DISERTASI
SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI
PULUMUN PETERUS GINTING
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
DISERTASI
SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI
PULUMUN PETERUS GINTING NIM 109071014
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
PULUMUN PETERUS GINTING NIM 1090371014
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
LEMBAR PENGESAHAN
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 PEBRUARI 2015 Promotor,
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. NIP. 195701131980031001 Kopromotor 1,
Kopromotor 2,
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP.194409271976021001
Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. NIP. 194804121974031001
Mengetahui
Ketua Program Pendidikan Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 194807201980031001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP. 195902151985102001
Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup (Tahap I) Tanggal 17 Pebruari 2015
Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 531/UN.14.4.5/HK/2015 Tanggal 13 Pebruari 2015
Ketua
: Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.
Anggota
:
1. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. 2. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. 3. Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. 4. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. 5. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. 6. Dr. Putu Sukarja, M.Si. 7. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Pulumun Peterus Ginting
NIM
: 109071014
Jurusan/Program Studi
: Kajian Budaya
Fakultas/Program
: Pascasarjana Universitas Udayana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lainnya yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
Pulumun Peterus Ginting
UCAPAN TERIMA KASIH
Mejuah-Juah Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, berkat lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ―Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi‖ pada Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Pada kesempatan ini
dengan segala kerendahan hati, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini mulai dari persiapan, proses, hingga promosi. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak, baik materi maupun moril kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made Suastika S.U. selaku promotor; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. dan Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A. selaku kopromotor dan penguji; Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.; Dr. Putu Sukarja, M.Si.; Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, tuntutan, dan saran selama penulis menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., Direktur
Program
Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. Ketua Program Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.
dan Sekretaris Program, Dr. Putu Sukarja, M.Si. atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan yang sama ditujukan kepada para dosen pengampu mata kuliah, yakni Prof. Dr. I Wayan Widja; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A.; Prof. Dr. Emiliana Mariyah, S.U.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna. S.U.; Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.; Prof. Dr. I Gede Parimartha, M.A,; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete S.U.; Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A.; Prof. Dr. Sulistyawati; Prof. Dr. I Nyoman Sirta; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.Si dan Dr. Pudentia MPPS. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan pengetahuan yang telah ditularkan kepada penulis. Kepada Ketua ATL Pusat Jakarta Dr. Pudentia MPPS dan Ketua ATL Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. atas kesempatan yang diberikan pada penulis untuk menjalani program doktoral dalam konsentrasi Kajian Tradisi Lisan (KTL) yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan saat penulisan awal proposal serta memberi kesempatan mengikuti Program pada Sandwich-like di
KITLV, Leiden University Belanda. Dr. Clara Bekker, Ismeralda, Daniella, Juara Ginting, Nelly Sembiring, Michel, Utari, Kinok Surbakti, Pa Guntar Sinuraya, Kristy dan Gabriella Ginting yang memberi kesempatan dan waktu untuk menampilkan seni Karo pada beberapa peristiwa di Belanda. Dorongan dan motivasi dari pembimbing KTL, Prof. Dr. Emiliana Mariyah, Prof. Robert Sibarani, Dr. Sutamat Ariwibowo, M.Si, dan semua teman seperjuangan Maria Matildis Banda, Yon Adlis, Ni Wayan Sumitri, Hamirudin Udu, Sumiman Udu, Syahrial, Katubi, Trias Yusuf, Sainul Hermawan, Isman, Mariana Lewier, Ali Prawiro, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo Attas, Retty Esnendes, Lies Mariani, La Aso, yang bersama-sama mengikuti Program Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2010 ikut memberikkan semangat atas terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Rektor, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua Jurusan Sendratasik, Ketua Program Studi Seni Musik, Universitas Negeri Medan (UNIMED), yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana. Disamping itu, juga seluruh dosen Jurusan Sendratasik Universitas Negeri Medan, rekan-rekan sejawat, yang diwakili oleh Ben M Pasaribu MMA (alm) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, informasi, bantuan, dan motivasi selama ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pegawai administrasi Program Studi Kajian Budaya, yaitu I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra.
Ni Luh Witari, Cok Istri Murniati, S.E., Ni Wayan Aryati, S.E., I Putu Hendrawan, I Nyoman Candra, dan I Ketut Budiarsa. Selain itu, juga seluruh pegawai kantor pusat Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis yang berkaitan dengan urusan administrasi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pejabat instansi pemerintahan Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama proses penelitian ini dilaksanakan. Demikian pula kepada seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi dan kemudahan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya atas hal-hal yang tidak berkenan selama kegiatan penelitian ini dilakukan. Terima kasih yang tulus diucapkan kepada keluarga penulis, Bapa Renceng Thomas Ginting (Alm) yang beramanat kepada penulis ‖tidak perlu kaya, uang jangan dikejar, tetapi kejarlah ilmu setinggi-tingginya‖ dan Ibunda tercinta Lelem Br Sembiring yang selalu mendoakan, dan memberikan motivasi serta semangat hingga selesainya disertasi ini. Kepada istriku tercinta Ely Br Sitepu yang dengan sabar menanti kembalinya suami dari Bali dan selalu memberikan motivasi beserta putra-putri kami Fillinllife Ginting dan Cicio Puelfi Br Ginting. Adinda tersayang Bob King Sidney Ginting dan Athania Rasbina Br Sembiring dan putri kecil mereka Kintan Nayara Br Ginting. Kakanda Erlykasta Br. Ginting dan Abang Abri
Barus beserta putra-putrinya Agung Prima Barus, Eviona Br Barus, Cindy Br Barus, yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya. Akhirnya, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu bidang seni budaya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya dalam mengeksplorasi tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang perlu ‖dilestarikan‖. Di atas segalanya, kepada Tuhan yang Mahakuasa penulis memanjatkan doa agar anugerah-Nya dilimpahkan untuk kita semua.
Denpasar, Juni 2015 Penulis,
Pulumun Peterus Ginting
ABSTRAK Etnik Karo memiliki berbagai jenis upacara dalam tradisinya. Upacara gendang kematian merupakan salah satu upacara yang sangat penting dan mengandung nilai-nilai luhur yang terdapat pada semua unsurnya. Upacara gendang kematian di kalangan etnik Karo telah mengalami banyak perubahan spiritualitas pada zaman globalisasi. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo, seperti perubahan ensambel gendang lima sendalanen menjadi keyboard, yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru. Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara gendang kematian pada masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan berbagai perubahan yang telah terjadi pada spiritualitas upacara gendang kematian pada etnik Karo. Pembahasan terhadap realitas budaya yang terjadi pada etnik Karo pada era globalisasi ini difokuskan pada tiga permasalahan, yaitu (1) bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; dan (3) Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan mulitimensional. Ketiga permasalahan tersebut dibedah menggunakan teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan kepustakaan. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan interpretatif. Disertasi ini menawarkan tiga hal sebagai simpulan. Pertama, wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo adalah degradasi ke arah sekularisasi terhadap nilai-nilai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo. Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas pada upacara gendang kematian etnik Karo mencakup internal (masyarakat pendukung, kreativitas seniman) dan eksternal (kristenisasi, industri budaya, media elektronik). Ketiga, makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo meliputi spiritualitas pramodern, modern, postmodern, perubahan sosial budaya dan strategi pewarisan melalui keluarga, masyarakat, pemerintah dan melalui revitalisasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa perjumpaan dan interaksi antara budaya lokal dan budaya global di kalangan etnik Karo telah meminggirkan nilai-nilai budaya lokal dan mendapatkan nilai baru. Akibatnya, upacara gendang kematian di kalangan etnik Karo mengalami degradasi ke arah sekularisasi. Kata kunci: spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, era globalisasi
ABSTRACT Karo ethnic has various kinds of ceremonies in its tradition. The gendang ceremony of death is one of the most important ceremonies and embodies noble values that contained in all of its elements. The gendang ceremony of death in the Karo ethnic has undergone many changes in terms of spirituality in the age of globalization. A change toward secularization is as a result of the influence of global cultural elements into the gendang ceremony of death of the Karo ethnic like ensemble gendang lima sendalanen change to keyboard who gave birth to a new form and meaning. This dissertation is the result of a study of the cultural realities that occur among the Karo ethnic in this age of globalization, namely the change in the spirituality the gendang ceremony of death in the local people of Karo. This study aims to identify and to analyze, as well as to explain the various changes that have occurred in the spirituality of the gendang ceremony of death of the Karo ethnic. The discussion of the cultural reality that occurs in the Karo ethnic in the age of globalization has been focused on three issues, namely (1) How is the form of changes in the spirituality of the gendang ceremony of death in Karo ethnic in this age of globalization; (2) What factors are causing changes in the spirituality of the gendang ceremony of death of the Karo ethnic in this age of globalization; and (3) What is the meaning of spirituality change of the gendang ceremony of death in the Karo ethnic in this age of globalization. The study was designed as a qualitative study of critical, interdisciplinary and multidimensional cultural studies approach. The three problems mentioned above were analyzed by using deconstruction, ethnomusicology, co-modification and semiotic theories. The study used descriptive qualitative and interpretative methods of analysis. The data were collected by observation, in-depth interviews, and documentation as well as library studies. This dissertation offers three things in conclusion. First, the form of spiritual change in the gendang ceremony of death of the Karo ethnic, is the degradation toward secularization of spiritual values of the gendang ceremony of death, among the Karo people. Second, the factors that cause changes in spirituality in gendang ceremony of death in the Karo ethnic include the internal factors (community support, creativity, innovation of artists) and the external factors (Christianization, the pressure of foreign culture, and the cultural industries). Third, the meanings of changes in the spirituality of funeral ceremony of the Karo ethnic include the representation of identity, the cultural secularization, social change of the Karo people and inheritance strategy through family, community, government and revitalization. This study shows that the encounter and interaction between the local and the global culture among the Karo ethnic has marginalized the local cultural values and they obtain new meanings. Consequently, the gendang ceremony of death among the ethnic of Karo has undergone degradation toward secularization.
Keywords:
spirituality, gendang ceremony of death, the Karo ethnic, the era of globalization.
RINGKASAN DISERTASI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara gendang kematian
etnik Karo. Perubahan yang menuju ke arah
sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru. Dalam perspektif kajian budaya, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empiris berkaitan dengan permasalahan globalisasi kebudayaan. Fenomena pergeseran dari alat musik tradisional gendang lima sendalanen mengalami degradasi ke arah sekularisasi, yaitu keyboard yang merupakan salah satu unsur dari ritual upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini merupakan representasi dari bertemunya spiritualitas etnik Karo dengan rasionalitas modern, sebuah penanda absurditas dalam kebudayaan Karo pada era globalisasi. Sebagai sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian etnik Karo belum mendapat perhatian peneliti budaya di Indonesia di tengah berkembangnya pemikiran ―lokal genius‖ dan di tengah derasnya pengaruh modernisme yang menggusur nilai-nilai lokal. Upacara gendang kematian etnik Karo terdiri atas lima unsur (peristiwa), yaitu gendang lima sedalanen (musik), landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (tangisan), dan rende (nyanyian). Upacara gendang kematian pada awalnya berbentuk sakral dan memiliki nilai-nilai religi yang tinggi. Westernisasi, modernisasi, dan globalisasi menyebabkan upacara gendang kematian mengalami degradasi ke arah sekularisasi, seperti gendang lima sendalanen berubah dan digantikan oleh sebuah instrumen modern, yaitu keyboard ditambah dengan ensambel musik tiup. Selain itu, kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan etnik Karo bertendensi ekonomi.
Karena begitu kompleksnya permasalahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka penelitian ini difokuskan ke dalam tiga pertanyaan dalam masalah.
Pertama, bagaimanakah wujud spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Kedua faktor-faktor apakah yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik
Karo pada era
globalisasi? Ketiga, bagaimanakah makna spiritualitas dan strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping itu, juga ingin mengetahui dan memahami fenomena budaya lokal di daerah Karo dalam persfektif kajian budaya. Tujuan lainnya adalah mengungkapkan latar belakang terjadinya perubahan upacara gendang kematian. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, memahami faktor-faktor yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan menginterpretasi makna spiritualitas dan mengetahui strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dalam khazanah kebudayaan masyarakat pendukungnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya, tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Di pihak lain manfaat praktis penelitian ini merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses pemahaman, pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat
dalam hal spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal. Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, diguanakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan multidimensional. Adapun data diperoleh melalui studi kepustakaan, studi dekomentasi, observasi, dan wawancara. Setelah dilakukan verifikasi, data kemudian dianalisis dengan beberapa teori yang relevan, seperti teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Temuan penelitian ini mencakup tiga hal. Pertama, wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi meliputi (a) upacara kematian masyarakat Karo, yang mengungkapkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada kematian; (b) wujud gendang lima sendalanen; yang mencakup kosmologi masyarakat Karo; (c) wujud landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat dan landek ritual; (d) wujud nuri-nuri (petuah); (e) wujud ngandung (tangisan); (f)
wujud rende perkolong-kolong(bernyanyi), dan (g) wujud keyboard serta
wujud trompet (ensambel tiup). Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi adalah sebagai berikut. (a) Faktor internal yang meliputi masyarakat pendukung gendang kematian tidak dilihat secara sempit dan terbatas pada genealogis dan teritorial grafis, tetapi etnik Karo yang terhimpun dalam satu komunitas organisasi sosial kemasyarakatan kekaroan di mana pun mereka berada. Kreativitas seniman dan budayawan, dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran kreatif orang Karo sepanjang zaman hingga kekinian. Identitas Karo, yang erat hubungannya dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik sebagai penanda identitas budaya. (b) Faktor eksternal yang meliputi kristenisasi, yang membekaskan kesan yang ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan dalam batin orang Karo. Selanjutnya tekanan budaya asing yang menciptakan
orang Karo menjadi masyarakat komoditas yang meliputi unsur-unsur di dalamnya sudah terstandardisasi. Industri budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi upacara gendang kematian. Ketiga, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca ‖tanda zaman‖ dan dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi yang menyangkut nilai-nilai dasar atau filosofi kehidupan masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern, dan postmodern. Makna spiritualitas pramodern etnik Karo melalui gendang lima sedalanen yang memiliki fungsi sebagai iringan musik dan tari dalam upacara gendang kematian sebagai “perekat” dari semua unsur yang ada dalam upacara. Selain itu, juga digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan serta makna hubungan antara gendang lima sedealanen, baik instrumen maupun bunyi (musik), yang dihasilkannnya dengan sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat dan landek ritual, yang memaknai gerak sebagai sebuah simbol yang menjadi filosofi etnik Karo. Nuri-nuri (petuah), menunjukkan duka keluarga sekaligus memberikan penghormatan kepada kalimbubu yang disampaikan melalui nuri-nuri. Ngandung (tangisan), penyampaian belasungkawa dan sekaligus meneguhkan hati pihak keluarga disampaikan melalui tangisan atau
ratapan. Rende (vokal/bernyanyi) yang sering digunakan pada upacara-upacara adat yang ada pada masyarakat Karo khususnya upacara gendang Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, dengan ‖individu‖ (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuantujuan tertentu. Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika spiritualitas kultural etnik Karo. Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas, yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia tidak lebih dari ciptaan artifisial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang digunakan
untuk
menunjukkan
identitas.
Dengan
kata
lain,
kehadiran
keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama sekali dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakanakan ia menjadi dari wacana upacara tersebut. Spiritualitas postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi, pandangan dunia, secara pasti menentukan etika dan cara hidup manusia. Oleh
sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh cara-cara manusia mengatur kehidupan individu dan kelompok tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya. Makna perubahan budaya yng mencakup beralihnya nilai tradisi ke modern adalah
teralihkannya
orientasi
nilai-nilai
magis
religius
dari
agama
pemena/perbegu ka agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan budaya pemena dari agama tradisi etnik Karo masih terasa kental sampai sekarang. Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna pada terkikisnya spiritualitas etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak mungkin dibendung menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan.
Hal ini berpengaruh pada
menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern yang mempengaruhi musik Karo. Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Masyarakat pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang ―tak benda atau tak tersentuh. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar
belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain. Hasil penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai temuan baru penelitian. Pertama, tradisi lisan upacara gendang kematian menunjukkan spiritualitas sebagai nilai-nilai dan komitmen dasariah pada etnik Karo dalam melakukan upacara. Kedua, modernisasi dan globalisasi yang diyakini selama ini—tanpa disadari—tidak menghegemoni, memarginalisasi, dan menggerus tradisi-tradisi lokal, penelitian ini mengungkapkan kebenaran yang terjadi di lapangan. Artinya, hegemoni berjalan dengan konsensus dan kesepahaman bersama. Ketiga, redefinisi upacara gendang kematian dari definisi sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada kematian. Kematian seperti halnya kehidupan adalah bentuk keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siangmalam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada tanpa kehadiran sisi lainnya. Manusia terdiri atas jasmani (kula) dan rohani (tendi). Dengan demikian, dalam upacara gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu). Kedua, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi mengalami degradasi ke arah sekularisasi yang diakibatkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masyarakat pendukung upacara gendang kematian dan kreativitas seniman/budayawan. Di pihak lain faktor eksternal, yaitu kristenisasi, tekanan budaya asing, dan media elektronik Ketiga, penelitian ini bermakna untuk menguatkan identitas. Penguatan identitas ini terwujud dalam representasi identitas masyarakat Karo melalui gendang lima sedalanen ensambel musik yang terdapat dalam upacara gendang kematian, landek yaitu menari, nuri-nuri petuah-petuah dari sistem kekerabatan,
melalui ngandung yaitu ratapan, melalui rende yaitu bernyanyi, melalui keyboard instrumen musik pengganti gendang lima sendalanen, dan melalui trompe sebagai ensambel tiup, serta makna perubahan sosial. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dengan adanya problematik empirik yang belum tergali secara mendalam terkait dengan perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dan rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan upacara gendang kematian pada etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik dan terbuka untuk penelitian lanjutan. Artinya, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan diberbagai tingkatan,
baik ekskutif maupun legislatif, pimpinan organisasi
kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman, budayawan, praktisi seni dalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan untuk kesejahteraan bersama, lebih khususnya pembangunan seni budaya pada era globalisasi. Ketiga, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan disiplin kajian budaya di samping sebagai sumber rujukan utama ataupun sumber alternatif dalam dinamika kreativitas kehidupan berkesenian masyarakat di tanah Karo khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM............................................................................
i
PRASYARAT GELAR......................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………...........
iii
PERNYATAAN KEASLIAN............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH..............................................................
vi
ABSTRAK..........................................................................................
xi
ABSTRACT…………………………………………………………..
xii
RINGKASAN DISERTASI...............................................................
xiii
DAFTAR ISI.......................................................................................
xxi
DAFTAR TABEL..............................................................................
xxviii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................
xxix
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
xxxi
GLOSARIUM ....................................................................................
xxxii
BAB I PENDAHULUAN................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
14
1.3 Tujuan penelitian......................................................................
15
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................
15
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................
16
1.4 Manfaat Penelitian................................................................
16
1.4.1 Manfaat Teoretis......................................................
16
1.4.2 Manfaat Praktis.........................................................
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN........................................
18
2.1 Kajian Pustaka............................................................................
18
2.2 Konsep........................................................................................
30
2.2.1 Spiritualitas....................................................................
30
2.2.2 Upacara Gendang Kematian............................................
34
2.2.3 Etnik Karo.......................................................................
38
2.2.4 Era Globalisasi...............................................................
40
2.3 Landasan Teori............................................................................
43
2.3.1 Teori Dekonstruksi............................................................
45
2.3.2 Teori Etnomusikologi.......................................................
49
2.3.3 Teori Komodifikasi............................................................
52
2.2.4 Teori Semiotika..................................................................
55
2.4 Model Penelitian..........................................................................
58
BAB III METODE PENELITIAN................................................
61
3.1 Rancangan Penelitian……………………………………….......
61
3.2 Lokasi Penelitian………………………………………………..
62
3.3 Jenis Data dan Sumber Data…………………………………….
63
3.4 Penentuan Informan………………………………...…………..
65
3.5 Instrumen Penelitian…………………………………………....
66
3.6 Teknik Pengumpulan Data..........................................................
67
3.6.1 Observasi.............................................................................
67
3.6.2 Wawancara..........................................................................
69
3.6.3 Studi Dokumen....................................................................
71
3.7 Teknik Analisis Data....................................................................
72
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.........................................
74
BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIK KARO DAN UPACARA GENDANG KEMATIAN..................
75
4.1 Gambaran Umum Etnik Karo............................................
75
4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis............................................
76
4.1.2 Asal Usul Etnik Karo......................................................
82
4.1.3 Politik dan Pemerintahan...................................................
85
4.1.4 Sistem Kekerabatan...........................................................
94
4.1.5 Mata Pencaharian...............................................................
104
4.1.6 Kepercayaan dan Agama...................................................
106
4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo...........………
109
4.1.6.2 Guru/ Dukun..........................................................
115
4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo......................
122
4.1.6.4 Kedai Kopi.............................................................
126
4.1.6.5 Jambur / Losd........................................................
130
4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian………………
132
4.2.1 Jenis Kematian…………………………………………...
133
4.2.2 Gendang/ Musik………………………………………….
135
4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen………………………
136
4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen.....................................
137
4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua………………
138
4.2.2.4 Instrumen Nonensambel………………………..
140
4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo………………………..
141
4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard………………………
143
4.2.2.7 Gendang Trompet/ Ensambel Tiup………………
144
BAB V WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI............................................
147
5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo.........................................
149
5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang ......................
152
5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating..............................
155
5.1.3 Wujud Kuburan/ Pendawanen...........................................
160
5.1.4 Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh..............................
162
5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu...........................
164
5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan....
167
5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen.............................................
168
5.2.1 Wujud Sarune....................................................................
172
5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki.....................
174
5.2.3 Wujud Penganak dan Gung...............................................
177
5.3 Wujud Menari/ Landek...............................................................
178
5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri.................................................
182
5.5 Wujud Menangis/ Ngandung.......................................................
184
5.6 Wujud Menyanyi/ Rende............................................................
186
5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod..............................................
189
5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet..................................................
192
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI………… 195 6.1 Faktor Internal..............................................................................
197
6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian..........
199
6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan............................
206
6.2 Faktor Eksternal...........................................................................
214
6.2.1 Faktor Kristenisasi.............................................................
217
6.2.2 Faktor Industri Budaya......................................................
236
6.2.3 Faktor Media Elektronik...................................................
244
BAB VII MAKNA SPIRITUALITAS DAN STRATEGI PEWARISAN UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI......................................... 248 7.1 Makna Spiritualitas….. ……………...………………………….
250
7.1.1 Makna Spiritualitas Pramodern…………………………..
261
7.1.2 Makna Spiritualitas Modern.........………………………
313
7.1.3 Makna Spiritualitas Postmodern…………………………
322
7.2 Makna Perubahan Budaya………………………………………
325
7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern…………
326
7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo……………………..
331
7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman…………………………
343
7.3 Makna Perubahan Kehidupan Sosial…………………………….
348
7.4 Strategi Pewarisan………………………………………………..
353
7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah…..
353
7.4.2 Pewarisa Melalui Revitalisasi…………………………….
362
7.5 Temuan Penelitian………………………………………………..
370
7.6 Refleksi……………………………………………………………
373
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN.........................................
377
8.1 Simpulan......................................................................................
377
8.2 Saran.............................................................................................
380
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
382
LAMPIRAN.......................................................................................
396
Lampiran 1 Daftar Informan..................................................
396
Lampiran 2 Pedoman wawancara..........................................
399
Lampiran 3 Peta Wilayah.......................................................
402
Lampiran 4 Daftar Foto.........................................................
403
TABEL Tabel Tabel 4.2
Halaman Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Karo……….. 91
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 2.1
Model Penelitian…………………………………… ……
58
Gambar 3.1
Observasi Upacara Gendang Kematian………………….
68
Gambar 3.2
Wawancara Upacara Gendang Kematian………………... 70
Gambar 4.1
Peta Sumatera dan Sumatera Utara……………………… 77
Gambar 4.2
Peta Kabupaten Karo…………………………………….. 80
Gambar 4.3
Rumah Adat Karo di Desa Dokan....................................... 88
Gambar 4.4
Kantor Bupati Kabupaten Karo........................................... 93
Gambar 4.5
Rakut Sitelu dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo. 97
Gambar 4.6
Aksara Karo........................................................................ 103
Gambar 4.7
Musik dan Tari Karo Sekitar Tahun 1900-an....................
Gambar 5.1
Usungan Mayat................................................................... 156
Gambar 5.2
Usungan Mayat Pating-pating Lige-lige............................. 157
Gambar 5.3
Usungan Mayat Lante Empat Mbeka.................................. 158
Gambar 5.4
Usungan Mayat Tandu Sapo-sapo...................................... 159
Gambar 5.5
Usungan Mayat Tandu Kejeren.......................................... 160
Gambar 5.6
Pembakaran Mayat.............................................................. 163
Gambar 5.7
Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-tulan................... 168
Gambar 5.8
Repertoar Lagu Simelungen Rayat……………………….. 171
Gambar 5.9
Ensambel Gendang Lima Sendalanen................................. 172
114
Gambar 5.10 Instrumen Sarune................................................................. 173 Gambar 5.11 Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi. 176 Gambar 5.12 Instrumen Gung dan Penganak........................................... 178 Gambar 5.13 Landek/Menari dalam Upacara Gendang Kematian............ 181 Gambar 5.14 Nuri-nuri pada Upacara Gendang Kematian....................... 183 Gambar 5.15 Ngandung/Meratap pada Upacara Gendang Kematian....... 185
Gambar 5.16 Rende atau Bernyanyi pada Upacara Gendang Kematian.... 188 Gambar 5.17 Organ Tunggal/Kibod pada Upacara Gendang Kematian… 191 Gambar 5.18 Trompet/Ensambel Tiup pada Upacara Gendang Kematian. 193 Gambar 7.1
Bagian-bagian Sarune…………………………………….. 268
Gambar 7.2
Gendang Singindungi dan Singanaki……………………... 273
Gambar 7.3
Melodi Sarune dalam Upacara Gendang Kematian………. 286
Gambar 7.4
Ritmis Gendang Singanaki……………………………….. 288
Gambar 7.5
Ritmis Gendang Singindungi……………………………... 289
Gambar 7.6
Ritmis Gung dan Penganak………………………………. 291
Gambar 7.7
Landek dalam Gendang Guro-Guro Aron………………… 294
Gambar 7.8
Landek dalam Upacara Gendang Kematian……………….. 297
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
Lampiran 1
Daftar Informan………………………………………….. 396
Lampiran 2
Pedoman Wawancara…………………………………….
399
Lampiran 3
Peta wilayah Penelitian…………………………………..
402
Lampiran 4
Daftar Foto……………………………………………….
403
GLOSARIUM
aerofon
: golongan instrumen musik yang menggunakan sumber bunyi aero atau udara. Istilah untuk bagian alat musik tiup dengan hawa atau udara sebagai sumber suaranya. Misalnya, sarune pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sedalanen pada upacara gendang kematian.
anak beru
: pihak yang mengambil istri dari sebuah keluarga tertentu untuk diperistri.
begu
: masyarakat Karo percaya bahwa ―tendi” (roh) orang yang telah meninggal masih dapat, baik memberikan pertolongan maupun mengganggu manusia, yang masih hidup dalam bentuk ― begu”.
belo kinapur
: kapur sirih.
bere-bere
: merga dari keluarga ibu.
beru
: merga yang disandang di belakang nama seorang perempuan.
beru dayang
: sosok wanita yang diyakini ada di bulan dan wujudnya ditampakkan melalui pelangi.
beru puhun
: anak perempuan dari kalimbubu ayah.
beru singumban
: anak perempuan dari kalimbubu anak.
birawan
: orang yang sedang sakit karena terkejut dan diyakini oleh masyarakat sebagai akibat adanya sapaan oleh makhluk halus.
buk mulih ku ijuk
: rambut menjadi ijuk.
cimpa
: sejenis kue atau makanan yang terbuat dari tepung terigu.
dagangen
: kain putih yang biasa digunakan, baik untuk menutup maupun membungkus mayat.
dareh mulih ku lau : darah yang berubah menjadi air.
Dibata si la idah
: Tuhan yang tidak kelihatan, disebut dengan Dibata kaci-kaci yang mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas (Guru batara), dunia tengah (Padukah ni aji), dan dunia bawah (Banua koling).
Dibata si idah
: Tuhan yang kelihatan, yaitu kalimbubu yang merupakan unsur terhormat atau golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rezeki dan kesehatan. Oleh karena itu, ia disebut dibata si idah.
didong doah
: nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby).
endek
: gerakan tari yang dilakukan dengan menekuk lutut.
erpangir kulau
: komunikasi transendental dalam hubungan komunikasi antara manusia dan roh gaib dengan menggunakan seorang dukun sebagai mediatornya. Adapun tujuan seseorang / keluarga tertentu melaksanakan ritual erpangir ku lau ini adalah untuk menemukan dan dapat berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, terutama yang berkaitan dengan penyembuhan suatu penyakit, membuang sial di badan, menabalkan seseorang menjadi guru, dan membersihkan diri dari yang kotor.
erturang
: antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ber merga yang sama.
ertutur
: berkenalan untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.
gbkp
: Gereja Batak Karo Protestan
gendang
: biasanya pengertian kata gendang tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang singindungi atau gendang singanaki, kata gendang menunjukkan salah satu jenis alat musik, (4) gendang kematian atau gendang nurun, kata gendang menjadi suatu upacara.
gendang kibod
: sebutan atau istilah lazim diucapkan oleh masyarakat Karo terhadap jenis irama yang diprogram secara khusus di dalam keyboard, pada upacara kematian.
gung
: instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen pada upacara gendang kematian.
guro-guro Aron
: sebuah upacara tradisi yang dilakukan oleh muda-mudi di setiap kuta (desa) yang dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan rasa gembira dan rasa syukur kepada Dibata atas keberhasilan mereka.
guru
: orang yang dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat mengobati penyakit dan sekaligus sebagai peramal.
ideofon
: instrumen musik yang sumber bunyinya berupa badan alat musik itu sendiri. Misalnya gung dan penganak.
io-io
: nyanyian yang mengandung ungkapan rasa rindu.
jambur
: sejenis aula besar sebagai tempat upacara, baik perkawinan, kematian dilaksanakan.
jinujung
: makhluk halus yang dipunyai seseorang yang memberikan keahlian dan kelebihan pada seseorang itu dan mengucapkan melalui mang-mang dan mantra-mantra.
jukut mulih kutaneh : daging berubah menjadi tanah. jungut-jungut
: iringan sarune ketika seorang bernyanyi, nuri-nuri, dan ngandung pada upacara gendang kematian.
kade-kade
: kerabat yang terdapat dalam sistem kemasyarakatan.
kalimbubu
: pihak keluarga senina pemberi istri.
kalimbubu dareh
: saudara laki-laki dari ibu kandung, bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak/belum menikah. Perempuan menikah kalimbubu dareh nya, yaitu ayah atau saudaranya.
katika
: hari dalam kalender Karo.
katoneng-katoneng : musik vokal etnik Karo yang memiliki garis melodi baku, tetapi lirik atau teks lagu tersebut senantiasa berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara. kerja tahun
: pesta tahunan yang diadakan setiap tahun di sebuah dataran tinggi Karo.
kesah jadi angin
: napas menjadi angin.
keteng-keteng
: instrumen musik Karo yang terbuat dari bambu, yang berfungsi sebagai pembawa ritem dimaikan dengan cara dipukul.
landek
: menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu. Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan.
lau meciho
desa
: air jernih (suci) yang digunakan pada upacara penguburan.
mang-mang
: sejenis nyanyian yang terdapat pada masyarakat Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah dukun (guru sibaso). Guru Sibaso menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi, tanpa iringan musik. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia).
membranofon
: instrumen musik yang sumber bunyinya berupa membran atau selaput kulit. Misalnya, gendang singindungi dan gendang singanaki.
mengket jabu
: upacara memasuki rumah baru.
merga silima
: ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo, yaitu merga Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin. Kelima merga ini disebut merga silima.
morah-morah
: utang adat bagi orang yang meninggal untuk diberikan kepada kalimbubunya.
narsarken rimah
: perjamuan makan sesuai dengan kemampuan dan menari berganti-ganti menurut adat yang berlaku, sebagai suatu pemberitahuan kepada sukut bahwa kerabat yang datang dari tempat jauh akan pulang.
nendung
: aktivitas seorang dukun dalam meramalkan sesuatu atau seseorang yang hilang atau pergi tanpa memberi tahu ke mana kepergiannya.
nereh-empo
: berasal dari dua pihak, yaitu nereh dari pihak perempuan dan empo dari pihak laki-laki, yang dilanjutkan pada upacara perkawinan.
ngandung
: pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan pihak kelompok yang punya kerja.
ngarkari
: upacara pemutusan hubungan dengan orang yang meninggal.
ngerana
: memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut.
nuri-nuri
: kata-kata yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata pengapul (kata hiburan, ajaran, dan nasihat)
odak
: gerakan tari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun serong ke kiri dan ke kanan.
ole
: goyangan atau ayunan badan saat menari.
patam-patam
: repertoar lagu yang bertempo cepat, baik dalam tarian mudamudi maupun upacara ritual.
pating-pating
: usungan atau tandu yang digunakan untuk membawa mayat ke kuburan.
pasu-pasu
: berkat atau pemberkatan.
pendawanen
: tempat penguburan umum.
penganak
: instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada upacara gendang kematian.
penggual
: pamanggilan terhadap pemain musik gendang lima sendalanen.
perkade-kaden
: kekerabatan dalam masyarakat.
perkolong-kolong
: sebutan kepada penyanyi yang dipanggil pada upacara gendang kematian untuk menyampaikan nasihat, penghormatan, pujian, doa, harapan, dan sebagainya.
perumah begu
: menghindari hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat Karo dengan melakukan upacara pemanggilan roh-roh manusia yang sudah mati.
puang kalimbubu
: kalimbubu dari kalimbubu seseorang, baik dari pihak ibu maupun pihak ayah.
rakut sitelu
: kelengkapan lembaga sosial kemasyarakatan yang terdiri atas tiga kelompok, yaitu senina, kalimbubu dan anak beru.
raron
: sekelompok orang yang bertetangga atau yang berkerabat secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran.
rende
: pada mulanya rende (vokal) disebut didong-didong yang digunakan untuk menyampaikan doa atau memuja seseorang, menidurkan anak. Lalu didong-didong kemudian berkembang menjadi lagu. Lagu adalah sebuah nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang perende-rende, kemudian perende-rende dikenal dengan permangga-mangga dan kini berubah menjadi perkolong-kolong.
rengget
: cengkok (kekhasan) yang terdapat dalam melodi gendang Karo, baik dalan instrumen maupun dalam vokal/nyanyian.
rubia-rubia
: jenis makhluk bergerak di luar diri manusia.
sangkep nggeluh : pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu-nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan,
kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. sarune
: instrumen musik (aerofon) yang berfungsi sebagai pembawa melodi dalan upacara gendang kematian.
senina
: mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau submerga yang sama. Sekalipun tidak dalam satu merga, biasanya masih dalam satu induk merga.
sierjabaten
: pemain musik atau gendang dalam sebuah ensambel yang berfungsi sebagai pengiring dalam upacara gendang kematian masyarakat Karo.
sukut
: adalah orang yang berhajatan dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak lakilaki dari yang meninggal (keluarga dari orang yang meninggal). Atau dalam acara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.
tabas
: mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru (dukun) dalam pengobatan tradisional.
tangis-tangis
: nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan seseorang.
tendi jadi begu
: roh yang berubah menjadi hantu.
trompet
: ensambel tiup yang digunakan dalam upacara gendang kematian dikenal dengan sebutan trompet.
tutur siwaluh
: merupakan konsep kekerabatan etnik Karo yang terdiri atas delapan golongan, yaitu puang kalimbubu, kalimbubu, sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siparibanen/sipengalon, anak beru, dan anak beru minteri.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertemuan antara suatu budaya dan budaya yang lainnya tidak selalu berproses seimbang. Dalam perkembangan peradaban saat ini nilai-nilai universal yang diemban oleh kebudayaan Barat sering kali menggeser nilai-nilai di kebudayaan Timur. Pengaruh budaya global yang sering diasosiasikan dengan modernitas dan rasionalitas secara tak sadar telah mengubah posisi suatu produk kebudayaan tradisional etnik tertentu. Hal ini juga terjadi di kebudayaan Indonesia. Salah satu di antaranya adalah komunitas etnik Karo dengan berbagai sistem nilai dan pranata hidup yang bersumber dari spiritualitas yang sakral berubah menjadi spiritualitas sekularisasi. Esensi spiritualitas masyarakat tradisi tentunya terkait dengan pemaknaan masyarakat tersebut pada kosmosnya yang terwujud dalam ritual-ritual adat. Ritual upacara gendang kematian yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo berangsur-angsur berubah dan mengalamai degradasi sebagai akibat dari masuknya unsur-unsur budaya modern. Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga dengan berbagai aspek kehidupan. Saat ini dengan majunya teknologi, komunikasi, dan informasi, dunia tidak lagi memiliki batas jarak dan waktu. Di satu sisi globalisasi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, tetapi di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang cukup signifikan pada aspek-
aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya etnik setempat. Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker, 2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktikpraktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kebudayaan tradisi yang ada. Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik
akan ‖keselamatan diri‖ lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini. Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata, menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam suatu masyarakat yang berpikir kritis terhadap dinamika perkembangannya. Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak. Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli kita. Bahkan,
jika dilihat lebih lanjut, kita pun telah menjadi penerima adat
istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108--109). Etnik Karo sebagai bagian dari
masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010) mengatakan sebagai berikut. Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu, sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251 & 312). Pandangan Danesi ini menunjukkan bahwa seni postmodern merupakan salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya. Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara kritis melihat terjadinya pergeseran identitas dalam diri kesenian mereka. Hal ini diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti berikut. Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan, dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang
makhluk-makhluk spiritual yang mencari penjelasan mengenai alam semesta. Sementara sains mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban atas makna hidup melalui perpaduan pemikiran imajinatif dan logis, seni menyelidiki makna hidup melalui emosi. Inilah mengapa pengalaman akan seni disebut pengalaman estetis dan pengalaman akan sains disebut pengalaman intelektual. Namun, salah jika jenis kedua penyelidikan ini dilihat sebagai kategori yang berbeda. Keduanya digunakan oleh manusia untuk meyelidiki pertanyaan-pertanyaan yang sama. Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis sehingga seni dapat menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, spiritualitas
menjadi penting
untuk dipertahankan, baik dalam seni postmodern maupun arus globalisasi kebudayaan dan kapitalisme saat ini. Pada masyarakat modern saat ini spiritualitas sering diasosiasikan dengan hal-hal berbau mistis, gaib, irasional, tidak terukur, tidak empirik, dan tidak wajar. Padahal, menurut kamus Oxford Dictionary of Advanced Learners, spirit—yang merupakan akar kata dari spiritualitas—memiliki beberapa pengertian, seperti soul, demon, dan magic. Beberapa teoretikus kajian budaya bahkan menganggap seperti dibawah ini. Spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak kasat mata, intangible, namun bisa dirasakan eksistensinya. Dalam konteks jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai dan kualitas di balik sosok atau perwujudan suatu benda atau objek. (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144). Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilainilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15). Jadi, pada dasarnya spiritualitas memiliki makna-makna yang terwujud dalam penanda benda-benda produk kebudayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
suatu
produk
kebudayaan
akan
selalu
terikat
pada
petanda-petanda
kebudayaannya. Penanda dan petanda merupakan perwujudan spiritualitas dan meterialitas suatu masyarakat. Perwujudan nilai-nilai spiritualitas ini pada masyarakat kontemporer mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Absurditas penanda dan petanda terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau petanda, bahkan makna menjadi banal. Misalnya yang sudah diutarakan Yasraf bahwa realitas yang suci bercampur aduk dengan yang profan sehingga mengaburkan nilai-nilai yang dikandung sebelumnya. Hal inilah yang terjadi dalam realitas budaya tradisi lisan masyarakat saat ini. Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern dan yang modern telah menjadi postmodern. Terdapat kategori-kategori dalam menentukan struktur masyarakat ini. Masyarakat tradisional sering diasosiasikan dengan masyarakat pramodern. Hal ini dikatakan oleh Griffin seperti berikut. Masyarakat klasik pramodern tidak berorientasi pada profesionalisme, melainkan pada otoritarianisme. Organisasinya memiliki bentuk tatanan piramidal, perluasannya dalam waktu terbentuk tradisi siklis, dan kendali kekuasaannya bersifat absolut. Pengabdian religius adalah legitimasinya. Hal-hal itulah yang ditentang kaum modernis (Griffin, 2005: 75). Kategori masyarakat tradisional yang diutarakan oleh Holland (2005) juga kemudian turut menjelaskan kategori masyarakat modern dan postmodern seperti di bawah ini.
Masyarakat modern — dan sampai pada titik tertentu juga organisasiorganisasi religius — berorientasi pada profesionalisme. Bentuk organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik. Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed), 2005: 75). Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilainilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut. Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17). Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali nilai-nilai tradisional secara kritis menelusuri tahap-tahap perkembangan masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini
menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis untuk meninjau realitas tersebut. Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud. Menurut Liembeng (2007: 17) orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh
sebab
itu
dibutuhkan
aktivitas-aktivitas
tertentu
untuk
menjaga
keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo. Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika
seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi hantu. Liembeng (2007: 31) memaparkan filsafat dalam ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian. Ungkapan lainnya, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa eksistensi masyarakat Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai satu kesatuan menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya. Upacara gendang kematian menjadi penting dalam kosmologi etnik Karo karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati. Tarigan (1988: 37) menganggap bahwa masyarakat
Karo sangat percaya pada kehidupan baru
pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Bahkan, upacara gendang kematian yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih hidup.
Gendang kematian merupakan salah satu ritual kematian yang terdapat pada masyarakat Karo yang
terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa), yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nurinuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Salah satu peranan gendang lima sendalanen sebagai iringan musik dan tari dalam gendang kematian adalah sebagai ”perekat‖ semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal (Ginting, 2012: 7). Sejatinya filsafat hidup suatu masyarakat tidak hanya diwujudkan dalam ungkapan-ungkapan keseharian. Kehadiran filsafat hidup tersebut akan sangat terasa dari bagaimana suatu masyarakat memaknai kematian yang tampak dalam ritual upacara kematiannya. Gendang kematian merupakan perwujudan dari bersatunya kembali manusia dengan alam seperti yang diutarakan dalan ungkapan kesehariannya. Namun, etnik Karo seperti etnik lainnya tidaklah hidup dalam ruang hampa karena ada kehadiran spiritualitas lain yang dapat dikatakan sebagai spiritualitas sekularisme, kosmologi global, dan modernisasi bersama dengan datangnya globalisasi. Gendang kematian seolah-olah menjadi arena kontestasi, pertempuran, persengkataan, persilangan, dan perselisihan budaya. Secara simbolis gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsurnya, seperti instrumen yang
digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Gendang lima sendalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam hingga kini. Namun, penggunaan gendang lima sendalanen mengalami degradasi pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu digunakan instrumen tradisional, seperti sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), dan gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard (Ginting, 2012: 8). Pergeseran instrumen ini disebabkan oleh adanya konstruksi binerisme masyarakat yang melihat sebuah budaya pada tataran baik dan buruk, sakral dan sekuler, bahkan beradab dan primitif. Konstruksi binerisme tersebut dapat ditunda dan dibongkar melalui teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida. Begitu juga dengan upacara gendang kematian dalam keberlanjutannya sarat dengan konstruksi binerisme. Secara historis, Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di Desa Kabanjahe tertarik masuk agama Kristen tetapi tidak diperbolehkan memakai gendang karena dianggap sebagai suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen (Cooley, 1976: 5). Cara pandang biner akan selalu memosisikan salah satu pihak menjadi terpinggir. Itulah yang tampak pada penolakan gereja atas konsep spiritualitas Raja Pa Mbelgah Purba. Sekurang – kurangnya dalam dua dekade terakhir ini musik Karo telah menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat tersebut cukup dimainkan oleh
seorang pemain untuk menghasilkan, baik musik combo (band) maupun orkestra (big band). Bahkan, lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas disebut dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti telah mengamati dalam satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum upacara adat perkawinan Karo berlangsung). Lima tahun terakhir keyboard mulai merambah ke upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi. Kepraktisan penggunaan alat ini justru sebagai salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat menggunakan keyboard. Selain itu, penggunaan keyboard ini juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan oleh satu orang (player). Gendang lima sendalanen bagi etnik Karo, merupakan prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, segala unsur gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Pudarnya sistem kepercayaan ini setidaknya mendorong perubahan dan pergeseran pada penggunaan alat-alat tradisonal musik Karo menjadi alat musik modern berupa keyboard. Memudarnya sistem kepercayaan asli etnik Karo juga tidak terlepas oleh sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang Esa. Makna sakral yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen
termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan terdegradasi menjadi makna profan karena alat musik modern berupa keyboard mampu menirukan repertoar gendang lima sendalanen. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat pemilik pun semakin kehilangan tentang makna dari gendang lima sendalanen tersebut. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dikhawatirkan tidak akan bertahan lama akibat dari degradasi tersebut, padahal di dalamnya terkandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan dan telah berlangsung berabad-abad. Pada saat ini upacara gendang kematian masih menjadi arena bagi pertempuran budaya-budaya. Keberadaan gendang keyboard di tengah-tengah prosesi upacara gendang kematian menunjukkan adanya binerisme baru pada konsep spiritualitas etnik Karo. Keyboard merupakan alat musik modern yang hadir di luar konsep-konsep kosmologi Karo. Kemampuan keyboard sebagai alat musik sarat dengan konstruksi modernisme yang memosisikan gendang lima sendalanen di posisi sebaliknya sebagai alat musik tradisional. Padahal, menurut seorang pakar musik Nusantara, Suka Hardjana (2003: 26), keyboard adalah mesin, mesin adalah benda dan benda itu mati. Oleh karena itu, konstruksi biner gendang keyboard dan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian bisa saja berujung pada matinya spiritualitas etnik Karo. Ditinjau dari latar belakang filosofis, teoretik, dan empirik penelitian ini menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan oleh etnik Karo merupakan bagian dari masyarakat global saat ini yang sedang mengalami dinamika perubahan struktur
masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa spiritualitas merupakan bagian yang penting dalam unsur-unsur suatu masyarakat dan untuk menjaga keseimbangan di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Peneliti melihat upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi merupakan unsur penanda spiritualitas etnik Karo. Dengan demikian, keberadaan petanda menjadi penting untuk ditelusuri.
1.2 Rumusan Masalah Keberadaan salah satu unsur dalam upacara gendang kematian, yaitu gendang lima sendalanen tidak bertahan hingga kini tentu tidak terlepas dari berbagai faktor yang memengaruhinya. Sistem kebudayaan yang berlangsung dalam kehidupan etnik Karo menyiratkan sejumlah pesan dan simbol yang menarik untuk dimaknai. Namun, sejauh mana semua struktur upacara tradisi tersebut, dapat dipahami dengan mengemukakan rumusan masalah sebagai indikator kajian pada penelitian ini. Oleh sebab itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? 2. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? 3. Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum
bertujuan mengungkapkan fenomena yang berkaitan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman, kesadaran, dan upaya pembinaan. Selain itu, juga untuk memahami nilai-nilai kehidupan tradisi lisan sebagai kearifan lokal yang ada untuk seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus bagi etnik Karo, yang terkait dengan spiritualitas upacara gendang kematian. 1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan
jawaban atas pertanyaan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yaitu sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bagaimana wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 2. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 3. Untuk menginterpretasi makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis maupun manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan seperti di bawah ini.
1.4.1
Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan
kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya, tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Manfaat lainnya dapat dijadikan acuan bagi calon peneliti lain yang tertarik dengan upacara gendang kematian etnik Karo, terutama dalam melakukan penelitian yang sejenis dengan topik, perspektif, dan permasalahan yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan ruang bagi eksisnya gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian karena hal tersebut dapat memperkuat identitas etnik Karo dan kebudayaannya. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi etnik Karo ataupun etnik lainnya untuk menambah pengetahuan tentang nilai-nilai tradisi lisan sebagai sebuah kearifan lokal yang masih terdapat dalam kehidupan etnik Karo.
Dalam perspektif kajian budaya dan kajian tradisi lisan, penelitian ini merupakan
upaya
intelektual
dalam
memberikan
proses
pemahaman,
pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat dalam hal spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman. Penelitian ini mencoba
untuk memahami berkembangnya fenomena
upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-hasil penelitian terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan pustaka-pustaka yang
penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa masalah-masalah penelitian yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para peneliti/ penulis terdahulu. Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten Tarigan dalam tesisnya berjudul ― Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisi Karo Sumatera Utara‖ (2004) pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup perubahan alat musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), perkawinan (nerehempo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu). Dalam penelitian itu, Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan pengaruhnya terhadap adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori akulturasi, sebagai proses kebudayaan yaitu terjadi ‖peningkatan keserupaan‖ antara dua kebudayaan dari Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana cara teknologi sebagai pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori fungsi musik tentang hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari Merriam. Penelitian ini sangat relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena membahas perubahan alat musik dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan salah satu permasalahan yang dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah Tarigan seolah-olah merayakan pengaruh globalisasi dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), sedangkan penelitian ini menangguhkan atau menunda makna untuk menemukan makna baru dalam konteks upacara gendang kematian. Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian yang diberi judul ―Utang Adat Kematian dalam Adat Karo‖. Penelitian ini menguraikan
nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo yang tersirat dalam nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa dagangen (kain kafan) yang berwarna putih untuk yang meninggal dan keperluan hidup sehari-hari kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras dan ayam. Panelitian ini memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan jenis barang yang digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain disertasi ini meneliti musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang ―Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada Masyarakat Karo‖ disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi. Makalah ini menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian yang terdapat pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5) rende (nyanyian). Salah satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang kematian, gendang lima sendalanen sebagai iringan musik pada upacara gendang kematian sebagai ”perekat‖ dari semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen
digunakan
sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara simbolis Gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga
prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima sendalanen
mengalami
pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard. Makalah ini adalah sebagai awal untuk penelitian disertasi ini. Persamaan penelitian dengan disertasi ini yaitu memaknai upacara gendang kematian etnik Karo secara denotatif sedangkan disertasi ini melihat fenomena secara konotatif. Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul ―The Anthropology of Music‖, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik, yaitu (1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4) perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) norma-norma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat.
Fungsi (function) dan penggunaan (use) adalah
merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik tetapi lebih dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan bagaimana implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan bahwa musik rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya dan musik tanpa teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam musik bukan suatu bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja, karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya. Dalam
beberapa hal, musik merupakan simbol dari aspek kehidupan dan organisasi sosial masyarakat pendukungnya. Dari fungsi dan kegunaan musik yang di tawarkan oleh Merriam dalam buku ini, sangat membantu penulis untuk menelaah makna secara konotatif dan memberikan peluang tentang strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo dari makna yang telah tergali. Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini dirangkai dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul ―Adat Karo‖. Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan kesenian Karo. Selain itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan. Pembahasan tentang kesenian lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari dan musik untuk kebutuhan upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih difokuskan pada bidang deskripsi adat istiadat, cukup memberikan wawasan dalam penyusunan disertasi ini. Informasi penting dalam penelitian yang relevan dengan penyusunan disertasi ini adalah uraian mengenai berbagai jenis upacara kematian pada masyarakat Karo. Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya ―Kinship, Descent, and Alliance Among the Karo Batak‖ meneliti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan pada masyarakat
Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang penting yang
terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Dalam buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah adat dalam sistem kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian
penyelenggaraan ritual-ritual. ini dapat digunakan untuk
menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang kematian etnik Karo.
Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai berhubungan dengan sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memaknai unsurunsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh. Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul ‖Mangmang: Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatra Utara.‖ Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis nyanyian yang terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah bomoh. Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya menjalankan kedua upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik
Karo. Penelitian ini
memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat dengan kesenian, khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu dalam penyusunan disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai etnomusikologi dan jenis-jenis seni di luar konteks gendang kematian. Dengan demikian, penelitian ini relevan digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini. Pasaribu (2004)
menulis buku ―Pluralitas Musik Etnik Batak Toba,
Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun‖. Buku ini berisi karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti dan
pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan bahwa semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas = pluralitas. Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik pada suatu tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait dengan sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya dengan penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti musik tradisi, kegunannya, sampai perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan musik tradisi dan spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti spiritualitas di balik ansambel musik yang digunakan pada upacara ritual, khususnya upacara gendang kematian. Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991)
lebih memusatkan
perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang sangat berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth memberikan gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual tradisi Karo. Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada upacara ritual Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu untuk melacak jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo. Brahma Putro (1999) membahas tentang ―sejarah Karo dari zaman ke zaman‖. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Karo dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli Serdang, Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun. Kehidupan
masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada penulis terkait dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang ada di Tanah Tinggi Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan penelitian penulis tentang spiritualitas upacara gendang kematian. J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul ―Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan‖. Neumann meneliti dan menerangkan asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu
merga Karo-karo, merga Ginting, merga Sembiring,
merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara menganalisis dongengdongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan penelitian ini, Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo adalah di Dataran Tinggi Karo. Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo, kira-kira tiga abad yang lalu dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain, seperti orang Batak dari daerah Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi nenek moyang dari merga Karo-karo. Kemudian ada juga migrasi ke daerah dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan selatan yang menyebabkan terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo. Terlepas benar atau tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan inspirasi bagi penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang terdapat pada gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan merga-merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang
lima
sedalanen
dalam
upacara
gendang
kematian
dengan
sistem
kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya. Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada masyarakat Karo dengan judul “Seribu Perumpaman Karo‖. Buku ini membahas perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam upacara gendang kematian perumpaman tidak terlepas dari pelaksanaannya. Buku ini memberikan informasi dan wawasan untuk menggali makna yang ada pada perumpaman yang diungkapkan dalam upacara gendang kematian. Perbedaannya, penelitian penulis tentang perumpaman dengan cara dinyanyikan dan kecenderungannya sambil menangis/meratap. Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya ‖Analisis Komunikasi Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo‖ membahas tentang spiritualitas yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran utama tesis ini untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat upacara ritual erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan tradisi tersebut melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat pendukung kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi transendental dengan roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob King memberikan informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara ritual erpangir ku Lau pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dalam meneliti menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya adalah penelitian
ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi gendang pada upacara, sedangkan penelitian penulis menggali sampai sedalam-dalamnya. Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul ―Gondrang Simalungun‖ membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun. Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks historis, dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen juga memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat Simalungun. Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada masa depan masih belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan ketertarikan di kalangan masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi pada penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran kelangsungan tradisi musik gendang lima sendalanen pada etnik Karo. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah menguraikan peran ensambel musik pada masyarakat. Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak hanya menganalisis peran ensambel, tetapi juga mencari makna yang implisit dari materi yang menghasilkan wujud ensambel tersebut. Sembiring
(2010)
mengadakan
penelitian
berjudul
―Ambivalensi
Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara‖. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan dengan kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi sejak awal perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam, orang Karo memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang ditawarkan pihak
zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang tidak mudah, terjadi sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap kristenisasi. Esai ini memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian penulis yang terkait dengan gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen dan dibaptis. Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai orang Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu ‖tidak boleh!!‖. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama melihat pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo dari sisi kekristenan. Perbedaannya, Sembiring meneliti perubahan keyakinan melalui kristenisasi sedangkan penelitian penulis melihat perubahan musik dan spiritualitas upacara gendang kematian dari sudut kristenisasi, industri budaya yang ditandai dengan komodifikasi. Buku ―Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo‖ yang ditulis A.G. Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo yang terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-alat musik. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat musik yang terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan penelitian penulis hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan perbedaaanya adalah penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan spiritualitas materi yang memproduksi bunyi tersebut. Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan, informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian pustaka
di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang positif dalam rangka melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik Karo. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kajian budaya dan kajian tradisi lisan yang difokuskan pada wujud, faktor-faktor, dan makna serta strategi pewarisan yang dimunculkan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping ada persamaan dengan kajian pustaka di atas juga jelas perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
2.2 Konsep Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan empat satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi
2.2.1 Spiritualitas Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu kepada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan
nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, kesudian, dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik (Bagus, 2002: 1034). Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia. Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral. Antusiasme itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang membentuk dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun kehidupannya. Melalui bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk bermanifestasi dalam kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi). Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir semua hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini tampaknya hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal yang lain. ”The concept of spirituality is load with complex and different meanings; it is used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting, literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology, esoteric knowledge, et cetera” (Darmawan dalam Adlin (ed.), 2007: 145). Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa agama, tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa spiritualitas. Kita dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan mempunyai teologi yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah spiritualitas sebagai pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh absoluts di sini dan kini, serta
sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang mengubah cara saya menjalani hidup di dunia ini. Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadi bagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, saya bertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya. Kita semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22). Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan
manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17). Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah ‖tuan segala ciptaan‖ yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya digabungkan perhatian pada ekologi dengan perhatian khusus pada kesejahtraan manusia (Griffin, 2005: 33). Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang melihat objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas fisik objek yang dilihat sehingga ia dapat mencerap
muatan-muatan nonfisiknya, seperti
pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada dasarnya bukan sematamata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun, muatan (content) di dalam objek visual yang memungkinkan hubungan antara melihat, objek visual, dan kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi jiwa atau muatan spiritualitas objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan nonfisik sebuah objek visual inilah yang kemudian dapat menimbulkan satu wujud kepercayaan (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144).
Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 148). Piliang
mengemukakan
bahwa
posmodernisme
lebih
cenderung
mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang spirit dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang bersumber dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali dimensidimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-spirit masa lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep yang sangat penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas posmodern (Piliang, 2004: 256).
2.2.2 Upacara Gendang Kematian Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah suatu kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280). Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga
menghasilkan bunyi sebagai
pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo pengertian gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam pengertian secara umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian. Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga berarti nama repertoar sebuah lagu
ataupun alat musik tertentu. Biasanya pengertian kata gendang
tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang indung, kata gendang menunjukkan salah satu jenis alat musik, (4) gendang gurogoro atau gendang kematian kata gendang menjadi suatu upacara. Kematian berasal dari kata ‖mati‖ atau ‖maut‖ yang artinya tidak ada, gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani, serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata ‖mati‖ memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain pengertian mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3) terhentinya budi daya manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56). Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada di Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik
Karo sangat percaya pada
kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih hidup. Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan ‖alat musik‖, lima berarti ‖lima‖ dan sendalanen berarti ‖sejalan‖. Dengan demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ‖lima buah instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama‖. Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3) gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik dimainkan
oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain sarunei, penggual untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi dan pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan mereka menjadi satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam suatu konteks upacara adat Karo. Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu. Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang berhadaphadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal) dengan salah satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Dalam landek hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok sunguda-nguda (wanita) dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan dengan berpasang-pasangan. Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama, sedangkan dalam landek adat (upacara kematian), tidak memperhatikan kesamaan jumlah kedua kelompok. Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-
nuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep
nuri-nuri dalam konteks
gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang ditinggal, tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang sedang diupacarai. Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang nuri-nuri atau ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat sambil ngandung. Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang meninggal ketika masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung. Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang yang bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng (teks lagu yang dinyanyikan secara spontan) diiringi
gendang lima sedalanen yang
dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolong-kolong sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada kerabatnya. Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.
2.2.3 Etnik Karo Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut oleh konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma budaya lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1) suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama.
Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki bahasa sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok yang lain; (2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi di antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama; (3) suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain (Liliweri, 2005: 11--12). Karo merupakan salah satu etnik
yang terdapat di Provinsi Sumatera
Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba, Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo. Etnik
Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem
kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama keluarga ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah), tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan ibu. Hal ini terlihat dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab selanjutnya. Untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak mau harus memahami
sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh. Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.
2.2.4 Era Globalisasi Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun waktu, zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau global artinya dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi fenomena oleh sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam kajian budaya. Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak pengertian dan konteks yang berbedabeda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan menjadi bahan pembicaraan dalam ilmu-ilmu humaniora. Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan berbagai konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan dalam
ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negara—secara ekomomi—makin pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses, bukan suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang otonomis terjadi. Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagai interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang pada abad ke dua puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101). Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integral budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang ditandai oleh perbedaanperbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalamai redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuukkan sifat relatif suatu praktik sosial (Abdullah, 2006: 107). Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi adalah gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya ‖kebudayaan dunia‖ di berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai kita semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia (Barker, 2006: 115—116; Hoed, 2008: 102). Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang
budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-bangsa. Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi ‖atas‖ merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan ‘kesamaan‘ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme budaya (Barker, 2004: 117). Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual, termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3). Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan diterima begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu banyak diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi menyediakan konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan cakupan sumber dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola gerakan penduduk dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan tahun-tahun sesudahnya
dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi, khususnya komunikasi elektronik memungkinkan semakin meningkatnya perbenturan, pertemuan, dan percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206). Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan penyempitan ruang dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405). Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh Hood dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas kontak budaya dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus berlanjut. Sentuhan budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan budaya, tetapi juga merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola kehidupam etnik Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni bergeser dari sakral menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual, seperti berlomba mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang seharusnya dikejar. Hal ini memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas etnik Karo itu sendiri.
2.3 Landasan Teori Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan
jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut merupakan landasan teori untuk menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud, faktorfaktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas. Ketiga,
postmodern
cenderung
menggembar-gemborkan
fenomena
besar
pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti: disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan realitas. Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang elite dan bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi (periphery). Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern mengemuka untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan tetapi, dengan membuat budaya barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi,
2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori posmodern dalam kajian budaya, sesuai dengan perjuangan pendirinya di Inggris, seperti Hoggart dan Williams, yaitu melawan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006: 138). Salah satu karakteristik teori kritis, teori posmodern, dan kajian budaya adalah peningkatan kondisi kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan emansipatoris (Lubis, 2006; Agger, 2006). Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan
pokok permasalahan wujud, faktor-
faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga
tiga teori lainnya, yaitu
etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori pendukung.
2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat modern. Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori dan fakta dalam
ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenangwenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009: 248). Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku. Dekonstruksi
sering
diartikan
sebagai
teori
pembongkaran,
perlucutan,
penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh dekonstruksi adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk memberikan arti kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251). Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi (1993) adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk) diterima sebagai satu ‘kebenaran‘ sehingga tidak menyisakan ruang bagi pertanyaan, gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih segar, lebih
demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi (Piliang, 2003: 116--117). Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun suatu teks dengan ―membongkar‖ teks-teks lain serta berupaya melebihi teks-teks lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks-teks lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa ―teks‖ atau tenunan merupakan jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata ―teks‖ yang berasal dari kata latin textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu yang ada merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut Derrida kata ―teks‖ mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasanya dikenal orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain sehingga Derrida menemukan adanya intertekstualitas. Dikatakan pula oleh Derrida bahwa menerjemahkan adalah mengganti teks satu dengan teks yang lain dan terjemahan adalah transformasi (Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86). Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur pikiran, yakni kata ‖globalisasi‖ dengan ‖makna‖ yang seolah-olah sudah dianggap ‖baku‖. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari tanda merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri. Menurut Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan ‖penundaan‖ hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang memungkinkan adanya pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Hasil
proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah bahwa dekonstruksi merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap individu atau kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103). Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective). Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti melalui proses dekonstruksi oposisi biner antara sakral/profan, transenden/imanen, tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi merayakan permainanpermainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya (Piliang, 2007: 173). Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktor-faktor, dan makna yang tersembunyi dalam spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain secara eklektif. Agar kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka pemaknaan harus diulang dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan dengan pembongkaran sebagai proses secara terus-menerus. Melalui dekonstruksi akan diperoleh segala sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian.
