar dan bila berada dipemukiman hanya diizinkan hingga 25 kamar. Dalam buku Panduan Perancangan Bangunan Komersial, Marlina (2008:71) menyebutkan bahwa klasifikasi hotel di Indonesia diberlakukan berdasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain: Jumlah kamar, Fasilitas dan peralatan yang disediakan, Model sistem pengelolaan dan Bermotto pelayanan. Mencermati ketentuan
hotel melati sebagai tersebut di atas, pada
umumnya jumlah kamar hotel melati sekitar 10-100 kamar. Dengan fasilitas dan
25
peralatan standar seperti kamar dilengkapi dengan AC atau Fan dengan layanan makan dan minum. Model sistem pengelolaannya lebih sederhana dan dikelola oleh pengusaha lokal. Pelayanan yang diberikan tidak selengkap seperti di hotel bintang seperti penerima tamu yang siap 24 jam ataupun penyambutan dengan welcome drink. Menurut data dalam Direktori Pariwisata Kota Denpasar Tahun 2013, hotel melati di Kota Denpasar tersebar di seluruh wilayah Kota Denpasar. Wilayah Denpasar Selatan memiliki paling banyak hotel melati sekitar 85 hotel terutama didaerah Sanur yang telah ditetapkan sebagai kawasan pariwisata sesuai Perda Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031. Di Denpasar Barat terdapat 50 buah hotel, 40 Hotel berada di Denpasar Utara dan di Denpasar Timur berjumlah 25 hotel. Perkembangan usaha hotel di Sanur memang telah berkembang sejak tahun 1956, salah satunya Hotel Segara Beach dibangun oleh Ida Bagus Kompyang
dengan
15 kamar dan
memanfaatkan fasilitas listrik miliknya sendiri, pengelolaan hotel dibantu oleh istrinya yaitu A. A. Mirah Astuti. Pembangunan hotel di Bali tidak saja di Denpasar, tapi juga di Kuta, Tabanan dan Singaraja yang terkenal dengan daerah wisatanya, Lovina seperti yang ditulis oleh Adrian Vikers dalam artikel Bali rebuilds its tourist indutry (2011) . Perkembangan hotel di Kota Denpasar tidak lagi berfokus di Sanur namun telah memenuhi pusat kota seperti yang terjadi saat ini di kawasan Denpasar Barat dan Denpasar Utara. Pembangunan hotel yang sedang berkembang di kawasan tersebut tidak saja masuk dalam klasifikasi hotel melati namun sekelas hotel
26
bintang tiga dengan harga sewa kamar yang tidak jauh berbeda dengan hotel melati dengan fasilitas dan pelayanan yang diberikan sekelas hotel bintang. Hal inilah yang memacu persaingan tidak sehat antar pengusaha. Selain itu, dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Provinsi Bali menyebutkan bahwa pembangunan hotel bintang hanya diizinkan di kawasan Sanur, maka dari itu hotel-hotel yang berlokasi di pusat kota seyogyanya dalam koridor klasifikasi hotel melati. Dalam penelitian ini hotel melati adalah hotel yang secara fisik lebih sederhana, demikian pula fasilitas yang disediakan dengan jumlah kamar tidak lebih dari 100 kamar. 2.3
Landasan Teori Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori
yang sangat diperlukan sebagai tuntunan dalam memecahkan permasalahan penelitian selain itu juga digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengarahkan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan Teori penawaran dan permintaan, Teori dampak pariwisata dan Teori kebijakan kepariwisataan. 2.3.1 Teori Penawaran dan Permintaan Sukirno (1985:51) menyampaikan bahwa secara sederhana Teori Penawaran dan Permintaan membahas mengenai interaksi antara penjual dan pembeli dalam menentukan harga suatu barang dan jumlah barang yang akan ditawarkan. Bisnis pariwisata sering disebut sebagai sebuah industri jasa karena adanya serangkaian proses aktivitas atau kegiatan produksi yang menghasilkan nilai tambah (added value), dan produknya bersifat tidak nyata (intangible) serta
27
menawarkan keramahtamahan (hospitality) (Sunaryo, 2013). Keterkaitan sistemik dari berbagai aktivitas kepariwisataan
menggambarkan interaksi antara dua
komponen pokok kepariwisataan yaitu komponen produk (supply side) dan komponen pasar (demand side). Bagian komponen produk wisata (tourism supply side) yang juga sering disebut sebagai komponen pokok sebuah destinasi antara lain: Daya tarik wisata (Attraction) yang menawakan keindahan
alam,keunikan budaya atau minat
