BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman. Penelitian ini mencoba untuk memahami berkembangnya fenomena upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasilhasil penelitian terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan 18
19
pustaka-pustaka yang penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa masalah-masalah penelitian yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para peneliti/ penulis terdahulu. Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten Tarigan dalam tesisnya berjudul “ Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisi Karo Sumatera Utara” (2004) pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup perubahan alat musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), perkawinan (nereh-empo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu). Dalam penelitian itu, Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan pengaruhnya terhadap adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori akulturasi, sebagai proses kebudayaan yaitu terjadi ”peningkatan keserupaan” antara dua kebudayaan dari Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana cara teknologi sebagai pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori fungsi musik tentang hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari Merriam. Penelitian ini sangat relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena membahas perubahan alat musik dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan salah satu permasalahan yang dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah Tarigan seolah-olah merayakan pengaruh globalisasi dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), sedangkan penelitian ini menangguhkan atau menunda makna untuk menemukan makna baru dalam konteks upacara gendang kematian.
20
Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian yang diberi judul “Utang Adat Kematian dalam Adat Karo”. Penelitian ini menguraikan nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo yang tersirat dalam nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa dagangen (kain kafan) yang berwarna putih untuk yang meninggal dan keperluan hidup sehari-hari kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras dan ayam. Panelitian ini memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan jenis barang yang digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain disertasi ini meneliti musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang “Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada Masyarakat Karo” disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi. Makalah ini menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian yang terdapat pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5) rende (nyanyian). Salah satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang kematian, gendang lima sendalanen sebagai iringan musik pada upacara gendang kematian sebagai ”perekat” dari semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen
digunakan sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara
21
simbolis Gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima sendalanen
mengalami pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika
dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard. Makalah ini adalah sebagai awal untuk penelitian disertasi ini. Persamaan penelitian dengan disertasi ini yaitu memaknai upacara gendang kematian etnik Karo secara denotatif sedangkan disertasi ini melihat fenomena secara konotatif. Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul “The Anthropology of Music”, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik, yaitu (1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4) perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) normanorma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat. Fungsi (function) dan penggunaan (use) adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik tetapi lebih dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan bagaimana implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan bahwa musik rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya dan musik tanpa teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam
22
musik bukan suatu bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja, karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya. Dalam beberapa hal, musik merupakan simbol dari aspek kehidupan dan organisasi sosial masyarakat pendukungnya. Dari fungsi dan kegunaan musik yang di tawarkan oleh Merriam dalam buku ini, sangat membantu penulis untuk menelaah makna secara konotatif dan memberikan peluang tentang strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo dari makna yang telah tergali. Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini dirangkai dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul “Adat Karo”. Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan kesenian Karo. Selain itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan. Pembahasan tentang kesenian lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari dan musik untuk kebutuhan upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih difokuskan pada bidang deskripsi adat istiadat, cukup memberikan wawasan dalam penyusunan disertasi ini. Informasi penting dalam penelitian yang relevan dengan penyusunan disertasi ini adalah uraian mengenai berbagai jenis upacara kematian pada masyarakat Karo. Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya “Kinship, Descent, and Alliance Among the Karo Batak” meneliti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan pada masyarakat Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang penting yang terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan
23
masyarakat Karo. Dalam buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah adat dalam sistem kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan penyelenggaraan ritual-ritual. Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian
ini dapat
digunakan untuk menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai berhubungan dengan sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memaknai unsur-unsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh. Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul ”Mangmang: Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatra Utara.” Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis nyanyian yang terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah bomoh. Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya menjalankan kedua upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik Karo. Penelitian ini memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat dengan kesenian, khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu dalam penyusunan disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai
24
etnomusikologi dan jenis-jenis seni di luar konteks gendang kematian. Dengan demikian, penelitian ini relevan digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini. Pasaribu (2004) menulis buku “Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun”. Buku ini berisi karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti dan pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan bahwa semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas = pluralitas. Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik pada suatu tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait dengan sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya dengan penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti
musik tradisi,
kegunannya, sampai perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan musik tradisi dan spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti spiritualitas di balik ansambel musik yang digunakan pada upacara ritual, khususnya upacara gendang kematian. Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991) lebih memusatkan perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang sangat berharga bagi penelitian ini. Foto-foto
yang dibuat Achim Sibeth
memberikan gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual tradisi Karo. Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada upacara ritual Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu
25
untuk melacak jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo. Brahma Putro (1999) membahas tentang “sejarah Karo dari zaman ke zaman”. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Karo dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli Serdang, Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun. Kehidupan masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada penulis terkait dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang ada di Tanah Tinggi Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan penelitian penulis tentang spiritualitas upacara gendang kematian. J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul “Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan”. Neumann meneliti dan menerangkan asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu merga Karo-karo, merga Ginting, merga Sembiring, merga Perangin-angin, dan merga Tarigan
dengan cara
menganalisis dongeng-dongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan penelitian ini, Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo adalah di Dataran Tinggi Karo. Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo, kira-kira tiga abad yang lalu dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain, seperti orang Batak dari daerah Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi
26
nenek moyang dari merga Karo-karo. Kemudian ada juga migrasi ke daerah dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan selatan yang menyebabkan terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo. Terlepas benar atau tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan inspirasi bagi penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang terdapat pada gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah berawal dari mitos. Perbedaannya adalah
Neumann menguraikan merga-
merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang lima
sedalanen
dalam
upacara
gendang
kematian
dengan
sistem
kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya. Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada masyarakat Karo dengan judul “Seribu Perumpaman Karo”. Buku ini membahas perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam upacara gendang kematian perumpaman tidak terlepas dari pelaksanaannya. Buku ini memberikan informasi dan wawasan untuk menggali makna yang ada pada perumpaman yang diungkapkan dalam upacara gendang kematian. Perbedaannya, penelitian penulis tentang perumpaman dengan cara dinyanyikan dan kecenderungannya sambil menangis/meratap. Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya ”Analisis Komunikasi Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo” membahas tentang
27
spiritualitas yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran utama tesis ini untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat upacara ritual erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan tradisi tersebut melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat pendukung
kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi
transendental dengan roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob King memberikan informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara ritual erpangir ku Lau pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dalam meneliti menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi gendang pada upacara, sedangkan penelitian penulis menggali sampai sedalamdalamnya. Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul “Gondrang Simalungun” membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun. Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks historis, dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen juga memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat Simalungun. Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada masa depan masih belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan ketertarikan di kalangan masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi pada penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran kelangsungan tradisi musik gendang lima sendalanen pada etnik Karo.
28
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah menguraikan peran ensambel musik pada masyarakat. Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak hanya menganalisis peran ensambel, tetapi juga mencari makna yang implisit dari materi yang menghasilkan wujud ensambel tersebut. Sembiring (2010) mengadakan penelitian berjudul “Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara”. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan dengan kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi sejak awal perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam, orang Karo memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang ditawarkan pihak zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang tidak mudah, terjadi sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap kristenisasi. Esai ini memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian penulis yang terkait dengan gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen dan dibaptis. Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai orang Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu ”tidak boleh!!”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama melihat pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo dari sisi kekristenan. Perbedaannya, Sembiring meneliti perubahan keyakinan melalui kristenisasi sedangkan penelitian penulis melihat perubahan musik dan
29
spiritualitas upacara gendang kematian dari sudut kristenisasi, industri budaya yang ditandai dengan komodifikasi. Buku “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo” yang ditulis A.G. Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo yang terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alatalat musik. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat musik yang terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan penelitian penulis hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan perbedaaanya adalah penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan spiritualitas materi yang memproduksi bunyi tersebut. Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan, informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian pustaka
di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang positif dalam rangka melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik Karo. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kajian budaya dan kajian tradisi lisan yang difokuskan pada wujud, faktorfaktor, dan makna serta strategi pewarisan yang dimunculkan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping ada persamaan dengan kajian pustaka di atas juga jelas perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