2.3.2 Teori Etnomusikologi Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris). Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ”ethos”, ”mousike”, dan ”logos” (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi ethnomusicology atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa (Nakagawa, 2000: 1--2). Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood (Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha, 2012: 41). Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan penyelamatan musik-musik timur, musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi lisan. Upaya penyelamatan itu dilakukan
dengan mengedepankan isu-isu
konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem musikal, dan dasar-dasar biologis musik. Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih tinggi. Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif, dan tidak
beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41). Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik, sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari materi yang menghasilkan bunyi musik. Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data, menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik sasarannya. Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori tentang musik tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan narasumber dan melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik tersebut, menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan berpartisipasi dengan kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah kemampuan musikal diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan bermusik (bukan kegiatan bermasyarakat seperti apa adanya) dan menggunakannya untuk keperluan mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47; Liembeng, 2009: 30).
Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain. Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan dengan masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsurunsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya masalah politik dan seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan semata-mata struktur musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait dengan teks dan konteks (Nakagawa, 2000: 6). Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu, melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan sebagainya. Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis konteks atau menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila meneliti musik Sumatera
dengan
menganalisis
strukturnya
saja,
itu
bukan
kegiatan
etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi ketika kita
menghubungkannya dengan unsur kebudayaan lain atau menghubungkan teks dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7). Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian ini juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.
2.3.3 Teori Komodifikasi Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan permukaan barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul komoditas yang berasal dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan fetisisme komoditas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan dengan produk kerja mereka sendiri yang kini terpisah dari mereka menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14). Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas yang tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan barangbarang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya, menurut Kaunang, komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja, dengan
penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk yang siap dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakan-keabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh privat (Kaunang, 2010: 26). Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat konsumen memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena terjadi perubahan mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang memengaruhinya, yaitu kekuasaan kapital, produser, dan media massa (Piliang, 1999:246). Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah untuk menelaah rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang dikaitkan dengan
teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi penduduk asli, dan kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global yang sedang berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, upacara gendang kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi barang dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-elemen yang berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan secara gotong royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini tidak terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori semiotik dan teori lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.
2.3.4 Teori Semiotika Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure (1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya sistem pembedaan
dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Sumbo, 2008: 11--12). Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (Sumbo, 2008: 11--13; Marianto, 2006:135--138). Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukkan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik (Sumbo, 2008: 13--14). Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut
metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo, 2008: 14). Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda (Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15). Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe perubahan pada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam musik Karo.
2.4 Model Penelitian Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti model penelitian berikut ini. Budaya Lokal
Budaya Global
- Masyarakat Pendukung - Kreativitas Seniman/Budayawan
- Kristenisasi - Industri Budaya - Media Elektronik
-
Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi
Faktor-faktor yang memengaruhi Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Wujud Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Makna Spiritualitas dan Strategi Pewarisan Upacara Gendang Kematian Etnik Karo
Penguatan Spiritualitas Etnik Karo
Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan:
: Menunjukkan hubungan saling memengaruhi : Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan) : Menunjukkan harapan/tujuan penelitian
Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal saling memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan makna merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah upacara kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual dalam berbagai aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya dipengaruhi faktorfaktor intern dan ekstern. Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa dibendung ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal ke arus budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru. Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang kematian disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus utama kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik merupakan
agen budaya populer. Pengaruh faktor intern dengan
kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai pendukung budaya gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan konstruksi identitas Karo. Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud, yaitu (1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini dilakukan dengan tahapan pengumpulan data yang dimulai dari studi pustaka, observasi, dan wawancara. Selanjutnya, diinventarisasi dan diidentifikasi serta diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif untuk menemukan jawaban permasalahan penelitian ini. Menurut Ratna (2010: 84), metode penelitian dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah dipecahkan dan dipahami. Metode deskriptif digunakan untuk melihat sifat data penelitian, yaitu aspek wujud, aspek faktor-faktor serta aspek makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di pihak lain metode kualitatif digunakan saat pengambilan dan pembahasan data yang ditekankan pada aspek kualitas data. Di samping itu, alasan lain pemakaian metode penelitian kualitatif karena data yang diperoleh dari lapangan tidak terstruktur dan relatif banyak sehingga dimungkinkan untuk ditata, dikritisi, dan diklasifikasikan. Menurut Lubis (2006: 186), ‖cultural studies dan kajian budaya kontemporer lebih tertarik menggunakan metode kualitatif dalam penelitiannya (hermeneutika dan fenomenologi dengan variannya) karena metode ini
mempertimbangkan masalah, konteks budaya, ideologi, kepentingan, kuasa dalam menjelaskan budaya dan maknanya. Metode hermeneutika dan fenomenologi memungkinkan ‘deskripsi mendalam‘ dan ‘multiplisitas paradigma dan kerangka konseptual‘ sesuai dengan pandangan kajian budaya kontemporer.‖ Karena wujud, faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memiliki dimensi yang kompleks, seperti aspek musik, aspek gerak, bahasa, budaya, sosiologis, dan historis. Oleh karena itu dalam menganalisis permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah di atas, digunakan metode yang yang bersifat eklektif dengan melakukan pendekatan teori-teori dekonstruksi, etnomusikologi,
komodifikasi,
dan semiotika.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini
dilakukan di
Kabupaten
Karo,
yakni
salah satu
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari tujuh belas Kecamatan, yaitu Kecamatan Barus Jahe, Berastagi, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Laubaleng, Mardingding, Merek, Payung, Simpang Empat, Tiga Binanga, Tiga Panah, Munte, Tiganderket, Naman Teran, Dolat Rayat, dan Merdeka dipilih tiga kecamatan sebagai lokasi penelitian. Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Barus Jahe yaitu Desa Barusjahe, Kecamatan Tiga Panah yaitu Desa Seberaya dan Kecamatan Tiga Binanga yaitu Desa Perbesi.
Kabupaten Karo dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai tempat perubahan dan keberlanjutan upacara gendang kematian dan lokasi yang memiliki kantong-kantong kebudayaan berupa sanggar seni, tokoh masyarakat, seniman, yang terkait, baik dengan musik, tari, maupun rupa. Di samping itu dianggap dapat mewakili tujuh belas kecamatan yang ada di Kabupaten Karo berdasarkan letak geografis. Alasan lainnya, yaitu secara teknis operasional peneliti berada di lokasi penelitian yang secara intensif memberikan kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal ini berarti mempermudah peneliti melakukan pengamatan, observasi langsung dengan mendatangi upacara gendang kematian.
3.3 Jenis Data dan Sumber Data Sebagai sebuah kajian budaya, sebagian bessar data dalam penelitian ini mencakup jenis data kualitatif yang didukung pula oleh data kuantitatif. Data kualitatif berupa narasi, uraian, kata-kata, dan ungkapan yang berkaitan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Sedangkan, data kuantitatif berupa angka-angka, penjumlahan, dan persentase. Data kualitatif diperoleh dari observasi dan wawancara, sementara data kuantitatif diperoleh dari dokumentasi, BPPS
yang menyangkut jumlah penduduk, dan
komunitas berkesenian di Karo. Para peneliti yang sungguh-sungguh serius, membagi sumber data menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah
manuskrip-manuskrip
dan
dokumen-dokumen
asli
yang
disimpan
serta
dilestarikan dalam tempat pengarsipan serta perpustakaan, surat-surat, catatan harian, akte, dan dokumen-dokumen umum serta pribadi yang berhubungan dengan objek penelitian. Di samping itu, peta dan benda-benda yang dapat diamati seperti gambar atau barangkali foto juga dapat dimasukkan dalam kategori sumber informasi primer. Sumber informasi sekunder dapat berupa hasil pengembangan serta perbaikan dari sumber informasi primer yang telah dicetak, seperti surat-surat dan jurnal penulis tertentu, peta wilayah tertentu, dan sebagainya. Karya-karya lain yang dibuat berdasarkan sumber informasi primer dapat juga digolongkan sebagai sumber informasi sekunder (Flon & Vidmar, 2007 : 27). Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti yang berasal dari hasil wawancara sejumlah informan. Data sekunder adalah data yang diolah oleh peneliti yang diperoleh dari sejumlah tempat, kantor, dan lembaga, seperti dokumen yang diproses berdasarkan keperluan dan analisis yang tepat. Data ini juga dilengkapi dengan data stastistik, laporan arsip, artikel, foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data primer. Sehubungan dengan ini, Moleong (2005: 157) menyatakan bahwa sumber data dapat berupa, foto, dokumen, dan koran. Keseluruhan data tidak untuk memperoleh generalisasi temuan, tetapi lebih mengarah pada penjelasan fenomena yang diteliti secara mendalam dan bermakna.
3.4 Penentuan Informan Penentuan informan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Informan adalah orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan dan dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang berbagai hal yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa jaringan, seperti informasi dari seniman dan budayawan yang ada di lokasi penelitian yang dipilih secara selektif berdasarkan sejumlah kriteria tertentu. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah individu-individu yang berasal dari organisasi-organisasi sosial, dan ketegori sosial yang sedang atau telah banyak berperan secara langsung dalan upacara gendang kematian. Para akademisi yang ada di jurusan etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, jurusan sendratasik Universitas Negeri Medan, jurusan musik Universitas HKBP Nommensen, Taman Budaya Sumatera Utara, dan tokoh-tokoh masyarakat atau budayawan yang dianggap banyak mengetahui kehidupan dan perkembangan gendang kematian etnik Karo. Di samping itu, diperlukan informan lain, yaitu informan yang secara legitimasi mempunyai wewenang untuk memberikan keterangan yang secara umum diakui oleh masyarakat yang menganut atau mendukung upacara gendang kematian tersebut. Terkait dengan hal tersebut dalam penelitian ini informan dapat dikategorikan sebagai penggual (salah seorang pemain musik, baik gendang lima sendalanen maupun gendang kibod), perkolong-kolong (salah seorang penyanyi),
silandek (salah seorang yang menari), simbalu (suami atau istri yang meninggal), dan singerunggui (protokol/ budayawan) pada upacara gendang kematian etnik Karo.
3.5 Instrumen Penelitian Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, instrumen utama adalah peneliti sendiri. Menurut visi kualitatif kecanggihan teknologi belum mampu menyamai kecanggihan manusia. Alasannya adalah gejala yang diungkap bukan gejala yang tampak, melainkan justru yang ada di baliknya sebagai gejala yang ‘belum jelas‘. Selain itu objek ilmu sosial humaniora bukan benda, melainkan manusia. Manusia harus didekati oleh manusia. Oleh karena itulah, instrumen utama metode kualitatif adalah manusia, yaitu peneliti itu sendiri, sebagai human instrument. Peneliti sebagai human instrument dilengkapi dan didukung oleh pedoman wawancara (interview guide), tape recorder, kamera, dan catatan.
Pedoman
wawancara dengan daftar pertanyaan terbuka dapat diarahkan ke hal-hal yang lebih spesifik, kemudian dijawab oleh informan secara lisan. Posisi peneliti menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan peristiwa. Selain itu, juga berusaha menjalin hubungan yang wajar dan penuh keakraban dengan informan dalam upacara gendang kematian.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, yaitu teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Adapun penjelasan teknik-teknik tersebut adalah seperti berikut ini.
3.6.1 Observasi Observasi adalah cara yang dilakukan untuk memperoleh data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan (observation) merupakan cara untuk mengamati perilaku dan benda-benda yang digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat yang hendak dipahami melalui penelitian. Dalam melakukan observasi, seorang peneliti langsung datang ke lapangan dan melakukan pengamatan dengan pancaindra dan kemampuan yang ada di samping melaksanakan pencatatan segala gejala yang ditemukan. Selain mengamati secara langsung, peneliti juga harus berusaha membandingkan hasil pengamatannya dengan hasil pengamatan orang lain yang pernah melakukan pengamatan yang sama. Hal ini dilakukan selain bertujuan memperoleh kepastian data juga untuk memahami perubahan atau perkembangan yang dituju. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diawali penentuan sasaran, yaitu objek material dan objek formal. Hal ini dilakukan untuk memilah apa yang mesti diamati dengan saksama dan mana yang dapat diabaikan. Namun, di lapangan hal yang sering terjadi adalah sasaran pengamatan berubah. Hal ini disebabkan oleh masyarakat dan kebudayaan terus menerus mengalami perubahan.
Oleh sebab itu, dilakukan observasi terhadap peristiwa upacara gendang kematian dalam masyarakat pendukungnya. Agar diperoleh data yang lebih lengkap, dilakukan juga pengamatan partisipasif di lapangan dengan cara melibatkan diri secara langsung dalam peristiwa upacara gendang kematian.
Gambar 3.1 Suasana observasi pada upacara gendang kematian Dison Barus (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012) Gambar 3.1 menunjukkan kegiatan observasi peneliti dengan cara ikut berpartisipasi dalam
memainkan salah satu instrumen musik pada upacara
gendang kematian di lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Pengamatan secara langsung terhadap upacara kematian bertujuan mendapatkan data aktual tentang aspek bentuk upacara dan unsur-unsur pendukung upacara gendang kematian lainnya. Hal ini tidak serta merta dijadikan
sebagai data utama penelitian, tetapi digunakan untuk mendukung konsep dan teori-teori yang digunakan untuk mempelajari realitas objek yang diteliti.
3.6.2 Wawancara Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antarindividu maupun individu dengan kelompok. Wawancara melibatkan dua komponen pewawancara, yaitu peneliti itu sendiri dan orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan baik dengan formal maupun tidak formal dan berusaha menumbuhkan keakraban. Demikian juga waktu dan tempat wawancara tidak terikat, tetapi melihat situasi dan kondisi di lapangan. Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti dan informan untuk mendapatkan keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan permasalahan, pandangan, dan pendirian subjek yang diwawancarai (lihat gambar L.4.28). Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara peneliti dan informan. Teknik wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan berbagai informasi, keterangan lisan dari informan yang berkaitan dengan permasalahan kajian. Gambar 3.2 menunjukkan kegiatan wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap dengan informan untuk mendapatkan keterangan dan pendiriannya tentang suatu persoalan objek kajian.
Gambar 3.2 Suasana wawancara dengan Darwan Tarigan (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012) Wawancara dilakukan di mana ada kesempatan dan selalu diupayakan, seperti di kebun, di kedai kopi, lokasi upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini bahasa Karo digunakan peneliti untuk memperlancar komunikasi dengan informan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Informan diharapkan dapat memberikan keterangan berupa pandangan, pendapat, dan pemberitahuan berbagai hal tentang upacara gendang kematian yang ada pada masyarakat Karo. Untuk itu wawancara dikembangkan di
lapangan hingga informasi yang dibutuhkan
dipandang cukup dan sesuai untuk memecahkan permasalahan penelitian. Pedoman wawancara telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka. Artinya, mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat menjaring data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan
informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Kegiatan wawancara di lapangan juga membutuhkan keahlian peneliti dalam mengajukan pertanyaan, menggali jawaban lebih jauh, dan mencatatnya. Catatan-catatan pertanyaan dan petanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman wawancara sesuai dengan situasi dan konteks yang dihadapi selama melakukan wawancara menuju kedalaman percakapan.
3.6.3 Studi Dokumen Di samping wawancara dan observasi, dalam penelitian ini juga digunakan teknik studi dokumen. Analisis dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan keberadaan dan segala permasalahan yang mengarah kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Studi dokumen menunjuk pada masa lampau, sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas, dan kejadian tertentu, tetapi berbeda dengan observasi dan wawancara karena studi dokumen merupakan data nonmanusia. Dokumen diperoleh dari data sekunder, seperti kliping media massa, arsip pemerintah kota, dan letak geografis (peta) Kabupaten Karo dengan tujuan untuk mengetahui data yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sejarah setempat. Studi dokumen juga dilakukan untuk memperoleh referensi yang dianggap relevan, seperti konsep, gagasan, dan teori yang relevan dan berkaitan dengan penelitian, baik proses pengumpulan data maupun proses pengolahan data.
Demikian juga studi dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seperti pengambilan foto dan perekaman dengan tape recorder. Di samping itu, dokumen dipandang penting dalam penelitian ini, yakni sebagai upaya untuk mendukung dan melengkapi data hasil wawancara dan observasi sehingga penelitian ini jelas dan lengkap. Karena objek penelitian ini berkaitan dengan budaya dan aktivitas suatu masyarakat, maka penerapan studi dokumen dipandang sangat penting.
3.7 Teknik Analisis Data Analisis data dalam suatu penelitian merupakan kegiatan mendasar untuk mencapai hasil penelitian berdasarkan data yang dikumpulkan. Menurut Dharmojo (2005 : 21), analisis data yang dilakukan pada saat pengumpulan data bertujuan agar tidak terjadi penumpukan data dan dapat memahami sistem simbol sesuai dengan konteksnya. Analisis data setelah pengumpulan data dimaksudkan untuk klarifikasi agar ketepatan analisis dapat dipenuhi. Analisis data adalah aktivitas mendengarkan suara-suara orang lain. Dalam hubungan ini meliputi keseluruhan data, baik yang diperoleh melalui sumber primer maupun sekunder, yang kemudian digabungkan dengan pemahaman dan penjelasan peneliti sebagai proses interpretasi sehingga menghasilkan maknamakna baru. Setidaknya ada tiga unsur pengamatan terpenting dalam analisis, yaitu makna lokal, makna prediksi, dan makna konsekuensi. Makna lokal berkaitan dengan hakikat objek yang pada umumnya disebut emik, makna prediksi
berkaitan dengan kompetensi peneliti, bagaimana objek diinterpretasikan, dan makna konsekuensi berkaitan dengan pembaca, risiko sebagaimana diakibatkan oleh terjadinya makna pertama dan kedua (Ratna, 2010: 303--304). Dalam penelitian spiritualitas upacara gendang etnik Karo pada era globalisasi
terlebih dahulu data direduksi atau dipilih sesuai dengan
tujuan
penelitian. Data-data kualitatif tersebut ditabulasi berdasarkan aspek wujud, faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan, sehingga dapat dilihat reliabilitas dan validitasnya. Model analisis ini menerapkan model analisis komparatif dengan melihat fakta-fakta pada saat upacara gendang kematian. Dalam hal ini digunakan logika perbandingan dengan menerapkan analisis sinkronik dalam pembahasan aspek simboliknya yang berkaitan dengan nilai-nilai kultural, atau menelaah aspek-aspek yang berbeda dan persamaannya. Di samping itu, juga digunakan analisis diakronik yang menekankan pada aspek historisnya.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Tahapan terakhir dari seluruh proses penelitian ini adalah penyajian seluruh analisis data. Penyajian hasil analisis data disajikan secara formal dan informal. Secara formal berupa tabel dan gambar, seperti peta, bagan, dan foto, sedangkan penyajian data secara informal, seperti narasi, kata-kata, ungkapan, kalimat,
dalam ragam bahasa ilmiah. Penyajian hasil analisis data dilakukan
secara sistematis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.
Keseluruhan kajian disusun dalam bentuk laporan utama yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.
BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIK KARO DAN UPACARA GENDANG KEMATIAN
4.1 Gambaran Umum Etnik Karo Etnik Karo merupakan salah satu suku bangsa asli yang mendiami pesisir timur Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, yang sekarang disebut Sumatera Utara, Indonesia. Nama Karo juga dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang didiami (dataran tinggi Karo), yaitu Kabupaten Karo. Etnik Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut cakap Karo dan kekayaan budaya adat istiadat sendiri. Salah satu kekayaan budaya yang sampai sekarang masih dilakukan etnik Karo, baik yang tinggal di dataran tinggi Karo maupun daerah lain, yaitu tradisi lisan upacara gendang kematian. Gambaran umum etnik Karo dan gendang kematian dilakukan dengan penjelasan metode etnografis. Gambaran umum dengan metode etnografis berkaitan dengan laporan suatu suku bangsa yang di dalam penelitian ini adalah laporan suku (bangsa) Karo untuk mengetahui tingkat-tingkat perubahan dan keberlanjutan budayanya. Tujuan uraian etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu etnik. Penjelasan mengenai etnografi dalam subbab ini menjadi pola penulisan, termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan etnografi analitis. Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis, yang sesuai dengan
konteks relevansi kajian. Selanjutnya dijelaskan dengan konsep-konsep budaya dan ilmu sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan eksplanasi dan argumen penulis untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Di samping itu, juga membuka dimensi pemikiran baru yang dianggap lebih dari yang sebelumnya sudah ada.
4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis Berdasarkan sejarah dan dasar hukum terbentuk dan berdirinya Sumatera Utara, yaitu tanggal 7 Desember 1956, yang diperkuat dengan dasar hukum UU No 24/1956. Dalam hal ini kata Sumatera berasal dari unsur su yang artinya ‗baik‘ dan ‗matra’ yang berarti ‗ukuran‘. Beberapa sumber menyebut Sumatera dengan Samantara dengan makna ‗batas atau penengah‘. Namun, bangsa Spanyol dan Portugis menyebutnya dengan Samatra yang berarti ‗hujan mendadak‘. Di pihak lain Odorikus menulis nama Pulau Sumatera tersebut dengan sedikit variasi yang tidak konsisten dalam otografi, yakni dari kata Sumotra, Samotra, Zamatra, dan Sumatera (Marsden, t.t. : 8). Selanjutnya, apabila ditelusuri nama Sumatera, tidaklah dikenal oleh penduduk pribumi, tetapi orang-orang Hindulah yang memilih nama Sumatera atau Samantara. Marco Polo sendiri menyebutkan Sumatera sebagai Java Minor. Selain itu, Marco Polo juga melukiskan bahwa pulau tersebut dikelilingi oleh delapan kerajaan, dua kerajaan tidak diketahui dan enam lainnya disebut Ferlech (Marsden, t.t : 4; Minawati, 2010: 60).
Gambar 4.1 Peta Sumatera dan Sumatera Utara (Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)
Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera terdiri dari beberapa Provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya Medan, terdiri atas tiga puluh tiga kabupaten/kota, yaitu (1) Kabupaten Deli Serdang, (2) Kabupaten Langkat, (3) Kabupaten Nias, (4) Kabupaten Karo, (5) Kabupaten Mandailing Natal, (6) Kabupaten Serdang Bedagai, (7) Kabupaten Nias Selatan, (8) Kabupaten Tapanuli Tengah, (9) Kabupaten Tapanuli Utara, (10) Kabupaten Toba Samosir, (11) Kabupaten Asahan, (12) Kabupaten Dairi, (13) Kabupaten Hubang Hasundutan, (14) Kabupaten Labuhan Batu, (15) Kabupaten
Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Samosir, (18) Kabupaten Pakpak Barat, (19) Kabupaten Batubara, (20) Kabupaten Labuhan Batu Selatan, (22) Kabupaten Nias Barat, (23) Kabupaten Nias Utara, (24) Kabupaten Padang Lawas, (25) Kabupaten Padang Lawas Tua, (26) Kota Binjai, (27) Kota Gunung Sitoli, (28) Kota Medan, (29) Kota Padang Sidempuan, (30) Kota Pematang Siantar, (31) Kota Sibolga, (32) Kota Tanjung Balai, dan (33) Kota Tebing Tinggi
(http://pengetahuan-oemum.blogspot.com/2010).
Beberapa
kabupaten yang di diami masyarakat Karo seperti Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun masih melakukan kegiatan upacara gendang kematian dalam komunitasnya. Namun, Kabupaten Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan masyarakatnya. Kabupaten Karo dengan ibu kotanya Kabanjahe merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berpotensi sebagai daerah pertanian dan pariwisata. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan yang berada pada ketinggian 400--1.600 m di atas permukaan laut. Dua gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak aktif terletak di wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Lokasinya berjarak 75 km dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada 02050-03019‘LU dan 97055--98038‘BT. Luas wilayah Kabupaten Karo 2.127 km2 atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara, dengan total jumlah penduduk 350.479 jiwa yang terdiri atas 174.391 laki-laki dan 176.088 perempuan. Dari hasil Sensus Penduduk 2010 diketahui bahwa Kecamatan Kabanjahe, Berastagi, dan Tigapanah
merupakan tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu masingmasing berjumlah 63.290 orang (18,06 persen), 42.555 orang (12,14 persen), dan 29.411 orang (8,39 persen). Kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Dolat Rayat dengan jumlah penduduk 8.311 orang (2,37 persen). Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 yang didiami 350.479 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Karo adalah sebanyak 165 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Kabanjahe, yakni sebanyak 1.417 orang per kilometer persegi, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Dolat Rayat, yakni sebanyak 44 orang per kilometer persegi. Secara administratif Kabupaten Karo berbatasan dengan empat kabupaten, yaitu di sebelah utara Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, di sebelah timur Kabupaten Simalungun, di sebelah selatan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir, dan disebelah barat Kabupaten Aceh Tenggara/Prov. NAD (Karo dalam Angka, 2010; http://www.wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro; Majalah Pariwisata Karo, 2008). Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Karo dapat dilihat pada gambar tampilan peta 4.2 berdasarkan wilayah kecamatan sebagai berikut.
Gambar 4.2 Peta Kabupaten Karo (Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)
Gambar 4.2 menunjukkan letak geografis Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan. Sehubungan dengan hal ini, Abdullah (1994: 171) menyatakan bahwa Kabupaten Karo disebut juga dengan ―Tanah Karo Simalem‖ yang merupakan daerah tujuan wisata utama yang terkenal dengan keindahan alam dan udara sejuk. Tipe iklim Kabupaten Karo adalah E2 dan menurut klasifikasi Oldeman bulan basah lebih dari tiga bulan dan bulan kering berkisar 2--3 bulan. Menurut Koppen, Kabupaten Karo memiliki curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000-4.000mm/tahun dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah, yaitu Agustus sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei. Suhu udara Kabupaten Karo mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada
tahun 70-an iklim di Kabupaten Karo masih cukup dingin, yaitu sekitar 10--12° C, bahkan pada masa itu masyarakat masih banyak mengenakan baju hangat sejenis mantel atau jaket, kain sarung (kampuh) meskipun berada di tempat-tempat umum seperti, ke warung, ke pasar, menghadiri pesta, upacara-upacara adat, atau pesta. Bahkan, juga termasuk ke ladang, kadang kala kaum pria selalu melilitkan kain sarung tersebut pada leher dan kepalanya, termasuk ke acara-acara ritual atau pesta kekerabatan sehingga
gaya pakaian ini menjadi ciri khas mayarakat Karo
khususnya yang berada di pegunungan (http://pariwisatakaro.blogspot.com). Udara yang sejuk dan dingin membuat suasana terasa sangat damai dan nyaman. Namun sejak tahun 80-an, suhu udara mengalami peningkatan hingga 16-17° C akibat efek pemanasan global. Pakaian-pakaian yang dikenakan tidak lagi sebagai bentuk antisipasi, baik terhadap iklim maupun suhu udara di Kabupaten Karo, bahkan mulai banyak yang menggunakan jenis bahan dan gaya pakaian masyarakat urban, seperti kain jean atau sejenisnya. Wilayah administrasi Kabupaten Karo terdiri atas tujuh belas kecamatan, sepuluh kelurahan, dan dua ratus lima puluh dua desa, yakni dengan pembagian sebagai berikut. Kecamatan Kabanjahe terdiri atas delapan desa, Kecamatan Berastagi terdiri atas lima desa, Kecamatan Payung terdiri atas delapan desa, Kecamatan Barus Jahe terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Mardinding terdiri atas dua belas desa, Kecamatan Tiga Binanga terdiri atas delapan belas desa, Kecamatan Tiga Panah terdiri atas dua puluh dua desa, Kecamatan Merek terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Munte terdiri atas dua puluh dua desa,
Kecamatan Juhar terdiri atas dua puluh empat desa, Kecamatan Merdeka terdiri atas sembilan desa, Kecamatan Laubaleng terdiri atas lima belas desa, Kecamatan Naman Teran terdiri atas empat belas desa, Kecamatan Simpang IV terdiri atas tujuh belas desa, Kecamatan Kutabuluh terdiri atas enam belas desa, Kecamatan Dolat Rayat terdiri atas tujuh desa, dan Kecamatan Tiga Nderket terdiri atas tujuh belas desa (Kabupaten Karo dalam Angka, 2011).
4.1.2 Asal Usul Etnik Karo Keberjarakan dan keluasan wilayah etnik Karo mengakibatkan daerah yang didiami memiliki keragaman budaya yang tidak persis sama antara satu daerah dan daerah lainnya. Di samping itu, ditemukan berbagai perbedaan, baik bersifat dialek, tata pelaksanaan adat istiadat, maupun media yang digunakan walaupun orang Karo berasal dari satu rumpun keturunan, bahasa, dan budaya (adat istiadat) yang sama. Terkait dengan hal itu, Abdullah (1994: 22) dalam buku Sejarah Melayu dan Sinar (1991: 7) dalam The History of Medan in the Olden Times menjelaskan adanya Kerajaan Aru/Haru/Haro, yang menyebutkan Tanah Karo sebagai suatu kampung serba nyaman. Kerajaan Aru adalah kerajaan besar yang kaya akan hasil bumi, terutama lada, tembakau, rotan, pinang, gambir, kapur barus, emas, cengkeh, batu bara, dan lain-lain. Kerajaan Aru mencakup seluruh daerah Sumatera (Labuhan Deli) di pinggir Sungai Deli (sekarang jauh dari pantai), tetapi kemudian nama Aru hilang sehingga muncul nama Deli. Nama Deli muncul
karena kekalahan Raja Deli Tua yang ditaklukkan oleh Aceh. Akibat kekalahan tersebut masyarakat Deli diislamkan yang sebelumnya menganut Perbegu. Suku yang mendiami tanah Karo adalah suku Karo, Toba, Aceh, Gayo, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, India, Cina, dan Alas. Kehidupan masyarakatnya terdiri atas berbagai latar belakang, baik etnis maupun kulturnya. Sikap terbuka masyarakat Karo memberikan ruang bagi etnis lain untuk datang dan bertempat tinggal, baik secara sementara maupun permanen. Di Kabupaten Karo tidak dikenal kebudayaan dominan karena setiap kultur memiliki ruang gerak dan pengakuan yang bebas dan fleksibel. Sehubungan dengan hal ini, Koentjaraningrat (Abdullah, 1994: 22--26) dalam menentukan suatu etnis atau suku bangsa dengan konsep yang tercakup dalam istilah ―suku bangsa‖, yakni mencakup kesadaran dan intensitas akan ―kesatuan kebudayaan‖. Kesadaran dan intensitas suatu masyarakat sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Bahasa Karo terdapat di Pustaka Alim Kembaren yang memakai ejaan u menjadi o (Putro, 1981: 27--28). Menurut Abdullah (1994: 28), nama suku bangsa Haru kemudian disebut Haro, yang akhirnya dinamai suku Karo sampai sekarang ini. Masyarakat yang mendukung budaya dan adat istiadat Karo hidup di Kabupaten Karo, Langkat Hulu, dan Deli Hulu. Berkaitan dengan penaklukan daerah-daerah di Tanah Karo, tahun 1904 diadakan suatu ekspedisi besar-besaran oleh Belanda, yang disebut ―Ekspedisi Van Daalean‖. Di Kabupaten Karo ekspedisi ini pecah menjadi dua, yaitu sebagian menuju Toba ke Sibolga, dan sebagian lagi ke Tanah Karo yang dipimpin oleh de
Graaf (Abdullah, 1994: 111--112; Putro, 1981: 31--33). Kekalahan Belanda mengundang orang terkemuka Karo untuk menetapkan sibayak-sibayak/kerajaan untuk dibagi, seperti Sibayak Lingga, yang penandatanganannya dilakukan oleh Pa Terang dan Pa Sendi pada 11 September 1907, Sibayak Barus Jahe, penandatanganan dilakukan oleh Pa Tempena Barus dan Pa Unjuken pada 12 September 1907, Sibayak Sarinembah, penandatanganan dilakukan oleh Pa Ngobah dan Si Napa pada 12 September 1907, Sibayak Suka, penandatanganan dilakukan oleh Pa Nunsang tanggal 13 September 1907, dan Sibayak Kuta Buluh, penandatanganan dilakukan oleh Pa Sinabung Perangin-angin dan Si Andein tanggal 13 September 19907 (Tamboen, 1952: 17--25; Abdullah, 1994: 112--113; Minawati, 2010: 63). Dengan terbitnya surat ketetapan pada tahun 1911 Bijblad No. 7565, batas Tanah Karo dengan Simalungun, berdasarkan Urung Silima Kuta daerah Kabupaten Karo menjadi daerah Simalungun, dan Dairi ditetapkan pada stablad 1908 No. 604, masuk keresidenan Tapanuli. Kabupaten Langkat dimasukkan ke wilayah Afdeling Langkat yang diperintah oleh seorang asisten residen, sedangkan Sultan Langkat sebagai pemerintahan bumi putra mengepalai Afdeling Langkat. Karo Jahe dimasukkan ke administrasi yang diperintah oleh bumi putra yang disebut Sultan Deli. Tanah Karo diperintah oleh Raja Berempat, yang terdiri atas lima lanskap yang berpangkat sibayak, di antaranya lanskap Lingga berkedudukan di Lingga, yang sejak 1936 berkedudukan di Kabanjahe, lanskap Suka dikepalai Sibayak Suka yang membawahi beberapa urung, lanskap Barusjahe dikepalai
Sibayak Barusjahe dan membawahi beberapa raja urung, Lanskap Sarinembah dikepalai oleh Sibayak Sarinembah yang membawahi beberapa raja urung, dan lanskap Kuta Buluh dikepalai Sibayak Kuta Buluh dan membawahi beberapa raja urung. Raja berempat atau sibayak-sibayak yang mengepalai Lanshap dibawahi oleh seorang konteler dan seorang wakil Konteler dari Gubernemen yang mengepalai resor Onderafdeling Karo Landen yang berkedudukan di kota Kabanjahe (Putro, 1981: 30).
4.1.3 Politik dan Pemerintahan Sistem pemerintahan tertua yang dijumpai di Tanah Karo adalah pengulu, yang menjalankan pemerintahan (kedudukan) di kampung (kuta) menurut adat. Terbentuknya suatu kuta harus memenuhi persyaratan adat, seperti merga pendiri, merga taneh/simantek kuta, senia simantek kuta, anak beru simantek kuta (anak beru taneh), dan kalimbubu simantek kuta (kalimbubu taneh). Pada 1906 pemerintah wilayah Kabupaten Karo berbentuk pemerintahan yang oleh onderafdeling Kabupaten Karo Landen dipimpin oleh controleur dengan pemerintahan di tangan Belanda. Pada 1907 pemerintahan di Tanah Karo dipimpin oleh bumi putra/landschaap yang dikepalai oleh sibayak dan dibawahi beberapa urung yang dikepalai oleh raja urung. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 pemeritahan di Tanah Karo sama dengan masa pemerintahan Belanda. Namun, setelah kemerdekaan RI, pemerintahan dikepalai oleh pusat yang dipimpin oleh Sibayak Ngerajai Meliala (bupati pertama). Susunan pemerintahan
diatur oleh UU No. 22, Tahun 1999, dalam hal ini daerah dibentuk oleh DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintahan daerah sebagai badan eksekutif daerah. Pemimpin di tingkat Kabupaten Karo disebut bupati, yakni dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh wakil bupati. Sejak 29 Desember 2006 Kabupaten Karo yang semula terdiri atas tiga belas kecamatan resmi menjadi tujuh belas kecamatan (Pasaribu, 2005: 64). Pada zaman kerajaan kekuasaan tertinggi di Kabupaten Karo dipegang oleh Maha Raja Diraja. Pemerintah kerajaan sebelumnya sangat memfasilitasi kegiatankegiatan agama
Perbegu, seperti mendirikan pemujaan-pemujaan, yakni Aji
Manering, Pulu Balang, Tembunan Kuta, Nini Galuh, Paka Waluh Seberaya, dan yang lebih istimewa dalam Rumah Adat Karo terdapat tempat guru-guru agama Perbegu yang dinamai Jabu Bicara Guru (Putro, 1981: 100--101). Sebagaimana diketahui bahwa rumah adat Karo sudah berdiri sejak abad XV Masehi dan seni konstruksinya dipengaruhi oleh langgam Tamil Nado. Secara pasti rumah adat di Kampung Aji Nembah memiliki Si Pitu Ruang, istana ayah Raja Sori, yakni sewaktu memasukinya terjadi gelap tujuh hari tujuh malam yang kemudian diselamatkan oleh Opung Barus. Namun, secara pasti tidak diketahui kapan rumah tersebut dibangun. Menurut Br Ginting Pase, rumah adat sudah menjadi istana Raja Nagur Pase di Pase pada abad XIII (Putro, 1981: 102). Asitektur rumah adat Karo memiliki susunan pemerintahan suku Karo, yakni sebagai berikut. (1) Jabu bena kayu dinamakan jabu pengelului/pengulu atau penduduk asli (anak taneh) yang berhak atas tanah adat yang menjadi kepala
dalam rumah adat. (2) Jabu ujung kayu menempati anak beru yang berperan menjalankan perintah-perintah penghulu sekaligus mewakili penghulu. (3) Jabu lepar bena kayu dinamai jabu sungkun berita berfungsi mengamati-amati, misalnya situasi baru, kekacauan, musuh, atau pengkhianat. (4) Jabu lepar ujung kayu dinamai siman-minem (makan minum), penghuninya pihak istri dan ibu penghulu yang disebut kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat Karo memiliki posisi yang dihormati sehingga disebut dibata ni idah. Kemudian (5) jabu si dapur bena kayu, dinamai jabu peningel-ninggelen (menyaksikan secermat-cermatnya) penghuninya anak beru menteri berperan menyaksikan musyawarah di samping sebagai saksi dalam membuat keputusan karena dahulu belum mengenal kertas dan tulisan. (6) Jabu sidapur ujung kayu dinamai jabu ariteneng (nama sebuah kain adat yang juga dijadikan sebagai upah tendi di samping perhiasan. Penghuninya adalah anak kalimbubu (dalam masyarakat Karo disebut impal, baik anak perempuan maupun laki-laki). Menurut kepercayaan sebagai suatu kebahagiaan dan bakti kepada penghuni rumah (kalimbubu). (7) Jabu sidapur ujung kayu dinamai jabu bicara guru (Dewa Roh Yang Luhur), yaitu roh anak kecil yang belum bergigi ketika meninggal dunia, yang menempati jabu ini adalah guru agama atau yang lebih dikenal dalam masyarakat Karo disebut Guru Si Baso, yang berperan untuk mengajarkan ajaran agama/rohani. (8) Jabu si dapurken lepar ujung kayu meramu sirih (jabu singapuri belo) penghuninya anak dari anak beru yang berfungsi
menerima tamu dan menjaga keamanan (Putro, 1981: 102--103). Bentuk rumah tradisional Karo terdapat pada gambar 4.3 berikut ini.
Gambar 4.3 Rumah adat Karo di Desa Dokan (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010) Pada Gambar 4.3 dapat dilihat rumah tradisional Karo yang terdapat di Desa Dokan yang dikenal sebagai desa budaya. Dari bentuk fisik bangunan terlihat lebih terawat karena ada perhatian dari pemerintah setempat khusus untuk desa ini. Struktur pemerintahan yang tergambar pada rumah adat Karo menunjukkan masyarakat Karo sudah berabad-abad mengenal sistem musyawarah/demokrasi. Lembaga-lembaga kepancaan dalam kebudayaan Karo, seperti marga silima (pancamarga), sebagai pola dasar kebudayaan Karo, rakut sitelu (tiga ikatan) sebagai lambang/simbol yang berarti ‗mehamat erkalimbubu, metami eranak beru dan melias/erpenungkunen ersenina‘, lima kuh sangkep ngeluh (panca susunan hidup), yaitu anak beru menteri, anak beru, kalimbubu, puang kalimbubu, dan
senina sebagai dasar kekerabatan masyarakat Karo yang tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila. Politik dalam sistem pemerintahan, khususnya sistem pemerintahan sebuah kota, seperti Kabupaten Karo, tidak lepas dari permasalahan hubungan antarnegara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat atau antara mitra politik, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks pembangunan di Kabupaten Karo ada empat pelaku yang berperan, yaitu (1) pemerintah, (2) swasta, (3) masyarakat, dan (4) kaum intelektual. Hal ini dapat dipahami karena pembangunan merupakan sebuah proses (per)politik(an). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kota menyelenggarakan dua bidang urusan, yaitu (1) urusan pemerintahan teknis yang pelaksanannya diselenggarakan oleh dinas-dinas daerah dan (2) urusan pemerintahan umum, yakni berupa kewenangan mengatur yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai badan legislatif kota dan bupati sebagai pimpinan tertinggi badan eksekutif pemerintahan. Struktur pemerintahan di Kabupaten Karo secara konstitusional dibagi berdasarkan daerah kabupaten dan daerah yang lebih kecil, yaitu kota dan kecamatan. Tiap-tiap daerah pada dasarnya memiliki sifat otonom dan administratif, yakni berdasarkan pertimbangan situasional, politis, dan teknis pemerintahan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dengan diberlakukannya UU No. 32, Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, keadilan, juga
memperhatikan potensi daerah. Secara struktural, pemimpin tertinggi Kabupaten Karo adalah bupati. Tercapainya kondisi pemerintahan yang aman, stabil, dan terkendali tidak terlepas dari berbagai usaha pembinaan yang ditempuh pemerintahan Kabupaten Karo bersama instansi terkait termasuk peran kepala daerah kepada masyarakatnya. Bupati saat ini adalah Kena Ukur Surbakti. Menurut buku resmi Pemda Kab. Karo pada 2007 terdapat 17 bupati yang pernah memimpin daerah ini sejak zaman kolonial hingga zaman kemerdekaan. Dalam Tabel 4.2 berikut ini termuat nama-nama bupati yang pernah memimpin Kabupaten Karo.
Tabel 4.2 Bupati yang Pernah Menjabat di Kabupaten Karo No.
Nama Bupati
Periode
1
Ngerajai Meliala
1943—1946
2
Mayor Moh. Kasim
3
Rakutta Sembiring Brahmana
1946—1947
4
Raja Kelelong Sinulingga
1947—1949
5
Rejin Perangin-angin
6
Rakutta Sembiring Brahmana
1950—1953
7
T. Raja Purba
1953—1957
8
Abdullah Eteng
1957—1960
9
Mayor Matang Sitepu
1960—1966
10
Baharudin Siregar
1966—1969
11
Kol. Tampak Sebayang
1969—1980
1946
1950
12
Drs. Rukun Sembiring
1980—1985
13
Ir. Menet Ginting
1985—1990
14
Drs. Rupai Perangin-angin
1990—1994
15
Drs. Daulat Daniel Sinulingga
1995—2000
16
Sinar Perangin-angin
2000—2005
17
Drs. Daulat Daniel Sinulingga
2005—2010
18
Kena Ukur Surbakti
2010—
(Dokumen: BPPS Kabupaten Karo, 2011; http://id.wikipedia.org) Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa hingga tahun 2015 tercatat delapan belas periode pejabat yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan Kabupaten Karo. Secara pemerintahan, fungsi dan kewenangan bupati di Kabupaten Karo membawahi (pimpinan eksekutif tertinggi) seluruh instansi pelaksanaan eksekutif kota. Berlakunya UU No. 32, Tahun 2004 membawa implikasi, baik secara filosofis maupun administratif, tidak hanya dari sentralisasi menjadi desentralisasi, tetapi berkembangnya peran masyarakat menjadi demokratis-partisipatif. Secara umum, perubahan tersebut membawa implikasi bahwa daerah dapat berkembang dengan prakarsa daerah masing-masing di samping adanya pergeseran dominasi eksekutif menjadi keseimbangan dengan legislatif dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pembangunan kota. Secara umum etnik Karo digambarkan suka berpolitik. Hal tersebut terlihat dari kegemarannya bermain catur. Perpolitikan sebagai sebuah ajang khusus, yakni di dalamnya ada legitimasi, kepentingan, dan kekuasaan. Demikian pula, baik secara politik maupun ekonomi, Kabupaten Karo sejak zaman Kerajaan
Haru telah melakukan hubungan dengan luar negeri, seperti: India, Arab, Portugis, dan Cina. Sebagai bagian dari politik kemitraan, dalam kegiatan ekonomi yang diperankan oleh pemerintah, juga terdapat sektor swasta dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa salah satu kebijakan (politik) penting pemerintah Kabupaten Karo adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada sektor swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan kota. Gambar 4.4 adalah Kantor Bupati Karo yang terdapat di Kabanjahe.
Gambar. 4.4 Kantor Bupati Kabupaten Karo (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012) Pada Gambar 4.4 terlihat Kantor Bupati Karo, tepatnya di Jalan Jamin Ginting Nomor 17. Di tempat inilah bupati dan wakil bupati berkantor menjalankan misi dan programnya. Berdasarkan pengalaman kepemimpinnya, dan periode tiap-tiap bupati yang pernah memimpin memiliki misi dan visi yang berbeda. Namun, semuanya bertujuan meningkatkan pembangunan, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat Karo. Dari keseluruhan misi dan visi tersebut hanya
berbeda pada prioritasnya. Visi yang dikedepankan bersifat visioner, dan bahkan sangat ideal. Dalam hal mewujudkan sasaran dan tujuan pembangunan kota, pemerintah merumuskan rencana strategis sebagai garis besar penyelenggaraan pembangunan. Rencana tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kebijakan, program, dan pengembangan pembangunan sebagai bentuk akuntabilitas publik untuk menjamin peningkatan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Secara administratif, otonomi daerah dimaknai sebagai pergeseran kewenangan, yaitu semula didominasi oleh pusat ke daerah, kemudian dari daerah ke masyarakat. Penggambaran keadaan sebelum dan sesudah otonomi daerah di tingkat Kabupaten Karo, yaitu dari sentralisasi ke desentralisasi, dari atas ke bawah secara simultan, dari keseragaman ke keberagaman, petunjuk ke prakarsa, instruksi ke pilihan, ketergantungan ke kemandirian, hierarki ke keterkaitan, dan kesenjangan ke keserasian. Hal ini menunjukkan semangat zaman yang ingin diemban meskipun pada akhirnya hal tersebut sering tidak sesuai dengan harapan. Dengan semangat otonomi daerah Kabupaten Karo membangun diri dengan segala potensi yang dimilikinya.
4.1.4 Sistem Kekerabatan Etnik Karo mengenal sistem kemasyarakatan merga silima, rakut sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada. Masyarakat Karo mempunyai sistem merga (klan), dalam hal ini merga untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru disandang di belakang nama
seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri atas lima kelompok yang disebut merga silima, yang berarti ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo. Kelima merga tersebut adalah (1) Karo-Karo, (2) Tarigan, (3) Ginting, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing (Kabupaten Karo dalam Angka, 2008; Woollams, 2004: 3). Merga dan beru diperoleh secara otomatis dari ayah. Setiap orang Karo akan memiliki merga tersebut. Merga ayah menjadi merga anak, tetapi ada kalanya merga diberikan kepada seseorang yang disahkan secara adat. Hal tersebut banyak dilakukan suku Karo yang melakukan perkawinan antaretnis atau sebagai sebuah penghargaan adat, seperti pemberian merga kepada Megawati Br Perangin-angin. Bagi etnik Karo, merga sangat penting dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta hubungannya dalam mencari hubungan kerabat atau garis keturunan. Di samping itu, masyarakat Karo tidak hanya mempunyai merga atau beru, tetapi sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi, setiap pribadi mempunyai merga atau beru dan bere-bere, kecuali orang Karo yang kawin campur atau kawin dengan etnik lain. Namun, dalam praktik sehari-hari bere-bere tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam kegiatan berkenalan (ertutur), yakni untuk mendekatkan hubungan kekerabatan. Walaupun etnik Karo mempunyai sistem parental, yang paling penting adalah merga atau beru. Hal ini terbukti dari merga dan beru tetap dicantumkan pada nama seseorang setelah ia meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal yang
lazim bagi etnik Karo. Setiap orang Karo mencantumkan merga dan beru untuk membuktikan jati dirinya sebagai orang Karo. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama dianggap bersaudara dalam arti mempunyai garis keturunan yang sama. Kalau laki-laki ber-merga sama, maka mereka disebut ersenina. Demikian juga antara perempuan yang mempunyai beru yang sama akan disebut ersenina juga. Namun, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ber-merga yang sama disebut erturang sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin. Begitu pula sistem perkawinan dalam masyarakat Karo selain dilakukan secara agama juga dilakukan secara adat Karo. Hal ini tetap terjadi meskipun mereka melakukan kawin campur antar etnik. Dahulu sebelum suku Karo mengenal agama Kristen dan Islam, sistem perkawinan hanya dilakukan dengan adat istiadat. Akan tetapi, saat ini merujuk pada kebalikannya, yakni masyarakat Karo lebih mengutamakan atau melakukan perkawinan secara agama. Lebih jauh dijelaskan oleh Minawati (2010: 91) bahwa kekerabatan dalam masyarakat Karo disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas. Dalam hal ini jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari silsilahnya, maka akan terjalin hubungan kekerabatan. Dalam kaitan ini, pentingnya merga tersebut sebagai identitas diri di samping mengetahui asal usul nenek moyangnya. Pada intinya kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan merga,
tetapi ada dua hal penting yang memengaruhi kekeluargaan, yaitu kelahiran dan perkawinan. Dua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah. Berdasarkan
hubungan darah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan
kekerabatan di dalam masyarakat. Apabila dilihat secara sepintas diketahui bahwa dalam menarik garis keturunan pada masyarakat Karo dilakukan secara patrilineal. Akan tetapi, kalau diteliti lebih mendalam, dapat dimengerti letak kekhasan masyarakat Karo dalam menarik garis keturunannya. Dalam hal ini, Bangun (1990: 18) menyatakan bahwa masyarakat Karo tidak menarik garis keturunan secara patrilineal, tetapi parental (bilateral) dengan menarik garis keturunan dari ayah dan ibu sekaligus. Kalimbubu
SEMBUYAK / TUAN RUMAH
Senina Anakberu
Gambar 4.5 Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo (Dokumen: Fuad Erdansyah 2010)
Hal lain yang penting dalam masyarakat Karo adalah (gambar 4.5) rakut sitelu, yaitu berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) senina, (2) kalimbubu, dan (3) anak beru. Senina adalah keluarga satu jalur keturunan merga atau keluarga inti. Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri dan anak beru keluarga yang mengambil atau menerima istri. Tutur siwaluh merupakan konsep kekerabatan masyarakat Karo yang terdiri atas delapan golongan, yaitu (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) sembuyak, (4) senina, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon/sendalenen, (7) anak beru, dan (8) anak beru mentri. Dalam upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanan adat, yakni sebagai berikut. 1) Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang baik dari pihak ibu maupun ayah. 2) Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi dua. Pertama, kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri asal dari keluarga tersebut. Misalnya, A ber-merga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah
kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua adalah kalimbubu dari anak A. Jadi, kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung. Kedua, kalimbubu simada dareh, yaitu berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki ibu kandung seseorang. Dalam hal ini disebut kalimbubu simada dareh karena dianggap bahwa darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya. 3) Sembuyak, secara harfiah se artinya ‘satu‘ dan mbuyak artinya ‘kandungan‘. Jadi, artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun, dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh sipedeher (yang jauh menjadi dekat). 4) Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau submerga yang sama. Senina ibas runggun adat, yaitu saudara yang telah diangkat di dalam suatu musyawarah adat. Sekalipun mungkin tidak satu merga, tetapi biasanya masih dalam satu induk merga. Misalnya merga Sitepu dengan Barus atau Ginting munte dengan Ginting suka. 5) Senina sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara. Jadi, seseorang menjadi ersenina (bersaudara) karena hubungan perkawinan di samping istri mereka bersaudara. 6) Senina sipengalon/sendalanen, yaitu saudara karena anaknya diambil menjadi istri dari anak mertua yang sama. Misalnya, anak-anak perempuan A, B, C
diambil menjadi istri dari anak X, maka A, B, C jadi kalimbubu X dan anakanaknya. 7) Anak beru, berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu dan secara tidak langsung melalui perantara orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri atas dua jenis. Pertama, anak beru tua, yakni anak beru dalam keluarga turuntemurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai singerana (sebagai pembicara) karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin dalam keluarga kalimbubu dalam konteks adat. Kedua, anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu. Anak beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya, si A seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan si B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama. 8) Anak beru minteri, yaitu anak beru (nya) anak beru. Asal kata minteri adalah dari kata pinteri yang berarti meluruskan. Anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas, yakni sebagai petunjuk, mengawasi, dan membantu
tugas kalimbubunya pada suatu kewajiban dalam upacara adat. Dalam hal ini ada pula yang disebut anak beru singukuri, yaitu anak beru (nya) anak beru minteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat. Anak beru singukuri juga bertanggung jawab penuh atas jalannya upacara adat karena hubungan yang relatif jauh sehingga mereka ditempatkan dalam membantu kalimbubunya sebagai anak beru minteri (Minawati, 2010: 95). Dari merga silima, rakut sitelu, dan tutur siwaluh terbentuklah kemudian perkade-kaden sepuluh sada tambah sada (hubungan persaudaraan sebelas ditambah satu), yaitu; (1) sembuyak, (2) senina, (3) senina sipemeren, (4) senina siparibanen, (5) senina sipengalon/sendalanen, (6) kalimbubu, (7) puang kalimbubu, (8) puang ni puang, (9) anak beru, (10) anak beru minteri, (11) anak beru singukuri, dan ditambah satu, yaitu teman meriah, kenalan atau orang lain di luar hubungan kekeluargaan. (Wawancara Jekmen Sinulingga, 20 April 2012). Etnik Karo selalu menjunjung tinggi sistem kekerabatan yang disebut merga silima, rakut si telu, tutur si waluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada. Dalam hal ini pandangan masyarakat Karo adalah bahwa sebagai manusia harus beradat menunjukkan bahwa aturan adat harus dipatuhi dan dituruti. Menurut filosopi etnis Karo, mereka yang tidak menjalankan adat dianggap lebih buruk daripada orang yang tidak beragama, bahkan menurut Njenap Ginting masyarakat Karo yang tidak beradat sama dengan rubia-rubia (jenis makhluk yang bergerak di luar manusia) (wawancara, 27 Februari 2012).
Hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini sistem budaya etnik Karo sudah mengalami perubahan, baik yang berada di wilayah Karo Jahe (Deli Serdang, Langkat), Karo Gugung (Kabupaten Karo), maupun etnik Karo yang tersebar di wilayah Indonesia. Budaya instan seperti gendang lima sendalanen dipinggirkan oleh sebuah keyboard sebagai pengaruh budaya global membuka toleransi yang kebablasan dalam pelaksanaan adat istiadat, terutama pada upacara gendang kematian etnik Karo sehingga berbagai kegiatan peradatan dipangkas, bahkan ditiadakan. Menurut Putro penduduk asli Sumatera Utara adalah orang-orang dari suku Karo, tetapi saat ini telah menjadi kota multietnis. Atas dasar itu, Sumatera, khususnya Kabupaten Karo menjadi sebuah kota dengan tingkat penduduk yang pluralisme budayanya tinggi. Bangsa (suku) Karo yang memiliki bahasa sendiri (Karo), aksara sendiri, seni tari dan musik, adat istiadat, serta sistem merga yang turun temurun menunjukkan asal atau trombo (Putro, 1981: 31). Bahasa Karo memiliki keterkaitan dengan tiga bahasa masyarakat di sekitarnya, seperti bahasa Alas di sebelah barat, bahasa Pakpak di sebelah selatan, dan bahasa Simalungun di sebelah timur (Woollams, 2004: 5,7). Kerajaan Haru sebagai cikal bakal Kabupaten Karo, dahulunya telah mengenal huruf dan bahasa. Hal ini terbukti dari negaranya sudah melakukan surat-menyurat dalam pemerintahannya. Surat Haru secara umum dikenal dan digunakan oleh guru (dukun), kaum politisi, dan cendekiawan. Surat Haru terdiri atas sembilan belas huruf besar yang disebut indung surat dan lima disebut anak surat.
Aksara Karo merupakan aksara kuno yang digunakan oleh masyarakat Karo, tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas, bahkan hampir tidak digunakan. Aksara Karo memiliki persamaan dengan aksara Bali sebagaimana terlihat pada Gambar 4.6 brikut ini.
Gambar 4.6 Aksara Karo (Dokumen: Minawati 2010: 96) Pada Gambar 4.6 dapat dilihat aksara Karo. Selanjutnya, jika ditelusuri, aksara Jawa, Bali, Karo, dan Jambi (Melayu) berasal dari sumber yang sama. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apabila merujuk ke belakang terdapat pengaruh peradaban Hindu, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Sriwijaya (Minawati, 2010: 96; Ginting, 2002: 181). Sebagai suku yang memiliki peradaban tinggi, etnik Karo juga memiliki budaya yang mencerminkan jiwa estetik, yaitu berupa seni musik. Kegiatan budaya yang sampai sekarang dilakukan pada masyarakat Karo, seperti merdang merdem atau kerja tahun (pesta tahunan) dan dimeriahkan oleh gendang guroguro aron. Budaya dan sistem kekerabatan Karo saat ini tampak mulai melemah bersamaan dengan mulai mengendurnya adat istiadat mereka.
4.1.5 Mata Pencaharian Masyarakat Kabupaten Karo lebih dominan bermata pencaharian sebagai petani karena berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Karo didukung oleh lahan pertanian. Secara umum orang Karo bekerja sebagai petani sayuran, buahbuahan, kopi, jagung, cokelat, jeruk, dan bunga. Di samping itu, orang Karo ada yang bekerja di perkebunan, sebagai pedagang, pada industri, sebagai pegawai negeri sipil, di peternakan, dan jasa angkutan. Dalam kaitan ini, Sinar Peranginangin, mantan Bupati Kabupaten Karo mengatakan bahwa perekonomian di Kabupaten Karo dikuasai oleh etnis Karo, Cina, Jawa, Mandailing, dan Dairi (Pariwisata Kabupaten Karo, 2008). Pada dasarnya etnik Karo mengenal sikap gotong royong dalam hal bercocok tanam, yang dalam bahasa Karo disebut raron. Dalam hal ini sekelompok orang yang bertetangga atau berkerabat secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran. Dalam kaitan ini raron merupakan suatu pranata yang keanggotaannya sukarela dan lamanya berdiri tergantung pada persetujuan anggotanya. Selain raron, etnik Karo sejak dahulu sudah mengenal neraya. Di sini neraya memiliki pegertian mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama. Dari beberapa urutan istilah tersebut, pengertiannya sama walaupun berbeda penyebutannya. Dalam hal ini hanya terdapat perbedaan pada sebutan sesuai dengan wilayah (daerah). Adapun bentuk sumbangan yang berkaitan dengan tenaga, misalnya membuat rumah, menanam padi, dan membuat irigasi. Sikap neraya saat ini telah tereksploitasi karena sudah dalam bentuk
upahan (jual jasa) yang disebut ‗ngemo‘. Hal ini disebabkan oleh perekonomian yang semakin sulit dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Perubahan tersebut berdampak pada menurunnya sistem kekerabatan dan solidaritas dalam masyarakat. Selain bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata pencaharian masyarakat Karo, terutama memelihara kerbau, babi, kambing, ayam, dan bebek. Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai binatang yang dapat membantu bekerja di sawah, babi banyak dimakan dalam pelaksanaan pesta, sedangkan ayam, kambing, dan bebek banyak dijual untuk menambah pendapatan atau perekonomian keluarga. Masyarakat dapat hidup sejahtera sebagai petani dengan pendapatan per kapita 4.483.323,77 juta. Dalam kaitan ini kontribusi terbesar dari sektor pertanian mencapai 59,80% kemudian didukung oleh sektor pariwisata dan peternakan (BPPS Kabupaten Karo, 2008). Hubungan yang baik antara manusia dan alam merupakan tanggung jawab etnik Karo untuk melestarikannya. Misalnya, dengan menyelengarakan pesta syukuran, seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah yang dilaksanakan setiap tahun. Salah satu bukti tentang pentingnya flora sebagai siklus pertanian masyarakat Karo adalah dengan hadirnya sebuah kawasan hutan lindung yang disebut Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan ini juga merupakan ekosistem mata pencaharian mereka.
4.1.6 Kepercayaan dan Agama Sebelum kedatangan penjajah etnik
Karo sudah memiliki tingkat
peradaban yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dari kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, mempunyai aksara atau tulisan sendiri, mempunyai bahasa sendiri, menghasilkan karya seni, dan memiliki adat istiadat sendiri. Etnik Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, merupakan ciptaan Dibata. Menurut Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah (Tuhan yang dilihat) dan Dibata si la idah (Tuhan yang tidak dilihat). Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu, yang terdapat pada sistem kekerabatan masyarakat Karo yang berada dalam unsur daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur tersebut
adalah
kalimbubu ( pemberi dara), anak beru (pihak penerima dara), dan sembuyak/senina (saudara). Kalimbubu adalah unsur yang terhormat atau golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga Dibata si idah. Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, etnik Karo percaya kepada (1) Dibata Datas, disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa), (2) Dibata Tengah, disebut Tuhan Padukah ni
Aji. Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini, dan (3) Dibata Teruh disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi. Kepercayaan lainnya adalah ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar mataniari yang memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal di bulan. Siberu dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak diterbangkan angin topan (Tambun, 1952: 131--132; Tarigan, 1988: 83-84). Manusia dalam kepercayaan etnik Karo terdiri atas (1) tendi (jiwa), (2) begu (roh orang yang sudah meninggal, hantu), dan (3) kula/tubuh. Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur, tetapi begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi, yang disebut dengan upacara raleng tendi (memanggil jiwa). Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian. Bagi orang Karo Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya, dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan masyarakat Karo yang sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa
yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib (Tarigan, 1988: 83-84). Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen sebagai kepercayaan yang baru di tengah-tengah etnik Karo, telah memiliki suatu kepercayaan yang disebut perbegu yang artinya orang yang mempunyai atau memercayai hantu. Dalam perkembangannya kepercayaan ini disebut pemema (kepercayaaan awal). Kepercayaan pemena tidak termasuk dalam satu agama yang resmi. Untuk menjalankan kepercayaannya, etnik Karo terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan bagi keluarganya yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab menurut Njenap Ginting, jika tidak dilaksanakan, maka roh-roh tersebut atau tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup dan hal ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan roh-roh yang sudah mati (Perumah Begu) (Wawancara, 28 Mei 2012). Roh dalam pandangan etnik Karo memiliki kekuatan yang tinggi. Etnik Karo memercayai dengan melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah dan akan melindungi keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Selain ritual pemanggilan terhadap roh orang yang sudah mati juga ritual pemujaan terhadap benda-benda sekitarnya yang disebut mangmang. Mangmang adalah satu nyanyian ritual Karo
yang dinyanyikan oleh seorang guru/dukun berdasarkan kepercayaan semula jadi Karo. Sistem kepercayaan ini dapat dilihat pada saat menjalankan upacara ritual. Upacara bertujuan untuk pengobatan. Terdapat dua jenis upacara ritual yang memerlukan penyajian mangmang, yaitu penyucian diri dan memanggil
roh
manusia (Tarigan, 2006: 65). Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang meninggal dalam satu hari (mate sadawari), baik sakit maupun kecelakaan. Arwah orang yang meninggal diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu, pada ritual mangmang dilakukan dengan cara memberikan sesaji berupa sebatang rokok yang sudah dinyalakan dan dijepit pada sebatang ranting kecil di tanah. Kemudian dilengkapi dengan seperangkat daun sirih, yaitu lazimnya orang yang makan sirih. Selanjutnya, bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang arwah orang yang meninggal dunia tersebut.
4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo Etnik Karo percaya bahwa setiap orang mempunyai tendi/ roh. Jika seseorang meninggal dunia, maka tendi akan berubah menjadi begu. Begu dipercaya masyarakat Karo sering menganggu manusia yang masih hidup dan sekaligus dipercaya dapat menjaga manusia. Artinya, ada begu yang ditakuti dan ada begu yang dihormati. Berikut dijelaskan beberapa jenis begu yang terdapat pada masyarakat Karo. (1) Begu yang sangat penting adalah begu jabu atau rumah
tangga, yang disebut dibata jabu atau dewa rumah tangga. Begu ini merupakan jenis roh dari kerabat terdekat yang meninggal secara tiba-tiba (si mate sada wari) atau seseorang yang meninggal dalam suatu hari tertentu, baik oleh kecelakaan, pelanggaran, maupun bunuh diri, tetapi tidak melalui perkembangan penyakit. Setelah acara ritus perumah begu, begu ini menjadi roh rumah tangga atau begu jabu, yang melindungi keluarga mereka dari segala bentuk kekuatan dan penguruh jahat.