khusus, Fasilitas pariwisata (Amenities) seperti akomodasi atau rumah makan, Aksesibilitas
(Accessibilities),
moda
transpotasi
yang tersedia,
Fasilitas
pendukung lainnya (Ancillaries) dan Masyarakat sebagai tuan rumah destinasi (Communities) Sedangkan dari bagian komponen pasar (demand side) biasanya dibagi menjadi dua segmen yaitu pasar wisatawan domestik dan pasar wisatawan Internasional. Pada komponen ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari wisatawan seperti motivasi dan faktor penentu pribadinya dalam memilih suatu aktivitas pariwisata di suatu destinasi. Usaha akomodasi merupakan bagian dari komponen produk (supply side) suatu destinasi dalam rangka memenuhi kebutuhan komponen pasar (demand side). Dalam mengembangkan pariwisata di suatu daerah sangat tergantung kepada kemampuan perencana dalam mengintegrasikan kedua sisi tersebut secara berimbang ke dalam sebuah rencana pengembangan pariwisata. Dalam arti, bagaimana menyeimbangkan antara kedua sisi tersebut, agar tidak terjadi kelebihan produk sedangkan kunjungan wisatawan semakin menurun.
28
Begitu pula halnya dengan pembangunan sarana akomodasi di Kota Denpasar, agar sesuai dengan kunjungan wisatawan sehingga dapat meningkatkan tingkat hunian hotel dan akan lebih bagus bila diikuti dengan lama tinggal dan pengeluaran wisatawan yang semakin banyak. Namun saat ini, perkembangan city hotel di Kota Denpasar tidak saja menambah jumlah hotel, juga menimbulkan masalah baru yaitu adanya persaingan antar-pengusaha hotel. Persaingan hotel tidak saja terjadi antara city hotel dengan hotel melati, namun juga antar-city hotel itu sendiri. Pertambahan jumlah hotel tidak diikuti dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, sehingga menurunkan tingkat hunian kamar, menimbulkan persaingan harga sewa kamar dan pendapatan hotel tidak sesuai target. Hal ini dikhawatirkan
hotel
yang
dikelola
secara
sederhana
akan
mengalami
kebangkrutan dan dapat merubah fungsi hotel sebagai kos-kosan. Adanya city hotel juga dapat merubah segmen pasar hotel melati dari pebisnis menjadi anakanak sekolah. Dengan demikian, perlu adanya suatu strategi dalam mengantispasi situasi semacam ini antara lain hotel-hotel melati melakukan penetrasi pasar secara langsung ataupun tidak langsung. Melakukan promosi kepada pasar yang dituju, bekerja sama dengan biro perjalanan wisata ataupun melalui mass media dan memanfaatkan jaringan internet. Selain dengan melakukan pemasaran dengan memperhatikan berbagai komponennya, para pengusaha juga sangat penting untuk selalu meningkatkan kemampuannya baik dalam mengelola usahanya, dan memperhatikan kebutuhan wisatawan sesuai perkembangan zaman.
29
Dalam ilmu ekonomi, teori penawaran adalah semakin turun harga barang, penawaran akan semakin sedikit sedangkan hukum permintaan adalah semakin rendah harga barang, permintaan akan barang tersebut semakin tinggi. Teori permintaan dan penawaran ini digunakan untuk menemukan faktor-faktor penyebab berkembangnya city hotel di Kota Denpasar dan persaingan antar-city hotel serta strategi bisnis yang digunakan dalam menawarkan hotelnya. Ada dua faktor yang akan digunakan yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari harga sewa kamar, lokasi hotel, fasilitas yang ditawarkan, tingkat hunian kamar, lama tinggal tamu, dan pengelolaan hotel. Sedangkan faktor eksternal yang digunakan adalah dengan mencermati adanya tren wisatawan dalam pemilihan hotel saat berlibur, mudahnya proses perizinan hotel dan peluang untuk membangun hotel di Kota Denpasar. Dalam kenyataannya, pengusaha city hotel menawarkan harga sewa kamar semurah-murahnya, hingga sama dengan harga sewa hotel melati. Kondisi ini menyebabkan keberadaan hotel melati semakin terpinggirkan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan teori penawaran yang berlaku secara umum. Biasanya bila pengusaha hotel ingin meningkatkan pendapatan, seharusnya harga sewa kamar akan ditawarkan setinggi-tingginya guna menarik keuntungan yang maksimal. Saat ini semua hotel berlomba-lomba menawarkan harga sewa yang murah sehingga hukum permintaan berlaku sesuai dengan teori yakni harga sewa kamar hotel yang murah telah menarik minat para tamu.