30
2.2 Konsep Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan empat satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi
2.2.1 Spiritualitas Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu kepada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, kesudian, dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik (Bagus, 2002: 1034). Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia. Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral. Antusiasme itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang membentuk dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun
31
kehidupannya. Melalui bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk bermanifestasi dalam kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi). Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir semua hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini tampaknya hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal yang lain. ”The concept of spirituality is load with complex and different meanings; it is used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting, literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology, esoteric knowledge, et cetera” (Darmawan dalam Adlin (ed.), 2007: 145). Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa agama, tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa spiritualitas. Kita dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan mempunyai teologi yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah spiritualitas sebagai pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh absoluts di sini dan kini, serta sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang mengubah cara saya menjalani hidup di dunia ini. Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadi bagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, saya bertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya. Kita semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22). Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin
32
religius tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17). Spiritualitas
postmodern
mengakui
bahwa
manusia
memiliki
kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah ”tuan segala ciptaan” yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor
33
ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya digabungkan perhatian pada ekologi dengan perhatian khusus pada kesejahtraan manusia (Griffin, 2005: 33). Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang melihat objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas fisik objek yang dilihat sehingga ia dapat mencerap
muatan-muatan
nonfisiknya, seperti pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada dasarnya bukan semata-mata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun, muatan (content) di dalam objek visual yang memungkinkan hubungan antara melihat, objek visual, dan kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi jiwa atau muatan spiritualitas objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan nonfisik sebuah objek visual inilah yang kemudian dapat menimbulkan satu wujud kepercayaan (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144). Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 148). Piliang mengemukakan bahwa posmodernisme lebih cenderung mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang spirit dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang bersumber dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali
34
dimensi-dimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spiritspirit masa lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep yang sangat penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas posmodern (Piliang, 2004: 256).
2.2.2 Upacara Gendang Kematian Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah suatu kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280). Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga
menghasilkan bunyi sebagai
pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo pengertian gendang tersebut bukan
alat musik semata sebagaimana dalam
pengertian secara umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian. Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga berarti nama repertoar sebuah lagu
ataupun alat musik tertentu. Biasanya
pengertian kata gendang tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang indung, kata gendang menunjukkan salah satu
35
jenis alat musik, (4) gendang guro-goro atau gendang kematian kata gendang menjadi suatu upacara. Kematian berasal dari kata ”mati” atau ”maut” yang artinya tidak ada, gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani, serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata ”mati” memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain pengertian mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3) terhentinya budi daya manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56). Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada di Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik
Karo sangat percaya pada
kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih hidup.
36
Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan ”alat musik”, lima berarti ”lima” dan sendalanen berarti ”sejalan”. Dengan demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ”lima buah instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama”. Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3) gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap
alat musik
dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain sarunei, penggual untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi dan pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain musik dalam suatu upacara
37
adat Karo, sebutan mereka menjadi satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam suatu konteks upacara adat Karo. Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu. Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang berhadap-hadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal) dengan salah satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Dalam landek hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok sunguda-nguda (wanita) dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan dengan berpasang-pasangan. Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama, sedangkan dalam landek adat (upacara kematian), tidak memperhatikan kesamaan jumlah kedua kelompok. Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nurinuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep nuri-nuri dalam konteks gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang ditinggal, tetapi sedang diupacarai.
justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang
38
Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang nuri-nuri atau ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat sambil ngandung. Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang meninggal ketika masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung. Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang yang bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng (teks lagu yang dinyanyikan secara spontan) diiringi gendang lima sedalanen yang dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolongkolong sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada kerabatnya. Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.