―Begu jabu ngkelini jabuna‖, artinya roh rumah (begu jabu)
menyelamatkan keluarganya. Roh-roh atau dewa ini dikatakan menghuni rumah tangga dan sajian khusus disampaikan kepada mereka. (2) Jenis begu lainnya yang dikenal masyarakat Karo adalah meliputi begu butara guru, yakni roh anak yang baru lahir atau yang juga disebut begu perkakun jabu, yakni roh pengaman rumah tangga. Roh tersebut juga memiliki potensi bahaya. Selama kita tidak belajar untuk berbicara tentang kehidupannya, maka tidak mungkin bagi kita mengomunikasikan kebutuhan dan keinginannya, demikian juga halnya dengan keluarganya. Kecermatan tinggi harus dilakukan pada penguburan tubuh seorang bayi karena guru (dukun) dapat menggunakan tubuh bayi untuk membuat obat atau pupuk yang selanjutnya dipercaya akan menimbulkan nasib sial bagi keluarga bayi itu atau orang lain. (3) Begu yang dikenal sebagai bicara guru disebut juga begu perkakun jabu adalah roh seorang anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi. Apabila roh ini dihormati, akan menjadi roh pelindung bagi keluarga. Tubuh anak-anak yang meninggal jika dicuri orang, dipercaya bahwa rohnya dapat digunakan oleh
dukun untuk menjadi pengikutnya dan bisa berbahaya bagi orang banyak. (4) Begu simate sada wari, yaitu begu yang berasal dari orang-orang yang meninggal tidak disebabkan oleh penyakit, tetapi meninggal secara mendadak dalam satu hari. Misalnya, orang yang meninggal disambar petir, ditembak, gantung diri, dan lain-lain. Kepada begu simate sada wari perlu dibuat bereberen dengan pakaian lengkap. Ada ungkapan kurumah begu simate sada wari, seluk guru, merawa ia megang sorana, tapi ukurna mehuli nge gelah mejuah-juah kam (datang ke rumah begu simate sada wari melaui guru/dukun dengan suara yang keras, tetapi hatinya baik untuk kesehatan) berbicara melalui medium. (5) Begu tungkup wanita yang meninggal dan belum pernah menikah selama hidupnya. Begu ini juga termasuk begu jabu yang harus dihormati agar tidak mengganggu keluarga yang masih hidup. (6) Begu kayat-kayaten orang yang meninggal disebabkan penyakit, sedangkan orangnya belum begitu tua. begu ini dianggap sebagai begu biasa. (7) Begu mentas orang lain yang merupakan begu melintas saja. (8) Begu menggep, yaitu sejenis begu yang sangat menakutkan dan selalu mengintip orang untuk mencederainya di bawah kolong atau dibawah tangga rumah atau ke pondok untuk menerkam mangsanya. Jenis begu ini sangat ganas kepada wanita dan anak-anak. Sebagai penangkal dan penolak begu menggep maka anak-anak dan para wanita diberikan kalung umbi jerangau. (9) Begu sidangbela adalah begu dari wanita yang meninggal pada saat
melahirkan. Begu ini sangat marah, benci, dan kejam sekali terhadap wanita hamil dan anak-anak kecil. Begu ini sering menanti korbannya di bagian jahen tapin (sebelah hilir dari tepian tempat pemandian). Dalam kepercayaan lama antinya adalah jerangau diselipkan di dalam sanggul orang yang sedang hamil atau dijadikan kalung bagi anak-anak sebagai penangkal. (10) Begu juma, yaitu begu orang yang meninggal secara umum. Begu ini selalu mengganggu orang yang bekerja di ladang, merasuki orang sehingga orang di ladang boleh berkelahi tanpa sebab. (11) Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senang sekali mencekik leher mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang. Biasa disuruh oleh orang yang memilikinya untuk mencelakai orang lain, mencekik orang sehingga berbekas biru di lehernya. Selain itu, bisa juga membuat lidah orang yang dicekiknya menjulur keluar dan matanya melotot. Bila tidak hati-hati dan segera mendapatkan pertolongan dari seorang guru/dukun, akan menyebabkan korbannya meninggal. Menurut tradisi Karo, orang yang memelihara begu ganjang
biasanya orang yang sedang
mempunyai masalah. Karena ia selalu disertai dengan ketakutan, maka ia perlu dikawal. (12) Begu sirudang gara, yaitu begu yang bisa disuruh-suruh, misalnya menjaga ladang, kolam ikan, jemuran dan lain-lain. Bila ada pencuri, bisa tiba-tiba meninggal ataupun stroke (Tambun, 1952: 133--134; Tarigan, 1988: 85--89 ; Ginting, 1999: 19--30).
Dalam pandangan etnik Karo, penting diketahui bahwa dalam acara ritus perumah begu/memanggil roh, roh selalu direkonsiliasikan dengan nasibnya, dipaksa untuk menyadari statusnya yang baru, dan cara yang tepat untuk bertindak terhadap keluarganya yang masih hidup. Di samping itu, memberikan peluang untuk mengambil jarak dari keluarganya, mengindikasikan keinginannya yang terakhir, dan menyelesaikan urusan yang belum selesai sesuai dengan keperluannya. Gambar 4.7 menunjukkan bahwa etnik Karo melakukan upacara perumah begu yang dilaksanakan setelah upacara gendang kematian di kesain (lapangan rumah adat) dan disaksikan oleh semua kerabat yang tinggal di rumah adat tersebut. Insrumen musik yang digunakan dalam upacara ini adalah kulcapi sebagai pembawa melodi yang biasanya perkulcapi (pemain kulcapi) dapat mengalami kesurupan bersamaan dengan guru sibaso sebagai pimpinan dalam upacara tersebut. Saat ini hal tersebut tidak pernah lagi dilakukan oleh etnik Karo.
Gambar 4.7 Musik dan tari Etnik Karo, dalam upacara ritual ± tahun1900 (Dokumen: K.I. Museum Amsterdam, Capture: Pulumun P. Ginting, 2010) Perumah begu adalah suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia dengan perantaraan dukun (guru sibaso). Karena sifat kematiannya yang berlangsung tiba-tiba, maka begu si mate sada wari adalah roh yang sangat kuat dan berbahaya. Apabila tidak ditangani secara tepat dalam acara ritus perumah begu, dapat menjadi ancaman besar bagi diri dan orang lain, yang mungkin akan mendapat tempat tinggal menetap. Orang yang diambil dari kehidupannya secara tiba-tiba, sekalipun tidak diinginkannya sehingga tidak ada persiapan untuk mati, maka orang tersebut mungkin menjadi roh liar (begu mentas), yang tidak menentu ke mana perginya dan bagaimana nasibnya kemudian. Setiap upaya yang tidak tepat untuk memasuki kembali roh jahat ke siklus kehidupan keluarganya yang masih hidup akan
menimbulkan penyakit dan kematian bagi mereka sebab akan menimbulkan keterkejutan tiba-tiba bila bertemu dengan anggota keluarga, baik di ladang maupun di jalan. Ritus perumah begu di representasikan melalui medium guru/dukun.
4.1.6.2 Guru/ Dukun Orang yang dapat menjalankan prinsip kepercayaan pada masyarakat Karo biasanya disebut dengan guru/dukun. Guru pada masyarakat Karo disebut guru si baso atau guru yang secara umum berarti orang yang dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat mengobati. Guru adalah seseorang yang mempunyai indra ―keenam‖. Fungsinya selain sebagai pembuat obat juga sebagai peramal. Tarigan (2007: 50) menyebutkan bahwa guru adalah seseorang yang mempunyai jinujung (makhluk halus yang memberikan keahlian), mempunyai kelebihan, dan dapat mengucapkan mang-mang/mantra-mantra. Guru dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai
masyarakat awam dan
sebagai orang yang mempunyai ‗ilmu‘. Sebagai anggota masyarakat awam, secara umum sama dengan masyarakat Karo yang lain yang bukan guru. Mereka bekerja untuk mencukupi keperluan sehari-hari dengan cara bertani atau berjualan. Mereka juga menjalankan adat yang terdapat dalam rakut si telu.
Sebagai orang yang
mempunyai ‗ilmu‘, mereka mempunyai kelebihan daripada masyarakat awam. Mereka mempunyai kelebihan dan dapat
menjalankan aktivitas yang khas,
misalnya dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat
menjalankan
pengobatan kepada seseorang yang sakit atau menjalankan upacara ritual. Kelebihan guru daripada masyarakat awam terutama karena guru mempunyai jinujung. Jinujung merupakan satu kekuatan yang
penting yang
terdapat dalam diri guru sebab dengan ada jinujung maka seseorang mempunyai ilmu dan
mendapat sebutan seorang guru. Aktivitas guru selalu mengikuti
petunjuk dari
jinujung. Oleh karena itu, yang menjalankan aktivitas
pada
dasarnya ialah jinujung. Guru hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi, pada waktu menjalankan satu aktivitas, jinujung tidak selalu menyerap ke dalam tubuh guru. Menurut Ginting (2009: 65), seseorang yang bisa menjadi guru adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan orang biasa pada umumnya. Guru termasuk orang yang dituakan dan mempunyai kelebihan-kelebihan, seperti (1) guru bisa berkomunikasi dengan roh-roh halus (gaib), (2) guru bisa kemasukan (kesurupan) roh-roh halus dan masih bisa tetap mengontrol dirinya walaupun lagi kesurupan, (3) seorang guru biasanya mempunyai indra yang lebih dari manusia biasa, yakni guru dapat melihat roh-roh halus (dua lapis pengenen matana), (4) ersora kerahungna (lehernya bisa bersuara ) dan melalui suara itulah dia dapat berkomunikasi dengan roh-roh halus, (5) guru dapat menentukan hari-hari apa saja yang menjadi hari baik dan hari tidak baik setiap bulannya, (6) biasanya seorang guru bisa mencari barang yang sudah hilang,
(7) dapat mengartikan sebuah mimpi, serta (8) dapat mengobati berbagai macam penyakit, bisa membuat penangkal dan membuat jimat sebagai penangkal bala. Orang Karo membagi beberapa jenis guru/dukun, yaitu (1) Guru mbelin, yaitu guru (dukun) yang mampu mengobati berbagai macam penyakit dalam tubuh manusia, baik penyakit yang datangnya dari ulah manusia maupun penyakit yang datangnya akibat guna-guna. Seorang guru mbelin biasanya sakti dan sangat disegani oleh masyarakat. Pada etnik Karo guru inilah yang dianggap paling banyak tahu tentang pengobatan penyakit dan kosmologi. Guru ini memiliki berbagai macam keahlian sekaligus dari beberapa jenis guru yang ada pada masyarakat. (2) Guru penawar, yaitu guru yang dapat mengobati berbagai penyakit dengan membuat obat-obatan dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, bijibijian, minyak dan sebagainya. (3) Guru pengarkari, yaitu guru yang dapat membuat benteng atau perlindungan dari roh-roh atau makhluk-makhluk halus yang ingin mengganggu manusia atau dari teluh yang dibuat oleh orang lain. Benteng atau perlindungan tersebut terdiri atas berbagai macam bentuk dan bahan, misalnya jimat dari batu, kain, tumbuhan, dan sebagainya; (4) Guru ngulakken, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengobati penyakit yang datangnya dari teluh. Guru ini tidak hanya bisa mengobati penyakit tersebut, tetapi apabila diminta oleh orang yang sedang diobati agar penyakit
tersebut
ulakken
(kembalikan),
maka
dia
juga
mampu
mengembalikan penyakit tersebut kepada yang mengirimnya sehingga penyakit tersebut akhirnya menghantam pemiliknya sendiri. (5) Guru persilihi, yaitu guru yang mampu mengobati orang yang sakit karena birawan, yaitu orang yang sedang sakit karena terkejut, dan diyakini oleh masyarakat karena disapa oleh makhluk halus. Oleh sebab itu, agar tidak diganggu oleh makhluk halus tersebut maka diberikan benda-benda sebagai pengganti manusia yang sakit tersebut kepada roh yang menyapanya. Persilihi artinya memberikan ganti. Dalam upacara persilihi sebagai ganti selain beberapa jenis makanan, seperti buah pisang emas dan beberapa jenis makanan yang disebut dengan cimpa, yang diletakkan di sebuah persimpangan yang diyakini sering dilalui oleh makhluk halus tersebut juga biasanya pohon pisang beserta bonggolnya diukir seperti tubuh manusia, yang disebut dengan gana-gana. Pohon pisang dengan makanan tersebut diletakkan di persimpangan jalan. Benda-benda itu diberikan sebagai pengganti manusia yang diganggu oleh roh atau makhluk halus tersebut. Namun, dalam upacara yang lebih kecil biasanya diberikan cukup manuk sabur bintang (ayam) saja sebagai kahul. Ini biasa digunakan dalam upacara ndilo tendi, yaitu memanggil roh seseorang yang ditahan oleh makhluk halus di tempat-tempat tertentu. Upacaranya dipimpin oleh guru persilihi ini. (6) Guru siniktik wari atau disebut juga guru si meteh wari telu puluh, adalah guru yang mempunyai keahlian tentang hari-hari yang baik dan tidak baik. Harihari baik dan tidak baik ini menyangkut apa yang baik dilakukan pada hari-
hari tertentu. Biasanya untuk melakukan upacara terlebih dahulu ditanyakan kepada guru ini kapan waktu yang baik diadakan upacara. (7) Guru perdewal-dewal, yaitu guru yang biasa dipakai untuk upacara perumah begu, yaitu upacara untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia. Dalam kepercayaan orang Karo, roh yang sudah meninggal dunia dapat dipanggil kembali melalui medium sang guru tersebut. Manusia masih dapat melakukan komunikasi dan saling tukar informasi tentang kehidupan orang yang meninggal tersebut. Upacara ini juga biasa dipakai untuk mendamaikan sebuah keluarga yang dilanda konflik. Karena pihak keluarga tidak dapat lagi mendamaikan konflik yang ada maka biasanya dilakukan upacara perumah begu. Oleh karena itu, dipanggil roh orang tua mereka yang sudah meninggal dan memberikan nasihat kembali kepada anak-anaknya agar hidup tentram, damai dan jangan bertengkar. (8) Guru si ngoge gerek-gereken, yaitu guru yang mampu meramalkan sifat seseorang, membaca firasat atau apa yang akan terjadi dengan melihat telur ayam atau manuk sangkep, yaitu ayam yang sudah dimasak dicampur dengan kelapa parut. Hal ini biasanya dilakukan pada upacara mukul dalam perkawinan, yaitu ketika pengantin makan daging ayam bersama dan disaksikan oleh sanak famili. (9) Guru si dua lapis pengenen matana, yaitu guru yang mampu melihat makhlukmakhlu halus. Selain itu, juga dapat berkomunikasi dengan mereka.
(10) Guru ngeluncang atau guru muncang, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengusir roh-roh jahat yang sudah sangat menggangu di sebuah kampung. Hal ini ditandai dengan terlalu sering ada orang yang meninggal di sebuah kampung, penyakit merajalela, penduduk ketakutan, dan dianggap di kampung tersebut ada roh-roh jahat yang mengganggu. Biasanya dalam upacara ini sang guru akan berlari-lari ke sana kemari berperang melawan roh-roh jahat tersebut. Sekali-sekali dia memanjat pohon kelapa dengan cepat. Demikian juga dia turun dari pohon kelapa dengan cepat, sampai pada akhirnya kampung tersebut dinyatakan bebas dari gangguan roh-roh jahat. (11) Guru perjinujung, yaitu guru yang mempunyai roh yang menyertai dirinya, biasanya roh kerabatnya yang sudah meninggal dunia, atau roh di sebuah tempat tertentu yang ingin bersamanya. Secara harfiah dapat disebut dengan jinujung adalah yang dijunjung, yaitu roh yang menyertai dirinya dan menjadi baigan dari diri seseorang melalui proses penabalan (pentabisan) oleh guru juga. Orang yang dapat mempunyai jinujung biasanya disebabkan oleh (a) turun-temurun dari nenek moyangnya, (b) berdasarkan ngguru atau belajar dari pustaka najati atau lak-lak kayu, yaitu tulisan kuno yang terdapat dalam kulit kayu, (c) berdasarkan mimpi, (d) sengget (terkejut), dan (e) begu jabu, yaitu ada roh anggota keluarga yang ingin masuk kepada salah satu saudaranya yang masih hidup. Roh ini biasanya roh orang yang mate sada wari atau mati kontan (satu hari), misalnya karena kecelakaan, bunuh diri, dan sebagainya.
(12) Guru nendong (tedung), yaitu seseorang yang mempunyai keahlian mengetahui sesuatu, misalnya mengetahui di mana seseorang yang hilang berada dan sebagainya. (13) Guru penggel, yaitu guru yang dapat mengobati orang yang patah tulang. (14) Guru peraji-aji, yaitu guru yang dapat membuat orang lain menjadi sakit. (15) Guru si baso, yaitu guru yang dapat melakukan komunikasi dengan roh-roh atau makhluk halus; (16) Guru purkasih atau percoles-coles, yaitu guru yang dapat menaklukkan seseorang dengan cara-cara tertentu. Misalnya, orang akan menjadi sangat kasihan meskipun sebelumnya sangat marah atau menjadi sangat suka kepada seseorang meskipun tidak ada perasaan cinta sama sekali sebelumnya. (17) Guru kebal, yaitu guru yang mempunyai keahlian tahan daging. Misalnya membuat seseorang tidak mempan dibacok dengan benda-benda tajam.
4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo Apabila seseorang membutuhkan guru untuk memanggil begu dalam keluarganya, maka guru akan meniktik wari/guru perkatika atau melihat hari yang baik untuk mengadakan upacara. Guru perkatika sering juga disebut guru simeteh wari telupuluh (dukun yang dapat membaca hari tiga puluh dalam satu bulan). Tidak semua hari yang dapat digunakan dalam ritus perumah begu. Berikut namanama wari/hari yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Karo. Guru simeteh wari telu puluh memiliki keterampilan untuk membaca hari-hari agar manusia
mengetahui hari yang baik dan tidak baik melakukan sesuatu. Nama-nama hari yang dipercaya etnik Karoyaitu sebagai berikut. (1) Aditia, wari medalit, baik memulai sesuatu, runggu musyawarah, dan hati-hati. (2) Suma. Wari sidua nahe, yaitu hari dua kaki, hari manusia dan ayam, hari ini kurang baik untuk menggali lubang, bila ada orang meninggal perlu dibuat upacara ngarkari, akan tetapi baik untuk kegiatan barburu, menjala ikan, dan memikat binatang. (3) Nggara. Wari merawa/merampek, yaitu hari baik untuk perang, membalikkan guna guna, membuang sial, membuat obat-obatan, berburu, dan merambah hutan. (4) Budaha. Wari siempat nahe, hari yang berkaki empat, hari ini adalah hari padi, baik untuk menanam padi di ladang dan sawah, memasukkan padi ke lumbung, memulai musim tanam, dan baik untuk melakukan pesta. (5) Beraspati. Wari medalit, yaitu hari licin, hari ini baik untuk pesta, memulai membangun rumah, meresmikan rumah baru, memulai usaha baru, melamar pekerjaan, dan pantang bersitegang. (6) Cukra enem berngi. Wari pembukui,wari salang sai, yaitu hari yang baik untuk berangkat merantau, menyeberang lautan, melamar pekerjaan, menghadap orang penting, memulai usaha baru, upacara perkawinan, dan melamar gadis. (7) Belah naik. Wari pengguntur, wari raja, adi berkat usur jumpa teman, hari yang baik untuk menikah, melamar pekerjaan, upacara raleng tendi, erpangir
karena terpenuhinya apa yang dicita-citakan. Semua pesta baik jika menggunakan alat musik. (8) Aditia naik. Wari mehuli, yaitu hari baik, semua baik untuk pesta, rapat adat, pesta musik, ritual (berkeramas), pesta perkawinan, meresmikan rumah baru, membuka usaha baru, melamar perempuan, rekonsiliasi (purpur sage). (9) Sumana siwah. Wari kurang ulina, yaitu hari yang kurang baik dan harus hatihati dalam segala tindakan. Yang baik hanya untuk berburu. (10) Nggara sepuluh. Wari melas, yaitu hari panas. Hati-hati berbicara, jangan bersitegang, hati-hati dengan api, baik untuk membuat obat-obatan, perang, membalikkan guna-guna orang, memulai pekerjaan baru, buang sial, pesta kawin, main musik, meresmikan rumah baru, dan baik untuk ngampeken tulan/ mengangkat tulang bululang nenek moyang. (11) Budaha ngadep. Wari salang sai, wari mehuli, yaitu baik untuk pesta, rapat adat, menjenguk kerabat, melamar pekerjaan, perkawinan, dan pesta dengan musik. (12) Beras pati tangkep. Wari simehuli, mehulu njumpai simbelin (menjumpai pejabat), masuk rumah baru, pesat meminta rezeki, pesta kawin, dan mengucapkan syukur kepada Dibata. (13) Cukera dudu (lau). Wari mehuli, baik untuk pesta kawin, masuk rumah baru, dan upacara erpangir ku lau.
(14) Belah purnama raya. Wari raja, yaitu baik buat pesta yang besar, pesta pejabat, erpangir ku lau, dan pesta guro-guro aron, memberikan makanan kepada orang tua, bertunangan, pesta tahunan, pesta seni. (15) Tula. Wari sial, yaitu tidak baik untuk pesta yang baik hanya menanam kelapa. Jika ada anak lahir, bisa mengakibatkan salah satu orang tuanya meninggal. Oleh karena itu, harus dibuat sebuah upacara yang disebut ibahbahi alu bulung simalem-malem. (16) Suma cepik. Wari sila mehuli, hari yang tidak bagus, kecuali untuk berburu dan memancing. (17) Nggara enggo tula. Wari merawa, yaitu hari baik untuk buang sial, membuat obat, hari yang penuh dengan hati-hati dan erpangir selamsam / mimpi buruk. (18) Budaha gok. Wari page mbuah, hari panen, menyimpan padi ke lumbung, mulai menanam, baik membeli hewan berkaki empat, kurang baik untuk menjual sesuatu, baik untuk mengadakan upacara. (19) Beras pati. Mejile menaken rabin, yaitu baik memotong kayu untuk rumah, memancing, membuat gubuk di ladang. (20) Cukra sidua puluh. Baik untuk membuat obat, masuk rumah baru, mengangkat tulang belulang nenek moyang, pergi bertamasya, hari yang baik dalam segala hal. (21) Belah turun. Baik untuk buang sial, ncibali siding, memancing, berburu, memasang pelet burung.
(22) Aditia turun. Baik untuk membuat obat, erpangir, buang sial, berburu, engkawil, ngulakken pinakit, turun ke laut. (23) Sumana mate. Baik untuk membuat pancingan baik di darat maupun di air, membuat jebakan, berburu binatang, jika berkelahi taruhannya adalah nyawa. (24) Nggara simbelin. Baik untuk membuat obat, buang sial, bertapa, berperang, mencari ilmu, membuat penangkal atau penjaga badan, penangkal ladang. (25) Budaha medem. Hari baik untuk mulai menanam ke ladang, pesta tahunan, memulai perjalanan, menggiling padi, mengambil padi dari lumbung, menikah. (26) Beraspati medem. Wari simalam-malem, yaitu memberikan makanan kepada orang tua, hari damai, mengunjungi kalimbubu, pesta kawin, membuat obat. (27) Cukrana mate. Hari buang sial, membuat obat, berburu, memancing, dan berladang. (28) Mate bulan. Hari buang sial, ngulakken, tidak baik mengadakan upacara, mudah ingkar janji, saling tidak percaya, tidak perlu pergi jika tidak penting, yang baik hanya berburu, memancing, turun ke laut. 29. Dalan bulan. Wari kurang ulina ( hari yang kurang baik ) dalam segala hal. 30. Samisara. Wari pendungi hari untuk menyelesaikan, menutup kerja, membayar utang, purpursage, berdoa kepada Dibata dan kepada leluhur, nendungi guru.
4.1.6.4 Kedai Kopi Bagi orang Karo, khususnya kaum laki-laki (dewasa), kedai kopi merupakan sebuah kebutuhan penting. Meskipun di rumah telah disediakan oleh pernanden (ibu) kopi sejenis atau kopi sejenis seperti di kedai kopi, tidak mengurangi niat dan minat kaum bapak ke kedai kopi. Hal itu menarik. Apakah karena kebiasaan itu merupakan warisan dari budaya Karo? Dari pengamatan peneliti ke seluruh perkampungan Karo, baik di tanah Karo sendiri maupun di berbagai tempat yang didiami orang Karo, seperti Seli Serdang, Binjai, Simalungun, Dairi, bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa, selalu ada saja kedai kopi Karo atau kedai kopi orang Karo. Meskipun di perkotaan telah muncul beragam kafe-kafe internasional, kedai kopi bagi orang Karo atau setidaknya lapo bagi orang Toba tidak bisa hilang dimana pun mereka berada. Hal ini tidak serta merta mengurangi kemodernan seseorang meskipun telah tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan sebagainya. Bagi orang Karo kedai kopi bukan sekadar tempat meminum kopi, kopi susu, teh manis, atau sejenisnya, melainkan telah lama bagi masyarakat Karo kedai kopi sebagai tempat pusat informasi komunitas, baik di kampung maupun di kota. Mulai kelahiran sampai kematian dapat diketahui dari adanya kedai kopi. Berbagai hal diulas dan didiskusikan di sana, baik dari sisi obrolan ringan seperti harga jeruk turun, calon bupati 2014, perkembangan pansus century, maupun persoalan-persoalan politik yang menyangkut negara, seperti kunjungan Obama ke Indonesia, bahkan kehidupan selebritis.
Tidak ada yang tidak dapat dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo. Namun, satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekadar ingin melihat pertandingan catur atau cator. Obrolan-obrolan pemain catur ini pun menjadi salah satu daya tarik. Bahkan, lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur ini daripada permainan caturnya sendiri. Rengget atau cengkok nyanyian perkolong-kolong yang terdapat dalam gendang kematian juga tidak terlepas dari nyanyian yang ada di kedai kopi, sadar atau tanpa sadar pemain catur sering menyanyikan rengget ini. Di mana ada kedai kopi Karo, pasti di sana ada papan catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi papan catur. Ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi di lokasi penelitian, apa yang membuat Anda ketagihan datang ke kedai kopi? Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekadar menghabiskan waktu, ada yang sekadar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak berkeputusan, dan sebagainya. Menurut Njenap Ginting, tidak cukup untuk memahami kebudayaan kita di berbagai upacara atau ritual saja, kedai kopi merupakan salah satu wadah untuk memahami adat istiadat kita, karena di sinilah kita bebas berargumentasi dan akan diterapkan dalam kehidupan kita (wawancara,
26 Mei 2012). Obrolan di kedai kopi telah dipahami sebagai obrolan santai dan tidak serius. Oleh sebab itu, pada saat itulah orang per orang bebas berbicara apa saja tanpa ada yang merasa tersinggung, karena mereka tahu benar konteksnya dimana. Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekadar minum, tetapi komunikasi antarindividu tersebutlah yang menjadi faktor utamanya. Meskipun di kota-kota besar seperti Medan, Pekan Baru Jakarta, dan seterusnya bukan minumannya yang menjadi faktor ke kedai kopi, melainkan emosional kesukuan dan kedaerahan, emosional cita rasa ‗kekaroan‖nya tidak akan pernah terlupakan. Setelah diamati dapat disimpulkan bahwa menurut kepercayaan, masyarakat Karo tidak akan ada tanpa kedai kopi. Artinya, ketika kedai kopi lenyap maka sekaligus adat dan budaya etnik Karo akan lenyap. Kedai kopi adalah sekolah atau universitas nonformal bagi orang Karo. Tempat berkumpulnya sierjabaten/penggual (pemain gendang lima sendalanen) disebut kedai kopi penggual. Kedai kopi penggual berada di Kota Kaban Jahe, yaitu ibu kota Kabupaten Karo. Setiap hari mereka akan menunggu panggilan
untuk
upacara
gendang
kematian.
Semua
masyarakat
yang
membutuhkan jasa mereka untuk upacara gendang kematian cukup datang ke kedai kopi penggual tersebut. Namun, akibat teknologi informasi, kedai penggual atau tempat berkumpulnya seniman-seniman Karo, berangsur-angsur ditinggalkan, yang membuat kemudian seniman bersifat individual. Meskipun demikian, mereka masih tetap ke kedai kopi, tetapi bukan kedai kopi penggual.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kedai kopi merupakan sarana informasi bagi orang Karo, baik di tanah tinggi Karo maupun daerah lain, yang didiami orang Karo. Kabar kematian akan didapatkan siapa, di mana, dan kapan akan dilaksanakan upacara gendang kematian tersebut. Pada umumnya, di mana pun lokasinya upacara gendang kematian akan dilaksanakan pada sebuah gedung atau aula ―bersama‖ yang disebut masyarakat Karo dengan istilah jambur atau losd.
4.1.6.5 Jambur / Losd Salah satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya lokal yang berkarakter adalah dengan membangun sarana pendukung budaya kepada generasi muda kita. Nilai-nilai budaya warisan leluhur ini adalah jiwa kebudayaan lokal dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Hal ini bisa dilihat dari satu sarana berkumpul dalam sebuah upacara yang terdapat pada etnik Karo, yaitu jambur/losd. Jambur/losd pada masyarakat Karo adalah sebuah sarana untuk menghargai dan mengaktualisasikan adat dan budayanya. Aktualisasai kebudayaan Karo termanifestasikan dalam sebuah jambur/losd. Etnik Karo memiliki berbagai upacara yang menyangkut adat istiadat yang dilangsungkan secara turun-temurun dan dari generasi ke generasi yang disebut dengan tradisi lisan. Jambur/losd sebagai sarana untuk melaksanakan semua kegiatan adat yang bersifat kearifan lokal.
Bagi masyarakat Kabupaten Karo di Sumatera Utara, keberadaan jambur atau losd menjadi kebutuhan yang terbangun secara alami. Jambur atau losd awalnya tempat sosial masyarakat Karo untuk memanen hasil pertanian atau jual beli dan pada masa kini berkembang menjadi tempat menggelar upacara adat, seperti upacara perkawinan atau upacara kematian. Hampir setiap desa di tanah Karo memiliki jambur atau losd. Bahkan, jambur banyak ditemukan di kota Medan karena telah menjadi kebutuhan sosial. Jambur jugalah yang meringankan kegagapan pemerintah Kabupaten Karo, yang selama ini hanya disibukkan oleh arus perdagangan hasil pertanian yang melimpah ruah, dalam menangani bencana Gunung Sinabung, yang dipercayai baru kali pertama terjadi dalam 400 tahun terakhir. Jambur adalah sejenis aula yang besar, yang biasanya bisa nenampung untuk sebuah upacara antara 500--1000 undangan yang biasanya digelar tikar untuk tempat duduk. Jambur bisa ditemukan di setiap desa, baik di Kabupaten Karo maupun di wilayah yang dihuni masyarakat Karo. Kepemilikan jambur di setiap desa itu adalah masyarakat desa tersebut, tetapi kalau misalnya di kota, baik di Kota Kabanjahe, Berastagi, maupun Medan, mayoritas kepemilikannya perindividu, yang biasanya dikomersialkan untuk upacara
perkawinan atau
upacara gendang kematian. Pada zaman dulu sebelum adanya bangunan ini, baik upacara pernikahan maupun upacara lainnya, diadakan di tanah lapang atau lapangan (kesain). Akan tetapi, berjalannya waktu para pendahulu kita mulai menyadari betapa pentingnya
memiliki suatu bangunan yang permanen untuk mengadakan acara-acara penting agar acara tersebut dapat berlangsung dengan teratur dan baik. Oleh sebab itu, simatek kuta mengajak warga yang ada di desa untuk membangun bangunan yang disebut jambur. Semua hal yang dibicarakan di kedai kopi implementasinya tampak dalam upacara di jambur. Terkait dengan itu, seperti yang sudah disebut di atas bahwa upacara gendang kematian etnik Karo dilaksanakan di bangunan tersebut.
4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian Upacara adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas yang biasanya dilakukan dengan musyawarah mufakat meskipun upacara tersebut dilakukan untuk kepentingan seseorang. Gendang dalam subbab ini diartikan sebagai nama sebuah upacara sekaligus nama sebuah ensambel musik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhir kehidupan pada orang Karo adalah ketika seseorang meninggal dan dilakukan penghormatan terakhir oleh kekerabatannya (sangkep nggeluh) dalam peristiwa yang disebut upacara gendang kematian. Upacara gendang kematian adalah sebuah ritual yang sangat penting bagi etnik Karo. Dalam satu dekade terakhir ini upacara gendang kematian mengalami degradasi sebagai akibat dari pengaruh budaya global. Etnik Karo percaya bahwa arwah yang meninggal masih dekat dengan diri mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini tampak dari perilaku
ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri atas
jasmani
(kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam upacara gendang kematian pada masyarakat Karo tidak asing disebutkan buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, jukut jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu. Semua hal itu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Hal ini berarti bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bukan sebaliknya. Pemaparan subbab tentang jenis upacara kematian dan unsur-unsur yang ada di dalamnya seperti uraian berikut ini.
4.2.1 Jenis Kematian Beberapa jenis kematian pada masyarakat Karo, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, cawir metua. Cawir metua disebut apabila umur yang meninggal sudah lanjut (beranak-cucu, cicit atau cacah) dan semua anaknya sudah berkeluarga. Namun, ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut, tetapi masih ada anaknya yang belum berkeluarga, maka dalam keadaan demikian bisa dilaksanakan adat cawir metua dengan persetujuan kalimbubu dan anak yang belum kawin tersebut. Kedua, mate sada wari (mati dalam satu hari) adalah kematian yang disebabkan tidak oleh suatu penyakit, terjadi dalam satu hari. Penyebab mate sada wari ini di antaranya adalah dibunuh orang, bunuh diri, kecelakaan, melahirkan anak, dan sebagainya terkait dengan meninggal tanpa
mengidap suatu penyakit. Khusus untuk orang yang meninggal demikian dibuat kuburan (pendawanen) tersendiri dan terpisah dari tempat penguburan umum. Ketiga, mate nguda apabila umur yang meningal masih muda, bisa jadi belum kawin atau sudah kawin dan anak-anaknya belum semua berkeluarga atau ketika masih anak-anak. Keempat, tabah-tabah galuh apabila orang yang meninggal dunia belum lanjut usia, tetapi anak-anaknya semua sudah berkeluarga (sai utang). Kelima, mate lenga ripen (belum bergigi) apabila anak meninggal sejak dalam kandungan atau beberapa saat setelah lahir atau beberapa bulan kemudian dan giginya belum tumbuh. Anak-anak yang meninggal belum bergigi hari itu juga harus dikubur, tubuhnya dibungkus dengan kain putih (dagangen), kemudian dikeluarkan dari rumah adat melalui pintu perik (jendela) seorang menjulurkannya dari rumah dan seorang lainnya menerimanya dari luar. Penguburannya dilakukan secara rahasia karena takut dicuri orang. Keenam, mate mupus (mati melahirkan), kematian seorang ibu waktu melahirkan anaknya. Kematian sang ibu dapat terjadi sebelum atau sesudah bayi lahir (Prinst, 2004: 131). Mati beranak atau mati kala melahirkan anak merupakan suatu kematian yang dipandang amat hina pada masyarakat Karo. Bila seorang ibu melahirkan anak sudah sepantasnya dia bergirang hati walaupun harus menderita kesakitan. Sang ibu harus tabah menerima kebahagiaan tersebut. Seorang ibu yang mate ranak dianggap kurang tabah, bahkan tidak tabah sama sekali menanti kelahiran anaknya (Tarigan, 1998: 79).
Pada masa dulu bila wanita yang meninggal bersalin, maka semua pintu rumah di kampung itu ditutup dan jarang orang pergi keluar rumah kalau tidak perlu. Para wanita hamil, wanita yang baru melahirkan, dan anak-anak yang belum bergigi di kampung itu diwajibkan meludahi mbun-mbunen (yaitu kumpulan tepung, pisang, dan sebutir telur ayam) empat kali sebagai tanda untuk menghina/membenci kematian itu. Kemudian mbun-mbunen itu diantarkan oleh salah seorang kaum kertabatnya kepada mayat wanita yang mati bersalin itu (Tarigan, 1998: 79--80). Malam harinya setelah penguburan kalau sang suami mau masuk
ke
rumah, dia harus mengetuk pintu sepulusada (sebelas) kali. Orang-orang seperumahan akan bertanya dari dalam jera kam mbalu. Sang suami akan menjawab jera,jera. Ketukan pintu itu dilakukan sebanyak sepulusada (sebelas) kali karena kata sepuluhsada bersajak dengan kata ersada (bersatu) tendi atau roh ke rumah (Tarigan, 1998: 80).
4.2.2 Gendang/Musik Melakukan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua istilah, yaitu ergendang dan rende. Ergendang terdiri atas dua kata yaitu er (melakukan sesuatu) dan gendang secara sederhana dapat berarti ‖musik‖. Jadi, ergendang dapat diartikan ‖bermain musik‖. Gendang dapat berarti salah satu alat musik, satu upacara, judul komposisi, nama instrumen, dan beberapa arti lainnya. Dalam subjudul ini gendang berarti nama sebuah ensambel musik dan nama
sebuah instrumen musik. Dari keseluruhan alat musik yang ada dalam khazanah budaya Karo terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu
gendang lima
sedalanen, gendang telu sedalanen. Selain kedua ensambel tersebut, ada pula beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara tunggal (solo).
4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen Gendang lima sendalanen (sering juga disebut gendang sarune) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan ‖alat musik‖, lima berarti ‖lima‖, dan sendalanen berarti ‖sejalan‖. Dengan demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ‖lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama‖. Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sendalanen memang terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarune, (2) gendang singindungi, (3) gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan penarune untuk pemain sarune, penggual untuk pemain gendang singindungi dan gendang singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak dan orang yang memaikan gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu, yaitu sierjabaten (‖yang memiliki jabatan‖). Sebutan penggual dan penarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik. Di pihak lain sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam
suatu konteks upacara adat seperti upacara gendang kematian. Ensambel gendang lima sedalanen adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara kematian. Ensambel inilah sebagai ―perekat‖ terhadap unsur-unsur yang ada dalam upacara tersebut. 4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen Gendang telu sendalanen juga merupakan ensambel musik tradisional yang terdapat pada masyarakat Karo. Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng, dan mangkok. Ada kalanya kulcapi, sebagai pembawa melodi dalam gendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan instrumrn balobat. Dengan demikian istilah gendang telu sendalanen sering disebut berdasarkan nama alat musik pembawa melodinya, yaitu gendang kulcapi atau gendang balobat. Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawa melodi dan gendang balobat berarti balobat sebagai pembawa melodi. Instrumen pengiring dalam gendang telu sendalanen atau gendang kulcapi/gendang balobat adalah tetap, yaitu keteng-keteng dan mangkok. Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan perkulcapi untuk pemain kulcapi, perbalobat untuk pemain balobat, simalu keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalu mangkok untuk pemain mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanen ini bermain dalam konteks upacara, maka sebutan untuk mereka juga adalah sierjabaten. Namun, dalam kehidupan sehari-hari hanya pemain kulcapi dan balobat yang biasanya tetap
mendapat sebutan, yakni perkulcapi dan perbalobat, sementara itu pemain ketengketeng dan mangkok biasanya tidak mempunyai sebutan tertentu. Ensambel gendang telu sendalanen digunakan dalam upacara ritual masyarakat Karo, seperti perumah begu (memanggil roh orang meninggal), erpangir kulau (penyucian diri), raleng tendi (mencari roh), dan sebagainya.
4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua Gendang lima puluh kurang dua (gendang 50-2) berarti gendang sebagai nama sebuah repertoar lagu. Gendang ini berkaitan dengan mitos terjadinya alam. Mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat Karo dan akan diuraikan sebagai berikut. Dibata (Tuhan) menciptakan manusia pada awalnya masih dalam keadaan labil. Dibata mempunyai tiga orang anak yang kemudian dikenal dari tempat tinggalnya, yaitu di atas (datas) dengan simbol padi/page (buah di atas), di tengah dengan simbol jagung/jong (buah di tengah), dan di bawah (teruh) dengan simbol ubi/gadung (buah di bawah). Ketiga anak ini selalu berbeda pendapat dan Dibata sibuk mendamaikannya. Kelakuan ketiga anaknya persis seperti ungkapan dalam pepatah Karo, yaitu bagi ancit, adi jumpa sipatuken, adi sirang sitedehaen yang berarti kalau jumpa bekelahi, kalau berpisah saling rindu. Berdasarkan keadaan tersebut Dibata kemudian menciptakan pemisah atau batas di antara ketiga anaknya. Namun, pembatas ini selalu dirusak oleh anak jagung (tengah) dengan angin topan (angin kaba-kaba) sehingga hancur. Kejadian seperti ini terjadi sampai empat kali sesuai dengan arah desa si empat (keempat
arah mata angin), yaitu purba (timur), daksina (selatan), pustima (barat), dan utara (utara). Dari kejadian inilah lahir desa si empat pada masyarakat Karo. Akibat selalu ada persoalan di antara anaknya, Dibata menidurkan ketiga anaknya selama tujuh hari tujuh malam (pitu wari pitu berngi). Selama anak-anak ini tidur, Dibata membuat pemisah di antara ketiga anaknya. Pada hari kedelapan ketiga anak Dibata bangun dan mereka tidak saling melihat lagi, karena sudah ada pemisah di antara mereka. Anak Dibata tengah lalu menciptakan angin topan (angin kalisungsung) dan meniup pembatas tersebut, tetapi pembatas itu tidak hancur. Akan tetapi, terjadilah lembah-lembah (baluren), jurang (embang), gunung-gunung (deleng), dan sebagainya. Kini ketiga anak Dibata terpisah dan tidak dapat berhubungan secara langsung, tetapi harus melalui perantaraan guru (dukun). Sejak itulah terjadi desa si waluh (delapan arah mata angin), yaitu purna (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), utara (utara), dan idan irisen (timur laut) (Darwan, 2004: 230). Pada hari kedelapan inilah terjadi mitos tentang gendang lima puluh kurang dua (gendang 50-2). Gendang ini diturunkan Dibata melalui guru karena Dibata telah mengaruniakan pengetahuan kepadanya. Guru membimbing sierjabaten (penarune, penggual, si malu penganak, dan si malu gung) tentang gendang limapuluh kurang dua. Guru bermantra (ermang-mang) dan si erjabaten membuat musiknya. (Darwan, 2004: 229--231).
Gendang lima puluh kurang dua biasanya digunakan pada upacara-upacara adat yang besar (agung), seperti pada upacara gendang kematian dalam konteks kematian bangsawan (sibayak), mengket rumah siwaluh jabu (memasuki rumah adat). Sebagai repertoar lagu gendang lima puluh kurang dua, empat puluh delapan diperuntukkan bagi manusia, sedangkan dua gendang (musik) diperuntukkan bagi Pencipta kehidupan dan roh-roh leluhur. Bagi orang Karo, tidak ada pemisah antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal dunia. Keduanya masih dapat berkomunikasi melalui mimpi atau melalui perantara guru si baso.
4.2.2.4 Instrmen Nonensambel Selain alat-alat musik kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo nonensambel atau bersifat solo instrumen. Artinya, alat musik tersebut dimainkan secara tunggal (solo) tanpa diiringi dengan alat musik lain. Alat musik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, kulcapi dan balobat, selain digunakan dalam musik ensambel juga dimainkan sebagai alat musik tunggal (solo). Kulcapi merupakan alat musik petik, dua senar, dan balobat merupakan alat musik tiup dengan enam buah lubang nada. Kedua alat musik ini masih sering ditemukan pada masyarakt Karo sampai saat ini dan dimainkan untuk mengenang masa-masa lamapu. Kedua, surdam merupakan alat musik tiup dari belakang (endblown flute) terbuat dari bambu. Surdam memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi. Tanpa menguasai
teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Ketiga, murbab merupakan alat musik gesek, mirip alat musik rebab dalam musik Jawa. Murbab sebagai alat musik tradisional Karo sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan pada kebudayaan musik Karo. Keempat, empi-empi alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi menguning. Empi-empi merupakan alat musik tiup yang lidahnya (reed-nya) berasal dari badan alat musik itu sendiri. Empi-empi terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Untuk saat sekarang, kedua alat musik ini sudah jarang ditemukan atau dimainkan oleh para petani Karo walaupun sebenarnya teknik pembuatan serta bahan kedua alat musik tersebut tidak begitu rumit dan masih mudah ditemukan di daerah Karo.
4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo Rende secara umum diartikan sebagai bernyanyi, sedangkan ende-enden berarti nyanyian. Orang yang pintar bernyanyi disebut perende-ende. Perendeende biasa dipanggil untuk menyanyi sekaligus menari dalam konteks upacara dengan sebutan perkolong-kolong. Beberapa aktivitas guru sibaso (dukun tradisional Karo) dalam berbagai upacara kepercayaan tradisi kadang-kadang dilakukan dengan cara bernyanyi. Ende-enden atau nyanyian dalam kebudayaan Karo terdiri atas beberapa jenis, seperti (1) katoneng-katoneng, (2) tangis-tangis, (3) io-io, (4) didong-doah, (5) tabas, (6) mang-mang, (7) nendung, dan (8) nyayian percintaan atau muda-
mudi. Katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi gendang lima sedalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki garis melodi yang baku, tetapi lirik atau teks dari komposisi tersebut senantiasa berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katonengkatoneng disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) karena isi atau tema lagu itu biasanya berisi nasihat, penghormatan, pujian, doa atau harapan, dan sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng juga bertemakan perjuangan atau kisah hidup seseorang. Komposisi ini biasanya dinyanyikan oleh perkolongkolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng dapat digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Nyanyian inilah menjadi salah satu unsur dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Tangis-tangis adalah nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan seseorang. Io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Didong-doah yaitu nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat Karo disebut didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga ditemukan dalam upacara perkawinan adat pada masyarakat Karo, yaitu seorang ibu mengungkapkan perasaan dan nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga pengantin. Tabas adalah mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan tradisional. Mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya setiap waktu. Nendung adalah aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan
sesuatu atau seseorang yang pergi hilang, tanpa memberitahukan ke mana kepergiannya Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak selamanya dinyanyikan. Namun hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantra. Isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas bagi orang yang mendengarkannya. Di pihak lain nyanyian percintaan atau muda-mudi merupakan jenis vokal yang berkembang sampai saat ini. Semua jenis yang sudah diuraikan di atas berkaitan dengan kematian, tetapi ada yang digunakan setelah beberapa lama upacara gendang kematian dilakukan. Untuk perumah begu (memanggil roh), misalnya, harus dilakukan dengan mencari hari baik (niktik wari).
4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard Dalam kurun dua dekade terakhir kebudayaan musik Karo telah menggunakan alat musik keyboard. Ada beberapa jenis keyboard yang pernah digunakan dalam kebudayaan musik Karo, seperti Yamaha Pss 680, Yamaha Psr 500, Yamaha Psr 510, Technich KN 1000. KN 2000, KN 2400, KN 2600, dan KN 7000. Pada awalnya keyboard ini digunakan (dipelopori) oleh Djasa Tarigan, seorang seniman tradisional Karo yang cukup dikenal. Namun belakangan muncul pemain-pemain keyboard baru yang beberapa di antaranya sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai pemusik tradisional Karo. Keyboard yang dikenal
masyarakat Karo sebagai gendang kibod, yaitu alat musik modern dari kebudayaan musik Barat yang memiliki berbagai fasilitas program musik yang dapat meniru bunyi musik tradisi Karo dengan cara memprogram. Awalnya keyboard tersebut digabungkan dengan gendang lima sedalanen dengan cara memanfaatkan unsur-unsur ritmis yang terdapat dalam keyboard untuk menambah nuansa musikal dalam konteks gendang guro-guro aron. Secara cepat musik gabungan ini menjadi sangat digemari pada masyarakat Karo. Melalui berbagai kreasi dan eksperimen yang dilakukan seniman Karo terhadap alat musik keyboard, pada akhirnya terciptalah program irama yang menyerupai gendang Karo sehingga keyboard dapat digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang terdapat di masyarakat Karo.
4.2.2.7 Gendang Trompet (Ensambel Tiup) Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan waktu, baik perubahan yang diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Awalnya musik tiup trompet (ensambel tiup) pada masyarakat Karo hanya digunakan dalam ibadah-ibadah Minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya penggunaan musik ensambel brass ini lebih banyak ditemukan pada upacara gendang kematian, bahkan sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain. Belakangan perubahan fungsi ensambel brash yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja
menjadi salah satu bagian dari upacara adat, yaitu sebagai pengiring dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan ini terjadi karena selain melaksanakan misinya para misionaris juga turut membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu hasil kebudayaan mereka itu adalah ensambel brass (Sinuraya, 2000: 2). Sebagai salah seorang pemain saxsophone sopran dalam satu ensambel brass, Samion Sinulingga mengungkapkan bahwa pada tahun 1967, misionaris berkebangsaan Jerman menyerahkan beberapa alat musik Brash kepada masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa yang lain seperti, Kabanjahe Kota, Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967 hingga 1980 ensambel tiup hanya dimainkan pada ibadah gereja dan pada upacara pasu-pasu pemberkatan pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun 1995 musik tiup Toba datang ke tanah Karo secara khusus untuk mengiringi upacara kematian dengan konsep musiknya berasal dari perpaduan alat instrumen, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar bass dan semua alat musik brass seperti terompet, horn, tuba, sopran, dan alto. Grup musik Toba ini mulai sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi upacara kematian. Berdasarkan kemajuan grup musik Toba ini, maka grup musik ensambel brass ini dihidupkan kembali dengan penambahan beberapa instrumen, seperti gitar bass elektrik dan keyboard. (Wawancara, 10 Januari 2012).
BAB V WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI Spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu (Griffin, 2005: 15). Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kaya yang meletakkan situasi terbatas kita saat ini dalam pespektif baru. Dengan demikian, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Sesuatu yang transenden adalah melampaui, menembus, dan mengatasi semua apa yang dialami dan diketahui manusia dalam hidup ini (Sumarjo, 2006: 12). Wujud perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya semangat global yang mewarnai modernitas yang telah melanda dunia dewasa ini. Spiritualitas modern seperti apa yang diungkapkan Griffin (2005) adalah suatu kecenderungan untuk menggali hampir semua wujud masa kini dalam hubungannya dengan masa depan, yang dalam praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang baru. Anti tradisionalisme radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain, yaitu bahwa hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa kini.
Sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa pramodern etnik Karo melaksanakan segala kegiatan termasuk upacara gendang kematian secara gotong royong dan penuh perhatian dalam melaksanakan upacara untuk mempertahankan nilai-nilai dan kearifan etnik Karo pada umumnya. Menurut Sumardjo, dalam dunia pra-modern etnik adalah dunia budaya kolektif, terstruktur, dan determinis. Kebebasan individu hanya dimungkinkan dalam rangka kolektifnya karena pramodern adalah budaya religi, budaya kepercayaan, keimanan religi suku. Semua religi bertolak dari kolektivitas budaya suku (Sumarjo, 2006: 96). Selanjutnya spiritualitas posmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah ‖tuan segala ciptaan‖ yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab itu, pandangan posmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya perhatian pada ekologi digabungkan dengan perhatian khusus pada kesejahteraan manusia (Griffin, 2005: 33). Pernyataan di atas sangat erat berkaitan dengan apa yang dialami oleh salah satu upacara ritual, yaitu upacara gendang kematian etnik Karo, yaitu bertemunya spiritualitas modern dengan spiritualitas tradisi. Berikut diuraikan bagaimana wujud upacara gendang kematian dulu hingga kini.
Salah satu unsur yang terpenting dalam upacara gendang kematian adalah musik, yaitu ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi pengiring dari unsur-unsur lainnya, yaitu landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (menangis), dan rende (nyanyi). Di samping itu gendang lima sedalanen hadir berdasarkan sistem kekrabatan dan spiritualitas kosmologi etnik Karo, baik dari materi instrumen maupun dari bunyi yang dihasilkannya. Pembahasan wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi secara keseluruhan terdiri atas delapan subbab, yaitu subbab pertama memaparkan wujud upacara kematian pada etnik Karo; subbab kedua wujud gendang lima sendalanen (musik); ketiga, wujud landek (tari); keempat, wujud nuri-nuri (petuah); kelima, wujud ngandung (menangis); keenam, Eujud rende (bernyanyi), ketujuh, wujud gendang kibod (keyboard) dan kedelapan, wujud trompet (ensambel tiup).
5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya. Etnik Karo percaya bahwa di dalam kehidupan ada kematian dan di dalam kematian ada kehidupan. Demikianlah sangkep nggeluh (kekerabatan) mengungkapkan isi hati melalui ungkapan-ungkapan dan tangisan keluarga yang ditinggal dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Kematian seperti halnya kehidupan merupakan wujud keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siang-malam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada
tanpa kehadiran sisi lainnya. Semua makhluk yang berstatus hidup di muka bumi tidak satu pun yang luput dari kematian. Etnik Karo percaya bahwa arwah yang mati masih dekat dengan diri mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini terwujud dari perilaku orang Karo ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri dari jasmani (kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam upacara gendang kematian etnik Karo seperti sudah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu), tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu). Dari keenam ungkapan di atas, begu-lah yang selanjutnya dianggap dapat membantu keluarga yang masih hidup dan dapat berkomunikasi melalui guru sibaso (dukun). Di satu sisi, orang Karo takut terhadap begu (roh) yang sudah meninggal, tetapi di sisi lain mereka sekaligus merindukannya. Hal ini terwujud dari beberapa orang yang masih memanggil roh-roh orang meninggal melalui medium guru sibaso. Menurut Ginting, etnik Karo pada zaman dahulu (kebalikan zaman modern) melihat dunia ini sebagai objek atau sarana dalam perbuatannya. Akan tetapi, ia melihat dirinya sendiri sebagai salah satu dari subjek-subjek yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Kesadarannya mengatakan bahwa ia merasakan
dirinya hidup di tengah-tengah makhluk yang beraneka ragam, bukan barangbarang yang tidak mempunyai roh (tidak berjiwa). Jadi, satu hal yang pribadi. Segala sesuatu itu dilihatnya berpribadi. Itulah sebabnya seorang pandai besi, misalnya memberikan sesajen untuk bengkel, peralatan, dan sebagainya (Ginting, 1999: 11). Demikian juga halnya sierjabaten/penggual (pemain musik), Darwan Tarigan, dalam upacara gendang kamatian (perangkat musik tradisional Karo), seperti sarune, gendang, dan lainnya (lihat gambar L.4.24), diberikan sesajen dengan ritus tertentu terhadap instrumen-instrumen musiknya. Bila ―gendang i palu‖ (musik tradisional dimainkan) repertoar awal yang akan dimainkan adalah gendang perang-perang empat kali dalam pengertian gendang sebagai judul lagu dan “gendang” yang pertama tidak bisa menari karena gendang tersebut khusus diperuntukkan bagi roh yang tidak kelihatan (Wawancara, 19 April 2012). Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya (4.2.1), bahwa kematian etnik Karo mempunyai beberapa jenis, yaitu mate cawir metua apabila umur yang meninggal sudah lanjut, mate sada wari (mati dalam satu hari), mate nguda (meningal muda), tabah-tabah galuh (belum lanjut usia), mate lenga ripen (belum bergigi), mate mupus (melahirkan), kematian seorang ibu waktu melahirkan anaknya (Tarigan, 1988: 68; Prinst, 2004: 131--133). Sebelum berkembangnya agama-agama wahyu pada masyarakat Karo, menurut Tarigan, upacara gendang kematian dilakukan dengan
berbagai cara
tradisional Karo. Hal ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh semua masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, sekarang segala sesuatunya dipermudah terkait dengan tuntutan zaman. Adapun hal-hal yang harus dilakukan adalah seperti uraian berikut.
5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang Pada zaman dahulu mayat orang yang meninggal dunia pada umumnya dibakar. Menurut Njenap Ginting, mayat terakhir dibakar di Barusjahe sekitar tahun 1956. Akan tetapi, akibat perkembangan zaman, lama-kelamaan dikubur saja karena biaya pembakaran memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan kuburan (wawancara, 26 Desember 2012). Kalau seseorang meninggal dunia, maka tendinya menjadi begu. Begu merupakan roh yang mengembara. Dalam keadaan seperti ini dia merasa dipaksa untuk meninggalkan badan, tempat dia tinggal sebelumnya. Oleh karena itu, sejak kepercayaan leluhur dia merasa dihina, merasa tidak senang. Menurut keyakinan orang Karo, ia cemburu kepada tenditendi orang-orang yang masih hidup. Hal itulah kemudian yang menyebabkan upacara perpisahan (sirang-sirang) dilakukan. Sebelum mayat dibawa ke kuburan atau ke tempat pembakaran, maka pada saat mayat akan dikeluarkan dari rumah, semua orang dalam rumah itu melakukan sirang-sirang (upacara perpisahan). Untuk maksud ini penghuni rumah menyediakan limau yang ditaruh dalam mangkuk yang berisi air. Setiap orang yang hadir di rumah itu mencelupkan jari tangannya ke dalam mangkuk dan selanjutnya mengoleskan air campuran limau ke kuku jari kakinya. Atau
mengambil sepotong keratan limau yang kemudian menggosokkannya pada kuku jari kakinya dan meludahi benda itu empat kali. Bilangan empat bersajak kata selpat (putus, rubuh). Dengan upacara ini dianggap putuslah hubungan badan dengan orang yang meninggal tersebut. Setelah semua mendapat giliran, mayat itu dikeluarkan melalui pintu sebelah kiri (atau pintu jabu ujung kayu) rumah adat (Tarigan, 1998: 69). Hari berikutnya dilakukan upacara nurunken (menurunkan) yang meningal dunia dari atas rumah adat menuju ture (teras rumah). Sebelum mayat dibawa dari ture ke kesain (sekarang jambur), keluarga dekat dan anak rumah membuat sirang-sirang, yakni kuku kaki dan tangan dikikis dan ditampung di daun sirih dan dimasukkan ke peti mati. Adapun acara-acara yang dilakukan pada hari itu adalah pada pagi hari janda/duda (si mbalu) dari yang meninggal dimandikan di teras (ture) rumah, dimandikan dengan lau penguras (air jeruk purut, jera). Setelah dimandikan janda/duda itu iosei (dipakaikan pakaian adat) seperti gonje/abit, uis arinteneng (sarung, pakaian selayaknya) atau cemata runte-runten (sejenis bunga bertali) diikatkan di kepala dan digantung di leher tanpa tudung (kain untuk kepala wanita) atau bulang-bulang (kain untuk kepala laki-laki) yang meninggal. Sebagai bunga hias diambil bunga tumbalaling (kecubung) atau daun dokum (daun yang pohonnya dipakai untuk membakar mayat). Setelah i osei (dipakaikan pakaian adat), diambil pisau (sekin, tanggaltanggal) dan rotan (ketang). Pisau dipegang dengan tangan kiri, rotan diletakkan di atas bantalan kayu, lalu dengan sekali tektek (potong) putuslah rotan itu. Hal ini
dilakukan sebagai simbol putusnya janji hidup bersama sebagai suami istri. Apabila tidak putus dengan sekali tektek (potong), menurut kepercayaan masyarakat Karo, si duda/janda juga tidak lama lagi akan meninggal dunia mengikuti istri/suaminya yang meninggal. Selesai acara tetek ketang, mayat kemudian diturunkan dari ture rumah. Ketika mayat sampai di depan rumah, janda/duda sudah menunggu. Dimainkan musik gendang lima sendalanen yang disebut dengan gendang jumpa teruh (gendang jumpa di bawah). Dalam upacara ini urutan menari adalah sebagai berikut. (1) sukut/ sembuyak, senina, siparibanen, sipengalon menari bersama, (2) kalimbubu, puang kalumbubu, puang ni puang, menari bersama, (3) anak beru, anak beru minteri, anak beru singukuri menari bersama, dan (4) anak beru rumah serentak menari. Sesudah mayat dikelilingi empat kali, sesudahnya diangkat ke kesain (jambur tempat upacara) yang dahulu namanya pengasen. Wujud gendang kematian dipaparkan secara khusus di dalam subjudul wujud gendang lima sedalanen, landek, nuri-nuri, ngandung, rende, gendang keyboard, dan trompet. Hal itu dilakukan karena semua keluarga yang ada dalam sistem kekerabatan tidak terlepas dari unsur-unsur yang ada di atas. Oleh sebab itu, berikut ini akan diuraikan jenis-jenis usungan mayat (pating-pating) yang terdapat pada etnik Karo.
5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating Dalam upacara gendang kematian yang terakhir dilakukan adalah upacara ncabinken dagangen (menutup dengan kain putih), kemudian mayat diusung di atas pating-pating (tandu) ke kuburan. Di atas usungan mayat itu ditelentangkan, mukanya menghadap keatas dan kakinya membujur ke depan. Hal ini dilakukan karena etnik Karo percaya agar mayat tidak dapat lagi menoleh ke kampung tempat tinggalnya semula. Selain itu juga roh orang yang turut mengarak tandu itu tidak dapat berpandangan muka dengan begu (roh) yang meninggal (Tarigan, 1998: 70). Dalam rangka mengusung tandu, kalimbubu berada di sebelah kepala, senina pada kiri kanan jalan, dan anakberu pada bagian kaki orang yang meninggal. Jadi, dalam arakan anakberu berjalan di depan, senina di tengah, dan kalimbubu di belakang, lalu diikuti oleh sangkep nggeluh, kerabat, handai taulan, teman sekampung yang turut mengantar jenazah.
Gambar 5.1 Usungan Mayat (Dokumen: Tamboen, 1952: 112)
Gambar 5.1 menunjukkan semua orang yang ikut mengantar mayat itu berdoa dalam hati agar begu orang yang meninggal itu jangan merenggut roh mereka yang masih hidup. Satu orang ikut ditandu bersama mayat yang meninggal yang biasanya suami/istri. Dalam perjalanan ke kuburan arak-arakan itu berhenti empat kali
dan setiap pemberhentian ada mang-mang yang diucapkan dan
repertoar lagu khusus yang dimainkan oleh penggual (Tamboen, 1952: 112; Tarigan, 1998: 71). Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis pating-pating, antara lain pating-pating lige-lige/ kalimbaban, yaitu usungan mayat, yang di atasnya dibuat sebuah pondok-pondokan yang anjung-anjungnya bertingkat-tingkat sehingga merupakan sebuah menara. Selain itu dihiasi dengan daun enau muda berwarna kuning. Usungan ini dibuat dari bambu dan semua diselubungi dengan kain putih. Usungan ini bertingkat dua. Dasarnya dibuat dari dua bambu melintang agar dapat dipikul oleh beberapa orang. Usungan ini biasanya diperuntukkan bagi orangorang bangsawan atau orang-orang kaya yang sanggup membiayai upacaranya dan memenuhi upacara adat untuk menghormati orang yang meninggal itu. Dalam upacara yang seperti ini biasanya disemblih kerbau atau lembu untuk menjamu sangkep nggeluh, yaitu sembuyak/senina, kalimbubu, dan anak beru.
Gambar 5.2 Pating-pating Lige-lige/ Kalimbaban (Dokumen: Tamboen. 1952: 121) Di daerah gunung-gunung atau sungalur lau (gambar 5.2) usungan ini disebut kalimbaban dan biasanya dibuat bila seorang raja atau sibayak terkenal meninggal. Cara untuk membawa usungan ini ke kuburan tidak dengan cara dipikul, tetapi dengan jalan sambil menghelanya. Yang menghela kalimbaban ini dilakukan oleh anak beru dan banyak orang. Karena usungan ini tidak memakai roda, maka sangat berat menghelanya, lebih-lebih selain mayat, keluarga suami atau istri yang meninggal pun ikut serta naik di atas kalimbaban tersebut (Tarigan, 1998: 78--79). Pating-pating lante empat mbeka. Usungan jenis ini dibuat dari bambu. Alas tempat mayat berbaring terdiri atas empat belahan bambu. Tali pengikatnya
terbuat dari bambu. Semua serba bambu. Itulah sebabnya disebut lante empat mbeka (gambar 5.3). Usungan ini untuk orang miskin, yang merupakan upacara yang paling rendah. Dalam upacara seperti ini cukup tiga ekor ayam saja sebagai lauknya. Kalau keluarga yang meninggal itu tidak sanggup menyediakan tiga ekor ayam beserta berasnya, maka pengulu, anak ber, dan seninanya menyediakan, baik dengan jalan meminta bantuan orang kampung maupun ditanggung sendiri.