30
2.3.2 Teori Dampak Pariwisata Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas dimana aktivitas tersebut bisa bersifat alamiah, berupa kimia, fisik maupun biologi, dapat pula dilakukan oleh manusia berupa analisis dampak lingkungan, pembangunan dan perencanaan. Adapun dampak tersebut dapat bersifat biofisik, sosial, ekonomi dan budaya. Pertumbuhan
industri
pariwisata
telah
menjadi
kontributor
utama
peningkatan aktivitas ekonomi di Amerika Serikat dan seluruh dunia, namun dampak yang muncul akibat pertumbuhan tersebut belum banyak dipahami (Kreag, 2010). Dampak pariwisata sering digunakan sebagai suatu kerangka pikir oleh para sarjana untuk membahas tentang dampak pariwisata di berbagai belahan dunia seperti Glen Kreag dalam bukunya The Impact of Tourism ( 2010) dan Peter Mason dalam bukunya Tourism Impacts, Planning and Management (2003). Salah satunya adalah Erik Cohen (dalam Pitana, 2005:109) menyebutkan dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar yaitu: dampak terhadap penerimaan devisa, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, harga-harga, distribusi manfaat/keuntungan, kepemilikan dan kontrol, pembangunan pada umumnya serta pendapatan pemerintah. Dampak pariwisata tidak saja mengenai aspek sosial ekonomi namun juga banyak diulas mengenai sosial budaya dan lingkungan dengan melihat dari sisi positif dan negatif yang ditimbulkan. Berbagai kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu
31
memberikan dampak-dampak positif seperti yang diharapkan seperti peningkatan pendapatan masyarakat, penerimaan devisa, kesempatan kerja dan peluang usaha (Pitana, 2005:110). Demikian pula halnya dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan pariwisata seperti kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat ataupun ketimpangan antar-daerah. Pesatnya pembangunan sarana akomodasi pariwisata di Kota Denpasar juga telah menimbulkan dampak baik positif maupun negatif dan memberikan dampak sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan terhadap seluruh komponen yakni pengusaha, masyarakat dan Pemerintah. City hotel yang berlokasi di tengah kota, dengan bangunan modern, fasilitas yang sekelas hotel bintang 2 ditawarkan dengan harga sewa kamar setara dengan harga sewa kamar hotel kelas non bintang atau hotel melati. Beberapa city hotel dikelola
oleh
manajemen
yang
mempunyai
jaringan
nasional
bahkan
internasional, sedangkan hotel melati kebanyakan dikelola oleh pengusah lokal dengan lingkup pemasaran terbatas. Perkembangan city hotel ini sudah mulai meresahkan karena menimbulkan persaingan harga yang tidak sehat. Sebagaimana sebuah pembangunan tentunya akan menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dimaksudkan sebagai dampak yang memang diharapkan akan terjadi akibat sebuah pembangunan dan memberikan manfaat yang berguna bagi lingkungan
di sekelilingnya. Sedangkan dampak
negatif dimaksudkan sebagai dampak yang tidak memberikan manfaat bagi lingkungan dan tidak diharapkan terjadi.