2.2.3 Etnik Karo Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut oleh konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma budaya lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1) suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama. Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki bahasa sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok
39
yang lain; (2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi di antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama; (3) suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain (Liliweri, 2005: 11--12). Karo merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba, Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo. Etnik
Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem
kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama keluarga ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah), tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan ibu. Hal ini terlihat dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab selanjutnya. Untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak mau harus memahami sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh. Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu
40
nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.
2.2.4 Era Globalisasi Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun waktu, zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau global artinya dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi fenomena oleh sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam kajian budaya. Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak
pengertian dan
konteks yang berbeda-beda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan menjadi bahan pembicaraan dalam ilmu-ilmu humaniora. Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan berbagai konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan dalam ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negara—secara ekomomi— makin pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses, bukan suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang otonomis terjadi. Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir
41
dari berbagai interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang pada abad ke dua puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101). Globalisasi
telah
menghadirkan
perbedaan-perbedaan
yang
meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integral budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalamai redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuukkan sifat relatif suatu praktik sosial (Abdullah, 2006: 107). Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi adalah gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya ”kebudayaan dunia” di berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai kita semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia (Barker, 2006: 115—116; Hoed, 2008: 102). Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negarabangsa. Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi ”atas”
42
merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan ’kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme budaya (Barker, 2004: 117). Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual, termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3). Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan diterima begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu banyak diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi menyediakan konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan cakupan sumber dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola gerakan penduduk dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan tahun-tahun sesudahnya dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi,
43
khususnya komunikasi elektronik memungkinkan semakin meningkatnya perbenturan, pertemuan, dan percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206). Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan penyempitan ruang dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405). Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh Hood dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas kontak budaya dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus berlanjut. Sentuhan budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan budaya, tetapi juga merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola kehidupam etnik Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni bergeser dari sakral menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual, seperti berlomba mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang seharusnya dikejar. Hal ini memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas etnik Karo itu sendiri.
2.3 Landasan Teori Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan
44
jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut
merupakan landasan
teori
untuk menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud, faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan
spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas. Ketiga, postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti: disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan realitas. Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang elite dan bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi (periphery). Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern mengemuka untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan tetapi, dengan membuat budaya barat makin mendekonstruksi sistem
45
kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori posmodern dalam kajian budaya, sesuai dengan perjuangan pendirinya di Inggris, seperti Hoggart dan Williams, yaitu melawan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006: 138). Salah satu karakteristik teori kritis, teori posmodern, dan kajian budaya adalah peningkatan kondisi kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan emansipatoris (Lubis, 2006; Agger, 2006). Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan pokok permasalahan wujud, faktor-faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga tiga teori lainnya, yaitu etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori pendukung.
2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat
46
modern. Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori dan fakta dalam ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009: 248). Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku. Dekonstruksi sering diartikan sebagai teori pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh dekonstruksi adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk memberikan arti kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251). Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi (1993) adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk)
47
diterima sebagai satu ’kebenaran’ sehingga tidak menyisakan ruang bagi pertanyaan, gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih segar, lebih demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi (Piliang, 2003: 116--117). Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun suatu teks dengan “membongkar” teks-teks lain serta berupaya melebihi teksteks lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teksteks lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa “teks” atau tenunan merupakan jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata “teks” yang berasal dari kata latin textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu yang ada merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut Derrida kata “teks” mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasanya dikenal orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain sehingga Derrida menemukan adanya intertekstualitas. Dikatakan pula oleh Derrida bahwa menerjemahkan adalah mengganti teks satu dengan teks yang lain dan terjemahan adalah transformasi (Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86). Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur pikiran, yakni kata ”globalisasi” dengan ”makna” yang seolah-olah sudah dianggap ”baku”. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari tanda merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri.
48
Menurut Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan ”penundaan” hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang memungkinkan adanya pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Hasil proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah bahwa dekonstruksi merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap individu atau kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103). Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective). Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti melalui
proses
dekonstruksi
oposisi
biner
antara
sakral/profan,
transenden/imanen, tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi merayakan permainan-permainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya (Piliang, 2007: 173). Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktorfaktor, dan makna yang tersembunyi dalam
spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain secara eklektif. Agar kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka pemaknaan harus diulang dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan
49
dengan
pembongkaran
sebagai
proses
secara
terus-menerus.