Gambar 5.3 Usungan mayat/Tandupating-pating lante empat mbeka (Dokumen: Tamboen, 1952: 120) Usungan yang biasa digunakan untuk kebanyakan disebut pating-pating sapo-sapo ―usungan pondok‖. Dikatakan demikian karena usungan mayat itu berbaring berbentuk sapo-sapo ―pondok‖ (gambar 5.4).
Gambar 5.4 Tandu Sapo-sapo (Dokumen: Tamboen, 1952: 120)
Belakangan tandu sapo-sapo itu lazim diganti dengan payung saja untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Upacara penguburan mayat yang menggunakan usungan jenis ini boleh pula diiringi seperangkat gendang. Gendang dapat berupa gendang ambat atau gendang asa ben. Yang disebut gendang ambat adalah suatu upacara penguburan yang hanya bergendang dari rumah sampai ke kuburan. Di sana semua hadirin berpisah, hanya kaum kerabat yang datang dari kampung jauh singgah di rumah sekadar makan hidangan yang sederhana. Biaya untuk ini memang relatif murah. Yang disebut gendang asa ben adalah ―bergendang sampai sore‖. Dalam upacara seperti ini tentu biaya pun relatif lebih banyak sebab semua tuntutan adat semestinya dipenuhi dan dilaksanakan. Jenis lainnya adalah pating-pating kejere. Usungan ini dibuat dari bambu yang merupakan piramid yang diselubungi dengan kain putih (gambar 5.5). Pada prisipnya sama dengan pating-pating lige-lige, hanya pating-pating kejeren sedikit lebih besar (Tarigan, 1998: 79).
Gambar 5.5 Tandu Kejeren (Dokumen: Tamboen, 1952: 122) Selain yang sudah dijelaskan masih ada usungan yang disebut patingpating lantuk-lantuk. Usungan ini dibuat dari bambu dan bentuknya seperti pundak gunung. Pating-pating lantuk-lantuk khusus digunakan untuk orang-orang yang mate nguda ―mati muda‖, yaitu pemuda atau pemudi yang meninggal sebelum kawin (Tarigan, 1998: 79).
5.1.3 Wujud Kuburan / Pendawanen Wujud kuburan atau pendawanen adalah ingan pengadi-ngadin sirasa lalap atau tempat peristirahatan terakhir yang diperuntukkan bagi yang meninggal. Setelah mayat sampai di kuburan, di sana juga gendang lima sedalanen masih dimainkan. Kemudian orang-orang menari secara berganti-ganti menurut aturan seperti yang telah disepakati sebelumnya. Saat itu orang yang paling dekat
hubungannya dengan yang meninggal, yaitu suami atau istrinya, membungkuk di atas mayat seraya menggerakkan tangan kirinya. Tangan kiri atau tangan yang dianggap tidak baik telah diisi kunyahan sirih bersama daun seram. Dia mondar-mandir, empat kali mengelilingi mayat itu sambil menyerukan, enggo namsam belawanta, mejuah-juah kal kami kerina itadingkendu yang berarti ―sudah punah/putus segala hubungan badan kita, semoga selamat sejahtera kami semua yang engkau tinggalkan‖. (Kata ersam atau resam bersajak dengan kata namsam ―mengibas‖). Setelah selesai diucapkan, lalu sirih dan resam pun diludahinya empat kali dan selanjutnya diletakkannya pada dada mayat itu . Bilangan empat bagi masyarakat Karo mengandung arti budaya menjadi selpat atau putus. Upacara ini menurut Tarigan, disebut juga dalam bahasa Karo dengan istilah namsamken belawan. Artinya, membinasakan atau memunahkan, yaitu memutuskan dengan begu orang yang meninggal itu supaya jangan sekali-kali mengganggu tendi kaum kerabat. Selesai upacara namsamken belawan, maka ditarikanlah tarian pekeri-kerin (penghabisan), sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal itu. Kemudian dibunyikanlah gendang terus-menerus dalam pitu (tujuh) jenis lagu tanpa ditarikan orang. Kepercayaan yang mendasarinya bahwa semua itu ditarikan oleh para begu (roh-roh) yang tidak kelihatan untuk menerima tendi yang baru meninggal sebagai begu baru. Perlu dicatat bahwa pitu ―tujuh‖ bersajak dengan pitut bunga kelesa (terhindar dari malapetaka) (Tarigan, 1998: 72).
5.1.4
Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh Pembakaran mayat yang dilakukan masyarakat Karo disebut pekualuh.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa saat namsamken belawan keluarga menari yang disebut tari pekeri-kerin (terakhir), yang kemudian dilanjutkan dengan memainkan tujuh jenis repertoar lagu secara instrumentalia. Pada saat itu keluarga sangkep nggeluh kembali ke rumah, kecuali empat dukun wanita atau empat orang wanita tua. Mereka ini bertugas mengurus/menyelesaikan pembakaran mayat. Masyarakat Karo menyebut mereka sebagai sidapur petugas dapur khusus untuk pembakaran mayat. Menurut Tarigan, hal yang mesti dilakukan adalah mayat ditelanjangi, kemudian ditelungkupkan di atas kumpulan kayu ndokum ―sejenis kayu yang mudah dibakar‖ yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan ditindihi pula dengan kayu yang serupa secukupnya (gambar 5.6). Kemudian api dinyalakan. Satu hal yang harus dilakukan oleh para sidapur ialah kayu bakar tidak boleh ditambah selama pembakaran. Harus diusahakan agar tumpukan potongan-potongan kayu itu cukup sampai selesai (Tarigan, 1998: 75--76).
Gambar 5.6 Pembakaran Mayat (Dokumen: Tamboen, 1952: 115) Sebelum melakukan pembakaran, kaki mayat tersebut dipukul kuat-kuat sebanyak empat kali dengan maksud agar begu-nya tidak dapat bergentayangan ke sana kemari karena dikhawatirkan begu itu kelak akan mencelakakan dan mengganggu orang-orang yang masih hidup. Setelah pembakaran mayat selesai maka abunya dibuang ke sungai dan tanah tempat pembakaran itu dipacul baikbaik. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar dukun-dukun lain tidak sempat mengambil serta menyimpan tanah yang ditetesi minyak mayat tersebut, yang dapat dibuat menjadi jimat dan guna-guna untuk mencelakakan orang lain. Minyak yang berasal dari mayat itu bila dicampur dengan ramuan lain, dapat menjadi minyak pupuk, yaitu semacam jimat yang berkekuatan gaib. Para sidapur yang menangani pembakaran mayat dipandang sebagai orang yang mungkin mendapat sial karena begu orang mati itu mungkin saja menjauhkan keberuntungan mereka. Untuk menghindarkan hal tersebut, maka para sidapur
harus membersihkan diri. Demikianlah mereka harus mandi dan berlangir terlebih dahulu. Sesudah itu baru mereka diperbolehkan pulang ke rumah. Sebelahmenyebelah pintu ke rumah disediakan dua mangkuk air, yang satu berisi air panas, yang satu lagi berisi air dingin. Sebelum ke rumah, mereka diharuskan mencelupkan tangan ke dalam kedua mangkuk tersebut. Dengan berbuat demikian diharapkan agar pikiran mereka menjadi tenang dan dingin. Sesampai di rumah ada lagi syarat yang lain. Mereka harus meraba atau menyentuh tangku dapur dan para-para yang ada di atasnya. Maksudnya agar begu orang yang telah meninggal itu tidak dapat menyusahkan mereka. Sesudah itu mereka diuduk di papan tongga,l yaitu tempat duduk hamba sahaya di sisi dapur. Setelah terbuktti bahwa segala syarat untuk sidapur dipenuhi dengan baik, barulah mereka boleh bergaul dengan orang-orang di rumah itu (Tarigan, 1998: 76--77).
5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu Pada sekitar tahun 1980-an memanggil roh perumah begu masih sering dilakukan. Pada sekitar tahun tersebut peneliti masih sempat menyaksikan upacara ini di lokasi penelitian sekarang. Namun, sekarang jarang ditemukan bahkan tidak ada lagi yang melakukan sesuai dengan informasi yang diterima dari informan. Biasanya pada malam berikut setelah upacara penguburan atau pembakaran mayat, keluarga atau sangkep nggeluh masih berkumpul untuk menemani dan menghibur hati suami/istri dan anak-anak, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal itu. Biasanya pada malam itu diadakan upacara perumah begu ―memanggil roh yang
meninggal‖. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita. Adapun maksud dan tujuan upacara ini ialah untuk menyenangkan begu atau roh dengan memberinya makanan dan minuman yang melebihi makanan sehari-hari. Begu dapat bertukar pikiran dan memberikan nasihat kepada sangkep nggeluh yang masih hidup. Upacara perumah begu selalu diadakan pada malam hari hingga pagi hari. Khusus bagi kaum bangsawan, misalnya keturunan raja sibayak, ada upacara kematian yang disebut igendangi empat wari empat bulan, empat tahun ―digendangi empat hari, empat bulan, empat tahun‖. Maksudnya, bergendang dua malam
sebelum mayat dikubur atau dibakar, pada hari
penguburan pun bergendang, lantas pada malam berikutnya bergendang lagi sambil perumah begu. Yang terakhir setiap tahun selama empat tahun diadakan pula perumah begu diiringi gendang. Dengan demikian, setelah upacara ini dipenuhi maka tugas atau kewajiban kaum kerabat terhadap si meninggal dianggap selesai (Tarigan, 1998: 73). Satu hari setelah dilakukan upacara perumah begu, keluarga yang ditinggalkan—yaitu istri/suami serta anak-anaknya—tidak boleh pergi ke manamana. Mereka semua tinggal di rumah. Mereka harus ngerebuken kesah ―memantangkan nyawa‖, maksudnya agar nyawa ( kesah ) orang yang masih hidup menjadi rebu, menjadi tabu, pantang bergaul dengan begu orang yang telah meninggal karena sudah dilakukan upacara perumah begu. Dengan ngerebuken kesah, orang beranggapan bahwa begu tidak akan mengganggu tendi orang yang masih hidup. Sore hari pada hari yang sama sangkep nggeluh
pergi lagi ke
kuburan. Kali ini mereka membawa lau meciho ―air jernih‖ dalam mangkuk yang dicampur dengan daun-daunan dan nakan atau nasi layaknya dimakan oleh manusia yang masih hidup. Sesampainya di kuburan, mereka menuangkan atau meyiramkan air jernih yang telah dicampur dedaunan itu di atas kuburan tersebut dan meletakkan makanan yang sudah disediakan. Masyarakat Karo percaya bahwa mayat yang telah dibakar atau yang dikubur dalam kuburan itu menderita kehausan yang amat sangat. Kalau dibiarkan begitu, pasti begu-nya mengganggu manusia yang masih hidup. Sehubungan dengan itu, keluarganya perlu sekali ngambur lau meciho ―mencurahkan air jernih‖ dan memberikan makanan di atas kuburan agar terobatilah penderitaan yang dideritanya, dari kehausan dan kelaparan. Dengan demikian, begu orang yang meninggal merasa masih dihargai dan tak perlu mengganas mengganggu orang-orang yang masih hidup. Setelah empat atau tujuh hari mayat dikuburkan atau dibakar, maka diadakanlah upacara ngeleka tendi ―memisah roh‖ pada sore hari. Acara ini dipimpin oleh seorang guru (dukun) wanita. Adapun sarana yang biasa digunakan oleh sang guru, antara lain cekala lepas (sejenis zingiberacea), bakal pohon enau yang kecil beserta akarnya (dalam bahasa Karo bertuk), ujung beski (pimping), dan leka-leka (sejenis tanaman) berikut pula mbun-mbunen (sejenis sesajen). Semua ini disajikan di atas kuburan orang tersebut dengan harapan agar tendi orang-orang yang masih hidup berpisah dengan begu orang yang telah meninggal. Dengan kata lain, memutuskan hubungan tendi dengan begu supaya begu jangan mengganggu tendi. Jika, dengan jalan ngeleka tendi pun maksud tidak tercapai,
maka diadakanlah upacara yang lebih berat, yang dipimpin oleh seorang dukun pria. Upacara ini disebut ngarkari ―menguraikan simpul atau memutuskan hubungan (Tarigan, 1998: 75).
5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan Upacara ngampeken tulan-tulan sudah lama dikenal pada masyarakat Karo. Ngampeken yang berarti mengangkat dan tulan-tulan, yaitu tulang-tulang merupakan
upacara pemindahan tengkorak ke geriten (kuburan batu). Ada
kalanya pemindahan tulang-tulang tengkorak dilakukan tidak hanya satu tengkorak mayat, tetapi tergantung kesepakatan antara sukut dalam sangkep nggeluh pada masyarakat Karo. Gambar 5.7 menunjukkan bahwa tulan-tulan yang diangkat terdiri atas lima orang, tetapi dari kelima ini tidak boleh di luar dari sangkep nggeluh yang ada, artinya masing-masing masih ada pertalian darah yang dekat.
Gambar 5.7 Ngampeken tulan-tulan (mengangkat tulang dari tanah ke geriten) (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 20 Juli 2012)
Upacara ngampeken tulan-tulan dilakukan di jambur dan dibuat upacara yang sama dengan upacara kematian. Upacara ini dilakukan karena ketika meninggal, mereka tidak dibakar dan belum dilakukan upacara selayaknya yang dilakukan oleh orang Karo.
5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen Gendang lima sendalanen merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara gendang kematian. Seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa masyarakat Karo percaya bahwa di sekitarnya masih banyak makhluk halus atau tendi-tendi. Sehubungan dengan itu, pertama-tama yang harus dilakukan oleh penggual (pemusik), yaitu dengan gendang dibuang dimainkan gendang tanpa ada orang yang menari). Dalam hal ini repertoar yang dimainkan perang-perang empat kali, tanpa ada yang menari. Ini adalah gendang untuk rohroh leluhur. Akan tetapi, sekarang ini jika masih dimainkan, disebut gendang persikapen (untuk bersiap-siap). Hal tersebut dianggap kafir karena diperuntukkan kepada roh-roh yang tidak kelihatan akhirnya jarang sekali dimainkan oleh penggual (pemain musik). Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo awalnya dikenal dengan nama gendang telu sendalanen dan lima sada perarih. Menurut Amat Depari, sebelum tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang akan dilakukan terutama upacara gendang kematian di sebuah tempat atau desa, maka pemain musik yang datang ke tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni, penarune, singindungi, dan
singanaki, sedangakan pemalu gung dan pemalu penganak berasal dari tempat di mana upacara tersebut berlangsung. Selanjutnya dalam penelitian ini disebut gendang lima sendalanen meskipun diuraikan tentang gendang telu sendalanen lima sada perarih karena gendang lima sendalanen-lah yang lazim dikenal etnik Karo pada saat ini (wawancara, 18 Maret 2012). Ensambel musik pada etnik Karo atau sering disebut dengan gendang lima sendalanen terdiri atas lima jenis instrumen musik, yaitu sarune, gendang indung, gendang anak, penganak, dan gung (lihat gambar L.4.22). Tiap-tiap instrumen dimainkan oleh satu orang pemain musik. Kelima pemain tersebut adalah pemain sarune disebut penaruné, pemain gendang indung disebut penggual singindungi, pemain gendang anak disebut penggual singanaki, pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung (lihat, 4.2.2.1). Repertoar yang dimainkan dalam ensambel gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian adalah repertoar gendang simelungen rayat, (gendang dalam hal ini menunjukkan judul lagu). Wujud bunyi lagu tersebut dapat di lihat dari gambar (5.8) yang menunjukkan bahwa wujud bunyi setiap instrumen yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri dari sarune, gendang singindung, gendang singanaki, penganak dan gung. Penelaahan makna terhadap sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo di paparkan pada bab tujuh dalam penelitian ini.
Gambar 5.8 Wujud repertoar lagu Simelungen Rayat dalam ensambel gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian masyarakat Karo (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2014) Gendang lima sendalanen pada etnik Karo dikenal sebagai ensambel musik yang terdiri atas lima jumlah instrumen musik, yaitu sarune termasuk dalam klasifikasi (aerofon) yaitu bunyi dihasilkan dari angin, gendang indung (membranofon), gendang anak (membranofon), gung, dan penganak (ideofon), Namun, sering juga disebut dengan gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu dua, yaitu angka dua belas untuk hitung-hitungan perangkat yang digunakan seluruhnya, termasuk stik atau alat pemukul instrumen musik tersebut yang sangat erat berkaitan dengan upacara gendang kematian. Etnik Karo mengenal pemain musik dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring musik dalam upacara yang ada pada masyarakat Karo. Gambar 5.9 menunjukkan bagaiman wujud ensambel gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian.
Gambar 5.9 Ensambel gendang Lima Sendalanen (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
5.2.1 Wujud Sarune Sarune merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda. Pertama, dilah-dilah, yaitu anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian tongkeh (gambar 5.10).
Gambar 5.10 Instrumen Sarune (Dokumen. Pulumun P. Ginting 2011) Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah sarune tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang tumbuhnya di permukaan yang tinggi, bebas disinari matahari dan tiupan angin. Di samping daun kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut dipercaya masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional. Bahkan, ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya menggunakan air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan oleh orang Karo di luar dari kepentingan alat musiknya.
Kedua, tongkeh terbuat dari timah.
Bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya. Ketiga, ampang-ampang, yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir
pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Keempat, kerahong atau batang sarune terbuat dari kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilubangi agar menjadi konis juga. Pada batang sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah. Kelima, gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.
5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang (drum) yang terdapat di Sumatera, kedua gendang Karo memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya, yaitu pada gendang singanaki terdapat lagi (diikatkan) sebuah ‖gendang mini‖, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm), sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.
Dalam gambar 5.11 dapat dilihat bahwa kedua alat musik ini terbuat dari pohon tualang dan nangka. Lubang atau rongga bagian dalam dibentuk mengikuti konstruksi bagian luar alat-alat musik tersebut. Kulit yang direntangkan kedua sisi muka (head drum) alat musik tersebut berasal kulit napuh, sejenis kancil yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang dililitkan pada seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membran gendang. Tiap-tiap gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm. Kedua palu-palu gendang singanaki dan satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama (kecilnya), sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih besar dari pada yang lainnya.
Gambar 5.11 Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Bagian-bagian gendang singanaki dan gendang singindungi sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang adalah sebagai berikut. (1) Tutup gendang, yaitu bagian atas konis atas (konis pertama) yang mengelilingi babah gendang (membran gendang). Tutup gendang terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi oleh kulit napuh (sejenis kancil) (2) Babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah gendang dan inilah yang dipukul dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik gendang singanaki maupun gendang singindungi. (3) Badan gendang terbuat dari kayu tualang atau nangka. (4) Tali gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi yang berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang ini memiliki spesifikasi panjang 9 m, lebar 0,4 cm, dan tebal1.5 mm. Tarik gendang melintasi sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah simetris vertikal). Selain itu, juga menelusuri sekujur buluh dengan pola jelujur yang membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini sebagai perangkat pengatur mekanis. (5) Pantil gendang, yaitu bagian bawah konis bawah (konis kedua). Pantil gendang juga terbuat dari bambu, yang sebelumnya telah dilapisi dengan kulit napuh (sejenis kancil). Gerantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi gendang singanaki. Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya tidak berbeda dengan
gendang singanaki. Perbedaan terjadi pada ukurannya yaitu tutup gendang berdiameter 6,5 cm, pantil gendang berdiameter 6 cm, panjang badan garantung adalah 11,5 cm, dan panjang tarik gendang adalah 2 m. Alat pukul gendang (stik) terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama panjang, besar, dan bentuknya, sedangkan alat pukul gendang sngindungi keduanya berbeda besar dan bentuknya. Panjang stik 14 cm.
5.2.3 Wujud Penganak dan Gung Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras. Dalam gambar 5.12 gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm) dan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm). Pada waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, tetapi pada saat sekarang ini gung dan penganak terbuat dari besi plat. Palu-palu (stick) gung dan penganak terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet mentah.
Gambar 5.12 Instrumen Gung dan Penganak (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)
5.3 Wujud Menari/ Landek Tari sebagai
perwujudan ekspresi sosial, karena seseorang atau
sekelompok orang yang menari tidaklah hanya untuk kepentingan sendiri melainkan untuk dirasakan bersama orang lain, baik yang terlibat langsung (menari bersama) maupun yang menyaksikan dari luar. Dengan demikian, mereka yang biasa menari akan terlatih pula untuk berhubungan dengan orang lain, serta mengaitkan apa yang dirasakan di luar dirinya dengan yang ada di dalam dirinya. Aktivitas tari seringkali tergantung atau bahkan terikat oleh dinamika kehidupan suatu masyarakat (Dibia, 2005: 9). Pernyataan di atas sangat erat kaitannya dengan apa yang dilakukan orang Karo ketika menari pada upacara gendang kematian. Secara umum, tari pada etnik
Karo disebut ―landek‖. Dalam budaya Karo, penyajian landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya. Selain itu, setiap gerakan dalam landek juga berhubungan dengan simbol-simbol dan makna-makna tertentu. Pola-pola dasar landek pada masyarakat Karo terbentuk atas tiga unsur. Pertama, endek (gerakan menekuk lutut) merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan kembali lagi ke atas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan ke bawah secara vertikal. Gerakan endek disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo. Di beberapa landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari berada di posisi atas. Kedua, odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), merupakan gerakan penari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan dan dilakukan pada saat gung berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat. Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan music. Ketiga, ole (goyangan/ayunan badan), merupakan gerakan goyangan atau ayunan
badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak. Selanjutnya diuraikan wujud landek dalam upacara gendang kematian. Landek dalam upacara gendang kematian bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh yang berduka, bersamasama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah). Tiap-tiap kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan. Dalam hal ini tari tidak sebagai sebuah tari tontonan. Menurut Dibia, tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus (Dibia, 2005: 3). Bagi kelompok sukut/sembuyak, tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran kade-kade atau tamu-tamu kekerabatan. Sebaliknya, bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.
Gambar 5.13 Landek/menari dalam Upacara Gendang Kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Gambar 5.13 menunjukkan tari (landek) yang berkaitan dengan ritual nggalari utang (membayar utang) dalam upacara kematian. Di samping pihak sukut yang berhadap-hadapan dengan kalimbubu-nya ada seorang anak beru yang membawa kain yang di dalamnya diikatkan uang dengan jumlah yang sudah ditentukan untuk membayar utang yang meninggal terhadap kalimbubu. Uang yang diikat dalam kain tersebut dinamai orang Karo dengan sebutan batu uis. Selain yang telah dipaparkan di atas beberapa wujud tari pada masyarakat Karo yang berkaitan dengan upacara gendang kematian di antaranya adalah upacara perumah begu, upacara raleng tendi, dan upacara ngampeken tulan-tulan. Jenis tari yang ditarikan dalam ritual upacara ini adalah tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan sebagainya.
Upacara yang berkaitan dengan ritual ini dilakonkan oleh guru sibaso (dukun), berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Hal ini terjadi karena ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya guru tersebut memanggil jinujung-nya (junjungannya) untuk ‗masuk‘ ke dirinya. Dengan demikian, gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari landek Karo pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).
5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri Nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan pada upacara kematian yang berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasihat). Pada proses ini diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan dimainkan lagu simelungen rayat yang bernada sendu dan lemah gemulai serta diikuti dengan menari. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh setiap kekerabatan yang ada dalam sangkep nggeluh pada upacara gendang kematian. Misalnya, berwujud ratapan dengan melodi tertentu, yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga yang berduka. Gambar 5.14 menunjukkan sukut yang berduka nuri-nuri dan memberikan penghormatan kepada pihak kalimbubu, sembuyak senina, dan anak beru.
Gambar 5.14 Nuri-nuri atau memberikan kata penghiburan pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Dalam acara nuri-nuri semua kekerabatan akan mendapat acara untuk menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggal. Namun, yang unik dalam wujud nuri-nuri ini adalah ketika giliran seseorang untuk menyampaikan kata pengiburannya kepada keluarga yang ditinggal, justru orang yang meninggal itu selalu diajak berbicara, seoalah-olah mayat masih dapat mendengar apa yang diungkapkan. Dari nuri-nuri akan diketahui baik-buruknya, yang meninggal ketika masih hidup dan keluarga yang ditinggalkannya. Spiritualitas masyarakat Karo termanifestasi dari nuri-nuri sebagai salah satu unsur yang ada pada upacara gendang kematian.
5.5 Wujud Menangis/ Ngandung Ngandung berarti menangis tidak bisa terlepas dari upacara gendang kematian etnik Karo. Dalam kematian, keluarga, saudara-sudara, dan sahabat menangis atau meratapi kepergian yang meninggal. Tangisan ini tidak akan berhenti sepanjang mayat belum dikuburkan. Biasanya tangisan yang dilakukan sambil berkata-kata dengan kata-kata yang menunjukkan si mati telah berjasa dalam hidupnya. Kata-kata tangisan yang mengungkit keburukan-keburukan yang meninggal jarang sekali diucapkan meskipun terkadang terucap juga oleh keluarga yang menangis. Tangisan keluarga terutama anak kandung atau saudara yang meninggal memberikan gambaran pada orang yang hadir dalam sebuah upacara kematian. Tangisan yang kuat terutama dalam perjalanan menuju ke kawasan pekuburan amat digalakkan. Tangisan ini seolah-olah menggambarkan kesedihan keluarga dan sahabat terhadap kematian itu. Tangisan akan berkelanjutan hingga mayat dikebumikan. Tiap-tiap kerabat, baik sukut, kalimbubu, maupun anak beru mendapat giliran dan kesempatan menangis sambil mengungkapkan kata-kata dan tanpa sadar yang menangis menganngap yang sudah meninggal masih dalam keadaan hidup. Penyampaian kata-kata belasungkawa mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasihat meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum disampaikan melalui tangisan dan ratapan. Meratap dalam bahasa Karo disebut Ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan
hal-hal yang dijalani dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun percakapan yang terakhir dilakukan.
Gambar 5.15 Ngandung atau meratap pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013) Gambar 5.15 menunjukkan bahwa sang istri sedang menangis dan melampiaskan seluruh isi hatinya di depan mayat suaminya. Ngandung tidak akan berhenti sebelum upacara kematian selesai dan mayat diantarkan ke kuburan. Ketika emosi yang menangis karena kekecewaannya ditinggal suami atau istrinya akan dilampiaskan melalui serko (menangis dengan keras), Di situ juga penggual (pemain musik) menaikkan motif melodi pada ensambel sarune yang disebut jungut-jungut (motif melodi yang dimainkan) berdasarkan konteks yang terjadi pada upacara.
5.6 Wujud Menyanyi/ Rende Aktivitas menyanyi
etnik Karo disebut rende. Sedangkan ende-enden
dikenal dengan istilah nyanyian. Dalam musik Barat dekenal dengan vokal. Menurut Rumengan (2010), musik vokal memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan bahasa suatu masyarakat. Musik vokal tradisional banyak berupa doa-doa atau pujian pada semesta yang biasanya bergerak sesuai emosi, gaya, ritme, intonasi,
dan
sebagainya.
Lagu
etnik
merupakan
atau
terbentuk
dari
pendramatisasian atau pengekspresian yang sungguh-sungguh mantra atau doa (Rumengan, 2010: 36). Etnik Karo memiliki delapan jenis nyanyian sebagai berikut. Pertama, katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi gendang lima sendalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki garis melodi yang baku, tetapi lirik atau teks komposisi tersebut senantiasa berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katoneng-katoneng disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang disampaikan dengan cara bernyanyi, tetapi isi atau tema lagu tersebut berisi nasihat, penghormatan, pujian, doa atau harapan dan sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng tergantung pada konteks upacara etnik Karo. Repertoar ini biasanya dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng dapat digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Kedua, tangistangis nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan seseorang. Ketiga, io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Keempat, didong-doah nyanyian
seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat Karo disebut didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga ditemukan dalam upacara perkawinan etnik Karo, yaitu seorang ibu mengungkapkan perasaan dan nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga pengantin. Kelima, tabas adalah mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan tradisional. Keenam, mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya setiap waktu. Ketujuh, nendung, yaitu aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan sesuatu atau seseorang yang pergi tanpa memberitahukan ke mana kepergiannya. Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak selamanya dinyanyikan, tetapi hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantra. Selain itu, isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas oleh orang yang mendengarkannya. Kedelapan, pop merupakan nyanyian percintaan atau muda-mudi. Jenis vokal inilah yang berkembang sampai saat ini. Nyanyian yang digunakan dalam upacara gendang kematian adalah katoneng-katoneng yang diiringi gendang lima sendalanen. Yang termasuk dalam katoneng-katoneng adalah kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian yang berbentuk ratapan. Berbeda halnya dengan upacara pernikahan kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan) dan bila diperhatikan, akan sama dengan upacara kematian. Namun, di sini bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan. Pada upacara
kematian, kata-kata atau kalimat yang dilontarkan berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh mendiang dan nasihat pada keluarga mendiang (gambar 5.16). Juga sama halnya kata-kata yang di utarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu (pemberkatan/doa-doa)
. Gambar 5.16 Perkolong-kolong rende atau bernyanyi pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012) Perkolong-kolong merupakan salah satu unsur yang sangat penting pada upacara gendang kematian, terutama upacara kematian yang digolongkan cawir metua (bebas dari tanggung jawab). Acara demi acara yang ada dalam upacara tersebut dapat disampaikan oleh seorang perkolong-kolong dari semua sangkep nggeluh (kekerabatan) yang ada. Ia dapat mewakili petuah-petuah dari kalimbubu untuk anak beru, senina/sembuyak melalui nyanyian dengan rengget (khas) katoneng-katoneng pada setiap kekerabatan yang ada. Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun akan tampak wujudnya yang nyata dari seorang
perkolong-kolong. Cukup dengan waktu sekitar dua atau tiga menit saja seorang anak beru menceritakan siapa yang akan mempunyai acara berikutnya, perkolongkolong akan menyampaikan hal tersebut dengan nyanyian yang dapat menghabiskan waktu ―konteks‖ lebih dari satu jam (lihat gambar L.4.19).
5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod Menurut Jasa Tarigan, masuknya instrumen keyboard dalam tradisi Karo pada awalnya sekitar 1991-an. Awalnya instrumen musik keyboard digunakan oleh Jasa Tarigan pada saat-saat menjelang sebuah pertunjukan, musik tradisi Karo ataupun setelah selesai mengadakan seni pertunjukan misalnya upacara gendang guro-guro aron. Namun, lambat laun karena di dalam kegiatannnya sebagai pemusik, alat musik ini kemudian digemari oleh masyarakat pendukungnya. Keadaan semacam ini lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan proses berlangsungnya tidak memakan waktu yang lama sehingga masyarakat Karo yang sering menggunakan ensambel gendang lima sendalanen meminta keyboard untuk melayani kebutuhan mereka, terutama pada gendang guro-guro aron (pesta mudamudi). Sekitar 1992 instrumen musik keyboard mulai masuk dalam pesta perkawinan. Sekitara tahun 1994 instrumen musik keyboard yang kemudian disebut masyarakat dengan istilan gendang kibod juga telah dimainkan pada upacara kematian (lihat gambar L.4.27). Hal ini dilakukan untuk mendapat kemudahan karena satu orang pemain dapat membuat berbagai ritmis gendang yang diperlukan untuk menari.
Perlu disampaikan bahwa di beberapa pihak masih ada diantara orang Karo yang belum menerima kehadiran keyboard. Hal ini terjadi karena ada yang menyatakan gendang laradat (tidak beradat). Memang pada dasarnya penyajian instrumen keyboard pada setiap kegiatan, baik dalam pesta maupun upacaraupacara terlepas dari adat istiadat. Artinya penyajian instrumen musik keyboard semata-mata untuk memberikan hiburan pada mereka yang membutuhkannya. Pemakaian keyboard dalam tradisi musik etnik Karo pada mulanya dalam konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada gendang patam-patam (repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron muda-mudi). Pemakaian keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat memberikan aksen tertentu pada komposisi tersebut. Hal ini dilakukan karena keadaan para penari dan penonton sudah mulai lelah. Akibat mendengar bunyi keyboard, penonton mendapat semangat baru sehingga pertunjukan guro-guro aron berlangsung hingga pagi hari.
Gambar 5.17 Organ tunggal atau gendang kibod pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Sejak itu Jasa Tarigan selalu mengadakan eksperimen untuk mentransfer bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru berbagai pola melodi sarune dan pola ritmis gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung. Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik yang diprogram dalam keyboard sehingga dapat menggantikan posisi gendang lima sendalanen menjadi keyboard tunggal dalam ensambel musik Karo. Gambar 5.17 menunjukkan bahwa gendang keyboard banyak berperan dalam mengiringi tari dan nyanyian pada konteks seni pertunjukan muda-mudi Karo dalam upacara gendang guro-guro aron. Akan tetapi, kemudian digunakan dalam upacara perkawinan. Bahkan, sekarang, keyboard telah digunakan dalam mengiringi upacara gendang kematian tanpa disertai salah satu instrumen gendang lima sendalanen.
5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan waktu, baik perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh materi maupun inovasiinovasi yang dilakukan oleh suatu etnik. Awalnya ensambel musik tiup digunakan dalam ibadah-ibadah minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya penggunaan ensambel musik tiup ini lebih banyak ditemui pada upacara gendang kematian, bahkan sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain. Belakangan tampak terjadi perubahan fungsi dari ensambel musik tiup yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja menjadi salah satu bagian dari acara adat, yaitu sebagai pengiring lagu pada upacara kematian (gambar 5.18). Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan ini terjadi karena selain melaksanakan misi para misionaris juga turut membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu hasil kebudayaan mereka itu adalah musik tiup (Sinuraya, 2000: 2). Penggunaan ensambel musik tiup terdapat pada beberapa tempat yaitu Kabanjahe, Berastagi, Tiga Ndeket dan Surbakti. Tiap-tiap instrument pada ensambel musik tiup ini diberikan secara cuma-cuma oleh misionalris Jerman untuk digunakan di ibadat gereja. Ensambel musik tiup tersebut sebagai pengiring ibadah Minggu di Gereja Batak Karo Protestan, khususnya di Desa Surbakti
(tempat salah satu grup ensambel musik tiup di Kabupaten Karo). Sumbangan ensambel musik tiup yang diterima dari para misionaris Jerman tersebut yaitu, (1) terompet, (2) horn, (3) tuba, (4) saxophone sopran, dan (5) saxophone alto.
Gambar 5.18 Ensambel tiup atau trompet pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain saxsopran dalam ensambel musik tiup
pada tahun 1967, misionaris berkebangsaan Jerman menyerahkan
beberapa alat musik brash kepada masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa yang lain, seperti Kabanjahe Kota, Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967 hingga 1980 ensambel musik tiup hanya dimainkan pada ibadah gereja dan pada upacara pasu-pasu atau pemberkatan pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun 1995, musik tiup Toba datang ke tanah Karo secara khusus untuk mengiringi upacara kematian dengan konsep musiknya berasal dari perbaduan alat instrumen tradisi, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar bass, dan semua alat musik tiup seperti terompet, horn, tuba, saxsopran, dan saxalto. Grup musik Toba ini mulai sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi upacara
kematian.
Berdasarkan kemajuan grup ensambel musik tiup Toba ini, Sembiring selaku pimpinan grup, terinspirasi untuk menambah alat instrumennya sehingga pada tahun 1997 dilakukan penambahan alat musik berupa gitar bass yang digunakan untuk menggantikan fungsi tuba. Hal ini dilakukan karena memiliki bodi yang besar dan sulit dibawa pada saat grup ensambel music tiup ini dipanggil untuk bermain dengan jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, format instrumen grup pun mengalami perubahan, yaitu (1) terompet, (2) horn, (3) tuba digantikan gitar bass elektrik, (4) saxophone sopran, (5) saxophone alto, dan (6) drum (lihat gambar, L.4.29) (Wawancara, 10 Januari 2012).
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI Ada beberapa faktor yang memengaruhi suatu produk kebudayaan termasuk upacara adat yang mengalami perubahan. Bagi etnik Karo produk kebudayaan berupa upacara gendang kematian merupakan warisan dan pusaka leluhur yang dilanjutkan secara turun-temurun. Upacara itu dikenal sebagai tradisi lisan yang dibanggakan dan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang hakiki dari cerminan spiritualitas etnik Karo. Eksistensi upacara gendang kematian dalam wujudnya yang sekarang, tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang memengaruhinya, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Perubahan/perkembangan seni terkadang tampak tercabut dari akarnya, seakan berkembang dan berubah bersama-sama dengan mengalirnya seni bangsa lain yang mampu merambah dan membalut seni milik bangsa sendiri. Dalam zaman yang cepat berubah ini—karena komunikasi global, bahkan banyak orang mulai berbicara tentang budaya global—maka terjadi tarik-menarik antara perubahan yang harus ada dan perkembangan atau kontinuitas yang dalam banyak hal masih ingin kita lestarikan (Sukerta, 2005: 50). Menurut Alvin Boskoff, perubahan sosial budaya dalam masyarakat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud
adalah faktor yang datang dari dalam, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar (Boskoff, 1964: 140). Jika diperhatikan kehidupan etnik Karo, khususnya pada masa sekarang ini, ternyata mereka sudah kena pengaruh alam modernisasi dan teknologi canggih, yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dalam tindaktanduk orang Karo, khususnya sudah mengalami perubahan/pergeseran. Sehubungan dengan hal itu, tampak jelas dalam segala kegiatan juga dalam pergaulan seseorang di tengah-tengah masyarakat sebagai orang Karo. Menurut pengamatan peneliti, orang-orang sering tidak tahu lagi mana yang baik dan yang buruk, mana yang pantas ataupun tidak pantas berdasarkan tata krama adat dan budaya Karo. Demikian juga kalau diperhatikan pada masa sekarang ini, ternyata istilahistilah ataupun kata-kata yang biasa digunakan dalam adat budaya Karo, dapat dikatakan bahwa generasi muda Karo sekarang tidak dapat lagi memahaminya, apalagi melaksanakannya, baik adat berupa upacara kematian maupun upacara perkawinan. Oleh karena itu, generasi tua sering merasa sedih melihat tindaktanduk generasi muda yang kurang berkepedulian. Di pihak lain, generasi muda sekarang beranggapan pula bahwa generasi tua itu kuno, ketinggalan zaman pada Era Globalisasi ini. Berdasarkan situasi dan kondisi yang demikian maka tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman demi kelestarian adat budaya Karo yang
belakangan ini telah mengalami degradasi. Bahkan, mungkin saja pada suatu saat nanti bisa hilang atau lenyap dari budaya nasional jika tidak ada usaha untuk melestarikannya. Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sewajarnya orang Karo merenungkan kembali adat budaya Karo agar dalam mengikuti zaman modernisasi dan perkembangan teknologi canggih pada masa kini, masyarakat Karo dapat menunjukkan identitas sebagai orang Karo. Selanjutnya diuraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan upacara gendang kematian, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak bisa terlepas dari peran aktif yang dimainkan oleh berbagai elemen dalam keberpihakannya terhadap eksistensi, perkembangan, dan pelestarian kebudayaan, khususnya upacara gendang kematian. Apa yang terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dianalisis dengan teori komodifikasi di samping teori-teori lainnya yang secara eklektik memberikan topangan eksplanasi menuju kepada pemahaman yang lebih baik.
6.1 Faktor Internal Faktor internal yang dimaksud adalah perubahan kebudayaan yang datang dari masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai macam dorongan, antara lain tantangan dari perubahan yang sifatnya
alami yang sedemikian bermaknanya perubahan tersebut sehingga manusia didorong ke arah suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, artinya mengadakan tindakan-tindakan perubahan. Penyebab yang lain adalah kejenuhan. Ada tiga faktor perubahan internal, yaitu dorongan adanya kesadaran orang-orang akan kekurangan dalam kebudayaannya, kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan, dan perangsang kreativitas-kreativitas penciptaan dalam masyarakat (Sedyawati, 1996: 138). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa faktor internal terhadap perubahan kebudayaan tampak dalam kehidupan sehari-hari orang Karo. Etnik Karo sebagai pendukung kebudayaan mengalami perubahan tanpa menyadari datangnya perubahan itu sendiri. Hal tersebut termanifestasikan dalam upacara gendang kematian etnik Karo pada akhir-akhir ini, terutama dalam pergeseran gendang lima sendalanen digantikan oleh sebuah instrumen musik Barat, yaitu keyboard dan unsur-unsur lain yang ada dalam upacara tersebut. Menurut Sukerta (2005), faktor perubahan internal pada masyarakat, yaitu perubahan alami, perubahan yang direncanakan, dan perubahan yang tergantung pada kehendak individu. Perubahan alami adalah perubahan-perubahan yang terjadi tidak disengaja atau terjadi dengan sendirinya. Perubahan alami dapat berproses dengan cepat atau lambat tergantung pada tingkat keseimbangan kehidupan masyarakat tanpa ada orang atau pihak lain yang sengaja memengaruhinya. Perubahan yang terjadi secara alami dapat membawa akibat
negatif dan positif. Perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang didasarkan atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat perubahan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Cepat lambatnya perubahan ini dipengaruhi oleh besarnya kemampuan dan tanggung jawab para pembarunya dan kesesuaian antara program perubahan dan kepentingan masyarakat. Perubahan yang tergantung pada kehendak individu merupakan perubahan yang erat hubungannya dengan selera pribadi. Bentuk perubahan ini relatif sedikit pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu hanya terbatas pada perbedaan selera tiap-tiap
individu. Artinya, tidak berpengaruh
terhadap keseluruhan pola sikap dan perilaku masyarakat dan tidak mengakibatkan perubahan pada keseluruhan tatanan masyarakat (Sukerta, 2005: 50).
6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian Etnik Karo adalah sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat, budaya, dan kesenian mereka. Masyarakat merupakan suatu perwujudan kehidupan bersama. Sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat merupakan wadah untuk berinteraksi dan menghasilkan suatu kebudayaan. Masyarakat juga merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan berkerja bersama cukup lama sehingga dapat mengatur diri dan mengganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yg dirumuskan dengan jelas.
Faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya. Seiring
berjalannya
waktu dengan
perkembangan
zaman
dan
perkembangan teknologi, maka kebudayaan dalam suatu masyarakat pun mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman tersebut. Itulah sebabnya kehidupan dalam suatu masyarakat selalu berubah-ubah, baik dari segi budaya, adat istiadat, moral, tingkah laku, pengetahuan, maupun pola pikir. Perubahan tersebut biasanya disebut dengan perubahan sosial. Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju, tetapi juga ke samping kiri dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri. Faktor masyarakat pendukung yang dimaksud di sini adalah masyarakat Karo sebagai pemilik dan pendukung upacara gendang kematian. Masyarakat Karo yang dimaksud tidak dilihat secara sempit dan terbatas pada genealogis (garis keturunan) dan teritorial grafis (wilayah penelitian). Akan tetapi, dalam pengertian luas, yakni orang-orang Karo yang terhimpun dalam satu komunitas organisasi sosial kemasyarakatan kekaroan di mana pun mereka berada. Dalam konteks kekinian (kontemporer), yang dimaksud dengan masyarakat (manusia) Karo adalah mereka yang tidak saja terikat sedarah secara langsung, tetapi juga mereka yang hidup di luar tanah Karo (geografis) dan memiliki
komitmen ―membela‖ membangun masyarakat Karo. Tidak sulit menemukan pemilik dan pendukung upacara gendang kematian, baik di berbagai wilayah di Indonesia maupun di luar negeri. Pada umumnya secara spesifik orang Karo di perantauan membentuk organisasi yang menghimpun mereka baik secara sosial maupun kultural yang dinamakan ―persadan merga silima‖ persatuan lima marga, yaitu Ginting, Sembiring, Karo-karo, Tarigan, dan Perangin-angin. Istilah merga silima terdiri atas lima induk merga (klan) yang terdapat pada etnik Karo. Lebih jelasnya di setiap kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jayapura dan sebagainya, bahkan luar negeri, seperti Belanda, Australia, Amerika dan sebagainya, ada komunitas merga silima. Di samping itu secara sosiologis mereka membentuk suatu organisasi ―Persadan Merga Silima‖ (persatuan dari lima marga), yang menghimpun orang-orang seasal, sekuturunan (satu nenek moyang) dari nenek moyang masyarakat Karo. Organisasi ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, terutama meneruskan pesan-pesan moral nenek moyang, yang disebut ―sangkep nggeluh‖ (Lihat, 4.1.4). Suatu ritual bagaimanapun tingginya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya jika tidak memiliki masyarakat pendukungnya, tidak akan mencapai tujuan. Hal itu terjadi karena suatu ritual ada untuk dihayati oleh masyarakat pemiliknya. Upacara gendang kematian harus dipandang secara proporsional. Artinya, masyarakat yang tetap berada dan tinggal dalam lingkup geografis di tanah Karo dan komunitas orang Karo lainnya yang hidup di perantauan, ada secara langsung masih memiliki keterkaitan kultural. Sebaliknya, yang lain ada
telah terkontaminasi dengan berbagai pengaruh, perubahan zaman dan globalisasi, mengaku nenek moyangnya dari Karo, tetapi karena lahir, bertumbuh dan menjadi dewasa bukan di tanah Karo. Terkait dengan masyarakat pendukung gendang kematian, Njenap Ginting sebagai salah satu singerunggui (protokol) dalam upacara gendang kematian mengungkapkan sebagai berikut. Masyarakat Karo sekarang sibuk, segala sesuatu selalu diukur dengan uang. Perhitungan waktu juga banyak mempengaruhi upacara gendang kematian. Contoh, kalau tempo dulu upacara naruhken nakan atau ngamburi lau simalem-malem (mengantar nasi atau menabur kuburan dengan air bersih), dilakukan setelah empat hari dimakamkan, sekarang tidak terikat ketentuan hari, ada yang melakukan keesokan harinya. Bahkan, untuk menabur bunga sekarang langsung ditaburkan pada hari penguburannya. Perbedaan itu sedemikian nyata dan terasa karena sekitar 20 tahunan yang silam acara tersebut masih wajar dilaksanakan. Tetapi sekarang, pada waktu upacara penguburan keluarga, langsung saat itu juga penaburan bunga dilakukan keluarga atas prakrasa jemaat gereja. (Wawancara, 24 Desember 2012). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan upacara gendang kematian telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh unsur
globalisasi. Dalam penghayatan suatu ritual, masyarakat pendukung
memiliki kedaulatannya sendiri dalam mengonstitusikan fungsi suatu ritual. Apakah upacara gendang kematian ini masih merupakan ritual penting bagi masyarakat Karo ataukah sekarang hanya tinggal memenuhi fungsi sebagai dokumentasi ritual di mana orang bisa mengadakan penelitian sejarah kebudayaan suatu komunitas, bahkan hanya sekadar pemicu gobalisasi sekarang ini.
Era globalisasi telah ‗meninabobokkan‘ (menidurkan) etnik Karo terhadap eksistensi upacara gendang kematian. Roh globalisasi telah membungkus sedemikian rupa sehingga tanpa terasa kesinambungan upacara gendang kematian goyah, mengalami pergeseran diubah oleh zaman dan waktu, serta pengecilan ruang oleh budaya global. Perlu kesiapan mentalitas tinggi dalam ritual gendang kematian pada era globalisasi sehingga upacara gendang kematian bisa survive bersama unsur-unsurnya untuk menuju masa depan budaya Karo. Dalil masyarakat pendukung dalam perannya untuk pelestarian tidak bisa dimungkiri dipengaruhi kompetisi dan kontestasi akibat globalisasi. Hal itu secara otomatis mesti memenuhi syarat-syarat global yang cenderung kepada budaya instan dan populer dalam mengapresiasi bentuk nyata setiap upacara. Demikian juga upacara gendang kematian ataupun upacara lainnya, masyarakat Karo berusaha memenuhi tuntutan globalisasi. Masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seperti yang diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini. ―Gundari ibas gendang kematen kalak Karo, nggo bagi ikarusken saja. Cuba tatapndu kai pe nggo serba cepat, acara pe lanai bo bagi sigelel, kerina ibahan uga gelah meter, sipenting dung sada wari e. Kai pe adi banci itukur salu sen nggo nge itukur kerina, contohna peti mate, ras bunga-bungana kerina. Nen dehkam anak beru pe nggo pemokenna nuci piring, terlebih-lebih akapndu gendang lima sedalanen pe nggo gantikenna jadi kibod. Kerinana cepat kal sambar ibas gendang kematen enda‖ Terjemahan: ―Dalam upacara gendang kematian pada etnik Karo saat ini, segalanya serba dipermudah supaya acara cepat. Rangkaian acara dalam upacara juga berubah dan jika bisa diselesaikan dalam satu hari. Segala sesuatu jika bisa
didapatkan dengan uang akan dibeli. Bagaimana dulu anak beru membuat peti mati, sekarang tinggal dipesan dan dibeli, bagaimana dulu anak beru sibuk dengan pekerjaannya sekarang sudah ada catering, dan terutama gendang lima sendalanen tinggal panggil seorang pemain keyboard elektronik‖ (Wawancara 11 April 2013). Pernyataan di atas dibenarkan berkaitan dengan pengaruh globalisasi yang menimpa masyarakat saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Barker bahwa globalisasi, budaya konsumen, dan pascamodernisme adalah fenomena yang terjalin erat karena tiga hal berikut, Pertama, globalisasi telah menggeser dunia Barat dan kategori filosofisnya dari pusat jagat raya; memang, beberapa orang telah melihat runtuhnya klasifikasi Barat sebagai tanda-tanda pascamodrrnisme. Kedua, meningkatnya penampilan status budaya pop, yang dipercepat oleh media elektronik, berarti bahwa pemisahan antarbudaya rendah dan budaya tinggi tidak lagi relevan. Ketiga, kaburnya batas-batas seni, kebudayaan, dan perdagangan, yang menyatu dengan semakin pentingnya ‘figural‘ pascamodern telah menghasilkan estetisasi secara umum kehidupan sehari-hari (Barker, 2004: 300). Selanjutnya, masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian di satu pihak merayakan perubahan yang dulunya dilakukan beberapa hari menjadi singkat dengan pemangkasan upacara-upacara yang seharusnya dilakukan, yang awalnya diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan berubah mendadi kibod. Namun di sisi lain mereka mengkritisi terkikisnya nilainilai yang ada dalam upacara tersebut. Bahkan, ada beberapa orang mengatakan jika saya meninggal, jangan sempat gendang kibod yang digunakan dalam upacara kematian saya.
Dari pernyataan di atas terlihat bukti ambivalen antara modern dan tradisional. Satu sisi mereka merayakan, akan tetapi di sisi lain mereka mengritisi. Dalam hal ini Kebun Tarigan mengatakan bahwa orang Karo lupa akan leluhurnya. Mereka menghakimi yang dimilikinya dan menerima yang di luar budayanya menjadi dirinya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami nilai-nilai yang ada pada budayanya sendiri. ―Seharusnya peran masyarakat pendukung upacara gendang kematian pada masyarakat Karo mempelajari apa sebenarnya yang dilakukan dalam upacara tersebut. Kalau dulu arwah yang meninggal diantar oleh kosmologi masyarakat Karo hingga ke liang kubur, lihatlah sekarang apa kemudian yang terjadi, arwah keluarga kita yang meninggal hanya diantar oleh sebuah mesin yang telah direkayasa bentuk bunyi yang menyerupai gendang lima sendalanen. Gendang lima sendalanen menunjukkan bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam, berinteraksi dengan sesama dan bagaiman ia menunjukkan sikap terhadap penciptanya‖ (Wawancara 20 Desember 2012). Apa yang dikemukakan di atas, idealnya memang demikian. Masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seharusnya memiliki kesadaran untuk tetap manjadi bagian aktif dalam menumbuhkembangkan kebudayaan Karo yang diwujudkan dalam upacara gendang kematian. Dengan demikian,
alih
teknologi
kesenian
kepada
generasi
penerus
dapat
dipertanggungjawabkan dalam mengisi pembangunan mental dan sosial budaya. Berdasarkan uraian
di atas, diketahui bahwa masyarakat pendukung
upacara gendang kematian merupakan bagian dari faktor intern yang memengaruhi perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Hal ini terjadi, karena masyarakat Karo adalah masyarakat yang ambivalen terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam upacara gendang kematian.
6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan Faktor perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi
tidak
terlepas
dari
faktor
intern,
yaitu
kreativitas
seniman/budayawan yang ada di masyarakat Karo. Menurut Sumardjo, kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap, atau keadaan mental yang sangat khusus sifatnya dan sulit sekali merumuskannya. Sampai sekarang belum didapat rumusan yang pasti. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat individual yang merupakan manifestasi kebebasan manusia sebagai individu. Manusia kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Kreativitas menerjunkan seseorang ke dalam keadaan ambang, yaitu keadaan antara ada dan belum ada. Dengan demikian, seorang yang kreatif selalu dalam kondisi ‘kacau‘, ricuh, kritis, gawat, mencari-cari, mencoba-coba untuk menemukan sesuatu yang belum pernah ada dari tatanan buday yang pernah dipelajarinya. Inilah sebabnya dalam kreativitas diperlukan keberanian kreatif. Bukan hanya dalam keberanian menghadapi dirinya yang gawat, tetapi juga keberanian dalam menghadapi kebudayaan, lingkungan, masyarakat, dunia, dan sejarahnya (Sumardjo: 2000: 80). Perubahan upacara gendang kematian sebagai suatu produk budaya etnik Karo dalam proses kehadirannya tidak bisa terlepas dari berbagai kreativitas
manusia Karo yang menjadi satu, baik dalam memenuhi rasa suka maupun duka. Kreativitas dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran kreatif seniman/budayawan Karo sepanjang zaman hingga kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa yang terus-menerus melalui indra mereka, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk upacara. Perubahan gendang lima sedalanen menjadi gendang keyboard tidak terlepas dari kreativitas seniman Karo. Hal ini seperti yang diungkapkan Jasa Tarigan berikut ini. ‖Saya mencoba-coba memasukkan unsur musik Barat ke dalam gendang lima sendalanen, yaitu keyboard dalam sebuah upacara gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) pada tahun 1991, tempatnya di Simpang Selayang Medan. Dari keyboard hanya diambil bunyi perkusi yang sudah tersedia di bank bunyi dalam keyboard tersebut. Munurut pengkuan beliau bahwa pada upacara tersebut, semua pengunjung merasa antusias dengan tambahan bunyi-bunyi itu. Hal ini tampak dari permintaan pengunjung untuk menari yang sebelumnya belum pernah terjadi‖ (Wawancara, 11 Maret 2012). Dalam berkreativitas, kemampuan seniman merupakan faktor penentu dalam sebuah seni pertunjukan. Seniman memiliki ide, kreasi, dan kemampuan teknis dalam mengekspresikan pengalaman dan gejolak jiwanya. Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Seniman dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalamannya yang unik dan menarik untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang original dan
mampu menjadikan pengalaman baru yang unik bagi orang lain (Kaunang, 2010: 239). Selanjutnya menurut Alfian (1996), selama seseorang, kelompok masyarakat, atau suatu bangsa masih mempunyai kemampuan untuk bersikap kritis terhadap dirinya sendiri, selama itu pula masih ada harapan baginya untuk memperbaiki, memperbarui, atau membangun dirinya. Secara jujur ia berupaya memahami dirinya sesungguh mungkin, menghargai apa-apa yang sudah dicapainya, serta menyadari segi-segi kelemahan dan kekurangan yang masih dimilikinya. Dari pemahaman yang mendalam seperti itu ia akan terundang untuk memperbaiki kelemahannya dan menambal kekurangannya. Ada kalanya ia berhasil, tetapi ada kalanya ia gagal. Walau bagaimanapun, melalui rangkaian upaya seperti itu terjadilah proses pembangunan dirinya. Proses pembangunan diri yang begitulah yang disebut sebagai kreativitaas (Alfian, 1986: 143). Kreativitas adalah persoalan kebebasan pribadi seniman dalam berkarya. Kebebasan berkreativitas seniman harus dapat menyatu dengan kehidupan seharihari dan selalu berada di tengah-tengah kesadaran komunal atau kehidupan bersama. Bekal atau sumber inspirasi kreativitas seniman, sumber utamanya adalah kebudayaan masyarakat di mana seni itu dimiliki. Tanggung jawab kolektif lebih dikedepankan daripada pengakuan atas otoritas kreatif seniman sendiri. Disadari bahwa setiap seniman memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam menangkap berbagai peristiwa yang terjadi dalam proses sosial. Peristiwa-
peristiwa ini memengaruhi pikiran dan jiwa berkesenian seniman, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penciptaan karya. Faktor pendorong lainnya dalam kreativitas seniman juga ditentukan sejauh mana respons masyarakat pada umumnya terhadap produk kesenian yang diciptakan. Tugas seniman adalah mensiosialisasikan hasil kreativitasnya yang memberikan ruang dan waktu kepada masyarakat pemilik budaya dan masyarakat umumnya untuk memberikan respons (Kaunang, 2010: 240). Terkait dengan pernyataan di atas, seniman yang dimaksud adalah seniman dan budayawan dalam upacara gendang kematian yang secara langsung ataupun tidak langsung berperan ikut mempercepat laju perubahan spiritualitas upacara gendang kematian masyarakat Karo pada era globalisasi. Secara kuantitas terhitung sedikit seniman upacara gendang kematian yang benar-benar mengerti dan memahami apa dan bagaimana gendang kematian. Di pundak seniman inilah perubahan upacara gendang kematian dibelokkan atau diluruskan pada jalan tradisi nilai-nilai dan roh budaya Karo yang sebenarnya. Menurut Amat Karo Sekali (68), salah seorang penggual (pemain gendang) di lokasi penelitian menyatakan sebagai berikut. ‖Sebelum tahun 1980 ketika upacara gendang kematian dilakukan maka pihak keluarga yang meninggal akan mengundang sierjabaten (pemain ansambel musik Karo). Ensambel gendang lima sendalanen adalah ensambel musik yang terdapat pada masyarakat Karo yang terdiri dari lima instrumen dan dimainkan oleh lima orang pemain musik. Ensambel ini salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara gendang kematian masyarakat Karo. Sierjabaten akan datang sebanyak tiga orang sebagai
pemain sarune, pemain gendang singindungi, dan pemain gendang singanaki. Dua orang pemain, yaitu pemain gung dan pemain penganak di dapatkan dari tempat upacara berlangsung. Setiap desa yang terdapat di daerah tinggi Karo mempunyai pemain yang dua tersebut. Itulah yang menyebabkan sebelum gendang lima sendalanen sebelumya dikenal dengan gendang telu sendalanen dan lima sada perarih‖ (Wawancara, 20 April 2012). Sejalan dengan pendapat di atas bahwa sebelum dnamai gendang lima sendalanen masyarakat Karo mengenal ensambel ini dengan nama gendang telu sendalanen lima sadaperarih. Jika dikaitkan dengan sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo, telu (yang berarti tiga), lima (yang berarti lima) mengandung arti bahwa masyarakat Karo tidak bisa terlepas dari merga silima dan rakut sitelu. Kreativitas seniman untuk mengubah gendang lima sendalanen yang semestinya dimaikan oleh lima orang pemain, terjadi saat pemilu pada tahun 1982. Pada masa itu semua pemain musik yang ada di masyarakat Karo tidak dapat mencukupi pelayanan kampanye pemilu yang dilakukan oleh berbagai partai. Pada saat itulah menurut Amat Karosekali, kekurangan pemain gung dan penganak. Kemudian Pokat Sembiring memaksakan diri memainkan gung dan penganak sekaligus. Di situlah awal perubahan pemain ensambel ini dari lima orang menjadi empat orang. Hal ini sama sekali tidak menjadi sebuah persoalan bagi masyarakat pendukung gendang lima sendalanen (Wawancara, 20 April 2012). Tuntutan utama dari kreativitas ialah untuk bisa menjaga bagaimana dinamika pembangunan manusia atau masyarakat tetap berada dalam suasana
seimbang/stabil sehingga tidak sampai terlepas menjadi sesuatu yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Semua itu mungkin dapat disimpulkan melalui konsep ‖dinamika dalam kestabilan‖ (Alfian, 1986: 148). Apabila dicermati ungkapan di atas, maka seperti pernyataan Gantar Sembiring sebagai berikut. ―Masyarakat Karo sekarang ini terbuka terhadap berbagai perubahan dalam kegiatan pelaksanaan upacara gendang kamatian. Masyarakat Karo tidak lagi banyak mempermasalahkan bagaimana seharusnya gendang kematian dibawakan. Akan tetapi masyarakat memiliki ukuran budaya sendiri meskipun mengalami banyak perubahan bentuk terutama pergantian dari lima pemain gendang lima sendalanen menjadi empat. Dalam pelaksanaan upacara pun bagi masyarakat Karo tidak lagi menjadi permasalahan dengan aturan kesakralannya yang penting cerminan identitas kekaroan tetap eksis‖ (wawancara, 10 Januari 2012). Atas dasar penjelasan di atas, masyarakat Karo masih dapat menerima perubahan yang diakibatkan kekuarangan pemain dalam ensambel ini. Hal inilah yang mungkin disebut Alfian sebagai dinamika dalam kestabilan. Atas perubahan ini sama sekali tidak ada permasalahan bagi masyarakat pendukungnya karena bunyi yang dihasilkan masih dari materi yang sama meskipun pemainnya berkurang. Seperti sudah dijelaskan pada awal subbab ini bahwa yang menjadi fokus penelitian adalah perubahan gendang lima sendalanen yang terdiri atas lima instrumen musik berubah menjadi keyboard tunggal tidak terlepas dari kreativitas seniman Karo, yaitu Jasa Tarigan, seorang seniman musik tradisi Karo. Hal itu
bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar luar biasa pada praktek musik tradisi Karo di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982. Pada tahun-tahun studinya di etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain dan menyukai instrumen musik keyboard. Dari sinilah kemudian ide Jasa Tarigan untuk memulai karya gendang kibod yang kemudian menjadi sebuah fenomena dalam perkembangan tradisi musik Karo. Dia juga yang pertama sekali memperkenalkan gendang kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara adat etnik Karo. Gendang kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim diucapkan oleh masyarakat Karo terhadap jenis irama musik yang diprogram secara khusus di dalam keyboard. Kata gendang mengacu kepada pengertian musik Karo dan kata kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata keyboard itu sendiri. Dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan
berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya. Dari sisi lain kemudahan dalam menyajikan dan murahnya biaya pertunjukan mengakibatkan gendang kibod semakin eksis pada masyarakat Karo. Selain itu, banyaknya lagu pop termasuk dangdut yang mudah dimainkan dengan gendang kibod juga semakin memojokkan keberadaan gendang lima sendalanen. Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Misalnya, dengan munculnya gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya, tetapi juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya jasa mereka semakin jarang dipertunjukkan. Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya gendang kibod menjadi orang yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun, di sisi lain pemusik yang menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif telah memopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo sendiri (Wawancara, 11 Maret 2012). Terkait dengan fenomena di atas Kayam mengungkapkan bahwa kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan, demikian pula
kesenian
mencipta,
memberikan
peluang
untuk
bergerak,
memelihara,
menularkan, mengembangkan, dan kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi (Kayam, 1981:38). Berbeda dengan pendapat Alfian, bahwa kreativitas yang tinggi di dalam suatu bidang kehidupan manusia atau masyarakat rupanya bisa berakibat buruk pada sebagian bidang lainnya. Kini kita berada dalam suasana bahwa kreativitas manusia dalam ilmu dan teknologi yang hebat sekarang ini bisa membahayakan seluruh kehidupan manusia di muka bumi ini (Alfian, 1986: 151). Menurunnya kreativitas seniman tradisi di masyarakat Karo sangat erat berkaitan dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod. Hal itu tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.