32
Untuk itu mengidentifikasi dampak akibat perkembangan city hotel di Kota Denpasar terhadap usaha hotel melati dan city hotel itu sendiri merupakan langkah yang sangat penting agar perkembangan city hotel dapat dikendalikan dan hotel melati tetap mendapatkan bagian dari pembangunan pariwisata di Kota Denpasar. Faktor dampak yang diteliti adalah
harga sewa kamar, jumlah tamu yang
menginap, tingkat hunian kamar perbulan, pendapatan hotel, lama tinggal dan jenis tamu yang menginap. Dari Faktor tersebut dapat diidentifikasi dampak terhadap hotel melati akibat perkembangan city hotel di Kota Denpasar. Hasil identifikasi dampak ini akan digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan dalam rangka mengendalikan perkembangan city hotel di Kota Denpasar. Maksud dari penyusunan kebijakan adalah untuk memecahkan masalah yang terjadi akibat perkembangan city hotel yang menimbulkan persaingan tidak sehat antar pengusaha hotel di Kota Denpasar. Pengusaha hotel dan masyarakat
tentu sangat mengharapkan kebijakan
yang akan disusun dapat memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Maka dari itu, teori dampak ini digunakan untuk mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat perkembangan city hotel. Identifikasi dilakukan kepada pengusaha hotel melati, pengusaha city hotel, wisatawan, asosiasi perhotelan dan Pemerintahan. Hasil identifikasi tersebut akan diformulasikan menjadi masukan untuk penyusunan suatu kebijakan dalam rangka penataan pembangunan city hotel di Kota Denpasar.
33
2.3.3 Teori Kebijakan Kepariwisataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memaknai arti kebijakan adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman itu dapat sederhana ataupun kompleks, bersifat umum atau khusus, luas ataupun sempit, publik atau privat. Kebijakan dapat berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu,suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana (Wahab, 2014:9). Dalam arti sederhana, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu. Don K. Price menyebutkan bahwa proses pembuatan kebijakan yang bertanggungjawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi profesional, para administrator dan para politisi (Wahab, 2014:72). Sedangkan yang dimaksud dengan dikemukakan
oleh
ahli-ahli
pariwisata,
kebijakan kepariwisataan yang Goeldner
dan
Ritchie
(2006)
mendefinisikan kebijakan pariwisata sebagai regulasi, aturan, pedoman, arah, dan sasaran pembangunan ataupun promosi serta strategi yang memberikan kerangka dalam pengambilan keputusan individu maupun kolektif yang secara langsung mempengaruhi pengembangan pariwisata dalam jangka panjang dan sekaligus kegiatan sehari-hari yang berlangsung di suatu destinasi. (http://tentangpariwisata. blogspot.com/2010/12/apa-itu-kebijakan kepariwisataan.html) Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak ada masyarakat yang terbebas dari Isu. Pengertian Isu dalam hal ini adalah suatu kondisi atau situasi
34
yang
menimbulkan
ketidakpuasan
di
kalangan
masyarakat
sehingga
membutuhkan solusi yang segera. Salah satunya adalah isu kebijakan publik (Wahab, 2014: 96-99). Isu kebijakan publik akan terus bergulir dan dinamis seiiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya politik suatu daerah. Makin kompleks suatu masyarakat suatu daerah, makin kompleks masalah yang dihadapi demikian juga halnya dengan jenis isu yang berkembang. Maka dari itu, respon yang diberikan oleh masyarakat suatu daerah terhadap jenis isu yang berkembang akan berbeda dengan daerah lainnya. Demikian pula halnya dengan isu yang berkembang saat ini di Kota Denpasar adalah maraknya pembangunan city hotel di Kota Denpasar, yang menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan baik masyarakat maupun pengusaha hotel melati. Muncul berbagai respon terhadap isu tersebut antara lain agar
Pemerintah
melakukan
pengawasan
dan
pengendalian
terhadap
pembangunan city hotel sehingga tidak menambah kemacetan lalu lintas di daerah tertentu, selain itu juga adanya usulan agar Pemerintah menyusun kebijakan untuk mengatur pembangunan sarana akomodasi secara merata di seluruh wilayah Kota Denpasar, serta menetapkan standarisasi harga sewa kamar untuk menghindari persaingan yang kurang sehat. Pemerintah Kota Denpasar telah mengatur pembangunan fasilitas pariwisata khususnya bidang usaha penyediaan akomodasi dengan menetapkan beberapa peraturan antara lain: Peraturan Daerah Kota Denpasar Tahun 2001
tentang Usaha
Nomor 24
Hotel Melati, Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 9 Tahun 2002 tentang Usaha Pondok Wisata, Peraturan Wali
Kota
35