Melalui
dekonstruksi akan diperoleh segala sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian.
2.3.2 Teori Etnomusikologi Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris). Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ”ethos”, ”mousike”, dan ”logos” (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi ethnomusicology atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa (Nakagawa, 2000: 1--2). Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood (Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha, 2012: 41). Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan penyelamatan musik-musik timur, musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi lisan. Upaya penyelamatan itu dilakukan dengan mengedepankan isu-isu konseptual seperti asal mula musik,
50
perubahan musik, musik sebagai simbol universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem musikal, dan dasar-dasar biologis musik. Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih tinggi. Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif, dan tidak beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41). Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik, sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari materi yang menghasilkan bunyi musik. Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data, menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik sasarannya. Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori tentang musik tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan narasumber dan melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik
51
tersebut, menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan berpartisipasi dengan kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah kemampuan musikal diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan bermusik
(bukan
kegiatan
bermasyarakat
seperti
apa
adanya)
dan
menggunakannya untuk keperluan mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47; Liembeng, 2009: 30). Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lainlain. Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan dengan masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-unsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya masalah politik dan seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan semata-mata struktur musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait dengan teks dan konteks (Nakagawa, 2000: 6). Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,
52
melainkan
elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan
sebagainya. Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis konteks atau menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila meneliti musik Sumatera dengan menganalisis strukturnya saja, itu bukan kegiatan etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi ketika kita menghubungkannya
dengan unsur kebudayaan lain
atau
menghubungkan teks dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7). Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian ini juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.
2.3.3 Teori Komodifikasi Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan permukaan barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul komoditas yang berasal dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan fetisisme komoditas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan dengan produk kerja mereka sendiri yang kini terpisah dari mereka menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14).
53
Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas yang tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan barang-barang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya, menurut Kaunang, komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja, dengan penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk yang siap dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakankeabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh privat (Kaunang, 2010: 26). Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat konsumen memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena
54
terjadi perubahan mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang memengaruhinya, yaitu kekuasaan kapital, produser, dan media massa (Piliang, 1999:246). Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah untuk
menelaah
rumusan
masalah
kedua,
yaitu
faktor-faktor
yang
mempengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang dikaitkan dengan teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi penduduk asli, dan kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global yang sedang berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, upacara gendang kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi barang dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemenelemen yang berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan secara gotong royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini tidak terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori semiotik dan teori lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.
55
2.3.4 Teori Semiotika Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure (1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Sumbo, 2008: 11--12). Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (Sumbo, 2008: 11--13; Marianto, 2006:135--138). Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau
56
menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukkan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik (Sumbo, 2008: 13--14). Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu.
Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya
berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo, 2008: 14). Barthes
mengemukakan
teorinya
tentang
makna
konotatif.
Ia
berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika
57
interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda (Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15). Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe perubahan pada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam musik Karo.
58
2.4 Model Penelitian Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti model penelitian berikut ini. Budaya Lokal
Budaya Global
- Masyarakat Pendukung - Kreativitas Seniman/Budayawan
- Kristenisasi - Industri Budaya - Media Elektronik
-
Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi
Faktor-faktor yang memengaruhi Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Wujud Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Makna Spiritualitas dan Strategi Pewarisan Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Penguatan Spiritualitas Etnik Karo
Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan:
: Menunjukkan hubungan saling memengaruhi : Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan) : Menunjukkan harapan/tujuan penelitian
59
Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal saling memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan makna merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah upacara kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual dalam berbagai aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya dipengaruhi faktor-faktor intern dan ekstern. Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa dibendung ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal ke arus budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru. Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang kematian disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus utama kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik merupakan agen budaya populer. Pengaruh faktor intern dengan kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai
60
pendukung budaya gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan konstruksi identitas Karo. Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud, yaitu (1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.