6.2 Faktor Eksternal Yang dimaksud dengan faktor eksternal dalam penelitian ini adalah faktor yang cenderung mengarah pada penguasaan, standardisasi, dan keseragaman budaya yang datang dari luar, yang memengaruhi dan menyebabkan terjadinya perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo. Adapun faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor kristenisasi, pertemuan budaya global dan lokal. Masuknya agama kristen di Karo dengan membawa budaya Kristen merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo. Hood menyebut dengan istilah transformasi budaya. Transformasi budaya adalah proses perubahan budaya. Transformasi budaya dewasa ini dipercepat dengan adanya proses globalisasi. Globalisasi adalah suatu gejala perkembangan kebudayaan internasional yang memasuki dan mengikutsertakan masyarakat berbagai negara di dunia dalam kebudayaan dunia tersebut. Kebudayaan internasional itu didominasi oleh negara-negara maju yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya negara-negara
industri. (Hoed, 2008: 115). Di Indonesia transformasi budaya terjadi sepanjang sejarah. Transformasi budaya terjadi pada zaman Hindu, zaman Islam, dan zaman masuknya orang Eropa ke Indonesia. Perbedaannya dengan transformasi pada zaman kita adalah kecepatannya. Transformasi budaya pada zaman kita berlangsung sangat cepat,
yaitu dengan hitungan bulan dan tahun saja, sedangkan transformasi budaya sebelumnya berlangsung dalam hitungan dekade atau abad. Selanjutanya Sedyawati mengungkapkan faktor bahwa eksternal adalah pengaruh-pengaruh dari luar karena adanya interaksi, misalnya interaksi antarbangsa. Pada masa-masa yang lalu interaksi hanya dapat terjadi apabila ada pertemuan-pertemuan tatap muka. Berbeda dengan sekarang, berkat kecanggihan teknologi komunikasi, interaksi dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak jauh, baik personal maupun impersonal (Sedyawati, 1996 : 138--139). Pernyataan di atas tidak terlepas dari apa yang dialami orang Karo pada zaman kolonial. Intensitas pertemuan antara misionaris dan orang Karo tidak dapat dihindari sehingga ideolog kristenisasi yang menjadi misi mereka berhasil ditanamkan pada etnik Karo. Dalam kebudayaan terjadi beberapa pola perubahan, yaitu evolusi, difusi, akulturasi, dan inovasi. Evolusi adalah perkembangan masyarakat yang telah berkembang dengan lambat (berevolusi) dari tingkat yang paling rendah dan sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses evolusi ini selalu akan dialami oleh seluruh manusia di muka bumi ini walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. (Koentjaraningrat, 1987: 31). Difusi adalah suatu proses penyebaran dari penemuan baru terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas; penemuan baru dikomunikasikan untuk mendapatkan pengakuan masyarakat (Syani, 1995:105). Pengakuan ini disebabkan
oleh hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang telah berlangsung lama dan hampir tidak memengaruhi bentuk kebudayaan masingmasing. Akulturasi adalah perubahan, yaitu terjadi percampuran antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu kolonisasi, perang, penaklukan dan kedudukan militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan. Di samping itu, juga media massa, terutama media cetak, radio, dan televisi. Akulturasi tidak hanya dihasilkan dari interaksi, tetapi juga dari rencana yang disengaja
oleh
kebudayaan
yang
kuat
(Lauer,
2001:
404).
Menurut
Koentjaraningrat (1990: 91), akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang mempunyai perbedaan sifat. Selain itu, unsur-unsur kebudayaan yang asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri. Inovasi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, peraturan baru tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru. Semua ini akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dihasilkannya produk-produk baru. Dalam proses penemuan baru ini, baik
yang berupa alat maupun ide baru, biasanya berlangsung cukup lama (Koentjaraningrat, 1990 :108--109; Sukerta, 2005: 50--52).
6.2.1 Faktor Kristenisasi Upacara gendang kematian masyarakat Karo hingga kini telah mengalami banyak perubahan, baik dalam struktur maupun fungsinya. Banyak penyebab yang menjadi alasan terjadinya perubahan ini. Selain faktor internal, faktor-faktor yang bersifat eksternal juga telah banyak memberikan andil bagi kondisi perubahan ini. Perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo, yang disebabkan oleh faktor eksternal telah berlangsung sejak masa silam. Salah satu pengaruh luar yang telah mengubah struktur upacara ini adalah masuknya bangsa Eropa yang telah membawa masuk juga budaya baru dan diperkenalkan pada masyarakat Karo yang dibawa para misionaris. Selanjutnya dibahas pengaruh Eropa terhadap upacara gendang kematian masyarakat Karo, secara khusus yang dibawa oleh orang Belanda. Meskipun istilah ―penjajah‖ tidak sepenuhnya dapat dijuluki bagi orang Belanda di Karo, unsur penguasaan dan rasa diri sebagai yang superior ada dalam diri orang Belanda. Akibatnya, rasa untuk menguasai, memerintah, memaksakan kehendak, ide, bahkan dari satu sisi menekan dapat saja terjadi. Akan tetapi, di samping kegiatan-kegiatan yang bersifat penguasaan, orang Belanda juga telah melakukan
kegiatannya dalam bentuk transformasi budaya melalui kegiatan pendidikan dan keagamaan. Bentuk kegiatan ini tentunya menyentuh dan memengaruhi kehidupan orang Karo dan tentunya keberadaan orang Karo. Kedua kegiatan ini telah banyak membawa perubahan dalam cara dan gaya hidup, bahkan pandangan hidup orang Karo. Melalui kegiatan pendidikan, orang Karo diantarkan pada kondisi penyadaran untuk dapat hidup lebih baik dan teratur. Sebagai contoh, dalam hal hidup sehat dilalui dengan proses pembelajaran secara logika dan tidak hanya didasarkan pada pemahaman yang keliru atau pengaruh mistik semata. Contoh konkretnya adalah kebiasaan untuk hidup bersih. Karena semua yang diajarkan dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya, maka apa yang diajarkan tersebut diterima dengan sadar dan bukan karena terpaksa. Sebagai akibat dari kondisi ini, akhirnya kehadiran orang Belanda, di satu sisi justru dibutuhkan oleh orang Karo (Sinuraya, 2000: 8--11). Menurut Bangun (1986), sebelum kedatangan para misionaris ke Tanah Karo, orang Karo telah memiliki kepercayaan dan budayanya sendiri. Agama asli orang Karo adalah agama Pemena. Penganut agama Pemena
mengatakan
bahwasanya mereka erkiniteken (memiliki kepercayaan) adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Selain itu, mereka juga percaya adanya tenaga gaib, yaitu spirit yang berkedudukan di batu-batu
basar, kayu besar, sungai, dan tempat-tempat yang lain – juga percaya kepada kekuatan-kekuatan roh, khususnya roh orang meninggal (Bangun, 1986: 37). Kepercayaan awal etnik Karo ini akan ditundukkan lewat misi pemberadaban
kristenisasi
dalam
bingkai
kolonialisasi
yang
bermaksud
melebarkan ekspansi lahan perkebunannya di wilayah Sumatra Timur. Tentu saja terjadi gesekan, guncangan, dan negosisi antara penjajah dan terjajah dalam perjumpaannya. Terjadi ketegangan antara disiplin gereja ala Pietisme Eropa dan kelokalan orang Karo. Terjadi pemangkiran dan pengakuan atas pelbagai upaya penginjilan oleh para misionaris sehingga pengalaman ini disebut pengalaman yang dibenci, tetapi dirindukan. Permulaan usaha pekabaran Injil di tanah Karo tidak lepas dari pembukaan perusahaan perkebunan di Sumatera Timur. Usaha itu dimulai dari prakarsa J. Th. Cremers, seorang pemimpin perkebunan, yang berpendapat bahwa jalan paling baik supaya penduduk setempat tidak menentang dan mengganggu usaha perkebunan adalah mengabarkan Injil dan mengkristenkan mereka (Cooley, 1976: 1-22; Sembiring, 2010: 74--75). Pada akhir abad ke-19 Belanda telah menguasai pesisir timur Sumatera dan pesisir barat Sumatera. Wilayah dataran rendah Sumatera Timur telah dieksploitasi dengan perkebunan besar dan tambang minyak yang memberikan keuntungan besar kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejak Belanda menanamkan modalnya di Sumatera Timur telah timbul kericuhan, bahkan pemberontakan orang Karo. Orang Karo membabat tanaman perkebunan dan membakar bangsal milik Belanda.
Perlawanan terhadap dominasi kolonial ini dikenal dengan nama perang sunggal. Untuk menghentikan perlawanan inilah pihak perkebunan meminta Nederlands Zendelings Genooschap (NZG), lembaga penginjilan di Belanda mengkristenkan orang Karo dan seluruh biaya ditanggung oleh pihak perkebunan (Sembiring, 2010: 75). Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa misi pekabar Injil Belanda dalam karyanya terlebih dahulu melihat sasaran sosial dari pada dogma. Hal lain yang menunjang adalah bahwa pekabaran Injil itu langsung pada masyarakat secara pribadi dengan mengunjungi orang Karo dari rumah ke rumah. Meskipun demikian, tentunya cara-cara yang dilakukan itu tidak selalu bersifat dan berdampak positif. Cara ini akan menimbulkan dampak lain bagi orang Karo beserta adatnya sebab motivasi dan tujuan lain yang tersembunyi tentunya juga ada. Itulah sebabnya semua yang dibuat ini tidak berarti bahwa para pekabar Injil tidak mengalami hambatan walaupun para pekabar injil sendiri sudah merasa sangat dipercaya dan telah kuat pengaruhnya. Keyakinan ini akan memberi semangat kepada mereka dalam melakukan misi, termasuk menghilangkan kegiatan tradisi. Etnik Karo menganggap orang Belanda tidak hanya ingin menguasai tanahtanah mereka, tetapi juga budaya dan keyakinan mereka. Misionaris dan pemilik kebun dianggap memiliki kepentingan yang sama. Itulah sebabnya upaya penginjilan tidak berjalan lancar (Sembiring, 2010: 76).
Pada tahun 1906 Tuan G. Smith membuka sekolah Kweekschool di Berastagi dengan maksud mendidik guru-guru sekolah yang bisa menggunakan sekolah sebagai landasan untuk mengabarkan Injil. Namun, rencana itu tidak berhasil karena anak-anak orang Karo tidak mau sekolah secara teratur, tetapi mereka lebih suka bebas. Akhirnya, sekolah guru ditutup tahun 1920. Namun, beberapa yang telah dididik dijadikan guru Injil dan ditempatkan di kampungkampung. Penetua (salah satu jabatan dalam pelayanan gereja) dari kalangan orang Karo mulai diangkat pada tahun 1920-an. Meskipun telah ada penginjil lokal, pekerjaan mereka lebih bersifat koster, memasang lampu, menyapu, dan menemani pendeta yang datang ke kampung. Betapa dominasi misionaris sangat kuat terhadap orang Karo, bahkan ketika orang Karo sudah dididik sekalipun tidak diberikan porsi besar untuk ‖bicara‖ (Cooley, 1976: 4; Sinuraya, 2004: 2; Sembiring, 2010: 74--75). Penginjilan lewat sekolah tetap dilaksanakan. Untuk mempersiapkan pemuda-pemuda pada tahun 1931, sekolah Zending yang pernah ditutup (tahun 1920) dibuka kembali. Pada tahun ini dibuka sekolah Christelijke H.I.S si Kabanjahe, dilengkapi dengan sebuah asrama putri yang dipimpin Suster Wilkens dari Selandia Baru dan sebuah asrama putra yang dipimpin guru agama S. Ketaren tanpa pungutan biaya. Pada kesempatan ini anak perempuan telah mendapat kesempatan untuk bersekolah. Pemikiran awal tentang perempuan harus bekerja,
tidak belajar justru telah bergeser dengan didirikannya fasilitas pendidikan (Cooley, 1976: 4; Sembiring, 2010: 78). Tahun 1934 didirikanlah CMCM (Christelijke Meisjes Club Maju) yang dipimpin oleh istri-istri pedeta NZG. Di CMCM diajarkan jahit-menjahit, menyulam, bordir, memasak, dan sebagainya. Biasanya selalu ada kebaktian singkat. Untuk laki-laki didirikan organisasi yang disebut BKDK (Bond Kristen Dilaki Karo) dibantu oleh Pdt. W.A. Smith. Kegiatan di dalamnya, adalah penelaahan Alkitab (PA), olahraga, musik, dan drama. Kristenisasi dan modernitas berjalan bersama dalam upaya pemberadaban orang Karo. Pada masa-masa ini orang Karo menilai bahwa misionaris menawarkan kemajuan dan orang Karo mulai tertarik (Cooley, 1976: 6; Sembiring, 2010: 78). Tidak mudah bagi para misionaris menerjemahkan konsep Tuhan kepada orang Karo. Kata yang paling dekat adalah Dibata, yaitu nama yang diberikan orang Karo kepada yang Ilahi. Kata Dibata dipakai
karena nama itu sudah
dihayati orang Karo sebagai pencipta Awali atau Dibata Simada Tinuang. Orang Karo percaya bahwa kekuatan pencipta Awali itu sangat besar untuk menguasai hidup manusia, tetapi Ia berada jauh di atas sana (Sembiring, 2010: 80--81). Biasanya orang Karo tidak langsung berhubungan dengan Dibata, tetapi dengan roh-roh yang diyakini sangat membantu praktik hidup sehari-hari orang Karo. Orang Karo masih menganggap bahwa Dibata yang dikenal sama sekali berbeda dengan Dibata yang diperkenalkan oleh misionaris hingga akhirnya
Tampenawas, misionaris Minahasa
pendamping misionaris Belanda di Tanah
Karo menjelaskan bahwa Dibata yang diperkenalkan justru bisa diajak berkomunikasi. Saat sedih dan khawatir bicaralah kepada-Nya dan Ia akan mendengar, begitu juga saat bahagia (Sembiring, 2010: 81). Pada masa Belanda kristenisasi dan pendidikan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan, musik
merupakan mata pelajaran yang harus dipelajari dan digunakan. Pengaruhnya bagi penduduk berkembang menurut kehendak zaman dan mencapai puncaknya pada awal abad ke-20. Kemajuan dunia pendidikan dan perluasan peradaban Barat dengan pelbagai dimensinya menyusul kristenisasi ini telah membuat perubahan yang besar sampai pada seluruh aspek kehidupan di Karo. Pada saat ini musik yang dipelajari adalah organ yang dibawa Belanda untuk mengiringi kebaktiankebaktian yang ada. Padahal, masyarakat Karo mempunyai ensambel yang disebut gendang lima sendalanen tidak dipelajari bahkan dilarang untuk dimainkan. Gendang lima sendalanen adalah ensambel musik pada masyarakat Karo yang digunakan dalam berbagi jenis upacara, seperti upacara perkawinan, upacara memasuki rumah baru, dan upacara kematian. Di samping itu, juga upacaraupacara yang besifat ritual, misalnya erpangir kulau (penyucian diri), perumah begu (memanggil roh) dan sebagainya. Namun pada zaman penjajahan gendang lima sendalanen dianggap kafir oleh para misionaris.
Hal ini dapat dibuktikan ketika Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen, dibabtis oleh misionaris Van den Berg. Tidak lama setelah dibabtis, ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai seorang Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu ‖tidak boleh‖. Namun, karena posisinya sebagai raja
mengharuskannya memakai gendang dalam upacara-upacara adat, raja
tidak dapat menerima jawaban itu. Akhirnya Raja Pa Mbelgah Purba dikenai disiplin gereja karena tetap bersikukuh memakai gendang yang dianggap sebagai suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen. Akibatnya raja dikeluarkan dari gereja (Cooley, 1976: 5; Sembiring, 2010: 82). Hampir segala sesuatu yang berbau ritual dihilangkan dengan alasan adanya pemahaman bahwa hal tersebut akan menjadikan orang Karo lebih beradab. Di samping itu, dari sisi agama dapat membawa masyarakat Karo menuju keselamatan di akhirat. Dari satu sisi, pemusnahan ritual tentunya tidak dapat dianggap sebagai tolak ukur sejarah untuk menunjukkan keberhasilan para pekabar injil Belanda. Bagi mereka yang telah memeluk agama Kristen, hal ini mungkin tidak masalah. Akan tetapi, hal ini merupakan satu preseden yang buruk bagi orang Karo yang lain karena seakan-akan keberadaan misi itu mau mencabut orang Karo dari akar tradisinya. Secara tidak sadar mereka telah membuat orang Karo mengambang dan tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki tumpuan. Dalam kesempatan itu (tidak
memiliki pegangan) mereka memegang orang Karo dan langsung atau tidak langsung memaksa orang Karo untuk ikut pada cara Belanda. Orang Belanda menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga orang Karo sadar atau tidak sadar harus memahami
bahwa tradisi mereka adalah tradisi kafir atau tidak
beradab serta akan menjauhkan mereka dari keselamatan abadi. Menurut Sembiring, kristenisasi di Tanah Karo membekaskan kesan yang ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan dalam batin orang Karo. Misi penginjilan yang disampaikan misionaris mengakibatkan adanya posisi tawar dalam menerima yang baru dan tetap mempertahankan yang lama. Akibatnya, terbentuklah identitas postkolonial orang Karo dalam wacana kolonial yang dibenci karena latar belakang kedatangannya adalah ekspansi lahan perkebunan, tetapi dirindukan karena kenangan kemajuan yang ditawarkannya (Sembiring, 2010: 89). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa gendang tidak pernah digunakan dalam upacara ritual pada masyarakat Karo sejak tahun 1911 setelah Pa Mbelgah Purba terpaksa keluar dari agama Kristen akibat menggunakan gendang dalam sebuah upacara di rumahnya. Hal ini dikuatkan oleh Sinuraya (2000) bahwa Pendeta J.P. Talens setelah mengantikan Pendeta E.J. Van den Berg pada tahun 1912, membuat panitia pengumpulan dana permukiman penyakit kusta di Lausimomo. Selain itu secara berkala mengadakan konser organ, bazar dan lain
sebagainya (sinuraya, 2000: 61). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa gendang pada masyarakat Karo sejak saat itu telah terabaikan. Semua kegiatan ritual harus disingkirkan meskipun dalam kegiatan ritual pada etnik Karo tersebut banyak sekali nilai tradisional termasuk dari elemen musik etnik, yang dapat ditemukan. Salah satu kegiatan ritual yang bisa disebut sebagai tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal adalah ritual perumah begu (memanggil roh yang sudah meninggal). Menurut Ginting (1999), perumah begu bermaksud memberikan pijer podi (mempererat persatuan keluarga dalam sangkep nggeluh). Guru si baso bercerita (memberikan suatu ungkapan lisan), masalah yang besar ia perkecil, masalah yang kecil dihapuskan. Semuanya menjadi tuntas, terjadi perdamaian dalam keluarga. Inilah tujuan perumah begu (Ginting, 1999: 47). Dalam kongres kebudayaan Karo tahun 1996, disebutkan tentang sejarah perumah begu pada masyarakat Karo. Perumah begu adalah salah satu ritual yang sangat penting dalam upacara gendang kematian. Alkisah, pada zaman dahulu kala seseorang tinggal di sebuah pedesaan dengan kehidupan yang kaya raya, tanah dan sawahnya luas, kerbau, lembu, dan kuda serta binatang piaraannya. Ia mempunyai tiga anak laki-laki dan ketiga-tiganya sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri. Bapak dan ibu mereka kemudian meninggal dunia. Sepeninggal kedua orang tuanya ketiga anak ini cekcok. Nasihat-nasihat yang diberikan orang tuanya dahulu sudah dilupakan. Ketiga saudara ini saling
mengadu ke pegulu kuta (kepala desa). Sudah tiga tahun mereka lalui sepeninggal orang tuanya, tetapi masalah tetap saja semakin tidak bisa diselesaikan. Akhirnya anak beru mempunyai usul kepada ketiga kalimbubu-nya untuk mengundang begu atau roh ibu mereka yang dipercaya akan
memberikan pertimbangan dalam
perkara keluarga. Ketiga-tiganya mengatakan setuju. Setelah ada kesesuaian pendapat akhirnya mereka melakukan upacara perumah begu (memanggil roh). Setelah ditanya guru simeteh wari telu puluh (dukun yang tahu hari tiga puluh), maka ditetapkanlah di mana dan waktu upacara akan dilaksanakan. Diundanglah kemudian semua sangkep nggeluh. Setelah berkumpul sangkep nggeluh baik sembuyak/senina, kalimbubu dan anak beru, maka i palu (dimainkan) gendang lima sendalanen. Setelah gendang dimainkan dan sampai pada repertoar tertentu kemudian guru sibaso seluk (kesurupan) dan
memanggil ketiga anak yang
berpekara tersebut. Guru sibaso mulai berbicara seperti di bawah ini. Anakku sintua, anakku sintengah ras anakku singuda mari kam kerina. Kundul kujenda, gelah arih-arih kel ateku kita anakku teluna. Setelah ketiga anak tersebut datang mendekat maka ibunya (roh Ibunya melalui guru sibaso) berbicara, kam teluna anakku, seri nkam ateku kelengna teluna. Emaka ningku anakku, ula kam rubat teluna, peturah-turahkal ukurndu simehuli, man bandu anakku teluna. Kami nggi lawes duana ras bapandu, asum kami nggeluh denga ersura-sura kal kami ras bapandu gelah lit itadingken kami erta-erta man anakta e ate kami. Anakku turang nadena, erdahin la erngadi-ngadi, gelap la tampil gelap, udan la tampil udan, las la tampil las, em dahin kami tep-tep wari, bulan she ku bulan tande tahunna, la erngadi-ngadi. Enggo lit erta, asuh-asuhen, taneh, sabah, peken, emas, duit ras paken simeherga. Genduari anakku enggo kam erpekara, enggo kam latih. Ceda kal ate kami, morah kel ate kami, la malem ate kami, anakku teluna …..,…..,…. Emaka ningkami ras bapandu, ola sirang sembuyak erkiteken erta, ula sirang ersenina erkiteken duit ras emas. Em pemindon kami man bandu ankku teluna…, …, …. Aloi kel aku
anakku teluna, keleng ateku, maka malem kal pusuh kami ras bapandu anakku. Ngaloi anakna, nina: Labo cedaken kami ukurndu nande, robah kal kami, jera kal kami nande, jenda nari kulebe, lanai kami rubati, ersada kal ukur kami. Ngerana nandena erkelangken Guru sibaso, nina: Adi bage kin anakku nggo mehuli i palu gendang, ras kita kerina landek. Sebab ibas landek e kari kuputusken perkarandu alu mehuli, kuarap gelah ibegikenkamlah kai sikubahan rikutken ateku keleng. Roh ibunya berbicara melalui guru sibaso sebagai berikut: Tertingel-tinggel kam kalimbubu, Dibata si idah kami, bagepe kam anak beru kami rikut kam senina, kai kari sikubelasken, kai kari sikukataken, suratkenkal ibas pusuhndu sebab aku sekalienda ndabuhken timbangen ras mutusken perkara man anakku sitelu enda. Ntah ija gia kari berneh gugungna, ntah lebih kurangna, ula kal tama-tama kupusuh, tapi tama kini juah-juahen, ras nambahi ate malem. Tertinggel kam kerina erkitekenn kam kerina jadi saksi. “Sabah sijahen kuta e man bandu anak singuda” “Sabah si julun kuta e man bandu anak sintengah” “Rumah e ras peken bagepe asuh-asuhen man bandu anak sintua. Me enggo me bage nindu anakku teluna, kam pe kalimbubu, anak beru bagepe senina. Ngaloi anakna, nina: “Enggo ibegi kami nande” (ketiga-tiganya serentak menjawab) Enggo bialoken kami kerina, keputusendu enggo mehuli iakap kami, ras lanaikami rubat. (Terjemahan) Anakku yang tua, anakku yang tengah, dan anakku yang muda mari dekat dengan ibu. Ada yang mesti saya sampaikan kepada kalian. Kasih sayangku terhadap anakku bertiga tidak ada bedanya. Jadi, aku sangat bermohon supaya kalian bertiga rukun, damai, dan saling mengasihi satu dengan yang lain. Kami dengan bapak sudah pergi meninggalkan kalian. Ketika kami masih tinggal dan hidup bersama anakku bertiga, kami bersama-sama mencari harta yang berupa materi sawah maupun ladang
sebagai warisan yang kami tinggalkan untuk kalian. Kami tidak mengenal hujan maupun panas dengan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kalian. Sekarang kalian saling mengadu dan berselisih akibat harta yang kami sudah tingalkan. Kami tidak bisa mendapat kedamaian di dunia baru kami ketika kami melihat di antara anak yang kami sayangi saling bertengkar gara-gara harta warisan. Anakku..., ..., ..., Kami sangat berharap di antara kalian tidak ada perselisihan, bagaimana kalian menghormati kekerabatan jika di antara kalian juga saling tidak menghormati. Oleh sebab itu, saya dan bapak kalian meminta, jawablah kami anakku...., ...., ....biar kami pun damai dalam kehidupan akhirat. Kemudian anaknya menyahut: Kami tidak mau membuat hati kalian tidak damai ibu, maafkan kami ibu, mulai sekarang kami tidak akan berpekara lagi dengan saudarasaudaraku. Ibunya berkata melalui Guru Sibaso: Jika demikian halnya anakku, sudah bisa dimainkan gendang (musik) dan kita akan menari bersama-sama. Pada saat menari pembagian harta yang kami tinggalkan akan saya bagi berdasarkan kasih sayang yang tidak berbeda dari saya dan bapak kalian. Yang saya hormati, kalimbubu sebagai wujud Tuhan yang terlihat dalam keluarga kami, demikian juga sembuyak/senina kami, serta seluruh anak beru yang membantu kami, apa yang akan saya katakan saya harap sangkep nggeluh kami bisa sebagai saksi hidup dan saya mohon tuliskan di hati sebab saya akan memutuskan pembagian harta untuk ketiga anak kami. Jika ada kekurangan dan kelebihan dari apa yang saya putuskan kami minta maaf dan jangan dimasukkan ke hati karena inilah keputusan kami dengan bapaknya. Kami percaya sangkep nggeluh kami sebagai saksi dalam keputusan ini. Kuputusan itu adalah ―Sawah yang letaknya di hilir kampung kami serahkan pada anak kami yang muda‖. ―Sawah yang terletak di hulu kampung kami berikan pada anak kami yang tengah‖. ―Rumah dan ladang kami serahkan pada anak kami yang tua. Sudahkah kalian dengar anakku demikian juga kalimbubu, sembuyak/senina juga anak beru kami? Ketiga anaknya menjawab: Secara serentak, sudah kami dengar ibu. masing-masing kami sudah dapat bagian dengan adil, keputusan ibu sangat kami hargai, dan mulai sekarang kami tidak punya pertengkaran lagi.
Sesudah itu ibunya (roh ibunya) meninggalkan atau pergi dari tubuh guru sibaso. Suara menangis terdengar dari seluruh sangkep nggeluh. Semua perkara/perselisihan telah diselesaikan dalam waktu tidak lebih satu jam. Nasihat guru sibaso ketika kesurupan seakan menjadi therapy menembus hati yang keras menjadi lembut. Kehadiran guru sibaso sebagai theraphy rohani dan mental mamasuki emosi dan unsur budaya Karo (Ginting, 1999: 50). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, segala persengketaan atau perkara pada etnik Karo dapat diselesaikan dengan kepercayaan yang dimiliki. Tradisi lisan sebagai kearifan lokal tidak dilakukan lagi karena menurut Ginting, upacara perumah begu adalah melulu unsur religi yang menyangkut kepercayaan kepada begu atau roh orang yang sudah meninggal. Orang kristen tidak melakukan hal tersebut sebab bertentangan dengan iman kristiani yang berdasarkan Alkitab. Orang Kristen tidak lagi bertanya kepada guru sibaso atau sejenisnya dan janganlah ikut menjadi fasilitator dalam pekerjaan-pekerjaan memuja begu atau kuasa-kuasa kegelapan (Ginting, 1999: 51). Menurut Geertz (1974), kita semua melihat bahwa masalah kepercayaan itu sebagai suatu ruang sempit yang berbahaya. Sehubungan dengan itu, orang selalu menghindar dari ―ruang sempit‖ itu walaupun menurutnya, dalam ruang sempit itu tersedia nuansa kepercayaan yang paling kaya dan praktik-praktik magis yang lembut dan indah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Geertz tetap menyatakan keyakinannya bahwa perubahan-perubahan sistem kepercayaan religius manusia
telah dan sedang terjadi walaupun kelangsungan kebudayaan sebuah masyarakat (seperti Bali) tetap dapat dipelihara, ciri dasar kehidupan religiusnya pada suatu saat akan berubah, terutama setelah Indonesia mengalami berbagai krisis pada akhir abad kedua puluh satu ini (Pelly, 2010: xii). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa etnik Karo meninggalkan apa yang dimiliki, menghindar dari ―ruang sempit‖ itu. Pengaruh Barat tidak saja tampak dalam pemeluk agama Kristen, tetapi dengan sendirinya telah melupakan semua ikatan kepercayaan yang merupakan sebuah kearifan lokal dari nenek moyang yang diyakini sebelumnya. Periodisasi kolonial di Karo adalah zaman ketika kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu pihak, perjumpaan antara kekaroan dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah membawa sejumlah perubahan dan kemajuan, misalnya melalui dibangunnya sekolah-sekolah untuk orang Karo, diperkenalkan dengan nilai-nilai kekristenan yang membawa banyak pengaruh bagi kehidupan orang Karo. Meskipun harus jujur diakui bahwa karena perjumpaan itu banyak nilai tradisi masyarakat Karo harus bergeser. Persoalan kemudian ketika terjadi perjumpaan soal menentukan mana yang disebut budaya Karo dan mana yang tidak. Apakah budaya Karo harus ditarik dari zaman Karo kuno dengan segala ritualnya atau Karo kontemporer yang merupakan hasil dialektika dengan zaman yang terus berproses itu. Menurut Cooley (1976), sejak tahun 1890--1900 sistem kemasyarakatan dan kebudayaan
termasuk adat istiadat yang terdapat pada etnik Karo sudah
mengalami banyak perubahan yang besar dan luas akibat berbagai pengaruh. Agama Kristen merupakan salah satu unsur yang ikut berpengaruh dalam hal tersebut. Ada persoalan-persoalan dan ketegangan-ketegangan yang timbul bagi orang Kristen yang terkait dengan adat istiadat sekarang ini. Hal-hal tersebut adalah (1) gendang kematian diadakan atau tidak dalam pesta atau upacara, (2) mencuci muka di atas kuburan oleh keluarga dekat orang yang meninggal, (3) mengantar makanan ke kuburan, (4) memindahkan tulang atau menguburkan kembali rangka-rangka atau tulang-tulang dengan mempersatukan yang Kristen dan yang bukan Kristen, (5) memanggil hujan, (6) kawin semarga, (7) kawin lari, dan (8) mengusir roh jahat. Dari kedelapan persoalan ini yang paling menegangkan adalah poin pertama sampai poin keempat. Keempat persoalan ini terkait dengan peristiwa upacara gendang kematian. Jawaban dan respons Kristen terhadap persoalan ini adalah (1) memberikan pengajaran waktu katehisasi dan penerangan sewaktu peristiwa terjadi, (2) berusaha mengalihkan hubungan dengan yang bukan Allah (dewa-dewa atau roh-roh) kepada Allah yang benar, (3) mengadakan perubahan dalam bentuk/kulit upacara, tetapi yang lebih penting mengubah dan pengarahan upacara, dan (4) menghapuskan atau meninggalkan adat-adat tertentu (Cooley, 1976: 123). Prinsip pokok yang dilakukan Kristen dalam menyikapi persoalan dan pertentangan ini, yaitu adat istiadat yang ada hubungannya dengan kepercayaan
terhadap dewa-dewa, arwah-arwah nenek moyang, roh-roh orang meninggal dilawan oleh gereja. Dengan prinsip inilah gereja kemudian menentukan bentuk ritual adat istiadat ditinggalkan. Prinsip dasar ini diterapkan dengan sikap dan kebijaksanaan gereja Karo yang luwes, tetapi kokoh. Gereja Karo mengimbau umatnya berusaha agar tidak menolak atau menjauhkan mereka yang mengikuti tuntutan adat, tetapi mendekati mereka, sebagai orang Kristen yang memiliki semua hal secara berlainan karena imannya terhadap Allah, menghadiri dan melihat mereka sebagai manusia, tidak lebih tidak kurang. Hal
inilah
yang
bisa
disebut
sebagai
sebuah
ideologi,
yang
memorakporandakan sistem kemasyarakatan sangkep nggeluh pada masyarakat Karo. Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia etos, dan semacamnya. Pada abad kedelapan belas, de Tracy memunculkan ‖ideologi‖ sebagai istilah yang menunjuk pada ‖ilmu tentang gagasan‖. Dalam penggunaan yang lebih modern dan sempit, ideologi biasanya mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang, atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural tertentu. Dengan demikian, bila sekarang orang berkata bahwa suatu sistem gagasan bersifat ‖ideologis‖ biasanya ini berarti gagasan-gagasan itu bersifat partisan. Artinya, tidak terlalu objektif tetapi disusun untuk mendukung (atau menyerang) suatu misi atau maksud tertentu (Kaplan, 2002: 154)
Dengan menghadiri sebuah upacara adat dan tidak lebih tidak kurang kehadiran hanya sebagai manusia sangat bertentangan dengan adat istiadat yang ada pada etnik Karo, yaitu pada sistem kekerabatan tidak ada yang terhegemoni maupun yang menghegemoni. Selanjutnya menurut Cooley, sejak tahun 1911 gendang dilarang oleh Zending digunakan pada upacara adat sehingga gendang dibagi menjadi dua, yaitu ada gendang adat yang dihubungkan dengan dunia luar, yang mengandung kepercayaan kadang-kadang disebut gendang mistik. Gendang inilah jika dimainkan pada upacara kematian, bisa menyebabkan orang yang menari kesurupan roh-roh lain. Selain itu, orang Kristen bisa dilemahkan oleh hal tersebut dan gendang yang tidak mengandung roh-roh kepercayaan. Oleh sebab itu, gendang kematian dianggap sebuah persoalan krusial di tubuh gereja Karo. Lantas dalam sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) tahun 1965 diambil keputusan, yaitu gendang dapat dipakai di dalam upacara-upacara adat termasuk di gereja, tetapi gendang yang tidak mengandung unsur kepercayaan. Menurut Bavans, tugas misionaris yang pertama dalam mendekati orang lain, kebudayaan lain, agama lain ialah dengan menanggalkan kasutnya karena tempat yang hendak didekati itu adalah kudus. Kalau tidak, bisa saja kita malahan menginjak-injak impian manusia. Atau lebih celaka lagi, kita barangkali lupa bahwa Dibata (Allah) sudah ada disana sebelum kita sampai (Bevans, 2002: 99).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa gendang sangat erat terkait dengan kosmologi pada etnik Karo. Menurut Sumardjo, gendang adalah seni dan seni adalah budaya.
Konsep budaya mistis adalah kesatuan mikrokosmos dan
makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan ‘agama asli‘ Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan ‘asli‘ yang kini masih tersisa ditambah dengan metode perbandingan dan data tertulis di masa lampau. (Sumardjo, 2000: 323). Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa agama besar sebagai agama dunia jelas melahirkan hegemoni, memarginalkan spiritualitas masyarakat Karo, khususnya yang ada dalam tradisi. Agama tertentu menjadi narasi besar, berhak disebut sebagai agama resmi, bahkan agama negara. Agama tersebut dipertentangkan dengan agama yang tidak resmi, sebagai semata-mata sistem kepercayaan. Ratna mengatakan bahwa salah satu agama resmi di Indonesia adalah agama Kristen. Padahal, dalam agama yang tidak resmi (pemena) , bahkan dalam berbagai sistem kepercayaan yang sudah ada sejak nenek moyang, yang dikategorikan sebagai animisme, terkandung ajaran-ajaran, sebagai
kearifan
lokal,
yang
justru
bermanfaat
untuk
menopang
multikulturalisme dan lahirnya solidaritas bangsa pada umumnya (Ratna, 2008: 360). Seperti yang diungkapkan Adlin, masyarakat memilih menggunakan kata ―agama‖ untuk mewakili gambaran suatu entitas yang serba ―maha‖. Manusia kemudian menderivasi konsep agama ini dalam kekhasannya masing-masing. Pada titik ini justru kebesaran agama ini tampak, yaitu ketika manusia tak pernah mampu menjelaskan agama dalam sebuah finalitas definisi tunggal, kebesaran agama justru terjelaskan dalam pluralitas definisi. Namun, pada titik yang sama, agama kemudian menjadi kultur. Sayangnya, dalam perkembangannya, konsepkonsep agama ini berubah menjadi ideologi sehingga terkesan terpisah dari esensi apa yang ingin digambarkan melalui kata agama. Agama kemudian tak lagi hidup dalam keagungannya, tetapi justru teredusir sebatas konsep dan ritualitas.
6.2.2 Faktor Industri Budaya Budaya merupakan hal yang hidup dalam masyarakat dan memiliki nilainilai yang umumnya tidak dapat diperjualbelikan. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi pedoman diri individu dalam masyarakat sebagai filter diri terhadap halhal yang dinilai jauh dari tindakan, katakanlah, tidak bermoral dan sejenisnya. Budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya merupakan proses berpikir yang tidak dapat dipertukarkan dan lebih memiliki asas manfaat daripada asas tukar.
Industri budaya erat hubungannya dengan karya-karya intelektual Jerman yang dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt terutama pemikiran dari Adorno dan Horkheimer dalam karya mereka yang diterbitkan pada tahun 1072 dengan judul The Dialectic of Englightenment (Dialektika Pencerahan). Karya Adorno dan Horkheimer menjadi pintu masuk dalam memahami industri budaya (Kaunang, 2010: 263). Bentuk-bentuk komodifikasi sebagai akibat dari munculnya industri hiburan merupakan salah satu bentuk perusahaan kapitalistik. Hal ini menyebabkan produk budaya distandardisasi dan dirasionalisasi yang memang dirancang dan dibuat untuk pengumpulan modal dan mendapatkan keuntungan (Thompson, 2006: 153). Dialektika pencerahan atau rasio yang dimaksud oleh Adorno dan Horkheimer dipahami sebagai bentuk perlawanan atau kekuatan tandingan terhadap berbagai mitos kemapanan. Pencerahan yang diperhadapkan kepada berbagai bentuk paksaan tradisi (kekuasaan) telah membelenggu individu dan masyarakat. Dengan demikian, pencerahan ingin melepaskan berbagai ikatan individual dari kekuatan-kekuatan kelompok, kolektif, dominan yang tidak bersosok. Singkatnya, pencerahan memanusiakan dan membebaskan manusia sebagai seorang pribadi yang luhur (Kaunang, 2010 264).
Menurut Jekmen Sinulingga, sebagai berikut. ―Upacara gendang kamatian etnik Karo, yang meliputi unsur-unsur di dalamnya sudah terstadardisasi. Hal ini bisa dibuktikan dari perubahanperubahan dari tradisi menjadi populer. Misalnya, peti mati sudah disediakan oleh pengusaha peti dan kita cukup membelinya. Yang menjadi persoalan jika kita membuat sendiri kita dianggap tidak mengikuti zaman. Hampir semua unsur-unsur dalam upacara ini masyarakat Karo sudah menjadi masyarakat komoditi. Mulai dari pakaian, dekorasi, makanan, musik yang mengiringi, semua sudah terstandardisasi. Uang adalah hal yang paling penting dalam kehidupan orang Karo sekarang. Kita tidak mehaga (terpandang) tanpa uang. Kesakralan yang dulu begitu diperhatikan sekarang ditelantarkan. Saya sebagai seorang yang dikenal sebagai tokoh dalam upacara ini sangat menyesalkan itu terjadi.‖ (Wawancara, 23 April 2013). Menurut Weber, manusia didominasi oleh keinginan mendapatkan uang melalui akuisisi sebagai tujuan utama hidupnya. Akuisisi ekonomis ini tidak lagi menjadi subordinat sebagai cara-cara manusia memuaskan kebutuhan materialnya. Ini adalah esensi dari spirit kapitalisme modern (Weber, 2006: xxxv). Pernyataan di atas memberikan informasi bahwa dalam masyarakat kontemporer di Karo, modus praktik-praktik budaya kepada pengalihan nilai-nilai orientasi seni dari sakral, religius kepada sifat profan, materialis, sedang berlangsung sebagai bentuk perkembangan ekonomi industri kapitalisme lanjut. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Piliang (2004: 251) bahwa industri budaya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat konsumer (consumer society), yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada suatu kondisi sosial yang di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan. Kemudian masyarakat informasi (information society) merupakan titik sentral kehidupan pada fungsi informasi dan masyarakat postmodern menunjuk pada praktik-praktik tekstual
kehidupan dengan nilai-nilai kultural baru yang ironis. Ketiga bentuk konsep masyarakat ini tentu berbeda penekanannya. Akan tetapi, ketiganya menunjuk pada suatu masyarakat dan budaya yang sama dalam lingkup masyarakat postmodern. Dengan meminjam analisis Gramsci tentang hegemoni, mereka menolak gaya hidup afirmatif masyarakat konsumeristis. Hegemoni selalu mengandaikan praktik-praktik material yang menopang dominasi budaya. Althusser menyebut proses itu sebagai interpelasi. Interpelasi adalah proses identifikasi aktif subjek atas budaya atau gaya hidup dominan. Kultur dominan tidak semata-mata menyergap objek pasif, tetapi memanggil subjek untuk aktif mengidentifikasikan diri. Gagasan-gagasan spiritual, misalnya tidak sekadar menentukan secara satu arah subjek-subjek beriman, tetapi subjek-subjek itu aktif mereproduksi gagasan
lewat praktik material, seperti doa, salat, meditasi, dan
sebagainya
(Adlin, 2007: 30) Adapun salah satu ciri masyarakat postmodern erat kaitannya dengan masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-praktik budaya kapitalisme (Piliang, 2004: 252). Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan industri budaya dan industri seni pertunjukan tidak dipahami masyarakat kebanyakan. Industri bagi masyarakat adalah persoalan kemakmuran dan kesejahteraan. Padahal, industri memerlukan eksploitasi sumber, baik sumber daya manusia, alam, maupun sumber-sumber budaya, yang dalam konteks penelitian ini
adalah upacara gendang kematian. Eksploitasi yang secara terus menerus dilakukan industri terhadap sumber daya alam dengan tujuan mencari keuntungan modal akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan tidak terjaga. Di samping itu, juga eksploitasi sumber daya manusia tanpa peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia (Kaunang, 2010: 266). Jika kemudian gendang kematian menjadi bagian dari industri budaya atau gendang kematian diindustrikan, maka kekhasan gendang kematian akan hilang, kemerosotan, kedangkalan nilai seni pun terjadi. Ini akan menjadikan upacara yang disebut oleh Piliang sebagai estetika kitch. Dalam estetika postmodern hal seperti ini erat kaitannya dengan estetika kitch (bahasa Jerman verkitschen artinya membuat murah) yaitu menurunnya bakuan seni akibat pengaruh industri hiburan (Piliang, 2003: 194). Sebagai suatu produk budaya etnik Karo, gendang kematian diciptakan dalam suatu proses pengalaman berbudaya, pengalaman kemanusiaan sesepuh seniman/budayawan Karo, baik secara individual maupun berkelompok, hal ini terjadi dalam proses berkesenian, bukan untuk tujuan komersial sebagaimana yang terjadi dalam proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk (baik barang maupun jasa).
Menurut Teodor Adorno, seperti di bawah ini. ―Pertumbuhan industri dan kapitalisme, memaksa budaya untuk keluar dari pakemnya demi memuaskan beberapa elit modal. Kekuatan nilai-nilai yang hidup dalam budaya di masyarakat sebagai filter terhadap produk-produk industri membuat kaum kapitalis resah dan mencari celah demi dominasi ekonomi yang berkelanjutan. Pemanfaatan celah melalui jalan packaging memunculkan industri tersendiri dalam budaya yang kemudian akrab disebut dengan industri budaya. Kemunculannya juga menghasilkan fetisisme komoditas demi melancarkan proses industri budaya. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop. Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori industri budaya dan fetisisme komoditas‖ (http://id.wikipedia.org/wiki.). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa produk budaya apa pun yang dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan kecenderungan-kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah menjadikan suatu produk memiliki daya pesona sehingga mampu mendomidasi asas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas. Tidak bisa dihindari bahwa upacara gendang kematian telah dijadikan sebagai salah satu produk fetisisme komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang disejajarkan bersama-sama dengan produk-produk budaya lainnya, di antaranya makanan tradisional, musik, arsitektur, pola hidup, sifat keramahtamahan, dan sebagainya. Industri budaya sebagai agen utama produksi (kapitalisme) bersamasama dengan agen distribusinya, cenderung membuat upacara gendang kematian sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk-bentuk komodifikasi.
Adapun agen-agen industri budaya, di antaranya, iklan di media massa dan film. Iklan oleh industri budaya diasosiasikan sebagai relasi yang akan mengubah formasi nilai guna kepada sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalisme, yaitu mendudukkan dan menggunakan konsumen sebagai komoditas. Hal ini sejalan dengan asumsi industri budaya yang memposisikan manusia sebagai pelaku utama yang akan dijadikan korban oleh industri budaya dan manusia tidak menyadarinya (Kaunang 2010: 268). Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses distribusi melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat dan berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila suatu produk budaya memiliki nilai pasar, maka komodifikasi bentuk akan mengalami proses standardisasi, yaitu produk budaya tersebut mendapatkan bentuknya yang sama di semua komoditas. Hal ini tidak bisa diterima oleh roh dekonstruksi, standarisasi suatu produk budaya mengakibatkan terbentuknya struktur baru, yaitu adanya dominasi kelompok budaya tertentu tehadap kelompok lain. Dekonstruksi memberikan kebebasan berekspresi, kebebasan mencipta yang terus-menerus tanpa akhir, dan kemampuan suatu produk budaya dengan distandardisasi adalah jauh dari sikap dan pemikiran dekonstruksi. Standaridsasi produk budaya menciptakan struktur oposisi pasangan, oposisi biner, yang memberian kesan bahwa jika ada produk budaya yang sama dan tidak terstandardisasi, tidak termasuk dalam struktur.
Terkait dengan pernyataan di atas gendang kematian etnik Karo adalah salah satu ritual yang sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Ketergerusan gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur dalam upacara ini tidak terlepas dari produk industri yang menghasilkan fetisisme komoditas. Berdasarkan wawancara mendalam terhadap beberapa informan, diketahui bahwa kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat alat musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai genre lagu pop dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tiruan dari musik tradisi sehingga banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin popular tatkala biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi. Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standardisasi dan individualitas semu. Standardisasi menjelaskan tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas,
autentisitas,
ataupun
rangsangan
intelektual.
Standardisasi
menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri. Pengomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal tersebut membuat, baik individu maupun masyarakat, salah alamat terhadap pemujaan mereka atas musik pop.
Diskusi industri budaya semakin jelas memperpanjang rantai kuasa, baik industri budaya maupun dominasi kapitalisme, sebagai bentuk paling mutakhir dari sistem ekonomi kapitalisme. Jaringan modal kuasa melalui agen distribusi menjadikan upacara gendang kematian distandardisasi dan masyarakat pemilik atau pendukung budaya (konsumen) tidak menyadari bahwa mereka dalam naungan dominasi kuasa kapitalisme. Dominasi kuasa kapitalisme tidak terasa karena mengembangkan isu-isu industri hiburan, budaya populer yang disukai masyarakat banyak, selera budaya massa, budaya populer dengan mengambil alih kesadaran massa.
6.2.3 Faktor Media Elektronik Media elektronik sebagai salah satu faktor eksternal terhadap perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi hanya dapat menampilkan kenyataan dengan ‖distorsi‖ atau penyimpangan. Lebih jelas Hamelink menguraikan ‖kelihatan seolah-olah penampilan dan penyajian langsung, tetap, life sesuai dengan kenyataan yang hidup, tetapi sebetulnya media itu merupakan ‖cermin-cermin yang retak.‖ Kenyataan tercermin dalam media ‖hampir nyata dan asli‖, tetapi sebenarnya itu tidak asli lagi. Media menempatkan diri di tengah-tengah penerima dan kenyataan. Media meregristrasikan keadaan menurut pendekatan mereka dan meneruskan gambar-gambar pada penerima, sehingga kenyataan hanya dirasakan secara tidak langsung (Alfian, 1986: 173).
Media elektronika dengan teknik ‖perantaraannya‖ mengembangkan suatu visi khas terhadap kenyataan, yaitu ‖televisi‖. Dalam visi ini fiksi dan nonfiksi berbaur. Hanya sebagian dari kenyataan diseleksi, tetapi seleksi itu disajikan sebagai kenyataan yang menyeluruh. Kenyataan dipotong-potong agar sesuai dengan kaidah-kaidah ‖siaran televisi yang baik‖. Serangkaian kaidah teknis dan profesional mengendapkan kenyataan
dijadikan gambar yang bagus. Ini
membatasi peranan media elektronika dalam mengembangkan dan memerdekakan manusia (proses emansipasi). Justru untuk proses emansipasi itu pengalaman langsung dan pengamatan langsung terhadap kenyataan hidupnya sendiri mutlak perlu. Hanya dengan mengalami dan mengamati secara langsung kita belajar bahwa kenyataan dapat dipengaruhi dan diubah. Media elektronika mengacaukan hubungan dengan dunia kehidupan langsung dan mengajak kita untuk menyesuaikan diri kepada suatu kenyataan semu (Alfian, 1986: 173--174). Apabila dicermati ungkapan tersebut di atas sangatlah tidak berbeda apa yang disuguhkan oleh televisi kepada manusia, yang telah diformat dan direkayasa sedemikan rupa sehingga merupakan sebuah realitas, padahal sebenarnnya dapat disebut sebagai realitas semu. Demikian juga tidak ubahnya seperti televisi, keyboard datang dan menggantikan gendang lima sedalanen yang sebenarnya hanya merupakan pengimitasian atau peniruan dari spiritualitas tradisi yang digiring ke spiritualitas modern.
Menurut Yusuf, sejak informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme, terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating itulah yang akan menentukan nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun dengan harga yang tinggi. Kun Sri Bidiasih mengistilahkan kebiasaan pengelola televisi ini sebagai ‖perilaku pedagang‖. Ketika sebuah warung menjual menu baru dan laris, maka warung yang lain akan ikut-ikutan menjual menu tersebut. Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin penonton (Yusuf, 2005: 83). Perkembangan kebudayaan yang diakibatkan globalisasi telah menyentuh sendi-sendi tradisi pada masyarakat Karo. Sebagai hasil dari potensi dan perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat pengaruh dari luar budaya Karo dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Jika televisi dikaitkan dengan keyboard elektronik, sulit untuk dibedakan. Televisi dapat mengemas berita-berita dengan kekuatan teknologinya, sedangkan keyboard dapat mengesploitasi bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi tradisi yang khas yang semestinya sakral dengan ensambel musik tradisi gendang lima
sendalanen berubah menjadi bunyi profan akibat sebuah keyborad produksi globalisasi (lihat gambar L.4.26).
BAB VII MAKNA SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI Upacara gendang kematian etnik Karo, sebagai suatu tradisi lisan, yaitu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun atau melalui generasi ke generasi selalu bersinggungan dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu sejalan dengan perkembangan wacana budaya. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo, yang lahir dari leluhur etnik Karo menyimpan berbagai makna tersembunyi yang bisa ditelusuri melalui telaah kritis. Sesuai dengan teori dekonstruksi yang dikemukakan Derrida, maka yang tersembunyi dalam sebuah realitas dapat ditemukan dengan terlebih dahulu membuka selubungnya, kemudian melihat isinya secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada dengan tujuan menghapus prasangka yang menjadi sumber utama kesalahan. Untuk memahami makna harus ada upaya menangguhkan atau menunda dulu sampai ada yang pantas menyandangnya. Ketertundaan makna yang bergerak antara masa lalu dan masa yang akan datang oleh Derrida disebut sebagai difference yang berarti gerakan masa sekarang ke masa lalu dan masa mendatang (Sughiarta, 2012: 327--328). Menurut Ratna (2007: 54), makna adalah apa yang ditandakan, yaitu fungsi dan isinya. Makna adalah produksi teks, makna plural, jejak (trace), efek makna itu. Upaya menemukan makna tidaklah sekadar mencari sebab, akibat tetapi
menurut Geertz adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat bersangkutan dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia budayanya dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Upaya menemukan makna tidak berdasarkan ―kacamata ilmiah‖ yang dimiliki, tetapi berdasarkan ―mata kepala‖ masyarakat setempat dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Secara sederhana kajian budaya dapat menganalisis objek apa saja sebab kebudayaan adalah seluruh aktivitas manusia. Meskipun demikian, sesuai dengan ciri-cirinya maka yang dianalisis adalah masalah yang terpinggirkan dan berada pada struktur permukaan. Objek adalah perwujudan, perwakilan, pernyataan diri, yang sekaligus membentuk suatu kesatuan sehingga menghasilkan makna. Makna itu pun tidak final, tetapi selalu berubah-ubah sebab akan terus lahir wacana baru. Menurut Derrida,
proses pemaknaan ini disebut sebagai decentering, praktik
pemaknaan, bukan makna itu sendiri. Makna bukan bendanya, makna melekat pada materialnya, seperti gedung, lukisan, prasasti, dan sebagainya. Material inilah yang dianalisis melalui konteks sosial tertentu secara posisionalitas. Analisis seperti ini dengan sendirinya bukan analisis teks, tetapi dianalisis ‘seperti‘ teks sesuai dengan pendapat bahwa seluruh kehidupan dalam teori kontemporer diangap sebagai teks. Makna tidak terkandung dalam objeknya, sebagaimana indah bukan bendanya, tetapi nilainya. Proses pembacaan, penikmatan, pemahaman, tidak membuka bungkus yang serta merta menunjukkan adanya pesan dan nilai tertentu.
Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dan subjek dalam hal ini setiap unsur memberikan sumbangannya. Apabila objek dan penikmat merupakan jaringan yang telah memiliki persamaan, proses interaksinya dipastikan akan menghasilkan makna sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, apabila di antara keduanya belum membentuk persamaan tersebut, maka proses pemahaman akan terganggu, bahkan akan gagal sama sekali. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa produksi makna merupakan aktivitas dinamis. Tidak ada makna tetap, makna selalu berubah, dan dengan sendirinya selalu baru (Ratna, 2008: 127). Hal ini didukung oleh Cappalaro bahwa pencarian makna terdiri atas sejumlah operasi yang tak terhitung di mana manusia mencoba memahami dunia. Oleh karena itu, pencarian tersebut sebenarnya tak berakhir sebab hanya akan berhenti jika rasa ingin tahu yang sama diakhiri (Cappalaro, 2001: 10).
7.1 Makna Spiritualitas Upacara gendang kematian memiliki potensi yang sangat signifikan dalam kehidupan spiritual etnik Karo. Pemahaman yang mendalam terhadap aspirasi, kekuatan, dan pandangan hidup dapat tercermin dari produk budaya lokal. Sebagai sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian diyakini berasal dari ajaran kepercayaan etnik Karo dan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan kepercayaan dan agama pada etnik Karo, khususnya orang Karo yang tinggal di dataran tinggi Sumatera Utara. Seluruh pola kehidupan masyarakat berasaskan
adat istiadat yang sebelumnya merujuk kepada kepercayaan pemena. Rujukan asas kehidupan masyarakat inilah yang dituangkan ke dalam tradisi lisan upacara gendang kematian yang perlu terus dijaga sehingga manusia mendapat keselamatan dunia dan akhirat dengan tetap menjaga hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Upacara gendang kematian merupakan penyaluran nilai-nilai spiritualitas, seperti diungkapkan Njenap Ginting seperti berikut. ―Upacara gendang kematian pada etnik Karo bersumber dari ajaran leluhur Karo, yang sangat terkait dengan kosmologi manusia khususnya etnik Karo. Sebelum kita mengenal agama yang kita yakini sekarang, agama kita adalah agama nenek moyang kita yang diajarkan melalui generasi ke generasi tanpa memiliki kitab wahyu. Hakikat spiritualitas kita bukan dari apa yang kita ketahui akan tetapi dari apa yang kita perbuat. Kalimbubu sebagai pemilik ―darah‖ yang meninggal kita kenal sebagai representasi ―Tuhan yang kelihatan‖ kita hormati sepenuh jiwa dan raga kita, dan bagaimana kita menghargai alam sekitar kita untuk mendukung upacara tersebut. Demikian kita lakukan sebagai lingkaran yang berputar karena masing-masing orang Karo mendapatkan posisi sebagai kalimbubu‖ (wawancara, 26 Desember 2012). Ungkapan di atas memperlihatkan bahwa tradisi lisan upacara gendang kematian mengintegrasikan nilai-nilai ajaran leluhur ke dalam aktivitas kultural, menjadi petunjuk masyarakat dalam mengembangkan pola pola kehidupan yang berlandaskan adat istiadat. Sebagai produk historis kultural masa lampau, upacara gendang kematian memadu padankan nilai-nilai estetika dan kebenaran agama sekarang yang ada didalamnya. Selanjutnya menurut Njenap Ginting sebagai berikut. ―Kalau saya melihat tidak ada pertentangan antara spiritualitas pemena dengan agama yang kita yakini dan anut sekarang. Yang menjadi
perbedaan adalah agama sekarang terlalu mencampuri dan bahkan menolak ajaran yang kita miliki sebelum kita memahaminya. Jika agama sekarang tidak meng‖kafir‖kan unsur-unsur yang kita gunakan dalam tradisi kita kususnya pada upacara gendang kematian etnik Karo tentunya tidak berada dalam posisi ambivalen. Satu sisi kita mencintai tradisi kita, di sisi lain kita membencinya. Upacara gendang kematian memiliki nilai-nilai kehidupan dasar etnik Karo‖ (wawancara, 26 Desember 2012). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa upacara gendang kematian memiliki kekuatan dasar, yaitu kekutan spiritual, dimana pesan-pesan tersembunyi yang bernilai luhur dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Piliang, pada dasarnya realitas bersifat spiritual karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual pula. Realitas merupakan perwujudan hasrat yang lebih tinggi, yang diarahkan pada sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, realitas sebagai perwujudan hasrat-hasrat rendah (nafs) diangggap sebagai ilusi atau realitas palsu. Perwujudan nafs yang paling rendanh adalah penghambaan pada materi. Nafs cenderung memaksakan hasrat-hasrat dalam upaya memuaskan diri sendiri, dengan melanggar etika sekalipun. Meskipun, dengan sifat homo homini lupus manusia, kepuasan itu tidak pernah ada ujung pangkalnya. Manusia, sebagaimana digambarkan agama, terdiri dari tiga unsure, yaitu roh, akal, dan jasad. Masing-masing dari tiga unsure itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Nafs mengendalikan akal untuk memenuhi segala kebutuhan jasad, hasrat-hasrat duniawi. Manusia lupa bahwa roh juga memerlukan pemenuhan haknya, yaitu siraman rohani. Nilai-nilai spiritual dibenamkan dalam roh mampu membentuk pribadi yang tidak hanya sekadar penghambaan materi,
tetapi membentuk pribadi yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat (Piliang, 2004: 186). Spiritualitas
menawarkan pengekangan terhadap hasrat-hasrat rendah,
sebaliknya modernitas menawarkan pembebasan hasrat. Spiritualitas membentengi diri dari hasrat-hasrat rendah, materialistis, dan hedonistik. Pengekangan ini oleh banyak kalangan terutama kaum kapitalis, merintangi jalan untuk memberikan kepuasan-kepuasan pada masyarakat dalam bentuk kesenangan semu dan pemuasan nafs kekuasaan. Spiritualitas sebagai semen sosial antara manusia dengan
penciptanya,
manusia
dengan
manusia,
dan
manusia
dengan
lingkungannya tidak lagi menampakkan geliatnya. Ikatan sosiokultural masyarakat mengalami pergeseran, tidak lagi menampakkan hubungan harmonis antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Masing-masing kelompok masyarakat sibuk dengan urusan duniawi mereka sehingga berakibat pada terputusnya relasi dan ikatan batin di antara masyarakat (Majid, 2010: 204--205). Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sistem hubungan sosial adalah faktor hubungan kekerabatan sangkep nggeluh.