Denpasar Nomor 31 tahun 2007 tentang Usaha Hotel Berbintang, Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 42 Tahun 2007 tentang Bangunan Condominum Hotel (Condotel), Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tanda Daftar Usaha Pariwisata. Kebijakan-kebijakan tersebut di atas disusun sesuai dengan perkembangan usaha penyediaan akomodasi yang terjadi saat itu. Bisnis usaha penyediaan akomodasai sangat dinamis, untuk itu kebijakan usaha pariwisata harus selalu diperbaharui untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengusaha dan mencapai sasaran pembangunan kepariwisataan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009, Bab VIII, Pasal
30
disebutkan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
mempunyai
beberapa
kewenangan antara lain: menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/ kota, melaksanakan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, dan mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya. Dengan kewenangan yang disebutkan di atas, Pemerintah Kota Denpasar berkewajiban untuk menyiapkan aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur dan mengelola kepariwisataan di Kota
Denpasar
Kepariwisataan
antara
lain
menyusun
Rencana
Induk
Daerah
Kota
Denpasar
(RIPPARDA)
Pembangunan
dan
pengaturan
pembangunan sarana akomodasi yang dalam hal ini city hotel. Dalam teori kebijakan disebutkan tahapan penyusunan suatu kebijakan yaitu diawali dengan adanya isu yang sedang berkembang dengan kriteria tertentu. Isu dapat menjadi kebijakan publik bila isu tidak dapat diabaikan, menimbulkan
36
dampak yang luas, mendapatkan dukungan dari orang banyak melalui media massa dan isu tersebut dianggap persoalan yang fashionable, sulit dijelaskan namun dirasakan kehadirannya (Wahab, 2014:102-103). Teori kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah difokuskan kepada kebijakan kepariwisataan terhadap penataan sarana akomodasi di Kota Denpasar dengan isu berkembangnya city hotel di Kota Denpasar. Meskipun isu ini hanya berkembang di kalangan pengusaha perhotelan namun topik ini gencar diberitakan melalui media massa dan disuarakan oleh anggota DPRD Kota Denpasar dan Pengurus Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI). Teori kebijakan ini akan digunakan untuk menganalisis dampak berkembangnya city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar dengan faktor harga sewa kamar, tingkat hunian hotel, jumlah tamu menginap, pendapatan hotel, lama tinggal tamu dan jenis tamu. Dengan faktor tersebut dapat diketahui apakah dampak yang terjadi dapat sebagai pertimbangan dalam penyusunan kebijakan publik dalam
pengaturan dan pengendalian pembangunan city hotel di Kota
Denpasar . 2.4
Model Penelitian Dalam alur pikir di bawah tergambar pesatnya perkembangan pariwisata
Kota Denpasar diikuti dengan meningkatnya sarana akomodasi. Ketersediaan sarana akomodasi di Kota Denpasar setiap tahunnya mengalami peningkatan. Penambahan jumlah sarana akomodasi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah tamu yang menginap di Kota Denpasar. Ada empat jenis usaha sarana akomodasi yang telah diatur dengan peraturan di Kota Denpasar, antara lain : usaha hotel
37
melati, hotel bintang, pondok wisata dan condominium hotel (condotel). Saat ini ada jenis sarana akomodasi yang sedang berkembang di Kota Denpasar, yang dikenal dengan sebutan city hotel. Ciri-ciri city hotel yang paling menarik perhatian adalah lokasinya di pusat kota, bentuk bangunannya modern minimalis dengan fasilitas sekelas hotel bintang. Masalah mulai timbul ketika city hotel menawarkan harga sewa kamar yang tidak jauh berbeda dengan harga sewa kamar hotel melati. Persaingan harga sewa kamar ini dikhawatirkan tidak saja mempengaruhi kelangsungan usaha hotel melati, tetapi juga akan berpengaruh terhadap city hotel itu sendiri. Selain persaingan harga sewa kamar, pembangunan city hotel yang tidak terkendali dapat mengancam daya dukung alam Kota Denpasar sebagai sebuah destinasi. Dari poin-poin tersebut di atas ditetapkan tiga
rumusan masalah yang akan diteliti yaitu faktor-faktor penyebab
berkembangnya city hotel di Kota Denpasar, dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar, persaingan dan strategi bisnis city hotel serta pengaruhnya terhadap strategi bisnis hotel melati di Kota Denpasar. Ketiga rumusan masalah tersebut dibatasi oleh konsep city hotel dan hotel melati terhadap topik yang dibahas dengan tiga teori untuk menganalisis masalah tersebut antara lain teori penawaran dan permintaan, teori dampak dan teori kebijakan pariwisata. Teori penawaran dan permintaan digunakan untuk
menjawab rumusan
pertama dan ketiga yaitu faktor-faktor penyebab terjadinya perkembangan city hotel, persaingan dan strategi bisnis antar-city hotel serta pengaruhnya terhadap strategi bisnis hotel melati di Kota Denpasar dengan menggunakan kuisioner.