Wujud dari hubungan
kekerabatan itu adalah emosi keyakinan yang merupakan yang merupakan getaran jiwa yang pada suatu ketika dapat menghinggapi seseorang. Emosi keyakinan itulah yang mendorong orang untuk berperilaku serba religious, artinya manusia akhirnya sadar akan adanya gaib yang merupakan sumber kekuatan yang ada di luar dirinya. Emosi keyakinan masyarakat Karo sangat kuat dalam menyikapi berbagai bentuk persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat. Salah
satu wujud makna spiritualitas pada upacara gendang kematian yaitu upacara perumah begu (Lihat, 6.2.1). Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa, konsep spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religious tertentu. Spiritualitas memang memiliki konotasi religious dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki kepentingan yang paling mendasar. Tetapi, apa yang dianggap suci bisa saja merupakan sesuatu yang duniawi, seperti kekuasaan dan kesuksesan. Ada spiritual dalam diri setiap orang, meskipun bisa saja spiritulitas yang nihilistik dan materialistik. Kondisi inilah yang terjadi dalam perkembangan pada era globalisasi ini. Upacara gendang kematian etnik Karo saat ini, memiliki spiritualitas modern, yaitu spiritualitas yang mengarah pada kapitalisme dimana konsumerisme telah menjadi bagian dari unsur-unsur yang ada pada upacara tersebut. Padahal, semestinya harus ada keseimbangan antara spiritual dan materi. Seperti yang dijelaskan Piliang, kepentingan mendasar spiritualisme adalah bagaimana menjadikan individu memahami akan dirinya, antara agama dan materi. Spiritulitas tidak boleh dijadikan untuk mengejar materi, yang dengan sendirinya dapat membuka jalan untuk merebut kekuasaan. Agama sangat kaya dengan ajaran keseimbangan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang kuat, tahan terhadap terpaan dan arif dalam bertindak. Harus pula diciptakan
keseimbangan antara spiritual dan materi. Keseimbangan antara spiritual dan materi berlandasakan pada pengekangan hasrat. Dalam dunia konsumerisme kapitalisme global, masyarakat terus didorong untuk memenuhi siklus kehidupan dan dorongan hasrat yang tidak ada akhirnya (Piliang, 2004: 307). Terkait dengan ungkapan diatas bahwa spiritualitas
upacara gendang
kematian etnik Karo memiliki wajah budaya tradisi, saat ini berubah menjadi wajah yang tidak diilhami dan disemangati oleh nilai-nilai tradisi yang ada. Hal ini mengakibatkan hampir semua pilihan dan keputusan yang diambil terkesan sangat kompromistis dan opurtunistik. Masyarakat terkesan tumbuh menjadi sosok manusia yang tidak lagi mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Penghambaan pada materi menjadi urutan teratas tidak saja pada sebuah upacara kematian, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Inilah, menurut pengamatan penulis menjadi faktor pendorong terjadinya gaya hidup dimana spiritualitas hanya dijadikan sebagai pemuasan hasrat rendah, yaitu materi. Dalam tradisi
Karo
sangat
jelas
pembatasan
antara
pertua
agama
dan
budayawan/seniman. Namun keduanya sering disatukan untuk pemuasan hasrathasrat rendah dan dijadikan alat perpanjangan tangan melakukan kekuasaan terhadap orang lain. Menurut Majid (2010: 207), hubungan antara agama dan negara umumnya dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu pertama, lebih berkaitan dengan dimensi internal agama. Seberapa jauh agama menyediakan rancang bangun yang mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk antara relasi agama dan politik atau
agama dianggap wilayah privat, yang tidak ada kaitannya dengan urusan penyelenggara Negara. Kedua, dimensi eksternal yang lebih berkaitan dengan pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama. Apakah agama dipahami sebagai wilayah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara. Nilainilai agama seyogianya ditampilkan dalam prinsip-prinsip yang lebih universal, dalam bentuk gerakan kultural yang dijabarkan dalam etika atau moralitas terhadap penyelenggara agama. Pernyataan diatas tidak sepenuhnya terjadi sehingga makna spiritualitas konsumerisme kapitalis yang bermuara kristenisasi terjadi dalam upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Nilai-nilai luhur tradisi ditinggalkan sebelum masyarakat pemilik memahaminya. Ini akibat dari derasnya arus globalisasi yang menimpa nilai-nilai spiritualitas asli etnik Karo. Menurut Berry, manusia perlu menemukan ekspresi yang bisa ditinjau melalui dua kepedulian umat manusia yang saat ini teramati yaitu, kepedulian akan kelangsungan proses kosmis di dalam alam dan kepedulian akan disiplin batiniah yang bersifat tradisional. Berdasarkan kepedulian yang pertama, kita memahami bahwa kita tidak dapat bertindak sesuka hati terhadap alam. Pada kepedulian yang kedua, kita menyadari bahwa kita pun tidak dapat berbuat sesuka hati dalam berelasi dengan kekuatan psikis dan spiritual dunia, melainkan harus menyatu dengan kekuatankekuatan itu (Berry, 2013: 3). Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
tidak terlepas dari
hubungan manusia dengan sang pencipta, dimana manusia meninggalkan dunia
untuk menuju dunia yang baru, manusia dengan manusia, yaitu implementasi dari sistem kekerabatan yang ada, dan manusia dengan alamnya, yakni unsur yang digunakan dalam upacara gendang kematian sangat terkait dengan alam sekitarnya seperti spiritual yang ada pada gendang lima sendalanen tidak semata-mata hanya sebagai pengiring pada upacara tetapi lebih pada kaitannya dengan alam sekitar. Hal ini ditegaskan oleh Berry, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Tidak ada dua dunia, dunia manusia dan dunia bagi makhluk-makhluk lain. Hanya ada satu dunia. Sejalan dengan mati hidupnya bumi, kehidupan manusia pun ditentukan sepenuhnya oleh keberadaannya. Kita akan dipelihara secara spiritual oleh dunia ini atau kita akan mengalami kelaparan spiritual. Tidak ada pengalaman perwahyuan lainnya bagi manusia seperti pengalaman yang didapatnya dari alam (Berry, 2013: 113). Sesuai dengan pernyataan di atas menurut Jekmen Sinulingga seperti berikut. Sebelum etnik Karo mengenal tulisan kita belajar dari tradisi lisan yang ada seperti tindakan-tindakan yang kita lakukan ketika melakukan sebuah upacara. Bambu yang digunakan untuk mengankat mayat ke kuburan setelah upacara itu diampbil dari bambu yang berada di tepi jurang di desa. Bambu itu dianggap sebagai tempat keramat sehingga orang Karo menghormati dan memeliharanya (Wawancara, 20 Desember 2013). Hal senada diucapkan oleh Kebun Tarigan tentang gendang lima sendalanen sebagai berikut. Semua unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen adalah menunjukkan bagiamana orang Karo itu menghargai alam sekitarnya. Mulai dari materi instrumen sampai bunyi yang dihasilkannya sangat terkait dengan spiritualitas pandangan hidup orang Karo. Akan tetapi semua keterhubungan ini tergerus dengan musik modern seperti keybard dan ensambel tiup. Tentu saja hal ini ―membunuh‖ nilai-nilai tradisi yang ada
pada etnik Karo. Semua ini tidak terlepas dari pengesahan atau legitimasi dari agama yang dianut orang Karo saat ini (Wawancara 11 Mei 2012). Penguasa dan pengusaha hendaknya bercermin pada nilai-nilai agama yang dianutnya. Bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai substansial yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam urusan penyelenggara Negara, yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan persaudaraan. Pemahaman atas nilai-nilai agama ini tidak terwujud dalam implementasi kebijakan yang ditetapkan pemerintah, terutama nilai-nilai keadilan yang sudah amat langka dirasakan oleh masyarakat tradisi. Disini, agama hadir ketika pelembagaan agama diikuti oleh kepentingan diuar dirinya. Agama terjebak sebagai instrumen kepentingan, baik kepentingan yang mengatasnamakan ―suara Tuhan‖ sebagai suara kekuasaan, maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai alat legitimasi (Majid, 2010: 207). Upacara gendang kematian bermakna spiritualitas, perasaan kebatinan yang mendalam dan emosi budaya bertujuan untuk mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana patuh dalam menjalankan nilai-nilai tradisi. Spiritual modern mengalami perubahan bentuk yang nihilistik dan materialistik. Hidup sederhana berubah menjadi konsumtif dan hedonistik. Hidup bersih menjadi kotor, dalam arti tidak lagi memenuhi kriteria seperti pribahasa Karo ―adi idahndu duri i dalin, buat tutung janahndu erlambuk‖ (jika nampak duri di jalan, ambil dan bakar ketika memasak). Hal ini diperparah lagi dengan campur tangan ―penguasa‖ dengan berbagai kebijakan yang dihasilkan kadang tidak memihak kepada rakyat
dan memenuhi rasa keadilan. Kapitalisme global juga memiliki andil yamg besar terhadap pergeseran makna spiritualitas. Kapitalisme global menghendaki universalitas dalam segala aspek kehidupan. Spiritualitas tradisi dapat membawa manusia kembali kepada hal-hal yang fundamental. Kita mungkin tidak perlu khawatir mengenai kelangsungan tradisitradisi ini dalam bentuk formalitas dasar, tetapi fundamentalisme mengandung aspek positif, selain tentu memiliki juga di dalamnya aspek-aspek yang kurang kita harapkan (Berry, 2013: 6). Terkait dengan ungkapan di atas, sebagai sebuah tradisi lisan dan bagian dari kearifan lokal etnik Karo, upacara gendang kematian memiliki makna spiritualitas yang mendalam, yang berpengaruh dalam segala tata kehidupan. Namun, tradisi lisan ini tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya agar dipahami dan diterima oleh etnik Karo. Kapitalisme global mampu merontokkan sendi-sendi tradisi dan kearifan lokal masyarakat, yang merupakan bukti historis kreativitas leluhur etnik Karo pada masa lalu. Upacara gendang kematian merupakan bagian dari budaya, sementara budaya membentuk sejarah. Masyarakat merupakan bagian dari proses sejarah dalam periode tertentu. Tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo, memiliki spiritualitas yang sangat berkaitan dengan norma-norma dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang mengalami dinamika seiring dengan perkembangan zaman. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah
tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca ‖tanda zaman‖ dan dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
yang
menyangkut
nilai-nilai
dasar
atau
filosofi
kehidupan
masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern, dan postmodern. Makna-makna yang tercantum di atas diuraikan seperti berikut ini.
7.1.1
Makna Spiritualitas Pramodern Seni berurusan dengan spiritualitas, baik secara rasio maupun secara
pengalaman. Nilai dan makna ada diwilayah kosong dari benua ketidaksadaran manusia yang belum terpetakan. Seni mengandung spiritualitas yang ditangkap seniman dalam wujud-wujud analogi, karena ―yang tak ada‖ itu sulit dirumuskan dalam ―ada‖ (budaya). Seniman memperkaya kebudayaan. Dalam seni modern simbol-simbol seni mengacu pada konsep[ dan pengalaman budaya. Dalam seni pramodern bukan sekedar konsep dan pengalaman, tetapi wujud kehadiran yang spiritual. Yang spiritual itu realitas transenden dari wilayah ‖kosong‖. Ia hanya
terasa ada dan hadir dalam simbol-simbolnya saja. Simbol itu sendiri adalah realitas transenden. Tidak dengan sendirinya artefak-artefak seni yang merupakan realitas transenden itu hadir dalam dunia manusia. Kehadirannya hanya terjadi dalam peristiwa ritual dalam ruang dan waktu ‖kesekarangan‖ alias ‖keabadian‖. Di luar itu daya-daya transendennya tidak bekerja. Diluar upacara benda-benda seni itu hanya berstatus pada profan biasa (Sumardjo 2006: 93). Terkait dengan hal di atas, pada upacara gendang kematian etnik Karo memiliki unsur seni yang sangat penting yaitu seni musik. Menurut Nakagawa, musik adalah objek dan objek adalah tanda, yang diinterpretasi untuk menemukan makna-makna dan harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat. Musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika pertama kali mengenal musik, biasanya kita mengamati akustiknya, seperti melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain. Dalam hal ini kita mengamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi kita harus menghubungkan dengan masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-unsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya seni-seni yang lain (Nakagawa, 2000: 6). Selanjutnya
Marriam
mengungkapkan bahwa
salah satu
wilayah
penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi adalah budaya material
musik. Wilayah ini meliputi studi tentang instrumen musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, idiofon, membranofon, aerofon, dan chordofon. Di samping itu, tiap instrumen harus diukur, dideskripsi, dan digambar dengan skala atau difoto, prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, termasuk nada-nada yang dihasilkan. Di samping masalah-masalah analitis yang dapat menjadi sasaran penelitian dengan beberapa pertanyaan, seperti (1) adakah konsep untuk memperlakukan secara khusus instrumen-instrumen musik tertentu di dalam suatu masyarakat, (2) adakah yang dikeramatkan, (3) adakah instrumen-instrumen yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain, (4) apakah instrumeninstrumen tertentu merupakan pertanda dari pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas, dan (5) apakah suara-suara atau bentuk-bentuk instrumen tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu (Merriam, 1995: 100). Gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian merujuk pada karya seni musik, tradisi, dan religi pada etnik Karo. Selain itu, gendang lima sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak, mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidup. Dengan demikian, dapat disebut sebagai salah satu simbol yang terdapat pada upacara gendang kematian. Menurut Dharmojo (2005: 119), makna simbol bebas dan terbuka bergantung pada aspekaspek tempat simbol bersemayam. Menurut Adlin, bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai
penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi (Adlin, 2007: 148). Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa awalnya gendang telu sendalanen lima sada perarih. Menurut Amat Depari, sebelum tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang dilakukan, terutama upacara gendang kematian pada sebuah tempat atau desa, maka pemain musik yang datang ke tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni penarune (pemain sarune), singindungi (pemain gendang indung), dan singanaki (pemain gendang anak), sedangakan pemalu penganak (pemain penganak) dan pemalu gung (pemain gung) berasal dari tempat di mana upacara tersebut berlangsung. Selanjutnya dalam penelitian ini disebut gendang lima sendalanen meskipun akan diuraikan tentang gendang telu sendalanen lima sada perarih oleh karena gendang lima sendalanen telah diakui dan diseminarkan dalam kongres kebudayaan Karo pada tahun 1965 dan lazim dikenal masyarakat Karo pada saat ini (Lihat 5.2). Terkait dengan istilah organologi dalam tradisi musik Barat, gendang lima sendalanen dikenal sebagai ensambel musik yang terdiri
atas lima jumlah
instrumen musik, yaitu sarune termasuk dalam klasifikasi (aerofon), yaitu bunyi dihasilkan dari udara/angin, gendang indung dan gendang anak (membranofon), yaitu bunyi dihasilkan dari kulit, sedangkan gung dan penganak (idiofon), yaitu menghasilkan bunyi melalui alat itu sendiri. Namun sering juga disebut dengan gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu dua, yaitu angka dua belas untuk
hitung-hitungan perangkat yang digunakan seluruhnya, termasuk stik atau alat memukul instrumen musik tersebut. Masyarakat Karo mengenal pemain musik dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring musik dalam upacara yang ada pada etnik Karo (lihat gambar, L.4.22) Di dalam spiritualitas pramodern, upacara gendang kematian etnik Karo terdapat tanda-tanda identitas Karo dalam memproduksi makna yang dapat di interpretasi, antara lain dari penanda (signifier) gendang lima sedalanen sebagai tanda (semiotik), yang mempunyai petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Produksi makna di sini adalah proses makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004: 90). Makna konotasi diperoleh berdasarkan latar budaya pemberi konotasi. Sebelum tahun 1945, sierjabaten atau pemain musik dalam upacara gendang kematian benar-benar bersatu dengan unsur lain yang ada pada upacara tersebut. Para sierjabaten (pemain musik) diakui memiliki kemampuan yang lebih dari manusia biasa. Namun, dalam upacara gendang kematian jasa mereka tidak diukur dari uang. Mereka hanya diberikan simulih sumpit atau pukulan untuk orang sakit (sesajen) berupa beras, telur ayam, sirih, rokok, garam dalam satu wadah yang disebut sumpit. Syarat itu juga dilakukan karena dianggap bahwa mereka akan lama sampai di tempat tinggal dan itu sebagai bekal di perjalanan. Mereka adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dengan sistem kekerabatan yang ada di masyarakat Karo. Dalam upacara gendang kematian wadah sistem kekerabatan ini semua berlaku.
Berdasarkan uraian di atas menurut Kebun Tarigan (85), salah seorang penarune senior bahwa ensambel gendang lima sendalanen pada etnik Karo tidak bisa terlepas dari sistem kekerabatan atau sistem adat istiadat yang ada. Gendang lima sendalanen yang awalnya dikenal dengan gendang telu sendalanen lima sada perarih mewakili merga silima dan telu sendalanen menerangkan ikatan yang tiga atau rakut sitelu. Bilang-bilang (bilangan) sangat dijunjung tinggi oleh nenek moyang orang Karo. Jadi, telu (tiga) dengan lima (lima) akan menjadi waluh (delapan) yang kemudian disebut tutur siwaluh. Unsur keseluruhan yang digunakan dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri atas sepuluh sada tambah sada yang berarti berjumlah dua belas perangkat termasuk pemukul (stick) yang digunakan dalam ensambel tersebut. Tambahan unsur dari lima instrumen di atas adalah dua pemukul gendang singindungi, dua pemukul gendang singanaki, satu pemukul penganak satu pemukul gung, dan satu gantungan gung. Inilah yang kemudian disebut sebagai perkade-kaden sepulusada tambah sada. Sangkep nggeluh (Lihat 4.1.4), sebagai sistem kekerabatan terwakili oleh ensambel gendang lima sendalanen yang semuanya harus hadir dalam upacara gendang kematian (wawancara, 10 Juni 2012). Pernyataan di atas ditegaskan oleh Adlin, bahwa objek visual (simbol), seakan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia, terutama untuk memperjelas keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas masyarakat yang lebih luas lagi. Hal ini memiliki makna terhadap proses penciptaan objek visual itu sendiri. Pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan
untuk membantu menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang mungkin adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang menggiring nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan sehingga memiliki nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya. Akhirnya, kembali kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan mempertahankan nilai-nilai objek yang orisinal dan mungkin adiluhung atau memang membiarkannya ‖bermain‖ dan diombang-ambingkan di tengah kubangan persepsi masyarakat modern (Adlin, 2007: 151). Ensambel gendang lima sendalanen seperti yang sudah disebutkan dalam wujud (lihat 5.2) terdiri atas lima jenis instrumen musik. Surune adalah salah satu instrumen dalam ensambel ini yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Sarune merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda. Gambar 7.1 menunjukkan, yaitu (1) dilah-dilah atau anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian tongkeh; (2) ampang-ampang, yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut; (3) tongkeh terbuat dari timah,
bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya; (4) kerahong atau batang sarune terbuat dari kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar bentuknya menjadi konis dan bagian dalamnya juga dilubangi agar bentuknya menjadi konis. Pada batang sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah; (5) gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.
Gambar 7.1 Dilah-dilah, ampang-ampang, tongkeh, kerahung, dan gundal bagian-bagian yang terdapat pada instrumen sarune dalam gendang lima sendalanen (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah-dilah sarune tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang
tumbuhnya di permukaan yang tinggi, bebas di sinar matahari dan tiupan angin. Di samping daun kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut dipercaya masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional. Bahkan, ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya menggunakan air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan oleh masyarakat Karo di luar dari kepentingan alat musiknya. Selanjutnya menurut Tarigan, ampang-ampang dalam instrumen musik sarene jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Karo merupakan pembatas atau pembeda merga-merga yang ada. Pada zaman dahulu tiap-tiap orang Karo mempunyai kesain batas-batas, baik tempat tinggal, perladangan, maupun persawahan. Batas-batas inilah kemudian ditafsir sebagai ampang-ampang pada instrumen sarune. Pernyataan di atas didukung oleh seorang etnomusikolog Shin Nakagawa dari Jepang yang mengungkapkan bahwa Ilmu etnomusikologi pada mulanya berupa kegiatan meneliti nada-nada dan alat-alat musik bangsa lain. Kemudian berkembang menjadi mencari hubungan antar musik dan manusia dalam kebudayaan dengan menggunakan hasil penelitian antropologi. Proses ini disebut perubahan perspektif, yaitu perubahan dari etnosentrisme menjadi etnorelativisme (Nakagawa, 2000: 4).
Tongkeh sarune adalah unsur yang terbuat dari timah. Menurut Jekmen Sinulingga, masyarakat Karo sudah mengenal timah sejak dahulu. Hal ini terwujud dari bagaimana masyarakat Karo ketika memberikan kata penghiburan kepada sukut yang meninggal dunia dalam upacara kematian, dengan kuan-kuan (peribahsa) sebagai berikut, gia nggo lawes orang tuanta nadingken kita tetaplah kam kerina bagi timah sada tinuang, (meskipun orang yang dikasihi telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, tetap kita seperti timah tuangan yang bersatu yang takkan dapat diceraikan oleh apa pun) (Wawancara, 11 Juni 2012). Dari ungkapan di atas diketahui bahwa sesuai dengan letak tongkeh pada instrumen sarune adalah sebagai bagian tengah untuk menghasilkan bunyi dan sebagai penyambung dilah dengan kerahung pada instrumen tersebut. Kerahung dan batang sarune terbuat dari pohon selantam. Pohon selantam dikenal pada masyarakat Karo sebagai jenis tanaman perdu dan daunnya termasuk salah satu yang disebut bulung-bulung simelias gelar (daun-daun yang baik untuk obat-obatan). Bagian inilah yang dilubangi untuk menghasilkan perbedaan nada antara satu dan yang lain dalam melodi. Dalam proses melubangi menurut Kebun Tarigan, ada mang-mang (mantra) yang harus dilakukan. Jumlah delapan lubang pada kerahong/batang sarune dan setiap lubang terkait dengan tutur siwaluh yang terdapat pada sangkep nggeluh masyarakat Karo. Proses melubangi memakan waktu yang tidak bisa ditentukan dengan pasti. Karena dari kedelapan lubang yang ada pada batang sarune mewakili salah satu kerabat yang meninggal pada tutur
siwaluh karena sarune yang digunakan pada upacara gendang kematian adalah sarune yang sama (Lihat, 4.1.4). Di samping dijadikan sebagai sarune dalam tradisi musik Karo, selantam biasanya tumbuh dan ditanam oleh orang Karo di pembatas-pembatas perladangan dengan jurang untuk menahan jatuhnya jurang dan sekaligus menjadi pagar. Selantam adalah pohon yang tidak mengganggu tanaman-tanaman yang lain yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari oleh manusia (wawancara, 10 Juni 2012). Berdasarkan uraian di atas Krader mengungkapkan bahwa etnomusikologi mencoba meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik di dalam konteks sosiokultuaralnya, menempatkan musik itu ke dalam pikiran, kegiatan-kegiatan, dan struktur-struktur sebuah kelompok manusia. Di samping itu, juga memperjelas pengaruh timbal balik antara satu dan yang lain. Etnomusikologi membandingkan fakta-fakta ini satu dengan yang lain melalui sejumlah kelompok individu yang mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan lingkungan teknisnya (Krader, 1995: 3). Kenyataan ini sangat erat terkait dengan bagian-bagian sarune yang merupakan sebuah simbol yang dapat dimakanai satu dengan yang lain. Gundal pada instrumen sarune juga terbuat dari bahan pohon selantam. Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa instrumen sarune terdiri atas lima unsur pada bagian-bagiannya. Bentuk gundal dalam sarunai menunjukkan bahwa segala sesuatu perlu di-momo-kan atau diumumkan. Gundal adalah unsur yang menentukan besar kecilnya bunyi yang dihasilkan oleh sarune. Menurut Kebun
Tarigan, gundal berfungsi sebagai corong (bell). Demikian juga dalam sistem kemasyarakatan yang disebut merga silima sudah ditentukan merga yang memberikan kabar (berita) kepada merga-merga yang lain yang tinggal di daerahnya (Lihat 4.1.3). Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi (diikatkan) sebuah ‖gendang mini‖, yang disebut gerantung, sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun. Badan kedua alat musik ini, terbuat dari pohon tualang. Lobang atau rongga bagian dalam dibentuk mengikiuti konstruksi bagian luar alat-alat musik tersebut. Kulit direntangkan pada kedua sisi muka (head drum). Kulit tersebut berasal kulit napuh, sejenis kancil yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang dililitkan pada seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membran gendang. Tiap-tiap gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick).
Gambar 7.2 Gendang singindungi dan gendang singanaki yang digunakan pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011) Gambar 7.2 menunjukkan bahwa bagian-bagian gendang singanaki dan gendang singindungi sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang adalah (1) tutup gendang dan pantil gendang, yaitu bagian atas dan bagian bawah yang mengelilingi babah gendang (membran gendang). Tutup gendang terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi dengan kulit napuh (sejenis kancil), (2) babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah gendang inilah yang dipukul dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik gendang singanaki maupun gendang singindungi, (3) kula gendang (badan gendang) terbuat dari kayu tualang sekarang digunakan kayu nangka, (4) tali gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi yang
berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang melintasi sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah simetris vertikal). Selain itu menelusuri sekujur baluh dengan pola jelujur yang membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini sebagai perangkat pengatur mekanis, (5) alat pukul gendang (stik) terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama panjang, besar, dan bentuknya. Di pihak lain alat pukul gendang sngindungi keduanya berbeda besar dan bentuknya. Gerantung/garantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi gendang singanaki. Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya tidak berbeda, baik dengan gendang singindungi maupun gendang singanaki. Perbedaan terjadi hanya pada ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan gendang. Dari uraian di atas diketahui bahwa gendang pada etnik Karo juga terdiri atas lima bagian yang berbeda-beda. Disetiap bagian menunjukkan bahwa masyarakat Karo pada dasarnya sangat dekat dengan kosmologinya. Dari kosmologi inilah kemudian dapat diwujudkan spiritualitas masyarakat itu sendiri. Napuh, bambu, tualang, lembu, dan jeruk purut merupakan sebuah simbol yang dimaknai sebagai representasi spiritualitas pramodern etnik Karo terhadap ibu pertiwi atau alam lingkungannya. Berikut ini ditelaah makna-makna yang terdapat pada gendang singindungi dan gendang singanaki.
Tutup gendang dan pantil gendang terbuat dari kulit napuh. Napuh merupakan salah satu jenis binatang menyerupai binatang kancil. Menurut Sorensen Tarigan, sudah banyak sekali kulit binatang dicoba untuk digunakan dalam instrumen baik gendang singindungi maupun gendang singanaki. Akan tetapi, semua kulit ini, misalnya kambing, sapi, dan rusa, suara yang dihasilkan tidak sesuai seperti kulit napuh. Di samping itu, etnik Karo mempunyai jenis makanan khas yang disebut dengan terites. Terites adalah sejenis makanan yang bahan dasarnya secara kasar adalah makanan lembu atau kambing yang telah berada dalam ususnya. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya dengan sebutan pagit-pagit merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan. Terites tersebut diambil dari lambung kedua sapi (lembu dalam masyarakat Karo) atau kambing dalam istilah biologinya dikenal dengan istilah rumen, tetapi orang Karo menyebutnya tuka si peduaken (usus nomor dua). Kata pagit-pagit berarti ‗yang pahit-pahit‘ adalah padanan kata yang paling cocok. Mengapa masyarakat Karo mengambil sumber terites dari lembu ataupun kambing karena sulit sekali untuk mendapatkan napuh. Sebenarnya napuh-lah yang paling enak dibandingkan dengan hewan yang lain (Wawancara, 05 Mei 2012). Informasi lain tentang binatang ini, diperoleh dari Kebun Tarigan. Menurut Kebun Tarigan,
lemaknya sangat
baik
untuk menyembuhkan penyakit
keseleo/patah tulang. Lemak binatang yang paling baik untuk penyakit jenis ini adalah dari binatang napuh. Kulitnya dijadikan sebagai penutup, baik gendang
singindungi maupun gendang singanaki dengan cara membungkus babah gendang yang terbuat dari bambu. Bambu ini kemudian dibalut dengan kulit napuh sehingga menjadi bentuk lingkaran dan disebut babah gendang dan pantil gendang (Wawancara, 11 Mei 2012). Etnik
Karo menyebut bambu dengan istilah buluh. Etnik Karo
menggunakan buluh dari lantai hingga atap rumahnya, dari perabot di dapur seperti ukat (sendok mengambil nasi), ingan beltu-beltu (tempat mengeringkan ikan), ndiru (alat pengayak beras), dan sebagainya. Menurut Joker Barus salah satu guru (dukun) di lokasi penelitian mengungkapkan seperti di bawah ini. “adi la lit buluh, labo lit kalak Karo. Sebab buluh e me i bere Dibata jadi sinampati ibas kegeluhenta. Adi nai bagi si kubahan enda tamandu ije pangan sada tahun nari nendu entah ipandu seri denga nanmna. Tapi ibahan nge mang-mang ibas buluh enda salu tulisen aksara Karo”. (Jika tidak ada bambu, orang Karo juga tidak ada. Bambu diberikan yang punya kehidupan yang membantu manusia Karo dalam segala hal. Kalau dulu, makanan bisa disimpan selama setahun, ketika dimakan masih sama rasanya dengan setahun yang lalu. Satu-satunya alat yang bisa menyimpan itu adalah bambu yang telah dengan ucapan khusus dan menulis dengan aksara Karo‖ Apabila dicermati ungkapan tersebut, dalam kehidupan masyarakat pedesaan khususnya lokasi penelitan spiritualitas upacara gendang kematian bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu dikenal oleh masyarakat Karo memiliki sifat-sifat yang luar biasa dan sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Bambu juga disimbolkan sebagai sebuah siklus hidup orang Karo, contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluarlah rebung. Batang bambu muda dapat dijadikan makanan khas, yaitu tubis. Selain itu, batang bambu juga dapat
digunakan sebagai bahan bangunan, bahan baku kerajinan tangan, dan yang utama adalah dijadikan sebagai alat musik. Bambu memiliki makna mendalam. Di seluruh Nusantara bambu digunakan sebagai alat musik mereka, seperti kolintang, angklung, gambang, keteng-keteng, dan sebagainya. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa babah gendang dibuat dari bambu yang sebelumnya dilapis kulit napuh kemudian disatukan dengan kula gendang (badan gendang) yang berasal dari pohon tualang. Tualang adalah jenis kayu besar dan tinggi yang hidup di hutan. Sebelum seniman Karo menggunakan pohon nangka sebagai salah satu unsur dalam gendang singindungi dan gendang singanaki, tualang-lah yang digunakan. Kepercayaan masyarakat Karo terhadap kayu ini sangat banyak dari sisi kekuatannya. Menurut Njenap Ginting, ketika masyarakat Karo membangun sebuah rumah siwaluh jabu (rumah adat) tualang digunakan sebagai pusat kebertahanan rumah yang disebut tekang. Tekang adalah kekuatan dalam sebuah bangunan. Untuk dijadikan tekang dalam membangun rumah
tidak dapat
digunakan selain tualang. Di atas pohon tulang yang tinggi selalu ada tawon yang bermadu dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Karo terkait dengan tualang, yang dikenal masyarakat dengan cerita tualang simande angin. Alkisah, ada seorang pemuda yang bernama Pawang Ternalem mencintai seorang putri raja yang bernama Beru Patimar. Syarat untuk mempersunting dirinya adalah dengan memanjat sebuah pohon tualang yang penuh dengan tawon/lebah yang berbisa dan
harus memberikan madu tawon yang diambil dari tualang tersebut kepaba Beru Patimar. Sudah puluhan pemuda menjadi korban meninggal oleh karena jatuh. Pawang Ternalem adalah seorang anak yatim piatu yang datang ke tempat tersebut. Tempat berdirinya tualang itu disebuah desa yang disebut Desa Jenggi Kumawar. Jenggi Kumawar letaknya di daerah hilir (dataran rendah) Tanah Karo. Pawang Ternalem datang dari daerah tinggi Karo yang disebut Karo Gugung. Ketika hari pagi yang disebut orang Karo tekuak manuk sekali, masyarakat Jenggi Kumawar mendengar suara musik surdam dari atas tualang simande angin. Beru Patimar juga mendengar bunyi surdam tersebut. Keluarlah Beru Patimar siapa gerangan yang sudah dapat memanjat pohon tualang simande angin. Alangkah terkejutnya dia ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Dia melihat seorang pemuda desa dan sama sekali tidak sesuai seperti apa yang diharapkannya. Namun, akibat persyaratan yang diminta telah terpenuhi dia harus menerima pemuda ini menjadi suaminya. Di bawah pohon tersebut ada sebuah kolam dan di kolam itulah kemudian Pawang Ternalem mandi. Begitu selesai mandi Beru Patimar sangat terkejut, melihat ketampanan pemuda tersebut. (Wawancara, 27 Desember 2012). Hingga kini etnik Karo masih sering mendengar turi-turin atau mitos tualang simande angin. Etnik Karo percaya bahwa air yang berdekatan dengan tualang juga mempunyai kekuatan untuk mengobati penyakit. Sejak saat itulah tualang kemudian dijadikan badan (kula) gendang singindungi dan gendang singanaki pada ensambel musik Karo, yaitu gendang lima sendalanen. Tualang
yang dijadikan kula gendang (badan gendang) dikelilingi oleh kulit lembu (sapi) yang disebut dalam gendang dengan sebutan tarik. Tarik berbentuk tali untuk menarik tutup gendang dengan pantil gendang. Tarik diambil dari kulit seekor lembu untuk dijadikan keseimbangan suara gendang singindungi dan gendang singanaki. Lembu merupakan salah satu hewan peliharaan yang yang dapat membantu kehidupan manusia khususnya masyarakat Karo. Di samping daging dan kotorannya masih banyak hal dalam dirinya yang dapat membantu kebaikan manusia. Zaman pramodern setiap merga di Karo mempunyai rumah adat sendiri beserta sangkep nggeluh-nya. Ketika membangun rumah adat yang disebut siwaluh jabu atau delapan keluarga dalam satu rumah, lembu dimanfaatkan untuk menarik balok (kayu) besar menuju kampung. Di samping itu, masyarakat Karo mempunyai keturunan yang banyak, baik untuk mengelola pertanian maupun persawahan, lembu merupakan pembantu yang paling utama dalam menggarapnya. Menurut Sorensen Tarigan, semua materi yang digunakan, baik dalam gendang singindungi maupun gendang singanaki, sangat dekat hubungannya dengan orang Karo. Hal ini bisa dibuktikan pada kerja sintua (upacara besar) di masyarakat Karo bahwa memotong lembu adalah sebuah kebanggaan pada orang pemilik kerja tersebut. Itu yang menyebabkan tarik dalam gendang pun tidak boleh diambil dari hewan lain. Silengguri (spirit) bunyi gendang akan berbeda jika diganti (Wawancara, 26 Desember 2012).
Demikian juga dengan palu-palu gendang, tidak dapat digunakan sembarangan. Pemukul/stick (palu-palu) gendang. Palu-palu gendang adalah stick yang memukul di bagian babah gendang sehingga menghasilkan bunyi. Palu-pulu gendang terbuat dari pohon rimo mukur (jeruk purut). Kekuatan yang terdapat pada jeruk purut di samping dijadikan sebagi pemukul gendang juga sebagai materi untuk penyucian diri. Etnik Karo percaya bahwa setelah berdekatan dengan mayat dalam upacara gendang kematian, harus berlangir dengan menggunakan jeruk purut. Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras (lihat gambar 5.2.3). Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5), sedangkan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm). Pada waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, namun pada saat sekarang ini gung dan penganak yang terbuat dari besi pelat. Palu-palu (stick) gung dan penganak terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet mentah. Kata gung di Karo mempunyai pengertian untuk menunjuk salah satu jenis instrumen musik yang bentuknya bundar dan persegi. Bentuk gung bundar di tengah-tengahnya menggunakan pencu sebagai tempat untuk memukul. Instrumen gung pada umumnya dibuat dari perunggu dan kadang-kadang juga dibuat dari
besi yang digunakan pada ensambel gendang lima sendalanen dalam gendang kematian. Dari uraian di atas tampak bagaimana gendang lima sendalanen sangat erat terkait dengan spiritualitas pramodern baik dari sudut makrokosmos dan mikrokosmos yang terdapat pada etnik Karo. Hal ini ditegaskan Capra, bahwa kita menjadi bagian dari seluruh hewan dan tumbuhan. Selain itu, menjadi bagian (belonging) berarti kita betah (at home) bersama mereka, kita bertanggung jawab untuk mereka, dan kita menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian kita. Kita semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22). Di samping makna-makna instrumen gendang lima sendalanen dengan spiritualitas pramodern etnik Karo masing-masing instrumen juga mununjukkan sangat erat terkait dengan sistem kekerabatan. Setelah ditelaah lebih jauh, sarune dapat dikatakan sebagai posisi sukut/sembuyak. Peran sukut/sembuyak dalam upacara gendang kematian adalah sebagai pemilik upacara tersebut, yang tentu saja harus dapat melihat dan memperhatikan semua kerabat yang hadir dengan cara menghormatinya. Demikian jika dikaitkan dengan sarune dalam gendang lima sendalanen yang berfungsi sebagai pembawa melodi harus melihat semua unsur lain yang ada dalam gendang lima sendalanen. Demikian juga sukut/sembuyak melihat dan memperhatikan semua hal yang terjadi di upacara gendang kematian. Jika upacara ini tidak sukses, yang paling dipersalahkan adalah sukut/senina. Jika ada kesalahan dalam memainkan gendang lima sendalanen
maka sarune-lah yang dianggap menjadi pokok kesalahan tersebut. Dalam upacara gendang kematian sukut/sembuyak berdiri di sebelah kiri kalimbubu dan sebelah kanan senina, sama halnya dengan sarune di sebelah kiri gendang singindungi dan sebelah kanan gendang singanaki. Gendang singindungi berperan sebagai kalimbubu. Kalimbubu dalam upacara gendang kematian dianggap sebagai Dibata si idah (Tuhan yang kelihatan), ketika kesepakatan dalam musyawarah di pihak sukut/sembuyak, kemudian kesepakatan yang sudah diakui tersebut harus diberitahukan kepada kalimbubu untuk dilengkapi dan di pasu-pasu (diberkati). Demikian juga gendang singindungi dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada upacara kematian sebagai sebuah kekuatan dalam ensambel ini. Ritme gendang singindungi merupakan wujud kekuatan dari seluruh instrumen yang ada. Demikian juga jika dilihat dari formasi duduk, gendang singindungi selalu di sebelah kanan sarune, begitu juga dalam formasi berdiri kekerabatan dalam upacara kematian kalimbubu harus di sebelah kanan anak beru. Gendang singanaki berperan sebagai senina. Senina dalam kekerabatan etnik Karo adalah pihak yang selalu mewakili sukut/sembuyak dalam segala hal untuk mengontrol kesuksesan sebuah upacara. Sukut/sembuyak akan selalu menyampaikan sesuatu ke senina-nya sebelum disampaikan ke Tuhan yang kelihatan, yaitu kalimbubu. Begitu juga halnya gendang singanaki dalam ensambel gendang lima sedalanen. Apa yang mau dilakukan oleh sarune, misalnya mengganti sebuah bentuk melodi, gendang singanaki yang akan menyampaikan
pesan tersebut kepada gendang singndungi. Formasi berdiri dalam sistem kekrabatan senina di sebelah kiri sukut/sembuyak. Demikian juga formasi duduk dalam ensambel gendang lima sendalanen, gendang singanaki duduk di sebeleh kiri sarune. Penganak yang memaikan ritme konstan dalam ensambel dianggap sebagai anak beru. Sehebat apa pun sukut/sembuyak, kalimbubu, senina tidak akan bisa melakukan apa-apa jika luput dari anak beru. Anak beru merupakan tulang punggung atas kesuksesan sebuah upacara pada etnik Karo. Demikian peran penganak dalam ensambel gendang lima sedalanen, baik sarune, gendang singindungi, maupun gendang singanaki, tidak akan berguna jika tulang punggung, yaitu penganak tidak ikut di dalamnya. Formasi dalam gendang lima sendalanen, penganak berada disebelah kiri gendang singanaki dan formasi dalam upacara adat anak beru di sebelah kiri senina. Gung dalam ensambel gendang lima sendalanen mewakili anak beru minteri dalam upacara gendang kematian. Anak beru minteri dalam upacara gendang kematian adalah orang yang membantu anak beru dalam menyelasaikan semua tugas yang harus dilakukan mencapai kesuksesan upacara tersebut. Anak beru minteri-lah yang meluruskan semua yang dianggap bengkok dalam upacara tersebut. Sama halnya dengan gung dalam ensambel gendang lima sendalanen adalah sebagai instrumen yang meluruskan semua unsur sehingga gung dijadikan sebagai tolok ukur untuk dapat ditarikan.
Sebagai
representasi
spiritualitas
pramodern
etnik
Karo
dengan
kekerabatan melalui formasi dan kekuatan, yaitu sarune mewakili sukut/sembuyak, gendang singindungi mewakili kalimbubu, gendang singanaki mewakili senina, penganak mewakili anak beru, dan gung mewakili anak beru minteri. Dengan demikian, unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sedalanen tidak bisa dilepaskan dari sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Berikut ini penelaahan tentang bunyi gendang lima sendalanen dengan sistem kekerabatan masyarakat Karo. Sesuai dengan makna unsur-unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen dan hubungannya dengan sistem kekerabatan pada etnik Karo sudah dijelaskan di atas. Berikut ini akan membahas tentang bunyi gendang lima sendalanen
dan
hubungannya
dengan
sistem
kekerabatan,
sebagaimana
dikemukakan Merriam bahwa musik dalam sebuah masyarakat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya. Demikian pula, musik tanpa teks juga mampu memberikan komunikasi. Namun, menurut Merriam bahwa kita sendiri belum tentu tahu apa yang dikomunikasikan oleh bunyi musik itu, bagaimana, dan kepada siapa. Musik itu sendiri bukan suatu bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya (Merriam 1964: 223). Pernyataan di atas menegaskan bahwa bunyi musik yang terdapat pada suatu tradisi semestinya dapat dimaknai hubungannya dengan sistem kekerabatan yang ada pada tradisi tersebut. Bunyi dalam gendang lima sendalanen secara
melodis dikenal dengan istilah ngerenggeti (cengkok). Sebelum acara adat dalam upacara gendang kematian dimulai, singerunggui (protokol) dalam upacara tersebut, meminta kepada sierjabten (pemain gendang) agar memulai dengan buangken gendang (musik dimainkan tanpa ada penari). Gendang ini untuk tenditendi (roh-roh) yang ada di sekeliling tempat upacara dilakukan. Menurut Darwan Tarigan, jika hal ini tidak dilakukan, keberlangsungan upacara dapat terganggu oleh tendi-tendi yang ada di tempat upacara tersebut. Sebelum tahun 1980-an hal ini masih tetap dilakukan, tetapi kini tidak dilakukan lagi karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh orang Karo (Wawancara, 20 September 2012). Secara umum gerakan melodi gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo disesuaikan dengan kata-kata, tangisan/ratapan, dan nyayian yang diungkapkan. Pada dasarnya melodi yang dimainkan, yaitu melodi pendek, dan selalu terjadi pengulangan. Ada beberapa jenis lagu dalam pengulangan tersebut, yaitu penarune (pemain sarune) akan melihat reaksi-reaksi dari keluarga yang meninggal dalam upacara, seperti tangisan suami/istri orang yang meninggal, maka nada-nada yang digunakan juga nada yang tinggi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa melodi dalam gendang lima sendalanen secara umum hanya diulang-ulang (repetisi). Melodi yang lazim ditemukan pada ensambel ini seperti di bawah ini.
Gambar 7.3 Melodi sarunei pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013) Gambar 7.3 menunjukkan modus pentatonis (sistem lima nada), yang digunakan untuk melodi ensambel gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian. Nada-nada yang digunakan yaitu mi-fa-la-si do (3-4-6-7-1). Menurut Kebun Tarigan, semua unsur yang ada dalam gendang lima sendalanen, baik materi instrumen maupun bunyi yang dihasilkannya, tidak terlepas dari hubungannya dengan sistem kemasyarakatan yang ada pada etnik Karo. Jumlah lima nada yang dimainkan menggambarkan bahwa masyarakat Karo mempunyai lima merga (Wawancara, 6 Juni 2012). Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa sarune adalah insrumen musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Menurut Rumengan, musik adalah satu sumber daya bunyi. Bunyi merupakan akibat dari satu gesekan, pukulan, tiupan (sarune), atau persentuhan antara satu benda dengan benda yang lain. Karakter bunyi sangat ditentukian oleh jenis bahan dan cara bagaimana bahan tersebut digunakan untuk menghasilkan bunyi yang dimaksud (Rumengan, 2010: 61). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa musik pada etnik Karo dapat dikatakan sebagai sumber pengetahuan. Selain itu mungkin sebagai pelestarian
pengetahuan dan nilai-nilai luhur masyarakat. Di samping sarune sebagai pembawa melodi dalam gendang lima sendalanen berikut ini diuraikan musik yang terkait dengan ritmis. Ritmis, baik gendang singindungi maupun gendang singanaki dikenal pada etnikKaro dengan sebutan cak-cak. Cak-cak merupakan salah satu bentuk karya seni yang disusun oleh seniman atau penggual yang menggunakan bunyi atau nada sebagai mediumnya yang bersumber dari gendang singindungi atau gendang singanaki. Cak-cak yang bersumber dari gendang merupakan suatu ―rangkaian‖ bunyi atau nada dari gendang yang disajikan oleh berbagai jenis dan bentuk cak-cak sesuai dengan jenis gendangnya. Dari ―rangkaian‖ bunyi atau nada tersebut dan ditambah dengan unsur-unsur musikal lainnya, seperti tempo, volume, dan pola pukulan tiap-tiap cak-cak, struktur, dan bagian gendang pada akhirnya akan mewujudkan suatu bentuk gendang seperti di Karo, yaitu adanya bentuk gendang simelungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam, dan sebagainya. Etnik Karo mengenal bunyi dari gendang singanaki dengan sebutan tang dan ck. Gambar 7.4 menunjukkan bahwa tang dan ck dapat mewakili merga silima dan rakut sitelu.
Gambar 7.4 Ritmis gendang singanaki pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013) Dengan menggunakan istilah musik Barat, notasi ini ditulis dalam garis para nada tanpa tanda kunci karena ritmis pada gendang singanaki tidak besifat melodis. Pada baris pertama tampak jelas bahwa
yang berbunyi ritmis tang
berjumlah lima atau delapan buah setiap birama yang sebenarnya mewakili lima merga dan tutur siwaluh yang terdapat pada etnik Karo. Jika ditinjau lebih jauh bagaimana cara memainkan tang pada gendang singanaki, yaitu seperti memukul sesuatu dan ketika pukulan itu mengenai sesuatu itu, pemukulnya langsung berpisah sehingga bunyi didengar lebih lama (reveb). Di pihak lain
yang
berbunyi ck, dipukul dengan melengketkan stik pada instrumen tersebut seperti melengketkan sesuatu dan selalu berjumlah tiga dalam satu birama atau tiga nada yang bergandengan. Inilah yang mewakili rakut sitelu pada sistem kekerabatan etnik Karo.
Pada baris kedua melodi di atas, digambarkan bahwa pada etnik Karo terutama pada sistem kekerabatannya terdapat variasi, seperti sub-sub yang ada pada sembuyak, yaitu sipemeren, kalimbubu seperti puang kalimbubu dan anak beru seperti anakberu minteri dapat tergambar dari baris kedua dan baris ketiga melodi sarune di atas. Gambar 7.5 menunjukkan ritmis yang terdapat pada gendang singindungi dalam ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur pada upacara gendang kematian etnik Karo. Variasi ritmis dalam gendang singindungi digambarkan dan ditelaah sebagai berikut.
Gambar 7.5 Ritmis gendang singindungi pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013) Seperti yang diungkapkan oleh Darwan Tarigan bahwa ritmis gendang singindungi berfungsi untuk mempertegas bagaimana pentingnya rakut sitelu pada etnik Karo. Hal ini berarti bahwa apa yang dimainkan dalam gendang singindungi ini merupakan variasi dari variasi kehidupan yang terdapat pada sangkep nggeluh yang ada di masyarakat Karo (Wawancara, 26 juni 2013). Penjelasan tersebut
dapat dilihat dari
yang berbunyi tang, menunjukkan tutur siwaluh, sedangkan
yang berbunyi ck, yang dipertegas oleh
dengan bunyi tih dan sekaligus
menunjukkan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada yang berjumlah dua belas. Jadi, dari bunyi yang dimainkan atau didengar pada ensambel gendang lima sendalanen, baik dari sisi melodi maupun sisi ritmis, merupakan
sistem
kekerabatan etnik Karo yang disebut sangkep nggeluh yaitu merga silima, rakut sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada. Gendang lima sendalanen adalah musik dan musik adalah seni. Menurut Sumardjo, nilai seni adalah nilai yang dialami, baik intrinsik maupun nilai ekstrinsiknya. Nilai itu hadir lewat medium intrinsiknya yang distruktur oleh nilai ekstrinsik yang ingin disampaikan. Karena nilai seni dihayati secara konkret, maka nilai seni tidak dapat direduksi lewat kesadaran rasional. Meskipun demikian, kesadaran rasional dapat memperjelas nilai pengalaman seninya (Sumarjo, 2006: 96). Terkait dengan pernyataan di atas meskipun penganak dan gung tidak berperan sebagai pembawa ritmis variasi dalam ensambel gendang lima sendalanen, mengandung nilai intrinsik melampaui instrumen yang lain dalam ensambel tersebut. Melodi pada sarune, ritmis pada gendang singindungi dan singanaki tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada penganak dan gung. Penganak dan gung berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima sendalanen. Gambar 7.6 menunjukkan ritmis yang diperani oleh penganak dan
gung. Setiap birama menujukkan jumlah bunyi penganak dimainkan, dan nilai ketukan satu kali gung lebih besar nilai ketukannya dibandingkan dengan bunyi penganak.
Gambar 7.6 Ritmis gung dan penganak pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013) Gambar 7.6 adalah partitur bunyi dari suara penganak dan gung. Dalam ensambel gendang lima sendalanen bunyi yang paling sedikit dimainkan adalah bunyi penganak dan bunyi gung. Jika bunyi penganak dalam satu birama sebanyak dua ketukan, maka gung hanya satu ketukan. Meskipun bunyi gung paling sedikit terdengar dalam ensambel ini, gung dipercaya orang Karo sebagai keputusan akhir dari sebuah kesepakatan. Hal ini, terwujud dari peribahasa atau kuan-kuan pada etnik Karo,yaitu kata kalimbubu emekap kata gung (keputusan kalimbubu atau Tuhan yang terlihat adalah keputusan yang harus dilaksanakan). Penjelasan di atas adalah uraian kekerabatan pada masyarakat Karo yang ada pada upacara gendang kematian. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa etnomusikologi mencurahkan perhatiannya untuk mengumpulkan fakta-fakta kemudian mencari penyelesaian masalah-masalah mendasar di dalam hubungan dengan studi tentang musik
sebagai bagian dari budaya manusia. Menurut Merriam, hal ini ditekankan di dalam literatur etnomusikologi yang cenderung untuk mengarahkan perhatiannya terhadap analisis suara-suara musik dan menghubungkan dengan matris budayanya. Di samping itu, juga terhadap deskripsi fisik instrumen-instrumen musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan analisis tentang musik itu dan apa peranannya di dalam masyarakat (Merriam, 1995: 91). Selanjutnya akan ditelaah makna representasi spiritual melalui landek (menari). Makna representasi spiritualitas etnik Karo melalui landek diawali dengan makna landek dalam konteks guro-guro aron (upacara muda-mudi). Landek (tari) merupakan seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling terhubung melalui pola dan gagasan musik. Menurut Danesi, tari memiliki lima fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan, mengisahkan suatu cerita. Balet Barat merupakan contoh tarian estetis. Kedua, tarian dapat menjadi bagian ritual dan berfungsi komunal. Di Karo misalnya, tarian dalam upacra gendang kematian. Ketiga, tari dapat menjadi sebentuk rekreasi dan memenuhi berbagai kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial, atau hanya sekadar sebuah pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam fungsi sosial. Setiap masyarakat memiliki bentuk tarian karakteristik, yang dilangsungkan dalam acara-acara seremonial atau pada perkumpulan informal. Seperti halnya makanan dan kostum tradisional, tarian membantu orang-orang dalam sebuah bangsa atau kelompok etnis untuk memahami hubungan mereka satu
sama lain dan dengan leluhur mereka. Dengan menari bersama, para anggota sebuah kelompok mengekspresikan perasaan adanya identitas bersama atau keterlibatan. Kelima, tarian terutama penting selama masa pacaran dan inilah alasannya mengapa tarian sangat populer di kalangan muda. Orang menari sebagai cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan, dan vitalitas mereka (Danesi, 2010: 87; Liembeng, 2009: 28). Secara umum tari pada etnik Karo disebut landek. Dalam budaya Karo, penyajian landek tergantung pada konteks atau bersifat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya. Selain itu, setiap gerakan dalam landek pada etnik Karo juga berhubungan dengan simbol-simbol dan makna-makna tertentu. Gambar 7.7 berikut menujukkan gerakan dalam landek pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) dalam kerja tahun (pesta tahunan) etnik Karo.
1
2
3
4
5
6
7
8 9 Gambar 7.7 Makna simbol-simbol landek dalam upacara gendang guro-guro aron (Dokumen: Pulumun P. Ginting 23 Juni 2012) Gambar 7.7 menunjukkan bahwa setiap gerakan landek yang ada pada etnik Karo dimaknai sesuai dengan konteksnya. Menurut Kumalo Tarigan, beberapa makna gerakan dalam landek pada masyarakat Karo adalah (1) gerakan tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur (berpikir) posisi landek seperti ini
maknanya menimbang-nimbang sebelum
memutuskan sesuatu; (2) gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten (tolong-menolong) maknanya adalah saling menolong dan saling membantu; (3) gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tidak
boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau jangan dekat sebelum tahu merga dan beru; (4) gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat; (5) gerakan tangan ke atas melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan; (6) gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak melambangkan beren rukur, yang bermakna menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, jangan menyesal kemudian; (7) gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras mbabasa, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, sebagai rasa sepenanggungan; (8) gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab; dan (9) gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun dia apabila sudah berkenalan akan diterima dengan senang hati (Wawancara, 23 Juni 2012). Pola-pola dasar landek etnik Karo terbentuk atas tiga unsur, yakni endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan landek Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan cemet jari (lentik jari). Endek merupakan salah satu unsur penting dalam landek Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan kembali lagi ke atas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan ke bawah secara
vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (ritmis gung dan ritmis penganak dalam gendang lima sendalanen yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam landek pada etnik Karo. Odak atau pengodak adalah gerakan penari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan dan dilakukan pada saat gung (gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap
dilakukan.
Maksudnya, ketika
penari
melakukan odak
(melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan gendang. Sementara itu, ole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak. Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari pada masyarakat Karo untuk melakukan endek, odak, dan ole. Menurut Dibia, Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Tubuh sekaligus juga sebagai instrumennya. Tubuh adalah kesatuan utuh dari seorang individu, tidak merupakan bagian tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot, tulang, darah, daging), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari adalah suatu perwujudan ekspresi secara personal (Dibia, 2005: 6).
Ungkapan tersebut di atas terjadi pada landek dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Karena dalam konteks ini tiap-tiap orang memiliki penalaran menari
berbeda-beda.
Landek
pada
etnik
Karo
dalam
penggunaannya dibedakan sesuai dengan konteksnya. Landek yang berkaitan dengan adat istiadat adalah landek yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara adat yang dimaksud adalah upacara gendang kematian dan upacaraupacara yang lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, yaitu senina, kalimbubu, dan anak beru bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik upacara/ tuan rumah). Tiap-tiap kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.
Gambar 7.8 Landek dalam upacara gendang kematian pada masyarakat Karo (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 23 Juli 2012) Tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus
(Dibia, 2005: 3). Gambar 7.8 menunjukkan bagaimana etnik Karo menari pada upacara gendang kematian. Bagi kelompok sukut, tarian ini merupakan tarian penyambutan atau penghormatan kepada kalimbubu (Tuhan yang kelihatan) dalam upacara tersebut. Setiap kerabat yang diundang akan mendapat giliran menari sambil memberikan kata penghiburan yang selalu berhadap-hadapan dengan pihak sukut. Sebaliknya, bagi kelompok tamu, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat) kepada keluarga yang memiliki hajatan. Landek dalam konteks upacara gendang kematian merupakan sebuah tarian komunal yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo dalam hal persamaan derajat atau suatu kontak antara orang kaya dan orang miskin, orang kota dan orang desa dari suatu garis keturunan atau kekerabatan. Landek dalam konteks ini tidak ada kaitannya dengan keindahan tubuh seperti yang terjadi pada landek dalam upacara gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi). Di samping itu, landek juga dilakukan dalam konteks ritual, seperti memanggil roh perumah begu. Pernyataan diatas didukung oleh Sumardjo, seni pramodern tidak memperhitungkan bagus atau tidak bagusnya penampilan seninya, tetapi justru selamat atau tidak selamatnya selama upacara pertunjukan. Seorang penari yang keseleo bukan saja merusak estetika, tetapi yang lebih gawat dapat merusak upacara yang berakibat ketidakselamatan (musibah kemudiannya). Kain upacara yang sobek dapat membuat sipemakainya tidak dapat tidur berhari-hari, menebaknebak malapetaka yang akan menimpanya. (Sumarjo, 2006: 95).
Landek yang berkaitan dengan ritual biasanya dibawakan oleh seorang guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah tari perumah begu (tari memanggil roh) (lihat 6.2.1), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan sebagainya. Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru sibaso (dukun) berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara biasanya beliau memanggil jinujungnya (junjungan-nya) untuk ‗masuk‘ ke dirinya. Dengan demikian, gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian). Menurut filsuf Amerika, Susanne K. Langer (1895--1985), bentuk kesenian merupakan sebuah bentuk yang disajikan, hingga memungkinkan beragam interpretasi, tidak seperti buntuk diskursif yang ada dalam sains dan bahasa biasa, yang memiliki makna dalam kamus. Gerakan yang indah dalam tarian tidak memiliki tujuan spesifik. Langer menyatakan bahwa selain untuk membangkitkan perasaan naluriah kita akan keindahan dan hal-hal yang agung—dan keduanya bersifat universal. Secara paradoks, seni dapat mencapai satu hal yang tak dapat dicapai alam. Seni dapat menawarkan keburukan dan keindahan sekaligus dalam
satu objek—lukisan bagus yang menggambarkan wajah yang jelek masih indah dari segi estetika (Danesi, 2010: 89). Di samping itu pada upacara gendang kematian etnik Karo tidak bisa terlepas dari kata penghiburan atau petuah-petuah yang disebut dengan nuri-nuri. Etnik merupakan sekelompok orang yang terorganisasi, hidup, dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Artinya, etnik memiliki organisasi dan aturan-aturan untuk berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Etnik dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi, etnik merupakan pendukung kebudayaan. Wujud kebudayaan yang berupa polapola aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan tampak pada pelaksanaan adat istiadat atau tradisi mereka. Etnik yang menetap pada suatu daerah akan secara otomatis membentuk atau memiliki norma-norma, sopan santun, dan aturan. Upacara gendang kematian etnik Karo tidak terlepas dari norma-norma dan aturan pada pelaksanaan upacara tersebut. Nuri-nuri sebagai sebuah aturan untuk berhubungan satu sama lain terwujud dari penyampaian kata-kata belasungkawa, mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasihat meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum. Nuri-nuri diambil dari kata dasar turi. Prinst (2010: 677) menyatakan turi (tentang peristiwa, hikayat) cerita, kata, kisah, uraian, nuri-nuri bercerita. Nurinuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan dengan dialek tertentu, yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga pada upacara gendang kematian yang
berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran, atau nasihat). Pada proses ini diiringi oleh gendang yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta diikuti dengan menari. Nuri-nuri dilakukan untuk menyampaikan dan menceritakan sesuatu hal oleh pihak kerabat yang berduka, kadang-kadang sambil menangis, disampaikan dengan iringan gendang lima sendalanen. Apabila diperhatikan, berbentuk syair lagu, yakni syair kesedihan hati yang dalam pelaksanaannya dilakukan sambil menari. Makna yang terkandung pada nuri-nuri yang diutarakan oleh sangkep nggeluh pada dasarnya berisikan hal yang hampir sama. Nuri nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasihat). Pada proses ini akan diiringi oleh gendang lima sendalanen sambil menari. Makna spiritualitas etnik Karo melalui nuri-nuri dapat dipaparkan sebagaimana sukut ketika mengungkapkan ungkapan yang disampaikan dengan maksud supaya adanya saling menghormati antar seluruh kekerabatan pada keluarga. Pihak sukut (yang mempunyai hajatan) kemudian nuri nuri seperti ‖Perpulungen si erceda ate, gia iluh ibas mata...kalimbubu sinihamati kami sembuyak senina kami, bagaipe siningkelengi kami anak beru kami sada pe la ketadingen. Jadi ibas paksa enda kita sangana erceda ate, ngerana ka aku…” Artinya
―saudara-saudari
yang
ikut
berduka
cita,
meskipun
air
mata
tergenang…kalimbubu yang kami hormati, sembuyak/senina yang kami cintai, dan
semua anak beru yang kami kasihi, hari ini kita semua berduka, atas meninggalnya orang tua yang kami kasihi…‖ Nuri-nuri
menunjukkan bagaimana pemakaian kata kerendahan hati
seorang sukut mau mengasihi kalimbubu dan anak beru dan menyapa dengan hormat. Kata salam yang diucapkan oleh pihak sukut pada umumnya disampaikan terdahulu kepada kalimbubu atau puang kalimbubu keluarga yang berduka, kemudian kepada senina/sembuyak dari kalimbubu itu sendiri, selanjutnya kepada anak beru, anak beru minteri, dan dilanjutkan kepada seluruh yang hadir. Anak beru meminta kalimbubu dari sukut (yang mempunyai hajatan) nurinuri dengan tujuan ingin mencapai sesuatu dari anak beru-nya. Dalam hal ini adalah meminta supaya anak beru (bere-bere) agar tidak pecah berai bersaudara, mengutamakan diskusi untuk mengambil keputusan keluarga, dan sebagainya. Ucapan
meminta ini tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup saja,
melainkan kepada yang meninggal contoh ―Mejuah-juah kerina tading kendu bere-bere kami si dilaki ras sidiberu.” Meminta supaya diberkati oleh yang meninggal anak-anak yang ditinggalkannya. Ungkapan menyarankan ini adalah ungkapan yang diucapkan oleh kalimbubu kepada anak beru dengan tujuan mencapai sesuatu, yakni supaya dilaksanakan. Isinya, yaitu menyarankan supaya tetap teguh dan tetap bersatu walaupun ditinggal pergi oleh orang tua. Ungkapan
menyarankan ini akan lebih terasa apabila yang meninggal
adalah perempuan (ibu) karena yang meninggal tidak lain adalah saudara perempuan kalimbubu itu sendiri. Selain itu, ungkapan menyarankan pada
umumnya disampaikan oleh pihak puang kalimbubu. Hal ini dilakukan karena posisi puang kalimbubu adalah posisi yang tugasnya hanya menyarankan tidak sebagai pemberi keputusan. Dalam nuri-nuri saran disampaikan tidak hanya kepada saudara yang ditinggalkan, tetapi juga ditujukan untuk almarhum. Hal ini disebabkan oleh orang Karo percaya ketika orang meninggal hanya badannya yang mati, sedangkan jiwa atau rohnya tetap hidup dan ada di sekitar keluarga yang ditinggalkan. Petuah dan saran dari kalimbubu bertujuan untuk memberi masukan kepada anak beru. Petuah ini tidak hanya disampaikan kepada saudara yang ditinggalkan almarhum, tetapi juga ditujukan kepada yang meninggal, juga disampaikan kepada saudara orang yang meninggal terlebih kepada saudara perempuan (apabila yang meninggal adalah perempuan). Hal ini penting karena saudara perempuan yang ditinggalkan tersebut dituntut sebagai pengganti ibu bagi anak yang ditinggalkan saudaranya. Nuri-nuri yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya (puang kalimbubu oleh yang berduka) karena telah diberikan kesempatan berbicara dan menyampaikan ucapan belasunggkawa kepada saudaranya. Petuah-petuah juga disampaikan oleh kalimbubu karena kalimbubu adalah jabatan adat yang tertinggi. Di pihak lain, jabatan yang dijabat oleh kalimbubu tersebut adalah jabatan yang tidak tetap. Artinya, jabatan adat di acara adat di satu keluarga akan berbeda bila dia menghadiri acara adat di keluarga yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan. Untuk memulai pembicaraan pada upacara gendang
kematian biasanya dimulai dengan ucapan terima kasih kepada Simada Tinuang (Tuhan), dan kemudian kepada kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. ucapan berterima kasih juga akan kembali diucapkan pada saat mengakhiri penyampaian nuri-nuri. Nuri-nuri yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru pada umumnya berisikan bahwa pihak kalimbubu juga ikut merasakan akan kehilangan orang yang dikasihi tersebut. Hal ini akan sangat jelas tampak apabila yang meninggal adalah perempuan (si ibu), karena ibu merupakan saudara perempuan dari kalimbubu. Sehingga nuri-nuri akan berisi bahwa kalimbubu juga merasa sangat kehilangan. Nuri-nuri ini disampaikan dengan maksud agar saudara yang ditinggalkan tidak merasa bahwa hanya mereka yang kehilangan, tetapi pihak kalimbubu pun merasa kehilangan. Ini diceritakan dengan makna bahwa adanya keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan saudara yang ditinggalkan Nuri-nuri lainnya, yaitu memperingatkan. Nuri-nuri ini diucapkan oleh kalimbubu dengan tujuan memperingatkan anak beru (yang berduka) supaya bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidupnya, yaitu mengutamakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Karo. Upaya mematuhi adat merupakan hal yang paling penting karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi yang sangat bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Nuri-nuri sebagai sebuah peringatan dalam hal ini merupakan pemberian nasihat kepada anak beru supaya tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan memperingatkan agar hidup seperti biasanya.
Selain itu, juga memperingatkan supaya bertindak yang bardasarkan aturan yang berlaku. Petuah-petuah yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru berisikan bagaimana tentang kejadian yang di hadapi sebelum meninggalnya orang yang dicintai. Dalam hal ini menjelaskan bahwa kejadian ditinggalkan orang tua tidak hanya dialami mereka, tetapi dialami semua orang, hanya dibedakan oleh waktu. Nuri-nuri ini mejelaskan bagaimana orang-orang yang mengasihi orang yang meninggal dalam merawat dan menjagai sebelum akhirnya meninggal. Oleh sebab itu, jasa-jasa yang menjagai tersebut haruslah dihargai dan menjadi sebuah pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dalam upacara gendang kematian etnik Karo, semua sangkep nggeluh akan mendapat giliran waktu untuk nuri-nuri.
Kalimbubu dalam hal ini dianggap
sebagai Dibata si idah (Tuhan yang kelihatan) menjadi fokus dalam nuri-nuri ini. Oleh sebab itu dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa isi, makna dan tujuan nuri-nuri pada dasarnya berupa kalimat untuk memberikan keteguhan hati, yakni tuturan duka cita, menjelaskan, menyarankan, meminta, dan memperingatkan. Kalau nuri-nuri merupakan sebuah ujaran bagi sangkep nggeluh, maka ngandung cenderung ditujukan kepada almarhum. Ngandung yang artinya meratap berbeda dengan menangis seperti biasanya. Meratap dalam bahasa Karo disebut ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan hal-hal yang
dijalanai dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun percakapan yang terakhir dilakukan. Suatu hal yang tidak perlu diajarkan pada manusia adalah menangis, sedangkan hal-hal lain seperti senyum atau tertawa memakan waktu yang relatif lama.
Pada upacara gendang kematian masyarakat Karo menangis berarti
ngandung. Ketika seseorang meninggal akan selalu ada yang ngandung sampai mayat diantar ke kuburan. Dari pihak sukut yang ngandung dapat diketahui seperti apa yang meninggal ketika masih hidup dan bagaimana dia bisa meninggal. Salah satu makna ngandung dalam upacara gendang kematian adalah jika sebelumnya persoalan dalam keluarga meskipun sudah lama berlalu, misalnya persoalan saudara kandung, dapat berdamai ketika salah seorang ngandung dan meratap dalam upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Njenap Ginting, inti ngandung pada upacara gendang kematian adalah hanya mempersatukan keluarga yang sebelumnya retak dengan bantuan roh (pertendin) orang yang meninggal. Aku enggo lawes nadingken kena nakku, bage nge nindu bapa. Lanai aku man kep-kepen kena, lanai aku man sulangen ras man tunggahen kena, aku nggo malem ateku bage nge nindu e bapa. Kelengi nande kena e, alu ersada arih kena anak-anakku kerina, gia lit gel-gel perubaten sanga aku nggeluh denga gundari nge paksana kam sialem-alemen kerina senina ras turangndu e anakku bage nge nindu bapa… (Aku telah pergi meninggalkan kalian anakku, itu yang engkau ucapkan bapak. Tidak perlu lagi kalian mengurus aku, tidak perlu menyuap dan memberiku minum, sudah selasai pekerjaan dan tanggung jawabku, itu
yang engkau katakan bapa. Sayangi ibu kalian, bersatulah meskipun ketika aku masih hidup ada persoalan di antara kalian, sekaranglah waktunya kalian saling maaf-memaafkan dan saling berangkulan, itu yang engkau katakan bapa…) (Wawancara, 20 Desember 2012) Sambil menangis dan meratap salah satu anak yang ditinggalkan almarhum mengungkapan ucapan di atas dan didengar oleh semua sangkep nggeluh yang hadir dalam upacara gendang kematian. Jika ada saudara yang mempunyai persoalan tidak mendatangi yang menangis, keluarga akan memaksa mereka untuk saling memaafkan dan saling berpelukan sambil ngandung. Ngandung dalam upacara gendang kematian mengandung makna representasi spiritualitas sebagai pemersatu keluarga. Di samping ngandung, pada upacara gendang kermatian khususnya cawir metua diundang seorang penyanyi perkolong-kolong yang menyampaikan petuah-petuah bagi keluarga yang ditinggal. Pada etnik Karo istilah perkolong-kolong, adalah seorang
penyanyi
ataupun vokalis (sirende), baik pria maupun wanita. Istilah yang digunakan pada awalnya untuk vokalis tersebut adalah perende-rende, kemudian digunakan istilah permangga-mangga yang populer sampai tahun 1930-an. Menurut Ngambat Ginting, sekitar tahun 1950-an istilah permangga-mangga kembali berubah menjadi perkolong-kolong. Kolong- kolong awalnya adalah sebuah judul lagu (gendang) yang sangat sering ditampilkan dan dinyanyikan sehingga pada saat itu sangat populer. Oleh sebab itulah, kemudian penyanyi (vokalis) pada masyarakat
Karo dikenal dengan sebutan perkolong-kolong (Wawancara, 11 Juni 2013). Per artinya orang, sedangkan kolong-kolong artinya nyanyian. Dalam konteks upacara
kerja tahun (pesta tahunan) yang biasanya
diselenggarakan setahun sekali dengan gendang guro-guro aron (pesta mudamudi) yang melibatkan bapa aron (pemuda), nande aron (pemudi), pemusik, dan perkolong-kolong sebagai hiburan bagi masyarakat. Perkolong-kolong adalah penyanyi sekaligus penari yang berfungsi sebagai hiburan dalam upacara kerja tahun tersebut. Mereka adalah seniman profesional (laki dan perempuan, yang juga tidak boleh semarga) yang diundang dan dibayar masyarakat. Mereka menyanyi (kadang sambil menari) mengiringi tarian adat guro-guro aron (mudamudi). Di situ, fungsi perkolong-kolong sama dengan pemusik dan mereka disebut sierjabaten untuk menciptakan suasana agar aron atau siapa pun yang menari merasa puas. Ketika perkolong-kolong menari, seolah ada kontes antara penyanyi perempuan dan laki-laki (adu perkolong-kolong), penonton menilai penari yang lebih bagus membawakan nyanyiannya. Ketika seorang perkolong-kolong tidak bisa mengikuti lagi gerak/nyanyian dari pasangannya, penonton menyoraki. Namun, demikian jika kedua penari sama pandainya, sama baiknya, penonton pun menyukainya. Penilaian penonton kepada perkolong-kolong ditujukan pada aspek teknik, keterampilan atau kelenturan tubuh, kualitas suara, dan kedalaman kesenimanannya. Perkolong-kolong ini ditampilkan (adu) di atas pentas. Kadang kala perkolong-kolong ini akan menampilkan bentuk dialog, bahkan juga sering
bercanda atau lawakan lewat pantun yang berisi sindiran (sitokoh-tokohen) yang mengundang tawa penonton. Dalam kerja tahun fungsi perkolong-kolong adalah sebagai hiburan bagi orang yang hadir. Perkolong-kolong dipilih sesuai dengan hasil musyawarah dan pilihan masyarakat. Kegiatan kerja tahun itu dilaksanakan di jambur. Jambur adalah suatu wadah bagi masyarakat Karo sebagai tempat pertemuan dan tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan, misalnya tempat upacara perkawinan, upacara kematian, dan sebagainya. Perkolong-kolong ketika adu sangat berbeda dengan landek simanteki kuta, bapa aron, nande aron, kalimbubu kuta, anak beru kuta, pengurus kuta dan pulu aron. Dalam adu ini perkolong-kolong akan menunjukan kebolehan, kelincahanya menari, menyanyi, melawak dan perkolong-kolong juga harus dapat mengendalikan suasana yang sedih menjadi gembira sehingga orangorang tertawa. Kemampuan kesenimanan inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat untuk mengundang mereka. Akan tetapi, menentukan siapa yang menang atau kalah bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana pertunjukan itu menjadi menarik dan menyenangkan. Tujuan perkolong-kolong pun tidak untuk saling mengalahkan, tetapi untuk menghibur. Biasanya mereka berpura-pura kalah untuk menyegarkan penonton. Jadi, pengertian kontes atau perlombaan di sini berbeda sekali dengan lomba-lomba kesenian pada umumnya. Berbeda perkolong-kolong dalam konteks upacara guro-guro aron mudamudi dengan konteks ritual seperti upacara gendang kematian. Perbedaan dalam
hal ini bukan orangnya atau penyanyinya. Perbedaannya terkait dengan repertoar lagu yang dibawakannya. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga kata-kata atau kalimat yang dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara gendang kematian, yaitu berbentuk ratapan. Berbeda halnya pada upacara pernikahan. Kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan ). Apabila diperhatikan, akan sama pada upacara gendang kematian. Namun di sini bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan. Pada upacara kematian kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh yang meninggal serta nasehat pada keluarga yang ditinggal. Di samping itu, juga sama halnya kata-kata yang diutarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu (pemberkatan/doa-doa). Sesuai dengan apa yang diungkapkan Merriam bahwa wilayah perhatian etnomusikologi adalah studi tentang teks nyanyian. Studi ini meliputi studi teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan antara linguistik dan suara musik, dan masalah-masalah isi yang diungkapkan oleh teks tersebut. Masalah hubungan antara teks dan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena manfaatnya yang jelas. Teks nyayian mengungkapkan tingkah laku literer yang dapat dianalisis dari segi struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian. Di samping itu, kadangkadang, seperti pada nama-nama pujian atau bahasa-bahasa signal kendang, teks tersebut merupakan bahasa ‖rahasia‖ yang hanya diketahui oleh sekelompok
tertentu masyarakat. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih lentur daripada bahasa harian. Bahasa tersebut juga tidak hanya mengungkapkan proses kejiawaan seperti pengenduran tekanan, tetapi juga memuat informasi tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan harian. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu budaya atau terhadap suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman tentang tingkah laku ideal dan nyata sering dapat
diungkap melalui teks nyanyian. Akhirnya, teks juga
digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan cara untuk mebudayayakan generasi muda (Merriam, 1995: 100-101). Atas dasar penjelasan di atas teks nyanyian pada upacara gendang kematian masyarakat Karo dapat dinyatakan sebagai berikut. ―dagei nande beru Ginting, apai nge kata lebe kubelasken ibas penenahkenndu sangkep ngeeeluh si la erpudun e, belasken nakku beru Karo, kataku man sambar gancihku e, bage nge nindu nande, adi aku nggo me malem ateku lanai lit si mesuiku. Emaka ersada lah kerina arihndu sambar gancihku e, mejuah-juah kam kerina kutadingken, sangap ras ndeher rejikindu ngarak-ngarak kempuku sienterem e, bage nge nindu nande…‖ (― Ibu beru Ginting, apa yang mesti aku nyanyikan, ibu undang kami tanpa janji dan pemberitahuan, katakan anakku sekarang aku bahagia dan tidak merasa mengalami sebuah penyakit dan juga tidak merasa sakit. Oleh sebab itu, bersatulah kalian semua yang menggantikan aku, damai sejahtera aku tinggalkan, murah rejeki dan semua cita-cita cucu yang aku tinggalkan
tercapai, begitulah yang Ibu ucapkan kepada generasi yang menggantika ibu…‖(petikan Sabarita Br Sitepu). Seorang perkolong-kolong seperti halnya nuri-nuri seolah berbicara kepada mayat tidak ubahnya berbicara kepada manusia yang masih hidup. Mayat dianggap masih dapat berkomunikasi dengan sangkep nggeluh. Oleh sebab itu, setiap pergantian acara seorang anak beru akan menceritakan siapa selanjutnya yang mendapat giliran, sehingga perkolong-kolong bisa menyampaikan doa sesuai dengan hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal (gambar L.4.19). Makna spiritualitas etnik Karo terwujud dari bagaimana seorang perkolong-kolong dapat menjadi benang untuk menutup kain yang koyak (benang penjarumi).
Meskipun meninggalkan bekas, sudah dapat digunakan dalam
kehidupan sehari hari. Perumpamaan-perumpamaan yang ada pada etnik Karo akan ditemukan ketika perkolong-kolong rende (bernyanyi) dalam upacara gendang kematian. Perkolong-kolong merupakan salah satu media yang mengungkapkan nilai-nilai luhur dan spiritualitas pada etnik Karo melalui nyanyian. Menurut Tejo, Seni yang baik pasti menyiaratkan pesan rohaniah dan religius. Jadi tidak perlu secara verbal menampilkan ayat-ayat suci dari alkitab agama tertentu. Apakah karena tidak disebut nama Tuhan secara verbal lalu suatu nyanyian menjadi tidak rohaniah (Tejo, 2003: 44).
7.1.2 Makna Spiritualitas Modern Dorongan
untuk
mendominasi,
menundukkan,
menguasai,
dan
mengendalikan alam merupakan salah satu ciri pokok spiritualitas modern (Griffin, 2005: 18). Sekitar lima tahun belakangan ini banyak sekali masyarakat Karo mengeluhkan kehadiran gendang keyboard yang dianggap telah menggeser musik tradisi Karo gendang lima sendalanen dalam berbagai kesempatan dan upacara adat istiadat. Misalnya, tidak ada lagi kesantunan dan keindahan gerak ketika orang-orang menarikan lagu yang diiringi keyboard, apalagi setelah dimasuki oleh gaya yang bernuansa dangdut atau house musik dan sebagainya. Atau ada juga yang mengatakan bahwa kemunculan keyboard semakin mengerikan ditambah dengan dampingan penari are-are (penari perempuan dari suatu tempat) yang disewa, lanai lit si mehangkena (tidak ada lagi kesopanan). Konteks ini terjadi pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) etnik Karo. Salah satu sosok yang paling dipersalahkan atas perkasanya keyboard adalah Djasa Tarigan, yang notabene juga seorang pemusik tradisi handal. Dalam wawancara dengan beliau, dapat ditangkap beberapa kisah perjalanan hidupnya sebagai seorang musisi tradisi yang sangat berpengaruh, termasuk soal kehadiran keyboard dalam tradisi musik Karo. Djasa adalah seorang jenius alam dalam musik, hampir semua alat musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo bisa dimainkan dengan ―sempurna‖. Dia membuat banyak terobosan baru dalam musik tradisi sehingga tidak mengherankan jika dia juga berimprovisasi dengan alat
musik Barat yaitu keyboard. Kepiawaiannya terbukti ketika dia mendesain nada alat musik tradisi pada keyboard. Persis sekali, sehingga keyboard bisa mewakili komponen alat musik tradisi. Dia juga mendesain tempo, timbre (warna suara) setiap bagian dari repertoar musik tradisi gendang lima sendalanen sehingga tetap bisa ditarikan sesuai dengan tuntutan tempo. Kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat alat musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai genre lagu dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tempo tradisi sehingga banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin populer tatkala biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi. Seingat penulis, beberapa tahun lalu masyarakat Karo masih sungkan menggunakan keyboard dalam upacara gendang kematian, musik tradisi masih menjadi panutan. Akan tetapi, kini orang Karo tidak peduli, mau pesta meriah ataupun upacara kematian keyboard kerap jadi pilihan. Sebagian orang Karo mengakui biayanya terlalu mahal jika harus menghadirkan alat musik tradisi dalam sebuah upacara etnik Karo. Seri nge ras gendang lima sendalanen, regana ndauh murahen (sama suaranya dengan gendang lima sendalanen), begitulah alasan mereka. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa, musik tradisional etnik Karo dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, melodi, ritmis konstan, dan ritmis variasi. Melodi biasanya terdiri atas satu buah lagu yang disajikan, baik dengan instrumen maupun vokal. Di pihak lain, dalam ritmis variasi bebas artinya dapat bervariasi terus-menerus. Gendang singanaki berpola untuk mengikuti tempo yang biasanya
digunakan untuk memertahankan ketukan. Gung dan penganak sebagai pola ritmis tetap. Pola ini bertahan ataupun tetap demikian di dalam semua repertoar musik tradisional Karo yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bila diperhatikan,
dalam
repertoar
tersebut
terdapat
harmonisasi.
Pengertian
harmonisasi pada konteks ini berbeda dengan pengertian harmonisasi yang terdapat pada musik modern. Dalam musik Barat harmoni berhubungan dengan interval nada-nada dari satu melodi dengan melodi lain dalam paduan suara ataupun hubungan antara melodi dan progressi akord. Sebaliknya, harmonisasi dalam musik tradsisional Karo dalam hal ini gendang lima sendalanen dimaksud hubungan yang selaras antara unsur-unsur musik Karo sehingga menyatu menghasilkan suatu komposisi musik. Harmonisasi musik Karo pada dasarnya adalah gabungan dari melodi dan ritmis yang menyatu seimbang. Gabungan yang seimbang antara melodi dan ritmis disebut ranggut sehingga bisa disebut memiliki harmonisasi yang sempurna. Oleh sebab itu, keseimbangan atau harmonisasi yang muncul pada musik tradisional Karo bukan hanya hubungan satu melodi dengan melodi yang lain, melainkan hubungan lebih jauh, yaitu antara ritmis yang ada dan melodi. Dengan hadirnya keyboard, harmonisasi ini mengalami perubahan. Di dalam keyboard dapat dimainkan harmonisasi Barat baik dalam keseimbangan interval antara satu melodi dan melodi yang lain maupun keseimbangan antara melodi dan dengan akord. Dengan demikian, bagi sebagian orang Karo yang telah
akrab dengan musik Barat kehadiran akord dalam penyajian musik tradisional Karo memberikan nilai tambah dalam arti lebih memuaskan dirinya. Demikian juga instrumen-instrumen musik tradisi Karo biasanya tidak banyak menghasilkan nada. Artinya, dalam garapan melodi terbatas pada nadanada yang dapat diproduksi dari alat musik itu sendiri. Di sisi lain pengaruh harmonisasi keyboad terhadap musik gendang lima sendalanen dapat dilihat dengan pemilihan warna suara yang diinginkan. Biasanya suara gendang yang dihasilkan musik Karo apabila pemain keliru bisa menghasilkan suara yang bukan seperti semestinya. Artinya, keyboard merupakan alat yang mempermudah sekaligus mengurangi biaya dibanding dengan alat musik tradisional Karo yang asli. Dengan demikian, alat musik keyboard yang dikenal oleh masyarakat di luar masyarakat Karo sendiri dengan sebutan kibod Karo menjadi sangat populer di seluruh pelosok Sumatera Utara, bahkan keluar provinsi. Hal ini merupakan representasi spiritualitas baru bagi masyarakat Karo dengan ―julukan‖ gendang kibot Karo. Sekarang ini, seringkali manusia menyingkirkan benda-benda seni tua karena tidak ada relevansinya lagi untuk hidupnya. Ini disebabkan cara membaca benda seni mereka adalah cara baca masyarakat sekarang. Kalaupun ada bendabenda seni masa lampau yang masih punya daya tarik pada masa sekarang, maka daya tarik itu lebih disebabkan karya-karya itu masih terbaca dalam cara manusia. (Sumarjo, 2006: 2).
Di samping keyboard yang telah mempengaruhi gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian, yaitu ensambel tiup yang dikenal dengan sebutan trompet. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga perubahan merupakan hal yang cukup wajar sesuai dengan perkembangan waktu, baik perubahan yang diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Awalnya trompet/ensambel tiup pada etnik Karo digunakan dalam ibadah-ibadah Minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya penggunaan ensambel ini lebih banyak ditemukan pada upacara kematian etnik Karo, bahkan sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain. Awalnya ensambel ini digunakan hanya sebagai pengiring lagu pada upacara kematian seperti contoh lagu yang berjudul ‗ayah‘ (apabila yang meninggal laki-laki) dan lagu yang berjudul ‗mama‘ (apabila yang meninggal tersebut wanita) yang kerap kali diminta dimainkan pada upacara gendang kematian secara instrumental. Sebelum ensambel ini menjadi bagian dalam upacara gendang kematian etnik Karo, belum pernah dilakukan bernyanyi dengan cara bersama-sama. Ensambel ini kemudian dapat berperan untuk menyatukan satu buah lagu populer. Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain senior dalam sebuah grup ensambel tiup di Karo, sampai saat ini belum pernah ada upacara kematian yang mengundang mereka di luar masyarakat yang beragama Kristen. Ensambel tiup dipanggil untuk meperagungkan upacara tersebut. Seolah-olah harga diri
masyarakat atau status sosial lebih terpandang dengan menghadirkan ensambel tiup dalam upacara kematian keluarganya (Wawancara Juni, 2012). Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa representasi spiritualitas etnik Karo melalui trompet/ ensambel tiup adalah, spiritualitas kekristenan dan dianggap sebagai masyarakat yang punya modal untuk melakukannya. Menurut pengamatan peneliti, ketika ada seseorang yang meninggal di sebuah desa, tanpa sadar mereka sering bertanya tentang dihadirkannya ensambel ini. Ketika ia hadir maka kemudian upacara itu dianggapnya semakin ―agung‖. Sejauh ini peneliti belum melihat, baik keyboard maupun trompet, yang dapat menunjukkan nilainilai dasar atau spiritualitas etnik Karo baik mikrokosmos, makrokosmos maupun metakosmos karena mereka hadir di luar kosmologi etnik Karo. Representasi spiritualitas yang dihasilkan kedua musik ini hanya representasi spiritualitas modern, yang berdeda dengan spiritualitas pramodern etnik Karo. Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, dengan ‖individu‖ (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuantujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus mengakui bahwa tetap ada hubungan tertentu, khususnya hubungan dengan orang tua, yang sangat dasariah akan tetapi, hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai perkecualian. Penekanannya,
sekaligus cita-citanya, adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain (Griffin, 2005: 18). Kehadiran keybard dan trompet dalam upacara gendang kematian ini tentunya mengundang berbagai interpretasi. Sebagaimana dikemukakan Giddens, bahwa tradisi memiliki para penjaga yang memiliki hak istimewa dalam melakukan penafsiran dan menjalankan praktik tradisi. Terkait dengan itu, maka ritual sebagai aspek tradisi haruslah ditafsirkan oleh para penjaga tradisi untuk memahami kebenaran formulatif yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, terhadap fenomena ini, para budayawan singerunggui sebagai penjaga tradisi sekaligus sebagai pemimpin upacara cukup kesulitan menginterpretasi kehadiran keyboard/trompet dalam konteks upacara gendang kematian tersebut. Kenyataan ini mengingatkan apa yang dikemukakan Giddens (2003: 9) mengenai problematisasi tradisi. Di satu sisi terjadi perluasan institusi modern yang diuniversalkan melalui proses globalisasi. Di sisi lain terjadi proses perubahan yang disengaja yang dapat disebut dengan radikalisasi modernitas. Di seluruh dunia, masih ada orang yang tidak sadar dengan fakta bahwa aktivitas kedaerahan mereka telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan oleh peristiwa atau agen yang jauh. Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika
spiritualitas kultural etnik Karo. Sebagaimana dikemukakan Pujaastawa (2011: 487), bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks, sebagian karena konstruksi ini merupakan produk sejarah. Kebudayaan itu sendiri bisa berubah dan diubah bergantung pada konteksnya, pada kekuasaan, dan kepentingan agen yang bermain. Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas, yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia tidak lebih dari ciptaan artificial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang digunakan
untuk
menunjukkan
identitas.
Dengan
kata
lain,
kehadiran
keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama sekali dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakan-akan ia menjadi dari wacana upacara tersebut (Piliang, 2004: 339). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa spiritualitas modern tidak lagi memikirkan nilai spiritualitas pramodern. Seperti yang diungkapkan Griffin, spiritualitas pramodern mengandaikan bahwa segala bentuk pemaksaan, yang menyakiti dan membatasi kebebasan mereka untuk menentukan arah diri,
memerlukan pembenaran yang mengabaikan segala pertimbangan. Spiritualitas modern mengabaikan anggapan itu. Orientasi spiritualitas modern lainnya adalah seperti yang disebutkan oleh Peter Berger sebagai futurisme, yaitu suatu kecenderungan untuk menggali hampir semua makna masa kini dalam hubungannya dengan masa depan, yang dalam praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu ayang baru. Anti tradisionalisme radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain, yaitu bahwa hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa kini. (Griffin, 2005: 18-19)
7.1.3
Makna Spiritualitas Postmodern Berbicara tentang fenomena spiritualitas seperti membicarakan fenomena
sosial-budaya lainnya, karena ia terkait secara erat dengan unsur terdalam (batin) dari pengalaman manusia. Sekalipun begitu, penampakan praktiknya seringkali begitu kasat mata, karena ia menjadi bagian ritual kehidupan sehari-hari. Karena itu, kalau selama ini perbincanagan tentang agama, spiritual, atau spiritualitas senantiasa dikaitkan dengan sesuatu yang diatas, sesuatu yang melampaui rasio atau nalar, sesuatu yang dikaitkan dengan hal-hal yang adikodrati, sehinggga dalam bahasa teologi sering disebut sebagai ―agama langit‖, maka sesungguhnya praktik agama, spiritual, atau spiritualitas itu adalah sesuatu yang senantiasa hadir
di bumi, suatu fenomena yang dinamis sebagai realitas budaya dalam suatu masyarakat (Subandi, 2007: 153). Spiritualitas postmodern akan menciptakan sikap-sikap baru. Ia juga berpikir tentang Tuhan dari pemikiran Abad Pertengahan dan modern awal. Bagi kita yang tidak bisa melepaskan hubungan antara kata ini dengan citra rasa masa lalu, kata Tuhan ini tidak perlu digunakan, paling tidak untuk sementara. Mungkin yang lebih baik sebutan yang kita pakai adalah Realitas Suci. Realitas Suci adalah Sang Pencipta kita, tetapi tidak dalam pengertian yang bersifat eksternal dan sepihak. Realitas Suci ini merangsang kita dari dalam, mendorong kita untuk menciptakan diri kita sendiri secara optimal. Realitas Suci menggerakkan kita dengan memberi kita impian, bukan paksaan. Meniru Sang Realitas Suci ini memberi orang lain berbagai pandangan yang dengannya mereka bisa merealisasikan potensi-potensi mereka yang terdalam agara kreativitas mereka bisa semakin meningkat. (Griffin, 2005: 194) Meskipun
masyarakat
postmodern
masih
tetap
memiliki
dan
mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme dan rasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16-17). Lebih jauh lagi, menurut Griffin pemikiran postmodern melihat hubungan mendasar yang ada dalam kehidupan sebagai yang tidak bersifat memaksa, dan
menunjukkan bahwa dalam semua relasi antar objek yang lebih mendasar adalah sikap kerja sama, bukannya persaingan. Hubungan yang bersifat pemaksaan dan persaingan memang ada, tetapi ini adalah sekunder. Memiliki kesadaran postmodern adalah melihat dan merasakan keunggulan hubungan-hubungan kerja sama, saling membantu, dan yang bukan pemaksaan. Suatu etika yang memiliki wawasan tentang kesadaran semacam ini tidak akan melihat kekerasan sebagai satu cara yang memuaskan demi tercapainya tujuan. Untuk menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi pada upacara gendang kematian etnik Karo seperti saat ini, menurut Adlin yang kita butuhkan adalah ruang-ruang untuk menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi dalam setiap aksi yang kita lakukan. Karena dalam deraan masyarakat konsumer ini, betapa sering kebenaran yang sederhana ini dilupakan, di mana manusia ingin melakukan kebaikan tanpa terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin mengubah dunia tanpa terlebih dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi tetapi meremehkan kontemplasi. (Adlin, 2007: 161). Pernyataan di atas, terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo, di mana unsur-unsur di dalamnya mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Suatu aspek mendasar dari spiritualitas postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi kita, pandangan dunia kita, secara pasti menentukan etika dan cara hidup kita. Oleh sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Kita tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulakan oleh cara-cara kita mengatur kehidupan individu dan kelompok kita tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya. Spiritualitas postmodern terus-menerus bersifat ekologis, dan memberikan landasan filosofis dan teologis demi wawasan yang dipopulerkan oleh gerakan ekologi. Ini sebenarnya menjadi landasan untuk suatu paradigma baru bagi kultur kita, generasi-generasi kita dimasa depan akan tumbuh dengan suatu kesadaran ekologis yang di dalamnya nilai dari semua objek dihargai dan saling keterkaitan dari semuanya diakui. Kesadaran bahwa kita harus berjalan dengan hati-hati di dunia, hanya memakai yang kita butuhkan saja, dan menjaga keseimbangan ekologis demi sesama dan generasi-generasi masa depan, akan berupa ‖akal sehat‖ (Griffin, 2005: 203). Terkait dengan pernyataan di atas hendaknya etnik Karo dapat merenungkan apa yang terjadi pada upacara gendang kematian saat ini. Tanpa menyadari hakikat perenungan yang terus terancam dalam masyarakat konsumer seperti saat ini, maka peneliti khawatir kebangkitan spiritualitas akan mudah menjadi sekedar pendukung budaya konsumen, sehingga bisa jadi tidak banyak membuahkan hasil yang bermanfaat bagi kemanusiaan, apalagi untuk menjawab tantangan-tantanagan kemanusiaan di masa datang.
7.2 Makna Perubahan Budaya Kebudayaan telah kehilangan definisinya karena secara umum telah dimengerti dan dikenali sosoknya, tetapi dalam norma definitifnya ternyata labil. Hal itu terjadi, karena standar pemahamannya secara konsepsional lebih ditentukan oleh para teoretikus akademisi dan oleh ‘penguasa kebudayaan‘ yang lebih kuat bahwa seni adalah dari asumsi ‘penguasa kebudayaan‘ yang lebih kuat ini, seluruh gelar (setting) pengetahuan seni ditentukan. Oleh karena itu, mereka yang lebih lemah dan ‘terkuasai‘ mengadopsi begitu saja pengetahuan itu seolaholah menjadi bagian dari dirinya (Hardjana, 2003 : 9). Penciptaan seni adalah aktivitas kognitif yang dilakukan oleh orang-orang yang terpilih dan terlatih, baik secara intelektual maupun emosional sehingga hasil ciptaannya memiliki makna bukan saja terhadap sikap masyarakat dalam memaknai kehadiran seni. Kendatipun seni merupakan sesuatu yang dapat dikenali oleh semua orang, pemahaman dan pemaknaan atas kehadirannya tetap memerlukan cara-cara tersendiri (Danesi, 2010: 233). Dalam fungsi awalnya yang bersifat ritualistik dan mistis, yang diciptakan oleh semua anggota komunitas sebagai karya kolektif, seni telah diyakini memiliki makna-makna tertentu, baik terhadap senimannya maupun terhadap kehidupan sosial dan alam lingkungannya. Pada zaman modern hingga postmodern, ketika musik telah masuk dalam konsep perekayasaan kreativitas yang lebih bebas dan terbuka, makna terhadap senimannya tidak hanya menjadi persoalan kolektif, tetapi juga menjadi persoalan individu. Hal ini disebabkan oleh proses penciptaan
seni pada zaman modern dan postmodern ini lebih banyak berawal dari ekspresi individu untuk menunjukkan identitas secara terbuka (Sugiartha, 2012: 297).
7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah itu dipakai untuk menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen manusia terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Menurut Griffin, setiap orang memiliki spiritualitas meskipun bisa saja spiritualitas yang nihilistik atau materialistik. Tentu saja kita juga bisa menggunakan pengertian spiritualitas ini dalam maknanya yang lebih sempit, yaitu suatu cara hidup yang diorientasikan ke hal-hal yang bukan kekuasaan, nafsu, atau pemilikan. Bila yang dimaksudkan adalah spiritualitas dalam maknanya yang sempit ini, maka nihilisme adalah spiritualitas semu, bahkan anti spiritualitas. Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-nilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15) Salah satu makna beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke modern adalah teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ka agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan budaya pemena
dari agama tradisi masyarakat Karo masih terasa kental sampai sekarang. Sumardjo mengungkapkan bahwa dalam budaya tradisi pengalaman seni merupakan pengalaman dengan daya-daya transenden yang dipercayainya. Dayadaya spiritual hadir dalam wujud medium simbol-simbol seni. Aktivitas mendengarkan musik dapat berarti mengalami kehadiran yang transenden. Karena yang transenden itu berasal dari luar pengalaman budaya, maka wujud seninya juga tidak yang berasal dari budayanya. Namun, tanpa pengalaman budaya tak mungkin yang transenden dapat dialami. Untuk itu, seni upacara menghasilkan wujud paradoks antara yang dikenal dan tak diketahui dalam budaya suku supaya yang transenden itu dapat dialami oleh manusia (Sumardjo, 2006: 97). Selanjutnya menurut Sumardjo, spiritualitas tradisi adalah kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan, dalam hal ini dapat dikatakan ‘agama asli‘ Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan ‘asli‘ yang kini masih tersisa, ditambah dengan metode perbandingan dan data tertulis pada masa lampau (Sumardjo, 2000: 323). Manusia ditentukan oleh hubungannya dengan lingkungan. Akan tetapi, dari hubungan-hubungan ini setiap saat manusia menciptakan dirinya dalam hal keinginan, tujuan, nilai, dan makna yang dimiliki singkatnya dari spiritualitas kita.
Karena unsur-unsur otonomi ini setiap individu tidak hanya dibentuk oleh lingkungannya, tetapi juga membentuk lingkungannya sendiri. Modernitas adalah media pembentuk yang saling berpengaruh dalam menentukan sikap sebuah masyarakat. Atas dasar penjelasan di atas Griffin mengungkapkan bahwa modernitas menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama dengan individu (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, tetapi menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus mengakui bahwa tetap ada hubungan tertentu, khususnya hubungan dengan orang tua, yang sangat dasariah, tetapi hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai perkecualian. Penekanannya sekaligus cita-citanya adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain (Griffin, 2005: 18). Modernisasi muncul sebagai produk dari interaksi dan proses sosial di dalam masyarakat. Sebaliknya, modernisasi itu secara bertahap akan berangsurangsur mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat untuk terus-menerus meningkatkan mutu kehidupan. Pengaruh modernisasi terhadap masyarakat berlangsung melalui saluran-saluran sosial dan akhirnya memasuki semua segi kehidupan yang ada.
Menurut
Piliang,
dunia
globalisasi
yang
dicirikan
oleh
sifat
kesalingbergantungan dan ketidakterbatasan telah menciptakan sebuah situasi penuh tantangan. Globalisasi membuat simbol, yang sebelumnya merupakan wilayah komunitas budaya tertentu menjadi wilayah publik global yang diterima, digunakan, dikonsumsi, dan diinterpretasikan oleh masyarakat global. Pada abad informasi terdapat arus pergerakan dan perpindahan simbol yang cepat dan masif dari satu tempat ke tempat lain dalam skala global. Hal itu berlangsung di dalam medan simbolik global (Piliang, 2011: 3). .
Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi
sarana perubahan budaya yang ampuh sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi orang Karo. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Kesenian tradisional Karo, seperti gendang lima sendalanen yang dulunya digunakan dalam gendang guro-goro aron (pesta muda-mudi) kini tidak diminati karena dianggap ketinggalan zaman. Hal ini sangat disayangkan mengingat gendang lima sedalanen merupakan salah satu bentuk ensambel tradisional Karo yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral (lihat 7.1.1). selain itu, juga merupakan salah satu unsur penanaman nilai-nilai moral yang baik. Menurut Sutrisnaatmaka, untuk mencapai habitus baru yang benar-benar membawa manfaat untuk hidup yang lebih manusiawi, kita sedang menghadapi sekian banyak tantangan pada zaman modern ini. Budaya yang timbul pada zaman modern tidak serta merta semakin menguntungkan perkembangan kesejahteraan
manusia dan peningkatan martabatnya. Kemudahan yang diperoleh karena kemajuan teknologi memiliki pengaruh ganda. Di satu pihak, banyak kemudahan dan efisiensi kerja meningkat. Manusia dapat hidup lebih enak dan tidak banyak susah payah. Di lain pihak, tidak semua orang dapat menikmati kemajuan tersebut mengingat kemampuan finansial dan daya beli yang terbatas. Tidak jarang justru hasil-hasil teknologi itu menyiksa dan menimbuilkan kecemberuan sosial. Selain itu, hasil teknologi canggih juga memicu ‖budaya baru‖ yang memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat modern (Sutrisnaatmaka. 2006: 112). Kondisi seperti ini secara nyata tampak pada etnik Karo, yang melihat kehidupan dari objek visual modern tanpa menyadari meninggalkan tradisi mereka dan beralih ke modern. Hal senada disebutkan Ruly bahwa objek visual seakan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari manusia, terutama untuk memperjelas keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas masyarakat yang lebih luas lagi. Hal ini memiliki dampak terhadap proses penciptaan objek visual itu sendiri, yaitu pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan untuk membantu menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang mungkin adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang menggiring nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan sehingga memiliki nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya. Akhirnya, kembali kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan mempertahankan nilai-nilai
objek
yang
orisinal
dan
mungkin
adiluhung
atau
memang
membiarkannya ‖bermain‖ dan diombang-ambingkan di tengah kubangan persepsi masyarakat modern (Ruly, 2007: 151).
7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo Etnik Karo yakin sebagian besar budaya yang dimiliki bersumber dari agama pemena yang tidak dapat dipisahkan dari adat istiadatnya. Hal tersebut terwujud dari upacara-upacara adat istiadat sebelum dipengaruhi oleh agamaagama sekarang (lihat, 6.2.1). Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna pada terkikisnya spiritualitas etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak mungkin dibendung menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan. Masuknya (ideologi) agama besar tersebut menjadi tantangan bagi budaya dan kepercayaan lokal dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya pergeseran sendi-sendi budaya tradisional yang disertai pembongkaran, pembalikan nilai-nilai dan maknamakna dalam kehidupan orang Karo. Nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian mengalami perubahan ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada terjadinya krisis identitas. Perubahan ini akan melemahkan integrasi, kesadaran solidaritas, kesadaran sejarah, dan kesadaran budaya yang mengakibatkan kaburnya identitas etnik Karo secara umum. Maraknya wacana mayoritas-minoritas sampai dimunculkannya doktrin multikulturalisme, dalam hal ini lebih kepada mempromosikan keberagamaan,
baik etnik, kelompok, agama, maupun budaya. Tujuan paham tersebut adalah membangun suasana yang lebih egalitar, damai, toleran, dan saling menghargai agar dapat hidup secara bersama dan rukun. Berdasarkan fenomena ini, Minawati (2010: 280) menjelaskan bahwa seseorang ditentukan oleh kelompok sosialnya sebagai tempat individu bergabung dan melakukan sesuatu yang menguntungkan kelompoknya. Apabila dikaitkan dengan uraian ini, komunitas upacara gendang kematian sebagai individu dan kelompok sosial memiliki keterkaitan dengan komunitas lain. Mereka berbaur tidak berdasarkan upacara, tetapi juga berdasarkan identitas sosialnya. Masuknya agama-agama besar pada etnik Karo menjadi tantangan bagi perkembangan dan pelestarian tradisinya. Di sinilah kemudian disadari atau tidak oleh masyarakat telah terjadi penjajahan budaya. Budaya sangkep nggeluh dalam adat telah terbingkai oleh perkembangan agama-agama besar lainnya, sehingga konsep-konsep tradisi Karo banyak yang terkikis karena dianggap bertentangan dengan agama baru. Kenyataanya, banyak budaya Karo yang terpinggirkan apabila disejajarkan dengan paham keyakinan, seperti Kristen dan Islam. Berdasarkan konsep agama tersebut, begitu banyak masyarakat Karo yang masuk dalam paham kefanatikan agama sehingga ikut memangkas budaya Karo dan mengantikannya dengan tata cara agama. Sebagai contoh, kalau dulu untuk melakukan upacara perkawinan, masyarakat Karo melihat hari baik (lihat, 4.1.6.3), untuk menentukan upacara perkawinan, dan akan disepakati oleh sangkep nggeluh, tetapi sekarang sudah
berubah. Niktik wari (mencari hari baik) menurut tradisi Karo zaman dahulu telah terabaikan oleh agama-agama sekarang. Waktu perkawinan cenderung ditentukan oleh pastor ataupun pendeta. Dengan adanya kenyataan ini, secara disadari maupun tidak, masyarakat telah dikuasai oleh ideologi agama besar tersebut. Berdasarkan fenomena yang terjadi pada etnik Karo, maka budaya Karo dalam praktiknya telah banyak mengalami toleransi-toleransi. Dalam hal ini kalimat toleransi merupakan satu hal yang tidak disadari meruntuhkan aturanaturan adat istiadat yang selama ini dijunjung sangat tinggi. Toleransi dan kebebasan menjadi suatu hal yang berujung pada pengorupsian dan penghilangan budaya Karo, yakni dari cabang sampai pada yang sangat substansial (akar). Toleransi dalam hal ini apabila dicermati, telah sampai pada taraf kebablasan, karena dalam paham tersebut kesepakatan dianggap memiliki posisi lebih tinggi daripada adat istiadat. Artinya, dalam pelaksanaan adat yang menjadi titik sentral adalah kesepakatan. Jika dicermati lebih jauh, ketika suatu kebiasaan dikikis, tetapi disepakati maka berarti tidak ada persoalan. Kemudahan-kemudahan yang menjadi alternatif dipedomani karena alasan waktu, ekonomi yang efektif dan efesien meskipun hanya sebagai formalitas. Hal ini dapat disebut dengan istilah hegemoni. Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk menunjukkan hubungan kekuasaan kelas dominan terhadap kelas subordinat. Lebih jauh dikatakan bahwa hegemoni merupakan suatu kondisi kelas dominan mengatur dan mengarahkan masyarakat melalui kepemimpinan moral intelektual. Hegemoni terjadi karena
adanya konsensus, yaitu kelas bawah atau subordinat mendukung atau menyetujui nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan kelompok dominan relatif tidak ditentang karena ideologi yang ditanamkan sudah diinternalisasi secara sukarela sehingga dipandang sebagai bagian kepentingan kelompok subordinat (Patria dan Arief, 2003; Pujaastawa, 2011: 58). Kesadaran-kesadaran ini apabila dikaitkan dengan pengakuan beberapa orang tua yang sudah berusia enam puluh tahun ke atas, yakni dapat diyatakan bahwa tradisi Karo telah mengalami erosi budaya. Njenap Ginting sebagai pakar budaya Karo ikut mengamini dan mengatakan: ―Sudah banyak sekali perubahan dalam adat istiadat kita. Hal ini dapat kita lihat ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan, upacara kematian, masuk rumah baru, dan lain-lain yang dilakukan berdasarkan adat istiadat, tidak dilakukan lagi sebagaimana mestinya tata cara adat dalam tradisi Karo‖ (wawancara, 27 Mei 2012) Dari ciri-ciri tersebut tergambar bahwa telah terjadi pengikisan terhadap budaya Karo, baik secara etika maupun moral. Sepantasnya adat tidak dijalankan hanya dalam waktu tertentu atau peristiwa-peristiwa khusus upacara adat, tetapi dijadikan sebagai pegangan berperilaku di masyarakat Karo dalam menjalani kehidupannya. Pelanggaran dan korupsi budaya akan mengerucut sehingga terjadinya erosi budaya secara besar-besaran, yang tentunya dapat mengaburkan identitas Karo, budaya Karo, dan etnis Karo. Menurut Rutherford (Minawati, 2010: 282), menyebutkan masyarakat seharusnya menganalogikan identitas sebagai rumah karena rumah merupakan tempat kembali dan tempat awal berasal.
Berdasarkan fenomena budaya yang dialami masyarakat Karo, maka dapat diketahui bahwa generasi muda sudah melupakan asal usulnya, budayanya, leluhurnya, dan semua hal yang mengawali sebelum mereka ada. Hal-hal tersebut yang membuktikan bahwa budaya Karo telah terongrong dari akarnya. Hal seperti itu terjadi karena kuatnya pengaruh dan kontestasi budaya global dengan budaya lokal di samping masuknya ideologi agama besar. Fenomena zaman seperti ini dekat dengan erosi budaya yang terjadi dalam masyarakat Karo, terutama yang terkait dengan adat dan budayanya. Sesuai dengan yang dialami, Njenap Ginting menyatakan bahwa kebudayaan Karo saat ini sudah rusak secara mental (tabiat sehari-hari/kebiasaan sehari-hari). Terkait dengan fenomena ini, Minawati (2010: 282) menyatakan bahwa lokalitas sering diposisikan sebagai entitas budaya yang terpinggirkan dan tersudutkan oleh jelajah global. Oleh karena itu, Njenap Ginting berharap kepada seluruh masyarakat Karo, terutama generasi muda, baik di Tanah Karo maupun di luar Karo seperti berikut ini. ―Man kita kalak Karo tanggung jawabta adat Karo, si enda me nininininta nari la lupa, harus metenget, erpenggejaben, ermediate ibas kegeluhenta peretibi enda‖. Terjemahan: ―Kepada seluruh masyarakat Karo bertanggung jawab terhadap adat kebudayaan Karo dan tidak meniru-niru budaya Barat atau budaya lainnya. Leluhur mengingatkan agar lebih berhati-hati, tanggap dengan rongrongan budaya luar, perhatian dengan keseimbangan lingkungan sekelilingnya‖ (wawancara, 27 Mei 2012).
Berdasarkan fenomena dan dinamika budaya yang terserap oleh masyarakat Karo, khususnya para generasi muda, Njenap Ginting berpendapat seperti yang dijelaskan berikut ini. ―Generasi sekarang hanya meniru-niru yang mereka tidak mengerti, ke mana akan dibawa, seperti menjalani hidup yang tidak terarah, seperti burung cip-cip yang mengeramkan telur burung piso surit, setelah menetas, ada yang aneh dengan anak tersebut karena berbeda dengan yang semestinya. Dan akhirnya induknya pun bingung dalam membimbing anaknya dalam kehidupan sehari-hari‖ (wawancara, 27 Mei 2012). Apa yang disampaikan Njenap Ginting cukup jelas bahwa budaya merupakan warisan nenek moyang terdahulu, dalam hal ini budaya tersebut memiliki nilai-nilai dan filosofi orang Karo. Di samping itu, perlu disadari bahwa budaya Karo merupakan satu ikatan dan pegangan bagi etnis Karo yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti satu bangsa, satu adat, satu kebudayaan, dan satu daerah Tanah Karo yang bertujuan menciptakan suatu keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, lebih jauh dijelaskan oleh Ropong Tarigan seperti berikut ini. ―Adi masap pagi adat ta enda, uga nge pagi cibalna pergeluhta kupudi wari? Kai pagi tanda-tandana pagi kita tubuh ibas daerah Tanah Karo enda nari? Adi alu cara cakapta saja kuakap lanai bo cukup alasenta maka kita kita Karo‖. ―Kalau hilang nanti adat kita ini, bagaimana nanti keadaan kita di belakang hari? Apa nanti tanda-tanda bahwa kita lahir di daerah Tanah Karo ini? Kalau hanya berdasarkan bahasa saja, saya kira tidak cukup menjadi alasan kita menjadi suku Karo‖ (wawancara, 06 Mei 2012). Dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam etnik Karo, adat tidak berarti membeda-bedakan manusia sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi mengatur
posisinya dalam adat, seperti sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Dalam kaitan ini, semua orang Karo masih mengakui dan mengetahui adat (budaya) Karo karena mereka akan melakoninya secara bergantian. Di sanalah letak keadilan dan sikap tidak membeda-bedakan yang dimaksud, sebagaimana yang disampaikan Njenap Ginting di bawah ini. ―Kalak Karo harus mehamat, mereha, mehangke, rebu, ula jagar-jagar, ula meriah-meriah, biak irahasiakan, biak banci erterus terang, ras biak tungkuken (jimpuh)‖. ―Orang Karo harus sopan, segan, serius, tidak boleh sembarangan, tidak boleh bercanda gurau dengan pihak-pihak tertentu, ada hal yang pantas dirahasiakan, ada juga yang harus diterusterangkan, dan ada juga yang pantas di hormati‖ (wawancara, 27 Mei 2012). Adat istiadat berisikan peraturan dan larangan, hukum/kedisiplinan yang mengatur kebiasaan kehidupan orang Karo, baik terhadap manusia, alam, maupun Tuhan. Semua aturan dan tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang terdahulu adalah cara (bicaranya) atau pelaksanaan pengucapan rasa syukur, yang merupakan bawaan dalam hidup untuk diwariskan tanpa diperkenankan untuk merusaknya. Dalam hal ini, Hertz dan Gennep (Minawati, 2010: 285) menyatakan bahwa makna adat harus diangkat dari struktur kongnitif. Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa budaya yang tertuang dalam adat istiadat harus bersifat fisikal atau teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat. Terjadinya peperangan nilai antara budaya tradisional dan budaya global memunculkan budaya baru sebagai kiblat budaya masyarakat saat ini. Menurut Minawati (2010: 285), globalisasi dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya budaya
seragam, yang secara halus menetapkan standar nilai-nilai baru. Peperangan budaya atau perebutan makna yang terjadi antara budaya global dan budaya lokal tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut menjadi tantangan yang sangat mendasar dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi dan budaya Karo. Pandangan ini didukung oleh Abdilah (2002: 117) yang menyatakan bahwa budaya global menjadi
proyek
hegemoni
baru
terhadap
identitas-identitas
yang
ada,
memarginalisasi, diketahui diketahui bahwa bahwa bahkan membunuhnya sama sekali. Berdasarkan penjelasan Abdilah, perkembangan kebudayaan Karo, seperti yang dijelaskan Ropong Tarigan dan Njenap Ginting, sudah jauh meninggalkan akar filosopi masyarakat Karo. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami sebagaimana yang diungkapkan oleh Njenap Ginting berikut ini. ―Selama kita dijajah tentu saja terhambat dalam pengembangan budaya kita. Jangan dulu kita cerita ketika Zending datang ke Karo. Sejak tahun kemerdekaan saja apakah ada penambahan adat istiadat Karo? Yang ada hanya penambahan atau pengurangan yang merusak, yang membuat identitas orang Karo menjadi kabur, semakin tidak jelas konsepnya, adat yang mana yang mau diikuti, akhirnya berjalan dengan sendiri-sendiri. Semua begitu akhirnya semua menjadi pantas. Orang tua menangis melihat anak cucu yang sudah berperilaku semena-mena dalam hidup, kepada orang tua, saudara dan yang lainnya. Kalau dinasihati, dibilang kuno, primitif, terbelakang, akhirnya kita memilih diam‖ (Wawacara, 27 Mei 2012). Berdasarkan komentar tersebut, dapat dipahami bahwa pemangkasan budaya Karo sudah menjadi suatu kesadaran baru, rongrongan yang sangat kompleks sehingga bukan hanya penjajahan budaya yang terjadi, melainkan kapitalis dan sikap konsumerisme masyarakat yang tinggi. Dalam hal ini, Jekmen Sinulingga (wawancara, 30 Juni 2012) menyampaikan bahwa dalam situasi ini
keluar istilah kalak Karo ndayaken bana (orang Karo menjual dirinya). Berkaitan dengan fenomena ini, peperangan budaya terjadi, yakni menurut Minawati (2010: 287) seperti di bawah ini. ―Peperangan budaya adalah saat suatu kekuatan budaya, politik, atau ekonomi (yang umumnya hegemonik) melakukan serangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam hal ini, bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan komunitas budaya di bawah kendalinya‖. Dari uraian ini diketahui terdapat peperangan ideologi, baik secara budaya maupun agama (Islam dan Kristen) yang diyakini memiliki ideologi Barat yang menyerap ke dalam budaya tradisi (lokal). Proses tersebut dekat juga dengan praktik yang dikenal dengan imperialisme budaya. Menurut Minawati (2010: 288), seperti berikut ini. ―Berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya‖. Apa yang disampaikan Khamenei tidak berbeda dengan konsep hegemoni Gramsci. Sepatutnya generasi muda dapat menjadi tonggak estafet dalam pengembangan dan pelestarian budaya Karo sehingga tidak perlu dipertanyakan. Pernyataan lain disampaikan Njenap Ginting seperti di bawah ini. ―Kalau dulu di setiap desa ada ketua adat. Fungsi ketua adat ini melakukan pengontrolan dalam pelaksanaan adat di desa tersebut. Ketika ada pesta, baik yang suka cita maupun duka cita ketua adat akan menjadi sangat penting kedudukannya. Ketua adat dalam masyarakat Karo sangat dihormati dan digurui, seperti pertua. Bila ada pelanggaran adat yang dilakukan oleh warga, maka yang menjadi hakim adat dalam memberikan keputusan sanksi, yang disaksikan oleh kepala desa dan warga. Sekarang ketua adat tidak difungsikan lagi dalam struktur desa. Jadi, apa pun yang
terjadi tidak ada lagi yang mengontrolnya, mau ada yang di desa tersebut selingkuh, kawin dengan semarga, dan perbuatan-perbuatan sumbang lainnya, tidak ada mendapat sanksi. Sanksi/hukum yang berkembang hanya dari aparat pemerintah seperti kepolisian. Artinya, tidak ada lagi kontrol atau langkah preventif dari masyarakat ‖ (wawancara, 27 Mei 2012). Dalam hal ini tampak koreksi Njenap Ginting tentang hilangnya kontrol adat dalam masyarakat. Sebagaimana Jekmen Sinulingga juga sudah pesimis dengan keberadaan budaya Karo yang sudah tercemar, dikatakannya berikut ini. ―Kalau dahulu kita dengan mengorbankan harta benda, menghanguskan bumi pertiwi, mengungsi dalam mengusir penjajah dan segala sifatsifatnya. Akan tetapi sekarang, kita tanpa melakukan perlawanan terhadap sifat-sifat penjajah sudah meresap ke dalam darah daging, dan merongrong generasi kita. Kita sekarang menjadi masyarakat yang konsumeristis‖ (Wawancara, 20 Juni 2012). Fenomena erosi budaya dalam masyarakat Karo dikenali mulai tahun 1990, yakni awal masuknya musik keyboard dalam ensambel tradisional Karo. Dalam hal ini Ismail Bangun mengatakan sebagai berikut. ―Nina tua-tuanta, anak-anakta sigundari enda, lanai bo erluhu, lanai eruga, lanai tehna mereha ras mehangke, lanai lit rebuna. Kutera pe enggo banci, gelah sura-sura erdalen. Bagem gundari si jadi bas gendang Karo. Banci mon-mon ras turangna pe ia landek‖. ―Banyak orang tua berpendapat bahwa generasi muda yang sekarang ini tidak beretika, tidak bermoral, tidak tahu malu, tidak ada yang tidak pantas, bagaimanapun dijalankan asal keinginannya terpenuhi. Begitulah sekarang yang terjadi dalam gendang Karo. Kadang-kadang mereka menari dengan semarga tetapi tidak dipedulikan‖ (wawancara, 10 Mei 2012). Pemahaman adat yang sesungguhnya berarti berasal dari warisan turuntemurun. Dalam hal ini pentingnya adat dilaksanakan oleh orang Karo agar bisa diterima dalam lingkungan adat dan sangkep nggeluh. Selanjutnya, apabila
disimak kata merga yang memiliki makna ‗diberi harga atau semua masyarakat Karo berharga‘ tanpa membeda-bedakan kelas. Salah satu budaya Karo yang ditinggalkan setelah masuknya agama Kristen atau Islam adalah perumah begu yang dipimpin guru sibaso (lihat 4.1.6.1). Hal ini tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Binneka Tunggal Ika. Bahkan, dalam hal ini dikatakan bahwa wajib bagi setiap warga negara melestarikan segala nilai budaya di samping nilai-nilai budaya lokal hendaknya terefleksi dalam filosofis masyarakatnya, baik secara geografis, bahasa, seni, budaya, maupun kepercayaan setempat. Adapun tujuannya adalah untuk mengembalikan dan mewujudkan kembali identitas sosial masyarakat yang berada di antara kebingungannya. Terkait dengan fenomena ini, Said (Minawati, 2010: 290)
menyatakan
bahwa
kebingungan
budaya
terjadi
karena
terdapat
ketumpangtindihan budaya, kait-mengait, saling berhubungan, dan tidak satu pun budaya itu tunggal dan murni, serta di dalamnya ditemukan sesuatu yang bersifat hibrid, heterogen, dan tidak terdapat sifat yang monolitik. Rawannya rongrongan dari luar dan rapuhnya kondisi upacara gendang kematian tidak hanya berakibat punahnya tradisi pada Karo, tetapi dapat berdampak kepada penghilangan budaya Karo. Bila hal tersebut terjadi, tentunya akan dapat menghilangkan sistem kekerabatan dan adat istiadat (rakut si telu), yang secara kajian budaya hal tersebut juga bertentangan dengan sikap multikulturalisme. Hal ini apabila dikaitkan antara upacara gendang kematian dan
budaya Karo, khususnya rakut si telu tercermin dalam adat istiadat, diyakini bersumber dari leluhur orang Karo.
7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman Seperti yang telah diuraikan (lihat subbab 6.1.2) bahwa kreativitas seniman tidak bisa terlepas dari makna perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kreativitas merupakan salah satu faktor intern menjawab perubahan ini. Kreativitas merupakan bagian dari hidup manusia dan manusia yang kreatif mampu menjawab berbagai tuntutan kebutuhan dan tantangan zaman. Kreativitas lahir dari hasil rekayasa pikiran manusia kreatif yang membuat kita mengaguminya. Menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian Karo dan menimbulkan banyak reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.
Amat Depari mengungkapkan sebagai berikut. ―Uga ningen banci gundari kita beluh, adi cukup sada program saja nggo banci ipelandekna kerina jelma. Emaka adi banci kataken labo lit sitik pe pemetehna kerna seni, ngkai maka bage ningku, lanai angka penggual sigundari kai kin ertina gandang lima sendalane e, bas kalak Karo situhna me lit nge kerina kaitenna alat musik e ras sangkep nggeluta kerina. Adi kibod ah kai nge sibanci ituriken adi la sorana ngenca. Situhuna gendang Karo enda labo sora ngenca tapi uga maka bagenda nai bentuk gendang e me lanai bo angkana kerina. Adi kami gelgel e, kenca beluh kami malusa emaka ipelajari kami ka uga erbahansa. Ije me nari nuri-nuri ka singajari kami ija nari kin rehna gendang enda‖. ― Sekarang susah kita menemukan seniman tradisi yang kreatif karena dengan menekan satu tombol saja sudah bisa membuat orang menari. Oleh sebab itu, mereka sebenarnya tidak mengerti apa yang disebut seni. Saya yakin seniman Karo sekarang tidak bisa memaknai apa yang sebenarnya ada pada ensambel gendang lima sendalanen. Mereka tidak tahu bahwa setiap unsur yang ada pada gendang lima sendalanen itu ada kaitannya dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh pada masyarakat Karo. Apalah yang bisa dibicarakan dari keyboard di luar bunyi yang dihasilkannya. Akan tetapi gendang lima sendalanen adalah dapat menceritakan bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam, manusia, demikian juga Dibata (Tuhan)-nya. Hal ini kami dapat ketika kami belajar memainkan dan sekaligus belajar membuat gendang itu, sambil guru kami bercerita tentang gendang tersebut (wawancara, 20 April 2012). Pernyataan Amat Depari tersebut didukung oleh Marriam, yang mengungkapkan bahwa penggunaan (use) dan fungsi (function) merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi karena hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik. Akan tetapi, lebih dari itu, kita ingin mengetahui pula efek atau dampak musik terhadap manusia dan kita ingin mengerti bagaimana efek tersebut dihasilkan. Singkat kata, penggunaaan musik menyangkut cara pemakaian musik dalam pandangan yang lebih luas (Merriam 1964: 209).
Etnomusikologi pada dasarnya mempelajari ‖musik dan instrumen musik dari semua bangsa non-Eropa, termasuk kelompok-kelompok suku yang disebut primitif dan bangsa-bangsa Timur yang berbudaya‖. Etnomusikologi disebut sebagai tradisi oral karena etnomusikologi pada dasarnya mempelajari musik yang diwariskan turun-temurun yang disebut dengan tradisi lisan. (Murgyanto, 2008: 19) Menurut Karder, etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musikmusik yang masih hidup (termasuk di dalamnya instrumen-instrumen musikal dan tari) yang terdapat di dalam tradisi lisan, di luar batasan pengertian musik urban musik-musik seni Eropa. Subjek-subjek dan sasaran penelitian utamanya adalah musik-musik pada masyarakat nonliterasi (atau musik tribal), musik yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya pada suatu kebudayaan. Dampak dan akulturasi juga merupakan sasaran studi etnomusikologi. Ini dapat dilakukan melalui studi terhadap musik populer atau musik komersial, yang dalam hal ini terdapat di dalam tradisi-tradisi masyarakat urban de berbagai bagian dunia sebagai pusat perhatiannya (Krader, 1995: 2). Apabila dicermati ungkapan di atas, diketahui bahwa dampak dari musik populer atau musik komersial sangat kuat memengaruhi kreativitas seniman masyarakat Karo. Terpasungnya kreativitas seniman/ penggual dalam ensambel gendang lima sendalanen tidak terlepas dari apa yang diungkapkan Jenda Bangun bahwa hal ini cenderung disebabkan oleh politik kebudayaan lokal, yaitu kebijakan pemerintah daerah yang tidak mampu merumuskan secara tepat apa itu
kebudayaan dengan langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan eksistensi dari sesuatu yang selama ini dikenal sebagai ensambel musik tradisi. Pengalaman sejarah masa lampau Karo telah membuktikan, bahwa arus globalisasi telah banyak menghilangkan nilai-nilai tradisi lama/tradisi lisan, dan manusia Karo terlalu cepat dan mudah menerima kebudayaan baru, meskipun disisi yang lain apa yang baru belum tentu diterima begitu saja, akan tetapi ada proses adaptasi, akulturasi budaya bahkan secara revolusioner dengan konversi diterima begitu saja apabila ‖dianggap‖ sesuai dan ada persamaan dengan nilai-nilai tradisi (wawancara, 11 Mei 2012). Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Dengan munculnya gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Akan tetapi, berimbas pula kepada pemasungan kreativitas seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan. Dari sisi lain, kemudahan dalam menyajikan, dan murahnya biaya pertunjukan
mengakibatkan gendang
kibod semakin eksis pada masyarakat Karo. Selain itu, banyaknya lagu populer yang mudah dimainkan dengan gendang kibod juga semakin memojokkan keberadaan gendang lima sendalanen. Saat ini yang menjadi persoalan penting dalam kebudayaan Karo adalah belum memadainya pengalaman manusia Karo tentang hakikat kebudayaan itu
sendiri. Pengertian yang kurang memadai menurut Kaunang, membuahkan sikap dan perlakuan yang keliru, bahkan tak jarang sangat bertentangan dengan pembudayaan yang seharusnya. Akibatnya, jelas bahwa produk budaya, pendidikan, kualitas moral, dan kecerdasan kreatif tidak pernah dapat bisa dijalankan dengan jaminan kepastian yang terukur. Pendidikan budaya menjadi lebih dari sebuah proses perjudian (gambling), penguasa politik, kapitalisme mulai melemparkan dadu dan hanya bisa berharap atas apa hasil akhirnya. Akibatnya, politik kebudayaan kita terlalu politis, maka budaya politik pun sangat tak berbudaya (Kaunang, 2010: 299). Kebudayaan itu dinamis. Kebudayaan adalah praktik-praktik kehidupan sehari-hari. Kedinamisan kebudayaan melahirkan daya kreatif manusia dalam menjawab tantangan zaman dengan berbagai kreativitas kebudayaan untuk memenuhi kepuasan estetika manusianya, sebagai pendukung budaya upacara gendang kematian. Menurut Kaunang (2010: 300), terdapat beberapa pola pikir yang keliru dalam menangani kebudayaan. Ada yang mengira bahwa kebudayaan hanyalah urusan seni tradisional semata, adat istiadat, sistem kosmologi sejak zaman nenek moyang dengan segala praktik mistiknya, pokoknya serba masa lalu. Pemikiran seperti ini memang tidak salah karena apresiasi masyarakat atas hasil kebudayaan nenek moyangnya merupakan tumpuan berkreasi dalam melahirkan karya-karya kebudayaan yang lebih tinggi. Namun, fenomena kekinian menunjukkan bahwa pemahaman kebudayaan pada etnik Karo berkaitan dengan upacara gendang kematian yang terjadi bahwa pola-pola keseragaman,
standardisasi selalu diikat oleh aturan yang tanpa peraturan membatasi kreativitas seniman. Aturan tanpa peraturan dimaksud di sini, seolah-olah keyboard sebagai instrumen musik tunggal harus hadir dalam suatu ritual pada masyarakat Karo. Hal ini menyebabkan, bukan saja kreativitas seniman terpangkas dalam hal penciptaan, melainkan kreativitas berpikir pun terpangkas oleh fenomena ini. Wujud terkikisnya kreativitas seniman dalam hal ini sangat erat terkait dengan bagaimana seniman mengenal dirinya sendiri melalui budayanya. Menurut Jenda Bangun, dengan hadirnya instrumen musik modern dalam kesenian tradisi masyarakat Karo, yang sebelumnya dimainkan oleh lima orang dengan nilai-nilai budaya yang tinggi mengakibatkan kreativitas seniman terpasung. Bagaimana seniman dapat berkreativitas jika mereka meninggalkan nilai-nilai budaya yang semestinya dipahami.
7.3. Makna Perubahan Kehidupan Sosial Globalisasi masuk ke rumah kita tanpa mengetuk pintu dan tanpa ada jendela atau pintu yang rusak. Mungkin itulah sebabnya lebih dari dua dasawarsa yang lalu globalisasi media sudah sampai ke kampung kita. Media baru mempunyai kekuatan untuk menyusup lebih jauh ke dalam kebudayaan ‗penerima‘ dibandingkan dengan manifestasi budaya Barat manapun sebelumnya (Subandy, 2007: xviii). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perubahan kehidupan sosisl tidak akan dapat dibendung tanpa memahami nilai-nilai tradisi leluhur.