38
Faktor yang digunakan adalah harga sewa kamar, fasilitas dan lokasi hotel yang ditawarkan, tingkat hunian hotel, dan lama tinggal tamu serta pengelolaan hotel. Penelitian dilakukan terhadap pengusaha city hotel, hotel melati dan tamu di kedua hotel tersebut. Dari faktor-faktor tersebut dapat diketahui penyebab berkembangnya city hotel, persaingan dan strategi bisnis antar-city hotel serta pengaruhnya terhadap strategi bisnis hotel melati di Kota Denpasar. Teori dampak digunakan untuk menjawab rumusan kedua dan ketiga yakni dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati dan persaingan antar-city hotel serta pengaruhnya terhadap hotel melati. Faktor dampak yang diteliti adalah harga sewa kamar, jumlah tamu yang menginap, tingkat hunian kamar, pendapatan hotel, lama tinggal dan jenis tamu yang menginap dan promosi yang dilakukan. Penelitian akan dilakukan dengan mewawancarai pengusaha hotel melati dan city hotel menggunakan kuisioner. Dengan faktor tersebut dapat diketahui dampak positif dan negatif perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati dan city hotel. Kepada Pemerintah dilakukan wawancara dengan faktor-faktor, data kepariwisataan bidang sarana akomodasi, perencanaan penataan sarana akomodasi dan kebijakan tentang sarana akomodasi. Dari faktor tersebut dapat ditemukan kondisi secara umum dan khusus mengenai penataan sarana akomodasi di Kota Denpasar dan dampaknya terhadap usaha hotel melati dan antar-city hotel. Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner ini berisi pedoman wawancara untuk mendapatkan data mendalam dari informan.
39
Untuk mengetahui data kepariwisataan terkait sarana akomodasi, klasifikasi kelas city hotel yang berkembang, keterlibatan Asosiasi dalam penataan sarana akomodasi di Kota Denpasar serta kondisi bisnis hotel di Kota Denpasar wawancara dilakukan kepada Pengurus PHRI dan ASITA. Teori kebijakan kepariwisataan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati dan antar-city hotel di Kota Denpasar. Penelitian dilakukan kepada pengusaha city hotel dan melati dengan faktor harga sewa kamar, tingkat hunian hotel, jumlah tamu menginap, pendapatan hotel, lama tinggal tamu dan jenis tamu. Kepada Pemerintah, Asosiasi Perhotelan dan Biro Perjalanan Wisata dilakukan wawancara dengan faktor antara lain menganalisa kebijakan sarana akomodasi yang sudah ada, serta dampak-dampak yang diakibatkan oleh perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati, persaingan dan strategi bisnis city hotel serta pengaruhnya terhadap strategi bisnis hotel melati di Kota Denpasar. Dengan faktor tersebut dapat diketahui apakah rumusan dampak yang terjadi akibat perkembangan city hotel tersebut dapat sebagai pertimbangan ataupun masukan untuk
menyusun kebijakan publik dalam
pembangunan city hotel di Kota Denpasar .
pengaturan dan pengendalian
40
Pariwisata Kota Denpasar
City Hotel
Hotel Melati
Teori Konsep
1. City Hotel 2. Hotel Melati
Faktor-faktor penyebab berkembanganya city hotel di Kota Denpasar
Dampak Perkembangan City Hotel di Kota Denpasar
Dampak perkembangan city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar
Simpulan/ Saran
Gambar 2.1 Model Penelitian
1. Teori Penawaran dan Permintaan 2. Teori Dampak Pariwisata 3. Teori Kebijakan Kepariwisataan
Persaingan dan strategi bisnis antar-city hotel serta pengaruhnya terhadap strategi bisnis hotel melati di Kota Denpasar