Ketidakpahaman akan nilai ini akan membentuk pola pikir sebuah tradisi masuk ke sendi-sendi kehidupan sosialnya. Demikian yang dialami oleh masyarakat, khususnya etnik Karo akibat derasnya hantaman arus globalisasi. Globalisasi membentuk manusia untuk memudahkan segala sesuatu akibat tuntutan zaman. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Njenap Ginting berikut. ―Kalak Karo, ope denga sigundari emekap sangana kita kujuma denga kai pe gel-gel lakon silit iras-rasken kerina ndungisa. Anak beru masa sie seh kal nge jingkatna kerina. Senina ras kalimbubu pe labo lit ketadingen ibas lakon e, terlebih-lebih ibas kalak mate. Adi gundari lanai bo sieteh kai situhuna man ayakenta, sebab kai pe nggo banci itukur. Adi gel-gel igiling denga ura-ura bengkau, adi gundari nggo banci tukur saja, adi gel-gel kotak mayat pe anak beru erbahansa, gundari itukur saja. Labo e saja tapi sierdahin pe nggo banci igalari, emaka anak beru si erdahin nggo banci kundul saja erkiteken nggo lit sierdakan emekap ketring nina. Adi gel-gel I pebetehken man siergendang lima seendalanen gundari nggo banci kibod saja. Kai pe gundari banci iergai alu sen”. (Orang Karo, sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa agraris segala kegiatan dilakukan secara gotong royong. Anak beru sangat bertanggung jawab atas semua jenis pekerjaan dalan kegiatan adat tersebut. Senina dan kalimbubu melaksanakan tugasnya masing-masing, terutama pada peristiwa kematian. Hari ini saya tidak mengerti apa yang sebenarnya dikejar orang Karo. Kalau dulu bumbu makanan tidak perlu dibeli, masingmasing kerabat akan membawa dan mengolahnya bersama-sama. Peti mayat yang seharusnya dikerjakan anak-beru sekarang hanya cukup dengan memesannya saja. Anak beru yang semestinya mengerjakan segala sesuatu, cukup duduk manis karena sudah ada catring yang menggantikan posisinya dengan cukup membayarnya. Gendang lima sendalanen yang dulunya dipanggil dengan sebutan kehormatan sebagai sierjabaten cukup memesan sebuah keyboard untuk menggantikan posisinya. Segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang) (wawancara, 24 Desember 2012). Jika diperhatikan perubahan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, tidak dapat menunjuk pada sebuah faktor tunggal sebagai sumber
dari perubahan dalam upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Lubis, yang lebih sering perubahan itu terjadi diakibatkan oleh serangkaian peristiwa. Salah satu dari peristiwa tersebut yaitu inovasi. Inovasi adalah penemuan dan pengungkapan tentang sesuatu yang baru seperti gagasan, proses, praktik, alat, atau sarana (Lubis, 2006: 222). Hal tersebut didukung oleh Jurgen Habermas, yang menjelaskan bagaimana sistem (kuasa dan uang) telah menjajah dunia kehidupan (komunikasi intersubjektif). Kita tidak pernah lagi duduk bersama bersepakat tentang apa yang baik, indah, dan benar. Semuanya dipaksakan dari luar oleh kuasa dan uang yang bekerja secara utilitaris (Adlin, 2007: 29). Dalam upacara gendang kematian, masalah perubahan kehidupan sosial yang timbul bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Hal ini terjadi di luar kesadaran masyarakat Karo. Oleh sebab itulah, maka lebih tepat disebut sebagai efek sampingan dari proses perubahan itu sendiri. Mengingat bahwa perubahan kehidupan sosial merupakan fenomena yang saling mengait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan ke dalam masalah perubahan kehidupan sosial. Berbagai makna perubahan kehidupan sosial dari perubahan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memandang sistem sosial pada dasarnya bersifat dinamis. Perubahan sosial sebagai proses yaitu suatu bentuk
sosial beralih ke bentuk-bentuk yang lain. Perubahan sosial meliputi perubahan yang terjadi, pada keseluruhan sistem sosial maupun pada komponen-komponen tertentu dari sistem tersebut. Pada umumnya perubahan sistem sosial bermula dari salah satu komponen. Kemudian menimbulkan perubahan pada komponenkomponen lainnya. Seluruh mata rantai sebab akibat bergerak sehingga pada akhirnya akan melahirkan perubahan pada keseluruhan sistem sosial. Dari sekian banyaknya perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi adalah upacara sebagai sebuah penanda status sosial. Wujud penanda status sosial ini, misalnya ketika mengundang musik modern seperti keyboard dan ensambel tiup (terompet), status keluarga dianggap lebih terpandang dari pada hanya mengundang gendang lima sendalanen. Demikian juga halnya peti mayat yang dulu dibuat oleh salah satu sangkep nggeluh yaitu anak beru cukup dibeli dengan berbagai variasi harga. Harga yang mahal akan selalu menjadi ukuran dalam tingkat status kehidupan sosial mereka (lihat gambar L.4.4). Banyak terjadi dalam upacara gendang kematian memaksakan diri untuk mengikuti tren yang ada pada upacara kematian keluarganya seperti yang diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini. sekarang masyarakat Karo tidak lagi memedulikan bagaiman seharusnya upacara gendang kematian itu dilakukan. Kita tidak perlu lama-lama menunggu sampai upacara itu selesai, cukup seperti mengintip jurang yang dalam saja, bahkan jika kita memberi uang lebih banyak dari sepantasnya tidak akan ada persoalan meskipun upacara tersebut tidak kita hadiri. Lihatlah, setelah selesai makan siang orang yang tinggal upacara orangorang yang memang tidak bisa meninggalkannya secara adat. Kebanyakn
orang hanya melihat apa saja unsur-unsur yang berubah dan mengikuti perkembangan zaman seperti, peti mati, keyboard, ensambel tiup dan bahkan hanya melihat properti yang digunakan. Budaya lama itu kuno menurut mereka, segala sesuatu dipersingkat. Masyarakat kita sekarang adalah masyarakat konsumer (Wawancara, 27 Desember 2013). Pernyataan di atas, seperti yang diungkapkan Baudrillard bahwa masyarakat konsumer adalah masyarakat yang mengalami kelelahan. Kelelahan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kelelahan otot atau kelelahan tenaga. Kelelahan ini tidak datang dari penggunaan tenaga fisik. Akan tetapi, justru dari kelelahan nonfisik, yang menyebabkan masyarakat konsumer mutakhir menjadi ‖masyarakat stres‖, masyarakat yang tertekan karena kita digiring dalam masyarakat persaingan menyeluruh, totaliter, yang bermain dalam semua tingkatan, ekonomi, pengetahuan, keinginan, tubuh, tanda, dan dorongan (Subandi, 2007: 157). Perubahan kehidupan sosial tidak terlepas dari agama wahyu yang dipercaya sekarang. Kalau dulu, semua urusan dari awal hingga selesai dalam upacara dilaksanakan oleh sangkep nggeluh. Akan tetapi, banyak perubahan akibat agama sekarang memayungi upacara dari awal hingga selesai. Sebagai sebuah lembaga besar dan terlegitimasi, dengan tidak susah mengubah pola-pola kehidupan sosial yang ada seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Tidak semata-mata perubahan kehidupan sosial ini kearah negatif tetapi banyak perubahan kehidupan sosial kearah yang positif. Untuk itu menurut Subandi, menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti saat ini, yang dibutuhkan
adalah ruang-ruang untuk menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi dalam setiap aksi yang dilakukan. Hal itu penting karena dalam deraan masyarakat konsumer ini, betapa sering kebenaran yang sederhana ini dilupakan. Manusia ingin melakukan kebaikan tanpa terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin mengubah dunia tanpa terlebih dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi, tetapi meremehkan kontemplasi (Subandi 2007: 161).
7.4 Strategi Pewarisan 7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah Tradisi pada umumnya tidak seperti ‖budaya pop‖ yang ditunjang oleh industri budaya populer yang bertumbuh dan berkembang secara masif dan global. Terdengar dan terlihat dimana-mana. Dimediasi oleh kekuatan industri global itu, anak-anak muda belajar dan berlomba untuk menjadi bagian budaya pop itu. Setiap saat dan setiap tempat selalu disuguhkan secara silih berganti berbagai jenis budaya pop dan sekaligus dengan itu berniat menjadi bagian budaya tersebut. Televisi, radio, film, media cetak, dan terutama media elektronik seperti sosial media terus menyebarkan pesona budaya pop. Pengetahuan akan segala aspek budaya pop ini menunjukkan seberapa luas tingkat pergaulan seorang remaja. Dengan itu semua budaya pop bertumbuh seperti jamur di masyarakat. Berbeda dengan budaya tradisi, sejak awalnya tradisi selalu bersifat lokal yang terbatas pada wilayah geografis masyarakat pemiliknya dan tidak seperti olahraga sepak bola atau kemampuan mengutak-atik komputer yang ada di
sekolah-sekolah formal dan tersedia banyak tempat belajar secara nonformal seperti tempat-tempat kursus. Kebanyakan tradisi tidak ada sekolah formalnya. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan bagaimanakah strategi pewarisan tradisi. Tradisi dengan berbagai bentuk dan di berbagai kawasan mampu bertahan sebagai suatu pengetahuan maupun keterampilan karena di antaranya ada sistem pewarisan yang bersifat kultural. Tradisi pada umumnya bermuara pada pewarisan yang berbasis pada keluarga, masyarakat dan pemerintah. Seorang budayawan akan menjadikan anak atau cucunya sebagai budayawan, atau keturunannya secara kultural jejak ayah atau kakeknya menjadi budayawan, meneruskan keahlian keluarganya. Demikian juga masyarakat yang menjadi bagian dari budaya itu sendiri dan peran pemerintah sebagai sebuah strategi pewarisan. Pengetahuan dan keahlian itu ditrasmisikan secara tidak formal, dan melalui pola yang bermacam-macam. Dalam hal tradisi mendalang di Jawa Tengah misalnya, menurut Rahayu Supanggah, proses pewarisan itu berjalan secara otomatis karena lingkungan keluarga. Caranya bermacam-macam, yaitu lewat nonton, melihat sejak kecil, misalnya sanak familinya yang nabuh, atau membantu. Yang jelas tidak ada semacam prosedur guru murid seperti dikenal dalam sekolah formal (Suroto, 2007: 26). Ungkapan tersebut di atas berlaku pada tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo dimana sampai sekarang belum ada pewarisan secara formal akan tetapi pewarisan itu ada dari lingkungan keluarga. Hal ini dipertegas oleh Darwan Tarigan sebagai berikut.
‖Jika keluarga memiliki waktu banyak dengan anak-anak atau keturunannya dan selalu bermain atau membicarakan tentang tradisi, itulah sistem pewarisan yang paling baik. Di samping itu, jika ada upacaraupacara tradisi sebaiknya mereka diikut sertakan dalam upacara tersebut meskipun sebenarnya mereka belum tertarik dengan rangkaian-rangkaian adat istiadat yang dilakukan pada upacara tersebut. Dari intensitas kehadiran mereka maka proses pewarisan itu berjalan secara otomatis (Wawancara, 20 Desember 2012). Menurut pengamatan penulis, bukan berarti tradisi yang diwariskan itu akan begitu-begitu saja. Sering ada pengembangan baru, suatu kreativitas, dari tradisi yang diwarisi. Setidaknya tradisi yang dilakukan kemudian si anak itu berbeda meski kelihatan dikembangkan pendahulunya. Hal ini disebabkan karena regenerasi mengisyaratkan dua generasi yang berbeda zaman yang kemudian menentukan perbedaan pula dalam interpretasi terhadap tradisi itu. Apalagi mengingat si anak tidak berguru kepada ayahnya saja, tetapi juga berguru, baik secara diam-diam maupun atas anjuran orang tuanya sendiri, pada budayawan lain, atau melengkapinya dengan pendidikan formal. Seperti yang dikatakan Supanggah dalam Suroto (2007: 27) biasanya seorang anak tidak bisa belajar secara serius kepada bapaknya, walaupun bapaknya adalah idolanya. Mungkin karena sungkan, dari segi ayahnya juga begitu. Misalnya, jika anaknya salah pasti takut untuk menyalahkan anaknya, biasanya Cuma dicantrikkan atau belajar ke orang lain atau kekeluarga yang lain. Sebagai tradisi lisan tidak dapat terlepas dari upaya masyarakat pemiliknya dalam menjaga kelestarian tradisi tersebut. Tentu saja dalam melakukan upaya pelestarian itu berbagai
tantangan akan dihadapi.
Mulai
dari internal
masyarakatnya, maupun datangnya pengaruh dari budaya luar. Tentu saja menyikapi kondisi ini, dituntut kecerdasan, kejelian dan kemampuan masyarakat pemiliknya dalam menjaga kelangsungan tradisi upacara gendang kematian. Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini ditegaskan oleh Sedyawati, masyarakat pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang ―tak benda atau tak tersentuh. (Sedyawati, 2006: 160). Upacara gendang kematian etnik Karo memiliki warisan budaya yang tangilbe seperti alat musik ensambel gendang lima sendalanen yang menghasilkan bunyi musik untuk kebutuhan upacara tersebut. Meskipun instrumen musik ini merupakan suatu benda yang bersifat tangible, tetapi karena sifat budayanya tentu memiliki sejumlah aspek intangible tak benda atau tak dapat diraba yang melekat padanya (Lihat, 7.1.1). Sedyawati mengungkapkan setidaknya ada enam aspek intangible atau ―tak benda‖ dapat berkenaan dengan (1) konsep mengenai benda itu sendiri, (2) perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, (3) kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, (4) isi pesan yg terkandung di dalamnya, (5) teknologi untuk membuatnya, dan (5) pola tingkah laku yang terkait dengan pemanfaatannya. Tidak semua dari keenam aspek tersebut harus sekaligus semaua ada pada sebuah benda, namun sebuah benda pada
umumnya mempunyai lebih dari dua aspek intangible yang melekat padanya (Sedyawati 2006: 161--162). Warisan budaya intangible di luar yang terdapat pada benda konkret tersebut, juga memerlukan upaya pelestarian, yaitu (1) sastra, yang dapat digolongkan berdasarkan lisan atau tertulis, seperti mitos, legenda, dongeng, kefilsafatan dan lain-lain, (2) musik, yang digolongkan atas vokal, instrumental, dan gabungan, (3) tari, yaitu tari ‗murni‘, tari bercerita , dan gabungan, (4) olahraga tradisional, (5) teater, (6) tata upacara, dan (7) ilmu pengetahuan. Aspek di atas hampir semua terdapat pada upacara gendang kematian etnik Karo yang memerlukan pewarisan seperti, perekaman, maupun upaya untuk memupuk kehidupannya agar tetap aktual, sama-sama penting untuk dilakukan, yaitu karena diperlukan oleh peneliti maupun bagi pewaris sumber daya budaya itu sendiri. Dari dua sisi kehidupan sumber daya budaya mempunyai kaidah-kaidah pewarisannya sendiri, yaitu di satu sisi dokumentasi dan pengarsipan yang sebaikbaiknyauntuk kepentingan ilmiah, dan di sisi lain pengeya sebagai substansi industri budaya untuk pemenuhan kebutuhan penikmatan serta ‗pemihakan‘ oleh khalayak ramai. Upaya yang disebut terakhir itulah yang dewasa ini sangat memerlukan perhatian dari semua pihak yang peduli terhadap mutu kebudayaan bangsa, karena banyaknya warisan budaya tradisi takbenda yang terancam tergusur selama-lamanya oleh industri budaya yang semata-mata berancangan komersial (Sedyawati, 2006: 164).
Pedentia (2008), mengatakan seperti halnya yang terjadi di berbagai negara lain, di Indonesia pun warisan budaya makin lama makin menghilang dan beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam tradisi juga yang mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti pada upacara ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan situasi dan migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses perubahan dan bahkan punahnya tradisi (seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi) berarti juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu masyarakat. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsurangsur. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebabsebab terjadinya perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan. Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan yang tetap dan berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut, baik sebagai living tradition maupun sebagai memory tradition. Menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya tradisi bersamaan dengan ―punah‖ nya penutur atau pemilik tradisi berarti
terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada hilangnya identitas dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam, dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam berbagai bidang. Selanjutnya menurut Pudentia, untuk melaksanakan hal tersebut, peran masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD 45, pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan upaya memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis masyarakat yang tidak hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya. Masyarakat tempat pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih memerlukannya. Tradisi lisan, sebagai bagian dari warisan budaya yang intangible, sadar atau tidak telah berada dalam tahap penghancuran. Keberadaan tradisi lisan
upacara gendang kematian saat ini, menimbulkan banyak kekhawatiran bagi pemerhati budaya lokal, yang sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, lembaga nonpemerintah, para tokoh masyarakat, dan tentu masyarakat Karo sendiri yang menjadi pendukung utama tradisi lisan tersebut. Hal ini menjadi krusial karena keberadaan unsur yang paling penting pada upacara, yaitu gendang lima sendalanen telah terpinggirkan dari tempat semestinya ia berada, demikian juga unsur-unsur yang lain. Ismail Bangun mengungkapkan sebagai berikut. ‖Sejauh ini pemerintah belum ada upaya untuk melestarikan tradisi. Saya dan beberapa teman seniman dan budayawan sempat menyarankan kepada pemerintah melalui dinas pariwisata, untuk melakukan revitalisasi kebudayaan yang menyangkut adat istiadat yang ada pada etnik Karo. Namun belum terealisasi karena tempat saja yang masih dapat disediakan oleh pemerintah, sedangkan kebutuhan lain belum ada. Sudah dimulai beberapa tahun terakhir namun sama sekali tidak ada kemajuan akibat kurangnya dukungan pemerintah setempat. Akibatnya minat orang yang belajar juga kurang antusias terhadap hal seperti ini. Ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah dalam mempublikasikannya‖ (Wawancara, 15 Juli 2012). Warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible, tidak boleh dibiarkan terbengkalai namun sebaliknya harus tetap ditumbuhkan dalam iklim yang sesehat-sehatnya. Alih-alih menguatkan, pemerintah memegang andil yang signifikan dalam kepunahan warisan budaya. pembubaran badan pengembangan kebudayaan dan pariwisata dlam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menghilangkan sandaran bagi pengembangan kebudayaan. Secara normatif, hal ini berarti bahwa pemerintah kini tidak menangani pelaksanaan kerja dan hanya berperan sebagai pengarah kebijakan. Perlindungan peninggalan sejarah
purbakala, serta berbagai warisan buday intangible tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilepas ke khalayak ramai. Ini akan berdampak pada kemunduran dan kepunahan warisan budaya milik etnik tertentu, yang secara politis dan ekonomis tidak memiliki posisi tawar yang kuat (Sedyawati, 2008: 162). Menurut Majid (2010: 139), Pemerintah sebagai pengemban amanat undang-undang memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh kembangkan warisan budaya. Di tangan merekalah ekspos tradisi dapat diwujudkan, selain karena ditunjang oleh segi finansial juga memiliki akses dalam membuka dan memfasilitasi warisan tradisi dalam skala yang lebih besar. Media massa, bagaimanapun juga, telah menjadi tumpuan untuk dujadikan medium pengembangan budaya. tanpa peran pemerintah dan media massa, warisan budaya tradisional tidak dapat berbuat banyak, apalagi menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran dan fungsi kekayaan tradisi.
7.4.2 Pewarisan Melalui Revitalisasi Revitalisasi tradisi lisan upacara gendang kematian merupakan pengokohan jati diri etnik Karo yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strategisnya tradisi lisan upacara gendang kematian, sebagai falsafah hidup, dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan
sebagai kelanjutan identitas Karo dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya. Menurut Keesing, revitalisasi adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyinggung dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola lama yang telah diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Keesing, 1999: 257). Sibarani (2004: 30) bahwa revitalisasi kebudayaan adalah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus diusahakan
untuk
bermanfaat
dalam
kehidupan
manusia
untuk
lebih
menyejahterakan masyarakat. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa untuk melakukan revitalisasi tradisi lisan dibutuhkan kepedulian kepedulian berbagai kalangan, baik dari pemerintah daerah, pemerhati budaya, dan tentu saja masyarakat. Namun, yang menjadi kunci utama dari revitalisasi tradisi lisan adalah sikap dari masyarakat pendukungnya. Jekmen Sinulingga mengungkapkan sebagai berikut.
‖Etnik Karo saat ini mengalami ambivalen dalam menyikapi upaya pelestarian tradisi. Disatu sisi sangat antusias terhadap tradisi yang dimiliki seolah olah tanpa menjalankan tradisi orang Karo tidak beradap, disisi lain menganggap tradisi adalah kebiasaan yang ketinggalan zaman. Semestinya generasi muda Karo saat ini diberi pencerahan dan motivasi untuk untuk mencintai warisan budaya mereka (Wawancara, 26 Desember 2013). Ungkapan diatas minyiratkan bahwa, dorongan yang sifatnya motivatif dan proaktif kepada generasi muda harus terus ditanamkan dalam menjaga dan memelihara keberadaan tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal sebagai identitas etnik Karo. Pemerhati budaya sering mengungkapkan bahwa tradisi lisan merupakan bagisn dari kebudayaan dan hidupnya tradisi lisan mencerminkan hidup ebudayaan. Tradisi lisan yang tangguh adalah yang tetap hidup dalam komunitas, hadir dalam kegiatan masyarakat, dan menjalankan fungsi dalam konteks kehidupan. Selain itu, penyebaran dan penerusan kepada masyarakat pendukung, baik segenerasi maupun antargenerasi terus berlangsung. Tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi mengalami kemunduran bahkan sebagian dari unsur di dalamnya mengalami kepunahan. Kemunduran ini ditandai oleh berbagai faktor yang memengaruhinya, sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya tradisi lisan yang tidak hidup lagi di masyarakat. Tradisi lisan itu telah kehilangan pemiliknya dan generasi pemiliknya tidak pernah lagi melihat tradisi lisan itu. Akibatnya bentuk dan isi tradisi lisan itu semakin tidak dikenal komunitasnya. Atas dasar itu, menurut Sibarani, tradisi lisan sangat perlu membuat model revitalisasi untuk menghidupkan tradisi lisan itu dan sekaligus memfungsikan nilai dan norma
budaya yang terkandung di dalamnya untuk menata kehidupan komunitasnya (Sibarani, 2012: 292). Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain. Hal tersebut di atas, sesuai dengan pendapat Astra (2004: 115--116) menyatakan pentingnya mendayagunakan atau merevitalisasi tradisi lisan atau kearifan lokal untuk tujuan pembangunan. Memilah upaya-upaya revitalisasi, yaitu menggali serta merumuskan dengan tepat kearifan lokal yang ‖masih terpendam‖ dalam berbagai aspek kehidupan atau budaya, memupuk kearifan lokal yang sudah berfungsi dengan baik, dan merevitalisasi kearifan lokal secara sistematis dan terencana sehingga dapat berfungsi secara tepat dan optimal. Upacara gendang kematian adalah salah satu tradisi lisan yang sangat penting di kalangan etnik Karo. Pada upacara ini setiap individu dituntut dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana kemajemukan yang dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan kekerabatan sangkep nggeluh. Dalam perjalanannya, tradisi lisan ini berhadapan
dengan berbagai kekuatan, seperti masyarakat, dan para pewaris upacara gendang kematian tersebut. Tradisi lisan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, merupakan wujud pencarian identitas bagi masyarakat atau etnik tertentu sehingga dapat memahami keberadaannya di tengah-tengah kemajemukan masyarakat saat ini. Identitas diperoleh, dikelola, dan ditrasformasikan melalui berbagai proses sosial. Identitas sangat penting karena dia membentuk prilaku etnik. Tradisi lisan mampu membentuk identitas etnik dan membedakannya dari etnik lain. perbedaan perilaku etnik bertentangan dengan prinsip yang dianut masyarakat global. Globalisasi
menjadikan
universalitas
sebagai
tujuan
utamanya
sehingga
memungkinkan terciptanya hegemonisasi budaya. Hegemoni budaya tidak terlepas dari peran media massa yang menghasilkan budaya massa, dan penguasa yang terus-menerus mengembangkan praktik-praktik kekuasaan. Kapitalisme global tidak hanya berkaitan dengan ekspansi kapital dan pasar, tetapi juga merambah pada nilai-nilai kultural. Kapitalisme global dibangun atas fondasi individualisme, dibangun berdasarkan persaingan untuk menguasai dan mendominasi. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh budaya lokal, seperti semangat kebersamaan, kesederhanaan, tenggang rasa, dan kasih sayang. Jika hegemoni kultural terus berlanjut, maka akan terjadi proses penghancuran budaya lokal beserta warisan-warisan budaya lainnya (Majid, 2010: 134). Oleh sebab itu, budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh
globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal, maka perlu dimunculkan revitalisasi tradisi lisan/kearifan lokal. Seperti yang diungkapkan Majid (2010: 21), revitalisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin disikapi dan ditindaklanjuti. Revitalisasi meniscayakan nilai-nilai budaya lokal menjawab berbagai tantangan globalisasi. Revitalisasi tradisi melingkupi kesadaran kolektif masyarakat lokal untuk memperkokoh jati diri dan identitas bangsa dengan menumbuhkan kembali norma dan nilai-nilai budaya lokal yang telah didefinisikan di masa lalu secara kolektif, dan diwariskan secara turun temurun sehingga mampu memberikan arah pada perkembangan budaya lokal yang mengandung nilai-nilain kebenaran. Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal
sehingga
dapat
mengaktualisasikan
diri
dalam
konteks
global.
Pengembangan budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas lokalsehingga mampub menumbuhkan kesadaran cultural tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya lokal sebagai kebutuhan dalam mensejahterakan masyarakat. Adapun
indicator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan, antara lain sebagai berikut. (1) menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi, (2) kesadaran untuk memnanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya likal dalam memperkokoh jati diri masyarakat lokal, (3) membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat, (4) memulihkan dan membangklitlan kembali ingatan dan keadaran klektif masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya, dan (5) dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal Majid (2010: 27--28). Seharusnya ditengah perubahan masyarakat, tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo mampu menyesuaikan struktur dan fungsinya sehingga dapat hadir dalam wujud yang serasi dengan perilaku manusia penggunanya. Namun, kenyataan ini bertentangan dengan kondisi yang dialami saat ini, dimana implementasi tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo jauh melenceng dari yang seharusnya. Tradisi lisan tidak lagi menjadi cerminan masyarakat pendukungnya, bahkan makin menjauh dan tidak lagi memiliki daya pikat sesuai dengan semestinya. Oleh sebab itu revitalisasi tradisi lisan ini harus dilakukan. Revitalisasi tradisi lisan adalah proses dan usaha melestarikan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat atau usaha membuat tradisi lisan menjadi suatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Merevitalisasi tradisi lisan menurut Sibarani (2004: 33--34), (1) mendorong setiap tradisi lisan
suatu etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi. Agar semua tradisi di Indonesia ini dapat hidup dan berkembang, kita harus menghindari dominasi kebudayaan mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan penyeragaman kebudayaan, (2) membuat tradisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai tontonan masyarakatnya. Hakikat tradisi lisan harus dicari, doformulasikan, dan dimanfaatkan dalam rangka revitalisasinya, (3) kebudayaan bangsa (kebudayaan nasional) kita merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan keseluruhan kebudayaan baru. Dalam pemikiran ini, tidak ada tradisi suatu etnik yang lebih rendah daripada tradisi etnik lain, semuanya sama. Ini memungkinkan dan
memotivasi
pemilik
tradisi
mensinergikan
kemampuannya
untuk
merevitalisasi dan menghargai tradisinya sendiri karena dia tidak akan bingung mencari puncak-puncak kebudayaan daerah yang tidak berpuncak itu. Marilah kita meratakan ‖puncak-puncak‖ itu supaya semua transfaran dan hidup berdampingan, (4) membangun perkampungan budaya (culture village) pada setiap kabupaten. Perkampungan budaya pada setiap wilayah etnik atau kabupaten sangat perlu dibangun agar dapat dimanfaatkan sebagai wadah transfer budaya secara sosial, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya, (5) segala bentuk pembangunan harus dilandasi oleh tradisi masyarakat setempat. Penyeragaman pembangunan
selama
ini
terjadi
telah
terbukti
gagal
karena
tidak
memperhitungkan kebudayaan masyarakat setempat. Berapa banyak penbangunan KUD yang menjadi kandang hewan di desa-desa, berapa banyak perumahan guru tidak ditempati. Ini semua terjadi karena pembangunan tidak didasarkan pada
aspek-aspek sosial-budaya masyarakat setempat, (6) melibatkan masyarakat setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan. Dengan metode seperti ini, masyarakat akan merasa memiliki, menghargai, dan menguasai kebudayaannya. Kebudayaan adalah masalah kebiasaan, dan (7) melibatkan ‖orang-orang budaya‖ dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap pembangunan. Perencanaan pembangunan di masa mendatang harus melibatkan perencanaan dari orang-orang budaya, baik itu dari latar belakang humaniora maupun dari latar belakang sosial.
7.5 Temuan Penelitian Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, menghasilkan temuan yang merupakan pemahaman baru terhadap permasalahan penelitian. Adapun temuan yang dapat dikemukakan dan perlu dicermati dalam penelitian ini adalah seperti berikut ini. Pertama, etnik Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo.
Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi hantu. Ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa eksistensi etnik Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai satu kesatuan menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya. Kedua, ditemukan bahwa etnik Karo pada era globalisasi menganggap dirinya tidak dipengaruhi oleh sesuatu dalam tumbuh kembangnya perubahan unsur-unsur upacara gendang kematian yang sudah tergerus dari keasliannya. Mereka menganggap perubahan itu bukan sebagai sebuah kekuasaan modern yang
menimpa nilai-nilai budayanya, melainkan hanya merupakan kelumrahan dijalani tanpa resistensi. Namun, dalam penelitian ini ditemukan hal-hal yang signifikan dari globalisasi sebagai agen perubahan yang berwujud
kristenisasi, industri
budaya, dan media elektronik. Bahkan masyarakat Karo menyandingkan atau menyejajarkan
antara
nilai
dan
harga.
Hantaman
spiritualitas
modern
menyebabkan harga di atas nilai, yang semestinya spiritualitas tradisi menjunjung tinggi nilai diatas harga. Ketiga, ditemukan bahwa gendang lima sendalanen bukan musik ―kafir‖, seperti yang dikatakan oleh misionaris dari Belanda. Setelah ditelaah lebih dalam penelitian ini menemukan bahwa gendang lima sendalanen adalah representasi identitas Karo yang dapat mewakili kekerabatan yang ada. Sarune adalah sukut/sembuyak, gendang singindungi adalah kalimbubu, gendang singanaki adalah senina, penganak adalah anak beru, dan gung adalah anak beru minteri. Dengan demikian gendang lima sendalanen adalah sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo sesuai dengan prilaku masyarakat baik dari instrumen maupun bunyi musik yang dihasilkan ensambel tersebut. Etnomusikologi mencurahkan perhatiannya untuk mengumpulkan faktafakta kemudian mencari penyelesaian masalah-masalah mendasar di dalam hubungan dengan studi tentang musik sebagai bagian dari budaya manusia. Menurut Merriam, hal ini ditekankan di dalam literatur etnomusikologi yang cenderung untuk mengarahkan perhatiannya terhadap analisis suara-suara musik dan menghubungkan dengan matris budayanya. Di samping itu, juga terhadap
deskripsi fisik instrumen-instrumen musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan analisis tentang musik itu dan apa peranannya di dalam masyarakat (Merriam, 1995: 91). Keempat, ditemukan bahwa spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan oleh ketertinggalan pengembangan dan perkembangan seni budaya Nusantara apabila dibandingkan dengan seni budaya Barat, baik di sokolah-sekolah formal maupun nonformal. Perbandingan ini dapat diibaratkan sebagai situasi deret ukur (berdasarkan waktu). Dalam hal ini perkembangan seni budaya Nusantara berdasarkan deret waktu terus mengalami penyusutan, sedangkan perkembangan seni budaya Barat terus mengalami kenaikan secara sugnifikan. Sebagai konsekuensinya, komunitas budaya tradisi terpinggirkan (identitas melemah). Hal ini berkebalikan dengan komunitas budaya modern. Secara kajian budaya, fenomena ini merupakan sebuah kerugian besar bagi budaya yang terpinggirkan.
7.6 Refleksi Kondisi
perubahan
dengan
bertumbuhkembangnya
unsur-unsur
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dan semakin tergesernya sisi-sisi ritual dengan beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke modern, terkikisnya budaya Karo, serta menurunnya kreativitas seniman, maka dianggap perlu strategi kebudayaan dalam menata upacara gendang kematian untuk masa yang akan datang, jangan sampai di tinggalkan oleh generasi yang
berikutnya. Pola strategi budaya yang dibutuhkan dari warisan leluhur seperti tradisi lisan masa lampau dengan adanya tafsiran-tafsiran baru khususnya terhadap eksistensi upacara gendang kematian ke depan, dengan rasa kebanggaan, kecintaan, dan kepercayaan terhadap upacara gendang kematian sebagai tradisi yang unggul dan menjadi bagian penting dari identitas kekaroan. Dalam melakukan strategi itu ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama, upaya untuk menciptakan persepsi dan resepsi terhadap upacara gendang kematian sebagai budaya yang komprehensif yang mempunyai peran dan cakupan luas atas sendi-sendi kehidupan masyarakat pemilik dan pendukung upacara gendang kematian tersebut. Tentu saja dilakukan dengan cara menjawab tantangan kontestasi global yang deras. Tradisi suatu masyarakat merupakan faktor penentu eksistensi masyarakat tersebut. Gendang kematian sebagai sesuatu yang berkaitan dengan urusan masa lalu tentu saja tidak sepaham dengan hakikat kebudayaan yang dinamis bahwa kebudayaan selalu mengikuti perubahan masyarakat untuk mencapai suatu kehidupan yang baik dari sebelumnya. Kedua, menjadikan upacara gendang kematian sebagai media ampuh dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi, perputaran waktu yang sangat cepat. Ketiga, upacara gendang kematian sebagai ikon budaya Karo, jati diri, dan identitas kekaroan, harus didekatkan pada falsafah pembudayaan yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Karo. Selain ketiga aspek di atas, diperlukan visi (tujuan) dan misi (rencana program) yang sama dalam usaha pengembangan dan pelestarian upacara gendang
kematian. Budayawan/seniman, masyarakat pendukung gendang kematian semestinya harus secara bersama merumuskan secara tepat strategi membangun upacara gendang kematian. Bagaimana peran upacara gendang kematian dalam pengembangan
masyarakat
dan
bagaimana
peran
masyarakat
dalam
pengembangan upacara gendang kematian. Kedua peran ini harus diciptakan sebagai suatu gerakan terpadu dan tidak dalam oposisi biner, tetapi posisinya dalam satu garis linear hubungan kausalitas. Berdasarkan pemahaman bahwa upacara gendang kematian memiliki kekuatan dan potensi lebih sempurna daripada upacara-upacara yang lain, maka hal
ini
penting
dijawab
sebagai
tantangan
komunitasnya.
Artinya,
budayawan/seniman, etnik Karo, dan pemerintah daerah perlu menciptakan berbagai momen yang berujung pada meningkatnya pemahaman dan minat masyarakat Karo khususnya dan dunia untuk mempelajari dan memperlakukan upacara gendang kematian sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa di berbagai forum. Untuk itu, pengembangan dan pemberdayaan upacara gendang kematian dapat dilakukan dengan menyentuh filosofi hidup, yakni erpenungkunen man senina (bermusyawarah dengan senina), mehamat er kalimbubu (menghormati kalimbubu), dan metami er anak beru (menyayangi anak beru). Filosofi masyarakat terhadap kematian itu sendiri, yakni buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu), dareh milih ku lau (darah menjadi air), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), kesah mulih ku angin (napas
menjadi angin) dan tendi jadi begu (roh menjadi hantu). Hal tersebut berarti manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain, sedangkan manusia mati untuk menghidupkan manusia lain. Tidak ada manusia yang tetap hidup, sampai saatnya akan meninggal. Dengan demikian, ada rasa memiliki, dan menjadikan upacara gendang kematian sebagai alat kontrol sosial dalam peradaban etnik Karo, baik pada
masa
lampau,
dan
masa
kini,
maupun
masa
depan.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumya mengenai penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dapat dihasilkan temuan dan refleksi dalam penelitian ini. Adapun simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, dalam paham tradisional etnik Karo menganggap ada keterbatasan hidup manusia di dunia ini, tetapi dipahami juga bahwa ada kehidupan setelah kematian. Ada hubungan yang berkelanjutan antara orang yang hidup dan orang mati. Dengan denikian, dalam spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (nafas menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi begu). Spirituaitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi telah mengalami proses historis yang panjang yang diawali dengan adanya gejala perubahan ke dalam unsur-unsur upacara yang cenderung mengarah pada nilainilai upacara gendang kematian mengikuti pola-pola modern. Pergeseran dari tradisi (gendang lima sendalanen) ke modern (keyboard/trompet) beserta unsurunsur yang lain dalam upacara gendang kematian kelihatan indah dinikmati dan
disaksikan, bahkan terasa menyatu, baik secara individu maupun bersama, tetapi perlahan kesakralan akan terabaikan. Pemakaian keyboard dalam musik tradisi Karo pada mulanya dalam konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada gendang patam-patam (repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron muda-mudi). Pemakaian keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat memberikan aksen tertentu pada komposisi tersebut. Dengan melakukan eksperimen pencarian bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru berbagai pola melodi sarune dan pola ritmis gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik yang diprogram dalam keyboard sehingga menggantikan posisi gendang lima sendalanen menjadi keyboard tunggal dalam ensambel musik Karo yang kemudian digunakan pada upacara gendang kematian. Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi mencakup faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor-faktor yang muncul dari konstruksi budaya lokal itu sendiri, seperti adanya masyarakat pendukung, budayawan/seniman dengan kreativitasnya, dan konstruksi identitas dalam lokalitasnya di tengah-tengah pusaran arus budaya global. Sebaliknya, faktor ekstern adalah faktor yang cenderung mengarah kepada faktor penguasaan, standardisasi, keseragaman budaya yang dapat melengserkan budaya lokal yang plural dalam kekaroan. Bahkan, dapat menghilangkannya apabila tidak memiliki strategi ketahanan budaya upacara gendang kematian. Faktor ekstern yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi, seperti kristenisasi, industri budaya dimana bertemunya budaya global dengan budaya lokal, dan media elektronik. Ketiga, makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yaitu makna spiritualitas pramodern yang diuraikan dari unsur upacara gendang kematian, seperti gendang lima sendalanen, yang merujuk pada karya seni musik, tradisi, kosmologi, dan religi pada etnik Karo. Gendang lima sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak, mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidupnya. Kehadiran keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian etnik Karo merupakan spiritualitas modern, yaitu bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika spiritualitas kultural etnik Karo. Makna perubahan budaya seperti beralihnya nilai tradisi ke modern adalah teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ke agama Kristen. Terkikisnya spiritualitas etnik Karo akibat arus glonalisasi menyebabkan nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian mengalami perubahan ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada terjadinya krisis identitas. Di samping itu menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern dengan menekan satu
tombol saja terhadap perubahan budaya Karo. Sangkep nggeluh sebagai kekerabatan berangsur-angsur berubah fungsi dengan hantaman arus globalisasi. Strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo yang menyangkut keluarga, masyarakat, pemerintah dapat berpartisipasi dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan upacara gendang kematian. Dalam menghadapi derasnya arus globalisasi, upacara gendang kematian sebagai kearifan lokal untuk melakukan revitalisasi tradisi lisan yang membutuhkan kepedulian berbagai kalangan keluarga, masyarakat, dan pemerintah
8.2 Saran Sesuai dengan tujuan dan temuan penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan gendang kematian etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik. Selain itu, juga terbuka untuk penelitian lanjutan, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua,
penelitian
ini
dapat
dijadikan
kontribusi
sebagai
bahan
pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan di berbagai tingkatan, baik ekskutif maupun legislatif,
pimpinan organisasi kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman, budayawan,
praktisi
seni
dalam
memecahkan
berbagai
permasalahan
pembangunan untuk kesejahteraan bersama, lebih khususnya pembangunan seni budaya pada era globalisasi. Ketiga, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan disiplin kajian budaya. Di samping itu, juga sebagai sumber rujukan utama ataupun sumber alternatif dalam dinamika kreativitas kehidupan berkesenian masyarakat di daerah Karo khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya. Keempat, disadari bahwa dalam penelitian terdapat keterbatasanketerbatasan. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam, lebih luas, dan lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan dan Iqbal, Ibnu. 2008. (ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Taufik. 1994. Sumatera Utara dalam Lintas Sejarah: Sejarah Perkembangan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Adlin, Alfahri (ed.). 2007. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra. Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Akbar, Ali. 2011. Tradisi Lisan sebagai Sumber Pencarian dan Pengidentifikasian dalam Jurnal ATL, Edisi April. Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan Tradisi Lisan. Hal. 42--47. Jakarta: ATL. Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UI Press. Astra, I Gde Semadi. 2004. ―Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya Memperkokoh Jadi Diri Bangsa‖ dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press. Bakan, Michael B. 1999. Music of Death and New Creation, Experiences in the World of Balinese Gamelan Beleganjur Chicago: University of Chicago. Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Bakker, SJ J.W.M. 2005. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Banawiratma, J.B., S.J. 1990. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis. Yogyakarta: Kanisius. Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indayu Press
Bangun, Tridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhaidi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks : Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. (terj. Agustinus Hartono) Yogyakarta: Jalasurta. Berry, Thomas. 2013. Kosmologi Kristen. (terj. Amelia Hendani). Maumere: Ledalero. Bevans, Stephen B. 2002. Model-Model Teologi Kontekstual. (terj. Yosef Maria Florisan). Maumere: Ledalero. Boskoff, Alvin. 1964. ‖Recent Theories of Social Change‖ dalam Werner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, Sosiology and History : Theory and Reserch. London: The Free Press of Glencoe. Budiarto, C. Teguh. 2001. Tarawang Press.
Musik Modern dan Ideologi Pasar.
Yogyakarta:
Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat-istiadat Karo Kabanjahe: Toko Bukit Capra, Fritjof. 1999. Menyatu dengan Semesta: Menyikap Batas antara Sains dan Spiritualitas (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Capra, Fritjof. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistomologi dan Kehidupan (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. (terj. Laily Rahmawati) Yogyakarta: Niagara. Cooley, Frank L. 1976. Tim Penelitian GBKP dan Staf Proyek Survei Menyeluruh DGI, Benih Yang Tumbuh IV, Suatu Survei Mengenai Gereja Batak Karo Protestan. Jakarta: LPGI. Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiri.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (Terj. Setyarini dan Piantari). Yogyakarta: Jalasutra. Dharmojo. 2005 Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi ‖Driarkara‖). Yogyakarta: Kanisius. Dibia,
Agama.
(terj.
Kelompok
I Wayan. 2005. ‖Karya Seni Lintas Budaya dan Beberapa Permasalahannya‖ dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara, Waridi (ed.) Surakarta: FF dan STSI, hlm. 376--386.
Dibia, I Wayan. 2006. ‖Kesenian Rakyat yang Terpinggirkan‖ (Makalah) Matrikulasi Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, 5-19 Agustus. Universitas Udayana. Dibia, I Wayan. F.X. Widaryanto dan Endo Suanda. 2006. Tari Komunal. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Simbol (terj. A. Widyamatataya). Yogyakarta: Kanisius. Djohan. 2005. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik. Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu: Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramita. Eco, Umberto. 2004. Tamasya dalam Hiperealitas. (terj. Iskandar Zulkarnaen). Yogyakarta: Jalasutra. Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi Tanda. (terj. Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Kreasi Wcana. Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. (terj. Cuk Ananta). Yogyakarta: Ikon Teralitera. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Chambridge: Polity Press. Fasya, Teuku Kemal. 2006. Kata dan Luka Kebudayaan Isu-Isu Gerakan Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. Medan: USU Press. Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (terj. Misbah Elizabeth). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gahral Adian, Donny. 2006. ―Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi‖ dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 23-33. Yogyakarta: Jalasutra. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan, Kebudayaan dan Agama, Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. (terj. Ali Noer Zaman). Yogyakarta: IRCiSoD. Gie, The Liang. 2004. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB. Ginting, Bobking Sidney. 2009. Analisis Komunikasi Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa Daulu, Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Tesis S2 Studi Komunikasi UDA. Medan. Gintings. E.P. 1997. Adat Karo Ibas Kalak Mate: Kinata Berita Si Meriah kerna Kematen i bas Masyarakat Karo. Kabanjahe: Abdi Karya. Gintings. E.P. 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe: Abdi Karya. Ginting, Nalinta (peny.). 1983. Seminar Adat Istiadat Karo, 16 s.d. 19 Pebruari 1977 di Kabanjahe. Ginting, Pulumun P. 2012. Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada Masyarakat Karo. Seminar Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus Gourlay, K.A. 1995. ‖Perumusan Kembali Peran Etnomusikologi di dalam Penelitian‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal, 123--176.
Griffin, David Ray. 2005. Visi-Visi Postmodern Spiritualitas dan Masyarakat (terj. Gunawan Admiranto). Yogyakarta: Kanisius. Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara. Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Buku Kompas. Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. https://groups.yahoo.com/neo/groups/gbkp/conversations/topics/13572 http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Musik_Pop_Theodor_Adorno http://pariwisatakaro.blogspot.com/ http:/wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro Ibrahim, Abd Syukur (ed.). 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (Advances in Semiotics). Terj. Ibrahim dkk. Surabaya: Airlangga University Press. Ibrahim, Idi Subandy. (ed.). 1997. Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Ibrahim, Idi Subandy. 2007. ―Chaospirituality di Taman Kontemplasi Batin: Refleksi atas Fenomena Spiritualitas Akhir-akhir ini‖ dalam Adlin (ed.) Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer Hal. 153-161 Yogyakarta: Jalasutra. Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gondrang Simalungun Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Simalungun. Medan: Bina Media. John, Liku Ada. 2006. Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Kayam, Umar. 2004. ―Budaya Massa Indonesia‖ (dalam Lifestyle Ecstasy: Kebudayaaaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Ibrahim, ed., Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 27--43). Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. (terj. Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga. Kipp, Rita Smith. 1976. The Ideology of Kinship in Karo Batak Ritual. Degree of Doktor of Philosophy University of Pittsburgh. Kleden, Leo. 2003 ‖Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma Kebudayaan‖ dalam Murgiyanto dkk (ed). Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. hal 1--18 Surakarta: FF & STSI. Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan. Yogyakarta: Djembatan. Krader, Barbara. 1995. ‖Etnomusikologi‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal 1--32. Kunst, Jaap. 1955. Ethnomusicology: A Study of its Nature, its Problems, Methods, and Representative Personalities to which is added a Bibliography. Netherlands: Martinus Hijhoff. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius. Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodrnitas. Yogyakarta: Kanisius. Liembeng, Julianus. 2007. Erpangir Kulau, Mandi Ritual pada Masyarakat Karo. Jakarta: Depbudpar. Liliweri, Alo. 2005. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: PT Lkis. List, George. 1995. ‖Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal 33--39.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pusaka Indonesia Satu (PIS). Lubis, Nur A Fadhil. 2006 ―Agama sebagai Poros Perubahan Sosial‖ dalam Fasya, Teuku Kemal (ed) Kata dan Luka Kebudayaan Isu-isu Gerakan Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. hal, 215--235. Medan: USU Press. Mack, Dieter. 2001a. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Bandung: Artiline. Mack, Dieter. 2001b. Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia dan MSPI.2 Majid, Bakhtiar. 2010. ―Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Bololo dalam Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya‖. Tesis S2 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar. Marianto, Dwi M. 2006. Quantum Seni. Semarang: Dahara Prize. Marsden, William. t.t. Sejarah Sumatera. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mbete, Aron Meko (peny.). 2009. Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme: Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Kajian Budaya Universitas Udayana. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music, Chicago: Northwestern University Press. Merriam, Alan P. 1995. ‖Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif‘ dan ‘Entomusikologi‘: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal, 40-64. Merriam, Alan P. 1995. ‖Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal 89--122. Milala, Terang Malem. 2008. Utang Adat Kematian dalam Adat Karo. Medan: Maranatha.
Minawati, Rosta. 2010. ―Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas Agama di Kabupaten Karo, Sumatera Utara‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Bali. Moleong, MA Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas dan Kritik Penalaran Poskolonial. (terj. Wiwin Indiarti). Yogyakarta: Pararaton.
Munro, Thomas. 2007. Estetika Timur: Sebuah Kajian bagi Pertemuan antara Budaya Timur dan Barat. (terj. Heribertus B. Sutopo). Surakarta: Seni Rupa UNS. Murgiyanto, Sal. (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: Ford Foundation dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari Di Indonesia. Jakarta: Weda Tama Widia Sastra. Nakagawa, Shin. 1999. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Neumann, J.H. 1972. Bhratara.
Sedjarah Batak-Karo Sebuah Sumbangan. Djakarta:
Norris, Christoher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (terj. Insyak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Parto, Suhardjo F.X. 1996. Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pasaribu, Ben M. 2004. Pluralitas Musik Etnik. Nommensen.
Medan: Universitas HKBP
Pasaribu, Ben M. 2008. Arkeomusikologi. Medan: Balai Arkeologi. Pasaribu, M. Patar. 2005. Dr. Ingwer Ludwing Nommensen Opostel di Tanah Batak. Medan: Universitas HKBP Nommensen.
Patria, Nezar dan Andi, Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pelly, Usman. 2010. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Wujud Budaya Spiritual (Kata Pengantar). dalam Ibrahim Gultom. Agama Malim di Tanah Batak. hal. v – xvi. Jakarta: Bumi Aksara. Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut (terj. Saraswati Wardhany) Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Peursen. C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta: Mizan Publika. Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. (terj. Samanjaya). Bandung: Ultimus. Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media. Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media. Pudentia, MPSS (ed). 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL Pujaastawa, Ida Bagus Gde. 2011. ―Komodifikasi Lingkungan dan Implikasinya terhadap Sistem Sosiokultrural di Desa Taro‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Bali. Purba, Rehngenana. 2000. Lembaga Musyawarah Adat (Runggu) dan Perdamaian Desa sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Tanah Karo. Medan: Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Sumatera Utara. Puspa, Ida Ayu Tari. 2014 Bali Dalam Perubahan Ritual: Komodifikasi Ngaben di Era Globalisasi. Provinsi Bali: Buku Arti. Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Yayasan Massa
Rahyono. F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta : Wedatama Widya Sastra. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ried, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia. (terj. Masri Maris). Jakarta: KITLV dan OBOR. Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. (terj. Muhammad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ruly Darmawan. 2007. ”Spiritualitasi dan Kontekstualisasi Objek Visual‖ dalam Alfathri Adlin (ed) Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer. hal. 143--151 Yogyakarta: Jalasutra. Rumengan, Perry. 2010. Hubungan Fungsional Struktur Musikal - Aspek Ekstramusikal Musik Vokal Etnik Minahasa. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstruksi ala Foucauld dan Derrida. Yogyakarta: Tiara Wacana. Safari, Agus & Hermana, W. (peny.) 2008. Ketika Musik Bambu Dibicarakan. Bandung: Balai Pengelolaan TBJB. Sangti, Batara (Ompu Buntilan Simanuntak). 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company. Santosa dkk. 2007. Etnomusikologi Nusantara Perspektif dan Masa Depannya. Surakarta: ISI Press.
Santoso, Heri. 2009. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik atas Metafisika dan Epistemologi Modern. Dalam Santosa, Listyono (ed.). Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media. Hal. 247--259. Santoso, Listyono (ed.). 2009. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. Schacht, Richard. 2005. Alienasi: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra. Sediawati, Edy. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sediawati, Edy. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Sembiring, Norita N. 2010. Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dalam Budiawan (ed.) Ambivalensi Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 73--92. Sembiring, Terbit. 1987. Song of Evacuation: Song of Fighting for Independence in Indonesia (Lagu ‘Mengungsi‘: Sada Lagu Perjuangan Kemerdekaan i Indonesia). Dalam Rainer Carle (ed.) Cultures and Societies of North Sumatra Berlin: Reimer. hal, 395--426. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Silado, Remy. 1995. ‖Nyanyian Kematian dalam Tradisi Sinkretisme di Minahasa‖ dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya. hal. 107--118. Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun. Yogyakarta: LkiS.
Sinar, Luckman Tengku. 2005. The History of Medan In The Olden Times. Medan: PERWIRA. Singarimbun, Masri. 1960. Seribu Perumpamaan Karo. Medan Ulih Saber. Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak. USA: California University Press. Sinuraya. P. 2000. Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Suka Makmur: BPPM GBKP. Sitepu, Bujur. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka. Soedarso, S.P. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta; Kanisius. Spivak, Gayatri Cakravorty. 2003. Membaca Pemikiran Derrida: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Steedly, Mary Margaret. 1993. Hanging Without A Rope: Narrative Experience in Colonial and Postcolonial Karoland. New Jersey: Princeton University Press. Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan Metode. (terj. Laily Rahmawati). Yogyakarta: Jalasutra. Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam. Suanda, Endo dan Sumaryono. 2006. Tari Tontonan Buku Pelajaran Kesenian Nusantara. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Suastika, I Made. (ed.). 2008. Isu-Isu Kontemporer Cultural Studies. Denpasar: CV Bintang Warli Artika.
Sugiartha, I Gede Arya. 2012. ―Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota Denpasar‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Bali. Sugiharto, Bambang. 2006. ―Kebudayaan Filsafat dan Seni‖ dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 3--21. Yogyakarta: Jalasutra. Sugiharto, Bambang. (ed). 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari. Sukerta, Pande Made. 2009. Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar. Surakarta: Program Pascasarjana ISI dan ISI Press. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Sumardjo, Jakob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI. Supanggah, Rahayu. (Ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. Sutrisnaatmaka. A.M. 2006 Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Budaya Suku-Suku. Dalam John Liku Ada, (Ed). Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Hal 95--121. Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed.). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. (terj. Pipit Maizier). Yogyakarta: Jalasutra. Takwin, Bagus. 2006. ―Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup‖ dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 35--54. Yogyakarta: Jalasutra. Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Tamboen, P. 1952. Adat-Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, Hendry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima. Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Antusen Bilangen ibas Kalak Karo, Makna Bilangan pada Masyarakat Karo. Bandung: FPBS IKIP. Tarigan, Kumalo. 2006. ―Mangmang: Analisis dan Perbandingan Senikata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara‖. Penang: Tesis S2, Etnomusikologi Universitas Sains Malaysia. Tarigan, Prikuten. 2004. ―Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Karo Sumatera Utara‖. Tesis S2 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar. Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Turner,
Bryan. 2000. Teori-Teori Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sosiologi
Modernitas
Posmodernitas.
Waridi (ed). Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta: STSI Press. Weber, Max. 2006a. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. (terj. Utomo T.W. Yusup Pria Sudiarja). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Winfried, Noth. 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (terj. Abd. Syukur Ibrahim). Surabaya: Airlangga University Press. Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas. Yogyakarta: UII Press.
Lampiran 1 DAFTAR INFORMAN
1. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Ngambat Ginting : 86 Tahun : Laki-laki : SR : Veteran/ Pemerhati Kebudayaan : Kuta Mbaru
2. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: Kebun Tarigan : 84 Tahun : Laki-laki : Seniman/Penarune : SR : Jl. Luku, Padang Bulan, Medan
3. Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Alamat
: Gantar Sembiring : 72 : Laki-laki : Pensiunan guru/ Singerunggui : SPG : Barus Jahe
4. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Njenap Ginting : 71 Tahun : Laki-laki : SMA : Pensiunan/ Tokoh Masyarakat : Barus Jahe
5. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Amat Depari : 68 Tahun : Laki-laki : SMP : Penggual, Perajin alat musik : Seberaya
6. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Norma Br Tarigan : 65 Tahun : Perempuan : SD : Perkolong-kolong/Penyanyi : Seberaya
7. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Joker Barus : 62 Tahun : Laki-laki : SD : Guru (dukun) : Barus Jahe
8. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Ismail Bangun : 60 Tahun : Laki-laki : SMA : Budayawan : Batukarang
9. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Drs. Samion Pinem : 60 Tahun : Laki-laki : Sarjana : Pemain Musik Tiup : Simalingkar, Medan
8. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Darwan Tarigan : 58 Tahun : Laki-laki : SMA : Penarune/ Seniman : Kaban Jahe
9. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Sorensen Tarigan : 55 Tahun : Laki-laki : SMA : Seniman, Perajin alat musik : Medan
10. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Jasa Tarigan : 54 Tahun : Laki-laki : SMA : Penarune, Perkulcapi/Seniman : Lona Garden Medan
11. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Kumalo Tarigan : 53 Tahun : Laki-laki : Sarjana : Dosen Etnomusikologi/ Seniman Karo : Tanjung Sari, Medan
12. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerajaan Alamat
: Jenda Bangun : 52 Tahun : Laki-laki : Sarjana : Budayawan/ Seniman / Wartawan : Delitua
13. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Jekmen Sinulingga : 52 Tahun : Laki-laki : Magister : Dosen USU/ Pemerhati kebudayaan : Koserna, Medan
14. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Raja Edward Sebayang : 48 Tahun : Laki-laki : Sarjana : Seniman, Kepala Desa Perbesi : Perbesi
15. Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Siti Aminah Br Ginting : 45 Tahun : Perempuan : SMA : Perkolong-kolong/Penyanyi : Kabanjahe
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA Pedoman wawancara untuk penelitian ―Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi‖ diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Klasifikasi yang dimaksud berdasarkan (A) gambaran umum (B) rumusan masalah 1, (C) rumusan masalah 2, dan (D) rumusan masalah 3. Sebagai pedoman wawancara, daftar pertanyaan ini disusun menurut pokok-pokok kenyataan dan akan dikembangkan sesuai dengan konteksnya di lapangan dan penyampaiannya disesuaikan dengan situasi, bahasa, dan latar belakang para informan yang dipilih.
A. Gambaran umum 1. Bagaimanakah letak, sejarah georafis, penduduk, dan sosial masyarakatnya? 2. Bagaimanakah bentuk organisasi sosial? 3. Bagaimanakah adat istiadat etnik Karo? 4. Bagaimanakah asal usul gendang lima sendalanen dalam gendang kematian etnik Karo? 5. Adakah cerita rakyat yang berkaitan dengan gendang kematian etnik Karo?
B. Pertanyaan tentang wujud spiritualitas upacara gendang Kematian etnik Karo pada era globalisasi 1. Bagaimanakah wujud upacara gendang kematian pada etnik Karo dulu? 2. Bagaimanakah menurut kepercayaan masyarakat Karo terhadap manusia yang sudah meninggal? 3. Apakah dalam upacara gendang kematian ada unsur-unsur atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan masyarakat Karo sehari-hari?
4. Bagaimanakah proses upacara gendang kematian pada masyarakat Karo? 5. Bagaimanakah praktik masyarakat Karo dalam gendang kematian?
C. Pertanyaan tentang faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 1. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian masyarakat Karo? Sejak kapan? 2. Apakah faktor ekonomi pada masyarakat Karo dapat dijadikan penyebab perubahan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian masyarakat Karo? Jelaskan? 3. Apakah ada pengaruh dari agama Kristen terhadap perubahan upacara gendang kematian pada masyarakat Karo? 4. Apakah kreativitas antarseniman dapat dijadikan penyebab perubahan gendang lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik Karo? Kalau ya, jelaskan? Kalau tidak, jelaskan? 5. Sampai kapan gendang lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik Karo dapat bertahan? Jelaskan! 6. Apa yang semestinya dilakukan oleh masyarakat pendukung dalam hal perubahan ini?
D. Pertanyaan tentang makna spiritualitas dan strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi 1. Dalam kehidupan sehari-hari, makna apa yang bisa masyarakat Karo dapatkan dari upacara gendang kematian? 2. Apa sebenarnya makna sangkep nggeluh dalam upacara gendang kematian? 3. Perubahan telah terjadi dalam upacara gendang kematian, kira-kira apa makna perubahan ini, baik yang menguntungkan maupun merugikan bagi orang Karo? 4. Apakah makna keyboard bagi masyarakat Karo?
5. Apakah makna gendang lima sendalanen bagi budaya Karo dan masyarakat Karo? 6. Apa makna gendang kematian bagi budaya Karo dan masyarakat Karo? 7. Usaha apa yang dilakukan masyarakat Karo dalam mempertahankan gendang lima sendalanen sampai saat ini? 8. Apakah gendang lima sendalanen memiliki potensi untuk berdaya kembali? Jelaskan! 9. Apakah makna landek (menari) pada upacara gendang kematian? 10. Adakah makna filosofi yang menjadi pegangan masyarakat Karo terkait dengan upacara gendang kematian? 11. Unsur-unsur dalam upacara gendang kematian, salah satunya adalah gendang lima sendalanen, apakah gendang mempunyai hubungan dengan sistem kekerabatan pada masyarakat Karo? 12. Perubahan apa yang paling tampak pada etnik Karo terkait dengan upacara gendang kematian? 13. Apakah masyarakat Karo masih berharap mewariskan gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian kegenerasi berikut sebagai warisan leluhur orang Karo. Jika tidak, mengapa? Jika ya, strategi apa yang harus dilakukan terkait dengan pewarisan ini?
Lampiran 3 Pulau Sumatera
Kabupaten Karo
Sumatera Utara
Lampiran 4 Daftar Foto
Gambar L.4.1 Sang Istri meratapi suami yang meninggal (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.2 Kalimbubu simada dareh mem-bulangi anak beru-nya yang meninggal (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.3 Petuah dari Kalimbubu sebelum mayat dibawa ke losd/Jambur (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.4 Anak beru mengangkat peti mayat ke tempat upacara dilaksanakan (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.5 Ucapan selamat jalan dari sukut saudara yang meninggal (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.6 Pihak sukut meratapi saudaranya yang meninggal (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.7 Anak beru mengiris pohon pisang untuk dijadikan persiapan makan siang (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.8 Anak beru mempersiapkan makan siang untuk keluarga dalam upacara (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.9 Anak beru mengucapkan selamat jalan kepada kalimbubu-nya (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.10 Pihak sukut sedang menari dalam acara upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.11 Anak beru, dari sukut menyerahkan utang adat kepada kalimbubu simada dareh (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.12 Kalimbubu simada dareh, erlebuh sambil memanggil kembali seolah-olah mayat masih hidup (Dokumen Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.13 Pihak sukut sedang menyelimuti mayat dengan dagangen kehormatan (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.14 Cucu-cucu yang meninggal sedang membawa dagangen sebagai tanda kasih (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.15 Liturgi gereja sebelum mayat dibawa ke kuburan (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.16 Sebagai simbol, pengurus gereja melemparkan tanah ke dalam kuburun yang akan diikuti oleh semua keluarga (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.17 Penaburan bunga oleh keluarga setelah selesai liturgi gereja (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.18 Penaburan bunga oleh sukut keluarga setelah selesai liturgi gereja (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.19 Jip Sembiring sebagai Anak beru sedang memberikan petunjuk kepada perkolongkolong Sabarta Br Sitepu, tentang apa yang harus disampaikan dalam katonengkatoneng pada acara berikutnya. (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.20 Gendang Lima Sendalanen dalam gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.21 Wawancara dengan sierjabaten usai upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.22 Unsur-unsur instrumen musik yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian etnik Karo (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar L.4.23 Saat peneliti mewawancarai salah seorang penggual singindungi pada upacara gendang kematian. (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar L.4.24 Peneliti sedang memainkan gendang singindungi pada upacara gendang kematian dalam rangka observasi (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.25 Suasana wawancara peneliti dengan seorang pemain keyboard pada upacara gendang kematian etnik Karo. (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.26 Sarune dan Keyboard dalam upacara gendang kematian, pemain keyboard terlihat diam karena bunyi untuk kebutuhan upacara yang sebelumnya sudah diprogram (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.27 Organ tunggal/ Kibod pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.28 Wawancara dengan Seniman Karo Ismail Bangun, Yuanto Ginting dan Bangun Tarigan usai latihan keteng-keteng di dinas Pariwisata Kab. Karo Berastagi (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.29 Ensambel Tiup, yang dikenal pada etnik Karo dengan istilah trompet pada upacara gendang kematian (Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)